Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab
kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. Infeksi Saluran
Pernafasan Akut ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada
anak berusia dibawah lima tahun pada setiap tahunnya, dan sebanyak dua per
tiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda usia kurang dari dua
bulan) (WHO, 2003).
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan
yang dapat berlangsung sampai 14 hari. Secara klinis ISPA ditandai dengan
gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan
dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Infeksi saluran pernafasan akut
merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan
oleh 300 lebih jenis virus, bakteri, serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain
golongan miksovirus yang meliputi virus influensa, virus pra-influensa dan
virus campak.
Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005
menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan
persentase 22,30% dari seluruh kematian. Bukti bahwa ISPA merupakan
penyebab utama kematian adalah banyaknya penderita ISPA yang terus
meningkat. Menurut WHO, ISPA merupakan peringkat keempat dari 15 juta
penyebab pada setiap tahunnya. Jumlah tiap tahun kejadian ISPA di Indonesia
150.000 kasus atau dapat dikatakan seorang meninggal tiap 5 menitnya.
Berdasarkan DEPKES (2006) juga menemukan bahwa 20-30% kematian
disebabkan oleh ISPA.
Faktor penting yang mempengaruhi ISPA adalah pencemaran udara.
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernapasan. Tingginya tingkat pencemaran udara menyebabkan ISPA memiliki

1
angka yang paling banyak diderita oleh masyarakat dibandingkan penyakit
lainnya. Selain faktor tersebut, peningkatan penyebaran penyakit ISPA juga
dikarenakan oleh perubahan iklim serta rendahnya kesadaran perilaku hidup
bersih dan sehat dalam masyarakat. Dalam rangka memahami lebih jauh tentang
ISPA maka di dalam makalah ini akan dijabarkan secara lengkap semua hal
yang berkaitan dengan ISPA.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaiamana penyebab wabah ISPA ?
2. Bagaimana data kejadian dan permasalahannya ?
3. Bagaimana karakteristik korban dan penanganannya ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami bagaimana penyebab wabah ISPA
2. Untuk memahami bagaimana data kejadian dan permasalahannya
3. Untuk memahami karakteristik korban dan penanganannya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ISPA
2.1.1 Pengertian Penyakit ISPA
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah infeksi akut saluran
pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah beserta
adenaksanya (Depkes RI, 1993). ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut yang berlangsung sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan
adalah organ yang bermula dari hidung hingga alveoli beserta segenap
adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan
yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma
ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Depkes,
2000).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan
akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis,
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas
waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli
beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-
keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin
gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam
keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam
kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit,
meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang
ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong
dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan (Depkes RI, 2008).

3
2.1.2 Etiologi Penyakit ISPA
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih
dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah
frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung,
nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan
oleh viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri.
Saat ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe
antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986). WHO (1986), juga
mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan
mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan
distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak
ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus
influenza A & B.

2.1.3 Gejala dan Tanda Penyakit serta Cara Diagnosis ISPA


1. Gejala dan Tanda Penyakit ISPA
Penyakit ISPA meliputi hidung, telinga, tenggorokan (pharinx),
trachea, bronchioli dan paru. Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak
bermacam-macam seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan,
pilek, demam dan sakit telinga (Depkes RI, 1993).
Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan
seperti batuk dan pilek tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik.
Namun sebagian anak akan menderita radang paru (pneumonia) bila
infeksi paru ini tidak diobati dengan anti biotik akan menyebabkan
kematian (Depkes RI, 1993).
2. Cara Diagnosis
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara
langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan

4
dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim,
2000).
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan
karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur
pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan
untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya
biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen
darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis
etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk
mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada
balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan
bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan
penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab
pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian
asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan
Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia
pada balita disebabkan oleh virus.

2.2 Perkembangan Penyakit ISPA di Indonesia


ISPA sering disebut sebagai "pembunuh utama". Kasus ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana
kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan
15%-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah
Sakit. Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia
mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan
150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan,
atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5
menit (Depkes, 2004).
Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4
tahun). Diperkirakan kejadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu

5
sebesar 10- 20%. Berdasarkan hasil SKRT, penyakit ISPA pada tahun
1986 berada di urutan ke-4 (12,4%) sebagai penyebab kematian bayi.
Sedangkan pada tahun 1992 dan 1995 menjadi penyebab kematian bayi
yang utama yaitu 37,7% dan 33,5%. Hasil SKRT tahun 1998 juga
menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyebab kematian
utama pada bayi (36%). Hasil SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa
prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan 42% pada balita
(Depkes RI, 2001).
Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005
menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia
dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian (Susilowati, 2010).
Bukti bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian adalah
banyaknya penderita ISPA yang terus meningkat. Berdasarkan
DEPKES (2006) juga menemukan bahwa 20-30% kematian disebabkan
oleh ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada
tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%), ISPA
venderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan
tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. Data Kemenkes
menunjukkan bahwa penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007
sampai 2011 mengalami tren kenaikan. Pada 2007 jumlah kasus ISPA
berkategori batuk bukan Pneumonia sebanyak 7.281.411 kasus dengan
765.333 kasus Pneumonia, kemudian pada 2011 mencapai 18.790.481
juta kasus batuk bukan pneumonia dan 756.577 pneumonia.

2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit ISPA


Faktor resiko ISPA:
1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir rendah ditetapkan sebagai suatu berat lahir
yang kurang dari 2500 gram. Bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian bayi karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi
infeksi saluran pernapasan bagian bawah (Ngastiyah, 1997).

6
Menurut Sulistyowati dalam Djaja (2000) bayi dengan berat
badan lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari
pada bayi berat badan lebih dari 2500 gram saat lahir selama satu
tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab
terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir
dengan berat badan rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang
beratnya diatas 2500 gram.
2. Faktor umur
Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature
adalah factor umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan
ISPA mudah dipahami, karena semakin muda umur balita,
semakin rendah daya tahan tubuhnya. Menurut Tupasi et al.
(1998), resiko terjadi ISPA lebih besar pada bayi berumur
kurang dari satu tahun, sedangkan menurut Sukar et al. (1996),
anak berumur kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih tinggi
untuk terserang ISPA. Depkes (2000), menyebutkan resiko
terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda
lagi yaitu kurang dari dua bulan.
3. Faktor Jenis Kelamin Berdasarkan hasil SDKI tahun 1997
menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita
dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri khas
pneumonia) antara anak laki-laki dengan perempuan, dimana
prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan untuk
anak perempuan 8,5% (Depkes RI, 1997). Ada kecendrungan
anak laki-laki lebih sering terserang infeksi dari pada anak
perempuan, tetapi belum diketahui faktor yang
mempengaruhinya (Soetjiningsih, 1995). 4. Faktor Vitamin
Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan
resiko terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan
memiliki resiko 2 kali untuk menderita ISPA. Depkes (2000),
menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan
salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat

7
menghambat pertumbuhan balita dan mengakibatkan
pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan. Gangguan pada
epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA. 5.
Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi) Malnutrisi dianggap
bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama pada
Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah
dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya
daya tahan tubuh anak. Hal tersebut memudahkan kemasukan
agen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan
resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk.
Menurut WHO (2000), telah dibuktikan bahawa adanya
hubungan antara malnutrisi dengan episode ISPA.
4. Faktor Vitamin
Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan
resiko terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan
memiliki resiko 2 kali untuk menderita ISPA. Depkes (2000),
menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan
salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat
menghambat pertumbuhan balita dan mengakibatkan
pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan. Gangguan pada
epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA.
5. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada
balita terutama pada Negara berkembang termasuk Indonesia.
Hal ini mudah dipahami karena keadaan malnutrisi
menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut
memudahkan kemasukan agen penyakit ke dalam tubuh.
Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun
oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah
dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi dengan
episode ISPA

8
6. Status Imunisasi
Telah diketahui secara teoritis, bahwa imunisasi adalah cara
untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit
(Kresno, 2000). Dari penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan
Sebodo (1996), didapatkan proporsi kasus balita penderita ISPA
terbanyak terdapat anak yang imunisasinya tidak lengkap
(10,25%).
7. Status Sosil Ekonomi
Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi
yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan
masyarakat. Sebuah penelitian di Filipina telah membuktikan
bahwa sosiaoekonomi orang tua yang rendah akan
meningkatkan resiko ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun
(Tupasi et al., 1988).
8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada sepuluh tahun
terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi
cairan tubuh untuk melawan infeksi bakteri dan virus. Penelitian
di Negara-negara sedang berkembang menunjukkan
menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi
saluran pernapasan berat (Djaja, 2000). Jika produksi ASI
cukup, pertumbuhan bayi umur 4-5 bulan pertama akan
memuaskan, pada umur 5-6 bulan berat badan bayi menjadi 2
kali lipat dari pada berat badan lahir, maka sampai umur 4-5
bulan tidak perlu memberi makanan tambahan pada bayi
tersebut (Pudjiadi, 2000). Lemahnya koordinasi menelan pada
bayi umur dibawah 4 bulan dapat menimbulkan aspirasi kedalam
saluran pernapasan menjadi pemicu untuk terjadinya infeksi
saluran pernapasan (Ngastiyah, 1997).
9. Faktor Pencemaran Udara
Dalam Lingkungan Pencemaran udara di dalam rumah selain
berasal dari luar ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan

9
di dalam rumah terutama aktivitas penghuninya antara lain,
penggunaan biomassa untuk memasak maupun pemanas
ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan
bahan bakar, asap rokok, penggunaan obat anti nyamuk, pelarut
organic yang mudah menguap (formaldehid) yang banyak
dipakai pada peralatan perabot rumah tangga dan sebagainya
(Mukono, 1997).
Menurut soesanto (2000) yang dikutip dari Samsuddin
(2000), rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk
memasak maupun sumber penerangan memberikan resiko
terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan bahan bakar gas. Asap rokok dalam rumah juga
merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran udara dalam
ruangan. Hasil penelitian yang dilakukan Charles (1996),
menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam
rumah serta pemakaian obat nyamuk bakar juga
merupakan resiko yang bermakna terhadap terjadinya penyakit
ISPA.
Penggunaan obat anti nyamuk bakar sebagai alat untuk
menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan
saluran pernapasan karena hasilnya asap dan bau yang tidak
sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan
merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga
mempermudah timbulnya gangguan pernapasan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Indra Chahaya pemakaian obat
nyamuk bakar mempunyai exp (B) 19,97 yang berarti faktor
pemakaian obat nyamuk bakar mempunyai 19 kali beresiko
terhadap terjadiya ISPA.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran
pernapasan
dapat menyebabkan terjadinya:

10
a. Iritasi pada saluran pernapasan, hal ini dapat
menyebabkan pergerakan
b. silia menjadi lambat, bahkan berhenti, sehingga
mekanisme
c. pembersihan saluran pernapasan menjadi terganggu.
d. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi bahan
pencemar.
e. Produksi lendir dapat menyebabkan penyempitan
saluran pernapasan.
f. Rusaknya sel pembunuh bakteri saluran pernapasan.
g. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang
pertumbuhan sel
h. sehingga saluran pernapasan menjadi menyempit.
i. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
Akibat hal tersebut di atas maka menyebabkan terjadinya
kesulitan bernapas, sehingga benda asing termasuk
Mikroorganisme tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernapasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan (Soewasti, 2000).
10. Ventilasi
Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar,
mencegah akumulasi gas beracun dan mikroorganisme,
memelihara temperatur dan kelembaban optimum terhadap
udara di dalam ruangan. Ventilasi yang baik akan memberikan
rasa nyaman dan menjaga kesehatan penghuninya (Mukono,
1997). Penelitian yang dilakukan oleh Soewasti (2000)
membuktikan bahwa ventilasi berhubungan dengan kejadian
ISPA. Penderita ISPA banyak di temukan pada masyarakat yang
mempunyai Ventilasi rumah dengan perhawaan paling kecil (0 -
0,99 m).

11
11. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam
rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan
semakin cepat udara di dalam rumah akan mengalami
pencemaran. Hal ini sesuai dengan penelitian Achmadi (1990)
yang dikutip oleh Chahaya (2005), bahwa rumah yang padat
sering kali menimbulkan gangguan pernapasan terutama pada
anak-anak dan pengaruh lain pada anak-anak adalah mereka
menekan tumbuh kembang mentalnya. Menurut hasil penelitian
Hidayati (2003) yang di kutip oleh Agustama (2005)
menunjukkan bahwa dengan kepadatan rumah yang tidak
memenuhi syarat terhadap terjadinya ISPA pada balita sebesar
68% dimana jika terjadi kepadatan dalam hunian kamar akan
menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental
maupun moril. Rumah dengan penghuni kamar yang padat akan
memudahkan terjadinya penularan penyakit saluran pernapasan.

2.4 Cara Pencegahan ISPA


Cara pencegahan berdasarkan level of prevention:
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat
kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (spesific
protection) terhadap penyakit tertentu. Termasuk disini adalah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA.
Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA,
penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi
seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan,
penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat
mengurangi angka kesakitan ISPA.

12
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan
lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang
menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.
2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan
diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA,
seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan
pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau
demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera
diberi pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau
bukan pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diberikan
perawatan di rumah. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu
untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
a. Mengatasi panas (demam)
b. Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada
air
(tidak perlu air es).
c. Pemberian makanan dan minuman
d. Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi
sering, memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air
putih, air buah) lebih banyak dari biasanya.
3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan
pneumonia agar tidak menjadi lebih parah (pneumonia) dan
mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir dengan
kematian.
Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan
pneumonia pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala

13
pneumonia seperti nafas menjadi sesak, anak tidak mampu minum dan
sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah
anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang
spesifik di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering
memberikan ASI.
Cara Pencegahan Menurut Depkes RI, (2002) pencegahan ISPA antara
lain:
1. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah
kita atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit
ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima
sempurna, banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta
istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap
sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita
akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri
penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
2. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak
maupun orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga
kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam
penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam
rumah, sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap
tersebut yang bias menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi
yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar
tetap segar dan sehat bagi manusia
4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/
bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit
penyakit ini melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh.

14
Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara yang
umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang melayang di
udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari
sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara
droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara
bibit penyakit).

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus
paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral,
sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. ISPA
adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari.
Pada umumnya ISPA termasuk ke dalam penyakit menular yang ditularkan
melalui udara. Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak bermacam-
macam seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam
dan sakit telinga. Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan
pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura.Transmisi penyakit
ISPA dapat melalui udara dan melalui kontak langsung/tidak langsung dari
benda yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission).

16
DAFTAR PUSTAKA

DepKes RI. 2000. Pedoman Pemberantasan Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk
Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta

Mukono. 1997. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan


Pernapasan. Jakarta

S Djaja, (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. . - : Buletin Penelitian Kesehatan

WHO (2008). Pengenalan dini, pelaporan, dan manajemen pencegahan dan


pengendalian infeksi ISPA yang berpotensi menimbulkan kekhawatiran.

17

Anda mungkin juga menyukai