Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam keperawatan, keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan suatu
rentang yang dinamis dari kehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis
sangat besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari rentang sehar sakit jiwa
karena dalam keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang mengalami stress
yang berat dimana pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan
kemandirian, kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang
dideritanya. Semua keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan
mereka.
Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan
keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami
mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan
Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai
masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya. Perawat tidak
boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan
dalam mengatasi masalah psikososial pasien bisa berdampak pada semakin
memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan mengalami
kecemasan yang semakin berat dan menolak pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana efek kondisi kritis terhadap pasien dan keluarga pada perubahan
kondisi perawatan kritis psikososial?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui efek kondisi kritis terhadap pasien dan keluarga pada
perubahan kondisi perawatan kritis psikososial.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pasien Kritis


Pasien kritis menurut AACN (American Association of Critical Nursing)
didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi untuk masalah kesehatan
aktual ataupun potensial yang mengancam jiwa. Semakin kritis sakit pasien,
semakin besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan
kompleks, membutuhkan terapi yang intensif dan asuhan keperawatan yang
teliti (Nurhadi, 2014).

2.2 Pengertian Keluarga


Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup
dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya
masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan
darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu
dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu
budaya

2.3 Tujuan dan Fungsi Keluarga


Tujuan utama keluarga adalah sebagai perantara yaitu mananggung semua
harapan-harapan dan kewajiban-kewajiban masyarakat serta membentuk dan
mengubahnya sampai taraf tertentu hingga dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan setiap anggota individu dalam keluarga.
Fungsi keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan setiap
individu yang ada dalam keluarga dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dimana keluarga menjadi bagiannya.

2
2.4 Respon Keluarga Terhadap Kondisi Pasien Kritis
Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan, tanggapan. Respon
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan perilaku
kesehatan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan,
persepsi dan sikap) maupun bersikap aktif (tindakan nyata atau praktis).
Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok yaitu:
sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Terkait dengan
respon keluarga pada anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif,
keluarga seringkali merasakan stress ataupun cemas.
Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam
pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon
keluarga terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress, kekuatan,
dan perubahan gaya hidup yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada
anggota keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan
berisiko mengalami gangguan (Nurhadi, 2014).
Tugas keluarga pasien kritis yang utama adalah untuk mengembalikan
keseimbangan dan mendapatkan ketahanan. Menurut Mc. Adam, dkk (2008),
dalam lingkungan area kritis keluarga memiliki beberapa peran yaitu: 1) active
presence, yaitu keluarga tetap di sisi pasien, 2) protector, yaitu memastikan
perawatan terbaik telah diberikan, 3) facilitator, yaitu keluarga memfasilitasi
kebutuhan pasien ke perawat, 4) historian, yaitu sumber informasi rawat
pasien, 5) coaching, yaitu keluarga sebagai pendorong dan pendukung pasien.
Pasien yang berada dalam perawatan kritis menilai bahwa keberadaan anggota
keluarga di samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi untuk
menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level kenyamanan (Holly,
2012).

2.5 Teori Stress Keluarga


Respon keluarga terhadap stress yang dirasakan ketika menghadapi anggota
keluarga mendapatkan perawatan kritis, dapat dijelaskan melalui Stres
Keluarga Hill. Teori tersebut dikenal dengan model ABCX. Kerangka ABCX

3
memiliki dua bagian. Pertama adalah pernyataan yang berhubungan dengan
penentu krisis keluarga: A (Peristiwa dan kesulitan terkait) berinteraksi
dengan B (Sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang berinteraksi
dengan C (definisi yang dibuat keluarga mengenai peristiwa tersebut)
menghasilkan X (krisis).

Faktor A adalah stressor yang atau adanya peristiwa aktual yang memaksa
keluarga mempertahankan dengan cara stereotip yang diikuti oleh mekanisme
koping keluarga (B). Jika keluarga tidak menggunakan sumber dan
mekanisme koping, maka hasilnya sama yakni seolah-olah keluarga tidak
memiliki sumber koping. Intervensi lebih mudah pada kasus ini karena tidak
terlalu sulit untuk membantu keluarga memanfaatkan pola koping masa lalu
dibandingkan membantu keluarga belajar cara berespon yang baru.
Faktor C merupakan persepsi dan interpretasi keluarga terhadap stressor
atau peristiwa stres. Penilaian keluarga terhadap stressor mempengaruhi apa
upaya koping yang digunakan beserta hasilnya nanti. Keluarga yang
fungsional akan mampu melihat peristiwa sebagai sesuatu yang dapat
dipahami dan dapat dikelola.
Faktor X terkait dengan krisis atau bukan krisis. Terjadinya
kecenderungan krisis menunjukkan bagaimana keluarga mengatasi faktor B
dan C. Ketika keluarga terpajan krisis, maka cenderung mengalami peristiwa
stressor dan keparahan yang lebih besar (A) serta mendefinisikannya lebih
sering sebagai krisis (C). Tipe keluarga seperti ini lebih rentan terhadap
peristiwa stressor karena kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang

4
mereka miliki. Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu,
menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan pencetus
krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir melainkan berpengaruh
dalam hubungan dan penampilan peran anggota keluarga (Friedman, 2010).

2.6 Upaya Untuk Mengatasi Masalah Psikososial Pasien Kritis


Berikut adalah beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat untuk
menurunkan stress pada pasien di ruang ICU.
1) Modifikasi Lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya
senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan
banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta meningkatkan
lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery (penyembuhan
pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien
memungkinkan untuk mempromosikan the universal room. Ketersediaan
alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk
mendekatkan pelayanan pada pasien daripada pasien yg datang ke tempat
pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work statiun kecil
(decentralization of nursing activities) untuk tiap pasien akan mengurangi
stress bagi pasien (Jastremski, 2000). Peralatan yang super canggih seperti
remote monitoring untuk semua pasien melalui monitor pada semua
tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat TV. Jadi perawat bisa
memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat pasien Bed 2
(Jastremski, 2000).
Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk
efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan yang
menyembuhkan (healing environtment) juga perlu diciptakan. Fleksibilitas
dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa dimaksimalkan
ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan di ruangan pasien.
Thermostats, light switches, sound systems, window blinds dan lain2
harus bisa dikontrol secara terpisah untuk setiap pasien (Jastremski, 2000).

5
Pengontrollen level suara (noise) dan promoting normal sleep penting
sebagai pengaturan fluid intake.
2) Terapi Musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain
untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi
musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan
dan isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology
pasien yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat
menurunkan heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer
pada pasien AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang
digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam
(Jastremski,1998). Masing-masing pasien diberikan headset untuk
mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga akan
mengurangi stressor bagi pasien.
3) Melibatkan Kelurga Dan Memfasilitasi Keluarga Dalam Perawatan Pasien
Kritis
Lingkunga ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan
keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan
dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009)
karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2
kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang
sangat berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan
tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan internet
connection (Hamilton, 1999).
4) Komunikasi Terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang
perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan
keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh Lenore &
Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat pasien di
ruang ICU di Australia menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang
ICU masih sangat kurang meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang

6
sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh
teman dekat penulis ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat
ICU di rumah sakit K tersebut sangat ttdak mempertimbangkan perasaan
dia dan pasien ketika berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan
cenderung apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan
pendekatan phenomenology juga menunjukkan hal yang sama. Akan
tetapi, perawat bisa melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan
pasien ketika perawat menggunakan pendekatan person-centered care.
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular
mode of care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari
person-centred care adalah sebuah komitmen untuk menemukan
kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman
sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan
kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh pasien.
Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari sekedar hanya
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them (Hasnain, et
al., 2011; Clift, 2012).

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien-pasien yang
sedang mengalami keadaan kritis. Keadaaan kritis merupakan suatu keadaan
penyakit kritis yang mana pasien sangat beresiko untuk meninggal. Pada
keadaan kritis ini pasien mengalami masalah psikososial yang cukup serius
dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari perawat
dan tenaga kesehatan lain yang merawatanya. Dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kritis ini, perawat harus menunjukkan sikap
professional dan tulus dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang
efektif kepada pasien.

8
DAFTAR PUSTAKA

Friedman, M. 2010. Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC.

Hamilton K. (1999): Design for flexibility in critical care. New Horizon, 7, 205

Mc. Adam, J.L., Arai, S.,& Putillo, K. (2008). Unrecognized Contributions of


Families in the Intensive Care Unit. Intensive Care Med, 34: 1097

McCabe, C. (2004). Nurse–patient communication: an exploration of patients’


experiences. Journal of Clinical Nursing, 13, 41–49

Nurhadi. (2014). Gambaran dukungan perawat pada keluarga pasien kritis di


rumah sakit umum pusat Dr. Kariadi. Program studi S1 Ilmu Keperawatan,
Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai