PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui efek kondisi kritis terhadap pasien dan keluarga pada
perubahan kondisi perawatan kritis psikososial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.4 Respon Keluarga Terhadap Kondisi Pasien Kritis
Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan, tanggapan. Respon
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan perilaku
kesehatan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan,
persepsi dan sikap) maupun bersikap aktif (tindakan nyata atau praktis).
Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok yaitu:
sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Terkait dengan
respon keluarga pada anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif,
keluarga seringkali merasakan stress ataupun cemas.
Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam
pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon
keluarga terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress, kekuatan,
dan perubahan gaya hidup yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada
anggota keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan
berisiko mengalami gangguan (Nurhadi, 2014).
Tugas keluarga pasien kritis yang utama adalah untuk mengembalikan
keseimbangan dan mendapatkan ketahanan. Menurut Mc. Adam, dkk (2008),
dalam lingkungan area kritis keluarga memiliki beberapa peran yaitu: 1) active
presence, yaitu keluarga tetap di sisi pasien, 2) protector, yaitu memastikan
perawatan terbaik telah diberikan, 3) facilitator, yaitu keluarga memfasilitasi
kebutuhan pasien ke perawat, 4) historian, yaitu sumber informasi rawat
pasien, 5) coaching, yaitu keluarga sebagai pendorong dan pendukung pasien.
Pasien yang berada dalam perawatan kritis menilai bahwa keberadaan anggota
keluarga di samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi untuk
menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level kenyamanan (Holly,
2012).
3
memiliki dua bagian. Pertama adalah pernyataan yang berhubungan dengan
penentu krisis keluarga: A (Peristiwa dan kesulitan terkait) berinteraksi
dengan B (Sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang berinteraksi
dengan C (definisi yang dibuat keluarga mengenai peristiwa tersebut)
menghasilkan X (krisis).
Faktor A adalah stressor yang atau adanya peristiwa aktual yang memaksa
keluarga mempertahankan dengan cara stereotip yang diikuti oleh mekanisme
koping keluarga (B). Jika keluarga tidak menggunakan sumber dan
mekanisme koping, maka hasilnya sama yakni seolah-olah keluarga tidak
memiliki sumber koping. Intervensi lebih mudah pada kasus ini karena tidak
terlalu sulit untuk membantu keluarga memanfaatkan pola koping masa lalu
dibandingkan membantu keluarga belajar cara berespon yang baru.
Faktor C merupakan persepsi dan interpretasi keluarga terhadap stressor
atau peristiwa stres. Penilaian keluarga terhadap stressor mempengaruhi apa
upaya koping yang digunakan beserta hasilnya nanti. Keluarga yang
fungsional akan mampu melihat peristiwa sebagai sesuatu yang dapat
dipahami dan dapat dikelola.
Faktor X terkait dengan krisis atau bukan krisis. Terjadinya
kecenderungan krisis menunjukkan bagaimana keluarga mengatasi faktor B
dan C. Ketika keluarga terpajan krisis, maka cenderung mengalami peristiwa
stressor dan keparahan yang lebih besar (A) serta mendefinisikannya lebih
sering sebagai krisis (C). Tipe keluarga seperti ini lebih rentan terhadap
peristiwa stressor karena kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang
4
mereka miliki. Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu,
menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan pencetus
krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir melainkan berpengaruh
dalam hubungan dan penampilan peran anggota keluarga (Friedman, 2010).
5
Pengontrollen level suara (noise) dan promoting normal sleep penting
sebagai pengaturan fluid intake.
2) Terapi Musik
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain
untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi
musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan
dan isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology
pasien yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat
menurunkan heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer
pada pasien AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang
digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam
(Jastremski,1998). Masing-masing pasien diberikan headset untuk
mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga akan
mengurangi stressor bagi pasien.
3) Melibatkan Kelurga Dan Memfasilitasi Keluarga Dalam Perawatan Pasien
Kritis
Lingkunga ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan
keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan
dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009)
karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2
kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang
sangat berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan
tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan internet
connection (Hamilton, 1999).
4) Komunikasi Terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang
perhatian terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan
keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh Lenore &
Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat pasien di
ruang ICU di Australia menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang
ICU masih sangat kurang meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang
6
sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh
teman dekat penulis ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat
ICU di rumah sakit K tersebut sangat ttdak mempertimbangkan perasaan
dia dan pasien ketika berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan
cenderung apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan
pendekatan phenomenology juga menunjukkan hal yang sama. Akan
tetapi, perawat bisa melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan
pasien ketika perawat menggunakan pendekatan person-centered care.
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular
mode of care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari
person-centred care adalah sebuah komitmen untuk menemukan
kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman
sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan
kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh pasien.
Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari sekedar hanya
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them (Hasnain, et
al., 2011; Clift, 2012).
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien-pasien yang
sedang mengalami keadaan kritis. Keadaaan kritis merupakan suatu keadaan
penyakit kritis yang mana pasien sangat beresiko untuk meninggal. Pada
keadaan kritis ini pasien mengalami masalah psikososial yang cukup serius
dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari perawat
dan tenaga kesehatan lain yang merawatanya. Dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kritis ini, perawat harus menunjukkan sikap
professional dan tulus dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang
efektif kepada pasien.
8
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, M. 2010. Buku Ajar Keperawatan keluarga : Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC.
Hamilton K. (1999): Design for flexibility in critical care. New Horizon, 7, 205