Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta (Morbus hansen) merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang pertama kali menyerang
syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, membran mukosa, saluran
pernafasan bagian atas, mata, dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf
pusat (Kafiluddin, 2010).
Penderita kusta dapat disembuhkan, namun bila tidak dilakukan
penatalaksanaan dengan tepat akan beresiko menyebabkan kecacatan pada
syaraf motorik, otonom atau sensorik (Kafiluddin, 2010).
Indonesia merupakan negara yang memiliki angka penyebaran penyakit
kusta cukup tinggi. Tercatat pada tahun 2009 ditemukan penderita kusta
sebanyak 21.026 orang, tahun 2010 sebanyak 20.329 orang, tahun 2011
sebanyak 20.023 orang dan tahun 2012 sebanyak 23.169 orang (jurnas, 2013).
Daerah di Indonesia yang termasuk dalam endemis kusta yaitu Aceh, Jawa,
Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua (Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2009). Sepertiga lebih dari total jumlah
penderita kusta nasional berada di Provinsi Jawa Timur (Citra, 2010; Dinas
Kominfo Provinsi Jatim, 2012).
Provinsi Jawa Timur terdiri dari 38 Kabupaten, dari data yang di dapat dari
Dinas Kesehatan Ponorogo penderita kusta tertinggi yaitu Kabupaten
Sampang. Kabupaten Ponorogo menempati urutan ke 19 di Jawa Timur.
Indikator Program angka Prevalensi <1/10.000 Low Prevalensi dan >1/10.000
High Prevalensi, angka penemuan penderita <5/100.000 Low Endemik dan
>5/100.000 High Endemik. Kabupaten Ponorogo terdiri dari 31 kecamatan
yang terdeteksi menderita kusta pada tahun tahun 2012 sebanyak 61 orang,
tahun 2013 sebanyak 47 orang, tahun 2014 sebanyak 53 orang, tahun 2015
sebanyak 53 0rang, dan tahun 2016 sebanyak 38 orang yaitu di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorejo. Kecamatan Sukorejo sebanyak 9 orang, Kecamatan
Setono sebanyak 3 orang, Kecamatan Slahung sebanyak 3 orang, Kecamatan
Jambon sebanyak 3 orang, Kecamatan Babadan sebanyak 3 orang,

1
Kecamatan Badegan sebanyak 2 orang, Kecamatan Balong sebanyak 2 orang,
Kecamatan Ponorogo utara sebanyak 2 orang, Kecamatan Kauman sebanyak
2 orang, Kecamatan Ngrandu sebanyak 2 orang, Kecamatan Sawoo sebanyak
2 orang, Kecamatan Sooko sebanyak 2 oranng. Kecamatan Jenangan
sebanyak 1 orang, Kecamatan Nailan sebanyak 1 orang, Kecamatan Jetis
sebanyak 1 orang (Dinas Kesehatan Ponorogo, 2016).
Dukungan yang di berikan keluarga merupakan suatu bentuk intervensi
yang melibatkan keluarga sebagai support system penderita. Seperti di ketahui
bahwa keluarga merupakan unit yang paling kecil dan paling dekat dengan
klien. Hal tersebut yang menyebabkan peran keluarga sangatlah besar dalam
memberikan dukungan bagi klien dalam menjalani pengobatan dan
keperawatan yang biasanya memerlukan waktu hingga berbulan-bulan,
sehingga apabila keluarga tidak memberikan dukungan baik secara fisik
maupun psikologis maka penderita kusta tidak akan dapat menjalani
pengobatannya hingga tuntas ( Sartika, D. L.2013).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar dari morbus hansen ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada morbus hansen ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami konsep beserta asuhan keperawatan
pada pasien morbus hensen
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar morbus hansen
b. Untuk mengetahui dan memahami konsep teori asuhan keperawatan
pada pasien morbus hansen
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai konsep asuhan
keperawatan pada pasien morbus hensen serta meningkatkan keterampilan

2
2. Bagi Pembaca
Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai konsep asuhan
keperawatan pada pasien morbus hensen
3. Bagi FKK
Bahan pembelajaran bagi perawat dalam meningkatkan pengetahuan serta
pelayanan keperawatan mengenai materi konsep asuhan keperawatan pada
pasien morbus hensen.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Kusta
1. Definisi Kusta
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah
penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae,
pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-
organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2013).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa
(mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata,
otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2014).
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan
oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang
syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian
menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat. Penyakit yang
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan
oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang
syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian atas kemudian
menyerang organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Mansjoer Arif,
2010).
2. Etiologi Kusta
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang
bersifat obligat intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ
lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae
12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman
penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH

4
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam
berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron.
Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur
dalam media buatan.Penularan kusta memlalui kontak kulit yang lama dan
erat dengan penderita.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh
maupun yang tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk
antibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang mengendap dalam
vaskuler. Reaksi tipe – 2 yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul –
nodul eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau
lebih dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya
reaksi kusta antara lain : setelah pengobatan antikusta yang intensif,
infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik. Adapun faktor – faktor yang
mempengaruhi :
a. Faktor Agent
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara
morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel
dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora,
dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes,
2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar
pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial,
waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh
manusia (dalam kondisis tropis) kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam Leprosy
Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C
( Depkes, 2005). M. leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari,

5
sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup
46 hari, ada lima sifat khas :
1) M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan dimedia buatan

2) Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.

3) M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang


mengoksidasi D-Dopa (D- Dihydroxyphenylalanin).

4) M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang


menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.

5) Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen


antigenik yang Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu
uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada
penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

b. Faktor Host
1) Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
2) Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
3) Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
c. Faktor Environment
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya
kondisi kesehatan lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin,
diduga menjadi sarang yang nyaman untuk berkembangnya kuman
kusta.
3. Manifestasi Klinis
Berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan
imonologik menjadi 5 kelompok yaitu:
a. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)
Lesi berupa makula hipopigmentasi dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu
atau beberapa. Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian
tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan,

6
permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya
dapat disertai penebalan saraf perifer, kelemahan otot dan sedikit rasa
gatal. Jumlah biasanya yang satu denga yang besar bervariasi. Gejala
berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi
kelenjar keringat. BTA (-) dan uji lepramin (+) kuat. Infiltrasi
Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
b. Tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit
dipinggirnya dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah,
gangguan sensibilitas ( + ), tetapi gambaran hipopigmentasi dan
gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik,
jika terletak didekat saraf perifer menebal.
c. Tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi
dapat berbentuk macula infiltrat, permukaannya dapat mengkilat, batas
kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk,
ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punched out
yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri
khas tipe ini.
d. Tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walau masih kecil papul dan nodus lebih tegas dengan
distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda khas seperti kerusakan
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe Lepromatous (LL). Lesi berupa infiltrat eritematosa dalam
jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan
sensibilitas sedikit atau tidak ada, BTA (+) banyak, uji Lepromin (-).
e. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).

7
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,
mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi
dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga, dibadan mengenai bagian belakang yang
dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai
bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,
cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas
hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi
testis.
4. Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan
dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah
armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa
tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta,
dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian
dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.
Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada
setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut
dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel
melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di
epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah dugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya

8
mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Menurut
Shepard, jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa
antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa
sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung
dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10 juta organisme per hari.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi
minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus
kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30
tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang
yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke
daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi
rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

9
5. Pathway
Mycobacterium Leprae

Droplet infection atau kontak dg kulit

Masuk dlm pem.darah dermis & sel saraf schwan

System imun seluler meningkat

fagositosis

Pembentukan tuberkel

Morbus Hansen (kusta)

Pause Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

G3 saraf tepi

Saraf motor Saraf otonom Saraf sensorik

Kelemahan otot
fibrosis
G3 kelenjar minyak &
Intoleransi aktivitas aliran darah

Penebalan saraf
Kulit kering, bersisik, macula
seluruh tubuh Tindakan pembedahan

Terjadi trauma/cedera
sekresi histamin G3 fungsi barrier kulit
Terjadi luka

Respon gatal Kerusakan integritas Merangsang mediator


G3 citra tubuh
kulit inflamasi

digaruk
Sekresi mediator
nyeri nyeri
Resiko penyebaran infeksi

10
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan
paling infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan
telinga. Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai
didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat
sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan
tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
b. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang
hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul
infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif.
c. Pemeriksaan Kulit
1) Persiapan
a) Tempat
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar
rumah tidak boleh langsung dibawah sinar matahari.
b) Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan
pencrangan sinar matahari).
c) Yang diperiksa
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya
tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana
pendek, sedangkan orang dewasa (laki-laki dan wanita) memakai
kain sarung tanpa baju.
2) Pelaksanaan Pemeriksaan
a) Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa
rasa raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi
secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang
diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih
dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh

11
bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit
yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan menghitung
sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan
dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa
secara bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk
mengetahui ada tidaknya anaesthesi.
b) Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
Pemeriksaan syaraf: Raba dengan teliti urut syaraf tepi
berikut nauricularis magnus, n ularis, n.radialis, n.medianus
n.peroneus, dan n.tibialis posterior. Petugas harus mencatat
apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan menebal atau
tidak. la harus memperhatikan raut muka penderita apakah ia
kesakitan atau tidak pada waktu syaraf diraba
c) Pemeriksaan Pandang
Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta
maka catatlah kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu
penderita, sesuai tandatanda, jumlahnya, besarnya, dan
letaknya.
3) Tahap Pemeriksaan
a) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan
dengan petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri,
pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut,
dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk
memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua
kelainan kulit diperhatikan.
b) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak
tangan menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan
telapak tangan menghadap keatas). telapak tangan, lengan
bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri

12
dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang
satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu
memeriksa dada dan perut).
c) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam
dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari
bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang sama
d) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas
dan pemeriksaan dimulai lagi dari titik awal.
e) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher punggung,
pantat tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan
setiap bercak (makula), bintil- bintil (nodulus) jaringan parut,
kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit. Bilamana
meragukan, putarlah penderita pelan pelan dan periksa pada
jarak kira-kira ½ meter.
d. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi
hasil pengobatan.Penilaian dilakukan menurut skala logaritma
RIDLEY sebagai berikut:
1) bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
2) bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
3) bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
4) bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5) bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6) bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7) bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7. Komplikasi
a. Kerusakan tersering timbul pada tangan.
b. Trauma dan infeksi kronik skunder dapat menyebabkan hilangnya jari-
jemari atau ekstremitas bagian distal.
c. Sering menyebabkan kebutaan
d. Hilangnya hidung pada kasus LL

13
8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
1) Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena
berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga
penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan
penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum
menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan
penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan
masyarakat
2) Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer
penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari
hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa
pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian
dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak
80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena penelitian beberapa negara
memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut
b. Pencegahan Sekunder
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta
terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain

14
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini
penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan
reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.Upaya
pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
d. Rehabilitasi Kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan
penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu
kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan
integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas
hidup yang lebih baik . Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan
untuk mencegah terjadinya kontraktur.
2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila
gerakan normal terbatas pada tangan.
5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita
cacat.
9. Penatalaksanaan
Terapi Medik.Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program

15
Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO sebagai berikut:
a. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100
mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release
From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
b. Tipe MB (Multi Basiler)
1) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin
300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari
diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan
RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
2) Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln,
Harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-
15mg/Kg BB.

16
c. Pengobatan MDT Terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg
dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
d. Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya
2.2 Jurnal
1. Ulasan Jurnal 1
Judul : Hubungan Dukungan Keluarga Dan Pengetahuan
Terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta Di Puskesmas
Grati Tahun 2016.
Penulis : Alif Farkhanan & Nur Laili
Tahun : 2016
Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Pembahasan Jurnal
a. Latar Belakang
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang
menyerang kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi
microbacterium leprae. Kusta berasal dari bahasa sansekerta yaitu
Kusta yang artinya kumpulan gejala penyakit kulit secara umum
(Kemenkes RI, 2015). Kecacatan yang dialami oleh penderita kusta
menyebabkan berbagai macam dampak sosial maupun psikologis.
Dampak sosial yang dialami diantaranya adalah penderita tidak dapat
melakukan fungsi sosial dalam masyarakat, terisolasi dari pergaulan

17
dalam keluarga maupun masyarakat sekitar serta dalam segi psikologis
akan menurunkan harga diri penderita akibat kecacatan yang
ditimbulkan. Menurut Kemenkes Republik Indonesia (2014) terdapat
14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta tinggi, salah satu
diantaranya adalah Provinsi Jawa Timur dengan Crude Death Rate
(CDR) 10,68 yang artinya pada 100.000 penduduk terdapat lebih dari
10 orang penderita kusta. Grati merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Pasuruan dengan angka kusta tertinggi kedua di Kabupaten
Pasuruan dengan prevalensi sebesar 5,56 per 10.000 penduduk (Dinas
Kesehatan Kabupaten Pasuruan, 2016). Tingginya angka kecacatan
serta dampak yang ditimbulkan oleh kecacatan maka perlu adanya
upaya pencegahan yang adekuat. Upaya pencegahan tidak cukup hanya
dengan pengobatan Multi Drug Theraphy (MTD) saja karena
pengobatan hanya dapat membunuh kuman kusta, namun kecacatan
yang dialami oleh penderita kusta akan terus ada seumur hidup. Upaya
yang dapat dilakukan untuk pencegahan bertambah parahnya
kecacatan yang diderita oleh penderita kusta yaitu dengan melakukan
perawatan diri.
b. Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan disain studi cross
sectional. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Grati,
Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan pada bulan Desember 2016.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang
tercatat pada register di Puskesmas Grati pada tahun 2014 hingga 2016
yang masih memerlukan perawatan diri yaitu sebanyak 52 orang.
Besar sampel dalam populasi ini dihitung dengan menggunakan rumus
Lameshow (1997), dan didapatkan sampel sebesar 46 orang. Teknik
pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Langkah pertama pengambilan sampel yaitu mendaftar nama seluruh
populasi yang telah ditetapkan yaitu sebanyak 52 orang. Selanjutnya
membuat tabel random untuk menentukan sampel, dari tabel random
tersebut didapatkan sampel yang dibutuhkan sesuai perhitungan yang

18
dilakukan yaitu sebanyak 46 orang. Variabel tergantung dalam
penelitian ini adalah perawatan diri penderita kusta. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga serta pengetahuan
penderita kusta. Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya
menggunakan data primer yang diambil dengan metode wawancara
dengan panduan kuesioner yang dilakukan secara door to door.
Kuesioner terdiri dari 5 kelompok pertanyaan yaitu mengenai
karakteristik atau data umum responden, akses pelayanan kesehatan,
dukungan keluarga yang terdiri dari 4 komponen dukungan yaitu
dukungan pengharapan, dukungan nyata, dukungan informasi dan
dukungan emosional, pertanyaan terakhir mengenai perawatan diri
penderita kusta. Masing-masing pertanyaan diberi bobot nilai yang
kemudian total skor dikategorikan. Data yang telah diperoleh diolah
menggunakan program Ecxel dan SPSS dan disajikan dalam bentuk
tabel dan narasi. Analisis data yang dilakukan terdiri dari dua analisis
yaitu analisis univariate untuk mengetahui distribusi frekwensi
karakteristik responden, akses pelayanan kesehatan, dukungan
keluarga dan pengetahuan. Analisi yang kedua yaitu analisis bivariate
menggunakan uji korelasi pearson untuk mengetahui hubungan antara
variable bebas dan tergantung.
c. Hasil
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usia responden terbanyak
berada pada rentang 46–55 tahun yang merupakan kategori kelompok
usia lansia awal. Saat menginjak usia lansia tubuh akan mengalami
prosen penuaan di mana pada proses ini jaringan akan sedikit demi
sedikit kehilangan kemampuannya untuk meregenerasi diri dan
mempertahankan fungsi normal jaringan sehingga rentan terhadap
infeksi penyakit dan sedikit-demi sedikit kehilangan fungsinya untuk
memperbaiki kerusakan pada jaringan (Keliat, 2011). Hal ini tidak
sejalan dengan Depkes RI (2007) yang menyatakan bahwa penyakit
kusta bisa menyerang semua kelompok umur, dengan penderita
terbanyak kelompok usia produktif. Perbedaan ini terjadi karena

19
responden yang diambil adalah penderita kusta yang masih
memerlukan perawatan diri, bukan penderita kusta secara keseluruhan.
Pada usia produktif fungsi jaringan untuk memperbaiki diri cenderung
lebih baik daripada lansia. Oleh karena itu kelompok usia lansia masih
memerlukan perawatan diri. penyakit kusta dapat menyerang siapa saja
baik laki-laki maupun perempuan. Tamsuri (2010) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
pencegahan penyakit kusta dengan p value 0,00 dan koefisien korelasi
0,616. Komponen dukungan keluarga dalam penelitian ini meliputi
dukungan. Pengharapan, dukungan nyata, dukungan Informasional dan
dukungan emosional. Berdasarkan hasil penelitian tentang dukungan
keluarga diketahui bahwa sebagian besar dukungan keluarga
responden kurang. Dukungan keluarga responden apabila dilihat dari
ke empat komponen dukungan keluarga diketahui bahwa dukungan
informasi responden merupakan komponen dukungan yang memiliki
persentase dengan kategori kurang yang paling tinggi dibandingkan
komponen dukungan lainnya.
d. Simpulan
Penelitian ini adalah sebagian besar responden adalah kelompok umur
lansia awal dengan persentase sebesar 34,8%, responden berdasarkan
jenis kelamin memiliki proporsi yang hampir sama antar laki-laki dan
perempuan. Sebagian besar responden tidak pernah mengenyam
bangku sekolah yaitu sebesar 63%, sebagian besar responden bermata
pencaharian sebagai buruh tani dengan persentase sebesar 47,8%,
pendapatan keluarga responden sebagian besar > UMR kabupaten
pasuruan yaitu sebesar Rp 3.037.500,00 dengan persentase sebesar
97,8%, sebagian besar responden adalah penderita kusta jenis MB
dengan persentase sebesar 93,5%, sebagian besar responden memiliki
kartu jaminan kesehatan dan dipergunakan yaitu dengan persentase
sebesar 69,6%, sebagian besar responden tidak mengikuti kelompok
perawatan diri dengan persentase 54,5%, sebagian besar responden
memiliki dukungan keluarga yang kurang dengan persentase 45,6%.

20
Komponen dukungan keluarga yang paling rendah yaitu pada
komponen dukungan informasi, tingkat pengetahuan responden
sebagian besar adalah kurang dengan persentase sebesar 56,5%,
perawatan diri responden sebagian besar kurang yaitu sebesar 63%.
Terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan diri
penderita kusta dengan p value 0,00 < 0,05 dengan tingkat
kepercayaan 95% dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,690 yang
artinya terdapat hubungan yang kuat. Terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan perawatan diri penderita kusta dengan p value
0,00 <0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% dan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,691 yang artinya terdapat hubungan yang kuat
antara pengetahuan dan perawatan diri. Saran yang dapat diberikan
kepada dinas kesehatan Kabupaten Pasuruan yaitu meningkatkan
media penyuluhan ke puskesmas, meningkatkan advokasi untuk
membentuk kelompok perawatan diri baru. Bagi Puskesmas Grati
hendaknya melakukan sosialisasi tentang manfaat keikutsertaan
kelompok perawatan diri dan melakukan penyuluhan tentang dampak
penyakit kusta serta perawatan diri yang tepat. Bagi penderita kusta
diharapkan ikut dalam kelompok perawatan diri. Bagi peneliti
selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan reverensi
untuk menggembangkan penelitian tentang faktor lain yang
berhubungan dengan perawatan diri kusta.
e. Kata Kunci : perawatan diri kusta, dukungan keluarga, pengetahuan.
2. Ulasan Jurnal II
Judul : Upaya Penderita Kusta dalam Mencegah Peningkatan
Derajat Kecacatan (leprosy patients’ efforts to prevent the
increasing degrees of disability)
Penulis : Arif Mulyadi, Tri Cahyo Sepdianto, Eva Mitayasari
Tahun : 2017

21
Pembahasan Jurnal
a. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan penyakit kronis disebabkan oleh
Microbacterium Leprae yang terutama menyerang kulit dan saraf tepi
(fungsi sensoris,motoris,dan otonom). Daya tahan hidup kuman kusta
mencapai 7 hari diluar tubuh manusia dengan suhu yang bervariasi dan
46 hari pada suhu kamar. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2-5
tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun
(Kemenkes RI, 2015) Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan
dan ditakuti oleh karena adanya ulserasi mutilasi,dan deformitas yang
disebabkannya sehingga menimbulkan masalah sosial,psikologis,dan
ekonomis. Penyakit kusta terdiri dari dua tipe yaitu Paucibasillary (PB)
dan Multibacillary (MB). Sumber penularan penyakit kusta adalah
penderita kusta tipe MB. Penyakit kusta ditularkan melalui kontak
langsung melalui kulit dan saluran pernapasan secara berulang-ulang
dan dalam jangka waktu yang lama (Konsasih, 2001)
b. Metode
Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan populasi seluruh
penderita kusta yang mengikuti Kelompok Perawatan Diri (KPD).
Jumlah sampel sebanyak 26 orang diambil dengan teknik sampling
jenuh. Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner dan observasi.
c. Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan penderita
kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta meliputi
42.3% kategori baik, 50% kategori cukup, dan sisanya 7.7% dalam
kategori kurang. Upaya pencegahan kecacatan akibat kusta yang
kurang dilakukan adalah senam kaki maupun jari tangan untuk
mencegah kekakuan pada bagian tersebut. Rekomendasi penelitian ini
diharapkan peran Puskesmas dan tenaga kesehatan untuk
meningkatkan dukungan dan motivasi kepada penderita kusta dalam
melakukan upaya pencegahan derajat kecacatannya.

22
d. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian,dapat disimpulkan bahwa upaya penderita
kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta sebesar
50% dalam kategori cukup
e. Kata Kunci
Upaya, Kusta, Kecacatan

23
BAB 3
APLIKASI TEORI
3.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata Klien dan Penanggung Jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal
dirawat, nomer RM. Penyakit kusta berisiko menyerang pada orang
orang yang malnutrisi. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada
kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri
tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
dan gangguan perabaan (mati rasa pada daerah yang lesi)
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan morbus hansen yang datang ke pihak pelayan
kesehatan biasanya datang dengan demam dan mati rasa, karena
masa inkubasi M. Lepra bisa sampai 5 tahun atau lebih, maka klien
dan keluarga tidak menyadari jika tengah menderita morbus
hansen.
3) Riwayat Penyakit Terdahulu
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan
kulit misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang
tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang
kurang baik. Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah
terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah
mendapat imunisasi.

24
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi anggota keluarga ada
yang mempunyai penyakit morbus hansen maka akan
memperbesar kemungkinan untuk tertular penyakit yang sama.
c. Pola aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
1) Pola Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian
besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik
diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
2) Pola Spiritual
Umumnya, klien dengan diagnosa morbus hansen mengalami
gangguan pemenuhan kebutuhan spiritual terlebih kegiatan
keagamaan yang dilakukan bersama dengan masyarakat umum,
karena klien merasa malu dan minder.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan lemah karena
adanya gangguan saraf tepi motorik bisaanya dilakukan dengan
tes GCS (Glasscow Comma Scale).
b) Tanda – Tanda Vital
Pengukuran tanda-tanda vial klien yang meliputi :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 75 kali/detik
Pernafasan : 18 kali/detik
Suhu : 360C
c) Sistem Kardiovaskular

25
Selama tidak ditemui indikasi terganggunya sistem
kardiovaskuler, maka klien dengan diagnosa morbus hansen
tidak mengalami masalah.
d) Sistem Respirasi
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
e) Sistem Gastrointestinal
Umumnya klien dengan diagnosa morbus hansen tidak
mengalami keluhan pada sistem pencernaannya
f) Sistem Urinaria
Seperti halnya sistem pencernaan, morbus hansen juga tidak
menimbulkan gangguan pada sistem perkemihan klien.
g) Sistem Muskuloskletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi.
h) Sistem Reproduksi
Jika morbus hansen menyerang daerah testis (pria), maka
umumnya klien mengalami penurunan sensitifitas seksual,
selain itu juga menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan
seksual klien morbus hansen.
i) Sistem Neurosensori

(1) Kerusakan Fungsi Sensorik.


Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada
alis mata maka alis mata akan rontok.
(2) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi

26
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
(3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, tebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
j) Sistem Endokrin
Umunya tirjadi hipopigmentasi pada kulit klien morbus hansen
karena terganggunya prroduksi hormon pigmentasi.
k) Sistem Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

d. Pemeriksaan Penunjang
Data dari hasil pemeriksaan laboratorium yang diperoleh dengan
metode pemeriksaan bakterioskopik, test Mitsuda dan Indeks Bakteri
(IB).

2. Diagnosa
a. Kerusakan integritas kulit
b. Resiko cidera
c. Intoleransi aktivitas
d. Gangguan rasa nyaman
e. Gangguan konsep diri ( citra diri )
f. Kurang Personal hygine

27
g. Kurang pengetahuan
h. Nyeri kronis
i. Isolasi sosial
j. Ansietas

28
3. Intervensi
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Kerusakan integritas Jaringan (0004) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Domain 2 : Fisiologi kompleks
keperawatan selama 1x24 jam diharapkan Kelas H : manajemen obat - obatan
Domain 2 : kemanan / perlindungan kerusakan integritas jaringan dapat teratasi Intervensi
Kelas 2 : cidera fisik dengan kriteria hasil sebagai beriku :
Domain 2 : kesehatan fisiologi
Batasan karakteristik : Kelas L : integritas jaringan
a. Kerusakan integritas kulit Outcomes :
b. Benda asing menusuk permukaan 1101 Integritas jaringan : kulit dan 2380 Manajemen Obat
kulit membran mukosa
1. 110113 integritas kulit dari skala 3 1. Tentukan obat apa yang
Faktor yang berhubungan : (cukup terganggu) menjadi skala 4 diperlukan, dan kelola menurut
a. Hipertermia (sedikit terganggu). resep dan protokol
b. Faktor mekanik 2. 110109 Ketebalan dari skala 3
c. Hipotermia (cukup terganggu) menjadi skala 4 2. Monitor efek samping obat
d. Kelembapan (sedikit terganggu) 3. Fasilitasi perubahan pengobatan
3. 110103 Elastisitas dari skala 3 dengan dokter
(cukup terganggu) menjadi skala 4
(sedikit terganggu)
Ansietas Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Domain 3 : Perilaku
Domain 9 : Koping/Toleransi Strees keperawatan selama 1x24 jam diharapkan Kelas T : peningkatan kenyamanan
Kelas 2 Respon Koping ansietas dapat teratasi dengan kriteria hasil psikologis
Batasan Karakteristik sebagai berikut Intervensi :
1. Mengekspresikan kekhawatiran Domain V: Kondisi Kesehatan yang 5820 Pengurangan Kecemasan
karena perubahan dalam peristiwa Dirasakan 1. Gunakan pendekatan yang senang
hidup. Kelas E: Kepuasan mengenai dan menyenangkan
2. Penurunan Produktivitas keperawatan 2. Berikan informasi faktual terkait

29
3. Gelisah Outcomes : diagnosis, perawatan prognosis
4. Gugup 3009 Kepuasan Klien: Perawatan 3. Dorong keluarga untuk
5. Ketakutan Psikologis mendampingi klien dengan cara
Faktor Yang Berhubungan : 1. 300901 Informasi diberikan yang tepat
1. Hubungan Interpersonal tentang perjalanan penyakit dari 4. Kaji untuk tanda verbal dan non
2. Kebutuhan yang tidak dipenuhi skala 1 (tidak puas) menjadi 3 verbal kecemasan.
3. Penularan interpersonal (cukup puas) 5. Berikan aktivitas pengganti yang
4. Perubahan besar (misalnya, status 2. 300902 Informasi diberikan bertujuan untuk mengurangi
ekonomi, lingkungan, status mengenai perbaikan yang tekanan.
kesehatan, Fungsi Peran, Status diharapkan dari skala 1 (tidak
Peran) puas) menjadi 4(sangat puas)
3. 300917Informasi diberikan
mengenai respon emosional yang
biasa terhadap penyakit dari skala
1 (agak puas) menjadi 4 (sangat
puas)
4. 300916 Dukungan untuk
menyesuaikan diri dengan
perubahan fungsi 2(agak puas)
menjadi 4 (sangat puas)

30
4. Implementasi
Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Implementasi merupakan tahap proses
keperawatan dimana perawat memberikan intervensi keperawatan
langsung dan tidak langsung terhadap klien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan intervensi keperawatan telah berhasil
memungkinkan kondisi klien. Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam
proses keperawtan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan
dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.

31
BAB 4
PEMBAHASAN
Contoh Kasus:
Tn. H datang ke IGD rumah sakit jemur sari surabaya, dengan keluhan terdapat
bercak putih pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal atau
nyeri. Gatal pada bercak dirasakan hilang timbul secara tidak menentu. Gatal
dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh keluarnya keringat. Pasien mengatakan
tidak terdapat kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, maupun kakinya. Pasien
sudah berobat ke Puskesmas, dan diberikan bedak dan obat tablet, tetapi kelainan
kulit yang dialami pasien tidak membaik meskipun sudah meminum obatnya.
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami kelainan kulit seperti ini.

32
4.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Alamat : Pisangan Lama
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : pelajar SMP
Tanggal masuk RS : 2 Mei 2013
2. Keluhan Utama
Gatal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung yang semakin
meluas sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan sejak bulan Desember 2017, ia merasakan terdapat
bercak putih pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal
atau pun nyeri. Kemudian, sekitar bulan Februari 2019 pasien menyadari
bercak tersebut menjadi meluas dan juga timbul pada punggung. Lama-
kelamaan, bercak putih tersebut disertai kemerahan di sekitarnya dan
terasa baal, serta terkadang disertai gatal. Gatal pada bercak dirasakan
pasien muncul dan hilang tiba-tiba secara tidak menentu, tetapi dengan
intensitas ringan. Gatal dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh keluarnya
keringat. Pasien mengatakan tidak terdapat kelemahan pada lengan,
tangan, tungkai, maupun kakinya. Pasien sudah berobat ke Puskesmas, dan
diberikan bedak dan obat tablet, tetapi kelainan kulit yang dialami pasien
tidak membaik meskipun sudah meminum obatnya. Pasien sebelumnya
belum pernah mengalami kelainan kulit seperti ini.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
5. Status Generalisis
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak tidak sakit
Jantung : tidak diperiksa

33
Paru : tidak diperiksa
Abdomen : tidak diperiksa
Ekstremitas : tidak ada edema, tidak ada deformitas,akral hangat
KGB : tidak ada pembesaran KGB
6. Status Neurologis
a. GCS : 15 (E4M6V5)
b. Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
c.Kekuatan motorik : 5555 5555
5555 5555
d. Refleks fisiologis: +2 +2

+2 +2
e. Pemeriksaan saraf perifer:
1) Nervus aurikularis magnus : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
2) Nervus ulnaris : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
3) Nervus poplitea lateralis : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
4) Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
f. Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di perut, dada, dan
punggung.
7. Status Dermatologis
Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan
eritematosa pada tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan
oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret. Pada regio
punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa,
multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval,
berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.

34
8. Pemeriksaan Laboratorium
Bakterioskopik
a. Indeks Bakteri : 11/5
b. Indeks Morfologi : 5/500 x 100% = 1,0%
Diagnosis: MH – BL
4.2 Diagnosa
a. Gangguan Rasa nyaman
b. Kerusakan Integritas Kulit

35
4.3 Intervensi
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Gangguan Rasa Nyaman (00214) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Domain 3 : Perilaku
Domain 12 : Kenyamanan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan Kelas T : peningkatan kenyamanan
Kelas 1 : kenyamanan fisik gangguan rasa nyaman dapat teratasi denganpsikologis
kriteria hasil sebagai berikut : Intervensi
Batasan Karakteristik Domain 5 : kondisi kesehatan yang 5820 Pengurangan Kecemasan
a. Ansietas dirasakan a. Gunakan pendekatan yang tenang
b. Gelisah Kelas U : kesehatan dan kualitas hidup dan menyakinkan
c. Gatal Outcomes : b. Berada disisi pasien untuk
d. Gangguan pola tidur 2008 Status Kenyamanan meningkatkan rasa nyaman dan
aman untuk mengurangi
a. 200801 Kesejahteraaan fisik dari ketakutan
skala 3 (cukup terganggu) menjadi c. Dorong aktivitas yang tidak
skala 4 (sedikit terganggu) kompetitif secara tepat
b. 200802 Kontrol terhadap gejala dari
skala 3 (cukup terganggu) menjadi
skala 4 (sedikit terganggu)
c. 200808 Hubungan sosial dari skala 3
(cukup terganggu) menjadi skala 4
(sedikit terganggu)

Kerusakan integritas kulit Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Domain 2 : fisiologis kompleks

36
Domain 2 : kemanan / perlindungan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan Kelas L : manajemen kulit atau luka
Kelas 2 : cidera fisik kerusakan integritas jaringan dapat teratasi Intervensi
dengan kriteria hasil sebagai beriku : 3500 Manajemen tekanan
Batasan karakteristik : Domain 2 : kesehatan fisiologi a. Anjurkan klien untuk memakai
a. Kerusakan integritas kulit Kelas L : integritas jaringan pakaian yang longgar
b. Benda asing menusuk permukaan kulit Outcomes : b. Jaga kebersihan kulit agara tetap
1101 Integritas Jaringan: kulit dan membran bersih dan kering
Faktor yang berhubungan : mukosa c. Monitor kulit adanya kemerahan
a. Kelembapan 1. 110113 integritas kulit dari skala 3
b. Gangguan metabolisme (cukup terganggu) menjadi skala 4
c. Gangguan turgor kulit (sedikit terganggu).
d. Gangguan pigmentasi
2. 110109 Ketebalan dari skala 3
(cukup terganggu) menjadi skala 4
(sedikit terganggu)
3. 110103 Elastisitas dari skala 3
(cukup terganggu) menjadi skala 4
(sedikit terganggu)

37
4.4 Implementasi
No Tanggal Jam Implementasi Tanda
. Tangan
1. 23-02-2019 08.00 - Menjelaskan kepada pasien bagaimana memberikan obat
dengan 5B
- Perawat memberikan resep sesuai advis dokter

15.00 - Mengatasi kenyamanan pada pasien


21.00 - Memberikan solusi tentang aktivitas sehari-hari
2 23-02-2019 08.00 - Perawat membina hubungn saling percaya dengan pasien
- Jelaskan kepada pasien mengenai rasa tidak nyaman sehingga
pasien dapat rileks
- Menganjurkan pasien tetap beraktivitas sesuai kemampuan
3 23-02-2019 08.00 - Pakaian yang longgar membuat pasien menjadi nyaman
- Mempertahankan kulit pasien tetap kering
- Kulit yang lembab akan menyebabkan penyakit tersebut lama
untuk sembuh

38
4.5 Evaluasi
No. Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Paraf
1. 23-02-2019 08.00 1. Menjelaskan kepada S : pasien mengatakan sudah merasa
pasien bagaimana nyaman dan pasien memahami tentang
memberikan obat dengan pemberian obat yang akan diminum.
O: keadaan pasien sudah lebih baik dari
5B
sebelumnya
2. Perawat memberikan resep
10.00 TD : 110/70 mmHg
sesuai advis dokter N : 75x/menit
13.00 RR : 18x/menit
3. Mengatasi kenyamanan S : 36 ˚C
pada pasien A : Masalah sudah teratasi sebagian
4. Memberikan solusi P : Intervensi dilanjutkan pada tindakan
tentang aktivitas sehari- memberikan kenyamanan secara bertahap.
hari
2. 23-02-2019 08.00 1. Perawat membina S : Pasien mengatakan tetap beraktifitas
hubungn saling percaya meskipun merasa gangguan raa nyaman
dengan pasien O : Keadaan pasien sudah mulai membaik
2. Jelaskan kepada pasien A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan pada tindakan
mengenai rasa tidak
mengenai rasa tidak nyaman sehingga
nyaman sehingga pasien pasien dapat merasakan rileks.
dapat rileks
3. Menganjurkan pasien tetap
beraktivitas sesuai
kemampuan
3. 23-02-2019 08.00 1. Pakaian yang longgar S : Pasien mengatakan kulitnya sedikit
membuat pasien menjadi kering

39
nyaman O : Keadaan pasien sudah lebih baik
2. Mempertahankan kulit A : Masalah sudah teratasi sebagian
pasien tetap kering P : Intervensi dilanjutkan pada tindakan
3. Kulit yang lembab akan mempertahankan kulit pasien
menyebabkan penyakit
tersebut lama untuk
sembuh

40
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit
infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali
menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2013).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran
pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis (Amirudin.M.D, 2014)
5.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah
diatas dengan sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah dijelaskan.

41
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin.M.D, 2014, Penyakit menular , Jakarta : fakultas kedokteran universitas
indonesia
Kafiludin, 2010, Ilmu penyakit kulit dan kelamin, Yogyakarta : Hipokrates
Mansjoer, Arif, (2010), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III,
mediaAeuscualpius, Jakarta.
Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:
EGC
Swanson. Elizabeth. 2013. Pengukuran Outcomes Kesehatan (NOC) Edisi
kelima.Jakarta: MOCOMEDIA
Swanson. Elizabeth. 2013. Pengukuran Intervension Kesehatan (NIC) Edisi
kelima.Jakarta: MOCOMEDIA

42

Anda mungkin juga menyukai