OLEH :
S1-VII B
2019
PENDAHULUAN
Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam tubuh disertai dengan kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal dan dapat menimbulkan berbagai kompilkasi kronik. Diabetes melitus
juga merupakan penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer et al., 2000). Menurut
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila
mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi diserta dengan gula darah
sewaktu ≥200 mg/dL dan gula darah puasa ≥126mg/dL. Diabetes melitus tidak dapat disembuhkan
melainkan dapat dikendalikan glukosa darahnya melalui diet, olahraga, dan obat – obatan. Untuk
dapat mencegah adanya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian Diabetes melitus yang baik
yang mempunyai sasaran dengan kriteria nilai yang baik diantaranya gula darah puasa 80 -
<100mg/dL, 2 jam sesudah makan 80 – 144 mg/dl, kolesterol total <200mg/dL, trigliserida
<155mg/Dl, IMT 18,5 – 22,9 kg/m², dan tekanan darah <130/80 mmHg (Perkeni, 2006).
Menurut Wicak (2009) gejala umum yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus dianataranya :
4) Berkeringan banyak
Glukosa yang tidak dapat terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui keringat sehingga
pada pasien diabetes melitus akan mudah berkeringat banyak.
5) Lesu
Pasien diabetes melitus akan mudah merasakan lesu. Hal ini disebabkan karena pada gukosa dalam
tubuh sudah banyak dibuang oleh tubuh melalui keringat atau urin, sehinggu tubuh merasa
lesu dan mudah lelah.
A. Obesitas
Menurut Gibney (2009), obesitas merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya
DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin
berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur
metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di
dalam darah juga dapat mengalami gangguan. Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah
menjadi bahan dasar dari makanan itu sendiri. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi
asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus
kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dimanfaatkan
oleh organ-organ sebagai bahan bakar. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, di dalam
sel zat makanan terutama glukosa harus dimetabolisme terlebih dahulu. Dalam proses
metabolisme itu insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel,
untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Suyono, 2011).
Pada keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap
oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel, kemudian membuka pintu masuk sel,
sehingga glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi. Akibatnya kadar
glukosa darah menjadi normal (Suyono, 2011). Hal ini berbeda pada keadaan obesitas, terjadi
peningkatan mRNA Lipopolysaccharides (LPS)-induced TNF-α factor (LITAF) dan kadar
protein seiring dengan peningkatan IMT mengindikasikan hubungan paralel antara LITAF
dan gangguan metabolik. Menurut penelitian tersebut, LITAF teraktivasi pada pasien
obesitas dan berperan terhadap perkembangan obesitas yang menginduksi inflamasi dan
resistensi insulin, berdasarkan fakta bahwa LITAF berperan dalam proses inflamasi dalam
mengatur ekspresi dari TNF-α, IL-6 dan MCP-1 yang mengakibatkan resistensi insulin, dan
TLR4. Salah satu reseptor LITAF pada makrofag juga bisa distimulasi oleh asam lemak
bebas yang dapat menimbulkan proses inflamasi pada pasien obesitas.LITAF merupakan
pengatur traskripsi TNF-α yang seharusnya berperan pada mekanisme imun terhadap infeksi.
Gen LITAF terletak pada 16p13.13 yang secara signifikan terdapat di limfa, kelenjar getah
bening, dan leukosit darah perifer. TNF-α adalah pemicu kuat adipositokinin proinflamasi
seperti IL-6, MCP-1, leptin dan PAI-1. Hal ini sangat terlibat dalam proses inflamasi pada
pasien obesitas. Peningkatan TNF-α yang diobservasi pada jaringan lemak pasien obesitas
menunjukkan hubungan langsung timbulnya resistensi insulin pada pasien obesitas.
Terjadinya resistensi insulin ini menyebabkan glukosa yang beredar di dalam darah tidak
mampu untuk masuk ke dalam sel, sehingga kadar gula di dalam darah menjadi lebih tinggi
dari normal (Suyono, 2011).Hiperglikemia pada penderita diabetes melitus juga berkaitan
erat dengan metabolisme lemak. Lemak yang memiliki tugas utama untuk menyimpan energi
dalam bentuk trigliserida melalui proses lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap
kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons terhadap
kekurangan energi. Pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat (Sudoyo
et al, 2009)
B. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM. Hubungannya
dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif
terhadap insulin (resisten insulin). Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan
glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat,
sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga
dapat mengalami gangguan. Pada pasien DM tipe 2, hipergilikemia sering dihubungkan
dengan hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang bersama-sama mengawali
terjadinya penyakit kardiovaskuler dan stroke. Pada DM tipe ini, kadar insulin yang
rendah merupakan prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya akan
mempengaruhi terjadinya hiperinsulinemia. Apabila hiperinsulinemia ini tidak cukup
kuat untuk mengkoreksi hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan sebagai DM tipe 2.
Kadar insulin berlebih tersebut menimbulkan peningkatan retensi natrium oleh tubulus
ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi. Lebih lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa
menyebabkan inisiasi aterosklerosis, yaitu dengan stimulasi proliferasi sel-sel endotel dan
sel-sel otot pembuluh darah (Masharani dan German, 2003).
C. Stres
Stres merupakan faktor yang berpengaruh penting bagi penyandang diabetes
peningkatan hormon stres diproduksi dapat menyebabkan Kadar Gula Darah menjadi
meningkat. Kondisi yang rileks dapat mengembalikan kotra-regulasi hormon stres dan
memungkinkan tubuh untuk menggunakan insulin lebih efektif. Pengaruh stres terhadap
peningkatan kadar gula darah terkait dengan sistem neuroendokrin yaitu melalui jalur
Hipotalamus-Pituitary-Adrenal.
D. Defisiensi Kalium
Pada diabetes, kalium sangat berguna untuk meningkatkan kepekaan insulin,
sehingga proses pengurasan gula dalam darah berlangsung efektif, kalium juga
menurunkan resiko hipertensi serta jantung pada penderita diabetes. Bagi penderita
diabetes dengan insulin, asupan insulin memerlukan kalium yang cukup. Kalium dapat
meningkatkankepekaan insulin sehingga proses pengurasan gula dalam darah
berlangsung efektif. Jika proses pengurasan gula dalam darah terganggu maka produksi
insulin akan meningkat. Sehubungan dengan banyaknya insulin maka kadar kalium juga
akan meningkat tetapi kalium tidak berfungsi dengan baik dan mengakibatkan
hiperkalemia (Indriani, 2013).
PENYAKIT YANG MENYEBABKAN PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH
A. Penyakit Addison
Penyakit Addison adalah gangguan yang melibatkan terganggunya fungsi dari
kelenjar korteks adrenal. Hal ini menyebabkan penurunan produksi dua penting bahan
kimia (hormon) biasanya dirilis oleh korteks adrenal: kortisol dan aldosteron (Liotta EA
et all 2010). Etiologi dari adrenal insufisiensi primer atau penyakit addison terus
mengalami perubahan sepanjang tahun. Prior 1920, tuberkulosis merupakan penyebab
utama adrenal insufisiensi. Sejak 1950, adrenal autoimun dengan adrenal atrofi dijumpai
pada sekitar 80% dari kasus (Liotta EA et all 2010). Kehilangan fungsi lebih dari 90%
pada kedua korteks andrenal menghasilkan manifestasi klinis insufisiensi adrenokortikal.
Destruksi dari glandula, seperti terdapat pada kondisi idiopatik dan kondisi invasif dari
suatu penyakit, hal ini menyebabkan terjadinya kronisitas dari adrenal
insufisiensi(Gardner DG et all 2007). Evaluasi pasien dengan penyakit Addison yang
diduga melibatkan diagnosis insufisiensi adrenal dan kemudian identifikasi defek pada
hipotalamus-hipofisis axis (Gardner DG et all 2007. Pengobatan insufisiensi adrenal
meliputi pergantian, substitusi hormon yang tidak diproduksi lagi oleh kelenjar adrenal.
B. Anoreksia Nervosa
Merupakan sebuah gangguan makan yang ditandai dengan kelaparan secara sukarela
dan stres dari melakukan latihan. AN merupakan sebuah penyakit kompleks yang
melibatkan komponen psikologikal, sosiologikal, dan fisiologikal, pada penderitanya
ditemukan peningkatan rasio enzim hati ALT dan GGT,[hingga disfungsi hati akut pada
tingkat lanjut. Anoreksia nervosa diartikan sebagai sebagai suatu gangguan makan yang
terutama menyerang wanita muda dan ditandai oleh penurunan berat badan yang ekstrim
dan disengaja oleh diri sendiri,. periode menstruasi yang tidak stabil pada wanita yang
telah puber
Tanda-tanda Anoreksia Nervosa: Berat badan turun secara drastic,Diet
berkelanjutan,Ketakutan bertambah berat badan atau menjadi gemuk, bahkan ketika berat
badannya dibawah rata rata,Gejala yang tidak semestinya pada bentuk/ berat badan dalam
eveluasi diri,Sibuk menghitung kalori makanan dan nutrisi,Lebih memilih makan
sendirian,Latihan berlebih,Rambut atau kuku pecah-pecah dan depresi. (Dona L wong,
2008).
OBAT YANG DAPAT MENAIKKAN KADAR GLUKOSA DARAH
A. Dekongestan
Dekongestan sendiri merupakan jenis obat flu untuk meredakan gejala hidung tersumbat
serta bersin-bersin. Biasanya golongan obat ini termasuk pseudoephedrine dan
phenylephrine.
Kedua obat ini memang tidak mengandung gula, tetapi bisa merangsang tubuh untuk
melepaskan gula ke dalam aliran darah. Karena itulah dekongestan dapat menyebabkan
kadar gula darah lebih tinggi dari biasanya.
B. Beta blocker
Golongan obat ini biasanya digunakan untuk menurunkan tekanan
darah, mengobati aritmia (detak jantung tidak teratur), hingga mengurangi kecemasan.
Sayangnya, obat ini dapat menghambat produksi dan kerja hormon insulin, yaitu hormon
yang bertugas untuk mengolah gula. Akibatnya glukosa dalam darah menjadi tidak
terkontrol.
D. Kortikosteroid
Obat-obatan ini digunakan sebagai antiradang dan dapat menyembuhkan nyeri
sendi, asma, dan alergi. Obat yang termasuk dalam golongan kortikosteroid dapat
merangsang produksi glukosa dalam tubuh. Selain itu, obat ini juga mencegah protein
pembawa glukosa dalam jaringan untuk mencapai membran sel. Padahal, di membran sel
inilah terjadi proses penghilangan glukosa dari darah.
Obat kortikosteroid yang diminum dan disuntikkan lebih berisiko meningkatkan
kadar gula darah dibandingkan dengan obat yang digunakan dalam inhaler atau dioleskan
sebagai krim kulit. Pasalnya, obat minum dan suntik memasuki aliran darah dalam
jumlah besar sehingga efeknya juga sangat besar.
E. Antipsikotik
Antipsikotik digunakan untuk mengobati berbagai penyakit mental berat, salah
satunya skizofrenia. Meskipun skizofrenia bukan penyakit umum yang diderita orang
dengan diabetes, di antara pengidap skizofrenia angka kejadian diabetes dan risikonya
mencapai 2-3 kali lipat lebih besar dari populasi umum. Hal ini biasanya dikaitkan
dengan riwayat keluarga, pola makan yang buruk, dan kurang olahraga. Bukti terbaru
juga menunjukkan bahwa beberapa obat yang digunakan untuk mengobati skizofrenia
dapat meningkatkan risiko diabetes.
A. Sulfonilurea
Sulfonilurea banyak digunakan untuk mengobati diabetes jenis NIDDM (diabetes
tidak tergantung insulin). Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta langerhans di pankreas. Cara kerjanya,
mengikat reseptor sulfonilurea (SUR1) di sel beta, sehingga memicu depolarisasi
membran sel beta dan mendorong sekresi insulin. Efek samping yang perlu diperhatikan
adalah kadar gula darah terlalu rendah (Anonim, 2002). Generasi pertama dari
sulfonilurea adalah tolbutamid dan khlorpropamid, generasi kedua adalah glibenklamid
dan gliklazid. Generasi ketiga (terbaru) adalah glimepiride.
B. Biguanida
Contoh dari kelompok obat-obatan biguanida adalah metformin. Obat ini sering
diresepkan pada pasien dengan obesitas yang refrakter hiperglikemia, disebabkan oleh
kerja insulin yang tidak efektif. Mekanisme kerja obat ini adalah menstimulasi glikolisis
secara langsung dalam jaringan dengan meningkatkan eliminasi glukosa dari darah,
menurunkan glukoneogenesis hati, melambatkan absorpsi glukosa dari saluran cerna
dengan meningkatkan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit, dan menurunkan
kadar glucagon plasma Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam, tidak terikat pada
protein plsma, tidak dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif.
C. Inhibitor alfa-glukosidase
Contoh dari kelompok inhibitor alfa-glukosidase adalah acarbose. Obat ini
merupakan penghambat kompetitif alfa-glukosidase usus, memodulasi pencernaan
postprandial dan absorpsi zat tepung serta disakarida. Mekanisme kerja hambatan enzim
adalah meminimalkan pencernaan pada usus bagian atas dan menunda pencernaan (dan
juga absorpsi) zat tepung dan sakarida yang masuk pada usus kecil bagian distal,
sehingga dapat menurunkan glikemik setelah makan sebanyak 45-69 mg/dl dan
menciptakan efek hemat-insulin. Sasaran afinitas kerja acarbose ini adalah sucrase,
maltase, glycoamylase, dextranase, dan isomaltase. Efek samping dari obat ini adalah
flatulansi, diare, rasa nyeri pada abdominal, meningkatkan gas di dalam perut.
D. Meglitinida
Obat golongan meglitinida dapat dikombinasikan dengan metformin yang
digunakan pada pengobatan diabetes NIDDM sebagai tambahan untuk penderita yang
hiperglikemiknya tidak dapat dikontrol secara memuaskan dengan diet dan olahraga.
E. Thiazolidinedione
Golongan obat thiazolidinedione dapat digunakan bersama sulfonilurea, insulin dan
metformin untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah.
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai komplikasi diabetes yang
disebabkan karena pengobatan yang kurang tepat. Pasien diabetes melitus pada umumnya
mengalami hiperglikemia (kelebihan glukosa dalam darah) namun karena kondisi
tersebut pasien diabetes melitus berusaha untuk menurunkan kelebihan glukosa
dengan memberikan suntik insulin secara berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu
sedikit dan aktivitas fisik yang berat sehingga mengakibatkan hipoglikemia.
2. Ketoasidosis diabetic
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi diabetes yang disebabkan karena
kelebihan kadar glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga
mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan
ketosis.
2. Komplikasi pembuluh darah besar ( makrovaskuer ) Komplikasi pada pembuluh darah besar (efek
makrovaskuler) pada pasien diabetes yaitu stroke dan risiko jantung koroner.
Penyakit jantung koroner Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien diabetes
melitus disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang
tidak disetai dengan nyeri dada atau disebut dengan SMI (silent myocardial
infarction). Risiko komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien diabetes mellitus
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hipertensi, hiperglikemia,
kadar kolesterol total, kadar kolestrol LDL (low density lipoprotein), kadar
kolesterol HDL (high density lipoprotein ), kadar trigliserida, merokok, dan adanya riwayat
keluarga.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. 2010. Brunner & suddarth's textbook
of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health; Lippincott Wiliams
& Wilkins
Suyono, S., 2011. Patofisiologi Diabetes Melitus dalam buku Penatalaksanaan Diabetes Terpadu
sebagai Panduan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus bagi dokter maupun edukator diabetes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.