I. Prinsip Sedimentasi
Pada dasarnya batubara termasuk ke dalam jenis batuan sedimen. Batuan sedimen terbentuk dari material atau partikel yang
terendapkan di dalam suatu cekungan dalam kondisi tertentu, dan mengalami kompaksi serta transformasi balk secara fisik,
kimia maupun biokimia. Pada saat pengendapannya material ini selalu membentuk perlapisan yang horizontal.
II. Skala Waktu Geologi
Proses sedimentasi, kompaksi, maupun transportasi yang dialami oleh material dasar pembentuk sedimen sehingga menjadi
batuan sedimen berjalan se lama jutaan tahun.
Kedua konsep tersebut merupakan bagian dari proses pembentukan batubara vang mencakup proses :
1. Pembusukan, yakni proses dimana tumbuhan mengalami tahap pembusukan (decay) akibat adanya aktifitas dari
bakteri anaerob. Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen dan menghancurkan bagian yang lunak dari
tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati.
2. Pengendapan, yakni proses dimana material halus hasil pembusukan terakumulasi dan mengendap membentuk
lapisan gambut. Proses ini biasanya terjadi pada lingkungan berair, misalnya rawa-rawa.
3. Dekomposisi, yaitu proses dimana lapisan gambut tersebut di atas akan mengalami perubahan berdasarkan proses
biokimia yang berakibat keluarnya air (H20) clan sebagian akan menghilang dalam bentuk karbondioksida (C02),
karbonmonoksida (CO), clan metana (CH4).
4. Geotektonik, dimana lapisan gambut yang ada akan terkompaksi oleh gaya tektonik dan kemudian pada fase
selanjutnya akan mengalami perlipatan dan patahan. _Selain itu gaya tektonik aktif dapat menimbulkan adanya
intrusi/terobosan magma, yang akan mengubah batubara low grade menjadi high grade. Dengan adanya tektonik
setting tertentu, maka zona batubara yang terbentuk dapat berubah dari lingkungan berair ke lingkungan darat.
5. Erosi, dimana lapisan batubara yang telah mengalami gaya tektonik berupa pengangkatan kemudian di erosi
sehingga permukaan batubara yang ada menjadi terkupas pada permukaannnya. Perlapisan batubara inilah yang
dieksploitasi pada saat ini.
2. Non Combustible Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat dibakar/dioksidasi
oleh oksigen. Material tersebut umumnya terediri dari aenvawa anorganik (Si02, A1203, Fe203, Ti02, Mn304, CaO, MgO,
Na20, K20, dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang kecil) yang akan membentuk abu/ash dalam batubara.
Kandungan non combustible material ini umumnya diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Pada proses pembentukan batubara/coalification, dengan bantuan faktor ti:ika dan kimia alam, selulosa yang berasal dari
tanaman akan mengalami pcruhahan menjadi lignit, subbituminus, bituminus, atau antrasit. Proses transformasi ini dapat
digambarkan dengan persamaan reaksi sebagai berikut
5(C6Hlo05) C20H2204 + 3CH4 + 8H,0 + 6C02 + CO
Selulosa lignit gas metan
6(C6H1005) C22H2003 + 5CH4 + 1OH20 + 8C02 + CO
Cellulose bituminous gas metan
Untuk proses coalification fase lanjut dengan waktu yang cukup lama atau dengan bantuan pemanasan, maka unsur senyawa
karbon padat yang terbentuk akan bertambah sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase ini hidrogen yang
terikat pada air yang terbentuk akan menjadi semakin sedikit.
V. Lingkungan Pengendapan Batubara
V.1. Interpretasi Lingkungan Pengendapan dari Litotipe dan Viikrolitotipe
Tosch (1960) dalam Bustin dkk. (1983), Teichmuller and Teichmuller (1968) dalam Murchissen (1968) berpendapat bahwa
litotipe dan mikrolitotipe batubara berhubungan erat dengan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan dari
masing-masing litotipe adalah sebagi berikut :
1. Vitrain dan Clarain, diendapkan di daerah pasang surut dimana terjadi perubahan muka air laut.
2. Fusain, diendapkan pada lingkungan dengan kecepatan pengendapan rendah, yaitu lingkungan air dangkal yang dekat
dengan daratan.
3. Durain, diendapkan dalam lingkungan yang lebih dalam lagi, diperkirakan lingkungan laut dangkal.
Sedangkan interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan mikrolitotipe adalah sebagai berikut :
1. Vitrit, berasal dari kayu-kayuan seperti batang, dahan, akar, yang menunjukkan lingkungan rawa berhutan.
2. Clarit, berasal dari tumbuhan yang mengandung serat kayu dan diperkirakan terbentuk pada lingkungan rawa
3. Durit, kaya akan jejak jejak akar dan spora, hal ini diperkirakan terbentuk pada lingkungan laut dangkal.
4. Trimaserit, yang kaya akan vitrinit terbentuk di lingkungan rawa, sedangkan yang kaya akan liptinit terbentuk di
lingkungan laut dangkal clan yang kaya akan inertinit terbentuk dekat daratan.
V.2 Lingkungan Pengendapan Batubara
Pembentukan batubara terjadi pada kondisi reduksi di daerah rawa-rawa lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk pada
lingkungan paralik. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, laguna, delta, dan fluviatil.
Di dataran pantai, pengendapan batubara terjadi pada rawa-rawa di lelakang pematang pasir pantai yang berasosiasi dengan
sistem laguna ke arah darat. Di daerah ini tidak berhubungan dengan laut terbuka sehingga efek oksidasi au laut tidak ada
sehingga menunjang pada pembentukan batubara di daerah rawa-rawa pantai.
Pada lingkungan delta, batubara terbentuk di backswamp clan delta plain. Se-dangkan di delta front dan prodelta tidak
terbentuk batubara disebabkan oleh adanya pengaruh air laut yang besar clan berada di bawah permulcaan air laut.
Pada lingkungan fluviatil terjadi pada rawa-rawa dataran banjir atau ,th.-alplain dan belakang tanggul alam atau natural levee
dari sistem sungai yang are-ander. Umumnya batubara di lingkungan ini berbentuk lensa-lensa karena membaii ke segala
arah mengikuti bentuk cekungan limpahnya.
1. Endapan Batubara Paralik
Lingkungan paralik terbagi ke dalam 3 sub lingkungan, yakni endapan lmuhara belakang pematang (back barrier), endapan
batubara delta, endapan Dwubara antar delta dan dataran pantai (Bustin, Cameron, Grieve, dan Kalkreuth,
Ketiganya mempunyai bentuk lapisan tersendiri, akan tetapi pada , wnumnya tipis-tipis, tidak menerus secara lateral,
mengandung kadar sulfur, abu dar. nitrogen yang tinggi.
2. Endapan Batubara Belakang Pematang (back barrier)
Batubara belakang pematang terakumulasi ke arah darat dari pulau-pulau pcmatang (barrier island) yang telah ada
sebelumnya dan terbentuk sebagai ai.:hat dari pengisian laguna. Kemudian terjadi proses pendangkalan cekungan antar
pulau-pulau bar sehingga material yang diendapkan pada umumnya tergolong ke dalam klastika halus seperti batulempung
sisipan batupasir dan batugamping. Selanjutnya terbentuk rawa-rawa air asin dan pada keadaan ini cn.iapan sedimen
dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga moluska dapat berkembang dengan baik sebab terjadi pelemparan oleh
ombak dari laut terbuka le laguna yang membawa materi organik sebagai makanan yang baik bagi penghuni laguna.
Sedangkan endapan sedimen yang berkembang pada umumnya tcrdiri dari perselingan batupasir dan batulempung dengan
sisipan batubara dan batugamping. Struktur sedimen yang berkembang ialah lapisan bersusun, silang siur dan laminasi halus.
Endapan batubara terbentuk akibat dari meluasnya Nrmukaan rawa dari pulau-pulau gambut (marsh) yang ditumbuhi oleh
tumbuhan air tawar.
3. Endapan Batubara Delta
Berdasarkan bentuk dataran deltanya, batubara daerah ini terbentuk pada beberapa sub lingkungan yakni delta yang
dipengaruhi sungai, gelombang pasang surut. dataran delta bawah dan atas, dan dataran aluvium. Kecepatan pengendapan
sangat berpengaruh pada penyebaran dan ketebalan endapan batubara. Batubara daerah ini tidak menerus secara lateral
akibat dari perubahan fasies yang relatif pendek dan cepat yang disebabkan oleh kemiringan yang tajam sehingga ketebalan
dan kualitasnya bervariasi. Pada umumnya batubara tersebut berasal dari alang-alang dan tumbuhan paku.
4. Endapan Batubara Antar Delta dan Dataran Pantai
Batubara daerah ini terbentuk pada daerah rawa yang berkembang di :jerah pantai yang tenang dengan water table tinggi dan
pengaruh endapan liaaik sangat kecil. Daerah rawa pantai biasanya banyak ditumbuhi oleh :umbuhan air tawar dan air
payau. Batubara ini pada umumnya tipis-tipis dan secara lateral tidak lebih dari 1 km.
Batubara lingkungan ini kaya akan abu, sulfur, nitrogen, dan mengandung fosil laut. Di daerah tropis biasanya terbentuk dari
bakau dan kaya sulfur. Kandungan sulfur tinggi akibat oleh naiknya ion sulfat dari air laut dan oleh salinitas bakteri
anaerobik.
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya
berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk
dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan (coalification).Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi
tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan
batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara
yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara
(coal field) dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) --dikenal sebagai zaman batu
bara pertama-- yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara
ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses awalnya,
endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut
pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan
mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu
bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras
dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama
pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan
pembatubaraan.
Kegiatan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara meliputi litbang, perekayasaan dan pelayanan jasa di
bidang karakterisasi, teknologi pengolahan, konversi dan pembakaran batubara.
Litbang ini dilakukan secara terpadu dengan kelompok-kelompok litbang lain yang ada di tekMIRA dengan sasaran utama
mendukung program pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM/kayu bakar melalui diversifikasi energi, peningkatan
penggunaan batubara dalam negeri, penghematan dan peningkatan devisa melalui ekspor serta peningkatan PNBP seperti
terlihat dalam Gambar 1.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dirintis sejak awal tahun 1970-an, dan terus berkembang
mengingat batu bara yang semula hanya dibakar untuk diambil panasnya, kemudian diproses untuk mendapatkan batubara
dengan kualitas yang lebih baik atau bahan yang lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan.
Sampai dengan akhir tahun 1980 sebagian besar kegiatan litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan batubara masih
dalam skala laboratorium. Namun sesudah itu kegiatan litbang sudah mengarah kepada aplikasi dengan membangun
berbagai pilot plant yang diharapkan dapat mengetahui optimalisasi proses, pengujian produk pada pengguna dan kelayakan
ekonomi dari proses tersebut.
Untuk mempercepat implementasi hasil litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan batubara pada skala industri,
tekMIRA sedang dan akan membangun beberapa pilot plant di Palimanan Cirebon dalam suatu Pusat Teknologi Batubara
Bersih yang disebut Clean Coal Technology Centre atau disingkat Coal Centre.
Kegiatan unggulan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara terdiri dari peningkatan kualitas batubara
peringkat rendah melalui proses Upgraded Brown Coal (UBC), pengembangan briket, gasifikasi, pencairan dan pembuatan
kokas. Sedangkan hasil yang sudah dapat diimplementasikan diantaranya penggunaan briket untuk peternakan ayam,
pemindangan ikan, ekstraksi daun nilam dan penggunaan batubara sebagai bahan bakar langsung pada industri bata, genteng,
kapur dan industri gula merah.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara didukung oleh fasilitas :
51 orang tenaga fungsional terdiri dari peneliti, perekayasa dan teknisi dari berbagai keahlian berdasarkan disiplin
ilmu, yang berbeda-beda antara lain : kimia dan fisika batubara, pengolahan batu bara dan teknologi pemanfaatan
batu bara.
Untuk lebih mempercepat program Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dilakukan kerjasama
dengan berbagai institusi litbang baik di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain :
Pembangunan pilot plant briket bio batubara kerjasama dengan NEDO-METI, (Jepang).
Pembangunan pilot plant peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses UBC kerjasama dengan
Kobe Steel (Jepang), JCOAL (Jepang) dan BPPT.
Daur ulang minyak bekas dengan menggunakan batubara sebagai absorban, kerjasama dengan KOBE Steel
(Jepang) dan LEMIGAS.
Proses pengeringan teh dengan batubara melalui gasifikasi kerjasama dengan PPTK Gambung.
Pengujian sifat kimia dan fisika batubara kerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia, PTBA dan perusahaan
batubara lainnya.
Pembangunan dan kegiatan litbang pilot plant briket biobatubara dan pilot plant UBC dilakukan di SENTRA TEKNOLOGI
PEMANFAATAN BATUBARA DI PALIMANAN CIREBON.
Karya Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara yang meliputi teknologi pengolahan, teknologi konversi
dan teknologi pembakaran yang diaplikasikan, diantaranya :
1. Teknologi Pengolahan
Peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses Upgraded Brown Coal (UBC).
Percobaan penerapan teknologi coal water fuel sebagai bahan bakar boiler pada industri tekstil.
Pengembangan metode penurunan kadar natrium batubara Lati, Berau, Kalimantan Timur.
Pengembangan metode pencampuran batubara (coal blending) Kalimantan Tengah untuk pembuatan kokas
metalurgi.
Pencucian batubara.
2. Teknologi Konversi
Penyerapan gas SO2 dari hasil pembakaran briket bio batubara dengan unggulan zeolit.
Pengembangan model fisik tungku pembakaran briket biocoal untuk industri rumah tangga, pembakaran
bata/genteng, boiler rotan dan pengering bawang.
Tungku hemat energi untuk industri rumah tangga dengan bahan bakar batubara/briket bio batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku tegak system terus menerus skala komersial dengan batubara halus menggunakan
pembakar siklon.
Pembakaran kapur dalam tungku system berkala dengan kombinasi bahan bakar batubara – kayu.
Iklim
Pada iklim yang lebih hangat dan basah tumbuhan tumbuh lebih cepat dan beragam. Lapisan-lapisan kaya batubara berumur
Carbon Atas, Cretaceous Atas dan Tersier Awal diendapkan pada iklim seperti ini. Namun pada hemisphere selatan dan
Siberia juga terdapat endapan batubara yang kaya yang diendapakan pada iklim yang sedang hingga dingin, contohnya
batubara inter-post glacial PermoCarbon Gondwana (dari Ganganopteris glossopteris) dan batubara umur Perm dan Jura
Bawah dari Angara konitnen.
Lapisan batubara yang diendapkan pada iklim hangat dan basah biasanya lebih terang dan tebal dibandingkan dengan yang
diendapkan pada iklim basah.
Paleogeografi dan Tectonic Requirement
Formasi lapisan tergantung pada hubungan paleogeografi dan struktur pada daerah sedimentasi. Pembentukan peat(gambut)
terjadi pada daerah yang depresi permukaan dan memerlukan muka air yang relatif tetap sepanjang tahun diatas atau
minimal sama dengan permukaan tanah. Kondisi ini banyak muncul pada flat coastal area dimana banyak rawa yang
berasosiasi dengan persisir pantai. Selain itu rawa-rawa juga muncul di darat(shore or inland lakes). Tergantung pada posisi
asli geografinya, endapan batubara paralic(sea coast) dan limnic(inland) adalah berbeda.
Paralic coal swamps memiliki sedikit pohon atau bahkan tanpa pohon dan terbentuk diluar distal margin pada delta.
Pembentukkannya merupakan akibat dari regresi dan transgresi air laut. Banyak coastal swamps besar yang berkembang
dibawah perlindungan sand bars dan pits sehingga dapat menghasilkan endapan batubara yang tebal.
Back samps terbentuk dibelakang tanggul alam sungai besar. Pada back swamps, peats(gambut) kaya dengan mineral matter
akibat banjir yang sering terjadi. Peat deposits hanya dapat terawetkan pada daerah subsidence. Akibatnya endapan yang
kaya batubara banyak berhubungan dengan daerah ini, seperti yang sering muncul pada foredeep pada suatu pegunungan
lipatan yang besar.
Sikuen sediment yang tebal dimana didalamnya terdapat lapisan tipis batubara(<2m) dengan penyebaran yang besar dan
keberadaan intercalation dari marine bed adalah karakteristik dari batubara yang diendapkan di foredeeps dari suatu
pegunungan lipatan yang besar. Cyclothem adalah perulangan antara peat dengan inorganic sediment dan sekuen ini sering
berulang.
Pada bagian backdeeps dari suatu pegunungan lipatan yang besar, subsidence biasanya lebih sedikit dan jumlah lapisan
batubara lebih sedikit. Ketika paralic coals diendapkan di foredeeps, kebanyakan limnic coals diendapkan di dalam
cekungan kontinen yang besar. Limnic coals memiliki karakter: terbentuk pada kontinen graben, jumlah lapisannya sedikit
tapi setiap lapisannya sangat tebal.
UJI MEKANIK
7 Oktober 2006
Selain analisis kimia, juga dilakukan sejumlah tes untuk menentukan parameter fisik batubara, seperti uji densitas relatif ,
distribusi ukuran partikel, dll.
1. Densitas relatif:
Densitas relatif batubara tergantung pada rank dan mineral pengotornya. Data densitas relatif diperlukan untuk membuat
sampel komposit dalam menentukan banyaknya asap (seam). Selain itu diperlukan juga sebagai faktor penting dalam
mengubah cadangan batubara dari unit volume menjadi unit massa.
Penentuan dilakukan dengan menghitung banyaknya kehilangan berat pada saat dicelupkan ke dalam air. Cara terbaik adalah
dari data berat batubara dengan menggunakan piknometer. Grafik di bawah ini memberikan hubungan antara densitas relatif
terhadap kandungan abu untuk batubara dan serpih karbon di cekunagn Agades.
4. Plastometer Gieseler:
Plastometer Gieseler adalah viskometer yang memantau viscositas sampel batubara yang telah dileburkan. Dari tes ini
direkam data-data sbb:
3. Viskositas maksimum.
5. Indeks Roga:
Indeks Roga menyatakan caking capacity. Ditentukan dengan cara memanaskan 1 gram sampel batubara yang dicampur
dengan 5 gram antrasit pada 850°C selama 15 menit.
3. Uji kekuatan.
4. Tes Metalurgi.
Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber
daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara
kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat
meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak.
Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran
kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang.
Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi dan kajian kelayakan.
Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek geologi dan aspek ekonomi.
Kelas Sumber Daya
1. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.
Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg diharapkan mungkin ada di
daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada
umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan
keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi
menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya,
jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).
2. Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)
Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.
Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah
sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan
sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan
35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.
3. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman,
dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika
eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank,
dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km.
termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit
dengan ketebalan 150 cm.
4. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)
Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas,
kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank,
dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan
bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150
cm.
Penghitungan Sumber Daya
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di daerah penelitian. Pemakaian
metode disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan
(misalnya sudut penambangan). Karena data yang digunakan dalam penghitungan hanya berupa data singkapan, maka
metode yang digunakan untuk penghitungan sumber daya daerah penelitian adalah metode Circular (USGS) (Gambar).
Aturan Penghitungan Sumberdaya Batubara dengan Metode Circular (USGS) (Wood et al., 1983)
Penghitungan sumber daya batubara menurut USGS dapat dihitung dengan rumus
Tonnase batubara = A x B x C, dimana
A = bobot ketebalan rata-rata batubara dalam inci, feet, cm atau meter
B = berat batubara per stuan volume yang sesuai atau metric ton.
C = area batubara dalam acre atau hektar
Kemiringan lapisan batubara juga memberikan pengaruh dalam perhitungan sumber daya batubara. Bila lapisan batubara
memiliki kemiringan yang berbeda-beda, maka perhitungan dilakukan secara terpisah.
1. Kemiringan 00 – 100
Perhitungan Tonase dilakukan langsung dengan menggunakan rumus Tonnase = ketebalan batubara x berat jenis
batubara x area batubara
2. Kemiringan 100 – 300
Untuk kemiringan 100 – 300, tonase batubara harus dibagi dengan nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.
3. Kemiringan > 300
Untuk kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara
ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank).
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis
proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile
matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan
kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur
jarang.
Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya adalah analisis proksimat dan analisis
ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air, zat terbang, karbon padat, dan kadar abu, sedangkan
analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan untuk ditambang selain dilihat
dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian.
Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing and Material (ASTM, 1981, op cit
Wood et al., 1983)(Tabel 5.2). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry,
mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka digunakan
Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) :
dimana :
FC = % karbon padat (adb)
VM = % zat terbang (adb)
M = % air total (adb)
A = % Abu (adb)
S = % sulfur (adb)
Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb
Tabel 5.2
Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)
Fixed Carbon , Volatile Matter Calorific Value Limits BTU per pound
% , dmmf Limits, % , dmmf (mmmf)
Class Group Equal or Equal Equal or Less
Less Greater Agglomerating
Greater or Less Greater
Than Than Character
Than Than Than Than
1.Meta-anthracite 98 2 nonagglomerating
2.Anthracite
I Anthracite* 92 98 2 8
3.SemianthraciteC
86 92 8 14
1.Low volatile
78 86 14 22
bituminous coal
2.Medium
69 78 22 31
volatilebituminous coal
3.High volatile A
69 31 14000D commonly
II Bituminous bituminous coal
4.High volatile B
13000D 14000 agglomerating**E
bituminous coal
5.High volatile C
11500 13000
bituminous coal
10500 11500 agglomerating
1.Subbituminous A coal 10500 11500
III 2.Subbituminous B coal 9500 10500
Subbituminous 3.Subbituminous C
8300 9500 nonagglomerating
coal
1.Lignite A 6300 8300
IV. Lignite
1.Lignite B 6300
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi
dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen &
Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di atas permukaan laut (subaerial).
Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan
swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded bedding, paralel lamination, dan
cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian
deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara
berangsur menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang
terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan
batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase play. Endapan crevase play
dicirikan oleh batupasir halus – sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi
batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya
dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan
sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh
batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena lingkungan pengendapannya yang
terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara
yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan
batubara berlapis (Allen, 1985).
Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang
merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak
kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami
berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum
ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia
(pembatubaraan).
peatification coalification
Endapan organik Gambut Batubara
Biokimia geokimia
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi
reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter.
Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi
humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut
(Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan
oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai
tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta
antrasit.
PENDAHULUAN :
Riset Pencairan Batubara untuk memproduksi BBM sintetis di Indonesia sudah berlangsung sejak awal tahun 1990-an,
namun perkembangannya secara nyata dengan target komersial baru dimulai sejak awal tahun 1994, setelah perjanjian
kerjasama riset ditandatangani antara BPPT dan NEDO.
Berbagai jenis batubara muda Indonesia telah diuji, dengan hasil yang sangat menjanjikan, hasil tertinggi diperoleh dari
batubara Banko dengan produk minyak sekitar 70%. Dibandingkan dengan batubara Yallourn dari Australia yang hanya
menghasilkan minyak <60%, hasil tersebut memang sangat signifikan, terutama dilihat dari segi biaya, dan harga minyak
batubara yang semakin kompetitif. Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa batubara Banko dapat memproduksi BBM,
produk setengah jadi, dengan harga sekitar US $ 18/barrel. Melihat harga minyak dewasa ini yang telah mencapai US$ 30-
32/barel, maka studi pencairan batubara ini sangat dirasa perlu untuk dilanjutkan hingga tingkat komersialisasi.
KESIMPULAN :
Hasil pengujian produk batubara cair melalui proses up-grading atau hydrotreatment menggunakan reaktor fixed bed dengan
katalis Ni-Mo-P/Al2O, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Proses hydrotreatment tahap 1 ternyata dapat meningkatkan kualitas pelarut tertersirkulasi (recycle solvent)
sebagai donor hidrogen pada proses pencairan batubara.
Slurry batubara dengan menggunakan minyak hasil hydrotreatment tahap 1 menunj
JAKARTA–Butuh payung hukum yang kuat dan dukungan dari presiden. emerintah berencana menggunakan batubara cair
untuk mengurangi beban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat. “Kita harus mengurangi
konsumsi Bahan bakar Minyak, salah satunya adalah bagaimana batubara bisa kita cairkan kemudian kita jadikan BBM
dimana nantinya bisa menggantikan pemakaian BBM,” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro seusai bertemu wapres
Jusuf Kalla di Jakarta, Senin.
Menurut Purnomo untuk itu, ia membutuhkan payung hukum yang kuat dan kebijakan secara nasional oleh Presiden
Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Namun ketika ditanyakan payung hukum seperti apa yang diinginkannya, Purnomo
belum bisa menjawab karena ia harus mempresentasikan hal ini kepada Presiden Yudhoyono setelah kunjungan ke luar
negeri.
“Yang jelas hal itu perlu dukungan dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk keluarkan kebijakan
untuk menggantikan BBM ini,” kata Purnomo.
Menurut rencana produksi batubara cair tersebut akan dilakukan di Sumatra Selatan karena memiliki cadangan batubara
yang sangat besar. Saat ini cadangan batubara Indonesia sangat besar masih sekitar 70 tahun. Untuk itu bisa digunakan
sebagai pengganti BBM yang untuk kebutuhan nasional saat ini mencapai 85,6 juta kilo liter per tahun. Penggunaan batubara
cair, tambah Purnomo, saat ini juga telah dilakukan di Afrika Selatan.
Sementara itu menanggapi peran OPEC akibat harga minyak dunia yang terus meningkat, Purnomo mengatakan OPEC tidak
bisa lagi lakukan kontrol atas harga minyak dunia.
OPEC, tambahnya saat ini hanya memiliki pangsa pasar minyak dunia sebesar 40 persen. “OPEC tidak bisa berdaya dengan
penjualan minyak yang tak bisa dikontrol,” katanya. Meskipun, tambahnya saat ini OPEC telah berusaha untuk menaikan
produksinya hingga 500 ribu barel. Sejauh ini, tambahnya pemerintah Indonesia setuju dengan segala usaha apapun juga
untuk menurunkan harga minyak dunia.
Seiring dengan meningkatnya permintaan dan ketatnya produksi minyak dunia, harga minyak di pasar dunia pada triwulan
keempat tahun 2005 menurut perkiraan pengamat perminyakan, Dr Kurtubi, bisa mencapai 60 dolar AS per barel.
“Sekarang kita sudah masuk ke triwulan kedua tetapi harga minyak masih bertahan pada 55 dolar AS. Saya khawatir kalau
selama triwulan ini harga tetap bertahan pada kisaran itu, harga minyak pada triwulan ketiga dan keempat akan jauh melebihi
perkiraan saya,” katanya kemarin.
Jika pada triwulan kedua tahun 2005 harga minyak dunia masih berkisar 55 dolar per barel maka, menurut dia, Indonesia dan
dunia harus bersiap-siap menerima kenyataan melambungnya harga minyak West Texas Intermediate/WTI (yang menjadi
acuan perdagangan minyak mentah dunia-red) selama tahun
2005-2006 akan mencapai 60 dolar per barel.
Biasanya, kata dia, berdasarkan perilaku permintaan minyak di pasar dunia, pada triwulan kedua harga minyak akan tertekan
sehingga menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak pada triwulan sebelumnya meskipun tidak akan lebih
rendah dari 40 dolar per barel (batas bawah patokan harga minyak OPEC).
Namun hingga memasuki masa-masa awal triwulan kedua tahun 2005 harga minyak di pasaran dunia sama sekali tidak
mengalami penurunan. “Hal ini terjadi karena faktor fundamental dimana permintaan minyak dunia sangat tinggi tahun
2005. Saya perkirakan jumlahnya mencapai 84 juta barel per hari atau sekitar
2 juta barel lebih banyak dibandingkan permintaan minyak tahun 2003 yang hanya 82,5 juta barel per hari,” katanya.
Tingginya laju permintaan minyak pada tahun 2005 itu menurut dia disebabkan oleh masih tingginya laju permintaan
minyak dari China yang belakangan ini juga diikuti oleh India.
Batu bara atau batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat
terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam
berbagai bentuk.
Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
7 Lihat pula
8 Referensi
9 Pranala luar
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari
perioda ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari
perioda ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa
dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji
terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti
gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan
betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat
terawetkan.
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86%
- 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batu bara yang
paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang
efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen
utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang
dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.
Kadar air Kadar air Kadar abu Zat terbang Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan
total (%ar) inheren (%ad) (%ad) (%ad) (%ad) (kkal/kg)(ad)
Asam- PT Arutmin
Satui 10.00 7.00 8.00 41.50 0.80 6800
asam Indonesia
PT Arutmin
Senakin Pasir 9.00 4.00 15.00 39.50 0.70 6400
Indonesia
PT BHP
Petangis Pasir 11.00 4.40 12.00 40.50 0.80 6700
Kendilo Coal
Ombilin Ombilin PT Bukit Asam 12.00 6.50 <8.00 36.50 0.50 - 0.60 6900
PT Allied Indo
Parambahan Ombilin 4.00 - 10.00 (ar) 37.30 (ar) 0.50 (ar) 6900 (ar)
Coal
(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
[sunting] Endapan batu bara Miosen
Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah berakhir. Pada Kala Oligosen
hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan yang luas dimana terendapkan sedimen marin klastik yang
tebal dan perselingan sekuen batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik
Neogen di Kalimantan maupun Sumatera. Endapan batu bara Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai
bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Batu
bara Miosen juga secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.
Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip dengan daerah pembentukan
gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama lainnya adalah kadar abu dan belerang yang rendah. Namun
kebanyakan sumberdaya batu bara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika
sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga
tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.
Tabel dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Miosen di
Indonesia.
Kadar air Kadar air Kadar abu Zat terbang Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan
total (%ar) inheren (%ad) (%ad) (%ad) (%ad) (kkal/kg)(ad)
PT Kaltim
Prima Kutai 9.00 - 4.00 39.00 0.50 6800 (ar)
Prima Coal
PT Kaltim
Pinang Kutai 13.00 - 7.00 37.50 0.40 6200 (ar)
Prima Coal
Roto Pasir PT Kideco Jaya 24.00 - 3.00 40.00 0.20 5200 (ar)
South Agung
Binungan Tarakan PT Berau Coal 18.00 14.00 4.20 40.10 0.50 6100 (ad)
Lati Tarakan PT Berau Coal 24.60 16.00 4.30 37.80 0.90 5800 (ad)
Sumatera
Air Laya PT Bukit Asam 24.00 - 5.30 34.60 0.49 5300 (ad)
bagian selatan
Paringin Barito PT Adaro 24.00 18.00 4.00 40.00 0.10 5950 (ad)
(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
[sunting] Sumberdaya batu bara
Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan
di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya,
seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi.
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak
industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp
0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter).
Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah,
mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke
depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui
PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang
memberi nilai tambah tinggi.
Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau
bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi
(pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batu bara.
Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara continue, yang bertujuan
untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate,
fluidized bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.