Anda di halaman 1dari 25

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam penambangan adalah
masalah penanganan air, atau lebih umum disebut dengan istilah penirisan
tambang. Dengan adanya perbedaan antara tambang terbuka dan tambang bawah
tanah, maka cara penirisan tambangnya juga berbeda. Sebagai contoh pada
tambang terbuka yang membedakannya dengan tambang bawah tanah adalah
pengaruh iklim, pada kegiatan penambangan. Elemen-elemen iklim seperti hujan,
panas/temperatur, dan lain-lain dapat mempengaruhi kondisi tempat kerja, unjuk
kerja alat, dan kondisi kerja, yang selanjutnya dapat mempengaruhi produktivitas
alat penambangan. Demikian juga dengan tambang bawah tanah, masalah air
tanah akan lebih dominan dibandingkan dengan air permukaan.
Penanganan masalah air dalam suatu tambang terbuka dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
A. Mine Drainage yang merupakan upaya untuk mencegah masuk
mengalirnya air ketempat pengaliran. Hal ini umumnya dilakukan untuk
penanganan air tanah dan air yang berasal dari sumber air permukaan
(sungai, danau, dan lain-lain).
B. Mine Dewatering yang merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang
telah masuk ke dalam penggalian terutama untuk penanganan air hujan.
Jika terjadi genangan air yang membanjiri front penambangan maka akan
berakibat pada kegiatan penambangan seperti terhambatnya pekerjaan yang secara
otomatis juga menghambat produksi dan juga berakibat pada kondisi alat mekanis
atau terjadi kerusakan (Gautama,1995 ).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum penirisan tambang ini adalah :
A. Menghitung curah hujan
B. Merencanakan suatu sistem penyaliran tambang dan mendesain saluran
drainage dan sump

II TINJAUAN UMUM

2.1 Dasar Teori

1
Penyaliran tambang adalah suatu usaha yang diterapkan pada daerah
penambangan untuk mencegah, mengeringkan, atau mengeluarkan air yang
masuk kedalam lokasi penambangan. Upaya ini dimaksudkan untuk mencegah
terganggunya aktivitas penambangan akibat adanya air dalam tambang yang
berlebihan terutama pada musim hujan. Selain itu sistem penyaliran tambang ini
juga dimaksudkan untuk mencegah kerusakan alat, serta mempertahankan kondisi
kerja yang aman (Mia,2011).

Gambar 2.1 Bagan Sistem Penirisan Tambang (Mia,2011)


2.1.1 Sistem Penyaliran Pada Tambang Terbuka
Secara garis besar, sistem penyaliran pada tambang terbuka dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu :
A. Sistem Penyaliran Langsung ( konvensional ) / Mine Dewatering
B. Sistem Penyaliran Tak Langsung ( inkonvensional ) / Mine Drainage

1. Sistem Penyaliran Langsung (Konvensional) / Mine Dewatering


Adalah sistem penyaliran dengan cara mengeluarkan air yang sudah masuk
ke dalam tambang. Sistem ini dapat dibagi menjadi yaitu:
a. Penyaliran dengan terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit)
Cara penyaliran ini hanya bisa diterapkan pada tambang yang
terletak didaerah pegunungan atau berbentuk bukit. Air yang masuk

2
ke dalam tambang dikeluarkan dengan cara mengalirkan air dari
dasar tambang melalui terowongan keluar tambang.

Gambar 2.2 Penyaliran Dengan Terowongan


b. Penyaliran dengan paritan
Penyaliran dengan cara paritan ini merupakan cara yang paling
mudah, yaitu dengan pembuatan paritan ( saluran ) pada lokasi
penambangan. Pembuatan parit ini bertujuan untuk menampung air
limpasan yang menuju lokasi penambangan. Air akan masuk ke
saluran-saluran yang kemudian dialirkan ke suatu kolam
penampungan atau dibuang langsung ke tempat pembuangan dengan
memanfaatkan gaya gravitasi.

Gambar 2.3 Penyaliran dengan Paritan


c. Penyaliran dengan sumuran (sump)
Cara penyaliran ini sangat umum diterapkan ditambang terbuka. Air
yang masuk ke dalam tambang dikumpulkan ke suatu sumuran yang
biasanya dibuat didasar tambang dan dari sumuran tersebut air
dipompa keluar tambang.

3
Gambar 2.4 Penyaliran dengan sumuran

2. Sistem Penyaliran Tak Langsung ( inkonvensional ) / Mine Drainage


Merupakan upaya untuk mencegah masuknya air ke daerah penambangan.
Hal ini umumnya dilakukan untuk penanganan air tanah dan air yang
berasal dari sumber air permukaan. Beberapa metode penyaliran Mine
drainage :
a. Metode siemens
Pada tiap jenjang dari kegiatan penambangan dibuat lubang bor
kemudian ke dalam lubang bor dimasukan pipa dan disetiap bawah
pipa tersebut diberi lubang-lubang. Bagian ujung ini masuk ke dalam
lapisan akuifer, sehingga air tanah terkumpul pada bagian ini dan
selanjutnya dipompa ke atas dan dibuang ke luar daerah
penambangan

Gambar 2.5 Metode Siemens


b. Metode Pemompaan Dalam (Deep Well Pump)
Metode ini digunakan untuk material yang mempunyai permeabilitas
rendah dan jenjang tinggi. Dalam metode ini dibuat lubang bor
kemudian dimasukkan pompa ke dalam lubang bor dan pompa akan
bekerja secara otomatis jika tercelup air. Kedalaman lubang bor 50
meter sampai 60 meter.

4
Gambar 2.6 Metode Pemompaan Dalam
c. Metode Elektro Osmosis
Pada metode ini digunakan batang anoda serta katoda. Bilamana
elemen-elemen dialiri arus listrik maka air akan terurai, H+ pada
katoda (disumur besar) dinetralisir menjadi air dan terkumpul pada
sumur lalu dihisap dengan pompa.

Gambar 2.7 Metode Elektro Osmosis


d. Small Pipe With Vacuum Pump
Cara ini diterapkan pada lapisan batuan yang inpermiabel (jumlah air
sedikit) dengan membuat lubang bor. Kemudian dimasukkan pipa
yang ujung bawahnya diberi lubang-lubang. Antara pipa isap
dengan dinding lubang bor diberi kerikil-kerikil kasar (berfungsi
sebagai penyaring kotoran) dengan diameter kerikil lebih besar dari
diameter lubang. Di bagian atas antara pipa dan lubang bor di
sumbat supaya saat ada isapan pompa, rongga antara pipa lubang bor
kedap udara sehingga air akan terserap ke dalam lubang bor.

5
Gambar 2.8 Metode Small Pipe With Vacuum Pump
2.1.2 Sistem Penyaliran Pada Tambang Bawah Tanah
Penanganan masalah air pada tambang bawah tanah umumnya dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Dengan Tunnel (Terowongan)
Penyaliran dengan cara ini adalah dengan membuat “tunnel” atau “adit”
bila topografi daerahnya memungkinkan, dimana terowongan atau “adit”
ini dibuat sebagai level pengeringan tersendiri untuk mengeluarkan air
tambang bawah tanah. Cara ini relatif murah dan ekonomis bila
dibandingkan dengan sistem penyaliran menggunakan cara pemompaan
air ke luar tambang.
2. Dengan Pemompaan
Penyaliran tambang bawah tanah dengan sistem pemompaan adalah untuk
mengeluarkan air yang terkumpul pada dasar “shaf” atau sumuran bawah
tanah yang sengaja dibuat untuk menampung air dari permukaan maupun
air rembesan air bawah tanah.

2.2 Perencanaan Sistem Penyaliran Tambang


Ada beberapa tahapan dalam merencanakan suatu dimensi saluran:
a. Membaca peta untuk menentukan daerah tangkapan hujan (catchment
area) adalah daerah yang diperkirakan berpotensi untuk mengalirkan air
limpasan menuju suatu daerah kerja, atau dengan kata lain curah hujan
yang jatuh dalam daerah tersebut dapat berkumpul dalam suatu tempat
terendah dari daerah tersebut. Penetuan daerah tangkapan hujan didasarkan
pada peta topografi daerah yang akan diteliti, daerah tangkapan hujan
dibatasi oleh punggung bukit. Setelah ditentukan (catchment area) maka
dihitung luasanya
b. Buat jalur saluran dari masing-masing catchment area

6
c. Hitung intensitas curah hujan rencana dengan menggunakan metode Log
Normal
d. Tentukan koefisien material yang sesuai dengan kondisi lapangan
e. Hitung debit rencana dengan menggunakan rumus Rasional.
f. Dimensi saluran menggunakan persamaan Manning
2.2.1 Curah Hujan
Curah hujan adalah banyaknya air hujan yang jatuh kebumi persatu satuan
luas permukaan pada suatu jangka waktu tertentu. Intensitas curah hujan adalah
jumlah hujan yang jatuh dalam areal tertentu dalam jangka waktu yang relatif
singkat dinyatakan dalam mm/s.

Tabel 2.1 Beberapa Harga Koefisien Limpasan (Gautama,1995)


Koefisien
Kemiringan Tutupan Limpasan
Sawah, Rawa 0.2
<3% Hutan, Perkebunan 0.3
Perumahan Dengan Kebun 0.4
Hutan, perkebunan 0.4
Perumahan 0.5
3% - 5% Tumbuhan yang jarang 0.6
Tanpa Tumbuhan, Daerah
Penimbunan 0.7
Hutan, Perkebunan 0.6
Perumahan, Kebun 0.7
Tumbuhan yang jarang 0.8
>15% Tanpa tumbuhan, daerah tambang 0.9

Tabel 2.2 Beberapa Harga N (Gautama,1995)


Tipe Dinding Saluran N
Semen 0.010 - 0.014
Beton 0,011 – 0,016
Bata 0,012 – 0,020
Besi 0,013 – 0, 017
Tanah 0,020 – 0,030
Gravel 0,022 – 0, 035
Tanah Yang dDitanami 0,025 – 0,040

7
Tabel 2.3 Hubungan Intensitas Hujan Dengan Derajat Curah Hujan
(Suwandi,2004)
Derajat Intensitas Hujan
Kondisi
Hujan (mm/menit)
Hujan
0.02 - 0.05 Tanah Basah Semua
Lemah
Hujan
0.05 - 0.25 Bunyi Hujan Terdengar
Normal
Air Tergenang Diseluruh Permukaan Dan
Hujan Deras 0.25 - 1.00
Terdengar Bunyi Dari Genangan
Hujan Sangat Hujan Seperti Ditumpahkan, Saluran
>1.00
Deras Pengairan Menguap

Faktor-faktor yang mempengaruhi air limpasan antara lain:


1. Faktor Meteorologi
Intensitas curah hujan yang bergantung kepada kapasitas infiltrasi, dimana
jika air hujan yang jatuh kepermukaan tanah melampaui kapasitas infiltrasi
maka besar air limpasan akan meningkat. Lamanya curah hujan dalam
waktu yang panjang akan memperbesar air limpasan.
2. Faktor Fisik
Kondisi penggunaan tanah misalnya air yang jatuh didaerah vegetasi yang
kurang lebar kemudian mengisi rongga – rongga tanah yang terbuka akan
cepat mengalami infiltrasi dan apabila daya tampung dalam lekukan
permukaan tanah telah penuh maka selisih antara curah hujan dan kapasitas
infiltrasi akan menyebabkan limpasan air hujan mengalir di permukaan
tanah. Faktor lain yang mempengaruhi limpasan yaitu pola aliran sungai dan
daerah pengaliran secara tidak langsung serta drainase buatan lain.
Dari sekian banyak faktor yang berpengaruh adalah kondisi penggunaan
lahan dan kemiringan (gride) atau perbedaan ketinggian hulu dan hilirnya faktor
ini dapat dinyatakan dalam angka yang disebut koefisien limpasan (Mia,2011).

Rata-Rata Curah Hujan

Y= …………………………………………………………............(2.1)

Dimana :

8
Y : Curah hujan rata-rata (mm/hari)
n : Jumlah tahun
Y1 : Curah hujan (mm)

Standar Deviasi (S) :

S= …………………………………………………………....(2.2)

Dimana :
S : Standar Deviasi
Y : Curah hujan rata-rata (mm/hari)
Y1 : Curah hujan (mm)

Curah Hujan Rencana (Xr) :

Xr = Y + (Yt-Yn)………………………………………………………….(2.3)

Dimana :
Xr : Hujan harian maksimum dengan periode ulang tertentu (mm/hari)
Y : Curah hujan rata-rata (mm/hari)
Sx : Standar deviasi nilai curah hujan dari data
Sn : Standar deviasi dari reduksi variat, tergantung dari jumlah data
Yt : Nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada PUH
Yn : Nilai rata-rata dari reduksi variat, tergantung dari jumlah data

Periode Ulang Hujan (Rh) :

n
Rh = 1 – (1- ………………………………………………………………(2.4)

Dimana :
Rh = Resiko Hidrologi

9
Tr = Periode Ulang Hujan
n = Umur Tambang

Intensitas Curah Hujan (I)


I = R24/24 (24/t)2/3 ……………………………………………………………(2.5)

Dimana :
I = Intensitas Curah Hujan (mm/jam)
t = Lama Waktu Hujan Konstan (jam)
R24 = Curah Hujan Maksimum

Debit Limpasan (Q)


Q = 0.278 x C.I.A ……………………………………………………………(2.6)

Dimana :
Q = Debit Limpasan (m3/s)
C = Koefisien Limpasan
A = Luas Area (Km2)
I = Intensitas Curah Hujan (mm/jam)

2.2.2 Catchment Area (Area Tangkapan Hujan)


Suatu area ataupun daerah tangkapan hujan dimana batas wilayah
tangkapannya ditentukan dari titik-titik elevasi tertinggi sehingga akhirnya
merupakan suatu poligon tertutup, yang mana polanya disesuaikan dengan kondisi
topografi, dengan mengikuti arah aliran air.
Air hujan yang mempengaruhi secara langsung suatu sistem drainase
tambang adalah air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah atau air
permukaan (run off) di tambah sejumlah pengaruh air tanah.
Air hujan atau air permukaan yang mengalir ke area penambangan
tergantung pada kondisi daerah tangkapan hujan yang dipengaruhi oleh daerah
disekitarnya. Luas daerah tangkapan hujan dapat ditentukan berdasarkan analisa
peta topografi. Berdasarkan kondisi daerahnya seperti adanya daerah hutan, lokasi
penimbunan, kepadatan alur drainase, serta kondisi kemiringan (gride).

10
Sumber utama air limpasan permukaan pada suatu tambang terbuka adalah
air hujan, jika curah hujan yang relatif tinggi pada daerah tambang maka perlu
penanganan air hujan yang baik (sistem drainase) yang tujuannya agar
produktivitas tidak menurun.
2.2.3 Saluran Drainage
Saluran pada tambang untuk menampung limpasan permukaan pada suatu
daerah dan mengalirkannya ke tempat penampungan air seperti : dump, settling
pond, sedimen pon dan lain – lain.
Dalam merancang dimensi saluran perlu di lakukan analisis pada daerah
lokasi penambangan sehingga saluran air tersebut dapat memenuhi hal – hal
sebagai berikut
1. Dapat mengalirkan debit air yang di rencanakan
2. Kecepatan air yang tidak merusak saluran.
3. Kecepatan air yang tidak menyebabkan terjadinya pengendapan.
4. Kemudahan dalam penggalian atau pembuatan.
5. Kemudian dalam hal pemeliharaan
Untuk membuat dimensi saluran, lakukanlah perhitungan seperti berikut :
Tinggi Air (h)
h = 0.775 x Q0.248 …………………………………………………………….(2.7)

Dimana :
h = Tinggi Air (m)
Q = Debit Limpasan (m3/s)

Lebar Dasar Saluran (b)


b = n.h ………………………………………………………………………....(2.8)

Dimana :
n = Konstanta Perbandingan antara lebar dasar saluran dan kedalaman air
h = Tinggi Air (m)

A = (b+z x h) x h ………………………………………………………(2.9)

Dimana :
z = tan 45° = 1
b = Lebar Dasar Saluran (m)
h = Tinggi Air (m)

11
Lebar Permukaan Saluran (B)
2A = ( B + b ) h …………………………………………………………..….(2.10)

Dimana :
B = Lebar Permukaan Saluran (m)
b = Lebar Dasar Saluran (m)
h = Tinggi Air (m)

Daerah Jagaan Air/Keliling Basah (W)


W = B – b + h………………………………………………………………...(2.11)

Dimana :
W = Daerah Jagaan Air/Keliling Basah (m)
B = Lebar Permukaan Saluran (m)
b = Lebar Dasar Saluran (m)
h = Tinggi Air (m)

Kedalaman Saluran (H)


H = h + W ……………………………………………………………………(2.12)

Dimana :
H = Kedalaman Saluran (m)
h = Tinggi Air (m)
W = daerah Jagaan Air/Keliling Basah (m)

Untuk menghitung kapasitas pengaliran menggunakan persamaan manning


Q = A x V ……………………………………………………...……….……(2.13)
V = 1 � x R2/3 x S1/2 ……………………………………...…………………(2.14)
Dimana :
Q = Debit (m3/jam)
A = Luas Penampang Basah (m2)
V = Kecepatan Aliran (m/s)
R = Radius Hidrolik (A/W)
W = Daerah jagaan Air (m)/ keliling basah
S = Kemiringan Dasar Saluran
n = Koefisien kekasaran Manning

Volume saluran = ½ ( B + b ) H x L(panjang Saluran)………........................(2.15)

12
Dimana :
B = Lebar permukaan saluran (m)
b = Lebar Dasar Saluran (m)
H = Kedalaman Saluran (m)
Menurut konstruksi, saluran terbagi 2 :
1. Saluran tertutup yaitu saluran yang pada umumnya sering dipakai untuk
aliran air yang kotor (air yang menganggu kesehatan / lingkungan).
2. Saluran terbuka yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan
yang terletak didaerah yang mempunyai luasan yang cukup ataupun untuk
drainase air non hujan yang tidak membahayakan kesehatahan atau yang
mengganggu lingkungan. Efektifitas penggunaan dari berbagai bentuk
penampang saluran drainase yang dikaitkan dengan fungsi saluran
Bentuk-bentuk penampang saluran terbuka :
a. Bentuk Penampang Segitiga
Bentuk ini biasanya dipergunakan untuk saluran dangkal. Saluran
bentuk ini tidak mudah digerus oleh air. Kelemahannya adalah
membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pembuatannya
Sudut tengah = 90° → z = 1
A = h2
P = 2h

Gambar 2.9 Penampang Segitiga

b. Bentuk Penampang Segiempat


Bentuk saluran ini digunakan untuk debit air yang besar
kelebihannya yaitu mudah dalam pembuatannya dan biasanya

13
dibangun pada bahan yang stabil misalnya kayu, batu dan lain-lain.
Kelemahannya adalah mudah terjadi pengikisan sehingga terjadi
pengendapan pada dasar saluran.
B=2h
A = 2 h2
P=4h
R = ½.h

Gambar 2.10 Penampang Segiempat


c. Bentuk Panampang Trapesium
Salah satu bentuk saluran yang sering digunakan pada perusahaan
tambang yaitu bentuk saluran trapesium
Keuntungan dari bentuk penampang trapesium :
1. Dapat mengalirkan debit air yang besar
2. Tahan terhadap erosi
3. Tidak terjadi pengendapan didasar saluran
4. Mudah dalam pembuatan
Bentuk penampang ini adalah bentuk kombinasi antara segitiga dan
segiempat. Biasanya digunakan untuk saluran yang berdinding
tanah dan tidak dilapisi sebab stabilitas kemiringan dinding dapat
disesuaikan. Bentuk ini sering digunakan pada daerah tambang
karena tahan terhadap pengikisan dan mudah dalam pembuatannya
serta cocok untuk debit air yang besar. Dan untuk menghitung
dimensi saluran yang optimum dapat digunakan persamaan
efisiensi hidrolis:
Q = 45° → z = 1

B = 2(
A = ( B + zh ) h

14
R=h/2

Gambar 2.11 Penampang Trapesium


Bentuk penampang saluran yang paling umum digunakan adalah
penampag trapesium, sebab mudah dalam pembuatannya, murah, efisien dan
mudah dalam perawatannya serta stabilitas kemiringan dindingnya dapat
disesuaikan menurut keadaan daerah.
Tabel 2.4 Kemiringan Dinding Saluran Yang Sesuai Untuk Berbagai Jenis Bahan
Kemiringan Dinding
Bahan
Saluran
Batu/Cadas Hampir Tegak Lurus
Tanah Gambut 1/4 : 1
Tanah Berlapis Beton 1/2 : 1
Tanah Bagi Saluran Yang
1:01
Lebar
Tanah Bagi Parit Kecil 1.5 : 1
Tanah Berpasir Lepas 2:01
Lempung Berpori 3:01

Tabel 2.5 Sifat-sifat Hidrolik Pada Saluran Terbuka


Kemiringan Rata-rata Dasar
Kecepatan Rata-rata
Saluran
<1% 0.4 m/s
1-2% 0.6 m/s
2-4% 0.9 m/s
4-6% 1.2 m/s
6 - 10 % 1.5 m/s
10 - 15 % 2.4 m/s

2.2.4 Sump

15
Sump dibuat dengan fungsi sebagai penampung air sebelum dipompa
keluar tambang, untuk mengendapakan partikel-partikel atau lumpur yang ikut
bersama air hasil dari saluran tambang sebelum air lumpur di buang. Ukuran
sump dibuat dengan mempertimbangkan volume air yang akan ditampung atau
masuk ke Sump.
Untuk pembuatan sump diharapkan dapat menampung air lebih dari 1,5 debit air
yang akan masuk kedalam sump. Sehingga digunakan perhitungan sebagai
berikut:
V = 1,5 x Q x t ……………………………………………………………….(2.16)
Dimana :
Q = debit air (m3/jam)
t = waktu hujan (jam)
Untuk dimensi sump yang dibuat persegi untuk volume sump digunakan rumus :
V = p x l x t …………………………………………………………………..(2.17)
Dimana :

p = Panjang (m)

l = Lebar (m)

t = Kedalaman (m)

III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL
3.1.1 Daerah Tangkapan Hujan
Dari hasil penggambaran peta dan penentuannya maka daerah tangkapan
hujan di bagi menjadi dua daerah yaitu:
Daerah Tangkapan Hujan 1 Seluas 41000 m2
Daerah Tangkapan Hujan 2 Seluas 30000 m2
3.1.2 Perhitungan Data Curah Hujan
Standar Deviasi
Tabel 3.1 Perhitungan Standar Deviasi
Data Curah Rata-rata Curah STANDAR
Tahun Yi-Y (Yi-Y)^2
Hujan Hujan DEVIASI
SQRT((1/N-
(Yi) (Y)
1)*(Yi-Y)^2)
1 3.316808752 3.356198092 -0.03938934 0.00155152

2 3.437354128 3.356198092 0.081156036 0.006586302

3 3.330515232 3.356198092 -0.025682859 0.000659609

16
4 3.364550995 3.356198092 0.008352904 6.9771E-05

5 3.452399846 3.356198092 0.096201754 0.009254778

6 3.306425028 3.356198092 -0.049773064 0.002477358

7 3.248708736 3.356198092 -0.107489356 0.011553962

8 3.389166084 3.356198092 0.032967993 0.001086889

9 3.305781151 3.356198092 -0.05041694 0.002541868

10 3.410270964 3.356198092 0.054072873 0.002923876

jumlah 33.56198092 0.038705932 0.06557941

Curah Hujan Rencana Maksimum


Xr = X + Kt x S
=3.356 + 1.28 x 0.065
= 3.440 mm/hari
Intensitas Curah Hujan

I =

= 156.353 mm/jam
= 0.001002 m/s
Debit Limpasan, menggunakan persamaan 2.6 dengan koefisien limpasan (c)
dapat dilihat pada tabel 2.1 dengan besar koefisien 0,9, sehingga di dapat hasil :
Perhitungan debit limpasan untuk DTH 1 :
Q = 0.278 x KOEFISIEN LIMPASAN x DTH1 x intensitas air hujan
= 0,278 x 0,9 x 41000 m2 x 0.001002 m/s
= 10.281 m3/s
= 37011.585 m3/jam
Debit Limpasan untuk DTH 2 :
Q = 0.278 x KOEFISIEN LIMPASAN x DTH2 x intensitas air hujan
= 0,278 x 0,9 x 30000 m2 x 0.001002 m/s
= 7.522 m3/s

17
= 27081.648 m3/jam
3.1.3 Dimensi Saluran dan Dimensi Sump
Perencanaan saluran untuk DTH 1
Tinggi Air

h = 0,775 x

= 0,775 x

= 1.381 m
Lebar dasar saluran (b) Untuk lebar dasar saluran b = n.h dimana n adalah
konstanta perbandingan antara lebar dasar saluran dengan kedalaman air
b = 2 x 1.381 m
= 2.762 m
A = (b+z x h) x h dimana z = tan 45° = 1
A = (2.762 m+ 1 X 1.381 m) X 1.381 m
= 5.723 m2
Lebar permukaan saluran (B)
2A =(B+b)h
2 x 5.723 = (B +2.762) x 1.381
B = 8.287 – 2.762
B = 5.525 m

Daerah Jagaan air / keliling basah (w)


W =B–b+h
= 5.525 m – 2.762 m + 1.381 m
= 4.143 m
Kedalaman Saluran (H)
H =h+w
= 1.381 m + 4.143 m
= 5.524 m
Untuk menghitung kapasitas pengaliran menggunakan persamaan manning

dan

18
Dimana :
Q = Debit (m3/jam)
A = Luas Penampang Basah (m2)
V = Kecepatan Aliran (m/s)
R = Radius Hidrolik (A/W)
= 3.127/3.063
= 1.021

S =

= 0.32

V =

= 22.943 m x 24 jam

= 550.632 m/jam

= 0.153 m/s

Q =AxV

= 3.127 m2 x 0.153 m/s

= 71.765 m3/s

Untuk volume saluran = ½ (B + b) H x L

= ½ (4.084 m +2.042 m)4.084 m x30000 m

19
= 375355.176 m3

Perencanaan Saluran untuk DTH 2 :


Tinggi air (h)

h = 0,775 x

= 0,775 x

= 1.278 m
Lebar dasar saluran (b) Untuk lebar dasar saluran b = n.h dimana n adalah
konstanta perbandingan antara lebar dasar saluran dengan kedalaman air
b = 2 x 1.278 m
= 2.556 m
A = (b+z x h) x h dimana z = tan 45° = 1
A = (2.556 + 1 X 1.278) X 1.278
= 4.902 m2
Lebar permukaan saluran (B)
2A =(B+b)h
2 x 4.902 = (B +2.556 m) x 1.278 m
B = 7.669 m – 2.556 m
B = 5.113 m
Daerah Jagaan air / keliling basah (w)
W =B–b+h
= 5.113 m – 2.556 m + 1.278 m
= 3.834 m

Kedalaman Saluran (H)


H =h+w
= 1.278 m +3.834 m
= 5.113 m
Untuk menghitung kapasitas pengaliran menggunakan persamaan manning

dan

20
Dimana :
Q = Debit (m3/jam)
A = Luas Penampang Basah (m2)
V = Kecepatan Aliran (m/s)
R = Radius Hidrolik (A/W)
= 3.072/3.035
= 1.011

S =

= 0.315

V =

= 22.614 m x 24 jam

= 542.736 m/jam

= 0.151 m/s

Q =AxV

= 3.127 m2 x 0.151 m/s

= 69.471 m3/s

Untuk volume saluran = ½ (B + b) H x L

= ½ ( 4.047 m +2.023 m)4.047 m x20000 m

= 245763.393 m3

21
3.1.4 Volume dan Dimensi Sump
Daerah Tangkapan Hujan 1
V = 1,5 x Q x t
Dimana :
Q = debit air (m3/jam)
t = waktu hujan (jam)
V = 1,5 x Q x t
= 1.5 m x 10945.585 m3/jam x 1 jam
= 16418.378 m3
Sehingga volume sump DTH 1 adalah
V=pxlxt
= 77.460 m x 77.460 m x 3 m
= 18000 m3
Daerah Tangkapan Hujan 2
V = 1,5 x Q x t
Dimana :
Q = debit air (m3/jam)
t = waktu hujan (jam)
V = 1,5 x Q x t
= 1.5 x 10554.671 m3/jam x 1 jam
= 15832.007 m3
Sehingga volume sump DTH 2 adalah
V=pxlxt
=81.240 m x 81.240 m x 3 m
= 19800 m3

3.2 PEMBAHASAN
3.2.1 Daerah Tangkapan Hujan
Daerah tangkapan hujan ditentukan dengan membuat poligon tertutup dan
menyambungkan titik-titik pada peta topografi dengan mengikuti ketinggian dan
arah aliran air. Sehingga dengan pembuatan DTH diperkirakan setiap debit hujan
yang tertangkap dan terkonsentrasi pada elevasi terendah. Dari peta topografi
daerah tenggarong, Kalimantan timur dapat ditentukan daerah tangkapan hujan
yang terbagi menjadi dua, yaitu DTH 1 seluas 41000 m2 dan DTH 2 seluas 30000
m2.

22
3.2.2 Curah Hujan
Curah hujan merupakan jumlah air hujan yang jatuh pada suatu satuan luas
yang dinyatakan dalam mm. Data curah hujan yang dianalisis adalah data curah
hujan maksimum selama 10 tahun, meliputi :
A. Curah Hujan Rencana
Perhitungan Curah hujan rencana dihitung dengan menggunakan metode
log normal dan diperoleh hasil 3.440 mm/hari.
B. Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan dihitung dengan menggunakan rumus monnonobe
dan didapatkan nilai intensitas curah hujan sebesar 0.001002 m/s.
C. Debit Limpasan
Debit limpasan dihitung menggunakan persamaan rasional. Digunakan
nilai koefisien 0.9 karena merupakan lahan terbuka daerah tambang
dengan kemiringan >15%. Debit limpasan juga dipengaruhi oleh intensitas
curah hujan sehingga diperoleh debit limpasan air DTH 1 sebesar 10.281
m3/s dan debit limpasan air DTH 2 sebesar 7.522 m3/s
3.2.3 Saluran Penyaliran
Saluran Penyaliran digunakan untuk penanggulangan limpasan air.
Kapasitas saluran adalah daya tampung suatu saluran untuk menampung
air yang mengalir pada suatu daerah. Kapasitas saluran mnentukan
keberhasilan dari suatu rencana penyaliran. Bentuk penampang saluran air
yang digunakan adalah bentuk penampang trapesium karena bentuk
penampang trapesium lebih tahan terhadap pengikisan serta cocok untuk
debit air tang besar. Dari perhitunganyang telah dilakukan, diperoleh hasil
dan kapasitas saluran sebagai berikut :

A. DTH 1 dengan tinggi air 1.381 m, daerah jagaan air/penampang


basah 4.143 m, radius hidrolis 1.021 m, kedalama saluran 5.524
m, lebar dasar saluran 2.762 m, lebar permukaan saluran 5.525 m

B. DTH 2 dengan tinggi air 1.278 m, daerah jagaan air/penampang


basah 3.834 m, radius hidrolis 1.011m, kedalama saluran 5.113 m,
lebar dasar saluran 2.556 m, lebar permukaan saluran 5.113 m

3.2.4 Sump

Sump atau sumur berfungsi sebagai tempat penampungan air sementara


sebelum dipompa keluar tambang, ukuran sump sendiri dapat ditentukan
berdasarkan debit air yang ditampung. Dengan mempertimbangkan dan untuk

23
antisipasi agar debit air yang masuk ke daerah sump dapat melebihi perhitungan,
maka debit air dibuat dengan volume kali dari debit air awal dengan estimasi
lamanya hujan 1 jam selama satu hari. Sump yang direncanakan berbentuk persegi
agar sesuai dengan batas WIUP yang berupa persegi sehingga penggunaan lahan
efesien. Dimensi saluran yang direncanakan untuk DTH1 yakni panjang 77.460
m, lebar 77.460 m, dan kedalaman 3 m sehingga diperoleh volume sumuran
sebesar 18000 m3 dan untuk DTH2 memiliki panjang 81.240 m, lebar 81.240 m,
dan kedalaman 3 m sehingga diperoleh volume sumuran sebesar 19800 m3. Kedua
volume sumuran telah melebihi volume debit air limpasan yang ada dan
diharapkan dapat menampung air agar tidak meluber.

IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dapat disimpulkan :


1. Luas Daerah Tangkapan Hujan 1 (DTH 1) adalah 41000 m 2 dan luas
Daerah Tangkapan Hujan 2 (DTH 2) adalah 30000 m2
2. Berdasarkan perhitungan data curah hujan daerah Tenggarong,dengan
periode ulang hujan 10 tahun diperoleh intensitas hujan 0.001002 m/s.
3. Dimensi saluran berbentuk trapesium dengan dimensi yaitu

24
A. DTH 1 dengan tinggi air 1.381 m, daerah jagaan air/penampang basah
4.143 m, radius hidrolis 1.021 m, kedalama saluran 5.524 m, lebar
dasar saluran 2.762 m, lebar permukaan saluran 5.525 m
B. DTH 2 dengan tinggi air 1.278 m, daerah jagaan air/penampang basah
3.834 m, radius hidrolis 1.011m, kedalama saluran 5.113 m, lebar
dasar saluran 2.556 m, lebar permukaan saluran 5.113 m
4. Dimensi Sump dibuat persegi dengan ukuran :
A. DTH 1, panjang 77.460 m, lebar 77.460 m, dan kedalaman 3 m,
maka volume sumuran sebesar 18000 m3
B. DTH B, panjang 81.240 m, lebar 81.240 m, dan kedalaman 3 m,
maka volume sumuran sebesar 19800 m3

4.2 Saran

Dari kegiatan praktikum kali ini, ada beberapa saran yang hendak kami
sampaikan, diantaranya adalah :
1. Diharapkan pada praktikum berikutnya agar para praktikan lebih
memanfaatkan waktu sebaik mungkin
2. Memperbanyak referensi-referensi yang dibutuhkan dalam penyusunan
laporan
3. Mengkoordinir anggota kelompok dengan baik agar tidak terjadi
miskomunikasi antar anggota

25

Anda mungkin juga menyukai