Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Plasenta Akreta
1. Definisi
Istilah plasenta adhehernt menggambarkan implantasi abnormal plasenta ke
dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Plasenta akreta
adalah plasenta yang melekat secara abnormal pada uterus, dimana villi korionik
berhubungan langsung dengan miometrium tanpa desidua diantaranya. Desidua
endometrium merupakan barier atau sawar untuk mencegah invasi villi plasental ke
miometrium uterus. Pada plasenta akreta, tidak terdapat desidua basalis atau
perkembangan tidak sempurna dari lapisan fibrinoid. Jaringan ikat pada endometrium
dapat merusak barier desidual, misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik,
riwayat infeksi sebelumnya dan multiparitas. Ketika plasenta menginvasi hingga
miometrium maka disebut sebagai plasenta inkreta. Jika plasenta menginvasi melewati
miometrium dan serosa dan dapat menginvasi organ terdekat seperti kandung kemih
maka disebut sebagai plasenta perkreta (Committee, 2012).

2. Insidensi dan Faktor Risiko


Insiden plasenta akreta telah meningkat dan berbanding lurus dengan tingkat
kelahiran sectio cesaria yang meningkat. Wanita yang paling berisiko mengalami
plasenta akreta adalah mereka yang telah mempunyai kerusakan miometrium yang
disebabkan oleh operasi sesar sebelumnya dengan plasenta previa yang melintasi parut
uterus. Plasenta akreta menimbulkan komplikasi sekitar 0,9% dari seluruh kehamilan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Miller dkk terhadap 155.670 persalinan di
Rumah Sakit pada tahun 1985 hingga 1994, ditemukan sebanyak 62 dari 2.510
persalinan mengalami komplikasi plasenta akreta (Wainscott, 2006).
Resiko terjadinya plasenta akreta meningkat pada pasien dengan riwayat
persalinan cesar dan plasenta previa. Faktor risiko tambahan yang dilaporkan untuk
plasenta akreta meliputi usia ibu dan multiparitas, riwayat pembedah rahim dan kuretase
uterus sebelumnya, ablasi endometrium, Asherman syndrome, leiomyoma, anomali
rahim, hipertensi dalam kehamilan, dan merokok (Green, 2011).
3. Penegakkan Diagnosis
Pada kala III persalinan plasenta belum lahir setelah 30 menit dan perdarahan
banyak. Plasenta akreta dapat menimbulkan terjadinya perdarahan obsterik yang masif,
sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti dissaminated intravascular
coagulopathy (DIC), memerlukan tindakan histerektomi, adult respiratory distress
syndrome, gagal ginjal, hingga kematian. Jumlah darah yang hilang saat persalinan pada
wanita dengan plasenta akreta rata-rata 3000 – 5000 ml (Wiknjosastro, 2007).
Terkadang plasenta akreta dapat menyebabkan ruptura uteri spontan pada
trimester kedua dan ketiga, menyebabkan terjadinya perdarahan intraperitoneal, yang bisa
menimbulkan kematian. Plasenta akreta derajat ringan dapat terjadi dan dapat
menimbulkan perdarahan postpartum hebat, tetapi tidak membutuhkan manajemen yang
agresif yang diperlukan pada plasenta akreta derajat berat (Cunningham, 2010).

Gambar 1. Spesimen histerektomi

Diagnosis prenatal yang akurat sangat penting untuk meminimalkan derajat


komplikasi dimana dokter dapat merencanakan penanganan dan alat yang dibutuhkan
pada saat persalinan. Persiapannya meliputi penanganan anastesi, alat pembedahan yang
sesuai, ketersediaan darah untuk transfusi, dan teknologi yang dibutuhkan, kemungkinan
intervensi radiologi untuk embolisasi arteri uterina, dan perawatan intensif pascabedah.
Diagnosis plasenta akreta biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi atau magnetic
resonance imaging (MRI) (Smith, 2006).
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalah teknik diagnostik
pelengkap dan harus digunakan sesuai kebutuhan. USG transvaginal aman untuk
pasien dengan plasenta previa dan memungkinkan lebih lengkap dalam hal
pemeriksaan segmen bawah rahim (Eliza, 2013).
Secara keseluruhan, ultrasonografi grayscale cukup untuk mendiagnosis
plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%, spesifisitas 96-98%, nilai prediksi
positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif 98%. Penggunaan daya Doppler, warna
Doppler, atau pencitraan tiga dimensi tidak secara signifikan meningkatkan
sensitivitas diagnostik dibandingkan dengan yang dicapai oleh ultrasonografi
grayscale saja (Rac, 2015).
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut ini (Eliza,
2013; Rac, 2015):
First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus telah
berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada trimester ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental bed pada
trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.
3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang penting.
Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS tertanam ke bekas
luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada dasar kandung kemih (Figure 1).
Jika tidak ditangani, implantasi bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan
utama pada plasenta seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan
implantasi pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung
kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG (Eliza, 2013).
Meskipun ada laporan kasus terisolasi dari plasenta akreta didiagnosis pada
trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan < 20 minggu, nilai prediktif
trimester pertama USG untuk diagnosis ini masih belum diketahui. USG pada trimester
pertama tidak boleh digunakan secara rutin untuk menegakkan atau mengecualikan
diagnosis plasenta akreta. Atau, karena asosiasi mereka dengan plasenta akreta, wanita
dengan plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang melintas pada bekas luka
uterus pada awal kehamilan harus menjalani follow up pencitraan pada trimester ketiga
dengan memperhatikan adanya potensi karena plasenta akreta.

Second and Third Trimesters

1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi dengan


sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu rendah untuk plasenta
akreta (Figure 2) . Placenta lacunae pada trimester kedua tampaknya memiliki
sensitivitas dan positive predictive value sangat tinggi dibanding marker lain untuk
plasenta akreta.
2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal, juga disebut sebagai
hilangnya ruang yang jelas antara plasenta dan rahim, adalah salah satu penanda
(Figure 3). Temuan sonografi ini telah dilaporkan memiliki tingkat deteksi sekitar
93% dengan sensitivitas 52% dan spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive,
bagaimanapun, telah berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh
digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut pengambilan saat
USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang normal.
3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung kemih termasuk
gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan garis, dan peningkatan
vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler (Figure 4) . Normal permukaan antara
serosa uterus dengan kandung kemih adalah garis tipis lebar yang halus tanpa
ireguleritas atau vaskular yang meningkat (Figure 5). Kelainan permukaan antara
uterus serosa-kandung kemih ini meliputi, penebalan, ireguleritas, peningkatan
vaskularisasi, seperti varises dan bulging plasenta ke dalam dinding posterior
kandung kemih. Temuan USG di bawah ini berhubungan erat dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk plasenta akreta.

4) Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, atau kandung kemih mengarahkan
ke plasenta akreta.
5) Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm merupakan temuan yang
karakteristik.
6) Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Doppler sonografi terkait dengan
plasenta akreta.
Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atau Swiss cheese appearance, adalah salah
satu yang paling penting sonografi plasenta akreta di trimester ketiga. Patogenesis
temuan ini mungkin terkait dengan perubahan jaringan plasenta akibat paparan jangka
panjang dari pulsatile blood flow. Ketika multipel, terutama 4 atau lebih lacunae, temuan
ini telah berkorelasi dengan tingkat deteksi 100% untuk plasenta akreta. Penanda ini juga
memiliki tingkat positif palsu rendah, tetapi harus dicatat bahwa plasenta akreta telah
dilaporkan dengan tidak adanya multipel vascular lacunae pada plasenta (Eliza, 2013)
.
Tabel 2. Temuan USG yang menunjukkan hubungan dengan plasenta akreta
1 HHilangnya zona retroplasenta hipoekhoik normal
2 LLakuna dengan vaskularisasi multipel (ruang vascular
ireguler) di plasenta, memberikan gambaran “keju
Swiss”
3 PPembuluh darah atau jembatan jaringan plasenta-tepi
plasenta, gambaran myometrium-kandung kemih atau
serosa uterus menyilang
4 KKetebalan myometrium retroplasenta < 1 mm
5 GGambaran pembuluh koheren yang beragam dengan
Doppler 3D di basal

Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline antara lain yakni:
1) Greyscale:
a. Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
b. Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
c. Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder interface
d. Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung kemih
e. abnormal placenta lacunae
2) Doppler:
a. Difus atau fokal aliran lacunar
b. danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity > 15 cm /detik)
c. Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
d. markedly dilated vessels over peripheral subplacental zone
3) 3D Power Doppler:
a. Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan antara serosa uterus
dengan kandung kemih (basal viewl)
b. Hipervaskularisasi (lateral view)
c. Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic branching, detour vessels
(lateral view). (Green, 2011).

b. Magnetic resonance imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging lebih mahal daripada ultrasonografi dan
membutuhkan baik pengalaman dan keahlian dalam evaluasi invasi plasenta abnormal.
Meskipun kebanyakan studi telah menyarankan akurasi diagnostik yang sebanding MRI
dan USG untuk plasenta akreta, MRI dianggap sebagai modalitas tambahan dan
menambahkan sedikit dengan akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun, ketika ada
temuan USG atau kecurigaan dari akreta plasenta posterior, dengan atau tanpa plasenta
previa, ultrasonografi mungkin tidak cukup.
Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih diperdebatkan. Dua studi
banding terakhir telah menampilkan sonografi dan MRI sebanding: dalam studi pertama
15 dari 32 wanita terdiagnosis akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas
71% dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); di studi kedua 12 dari 50 wanita
akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan tidak ada perbedaan dalam
hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74), meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi
kedalaman infiltrasi di kasus plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis telah
menganjurkan MRI bagi perempuan yang pada temuan USGnya inconclusive.
Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi (Green, 2011):
● Uterine bulging
● Intensitas sinyal heterogen dalam plasenta
● Dark intraplacental bands pada pencitraan T2
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI 80%-85% dengan
spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis plasenta akreta (Eliza, 2013).

c. Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan skrining MSAFP
seperti untuk cacat tabung saraf dan aneuploidies. Hung dkk (1999) menganalisis lebih
dari 9300 wanita diskrining untuk down syndrome pada 14 sampai 22 minggu. Mereka
melaporkan 54 kali lipat meningkat risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta
previa. Risiko untuk akreta meningkat 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM; itu
meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang lebih besar dari 2,5 MoM; dan itu
meningkat tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35 tahun atau lebih (Cunningham, 2010)

d. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat berdasarkan hasil dari
patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan histerektomi. Diagnosis definitif
tergantung pada visualisasi dari villi chorialis yang menginvasi atau tertanam pada
miometrium dengan tidak adanya desidua di lapisan antara kedua organ tersebut
(Yulianti, 2011).
5. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terja dikarenakan tidak terdapat lapisan nitabuch atau lapisan
spongiosa dari desidua. Kondisi ini adalah konsekuensi dari kegagalan rekonstruksi
endometrium atau desidua basalis setelah proses penyembuhan luka insisi SC. Secara
histologis biasanya tampak sebagai gambaran trofoblas yang menginvasi miometrium
tanpa keterlibatan desidua. Hal ini menjadi masalah saat proses persalinan dimana
plasenta tidak akan terlepas dan akan terjadi perdarahan masif.

A. MANAJEMEN
1. Manajemen antepartum
Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah paru janin matang
yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun, hasil analisis terbaru menyarankan
untuk mengkombinasikan outcome ibu dan bayi dioptimalkan pada pasien stabil dengan
terminasi pada 34 minggu kehamilan tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian
kortikosteroid antenatal dan waktu pemberiannya harus individual. Pada sebuah studi
yang melibatkan 99 kasus plasenta akreta yang didiagnosis sebelum persalinan, 4 dari 9
dengan persalinan >36 minggu diperlukan terminasi emergensi karena perdarahan. Jika
tidak ada perdarahan antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat
akhir prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan persalinan darurat yang
terjadi dengan segala komplikasinya.
2. Manajemen preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan dukungan pelayanan
yang diperlukan untuk mengelola komplikasi potensial. Penilaian oleh anestesi harus
dilakukan sedini mungkin sebelum operasi. Antibiotik profilaksis diberikan, dengan
dosis ulangan 2-3 jam setelah operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang
diperkirakan. Preoperatif Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat membantu
mencegah cedera saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three way
ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan irigasi, drainase,
dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama diseksi. Sebelum operasi, darah
harus dipersiapkan terhadap potensi perdarahan masif. Rekomendasi saat ini untuk
penggantian darah dalam situasi trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen
plasma. PRC dan fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan
faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus diberikan dengan cepat sesuai
dengan kondisi tanda-tanda vital pasien dan stabilitas hemodinamik pasien. USG segera
pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat membantu dalam menentukan
pendekatan optimal ke dinding perut dan incisi rahim untuk memberikan visualisasi
yang memadai dan menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran janin
(Smith, 2006).
3. Manajemen operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang dicurigai
plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur. Meminimalkan
kehilangan darah sangat penting. Pilihan sayatan harus dibuat berdasarkan habitus
tubuh pasien dan sejarah operasi pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea mediana
mungkin dilakukan karena memberikan daerah cukup jika histerektomi diperlukan.
Insisi uterus klasik, sering transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari
plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika histerektomi
diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan plasenta in situ, dengan
cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup incisi histerotomi, dan lanjutkan
dengan histerektomi. Sedangkan histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi
flap kandung kemih dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan pembuluh
arteri uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung pada temuan
intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat dipertimbangkan, namun
perdarahan terus-menerus dari leher rahim mungkin menghalangi managemen ini dan
membuat histerektomi total tetap diperlukan.
4. Manajemen postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko untuk
mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan intraoperatif seperti
hipotensi, koagulopati persisten dan anemia, disfungsi ginjal, jantung, dan organ
lainnya (Wainscott, 2006).
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output urin harus diukur
melalui kateter urin. Pemantauan dan penilaian perifer oksigenasi dengan pulse
oksimetri. Koreksi koagulopati dan anemia berat dengan produk darah harus
dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara klinis untuk potensi kehilangan darah dari
luka sayatan perut dan vagina, dan kemungkinan pendarahan intraabdominal berulang
atau retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum elektrolit harus
dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria, kemungkinan cedera saluran
kemih yang tidak diketahui harus dipertimbangkan (Smith, 2006).

Daftar Pustaka

1. Committee opinion, Placenta Accreta, The American College of Obstetricans and


Gynecologists, July 2012.
2. Sivasankar Chitra, Perioperative management of undiagnosed placenta percreta: case report
and management strategies, International Journal of Women’s Health,2012, USA.
3. Eliza and Alfred, Prenatal Diagnosis of Placenta Accreta, The American Institute of
Ultrasound in Medicine, 2013, USA.
4. Publication Committee, Society for Maternal-Fetal Medicine, Placenta Accreta, American
Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2010,Washington DC.
5. Green – top Guideline No 27, Placenta praevia, placenta praevia accreta and vasa praevia:
diagnosis and management, Royal College of Obstetricans and Gynaecologists,January
2011.
6. Cunningham,Leveno, Bloom, Hauth, Rouse,Spong, Williams Obstetrics 23 edition, Chapter
35: Obstetrics Haemorrhage, pp 776-780, 2010.
7. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
8. Yulianti Lia, amd.keb,MKM,dkk.2011. Asuhan kebidanan IV (patologi kebidanan).
Jakarta:TIM
9. Wainscott, Michael P. Pregnancy, Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com.
May 30, 2006
10. Smith, John R , Barbara G. Brennan. Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com.
June 13, 2006
11. Rac, MW, Dashe, JS, Wells, CE, Moschos, E, McIntire, DD, & Twickler, DM, Ultrasound
predictors of placental invasion: the Placenta Accreta Index, American journal of obstetrics
and gynecology, 2015, 212(3): 343-e1.

Anda mungkin juga menyukai