A. Plasenta Akreta
1. Definisi
Istilah plasenta adhehernt menggambarkan implantasi abnormal plasenta ke
dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Plasenta akreta
adalah plasenta yang melekat secara abnormal pada uterus, dimana villi korionik
berhubungan langsung dengan miometrium tanpa desidua diantaranya. Desidua
endometrium merupakan barier atau sawar untuk mencegah invasi villi plasental ke
miometrium uterus. Pada plasenta akreta, tidak terdapat desidua basalis atau
perkembangan tidak sempurna dari lapisan fibrinoid. Jaringan ikat pada endometrium
dapat merusak barier desidual, misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik,
riwayat infeksi sebelumnya dan multiparitas. Ketika plasenta menginvasi hingga
miometrium maka disebut sebagai plasenta inkreta. Jika plasenta menginvasi melewati
miometrium dan serosa dan dapat menginvasi organ terdekat seperti kandung kemih
maka disebut sebagai plasenta perkreta (Committee, 2012).
4) Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, atau kandung kemih mengarahkan
ke plasenta akreta.
5) Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm merupakan temuan yang
karakteristik.
6) Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Doppler sonografi terkait dengan
plasenta akreta.
Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atau Swiss cheese appearance, adalah salah
satu yang paling penting sonografi plasenta akreta di trimester ketiga. Patogenesis
temuan ini mungkin terkait dengan perubahan jaringan plasenta akibat paparan jangka
panjang dari pulsatile blood flow. Ketika multipel, terutama 4 atau lebih lacunae, temuan
ini telah berkorelasi dengan tingkat deteksi 100% untuk plasenta akreta. Penanda ini juga
memiliki tingkat positif palsu rendah, tetapi harus dicatat bahwa plasenta akreta telah
dilaporkan dengan tidak adanya multipel vascular lacunae pada plasenta (Eliza, 2013)
.
Tabel 2. Temuan USG yang menunjukkan hubungan dengan plasenta akreta
1 HHilangnya zona retroplasenta hipoekhoik normal
2 LLakuna dengan vaskularisasi multipel (ruang vascular
ireguler) di plasenta, memberikan gambaran “keju
Swiss”
3 PPembuluh darah atau jembatan jaringan plasenta-tepi
plasenta, gambaran myometrium-kandung kemih atau
serosa uterus menyilang
4 KKetebalan myometrium retroplasenta < 1 mm
5 GGambaran pembuluh koheren yang beragam dengan
Doppler 3D di basal
Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline antara lain yakni:
1) Greyscale:
a. Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
b. Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
c. Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder interface
d. Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung kemih
e. abnormal placenta lacunae
2) Doppler:
a. Difus atau fokal aliran lacunar
b. danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity > 15 cm /detik)
c. Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
d. markedly dilated vessels over peripheral subplacental zone
3) 3D Power Doppler:
a. Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan antara serosa uterus
dengan kandung kemih (basal viewl)
b. Hipervaskularisasi (lateral view)
c. Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic branching, detour vessels
(lateral view). (Green, 2011).
c. Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan skrining MSAFP
seperti untuk cacat tabung saraf dan aneuploidies. Hung dkk (1999) menganalisis lebih
dari 9300 wanita diskrining untuk down syndrome pada 14 sampai 22 minggu. Mereka
melaporkan 54 kali lipat meningkat risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta
previa. Risiko untuk akreta meningkat 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM; itu
meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang lebih besar dari 2,5 MoM; dan itu
meningkat tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35 tahun atau lebih (Cunningham, 2010)
d. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat berdasarkan hasil dari
patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan histerektomi. Diagnosis definitif
tergantung pada visualisasi dari villi chorialis yang menginvasi atau tertanam pada
miometrium dengan tidak adanya desidua di lapisan antara kedua organ tersebut
(Yulianti, 2011).
5. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terja dikarenakan tidak terdapat lapisan nitabuch atau lapisan
spongiosa dari desidua. Kondisi ini adalah konsekuensi dari kegagalan rekonstruksi
endometrium atau desidua basalis setelah proses penyembuhan luka insisi SC. Secara
histologis biasanya tampak sebagai gambaran trofoblas yang menginvasi miometrium
tanpa keterlibatan desidua. Hal ini menjadi masalah saat proses persalinan dimana
plasenta tidak akan terlepas dan akan terjadi perdarahan masif.
A. MANAJEMEN
1. Manajemen antepartum
Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah paru janin matang
yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun, hasil analisis terbaru menyarankan
untuk mengkombinasikan outcome ibu dan bayi dioptimalkan pada pasien stabil dengan
terminasi pada 34 minggu kehamilan tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian
kortikosteroid antenatal dan waktu pemberiannya harus individual. Pada sebuah studi
yang melibatkan 99 kasus plasenta akreta yang didiagnosis sebelum persalinan, 4 dari 9
dengan persalinan >36 minggu diperlukan terminasi emergensi karena perdarahan. Jika
tidak ada perdarahan antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat
akhir prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan persalinan darurat yang
terjadi dengan segala komplikasinya.
2. Manajemen preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan dukungan pelayanan
yang diperlukan untuk mengelola komplikasi potensial. Penilaian oleh anestesi harus
dilakukan sedini mungkin sebelum operasi. Antibiotik profilaksis diberikan, dengan
dosis ulangan 2-3 jam setelah operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang
diperkirakan. Preoperatif Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat membantu
mencegah cedera saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three way
ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan irigasi, drainase,
dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama diseksi. Sebelum operasi, darah
harus dipersiapkan terhadap potensi perdarahan masif. Rekomendasi saat ini untuk
penggantian darah dalam situasi trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen
plasma. PRC dan fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan
faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus diberikan dengan cepat sesuai
dengan kondisi tanda-tanda vital pasien dan stabilitas hemodinamik pasien. USG segera
pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat membantu dalam menentukan
pendekatan optimal ke dinding perut dan incisi rahim untuk memberikan visualisasi
yang memadai dan menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran janin
(Smith, 2006).
3. Manajemen operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang dicurigai
plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur. Meminimalkan
kehilangan darah sangat penting. Pilihan sayatan harus dibuat berdasarkan habitus
tubuh pasien dan sejarah operasi pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea mediana
mungkin dilakukan karena memberikan daerah cukup jika histerektomi diperlukan.
Insisi uterus klasik, sering transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari
plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika histerektomi
diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan plasenta in situ, dengan
cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup incisi histerotomi, dan lanjutkan
dengan histerektomi. Sedangkan histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi
flap kandung kemih dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan pembuluh
arteri uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung pada temuan
intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat dipertimbangkan, namun
perdarahan terus-menerus dari leher rahim mungkin menghalangi managemen ini dan
membuat histerektomi total tetap diperlukan.
4. Manajemen postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko untuk
mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan intraoperatif seperti
hipotensi, koagulopati persisten dan anemia, disfungsi ginjal, jantung, dan organ
lainnya (Wainscott, 2006).
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output urin harus diukur
melalui kateter urin. Pemantauan dan penilaian perifer oksigenasi dengan pulse
oksimetri. Koreksi koagulopati dan anemia berat dengan produk darah harus
dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara klinis untuk potensi kehilangan darah dari
luka sayatan perut dan vagina, dan kemungkinan pendarahan intraabdominal berulang
atau retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum elektrolit harus
dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria, kemungkinan cedera saluran
kemih yang tidak diketahui harus dipertimbangkan (Smith, 2006).
Daftar Pustaka