Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdarahan merupakan faktor yang paling sering menyebabkan kematian


maternal di seluruh dunia. Lebih dari separuh kematian maternal terjadi dalam 24
jam setelah persalinan, terutama akibat perdarahan dalam jumlah berlebihan.
Diperkirakan sebanyak 140.000 wanita meninggal akibat perdarahan postpartum
dalam setiap tahun (American College of Obstetricians and Gynecologist, 2006).
Perdarahan post partum merupakan suatu keadaan hilangnya darah sebanyak
500 ml atau lebih setelah selesainya kala 3 persalinan. Perdarahan postpartum ini
berkaitan dengan proses manajemen kala 3 persalinan. Kala 3 persalinan
merupakan periode setelah lahirnya bayi hingga proses pengeluaran plasenta.
Penentuan etiologi dari perdarahan post partum sangat penting untuk menentukan
langkah yang akan ditempuh untuk menghentikan perdarahan (Cunningham et
al., 2010).
Penyebab dari perdarahan postpartum ini dapat dikategorikan melalui 4T atau
tonus, tissue (jaringan), trauma, dan thrombosis. (Society of Obstetrics and
Gynecology of Canada, 2008).
1. Tonus, hal ini berkaitan dengan kontraksi uterus, pada kontraksi uterus yang
jelek, atau bahkan terjadi atonia uteri, dapat menyebabkan perdarahan
postpartum. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kontraksi uterus
yang buruk antara lain dari kelelahan akibat persalinan lama, efek obat-obatan
anestesi, MgSO4, nifedipin, obat NSAID, atau karena toksin bakteri
(misalnya pada korioamnionitis, endometritis).
2. Tissue, kontraksi uterus yang baik dapat memicu pelepasan plasenta dengan
baik, pelepasan plasenta yang lengkap dapat berlanjut menjadi retraksi dan
oklusi optimal dari pembuluh darah, sehingga dapat mencegah perdarahan.
Gagalnya pelepasan plasenta dapat terjadi akibat plasenta akreta, perkreta atau
inkreta.

1
3. Trauma, kerusakan jaringan pada traktus genitalis dapat terjadi secara spontan
maupun melalui proses yang disengaja saat proses persalinan. Perlukaan dapat
terjadi akibat persalinan dengan menggunakan forceps, misalnya laserasi pada
serviks. Selain itu perdarahan juga dapat terjadi jika dilakukan episiotomi.
4. Thrombosis, faktor ini berkaitan dengan kelainan sistem koagulasi. Deposisi
fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan pembekuan darah yang menyuplai
pembuluh darah di sekitarnya memiliki peran besar dalam perdarahan post
partum.
Perdarahan post partum dibagi menjadi dua kategori, yakni perdarahan post
partum primer (early post partum hemorrhage), yakni perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam setelah lahir, dan perdarahan post partum sekunder (late post
partum hemorrhage) yang terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
(Anderson & Etches, 2007).
Pada kasus ini terjadi perdarahan post partum akibat plasenta akreta. Plasenta
akreta merupakan perlekatan plasenta ke dalam myometrium. Salah satu terapi
yang dipilih untuk mengatasi perdarahan post partum akibat invasi plasenta atau
dalam kasus ini plasenta akreta adalah histerektomi (Anderson & Etches, 2007).

2
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Mulyati
Usia : 34 tahun
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Krajan 02/04, Pekuncen, Banyumas
Tanggal/Jam Masuk : 20 Agustus 2015/ Pukul 18.30 WIB

2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Autoanamnesa
Perdarahan postpartum
Keluhan tambahan :
-

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke VK IGD RS. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
dengan membawa surat rujukan dari Puskesmas Pekuncen pada Kamis, 20
Agustus 2015 pukul 18.30 WIB. Pasien datang dengan Para 1 Abortus 0 usia 34
tahun post partum spontan dengan perdarahan post partum. Hari pertama haid
terakhir pasien pada tanggal 21 November 2014 dan pasien mengaku memiliki
siklus haid yang teratur 1 bulan sekali dengan durasi haid selama 7 hari dan
jumlah darah yang relatif normal. Hari perkiraan lahir pasien pada tanggal 28
Agustus 2015. Pasien rutin melakukan Ante Natal Care (ANC) di bidan. Riwayat
obstetri hamil ini para 1 abortus 0.

3
Pasien mengaku kenceng – kenceng sejak pagi tanggal 20 Agustus 2015 dan
keluar air ketuban pada pukul 14.00. Terdapat lendir darah. Di Puskesmas
Pekuncen dilakukan pemeriksaan pada pukul 15.19 didapatkan tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, dan suhu 36ºC. Palpasi TFU
sebesar 35 cm, DJJ 130x/menit, VT Ø 5cm, KK (-), Kepala turun Hodge I, porsio
edema. Pukul 16.38 pasien ingin mengejan, VT Ø lengkap, KK (-), Kepala turun
Hodge III+, lalu pasien dipimpin mengejan. Pukul 16.50 bayi lahir spontan
dengan apgar score 8-9-10. Kemudian diinjeksi synto 10 IU IM lalu dilakukan
peregangan tali pusat terkendali. Pukul 16.55 plasenta lahir spontan perdarahan
banyak, dilakukan masase uterus dan pemberian drip synto 20 IU, dipasang
kateter, namun perdarahan masih tetap banyak. Lalu dipasang infus 2 jalur dan
oksigen kanul nasal. Puskesmas Pekuncen merujuk ke Rumah Sakit Margono
Soekardjo.

Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat Obesitas : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat kejang : disangkal
f. Riwayat kencing manis : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

4
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suaminya
yang bekerja sebagai wiraswasta. Pasien berobat ke Rumah Sakit Margono
Soekarjo dengan menggunakan BPJS-PBI.

3. PEMERIKSAAN FISIK 20/8/2015


Pemeriksaan Fisik Umum
Status Pasien:
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 80/60 mmHg
- Nadi : 96 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu badan : 36 ºC
- Tinggi badan : 156 cm
- Berat badan saat ini : 55 kg
- Mata : Konjungtiva anemis, tidak ada sklera ikterik
pada mata kanan dan kiri.
- Telinga : Tidak ada ottorhea.
- Hidung : Tidak keluar sekret
- Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis
- Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah

5
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 1 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : TFU 1 jari dibawah pusat

Pemeriksaan ekstrimitas
Tidak tampak sianosis, akral hangat

Pemeriksaan Genitalia Eksterna


a. Perdarahan pervaginam
Terdapat perdarahan akibat adanya sisa plasenta
b. Keputihan
Tidak ada

4. Diagnosis di IGD
Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun post partum spontan dengan perdarahan post
partum e.c sisa plasenta, hamil aterm

6
5. Sikap dan Penatalaksanaan
IGD
1. Memberi O2 4lpm
2. Memberi infus cairan RL 500cc 2 jalur
3. Pemeriksaan Darah Lengkap, Protrombin Time (PT), dan APTT.
4. Memberi injeksi metergin 1 ampul

Tabel 1.1. Pemeriksaan Laboratorium 23/8/2015

PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI NORMAL


Darah Lengkap
Hemoglobin 7,7 12 - 16 g/dl
Leukosit 13290 4800 - 10.800/µl
Hematokrit 22 37 - 47 %
Eritrosit 2,5 4,2 – 5,4/ µl
Trombosit 94.000 150.000 – 450.000
MCV 85 79,0 – 99,0 fL
MCH 30,4 27,0 – 31,0 pg
MCHC 35,8 33,0 – 37,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,1 0–1%
Eosinofil 0,0 2–4%
Batang 1,4 2–5%
Segmen 90,9 40 – 70 %
Limfosit 5,9 25 – 40 %
Monosit 1,7 2–8%

Tabel 2.2. Catatan Perkembangan Pasien di ruang bersalin (VK)

Tanggal Tindakan SOAP

7
20Agustu
s 2015 Pasien datang ke VK IGD
18.30 TD 80/60 mmHg N 96 x/m Pro kuretase
RR 20 x/m S 36 ºC
Masase uterus keras lembek, eksplore terdapat sisa
plasenta yang erat, perdarahan banyak.
Diberi Drip oxytocin 2 ampul. Injeksi metergin IM
diberi, perdarahan sudah agak berkurang, diberikan
gastrul 2 tab per rectal dan 2 tab peroral.
Masase uterus keras.

Tabel 2.3. Catatan perkembangan pasien di ruang Flamboyan

Tanggal Tindakan SOAP


21Agustus Dilakukan konsul ke Sp. An untuk program Pro kuretase
2015 kuretase
22 Agustus Dilakukan kuretase
2015
Dilakukan USG, dengan hasil
24 Agustus Kesan : plasenta dengan struktur inhomogen,
2015 ukuran tak terjangkau probe tampak sulit
dipisahkan dengan struktur myometrium
dengan hipervaskularisasi minimal, intracavum
uteri regio inguinal kanan-lumbar-inguinal kiri,
umbilical-suprapubic  sesuai gambaran
plasenta akreta
29 Agustus Pasien kontrol ke poli kebidanan dan Rawat teratai untuk
2015 kandungan RSMS, dengan keluhan nyeri dan pemberian MTX
pegal bagian bawah disertai perdarahan selama 5 hari
pervaginam.
Dengan diagnosis : P1A0 post kuretase atas
indikasi retensio plasenta dengan plasenta
akreta
Dilakukan USG dengan hasil
02 September Kesan : tampak struktur hiperekoik inhomogen
2015 pada aspek superoposterior kanan kavum uteri
dan aspek posterior cavum uteri  suspek sisa
plasenta
Tampak cairan bebas minimal pada cavum
douglas dan intracavitas kanalis servik belum
menutup

8
Diagnosis pre operatif:

Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun dengan perdarahan post partum lambat berulang
e.c placenta akreta

Tabel 2.4. Catatan Perkembangan Pasien pre Operasi, durante dan Post Operasi

Tanggal Tindakan + SOA P


4
Septembe
r 2015
09.50 Persiapan Operasi
10.00 Pasien terlentang di meja operasi dibawah
pengaruh anastesi spinal, Melakukan tindakan Asepsis
dan antisepsis, Memasang duk steril, dan
Melakukan insisi dinding abdomen lapis demi lapis.
Ditemukan adanya Tuba Ovarian Abcess di kanan Ø10x8x8cm
dan kista ovarium di kiri Ø5x5x5cm
10.20 Dilakukan histerektomi total dan salfingooforektomi dekstra
serta kistektomi sinistra
11.00 Melakukan jahitan pada facia, area subkutis, dan kutis
11.10 Operasi selesai

9
6. Diagnosis Akhir
Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun dengan post laparotomi eksplorasi, total
abdominal histerektomi, salphingooforektomi dekstra, kistektomi sinistra atas
indikasi perdarahan post partum lambat berulang e.c placenta akreta, tuba ovarian
abses dekstra dan kista ovarium sinistra

10
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun post
partum spontan dengan perdarahan post partum. Beberapa hal yang perlu dibahas
berkaitan dengan diagnosis ini antara lain :

a. Riwayat obstetri P0A0 : nullipara, tidak pernah memiliki riwayat melahirkan dan
abortus sebelumnya (Cunningham et al., 2010).

b. Usia 34 tahun (primi tua) merupakan usia reproduksi yang tidak ideal. Usia ini
merupakan usia yang memiliki risiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan
karena usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-30 tahun (Winkjosastro, 2009).

c. Perdarahan post partum. Perdarahan paska melahirkan merupakan hal yang sering
terjadi, pada kasus ini disebabkan karena adanya sisa plasenta dari plasenta yang
menempel erat atau plasenta akreta (Cunningham et al., 2010).

11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Plasenta Akreta
1. Definisi
Istilah plasenta adherent menggambarkan implantasi abnormal plasenta
ke dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.
Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat secara abnormal pada uterus,
dimana villi korionik berhubungan langsung dengan miometrium tanpa
desidua diantaranya. Desidua endometrium merupakan barier atau sawar
untuk mencegah invasi villi plasental ke miometrium uterus. Pada plasenta
akreta, tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak sempurna dari
lapisan fibrinoid. Jaringan ikat pada endometrium dapat merusak barier
desidual, misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik, riwayat
infeksi sebelumnya dan multiparitas. Ketika plasenta menginvasi hingga
miometrium maka disebut sebagai plasenta inkreta. Jika plasenta menginvasi
melewati miometrium dan serosa dan dapat menginvasi organ terdekat
seperti kandung kemih maka disebut sebagai plasenta perkreta (Committee,
2012).
2. Insidensi dan Faktor Risiko
Insiden plasenta akreta telah meningkat dan berbanding lurus dengan
tingkat kelahiran sectio cesaria yang meningkat. Wanita yang paling berisiko
mengalami plasenta akreta adalah mereka yang telah mempunyai kerusakan
miometrium yang disebabkan oleh operasi sesar sebelumnya dengan plasenta
previa yang melintasi parut uterus. Plasenta akreta menimbulkan komplikasi
sekitar 0,9% dari seluruh kehamilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Miller dkk terhadap 155.670 persalinan di Rumah Sakit pada tahun 1985
hingga 1994, ditemukan sebanyak 62 dari 2.510 persalinan mengalami
komplikasi plasenta akreta (Wainscott, 2006).

12
Resiko terjadinya plasenta akreta meningkat pada pasien dengan riwayat
persalinan caesar dan plasenta previa. Faktor risiko tambahan yang
dilaporkan untuk plasenta akreta meliputi usia ibu dan multiparitas, riwayat
pembedah rahim dan kuretase uterus sebelumnya, ablasi endometrium,
Asherman syndrome, leiomyoma, anomali rahim, hipertensi dalam
kehamilan, dan merokok (Green, 2011).
3. Penegakan Diagnosis
Pada kala III persalinan plasenta belum lahir setelah 30 menit dan
perdarahan banyak. Plasenta akreta dapat menimbulkan terjadinya
perdarahan obsterik yang masif, sehingga dapat menimbulkan komplikasi
seperti dissaminated intravascular coagulopathy (DIC), memerlukan
tindakan histerektomi, adult respiratory distress syndrome, gagal ginjal,
hingga kematian. Jumlah darah yang hilang saat persalinan pada wanita
dengan plasenta akreta rata-rata 3000 – 5000 ml (Wiknjosastro, 2007).
Terkadang plasenta akreta dapat menyebabkan ruptura uteri spontan pada
trimester kedua dan ketiga, menyebabkan terjadinya perdarahan
intraperitoneal, yang bisa menimbulkan kematian. Plasenta akreta derajat
ringan dapat terjadi dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum hebat,
tetapi tidak membutuhkan manajemen yang agresif yang diperlukan pada
plasenta akreta derajat berat (Cunningham, 2010).

Gambar 4.1 Spesimen histerektomi

13
Diagnosis prenatal yang akurat sangat penting untuk meminimalkan
derajat komplikasi dimana dokter dapat merencanakan penanganan dan alat
yang dibutuhkan pada saat persalinan. Persiapannya meliputi penanganan
anastesi, alat pembedahan yang sesuai, ketersediaan darah untuk transfusi, dan
teknologi yang dibutuhkan, kemungkinan intervensi radiologi untuk
embolisasi arteri uterina, dan perawatan intensif pascabedah. Diagnosis
plasenta akreta biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi atau magnetic
resonance imaging (MRI) (Smith, 2006).
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalah teknik
diagnostik pelengkap dan harus digunakan sesuai kebutuhan. USG
transvaginal aman untuk pasien dengan plasenta previa dan mem m
ungkinkan lebih lengkap dalam hal pemeriksaan segmen bawah rahim
(Eliza, 2013).
Secara keseluruhan, ultrasonografi grayscale cukup untuk
mendiagnosis plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%, spesifisitas 96-
98%, nilai prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif 98%.
Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau pencitraan tiga dimensi
tidak secara signifikan meningkatkan sensitivitas diagnostik dibandingkan
dengan yang dicapai oleh ultrasonografi grayscale saja (Rac, 2015).
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut ini
(Eliza, 2013; Rac, 2015):
First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus
telah berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada
trimester ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental
bed pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.

14
3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang
penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS
tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada
dasar kandung kemih (Figure 1). Jika tidak ditangani, implantasi
bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta
seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi
pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung
kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG (Eliza,
2013).

Gambar 4.2 Gambaran USG pada Plasenta Akreta

Meskipun ada laporan kasus terisolasi dari plasenta akreta didiagnosis


pada trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan < 20

15
minggu, nilai prediktif trimester pertama USG untuk diagnosis ini masih
belum diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh digunakan
secara rutin untuk menegakkan atau mengecualikan diagnosis plasenta
akreta. Atau, karena asosiasi mereka dengan plasenta akreta, wanita
dengan plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang melintas pada
bekas luka uterus pada awal kehamilan harus menjalani follow up
pencitraan pada trimester ketiga dengan memperhatikan adanya potensi
karena plasenta akreta.
Second and Third Trimesters
1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi
dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu
rendah untuk plasenta akreta (Figure 2) . Placenta lacunae pada
trimester kedua tampaknya memiliki sensitivitas dan positive
predictive value sangat tinggi dibanding marker lain untuk plasenta
akreta.
2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal, juga disebut
sebagai hilangnya ruang yang jelas antara plasenta dan rahim, adalah
salah satu penanda (Figure 3). Temuan sonografi ini telah dilaporkan
memiliki tingkat deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas 52% dan
spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun, telah
berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh
digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut
pengambilan saat USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang
normal.
3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih termasuk gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan
garis, dan peningkatan vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler
(Figure 4) . Normal permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih adalah garis tipis lebar yang halus tanpa ireguleritas atau
vaskular yang meningkat (Figure 5). Kelainan permukaan antara

16
uterus serosa-kandung kemih ini meliputi, penebalan, ireguleritas,
peningkatan vaskularisasi, seperti varises dan bulging plasenta ke
dalam dinding posterior kandung kemih. Temuan USG di bawah ini
berhubungan erat dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk plasenta akreta.

Gambar 4.3 Gambaran USG pada Plasenta Akreta


4) Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, atau kandung
kemih mengarahkan ke plasenta akreta.
5) Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm merupakan
temuan yang karakteristik.
6) Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Doppler sonografi terkait
dengan plasenta akreta.
Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atau Swiss cheese
appearance, adalah salah satu yang paling penting sonografi plasenta
akreta di trimester ketiga. Patogenesis temuan ini mungkin terkait dengan
perubahan jaringan plasenta akibat paparan jangka panjang dari pulsatile
blood flow. Ketika multipel, terutama 4 atau lebih lacunae, temuan ini
telah berkorelasi dengan tingkat deteksi 100% untuk plasenta akreta.
Penanda ini juga memiliki tingkat positif palsu rendah, tetapi harus

17
dicatat bahwa plasenta akreta telah dilaporkan dengan tidak adanya
multipel vascular lacunae pada plasenta (Eliza, 2013)
.
Tabel 2. Temuan USG yang menunjukkan hubungan dengan plasenta akreta
1 HHilangnya zona retroplasenta hipoekhoik normal
2 LLakuna dengan vaskularisasi multipel (ruang vascular
ireguler) di plasenta, memberikan gambaran “keju
Swiss”
3 PPembuluh darah atau jembatan jaringan plasenta-tepi
plasenta, gambaran myometrium-kandung kemih atau
serosa uterus menyilang
4 KKetebalan myometrium retroplasenta < 1 mm
5 GGambaran pembuluh koheren yang beragam dengan
Doppler 3D di basal

Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline antara lain yakni:
1) Greyscale:
a. Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
b. Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
c. Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder interface
d. Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung kemih
e. abnormal placenta lacunae
2) Doppler:
a. Difus atau fokal aliran lacunar
b. danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity > 15 cm /detik)
c. Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
d. markedly dilated vessels over peripheral subplacental zone

18
3) 3D Power Doppler:
a. Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan antara serosa
uterus dengan kandung kemih (basal viewl)
b. Hipervaskularisasi (lateral view)
c. Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic branching,
detour vessels (lateral view). (Green, 2011).

Gambar 4.4 Gambaran USG pada Invasi Plasenta


b. Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging lebih mahal daripada ultrasonografi
dan membutuhkan baik pengalaman dan keahlian dalam evaluasi invasi
plasenta abnormal. Meskipun kebanyakan studi telah menyarankan
akurasi diagnostik yang sebanding MRI dan USG untuk plasenta akreta,
MRI dianggap sebagai modalitas tambahan dan menambahkan sedikit
dengan akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun, ketika ada temuan
USG atau kecurigaan dari akreta plasenta posterior, dengan atau tanpa
plasenta previa, ultrasonografi mungkin tidak cukup.
Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih
diperdebatkan. Dua studi banding terakhir telah menampilkan sonografi

19
dan MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32 wanita terdiagnosis
akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas 71%
dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); di studi kedua 12 dari
50 wanita akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74),
meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi kedalaman infiltrasi di kasus
plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis telah menganjurkan MRI bagi
perempuan yang pada temuan USGnya inconclusive.
Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi (Green, 2011):
1) Uterine bulging
2) Intensitas sinyal heterogen dalam plasenta
3) Dark intraplacental bands pada pencitraan T2
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI 80%-
85% dengan spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis plasenta
akreta (Eliza, 2013).
c. Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan
skrining MSAFP seperti untuk cacat tabung saraf dan aneuploidies. Hung
dkk (1999) menganalisis lebih dari 9300 wanita diskrining untuk down
syndrome pada 14 sampai 22 minggu. Mereka melaporkan 54 kali lipat
meningkat risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta previa. Risiko
untuk akreta meningkat 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM;
itu meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang lebih besar dari
2,5 MoM; dan itu meningkat tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35 tahun
atau lebih (Cunningham, 2010)
d. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat berdasarkan
hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan histerektomi.
Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi dari villi chorialis yang

20
menginvasi atau tertanam pada miometrium dengan tidak adanya desidua
di lapisan antara kedua organ tersebut (Yulianti, 2011).
5. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terjadi dikarenakan tidak terdapat lapisan
nitabuch atau lapisan spongiosa dari desidua. Kondisi ini adalah konsekuensi
dari kegagalan rekonstruksi endometrium atau desidua basalis setelah proses
penyembuhan luka insisi SC. Secara histologis biasanya tampak sebagai
gambaran trofoblas yang menginvasi miometrium tanpa keterlibatan desidua.
Hal ini menjadi masalah saat proses persalinan dimana plasenta tidak akan
terlepas dan akan terjadi perdarahan masif.
6. Manajemen
a. Manajemen antepartum
Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah paru
janin matang yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun, hasil
analisis terbaru menyarankan untuk mengkombinasikan outcome ibu dan
bayi dioptimalkan pada pasien stabil dengan terminasi pada 34 minggu
kehamilan tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian
kortikosteroid antenatal dan waktu pemberiannya harus individual. Pada
sebuah studi yang melibatkan 99 kasus plasenta akreta yang didiagnosis
sebelum persalinan, 4 dari 9 dengan persalinan >36 minggu diperlukan
terminasi emergensi karena perdarahan. Jika tidak ada perdarahan
antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat akhir
prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan persalinan
darurat yang terjadi dengan segala komplikasinya.
b. Manajemen preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan dukungan
pelayanan yang diperlukan untuk mengelola komplikasi potensial.
Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum operasi.
Antibiotik profilaksis diberikan, dengan dosis ulangan 2-3 jam setelah
operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang diperkirakan. Preoperatif

21
Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat membantu mencegah
cedera saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three
way ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan
irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama
diseksi. Sebelum operasi, darah harus dipersiapkan terhadap potensi
perdarahan masif. Rekomendasi saat ini untuk penggantian darah dalam
situasi trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen plasma. PRC
dan fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan
faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus diberikan dengan
cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda vital pasien dan stabilitas
hemodinamik pasien. USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi
plasenta dapat membantu dalam menentukan pendekatan optimal ke
dinding perut dan incisi rahim untuk memberikan visualisasi yang
memadai dan menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran
janin (Smith, 2006).
c. Manajemen operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang
dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea
prematur. Meminimalkan kehilangan darah sangat penting. Pilihan
sayatan harus dibuat berdasarkan habitus tubuh pasien dan sejarah operasi
pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea mediana mungkin dilakukan
karena memberikan daerah cukup jika histerektomi diperlukan. Insisi
uterus klasik, sering transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari
plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika
histerektomi diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan
plasenta in situ, dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup
incisi histerotomi, dan lanjutkan dengan histerektomi. Sedangkan
histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi flap kandung kemih
dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan pembuluh arteri

22
uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung pada temuan
intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat
dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari leher rahim
mungkin menghalangi managemen ini dan membuat histerektomi total
tetap diperlukan.
d. Manajemen postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko
untuk mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan
intraoperatif seperti hipotensi, koagulopati persisten dan anemia,
disfungsi ginjal, jantung, dan organ lainnya (Wainscott, 2006).
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-
tanda vital (tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output
urin harus diukur melalui kateter urin. Pemantauan dan penilaian perifer
oksigenasi dengan pulse oksimetri. Koreksi koagulopati dan anemia berat
dengan produk darah harus dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara
klinis untuk potensi kehilangan darah dari luka sayatan perut dan vagina,
dan kemungkinan pendarahan intraabdominal berulang atau
retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum
elektrolit harus dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria,
kemungkinan cedera saluran kemih yang tidak diketahui harus
dipertimbangkan (Smith, 2006).

B. Kista Ovarium
1. Pengertian
Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian ovum
yang normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak teridentifikasi dan
terdiri atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi, kista ini tumbuh
lambat dan ditemukan selama pembedahan yang mengandung material
sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit (Smeltzer,
2001).

23
2. Etiologi
Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan
pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu sendiri.
Kista ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus
menstruasi (Wiknjosastro,1999). Kista ovarium dapat timbul akibat stimulasi
yang berlebihan terhadap gonadotropin(Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004).
a. Gestational tropoblastic neoplasma (molahidatidosa dan khoriokarsinoma)
b. Fungsi ovarium, ovulasi yang terus menerus akan menyebabkan epitel
permukaan ovarium mengalami perubahan neoplastik.
c. Zat karsinogen, zat radioaktif, asbes, virus eksogen dan hidrokarbon
polikistik
d. Pada pasien yang sedang diobati akibat kasus infertilitas dimana terjadi
induksiovulasi melalui manipulasi hormonal.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat kista ovarium sebelumnya
b. Siklus menstruasi yang tidak teratur
c. Meningkatnya distribusi lemak tubuh bagian atas
d. Menstruasi dini
e. Tingkat kesuburan
f. Hipotiroid atau hormon yang tidak seimbang
g. Terapi tamosifen pada kanker mamma
Sedangkan pada tumor padat, etiologi pasti belum diketahui, diduga akibat
abnormalitas pertumbuhan sel embrional, atau sifat genetis kanker yang
tercetus oleh radikal bebas atau bahan bahan karsinogenik.
4. Klasifikasi
Pembagian kista ovarium berdasarkan non neoplastik dan neoplastik yaitu:
a. Non Neoplastik
1) Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel de graaf yang tidak samapi berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel

24
primer yang setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak
mengalami proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi
kista. Biasanya dapat di dapati beberapa kista dengan diameter kista 1-
1,5 cm. Kista yang berdiri sendiri sebesar jeruk nipis. Cairan di dalam
kista jernih dan mengandung estrogen, oleh sebab itu jenis kista ini
sering mengganggu siklus menstruasi.Kista folikel ini lambat laun
mengacil dan menghilang spontan.

Gambar 4.5 Kista folikel (Wiknjosastro, 1999 )

2) Kista korpus luteum


Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan
menjadi korpus albikans, kadang-kadang korpus luteum
mempertahankan diri (korpus luteum persisten ), perdarahan yang
sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan
yang berwarna merah coklat karena darah tua. Frekuensi kista luteum
lebih jarang dari pada kista folikel, dan yang pertama bisa lebih besar
dari yang kedua.
3) Kista teka lutein

25
Biasanya terjadi pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan
kadang – kadang tanpa adanya kelainan tertentu, ovarium dapat
membesar menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi
sebesar tinju.Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel
teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi
sering kali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini
adalah pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan
dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil
spontan.
4) Kista inklusi germinal
Biasanya terjadi karena invaginasi dan isolasi bagianbagian kecil
dari epitel germinativum pada permukaan ovarium, besarnya jarang
melebihi diameter 1 cm. Kista ini biasanya kebetulan di temukan pada
pemeriksaan histologi ovarium yang diangkat sewaktu operasi.
5) Kista endometrium
Kista ini endometriosis yang berlokasi di ovarium.
6) Kista stein-levental
Biasanya kedua ovarium membesar dan bersifat polykistik,
permukaan licin, kapsul ovarium menebal dan tampak tunika yang
tebal dan fibrotik pada pemeriksaan mikroskopis.
b. Neoplastik
1) Kistoma ovarii simpleks
Kista ini memiliki permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai,
seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar, dinding kista tipis dan
cairan dalam kista jernih, terus berwarna kuning.

26
2) Kistadenoma ovarii musinosum
Kemungkinan berasal dari suatu teratoma dimana didalam
pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen lain. Tumor ini
mempunyai bentuk bulat, ovoid tidak teratur, dengan permukaaan rata
berwarna putih kebiru-biruan.

Gambar 4.6 Kistadenoma ovarii musinosum (Wiknjosastro,1999)

3) Kistadenoma ovarii serosum


Berasal dari epitel permukaan ovarium, dinding luarnya dapat
menyerupai kista musinosum.Dinding dalam kista sangat licin,
sehingga pada kista yang kecil sukar dibedakan dengan kista folikel
biasa.

Gambar 4.7 Kistadenoma ovarii serosum (Wiknjosastro, 1999 )

27
4) Kista endometrioid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding
dalam terdapat satu lapisan sel yang menyerupai lapisan epitel
endometrium.
5) Kista dermoid
Suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur ektodermal
dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi, dan
produk glandula sebacea berwarna putih kekuningan menyerupai
lemak (Wiknjosastro, 1999 ).

Gambar 4.8 Kista dermoid ( Wiknjosastro, 1999 )

5. Patofisiologi

Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang
disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan
diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur
akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2
cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit,
korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif.
Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar
kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan (Schorge et al.
William’s, 2008).

28
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista
fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang
kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh
gonadotropin, termasuk FSH dan HCG (Sjamsuhidayat,1998).

Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin


atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia
tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan
kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes, hcg menyebabkan
kondisi yang disebut hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi infertilitas,
induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau
terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi
ovari, terutama bila disertai dengan pemberian HCG (Wiknjosastro, 2005).

Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak
terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak.Neoplasia yang
ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium.Sejauh ini,
keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan
sebagian besar lesi kistik parsial.Jenis kista jinak yang serupa dengan
keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas
yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk jenis ini adalah tumor sel
granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari germ sel primordial.
Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen dari 3 lapisan
germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan mesodermal.Endometrioma
adalah kista berisi darah dari endometrium ektopik. Pada sindroma ovari
pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-folikel dengan multipel kistik
berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam sonogram(Wiknjosastro, 2005).

6. Manifestasi Klinis

29
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memilikigejala.
Namun kadang – kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :

a. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit

b. Nyeri selama hubungan seksual

c. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ tubuh
lainnya sudah terkena.

d. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi

e. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau
diare, obstruksi usus dan asietas.

7. Diagnosis

Diagnosis kista ovarium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik.


Namun biasanya sangat sulit untuk menemukan kista melalui pemeriksaan
fisik. Maka kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis
kista ovarium. Pemeriksaan yang umum digunakan adalah :

a. Ultrasonografi (USG)

Alat peraba (transducer) digunakan untuk memastikan keberadaan


kista, membantu mengenali lokasinya dan menentukan apakah isi kista
cairan atau padat. Kista berisi cairan cenderung lebih jinak, kista berisi
material padat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut (Schorge et al.
William’s, 2008). Dari gambaran USG dapat terlihat:

1) Akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-


kadang oval) dan terlihat sangat echolucent dengan dinding yang

30
tipis/tegas/licin, dan di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang
lebih putih dari dinding depannya.

2) Kista ini dapat bersifat unillokuler (tidak bersepta) atau


multilokuler (bersepta-septa).

3) Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus


(internal echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah
di dalam kista.

Gambar 4.9. Gambaran Kista pada USG

b. Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan lab dapat berguna sebagai screening maupun diagnosis


apakah tumor tersebut bersifat jinak atau ganas.Berikut pemeriksaan yang
umum dilakukan untuk mendiagnosis kista ovarium.

1) Pemeriksaan Beta-HCG Pemeriksaan ini digunakan untuk screening


awal apakah wanita tersebut hamil atau tidak. Pemeriksaan ini dapat
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.

31
2) Pemeriksaan Darah Lengkap Untuk sebuah penyakit keganasan,
dapat diperkirakan melalui LED. Parameter lain seperti leukosit, HB,
HT juga dapat membantu pemeriksa menilai keadaan pasien.

3) Urinalisis Urinalisis penting untuk mencari apakah ada


kemungkinan lain, baik batu saluran kemih, atau infeksi dan untuk
menyingkirkan diagnosis banding.

4) Pemeriksaan Tumor Marker Tumor marker spesifik pada keganasan


ovarium adalah CA125. CEA juga dapat diperiksa, namun CEA
kurang spesifik karena marker ini juga mewakili keganasan kolorektal,
uterus dan ovarium.

c. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Merupakan pemeriksaan untuk memastikan tingkat keganasan dari


tumor ovarium. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersama dengan
proses operasi, kemudian sampel difiksasi dan diperiksa dibawah
mikroskop (Schorge et al. William’s, 2008).

8. Komplikasi
a. Perdarahan ke dalam kista yang terjadi sedikit-sedikit, sehingga
berangsur-angsur menyebabkan pembesaran kista, dan hanya
menimbulkan gejala-gejala klinik yang minimal. Akan tetapi jika
perdarahan terjadi dalam jumlah yang banyak akan terjadi distensi yang
cepat dari kista yang menimbulkan nyeri perut yang mendadak.
b. Torsio. Putaran tangkai dapat terjadi pada kista yang berukuran diameter 5
cm atau lebih. Putaran tangkai menyebabkan gangguan sirkulasi meskipun
gangguan ini jarang bersifat total.

32
c. Kista ovarium yang besar dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada
perut dan dapat menekan vesica urinaria sehingga terjadi ketidakmampuan
untuk mengosongkan kandung kemih secara sempurna.
d. Massa kista ovarium berkembang setelah masa menopouse sehingga besar
kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna). Faktor inilah yang
menyebabkan pemeriksaan pelvic menjadi penting.
9. Penatalaksanaan
a. Pengangkatan kista ovarium yang besar biasanya adalah melalui tindakan
bedah, misal laparatomi, kistektomi atau laparatomi salpingooforektomi.
b. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan
menghilangkan kista.
c. Perawatan pasca operasi setelah pembedahan untuk mengangkat
kistaovarium adalah serupa dengan perawatan setelah pembedahan
abdomen dengan satu pengecualian penurunan tekanan intra abdomen
yang diakibatkan oleh pengangkatan kista yang besar biasanya mengarah
pada distensi abdomen yang berat. Hal ini dapat dicegah dengan
memberikan gurita abdomen sebagai penyangga.
d. Tindakan keperawatan berikut pada pendidikan kepada klien tentang
pilihan pengobatan dan manajemen nyeri dengan analgetik / tindakan
kenyamanan seperti kompres hangat pada abdomen atau teknik relaksasi
napas dalam, informasikan tentang perubahan yang akan terjadi seperti
tanda – tanda infeksi, perawatan insisi luka operasi (Lowdermilk.dkk.
2005).
10. Prognosis
Prognosis untuk kista jinak baik. Walaupun penanganan dan pengobatan
kanker ovarium telah dilakukan dengan prosedur yang benar namun hasil
pengobatannya sampai sekarang ini belum sangat menggembirakan termasuk
pengobatan yang dilakukan di pusat kanker terkemuka di dunia sekalipun.
Angka kelangsungan hidup 5 tahun (5 Years survival rate) penderita kanker
ovarium stadium lanjut hanya kira-kira 20-30%, sedangkan sebagian besar

33
penderita 60-70% ditemukan dalam keadaan stadium lanjut sehingga penyakit
ini disebut juga dengan “silent killer”.(Wiknjosastro, 2007).

C. Tuba Ovarian Abcess


1. Definisi
Tuboovarian abscess adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut
pelvis dimana kondisi tersebut dikarakteristikkan dengan adanya massa pada
dinding pelvis yang mengalami inflamasi.
2. Epidemiologi
Tuboovarian abscess menyerang sekitar 70.000 wanita yang sedang mendapat
perawatan di rumah sakit pertahun. Biasanya penyakit ini menyerang wanita
yang aktif seksual berusia 20-40 tahun dan sekitar 3/5 dari wanita ini ada
nulipara (Feng Kuo, 2011).
3. Etiologi
Mikroorganisme penyebab TOA yang paling sering adalah Escherichia coli
(37%), Bacteroides fragilis (26%), Bacteroides species (26%),
Peptostreptococcus species, Peptococcus species and aerobic streptococci
(Feng Kuo, 2011).
4. Faktor Risiko
Faktor risiko tuboovarian abscess adalah (Wasco, 2003):
a. Pelvic Inflammatory Disease (PID)
b. IUD
c. Pelvic surgery
d. Intra abdominal infection
e. Pengobatan infertilitas
1) Hiperstimulasi ovarium
2) Oocyte retrieval

5. Tanda dan Gejala

34
Dijumpai adanya nyeri abdomen yang dapat menjadi nyeri yang hebat
terutama jika ditekan, nyeri pada bagian pelvis, dapat terjadi demam tinggi
yang disertai dengan menggigil dan leukositosis, mual dan muntah disebabkan
adanya gejala abdomen akut karena terjadi perangsangan peritoneum.

6. Patofisiologi
Dengan adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan
parametrium terjadilah salphingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini
dapat terjadi pada post abortus, post partum atau setelah tindakan ginekologik
sebelumnya. Mekanisme pembentukan TOA yang pasti sukar ditentukan,
tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada
permulaan penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat yang
purulen dari fimbriae dan menyebabkan pertonitis. Ovarium sebagaimana
struktur lain dalam pelvis akan mengalami peradangan, tempat ovulasi dapat
sebagai tempat masuknya infeksi.
Abses masih terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula
melibatkan struktur pelvis lain seperti usus besar, vesika urinaria atau adneksa
yang lain. Proses peradangan dapat mereda secara spontan atau sebagai respon
dari pengobatan. Keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai
perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya semakin
hebat dapat terjadi pecahnya abses.
7. Penegakan Diagnosis
a. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis pernah infeksi daerah panggul
b. Pemeriksaan laboratorium hasilnya leukositosis
c. Foto abdomen dilakukan bila ada tanda – tanda ileus dan atau curiga
adanya massa di adneksa
d. USG bisa digunakan jika ada kecurigaan adanya TOA atau adanya massa
di adneksa
e. Pinki Douglas dilakukan bila pada VT didapatkan cavum douglas teraba
menonjol. Pada TOA yang utuh, mungkin didapatkan cairan akibat reaksi

35
jaringan. Pada TOA yang pecah atau pada abses yang mengisi cavum
douglas didapatkan pus pada lebih dari 70% kasus.
8. Komplikasi
Infertilitas, kehamilan ektopik, chronic pelvic pain, pelvic thrombophlebitis,
ovarian vein thrombosis

9. Tata Laksana
Biasanya respon terhadap terapi antibiotik, diindikasikan untuk dilakukan
pembedahan atau drainase. Hipotesis sementara mengatakan bahwa ukuran
dari TOA berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit dan
peningkatan terhadap tindakan pembedahan dan drainase. Secara umum
perawatan terhadap TOA adalah tindakan bilateral oophorectomy dan
histerektomi. Manajemen secara medikamentosa dengan pemberian antibiotik
spektrum luas secara umum direkomendasikan pada TOA yang belum pecah.
The center for disease control and prevention sexually transmitted disease
treatments guidelines merekomendasikan pemberian antibiotik kurang dari 24
jam secara intravena. Namun CDC menyarankan bahwa klindamisin atau
metronidazole digunakan dengan doksisiklin selama 14 hari perawatan untuk
bakteri gram negatif. Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila
terdapat kegagalan terhadap respon antibiotik dalam 48 sampai 72 jam.
D. Total Abdominal Hysterectomy

1. Definisi

Histerektomi merupakan salah satu tindakan yang paling menempati

peringkat kedua pembedahan mayor sering dilakukan pada wanita di seluruh

dunia, setelah tindakan sectio caesaria. Tindakan ini merupakan

pengangkatan rahim atau uterus yang dilakukan sesuai dengan indikasi.

Berdasarkan bagian rahim yang diangkat, tindakan histerektomi ini dibedakan

36
menjadi tindakan histerektomi subtotal, histerektomi total, dan histerektomi

radikal (Shetty et al., 2014).

Gambar 1. Ilustrasi histerektomi berdasarkan bagian rahim yang


diangkat

Berdasarkan ilustrasi di atas, histerektomi dapat dilakukan secara

[ CITATION Baz11 \l 1057 ]:

a. Histerektomi subtotal, merupakan suatu prosedur di mana pengangkatan

rahim atau uterus tanpa disertai pengangkatan serviks

b. Histerektomi total, pengangkatan uterus disertai dengan pengangkatan

serviks.

c. Histerektomi radikal, pengangkatan uterus, serviks, 1/3 bagian atas

vagina, dan kelenjar getah bening pelvik sampai setinggi vasa iliaka

37
komunis, tindakan ini diindikasikan pada karsinoma yang sudah

mengalami penyebaran ke daerah tersebut.

TAH atau Total Abdominal Hysterectomy (TAH) adalah suatu prosedur

pembedahan yang dilakukan melalui insisi pada abdomen sepanjang 5-7 inci

yang bertujuan untuk melakukan pengangkatan seluruh uterus disertai dengan

pengangkatan serviks. Insisi pada abdomen dapat dilakukan secara sayatan

vertikal, dikenal dengan insisi mediana atau paramedian, maupun transversal,

misalnya insisi Pfanenstiel (Baziad & Wibowo, 2011).

2. Indikasi

Tindakan pengangkatan uterus total melalui insisi abdomen (TAH) ini

dapat disertai dengan tindakan pengangkatan adneksa (ovarium, dan tuba

falopii) disesuaikan dengan indikasinya. TAH bisa disertai dengan tindakan

Bilateral Salphingooforectomy (pengangkatan kedua adneksa) maupun salah

satu dari kedua adneksa (Unilateral Salphingooforectomy) [CITATION

Ali11 \l 1057 ].

Indikasi dari pengangkatan uterus adalah sebagai berikut (Papadopoulos

et al., 2010; Gor, 2015) :

a. Mioma Uteri, merupakan suatu tumor jinak yang struktur utamanya adalah

otot polos rahim.

b. Hiperplasia endometrium, dalam hal ini hiperplasia endometrium atipik

berisiko tinggi berkembang menjadi keganasan, dan merupakan indikasi

absolut untuk histerektomi. Pada hiperplasia endometrium tidak atipik,

38
histerektomi diindikasikan hanya jika perdarahan tidak dapat dikontrol

dengan obat-obatan.

c. Adenomiosis, merupakan lesi pada lapisan miometrium yang ditandai

dengan invasi jinak endometrium yang secara normal hanya melapisi

bagian dalam dinding uterus atau kavum uteri.

d. Prolaps uteri, ini bukan merupakan indikasi absolut dilakukannya

histerektomi. Namun, pada beberapa keadaan di mana prolaps mungkin

dapat berulang, yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, maupun stres

pada penderita, ini adalah salah satu terapi yang dapat ditempuh.

e. Neoplasia Intraepitel Serviks III (NIS III), merupakan displasia berat pada

serviks yang dapat berkembang menjadi karsinoma invasif pada serviks

dan dapat berkembang ke jaringan-jaringan di sekitarnya.

f. Karsinoma pada daerah uterus maupun sekitarnya, seperti kanker korpus

uteri, serta kanker pada adneksa, seperti kanker ovarium atau kanker tuba

falopii.

g. Perdarahan postpartum karena atonia uteri.

h. Infeksi yang hebat, misalnya ruptural abses tubo-ovarium

3. Komplikasi

TAH merupakan prosedur pengangkatan uterus yang dilakukan melalui

insisi pada abdomen. Insisi pada abdomen menimbulkan komplikasi yang

lebih banyak dibandingkan histerektomi yang dilakukan melalui vagina atau

Total Vaginal Hysterectomy (TVH), atau melalui laparoskopi (Total

Laparoscopic Hysterectomy) sehingga terdapat komplikasi yang mungkin

39
terjadi, berikut beberapa komplikasi tersebut (Gor, 2015; Purbadi & Husodo,

2011):

a. Infeksi pada luka bekas operasi, atau kemungkinan terbukanya luka

operasi. Hal ini dapat terjadi apabila luka tidak dijahit dengan sempurna.

Luka infeksi biasanya dapat terjadi sekitar 5 hari setelah operasi dan

disertai dengan hiperemis, nyeri tekan, pembengkakan, dan peningkatan

suhu di sekitar luka. Terapinya dapat membutuhkan antibiotika sistemik,

pembukaan insisi itu, drainase sekret, debridemen lokal, dan perawatan

luka.

b. Perdarahan, hal ini timbul karena terlepasnya ikatan, atau adanya usaha

penghentian darah yang kurang sempurna. Tanda-tanda adanya komplikasi

ini adalah nadi meningkat, tensi menurun, penderita tampak pucat dan

gelisah, kadang mengeluh kesakitan di perut, dan pada pemeriksaan

perkusi didapatkan suara pekak di samping

c. Perlukaan pada usus, buli-buli, atau pada pembuluh darah besar, hal ini

terjadi apabila terdapat perlengketan pada organ tersebut.

d. Infeksi saluran kemih, hal ini sangat sering terjadi, terutama akibat

pemasangan kateter pada pasien. Gejala yang dapat dialami antara lain

nyeri pada saat berkemih, pemeriksaan urin mengandung leukosit dalam

kelompok.

e. Syok, dapat terjadi apabila adanya insufisiensi akut dari sistem sirkulasi

yang dapat mengakibatkan sel-sel jaringan tidak mendapat zat-zat

makanan dan O2, dan berakhir pada kematian jaringan.

40
f. Tromboemboli paska operasi

g. Atelektasis, bisa terjadi dalam jangka waktu 24-48 jam paska operasi,

dapat dicegah dengan melakukan pembersihan paru-paru.

h. Onset menopause menjadi lebih awal, ini merupakan komplikasi yang

khusus terjadi pada paska operasi histerektomi yang disertai dengan

pengangkatan ovarium.

E. Salpingo-ophorectomy Dextra

Salpingo-ophorectomy merupakan prosedur pengangkatan tuba falopii

(salpingectomy) dan ovarium (oophorectomy). Tindakan ini biasa dilakukan

bersamaan dengan histerektomi total, disesuaikan dengan indikasi yang terdapat

pada pasien. Prosedur ini dapat dilakukan pada salah satu tuba atau ovarium saja,

disebut sebagai unilateral salpingo-ophorectomy maupun pada keduanya, atau

bilateral salpingo-ophorectomy. Pilihan mengambil salah satu atau keduanya

didasarkan pada indikasinya. Pada tumor ganas ovarium, lazimnya, kedua

ovarium diangkat beserta tuba dan uterus [ CITATION Ali11 \l 1057 ].

Indikasi dilakukannya salphingo-ophorectomy antara lain sebagai berikut

[ CITATION War15 \l 1057 ]:

1. Elektif: pengangkatan ovarium dan tuba normal bersamaan dengan

histerektomi pada kasus tumor jinak, bertujuan untuk mencegah timbulnya

kanker ovarium.

2. Keganasan: pada kasus kanker ovarium, kanker rahim, atau penyebaran

keganasan dari organ lain ke ovarium.

41
3. Penurunan risiko kanker ovarium pada pasien dengan risiko genetik menderita

kanker ovarium.

4. Massa adneksa jinak

5. Torsio adneksa

6. Abses tubo-ovarial

7. Kehamilan ektopik

8. Endometriosis

F. Kistektomi

Kistektomi merupakan prosedur pembedahan untuk mengangkat kista yang

terdapat pada ovarium, tanpa mengangkat ovarium. Operasi ini biasa dilakukan

pada kista ovarium jinak. Indikasi dilakukannya kistektomi ini antara lain adanya

kista ovarium, kista yang ukurannya lebih besar dari 7.6 cm [ CITATION Ali11 \l

1057 ]

42
BAB V
KESIMPULAN

1. Perdarahan post partum merupakan suatu keadaan hilangnya darah sebanyak 500
ml atau lebih setelah selesainya kala 3 persalinan.
2. Penyebab perdarahan post partum dapat dikategorikan menjadi 4T, yaitu tonus,
tissue, trauma, dan thrombosis.
3. Plasenta akreta merupakan salah satu penyebab perdarahan post partum, yang
termasuk dalam kategori tissue. Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat
secara abnormal pada uterus, dimana villi korionik berhubungan langsung dengan
miometrium tanpa desidua diantaranya.
4. Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian ovum yang
normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak teridentifikasi dan terdiri
atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi, kista ini tumbuh lambat dan
ditemukan selama pembedahan yang mengandung material sebasea kental
berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit.
5. Tuboovarian abscess adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut
pelvis dimana kondisi tersebut dikarakteristikkan dengan adanya massa pada
dinding pelvis yang mengalami inflamasi.
6. Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang dicurigai
plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur.

4.

43
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologist. 2006. ACOG Practice Bulletin:


Clinical Management Guidelines for Obstetrician-Gynecologists Number 76.
Obstet Gynecol, 1039-1047.
Anderson, J. M., & Etches, D. 2007. Prevention and Management of Postpartum
Hemorrhage. American Academy of Family Physicians, 875-882.
Baziad, A., & Wibowo, R. P. 2011. Ilmu Kandungan Edisi ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Committee opinion, Placenta Accreta. 2012. The American College of Obstetricans
and Gynecologists.
Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong.2010. Williams Obstetrics 23
edition, Chapter 35: Obstetrics Haemorrhage, pp 776-780..
Eliza and Alfred, Prenatal Diagnosis of Placenta Accreta. 2013. The American
Institute of Ultrasound in Medicine. USA.
Gor, H. B. 2015, 10 05. Hysterectomy. Retrieved from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/267273-overview#a10

Green – top Guideline No 27. 2011. Placenta praevia, placenta praevia accreta and
vasa praevia: diagnosis and management, Royal College of Obstetricans and
Gynaecologists.
Lowdermilk, P. 2005. Maternity Women’s Health Care. Seventh edition. Philadelphia :
Mosby
Papadopoulos, M. S., Tolikas, A. C., & Miliaras, D. E. 2010. Hysterectomy—Current
Methods and Alternatives for Benign Indications. Obstetrics and Gynecology
International, 1-10.

Publication Committee Society for Maternal-Fetal Medicine. 2010. Placenta Accreta,


American Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2010, Washington DC.
Purbadi, S., & Husodo, L. 2011. Prinsip-Prinsip Pembedahan Ginekologi. In A.
Baziad, & R. P. Wibowo, Ilmu Kandungan Edisi Ketiga (pp. 532-547).
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rac, MW, Dashe, JS, Wells, CE, Moschos, E, McIntire, DD, & Twickler, DM,. 2015.
Ultrasound predictors of placental invasion: the Placenta Accreta
Index, American journal of obstetrics and gynecology 212(3): 343-e1.

44
Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi.
Edisi 2. Jakarta: EGC hal :104.
Schorge et al. 2008. William’s Gynecology [Digital E-Book] Gynecologic Oncology
Section. Ovarian Tumors and Cancer. McGraw-Hills.
Shetty, J., Shanbhag, A., & Pandey, D. 2014. Converting Potential Abdominal
Hysterectomy to Vaginal One: Laparoscopic Assisted Vaginal Hysterectomy.
Minimally Invasive Surgery, 1-5.

Sivasankar Chitra. 2012. Perioperative management of undiagnosed placenta


percreta: case report and management strategies, International Journal of
Women’s Health. USA.
Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Smith, John R , Barbara G. Brennan. 2006. Postpartum Hemorrhage.
http://www.eMedicine.com. Diakses 15 Oktober 2015
Society of Obstetrics and Gynecology of Canada. 2008. Postpartum hemorrhage.
ALARM Manual 15th Ed.
Suzanne, C. Smeltzer. 2001. Keperawatan medical bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Wainscott, Michael P. Pregnancy, Postpartum Hemorrhage.
http://www.eMedicine.com. May 30, 2006
Ward, S. M. (2015, Januari 9). Salphingo-ophorectomy. Retrieved from
http://emedicine.medscape.com/article/1894587-overview
Wiknjosastro, Hanifa. dkk. 2007. Ilmu Kandungan. Edisi 2.Cetakan 5.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal : 346 – 362.
Yulianti Lia, amd.keb, MKM,dkk. 2011. Asuhan kebidanan IV (patologi kebidanan).
Jakarta:TIM

45

Anda mungkin juga menyukai