PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
3. Trauma, kerusakan jaringan pada traktus genitalis dapat terjadi secara spontan
maupun melalui proses yang disengaja saat proses persalinan. Perlukaan dapat
terjadi akibat persalinan dengan menggunakan forceps, misalnya laserasi pada
serviks. Selain itu perdarahan juga dapat terjadi jika dilakukan episiotomi.
4. Thrombosis, faktor ini berkaitan dengan kelainan sistem koagulasi. Deposisi
fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan pembekuan darah yang menyuplai
pembuluh darah di sekitarnya memiliki peran besar dalam perdarahan post
partum.
Perdarahan post partum dibagi menjadi dua kategori, yakni perdarahan post
partum primer (early post partum hemorrhage), yakni perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam setelah lahir, dan perdarahan post partum sekunder (late post
partum hemorrhage) yang terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
(Anderson & Etches, 2007).
Pada kasus ini terjadi perdarahan post partum akibat plasenta akreta. Plasenta
akreta merupakan perlekatan plasenta ke dalam myometrium. Salah satu terapi
yang dipilih untuk mengatasi perdarahan post partum akibat invasi plasenta atau
dalam kasus ini plasenta akreta adalah histerektomi (Anderson & Etches, 2007).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Mulyati
Usia : 34 tahun
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Krajan 02/04, Pekuncen, Banyumas
Tanggal/Jam Masuk : 20 Agustus 2015/ Pukul 18.30 WIB
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Autoanamnesa
Perdarahan postpartum
Keluhan tambahan :
-
3
Pasien mengaku kenceng – kenceng sejak pagi tanggal 20 Agustus 2015 dan
keluar air ketuban pada pukul 14.00. Terdapat lendir darah. Di Puskesmas
Pekuncen dilakukan pemeriksaan pada pukul 15.19 didapatkan tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, dan suhu 36ºC. Palpasi TFU
sebesar 35 cm, DJJ 130x/menit, VT Ø 5cm, KK (-), Kepala turun Hodge I, porsio
edema. Pukul 16.38 pasien ingin mengejan, VT Ø lengkap, KK (-), Kepala turun
Hodge III+, lalu pasien dipimpin mengejan. Pukul 16.50 bayi lahir spontan
dengan apgar score 8-9-10. Kemudian diinjeksi synto 10 IU IM lalu dilakukan
peregangan tali pusat terkendali. Pukul 16.55 plasenta lahir spontan perdarahan
banyak, dilakukan masase uterus dan pemberian drip synto 20 IU, dipasang
kateter, namun perdarahan masih tetap banyak. Lalu dipasang infus 2 jalur dan
oksigen kanul nasal. Puskesmas Pekuncen merujuk ke Rumah Sakit Margono
Soekardjo.
4
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suaminya
yang bekerja sebagai wiraswasta. Pasien berobat ke Rumah Sakit Margono
Soekarjo dengan menggunakan BPJS-PBI.
5
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 1 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : TFU 1 jari dibawah pusat
Pemeriksaan ekstrimitas
Tidak tampak sianosis, akral hangat
4. Diagnosis di IGD
Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun post partum spontan dengan perdarahan post
partum e.c sisa plasenta, hamil aterm
6
5. Sikap dan Penatalaksanaan
IGD
1. Memberi O2 4lpm
2. Memberi infus cairan RL 500cc 2 jalur
3. Pemeriksaan Darah Lengkap, Protrombin Time (PT), dan APTT.
4. Memberi injeksi metergin 1 ampul
7
20Agustu
s 2015 Pasien datang ke VK IGD
18.30 TD 80/60 mmHg N 96 x/m Pro kuretase
RR 20 x/m S 36 ºC
Masase uterus keras lembek, eksplore terdapat sisa
plasenta yang erat, perdarahan banyak.
Diberi Drip oxytocin 2 ampul. Injeksi metergin IM
diberi, perdarahan sudah agak berkurang, diberikan
gastrul 2 tab per rectal dan 2 tab peroral.
Masase uterus keras.
8
Diagnosis pre operatif:
Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun dengan perdarahan post partum lambat berulang
e.c placenta akreta
Tabel 2.4. Catatan Perkembangan Pasien pre Operasi, durante dan Post Operasi
9
6. Diagnosis Akhir
Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun dengan post laparotomi eksplorasi, total
abdominal histerektomi, salphingooforektomi dekstra, kistektomi sinistra atas
indikasi perdarahan post partum lambat berulang e.c placenta akreta, tuba ovarian
abses dekstra dan kista ovarium sinistra
10
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Para 1 Abortus 0 usia 34 tahun post
partum spontan dengan perdarahan post partum. Beberapa hal yang perlu dibahas
berkaitan dengan diagnosis ini antara lain :
a. Riwayat obstetri P0A0 : nullipara, tidak pernah memiliki riwayat melahirkan dan
abortus sebelumnya (Cunningham et al., 2010).
b. Usia 34 tahun (primi tua) merupakan usia reproduksi yang tidak ideal. Usia ini
merupakan usia yang memiliki risiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan
karena usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-30 tahun (Winkjosastro, 2009).
c. Perdarahan post partum. Perdarahan paska melahirkan merupakan hal yang sering
terjadi, pada kasus ini disebabkan karena adanya sisa plasenta dari plasenta yang
menempel erat atau plasenta akreta (Cunningham et al., 2010).
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Plasenta Akreta
1. Definisi
Istilah plasenta adherent menggambarkan implantasi abnormal plasenta
ke dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta.
Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat secara abnormal pada uterus,
dimana villi korionik berhubungan langsung dengan miometrium tanpa
desidua diantaranya. Desidua endometrium merupakan barier atau sawar
untuk mencegah invasi villi plasental ke miometrium uterus. Pada plasenta
akreta, tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak sempurna dari
lapisan fibrinoid. Jaringan ikat pada endometrium dapat merusak barier
desidual, misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik, riwayat
infeksi sebelumnya dan multiparitas. Ketika plasenta menginvasi hingga
miometrium maka disebut sebagai plasenta inkreta. Jika plasenta menginvasi
melewati miometrium dan serosa dan dapat menginvasi organ terdekat
seperti kandung kemih maka disebut sebagai plasenta perkreta (Committee,
2012).
2. Insidensi dan Faktor Risiko
Insiden plasenta akreta telah meningkat dan berbanding lurus dengan
tingkat kelahiran sectio cesaria yang meningkat. Wanita yang paling berisiko
mengalami plasenta akreta adalah mereka yang telah mempunyai kerusakan
miometrium yang disebabkan oleh operasi sesar sebelumnya dengan plasenta
previa yang melintasi parut uterus. Plasenta akreta menimbulkan komplikasi
sekitar 0,9% dari seluruh kehamilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Miller dkk terhadap 155.670 persalinan di Rumah Sakit pada tahun 1985
hingga 1994, ditemukan sebanyak 62 dari 2.510 persalinan mengalami
komplikasi plasenta akreta (Wainscott, 2006).
12
Resiko terjadinya plasenta akreta meningkat pada pasien dengan riwayat
persalinan caesar dan plasenta previa. Faktor risiko tambahan yang
dilaporkan untuk plasenta akreta meliputi usia ibu dan multiparitas, riwayat
pembedah rahim dan kuretase uterus sebelumnya, ablasi endometrium,
Asherman syndrome, leiomyoma, anomali rahim, hipertensi dalam
kehamilan, dan merokok (Green, 2011).
3. Penegakan Diagnosis
Pada kala III persalinan plasenta belum lahir setelah 30 menit dan
perdarahan banyak. Plasenta akreta dapat menimbulkan terjadinya
perdarahan obsterik yang masif, sehingga dapat menimbulkan komplikasi
seperti dissaminated intravascular coagulopathy (DIC), memerlukan
tindakan histerektomi, adult respiratory distress syndrome, gagal ginjal,
hingga kematian. Jumlah darah yang hilang saat persalinan pada wanita
dengan plasenta akreta rata-rata 3000 – 5000 ml (Wiknjosastro, 2007).
Terkadang plasenta akreta dapat menyebabkan ruptura uteri spontan pada
trimester kedua dan ketiga, menyebabkan terjadinya perdarahan
intraperitoneal, yang bisa menimbulkan kematian. Plasenta akreta derajat
ringan dapat terjadi dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum hebat,
tetapi tidak membutuhkan manajemen yang agresif yang diperlukan pada
plasenta akreta derajat berat (Cunningham, 2010).
13
Diagnosis prenatal yang akurat sangat penting untuk meminimalkan
derajat komplikasi dimana dokter dapat merencanakan penanganan dan alat
yang dibutuhkan pada saat persalinan. Persiapannya meliputi penanganan
anastesi, alat pembedahan yang sesuai, ketersediaan darah untuk transfusi, dan
teknologi yang dibutuhkan, kemungkinan intervensi radiologi untuk
embolisasi arteri uterina, dan perawatan intensif pascabedah. Diagnosis
plasenta akreta biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi atau magnetic
resonance imaging (MRI) (Smith, 2006).
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalah teknik
diagnostik pelengkap dan harus digunakan sesuai kebutuhan. USG
transvaginal aman untuk pasien dengan plasenta previa dan mem m
ungkinkan lebih lengkap dalam hal pemeriksaan segmen bawah rahim
(Eliza, 2013).
Secara keseluruhan, ultrasonografi grayscale cukup untuk
mendiagnosis plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%, spesifisitas 96-
98%, nilai prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif 98%.
Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau pencitraan tiga dimensi
tidak secara signifikan meningkatkan sensitivitas diagnostik dibandingkan
dengan yang dicapai oleh ultrasonografi grayscale saja (Rac, 2015).
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut ini
(Eliza, 2013; Rac, 2015):
First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus
telah berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada
trimester ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental
bed pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.
14
3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang
penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS
tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada
dasar kandung kemih (Figure 1). Jika tidak ditangani, implantasi
bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta
seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi
pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung
kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG (Eliza,
2013).
15
minggu, nilai prediktif trimester pertama USG untuk diagnosis ini masih
belum diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh digunakan
secara rutin untuk menegakkan atau mengecualikan diagnosis plasenta
akreta. Atau, karena asosiasi mereka dengan plasenta akreta, wanita
dengan plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang melintas pada
bekas luka uterus pada awal kehamilan harus menjalani follow up
pencitraan pada trimester ketiga dengan memperhatikan adanya potensi
karena plasenta akreta.
Second and Third Trimesters
1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi
dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu
rendah untuk plasenta akreta (Figure 2) . Placenta lacunae pada
trimester kedua tampaknya memiliki sensitivitas dan positive
predictive value sangat tinggi dibanding marker lain untuk plasenta
akreta.
2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal, juga disebut
sebagai hilangnya ruang yang jelas antara plasenta dan rahim, adalah
salah satu penanda (Figure 3). Temuan sonografi ini telah dilaporkan
memiliki tingkat deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas 52% dan
spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun, telah
berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh
digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut
pengambilan saat USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang
normal.
3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih termasuk gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan
garis, dan peningkatan vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler
(Figure 4) . Normal permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih adalah garis tipis lebar yang halus tanpa ireguleritas atau
vaskular yang meningkat (Figure 5). Kelainan permukaan antara
16
uterus serosa-kandung kemih ini meliputi, penebalan, ireguleritas,
peningkatan vaskularisasi, seperti varises dan bulging plasenta ke
dalam dinding posterior kandung kemih. Temuan USG di bawah ini
berhubungan erat dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk plasenta akreta.
17
dicatat bahwa plasenta akreta telah dilaporkan dengan tidak adanya
multipel vascular lacunae pada plasenta (Eliza, 2013)
.
Tabel 2. Temuan USG yang menunjukkan hubungan dengan plasenta akreta
1 HHilangnya zona retroplasenta hipoekhoik normal
2 LLakuna dengan vaskularisasi multipel (ruang vascular
ireguler) di plasenta, memberikan gambaran “keju
Swiss”
3 PPembuluh darah atau jembatan jaringan plasenta-tepi
plasenta, gambaran myometrium-kandung kemih atau
serosa uterus menyilang
4 KKetebalan myometrium retroplasenta < 1 mm
5 GGambaran pembuluh koheren yang beragam dengan
Doppler 3D di basal
Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline antara lain yakni:
1) Greyscale:
a. Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
b. Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
c. Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder interface
d. Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung kemih
e. abnormal placenta lacunae
2) Doppler:
a. Difus atau fokal aliran lacunar
b. danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity > 15 cm /detik)
c. Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
d. markedly dilated vessels over peripheral subplacental zone
18
3) 3D Power Doppler:
a. Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan antara serosa
uterus dengan kandung kemih (basal viewl)
b. Hipervaskularisasi (lateral view)
c. Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic branching,
detour vessels (lateral view). (Green, 2011).
19
dan MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32 wanita terdiagnosis
akreta (sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas 71%
dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); di studi kedua 12 dari
50 wanita akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74),
meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi kedalaman infiltrasi di kasus
plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis telah menganjurkan MRI bagi
perempuan yang pada temuan USGnya inconclusive.
Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi (Green, 2011):
1) Uterine bulging
2) Intensitas sinyal heterogen dalam plasenta
3) Dark intraplacental bands pada pencitraan T2
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI 80%-
85% dengan spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis plasenta
akreta (Eliza, 2013).
c. Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan
skrining MSAFP seperti untuk cacat tabung saraf dan aneuploidies. Hung
dkk (1999) menganalisis lebih dari 9300 wanita diskrining untuk down
syndrome pada 14 sampai 22 minggu. Mereka melaporkan 54 kali lipat
meningkat risiko untuk akreta pada wanita dengan plasenta previa. Risiko
untuk akreta meningkat 8x lipat bila kadar MSAFP melebihi 2,5 MoM;
itu meningkat 4x lipat ketika kadar free beta-hCG yang lebih besar dari
2,5 MoM; dan itu meningkat tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35 tahun
atau lebih (Cunningham, 2010)
d. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat berdasarkan
hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan histerektomi.
Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi dari villi chorialis yang
20
menginvasi atau tertanam pada miometrium dengan tidak adanya desidua
di lapisan antara kedua organ tersebut (Yulianti, 2011).
5. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terjadi dikarenakan tidak terdapat lapisan
nitabuch atau lapisan spongiosa dari desidua. Kondisi ini adalah konsekuensi
dari kegagalan rekonstruksi endometrium atau desidua basalis setelah proses
penyembuhan luka insisi SC. Secara histologis biasanya tampak sebagai
gambaran trofoblas yang menginvasi miometrium tanpa keterlibatan desidua.
Hal ini menjadi masalah saat proses persalinan dimana plasenta tidak akan
terlepas dan akan terjadi perdarahan masif.
6. Manajemen
a. Manajemen antepartum
Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah paru
janin matang yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun, hasil
analisis terbaru menyarankan untuk mengkombinasikan outcome ibu dan
bayi dioptimalkan pada pasien stabil dengan terminasi pada 34 minggu
kehamilan tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian
kortikosteroid antenatal dan waktu pemberiannya harus individual. Pada
sebuah studi yang melibatkan 99 kasus plasenta akreta yang didiagnosis
sebelum persalinan, 4 dari 9 dengan persalinan >36 minggu diperlukan
terminasi emergensi karena perdarahan. Jika tidak ada perdarahan
antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan terminasi saat akhir
prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan persalinan
darurat yang terjadi dengan segala komplikasinya.
b. Manajemen preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan dukungan
pelayanan yang diperlukan untuk mengelola komplikasi potensial.
Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum operasi.
Antibiotik profilaksis diberikan, dengan dosis ulangan 2-3 jam setelah
operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang diperkirakan. Preoperatif
21
Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat membantu mencegah
cedera saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three
way ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan
irigasi, drainase, dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama
diseksi. Sebelum operasi, darah harus dipersiapkan terhadap potensi
perdarahan masif. Rekomendasi saat ini untuk penggantian darah dalam
situasi trauma menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen plasma. PRC
dan fresh frozen plasma harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan
faktor koagulasi darah dan unit darah lainnya harus diberikan dengan
cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda vital pasien dan stabilitas
hemodinamik pasien. USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi
plasenta dapat membantu dalam menentukan pendekatan optimal ke
dinding perut dan incisi rahim untuk memberikan visualisasi yang
memadai dan menghindari mengganggu plasenta sebelum pengeluaran
janin (Smith, 2006).
c. Manajemen operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang
dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea
prematur. Meminimalkan kehilangan darah sangat penting. Pilihan
sayatan harus dibuat berdasarkan habitus tubuh pasien dan sejarah operasi
pasien. Penggunaan sayatan vertikal linea mediana mungkin dilakukan
karena memberikan daerah cukup jika histerektomi diperlukan. Insisi
uterus klasik, sering transfundal, mungkin diperlukan untuk menghindari
plasenta dan memungkinkan pengeluaran bayi.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika
histerektomi diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan
plasenta in situ, dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup
incisi histerotomi, dan lanjutkan dengan histerektomi. Sedangkan
histerektomi dilakukan dengan cara biasa, diseksi flap kandung kemih
dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol jaringan pembuluh arteri
22
uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung pada temuan
intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat
dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari leher rahim
mungkin menghalangi managemen ini dan membuat histerektomi total
tetap diperlukan.
d. Manajemen postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko
untuk mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan
intraoperatif seperti hipotensi, koagulopati persisten dan anemia,
disfungsi ginjal, jantung, dan organ lainnya (Wainscott, 2006).
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-
tanda vital (tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output
urin harus diukur melalui kateter urin. Pemantauan dan penilaian perifer
oksigenasi dengan pulse oksimetri. Koreksi koagulopati dan anemia berat
dengan produk darah harus dilakukan. Pasien harus dievaluasi secara
klinis untuk potensi kehilangan darah dari luka sayatan perut dan vagina,
dan kemungkinan pendarahan intraabdominal berulang atau
retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum
elektrolit harus dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria,
kemungkinan cedera saluran kemih yang tidak diketahui harus
dipertimbangkan (Smith, 2006).
B. Kista Ovarium
1. Pengertian
Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian ovum
yang normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak teridentifikasi dan
terdiri atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi, kista ini tumbuh
lambat dan ditemukan selama pembedahan yang mengandung material
sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit (Smeltzer,
2001).
23
2. Etiologi
Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan
pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu sendiri.
Kista ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus
menstruasi (Wiknjosastro,1999). Kista ovarium dapat timbul akibat stimulasi
yang berlebihan terhadap gonadotropin(Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004).
a. Gestational tropoblastic neoplasma (molahidatidosa dan khoriokarsinoma)
b. Fungsi ovarium, ovulasi yang terus menerus akan menyebabkan epitel
permukaan ovarium mengalami perubahan neoplastik.
c. Zat karsinogen, zat radioaktif, asbes, virus eksogen dan hidrokarbon
polikistik
d. Pada pasien yang sedang diobati akibat kasus infertilitas dimana terjadi
induksiovulasi melalui manipulasi hormonal.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat kista ovarium sebelumnya
b. Siklus menstruasi yang tidak teratur
c. Meningkatnya distribusi lemak tubuh bagian atas
d. Menstruasi dini
e. Tingkat kesuburan
f. Hipotiroid atau hormon yang tidak seimbang
g. Terapi tamosifen pada kanker mamma
Sedangkan pada tumor padat, etiologi pasti belum diketahui, diduga akibat
abnormalitas pertumbuhan sel embrional, atau sifat genetis kanker yang
tercetus oleh radikal bebas atau bahan bahan karsinogenik.
4. Klasifikasi
Pembagian kista ovarium berdasarkan non neoplastik dan neoplastik yaitu:
a. Non Neoplastik
1) Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel de graaf yang tidak samapi berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel
24
primer yang setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak
mengalami proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi
kista. Biasanya dapat di dapati beberapa kista dengan diameter kista 1-
1,5 cm. Kista yang berdiri sendiri sebesar jeruk nipis. Cairan di dalam
kista jernih dan mengandung estrogen, oleh sebab itu jenis kista ini
sering mengganggu siklus menstruasi.Kista folikel ini lambat laun
mengacil dan menghilang spontan.
25
Biasanya terjadi pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan
kadang – kadang tanpa adanya kelainan tertentu, ovarium dapat
membesar menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi
sebesar tinju.Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel
teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi
sering kali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini
adalah pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan
dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil
spontan.
4) Kista inklusi germinal
Biasanya terjadi karena invaginasi dan isolasi bagianbagian kecil
dari epitel germinativum pada permukaan ovarium, besarnya jarang
melebihi diameter 1 cm. Kista ini biasanya kebetulan di temukan pada
pemeriksaan histologi ovarium yang diangkat sewaktu operasi.
5) Kista endometrium
Kista ini endometriosis yang berlokasi di ovarium.
6) Kista stein-levental
Biasanya kedua ovarium membesar dan bersifat polykistik,
permukaan licin, kapsul ovarium menebal dan tampak tunika yang
tebal dan fibrotik pada pemeriksaan mikroskopis.
b. Neoplastik
1) Kistoma ovarii simpleks
Kista ini memiliki permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai,
seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar, dinding kista tipis dan
cairan dalam kista jernih, terus berwarna kuning.
26
2) Kistadenoma ovarii musinosum
Kemungkinan berasal dari suatu teratoma dimana didalam
pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen lain. Tumor ini
mempunyai bentuk bulat, ovoid tidak teratur, dengan permukaaan rata
berwarna putih kebiru-biruan.
27
4) Kista endometrioid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding
dalam terdapat satu lapisan sel yang menyerupai lapisan epitel
endometrium.
5) Kista dermoid
Suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur ektodermal
dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi, dan
produk glandula sebacea berwarna putih kekuningan menyerupai
lemak (Wiknjosastro, 1999 ).
5. Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang
disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan
diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur
akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2
cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit,
korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif.
Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar
kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan (Schorge et al.
William’s, 2008).
28
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista
fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang
kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh
gonadotropin, termasuk FSH dan HCG (Sjamsuhidayat,1998).
Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak
terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak.Neoplasia yang
ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium.Sejauh ini,
keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan
sebagian besar lesi kistik parsial.Jenis kista jinak yang serupa dengan
keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas
yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk jenis ini adalah tumor sel
granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari germ sel primordial.
Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen dari 3 lapisan
germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan mesodermal.Endometrioma
adalah kista berisi darah dari endometrium ektopik. Pada sindroma ovari
pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-folikel dengan multipel kistik
berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam sonogram(Wiknjosastro, 2005).
6. Manifestasi Klinis
29
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memilikigejala.
Namun kadang – kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :
c. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ tubuh
lainnya sudah terkena.
e. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau
diare, obstruksi usus dan asietas.
7. Diagnosis
a. Ultrasonografi (USG)
30
tipis/tegas/licin, dan di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang
lebih putih dari dinding depannya.
b. Pemeriksaan Lab
31
2) Pemeriksaan Darah Lengkap Untuk sebuah penyakit keganasan,
dapat diperkirakan melalui LED. Parameter lain seperti leukosit, HB,
HT juga dapat membantu pemeriksa menilai keadaan pasien.
8. Komplikasi
a. Perdarahan ke dalam kista yang terjadi sedikit-sedikit, sehingga
berangsur-angsur menyebabkan pembesaran kista, dan hanya
menimbulkan gejala-gejala klinik yang minimal. Akan tetapi jika
perdarahan terjadi dalam jumlah yang banyak akan terjadi distensi yang
cepat dari kista yang menimbulkan nyeri perut yang mendadak.
b. Torsio. Putaran tangkai dapat terjadi pada kista yang berukuran diameter 5
cm atau lebih. Putaran tangkai menyebabkan gangguan sirkulasi meskipun
gangguan ini jarang bersifat total.
32
c. Kista ovarium yang besar dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada
perut dan dapat menekan vesica urinaria sehingga terjadi ketidakmampuan
untuk mengosongkan kandung kemih secara sempurna.
d. Massa kista ovarium berkembang setelah masa menopouse sehingga besar
kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna). Faktor inilah yang
menyebabkan pemeriksaan pelvic menjadi penting.
9. Penatalaksanaan
a. Pengangkatan kista ovarium yang besar biasanya adalah melalui tindakan
bedah, misal laparatomi, kistektomi atau laparatomi salpingooforektomi.
b. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan
menghilangkan kista.
c. Perawatan pasca operasi setelah pembedahan untuk mengangkat
kistaovarium adalah serupa dengan perawatan setelah pembedahan
abdomen dengan satu pengecualian penurunan tekanan intra abdomen
yang diakibatkan oleh pengangkatan kista yang besar biasanya mengarah
pada distensi abdomen yang berat. Hal ini dapat dicegah dengan
memberikan gurita abdomen sebagai penyangga.
d. Tindakan keperawatan berikut pada pendidikan kepada klien tentang
pilihan pengobatan dan manajemen nyeri dengan analgetik / tindakan
kenyamanan seperti kompres hangat pada abdomen atau teknik relaksasi
napas dalam, informasikan tentang perubahan yang akan terjadi seperti
tanda – tanda infeksi, perawatan insisi luka operasi (Lowdermilk.dkk.
2005).
10. Prognosis
Prognosis untuk kista jinak baik. Walaupun penanganan dan pengobatan
kanker ovarium telah dilakukan dengan prosedur yang benar namun hasil
pengobatannya sampai sekarang ini belum sangat menggembirakan termasuk
pengobatan yang dilakukan di pusat kanker terkemuka di dunia sekalipun.
Angka kelangsungan hidup 5 tahun (5 Years survival rate) penderita kanker
ovarium stadium lanjut hanya kira-kira 20-30%, sedangkan sebagian besar
33
penderita 60-70% ditemukan dalam keadaan stadium lanjut sehingga penyakit
ini disebut juga dengan “silent killer”.(Wiknjosastro, 2007).
34
Dijumpai adanya nyeri abdomen yang dapat menjadi nyeri yang hebat
terutama jika ditekan, nyeri pada bagian pelvis, dapat terjadi demam tinggi
yang disertai dengan menggigil dan leukositosis, mual dan muntah disebabkan
adanya gejala abdomen akut karena terjadi perangsangan peritoneum.
6. Patofisiologi
Dengan adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan
parametrium terjadilah salphingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini
dapat terjadi pada post abortus, post partum atau setelah tindakan ginekologik
sebelumnya. Mekanisme pembentukan TOA yang pasti sukar ditentukan,
tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada
permulaan penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat yang
purulen dari fimbriae dan menyebabkan pertonitis. Ovarium sebagaimana
struktur lain dalam pelvis akan mengalami peradangan, tempat ovulasi dapat
sebagai tempat masuknya infeksi.
Abses masih terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula
melibatkan struktur pelvis lain seperti usus besar, vesika urinaria atau adneksa
yang lain. Proses peradangan dapat mereda secara spontan atau sebagai respon
dari pengobatan. Keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai
perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya semakin
hebat dapat terjadi pecahnya abses.
7. Penegakan Diagnosis
a. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis pernah infeksi daerah panggul
b. Pemeriksaan laboratorium hasilnya leukositosis
c. Foto abdomen dilakukan bila ada tanda – tanda ileus dan atau curiga
adanya massa di adneksa
d. USG bisa digunakan jika ada kecurigaan adanya TOA atau adanya massa
di adneksa
e. Pinki Douglas dilakukan bila pada VT didapatkan cavum douglas teraba
menonjol. Pada TOA yang utuh, mungkin didapatkan cairan akibat reaksi
35
jaringan. Pada TOA yang pecah atau pada abses yang mengisi cavum
douglas didapatkan pus pada lebih dari 70% kasus.
8. Komplikasi
Infertilitas, kehamilan ektopik, chronic pelvic pain, pelvic thrombophlebitis,
ovarian vein thrombosis
9. Tata Laksana
Biasanya respon terhadap terapi antibiotik, diindikasikan untuk dilakukan
pembedahan atau drainase. Hipotesis sementara mengatakan bahwa ukuran
dari TOA berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit dan
peningkatan terhadap tindakan pembedahan dan drainase. Secara umum
perawatan terhadap TOA adalah tindakan bilateral oophorectomy dan
histerektomi. Manajemen secara medikamentosa dengan pemberian antibiotik
spektrum luas secara umum direkomendasikan pada TOA yang belum pecah.
The center for disease control and prevention sexually transmitted disease
treatments guidelines merekomendasikan pemberian antibiotik kurang dari 24
jam secara intravena. Namun CDC menyarankan bahwa klindamisin atau
metronidazole digunakan dengan doksisiklin selama 14 hari perawatan untuk
bakteri gram negatif. Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila
terdapat kegagalan terhadap respon antibiotik dalam 48 sampai 72 jam.
D. Total Abdominal Hysterectomy
1. Definisi
36
menjadi tindakan histerektomi subtotal, histerektomi total, dan histerektomi
serviks.
vagina, dan kelenjar getah bening pelvik sampai setinggi vasa iliaka
37
komunis, tindakan ini diindikasikan pada karsinoma yang sudah
pembedahan yang dilakukan melalui insisi pada abdomen sepanjang 5-7 inci
2. Indikasi
Ali11 \l 1057 ].
a. Mioma Uteri, merupakan suatu tumor jinak yang struktur utamanya adalah
38
histerektomi diindikasikan hanya jika perdarahan tidak dapat dikontrol
dengan obat-obatan.
pada penderita, ini adalah salah satu terapi yang dapat ditempuh.
e. Neoplasia Intraepitel Serviks III (NIS III), merupakan displasia berat pada
uteri, serta kanker pada adneksa, seperti kanker ovarium atau kanker tuba
falopii.
3. Komplikasi
39
terjadi, berikut beberapa komplikasi tersebut (Gor, 2015; Purbadi & Husodo,
2011):
operasi. Hal ini dapat terjadi apabila luka tidak dijahit dengan sempurna.
Luka infeksi biasanya dapat terjadi sekitar 5 hari setelah operasi dan
luka.
b. Perdarahan, hal ini timbul karena terlepasnya ikatan, atau adanya usaha
ini adalah nadi meningkat, tensi menurun, penderita tampak pucat dan
c. Perlukaan pada usus, buli-buli, atau pada pembuluh darah besar, hal ini
d. Infeksi saluran kemih, hal ini sangat sering terjadi, terutama akibat
pemasangan kateter pada pasien. Gejala yang dapat dialami antara lain
kelompok.
e. Syok, dapat terjadi apabila adanya insufisiensi akut dari sistem sirkulasi
40
f. Tromboemboli paska operasi
g. Atelektasis, bisa terjadi dalam jangka waktu 24-48 jam paska operasi,
pengangkatan ovarium.
E. Salpingo-ophorectomy Dextra
pada pasien. Prosedur ini dapat dilakukan pada salah satu tuba atau ovarium saja,
kanker ovarium.
41
3. Penurunan risiko kanker ovarium pada pasien dengan risiko genetik menderita
kanker ovarium.
5. Torsio adneksa
6. Abses tubo-ovarial
7. Kehamilan ektopik
8. Endometriosis
F. Kistektomi
terdapat pada ovarium, tanpa mengangkat ovarium. Operasi ini biasa dilakukan
pada kista ovarium jinak. Indikasi dilakukannya kistektomi ini antara lain adanya
kista ovarium, kista yang ukurannya lebih besar dari 7.6 cm [ CITATION Ali11 \l
1057 ]
42
BAB V
KESIMPULAN
1. Perdarahan post partum merupakan suatu keadaan hilangnya darah sebanyak 500
ml atau lebih setelah selesainya kala 3 persalinan.
2. Penyebab perdarahan post partum dapat dikategorikan menjadi 4T, yaitu tonus,
tissue, trauma, dan thrombosis.
3. Plasenta akreta merupakan salah satu penyebab perdarahan post partum, yang
termasuk dalam kategori tissue. Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat
secara abnormal pada uterus, dimana villi korionik berhubungan langsung dengan
miometrium tanpa desidua diantaranya.
4. Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian ovum yang
normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak teridentifikasi dan terdiri
atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi, kista ini tumbuh lambat dan
ditemukan selama pembedahan yang mengandung material sebasea kental
berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit.
5. Tuboovarian abscess adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut
pelvis dimana kondisi tersebut dikarakteristikkan dengan adanya massa pada
dinding pelvis yang mengalami inflamasi.
6. Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang dicurigai
plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur.
4.
43
DAFTAR PUSTAKA
Green – top Guideline No 27. 2011. Placenta praevia, placenta praevia accreta and
vasa praevia: diagnosis and management, Royal College of Obstetricans and
Gynaecologists.
Lowdermilk, P. 2005. Maternity Women’s Health Care. Seventh edition. Philadelphia :
Mosby
Papadopoulos, M. S., Tolikas, A. C., & Miliaras, D. E. 2010. Hysterectomy—Current
Methods and Alternatives for Benign Indications. Obstetrics and Gynecology
International, 1-10.
Rac, MW, Dashe, JS, Wells, CE, Moschos, E, McIntire, DD, & Twickler, DM,. 2015.
Ultrasound predictors of placental invasion: the Placenta Accreta
Index, American journal of obstetrics and gynecology 212(3): 343-e1.
44
Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi.
Edisi 2. Jakarta: EGC hal :104.
Schorge et al. 2008. William’s Gynecology [Digital E-Book] Gynecologic Oncology
Section. Ovarian Tumors and Cancer. McGraw-Hills.
Shetty, J., Shanbhag, A., & Pandey, D. 2014. Converting Potential Abdominal
Hysterectomy to Vaginal One: Laparoscopic Assisted Vaginal Hysterectomy.
Minimally Invasive Surgery, 1-5.
45