Pembimbing:
dr. Iwan Dwi C. Sp.An
Disusun Oleh :
Disusun oleh :
Previasari Zahra P. G4A015037
Aisyah Aulia W. G4A015038
Pembimbing,
Penelitian mengenai nyeri selama bertahun – tahun telah berhasil dalam menjelaskan
mekanisme kompleks aktivasi akut dan sensitisasi kronik nosiseptor yang menimbulkan rasa
nyeri. Sebaliknya, mekanisme gatal masih kurang mendapat perhatian bahkan mekanisme
dasar terjadinya induksi gatal masih belum jelas. Dalam ulasan ini kami akan membahas
mengenai jalur spesifik gatal dan juga bukti – bukti mengenai teori pola modikasi dari
pruritus yang menyebabkan mekanisme induksi gatal. Nyeri dan gatal secara sederhana telah
dianggap bertentangan dengan stimulus nyeri, contohnya menggaruk akan menekan sensasi
gatal dan opioid akan menekan sensasi nyeri, tapi menimbulkan gatal. Akan tetapi, berkenaan
dengan mekanisme dari sensitisasi gatal atau nyeri, pola yang cukup sama akhir – akhir ini
telah diteliti baik pada jaringan yang meradang maupun sumsum tulang belakang. Kesamaan
ini membuka dua pemikiran yang menarik: peran dari konsep terapi analgesik dapat
divalidasi dalam kondisi gatal kronik dan di satu sisi investigasi mengenai sensitisasi dalam
kulit yang mudah terkena pruritus dapat membantu untuk memvaidasi konsep mengenai
nosisepsi pada manusia. Pemikiran ini mengilustrasikan bahwa penelitian mengenai gatal dan
nyeri sudah tidak lagi berbeda jalur namun dapat saling berhubungan dan bermanfaat.
2. Spesifisitas Gatal
Gatal yang diinduksi oleh cowhage dimediasi sebagian besar oleh mekanisme yang
melibatkan nosiseptor klasik. Tidak ada hasil yang mengindikasikan subpopulasi tertentu
dari serabut C untuk berperan dalam gatal yang diinduksi oleh cowhage. Hal ini masih
belum jelas bagaimana sirkuit neural berhasil memisahkan sinyal gatal ketika dihasilkan oleh
serabut – serabut tersebut yang mana normalnya akan menekan sensai gatal. Hasil dari
cowhage dan disimpulkan dengan tidak adanya bukti untk spesifisitas gatal yang diinduksi
oleh cowhage.
Hal ini merupakan perkembangan yang menarik yang diikti dengan penemuan sinyal
aferen primer yang sensitif terhadap histamin dan saraf proyeksi spinal. Baru – baru ini
kurangnya saraf proyeksi spesifik histamin pada monyet dan respon sinyal sensitif histamin
pada kapsaisin algogen telah membuat para peneliti untuk menyangkal spesifitas gatal
(Davidson et al., 2007; Simone et al., 2004). Pada pembahasan ini, seharusnya selalu diingat
bahwa kekhususan sinyal hanya dapat diuji dengan agent spesifik, seperti yang telah
disebutkan diatas, penggunakan kapsaisin dapat menginduksi sensasi gatal melalui aplikasi
topikal pada sekitar 50% sukarelawan. Sebaliknya, pemberian histamin tak hanya dapat
menimbulkan gatal namun juga nyeri, nyeri karena pemberian histamin sebagai anestesi
lokal dapat menghilangkan injeksi nyeri, namun dapat meningkatkan sensasi gatal
berikutnya.
Yang lebih menarik, kapsaisin dapat menginduksi gatal bila diaplikasikan pada ujung
cowhage yang terinaktivasi. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik spasial tersebut dapat
mengubah mediator algogenik menjadi mediator pruritik. Stimuli yang letaknya tinggi di
epidermis dapat mengaktivasi beberapa nosiseptor lokal dimana yang lainnya tetap tidak
menghasilkan atau mengaktibasi sinyal. Hal ini telah dihipotesiskan bahwa ketidakcocokan
ini mungkin terjadi karena sistem saraf pusat dari gatal. Menariknya, menggaruk merupakan
suatu kondisi yang dapat mengaktivasi semua nosiseptormekanik pada area yang terstimulasi
dan dapat mengakhiri ketidakcocokan ini.
Penemuan dari peran gastrin-releasing peptide receptor (GRPR) yang digunakan sebagai
penunjuk untuk sinyal pruriseptif spinal pada tikus akhir akhir ini telah ditemukan bukti baru
untuk beberapa neuron gatal (Sun dan Chen, 2007). Terdapat hasil yang bertentangan
mengenai spesifitas jalur neuronal untuk gatal yang terinduksi histamin: serat aferen primer
dapat diidentifikasi dengan respon histamin yang unik dan aktivasi unik untuk PGE2, dan
dengan demikian dapat dianggap spesifik. Namun, khusus neuron proyeksi spinotalamikus di
kucing berbeda dengan neuron proyeksi non-spesifik di monyet (Davidson et al, 2007;..
Simone et al, 2004).
Diskusi mengenai spesifisitas mungkin muncul murni secara akademis dan menarik
terutama bagi ahli saraf, bagaimanapun, hal ini penting untuk mengidentifikasi neuron di
kulit yang dapat memediasi sensai gatal, terutama pada pasien gatal kronis. Oleh karena itu,
studi menyelidiki struktur dan pola pewarnaan primer yang berbeda pada serat saraf aferen
pada epidermis sebagaimana yang telah dikembangkan pada tikus (Dussor et al, 2008;. Zylka
et al, 2005.) yang diperlukan bagi manusia untuk memahami betapa menyakitkan dan gatal
rangsangan diproses dalam epidermis.
Gatal dapat dikurangi dengan rangsangan yang nyeri, dan sebaliknya analgesia dapat
mengurangi hambatan ini dan dengan demikian meningkatkan gatal (Atanassoff et al., 1999).
Fenomena ini sangat relevan dengan agonis reseptor opioid yang diberikan secara spinal
yang menyebabkan analgesia segmental sering dikombinasikan dengan segmental pruritus
(Andrew et al., 2003). Mengingat bahwa m-opioid mempunyai efek untuk menginduksi gatal,
hal ini tidak mengherankan jika antagonis m-opioid memiliki efek antipruritus di gatal
(Heyer et al., 1997) dan juga pada pasien dengan gatal kolestasis. Sungguh luar biasa, bahwa
dalam beberapa pasien kolestatik pengurangan gatal oleh nalokson disertai oleh induksi
nyeri (McRae et al., 2003). Reaksi (Jones et al., 2002), menunjukkan peningkatan regulasi
opioid endogen pada pasien ini (Marzioni et al., 2007). Kedua, m dan k agonis opioid
digunakan secara klinis sebagai analgesik. Oleh karena itu, hal ini mengejutkan, bahwa k -
antagonis opioid meningkatkan gatal pada hewan percobaan (Kamei dan Nagase, 2001).
Sejalan dengan hasil ini, agonis k-opioid telah terbukti mengurangi gatal kolestatik yang
eksperimental (Inan dan Cowan, 2006), tetapi m-opioid juga dapat menginduksi pruritus
pada manusia (Kjellberg dan Tramer, 2001) dan primata (Lee et al., 2007). Konsep terapi
baru ini telah diuji dengan sukses pada pasien gatal kronis (Delmez, 2006).
Sementara efek opioid pada sistem saraf spinal dan sistem saraf pusat telah diteliti
selama beberapa dekade, produksi lokal opioid di kulit adalah penemuan yang baru-baru ini.
Ketika reseptor opioid perifer di kulit pertama ditemukan, penelitian difokuskan pada
efek analgesik perifer (Stein et al., 2003) sedangkan efek opioid selain analgesia masih
belum menarik (Braz dkk., 2001). Namun akhirnya penemuan produksi opioid endogen di
kulit, seperti B-endorphin, mendorong penelitian pada beberapa fungsi yang berbeda
(misalnya pengendalian pertumbuhan rambut dan pigmentasi (Schmelz dan Paus, 2007)
termasuk penyembuhan dan diferensiasi luka (Bigliardi-Qi et al., 2007). Kami baru saja
mulai memahami yang rangsangan menginduksi epidermal rilis opioid seperti aktivasi
reseptor cannabinoid (CB2) (Ibrahim et al., 2005) dan bagaimana mereka dapat
berkontribusi untuk mengontrol pertumbuhan dan diferensiasi, namun juga peradangan dan
modulasi rangsangan saraf.
4. Sensitisasi Perifer
Banyak mediator inflamasi endogen yang sudah dikenal dapat mengaktivasi dan
mensensitisasi ujung saraf nosiseptif (Reeh dan Kress, 1995). Hal yang menarik untuk
dicatat adalah bahwa banyak mediator inflamasi klasik seperti bradikinin, serotonin,
histamin dan prostaglandin, yang dilepaskan secara luas ketika proses inflamasi, telah
dibuktikan dapat mensensitisasi nosiseptor secara akut (Kidd dan Urban, 2001), tetapi juga
mengaktivasi pruriseptor (Schmelz et al., 2003).
Efek yang kompleks dari mediator inflamasi juga diperumit dengan interaksi dari
mediator inflamasi tersebut; efek supra-aditif juga diketahui pada beberapa macam
kombinasi, misalnya prostaglandin E2 dan histamin (Nicolson et al, 2007). Selain itu,
sensitisasi reseptor TRPV1 Capsaicin oleh berbagai mediator – antara lain, proteinase-
activated receptor 2 (PAR-2) (Amadesi et al., 2006) – menunjukkan bukti adanya
mekanisme yang mendasari sensitisasi-silang..
Sensitisasi akut dan aktivasi dari serabut saraf aferen dapat terjadi melalui kombinasi dari
berbagai mediator inflamasi. Namun, stimulasi kimia yang mendasari adaptasi kuat dan
takifilaksis pada serabut saraf aferen primer dapat berujung pada keadaan desensitisasi
(Liang et al., 2001).Meskipun keadaan desensitisasi ini diharapkan, banyak pasien yang
menderita karena hipersensitivitas yang tahan lama selama beberapa bulan hingga tahun.
Dengan demikian, sebagai tambahan dari sensitisasi akut perubahan struktur yang tahan
lama diperlukan untuk memerantarai keadaan klinis dari hipersensitivitas. Neurotropin dapat
menginduksi sensitisasi akut (Zhang et al., 2005), namun juga dapat menyebabkan
perubahan struktur yang tahan lama (pertumbuhan) dari nosiseptor. Ekspresi dari nerve
growth factor (NGF) tinggi pada jaringan yang luka dan mengalami inflamasi, dan aktivasi
dari reseptor NGF, tirosin kinase trkA, pada neuron nosiseptif memicu dan mempotensiasi
sinyal nyeri dengan berbagai mekanisme (Hefti et al., 2006).
Pertumbuhan dari serabut saraf epidermal diinisasi dengan meningkatnya NGF, tidak
hanya ditemukan pada kombinasi dari nyeri yang terlokalisasi dan hiperalgesia seperti pada
disestesia vulva (Bohm-Starke et al., 2006), namun juga pada dermatitis atopik (Urashima
dan Mihara, 1998). Sebagai tambahan, peningkatan level serum dari NGF dan substansi P
ditemukan berhubungan dengan keparahan penyakit pada dermatitis atopik (Toyoda et al.,
2002). Sumber dari NGF terutama dari keratinosit dan sel mast (Groneberg et al., 2005).
Peningkatan densitas serabut dan konsentrasi NGF lokal yang tinggi juga ditemukan secara
klinis pada dermatitis kontak (Kinkelin et al., 2000), sedangkan penigkatan NGF dan reaksi
imun trkA ditemukan pada prurigo nodularis (Johansson et al., 2000), dan juga pada lesi
pruritis pada pasien psoriasis (Choi et al., 2005). Kemiripan dari nyeri yang terlokalisasi dan
lesi pruritis mungkin menunjukkan bahwa mekanisme yang mirip dari pertumbuhan neuron
dan sensitisasi, dijumpai pada nyeri dan gatal pada tingkat perifer. Strategi anti-NGF sudah
digunakan di model nyeri pada hewan (Halvorson et al., 2005), dan juga pada pasien yang
mengeluh nyeri (Lane et al., 2005). Pendekatan terapeutik anti-NGF melawan gatal sudah
pernah dilakukan pada model hewan yang mengalami dermatitis atopik saja (Takano et al.,
2005). Pada model ini (NC/Nga mice) terjadi peningkatan ekspresi NGF epidermal (Tanala
dan Matsuda, 2005; Tominaga et al., 2007).
NGF diketahui dapat meningkatkan regulasi neuropeptida, terutama substansi P (SP),
dan calcitonin gene related peptide (CGRP) (Verge et al., 1995). Peran penting SP pada
induksi nyeri dan hiperalgesia ditemukan pada tikus (Laird et al., 2001), meskipun tidak
terlalu banyak bukti untuk efikasi analgesi secara klinis dari antagonis NK1 (Hill, 2000).
Tidak ada konfirmasi yang menunjukkan bahwa SP merupakan pruritogen akut pada
manusia (Weidner et al., 2000), namun SP mungkin dapat berperan dalam proses gatal oleh
sensitisasi neuron dan oleh interaksi jangka panjang SP dengan sel mast (Yosipovitch et al.,
2003).Efek sensitisasi pada nosiseptor juga ditemukan pada CGRP yang terdapat pada tikus
(Mogil et al., 2005; Sun et al., 2004), namun perannya pada proses gatal masih belum jelas
(Ekblom et al. 1993). Menariknya, peningkatan level SP juga bersamaan dengan penurunan
level CGRP di NC/Nga mice, sebuah model dermatitis atopik pada tikus (Katsuno et al.,
2003). Mengingat bahwa sensitivitas nyeri panas berhubungan level CGRP (Mogil et al.,
2005), dan sensitivitas nyeri berbanding terbalik dengan sensitivitas pada gatal (Green et al.,
2006), mungkin dapat dipertimbangkan mengenai peran khusus dari CGRP pada nosisepsi
dan SP untuk gatal.
Dewasa ini, kebanyakan penelitian yang membahas peran neurotropin pada gatal fokus
membahas NGF, namun, brain derived neurotrophic factor (BDNF), neurotropin 3 dan 4,
serta glia cell derived neurotrophic factor, merupakan modulator utama pada serabut saraf
intraepidermal yang mungkin terkait dengan kondisi gatal yang kronis (Grewe et al., 2000;
Hon et al., 2007).
5. Sensitisasi Sentral
Masukan neuronal yang berbahaya pada saraf spinal diketahui dapat mensensitisasi
proses nyeri pada korda spinalis yang disebut dengan “sensitisasi sentral” (Koltzenburg,
2000), yang terdiri dari hipersensitivitas terhadap sentuhan (‘allodynia’) dan stimulus
mekanis yang disebut sebagai “punctate hyperalgesia”. Terdapatdua jenis hiperalgesia
mekanik yang dapat dibedakan. Stimulus sentuhan yang tidak berbahaya pada sekeliling
daerah yang tidak terluka pada suatu trauma dapat dirasakan sebagai rasa nyeri sentuh, atau
‘brush-evoked hiperalgesia; atau allodynia. Meskipun sensasi ini dimediasi oleh unit
mekanireseptor yang bermielin, proses ini memerlukan aktivitas dari serabut saraf nosiseptor-
C (Torebjork et al., 1996). Jenis kedua dari hiperalgesia mekanik ini adalah pada nyeri sekilas
stimulasi tusukan jarum yang dirasakan lebih nyeri dibandingkan dengan zona sekunder di
sekeliling fokus inflamasi. Jenis ini disebut sebagai punctated hyperalgesia. Jenis yang
terakhir tidak memerlukan aktivitas berkelanjutan dari nosiseptif utama untuk
pemeliharaan.Jenis tersebut dapat bertahan lebih lama setelah trauma biasanya lebih lama
dari sentuhan yang diberikan atau brush-evoked hiperalgesia (LaMotte et al., 1991).
Pola yang sangat mirip dari sensitisasi setral dapat diamati pada jalur gatal: melalui
sentuhan atau brush-evoked prurituspada sekitar daerah yang gatal dan disebut sebagai kulit
yang gatal (Bickford, 1938; Simone et al., 1991). Seperti padaallodynia, pola ini memerlukan
aktivitas yang masih berlangsung dari aferen utama dan paling sering ditimbulkan oleh
mekanoreseptor dengan ambang yang rendah (serabut A-β) (Heyer et al., 1995; Simone et al.,
1991). Selain itu, sensasi gatal yang diinduksi dengan tusukan yang dilakukan lebih intens
pada sekitar kulit yang gatal atau disebut sebagai hiperkinesis dilaporkan diikuti dengan
iontoforesis histamin pada orang sehat (Atanassoff et al., 1999).
Keberadaansensitisasi sentral untuk gatal dapat dengan baik meningkatkan pengetahuan
mengenai gatal secara klinis. Di bawah kondisi sensitisasi sentral, secara normal stimulus
nyeri dirasakan sebagai gatal. Fenomena ini sudah dijelaskan pada pasien dengan dermatitis
atopik, yang merasakan stimulus nyeri elektrik normal sebagai gatal ketika dipakaikan ada
kulit yang berlesi (Nilsson and Schouenborg, 1999). Terlebih lagi, asetilkolin dan bradikinin
cenderung memicu gatal daripada nyeri pada pasien dengan dermatitis atopik (Hosogi et al.,
2006; Vogelsang et al., 1995) mengindikasikan bahwa penghambatan induksi nyeri pada gatal
mungkin menurun pada pasien ini.
Mekanisme yang tepat serta peran dari sensitisasi sentral untuk gatal pada kondisi klinis
yang spesifik masih perlu dikaji kembali, meskipun peran utama daru sensitisasi senral pada
pasein dengan nyeri kronik diterima secara umum. Perlu dicatat bahwa kesamaan antara
fenomena sensitisasi sekunder yang dinduksi secara percobaan juga memiliki bukti
kedaruratan untuk fenomena yang sama dengan pasien dengan nyeri kronik dan gatal kronik.
Pada pasien dengan nyeri neuropati, belakangan ini dilaporkan bahwa rangsangan
menggunakan histamin-iontophoresis menyebabkan nyeri terbakar bukan gatal seperti pada
orang sehat (Baron et al., 2001; Birklein et al., 1997). Fenomena ini menarik karena
menunjukkan hipersensitivitas tulang belakang oleh rangsangan serabut C pada nyeri kronik.
Sebaliknya, rangsangan nyeri elektrik, kimia, mekanis serta rangsangan suhu dirasakan
sebagai gatal pada lesi kulit pada pasien dengan dermatitis atopik(Hosogi et al., 2006; Ikoma
et al., 2004) menunjukkan bahwa terdapat hipersensitivitas spinal serabut C pada gatal kronis.
Hal ini dibuktikan pada pasien dengan dermatitis atopik, garukan yang berulang justru
menambah rasa gatal yang dirasakan dibandingkan dengan menghambat rasa gatal tersebut.
Prick test histamin pada kulit yang tidak berlesi pada pasien dermatitis atopik menunjukkan
rasa gatal yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang sehat. Namun, ketika hal
tersebut dilakukan pada kulit yang berlesi, rasa gatal meningkat dan berlangsung terus
menerus, sedangkan eritema pada akson refleks lebih kecil pada pasien dermatitis atopik
dibandingkan dengan kontrol sehat. Dengan ini, terdapat bukti bahwa sensitisasi sentral juga
berperan pada gatal kronis disamping adanya sensitisasi perifer.
Pola yang mirip pada sensitisasi sentral pada gatal dan nyeri menimbulkan pendekatan
terapetik anti-pruritus menggunakan obat-obatan yang sering digunakan pada nyeri neuropati.
Sejauh ini belum ada penelitian atau studi yang terkontrol, namun laporan anekdot
menunjukkan kesuksesan menggunakan karbamazepin, gabapentin, dan baru-baru ini dengan
pregabalin yang dikembangkan (Summey and Yosipovitch, 2005). Gabapentin dan
pregabalin menghambat subunit alfa-2-delta pada kanal Ca 2+ yang tergantung dengan
tegangan (Rogawski and Loscher, 2004). Gabapentin juga dibuktikan efektif dalam
pengobatan pruritus neuropati, seperti pada kasus pruritus brachioradial dan gatal yang
terkait multipel-sklerosis (Bueller et al., 1999; Winhoven et al., 2004).Gabapentin dapat
mengubah sensasi gatal seperti pada pruritus yang terkait dengan kerusakan saraf pada
penyakit kulit atau sistemik (Yesudian and Wilson, 2005).
Kombinasi dari gatal neuropati dan nyeri neuropati dapat terdapat pada beberapa
neuropati, namun hanya sedikit yang meneliti mengenai hubungan dari kedua hal tersebut:
hubungan kedua hal tersebut ditunjukkan pada gatal post-herpes (Oaklander et al., 2003),
namun data dari implikasi terapeutik masih jarang. Sangat menarik untuk dipelajari lebih
jauh mengenai penyakit neuropati seperti neuralgia post-herpes, meralgia paresthetica, serta
pruritus brachioradial dengan mempertimbangkan adanya sensitisasi sentral dan perifer pada
jalur nyeri dan gatal, kombinasi dari dermatologis, neurologis, dan anestesiologis.
7. Rangkuman
Data saat ini mendukung dua konsep neurofisiologis yang berbeda untuk gatal, di mana
keduanya dapat menginduksi gatal, namun belum jelas jalur mana yang dapat mendasari
terjadinya gatal kronis:
a. Jalur spesifik neuronal untuk gatal yang diinduksi histamin terdiri dari serabut aferen
utama mekano-insensitif dan neuron spinotalamikus dorsal mekano-insensitif yang dapat
ditunjukkan dari ekspresi gastrin releasing peptide receptors (GRPR).
b. Jalur tidak spesifik, yang mana gatal terjadi karena adanya pola aktivasi sentral yang
diinduksi oleh aktivasi fokal nosiseptor pada stimulasi intradermal.
Nyeri dan gatal pada dasarnya dipersepsikansebagai antagonis dari nyeri yang menekan
gatal dan μ-opioids dapat menghilangkan gatal dan nyeri. Anehnya kondisi gatal dan nyeri
kronik memiliki pola yang sangat mirip pada sensitisasi neuron baik pada perifer maupun
pada korda spinalis. Kemiripan ini mendukung penelitian mengenai kombinasi nyeri dan
gatal dan terlebih lagi, pendekatan terapeutik yang sudah dibuktikan untuk nyeri juga dapat
digunakan secara valid pada kondisi gatal kronis.