Anda di halaman 1dari 3

1.

PAPUL

Virus HIV menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4) yang akan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan dapat menyebabkan
bermacam macam manifestasi mukokutaneus. Manifestasi kulit pada penderita
infeksi HIV sangat umum terjadi, bisa merupakan hasil dari infeksi virus tersebut
atau karena kelainan oportunistik yang terjadi akibat penurunan status imun
penderita.

Manifestasi kulit yang terjadi dapat merupakan tanda awal infeksi HIV itu
sendiri, sehingga mengenali tanda-tanda kelainan kulit yang terjadi pada
penderita HIV dapat membantu penegakkan awal diagnosis HIV, serta
membantu pemberian terapi antiretroviral sedini mungkin.

Manifestasi kulit pada infeksi HIV sangat luas dan bervariasi, dapat
berupa keganasan, infeksi maupun noninfeksi yang disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur dan parasit lainnya. Salah satu kelainan kulit noninfeksi yang dapat
terjadi pada penderita HIV adalah Pruritic papular eruption (PPE). Pruritic
papular eruption merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering
ditemukan pada penderita HIV, terutama selama tahap imunosupresif tingkat
lanjut.

Pruritic papular eruption (PPE) adalah salah satu manifestasi kulit yang
umum terjadi pada penderita infeksi HIV/AIDS. Didapatkan gambaran klinis
berupa lesi papul eritematosa diskret yang tersebar terutama di area ekstremitas,
yang kemudian dapat menyebar ke batang tubuh, disertai rasa gatal yang hebat
dan kronis.

Penelitian menyatakan adanya keterkaitan erat antara jumlah hitung


CD4+ pada penderita HIV/AIDS dengan munculnya manifestasi klinis pada kulit.
Semakin rendah jumlah hitung CD4+ pada penderita HIV/AIDS berhubungan
dengan peningkatan insidensi PPE. Pruritic papular eruption biasanya muncul
pada penderita HIV/AIDS dengan status imunosupresi berat atau stadium lanjut,
dengan jumlah hitung CD4+ <250sel/mm3.

Referensi : Sugiarto,Ivana.2016. Pruritic Popular Eruption Pada Penderita HIV.


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

2. DIARE DAN PENURUNAN BERAT BADAN

Sel limfosit T CD4 diketahui merupakan komponen utama sel-sel di lamina


propria intestinal dan termasuk dalam populasi sel T yang jumlahnya menurun
pasca infeksi HIV-1. Dimana infeksi HIV-1 terutama menyerang sel limfosit
CD4+didaerah intestinal atau GALT dan gp120 HIV-1 akan berikatan dengan
reseptor integrin alfa4beta7 yang terekspresi di limfosit T CD4 intestinal sehingga
menimbulkan kerusakan sel dan keutuhan struktur jaringan. Kerusakan ini yang
memudahkan penetrasi patogen dan produknya sehingga mengaktifkan imun
non spesifik dan aktivasi limfosit yang akan menginduksi kematian sel limfosit T
CD4.
Penelitian menunjukkan bahwa sel CD4 memiliki peranan penting dalam
respon imun terhadap infeksi Cryptospiridium sp. Protozoa ini dapat
menyebabkan diare kronis berbulan bulan bahkan menahun, sehingga
menurunkan kualitas hidup dan mempersingkat kehidupan pasien akibat
kehilangan cairan yang banyak dan malnutrisi.

Referensi : Sri,WH. 2017. Gejala Penderita HIV /AIDS . Universitas Andalas.

3. BATUK BERDARAH DAN BERLENDIR (TB)


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada
penderita HIV/AIDS. Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV
menyebabkan berbagai infeksi oportunistic, seperti TB. Angka kematian akibat
infeksi TB pada penderita HIV lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian
tersering (30-50%) pada penderita HIV/AIDS. Mekanisme infeksi TB pada
penderita HIV melalui : reaktivasi, infeksi baru yang progresif. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas pada sistem imunitas seluler sehingga terjadi
koinfeksi. Infeksi TB mengakibatkan progresifitas perjalanan HIV/AIDS yang
lebih cepat hingga kematian.
Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel CD4 menurun secara progresif,
serta gangguan pada fungsi makrofag dan monosit. CD4 dan makrofag
merupakan komponen yang memiliki peran utama dalam pertahanan tubuh
terhadap mikobakterium. Salah satu aktivator replikasi HIV di dalam sel limfosit
TB adalah tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang
aktif dan dalam proses pembentukan jaringan granuloma pada TB. Kadar bahan
ini 3-10 kali lebih tinggi pada mereka yang terinfeksi TB dengan HIV-AIDS
dibandingkan dengan yang terinfeksi HIV saja tanpa TB. Tingginya kadar tumor
necrosis factor alfa ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV juga dapat
meningkat, yang artinya memperburuk perjalanan penyakit AIDS. Pada penelitian
lain dijumpai adanya peningkatan kadar beta 2 mikroglobulin pada penderita
HIV/AIDS dengan TB.

Referensi : Mulyadi;Fitrika Y. Hubungan TB dengan HIV/AIDS Vol II No.2. Bagian


Pulmunologi. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

4. LUKA PADA KELAMIN (SIFILIS)


Pasien dengan infeksi HIV mengalami disregulasi respons imun tubuh.
Hal tersebut menyebabkan turunnya jumlah sel Th (helper) dan limfopenia.
Limfosit T tidak dapat memproduksi interleukin-2 dalam jumlah normal, respons
hipersensitivitas tipe lambat melemah, dan aktivitas sel natural killer menurun.
Produksi antibodi spesifik dapat terganggu.
Treponema pallidum tidak banyak memiliki lipopolisakarida, tetapi kuman
tersebut mengandung banyak lipoprotein. Secara in vitro maupun in vivo telah
dibuktikan bahwa lipid-modified protein merupakan aktivator poten terhadap sel
efektor yang berkaitan dengan imunitas nonspesifik.Oleh karena itu, pada awal
pembentukan chancre respons imun nonspesifik yang akan berperan terutama
adalah monosit, makrofag, dan sel endotelial terhadap Treponema.
Sifilis mengaktifkan baik imunitas humoral maupun selular, dan keduanya
diperlukan untuk eradikasi kuman.Kini telah ditemukan bahwa hipersensitivitas
tipe lambat merupakan mekanisme imun yang utama untuk pemusnahan bakteri
dan penyembuhan lesi sifilis.Pada pasien terinfeksi HIV terjadi gangguan sistem
imun humoral dan selular. Perubahan kualitas imunologis pada pasien dengan
infeksi HIV dapat menyebabkan penyembuhan lesi primer sifilis yang lambat,
akselerasi terjadinya lesi sifilis sekunder, atau keduanya.Penurunan atau
hilangnya imunitas selular pada pasien terinfeksi HIV menyebabkan peningkatan
kemampuan Treponema untuk bermultiplikasi di berbagai jaringan, sehingga
dapat terjadi ulserasi genital persisten, guma, dan progresivitas neurosifilis yang
lebih cepat.
Kofoed dkk.melaporkan bahwa pada pasien terinfeksi HIV, jumlah sel
limfosit T CD4+ menurun dan jumlah virus HIV meningkat selama infeksi sifilis.
Keadaan tersebut secara statistik bermakna hanya pada sifilis primer dan sifilis
sekunder, dengan jumlah awal sel limfosit T CD4+ sebelum terinfeksi sifilis
sebesar ≥500 sel/μL. Setelah terapi sifilis, jumlah sel limfosit T CD4+ akan
meningkat dan jumlah virus HIV akan menurun seperti keadaan awal sebelum
terinfeksi sifilis. Namun, Sadiq dkk. melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara perubahan jumlah sel limfosit T CD4+ dan jumlah virus HIV-1 dalam
darah dan semen dengan kejadian sifilis stadium dini.

Referensi : Agustina,F Dkk. Sifilis Pada Infeksi HIV. Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai