Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
mengatur keseimabangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan
konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemi). Terdapat dua kategori utama
diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 disebut juga
insulin dependent atau juvenile/ childhood-onset diabetes, ditandai dengan
kurangnya produksi insulin. Diabetes tipe 2 disebut juga non insulin dependent
atau adult-onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif
oleh tubuh. Sedangkan diabetes gestasional adalah hierglikemi yang didapatkan
saat kehamilan (Kemenkes, 2014).
Gejala yang sering dirasakan penderita diabetes tipe 1 adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang
dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa
diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit
sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya
lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2005).
Dari data IDF (Internasional Diabetes Federation) menunjukan bahwa
jumlah penderita Diabetes Melitus didunia pada tahun 2012 telah mencapai 371
juta dan mencapai jumlah 7. 6 juta di Indonesia dengan usia 20-79 tahun, dengan
angka prevalensi standar WHO 5.14 %, dimana angka kematian yang di akibatkan
mencapai 155.465. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan penyakit diabetes dari
1,1% tahun 2007 menjadi 2,4% (Riskesdas, 2013). Seseorang dikategorikan
sebagai penderita diabetes melitus jika kadar GDP >126 mg/dl, glukosa darah 2
jam postpradial >200 mg/dl, dan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl. Kadar
glukosa darah yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi di organ lain
termasuk di dalamnya adalah rongga mulut (Al Maskari, 2011).
Manifestasi utama dalam rongga mulut pada penderita diabetes melitus
umumnya terjadi akibat rendahnya resistensi terhadap infeksi. Proses
penyembuhan luka membutuhkan waktu yang lebih panjang akibat gangguan
metabolism tersebut. Kadang berbagai gejala yang ditemukan dalam mulut
menunjukkan adanya diabetes melitus yang belum terdeteksi. Kerusakan jaringan
periodontal yang berjalan dengan cepat dapat terjadi akibat diabetes melitus berat
yang tidak dirawat. Namun demikian, bahkan pada anak-anak penderita diabetes
melitus yang dirawat sekalipun kesehatan jaringan periodontalnya lebih buruk bila
dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Menyempitnya saluran kelenjar liur
pada penderita diabetes melitus menyebabkan xerostomia, sehingga pasien ini
memiliki tingkat DMFT yang lebih tinggi walaupun sudah menggunakan diet
bebas gula, serta lebih banyak kehilangan gigi yang terjadi bila dibandingkan
kondisi normal. Bentuk komplikasi lainnya adalah kerentanan terhadap
kandidiasis (Wilkins, 2009).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis ingin membahas
manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada bidang kedokteran
gigi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada
bidang kedokteran gigi?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada
bidang kedokteran gigi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang bersifat progresif,
dikarakteristikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memetabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, yang mengarah kepada hiperglikemia (Black, 2009).
Peningkatan kadar glukosa ini terjadi karena: defisiensi insulin yang bersifat
relatif ataupun absolut, atau akibat adanya peningkatan resistensi sel terhadap
kerja insulin (Cawson dan Odell, 2008; Wilkins, 2009).
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi
untuk mengontrol kadar gula dalam darah dengan mengubah karbohidrat, lemak
dan protein menjadi energi. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit yang
ditandai dengan kadar gula glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu
kadar gula darah darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula
darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dl. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya pembentukan atau keaktifan insulin yang dihasilkan oleh sel beta dari
pulau-pulau Langerhans di Pankreas atau adanya kerusakan pada pulau
Langerhans itu sendiri (Sjaifoellah Noer, 1996)
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
International Society of Pediatric and Adolesence Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologi. DM tipe 1
terjadi disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi
dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi
insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi
insulin. Pada DM Tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan
meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainya
seperti obesitas, hiperglikemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun
hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).
Menurut WHO, diabetes melitus dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan
perawatan dan simptoma.
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 1 biasa menyerang anak-anak. Merupakan diabetes
yang terjadi karena berkurangnya insulin dalam sirkulasi darah akibat
hilangnya sel beta pada pulau langerhans. Hilangnya sel beta dikarenakan
reaksi autoimun yang salah sehingga menghancurkan sel beta di pankreas.
Salah satu gejala DM tipe 1 ini adalah buang air kecil yang terlalu sering.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Merupakan tipe diabetes yang bukan karena berkurangnya rasio insulin dalam
darah, melainkan karena kelainan metabolisme. Terjadi Hiperglisema yaitu
bertambahnya atau melebihnya glukosa darah.
3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes tipe ini adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang
diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon
insulin yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan.
Resiko terjadinya anomali kongenital berkaitan langsung dengan derajat
hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan. Pada diabetes melitus jenis ini,
insulin sulit bekerja karena beberapa hormon pada ibu hamil memiliki efek
metabolik yang bertoleransi dengan glukosa.

Sedangkan American Diabetes Association (1997) membagi DM dalam


empat klasifikasi dengan dua tipe utama yaitu tipe I dan tipe II.
1. Diabetes tipe I
Merupakan tipe diabetes yang terjadi karena kerusakan sel-sel beta pada
pancreas untuk memproduksi insulin. Hal ini disebabkan reaksi autoimun
pada tubuh.
2. Diabetes tipe II
Merupakan tipe diabetes dimana jumlah insulin dalam tubuh memadai namun
kurangnya jumlah reseptor insulin di permukaan sel menyebabkan insulin
yang dapat masuk ke dalam sel hanya sedikit dan proses metabolism
karbohidrat terganggu sehingga kadar glukosa dan insulin tinggi. DM tipe II
mempunyai tingkat genetic tinggi, 80-90% disebabkan keturunan.
3. Diabetes tipe Gestasional
Tipe diabetes yang hanya terjadi pada masa kehamilan. Namun resiko yang
ditimbulkan terhadap bayi sangan besar seperti kelainan bawaan, gangguan
pernapasan, bahkan kematian janin. Toleransi karbohidrat akan kembali
normal mulai pada trisemester ketiga.
4. Diabetes tipe spesifik lainnya
a. Defek genetik fungsi sel β yang ditandai dengan mutasi pada:
1) Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α.
2) Glukokinase
3) Hepacytocyte nuclear transcription for 1α.
4) Insulin promoter factor
b. Defek genetic pada kerja insulin (misalnya resistensi tipe A).
c. Penyakit pada pankreas eksokrin, diantaranya pancreatitis, pankreatektomi,
neoplasia, fibrosis kistik, hemokromatosis.
d. Endokrinopati yaitu sindrom Cushing, akromegali, feokromositoma,
hipertiroidisme, glukagonoma.
e. Obat atau bahan kimia : glukortikoid, tiazid, dan lain.
f. Infeksi : rubella kongenital, sitomegalovirus, coxsackievirus, dan lainnya.
g. Bentuk jarang diabetes imnunologik : sindrom “Stiff Man”, antibody anti
reseptor insulin.
h. Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan diabetes : sindrom Down,
sindrom Klinefelter, dan lainnya.

2.2 Patofisiologi Diabetes Melitus


2.2.1 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena berkurang atau rusaknya sel beta
sebagai penghasil insulin pada pankreas yang menyebabkan produksi insuline
menjadi berkurang atau tidak terproduksi lagi. Pada saat makanan yang masuk ke
dalam tubuh, maka makanan tersebut akan dirubah menjadi glukosa. Glukosa
kemudian masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas menghasilkan
sedikit insulin atau tidak menghasilkan insulin sama sekali karena kerusakan sel
beta pada pulau langerhans yang terdapat pada pankreas. Insulin yang dihasilkan
tersebut akan masuk ke dalam aliran darah, selanjutnya dikarena jumlah insulin
yang diproduksi dengan glukosa yang masuk ke dalam tubuh terlalu sedikit maka
menyebabkan penumpukan glukosa dalam darah.
2.2.2 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena kurangya sensitivitas terhadap
insulin (disebabkan kurangnya jumlah reseptor insulin dipermukaan sel) yang
ditandai dengan meningkatnya kadar insulin dalam darah. Pada awalnya makan
yang masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi glukosa, kemudian glukosa
akan masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas akan menghasilkan
insulin, dan insulin tersebut akan masuk ke dalam pembuluh darah. Namun
insulin tersebut mengalami penurunan sensitivitas, sehingga glukosa menumpuk
dalam darah dan tidak dapat masuk ke dalam sel.

2.3 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


Gejala-gejala akut DM disebabkan oleh kurang adekuatnya kerja insulin.
Karena insulin adalah satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar
glukosa darah, salah satu gambaran yang menonjol pada DM adalah peningkatan
kadar glukosa darah, atau hiperglikemia. Manifestasi klinis diabetes melitus yaitu
meningkatnya frekuensi pengeluaran urin (poliuria), meningkatnya rasa haus atau
asupan cairan (polidipsi), dan selama penyakit ini berkembang, terjadi kehilangan
berat badan meskipun lapar dan meningkatnya asupan makanan (polifagi). Jika
telah berkembang penuh secara klinis, diabetes mellitus ditandai dengan
hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit vaskular
mikroangiopati dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah
bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya.
Pasien dangan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan
gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik
diabetes (Price & Wilson, 2012).
2.3.1 Manifestasi Diabetes Melitus pada Rongga Mulut
Pada penderita diabetes mellitus ditemukan mikroangiopati akibat adanya
penebalan yang terjadi pada membran basalis. Selain itu juga terjadi
atherosklerosis karena peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida di dalam
serum. Gangguan metabolisme dan mikroangiopati tersebut menimbulkan
berbagai kelainan yang dapat ditemukan dalam mulut
1. Xerostomia
Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air
liur), sehingga mulut terasa kering dan menyebabkan burning sensation pada
penderita DM. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya dapat
berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut.
Jadi bila aliran saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak
nyaman, lebih rentan untuk terjadinya ulserasi, karies gigi, dan bisa menjadi
lingkungan yang baik bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang (Robert,
1992).
2. Gingivitis dan Periodontitis
Periodontitis merupakan radang pada jaringan periodontal. Selain merusak sel
darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah
sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya
aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi,
Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat
periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus, dan faktor sistemik atau
kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan periodontal membuat gingiva
tidak lagi melekat ke gigi, tulang alveolar teresorbsi, dan lama kelamaan gigi
menjadi goyang.
3. Ulcerasi
Penderita Diabetes sangat rentan terkena candidiasis dalam mulut dan lidah
yang kemudian menimbulkan ulcer. Ulcer ini disebabkan oleh jamur yang
berkembang seiring naiknya tingkat gula dalam darah dan air liur penderita
diabetes.
4. Oral thrush
Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan
oleh candida yang ada di dalam rongga mulut. Pada penderita DM kronis
dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering menggunakan
antibiotik dapat mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut yang
mengakibatkan candida berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkant
thrush.
6. Karies Gigi
Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan
terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada
diabetes aliran cairan darah mengandung banyak glukosa yang berperan
sebagai substrat kariogenik. Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4
faktor yaitu gigi, substrat , kuman dan waktu. Pada penderita Diabetes
Melitus telah diketahui bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan
melekat pada permukaan gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari
golongan karbohidrat bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan
gigi dan tidak langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam
mulut menurun, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi (Lubis,
2012).

2.4 Diabetes Melitus pada Anak

Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam


suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia Konsensus
Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 UKK Endokrinologi Anak Dan
Remaja, IDAI - World Diabetes Foundation kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1
lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. Berdasarkan data dari
rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu pada usia 5-6
tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 % penderita baru DM tipe-1
berusia > 20 tahun (Bambang, 2009). .
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1.
Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam
patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi
sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada
patogenesis DM tipe-1. Sistim HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari
lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1
pada seseorang yang rentan (Bambang, 2009).
BAB 3
PEMBAHASAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun


akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
mengatur keseimabangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan
konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemi). Terdapat dua kategori utama
diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 disebut juga
insulin dependent atau juvenile/ childhood-onset diabetes, ditandai dengan
kurangnya produksi insulin. Diabetes tipe 2 disebut juga non insulin dependent
atau adult-onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif
oleh tubuh. Sedangkan diabetes gestasional adalah hierglikemi yang didapatkan
saat kehamilan (Kemenkes, 2014).
Sebagian besar penderita DM pada anak termasuk dalam tipe 1, yang
terjadi akibat suatu proses autoimun yang merusak sel beta pankreas sehingga
produksi insulin berkurang bahkan terhenti (sosenko dkk, 2008). Ada beberapa
tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet
Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi
terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi
utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM
Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi
ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang
cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau
Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau
Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas
terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi
insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi 14
hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara
selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan
bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih
merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu.
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap
enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang
baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA
dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor
kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA
(AntiInsulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang
menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien
sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans
kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi
insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM
Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita
DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan
sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara
normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita
DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam
keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan
terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi
penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah
jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh
untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita
DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi
insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang
tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran
untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme
biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi
insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di
dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer
seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan kata lain akan menurunkan
penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan
ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons
insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein
transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di
jaringan adipose (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Gejala klinis DM adalah berkurangnya kadar insulin, kadar gula darah
meningkat, poliuria, polidipsia, dan polifagia. Sedangkan manifestasi DM di
rongga mulut adalah xerostomia, kandidiasis, karies, gingivitis dan periodontitis,
dan dry mouth. Komplikasi DM adalah infeksi, mikroangiopati, dan
mikroaneurism, neuropati, nefropati retinopati. Penanganan masalah kesehatan
gigi pada pasien-pasien dengan medically-compromised sangatlah kompleks dan
menarik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana seorang dokter
gigi dapat melakukan perawatan dengan aman dan dengan risiko sekecil
mungkin. Untuk itu diperlukan evaluasi yang tepat dan akurat dalam menentukan
kondisi sistemik pasien dengan medically-compromised yang difokuskan pada
patofisiologi penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, terapi
medis yang sedang dijalani pasien serta rekomendasi dari spesialis-spesialis
terkait untuk dapat melakukan perawatan persiapan dengan baik dan aman serta
menghindari komplikasi yang mungkin terjadi (Vitria, 2011).
Penatalaksanaan dental pada pasien diabetes pasien yang datang ke tempat
praktek gigi mungkin dengan kondisi yang tidak terdiagnosis DM. Sebagai contoh
adalah adanya periodontitis yang parah dan cepat progresif yang terlihat tidak
sesuai dengan umur pasien, riwayat memiliki kebiasaan buruk, oral hygiene (OH)
buruk, dan adanya faktor lokal yang memperburuk seperti plak atau kalkulus.
Pada beberapa pasien DM juga sering dijumpai kelainan berupa pembesaran
gingiva, gingiva mudah berdarah pada pengerjaan dan adanya abses periodontal.
Jika dokter gigi mencurigai adanya penyakit DM pada pasien, maka pasien patut
dianamnesis dengan baik untuk mengetahui adanya riwayat polidipsia, poliuria,
polyphagia, atau adanya penurunan berat badan. Jika diduga ada riwayat keluarga
yang DM, maka perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan laboratorium berupa
kadar gula darah puasa dan sesudah makan, uji urine, dan toleransi glukosa.
Seorang klinisi harus mengetahui nilai haemoglobin yang terikat dengan glukosa
(HbA1C). Uji ini akan memberikan gambaran mengenai kadar glukosa selama 2-3
bulan. Jika nilainya kurang dari 8% menunjukkan kadar glukosa secara relatif
terkontrol baik. Jika nilai HbA1C lebih besar dari 10% menunjukkan kadar gula
darah tidak terkontrol. Hal lain yang menjadi kunci dalam pertimbangan
perawatan gigi pada pasien DM meliputi tindakan mengurangi stres, setting
perawatan, penggunaan antibiotik, modifikasi diet, membuat jadwal kunjungan,
pemilihan obat- obatan serta penanganan emergensi (Vitria, 2011).
Epinefrin endogen dan kortisol dapat meningkatkan stres. Hormon ini akan
meningkatkan kadar glukosa darah dan mempengaruhi kontrol glukosa. Oleh
karena itu mengurangi stres dan mengontrol rasa nyeri sangat penting dalam
merawat pasien DM. Kadar epinefrin 1:100.000 dalam obat anestesi lokal tidak
memberikan efek yang bermakna terhadap kadar glukosa. Jika pasien merasa
cemas, maka diberikan sedasi. Pasien DM dapat dirawat di klinik gigi secara
rawat jalan. Pada pasien DM yang tidak terkontrol, seringkali mengalami infeksi
berat di daerah oromaksilofasial, serta penyakit sistemik lainnya, dan perawatan
gigi pada pasien tersebut membutuhkan pengobatan jangka panjang serta diet
yang terkontrol (Vitria, 2011).
Penggunaan antibiotik sangat dibutuhkan untuk perawatan gigi pada pasien
DM khususnya jika tidak terkontrol. Antibiotik ini digunakan baik untuk
mengatasi infeksi akut maupun untuk tindakan profilaktik pada saat akan
dilakukan tindakan bedah. Waktu perjanjian untuk pasien DM ditentukan oleh
rejimen obat antidiabetik yang digunakan. Pasien DM sebaiknya menerima
perawatan gigi di pagi hari, baik sebelum atau setelah periode puncak aktivitas
insulin. Hal ini akan mengurangi risiko perioperatif reaksi hipoglikemik, yang
terjadi paling sering selama aktivitas puncak insulin. Bagi mereka yang
menggunakan insulin, risiko terbesar hipoglikemia akan terjadi sekitar 30-90
menit setelah menyuntik lispro insulin, 2-3 jam setelah insulin reguler, dan 4-10
jam setelah Nph atau Lente insulin. Bagi mereka yang menggunakan
sulfonilurea oral, puncak aktivitas insulin tergantung pada obat yang digunakan.
Thiazolidinediones dan metformin jarang menyebabkan hipoglikemia. Faktor
utama yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan waktu perjanjian
perawatan adalah aktivitas puncak insulin dan jumlah glukosa yang diserap dari
usus berikut asupan makanan terakhir. Risiko terbesar akan terjadi pada pasien
yang telah menggunakan insulin dalam jumlah biasa atau menggunakan obat
diabet oral tetapi mengurangi atau menghilangkan makan pagi sebelum perawatan
gigi, karena berisiko mengalami hipoglikemia selama pemeriksaan gigi. Oleh
karena itu pasien dianjurkan untuk makan dengan diet normal dan membawa
glucometer ke tempat praktek gigi. Sebelum perawatan dimulai pasien dapat
mengecek kadar gula darahnya. Jika kadar gula darahnya lebih rendah dari
normal, maka pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi sedikit karbohidrat
sebelum perawatan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia (Vitria, 2011).

Case report 1 (Maia et al, 2011)


Pasien wanita berumur 9 tahun datang bersama orangtunya untuk melakukan
pemeriksaan dan perawatan orthodontic. Pasien tersebut dengan maloklusi klas 1
serta lengkung palatum yang sempit dan terdapat beberapa kavitas kronis pada
enamel dan belum dilakukan perawatan restorasi. Secara radiografi tidak
menunjukkan keaadaan abnormal. Selanjutnya dokter menjelaskan rencana
perawatan untuk memperbaiki bentuk lengkung palatum menggunakan Rapid
maxillary expander (RME) dan kemudian menggunakan fixed braces, setelah
pergantian gigi. Berdasarkan keluhan pasien merasa lemas, lemah, badan lelah,
merasa kelaparan setiap waktu tanpa melakukan aktivitas fisik. Dokter
menginstruksikan orangtua pasien untuk menyuruh anaknya melakukan aktivias
pada pagi hari dan sore hari untuk 1 minggu. Setelah 4 hari pemasangan RME,
pasien datang untuk memeriksakan kembali keaadan maxilla yang tidak nyaman,
terdapat perdarahan, sakit pada daerah tersebut sejak pemasangan RME. Pasien
tidak mengobati dengan apa-apa. Hasil pemeriksaan terdapat nekrotik ulserasi,
perdarahan pada region molar pertama permanen sampai molar pertama sulung.
Terdapat inflamasi dibawah plat akrilik pada palatum. Setelah itu, dilakukan
pelepasan RME dan pembersihan dengan air salin. Pasien di kontrol setiap 3 hari
dan 15 hari untuk melihat perkembangan kesembuhan ulcer pasca pelepasan
RME. Menimbang dari respon inflamasi secara aggressive, perluasan ulcer, dan
lamanya proses penyebuhan, diduga adanya beberapa masalah sistemik. Pasien
telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan menujukkan pasien tersebut
terdiagnosa DM tipe 1 dengan hemoglobin A1c 10%, konsentrasi preprandial
plasma glucose 120 mg/dL dan postprandial plasma glucose 171 mg/dL tanpa ada
riwayat DM pada keluarga pasien. Pasien tersebut melakukan perawatan dengan
insulin dosis harian dan setelah 3 bulan melakukan kontrol kadar gula darah.
Setelah 3 bulan menunjukkan hemoglobin A1c 5%, konsentrasi preprandial
plasma glucose 89,3 mg/dL dan postprandial plasma glucose 131 mg/dL.
Kemudian RME dapat dilanjutkan dengan rencana yang sama.

Gambar 1. Pandangan oklusal sebelum Gambar 2. Pandangan oklusal setelah


perawatan 1 minggu perawatan RME
Gambar 3. Pandangan oklusal setelah 1 Gambar 4.Pandangan oklusal setelah DM
minggu dan pelepasan RME terkontrol dan perawtan RME
dapat dilanjutkan

Case Report 2 (Marta et al, 2015)


Pada pasien dengan DM tipe 1 memiliki insidensi gingivitis kronis yang
tinggi pada kelompok anak-anak usia 5-9 tahun. Index Gingival Inflamation (skor
0-3) adalah 1,55 + 0,5, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 1,14+ 0,5. Pada
kelompok anak-anak dengan DM pada usia 10-14 tahun, indek GI dibandingkan
dengan kelompok kontrol adalah 1,98 + 0,5 dan 1,17 + 0,5. Pada eksperimen
gingivitis selama 3 minggu, hasilnya tidak ada perbedaan antara skor indeks plak
antara DM tipe 1 dengan kontrol sehat, tetapi pada responden DM tipe 1 terdapat
respon yang cepat terhadap iritasi plak dan terdapat gingivitis yang lebih parah.
Hiperglikemi menyebabkan perubahan system imun pada pasien DM.
Terdapat peningkatan glukosa pada konsentrasi saliva dan konsentrasi pada GCF.
Peningkatan tersebut dapat merubah lingkungan rongga mulut dan terjadi
peningkatan inflamasi. Hiperglikemi juga menyebabkan Mikroangiopaty. Sel
endotel pembuluh darah lebih banyak menggunakan glukosa dibandingkan
biasanya dan bentukan glikoprotein pada permukaan dan dasar membrane menjadi
tipis dan lemah. Perubahan ini menyebabkan periodontium mengalami penurunan
fungsi sel PMN seperti kemotaksis, adhesi, fagosit, dan migrasi serta eliminasi
antigen menyebabkan periodontitis berkembang. Periodontitis tersebut dapat
dihambat dengan kontrol kadar gula darah. Dilakukan pencegahan serta kontrol
untuk mencegah adanya komplikasi diabetes.
Penelitian menunjukkan bahwa bakteri kariogenik seperti Streptococcus
mutans lebih tinggi pada pasien DM. Disarankan untuk mengkonsumsi makanan
rendah gula pada anak-anak contohnya perbanyak makan buah dan sayuran.

Case report 3 (Sakinah dan Patria, 2006)


Seorang anak perempuan usia 12 tahun 2 bulan, dikirim dari RSI Klaten ke
Ruah Sakit Dr. Sardjito dengan penurunan kesadaran, sesak nafas, dan
hiperglikemi. Hasil pemeriksaan subyektif sesak nafas, kesadaran menurun, tidak
muntah, tidak batuk dan pilek, tidak kejang, buang air kecil sangat banyak
(dikosongkan dengan kateter).
Pemeriksaan obyektif, keadaan umum nuruk dan kesadaran menurun. VS:
N= 137 x/menit; R= 24 x/ menit; TD= 124/66mmHg; BB=30 kg; TB= 141 cm.
Laboratoris: GDS=571 dan AL 17.300. Riwayat perjalanan penyakit 20 hari
sebelum masuk rumah sakit ditemukan anak mulai terlihat kurus, berat badan
menurun, makan biasa, minum agak banyak dari biasanya, buang air kecil banyak
dan lebih sering (frekuensinya kira0kira tiap 2 jam sekali), warna kuning jernih
dan tidak sakit. Tidak ada riwayat keluarga.
Hari masuk rumah sakit, dikirim dari RSI Klaten dengan diagnosis
ketoasdosis diabetikum. Pasien mendapat infuse NaCl 16 tetes/ menit dan injeksi
regular insulin 3x12 U iv. Hasil pemeriksaan urin menunjukkan ketonuria (+4).
Terdapatnya tanda atau gejala diatas, hasil pemeriksaan gula darah dan ketonuria,
pasien dicurigai menderita ketoasidosis diabetikum. Selanjutnya pasien dicurigai
menderita diabetes mellitus tipe 1, dengan rencana pemeriksaan kadar insulin dan
antibody islet cell untuk menegakkan diagnosisnya.
Keadaan rongga mulutnya, didapatkan dari anamnesis bahwa gusi sering
berdarah terutama bila menggosok gigi, sehingga jarang menggosok gigi karena
takut berdarah. Suka makan-makanan yang manis. Peeriksaan ekstra oral, wajah,
pipi, bibir simetris dan pemeriksaan limfonodi tidak teraba. Pemeriksaan intraoral
terdapat gingivitis, kalkulus pada seluruh region. Terdapat karies pada gigi 6
kanan bawah kedalaman pulpa (gangrene), dan terdapat kavitas kedalaman dentin
pada gigi 6 kiri bawah.
Perawatan untuk rongga mulut yang seharusnya dilakukan adalah scaling,
rootplaning dan polishing gigi. Perawatan tersebut belum dapat dilakukan karena
kadar gula darah pasien belum terkontrol. Pada saat pemeriksaan gigi kadar gula
darah pasien 448 mg/dl.
Penyuluhan kepada anak dan orangtua agar teliti dan rajin membersihkan
rongga mulut dan berkumur sesering mungkin terutama sehabis makan, bila
menggunakan sikat gigi pilih sikat yang berbulu lunak. Jika kadar gula darah
sudah terkontrol segera ke dokter gigi untuk dilakukan prosedur perawatan seperti
diatas, tetapi sebelum dilakaukan prosedur perawatan sebaiknya konsultasi dengan
dokter spesialis anak yang merawat, analisis tes laboratories dan diberikan
antibiotic profilaksis sebelum tindakan.

Gambar1. Keadaan rongga mulut pasien diabetes melittus dengn gingivitis, kalkulus di setiap
region serta gigi berlubang.
BAB 4
KESIMPULAN

Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien-pasien dengan medically-


compromised sangatlah kompleks dan menarik. Permasalahan yang mungkin
timbul adalah bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan dengan
aman dan dengan risiko sekecil mungkin. Penanganan masalah kesehatan gigi
pada pasien diabetes melitus memerlukan pemeriksaan lebih khusus dan
terencana. Untuk itu diperlukan evaluasi yang tepat dan akurat dalam menentukan
kondisi sistemik pasien dengan medically-compromised yang difokuskan pada
patofisiologi penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, terapi
medis yang sedang dijalani pasien serta rekomendasi dari spesialis-spesialis
terkait untuk dapat melakukan perawatan persiapan dengan baik dan aman serta
menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien dengn diabetes mellitus
yang terkontrol memungkinkan untuk dilakukan perawatan gigi dan mulut.
Daftar Pustaka

Al-Maskari, Awatif Y, Masoud Y, Salem A. Oral manifestation and complication


of diabetes mellitus. Sultan Qaboos University Medical Journal. Oman.
2011; 11(2): 179-186. Tersedia pada: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3121021/ [diakses 16
November 2011].
Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical-Surgical Nursing:
Clinical Management for Positive Outcomes. 8th ed. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier.
Bambang, Tridjaja. 2009. Konsensus Nasional pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 358, 386.
Direktorat Bina Farmasi Komunita dan Klinik. 2005. PHARMACEUTICAL
CARE UNTUK PENYAKIT DIABETES MELLITUS. Jakarta: depkes RI
IDF DIABETES ATLAS . Data Penderita Diabetes Dunia .(Online). http:// www
.idf.org/mediaevents/press-releases/2012/diabetes-atlas-8th-edition.Diakses
20 Novenber 2013.
Kemenkes RI, 2014. Info Data dan Informasi. Diambil dari
https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-
instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#
Lubis, Irawati. Manifestasi Diabetes mellitus pada Rongga Mulut. 2012. Jakarta:
Poltekkes Jakarta
Maia, Martin LG. Monini, andre de costa. Jacob, hB, and Gandini LG. 2011.
Maxillary ulceration resulting from using a rapid maxillary expander in a
diabetic patient. Angle Orthodontist, Vol 81, No.3, 2011

Marta, Novotna. Stepan, Podzimek, Zdenek B, Erika L, jana D. 2015. Periodontal


disease and dental caries in children with type 1 Diabetes mellitus.
Mediators of Inflammation Volume 2015 (2015), Article ID 379626, 8
pages http://dx.doi.org/10.1155/2015/379626
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6 ed., Vol. 2). (Terj. B. U. Pendit). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RI. Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman
B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrionologi Anak, Jakarta: Sagung Seto
2010, h 124-161
Sakinah dan Patria, Yudha S. 2006. Kondisi Rongga Mulut pada pasien anak
penderita Diabetes Mellitus. Majalah Kedokteran Gigi 2006; 13(2):187-190.
Sjaifoellah Noer. Buku ajar penyakit dalam Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : FKUI,
1996 : 571 – 622
Sosenko JM, Krischer JP, Palmer JP, et al. A Risk Score for Type 1 Diabetes
Derived From Autoantibody. Positive Participants in the Diabetes
Prevention Trial Type 1. Diabetes Care. 2008; 31(3): 528-533.
WHO. 2013. Diabetes Melitus. Diambil dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/
Vitria, EE. 2011. Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Medically-Compromised
di Tempat Praktek Gigi. Dentofasial, Vol.10, No.1, Februari 2011:47-54
Wilkins, E.M. 2009. Clinical Practice of the Dental Hygienist. Ed. Ke-10.
Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 1068-
1075, 1079.

Anda mungkin juga menyukai