Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimabangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemi). Terdapat dua kategori utama diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 disebut juga insulin dependent atau juvenile/ childhood-onset diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi insulin. Diabetes tipe 2 disebut juga non insulin dependent atau adult-onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Sedangkan diabetes gestasional adalah hierglikemi yang didapatkan saat kehamilan (Kemenkes, 2014). Gejala yang sering dirasakan penderita diabetes tipe 1 adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Dari data IDF (Internasional Diabetes Federation) menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus didunia pada tahun 2012 telah mencapai 371 juta dan mencapai jumlah 7. 6 juta di Indonesia dengan usia 20-79 tahun, dengan angka prevalensi standar WHO 5.14 %, dimana angka kematian yang di akibatkan mencapai 155.465. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan penyakit diabetes dari 1,1% tahun 2007 menjadi 2,4% (Riskesdas, 2013). Seseorang dikategorikan sebagai penderita diabetes melitus jika kadar GDP >126 mg/dl, glukosa darah 2 jam postpradial >200 mg/dl, dan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi di organ lain termasuk di dalamnya adalah rongga mulut (Al Maskari, 2011). Manifestasi utama dalam rongga mulut pada penderita diabetes melitus umumnya terjadi akibat rendahnya resistensi terhadap infeksi. Proses penyembuhan luka membutuhkan waktu yang lebih panjang akibat gangguan metabolism tersebut. Kadang berbagai gejala yang ditemukan dalam mulut menunjukkan adanya diabetes melitus yang belum terdeteksi. Kerusakan jaringan periodontal yang berjalan dengan cepat dapat terjadi akibat diabetes melitus berat yang tidak dirawat. Namun demikian, bahkan pada anak-anak penderita diabetes melitus yang dirawat sekalipun kesehatan jaringan periodontalnya lebih buruk bila dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Menyempitnya saluran kelenjar liur pada penderita diabetes melitus menyebabkan xerostomia, sehingga pasien ini memiliki tingkat DMFT yang lebih tinggi walaupun sudah menggunakan diet bebas gula, serta lebih banyak kehilangan gigi yang terjadi bila dibandingkan kondisi normal. Bentuk komplikasi lainnya adalah kerentanan terhadap kandidiasis (Wilkins, 2009). Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis ingin membahas manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada bidang kedokteran gigi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada bidang kedokteran gigi?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui manajemen pasien anak dengan diabetes melitus (DM) pada bidang kedokteran gigi. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang bersifat progresif, dikarakteristikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang mengarah kepada hiperglikemia (Black, 2009). Peningkatan kadar glukosa ini terjadi karena: defisiensi insulin yang bersifat relatif ataupun absolut, atau akibat adanya peningkatan resistensi sel terhadap kerja insulin (Cawson dan Odell, 2008; Wilkins, 2009). Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah dengan mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar gula glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dl. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pembentukan atau keaktifan insulin yang dihasilkan oleh sel beta dari pulau-pulau Langerhans di Pankreas atau adanya kerusakan pada pulau Langerhans itu sendiri (Sjaifoellah Noer, 1996) 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus International Society of Pediatric and Adolesence Diabetes dan WHO merekomendasikan klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologi. DM tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM Tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainya seperti obesitas, hiperglikemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010). Menurut WHO, diabetes melitus dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan perawatan dan simptoma. 1. Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes Mellitus Tipe 1 biasa menyerang anak-anak. Merupakan diabetes yang terjadi karena berkurangnya insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta pada pulau langerhans. Hilangnya sel beta dikarenakan reaksi autoimun yang salah sehingga menghancurkan sel beta di pankreas. Salah satu gejala DM tipe 1 ini adalah buang air kecil yang terlalu sering. 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Merupakan tipe diabetes yang bukan karena berkurangnya rasio insulin dalam darah, melainkan karena kelainan metabolisme. Terjadi Hiperglisema yaitu bertambahnya atau melebihnya glukosa darah. 3. Diabetes Melitus Gestasional Diabetes tipe ini adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan. Resiko terjadinya anomali kongenital berkaitan langsung dengan derajat hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan. Pada diabetes melitus jenis ini, insulin sulit bekerja karena beberapa hormon pada ibu hamil memiliki efek metabolik yang bertoleransi dengan glukosa.
Sedangkan American Diabetes Association (1997) membagi DM dalam
empat klasifikasi dengan dua tipe utama yaitu tipe I dan tipe II. 1. Diabetes tipe I Merupakan tipe diabetes yang terjadi karena kerusakan sel-sel beta pada pancreas untuk memproduksi insulin. Hal ini disebabkan reaksi autoimun pada tubuh. 2. Diabetes tipe II Merupakan tipe diabetes dimana jumlah insulin dalam tubuh memadai namun kurangnya jumlah reseptor insulin di permukaan sel menyebabkan insulin yang dapat masuk ke dalam sel hanya sedikit dan proses metabolism karbohidrat terganggu sehingga kadar glukosa dan insulin tinggi. DM tipe II mempunyai tingkat genetic tinggi, 80-90% disebabkan keturunan. 3. Diabetes tipe Gestasional Tipe diabetes yang hanya terjadi pada masa kehamilan. Namun resiko yang ditimbulkan terhadap bayi sangan besar seperti kelainan bawaan, gangguan pernapasan, bahkan kematian janin. Toleransi karbohidrat akan kembali normal mulai pada trisemester ketiga. 4. Diabetes tipe spesifik lainnya a. Defek genetik fungsi sel β yang ditandai dengan mutasi pada: 1) Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α. 2) Glukokinase 3) Hepacytocyte nuclear transcription for 1α. 4) Insulin promoter factor b. Defek genetic pada kerja insulin (misalnya resistensi tipe A). c. Penyakit pada pankreas eksokrin, diantaranya pancreatitis, pankreatektomi, neoplasia, fibrosis kistik, hemokromatosis. d. Endokrinopati yaitu sindrom Cushing, akromegali, feokromositoma, hipertiroidisme, glukagonoma. e. Obat atau bahan kimia : glukortikoid, tiazid, dan lain. f. Infeksi : rubella kongenital, sitomegalovirus, coxsackievirus, dan lainnya. g. Bentuk jarang diabetes imnunologik : sindrom “Stiff Man”, antibody anti reseptor insulin. h. Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan diabetes : sindrom Down, sindrom Klinefelter, dan lainnya.
2.2 Patofisiologi Diabetes Melitus
2.2.1 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena berkurang atau rusaknya sel beta sebagai penghasil insulin pada pankreas yang menyebabkan produksi insuline menjadi berkurang atau tidak terproduksi lagi. Pada saat makanan yang masuk ke dalam tubuh, maka makanan tersebut akan dirubah menjadi glukosa. Glukosa kemudian masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas menghasilkan sedikit insulin atau tidak menghasilkan insulin sama sekali karena kerusakan sel beta pada pulau langerhans yang terdapat pada pankreas. Insulin yang dihasilkan tersebut akan masuk ke dalam aliran darah, selanjutnya dikarena jumlah insulin yang diproduksi dengan glukosa yang masuk ke dalam tubuh terlalu sedikit maka menyebabkan penumpukan glukosa dalam darah. 2.2.2 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena kurangya sensitivitas terhadap insulin (disebabkan kurangnya jumlah reseptor insulin dipermukaan sel) yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin dalam darah. Pada awalnya makan yang masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi glukosa, kemudian glukosa akan masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya pankreas akan menghasilkan insulin, dan insulin tersebut akan masuk ke dalam pembuluh darah. Namun insulin tersebut mengalami penurunan sensitivitas, sehingga glukosa menumpuk dalam darah dan tidak dapat masuk ke dalam sel.
2.3 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
Gejala-gejala akut DM disebabkan oleh kurang adekuatnya kerja insulin. Karena insulin adalah satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah, salah satu gambaran yang menonjol pada DM adalah peningkatan kadar glukosa darah, atau hiperglikemia. Manifestasi klinis diabetes melitus yaitu meningkatnya frekuensi pengeluaran urin (poliuria), meningkatnya rasa haus atau asupan cairan (polidipsi), dan selama penyakit ini berkembang, terjadi kehilangan berat badan meskipun lapar dan meningkatnya asupan makanan (polifagi). Jika telah berkembang penuh secara klinis, diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dangan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price & Wilson, 2012). 2.3.1 Manifestasi Diabetes Melitus pada Rongga Mulut Pada penderita diabetes mellitus ditemukan mikroangiopati akibat adanya penebalan yang terjadi pada membran basalis. Selain itu juga terjadi atherosklerosis karena peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida di dalam serum. Gangguan metabolisme dan mikroangiopati tersebut menimbulkan berbagai kelainan yang dapat ditemukan dalam mulut 1. Xerostomia Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air liur), sehingga mulut terasa kering dan menyebabkan burning sensation pada penderita DM. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya dapat berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi bila aliran saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih rentan untuk terjadinya ulserasi, karies gigi, dan bisa menjadi lingkungan yang baik bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang (Robert, 1992). 2. Gingivitis dan Periodontitis Periodontitis merupakan radang pada jaringan periodontal. Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus, dan faktor sistemik atau kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan periodontal membuat gingiva tidak lagi melekat ke gigi, tulang alveolar teresorbsi, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang. 3. Ulcerasi Penderita Diabetes sangat rentan terkena candidiasis dalam mulut dan lidah yang kemudian menimbulkan ulcer. Ulcer ini disebabkan oleh jamur yang berkembang seiring naiknya tingkat gula dalam darah dan air liur penderita diabetes. 4. Oral thrush Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan oleh candida yang ada di dalam rongga mulut. Pada penderita DM kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering menggunakan antibiotik dapat mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut yang mengakibatkan candida berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkant thrush. 6. Karies Gigi Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik. Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat , kuman dan waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi (Lubis, 2012).
2.4 Diabetes Melitus pada Anak
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 UKK Endokrinologi Anak Dan Remaja, IDAI - World Diabetes Foundation kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 % penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun (Bambang, 2009). . Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan (Bambang, 2009). BAB 3 PEMBAHASAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimabangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemi). Terdapat dua kategori utama diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 disebut juga insulin dependent atau juvenile/ childhood-onset diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi insulin. Diabetes tipe 2 disebut juga non insulin dependent atau adult-onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Sedangkan diabetes gestasional adalah hierglikemi yang didapatkan saat kehamilan (Kemenkes, 2014). Sebagian besar penderita DM pada anak termasuk dalam tipe 1, yang terjadi akibat suatu proses autoimun yang merusak sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti (sosenko dkk, 2008). Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi 14 hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (AntiInsulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan kata lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Gejala klinis DM adalah berkurangnya kadar insulin, kadar gula darah meningkat, poliuria, polidipsia, dan polifagia. Sedangkan manifestasi DM di rongga mulut adalah xerostomia, kandidiasis, karies, gingivitis dan periodontitis, dan dry mouth. Komplikasi DM adalah infeksi, mikroangiopati, dan mikroaneurism, neuropati, nefropati retinopati. Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien-pasien dengan medically-compromised sangatlah kompleks dan menarik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan dengan aman dan dengan risiko sekecil mungkin. Untuk itu diperlukan evaluasi yang tepat dan akurat dalam menentukan kondisi sistemik pasien dengan medically-compromised yang difokuskan pada patofisiologi penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, terapi medis yang sedang dijalani pasien serta rekomendasi dari spesialis-spesialis terkait untuk dapat melakukan perawatan persiapan dengan baik dan aman serta menghindari komplikasi yang mungkin terjadi (Vitria, 2011). Penatalaksanaan dental pada pasien diabetes pasien yang datang ke tempat praktek gigi mungkin dengan kondisi yang tidak terdiagnosis DM. Sebagai contoh adalah adanya periodontitis yang parah dan cepat progresif yang terlihat tidak sesuai dengan umur pasien, riwayat memiliki kebiasaan buruk, oral hygiene (OH) buruk, dan adanya faktor lokal yang memperburuk seperti plak atau kalkulus. Pada beberapa pasien DM juga sering dijumpai kelainan berupa pembesaran gingiva, gingiva mudah berdarah pada pengerjaan dan adanya abses periodontal. Jika dokter gigi mencurigai adanya penyakit DM pada pasien, maka pasien patut dianamnesis dengan baik untuk mengetahui adanya riwayat polidipsia, poliuria, polyphagia, atau adanya penurunan berat badan. Jika diduga ada riwayat keluarga yang DM, maka perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan laboratorium berupa kadar gula darah puasa dan sesudah makan, uji urine, dan toleransi glukosa. Seorang klinisi harus mengetahui nilai haemoglobin yang terikat dengan glukosa (HbA1C). Uji ini akan memberikan gambaran mengenai kadar glukosa selama 2-3 bulan. Jika nilainya kurang dari 8% menunjukkan kadar glukosa secara relatif terkontrol baik. Jika nilai HbA1C lebih besar dari 10% menunjukkan kadar gula darah tidak terkontrol. Hal lain yang menjadi kunci dalam pertimbangan perawatan gigi pada pasien DM meliputi tindakan mengurangi stres, setting perawatan, penggunaan antibiotik, modifikasi diet, membuat jadwal kunjungan, pemilihan obat- obatan serta penanganan emergensi (Vitria, 2011). Epinefrin endogen dan kortisol dapat meningkatkan stres. Hormon ini akan meningkatkan kadar glukosa darah dan mempengaruhi kontrol glukosa. Oleh karena itu mengurangi stres dan mengontrol rasa nyeri sangat penting dalam merawat pasien DM. Kadar epinefrin 1:100.000 dalam obat anestesi lokal tidak memberikan efek yang bermakna terhadap kadar glukosa. Jika pasien merasa cemas, maka diberikan sedasi. Pasien DM dapat dirawat di klinik gigi secara rawat jalan. Pada pasien DM yang tidak terkontrol, seringkali mengalami infeksi berat di daerah oromaksilofasial, serta penyakit sistemik lainnya, dan perawatan gigi pada pasien tersebut membutuhkan pengobatan jangka panjang serta diet yang terkontrol (Vitria, 2011). Penggunaan antibiotik sangat dibutuhkan untuk perawatan gigi pada pasien DM khususnya jika tidak terkontrol. Antibiotik ini digunakan baik untuk mengatasi infeksi akut maupun untuk tindakan profilaktik pada saat akan dilakukan tindakan bedah. Waktu perjanjian untuk pasien DM ditentukan oleh rejimen obat antidiabetik yang digunakan. Pasien DM sebaiknya menerima perawatan gigi di pagi hari, baik sebelum atau setelah periode puncak aktivitas insulin. Hal ini akan mengurangi risiko perioperatif reaksi hipoglikemik, yang terjadi paling sering selama aktivitas puncak insulin. Bagi mereka yang menggunakan insulin, risiko terbesar hipoglikemia akan terjadi sekitar 30-90 menit setelah menyuntik lispro insulin, 2-3 jam setelah insulin reguler, dan 4-10 jam setelah Nph atau Lente insulin. Bagi mereka yang menggunakan sulfonilurea oral, puncak aktivitas insulin tergantung pada obat yang digunakan. Thiazolidinediones dan metformin jarang menyebabkan hipoglikemia. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan waktu perjanjian perawatan adalah aktivitas puncak insulin dan jumlah glukosa yang diserap dari usus berikut asupan makanan terakhir. Risiko terbesar akan terjadi pada pasien yang telah menggunakan insulin dalam jumlah biasa atau menggunakan obat diabet oral tetapi mengurangi atau menghilangkan makan pagi sebelum perawatan gigi, karena berisiko mengalami hipoglikemia selama pemeriksaan gigi. Oleh karena itu pasien dianjurkan untuk makan dengan diet normal dan membawa glucometer ke tempat praktek gigi. Sebelum perawatan dimulai pasien dapat mengecek kadar gula darahnya. Jika kadar gula darahnya lebih rendah dari normal, maka pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi sedikit karbohidrat sebelum perawatan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia (Vitria, 2011).
Case report 1 (Maia et al, 2011)
Pasien wanita berumur 9 tahun datang bersama orangtunya untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan orthodontic. Pasien tersebut dengan maloklusi klas 1 serta lengkung palatum yang sempit dan terdapat beberapa kavitas kronis pada enamel dan belum dilakukan perawatan restorasi. Secara radiografi tidak menunjukkan keaadaan abnormal. Selanjutnya dokter menjelaskan rencana perawatan untuk memperbaiki bentuk lengkung palatum menggunakan Rapid maxillary expander (RME) dan kemudian menggunakan fixed braces, setelah pergantian gigi. Berdasarkan keluhan pasien merasa lemas, lemah, badan lelah, merasa kelaparan setiap waktu tanpa melakukan aktivitas fisik. Dokter menginstruksikan orangtua pasien untuk menyuruh anaknya melakukan aktivias pada pagi hari dan sore hari untuk 1 minggu. Setelah 4 hari pemasangan RME, pasien datang untuk memeriksakan kembali keaadan maxilla yang tidak nyaman, terdapat perdarahan, sakit pada daerah tersebut sejak pemasangan RME. Pasien tidak mengobati dengan apa-apa. Hasil pemeriksaan terdapat nekrotik ulserasi, perdarahan pada region molar pertama permanen sampai molar pertama sulung. Terdapat inflamasi dibawah plat akrilik pada palatum. Setelah itu, dilakukan pelepasan RME dan pembersihan dengan air salin. Pasien di kontrol setiap 3 hari dan 15 hari untuk melihat perkembangan kesembuhan ulcer pasca pelepasan RME. Menimbang dari respon inflamasi secara aggressive, perluasan ulcer, dan lamanya proses penyebuhan, diduga adanya beberapa masalah sistemik. Pasien telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan menujukkan pasien tersebut terdiagnosa DM tipe 1 dengan hemoglobin A1c 10%, konsentrasi preprandial plasma glucose 120 mg/dL dan postprandial plasma glucose 171 mg/dL tanpa ada riwayat DM pada keluarga pasien. Pasien tersebut melakukan perawatan dengan insulin dosis harian dan setelah 3 bulan melakukan kontrol kadar gula darah. Setelah 3 bulan menunjukkan hemoglobin A1c 5%, konsentrasi preprandial plasma glucose 89,3 mg/dL dan postprandial plasma glucose 131 mg/dL. Kemudian RME dapat dilanjutkan dengan rencana yang sama.
Gambar 1. Pandangan oklusal sebelum Gambar 2. Pandangan oklusal setelah
perawatan 1 minggu perawatan RME Gambar 3. Pandangan oklusal setelah 1 Gambar 4.Pandangan oklusal setelah DM minggu dan pelepasan RME terkontrol dan perawtan RME dapat dilanjutkan
Case Report 2 (Marta et al, 2015)
Pada pasien dengan DM tipe 1 memiliki insidensi gingivitis kronis yang tinggi pada kelompok anak-anak usia 5-9 tahun. Index Gingival Inflamation (skor 0-3) adalah 1,55 + 0,5, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 1,14+ 0,5. Pada kelompok anak-anak dengan DM pada usia 10-14 tahun, indek GI dibandingkan dengan kelompok kontrol adalah 1,98 + 0,5 dan 1,17 + 0,5. Pada eksperimen gingivitis selama 3 minggu, hasilnya tidak ada perbedaan antara skor indeks plak antara DM tipe 1 dengan kontrol sehat, tetapi pada responden DM tipe 1 terdapat respon yang cepat terhadap iritasi plak dan terdapat gingivitis yang lebih parah. Hiperglikemi menyebabkan perubahan system imun pada pasien DM. Terdapat peningkatan glukosa pada konsentrasi saliva dan konsentrasi pada GCF. Peningkatan tersebut dapat merubah lingkungan rongga mulut dan terjadi peningkatan inflamasi. Hiperglikemi juga menyebabkan Mikroangiopaty. Sel endotel pembuluh darah lebih banyak menggunakan glukosa dibandingkan biasanya dan bentukan glikoprotein pada permukaan dan dasar membrane menjadi tipis dan lemah. Perubahan ini menyebabkan periodontium mengalami penurunan fungsi sel PMN seperti kemotaksis, adhesi, fagosit, dan migrasi serta eliminasi antigen menyebabkan periodontitis berkembang. Periodontitis tersebut dapat dihambat dengan kontrol kadar gula darah. Dilakukan pencegahan serta kontrol untuk mencegah adanya komplikasi diabetes. Penelitian menunjukkan bahwa bakteri kariogenik seperti Streptococcus mutans lebih tinggi pada pasien DM. Disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah gula pada anak-anak contohnya perbanyak makan buah dan sayuran.
Case report 3 (Sakinah dan Patria, 2006)
Seorang anak perempuan usia 12 tahun 2 bulan, dikirim dari RSI Klaten ke Ruah Sakit Dr. Sardjito dengan penurunan kesadaran, sesak nafas, dan hiperglikemi. Hasil pemeriksaan subyektif sesak nafas, kesadaran menurun, tidak muntah, tidak batuk dan pilek, tidak kejang, buang air kecil sangat banyak (dikosongkan dengan kateter). Pemeriksaan obyektif, keadaan umum nuruk dan kesadaran menurun. VS: N= 137 x/menit; R= 24 x/ menit; TD= 124/66mmHg; BB=30 kg; TB= 141 cm. Laboratoris: GDS=571 dan AL 17.300. Riwayat perjalanan penyakit 20 hari sebelum masuk rumah sakit ditemukan anak mulai terlihat kurus, berat badan menurun, makan biasa, minum agak banyak dari biasanya, buang air kecil banyak dan lebih sering (frekuensinya kira0kira tiap 2 jam sekali), warna kuning jernih dan tidak sakit. Tidak ada riwayat keluarga. Hari masuk rumah sakit, dikirim dari RSI Klaten dengan diagnosis ketoasdosis diabetikum. Pasien mendapat infuse NaCl 16 tetes/ menit dan injeksi regular insulin 3x12 U iv. Hasil pemeriksaan urin menunjukkan ketonuria (+4). Terdapatnya tanda atau gejala diatas, hasil pemeriksaan gula darah dan ketonuria, pasien dicurigai menderita ketoasidosis diabetikum. Selanjutnya pasien dicurigai menderita diabetes mellitus tipe 1, dengan rencana pemeriksaan kadar insulin dan antibody islet cell untuk menegakkan diagnosisnya. Keadaan rongga mulutnya, didapatkan dari anamnesis bahwa gusi sering berdarah terutama bila menggosok gigi, sehingga jarang menggosok gigi karena takut berdarah. Suka makan-makanan yang manis. Peeriksaan ekstra oral, wajah, pipi, bibir simetris dan pemeriksaan limfonodi tidak teraba. Pemeriksaan intraoral terdapat gingivitis, kalkulus pada seluruh region. Terdapat karies pada gigi 6 kanan bawah kedalaman pulpa (gangrene), dan terdapat kavitas kedalaman dentin pada gigi 6 kiri bawah. Perawatan untuk rongga mulut yang seharusnya dilakukan adalah scaling, rootplaning dan polishing gigi. Perawatan tersebut belum dapat dilakukan karena kadar gula darah pasien belum terkontrol. Pada saat pemeriksaan gigi kadar gula darah pasien 448 mg/dl. Penyuluhan kepada anak dan orangtua agar teliti dan rajin membersihkan rongga mulut dan berkumur sesering mungkin terutama sehabis makan, bila menggunakan sikat gigi pilih sikat yang berbulu lunak. Jika kadar gula darah sudah terkontrol segera ke dokter gigi untuk dilakukan prosedur perawatan seperti diatas, tetapi sebelum dilakaukan prosedur perawatan sebaiknya konsultasi dengan dokter spesialis anak yang merawat, analisis tes laboratories dan diberikan antibiotic profilaksis sebelum tindakan.
Gambar1. Keadaan rongga mulut pasien diabetes melittus dengn gingivitis, kalkulus di setiap region serta gigi berlubang. BAB 4 KESIMPULAN
Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien-pasien dengan medically-
compromised sangatlah kompleks dan menarik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan dengan aman dan dengan risiko sekecil mungkin. Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien diabetes melitus memerlukan pemeriksaan lebih khusus dan terencana. Untuk itu diperlukan evaluasi yang tepat dan akurat dalam menentukan kondisi sistemik pasien dengan medically-compromised yang difokuskan pada patofisiologi penyakit, tanda dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium, terapi medis yang sedang dijalani pasien serta rekomendasi dari spesialis-spesialis terkait untuk dapat melakukan perawatan persiapan dengan baik dan aman serta menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien dengn diabetes mellitus yang terkontrol memungkinkan untuk dilakukan perawatan gigi dan mulut. Daftar Pustaka
Al-Maskari, Awatif Y, Masoud Y, Salem A. Oral manifestation and complication
of diabetes mellitus. Sultan Qaboos University Medical Journal. Oman. 2011; 11(2): 179-186. Tersedia pada: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3121021/ [diakses 16 November 2011]. Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical-Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes. 8th ed. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier. Bambang, Tridjaja. 2009. Konsensus Nasional pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 358, 386. Direktorat Bina Farmasi Komunita dan Klinik. 2005. PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENYAKIT DIABETES MELLITUS. Jakarta: depkes RI IDF DIABETES ATLAS . Data Penderita Diabetes Dunia .(Online). http:// www .idf.org/mediaevents/press-releases/2012/diabetes-atlas-8th-edition.Diakses 20 Novenber 2013. Kemenkes RI, 2014. Info Data dan Informasi. Diambil dari https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome- instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8# Lubis, Irawati. Manifestasi Diabetes mellitus pada Rongga Mulut. 2012. Jakarta: Poltekkes Jakarta Maia, Martin LG. Monini, andre de costa. Jacob, hB, and Gandini LG. 2011. Maxillary ulceration resulting from using a rapid maxillary expander in a diabetic patient. Angle Orthodontist, Vol 81, No.3, 2011
Marta, Novotna. Stepan, Podzimek, Zdenek B, Erika L, jana D. 2015. Periodontal
disease and dental caries in children with type 1 Diabetes mellitus. Mediators of Inflammation Volume 2015 (2015), Article ID 379626, 8 pages http://dx.doi.org/10.1155/2015/379626 Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6 ed., Vol. 2). (Terj. B. U. Pendit). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010). Diabetes Melitus. Dalam: Jose RI. Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrionologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161 Sakinah dan Patria, Yudha S. 2006. Kondisi Rongga Mulut pada pasien anak penderita Diabetes Mellitus. Majalah Kedokteran Gigi 2006; 13(2):187-190. Sjaifoellah Noer. Buku ajar penyakit dalam Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : FKUI, 1996 : 571 – 622 Sosenko JM, Krischer JP, Palmer JP, et al. A Risk Score for Type 1 Diabetes Derived From Autoantibody. Positive Participants in the Diabetes Prevention Trial Type 1. Diabetes Care. 2008; 31(3): 528-533. WHO. 2013. Diabetes Melitus. Diambil dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ Vitria, EE. 2011. Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Medically-Compromised di Tempat Praktek Gigi. Dentofasial, Vol.10, No.1, Februari 2011:47-54 Wilkins, E.M. 2009. Clinical Practice of the Dental Hygienist. Ed. Ke-10. Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 1068- 1075, 1079.