Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS RUANG PENYAKIT DALAM (RPD)

1.1 Identitas
Nama : Ny. Siti Mariyam
Umur : 63 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jl. Monginsidi No. 6 RT. 03 RW. 0, Banyuwangi

1.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Luka pada kaki kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Blambangan pada
tanggal 31 Agustus 2016 dengan keluhan adanya
luka pada kaki kiri. Pasien menyatakan luka pada
kaki kiri muncul sejak ±1 bulan yang lalu akibat
terkena kawat yang berkarat. Semakin hari luka
tersebut semakin meluas, disertai nyeri, terdapat
nanah, dan berbau busuk. Pasien tidak meminum
obat. Pasien merawat luka tersebut dengan cara
menyiram dengan air bersih, dikeringkan, diberi
betadine, lalu menutup luka dengan kassa. Tidak ada
mual dan muntah. BAK dan BAB normal. Panas (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah menderita luka pada kaki kanan
kurang lebih 11 tahun yang lalu dan luka tersebut
sembuh dalam 1 bulan. Pasien memiliki penyakit
Diabetes Mellitus ±13 tahun yang lalu.

1
1.3 Vital Sign
IGD (31 Agustus 2016)
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu : 37 ˚C

RPD (31 Agustus 2016)


Tensi : 120/90 mmHg
Nadi : 62 x/menit
Respirasi : 36 x/menit
Suhu : -

RPD (1 September 2016)


Tensi: 100/60 mmHg
Nadi: -
Respirasi: -
Suhu : -

RPD (2 September 2016)


Tensi: 110/90 mmHg
Nadi: -
Respirasi: -
Suhu : -

RPD (3 September 2016)


Tensi: 110/60 mmHg
Nadi: -
Respirasi: -
Suhu : -

2
RPD (4 September 2016)
Tensi: 110/60 mmHg
Nadi: 80 x/menit
Respirasi: 20 x/menit
Suhu : -

RPD (5 September 2016)


Tensi: 110/90 mmHg
Nadi: -
Respirasi: -
Suhu : -

1.4 Pemeriksaan
KU : compos mentis
GCS : 4,5,6
Kepala/leher : Anemis -/-, ICTeric -/-, Cyanosis -/-, Dispneu (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, whezing -/-
Abdomen/Punggung : Flat, bising usus (+) normal, supel, timpani
Ekstrimitas : akral hangat, tidak edema
Genetalia :-

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratoriuum : DL, GDA
WBC : 18.5 x 103/ µL
RBC : 2.89 x 106 / µL
HGB : 7.3 g/dL
HCT : 21.6 %
PLT : 788 x 103 / µL

GDA : 456 mg/dL

3
1.6 Diagnosa
Diabetes Melitus + Gangren pedis regio sinistra

1.7 Penatalaksanaan
Farmakologis
IGD
1. Inj. Cefotaxim 3 x 1 gr (TT)
2. Inj. Metronidazole 2x 500
3. Inj. Ranitidin 2 x 1α
4. Inj. Antrain 3x 1α
5. RCI : PZ 1000 cc/ 3 Jam, lanjut asering 40/ jam selama 3 jam,
jam ke-4 cek GDA ulang
6. PZ 18 tpm

RPD
Farmakologis
1. IVFD PZ 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (TT)
3. Inj. Metronidazole 3 x 1 fl
4. Inj. Ranitidin 2 x 1α
5. Inj. Ondancetron 2x 1α
6. Inj. Insulin 3x 4 IU

4
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Diabetes Melitus Disertai Gangren


Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien
menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula
darah. Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak
terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang
serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya pada pembuluh darah jantung
(penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi
gagal ginjal), syaraf (dapat terjadi stroke).
Penyakit Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang
kebanyakan herediter, dengan tanda–tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai
dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari
kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada
metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme
lemak dan protein. Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan
adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses
nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada
kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi
di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai.

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM
menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :

1. Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut) :

5
I. Autoimun
II. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus tipe lain :
I. Defek genetik fungsi sel beta :
a. Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3.
b. DNA mitokondria
II. Defek genetik kerja insulin
III. Penyakit endokrin pankreas :
a. Pankreatitis
b. Tumor pankreas/pankreatektomi
c. Pankreatopati fibrokalkulus
IV. Endokrinopati :
a. 0akromegali
b. sindrom Cushing
c. feokromositoma
d. hipertiroidisme
V. Karena obat/zat kimia :
a. vacor, pentamidin, asam nikotinat
b. glukokortikoid, hormon tiroid
c. tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain
VI. Infeksi :
a. Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV) G. Sebab imunologi yang
jarang
b. antibodi anti insulin H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM :
c. Sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

6
2.3 Tanda dan Gejala
Diabetes Melitus ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemik) kronik karena metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein serta
meningkatnya komplikasi penyakit vaskuler. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang dan disfungsi beberapa organ
tubuh terutama mata ginjal saraf jantung pembuluh darah yang menimbulkan
berbagai macam komplikasi antara lain arteriosklerosis, neuropati, gagal ginjal,
dan retinopati.
Gejala diabetes mellitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes mellitus yaitu polyphagia (banyak makan), polydipsia (banyak minum),
polyuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam wakttu 2-4 minggu),
mudah lelah. Gejala kronik diabetes mellitus yaitu: kesemutan, kulit terasa panas
atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, keram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kehamilan janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
Di rongga mulut terlihat reaksi yang berbeda antara penderita diabetes
mellitus terkontrol dan tidak terkontrol. Pada penderita tidak terkontrol gejala
yang timbul berupa inflamasi jaringan margin gingiva dan perlekatan gingiva,
sampai terjadinya akut suppurative periodontitis,mobilitas gigi, rasa sakit saat
diperkusi, dry mouth, burning tongue, dan persostens gingivitis. Hal ini ditandai
dengan perdarahan, warna gingiva yang merah lunak serta tidak beraturan,
sedangkan oada penderita diabetes terkontrol tingkat keparahannya rendah dan
kadang-kadang dapat reda.

2.4 Patofisiologi terjadinya gangren


2.4.1 Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi

7
endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya
aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada saraf
tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose.
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama sehingga
menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar sorbitol
intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan terganggu fungsinya.
Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida neurotropik,
perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif
seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang
tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product (AGE)
yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang
sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel).
Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan
penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush
syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan
autonomik.
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik merupakan
akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan motorik, sensorik dan
autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik menyebabkan
anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya
bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan
tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan
pembukaan arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling sering
mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris
medialis dan lateralis pada masing-masing ubangnya.

2.4.2 Penyakit Arterial


Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan
menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada
aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada

8
penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi
kadar Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin,
peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita
atherosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar,
dan proliferasi endotel.
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul
berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan
aggregasi eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika
melewati kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah dapat menyebabkan
hambatan aliran dan kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein
spectrin membran sel darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan
peningkatan aggregasi yang telah terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut
adalah peningkatan viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti
yang terlihat dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa
darah.
Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu
meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan meningkatkan
transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan meningkatkan viskositas darah.
Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan peningkatan afinitas
hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek merugikan oleh
hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan
(Gambar 1).

9
Gambar 1. Pengaruh peningkatan gula darah dan perfusi jaringan (Diambil dari:
Mathes, Plastic Surgery, Trunk and Lower Extremity Vol 6, Second
Edition)

2.4.3 Deformitas Kaki


Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan
kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait biomekanik.
Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan ligamen pada metatarsal,
cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya dimana akan menambah panjang
lengkung pada kaki. Perubahan degeneratif ini nantinya akan merubah cara
berjalan (gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban, dimana
menyebabkan kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai
merupakan hasil yang sering didapatkan jika proses tersebut tidak dihentikan pada
stadium awal.

2.4.4 Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ
termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana
advanced glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan molekul
kolagen pada tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan

10
pemendekan tendon. Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki,
dengan kata lain arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama
karena adanya gangguan berjalan (gait).
Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang berulang,
injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes, callus, kelainan
metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus menerus dan pada akhirnya
terjadi kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan
sepatu yang salah, kerusakan akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan
pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang buruk
meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita diabetes

2.5 Diagnosis
Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan
kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu,
American Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM
sebaiknya dilakukan terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval
3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih pendek pada pasien berisiko tinggi
(terutama dengan hipertensi dan dislipidemia).2 Berikut ini adalah kriteria
diagnosis DM menurut standar pelayanan medis ADA 2010.
Kriteria Diagnosis DM meliputi:
1. HbA1C >6,5 %; atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dL; atau
3. Kadar gula darah 2 jam pp >200 mg/dL pada tes toleransi glukosa oral yang
dilakukan dengan 75 g glukosa standar WHO)
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan
kadar gula sewaktu >200 mg/dL.
*Diambil dari panduan American Diabetes Association (2010)
Sebagaimana tes diagnostik lainnya, hasil tes terhadap DM perlu diulang
untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali diagnosis DM dibuat
berdasarkan keadaan klinis seperti pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia
atau krisis hiperglikemia. Tes yang sama dapat juga diulang untuk kepentingan

11
konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes pada seorang pasien yang tidak
bersesuaian (misalnya antara kadar gula darah puasa dan HbA1C). Jika nilai dari
kedua hasil tes tersebut melampaui ambang diagnostik DM, maka pasien tersebut
dapat dipastikan menderita DM. Namun, jika terdapat ketidaksesuaian
(diskordansi) pada hasil dari kedua tes tersebut, maka tes yang melampaui
ambang diagnostik untuk DM perlu diulang kembali dan diagnosis dibuat
berdasarkan hasil tes ulangan. Jika seorang pasien memenuhi kriteria DM
berdasarkan pemeriksaan HbA1C (kedua hasil >6,5%), tetapi tidak memenuhi
kriteria berdasarkan kadar gula darah puasa (<126 mg/dL) atau sebaliknya, maka
pasien tersebut dianggap menderita DM.

2.6 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus disertai Gangren


Prinsip penatalaksanaan diabetes mellitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsesus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah:
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: tercegah dan
terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan
neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%

12
danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body
Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
merupupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
IMT = Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (m) x tinggi Badan (m)

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien.
Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30 menit.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat
resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien
DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada
pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.

4. Obat : oral hipoglikemik, insulin


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak
berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian obat
hipoglikemik.
Obat – Obat Diabetes Melitus
a. Antidiabetik oral Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan
kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan
menghilangkan gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat
badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi

13
antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan
sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan
karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8
minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200
mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet,
melainkan membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat
menentukan keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan
antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi.
Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan
pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea,
biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.
b. Insulin Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai
yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino
kedua rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau
pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat
efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama
kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian
insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolism protein dan
lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam
sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara
oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta
mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak
dari glukosa.

5. Amputasi dan Debridement pada Pasien Diabetes Mellitus disertai Gangren.


Ulkus di kaki yang mengarah ke amputasi kaki merupakan komplikasi
pasien DM. angka amputasi sekitar 1% dari penderita DM diatas usia 65 tahun.

14
Untuk memakasimalkan keselamatan tungkai, ada beberapa peraturan yang kita
perhatikan, yaitu debridement dan melakukan drainase yang adekuat dan sedini
mungkin jika ada infeksi, kontrol infeksi sistemik dan gula darah, nilai penyakit
oklusif akibat aterosklerotik jika terdapat neruropati, infeksi atau keduanya hadir,
tentukan status arteri kaki bahkan jika arteri tibialis oklusi, kembalikan perfusi
maksimal ke distal kaki dengan rekonstruksi, cari, drainase dan debridement
infeksi residual dan nekrosis dan lakukan tatalaksana awal pada luka terbuka
dengan kasa basah dan hindari beban pada tungkai tersebut.

2.7 Pencegahan Diabetes Mellitus disertai Gangren


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan
dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah
menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan
kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai
atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.

b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orangorang
yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita
DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya : a. Kelompok usia tua
(>45tahun) b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2)) c.
Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg) d. Riwayat keiuarga DM e. Riwayat
kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr. f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan
atauTrigliserida>250mg/dl). g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu
(GDPT).
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

15
Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan
jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko
merokok bagi kesehatan.

c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama
pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b. perencanaan makanan c. latihan
jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.

d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut
dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat
diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin
ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.

2. 8 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
a. Komplikasi Akut
Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal
(< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi
bahkan dapat mengalami kerusakan.

16
Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat
secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis
Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada
sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung
kongetif, dan stroke.
Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada
penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati,
dan amputasi.

c. Komplikasi Diabetes Mellitus pada Rongga Mulut


Diabetes melitus memberikan sejumlah komplikasi pada rongga mulut, baik
pada gigi, jaringan penyangga gigi, mukosa rongga mulut maupun pada lidah.
Pada gigi geligi terlihat adanya peningkatan frekwensi karies dentis dan pulpitis
pada gigi yang tidak berlubang akibat adanya arteritis diabetika sehingga gigi
menjadi nekrosis.
Pada jaringan gingiva tampak adanya gingivitis marginalis dimana terlihat
adanya hipertrofi gingiva yang berwarna merah tua, mudah berdarah, sakit dan
sering terjadi abses gingival yang multipel. Pada jaringan penyangga terlihat
adanya periodontitis diabetika yang merupakan suatu periodontitis kronis yang
sudah bisa terjadi pada usia muda. Selain itu, dapat terlihat pula adanya saku'
periodontal yang dalam, abses periodontal, resorpsi tulang alveolar yang cepat dan
banyak, sehingga menyebabkan gigi goyang dan akhimya tanggalnya gigi geligi
Selain itu, sering terjadi cheilosis ataupun kecenderungan mengeringnya selaput
lendir rongga mulut lainnya akibat berkurangnya aliran ludah. Selaput lendir
mengalami ulserasi dan sering terlihat adanya kandidiasis dalam rongga mulut.
Pembentukan karang gigi yang cepat penderita mengeluh lidahnya kering dan

17
perasaan terbakar pada lidah akibat adanya neuropati perifer. Di samping itu,
dapat terjadi pembesaran kelenjar parotis bilateral yang tidak sakit dan sering
terjadi sialoadenitis.
Derajat keparahan komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut tidak
mengikuti pola yang konsisten tetapi tergantung dari beberapa faktor misalnya
apakah penyakitnya terkontrol atau tidak (berat serta lamanya menderita penyakit
ini banyaknya iritasi lokal, kebiasaan penderita untuk membersihkan rongga
mulut, umur penderita dan perawatan dental sebelumnya 75 % penderita diabetes
melitus yang tidak terkontrol akan memberikan komplikasi pada rongga mulut
yang prosesnya berjalan lebih cepat disertai kerusakan jaringan periodontal yang
lebih hebat Pada penderita diabetes melitus yang terkontrol akan memberikan
komplikasi pada rongga mulut yang sifatnya kronis dan hal ini tampaknya
berhubungan dengan lamanya menderita diabetes melitus. Penderita diabetes
melitus yang disertai komplikasi berupa retinopati dan nefropati menunjukkan
kerusakan jaringan periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan penderita
diabetes melitus tanpa disertai komplikasi. Penelitian lain melaporkan bahwa
tingkat kerusakan jaringan periodontal pada penderita diabetes melitus sama
dibandingkan penderita nondiabetes melitus sampaiu sia 30 tahun. Tetapi di atas
usia 30 tahun, kerusakan jaringan periodontal lebih besar pada penderita diabetes
melitus dibandingkan penderita non diabetes melitus.

18
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2010. Standards of Medical Care in Diabetes


2010. Diabetes Care. 2010;33(1):S11-4. Available from:
http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/ S11.extract
Boel, T. 2003. Manifestasi Rontgenografi Diabetes Mellitus di Rongga Mulut.
Jakarta: Jurnal Kedokteran GigI Universitas Indonesia 10r Edisi Khusus 12-
15.
Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Melitus.
Fatimah, R. N. 2015. Diabetes Mellitus Tipe 2. J Majority Vol. 4 No. 5.
Frykberg RG. 2002. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management. Am
Fam Physician, Vol 66, Number 9. p 1655-62.
Hastuti, Rini Tri. 2008. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Disertasi
Semarang: Universitas Diponegoro .
H.Thorne, Charles . Grab's and Smith Plastic Surgery. 6th Edition.
Johnston KW. 2005. Management of chronic ischemia of the lower extremities in
Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed. Editor: Rutherford RB. Elsevier, New
York, p: 1077-81.
Mathes, Plastic Surgery, Trunk and Lower Extremity Vol 6, Second Edition.
Schteingart, D. 1997. Pankreas Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus
dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Sylvia AP,
Lorraine MW, eds., Buku II, Edisi 4, Jakarta: EGC.
Sibbald RG, Amstrong DG, Orsted HL. 2003. Pain in Diabetic Foot Ulcers.
Ostomy Wound Management. Apr;49 :24-29.
Slamet S. 2008. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill.
Stillman, RM. Diabetic Ulcers. Cited Jun 2008. Available at : URL http
://www.emedicine.com

19
Waspadji S. 2009. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi kelima. Jakarta: Interna publishing.

20

Anda mungkin juga menyukai