Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan roda perekonomian dewasa ini berdampak pada angka

pertumbuhan ekonomi sehingga mengakibatkan semakin tingginya tuntutan

produktifitas pekerja. Seluruh pekerjaan pembangunan tentunya dilakukan oleh

begitu banyak tenaga kerja, apalagi pada pembangunan Jembatan Nasional

Suramadu yang menyerap 20% dari total penduduk Madura untuk bekerja dalam

pembangunan jembatan tersebut.

Tenaga kerja adalah ujung tombak perusahaan, dapat dikatakan sebagai

pendukung dalam menjalankan roda perusahaan. Ketenagakerjaan merupakan salah

satu sector yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan. Tenaga kerja

merupakan salah satu subjek pembangunan yang mempunyai peranan sangat

penting dalam proses produksi barang dan jasa, disamping itu juga merupakan

pihak yang ikut menikmati hasil pembangunan. Dalam hal ini, ada hak dan

kewajiban dalam hubungan antara tenaga kerja dengan perusahaan. Perusahaan

membutuhkan tenaga para pekerja, sedangkan para pekerja membutuhkan

penghasilan untuk kebutuhan hidup sesuai dengan Upah Minimum Regional

(UMR). 1 Saling ketergantungan inilah yang harus dibina sebaik-baiknya agar tidak

ada terjadi kesenjangan antara pengusaha dengan para pekerja. 2 Pengusaha sebagai

pemimpin perusahaan berkepentingan atas kelangsungan dan keberhasilan

1
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 90 ayat (1)
menyebutkan bahwa “pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.
2
Bandingkan dengan Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 114-115.

1
perusahaan dengan cara meraih keuntungan setinggi-tingginya sesuai modal

yang telah ditanamkan dan menekan biaya produksi serendah- rendahnya (termasuk

upah pekerja /buruh) agar barang dan atau jasa yang dihasilkan dapat bersaing di

pasaran. Bagi pekerja/buruh, perusahaan adalah sumber penghasilan dan sumber

penghidupan sehingga akan selalu berusaha agar perusahaan memberikan

kesejahteraan yang lebih baik dari yang telah diperoleh sebelumnya. Kedua

kepentingan yang berbeda ini akan selalu mewarnai hubungan antara pengusaha

dan pekerja/ buruh dalam proses produksi barang dan/atau jasa. 3

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)

dinyatakan bahwa :

”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”.

Kemudian pada Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)

dipertegas lagi bahwa:

”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Hal di atas berarti bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak

mendapatkan pekerjaan dengan tingkat kemampuannya untuk memperoleh

imbalan. Kebijaksanaan upah disamping memperhatikan produktivitas tenaga kerja

dan peningkatan daya beli golongan upah rendah. Perlakuan yang adil dan layak

dalam hubungan kerja maksudnya adalah bahwa setiap pekerja berhak untuk

mendapatkan jaminan sosial terhadap jiwanya.

3
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta : Pradnya Paramitha,
2004), hlm. 101

2
Pengertian pekerja atau dapat dikatakan buruh pada saat ini di mata

masyarakat awam sama saja dengan tenaga kerja. 4 Padahal dalam konteks sifat

dasar pengertian dan terminology diatas sangat jauh berbeda. Secara teori,dalam

konteks kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu:

pemilik modal (owner) disebut dengan kapitalis; dan kelompok buruh adalah orang-

orang yang diperintah dan dipekerjakan berfungsi sebagai salah satu komponen

dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih, disebutkan

bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan

dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih tu disebut

buruh.Dari segi kepemilikan capital dan aset-aset produksi, dapat ditarik benang

merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilikan aset,sedangkan

majikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang

manajer atau direktur perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka

mempunyai gelar keprofesionalan. 5

Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja / buruh harus

dicarikan Harmonisasi antara pekerja /buruh maupun pengusaha yang mempunyai

tujuan sama yaitu menghasilkan barang dan/atau jasa sehingga perusahaan dapat

terus berjalan. Apabila karena satu dan lain hal perusahaan terpaksa ditutup maka

yang mengalami kerugian bukan saja pengusaha karena telah kehilangan modal,

tetapi juga pekerja/buruh karena kehilangan pekerjaan sebagai sumber

penghidupan.

4
Bandingkan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada
Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa ”pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
5
Loc.cit.

3
Didorong dengan adanya tujuan yang sama ini maka timbul hubungan yang

saling bergantung antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam proses produksi

barang dan/atau jasa yang dikenal dengan istilah hubungan industrial. Dalam

melaksanakan hubungan industrial pengusaha dan organisasi pengusaha

mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas

tenaga kerja, dan memberikan kesejahteraan kepada pekerja/buruh secara terbuka,

demokratis dan berkeadilan. Pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh

mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga

ketertiban demikelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,

mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta memajukan perusahaan dan

memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.Fungsi

pemerintahdalam hubungan industrial adalah menetapkan kebijakan, memberikan

pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap

pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Peranan pemerintah

dalam hal ini penting sekali mengingat perusahaan bagi pemerintah betapapun

kecilnya merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan barang

dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai salah satu sumber

serta sarana dalam menjalankan program pembagian pendapatan nasional.

Ada etika bisnis dalam konteks Indonesia yang tidak boleh mengabaikan

masalah-masalah buruh dalam industry yang banya kdirasakan sekarang ini.

Negara- negara barat sudah menjadi welfare state yang hak kaum buruh sudah

cukup terpenuhi dan terjamin kesejahteraannya. Salah satu factor yang

menyebabkan teori komunisme Karl Marx ditinggalkan adalah karena

kesejahteraan kaum buruh pada konteks ini sudah tertinggal jauh oleh konsep

4
Kapitalis.

Penjelasan seperti itu menjadi penegas bahwasanya dalam ekonomi

kapitalistik terdapat dualism pandangan terhadap buruh yang saling bertolak

belakang. Pada satu sisi,buruh menjadi komponen penting dalam proses produksi

karena memiliki peran merubah bahan mentah dan alat produksi lainnya agar

memiliki nilai.Walaupun bahan mentah dan alat produksi sudah memiliki nilai

tersendiri namun buruh melengkapi melalui kerja yang dilakukan dalam proses

produksi. Nilai yang diberikan oleh kerja buruh sangat penting sehingga perannya

tidak dapat ditiadakan. Pada sisilain, ternyata peran buruh dalam proses produksi

tersebut tidak dihargai dengan semestinya. Apa yang dimaksud oleh kerja yang

dilakukan oleh buruh dalam proses produksi dalam system ekonomi kapitalistik

bukanlah biaya produksi kerja yang dilakukan buruh dalam satu jam, satu hari,

ataupun satu bulan, namun diterjemahkan sebagai biaya produksi kehidupan

buruh. 6

Pada system pengupahan kapitalistik upah dianggap sebagai imbalan yang

diterima pekerja atas jasa yang diberikan dalam proses memproduksi barang atau

jasa diperusahaan. Upah dalam perspektif ekonomi kapitalistik masih menetapkan

standar kebutuhan dasar buruh,antara lain untuk pangan, sandang, perumahan dan

kebutuhan lainnya. Pada prinsipnya, upah hanya sekedar dijadikan alat untuk

mempertahankan buruh agar dapat bekerja. Agar buruh dapat bekerja, ia harus

memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya.Pekerja yang kurang protein akan

menderita lesu dan tidak produktif, sehingga kesejahteraan dan kualitas hidup buruh

6
Tua Hasiholan Hutabarat, Realitas Upah Buruh Industri, (Makalah : Perserikatan
Kelompok Pelita Sejahtera, 2006), hal. 45.

5
dan keluarganya harus tetap dipelihara. 7

Buruh yang bekerja diperusahaan dalam proses meningkatkan nilai barang

akan menerima upah sesuai dengan biaya produksi seorang buruh agar dapat tetap

bekerja. Artinya, upah yang diterima hanya merupakan bentuk biaya pengganti

pengeluaran hidup buruh secara minimal. Prinsip sistem pengupahan seperti itulah

yang kemudian banyak diterapkan di beberapa dunia ketiga, seperti Indonesia.

Tidak terbendungnya penyebaran paham ekonomi kapitalistik merupakan factor

utama pendorong diterapkannya sistem pengupahan seperti yang berlangsung saat

ini di Indonesia. Percepatan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi seperti yang saat

ini dilakukan pemerintah mensyaratkan sebuah kondisi yang sangat kondusif

sehingga dapat mengacu produksi dan konsumsi masyarakat. Salah satu strategi

menumbuhkan perekonomian adalah dengan meningkatkan jumlah investasi.

Konsep ini merupakan kata kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dikarenakan

adanya keterbatasan modal pemerintah dalam merangsang pemulihan ekonomi

negara. 8

Bagi Indonesia penting sekali menghindari kesalahan kapitalisme klasik

pada awal industrialisasi yang menghisap tenaga kerja kaum buruh. Karena itu,

masalah- masalah buruh seperti upah yang adil, keselamatan ditempat kerja,

kesejahteraan kesehatan, dan sebagainya masih perlu menjadi tema-tema pokok

dalam etika yang memfokuskan problem-problem yang nyata dalam dunia bisnis

dan industri.

Berbicara mengenai upah terhadap buruh tidak terlepas dari hubungan

7
Payaman J. Simanjuntak, Reformasi Sistem Pengupahan Nasional, (Jakarta : Informasi
Hukum, 2004), dikutip Tua Hasiholan Hutabarat, Ibid., hal. 46.
8
Ibid.

6
industri. Di Indonesia konsep hubungan industrial yang dianut adalah Hubungan

Industrial Pancasila (selanjutnya disebut HIP) yang lahir dari hasil Lokakarya

Nasional yang diselenggarakan dari tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 dan diikuti

oleh wakil dari organisasi buruh / pekerja, organisasi pengusaha, wakil pemerintah,

dan unsur perguruan tinggi. HIP adalah hubungan antara para pelaku dalam proses

produksi barang dan jasa (buruh/pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang

didasarkan atas nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila Pancasila

dan UUD 1945, dan tumbuh serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan

kebudayaan nasional Indonesia. Dengan demikian landasan ideal dari HIP adalah

Pancasila landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan

operasionalnya adalah GBHN.

Hubungan kerja antara majikan dengan pekerja, terjadi setelah adanya

Perjanjian kerja. Sebelum keluarnya Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan jo. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial, peraturan yang berlaku adalah Pasal 1601 a Bab 7A

KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu


buruh (pekerja) mengikatkan diri untuk dibawahi pimpinan pihak lain
(majikan), untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima
upah”.

Jika pekerja tidak memiliki gelar keprofesionalan tersebut, sering sekali di

dalam perusahaan tersisihkan dan tidak terpikirkan oleh majikan. Mengenai

jaminan social buruh tidak selalu ada jaminan dari perusahaan. Problem buruh

seperti yang selalu dihadapi oleh pengusaha, antara lain: mengenai upah yang

7
rendah. 9
10
Mengenai Upah Minimum Regional (UMR) ,di Kota Pekabaru

mengacu pada Keputusan Gubernur Riau No. 561 / 5492 / K / 2009 tentang

Penetapan Upah Minimum Kota Pekanbaru Tahun 2010, yang menyebutkan

bahwa UMR Kota Pekanbaru pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.345.000,- (satu

juta tiga ratus empat puluh lima ribu rupiah). UMR tersebut hanya berlaku

selama 1 (satu) tahun masa kerj dan merupakan upah terendah, sedangkan

untuk yang bekerja lebih dari 1 (satu) tahun harus dinegosiasikan secara

bipartite antara pekerja / buruh atau serikat pekerja / buruh dengan pengusaha

di Perusahaan bersangkutan secara musyawarah dan dimuat dalam materi

Kesepakatan Kerja atau yang sering disebut dengan kontrak kerja. Apabila

perusahaan sudah mengeluarkan UMR kepada pekerja/buruh lebih tinggi maka

dilarang untuk mengurangi dan menurunkan gaji pekerja/buruh.

Kondisi buruh dikota-kota besar di Indonesia hamper sama dengan

kondisi buruh yang ada di Sumatera Utara, khususnya di Kota Pekabaru sama-

sama mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya tekanan dalam

sisi pengupahan. Hal itu diakibatkan oleh standar umum kebijakan pengupahan

dari pemerintah yang tidak pernah mempertimbangkan kebutuhan dan

produktivitas buruh yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa tahun

terakhir regulasi kebijakan perburuhan telah memasukkan karakteristik lokal

(Kabupaten/Kota) dalam proses perumusan dan Upah Minimum Regional

adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau

9
Ibid., hal. 64.
10

8
pelaku industry untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh

di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.

Dengan upah yang begitu minim sehingga tidak menjamin tenaga kerja

untuk mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak maka disinilah ada

peran pihak ketiga yang menanggung segala biaya yang ditimbulkan jika tenaga

kerja mengalami haldemikian. Pihak ketiga yang dimaksud adalah Jaminan Sosial

Tenaga Kerja (selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan). BPJS Ketenagakerjaan

mengakomodasi kepentingan pengusaha dan kebutuhan tenaga kerja.

Pelaksanaan sistem jaminan social ketenagakerjaan diIndonesia secara

umum meliputi penyelenggaraan Program-Program BPJS Ketenagakerjaan,

Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan Program BPJS Ketenagakerjaan

didasarkan pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan

pada Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada

Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada

Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan

pada Undang-Undang No.6 Tahun 1966.

Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang

dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),

dan anggota TNI/Polri. 11 Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan

kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, undang-undang mengatur

penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan sebagai perwujudan pertanggungan sosial.

Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011tentang

11
Sutardji, Analisis Kepuasan Peserta Jamsostek pada Kantor Cabang PT. Jamsostek
Edy Purwo Saputro, “Mengurai Benang Kusut Problem Buruh”, http://www.infoanda.com/
linksfollow.php?lh=VlJZUFJVVlcD, diakses pada 19 Mei 2014.

9
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pada hakikatnya program jaminan sosial

tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan

penghasilan keluarga sebagai pengganti atau seluruh penghasilan yang hilang. 12

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk memberikan perlindungan

kepada tenaga kerja dan keluarganya. Program BPJS Ketenagakerjaan berupa

produk jasa,dimaksudkan untuk melindungi resiko sosial tenaga kerja yang

dihadapi oleh tenaga kerja. Program tersebut terdiri dari: Program Jaminan

Kecelakaan Kerja (JKK); Program Jaminan Hari Tua (JHT); Program Jaminan

Kematian (JKM); Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). 13

BPJS Ketenagakerjaan mempunyai dua aspek, yaitu:

1. memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; dan

2. merupakan penghargaan tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga

dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

Program BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana didasarkan pada Undang-

Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pada

prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai

hubungan industrial) beserta keluarganya. BPJS Ketenagakerjaan dapat dikatakan

suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai

13
Yohandarwati, et.al., “Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu”, Direktorat Ke-
pendudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan, BAPPENAS,
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/343/, 2003, diakses pada 24 Maret 2014.

10
pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau keadaan yang dialami oleh

tenaga kerja sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.

Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang

diwajibkan telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. PT. BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) yang ditunjuk sebagai satu-satunya badan

penyelenggara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2013 tentang

Penahapan Kepesertaan Jaminan Sosial, bertekad untuk selalu menjadi badan

penyelenggara yang siap, handal, dan terpercaya di Indonesia. Berkaitan dengan

fungsi pemasaranini, PT BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Wilayah Riau Kantor

Cabang Kota Pekanbaru yang melakukan strategi pemasaran yang berorientasi pada

pelanggan.

Berdasarkan data yang penulis peroleh di Kantor Cabang BPJS

Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru selaku pihak yang berwenang melakukan

pelayanan terhadap Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Wilayah kota Pekanbaru,

sebagaimana yang tertera pada tabel dibawah ini :

Tabel 1
Jumlah Perusahaan yang Terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan
Kantor Cabang Kota Pekanbaru Tahun 2013-2014
No Urut Jumlah Yang Belum Persentase
Perusahaan Terdaftar
1 1127 877 33,3%
Jumlah 100%
Sumber Data : Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru

Dilihat dari tabel diatas bahwa pelaksanaan Program BPJS Ketenagakerjaan

belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data yang diperoleh

dari Kantor Cabang Pekanbaru periode Oktober 2013 hingga Oktober 2014, jumlah

Perusahaan yang tidak mengikuti Program BPJS Ketenagakerjaan mencapai 877

11
perusahaan. Padahal Undang-Undang No 3 tahun 1992 bersifat wajib bagi seluruh

usaha berbadan hukum.

Dari uraian tersebut diatas, dapat terlihat bahwa kurangnya kesadaran

pengusaha dalam melaksanakan Program BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi

dibarengi dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum bagi perusahaan-

perusahaan yang tidak melaksanakan Program BPJS Ketenagakerjaan. Hal inilah

yang menarik minat penulis untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut

dengan judul: Tinjauan Yuridis Terhadap Fungsi Dan Peran Program BPJS

Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Di Kota

Pekanbaru

B. Rumusan Masalah

Untuk selanjutnya penulis akan memberikan pembatasan perumusan

masalah, tujuannya adalah untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari

pokok permasalahan yang akan dibahas.

Adapun permasalahan yang timbul dari penulisan ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana fungsi dan peran Program BPJS Ketenagakerjaan dalam

perlindungan hukum tenaga kerja di Kota Pekanbaru?

2. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi PT. BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) dalam perlindungan tenaga kerja di Kota Pekanbaru?

3. Upaya apakah yang dilakukan PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Pekanbaru?

12
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui fungsi dan peran BPJS Ketenagakerjaan dalam

perlindungan hukum tenaga kerja di Indonesia.

b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi BPJS

Ketenagakerjaan dalam perlindungan tenaga kerja di Kota Pekanbaru.

c. Untuk mengetahui upaya BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota Pekanbaru.

2. Kegunaan penelitian

Selain itu yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah:

a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis terhadap

masalah yang diteliti, sehingga penulis dapat memberikan suatu

deskripsi umum tentang fungsi dan peran BPJS Ketenagakerjaan dalam

perlindungan hukum tenaga kerja di Indonesia.

b. Untuk sarana pemikiran lanjutan yang mungkin bermanfaat bagi instansi

terkait.

c. Untuk menambah khasanah keilmuan bagi Penulis dan juga berguna

bagipeneliti-peneliti berikutnya dalam mencari suatu sumber pengetahuan

dalam hal wawasan akademis.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih penulis kepada

Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning.

13
D. Kerangka Teori

Berbicara mengenai BPJS Ketenagakerjaan tidak terlepas dari perlindungan

sosial, untuk mengkaji jaminan sosial tenaga kerja terlebih dahulu dilihat

perlindungan sosial pada negara welfarestate, yaitu : perlindungan sosial diperlukan

untuk kesejahteraan; perlindungan social membutuhkan tindakan kolektif;

perlindungan sosial didasarkan pada solidaritas; dan perlindungan social harus

sekomprehensif mungkin.

Dalam hal perlindungan social diperlukan untuk kesejahteraan,secara umum

mencakup dua prinsip, yaitu: tindakan kolektif untuk menutup berbagai

kemungkinan yang terjadi pada tenaga kerja; dan penyedia layanan untuk

menangani kebutuhan para pekerja. Keberadaan layanan untuk pekerja tersebut

merupakan salah satu layanan sosial. Perlindungan sosial diperlukan untuk

kesejahteraan, baik karena memenuhi kebutuhan hidup,dan tanpa hal tersebut para

pekerja akan menjadi tidak nyaman apabila terjadi suatu hal yang dapat

menyebabkan pekerja tersebut tidak dapat bekerja.

Mengenai perlindungan sosial yang membutuhkan tindakan kolektif, hal ini

karena perlindungan sosial memiliki karakteristik solidaritas yaitu pengakuan

tanggung jawab bersama dan mengumpulkan resiko, dimana tanggung jawab atas

resiko seseorang diterima oleh orang lain dalam hal ini pihak ketiga. Bahkan jika,

pada prinsipnya, langkah-langkah untuk perlindungan sosial dapat dilakukan oleh

pekerja sendiri,namun dalam prakteknya sering tidak mungkin bagi pekerja untuk

melakukannya. Hal ini dikarenakan kondisi dimana pekerja membutuhkan

perlindungan termasuk kemiskinan, ketidakmampuan fisik, mental dan penurunan

kemelaratan.

14
Perlindungan sosial yang dalam upaya memberikan perlindungan sosial

bagi pekerja beserta keluarganya, banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia,salah satunya adalah dengan mengeluarkan undang-undang. Seperti

ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial yang bertujuan untuk memberdayakan dan

mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan

pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan

kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan kepada

tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan,dan meningkatkan kesejahteraan

tenaga kerja dan keluarganya.

Dalam hal perlindungan tenaga kerja diatur dalam Undang-Undang No. 24

Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kedua undang-undang

tersebut di atas adalah undang-undang yang melindungi hak-hak tenaga kerja.

Namun, tidak bisa diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan lemahnya

pengawasan dan penegakan hukum. Program BPJS Ketenagakerjaan merupakan

kebutuhan masyarakat yang mendasar karena menyangkut kelangsungan hidup baik

bagi pekerja maupun keluarganya. Namun demikian diakui bahwa BPJS

Ketenagakerjaan, saat ini memerlukan kebutuhan yang memperoleh prioritas bagi

masyarakat, namun pelaksanaannya masih kurang berjalan seperti yang diharapkan.

Pada hakikatnya Program BPJS Ketenagakerjaan memberikan kepastian

berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian

atau keseluruhan penghasilan yang berkurang, disamping sebagai pelayanan akibat

peristiwa yang dialami oleh pekerja dengan demikian para pekerja akan merasa

lebih tenang dalam bekerja dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

15
E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis sosiologis yaitu suatu

penelitian yang membahas kolerasi hukum dan masyarakat. Dengan

demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam

kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam

sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara

langsung dengan jaminan sosial tenaga kerja.

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum

terkait dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dalam studi

terhadap

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah Riau Kantor Cabang Kota Pekanbaru.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pihak

yang berkompeten dengan judul penulisan ini yeng meliputi :

1) Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru ;

2) Nasabah pengguna Jasa BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru

b. Sampel, yaitu Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Kota

Pekanbaru, dan Nasabah pengguna Jasa BPJS Ketenagakerjaan Kota

Pekanbaru .

16
Sampel dilakukan dengan metode sensus yaitu menetapkan sampel

berdasarkan jumlah populasi yang ada yaitu :

Tabel 2
Hasil Sensus Terhadap Pihak - Pihak Yang Terkait
No Responden Populasi Sampel Persentase

1 Kepala Kantor Cabang BPJS 1 1 100


Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru
2 Nasabah pengguna Jasa BPJS 100 10 10
Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru
Sumber data : diolah tahun 2014.

4. Sumber Data

Sebagai kerangka dasar pemikiran dan pedoman dalam penulisan ini, maka

Penulis melengkapi data dengan bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder

dan tertier yaitu :

a. Data Primeir

Bahan Hukum Primer Penulis dapatkan dari hasil penelitian Penulis di

lapangan dan hasil data-data wawancara dengan pihak-pihak yang terkait

dengan permasalahan ini.

b. Data Sekunder

Bahan Hukum Sekunder ini Penulis dapatkan dengan memperhatikan dan

mempelajari perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan erat dengan

topik dari penulisan ini yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara jaminan Sosial serta perundang-undangan

dan peraturan lainnya yang mempunyai hubungan dengan penulisan ini

c. Data Tertier

Bahan Hukum Tertier ini merupakan bahan dari bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, dalam hal ini Penulis dapatkan dari Kamus Umum

17
Bahasa Indonesia dan bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan

tulisan ini

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini Penulis melakukannya

dengan menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Observasi, yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dimana Penulis

melakukannya pada Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Kota

Pekanbaru).

b. Kuisioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membuat daftar-

daftar pertanyaan yang memiliki kolerasi dengan permasalahan yang

diteliti, yang pada umumnya dalam daftar pertanyaan ini telah disediakan

jawaban-jawabannya. Dengan demikian respoden hanya diberi tugas

untuk memilih jawaban sesuai dengan seleranya. Namun demikian tidak

terutup kemungkinan pula bahwa dalam kuisioner ini ada bentuk

pertanyaan model essai, dimana dalam hal ini respoden sendirilah yang

akan memberikan jawabannya, untuk itu Penulis pengajuan kuisioner ini

kepada seperti Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Kota

Pekanbaru, dan Nasabah pengguna Jasa BPJS Ketenagakerjaan Kota

Pekanbaru .

c. Wawancara

Metode wawancara dapat pula dilakukan dimana dalam wawancara ini

dibedakan antara wawancara terstruktur dan non struktur dimana

wawancara terstruktur yaitu metode wawancara dimana dipewawancara

18
telah mempersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan yang dibuatnya,

sedangkan pada wawancara non struktur sipewawancara bebas

menanyakan sesuatu hal kepada respoden tanpa terikat dengan daftar-

daftar pertanyaan, dimana Penulis akan melakukan wawancara baik

secara terstruktur dan non struktur kepada seperti Kepala Kantor Cabang

BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru, dan Nasabah pengguna Jasa

BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekanbaru .

d. Kajian Kepustakaan

Kajian Kepustakaan dilakukan dengan mencari sumber buku-buku

diperpustakaan baik yang ada di Fakultas Hukum Universitas Lancang

Kuning Pekanbaru maupun ada Perpustakaan Negeri yang terletak di

jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru sehingga didapat data-data yang akurat

dan referensi buku yang baik.

6. Analisis Data

Dalam analisis data ini Penulis menggunakan metode Deskriftif

Analisis yaitu metode penulisan yang memberikan gambaran hasil analisis

data dan hasil observasi yang kemudian dipadukan dengan beberapa teori

dasar tentang tindak pidana aborsi sehingga diperoleh suatu kesimpulan dari

penulisan ini.

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA BPJS KETENAGEKERJAAN

KOTA PEKANBARU

A. Program BPJS Ketenagakerjaan

Jaminan sosial merupakan konsep universal bagi redistribusi

pendapatan sehingga menjadi program publik yang diselenggarakan berdasarkan

undang-undang. Demikian pula penunjukan badan penyelenggaraannya harus

didasarkan pada undang-undang karena merupakan badan otonomi yang mandiri,

memiliki akses law enforcement serta berorientasi nirlaba. 14

Menyadari pentingnya jaminan sosial dalam redistribusi pendapatan,

jaminan sosial merupakan hak setiap warga negara bahkan termasuk warga negara

asing yang menetap. Pelanggaran terhadap pelaksanaan jaminan sosial berarti

pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM). 15

Eksistensi jaminan sosial bagi redistribusi pendapatan telah diratifikasi

dalam deklarasi PBB sebagai Universal Declaration of Human Rights. Adapun

isi dari deklarasi tersebut terdapat pada Article 22, 1948-1998 mengatakan bahwa:

“Everyone, as a member of society, has the right to social security and


is entitled to realization, through national effort and international co-
operation and in accordance with the organization and resources of each
State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his
dignity and the free development of his personality”. 16

Deklarasi tersebut telah mendapat dukungan penuh dari para anggota

PBB, termasuk human right society bahwa keabsenan di dalam penyelenggaraan

14
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 180.
15
Ibid.
16
“Universal Declaration of Human Rights 1948-1998”,
http://www.wunrn.com/reference/pdf/univ_dec_hum_right.pdf., diakses pada 27 Agustus 2010

20
terhadap HAM. Selain itu, implikasi social security bagi redistribusi

pendapatan telah mendapat rekomendasi dari PBB untuk masuk dalam The

Economic Council of The United Nation.Tujuan akhir dari konsep jaminan

sosial adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat sebagai akibat

adanya economic insecurity (ketidaknyamanan ekonomi). 17

Pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia bersumber pada landasan

idiil. Pembukaan UUD 1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat

yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah

memajukan kesejahteraan umum sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil

dan makmur. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pengertian jaminan sosial adalah seluruh

sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara

yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf

kesejahteraan sosial. 18

Menurut ILO, jaminan sosial adalah jaminan yang diberikan kepada

masyarakat melalui suatu lembaga tertentu yang dapat membantu anggota

masyarakat dalam menghadapi resiko yang mungkin dialaminya, misalnya jaminan

pemeliharaan kesehatan atau bantuan untuk mendapat pekerjaan yang bermanfaat.

Di samping itu, ILO juga menyebutkan ada tiga kriteria yang harus dipenuhi

agar suatu kegiatan dapat dikatakan program jaminan sosial. 19

a. Tujuan berupa perawatan medis yang bersifat penyembuhan atau

17
Loc.cit.
18
Ibid.
19
Ibid., hal. 181.

21
pencegahan, penyakit, memberikan bantuan pendapatan apabila

terjadi kehilangan sebagian atau seluruh pendapatan, atau menjamin

pendapatan tambahan bagi orang bertanggung jawab terhadap keluarga.

b. Terdapat undang-undang yang mengatur tentang hak dan kewajiban

lembaga yang melaksanakan kegiatan ini.

c. Kegiatan diselenggarakan oleh suatu lembaga tertentu. 20

Menurut Redja yang dikutip oleh Purwoko, salah satu tujuan

dari penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk mempertahankan daya beli

masyarakat dalam menghadapi terjadinya ketidakamanan ekonomi. 21

Kenyataannya sebelum suatu masyarakat mencapai kondisi ekonomi

yang aman, seringkali diawali dengan kondisi ketidakamanan ekonomi

sebagai konsekuensi yang logis dari masalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan

yang luas tersebut salah satu diantaranya penyebab munculnya perbedaan

pendapat antara golongan masyarakat atas dan masyarakat bawah. Akibatnya

terjadi ketidakamanan ekonomi, yang apabila terus dibiarkan dapat menimbulkan

konflik atau disintegrasi di dalam masyarakat. 22

Jaminan sosial dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ”social

security”. Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai secara resmi oleh Amerika

Serikat dalam suatu undang-undang yang bernama ”The Social Security Act of

1935”. Kemudian dipakai secara resmi oleh New Zealand pada tahun 1938

sebelum secara resmi dipakai ILO (International Labor Organization). Menurut

20
Moh. Syaufi Syamsuddin, “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja
Wanita”, Informasi Hukum, Kamis, 09 November 2006, dikutip Adrian Sutedi, Ibid.
21
Bambang Purwoko, Towards A Social Security Reform : The Indonesian Case, (Jakarta
: Jamsostek, 1999), hal. 6, dikutip Redja dalam Adrian Sutedi, Ibid.
22
Adrian Sutedi, Ibid

22
ILO :

”Social Security pada prinsipnya adalah sistem perlindungan yang


diberikan oleh pemerintah untuk para warganya, melalui berbagai
usaha dalam menghadapi resiko-resiko ekonomi atau sosial yang dapat
mengakibatkan terhentinya/sangat berkurangnya penghasilan”. 23

Sedangkan Kennet Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat

Jenderal International Social Security Association (ISSA) di Jenewa, dalam

Regional Training Seminar ISSA di Jakarta bulan Juni 1980, mengatakan bahwa :

”Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan


oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk resiko-resiko atau
peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya
atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan
pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi
ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan
keluarga dan anak”. 24

Sejalan dengan dua pengertian di atas, Undang-Undang No. 6 Tahun

1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2

ayat (4) mengatakan bahwa 25 :

”Jaminan sosial sebagai perwujudan dari sekuritas sosial adalah


seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi
warganegara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat
guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”.

Kalau diperhatikan ketiga pengertian di atas, maka nampaknya

ketiga pengertian tersebut memberikan pengertian jaminan sosial dengan

begitu luas, seakan-akan jaminan sosial itu sendiri telah mencakup bidang

pencegahan dan pengembangan, bidang pemulihan, dan penyembuhan serta bidang

pembinaan. Ketiga bidang ini kalau dikaitkan lebih jauh lagi apa yang dinamakan

23
Zainal Asikin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1997), hal. 78, dikutip Surya Perdana, Ibid., hal. 58.
24
Ibid.
25
Ibid.

23
perlindungan buruh, sehingga amat luaslah ruang lingkupnya. Kalau

membicarakan jaminan sosial bagi pekerja dengan bertumpu pada definisi di

atas, maka yang dimasukkan ke dalam jaminan sosial ini hal-hal yang

bersangkutan dengan : Jaminan Sosial; Kesehatan Kerja; dan Keselamatan serta

Kesehatan Kerja. 26

Pada hakikatnya Program BPJS Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk

memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga

sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Di

samping itu, Program BPJS Ketenagakerjaan mempunyai beberapa aspek antara

lain 27 :

a. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; dan

b. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah

menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya

bekerja.

BPJS Ketenagakerjaan dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk

mengatasi resiko sosial ekonomi. Kemandirian berarti tidak tergantung orang

lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun

keluarganya bila meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh

sebagai hak dan bukan dari belas kasihan orang lain. 28

Agar pembiayaan dan manfaatnya optimal, pelaksanaan program

26
Ibid.
27
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Edisi 1, Cetakan 1, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2009), hal. 122.
28
”Visi dan Misi”, Op.cit.

24
BPJS Ketenagakerjaan dilakukan secara gotong royong, dimana yang muda

membantu yang tua, yang sehat membantu yang sakit dan yang berpenghasilan

tinggi membantu yang berpenghasilan rendah. 29

B. Landasan Yuridis

Program Bpjs Ketenagakerjaan di Indonesia sesungguhnya sudah mulai

dirintis sejak tahun-tahun awal kemerdekaan, yaitu ketika Undang-Undang No.

33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja dan Undang-Undang No. 34

Tahun 1947 tentang Kecelakaan Perang diberlakukan. Setahun berikutnya

diluncurkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 yang mengatur tentang

Usia Tenaga Kerja, Jam Kerja, Perumahan, dan Kesehatan Buruh. 30

Perlindungan bagi tenaga kerja diatur lagi pada tahun 1951 dengan

diluncurkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja.

Pada tahun 1952 diberlakukan Peraturan Menteri Perburuhan No. 48 Tahun

1952 jo. Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan

Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh. Ketentuan mengenai

penyelenggaraan kesehatan buruh itu kemudian dilengkapi lagi dengan Peraturan

Menteri Perburuhan No. 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial

Buruh. Peraturan tersebut menguraikan tentang bantuan kepada badan yang

menyelenggarakan usaha jaminan sosial. 31

Undang-undang tentang tenaga kerja yang agak lengkap lahir pada tahun

1969. Pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga

Kerja diatur tentang Penyelenggaraan Asuransi Sosial Bagi Tenaga Kerja Beserta

29
Ibid.
30
Adrian Sutedi, Ibid., hal. 184.
31
Ibid., hal. 184.

25
Keluarganya. Pada tahun 1977 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.

33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja

(ASTEK), Asuransi Kematian (AK), dan Tabungan Hari Tua (THT). Bersamaan

dengan itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977 tentang

Perusahaan Umum (Perum) ASTEK sebagai Badan Penyelenggara Program

ASTEK. 32

Status ASTEK sebagai Perum kemudian diubah menjadi Perseroan

Terbatas (PT) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1990. Pada tahun 1992,

Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-

Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mewajibkan

setiap perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau

mengeluarkan biaya untuk gaji karyawannya minimal Rp. 1 juta/bulan untuk

menyelenggarakan empat Program BPJS Ketenagakerjaan, yaitu Jaminan Hari

Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Undang-undang ini juga menugaskan PT. BPJS

Ketenagakerjaan sebagai pelaksana Program BPJS Ketenagakerjaan di

Indonesia (hal ini dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun

1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga

Kerja). 33

32
Ibid.
33
PT. Jamsostek, Kumpulan Peraturan Perundangan Pemerintah Mengenai Jaminan
Sosial Tenaga Kerja, (Jakarta : Jamsostek, 1999), lihat juga Depnakertrans, Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, Syarat-Syarat Kerja,
PTKA dan Perlindungan Tenaga Kerja, (Jakarta : Karya Puri Utomo, 2001), dikutip Adrian Sutedi,
Ibid., hal 185.

26
C. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung

jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi

kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara,

Indonesia seperti berbagai negara berkembang lainnya, mengembangkan

program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial

yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja/buruh di

sektor formal. 34

Sejarah terbentuknya BPJS Ketenagakerjaan (Persero) mengalami

proses yang panjang, dimulai dari Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 jo.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri

Perburuhan No. 48 Tahun 1952 jo. Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun

1956 tentang Pengaturan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan

Buruh, Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 Tahun 1957 tentang

Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, Peraturan Menteri Perburuhan No. 5

Tahun 1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial,

diberlakukannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok

Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja

semakin transparan. 35

Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut

landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada

tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya

34
Ibid., hal. 178
35
Ibid.

27
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program

Asuransi Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disingkat ASTEK), yang mewajibkan

setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program

ASTEK. Terbit pula Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977 tentang

Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK, yaitu Perum ASTEK. 36

Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang No. 3

Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BPJS Ketenagakerjaan),

melalui Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 ditetapkannya BPJS

Ketenagakerjaan sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja.

Program BPJS Ketenagakerjaan memberikan perlindungan dasar untuk

memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan

memberikan kepastian berlangungnya arus penerimaan penghasilan keluarga

sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat resiko

sosial. 37

Selanjutnya pada akhir tahun 2004, pemerintah juga menerbitkan

Undang- Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan

pada Pasal 34 Ayat (2), dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah

mengesahkan amandemen tersebut, yang kini berbunyi : “Negara

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada

36
Ibid.
37
Ibid.

28
pekerja, sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi

maupun produktivitas kerja.38

Kiprah BPJS Ketenagakerjaan yang mengedepankan kepentingan dan hak

normatif tenaga kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT. BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang

mencakup program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),

Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh

tenaga kerja dan keluarganya. 39

Dengan penyelenggaraan yang semakin maju, Program BPJS

Ketenagakerjaan tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha, tetapi

juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan

masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa. 40

38
Ibid.
39
Ibid.
40
Ibid.

29
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fungsi dan peran Program BPJS Ketenagakerjaan dalam perlindungan

hukum tenaga kerja di Kota Pekanbaru.

1. Fungsi Program BPJS Ketenagakerjaan Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja

di Kota Kota Pekanbaru

BPJS Ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3

Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengatur 4 (empat) program

pokok yang harus diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara PT. BPJS

Ketenagakerjaan (Persero), yaitu : Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan

Kematian (JK); Jaminan Hari Tua (JHT); dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

(JPK). Namun, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja memerintahkan untuk

menambahkan program yaitu Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK).

Ada juga penambahan program dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Tenaga

Kerja No. KEP-196/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan

Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan

Perjanjian Waktu Tertentu pada Sektor Jasa Konstruksi, yang bernama

Jasa Konstruksi.

a. Sebagai Sosial Security.

Sosok jaminan social ini merupakan suatu mekanisme pengumpulan

dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan

perlindungan atas resiko social ekonomi yang menimpa peserta dan

anggota keluarganya. Dalam perjalanannya manfaat dari program jaminan

30
social ini tidak dirasakan secara optimal oleh peserta.

Penyelenggaraan jaminan social bagi seluruh rakyat memang

diamanatkan dalam pasal 28 ayat (3) dan pasal 34 ayat (2) UUD Negara Republik

Indonesia tahun 1945.

Program ini pada dasaranya merupakan program Negara yang

bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan social bagi

seluruh rakyat Indonesia. Setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan hilang

atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan,

kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun.

Program jaminan social yang dijalankan oleh pemerintah baru

mencakup sebagian kecil masyarakat, sebagian besar rakyat belum

memperoleh perlindungan yang memadai, manfaat program ini pun jauh

dari optimal karena badan penyelenggaranya berbentuk badan hukum

perseroan terbatas Persero yang berorientasi laba.

Seyogyanya penyelenggara adalah badan yang tidak dimaksudkan

mencari laba, akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-

besarnya kepentingan peserta, hasil pengembangannya dan surtplus atau laba

seluruhnya dikembalikan untuk kepentingan peserta.

Program BPJS Ketenagakerjaan belum menyentuh seluruh lapisan

masyarakat Kota Kota Pekanbaru, baru dirasakan oleh tenaga kerja yang

terorganisir saja, karena prinsip pendanaannya berasal dari perusahaan dan

tenaga kerja, namun demikian para pekerja rela untuk dipotong gajinya untuk

ikut serta dalam program BPJS Ketenagakerjaan, kewajiban perusahaan dan

31
pekerja atas pembayaran iuran bila dibandingan dengan Negara-negara yang

menyelenggaran jaminan social Indonesia termasuk yang penetapan iurannya

sangat kecil, bila dibandingkan dengan Malaysia iuran THT 11 % dan iuran

perusahaan 12 % sedangkan iuran program THT BPJS Ketenagakerjaan 5,7% yang

meliputi kewjiban perusahaan dan tenaga kerja, kondisi ini menunjukan

bahwa tingkat kemampuan pertubuhan ekonomi Indonesia jauh lebih baik

Malaysia.

Peserta program jaminan social di Indonesia dibandingkan dengan Negara

lain masih terlalu sedikit (sekitar 20%). Manfaat yang diperoleh peserta juga masih

sangat terbatas. Dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup

yang layak, prinsip/sistem penyelenggaraan juga bervariasi sehingga menimbulkan

ketidakadilan social. Oleh karena itu diperlukan Undang-Undang baru yang

diharapkan dapat memanyungi segenap penyelenggaraan program jaminan

social, meningkatkan jumlah peserta, meningkatkan manfaat serta berkeadilan,

atas dasar itu pemerintah memprakarsai untuk memperbaharui perundangan

yang terkait dengan penyelenggaraan Sistim Jaminan Sosial Nasional

(SJSN). Pemerintah dalam meningatkan kesejaahteraan seluruh rakyat yaitu

membangun perekonomian kesejahteraan dengan salah satu program jaminan

soscial (Social Security) yang dibeberapa negara sudah menerapkannya,

tujuannya adalah meningkatkan status social rakyat dalam berkihidupan

dimasyarakat, sekaligus menciptakan manusia yang sadar dengan segala resiko

dalam kehidupan, juga paham arti jaminan social sampai kegenari yang akan

dating, jika telah ditumbuh kembangkan maka rakyat Indonesia telah siap dalam

bekerja dan mencintai pekerjaannya dengan baik, Negara sudah berbuat yang

32
terbaik kepada rakyatnya, maka sebagaimana program negara untuk

meningkatkan taraf hidup rakyat sudah dapat dinikmati seluruh rakyat,

pengabdian dan kecintaan rakyat kepada Negara sudah semakin besar,

bersinergi dalam melaksanakannnya berarti satu sama yang lain membutuhkan.

Fungsi dan peranan program BPJS Ketenagakerjaan dalam jaminan sosial yang

meliputi :

1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

2) Jaminan Kematian (JK)

3) Jaminan Hari Tua (JHT)

4) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)

5) Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK)

6) Jasa Konstruksi

2. Peran Program BPJS Ketenagakerjaan Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja di

Kota Kota Pekanbaru

a. Program BPJS Ketenagakerjaan Sebagai Perlindungan Tenaga Kerja

Perlindungan tenaga kerja dalam penelitian ini adalah sebagai santunan

dan pelayanan kesehatan. Santunan dapat berupa uang sedangkan pelayanan

kesehatan adalah satu bentuk jasa.

1) Pengertian Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan

perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. 41 Secara

41
“Lindung”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/., diakses pada 05 Agustus 2010

33
umum dapat dijelaskan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah

tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum.

Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah :

“Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu

menjadi perhatian, yakni kekuasaan pemerintah, permasalahan

perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah

(yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi,

permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah

(ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja

terhadap pengusaha”. 42

Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja, maka perlu dilakukan

upaya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja

tanpa terkecuali. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dituangkan

dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : “setiap orang

berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil

dan layak dalam hubungan kerja”.

Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat

kedudukannya yang lemah, disebutkan Zainal Asikin, yaitu :

“Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila


peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang
mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seprti dalam perundang-
undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur
secara sosiologis dan filosofis”. 43

42
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila,
Makalah disampaikan pada Simposium tentang Politik. Hak Azasi dan Pembangunan Hukum
dalam Rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994, dikutip
Asri Wijayanti, Op.cit., hal. 10.
43
Zainal Asikin, et.al., Op.cit., hal. 5, dikutip Asri Wijayanti, Ibid.

34
Berdasarkan uraian mengenai hakikat hukum ketenagakerjaan di atas

maka menjadi dasar dalam pemberian perlindungan hukum bagi pekerja.

Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Iman Soepomo meliputi

lima bidang hukum perburuhan, yaitu 44 :

a) Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja;

1) Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja, adalah perlindungan

hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum menjalani hubungan

kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra-penempatan atau

pengerahan.

b) Bidang hubungan kerja;

1) Bidang hubungan kerja, yaitu masa yang dibutuhkan oleh pekerja

sejak mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan

kerja itu didahului dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat

dilakukan dalam batas waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang

disebut dengan pekerja tetap.

c) Bidang kesehatan kerja;

1) Bidang kesehatan kerja, adalah selama menjalani hubungan kerja

yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan

atas kesehatannya. Apakah lingkungan kerjanya dapat menjamin

kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu yang relatif lama.

44
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 1985), hal. IX,
dikutip Asri Wijayanti, Ibid., hal. 11.

35
d) Bidang keamanan kerja;

1) Bidang keamanan kerja, adalah adanya perlindungan hukum bagi

pekerja atas alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu

relatif singkat atau lama akan aman dan ada jaminan keselamatan

bagi pekerja. Dalam hal ini, negara mewajibkan kepada pengusaha

untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja.

e) Bidang jaminan sosial buruh.

1) Bidang jaminan sosial buruh, telah diundangkan Undang-Undang

No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pada

tahun 1992, besarnya kompensasi dan batas maksimal yang diakui

oleh PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dapat dikatakan cukup.

Untuk saat ini kompensasi ataupun batas maksimal upah yang diakui

untuk pembayaran premi BPJS Ketenagakerjaan sudah saatnya

dilakukan revisi penyesuaian.

2) Dalam hal ini setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja

harus memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja

sesuai dengan jenis pekerjaannya. Meskipun hanya seorang pelayan

akan tetapi juga tetap harus diperhatikan. Mengingat peranan

tenaga kerja sangat penting demi kelancaran perusahaan. Tenaga

kerja harus memperoleh hak-hak mereka secara penuh, begitu juga

sebaliknya tenaga kerja harus memenuhi kewajibannya dengan baik

pula. Sehingga, akan tercipta hubungan kerja yang dinamis antara

perusahaan dengan pihak tenaga kerja.

36
B. Hambatan-hambatan yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

dalam perlindungan tenaga kerja di Kota Pekanbaru

1. Hambatan Kelembagaan

Untuk pengembangan dan peningkatan peran seperti yang disebutkan pada

bab sebelumnya di atas maka ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi BPJS

Ketenagakerjaan (Persero). Salah satunya adalah masih banyak kendala dalam

sistem jaminan sosial di Indonesia. Misalnya, dalam kasus pencanangan Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN sebenarnya sangat positif, karena akan

dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, bukan hanya untuk pekerja/buruh

di sektor formal. Pekerja/buruh informal, bahkan penganggur sekalipun bisa

menikmatinya. Namun, aturan dan administrasi badan yang mengelola program

tersebut masih belum jelas. 45

Jika pelaksanaan SJSN berpedoman pada sistem yang diterapkan di

beberapa negara lain, seperti Thailand, pemerintah harus menyediakan dana yang

besar. Di Thailand, untuk jaminan sosial masyarakat miskin, seperti petani dan

pengangguran, iurannya disubsidi oleh pemerintah. Adapun di Indonesia, iuran

jaminan sosial untuk Pegawai Negeri Sipil saja tidak disubsidi pemerintah. Hal

ini berbeda dengan pegawai swasta, dimana tanggungan perusahaan untuk BPJS

Ketenagakerjaan justru lebih besar. 46

Mengenai perlunya perubahan status BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

menjadi badan dan bukan persero lagi. Langkah ini dilakukan untuk menghindarkan

kewajiban BPJS Ketenagakerjaan (Persero) sebagai BUMN menyerahkan deviden

45
Ibid., hal. 213.
46
Ibid.

37
kepada pemerintah, sehingga dana itu bisa digunakan untuk kesejahteraan kaum

pekerja/buruh. Jika Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja telah diubah maka jaminan sosial ini akan dikelola oleh Tripartit. 47

Langkah ini cocok dengan praktik yang dilakukan di banyak negara lain. Di

negara-negara tersebut, lembaga yang memberi BPJS Ketenagakerjaan bukanlah

terbentuk persero, tetapi berupa badan yang dikelola oleh wakil

pekerja/buruh dan pengusaha. 48

Pihak PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) sebenarnya sudah lama

menyadari hal itu dan sudah melakuka beberapa langkah ke arah sana. Misalnya,

tidak semua deviden diserahkan ke pemerintah, namun dikembalikan kepada kaum

pekerja/buruh, dalam bentuk : kredit pemilikan rumah; bantuan untuk korban PHK;

bantuan koperasi karyawan; dan bantuan poliklinik karyawan. 49

1. Lemahnya Sistem Pengawasan

Sudah saatnya pemerintah tidak lagi bersikap toleransi terhadap

pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja. Ini berkaitan dengan tekad pemerintah meningkatkan perlindungan hukum

dan kesejahteraan pekerja. Sikap tegas perlu diambil mengingat masih banyaknya

perusahaan yang belum ikut serta dalam Program BPJS KETENAGAKERJAAN

dan bukan hanya dilihat dari bentuk kepesertaannya. Jadi pelaksanaan undang-

undang tersebut harus secara utuh. 50

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 dan Peraturan

47
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Gerry Silaban, “Program Jamsostek, Hambatan dan Upaya Mengejar Kepesertaan”,
http://library.usu.ac.id/download/fkm/k3-gerry2.pdf., diakses pada 19 Agustus 2014, hal. 3-4.

38
Pemerintah No. 14 Tahun 1993 serta peraturan pelaksanaannya merupakan

landasan hukum bagi perlindungan pekerja di bidang JKK, JK, JHT, JPK, dan

Pelayanan Kesehatan bagi keluarga karyawan dalam satu paket. Pelanggar

terhadap ketentuan ini diancam sanksi hukum berupa denda sebesar Rp. 50 juta

atau 6 bulan kurungan penjara. 51

2. Peranan Pengawas Ketenagakerjaan Belum Optimal

Dilihat dari sisi pengawasan Program BPJS KETENAGAKERJAAN disini

dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan oleh Departemen Tenaga Kerja

di Tingkat Provinsi dan Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

sebagai pengawas pada Tingkat Kabupaten/Kota.

Apabila ada temuan di lapangan, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di

Kota Kota Pekanbaru wajib melaporkan hal tersebut ke Kepolisian untuk diproses

lebih lanjut. Kepolisian disini berfungsi untuk menegur pengusaha agar tidak

semena-mena terhadap karyawan/buruh.

Dalam hal teguran tersebut tidak digubris, barulah laporan dibuat Berita

Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Kepolisian untuk diserahkan kepada Kejaksaan

agar dituntut pengusaha tersebut. Kejaksaan menuntut dengan memeriksa kembali

berkas BAP Kepolisian untuk dinaikkan ke tingkat pengadilan.

Penegakan peraturan dan perundang-undangan (law enforcement)

merupakan jalan terakhir terhadap pelanggaran Program BPJS Ketenagakerjaan

dan ini pekerjaan yang tidak ringan mengingat jumlah pegawai Pengawas Disnaker

yang tersedia saat ini terbatas hanya 1.194 orang, kemudian kemungkinan

51
Ibid.

39
terjadinya ”main mata” (kolusi) antara oknum pengawas dengan pengusaha dan

adanya perusahaan yang dilindungi oleh pejabat sehingga kebal hukum. Walaupun

demikian, hingga 31 Maret 1995 sebanyak 30.963 perusahaan yang telah

diperiksa, 119 diantaranya sudah masuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP),

sedangkan yang sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan sebanyak 16

perusahaan. 52

3. Dukungan Pemerintah Tingkat Provinsi Dan Kabupaten/Kota

Tidak Maksimal

Sementara Surat Keputusan Gubernur No. 560/293.K/2005 tentang

Koordinasi Fungsional (KF) pelaksanaan Program BPJS Ketenagakerjaan di

Kota Pekanbaru melalui Tim KF yang tugasnya, antara lain : penyelesaian

kasus- kasus BPJS Ketenagakerjaan; meningkatkan kepesertaan BPJS

KetenagakerjaaN; pembinaan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan; dan penegakan

hukum (law enforcement), serta memberikan petunjuk terhadap pembentukan Tim

KF di Kabupaten/Kota. Namun Tim KF tersebut belum berjalan maksimal.

Terbukti dari masih banyaknya keluhan yang datang dari daerah-daerah

(kabupaten/kota) saat diadakannya sosialiasi oleh PT. BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) Kantor Wilayah I, tentang Peraturan Menakertrans No. 24 Tahun 2006 di

Kota Pekanbaru baru-baru ini. Menurut mereka Tim KF di Kabupaten/Kota belum

berfungsi dan masih banyak yang belum memiliki data kepesertaan Program BPJS

Ketenagakerjaan. Selain itu, agar Tim KF provinsi lebih pro-aktif dalam melakukan

koordinasi. 53

52
Ibid.
53
Loc.cit., hal. 207.

40
2. Hambatan Substansi

a. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Mengenai Program BPJS

Ketenagakerjaan

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya tudingan dari sejumlah

kalangan yang salah kaprah, bahwa BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

seolah- olah ”memonopoli” jaminan sosial untuk pekerja/buruh Indonesia. Sebagai

konsekuensinya, mereka mengusulkan agar perusahaan-perusahaan swasta juga

diperbolehkan untuk menjalankan program jaminan sosial bagi tenaga kerja

Indonesia tersebut. Usulan ini adalah contoh dari semangat liberalisasi yang salah

arah. 54

Jika usulan tersebut dilaksanakan, nasib para pekerja/buruh Indonesia

belum tentu menjadi lebih baik, tetapi justru bisa terancam. Misalnya, perusahaan

swasta itu bisa untung, tetapi juga bisa bangkrut. Jika kondisi buruk itu terjadi, siapa

yang akan menjamin kembalinya uang pekerja/buruh. Tentu, perusahaan swasta

tersebut gagal memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh dan akan cenderung

lepas tangan. Akhirnya, persoalannya lagi-lagi akan dilempar ke Pemerintah atau

DPR dan menimbulkan keresahan di kalangan pekerja/buruh. 55

Sebaliknya, lewat BPJS Ketenagakerjaan (Persero) atau badan yang akan

dibentuk nanti, pemerintah dapat menjamin hak-hak kaum pekerja/buruh tersebut.

Jika yang dipersoalkan adalah pelayanan yang kurang baik atau belum optimal,

pihak BPJS Ketenagakerjaan (Persero) tentunya tidak menutup diri dan berbesar

hati menerima kritik.

54
Ibid, hal. 214
55
Ibid.

41
BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dapat melakukan pembenahan, serta

meningkatkan kinerja dan profesionalisme para petugasnya. 56

b. Kesadaran Pengusaha Terhadap Kebutuhan Tenaga Kerja

Sementara masih banyak perusahaan belum melaksanakan Program BPJS

Ketenagakerjaan, tenaga kerja yang bekerja di sektor informal/luar hubungan kerja,

mulai digarap untuk menjadi peserta Program BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) dengan peraturan pelaksanaannya, telah keluar Peraturan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi No. PER-24/MEN/2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Program BPJS Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja yang

Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, yang jumlahnya sangat besar

dan memerlukan perlindungan sosial (social security). 57

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kepesertaan Program BPJS

Ketenagakerjaan bagi pekerja/buruh bersifat wajib dan bahkan merupakan hak,

yaitu terdiri atas JKK, JK, JHT, dan JPK. Secara jelas dan terinci pelaksanaannya

diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993, Keputusan Presiden No. 22

Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja dan Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-12/MEN/IV/2007 tentang

Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan Pembayaran Iuran, Pembayaran

Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pembayaran iuran BPJS

Ketenagakerjaan wajib dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Iuran yang

ditanggung pengusaha adalah iuran JKK, JK, dan JPK, sedangkan iurang JHT

56
Ibid.
57
Ibid, hal. 205.

42
ditanggung bersama oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Besarnya iuran JKK terdiri

atas lima tarif sesuai dengan tingkat resiko kecelakaan dengan persentase dari

0,24% - 1,74% dari upah sebulan; iuran JK sebesar 0,3% dari upah; iuran JPK 3%

dari upah bagi pekerja/buruh lajang dan 6% dari upah bagi pekerja/buruh yang

berkeluarga (seluruhnya ditanggung oleh pengusaha). Sedang untuk iuran JHT

sebesar 5,7% yang ditanggung bersama, yaitu 3,7% oleh pengusaha dan 2% oleh

pekerja/buruh. 58

Tata cara pembayaran iuran dilakukan oleh pengusaha dengan

memungut iuran yang menjadi kewajiban pekerja/buruh melalui pemotongan upah

pekerja/buruh kemudian membayarkan kepada Badan Penyelenggaraan BPJS

Ketenagakerjaan dalam waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang telah

diatur. Dalam hal ini, pengusaha wajib memiliki daftar pekerja/buruh beserta

keluarganya, daftar upah beserta perubahannya dan daftar kecelakaan kerja di

perusahaan. Selain itu, pengusaha juga wajib menyampaikan data ketenagakerjaan

perusahaan sesuai dengan Undang- Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor

Ketenagakerjaan ke Instansi Ketenagakerjaan yaitu Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi setempat yang digunakan sebagai bukti kepesertaan perusahaan dan

pekerja/buruh dalam Program BPJS Ketenagakerjaan. 59

Melihat Program BPJS Ketenagakerjaan belum berjalan sebagaimana

mestinya, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya tuntutan dan protes yang

datang dari kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB), LSM, DPR/D, dan

masyarakat yang dialamatkan kepada pengusaha dan BPJS Ketenagakerjaan

58
Ibid.
59
Ibid.

43
(Persero) maupun instansi ketenagakerjaan dan secara luas beritanya disiarkan oleh

surat kabar dan media elektronik, baik nasional maupun daerah. Namun, tampaknya

belum juga ada perubahan yang signifikan. 60

Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981, jumlah perusahaan

wajib lapor di Kota Pekanbaru ± 3000 perusahaan dengan jumlah

pekerja/buruh ± 250.000 orang termasuk (pekerja/buruh kontrak, pekerja/buruh

harian lepas, pekerja/buruh borongan, dan perusahaan kecil). Perusahaan yang

terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan Agustus 2014 baru

1267 perusahaan (59,42% aktif perusahaan dan 37,2%, non-aktif). Adapun jumlah

peserta (pekerja/buruh) terdaftar 115.000 orang. Hal tersebut menunjukkan masih

rendahnya peserta aktif Program BPJS Ketenagakerjaan dan tentunya sangat

merugikan para pekerja/buruh dan perlu penanganan secara khusus. 61 .Sedangkan

perusahaan yang terdaftar per Juni 2014 adalah 435 perusahaan dengan jumlah

tenaga kerja 96.700 untuk Kantor Wilayah.62

Tabel 4
Total Peserta Program BPJS Ketenagakerjaan
JENIS AKTIF NON AKTIF JUMLA
Perusahaan 59,42 % 37,2 % 1267
Tenaga Kerja 87.500 27.500 H
115.000
Sumber : PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota Pekanbaru, data per bulan Juni
2014.
Dari Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak aktif dalam

Program BPJS Ketenagakerjaan hampir 1/2 dari jumlah peserta perusahaan. Hal ini

menunjukkan bahwa peserta tenaga kerja yang tidak aktif sebanyak 1/4 pekerja dari

60
Ibid.
61
Ibid., hal. 206.
62
BPJS Ketenagakerjaan Kanwil II, “Executive Summary dan Key Performance Indicator
per Bulan Juni 2010”, (pekanbaru : Jamsostek Kanwil II, 2014), hal. 1.

44
jumlah peserta tenaga kerja.

Melihat data di atas ternyata tingkat kepesertaan Program BPJS

Ketenagakerjaan masih sangat rendah. Belum lagi faktor adanya pelanggaran

pelaksanaan program yaitu masih dijumpai Perusahaan Daftar Sebagian Upah (PDS

Upah), artinya perusahaan tidak melaporkan upah yang sebenarnya (upah pokok +

tunjangan tetap) dari seluruh pekerja/buruh, tetapi yang dilaporkan hanya sebatas

UMP/UMK atau upah pokok saja. Demikian juga jumlah pekerja/buruh yang

didaftarkan hanya sebagian saja (PDS TK), artinya tidak semua didaftarkan.

Misalnya, jumlah pekerja 500 orang yang didaftar hanya 250 orang saja dan juga

hanya mendaftar sebagian program dari empat program (PDS Program) dan

perusahaan yang masih menunggak iuran. 63

Selain itu, perusahaan diizinkan untuk mensubstitusi jaminan

kesehatan BPJS Ketenagakerjaan dengan program asuransi kesehatan swasta yang

dipilih oleh perusahaan sendiri apabila benefit program asuransi tersebut lebih besar

daripada benefit yang diberikan oleh Program BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya,

sebagian besar perusahaan memilih untuk tidak mengikuti Program Jaminan

Kesehatan BPJS Ketenagakerjaan (Persero), yang menyebabkan semakin

terbatasnya jumlah benefit yang ditawarkan oleh Program Jaminan Kesehatan

BPJS Ketenagakerjaan. 64

Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah kebenaran data upah, yang

dilaporkan oleh perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan (Persero), karena upah

sangat berpengaruh terhadap kemanfaatan dan hak pekerja/buruh. Jangan sampai

63
Loc.cit.
64
Adrian Sutedi, Ibid.

45
terjadi, perusahaan lalai memberikan data upah pekerja/buruh yang akurat, tetapi

pekerja/buruh justru menyalahkan BPJS Ketenagakerjaan (Persero), karena

dianggap ”menyunat” jaminan yang menjadi haknya. Hal semacam ini

pernah terjadi. 65

Kalau melihat kecenderungan yang ada, perkembangan BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) dalam perannya untuk melindungi dan meningkatkan

kesejahteraan pekerja, sebenarnya cukup membesarkan hati. Hal ini seiring dengan

meningkatnya kesadaran di kalangan para pekerja/buruh sendiri, tentang hak-

haknya dan pentingnya Program BPJS Ketenagakerjaan bagi mereka. 66

c. Program BPJS Ketenagakerjaan Sebagai Beban Pengusaha

Program BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah yang

badan penyelenggaranya ditunjuk BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dalam rangka

pelaksanaan pengalihan resiko yang terjadi terhadap perusahaan yang

mempekerjakan tenaga kerjanya.

Perusahaan dengan mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program BPJS

Ketenagakerjaan merasakan bahwa pembayaran iuran sebagai kewajiban

pengusaha menjadikan suatu beban, padahal kewajiban tersebut tanpa

diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan perusahaan tetap

mengeluarkan kewajiban terhadap tenaga kerja untuk kesejahteraan tenaga kerja.

Seperti tenaga kerja mengalami resiko kerja pada saat bekerja perusahaan

berkewajiban untuk memberikan pelayanan dan bantuan serta perawatan.

Dengan adanya badan penyelenggara BPJS Ketenagakerjaan (Persero) yang

65
Ibid.
66
Ibid.

46
pola kerjanya lebih profesional dan memenuhi standar sebagai mana diatur dalam

perlindungan kerja pengusaha mestinya lebih nyaman bahwa perlindungan

resiko kerja sudah menjadi tanggaung jawab PT BPJS Ketenagakerjaan (Persero).

Pandangan pengusaha terhadap program BPJS Ketenagakerjaan yang

negatip, hal inilah yang perlu diubah cara berpikirnya sehingga dengan

mengikutsertakan tenaga kerja dalam program BPJS Ketenagakerjaan bukan

menjadikan beban pengusaha tetapi sebaiknya diubah menjadi kebutuhan

perusahaan karena perusahaan ingin mendapatkan kinerja yang baik dalam

produktifitasnya dengan melingungi hak pekerja sehingga tenaga kerja tidak lagi

kawatir terhadap resiko kerja yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pekerjaan

demi kepentingan perusahaan.

Guna memudahkan mereka yang menjadi peserta Program BPJS

Ketenagakerjaan dalam membayar iuran, maka mereka dihimpun dalam satu wadah

yang sejenis dalam bentuk koperasi, seperti Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM),

sopir taksi/angkot di Kota Pekanbaru dikenal dengan KPUM, wadah nelayan/tani

(HNSI/HKTI), tukang becak, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Dalam jabatan

profesi, seperti wartawan (PWI), dokter (IDI), pengacara, artis, rohaniawan,

seluruhnya perlu mendapat perlindungan jaminan sosial. Wadah atau organisasi

tersebut selanjutnya melakukan Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) sebagai mitra kerja. Wadah, koperasi, atau organisasi

tersebut mempunyai penanggung jawab yang bertugas untuk menghimpun tenaga

kerja, mendaftarkan ke PBPJS Ketenagakerjaan (Persero) setempat, menghimpun

dan menyetor iuran kepada BPJS Ketenagakerjaan (Persero), membantu

mendistribusikan Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan (KPJ) kepada peserta,

47
mengurus hak-hak peserta atas jaminan, memperingati peserta yang menunggak

iuran dan melaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan (Persero). 67

Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan tenaga kerja di luar

hubungan kerja dalam membayar iuran maka Program BPJS Ketenagakerjaan

dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kemampuan dari tenaga kerja

bersangkutan. Adapun iuran Program BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan

berdasarkan nilai nominal tertentu, yaitu sekurang-kurangnya setara dengan upah

minimum Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dengan batas usia peserta

ditetapkan maksimal 55 tahun.

Diharapkan dengan keluarnya ketentuan/pedoman tentang Program BPJS

Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja ini, dapat segera

ditindaklanjuti oleh instansi ketenagakerjaan bekerja sama dengan BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) setempat dengan melakukan sosialisasi dan mendorong

masyarakat untuk menjadi peserta. 68 Hal lain yang perlu diwaspadai adalah

adanya tudingan dari sejumlah kalangan yang salah kaprah, bahwa BPJS

Ketenagakerjaan (Persero) seolah- olah ”memonopoli” jaminan sosial untuk

pekerja/buruh Indonesia. Sebagai konsekuensinya, mereka mengusulkan agar

perusahaan-perusahaan swasta juga diperbolehkan untuk menjalankan program

jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia tersebut. Usulan ini adalah contoh dari

semangat liberalisasi yang salah arah. 69

Jika usulan tersebut dilaksanakan, nasib para pekerja/buruh Indonesia

belum tentu menjadi lebih baik, tetapi justru bisa terancam. Misalnya, perusahaan

67
Adrian Sutedi, Ibid., hal. 208.
68
Ibid.
69
Ibid., hal. 214.

48
swasta itu bisa untung, tetapi juga bisa bangkrut. Jika kondisi buruk itu terjadi, siapa

yang akan menjamin kembalinya uang pekerja/buruh. Tentu, perusahaan swasta

tersebut gagal memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh dan akan cenderung

lepas tangan. Akhirnya, persoalannya lagi-lagi akan dilempar ke Pemerintah atau

DPR dan menimbulkan keresahan di kalangan pekerja/buruh. 70

Sebaliknya, lewat BPJS Ketenagakerjaan (Persero) atau badan yang akan

dibentuk nanti, pemerintah dapat menjamin hak-hak kaum pekerja/buruh tersebut.

Jika yang dipersoalkan adalah pelayanan yang kurang baik atau belum optimal,

pihak BPJS Ketenagakerjaan (Persero) tentunya tidak menutup diri dan berbesar

hati menerima kritik. PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dapat melakukan

pembenahan, serta meningkatkan kinerja dan profesionalisme para petugasnya. 71

d. Hambatan dari Sumber Daya Manusia

Apabila kelemahan dari PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota

Pekanbaru ditinjau dari segi Sumber Daya Manusia-nya maka akan ditemui jumlah

Account Officer dengan jumlah perusahaan maupun cakupan wilayah kerja tidak

sebanding, sehingga menimbulkan adanya area kosong dan atau perusahaan

peserta dan belum peserta yang kurang mendapat pembinaan.

e. Pelayanan Terhadap Kepuasan Peserta Masih Rendah

Secara umum, tingkat kepuasan peserta Program BPJS Ketenagakerjaan

dinilai rendah karena didorong oleh beberapa hal. Pertama, tidak seperti program

jaminan sosial di banyak negara, Program BPJS Ketenagakerjaan tidak

mendistribusikan dana yang diperolehnya dari peserta yang lebih kaya ke peserta

70
Ibid.
71
Ibid.

49
yang lebih miskin. Disamping itu, Program BPJS Ketenagakerjaan juga tidak

mempunyai jaminan minimum atas jumlah pensiun yang akan diperoleh para

peserta pada saat mereka pensiun. Kedua, peserta BPJS Ketenagakerjaan hanya

akan menerima jumlah dana yang telah disetorkan kepada BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) ditambah dengan bunga tetap dan tidak menerima bagian dari hasil

investasi BPJS Ketenagakerjaan (Persero). 72

Hal di atas dikarenakan sistem BPJS Ketenagakerjaan merupakan suatu

sistem tabungan hari tua (provident fund), serta bukan sebuah sistem asuransi sosial

dimana selain merupakan tabungan hari tua, jaminan sosial juga berfungsi sebagai

sistem redistribusi pendapatan dari golongan kaya ke golongan miskin. Di

negara-negara yang mempunyai sistem asuransi sosial, fungsi redistribusi, jaminan

minimum, dan masuknya hasil investasi jaminan sosial sebagai bagian dari paket

pensiun diterima pekerja/buruh sering dipergunakan untuk insentif bagi

pekerja/buruh untuk mengikuti program jaminan sosial. 73

Tanpa adanya fungsi-fungsi tersebut, ketertarikan pekerja/buruh

dan perusahaan untuk mengikuti program jaminan sosial sangat berkurang. Hal ini

dibuktikan dengan temuan yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 50% dari

perusahaan yang dikategorikan wajib mengikuti Program BPJS Ketenagakerjaan

yang menyetor iuran ke BPJS Ketenagakerjaan (Persero). Jumlah ini menunjukkan

bahwa banyak pekerja/buruh dan perusahaan yang merasa bahwa Program BPJS

Ketenagakerjaan tidak membawa manfaat untuk mereka, sehingga mereka tidak

mau mengikuti Program BPJS Ketenagakerjaan. 74

72
Ibid., hal. 209.
73
Ibid.
74
International Labor Organization, Social Security and Coverage for All : Restructing

50
f. Standar Rumah Sakit Sebagai Provider Belum Memenuhi Harapan

Demikian juga halnya dengan pelayanan kesehatan JPK tidak sedikit

pekerja/buruh dan keluarganya yang mengeluh atas pelayanan rumah sakit/klinik

(provider BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota Pekanbaru), belum

memenuhi harapan. Tidak jarang peserta BPJS Ketenagakerjaan harus menanggung

sendiri obat yang dibutuhkan. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang keluar

dari Program BPJS Ketenagakerjaan dan melaksanakan sendiri pelayanan

kesehatan melalui rumah sakit yang lebih baik, kesehatan pekerja/buruh terjamin

dan akan bekerja lebih produktif. 75

g. Pengaruh Birokrasi Tidak Satu Pintu Pada Saat Pengajuan Klaim

Para pekerja/buruh juga sering mengeluhkan besarnya hambatan

birokrasi yang dihadapi apabila mereka mengajukan klaim ke PT. BPJS

Ketenagakerjaan (Persero). 76

Hanya Program Jaminan Kesehatan saja yang dianggap relatif bersih dari

masalah tersebut. Karena faktor-faktor tersebut, sebagian besar pekerja/buruh yang

mengikuti Program BPJS Ketenagakerjaan menganggap pungutan BPJS

Ketenagakerjaan sebagai suatu pajak, bukanlah suatu jaminan sosial untuk


77
mereka. Karena ketidakpercayaan pakerja/buruh ini, terdapat kecenderungan

bagi pekerja/buruh untuk mengambil pensiun dini, seperti yang terjadi pada saat

the Social Security Scheme in Indonesia – Issues and Options, (Jakarta : International Labor
Organization,2003), hal. 63, dikutip Adrian Sutedi, Ibid., hal. 209.
75
Ibid.
76
Selma Widhi Hayati & Munir, “Questioning the Social Security System in Post-
Suharto Indonesia”. (Asian Labor Updates, Issue 35, June-August, 2014), dikutip Adrian Sutedi,
Ibid., hal. 210.
77
Chad Leechor, Reforming Indonesia’s Pension System, Policy Research Working
Paper No. 1677, (Washington DC : The World Bank, Oktober 1996), hal. 36, dikutip Adrian Sutedi,
Ibid

51
krisis ekonomi melanda Indonesia mulai tahun 1997. Dalam hal ini, dana BPJS

Ketenagakerjaan ternyata telah menjadi pengganti (substitutes) bagi dana asuransi

pengangguran, yang sampai saat ini belum ada di Indonesia. Akibat dari

penarikan dana awal ini, jumlah dana yang ada di PT. BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) menjadi berkurang, sehingga kemungkinan dapat mempengaruhi

kemampuan BPJS Ketenagakerjaan (Persero) untuk membayar klaim para

pensiunan di masa depan. 78

Penilaian atas tata kelola Program BPJS Ketenagakerjaan juga

menunjukkan adanya hal-hal yang perlu diperbaiki dalam pengaturan dan

pengelolaan program ini. Misalnya, biaya administrasi BPJS Ketenagakerjaan

(Persero), yaitu sebesar 11,7% dari total pungutan BPJS Ketenagakerjaan (Persero),

jauh lebih tinggi daripada biaya administrasi perusahaan jaminan sosial di ASEAN

lainnya. Sebagai contoh, di Malaysia hanya 2% dan di Singapura hanya 0,5%. Juga

tidak ada laporan keuangan atau laporan kinerja BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

yang disediakan untuk dan dapat diakses oleh para peserta Program BPJS

Ketenagakerjaan dan masyarakat umum. 79 Kurangnya transparansi dapat

menyebabkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan program

ini sendiri. 80

Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat

terhadap BPJS Ketenagakerjaan (Persero) sebagai penyelenggara BPJS

Ketenagakerjaan di Indonesia. Secara objektif akan sangat sulit untuk menjadikan

78
International Labor Organization, Op.cit., hal. 90, dikutip Adrian Sutedi, Ibid.
79
Adrian Sutedi, Loc.cit..
80
Ibid.

52
Program BPJS Ketenagakerjaan sebagai mekanisme utama bagi sistem

perlindungan sosial apabila pengelolaannya masih tetap seperti sekarang.

Pertama, jumlah angkatan kerja Indonesia sangat besar, akan sangat sulit bagi

perusahaan manapun untuk mencapai dan mengelola jumlah nasabah sebesar itu.

Selain itu, kinerja PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dalam mengelola program

jaminan sosial masih belum maksimal. Investasi dalam bentuk deposito

merupakan hal yang umum pada dana pensiun lainnya di Indonesia, baik yang

diadakan oleh pemerintah maupun sektor swasta memerlukan banyak perbaikan.

Oleh karena itu, sistem monopoli dalam pelaksanaan Program BPJS

Ketenagakerjaan seperti yang masih berlaku hingga kini perlu dihapuskan karena

sistem ini justru merupakan faktor penghambat bagi pengembangan sistem BPJS

Ketenagakerjaan dan sistem perlindungan sosial yang ingin dikembangkan. 81

Kedua, sebagian besar tenaga kerja Indonesia bergerak di sektor

informal, yaitu sekitar dua pertiga bagian dari total pekerja/buruh. Walaupun

perkembangan perekonomian semakin lama akan semakin memperkecil peranan

sektor informal, tetapi hal ini hanya akan tercapai dalam jangka waktu yang sangat

panjang. Oleh karena itu, perlu dikembangkan skema-skema baru BPJS

Ketenagakerjaan yang sesuai pekerja/buruh di sektor informal. 82

81
Titik Anas, Op.cit., dikutip Adrian Sutedi, Ibid., hal. 212.
82
Ibid.

53
C. Upaya apakah yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Kota

Pekanbaru

1. Meningkatkan M.o.U dengan Lembaga Lainnya

Memorandum of Understanding (M.o.U) adalah salah satu upaya untuk

meningkatkan kinerja PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota

Pekanbaru. M.o.U dilakukan adalah agar produktivitas perusahaan meningkat.

Bentuk kerja sama ini akan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama. Nota

kesepahaman atau M.o.U tersebut akan dibuat antara PT. BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) Cabang Kota Pekanbaru dengan Serikat Pekerja/Buruh yaitu SPSI, SBSI,

dan Apindo, pada sektor keagamaan juga sudah dilakukan.

Upaya peningkatan pelayanan juga dilakukan pada sektor keagamaan.

Kunjungan-kunjungan juga dilakukan ke beberapa gereja-gereja di Sumatera Utara.

Hal ini ditempuh agar para sintua (penatua) di seluruh Indonesia otomatis akan

dapat mengikuti Program BPJS Ketenagakerjaan. 83

Keputusan BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota Pekanbaru

mendekati lembaga keagamaan sebagai perluasan peserta BPJS Ketenagakerjaan,

karena program HKBP memiliki sinergi yang sama-sama membawa mission sacre

(misi suci) dalam memberikan perlindungan kepada pekerja, sementara pelayan

HKBP seperti pendeta dan sintua (penatua) dan para pekerja di Gereja yang

mengalami sakit, hamil, kecelakaan kerja, meninggal dan lainnya akan ada jaminan

yang diperolehnya. Jaminan Kematian dan uang kubur yang disediakan BPJS

83
Sanco Manullang, “Upaya Peningkatan Pelayanan, Pimpinan HKBP Kunjungi PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan”, Harian Sinar Indonesia Baru, Rabu, 17 Juni 2009.diakses pada
tanggal 15 Oktober 2014.

54
Ketenagakerjaan cukup besar, mencapai Rp. 16,8 juta, akan sangat membantu

keluarga yang ditinggalkan, sementara iuran yang dibayar hanya Rp. 3.000,- per

bulan. Ini menandakan, Program BPJS Ketenagakerjaan sangat bermanfaat dan

selalu bersama-sama, saling membantu, baik hidup maupun mati. Artinya, orang

tidak akan takut meninggal, sebab yang meninggal tidak meninggalkan beban. 84

2. Peningkatan Sosialisasi Program BPJS Ketenagakerjaan

Untuk membenahi ketimpangan yang terjadi di lapangan maka yang perlu

dilakukan BPJS Ketenagakerjaan (Persero) selain memberikan sosialisasi tentang

program- program unggulannya kepada para pengusaha juga harus diikuti

sosialisasi kepada para buruh/pekerja, sehingga keduanya mengerti dan sama-sama

memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban buruh/pekerja. 85

Untuk menjaga kredibilitas dan peningkatan kualitas kerja serta

kepercayaan buruh/pekerja kepada BPJS Ketenagakerjaan (Persero), ada beberapa

terobosan yang bisa dilakukan perusahaan dalam rangka sosialisasi kepada peserta

BPJS Ketenagakerjaan. Pertama, menempatkan petugas di rumah-rumah sakit

(customer service) yang bukan hanya memeriksa kelengkapan berkas untuk diurus

ke kantor, tetapi juga dapat menentukan pesertanya mendapat jaminan rawat inap

atau tidak. Begitu pula ketika pasien akan pulang dari rumah sakit, cukup

mengurus di rumah sakit tersebut. Hal ini akan memudahkan peserta dalam

mengurus jaminan kesehatannya/klaim. 86

Kedua, petugas menyempatkan diri untuk mengunjungi atau menjenguk

buruh/pekerja peserta atau keluarga yang sedang dirawat di rumah sakit, sekaligus

84
Ibid.
85
Ibid.
86
Ibid.

55
memberikan dukungan penuh kepada pasien sehingga cepat pulih dan sembuh dari

penyakit. 87

Ketiga, petugas dalam bentuk tim melakukan jemput bola

mengunjungi perusahaan-perusahaan untuk melihat dan memberikan sosialisasi

langsung kepada pengusaha dan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Bagi peserta,

kunjungan ini dapat meningkatkan kepercayaan, sedangkan bagi yang belum

menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa langsung didaftarkan dan dibuatkan

kartu peserta dengan persetujuan pengusaha tempat buruh bekerja. 88

Peningkatan pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) terhadap para buruh/pekerja peserta lambat laun dapat menghilangkan

image negatif yang selama ini bertumpu pada BPJS Ketenagakerjaan (Persero). 89

Meskipun BPJS Ketenagakerjaan (Persero) sebagai sebuah BUMN yang

tentunya menghentikan laba, namun tetap harus menerapkan Undang-Undang

No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yakni harus

mengutamakan berbagai jaminan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan seperti

JKK, JK, JHT, dan JPK dan lainnya yang diamanatkan oleh undang-undang

tersebut. Hal terpenting lagi, yakni dana iuran peserta tidak akan berkurang bahkan

JHT-nya bertambah besar, bahkan harus lebih besar dari bunga bank. 90

3. Peningkatan Laju Kepesertaan Program BPJS Ketenagakerjaan

Mengejar target kepesertaan program BPJS Ketenagakerjaan ternyata tidak

semudah yang diharapkan BPJS Ketenagakerjaan (Persero), meski secara normatif

87
Ibid.
88
Ibid.
89
Ibid., hal. 216
90
Ibid.

56
(Undang-Undang No.3 tahun 1992) setiap pekerja dijamin haknya untuk

mendapatkan Program BPJS Ketenagakerjaan, kenyataannya baru sekitar 31%

jumlah tenaga kerja yang tercatat sebagai peserta program BPJS Ketenagakerjaan. 91

Untuk ini PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) perlu kerja keras

disamping membenahi diri dengan langkah-langkah yang di tempuh sebagai

berikut 92 :

a. Meningkatkan prasarana dan fasilitas pelayanan program BPJS

Ketenagakerjaan;

b. Meningkatkan kemampuan, keterampilan dan kinerja sumber daya

manusia yang dimiliki;

c. Menyempurnakan mekanisme keikutsertaan Program BPJS

Ketenagakerjaan;

d. Mampu menciptakan pasar (market created) Program BPJS

Ketenagakerjaan, jadi tidak hanya sekedar menunggu iuran saja;

e. Pelayanan yang dilaksanakan bersifat costumer service oriented;

f. Perbaikan atas pelaksanaan Program BPJS Ketenagakerjaan dalam upaya

peningkatan kualitas pelayanan pembayaran santunan (klaim) tenaga

kerja terutama kecelakaan kerja baru dibayarkan setelah selesai

penyelidikan kejadian kecelakaan kerja dan ini membutuhkan waktu.

Diharapkan dengan kecakapan petugas BPJS Ketenagakerjaan (Persero),

maka pelayanan dapat diupayakan satu hari selesai (one day services) 93 .

91
Ibid.
92
Ibid.
93
Wawancara dengan Kepala Cabang Medan PT. Jamsostek (Persero), Medan, 18
Agustus 2010.

57
sehingga tidak ada lagi kesan dari peserta (pengusaha) bahwa prosedur

pembayaran yang dilakukan PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) cukup

merepotkan sementara pembayaran iuran peserta tidak boleh terlambat; dan

g. Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dalam penegakan

(pemberdayaan) peraturan dan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Keberadaan BPJS Ketenagakerjaan (Persero) patut untuk disambut dengan

baik karena tujuannya untuk meringankan beban para pekerja dari bahaya risiko

pekerjaan yang dihadapi terutama kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk

kelangsungan operasionalnya BPJS Ketenagakerjaan (Persero) tentunya tidak

terlepas dalam hal mencari keuntungan dari usaha yang dijalankan disamping

menghimpun dana (rising fund) dari para peserta program BPJS Ketenagakerjaan

untuk kepentingan pembiayaan pembayaran santunan (klaim) tenaga kerja.

Diharapkan dalam menghimpun dana tersebut pihak BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) tidak hanya berdiam diri saja, sebaiknya diupayakan bagaimana agar

jumlah peserta program BPJS Ketenagakerjaan meningkat dan kualitas

pelayanannnyapun ditingkatkan pula.

Suatu hal yang tidak kalah penting bahwa BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

harus mampu menimbulkan etos kerja dan semangat kerja sebagai upaya untuk

menimbulkan kondisi lingkungan kerja yang aman. 94

3. Penerapan Komunikasi Pemasaran Terpadu (Integrated Marketing

Communication-IMC)

PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang Kota Pekanbaru dituntut untuk

94
Loc.cit

58
meningkatkan pemahaman kepada stakeholders dan laju penambahan kepesertaan

Program BPJS Ketenagakerjaan. 95

Menurut Duncan, Penerapan Komunikasi Pemasaran Terpadu

(Integrated Marketing Communication-IMC) adalah proses perencanaan,

pelaksanaan, dan pengendalian pesan suatu merek untuk dapat menciptakan

hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Jadi, IMC merupakan suatu sinergi,

kreativitas, integrasi, dan komunikasi pemasaran secara terpadu dengan cara

memanfaatkan beragam elemen komunikasi yang berbeda-beda agar tercipta

koherensi yang saling mendukung. 96

Kita dapat mengklaim memiliki komunikasi terpadu (integrated) secara

penuh apabila kita sudah mengidentifikasikan satu per satu pesan inti yang

mengarahkan pada satu ide kreatif besar dan dapat pula diimplementasikan pada

segala bidang yang kita tekuni. Atau, kita boleh mengatakan mampu

mempertahankan komunikasi terpadu dari waktu ke waktu apabila dalam

perkembangannya, komunikasi kita dianggap benar sesuai keadaan dan

karakteristik produk yang ada. 97

Sebagai contoh, komunikasi ”Kami Mencoba Lebih Baik” oleh perusahaan

sewa mobil Avis berjalan selama beberapa tahun, dan pertimbangan unsur-

unsurnya selama rentang waktu itu menunjukkan konsistensi pendekatan yang

terkontrol dengan jelas dan berhati-hati. Usaha Avis ternyata cukup berhasil. Setiap

95
Wawancara dengan Kepala Cabang Pekanbaru PT. Jamsostek (Persero)
96
Tom Duncan, Principles of Advertising and Integrated Marketing Communication,
2nd Edition, (New York : McGraw Hill, 2005), dikutip Freddy Rangkuti, Strategi Promosi yang
Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Communication, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2009), hal. 29
97
Ibid.

59
berhadapan dengan audiens sasaran ia selalu mengatakan, ”Karena kami hanya

menjadi nomor dua di dunia maka kami akan terus melakukan upaya ekstra untuk

memenangkan dan menjaga bisnis dengan Anda”. 98

Di pasar konsumen, jeans Levi’s juga telah mampu membangun image

dalam pikiran kita. Komunikasi yang dilakukan jeans Levi’s, baik melalui iklan

pada berbagai media massa (TV, Radio, Surat Kabar, dan Majalah), promosi pada

toserta, maupun melalui teknik-teknik lain selalu menyampaikan pesan inti yang

sama. Model komunikasi tersebut akan mudah dimengerti kapan pun kita melihat

dan mendengarnya. Dan itulah ukuran integrasi yang berhasil. 99

Hampir semua komunikasi pemasaran memiliki tujuan sama, yakni

menyampaikan pesan tertentu kepada audiens sasaran yang sudah diidentifikasi

secara jelas. Dalam IMC, teknik komunikasi yang lengkap dan komprehensif akan

semakin mempercepat sebuah perusahaan dalam mengarahkan berbagai kelompok

audiens khusus. 100

Dalam hal berbicara mengenai PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero) Cabang

Kota Pekanbaru, yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kepesertaan dengan

cara sosialisasi, antara lain101 :

a) Penerbitan buletin BPJS KETENAGAKERJAAN;

b) Release berita di media cetak & elektronik;

c) Coffee Month bersama wartawan;

98
Ibid.
99
Ibid.
100
Ibid.
101
Mas’ud Muhammad, “Peran Komunikasi Pemasaran Terpadu Dalam Meningkatkan
Citra dan Laju Kepesertaan Jamsostek di Wilayah I”, disampaikan pada Executive
Management Development Program (EMDP) LPPM, Jakarta 23 Januari 2009, hal. 13-18.

60
d) Kunjungan/audiensi (Pimpinan Media Cetak & Elektronik, Kepala

Daerah, Instansi Penegak Hukum, Pimpinan Klinik & Rumah Sakit);

e) Pelatihan pelaksana humas se-Kota Kota Pekanbaru;

f) Melaksanakan konferensi pers rutin;

g) Program BPJS KETENAGAKERJAAN masuk kampus;

h) Program BPJS KETENAGAKERJAAN masuk desa;

i) Pembangunan website resmi PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero)

Cabang Kota Pekanbaru;

j) Call Center; dan

k) Lomba menulis.

61
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian dengan judul “Analisis Juridis Terhadap Fungsi dan Peran

Program BPJS Ketenagakerjaan dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Kota

Kota Pekanbaru”, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan

sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan

bahwa :

1. Peran dan fungsi Program BPJS Ketenagakerjaan terhadap perlindungan

tenaga kerja di Kota Pekanbaru masih belum maksimal dilakukan oleh

badan penyelenggara yaitu PT. BPJS Ketenagakerjaan (Persero);

2. Hambatan-hambatan yang dialami dalam pelaksanaan Program BPJS

Ketenagakerjaan yaitu lemahnya sistem pengawasan, peran pengawas

ketenagakerjaan belum optimal, dukungan pemerintah provinsi sumatera

utara dan pemerintah Kabupaten/Kota tidak masksimal sesuai dengan tugas

dan fungsinya, tingkat kesadaran dan kepedulian pengusaha masih rendah.

3. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan

dan mengoptimalkan fungsi dan peran Program BPJS Ketenagakerjaan

antara lain Pengawas Ketenagakerjaan dan aparat penegak hukum agar

memberikan tindakan tegas terhadap pelanggaran program BPJS

Ketenagakerjaan, meningkatkan sosialisai program BPJS Ketenagakerjaan,

Perlunya penerapan komunikasi pemasaran secara berkesinambungan.

62
B. Saran

Setelah menyimpulkan riset ini maka dalam penelitian ini mengusulkan

saran- saran, sebagai berikut :

1. Disarankan kepada pihak BPJS Ketenagakerjaan (Persero) dan

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi supaya perlu adanya dukungan

kepada Kepala Daerah, Walikota/Bupati, dan DPRD untuk membuat

peraturan daerah tentang pengikatan tenaga kerja dalam Program BPJS

Ketenagakerjaan yang dapat dilaksanakan dengan lancar sesuai dengan

Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

2. Perlunya sosialisasi Program BPJS Ketenagakerjaan kepada semua pihak

agar dapat lebih memahami bahwa program tersebut harus disukseskan

secara nasional untuk memberikan perlindungan yang mendasar kepada

tenaga kerja.

3. Agar pelayanan dan perlindungan terhadap tenaga kerja lebih baik

maka sumber daya manusia (SDM) di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan

(Persero) Cabang Kota Pekanbaru Rasio dengan Potensi perusahaan harus

sebanding.

63

Anda mungkin juga menyukai