Anda di halaman 1dari 47

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. G
Usia : 66 tahun
Alamat : Kecamatan Gunung Guruh, Sukabumi
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : menikah

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama :
Terdapat luka pada jari telunjuk tangan kanan sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Pasien datang dengan keluhan terdapat luka pada jari telunjuk tangan kanan sejak
1 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit dan tidak kunjung sembuh.
Awalnya terdapat luka dikarenakan pasien tidak sengaja melukai jarinya dengan
palu ketika sedang melakukan pekerjaan rumah. Pasien tidak langsung
membersihkan lukanya dan hanya diikat dengan kain. Kemudian luka pasien
semakin memburuk setelah 1 bulan dan memutuskan untuk merawat luka ke
puskesmas namun karena kondisi luka yang sudah tidak bisa ada perbaikan
pasien datang ke poli bedah RSUD R syamsudin.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus namun baru mengetahui ketika
sudah dirawat di RS
- Alergi makanan dan obat disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Penyakit jantung, paru, ginjal, hepar, neurologis, kelainan darah disangkal
- Riwayat transfusi disangkal
- Kelainan psikiatri disangkal
Riwayat Kebiasaan :
- Merokok dan konsumsi alkohol disangkal
- Konsumsi obat warung dalam 30 hari terakhir disangkal

Riwayat Pengobatan :
- Tidak mengkonsumsi obat

Riwayat Operasi :
- Tidak ada

Riwayat Anastesi :
- Tidak ada

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)
Berat Badan : 62 kg

Tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Laju nadi : 86 x/menit
- Laju nafas : 21 x/menit
- Suhu : 36.8O C

Kepala : normochepali, deformitas (-)


Wajah : simetris, organ lengkap,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : simetris, deviasi septum (-), sekret (-), nyeri tekan (-)
Telinga : deformitas (-), sekret (-), tanda inflamasi (-)
Leher : trakea ditengah, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Thorax Paru
- Inspeksi : gerak nafas simetris
- Palpasi : gerak nafas teraba simetris, taktil fremitus teraba simetris
- Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Thorax Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II regules, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : abdomen tampak cembung
- Auskultasi : bising usus menurun, 1 x/menit
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (+)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen

Hepar : tidak teraba


Lien : tidak teraba
Punggung : alignment vertebrae baik, nyeri ketok CVA -/-

Ekstremitas
- Atas : akral hangat, edema (-), capillary refill time < 2 detik
- Bawah : akral hangat, edema (-), capillary refill time < 2 detik

Penilaian intubasi
- Penilaian malampati grade II
- Gigi palsu (-),
- ROM mulut dan leher baik
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Laboratorium Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 9.3 g/dL 13-17
Hematokrit 30 % 40-54
Leukosit 8900 /µL 4.000-10.000
Trombosit 461.000 /µL 150.000-450.000
MCV 59 fL 80-100
MCH 18 Pg 26-34
MCHC 31 g/dL 32-36
Eritrosit 5.1 juta/µL 4,4-6,0
Gula Darah Sewaktu 336 mg/dL <140
Gula Darah Sewaktu (06.00) 121 mg/dL <140
Masa Pendarahan/BT 2.00 menit 1-3
Masa pembekuan/CT 8.00 menit 5-15
Ureum 14 mg/dl 15-36
Kreatinin 127 mg/dl 0.52 – 1.04
Natrium 128 mmol/L 137-150
Kalium 3.3 mmol/L 3,5-5,5
Calsium 8.8 mg/dL 8-10,4
Clorida 93 mmol/L 94-108

Foto Thorax AP
- Foto asimetris dan inspirasi cukup
- Trakea di tengah
- Mediastinum tidak melebar
- Cor membesar ke lateral kiri dengan apex tertanam pada diafragma
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo dan hilus dalam batas normal
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tidak tampak bercak lunak maupun infiltrat
- Soft tissue dan skeletal dalam batas normal
Kesan : kardiomegali tanpa bendungan paru, tidak tampak TBC paru aktif

- Besar, bentuk, dan struktur trabekula os carpal, metacarpal dan phalanges dalam
batas normal
- Sela sendi dan permukaan sendi dalam batas normal
- Tidak tampak garis fraktur
- Tidak tampak lesi litik maupun sklerotik
- Tidak tampak osteofit
- Tampak pembengkakan jaringan lunak di daerah digiti II manus sinistra disertai
bayangan lusen didalamnya
Kesan : Pembengkakan jaringan lunak didaerah digiti II manus sinistra => gangren tidak
tampak tanda tanda osteomielitis

1.5. Diagnosis Kerja


Gangren diabetikum digiti II manus sinistra

1.6. Diagnosis Anastesi


ASA Physical Status Class III

1.7. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia
- Quo ad sanationam : dubia

1.8. Tatalaksana Preoperatif


- Pro amputasi digiti II manus sinistra

1.9. Catatan Perioperatif


Preoperasi
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)

Tanda Vital
- Tekanan darah : 163/82 mmHg
- Laju nadi : 92 x/menit
- Laju nafas : 20 x/menit
- Suhu : 37O C
- SpO2 : 98%

Premedikasi
- Ondansetron 4 mg IV
- Ketorolac 30 mg IV

Jenis Anastesi
- Anastesi umum dengan induksi intravena semi closed
- Pengaturan nafas semi-closed
- Tidal volum : 372
- RR : 12
- I:E ratio : 1:2
- Pemeliharaan : O2, N2O, Isoflurane
- Estimasi volum darah : 4030 ml
- Estimasi kehilangan darah maksimal : 806 ml

Keadaan Selama Operasi


- Posisi : supine
- Airway : LMA ukuran 4.0

Monitoring
- EKG lead, tekanan darah non invasif, SpO2, stetoskop

Intra-operasi
Tanda Vital
- Tekanan darah : 114/62 mmHg
- Laju nadi : 79 x/menit
- Laju nafas : 23 x/menit
- Suhu : 36.9O C
- SpO2 : 98%

- Obat Induksi
Fentanyl 50 mcg
Propofol 50 mg

- Obat intra-operasi
Atropin Sulfat 0,25 mg
Neostigmin 0,2 mg
- Cairan masuk
Kristaloid : ± 400 ml

- Cairan keluar
Perdarahan : ± 300 cc

Paskaoperasi
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)

Tanda Vital
- Tekanan darah : 149/84 mmHg
- Laju nadi : 84 x/menit
- Laju nafas : 17 x/menit
- Suhu : 36.9O C Tekanan darah
- SpO2 : 98%
Instruksi paskaoperasi
1. Observasi tanda-tanda vital setiap 5 menit selama 15 menit, bila stabil 15 menit
sekali
2. Oksigenasi 3 lpm via nasal kanule
3. Puasa sampai dengan sadar penuh, mual (-), muntah (-)
4. Bolus ketorolac 3 x 30 mg iv
5. Analgetik drip petidin 100 mg + ketorolak 60 mg dalam tutofusin 24 jam
dengan 25 tpm
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangrene Diabetik


Definisi
Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah yang memberi makan (nekrosis iskemik), yang
disebabkan oleh mikroemboli aterotrombosis akibat adanya penyakit vaskular perifir
oklusi yang menyertai penderita diabetes.
Gangren ini dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan
pembusukan, dan dapat terjadi di setiap bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai
bawah. Ganggren diabetikum merupakan salah satu komplikasi menahun diabetes
mellitus (DM). Komplikasi menahun ini terutama berupa kelainan pembuluh darah yaitu
aterosklerosis yang mengenai pembuluh darah kecil dan kapiler atau mikroangiopati,
maupun pembuluh darah sedang dan besar atau makroangiopati
Ada juga yang mengatakan bahwa gangren diabetikum adalah luka terbuka pada
permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler
insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering
tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob
maupun anaerob.

2.2 Epidemiologi
Di negara maju gangren diabetik memang masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki
diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat
rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.
Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, masalah gangren diabetik masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut gangren diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi,
masing-masing sebesar 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para
penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun
pasca amputasi.
2.3 Faktor Risiko Terjadinya Gangren Diabetik
Ada 3 alasan mengapa orang diabetes lebih tinggi risikonya mengalami masalah
kaki. Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien
tidak menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya.
Luka timbul spontan sering disebabkan karena trauma misalnya kemasukan pasir,
tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal yang sempit dan bahan yang keras.
Mulanya hanya kecil, kemudian meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan
menjadi borok dan menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan
perawatan akan sampai ke tulang yang mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis).
Upaya yang dilakukan untuk mencegah perluasan infeksi terpaksa harus dilakukan
amputasi (pemotongan tulang).
Kedua, sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel
pembuluh darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering
terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari
tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan
amputasi.
Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenarasi dari
serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus
ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena
kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri
anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik
mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi
melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka
sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak.
Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita
diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah putih
‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD)
diatas 200 mg%. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan terkontrol
baik. Infeksi ini harus dianggap serius karena penyebaran kuman akan menambah
persoalan baru pada borok. Kuman pada borok akan berkembang cepat ke seluruh tubuh
melalui aliran darah yang bisa berakibat fatal, ini yang disebut sepsis (kondisi gawat
darurat).
Sejumlah peristiwa yang dapat mengawali kerusakan kaki pada penderita
diabetes sehingga meningkatkan risiko kerusakan jaringan antara lain :
- Luka kecelakaan - Trauma sepatu
- Stress berulang - Trauma panas
- Iatrogenik - Oklusi vaskular
- Kondisi kulit atau kuku
Faktor risiko demografis :
- Usia
Semakin tua semakin berisiko
- Jenis kelamin
Laki-laki dua kali lebih tinggi. Mekanisme perbedaan jenis kelamin tidak jelas –
mungkin dari perilaku, mungkin juga dari psikologis
- Etnik
Beberapa kelompok etnik secara signifikan berisiko lebih besar terhadap
komplikasi kaki. Mekanismenya tidak jelas, bisa dari faktor perilaku, psikologis,
atau berhubungan dengan status sosial ekonomi, atau transportasi menuju klinik
terdekat.
- Situasi sosial
Hidup sendiri dua kali lebih tinggi
Faktor risiko perilaku :
Ketrampilan manajemen diri sendiri sangat berkaitan dengan adanya komplikasi
gangren diabetik. Ini berhubungan dengan perhatian terhadap kerentanan.
Faktor risiko lain :
- Ulserasi terdahulu (inilah faktor risiko paling utama dari ulkus)
- Berat badan
- Merokok

2.4 Patogenesis Gangren diabetik


Diabetes seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang menghambat
sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri yang sering
menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai dan kaki.
Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap timbulnya gangren diabetik dengan
menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain,
sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh.
Kondisi gangren diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab
seperti sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati,
angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan
faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya gangren diabetik.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai
dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga
terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran
pembuluh darah besar dan kecil, yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan
untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya
dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. neuropati juga
dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion, Hammer Toes (ibu jari martil), dan
Charcot Foot.

Gambar 1. Salah satu bentuk deformitas pada gangren diabetik.


Yang sangat penting bagi diabetik adalah memberi perhatian penuh untuk
mencegah kedua kaki agar tidak terkena cedera. Karena adanya konsekuensi neuropati,
observasi setiap hari terhadap kaki merupakan masalah kritis. Jika pasien diabetes
melakukan penilaian preventif perawatan kaki, maka akan mengurangi risiko yang serius
bagi kondisi kakinya.
Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan
pada kaki. Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien diabetik
karena sirkulasi yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat menyebabkan
ulkus, infeksi, dan kondisi serius pada kaki.
Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam
timbulnya gangren diabetik adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri sangat
jarang merupakan faktor tunggal untuk terjadinya gangren diabetik. Infeksi lebih sering
merupakan komplikasi yang menyertai gangren diabetik akibat iskemia atau neuropati.
Secara praktis gangren diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan :gangren diabetik
akibat angiopati/ iskemia dan gangren diabetik akibat neuropati, dan ditambah gangren
diabetik akibat infeksi.

2.4.1 Gangren diabetik akibat angiopati / iskemia


Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada
pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima “hiperplasia membran
basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas
tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi).
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga
fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan
bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar
untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan
diperoleh lagi oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah
yang tidak normal. Menurut kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit, akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah
merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat, dan memudahkan terbentuknya
trombosit pada dinding arteria yang sudah kaku hingga akhirnya terjadi gangguan
sirkulasi.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada
tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan
amputasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah ke tungkai meliputi
klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau kaki depan pada saat istirahat atau di
malam hari, tidak ada denyut popliteal atau denyut tibial superior, kulit menipis atau
berkilat, atrofi jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada tungkai dan kaki bawah,
penebalan kuku, kemerahan pada area yang terkena ketika tungkai diam, atau berjuntai,
dan pucat ketika kaki diangkat.
2.4.2 Gangren diabetik akibat neuropati
Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien
dengan gula darah yang tidak terkontrol.
Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan
mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang
akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan
untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya
dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.
Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek
tendon, hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan
bentuk kaki karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion,
Hammer Toes (ibujari martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya
demineralisasi, osteolisis atau sendi Charcot.

Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada gangren diabetik adalah
bagian dorsal ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh :


- Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma
- Macam, besar dan lamanya trauma
- Peranan jaringan lunak kaki
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik
saraf sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan
sensoris nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan
kaki yang tidak sensitif ini.
Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut saraf
simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan aliran darah,
produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.
Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah akan
menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena.
Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya gangren diabetik neuropati
dapat disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan menyebabkan produksi
keringat berkurang, sehingga menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi
serta menjadi kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan selanjutnya
timbulnya selullitis ulkus ataupun gangren. Selain itu neuropati otonom akan
mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi
dan keelastisitasannya sehingga daya tahan jaringan lunak kaki akan menurun yang
memudahkan terjadinya ulkus.

Gambar 3. Gangren jari kaki.


Distribusi tempat terjadinya gangren diabetik secara anatomik :3
- 50% ulkus pada ibu jari
- 30% pada ujung plantar metatarsal
- 10 – 15% pada dorsum kaki
- 5 – 10% pada pergelangan kaki
- Lebih dari 10% adalah ulkus multipel

2.4.3 Gangren diabetik akibat infeksi


Pada prinsipnya penderita diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi daripada
orang sehat. Keadaan infeksi sering ditemukan sudah dalam kondisi serius karena gejala
klinis yang tidak begitu dirasakan dan diperhatikan penderita.
Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya infeksi yaitu:
a. faktor imunologi
- produksi antibodi menurun
- peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal
- daya fagositosis granulosit menurun
b. faktor metabolik
- hiperglikemia
- benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
- glikogen hepar dan kulit menurun
c. faktor angiopati diabetika
d. faktor neuropati
Beberapa bentuk infeksi gangren diabetik antara lain: infeksi pada ulkus telapak
kaki, selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak
kaki. Pada ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi
kuman Gram positif, negatif dan anaerob.
Pada gangren diabetik yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta
penyebabnya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: (Goldberg dan Neu, 1987)
1. Abses pada deep plantar space
2. Selulitis non supuratif dorsum pedis
3. Ulkus perforasi pada telapak kaki
DIABETES MELLITUS
Penyakit pembuluh Neuropati otonom Neuropati perifer
darah tepi
Aliran Indera Gerak
 Keringat darah raba
Sumbatan Aliran
oksigen, nutrisi,
Resorpsi
antibiotik Kehilangan
tulang Atropi
Kult kering, rasa sakit
pecah Kerusakan
sendi Kehilangan
Luka sulit
sembuh Trauma bantalan
Kerusakan lemak
kaki
Tumpuan berat
yang baru
Sindrom jari biru INFEKSI ULKUS
Gangren
Gangren mayor
AMPUTASI

Gambar 4. Pathogenesis terjadinya ulkus DM

2.5 Klasifikasi Gangren diabetik


Menurut berat ringannya lesi, kelainan gangren diabetik dibagi dalam enam
derajat menurut Wagner, yaitu;
Tabel 1.sistem klasifikasi gangren diabetik, Wagner.
Derajat Lesi
Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai
Derajat I kelainan bentuk kakiUlkus superficial dan terbatas di
Derajat II kulit
Derajat III Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulang
Dearjat IV Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitis
Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau
Derajat V tanpa selulitis
Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah
Gambar 6. Gangren diabetik derajat V

Tabel 2. Sistem klasifikasi kaki diabetic, modifikasi Brodsky


Kedalaman Luka Definisi
0 Kaki berisiko tanpa ulserasi
1 Ulserasi superfisial, tanpa ulserasi
2 Ulserasi yang dalam sampai mengenai tendon
3 Ulserasi yang luas/abses
Luas Daerah Iskemik Definisi
A Tanpa iskemik
B Iskemik tanpa gangrene
C Partial gangrene
D Complete foot gangrene

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan tipe angiopati
dan neuropati berupa kelainan mikroangiopati atau makroangiopati, sifat obstruksi, dan
status vaskuler.
Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga sebagai gangren panas
karena walaupun terjadi nekrosis, daerah akral akan tampak tetap merah dan terasa
hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal.
Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Bila sumbatan
terjadi secara akut, emboli akan memberikan gejala klinis berupa 5P, yaitu Pain,
Paleness, Paresthesia, Pulselessness dan Paralisis dan bila terjadi sumbatan secara
kronis, akan timbul gambaran klinik menurut pola dari Fontaine, yaitu Pada stadium I;
asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan), stadium II; terjadi
klaudikasio intermiten, stadium III; timbul nyeri saat istirahat dan stadium IV; berupa
manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
a. Pemeriksaan Fisik
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena
berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk
mendapatkan deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal
yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma
atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk
menentukan ada/ tidaknya deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.
Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk
dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang
dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit hangat, kalus,
warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar kaput metatarsal I-III,
lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren,
kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti;
tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus perlu dinilai
dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya sinus,
mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber,
lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar
(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).
Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus
dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan
dengan garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan
pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang
memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris
perifer. Hasil tesdikatakan tidak normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan
nilon monofilamen. Bagian yang dilakukan pemeriksaan monofilamen adalahdi sisi
plantar (area metatarsal, tumit dan dan di antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.
Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela
jari dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka
dan kemudian mengalami infeksi.
Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada
penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di
kategorikan sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi
arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini
menggambarkan patensi aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten
mempunyai gangguan arteri femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba
pulsasi pada lipat paha namun tidak didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior. Penderita diabetik lebih sering didapatkan menderita gangguan infra
popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada arteri femoral dan poplitea tapi
tidak didapatkan pulsasi distalnya.
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk
mengetahui adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah,
mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya
insufisiensi arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah
menggunakan manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri
akan dideteksi oleh probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal
tekanan sistolik di tungkai bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan
tekanan darah sistolik lengan atas (brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri
di tungkai bawah maka akan terjadi penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio
tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga
normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah
terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat.
Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki
bagian bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari
1,2 sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI
kurang dari 0,5 dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika
ABI >0,6 dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara
pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete
BloodCount), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.
Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non
invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color
Doppler atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography
(DSA), magnetic resonance angiography (MRA) atau computed tomography
angoigraphy (CTA).
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan,
atau apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan
digital subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk
diagnosis dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu
dilakukan bila intervensi endovascular menjadi pilihan terapi.
Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan
osteolitik.

2.7 Gambaran Klinis Gangren diabetik


Gambaran klinis dibedakan: neuropatik dan iskemik 7
1. Gambaran neuropatik
- gangguan sensorik
- perubahan trofik kulit
- ulkus plantar
- atropati degeneratif (sendi Charcot)
- pulsasi sering teraba
- sepsis (bakteri/jamur)
2. Gambaran iskemia
- nyeri saat istirahat
- ulkus yang nyeri disekitar daerah yang tertekan
- riwayat klaudikasio intermiten
- pulsasi tidak teraba
- sepsis ( bakteri/jamur)
Tabel 3. Perbedaan klinis iskemia dan neuropati pada gangren diabetik
Iskemia Neuropati
Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri
Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati
Inspeksi Tergantung rubor Lenngkung tinggi
Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki
Tak ada perubahan
Palpasi Dingin tropic
Tak teraba nadi Hangat
Ulserasi Nyeri Nadi teraba
Tumit dan jari kaki Tak nyeri
Plantar
Tabel 4. Stadium dari Fontaine
Stadium Gejala dan Tanda Klinis
I Gejala tidak spesifik seperti kesemutan , rasa berat
II Claudicatio intermitten yaitu sakit bila berjalan, hilang bila
IIa istirahat
IIb Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m
III Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m
IV Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)
Ulkus / gangrene

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kelainan gangren diabetik terdiri dari pengobatan umum yaitu
pengendalian diabetes dan pengobatan khusus yaitu penanganan terhadap kelainan kaki.
1. Umum
a. Istirahat
Istirahat tempat tidur mutlak pada setiap penderita kelainan kaki diabetes.
Dengan berjalan akan memberi tekanan pada daerah ulkus dan merusak jaringan
fibroblas; sehingga akan menghalangi penyembuhan. Selain itu setiap tekanan
pada luka menciptakan kondisi iskemia pada daerah yang sakit dan sekitarnya
sehingga penyembuhan menjadi semakin sulit.
b. Pengendalian Diabetes (dengan insulin)
Langkah awal penanganan pasien dengan gangren diabetik adalah dengan
melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena
kebanyakan pasien dengan gangren diabetik juga menderita malnutrisi, penyakit
ginjal kronik, dan infeksi kronis.
Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes, salah satu- nya
adalah terjadinya gangren diabetik. Jika kadar glukosa darah dapat selalu
dikendalikan dengan baik, diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat
dicegah, paling sedikit dihambat.
Dalam mengelola diabetes mellitus langkah yang harus dilakukan adalah
pengelolaan non farmakologis, berupa perencanaan makanan dan kegiatan
jasmani.Baru kemudian kalau dengan langkah-langkah tersebut sasaran
pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai, dilanjut-kan dengan
langkah berikutnya, yaitu dengan penggunaan obat atau pengelolaan
farmakologis.
Perencanaan makanan pada penderita diabetes mellitus masih tetap
merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes mellitus, meskipun
sudah sedemikian majunya riset dibidang pengobatan diabetes dengan
ditemukannya berbagai jenis insulin dan obat oral yang mutakhir. Perencanaan
makanan yang memenuhi standar untuk diabetes umumnya berdasarkan dua hal,
yaitu; a).Tinggi karbohidrat, rendah lemak, tinggi serat, atau b).Tinggi
karbohidrat, tinggi asam lemak tidak jenuh berikatan tunggal.
Sarana pengendalian secara farmakologis pada penderita diabetes
mellitus dapat berupa ;
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
- Golongan Sulfonylurea
- Golongan Biguanid
- Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
- Golongan Insulin Sensitizing
c. Antibiotik
Setiap luka pada kaki membutuhkan antibiotik, walaupun demikian
tidaklah berarti pemberian antibiotik boleh dilakukan secara serampangan.Biakan
kuman mutlak harus dilakukan untuk mendapat jenis antibiotik yang sesuai.Dari
pengalaman, hampir setiap infeksi menghasilkan biakan kuman ganda. Dari salah
satu penelitian di New England Deaconess Hospital selalu ditemukan 3 kelompok
kuman, yaitu: gram positif coccus, gram negatif coccus dan kelompok anaerob.
Tampaknya semakin buruk keadaan infeksi, semakin banyak pula jenis
kuman gram negatif.Bila infeksi yang berat ditemukan adanya jenis gram negatif
Proteus, Enterococcus, dan Pseudomonas, prognosis umumnya buruk.Gas
gangren harus dicurigai sebagai tanda adanya infeksi oleh kuman anaerob.Oleh
karena infeksi pada diabetes cenderung untuk cepat memburuk, pengobatan
antibiotik sebaiknya segera dimulai.Pada infeksi kaki yang memburuk, sebaiknya
pilihan antibiotik (sambil menunggu hasil biakan) ialah pemberian intravena.Dua
kelompok kombinasi yang dianggap baik yaitu kombinasi aminoglikosida,
ampisilin dan klindamisin atau sefalosporin dan kloramfenikol.
2. Khusus (pengendalian kaki)
A. Strategi pencegahan
Fokus utama penanganan gangren diabetik adalah pencegahan terhadap
terjadinya luka.Strategi pencegahan meliputi edukasi kepada pasien, perawatan kulit,
kuku dan kaki dan penggunaan alas kaki yang dapat melindungi.
Pada penderita dengan risiko rendah diperbolehkan mengguna-kan sepatu, hanya
saja sepatu yang digunakan tidak sempit atau sesak.Sepatu atau sandal dengan bantalan
yang lembut dapat mengurangi risiko terjadinya kerusakan jaringan akibat tekanan
langsung yang dapat memberi beban pada telapak kaki.
Pada penderita diabetes mellitus dengan gangguan penglihatan sebaiknya
memilih kaos kaki yang putih karena diharapkan kaos kaki putih dapat memperlihatkan
adanya luka dengan mudah.
Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita diabetes mellitus adalah kuku-
kuku harus dipotong secara transversal untuk mengurangi risiko terjadinya kuku yang
tumbuh kedalam dan menusuk jaringan sekitar.
Edukasi tentang pentingnya perawatan kulit, kuku dan kaki serta penggunaan alas
kaki yang dapat melindungi dapat dilakukan saat penderita datang untuk kontrol.

Pencegahan gangren diabetik, yaitu :


a. Setiap infeksi meskipun kecil merupakan masalah penting sehingga menuntut
perhatian penuh.
b. Kaki harus dibersihkan secara teliti dan dikeringkan dengan handuk kering setiap
kali mandi.
c. Kaki harus diinspeksi setiap hari termasuk telapaknya, dapat dengan
menggunakan cermin.
d. Kaki harus dilindungi dari kedinginan.
e. Kaki harus dilindungi dari kepanasan,batu atau pasir panas dan api.
f. Sepatu harus cukup lebar dan pas.
g. Dianjurkan memakai kaus kaki setiap saat.
h. Kaus kaki harus cocok dan dikenakan secara teliti tanpa lipatan.
i. Alas kaki tanpa pegangan, pita atau tali antara jari.
j. Kuku dipotong secara lurus.
k. Berhenti merokok.
B. Penanganan Ulkus
Ulkus pada kaki neuropati biasanya terjadi pada kalus yang tidak terawat dengan
baik.Kalus ini terbentuk karena rangsangan dari luar pada ujung jari atau penekanan oleh
ujung tulang. Nekrosis terjadi dibawah kalus yang kemudian membentuk rongga berisi
cairan serous dan bila pecah akan terjadi luka yang sering diikuti oleh infeksi sekunder.
Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan, yaitu;
a. Tingkat 0 :
Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan
pelengkap alas kaki yang dianjurkan.Sepatu atau sandal yang dibuat secara
khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat tulang
yang menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan
pengguna-an alas kaki buatan umumnya memerlukan tindakan pemotongan
tulang yang menonjol (exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.
b. Tingkat I :
Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,
perawatan lokal luka dan pengurangan beban.
c. Tingkat II :
Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, perawatan
lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.
d. Tingkat III :
Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren, amputasi
sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik parenteral yang
sesuai dengan kultur.
e. Tingkat IV :
Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau amputasi
seluruh kaki.
Debridemen
Debridemen berarti menggunakan alat untuk mengeluarkan sebanyak mungkin
jaringan nekrotik.Tindakan ini tidak hanya mengeluarkan jaringan tetapi juga membuka
jalur-jalur di sekitar nanah agar drainase menjadi baik.Setelah dibersihkan, luka dapat
dikompres dengan larutan Betadine (pengenceran 4 kali) atau larutan Neomisin
1%.Kedua larutan ini baik sekali untuk luka bernanah.Pada luka yang bernanah sangat
banyak, sebaiknya dilakukan dua kali sehari. Sebaiknya jangan merendam kaki yang
sudah gangren, karena air hangat dapat menambah kebutuhan metabolisme jaringan
sehingga memperburuk iskemia.

Amputasi
Perkataan amputasi selalu menakutkan bagi setiap penderita diabetes, oleh karena
selalu dikaitkan dengan pikiran tidak bisa berjalan lagi.Dengan sendirinya hal ini tidak
selalu benar, amputasi jari kaki saja dengan sendirinya tidak mengganggu kegiatan
jalan.Tindakan amputasi pada diabetes dapat pada jari kaki, transmetatarsal, di bawah
lutut dan di atas lutut.Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan amputasi adalah
tindakan ini harus dilakukan pada daerah di mana sirkulasi masih baik dan bebas infeksi
agar luka dapat sembuh.

C. Identifikasi faktor Risiko


Identifikasi risiko adalah hal yang penting dalam managemen pencegahan secara
efektif pada kaki pasien diabetes. Adapun risiko untuk terjadinya ulcus meliputi
penderita dengan diabetes > 10 tahun, laki – laki, kontrol gula darah yang buruk, adanya
komplikasi kardiovaskuler, retina, dan ginjal. hal-hal yang berhubungan dengan
peningkatan risiko antara lain neuropati perifer dengan hilangnya sensasi protektif,
perubahan biomekanik, kejadian yang meningkatkan tekanan pads kaki, penyakit
vaskuler perifer (penurunan pulsasi arteri pada pedis), riwayat pernah dapat ulkus atau
amputasi, kelainan kuku yang berat.

2.9 Prognosis
Menurut penelitian pada penderita gangren diabetik yang telah dilakukan
amputasi transtibial, dalam kurun waktu 2 tahun terdapat 36% penderita meninggal.
Prognosis penderita gangren diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin
tua usia penderita diabetes mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang
serius pada kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes mellitus, adanya infeksi
yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis.
2.2 Anestesi Pada Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus ditandai oleh gangguan metabolisme karbohidrat yang

disebabkan oleh defisiensi insulin yang absolut atau relatif atau unresponsif insulin,

yang mengarah pada hiperglikemia dan glikosuria. Diagnosis didasarkan pada

glukosa darah puasa yang meningkat glukosa plasma lebih besar dari 126 mg / dL

atau terglikasi hemoglobin (HbA 1c) 6,5% atau lebih besar.

kadang-kadang nilai yang dilaporkan untuk glukosa darah, yang berjalan 12-15%

lebih rendah dari glukosa plasma. Bahkan ketika sedang dicek seluruh darah,

meteran glukosa baru menghitung dan menampilkan glukosa plasma saat ini.

Ada tiga komplikasi akut dan diabetes yang mengancam jiwa

pengobatan — ketoasidosis diabetikum (DKA), koma nonketotik hiperosmolar, dan

hipoglikemia — selain masalah medis akut lainnya (seperti sepsis) pada

dimana kehadiran diabetes membuat perawatan lebih sulit. Menurunnya aktivitas

insulin memungkinkan katabolisme asam lemak bebas ke dalam tubuh keton

(asetoasetatdan β-hydroxybutyrate), beberapa di antaranya adalah asam lemah

Akumulasi asam organik ini menghasilkan DKA, metabolisme anion-gap

asidosis. DKA dapat dengan mudah dibedakan dari asidosis laktat; asidosis laktat

adalah diidentifikasi dengan peningkatan laktat plasma (> 6 mmol / L) dan tidak

adanya urin dan keton plasma. Namun, DKA dan ketosis dapat terjadi

bersamaan dengan asidosis laktat, garis bawahi perlunya pengukuran

laktat. DKA dikaitkan dengan diabetes mellitus tipe 1, tetapi jarang terjadi

dengan DKA dapat muncul secara fenotip untuk memiliki diabetes mellitus tipe 2.

Ketoasidosis alkohol dapat mengikuti konsumsi alkohol berat (pesta minuman keras)

pada pasien nondiabetes dan mungkin termasuk darah normal atau sedikit meningkat
tingkat glukosa. Pasien seperti itu mungkin juga mengalami peningkatan yang tidak

proporsional dalam βhydroxybutyrate dibandingkan dengan acetoacetate, berbeda

dengan mereka yang dengan DKA.

Infeksi adalah penyebab pencetus DKA yang biasanya dikelola dengan baik oleh

pasien diabetes. DKA mungkin merupakan presentasi awal dari orang yang

sebelumnya tidak terdiagnosis dengan diabetes tipe 1. Manifestasi klinis DKA

termasuk takipnea (kompensasi pernapasan untuk asidosis metabolik),

sakit perut, mual dan muntah, dan perubahan sensorium. Perawatan

DKA harus mencakup mengoreksi hipovolemia yang sering substansial

hiperglikemia, dan defisit kalium total tubuh. Ini biasanya dilakukan dengan infus

cairan isotonik terus menerus dengan kalium daninfus insulin.

Tujuan untuk menurunkan glukosa darah pada ketoasidosis adalah 75 hingga 100

mg / dL / jam atau 10% / jam. Terapi umumnya dimulai dengan insulin intravena

infus pada 0,1 unit / kg / jam. Pasien DKA mungkin resisten terhadap insulin, dan

laju infus insulin mungkin perlu ditingkatkan jika konsentrasi glukosa tidak

mengurangi. Saat glukosa bergerak secara intraseluler, begitu pula kalium. Meskipun

ini bisa cepat mengarah ke tingkat kritis hipokalemia jika tidak diperbaiki, terlalu

agresif penggantian kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sama-sama

mengancam jiwa. Kalium dan glukosa darah harus sering dipantau selama perawatan

DKA. Beberapa liter saline 0,9% (1-2 L jam pertama, diikuti oleh 200-500)

mL / jam) mungkin diperlukan untuk memperbaiki dehidrasi pada pasien dewasa.

Ketika plasma glukosa berkurang menjadi 250 mg / dL, infus D5W harus

ditambahkan ke insulin infus untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemia dan

untuk memberikan sumber glukosa terus menerus (dengan insulin yang diinfuskan)

untuk akhirnya normalisasi metabolisme intraseluler. Pasien mungkin mendapat


manfaat dari pemantauan output urin selama pengobatan awal DKA. Bikarbonat

jarang dibutuhkan untuk memperbaiki asidosis berat (pH <7,1) karena asidosis akan

terkoreksi dengan volume ekspansi dan dengan normalisasi konsentrasi glukosa

plasma. Ketoasidosis mungkin bukan gejala koma nonketotik hiperosmolar

karena cukup insulin tersedia untuk mencegah pembentukan tubuh keton. Sebagai

gantinya

diuresis yang diinduksi hiperglikemia menyebabkan dehidrasi dan hiperosmolalitas.

Dehidrasi parah pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan

kecenderungan untuk membentuk trombosis intravaskular.

Hiperosmolalitas (sering melebihi 360 mOsm / L) menginduksi dehidrasi neuron,

menyebabkan perubahan mental status dan kejang. Hiperglikemia berat

menyebabkan hiponatremia: masing-masing Peningkatan 100 mg / dL dalam glukosa

plasma menurunkan konsentrasi natrium plasma 1,6 mEq / L. Pengobatan termasuk

resusitasi cairan dengan salin normal, relatif dosis kecil insulin, dan suplementasi

kalium. Perawatan hipoglikemia pada pasien yang dianestesi atau sakit kritis terdiri

dari pemberian intravena 50% glukosa (setiap mililiter 50% glukosa akan

meningkatkan glukosa darah dari pasien 70 kg sekitar 2 mg / dL). Ketika pasien bisa

bangun pasien dapat diobati secara oral dengan cairan yang mengandung

glukosa atau sukrosa.

Pertimbangan Anestesi

Preoperative

1. Diabetik autonomi neuropati

2. Hiperglikemik kronis

Intraoperative
Tujuan manajemen intraoperative darah glukosa adalah untuk menghindari

hipoglikemia dan maintain gula darah ketika < 180mg/dl

Postoperative

• Pengawasan glukosa darah harus dilanjutkan setelah operasi karena tiap pasien

memiliki persiapan onset dan durasi insulin yang berbeda.

• Contoh onset of action dari subkutaneus regular insulin hanya kurang dari 1 jam,

namun pada pasien yang jarang bisa membutuhkan waktu hingga 6 jam
2.3 Anastesi pada Geriatri
Fisiologi pada Geriatri
Perubahan fisiologis berupa penurunan fungsi organ dialami oleh geriatri dimana
fungsi organ menurun 1% tiap tahunnya setelah melewati usia 40 tahun. Penurunan
fisiologis tersebut bersamaan dengan limitasi atau keterbatasan kemampuan dalam
merespon stres akut seperti pada anestesi maupun pembedahan. Pada geriatri juga
terjadi penurunan kapasitas cadangan yang dapat meningkatkan risiko anestesi dan
pembedahan. Beberapa perubahan fisiologi pada geriatri :

- Kardiovaskular
1. Peningkatan kekakuan dan penurunan elastisitas dari vaskular dan
miokardium akibat dari kehilangan elastin, peningkatan kolagen, dan deposit
dari radikal bebas pada jaringan penyambung.
2. Peningkatan tekanan darah sistolik dan kecepatan gelombang pulsasi.
3. Ventrikel kiri memerlukan impedansi yang tinggi untuk mengalirkan darah
keluar jantung dimana menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri sehingga
menyebabkan kekakuan ventrikel kiri.
4. Terjadi disfungsi diastolik akibat ketidakmampuan relaksasi dari ventrikel
kiri dan menurunnya pengisian diastolik. Penurunan fungsi diastolik pada
geriatri dinilai mencapai 50%. Pengisian diastolik pada geriatri bergantung
pada keadekuatan tekanan arteri dan kontraksi aktif dari arteri. Hal ini
menyebabkan pemberian resusitasi pasien geriatri haruslah berhati-hati
terhadap kelebihan cairan.
5. Terjadi penurunan fungsi parasimpatik, peningkatan fungsi simpatis, dan
peningkatan kadar noradrenalin plasma. Kemampuan reseptor 𝛽-Adrenergik
menurun terhadap penurunan detak jantung dan stimulasi langsung oleh
penurunan relaksasi vaskular. Respon reseptor ∝-Adrenergik tidak berubah
pada geriatri. Penurunan respon baroreseptor dan kekakuan vaskular
membuat tekanan darah arterial cenderung berubah-ubah dan dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini menyebabkan perlunya perhatian
pada anastesia terutama pada saat terjadi kehilangan volume intravaskular,
𝛽-Adrenergik yang kurang merespon menurunkan kemampuan geriatri
untuk mengkompensasi dengan meingkatkan laju nadi.
6. Terjadi fibrosis dan penumpukan lemak pada sel pacu jantung sehingga dapat
terjadi konduktifitas yang tidak normal.

- Respirasi
1. Sebanyak 40% kematian pada geriatri diakibatkan oleh komplikasi paru-
paru. Bersamaan dengan penuaan, terjadi kekakuannya dinding dada dan
penurunan kekuatan otot-otot pernafasan, yang berujung pada peningkatan
usaha bernafas. Bentuk dada berubah menjadi tabung, diafragma mendatar
yang berdampak pada gerakan pernafasan. Hal-hal tersebut dapat
menyebabkan kelelahan diafragma yang dapat menjadi penyulit dalam
memunculkan nafas spontan pada pasien setelah menggunakan ventilator.
2. Terjadi juga peningkatan ukuran dari saluran nafas sentral dan dead space.
Terjadi penurunan ukuran dari saludan nafas kecil yang menyebabkan air-
trapping pada ventilator dengan tekanan positf.
3. Closed capacity juga meningkat pada geriatri hingga melebihi fungtional
residual capacity (FRC) yang menyebabkan tertutupnya saluran nafas kecil
dan meningkatkan shunt fraction sehingga pasien geriatri mudah terjadi
hipoksemia.
4. Perubahan struktural terjadi paru geriatri dimana menyebabkan perubahan
pertukaran gas alveolar oleh peningkatan ventilation-perfusion missmatch,
penurunan kemampuan berdifusi, dan peningkatan dead space. Penurunan
secara bertahap pada resting arterial oxygen tension menyebab kan pasien
geriatri mudah mengalami hipoksemia bahkan dengan sedasi yang minimal.
5. Sistem pernafasan pada geriatri mengalami perubahan dari sistem saraf pusat
dimana menurunnya kemampuan kompensasi dari hipoksemia dan
hiperkapnia sebanyak 50% atau lebih. Hal ini menyebabkan geriatri rentan
mengalami apnea yang diakibatkan oleh narkotik (narcotic-induced apnea).

- Metabolik dan Renal


Perubahan metabolik dan ginjal pada geriatri menyebabkan perubahan pada
farmakkinetik dari obat anestesi dan analgesik. Terjadi penurunan kandungan
cairan pada tubuh, peningkatan jaringan lemak, dan berkurangnya jumlah
protein dan massa otot. Volume plasma dan intrasel menurun sebanyak 20-30%
pada usia 75 tahun sehingga terjadi kenaikan volume distribusi dari obat anestesi.
Hal ini menyebabkan terjadinya pertambahan durasi dan efek dari obat yang
diberikan. Penambahan kadar lemak pada geriatri menyebabkan meningkatnya
deposisi obat dalam darah dan oenundaan eliminasi.
Massa dari kortikal ginjal geriatri menurun sebanyak 20-25% pada usia 80 tahun
dimana hal tersebut memperberat penyakit komorbid seperti hipertensi dan
diabetes militus. Sirkulasi darah ginjal menurun akibat sklerosis dari glomerulus.
Kadar kreatinin dan ureum pada geriatri tidak dapat digunakan untuk melihat
apakah ada kelainan pada ginjal. Penurunan juga terjadi pada tubulus, sistem
renin-angiotensin, hormon anti diuretik dimana dapat menyebabkan terjadinya
gangguan elektrolit.
Sirkulasi ukuran, darah hepar, dan jumlah enzim hepar menurun pada geriatri.
Hal ini menyebabkan penurunan kualitatif maupun kuantitatif pada ikatan
protein sehingga terjadi peningkatan dari fraksi bebas protein dan obat.

- Metabolik Basal
Metabolik basal dan kemampuan vasokonstriksi pada geriatri menurun sehingga
sering ditemui kesulitan untuk mengontrol suhu tibuh selama operasi.
Hipotermia dapat meyebabkan menurunnya metabolisme dari obat, menggigil
yang meningkatkan kebutuhan O2, dan potensi untuk mengalami iskemik
miokard. Penghangatan aktif sangat diperlukan terutama pada pasien geriatri.

- Sistem Saraf Pusat


Penurunan massa otak dan pelebaran sulkus serta ventrikel terjadi pada geriatri.
Pada geriatri juga ditemui penurunan neuroreseptor dan neurotransmiter
terutama pada reseptor asetilkolin dan serotonin pada korteks, reseptor dopamin
di neostriata, dan kadar dopamin pada substansia nigra dan nigrostriata. Hal ini
menyebabkan pada geriatri sering ditemui penyakit neurodegeneratif yang
menyebabkan mild cognitive impairment (MCI). Pasien dengan MCI memiliki
risiko tinggi terhadap komplikasi kognitif paskaoperasi.
Preoperatif
Karena terdapat perubahan-perubahan fisiologi pada geriatri maka diperlukan
managemen preoperatif yang mendalam. Beberapa managemen preoperatif yang
perlu dikaji pada geriatri adalah:
1. Sistem Kardiovaskular
Pengkajian perioperatif pada geriatri berdaarkan American College of
Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) Guideline on
Perioperative Cardiovascular Evaluation and Management of Patients
Undergoing Noncardiac Surgery tahun 2014, menyebutkan bahwa pasien
dengan risiko penyakit jantung koroner, diindikasi dilakukan pemeriksaan
ekg, evaluasi pengguanaan obat antiplatelet serta evaluasi pasien geriatri
dengan keluhan sesak. Tidak ada rentan usia tertentu yang
merekomendasikan pemerikasaan EKG, kecuali bila pasien memiliki riwayat
penyakit jantung, hipertensi atau operasi dengan risiko tinggi. Meskipun
memiliki gambaran EKG normal, namun tidak menutup kemungkinan jika
geriatri memiliki disfungsi jantung. Pemeriksaan lain seperti laboratorium
disesuaikan dengan penyakit komorbid dan seberapa invasif prosedur operasi
yang akan dijalankan.

2. Riwayat Pengobatan
Semua obat yang pernah atau sedang dikonsumsi perlu ditanyakan. Obat
jantung dan antihipertensi umumnya tetap diminum sampai dengan pagi hari
sebelum operasi dilakukan. Untuk golongan Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) inhibitor dan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs),
direkomendasikan untuk dihentikan penggunaannya minimal 12 jam
sebelum operasi. Pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan peningkatan
kejadian hipotensi secara tiba-tiba saat dilakukannya intubasi. Beberapa
golongan obat yang berdampak pada anastesi selama menjalani prosedur
operatif :

3. Rontgen Thorax
Rontgen Thorax bukanlah merupakan indikasi evaluasi preoperatif apabila
tidak ditemui gejala sistem pernapasan dan tidak ditemukan adanya kelainan
pada pemeriksaan fisik. Rontgen Thorax diindikasikan untuk menilai fungsi
jantung-paru, seperti adanya edem pulmo atau pneumonia.

4. Status Gizi dan Nutrisi


Pasien geriatri sering mengalami malnutrisi, sehingga dapat menyebabkan
risiko komplikasi luka operasi, infeksi, kebocoran pada anastomosis, dan
lama rawat di rumah sakit meningkat. Penilaian nutrisi dapat dilakukan
dengan menghitung BMI, serum albumin dan prealbumin.

5. Kelemahan serta Disfungsi


Frailty merupakan salah satu komponen yang perlu dinilai pada geriatri.
Komponen ini berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis dan regulasi
sistem imun. Frailty secara langsung berkaitan dengan mortalitas
postoperatif, morbiditas, dan kejadian delirium.

Obat Anastesi
Farmakokinetik dan farmakodinamik juga mengalami perubahan akibat perubahan
fisiologis pada geriatri, sehingga pemberian obat anestesi menganut sistem “Start
Low, Go Slow”. Berikut beberapa obat yang digunakan pada general anestesi untuk
geriatri.
- Propofol pada pasien geriatri memberikan efek yang
lebih besar terhadap penurunan volume intravaskular
sehingga dapat menyebabkan iskemik cerebri dan cardiac
 inisial dose diturunkan ke dosis yang lebih keci
namun interval pengulangan dosis ditingkatkan  cegah
Anestesi prolonged hipotensi
Intravena - Midazolam menjadi pilihan premedikasi yang tepat untuk
geriatri dalam penanganan anxiolytic dan sedatif karena
durasinya pendek, tidak terdapat metabolit aktif dalam
jumlah yang signifikan, dan tidak berefek pada
kardiovaskular. Dosis midazolam dikurangi 50% dengan
pengulangan dosis ≤ 0,5 mg
- Minimum alveolar consentration (MAC) anestesi inhalasi
diprediksi berkurang 6% setiap dekade setelah usia 20
Anestesi Inhalasi
tahun. Penurunan MAC berkaitan dengan atrofi cerebral
dan perubahan keseimbangan neurotransmiter
- Bertambahnya usia tidak berpengaruh terhadap
sensitivitas muscle relaxant dan neuromuscular junction.
- Usia tua berkaitan dengan fungsi ginjal dan hepar 
Muscle
vecuronium dan rocuronium dieksresikan melalui ginjal
Relaxants
dan dimetabolisme di hati. Sementara atracurium
mengalami eliminasi Hoffman (enzimatik) sehingga tidak
bergantung pada fungsi hepar dan ginjal.
- Sensitivitas otak terhadap opioid meningkat  dosis
opioid dikurangi 50% (fentanyl dan remifentanil)
- Morphine merupakan analgetik postoperatif yang paling
Opioid umum digunakan  pada geriatri volume distribusi
berkurang dan akumulasi metabolit aktif di ginjal
- Meperidine tidak direkomendasikan karena dapat
menyebabkan delirium.
Paskaoperatif
- Nyeri
Tatalaksana nyeri pada geriatri sangatlah penting mengingat terdapatnya reduksi
dari konduktifitas saraf dan reseptor yang membuat geriatri cenderung
merasakan rasa nyeri yang lebih ringan. Nyeri paskaoperasi tidak ditatalaksanai
dengan baik dapat menimbulkan memanjangnya durasi rawat inap,
meningkatkan mordibitas, komplikasi pada paru, dan delirium.
Pasien dengan kemampuan kognitif yang baik, rekomendasi obat untuk
analgesia adalah golongan narkotik intravena. Sedangkan pada pasien dengan
gangguan kognitif lanjut paskaoperasi seperti demensia, diperlukan prinsip multi
modal dalam penatalaksanaan nyeri karena demensia sendiri terjadi bukan hanya
karena rasa nyeri namun juga karena sedasi. Sehingga penggunaan obat-obatan
non opioid mempunyai keunggulan dalam mengatasi pasien geriatri dengan
delirium paskaoperasi. Pemberian golongan Non-Steroid Anti Inflamasi
(NSAID) seperti ibuprofen dan ketorolak harus sangat berhati-hati karen adapat
menyebabkan gagal ginjal dan perdarahan saluran cerna.
3. BAB III
ANALISA KASUS

Kasus Teori
Diagnosa ASA Physical Status Class Pasien dengan penyakit sistemik yang
Anastesi III parah, dengan pembatasan fungsi yang
signifikan. Contohnya adalah diabetes
militus atau hipertensi tidak terkontrol,
PPOK, obesitas, hepatitis aktif,
pacemaker, gagal ginjal stadium akhir
dengan dialisis rutin, riwayat infark
myokard, stroke, transient ischaemic
attack atau penyakit jantung koroner
dalam 3 bulan terakhir.
Tatalaksana - Puasa 6 jam pre-op 6 jam adalah waktu yang diperlukan
Preoperatif untuk pengosongan lambung.

- Siapkan WB 1 labu WB 1 labu disiapkan mengingat kadar


Hb pasien 9,3
Premedikasi - Ondansetron 4 mg Ondansetron merupakan antagonis
- Ketorolac 30 mg 5HT3 reseptor yang memblok
chemoreseptor trigger zone dan aferen
dan berfungsi sebagai mual sebelum
menjalani prosedur operatif.

Ketorolak sebaiknya tidak digunakan


dalam premedikasi karena dosis
maksimal ketorolak pada geriatri
adalah 60 mg/24 jam. Ketorolak
dianjurkan digunakan sebagai
tatalaksana nyeri paska operasi.

muntah paska operasi maupun


kemoterapi.
Jenis - Anastesi umum dengan Pemilihan anastesi umum didasarkan
Anastesi induksi intravena semi pada prosedural amputasi pada
closed ekstremitas atas yaitu pada tangan kiri.

- Obat induksi : - Fentanyl (1-3 mcg/kgBB)


- Fentanyl 50 mcg 1 x 52 = 60 mcg
- Propofol 50 mg
- Atracurium 25 mg - Propofol (1-2,5 mg/kgBB)
1 x 62 = 62 mg

- Pengaturan nafas semi- - Pemberian Atracurium bertujuan


closed untuk kembali merelaksasikannya
- Tidal volum : 372 otot-otot otonom pada tubuh dan
- RR : 12 memfasilitasi intubasi.
- I:E ratio : 1:2 Penggunaan Atracurium diatas
- Pemeliharaan : O2, N2O, Rocuronium didasarkan pada
isoflurane mungkin terdapatnya penurunan
fungsi ginjal pada geriatri karena
- Estimasi volum darah : Rocuronium dimetabolisme di hati
4030 ml dan diekskresikan di ginjal.
- Estimasi kehilangan Atracurium (dosis intubasi 0,2
darah maks : 806 ml mg/kgBB)
0,2 x 62 = 12 mg
- Posisi supine
- LMA dengan ukuran 4.0 - Tidal volum (6 – 8 /kgBB)
6 x 62 = 372 ml

- EBV wanita (65 /kgBB)


65 x 62 = 4030 ml

- ABL (EVD x (Ht – Ht0) / Ht)


4030 ( 30 – 24 ) / 30 = 806 ml
- Posisi yang dipilih adalah supinasi
karena prosedur yang dilakukan
adalah amputasi digiti II manus
sinistra
- LMA yang digunakan 3.0 namun
seharusnya ukuran 5 karena berat
badan > 60kg
Monitoring EKG lead, tekanan darah Operasi besar dengan perkiraan
non invasif, SpO2, stetoskop kehilangan darah yang besar
membutuhkan pemantauan tekanan
darah yang kontinu (kateter arteri) dan
tekanan pengisian jantung (kateter vena
sentral).
Intraoperasi Cairan Penggantian cairan isotonik diperlukan
- Ringer Laktat arena cairan yang hilang selama
(kristaloid) intraoperasi pada umumnya adalah
cairan isotonik. Ringer laktat
Obat tambahan : merupakan cairan kristaloid isotonik
- Fentanyl 25 mcg yang bersifat sedikit hipotonik,
- Atracurium 10 mg mensuplai 100 ml cairan bebas per
- Atropin Sulfat 0,5 mg liternya, memiliki kadar natrium serum
- Neostigmin 0,25 mg yang rendah, dan merupakan cairan
paling fisiologis pada saat dibutuhkan
- Cairan masuk dalam jumlah yang banyak. Selain itu
Kristaloid : ± 400 ml penggunaan Ringer Laktat cenderung
aman dibandingkan dengan pemberian
Normo Saline dimana dapat
- Cairan keluar
menyebabkan asidosis hiperklorinemia
Perdarahan : ± 300 cc
akibat tingginya kadar natrium dan
klorin.

Fentanyl digunakan sebagai analgetik


maintenance pada intraoperasi. Indikasi
dari pemberian Fentanyl sendiri adalah
pada saat pasien mulai mempersepsikan
rasa nyeri yang ditandai peningkatan
tekanan darah dan nadi. Dosis
maintenance Fentanyl 1-2
mcg/kgBB/jam
Atracurium digunakan sebagai
pelumpuh otot maintenance pada
intraoperasi. Indikasi dari pemberian
Atracurium adalah mulai meningkatnya
frekuensi nafas pada pasien dan mulai
meningkatnya volume tidal paru pasien.
Dosis maintenance Atracurium adalah
bolus dosis minimal 10 mg yang dapat
diulang.

Neostigmin bekerja sebagai kompetitor


dari ACh pada reseptor ACh,
digunakan sebegai reversal dari
pelumpuh otot. Neostigmin memiliki
beberapa efek samping
Atropin Sulfat merupakan obat
antikolinergik yang digunakan
bersamaan dengan Neostigmin untuk
menekan efek samping yang
ditimbulkan.3
Paskaoperasi 1. Observasi tanda-tanda Selain tanda vital perlu juga observasi
(Pindah ke vital setiap 5 menit kala nyeri, dan Aldrete’s score per 15
Post Anastesi selama 15 menit, bila menit.
Care Unit) stabil 15 menit sekali
2. Oksigenasi 3 lpm via Analgetik yang disarankan digunakan
nasal kanule. Suction untuk pasien geriatri dengan status
bila diperlukan. kognitif yang baik adalah opioid.
3. Posisi supine.
4. Edukasi pasien untuk Pemberian ketorolak tidak dianjurkan
bernafas secara dalam. pada geriatri mengingat pemberian
5. Mobilisasi bebas analgesia golongan NSAID dapat
6. Puasa hingga sadar menyebabkan gangguan fungsi ginjal
penuh dan tidak ada dan perdarahan saluran cerna.
mual muntah Dosis maksimal ketorolak pada geriatri
60 mg/24jam.
7. Bolus ketorolac 3 x 30
mg
8. Analgetik drip petidin
100 mg + ketorolak 60
mg dalam tutofusin 25
tpm selama 24 jam
9. Cek Lab I, GDS, apabila
HB <8/dl transfusi
4. BAB IV
KESIMPULAN

Pasien Diabetes mellitus mengalami perubahan metabolik sehingga diperlukan


perhatian khusus pada tindakan operative lalu geriatri juga mengalami perubahan
fisiologis pada sistem kardiovaskular, respirasi, metabolik dan renal, metabolik basal,
dan sistem saraf pusat. Proses endokrin dan penuaan berkaitan erat dengan perubahan
fisiologis yang signifikan sehingga meningkatkan kondisi komorbid. Dengan
demikian administrasi dan pemilihan anestesi perlu mempertimbangkan setiap
perubahan dan prosedur operasi yang akan dilakukan. Pemilihan jenis anestesi juga
perlu direncanakan dengan baik agar dapat meminimalisasi komplikasi pre op, in op
dan post-op.
5. DAFTAR PUSTAKA

1. Miller’s Anesthesia: .... 1 - Lars I. Eriksson - Google Buku [Internet]. [cited 2019
Jul 1]. Available from:
https://books.google.co.id/books/about/Miller_s_Anesthesia.html?id=HPpgOjIGYt
AC&redir_esc=y

2. ASA Physical Status Classification System | American Society of Anesthesiologists


(ASA) [Internet]. [cited 2019 Jul 1]. Available from:
https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classification-
system

3. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19/E (Vol.1 & Vol.2) (ebook) - Dennis
L. Kasper, Anthony S. Fauci, Stephen L. Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson,
Joseph Loscalzo - Google Buku [Internet]. [cited 2019 Jul 1]. Available from:
https://books.google.co.id/books/about/Harrison_s_Principles_of_Internal_Medici.h
tml?id=wNKVBgAAQBAJ&redir_esc=y

4. Sjamsochidajat R, Wim DJ. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2005

5. Morgan and mikhail's ; Clinical Anesthesiology page 727-729 ; a lange medical


book

6. journal livrosdeamor.com.br-gangren-diabetik-feradocx.pdf

Anda mungkin juga menyukai