ILUSTRASI KASUS
1.2. Anamnesis
Keluhan Utama :
Terdapat luka pada jari telunjuk tangan kanan sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Pengobatan :
- Tidak mengkonsumsi obat
Riwayat Operasi :
- Tidak ada
Riwayat Anastesi :
- Tidak ada
Tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Laju nadi : 86 x/menit
- Laju nafas : 21 x/menit
- Suhu : 36.8O C
Thorax Paru
- Inspeksi : gerak nafas simetris
- Palpasi : gerak nafas teraba simetris, taktil fremitus teraba simetris
- Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Thorax Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II regules, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : abdomen tampak cembung
- Auskultasi : bising usus menurun, 1 x/menit
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (+)
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
- Atas : akral hangat, edema (-), capillary refill time < 2 detik
- Bawah : akral hangat, edema (-), capillary refill time < 2 detik
Penilaian intubasi
- Penilaian malampati grade II
- Gigi palsu (-),
- ROM mulut dan leher baik
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Laboratorium Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 9.3 g/dL 13-17
Hematokrit 30 % 40-54
Leukosit 8900 /µL 4.000-10.000
Trombosit 461.000 /µL 150.000-450.000
MCV 59 fL 80-100
MCH 18 Pg 26-34
MCHC 31 g/dL 32-36
Eritrosit 5.1 juta/µL 4,4-6,0
Gula Darah Sewaktu 336 mg/dL <140
Gula Darah Sewaktu (06.00) 121 mg/dL <140
Masa Pendarahan/BT 2.00 menit 1-3
Masa pembekuan/CT 8.00 menit 5-15
Ureum 14 mg/dl 15-36
Kreatinin 127 mg/dl 0.52 – 1.04
Natrium 128 mmol/L 137-150
Kalium 3.3 mmol/L 3,5-5,5
Calsium 8.8 mg/dL 8-10,4
Clorida 93 mmol/L 94-108
Foto Thorax AP
- Foto asimetris dan inspirasi cukup
- Trakea di tengah
- Mediastinum tidak melebar
- Cor membesar ke lateral kiri dengan apex tertanam pada diafragma
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo dan hilus dalam batas normal
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tidak tampak bercak lunak maupun infiltrat
- Soft tissue dan skeletal dalam batas normal
Kesan : kardiomegali tanpa bendungan paru, tidak tampak TBC paru aktif
- Besar, bentuk, dan struktur trabekula os carpal, metacarpal dan phalanges dalam
batas normal
- Sela sendi dan permukaan sendi dalam batas normal
- Tidak tampak garis fraktur
- Tidak tampak lesi litik maupun sklerotik
- Tidak tampak osteofit
- Tampak pembengkakan jaringan lunak di daerah digiti II manus sinistra disertai
bayangan lusen didalamnya
Kesan : Pembengkakan jaringan lunak didaerah digiti II manus sinistra => gangren tidak
tampak tanda tanda osteomielitis
1.7. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia
- Quo ad sanationam : dubia
Tanda Vital
- Tekanan darah : 163/82 mmHg
- Laju nadi : 92 x/menit
- Laju nafas : 20 x/menit
- Suhu : 37O C
- SpO2 : 98%
Premedikasi
- Ondansetron 4 mg IV
- Ketorolac 30 mg IV
Jenis Anastesi
- Anastesi umum dengan induksi intravena semi closed
- Pengaturan nafas semi-closed
- Tidal volum : 372
- RR : 12
- I:E ratio : 1:2
- Pemeliharaan : O2, N2O, Isoflurane
- Estimasi volum darah : 4030 ml
- Estimasi kehilangan darah maksimal : 806 ml
Monitoring
- EKG lead, tekanan darah non invasif, SpO2, stetoskop
Intra-operasi
Tanda Vital
- Tekanan darah : 114/62 mmHg
- Laju nadi : 79 x/menit
- Laju nafas : 23 x/menit
- Suhu : 36.9O C
- SpO2 : 98%
- Obat Induksi
Fentanyl 50 mcg
Propofol 50 mg
- Obat intra-operasi
Atropin Sulfat 0,25 mg
Neostigmin 0,2 mg
- Cairan masuk
Kristaloid : ± 400 ml
- Cairan keluar
Perdarahan : ± 300 cc
Paskaoperasi
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)
Tanda Vital
- Tekanan darah : 149/84 mmHg
- Laju nadi : 84 x/menit
- Laju nafas : 17 x/menit
- Suhu : 36.9O C Tekanan darah
- SpO2 : 98%
Instruksi paskaoperasi
1. Observasi tanda-tanda vital setiap 5 menit selama 15 menit, bila stabil 15 menit
sekali
2. Oksigenasi 3 lpm via nasal kanule
3. Puasa sampai dengan sadar penuh, mual (-), muntah (-)
4. Bolus ketorolac 3 x 30 mg iv
5. Analgetik drip petidin 100 mg + ketorolak 60 mg dalam tutofusin 24 jam
dengan 25 tpm
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Di negara maju gangren diabetik memang masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik kaki
diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat
rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.
Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, masalah gangren diabetik masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut gangren diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi,
masing-masing sebesar 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para
penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun
pasca amputasi.
2.3 Faktor Risiko Terjadinya Gangren Diabetik
Ada 3 alasan mengapa orang diabetes lebih tinggi risikonya mengalami masalah
kaki. Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien
tidak menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya.
Luka timbul spontan sering disebabkan karena trauma misalnya kemasukan pasir,
tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal yang sempit dan bahan yang keras.
Mulanya hanya kecil, kemudian meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan
menjadi borok dan menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan
perawatan akan sampai ke tulang yang mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis).
Upaya yang dilakukan untuk mencegah perluasan infeksi terpaksa harus dilakukan
amputasi (pemotongan tulang).
Kedua, sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel
pembuluh darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering
terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari
tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan
amputasi.
Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenarasi dari
serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus
ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena
kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri
anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik
mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi
melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka
sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak.
Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita
diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah putih
‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD)
diatas 200 mg%. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan terkontrol
baik. Infeksi ini harus dianggap serius karena penyebaran kuman akan menambah
persoalan baru pada borok. Kuman pada borok akan berkembang cepat ke seluruh tubuh
melalui aliran darah yang bisa berakibat fatal, ini yang disebut sepsis (kondisi gawat
darurat).
Sejumlah peristiwa yang dapat mengawali kerusakan kaki pada penderita
diabetes sehingga meningkatkan risiko kerusakan jaringan antara lain :
- Luka kecelakaan - Trauma sepatu
- Stress berulang - Trauma panas
- Iatrogenik - Oklusi vaskular
- Kondisi kulit atau kuku
Faktor risiko demografis :
- Usia
Semakin tua semakin berisiko
- Jenis kelamin
Laki-laki dua kali lebih tinggi. Mekanisme perbedaan jenis kelamin tidak jelas –
mungkin dari perilaku, mungkin juga dari psikologis
- Etnik
Beberapa kelompok etnik secara signifikan berisiko lebih besar terhadap
komplikasi kaki. Mekanismenya tidak jelas, bisa dari faktor perilaku, psikologis,
atau berhubungan dengan status sosial ekonomi, atau transportasi menuju klinik
terdekat.
- Situasi sosial
Hidup sendiri dua kali lebih tinggi
Faktor risiko perilaku :
Ketrampilan manajemen diri sendiri sangat berkaitan dengan adanya komplikasi
gangren diabetik. Ini berhubungan dengan perhatian terhadap kerentanan.
Faktor risiko lain :
- Ulserasi terdahulu (inilah faktor risiko paling utama dari ulkus)
- Berat badan
- Merokok
Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada gangren diabetik adalah
bagian dorsal ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan tipe angiopati
dan neuropati berupa kelainan mikroangiopati atau makroangiopati, sifat obstruksi, dan
status vaskuler.
Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga sebagai gangren panas
karena walaupun terjadi nekrosis, daerah akral akan tampak tetap merah dan terasa
hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal.
Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Bila sumbatan
terjadi secara akut, emboli akan memberikan gejala klinis berupa 5P, yaitu Pain,
Paleness, Paresthesia, Pulselessness dan Paralisis dan bila terjadi sumbatan secara
kronis, akan timbul gambaran klinik menurut pola dari Fontaine, yaitu Pada stadium I;
asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan), stadium II; terjadi
klaudikasio intermiten, stadium III; timbul nyeri saat istirahat dan stadium IV; berupa
manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
a. Pemeriksaan Fisik
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena
berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk
mendapatkan deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal
yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma
atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk
menentukan ada/ tidaknya deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.
Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk
dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang
dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit hangat, kalus,
warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar kaput metatarsal I-III,
lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren,
kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti;
tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus perlu dinilai
dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya sinus,
mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber,
lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar
(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).
Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus
dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan
dengan garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan
pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang
memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris
perifer. Hasil tesdikatakan tidak normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan
nilon monofilamen. Bagian yang dilakukan pemeriksaan monofilamen adalahdi sisi
plantar (area metatarsal, tumit dan dan di antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.
Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela
jari dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka
dan kemudian mengalami infeksi.
Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada
penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di
kategorikan sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi
arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini
menggambarkan patensi aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten
mempunyai gangguan arteri femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba
pulsasi pada lipat paha namun tidak didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior. Penderita diabetik lebih sering didapatkan menderita gangguan infra
popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada arteri femoral dan poplitea tapi
tidak didapatkan pulsasi distalnya.
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk
mengetahui adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah,
mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya
insufisiensi arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah
menggunakan manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri
akan dideteksi oleh probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal
tekanan sistolik di tungkai bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan
tekanan darah sistolik lengan atas (brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri
di tungkai bawah maka akan terjadi penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio
tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga
normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah
terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat.
Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki
bagian bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari
1,2 sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI
kurang dari 0,5 dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika
ABI >0,6 dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara
pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete
BloodCount), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.
Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non
invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color
Doppler atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography
(DSA), magnetic resonance angiography (MRA) atau computed tomography
angoigraphy (CTA).
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan,
atau apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan
digital subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk
diagnosis dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu
dilakukan bila intervensi endovascular menjadi pilihan terapi.
Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan
osteolitik.
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kelainan gangren diabetik terdiri dari pengobatan umum yaitu
pengendalian diabetes dan pengobatan khusus yaitu penanganan terhadap kelainan kaki.
1. Umum
a. Istirahat
Istirahat tempat tidur mutlak pada setiap penderita kelainan kaki diabetes.
Dengan berjalan akan memberi tekanan pada daerah ulkus dan merusak jaringan
fibroblas; sehingga akan menghalangi penyembuhan. Selain itu setiap tekanan
pada luka menciptakan kondisi iskemia pada daerah yang sakit dan sekitarnya
sehingga penyembuhan menjadi semakin sulit.
b. Pengendalian Diabetes (dengan insulin)
Langkah awal penanganan pasien dengan gangren diabetik adalah dengan
melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena
kebanyakan pasien dengan gangren diabetik juga menderita malnutrisi, penyakit
ginjal kronik, dan infeksi kronis.
Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik diabetes, salah satu- nya
adalah terjadinya gangren diabetik. Jika kadar glukosa darah dapat selalu
dikendalikan dengan baik, diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat
dicegah, paling sedikit dihambat.
Dalam mengelola diabetes mellitus langkah yang harus dilakukan adalah
pengelolaan non farmakologis, berupa perencanaan makanan dan kegiatan
jasmani.Baru kemudian kalau dengan langkah-langkah tersebut sasaran
pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai, dilanjut-kan dengan
langkah berikutnya, yaitu dengan penggunaan obat atau pengelolaan
farmakologis.
Perencanaan makanan pada penderita diabetes mellitus masih tetap
merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes mellitus, meskipun
sudah sedemikian majunya riset dibidang pengobatan diabetes dengan
ditemukannya berbagai jenis insulin dan obat oral yang mutakhir. Perencanaan
makanan yang memenuhi standar untuk diabetes umumnya berdasarkan dua hal,
yaitu; a).Tinggi karbohidrat, rendah lemak, tinggi serat, atau b).Tinggi
karbohidrat, tinggi asam lemak tidak jenuh berikatan tunggal.
Sarana pengendalian secara farmakologis pada penderita diabetes
mellitus dapat berupa ;
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
- Golongan Sulfonylurea
- Golongan Biguanid
- Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
- Golongan Insulin Sensitizing
c. Antibiotik
Setiap luka pada kaki membutuhkan antibiotik, walaupun demikian
tidaklah berarti pemberian antibiotik boleh dilakukan secara serampangan.Biakan
kuman mutlak harus dilakukan untuk mendapat jenis antibiotik yang sesuai.Dari
pengalaman, hampir setiap infeksi menghasilkan biakan kuman ganda. Dari salah
satu penelitian di New England Deaconess Hospital selalu ditemukan 3 kelompok
kuman, yaitu: gram positif coccus, gram negatif coccus dan kelompok anaerob.
Tampaknya semakin buruk keadaan infeksi, semakin banyak pula jenis
kuman gram negatif.Bila infeksi yang berat ditemukan adanya jenis gram negatif
Proteus, Enterococcus, dan Pseudomonas, prognosis umumnya buruk.Gas
gangren harus dicurigai sebagai tanda adanya infeksi oleh kuman anaerob.Oleh
karena infeksi pada diabetes cenderung untuk cepat memburuk, pengobatan
antibiotik sebaiknya segera dimulai.Pada infeksi kaki yang memburuk, sebaiknya
pilihan antibiotik (sambil menunggu hasil biakan) ialah pemberian intravena.Dua
kelompok kombinasi yang dianggap baik yaitu kombinasi aminoglikosida,
ampisilin dan klindamisin atau sefalosporin dan kloramfenikol.
2. Khusus (pengendalian kaki)
A. Strategi pencegahan
Fokus utama penanganan gangren diabetik adalah pencegahan terhadap
terjadinya luka.Strategi pencegahan meliputi edukasi kepada pasien, perawatan kulit,
kuku dan kaki dan penggunaan alas kaki yang dapat melindungi.
Pada penderita dengan risiko rendah diperbolehkan mengguna-kan sepatu, hanya
saja sepatu yang digunakan tidak sempit atau sesak.Sepatu atau sandal dengan bantalan
yang lembut dapat mengurangi risiko terjadinya kerusakan jaringan akibat tekanan
langsung yang dapat memberi beban pada telapak kaki.
Pada penderita diabetes mellitus dengan gangguan penglihatan sebaiknya
memilih kaos kaki yang putih karena diharapkan kaos kaki putih dapat memperlihatkan
adanya luka dengan mudah.
Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita diabetes mellitus adalah kuku-
kuku harus dipotong secara transversal untuk mengurangi risiko terjadinya kuku yang
tumbuh kedalam dan menusuk jaringan sekitar.
Edukasi tentang pentingnya perawatan kulit, kuku dan kaki serta penggunaan alas
kaki yang dapat melindungi dapat dilakukan saat penderita datang untuk kontrol.
Amputasi
Perkataan amputasi selalu menakutkan bagi setiap penderita diabetes, oleh karena
selalu dikaitkan dengan pikiran tidak bisa berjalan lagi.Dengan sendirinya hal ini tidak
selalu benar, amputasi jari kaki saja dengan sendirinya tidak mengganggu kegiatan
jalan.Tindakan amputasi pada diabetes dapat pada jari kaki, transmetatarsal, di bawah
lutut dan di atas lutut.Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan amputasi adalah
tindakan ini harus dilakukan pada daerah di mana sirkulasi masih baik dan bebas infeksi
agar luka dapat sembuh.
2.9 Prognosis
Menurut penelitian pada penderita gangren diabetik yang telah dilakukan
amputasi transtibial, dalam kurun waktu 2 tahun terdapat 36% penderita meninggal.
Prognosis penderita gangren diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin
tua usia penderita diabetes mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang
serius pada kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes mellitus, adanya infeksi
yang berat, derajat kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis.
2.2 Anestesi Pada Diabetes Mellitus
disebabkan oleh defisiensi insulin yang absolut atau relatif atau unresponsif insulin,
glukosa darah puasa yang meningkat glukosa plasma lebih besar dari 126 mg / dL
kadang-kadang nilai yang dilaporkan untuk glukosa darah, yang berjalan 12-15%
lebih rendah dari glukosa plasma. Bahkan ketika sedang dicek seluruh darah,
meteran glukosa baru menghitung dan menampilkan glukosa plasma saat ini.
asidosis. DKA dapat dengan mudah dibedakan dari asidosis laktat; asidosis laktat
adalah diidentifikasi dengan peningkatan laktat plasma (> 6 mmol / L) dan tidak
adanya urin dan keton plasma. Namun, DKA dan ketosis dapat terjadi
laktat. DKA dikaitkan dengan diabetes mellitus tipe 1, tetapi jarang terjadi
dengan DKA dapat muncul secara fenotip untuk memiliki diabetes mellitus tipe 2.
Ketoasidosis alkohol dapat mengikuti konsumsi alkohol berat (pesta minuman keras)
pada pasien nondiabetes dan mungkin termasuk darah normal atau sedikit meningkat
tingkat glukosa. Pasien seperti itu mungkin juga mengalami peningkatan yang tidak
Infeksi adalah penyebab pencetus DKA yang biasanya dikelola dengan baik oleh
pasien diabetes. DKA mungkin merupakan presentasi awal dari orang yang
hiperglikemia, dan defisit kalium total tubuh. Ini biasanya dilakukan dengan infus
Tujuan untuk menurunkan glukosa darah pada ketoasidosis adalah 75 hingga 100
mg / dL / jam atau 10% / jam. Terapi umumnya dimulai dengan insulin intravena
infus pada 0,1 unit / kg / jam. Pasien DKA mungkin resisten terhadap insulin, dan
laju infus insulin mungkin perlu ditingkatkan jika konsentrasi glukosa tidak
mengurangi. Saat glukosa bergerak secara intraseluler, begitu pula kalium. Meskipun
ini bisa cepat mengarah ke tingkat kritis hipokalemia jika tidak diperbaiki, terlalu
mengancam jiwa. Kalium dan glukosa darah harus sering dipantau selama perawatan
DKA. Beberapa liter saline 0,9% (1-2 L jam pertama, diikuti oleh 200-500)
Ketika plasma glukosa berkurang menjadi 250 mg / dL, infus D5W harus
untuk memberikan sumber glukosa terus menerus (dengan insulin yang diinfuskan)
jarang dibutuhkan untuk memperbaiki asidosis berat (pH <7,1) karena asidosis akan
karena cukup insulin tersedia untuk mencegah pembentukan tubuh keton. Sebagai
gantinya
Dehidrasi parah pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan
resusitasi cairan dengan salin normal, relatif dosis kecil insulin, dan suplementasi
kalium. Perawatan hipoglikemia pada pasien yang dianestesi atau sakit kritis terdiri
dari pemberian intravena 50% glukosa (setiap mililiter 50% glukosa akan
meningkatkan glukosa darah dari pasien 70 kg sekitar 2 mg / dL). Ketika pasien bisa
bangun pasien dapat diobati secara oral dengan cairan yang mengandung
Pertimbangan Anestesi
Preoperative
2. Hiperglikemik kronis
Intraoperative
Tujuan manajemen intraoperative darah glukosa adalah untuk menghindari
Postoperative
• Pengawasan glukosa darah harus dilanjutkan setelah operasi karena tiap pasien
• Contoh onset of action dari subkutaneus regular insulin hanya kurang dari 1 jam,
namun pada pasien yang jarang bisa membutuhkan waktu hingga 6 jam
2.3 Anastesi pada Geriatri
Fisiologi pada Geriatri
Perubahan fisiologis berupa penurunan fungsi organ dialami oleh geriatri dimana
fungsi organ menurun 1% tiap tahunnya setelah melewati usia 40 tahun. Penurunan
fisiologis tersebut bersamaan dengan limitasi atau keterbatasan kemampuan dalam
merespon stres akut seperti pada anestesi maupun pembedahan. Pada geriatri juga
terjadi penurunan kapasitas cadangan yang dapat meningkatkan risiko anestesi dan
pembedahan. Beberapa perubahan fisiologi pada geriatri :
- Kardiovaskular
1. Peningkatan kekakuan dan penurunan elastisitas dari vaskular dan
miokardium akibat dari kehilangan elastin, peningkatan kolagen, dan deposit
dari radikal bebas pada jaringan penyambung.
2. Peningkatan tekanan darah sistolik dan kecepatan gelombang pulsasi.
3. Ventrikel kiri memerlukan impedansi yang tinggi untuk mengalirkan darah
keluar jantung dimana menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri sehingga
menyebabkan kekakuan ventrikel kiri.
4. Terjadi disfungsi diastolik akibat ketidakmampuan relaksasi dari ventrikel
kiri dan menurunnya pengisian diastolik. Penurunan fungsi diastolik pada
geriatri dinilai mencapai 50%. Pengisian diastolik pada geriatri bergantung
pada keadekuatan tekanan arteri dan kontraksi aktif dari arteri. Hal ini
menyebabkan pemberian resusitasi pasien geriatri haruslah berhati-hati
terhadap kelebihan cairan.
5. Terjadi penurunan fungsi parasimpatik, peningkatan fungsi simpatis, dan
peningkatan kadar noradrenalin plasma. Kemampuan reseptor 𝛽-Adrenergik
menurun terhadap penurunan detak jantung dan stimulasi langsung oleh
penurunan relaksasi vaskular. Respon reseptor ∝-Adrenergik tidak berubah
pada geriatri. Penurunan respon baroreseptor dan kekakuan vaskular
membuat tekanan darah arterial cenderung berubah-ubah dan dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini menyebabkan perlunya perhatian
pada anastesia terutama pada saat terjadi kehilangan volume intravaskular,
𝛽-Adrenergik yang kurang merespon menurunkan kemampuan geriatri
untuk mengkompensasi dengan meingkatkan laju nadi.
6. Terjadi fibrosis dan penumpukan lemak pada sel pacu jantung sehingga dapat
terjadi konduktifitas yang tidak normal.
- Respirasi
1. Sebanyak 40% kematian pada geriatri diakibatkan oleh komplikasi paru-
paru. Bersamaan dengan penuaan, terjadi kekakuannya dinding dada dan
penurunan kekuatan otot-otot pernafasan, yang berujung pada peningkatan
usaha bernafas. Bentuk dada berubah menjadi tabung, diafragma mendatar
yang berdampak pada gerakan pernafasan. Hal-hal tersebut dapat
menyebabkan kelelahan diafragma yang dapat menjadi penyulit dalam
memunculkan nafas spontan pada pasien setelah menggunakan ventilator.
2. Terjadi juga peningkatan ukuran dari saluran nafas sentral dan dead space.
Terjadi penurunan ukuran dari saludan nafas kecil yang menyebabkan air-
trapping pada ventilator dengan tekanan positf.
3. Closed capacity juga meningkat pada geriatri hingga melebihi fungtional
residual capacity (FRC) yang menyebabkan tertutupnya saluran nafas kecil
dan meningkatkan shunt fraction sehingga pasien geriatri mudah terjadi
hipoksemia.
4. Perubahan struktural terjadi paru geriatri dimana menyebabkan perubahan
pertukaran gas alveolar oleh peningkatan ventilation-perfusion missmatch,
penurunan kemampuan berdifusi, dan peningkatan dead space. Penurunan
secara bertahap pada resting arterial oxygen tension menyebab kan pasien
geriatri mudah mengalami hipoksemia bahkan dengan sedasi yang minimal.
5. Sistem pernafasan pada geriatri mengalami perubahan dari sistem saraf pusat
dimana menurunnya kemampuan kompensasi dari hipoksemia dan
hiperkapnia sebanyak 50% atau lebih. Hal ini menyebabkan geriatri rentan
mengalami apnea yang diakibatkan oleh narkotik (narcotic-induced apnea).
- Metabolik Basal
Metabolik basal dan kemampuan vasokonstriksi pada geriatri menurun sehingga
sering ditemui kesulitan untuk mengontrol suhu tibuh selama operasi.
Hipotermia dapat meyebabkan menurunnya metabolisme dari obat, menggigil
yang meningkatkan kebutuhan O2, dan potensi untuk mengalami iskemik
miokard. Penghangatan aktif sangat diperlukan terutama pada pasien geriatri.
2. Riwayat Pengobatan
Semua obat yang pernah atau sedang dikonsumsi perlu ditanyakan. Obat
jantung dan antihipertensi umumnya tetap diminum sampai dengan pagi hari
sebelum operasi dilakukan. Untuk golongan Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) inhibitor dan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs),
direkomendasikan untuk dihentikan penggunaannya minimal 12 jam
sebelum operasi. Pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan peningkatan
kejadian hipotensi secara tiba-tiba saat dilakukannya intubasi. Beberapa
golongan obat yang berdampak pada anastesi selama menjalani prosedur
operatif :
3. Rontgen Thorax
Rontgen Thorax bukanlah merupakan indikasi evaluasi preoperatif apabila
tidak ditemui gejala sistem pernapasan dan tidak ditemukan adanya kelainan
pada pemeriksaan fisik. Rontgen Thorax diindikasikan untuk menilai fungsi
jantung-paru, seperti adanya edem pulmo atau pneumonia.
Obat Anastesi
Farmakokinetik dan farmakodinamik juga mengalami perubahan akibat perubahan
fisiologis pada geriatri, sehingga pemberian obat anestesi menganut sistem “Start
Low, Go Slow”. Berikut beberapa obat yang digunakan pada general anestesi untuk
geriatri.
- Propofol pada pasien geriatri memberikan efek yang
lebih besar terhadap penurunan volume intravaskular
sehingga dapat menyebabkan iskemik cerebri dan cardiac
inisial dose diturunkan ke dosis yang lebih keci
namun interval pengulangan dosis ditingkatkan cegah
Anestesi prolonged hipotensi
Intravena - Midazolam menjadi pilihan premedikasi yang tepat untuk
geriatri dalam penanganan anxiolytic dan sedatif karena
durasinya pendek, tidak terdapat metabolit aktif dalam
jumlah yang signifikan, dan tidak berefek pada
kardiovaskular. Dosis midazolam dikurangi 50% dengan
pengulangan dosis ≤ 0,5 mg
- Minimum alveolar consentration (MAC) anestesi inhalasi
diprediksi berkurang 6% setiap dekade setelah usia 20
Anestesi Inhalasi
tahun. Penurunan MAC berkaitan dengan atrofi cerebral
dan perubahan keseimbangan neurotransmiter
- Bertambahnya usia tidak berpengaruh terhadap
sensitivitas muscle relaxant dan neuromuscular junction.
- Usia tua berkaitan dengan fungsi ginjal dan hepar
Muscle
vecuronium dan rocuronium dieksresikan melalui ginjal
Relaxants
dan dimetabolisme di hati. Sementara atracurium
mengalami eliminasi Hoffman (enzimatik) sehingga tidak
bergantung pada fungsi hepar dan ginjal.
- Sensitivitas otak terhadap opioid meningkat dosis
opioid dikurangi 50% (fentanyl dan remifentanil)
- Morphine merupakan analgetik postoperatif yang paling
Opioid umum digunakan pada geriatri volume distribusi
berkurang dan akumulasi metabolit aktif di ginjal
- Meperidine tidak direkomendasikan karena dapat
menyebabkan delirium.
Paskaoperatif
- Nyeri
Tatalaksana nyeri pada geriatri sangatlah penting mengingat terdapatnya reduksi
dari konduktifitas saraf dan reseptor yang membuat geriatri cenderung
merasakan rasa nyeri yang lebih ringan. Nyeri paskaoperasi tidak ditatalaksanai
dengan baik dapat menimbulkan memanjangnya durasi rawat inap,
meningkatkan mordibitas, komplikasi pada paru, dan delirium.
Pasien dengan kemampuan kognitif yang baik, rekomendasi obat untuk
analgesia adalah golongan narkotik intravena. Sedangkan pada pasien dengan
gangguan kognitif lanjut paskaoperasi seperti demensia, diperlukan prinsip multi
modal dalam penatalaksanaan nyeri karena demensia sendiri terjadi bukan hanya
karena rasa nyeri namun juga karena sedasi. Sehingga penggunaan obat-obatan
non opioid mempunyai keunggulan dalam mengatasi pasien geriatri dengan
delirium paskaoperasi. Pemberian golongan Non-Steroid Anti Inflamasi
(NSAID) seperti ibuprofen dan ketorolak harus sangat berhati-hati karen adapat
menyebabkan gagal ginjal dan perdarahan saluran cerna.
3. BAB III
ANALISA KASUS
Kasus Teori
Diagnosa ASA Physical Status Class Pasien dengan penyakit sistemik yang
Anastesi III parah, dengan pembatasan fungsi yang
signifikan. Contohnya adalah diabetes
militus atau hipertensi tidak terkontrol,
PPOK, obesitas, hepatitis aktif,
pacemaker, gagal ginjal stadium akhir
dengan dialisis rutin, riwayat infark
myokard, stroke, transient ischaemic
attack atau penyakit jantung koroner
dalam 3 bulan terakhir.
Tatalaksana - Puasa 6 jam pre-op 6 jam adalah waktu yang diperlukan
Preoperatif untuk pengosongan lambung.
1. Miller’s Anesthesia: .... 1 - Lars I. Eriksson - Google Buku [Internet]. [cited 2019
Jul 1]. Available from:
https://books.google.co.id/books/about/Miller_s_Anesthesia.html?id=HPpgOjIGYt
AC&redir_esc=y
3. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19/E (Vol.1 & Vol.2) (ebook) - Dennis
L. Kasper, Anthony S. Fauci, Stephen L. Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson,
Joseph Loscalzo - Google Buku [Internet]. [cited 2019 Jul 1]. Available from:
https://books.google.co.id/books/about/Harrison_s_Principles_of_Internal_Medici.h
tml?id=wNKVBgAAQBAJ&redir_esc=y
4. Sjamsochidajat R, Wim DJ. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2005
6. journal livrosdeamor.com.br-gangren-diabetik-feradocx.pdf