TONSILITIS
Pembimbing :
e. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A.
3
tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya
A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A.
faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal
f. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada
g. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus
h. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
4
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
i. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia
3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
Histologi tonsil
Vaskularisasi Tonsil
5
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
6
B. Fisiologi
C. Tonsilitis
1. Definisi Tonsilitis3
Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.
Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil fausial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring / Gerlach’s tonsil)
Penyebaran infeksi melalui udara (airbone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama anak-anak.
Besar Tonsil
7
T0 : tonsil telah diangkat
T1 : tonsil di dalam fossa tonsilaris
T2 : besar tonsil ½ jarak arkus anterior dan uvula
T3 : besar tonsil ¾ jarak arkus anterior dan uvula
T4 : besar tonsil mencapai uvula atau lebih
2. Epidemiologi Tonsilitis3
Tonsilitis akut dapat terjadi pada seluruh usia, sering dialami oleh
anak dengan insiden tertinggi pada usia 5-6 tahun. Sejauh ini belum ada
penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun lingkungan
yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis.
Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik
dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak
8
terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi
penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad, 2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan di
Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort, 2004).
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia
5-14 tahun (Kisve, 2009)5.
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia
diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada
pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203
penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria
dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita (Awan, 2009)5.
c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan
penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit
Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%,
dan Chinese 14%5
3. Patofisiologi Tonsilitis Akut3
Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui
kripte – kriptenya, secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung
bakteri terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun
secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan.
9
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme
berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada
tonsil. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap
infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang
menyebabkan tonsillitis
4. Patofisiologi Tonsilitis Kronik3
Karena prosess radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhaqn
jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara krinis kritik ini tampak diisi oleh
deadtritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tomsil dan
akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
subamandibula1
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak
pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris.
10
streptokokus viridian, dan kadang bakteri berubah menjadi bakteri
streptokokus piogenes. golongan gram negatif
Tonsil hiperemis & edema Tonsil membesar / mengecil tidak edema
Kripte tidak melebar Kripte melebar
Detritus + / - Detritus +
6. Tonsilitis Akut3,4
a. Tonsilitis Viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah
virus Epstein Barr. Terapinya istirahat, minum cukup, analgetika, dan
antivirus diberikan jika gejala berat.
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A
Streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pnemokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.
Infiltrat bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri
yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu dan
membentuk alur-alur maka terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus
ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil.
11
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri
di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui
nervus glosofaringius (N. IX). Pada pemeriksaan, tampak tonsil yang
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakuna, atau tertutup oleh membran semu (pseudomembran).
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi Antibiotik spektrum lebar penisilin, antipiretik,
analgesik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi pada anak-anak, tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi menjadi otitis media akut. Komplikasi yang lainnya
adalah abses peritonsil, abses parafaring, sepsis, bronkitis, nefritis
akut, miokarditis, dan artritis
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas
melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena
terjadinya sleep apnue yang dikenal dengan Obstructive Sleep Apnea
Syndrom (OSAS).
c. Tonsilitis Membranosa3,4
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis
membranosa adalah, antara lain:
1) Tonsilitis difteri
a) Penyebab
Frekuensi penyakit ini sudah menurun karena
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab
tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk gram positif dan dapat mengenai
saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti
toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar
0,03 per cc darah dapat dianggap cukup memberikan
12
dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun walaupun pada usia dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
b) Gejala dan tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal, yang tampak adalah berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran
semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa
leher akan membengkak sehingga menyerupai leher sapi
(bull neck).
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman
difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh
yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensation cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan, dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
c) Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil
dari pseudomembran tonsil yang dimana akan ditemukan
kuman difteri ini.
13
d) Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur dengan dosis tergantung dari umur
dan beratnya penyakit, antibiotik spektrum luas,
kortikosteroid, antipiretik digunakan jika perlu untuk
menurunkan demam nya. Karena penyakit ini menular,
pasien harus diisolasi. Perawatan non farmalokologi
adalah istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
e) Komplikasi
Penyakit ini dapat berlangsung cepat, pseudomembran
akan menjalar ke laring dan menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda usia pasien terkena penyakit ini
maka akan makin cepat timbul komplikasi.
2) Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus haemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Di
Indonesia, susu sapi dimasak dengan cara pasteurisasi terlebih
dahulu sebelum diminum sehingga penyakit ini jarang
ditemukan.
3) Stomatitis ulseromembranosa (Angina Plaut Vincent)
a) Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah kurangnya higienis
mulut, defisiensi vitamin C, serta kuman sprilium dan basil
fusiform.
b) Gejala
Demam sampai 39°C, nyeri kepala, badan lemah, dan
kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan, rasa nyeri di
mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
c) Pemeriksaan
14
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran
putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alveolaris, foetor ex ore (mulut berbau) dan
kelenjar submandibula membesar.
d) Terapi
Memperbaiki higienis mulut, antibiotik spektrum luas,
vitamin C dan vitamin B kompleks.
7. Tonsilitis Kronik3,4
a. Penyebab
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negative
b. Faktor predisposisi
Timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
c. Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik, kripti ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris.
d. Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar, dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa
ada yang mengganjal di tenggorok, tenggorok dirasakan kering dan
napas berbau.
e. Terapi
15
Terapi lokal ditujukan kepada higiene mulut dengan berkumur atau
obat hisap
f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronis, sinusitis, atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, nefritis, dan yang
lainnya. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma
8. Indikasi Tonsilektomi6,7
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut).
Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan
perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.
a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b. Indikasi Relatif
16
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
9. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
17
Tabel. 1 Indikasi Tonsilektomi dari berbagai sumber
No Sumber Indikasi
18
Keparahan episode sore throat sampai
mengganggu pasien dalam menjalani fungsi
kehidupan normal
19
sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3
tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian Infeksi saluran nafas atas atau
bawah
Penyakit sistemik
21
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan
disamping teknik diseksi standar, yaitu:
1) Electrosurgery (bedah listrik)20
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,
karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin
berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan
peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin
meluas
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar
blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan
mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W
untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi
2) Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk
membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.
Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan
total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat
terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar
seperti larutan salin.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the
Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare
coblation system dan Argon plasma coagulators
3) Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau
laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya
1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
22
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C).
Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece
dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
4) Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium
yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan
jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar
(suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C).
5) Intracapsular Partial Tonsilektomi
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun
mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya
6) Laser (CO2-KTP)28
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan
tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan
recesses pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
11. Penyulit
24
DAFTAR PUSTAKA
5. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky
M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in
moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
6. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
7. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
8. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic
Journal of Medicine 2003:70;698-701
9. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with
bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch
otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12
10. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook
MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal
intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-
8 [Abstract]
25