Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa


hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat.1 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Berdasarkan waktu
berlangsung gejalanya, Rhinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan kronik.
Rhinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus
paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut.1

Rhinosinusitis kronis umum terjadi pada usia dewasa hingga lanjut usia,
terutama pada usia antara 30 – 69 tahun. Prevalensinya meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Distribusi penyakit berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa rhinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh perempuan. Penyebab
utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.2 Berdasarkan data dari European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), prevalensi
rhinosinusitis kronis yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis. Terdapat
kaitan yang erat antara asma dengan rhinosinusitis kronis pada semua umur.2

Rhinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16% dari populasi penduduk


Amerika Serikat (Daudia, 2008). Survei dari beberapa daerah di Canada
melaporkan prevalensi rhinosinusitis kronis mengenai rata-rata 5% dari populasi
umum. Penelitian tersebut menyebutkan prevalensi rhinosinusitis kronis pada
wanita lebih besar dari pria dan provinsi bagian timur mempunyai prevalensi
tertinggi di Canada. Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia, dengan rata-
rata 2,7% pada kelompok usia 20-29 tahun dan 6,6% pada kelompok usia 50-59
tahun. Setelah usia 60 tahun, prevalensi rhinosinusitis kronis menurun menjadi 4,7

1
2

%. Sama halnya dengan Amerika Serikat, rhinosinusitis menyebabkan morbiditas


dan mengurangi produktivitas di tempat kerja.3

Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup


epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rhinosinusitis kronik mulai
berkembang pada dekade ini.2 Pada tahun 2005 European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) pertama kali dipublikasikan,
dipelopori oleh European Academy of Allergology and Clinical Immunology
(EAACI) dan diterima oleh European Rhinology Society.2 Pada tahun 2007 dan
kemudian pada tahun 2012, EPOS mengalami revisi seiring dengan
meningkatnya perkembangan baru pada patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rhinosinusitis dan polip nasi.2
Diagnosis rhinosinusitis kronik bagi dokter umum dapat ditegakkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta jika diperlukan dapat juga
ditambahkan dengan pemeriksaan penunjang. Mengingat keseragaman definisi
yang belum tercapai dikarenakan luasnya cakupan ilmu terkait dengan
rhinosinusitis kronik dan besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama
bagi kelompok penduduk dewasa usia produktif serta dapat mengakibatkan
gangguan kualitas hidup, sehingga dengan pembuatan kasus besar ini diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai rhinosinusitis kronik baik dengan atau
tanpa polip nasi. Hal ini dikarenakan penting bagi dokter umum atau dokter
spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala
dan metode untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.

Berikut dilaporkan sebuah kasus pada seorang laki-laki berusia 35


tahun yang datang ke poli klinik THT Rumah Sakit Nasional Diponegoro
Semarang pada tanggal 5 April 2018.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. F
Umur : 35 tahun
Tempat, tanggal lahir : Semarang, 21 Juli 1982
Jenis Kelamin : Laki - laki
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Gunung Pati Semarang
Pekerjaan : Swasta
No. CM : 027176

Masalah Aktif Masalah Pasif

1. Nyeri dan bengkak pada pipi kiri  1. Riwayat gigi molar I kiri atas
2. Hidung tersumbat (+/-) berlubang (+)  sudah
3. Rhinorea (mucous kuning ) (+/+) dicabut tanggal 28 Maret
4. Gangguan penciuman (+) 2018
5. Lendir mengalir di tenggorokan (+) 2. Riwayat trauma wajah ± 10
6. Nyeri kepala (+) tahun yang lalu
7. Terasa penuh di wajah (-/+)
8. Demam (+)
9. Nyeri VAS 3
10. Nyeri tekan sinus maksilaris (-/+)
11. Nyeri ketok sinus maksilaris (-/+)
12. Rhinoskopi anterior : chonca edema (+/-),
hipertrofi (+/-), discharge (+/+) mucous kuning,
hiperemis (+/-), deviasi septum (+) ke kanan
13. Orofaring: Post nasal drip (+)
14. Endoskopi : deviasi septum ke kanan, post
nasal drip (+), Kompleks osteomeatal kanan dan
kiri tertutup
4

15. CT-scan: sinusitis maksilaris kiri, etmoid


kiri, dan frontal dupleks. Ostium sinus maksilaris
kiri tampak obliterasi. Deviasi septum nasi.
16. Rhinosinusitis kronik ringan
17. Septum deviasi

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 5 April 2018 pukul 12.00 WIB di Poliklinik THT
RSDK Semarang

Keluhan Utama:
Nyeri wajah

Perjalanan Penyakit Sekarang:


Pasien datang dengan keluhan nyeri wajah terutama pipi dan hidung sebelah
kiri sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin hari semakin memberat
dan menetap, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien juga mengeluh pilek
+/+ berwarna kuning, kental, dan tidak berbau. Terdapat lendir mengalir di
tenggorokan, nyeri kepala (+), rasa penuh di wajah -/+, hidung tersumbat +/-,
demam (+), mata gatal (-/-), gangguan penglihatan (-/-), gangguan penciuman (+),
riwayat gigi molar I kiri atas berlubang (+) namun saat ini telah dicabut, trauma
wajah (+) ditonjok temanya ± 10 tahun yang lalu keluar darah dari hidung.
Pasien biasa berobat ke dokter keluarga, diberi obat (pasien lupa obatnya),
membaik namun kambuh kembali. Pasien mengeluh gejala berulang dan pasien
dirujuk ke RSND.

Riwayat Penyakit Dahulu:


– Riwayat mengalami sakit gigi sebelah kiri atas ( molar I ) sampai bengkak
pipi sisi kiri
– Riwayat trauma (+) ± 10 tahun yang lalu keluar darah dari hidung.
– Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal
– Riwayat alergi disangkal
5

– Riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


– Riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal
– Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
– Riwayat asma dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien bekerja sebagai swasta. Pendidikan terakhir pasien adalah Sarjana. Memiliki
2 orang anak yan masih tinggal satu rumah.
Pembiayaan dengan umum. Kesan : Sosial ekonomi cukup.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 5 April 2018 pukul 12.00 WIB di
Poliklinik THT RSDK Semarang
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg Suhu : 36,5 C
Nadi : 88 x/menit RR : 20 x/menit
Nyeri : VAS 3
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan Cukup
Kulit : Turgor kulit cukup
Konjungtiva : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Jantung : ictus cordis tak tampak, ictus cordis teraba di SIC V 2 cm
medial linea mid clavicularis sinistra.
Paru : simetris saat statis dan dinamis, stem fremitus kanan =
kiri, sonor seluruh lapang paru.
Hati : tidak teraba
6

Limpa : tidak teraba


Limfe : tidak ada pembesaran nnll
Anggota Gerak : superior inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
CRT -/- -/-

Status Lokalis:

Telinga:

Reflek cahaya (+/+)

Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri


Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), edema (-), nyeri ketok (-), edema (-),
fistel (-), abses (-) fistel (-), abses (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre-aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro-aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
7

Warna putih cemerlang, Warna putih cemerlang,


Membran
perforasi (-), reflek cahaya perforasi (-), reflek cahaya
timpani
(+) arah jam 5, granulasi (-) (+) arah jam 7, granulasi (-)

Hidung dan Sinus Paranasal:

Septum deviasi ke kanan


Konka dextra: hipertrofi konka (+)
Pemeriksaan luar
Inspeksi : simetris, deformitas (-),warna kulit sama
Hidung dengan sekitar
Palpasi : Os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus maksilaris
Nyeri tekan (-/+) pada daerah sinus maksilaris
Nyeri ketok (-/+) pada daerah sinus maksilaris
Sinus frontalis
Sinus Nyeri tekan (-/-) pada daerah sinus frontalis
Nyeri ketok (-/-) pada daerah sinus frontalis
Sinus ethmoidalis
Nyeri tekan (-/-) pada daerah sinus ethmoidalis
Nyeri ketok (-/-) pada daerah sinus ethmoidalis
Rinoskopi Anterior
Sekret (+) mucous kuning (+) mucous kuning
Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konka edema (+) hipertrofi (+) edema (-) hipertrofi (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum Deviasi septum (+) ke kanan

Tenggorok:
8

Orofaring
Dinding Faring
Granulasi (-), post nasal drip (+)
Posterior
Palatum Bombans (-), hiperemis (-), fistula (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah
Mukosa Hiperemis (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis(-),
permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
Tonsil
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Abses (-)
Nasofaring (rinoskopi posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

Kepala dan Leher:


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran KGB (-)
Leher lateral : Pembesaran KGB (-)

Gigi dan Mulut:


Gigi-geligi : bekas cabutan molar I (kiri atas), karies gigi (-), gigi
lubang (-), gigi goyang (-)
Lidah : simetris, tidak ada deviasi
Palatum : bombans (-)
Pipi : mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS
Pemeriksaan Radiologi :
CT-Scan :
9

Kesan:
Sinusitis maksilaris kiri, ethmoid
kiri dan frontal dupleks
Ostium sinus maksilaris kiri
tampak obliterasi
Deviasi septum nasi

Pemeriksaan endoskopi :

KIRI

KANAN
Kesan:
Deviasi septum ke kanan
Kompleks osteomeatal kanan dan kiri tertutup
Post nasal drip (+)
10

RINGKASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri wajah terutama pipi dan hidung sebelah
kiri sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin hari semakin memberat
dan menetap, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien juga mengeluh pilek
(+/+) berwarna kuning, kental, dan tidak berbau. Terdapat lendir mengalir di
tenggorokan (+), nyeri kepala (+), rasa penuh di wajah (-/+), hidung tersumbat (+/-
), demam (+), gangguan penciuman (+), riwayat gigi molar I kiri atas berlubang (+)
namun saat ini telah dicabut, trauma wajah (+) ditonjok temanya ± 10 tahun yang
lalu keluar darah dari hidung.
Pada pemeriksaan fisik: nyeri VAS 3, nyeri tekan dan nyeri ketok pada sinus
maksilaris (-/+), discharge hidung (+/+) mucous kuning, mukosa hidung hiperemis
(+/-), edem dan hipertrofi konka (+/-), septum deviasi (+) ke kanan. Post nasal drip
(+).
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan nasal endoskopi ditemukan post nasal
drip serta deviasi septum ke arah kanan, kompleks osteomeatal kanan dan kiri
tertutup. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan kesan sinusitis maksilaris kiri,
etmoid kiri, dan frontal dupleks. Ostium sinus maksilaris kiri tampak obliterasi,
deviasi septum nasi.

DIAGNOSIS
Rhinosinusitis kronik ringan
Septum deviasi ke kanan

RENCANA PENGELOLAAN
1. Pemeriksaan diagnostik
- Mikrobiologi
2. Terapi
- Cuci hidung dengan NaCl 0.9% 4-5x/ hari
- Cefadroxil 500 mg/ 12 jam PO
- Paracetamol 500 mg / 8 jam PO (bila demam dan nyeri)
- N-asetil sistein 200 mg /8 jam PO
11

- Pseudoefedrin 120 mg/ 12 jam PO


- Fluticasone furoate spray 2x1 puff /hari

3. Pemantauan
- Keadaan umum dan tanda vital
- Nyeri wajah (VAS)
- Tanda-tanda komplikasi yang mungkin terjadi, seperti pada mata dan
tulang-tulang sekitar sinus.
- Progresifitas penyakit
- Respon terapi

4. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, tata laksana, komplikasi,
dan prognosisnya.
- Mengedukasi pasien untuk menggunakan obat yang diberikan dan
kontrol kembali setelah 1 minggu untuk melihat respon terapi yang telah
diberikan, atau kontrol kembali apabila gejala semakin memberat.

5. Prognosis
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hidung

3.1.1 Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelaianan hidung, perlu diingat kembali


tentang anatomi hidung. Anatomi dan fungsi fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang
hidung (nasi anterior).3

Gambar 2. Anatomi Hidung

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawanyang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

12
13

terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis


superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan 4) tepi anterior kartilao septum.3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang beakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi adalah konka ialah konka superior, sedangkan yang terkecil adalah
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.3
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolarimalis. Metaus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus spenoid.3
3.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air confitioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu
karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
14

tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.3

3.2 Kelainan Septum

Kelainan septum yang sering ditemukan ialah deviasi septum, hematoma


septum, dan abses septum.3

3.2.1 Deviasi Septum

Bentuk septum normal ialah lurus dan di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi
septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.3
Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah
lahir, pada waktu partus bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya ialah
ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh,
meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah
deviasi pada septum nasi itu.3
Bentuk Deformitas
Bentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C
atau S; (2) dilokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila
dan masuk ke dalam rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau tulang rawan
septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat
runcing dan pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista septum bertemu dan
melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah
beratnya obstruksi.3
Gejala Klinik
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum septum ialah sumbatan
hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi
15

terdapat konka hipertrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang
hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.3
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari
itu penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis.3
Terapi
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada
pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.
Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR)
Pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari
tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat
menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat
turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu
banyak diangkat.3
Septoplasti atau reposisi septum
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana.3

Gambar 3. Septoplasti
16

3.2.2. Hematoma Septum


Hematoma septum terjadi karena sebab trauma, terdapatnya darah di antara
perikondrium dan tulang rawan septum. Bila terjadi fraktur tulang rawan, maka
darah akan masuk ke sisi lain, sehingga terbentuk hematoma septum bilateral.3
Gejala klinik
Gejala yang menonjol pada hematoma septum ialah sumbatan hidung dan
rasa nyeri. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral
pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin, dan berwarna merah.
Pembengkakan dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung, sehingga
menyebabkan obstruksi total.3
Terapi
Drainase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang
rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian
hematoma yang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi
bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah
tulang rawan di bawahnya. Antibiotika harus diberikan untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder.3
Komplikasi
Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi ialah: abses septum
dan deformitas hiudng luar seperti hidung pelana (saddle nose).3
3.2.3. Abses Septum
Kebanyakan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang
tidak disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang
kemudian terinfeksi kuman dan menjadi abses.3
Gejala Klinis
Gejala abses septum ialah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa
nyeri berat, terutama terasa di puncak hidung. Juga tedapat keluhan demam dan
sakit kepala.3
Terapi
Abses septum harus segera diobati sebagai kasus darurat karena
komplikasinya dapat berat yakni nekrosis tulang rawan septum. Terapinya,
17

dilakukan insisi dan drainase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk
nyeri dan demamnya diberikan analgetika.3

3.3 Sinus Paranasal

3.3.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam
tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus
paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai
pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu
resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus
untuk membersihkan rongga hidung.3,4
Secara klinis terdapat empat sinus paranasal udara dalam empat tulang
tengkorak pada tiap sisinya: frontal, rahang, ethmoid, dan sphenoid. Mereka dibagi
menjadi dua kelompok:3,4
1. Anterior : sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di
meatus tengah, membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari
sinus maksila, frontal dan anterior sinus ethmoid.
2. Posterior : sinus yang terbuka ke arah posterior dan superior pada basal
lamella dari konka media. Terdiri dari sinus ethmoid dan sinus sphenoid.
Posterior sinus etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid
terbuka reses sphenoethmoidal.
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. Sinus maksila berbentuk piramid.3
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : lateral rongga hidung,
Dinding superior : dasar orbita
18

Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum


Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum. Dasar sinus maksila
sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2),
molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar (M3),
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan infeksi.3
Sinus Frontalis
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal 2 x 2,4 x 2,8 cm besekat-
sekat dan tepi sinus berkelok-kelok. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relative tipis dari orbita dan fosa serebri. Sinus frontal berdrainase melalui ostium
yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum.3
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
2,3 x 1,7 x 2 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkemabang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid. Batas-batasnya:3
Superior : fossa serebri media dan kelenjar hipofisis
Inferior : atap nasofaring
Lateral : sinus kavernosa dan arteri karotis interna
Posterior : fosa serebri posterior daerah pons
Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid merupakan sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
yang lain. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya
di posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5
19

cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.3


Sinus etmoid berongga-rongga seperti sel sarang tawon, yang terdapat di dalam
bagian os lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial
orbita. Berdasarkan letak dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus superior.3
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal yang berhugungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara sinus
maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.3

Gambar 4. Anatomi sinus paranasal

Gambar 5. Anatomi sinus paranasal


20

3.3.2 Fisiologi Sinus Paranasal

Terdapat beberapa fungsi sinus paranasal yakni diantranya:4


1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.
2. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, dapat memberkan penambahan
berat dari kepala, namun pada kenyataanya hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala.
4. Sebagai peredam perubaha tekanan
misalnya pada waktu bersin
5. Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun
efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis

3.4 Rhinosinusitis

3.4.1 Definisi

Berdasarkan EPOS 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi


hidung dan sinus paranasal yang diderita sudah lebih dari 12 minggu disertai
dengan gejala obstruksi hidung dan nasal discharge (anterior maupun post
nasal drip) dan dapat disertai:2
1. nyeri wajah
2. hiposmia
Dari temuan nasoendoskopi:
-polip dan / atau
21

-sekret mukopurulen dari meatus medius dan / atau


-edema / obstruksi mukosa di meatus medius dan / atau
Dari gambaran tomografi komputer:
-perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan /atau sinus.
3.4.2 Etiologi2,6

1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rhinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rhinosinusitis Akut
Rhinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas
dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan
aktivitas mukosiliar. Rhinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat
akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan
predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis
maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan
asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi
adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell &
Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ
sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung
tersumbat dan gatal.
22

Peranan alergi pada rhinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa
sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu
drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus
dapat menyebabkan rhinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rhinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada
dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh
sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rhinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30% penderita asma dapat berkembang menjadi polip
hidung sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat
mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada
kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rhinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapat
mengganggu transpor mukosiliar (sistem pembersih. Sindrom kartageneratau
sindrom silia imortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan
rhinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang
menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret.
23

Hal ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi
kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rhinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti
Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rhinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rhinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rhinosinusitis
kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan
mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan
terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di
daerah tersebut

Tabel 1. Faktor etiologi rhinosinusitis kronik6


Faktor Genetik /
Faktor Lingkungan Faktor Struktural
Fisiologik
Hipereaktivitas saluran Alergi Deviasi septum
nafas Merokok Konka bullosa
Imunodefisiensi Polutan / iritan Meatus media paradoksal
Sensitivitas terhadap Virus Sel haller
aspirin Bakteri Sel frontal
Disfungsi silier Fungsi Jaringan parut
Fibrosis kistik Stres Inflamasi tulang
Penyait autoimun Kelainan craniofasial
Kelainan Benda asing
granulomatosa Penyakit gigi
Trauma mekanis
Barotrauma
24

Gambar 6. Etiologi rhinosinusitis6

3.4.2 Patofisiologi

Secara patofisiologi perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi


akibat proses peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus yang
berlangsung lebih dari 12 minggu. Patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
daya pembersihan mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
ostiomeatal (KOM) dapat mempengaruhi kesehatan sinus.7
Gangguan yang terjadi pada KOM dapatmenyebabkan terjadinya
gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa. Hal ini dapat dijelaskan oleh
karena organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
(akumulasi cairan karena proses non inflamasi), yang mula-mula berupa cairan
25

serous. Kondisi inilah yang dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan


biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.6,7
Namun apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya
bakteri.Sekret menjadi purulen dan keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis
akut bakterial yang memerlukan terapi dengan disertai antibiotik. Apabila
terapi tidak berhasil peradangan berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri
anaerob berkembang, mukosa makin membengkak dan merupakan rantai
siklus yang terus berputarhingga akhirnya terjadi perubahan mukosa menjadi
kronik.6,7

3.4.3 Rhinosinusitis Kronis


Gejala klinik rhinosinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut,
gejala-gejala mirip dengan rhinosinusitis akut. Namun diluar masa itu, gejala
berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang
sering kali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala
ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus.2
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergi yang menetap, dan keluhan-keluhannya
menonjol. Batuk kronik dengan laryngitis kronik ringan atau faringitis
seringkali menyertai rhinosinusitis kronik, dan gejala-gejala utama ini dapat
menyebabkan pasien datang ke dokter.2,4
Gejala klinik rhinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah
rhinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor
atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.2,4

Tabel 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rhinosinusitis kronik,


terdiri dari gejala mayor (utama) dan gejala minor (pelengkap).6
Gejala Mayor Gejala Minor
Nyeri wajah, tekanan pada wajah Sakit Kepala
26

Rasa penuh pada wajah Demam(non akut)


sumbatan hidung Halitosis (bau nafas tidak sedap)
Nasal discharge/ nanah/ Kelelahan
Hiposmia / anosmia Sakit gigi
Nanah di rongga hidung pada Batuk
pemeriksaan

Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT


berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm):2,6
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
Lamanya penyakit:
Akut Kronik
< 12 minggu > 12 minggu
resolusi komplit gejala tanpa resolusi gejala komplit
• termasuk kronik eksaserbasi akut
Diagnosis Klinis
Kriteria diagnostik yang terbaru adalah berdasarkan EPOS 2012, dimana
rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan hidung dan sinus paranasal
dengan beberapa gejala dan tanda:2

Tabel 3. Gejala dan tanda rhinosinusitis2


Gejala Utama Gejala Tambahan Tanda
Hidung buntu nyeri wajah / rasa Tanda dari endoskopi:
dan / atau tertekan di wajah. -Polip nasi.
pengeluaran berkurang atau -Discaj mukopurulen dari
cairan / discaj hilang meatus nasi media.
dari hidung baik kemampuan -Edem / penyumbatan di
ke anterior atau menghidu meatus nasal media.
ke posterior. Perubahan gambaran CT Scan
27

-Adanya perubahan mukosa di


daerah ostoemeatal kompleks
atau di daerah sinus.

Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk


mendukung tegaknya diagnosis rhinosinusitis kronik. Pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan rinoskopi anterior. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dapat dilihat bagaimana kondisi pada rongga hidung yang
berkaitan dengan rhinosinusitis kronik seperti edema konka, hiperemis, livid,
sekret purulen, krusta, deviasi septum, tumor atau polip.2,3
Sedangkan untuk menyingkirkan diagnosis lain dan untuk menunjang
menegakkan diagnosis kerja, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Pada
rhinosinusitis kronik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti:2,3
1. Transluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transluminasi antara sinus kanan dan kiri.12
2. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar
orifisium tuba, hipertrofi adenoid, dan penampakan mukosa sinus.12,13
Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan. Untuk rhinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46% dan spesifisitas 86%.16
3. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Waters, CT-Scan, MRI, dan USG. CT-Scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi
sinus, serta untuk evaluasi rhinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberika respon.7,21 Ini mutlak diperlukan pada
rhinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.16,17,19
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
28

mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.


Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga
hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.2,5

Gambar 7. Alur penatalaksanaan rhinosinusitis kronis oleh dokter umum2


29

Gambar 8. Alur penatalaksanaan rhinosinusitis kronis oleh dokter spesialis THT2


30

Gambar 9. Guideline PERHATI: Alur penatalaksanaan rhinosinusitis 5


31

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rhinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis
kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada
dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung.2
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:2,5
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asamklavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
32

Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap


iritan dan nutrisi yang cukup.
Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan
peralatan canggih endoskopi.2 Terapi bedah dilakukan apabila tidak ada
perbaikan pada gejala dan tanda klinis pasien setelah terapi adekuat selama 3
bulan.2 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:2
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali
oleh Messerklinger tahun 1978. FESS adalah teknik operasi invasif
minimal yang dilakukan pada sinus paranasal dengan menggunakan
endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary clearance dalam sinus.
Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus terdahulu
33

karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal.2 Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinusparanasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang paling sering
terjadi dan seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, mana hal tersebut dapat
dihindari. Komplikasi rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, tulang intracranial dan komplikasi lainnya.2,4
1. Komplikasi orbita:
a. Selulitis preorbita
b. Selulitis orbita
c. Abses subpreiosteal
d. Abses orbita
2. Komplikasi oseus / tulang: osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
34

d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi: abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mumokel/mukopiokel.
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis terhadap pasien, diketahui bahwa pasien datang


dengan keluhan nyeri wajah. Pasien datang dengan keluhan nyeri wajah terutama
pipi dan hidung sebelah kiri sejak 4 bulan yang lalu yang semakin hari semakin
memberat terutama saat bersin-bersin, keluhan dirasakan menetap, dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pilek +/+ berwarna kuning, kental, dan tidak
berbau. Terdapat lendir mengalir di tenggorokan, nyeri kepala (+), rasa penuh di
wajah -/+, hidung tersumbat +/-, demam (+), mata gatal (-), gangguan penglihatan
(-), gangguan penciuman (+), riwayat gigi berlubang (+) kiri atas namun saat ini
telah dicabut, trauma wajah (+) ditonjok temanya ± 10 tahun yang lalu keluar darah
dari hidung.
Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan VAS 3 dan pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok pada sinus maksilaris kiri, sedangkan pada
pemeriksaan nyeri tekan dan nyeri ketok pada sinus frontalis, etmoidalis tidak nyeri.
Pada rhinoskopi anterior didapatkan discharge mukous kuning pada kedua hidung,
mukosa hiperemis pada hidung kanan, konka inferior hipertrofi dan edem pada
hidung kanan, serta didapatkan septum deviasi ke kanan. Dari pemeriksaan
tenggorok juga tampak adanya post nasal drip pada dinding faring posterior.
Pasien ini didiagnosis dengan rhinosinusitis kronis ringan karena dari
anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami ≥ 2 gejala utama rhinosinusitis
berdasarkan EPOS 2012 yaitu adanya keluhan sumbatan hidung dan discharge
mukous kuning pada pemeriksaan rinoskopi anterior serta post nasal drip. Keluhan
ini dirasakan selama 4 bulan (>12 minggu) yang disertai dengan 2 gejala minor
yaitu nyeri wajah dan gangguan penghidu. Diagnosis ini juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang endoskopi yang didapatkan post nasal drip (+), kompleks
osteomeatal kanan dan kiri tertutup, dan septum deviasi ke kanan serta pemeriksaan
CT-scan yang menunjukkan adanya sinusitis maksilaris kiri, etmoid kiri, dan frontal
dupleks, ostium sinus maksillaris tampak obliterasi, dan deviasi septum ke kanan.

35
36

Derajat VAS pada pasien ini adalah 3 yang sesuai dengan klasifikasi derajat mild
sehingga pasien didiagnosis dengan rhinosinusitis kronis mild.
Pasien juga didiagnosis dengan septum deviasi berdasarkan pemeriksaan fisik
rinoskopi anterior didapatkan septum deviasi ke kanan, dan dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang CT-Scan dengan hasil deviasi septum nasi, dan endoskopi
dengan hasil deviasi septum ke kanan.
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan adalah antibiotik, dekongestan oral,
kortikosteroid topikal, mukolitik, analgetik dan cuci hidung dengan NaCl 0,9%.
Pasien diberi terapi cuci hidung dengan NaCl 0,9% untuk membantu membersihkan
hidung dari polutan dan debu, melembabkan mukosa hidung, dan meningkatkan
kemampuan fungsi mukosilia hidung. Selain itu, pemberian cuci hidung ini dapat
mencegah timbulnya infeksi dan penumpukan lendir pada hidung. Antibiotik
spektrum luas lini ke 2 yang diberikan adalah cefadroxil untuk mengobati infeksi
bakteri karena pasien mempunyai riwayat berobat kedokter tetapi gejala belum
membaik. Dekongestan oral (Pseudoefedrin) dan kortikosteroid topical
(Fluticasone) untuk mengurangi inflamasi pada hidung. Analgesik dan antipiretik
yang digunakan adalah parasetamol. N-asetyl sistein sebagai obat mukolitik.
Pasien diberi penjelasan bahwa pasien mengalami rhinosinusitis kronik ringan,
yaitu radang pada hidung dan rongga sekitar hidung. Hal ini disebabkan karena
adanya kelainan struktur pada sekat hidung pasien sehingga terjadi gangguan pada
aliran udara dan drainase sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuha
bakteri. Pasien juga diedukasi mengenai komplikasi yang mungkin terjadi yaitu
infeksi dan peradangan yang dapat menyebar ke otak, mata, dan tulang di sekitar
sinus. Pasien diedukasi untuk menggunakan obat yang diberikan dan kontrol
kembali setelah 1 minggu untuk melihat respon terapi yang telah diberikan, atau
kontrol kembali apabila gejala semakin memberat. Setelah 1 minggu, bila gejala
membaik, maka terapi dapat dilanjutkan sampai 2 minggu. Namun, apabila dalam
1 minggu tidak ada perbaikan, maka pasien akan dirujuk ke dokter spesialis THT-
KL dan disarankan untuk melakukan pembedahan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin


akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan
kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rhinosinusitis ini.
Diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang sering dijumpai penderita
rhinosisnusitis adalah hidung tersumbat, nyeri/merasa tekanan pada wajah, dan
gangguan penciuman, riwayat gigi molar I kiri atas berlubang. Adanya discharge
hidung kanan dan kiri warna kekuningan, mukosa hidung kanan hiperemis, edem
dan hipertrofi konka kanan, nyeri tekan dan nyeri ketok pada sinus maksilaris kiri,
dan post nasal drip pada dinding faring posterior dan deviasi septum hidung ke
kanan dari pemeriksaan fisik hidung juga menunjang penegakkan diagnosis
rhinosinusitis.
Pada pemeriksaan penunjang telah dilakukan nasal endoskopi ditemukan post
nasal drip serta deviasi septum ke arah kanan, kompleks osteomeatal kanan dan kiri
tertutup. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan kesan sinusitis maksilaris kiri,
etmoid kiri, dan frontal dupleks. Ostium sinus maksilaris kiri tampak obliterasi,
deviasi septum nasi. Pemeriksaan penunjang ini juga menunjang penegakkan
diagnosis rhinosinusitis dan deviasi septum.
Telah dilaporkan pasien seorang laki-laki 35 tahun dengan diagnosis kerja
rhinosinusitis kronik dan deviasi septum.

Terapi pada kasus ini diberikan:

- Cuci hidung dengan NaCl 0.9% 4-5x/ hari


- Cefadroxil 500 mg/ 12 jam PO

37
38

- Paracetamol 500 mg / 8 jam PO (bila demam dan nyeri)


- N-asetil sistein 200 mg /8 jam PO
- Pseudoefedrin 120 mg/ 12 jam PO
- Fluticasone furoate spray 2x1 puff /hari

5.2 Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Husni, Teuku. Diagnosis dan Penanganan Rhinosinusitis: Divisi Rinologi,


Bagian THT RSU dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh. 2015.
2. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on
rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2012
3. Tim Penyusun. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta: EGC. 2012
4. Bansal M. Diseases of Ear, Nose, and Throat. 2013.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Indonesia. Panduan Praktik Klinis di Bidang Telinga Hidung
Tenggorok – Kepala Leher. Jakarta: PERHATI-KL. 2015.
6. Ardan, Juliarti, Satwika, et al. 2010, Sinopsis Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Available from :http://www.THTUB.pdf.co.id.
7. Boies. 2008. Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam.

39

Anda mungkin juga menyukai