PENDAHULUAN
Rhinosinusitis kronis umum terjadi pada usia dewasa hingga lanjut usia,
terutama pada usia antara 30 – 69 tahun. Prevalensinya meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Distribusi penyakit berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa rhinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh perempuan. Penyebab
utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.2 Berdasarkan data dari European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), prevalensi
rhinosinusitis kronis yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis. Terdapat
kaitan yang erat antara asma dengan rhinosinusitis kronis pada semua umur.2
1
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. F
Umur : 35 tahun
Tempat, tanggal lahir : Semarang, 21 Juli 1982
Jenis Kelamin : Laki - laki
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Gunung Pati Semarang
Pekerjaan : Swasta
No. CM : 027176
1. Nyeri dan bengkak pada pipi kiri 1. Riwayat gigi molar I kiri atas
2. Hidung tersumbat (+/-) berlubang (+) sudah
3. Rhinorea (mucous kuning ) (+/+) dicabut tanggal 28 Maret
4. Gangguan penciuman (+) 2018
5. Lendir mengalir di tenggorokan (+) 2. Riwayat trauma wajah ± 10
6. Nyeri kepala (+) tahun yang lalu
7. Terasa penuh di wajah (-/+)
8. Demam (+)
9. Nyeri VAS 3
10. Nyeri tekan sinus maksilaris (-/+)
11. Nyeri ketok sinus maksilaris (-/+)
12. Rhinoskopi anterior : chonca edema (+/-),
hipertrofi (+/-), discharge (+/+) mucous kuning,
hiperemis (+/-), deviasi septum (+) ke kanan
13. Orofaring: Post nasal drip (+)
14. Endoskopi : deviasi septum ke kanan, post
nasal drip (+), Kompleks osteomeatal kanan dan
kiri tertutup
4
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 5 April 2018 pukul 12.00 WIB di Poliklinik THT
RSDK Semarang
Keluhan Utama:
Nyeri wajah
Status Lokalis:
Telinga:
Tenggorok:
8
Orofaring
Dinding Faring
Granulasi (-), post nasal drip (+)
Posterior
Palatum Bombans (-), hiperemis (-), fistula (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah
Mukosa Hiperemis (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis(-),
permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
Tonsil
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Abses (-)
Nasofaring (rinoskopi posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS
Pemeriksaan Radiologi :
CT-Scan :
9
Kesan:
Sinusitis maksilaris kiri, ethmoid
kiri dan frontal dupleks
Ostium sinus maksilaris kiri
tampak obliterasi
Deviasi septum nasi
Pemeriksaan endoskopi :
KIRI
KANAN
Kesan:
Deviasi septum ke kanan
Kompleks osteomeatal kanan dan kiri tertutup
Post nasal drip (+)
10
RINGKASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri wajah terutama pipi dan hidung sebelah
kiri sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan semakin hari semakin memberat
dan menetap, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien juga mengeluh pilek
(+/+) berwarna kuning, kental, dan tidak berbau. Terdapat lendir mengalir di
tenggorokan (+), nyeri kepala (+), rasa penuh di wajah (-/+), hidung tersumbat (+/-
), demam (+), gangguan penciuman (+), riwayat gigi molar I kiri atas berlubang (+)
namun saat ini telah dicabut, trauma wajah (+) ditonjok temanya ± 10 tahun yang
lalu keluar darah dari hidung.
Pada pemeriksaan fisik: nyeri VAS 3, nyeri tekan dan nyeri ketok pada sinus
maksilaris (-/+), discharge hidung (+/+) mucous kuning, mukosa hidung hiperemis
(+/-), edem dan hipertrofi konka (+/-), septum deviasi (+) ke kanan. Post nasal drip
(+).
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan nasal endoskopi ditemukan post nasal
drip serta deviasi septum ke arah kanan, kompleks osteomeatal kanan dan kiri
tertutup. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan kesan sinusitis maksilaris kiri,
etmoid kiri, dan frontal dupleks. Ostium sinus maksilaris kiri tampak obliterasi,
deviasi septum nasi.
DIAGNOSIS
Rhinosinusitis kronik ringan
Septum deviasi ke kanan
RENCANA PENGELOLAAN
1. Pemeriksaan diagnostik
- Mikrobiologi
2. Terapi
- Cuci hidung dengan NaCl 0.9% 4-5x/ hari
- Cefadroxil 500 mg/ 12 jam PO
- Paracetamol 500 mg / 8 jam PO (bila demam dan nyeri)
- N-asetil sistein 200 mg /8 jam PO
11
3. Pemantauan
- Keadaan umum dan tanda vital
- Nyeri wajah (VAS)
- Tanda-tanda komplikasi yang mungkin terjadi, seperti pada mata dan
tulang-tulang sekitar sinus.
- Progresifitas penyakit
- Respon terapi
4. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, tata laksana, komplikasi,
dan prognosisnya.
- Mengedukasi pasien untuk menggunakan obat yang diberikan dan
kontrol kembali setelah 1 minggu untuk melihat respon terapi yang telah
diberikan, atau kontrol kembali apabila gejala semakin memberat.
5. Prognosis
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawanyang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
12
13
tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.3
Bentuk septum normal ialah lurus dan di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi
septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.3
Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah
lahir, pada waktu partus bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya ialah
ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh,
meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah
deviasi pada septum nasi itu.3
Bentuk Deformitas
Bentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk huruf C
atau S; (2) dilokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila
dan masuk ke dalam rongga hidung; (3) penonjolan tulang atau tulang rawan
septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat
runcing dan pipih disebut spina; (4) bila deviasi atau krista septum bertemu dan
melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah
beratnya obstruksi.3
Gejala Klinik
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum septum ialah sumbatan
hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi
15
terdapat konka hipertrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang
hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.3
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari
itu penciuman bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis.3
Terapi
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada
pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.
Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR)
Pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari
tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat
menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat
turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu
banyak diangkat.3
Septoplasti atau reposisi septum
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana.3
Gambar 3. Septoplasti
16
dilakukan insisi dan drainase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk
nyeri dan demamnya diberikan analgetika.3
Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam
tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus
paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai
pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu
resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus
untuk membersihkan rongga hidung.3,4
Secara klinis terdapat empat sinus paranasal udara dalam empat tulang
tengkorak pada tiap sisinya: frontal, rahang, ethmoid, dan sphenoid. Mereka dibagi
menjadi dua kelompok:3,4
1. Anterior : sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di
meatus tengah, membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari
sinus maksila, frontal dan anterior sinus ethmoid.
2. Posterior : sinus yang terbuka ke arah posterior dan superior pada basal
lamella dari konka media. Terdiri dari sinus ethmoid dan sinus sphenoid.
Posterior sinus etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid
terbuka reses sphenoethmoidal.
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. Sinus maksila berbentuk piramid.3
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : lateral rongga hidung,
Dinding superior : dasar orbita
18
3.4 Rhinosinusitis
3.4.1 Definisi
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rhinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rhinosinusitis Akut
Rhinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas
dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan
aktivitas mukosiliar. Rhinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat
akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan
predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis
maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan
asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi
adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell &
Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ
sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung
tersumbat dan gatal.
22
Peranan alergi pada rhinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa
sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu
drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus
dapat menyebabkan rhinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rhinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada
dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh
sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rhinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rhinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30% penderita asma dapat berkembang menjadi polip
hidung sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat
mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada
kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rhinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapat
mengganggu transpor mukosiliar (sistem pembersih. Sindrom kartageneratau
sindrom silia imortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan
rhinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang
menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret.
23
Hal ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi
kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rhinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti
Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rhinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rhinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rhinosinusitis
kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan
mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan
terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di
daerah tersebut
3.4.2 Patofisiologi
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rhinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis
kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada
dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung.2
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:2,5
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asamklavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
32
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal.2 Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinusparanasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base
Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang paling sering
terjadi dan seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, mana hal tersebut dapat
dihindari. Komplikasi rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi
komplikasi orbita, tulang intracranial dan komplikasi lainnya.2,4
1. Komplikasi orbita:
a. Selulitis preorbita
b. Selulitis orbita
c. Abses subpreiosteal
d. Abses orbita
2. Komplikasi oseus / tulang: osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
34
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi: abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mumokel/mukopiokel.
BAB IV
PEMBAHASAN
35
36
Derajat VAS pada pasien ini adalah 3 yang sesuai dengan klasifikasi derajat mild
sehingga pasien didiagnosis dengan rhinosinusitis kronis mild.
Pasien juga didiagnosis dengan septum deviasi berdasarkan pemeriksaan fisik
rinoskopi anterior didapatkan septum deviasi ke kanan, dan dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang CT-Scan dengan hasil deviasi septum nasi, dan endoskopi
dengan hasil deviasi septum ke kanan.
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan adalah antibiotik, dekongestan oral,
kortikosteroid topikal, mukolitik, analgetik dan cuci hidung dengan NaCl 0,9%.
Pasien diberi terapi cuci hidung dengan NaCl 0,9% untuk membantu membersihkan
hidung dari polutan dan debu, melembabkan mukosa hidung, dan meningkatkan
kemampuan fungsi mukosilia hidung. Selain itu, pemberian cuci hidung ini dapat
mencegah timbulnya infeksi dan penumpukan lendir pada hidung. Antibiotik
spektrum luas lini ke 2 yang diberikan adalah cefadroxil untuk mengobati infeksi
bakteri karena pasien mempunyai riwayat berobat kedokter tetapi gejala belum
membaik. Dekongestan oral (Pseudoefedrin) dan kortikosteroid topical
(Fluticasone) untuk mengurangi inflamasi pada hidung. Analgesik dan antipiretik
yang digunakan adalah parasetamol. N-asetyl sistein sebagai obat mukolitik.
Pasien diberi penjelasan bahwa pasien mengalami rhinosinusitis kronik ringan,
yaitu radang pada hidung dan rongga sekitar hidung. Hal ini disebabkan karena
adanya kelainan struktur pada sekat hidung pasien sehingga terjadi gangguan pada
aliran udara dan drainase sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuha
bakteri. Pasien juga diedukasi mengenai komplikasi yang mungkin terjadi yaitu
infeksi dan peradangan yang dapat menyebar ke otak, mata, dan tulang di sekitar
sinus. Pasien diedukasi untuk menggunakan obat yang diberikan dan kontrol
kembali setelah 1 minggu untuk melihat respon terapi yang telah diberikan, atau
kontrol kembali apabila gejala semakin memberat. Setelah 1 minggu, bila gejala
membaik, maka terapi dapat dilanjutkan sampai 2 minggu. Namun, apabila dalam
1 minggu tidak ada perbaikan, maka pasien akan dirujuk ke dokter spesialis THT-
KL dan disarankan untuk melakukan pembedahan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
37
38
5.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
39