2 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Rehabilitasi Kardiovaskuler 3
REHABILITASI KARDIOVASKULAR
Penerbit
©2016 PERDOSRI
Cetakan I, September 2016
ISBN:
PB PERDOSRI
Jl. Cakalang Raya 28 A, Jakarta Timur
Tlp. 021-47866390
e-mail : pbperdosri@yahoo.com
Editor:
Deddy Tedjasukmana Basuni
Hening L Putra
Kontributor:
…..
Editor Teknis:
Andreas Ricky
Kirana Kusumawardhani
Elisabet Augustina
Ayu Budi Lestari
Sariyani
Percetakan:
…
Isi luar tanggung jawab percetakan
4 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Daftar Isi
Kata Pengantar 7
BAB 1 Rehabilitasi Jantung 9
Rehabilitasi Jantung: masa lalu, masa kini dan masa depan 13
Ringkasan 23
Daftar Pustaka 23
Rehabilitasi Kardiovaskuler 5
Efek latihan pada pasien pasca revaskuarisasi 166
Daftar Pustaka 167
Lampiran 345
Compendium of Physical Activities (2011) 345
6 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Kata Pengantar
Puji syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
Buku Rehabilitasi Kardiovaskuler dapat diselesaikan sesuai waktunya. Buku ini dibuat untuk
memudahkan para sejawat dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dalam memahami
rehabilitasi kardiovaskuler dan mengimplementasikannya kepada pasien yang secara sistematis
dapat diterapkan dalam mengelola pasien kardiovaskuler di Rumah Sakit . Pembahasan materi
dalam buku ini diawali dengan sejarah perkembangan rehabilitasi kardiovaskuler dan beberapa
topik rehabilitasi jantung dan vaskuler yang banyak ditemukan secara klinik di rumah sakit serta
penanganan rehabilitasi kardiovaskular sesuai dengan guidelines yang diakhiri dengan topik
aktivitas seksual pada penyakit jantung.
Terima kasih kami sampaikan kepada dr. Luhyuni SpKFR (K) sebagai Ketua PB PERDOSRI yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membuat Buku Rehabilitasi Kardiovaskular
untuk dapat digunakan para sejawat dalam menangani kasus rehabilitasi kardiovaskuler sesuai
dengan guidelines, metanalytic study maupun systematic review. Kita ketahui bersama bahwa ilmu
pengetahuan rehabilitasi kardiovaskuler berkembang dengan sangat cepat seperti konsep serta
paradigma baru yang bermunculan melahirkan guidelines baru setiap saat.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Mulyadi SpA (K), Dr. dr. Yusuf SpBTKV
(K), MARS, Dr. dr. Muhammad Yamin SpJP (K), dr. Sally SpPD-KKV, dr. Azra SpBTKV (K), dr. Ismail
SpBTKV (K), MARS, yang telah memberikan koreksi dan masukannya sehingga buku ini dapat
diselesaikan.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar buku ini mendapat perbaikan yang signifikan
untuk kepentingan pelayanan, pendidikan dan penelitian. Semoga buku ini dapat memberikan
manfaat bagi teman sejawat khususnya Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik dan bagi
sejawat dokter pada umumnya.
Tim Penulis
Rehabilitasi Kardiovaskuler 7
8 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 1
Sejarah Perkembangan
Rehabilitasi Jantung
Rehabilitasi Kardiovaskuler 9
Sejak lebih dari 200 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1772, Heberden sudah mengemukakan
pentingnya aktivitas fisik pada pasien pasca infark miokard, namun cabang ilmu rehabilitasi
belum berkembang dan populer seperti saat ini.1 Pada tahun 1900 pasien dengan infark miokard
umumnya dirawat selama 3-4 bulan di rumah sakit dengan 6-8 minggu di antaranya tirah baring
total (bedrest). Pasien tidak diizinkan untuk banyak bergerak, makan, minum, mandi, menaiki anak
tangga dan memakai pakaian.1 Pada masa itu kelelahan fisik yang minimal pun diduga menjadi
predisposisi timbulnya aneurisma ventrikular dan ruptur ventrikel serta meningkatkan hipoksemia
arterial yang dapat menimbulkan aritmia, rekurensi infark miokard dan kematian mendadak.1,2
Bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit, aktivitas dengan beban sedang seperti menaiki
anak tangga bisa dilakukan setidaknya setelah 1 tahun pasca serangan dan jarang sekali pasien
dapat kembali ke kehidupan normal serta pekerjaan yang produktif.1,2
Sejak tahun 1929 terjadi perubahan yang revolusioner pada konsep perawatan pasien dengan
infark miokard akut. Dahulu perawat diinstruksikan untuk membantu semua kegiatan pasien baik
makan, minum dan berdiri di samping tempat tidur. Dan pada saat itu, pasien dianjurkan untuk
dirawat tirah baring total 6-8 minggu atau lebih. Hal ini juga dikemukakan oleh Mallory-White
dan Salcedo Salger. Begitupun Lewis yang juga merekomendasikan istirahat total 6-8 minggu pada
pasien dengan oklusi arteri koroner.1,2
Dalam perkembangannya, temuan empiris dan penelitian pendukung lainnya menunjukkan pada
pasien dengan infark miokard akut dengan penyumbatan arteri koroner yang ringan hingga sedang
tanpa komplikasi, cukup istirahat dalam 1 bulan yakni 2 minggu pertama istrahat total dan 2
minggu berikutnya melakukan latihan ringan di tempat tidur untuk selanjutnya 1 bulan aktivitas
bertahap serta dalam masa 3 bulan penyembuhan dapat mengembalikan kesehatan fisik.1
Pada tahun 1930 pasien infark miokard umumnya dianjurkan untuk tirah baring selama 6
minggu. Namun Mallory-White melaporkan istirahat yang terlalu lama (lebih dari 6 minggu) dapat
menyebabkan miokardium yang telah mengalami nekrosis berubah menjadi jaringan parut.1,2
Dan pada tahun 1930an di New York, Amerika Serikat banyak anggota buruh yang terpaksa
dipensiunkan karena dianggap tidak mampu bekerja pasca penyakit jantung, 80% di antaranya
adalah kasus penyakit jantung koroner (PJK). Hal ini membuat perserikatan pekerja di New York
meminta New York Heart Association mengevaluasi masalah tersebut sehingga dirumuskannya
the Work Classification Unit or Work Evaluation Unit yang melibatkan aspek fisik dan psikologis.
Evaluasi inilah yang menjadi cikal bakal rehabilitasi jantung saat ini.5 Pada tahun 1930 pasien
dengan sindrom koroner akut (SKA) disarankan untuk tirah baring selama 6 minggu. Kemudian
aktivitas duduk mulai diperkenalkan di tahun 1940an. Selanjutnya pada awal tahun 1950, setelah
4 minggu pulih dari sindrom koroner akut pasien diperbolehkan untuk berjalan 3-5 menit sehari.
Dari sini tampak bahwa ambulasi dini mulai diakui dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan
oleh tirah baring.5
Pada tahun 1940 Levine juga menuliskan istirahat yang terlalu lama dapat meningkatkan rasa
ketidakberdayaan, kecemasan serta menurunkan moral keinginan untuk hidup pasien. Levine
merekomendasikan agar duduk di kursi 1-2 jam/hari pada pasien dengan infark miokard akut
dimulai pada hari pertama setelah infark miokard akut stabil. Posisi duduk dipercayai dapat
bermanfaat dalam meningkatkan pooling vena perifer, menurunkan venous return dan menurunkan
beban kerja jantung. Levine juga berteori bahwa rehabilitasi jantung dapat menurunkan komplikasi
tromboemboli dan sistem pernapasan.1,2 Dock pada tahun 1990 juga memutuskan bahwa
perpanjangan masa istirahat dan peningkatan risiko tromboemboli, demineralisasi tulang, atrofi
10 Rehabilitasi Kardiovaskuler
otot, masalah gastrointestinal, masalah urologi serta instabilitas vasomotor berhubungan dengan
imobilisasi berkepanjangan. Dock juga menganjurkan penggunaan bedside commode dibanding
pispot untuk mengurangi manuver valsava pada pasien karena lebih sedikit tenaga dan kerja
miokard juga lebih ringan pada posisi duduk dibanding posisi tidur telentang.1
Pada tahun 1950 Newman merekomendasikan untuk aktivitas perawatan di rumah sakit dengan
menganjurkan untuk mobilisasi jalan 3-5 menit dua kali sehari, biasanya dimulai pada minggu
keempat dengan supervisi dan hasilnya terdapat peningkatan aktivitas berjalan secara signifikan.1
Studi Hellerstein tahun 1950 mempresentasikan metodologi rehabilitasi yang komprehensif
terhadap pasien yang mengalami serangan jantung akut dan menganjurkan pendekatan multidisiplin
dalam program rehabilitasi jantung. Pendekatan multifaktorial termasuk modifikasi faktor risiko
yang agresif merupakan hal penting dalam rehabilitasi jantung masa sekarang. Herman Hellerstein
mencetuskan rehabilitasi jantung dengan konsep latihan fisik yang meningkatkan kondisi jantung
terutama kapasitas erobik.2,3 Hellerstein mendemonstrasikan bahwa latihan merupakan cara yang
efektif dan aman untuk mengembalikan kondisi jantung. Hellerstein juga merintis latihan klinis
dan khususnya rehabilitasi jantung dengan melakukan program bertahap pada pasien. Berbeda
dengan awal abad 20 di mana penyembuhan penyakit jantung umumnya menitik beratkan pada
tirah baring jangka panjang.3
Secara bertahap dokter memahami pentingnya mobilisasi dini yang dapat mengurangi komplikasi
akibat tirah baring termasuk emboli paru. Kendati demikian, perhatian terhadap pentingnya
keamanan pasien ketika mengikuti program latihan rehabilitasi sangatlah utama. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan program rehabilitasi jantung yang terstruktur dan disupervisi
oleh dokter sangat penting, meliputi supervisi klinis dan monitoring EKG.2
Pada tahun 1963 Hellerstein mempublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukkan manfaat
peningkatan kemampuan erobik pada pasien yang didiagnosa dengan penyakit jantung (infark
miokard akut). Yang lebih penting, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pasien dengan
penyakit jantung mampu meningkatkan denyut jantung, ambilan oksigen dan tekanan darah
sebagai respon dari latihan. Secara singkat dapat disimpulkan, pasien yang berpartisipasi dalam
rehabilitasi jantung dengan melakukan program latihan erobik memiliki jantung yang lebih efisien.1,3
Pada awal 1968 Naughton dan kawan-kawan juga Nagle dan kawan-kawan dan beberapa peneliti
lainnya melaporkan program latihan fisik dapat meningkatkan status emosional. Di tahun yang
sama, Toiz dan Zohman melaporkan bahwa rehabilitasi jantung fase rawat inap terbukti aman.1
Menurut Saltin (1968) dalam penelitiannya disimpulkan bahwa pasien yang mendapatkan
imoblisasi setelah 3 minggu mengalami penurunan kapasitas fungsional 20-25%, kekuatan dan
massa otot berkurang 10-15%, penurunan ventilasi oksigen, peningkatan refleks takikardia dan
peningkatan hipotensi ortostatik.1
Pada tahun 1970 di Amerika Serikat telah diperkenalkan bedrest selama 1 sampai 4 minggu pada
pasien dengan infark miokard akut disertai monitoring EKG dan penanganan aritmia. Waktu rawat
inap umumnya berkisar 2-6 minggu atau lebih.1
Bloch dan kawan-kawan pada tahun 1974 membuktikan tingkat keamanan mobilisasi dini dengan
studi kontrol. Pada penelitan tersebut menyimpulkan bahwa kelompok pasien yang memulai
program rehabilitasi dengan intensitas latihan yang sebelumnya dinyatakan tidak aman namun
setelah dilakukan latihan fisik tidak menunjukkan gejala yang lebih berat.1
Rehabilitasi Kardiovaskuler 11
Wilhelmsen dan kawan-kawan tahun 1975 melaporkan berdasarkan studi acak (randomized
control trial) pada latihan fisik menyimpulkan bahwa setelah 4 tahun follow up, pada kelompok
latihan terdapat 28 dari 158 pasien meninggal, pada kelompok kontrol didapatkan 35 dari 157
pasien meninggal.1
Pada tahun 1979 Kallio dan kawan-kawan melakukan uji secara acak dan menunjukkan rehabilitasi
jantung menurunkan kematian sebesar 40-60% dari total pasien yang mengikuti program
rehabilitasi jantung. Perbedaan yang mencolok terlihat pada kemampuan aktivitas fisik di samping
perbaikan pada tekanan darah, serum kolesterol dan berat badan.1
Beberapa studi menunjukkan latihan erobik menghasilkan jantung yang lebih kuat, meningkatkan
stroke volume, sehingga dapat mensuplai oksigen ke jaringan lebih baik. Lebih lanjut, peningkatan
tekanan darah dan peningkatan kapasitas beban latihan mampu meningkatkan efisiensi jantung
secara bertahap.3
Pada tahun 1986 DeBusk dan kawan-kawan mengeluarkan beberapa panduan untuk
mengidentifikasi pasien risiko rendah dan pasien yang dapat mengalami perbaikan setelah
revaskularisasi. Tingkat keamanan rehabilitasi jantung fase rawat jalan sudah dinyatakan pada
tahun 1986. Pada 50.000 pasien yang menjalani latihan 2,3 juta jam latihan, hanya 3 pasien yang
meninggal, 18 pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) yang diresusitasi, 8 kasus infark miokard
nonfatal. Insidens henti jantung sebesar 8,9 per 1 juta jam latihan, infark miokard 3,4 per 1 juta
jam latihan dan kematian 1,3 per 1 juta jam latihan.1
Rehabilitasi jantung dapat meningkatkan angka harapan hidup dan kualitas hidup pasien. Usia
pasien dapat diperpanjang dengan latihan fisik secara teratur serta penggunaan Beta adrenergic
blocker dan ACE inhibitor, lebih lagi jika faktor risiko terkontrol. Kualitas hidup pasien dapat
dioptimalkan jika dokter tanggap menilai tanda cemas dan depresi saat pasien mengikuti program
latihan, hingga mencapai kehidupan paling aktif yang dapat ditoleransi pasien.1
Rehabilitasi jantung memiliki banyak tantangan pada perkembangannya. Dua di antaranya adalah
semakin besarnya populasi usia tua dan semakin banyak pasien dengan disfungsi organ multipel.
Pasien seperti ini memerlukan penanganan komprehensif dari banyak spesialis, juga spesialis
kedokteran jiwa. Penyakit kardiovaskular yang stabil jangan menjadi hambatan untuk berfungsi
optimal, tetapi menjadi dasar bagi para dokter untuk menangani pasien dengan percaya diri.1
Dahulu rehabilitasi jantung dibagi menjadi beberapa fase: fase 1 merupakan rehabilitasi jantung
fase rawat inap, fase 2 merupakan 12 minggu pertama setelah pasien keluar dari rumah sakit, dan
fase 3 merupakan periode antara 12 minggu sampai 1 tahun setelah keluar rumah sakit. Empat
bagian dalam rehabilitasi jantung mencakup antara lain tatalaksana penyakit kardiovaskular,
kontrol faktor risiko, mobilisasi dini dan penyesuaian psikososial yang harus dilakukan di setiap
fase rehabilitasi.1
Kongres World Heart Rehabilitation dilakukan pertama kali di Jerman pada tahun 1977, memulai
konsep berupa mobiliasi dini (early mobilization). Di Indonesia, rehabilitasi jantung diperkenalkan
oleh Kusmana D dan kawan-kawan yang secara nasional rehabilitasi jantung disebarluaskan pada
kongres rehabilitasi pertama pada tahun 1980 dan kongres kedua pada tahun 1985. Pada saat itu
secara agresif program rehabilitasi jantung mengalami perkembangan secara signifikan.1
Seperti yang kita ketahui saat ini, intervensi rehabilitasi jantung sudah berkembang dan
bermetamorfosis dalam 30 tahun terakhir seiring berkembangnya intervensi penanganan penyakit
12 Rehabilitasi Kardiovaskuler
kardiovaskular. Pada masa awal dimulainya program rehabilitasi jantung, fasilitas coronary care unit
masih dalam tahap sederhana, operasi jantung Coronary Artery Bypass Graft (CABG) baru dilakukan
dalam periode 10 tahun. Angioplasti masih merupakan impian dalam pengobatan kardiovaskular.4
Rehabilitasi jantung dan pengobatan kardiovaskular modern mewakili pengobatan yang terus
berkembang. Sebagai contoh pada tahun 2006, Center for Medicare and Medicaid Services (CMS)
sudah menyetujui program rehabilitasi jantung dapat diterapkan pada tindakan seperti percutaneous
coronary intervention (PCI), tranplantasi jantung, dan operasi katup pada kasus angina stabil kronis,
pasca operasi bypass dan infark miokard akut.4
Centre for Medicare and Medicaid Services (CMS) merekomendasikan intervensi rehabiltasi jantung
sebagai program multidisiplin yang tidak hanya melibatkan terapi latihan pada pasien jantung,
tetapi juga melibatkan konseling dan edukasi pada pasien yang sudah stabil sehingga pasien dapat
beraktivitas di rumah atau di komunitasnya.4
Program-program rehabilitasi jantung telah menjadi bagian penting dalam standar penatalaksanaan
penyakit jantung dewasa ini. Telah mengalami pergeseran dari sekedar terapi latihan menjadi
strategi pencegahan sekunder yang komprehensif dalam menangani faktor risiko, nutrisi, psikologis
dan faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi perkembangan pasien. Rehabilitasi jantung
yang bertindak sebagai pencegahan sekunder mengandalkan deteksi awal (early detection) dan
penerapan beberapa intervensi (edukasi, konseling dan perilaku) untuk mendorong perubahan
pola hidup dan memodifikasi faktor risiko. Penelitian klinis telah menunjukkan bahwa deteksi
dini dan modifikasi faktor risiko dapat memperlambat, menstabilkan atau bahkan menghentikan
perjalanan penyakit serta mengurangi kejadian penyakit jantung.5
Rehabilitasi Kardiovaskuler 13
mematahkan pandangan tersebut. Dalam penelitan Morris (1953) menunjukkan bahwa supir-
supir bis di London memiliki kemungkinan terkena serangan jantung lebih tinggi dibandingkan
dengan kondektur. Hal ini dikarenakan kondektur lebih aktif berjalan, naik turun dalam bis tingkat
sedangkan supir bis hanya duduk mengemudi.6 Selanjutnya, hasil penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh Saltin, Braunwald, Sarnoff, Sonnenblick, Hellerstein, Naughton dan masih banyak
lagi berhasil menunjukkan pentingnya latihan, efek merugikan dari tirah baring yang terlalu lama
dan ini semuanya yang mendasari perkembangan program rehabilitasi jantung sebagai pendekatan
multidisiplin.7
Sejak saat itu, pendekatan ini terbukti bermanfaat direkomendasikan sebagai program terapeutik
penting dalam ilmu kardiologi modern. Akan tetapi sangat disayangkan, pada penerapannya, ilmu
ini tidak banyak mendapat tempat karena banyak ahli kardiologi muda yang lebih tertarik pada
teknologi terbaru seperti echocardiography, coronary angiography dan angioplasty serta obat-
obatan terbaru yang lebih bertumpu pada pengobatan jangka pendek.7
Tujuan
Berdasarkan sejarahnya, tujuan pertama dari rehabilitasi jantung adalah untuk membantu pasien
agar mandiri dan memperbaiki aktivitas fisiknya sehari-hari. Dampak positif dari aktivitas fisik
setelah terkena infark miokard telah banyak diteliti oleh beberapa penelitian seperti Wannametthee
dan The INTERHEART Study. Kedua penelitian ini mendapatkan hasil adanya peningkatan HDL
(High Densitiy Lipoprotein), penurunan kadar lemak tubuh, gula darah dan tekanan darah sebagai
dampak dari aktivitas fisik teratur.8,9
Tujuan rehabilitasi jantung lainnya adalah mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
seperti: menghentikan kebiasaan merokok, mengoptimalkan pengobatan hipertensi, diabetes dan
kolesterol serta memberikan edukasi terapeutik. Adapun edukasi terapeutik merupakan sebuah
program yang terstruktur dengan kegiatan workshop untuk memberi edukasi kepada pasien
mengenai kondisi penyakitnya. Dan tujuan akhirnya adalah untuk membuat pasien mandiri dan
punya tanggung jawab akan pengobatan dan perubahan pola hidupnya.10
Membantu pasien dalam mengelola masalah psikososial turut menjadi tujuan dari rehabilitasi
jantung. Masalah psikis seperti gangguan cemas dan depresi seringkali dialami pasien penyakit
jantung. Pada pusat rehabilitasi jantung, pasien dapat belajar mengelola stres, yang tentunya
berkaitan bagi pengendalian faktor risiko.10
Untuk jangka pendek tujuan rehabilitasi jantung meliputi rekondisi untuk mengembalikan aktivitas
fisik, edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai kondisi penyakit yang dialami dan memberi
dukungan psikologis saat awal masa pemulihan. Sedangkan tujuan jangka panjang dari program
ini adalah untuk penatalaksanaan faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit,
mengoptimalkan kondisi fisik dan memfasilitasi kembalinya pasien dalam pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari.10
14 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Indikasi
Secara umum pelayanan rehabilitasi jantung biasanya diberikan kepada pasien dengan manifestasi
penyakit jantung koroner. Namun pada pasien yang telah pulih dari infark miokard atau pasca
operasi bypass dan angina stabil yang kronis pun dapat dilakukan program rehabilitasi jantung.
Pada dasarnya bila pasien secara klinis mampu melakukan uji latih, maka pasien tersebut dapat
memulai program rehabilitasi jantung.10
Terdapat perbedaan ketentuan dan penyusunan program rehabilitasi jantung di setiap negara
karena berkaitan dengan aturan-aturan kesehatan dan sumber daya yang ada. Tentunya di
negara yang lebih makmur sumber dayanya pun lebih banyak, oleh karena itu indikasi rehabilitasi
jantungpun berbeda di setiap negara. Saat ini cakupan indikasi program rehabilitasi jantung
meliputi infark miokard akut, angina pektoris stabil, operasi bypass arteri koroner, operasi katup
jantung, pemasangan ring jantung (percutaneous transluminal coronary angioplasty), pasca tindakan
stem cell jantung dan transplantasi jantung.5
Pada pasien gagal jantung pembatasan latihan sebelumnya masih diterapkan seperti yang
dikemukakan oleh Sullivan dan kawan-kawan (1988). Namun demikian, program rehabilitasi
jantung memberikan kontribusi besar dalam perkembangannya sehingga baru belakangan ini
gagal jantung diikutsertakan sebagai indikasi rehabilitasi jantung. Dalam suatu uji klinis secara
acak (randomized clinical trial) tahun 2008, Zwisler dan kawan-kawan menyatakan bahwa hanya
pasien dengan gagal jantung NYHA kelas II dan III yang stabil dan tanpa komplikasi aritmia dapat
dirujuk untuk program latihan.11,12
Pada kasus transplantasi jantung pasien dapat memperoleh manfaat dari program latihan
yang disesuaikan tiap individu mengingat ada beberapa kondisi fisiologis tertentu. Pada kasus
transplantasi jantung terjadi gangguan hantaran saraf pada miokardium, meningkatnya kadar
norepinefrin, menurunnya denyut jantung dan stroke volume puncak, melambatnya denyut jantung
selama masa pemulihan dan meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik.5
Pasien dengan penyakit pembuluh darah tepi (Peripheral Artery Disease atau PAD) dapat merasakan
manfaat dari program latihan rehabilitasi jantung karena pada dasarnya kondisi ini berhubungan
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian Scrutinio D dan kawan-kawan di Eropa tahun 2008
mendapatkan setengah dari jumlah pasien dengan PAD memiliki penyakit jantung koroner dan
sepertiga jumlah pasien dengan penyakit jantung koroner juga memiliki PAD. Pande RL dan
kawan-kawan menyatakan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa jutaan pasien dengan PAD
tidak mendapat terapi pencegahan sekunder. Oleh karena itu penelitian tersebut menegaskan
perlunya merujuk pasien dengan PAD ke program rehabilitasi jantung agar mendapatkan intervensi
pencegahan sekunder.13,14
Kontra indikasi
Beberapa kontraindikasi rehabilitasi jantung di antaranya: angina pektoris tidak stabil (unstable
angina), gagal jantung akut (heart failure), aritmia ventrikular kompleks, hipertensi arteri pulmoner >60
mmHg, trombus kapiler (intracavitary thrombus), tromboflebitis baru dengan atau tanpa emboli paru,
kardiomiopati obstruktif berat, stenosis aorta simtomatik atau berat, inflamasi atau infeksi yang tidak
terkontrol dan kondisi muskuloskeletal yang tidak memungkinkan dilakukannya latihan fisik.5
Rehabilitasi Kardiovaskuler 15
Komponen rehabilitasi jantung
Pendekatan multidisiplin yang dikemukakan Hellerstein pada tahun 1950an tentang rehabilitasi
komprehensif untuk pasien penyakit jantung akut, telah dipakai oleh program rehabilitasi jantung
di seluruh dunia.5
Secara umum rehabilitasi jantung dibagi menjadi 3 fase, ketiganya bertujuan untuk memfasilitasi
proses pemulihan dan mencegah penyakit jantung lanjutan.5
Fase I dimulai saat pasien dirawat inap. Fase ini terdiri dari mobilisasi dini yang progresif sampai
dengan tingkat aktivitas yang dibutuhkan pasien untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang
sederhana. Karena seringkali masa rawat inap pasien singkat, program rehabilitasi fase ini terbatas
pada mobilisasi dini agar pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri dan konseling ringkas
mengenai kondisi penyakit yang dialami, tatalaksana faktor risiko dan rencana follow up.10
Oleh karena itu area-area pelayanan paling penting harus secara efektif diberikan dalam rentang
waktu masa rawat inap yang terbatas itu, seperti program ambulasi untuk mengembalikan pasien
beraktivitas seperti biasa di rumah, edukasi pasien mengenai kondisi penyakit, faktor risiko,
pengobatan (dosis, efek samping), tatalaksana kedaruratan serta informasi dasar tentang program
rehabilitasi ini.10
Fase II adalah program rawat jalan yang disupervisi dengan durasi 4-8 minggu, terdiri dari latihan
yang dipantau dan upaya mengurangi faktor risiko secara komprehensif. Pada beberapa negara
terutama di Eropa, program latihan peralihan (transitional) dilakukan selama 1-2 minggu.10
Beberapa pelayanan sesuai standar yang komprehensif diberikan pada fase ini. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pelayanan fase ini mencakup program latihan, evaluasi, tatalaksana
faktor risiko, edukasi-konseling serta rehabilitasi vokasional. Pasien berusia kurang dari 60 tahun
sebagian besar akan kembali pada pekerjaannya setelah terkena penyakit jantung.10
Pada beberapa kasus pasien tidak dapat kembali pada profesi lamanya dikarenakan kondisi dan
komplikasi yang dialami seperti pada kasus stroke dan gagal jantung kongestif berat sehingga
tidak memungkinkan pasien kembali bekerja. Pada beberapa profesi sepeti pilot dan pekerjaan
yang berhubungan dengan sistem keselamatan tidak diperbolehkan kembali bekerja karena hal
tersebut sudah diatur secara hukum yang membutuhkan pergantian pekerjaan, untuk dilakukan
rehabilitasi vokasional.10
Fase III, fase pemeliharaan seumur hidup (maintenance and lifelong) yaitu fase yang menekankan
pada kebugaran fisik dan pengurangan faktor risiko tambahan. Fase ini mencakup latihan berbasis
rumah sakit dan komunitas bertujuan untuk melanjutkan program latihan yang telah dipelajari
pada fase II dan modifikasi faktor risiko.10
American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC) dan American Association
of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation (AACPR) tahun 2007 merumuskan komponen-
komponen inti dari rehabilitasi jantung dan menghasilkan beberapa panduan untuk deteksi,
tatalaksana dan pencegahan penyakit jantung seperti berikut ini.5
16 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Penilaian pasien.
Dalam rangka penatalaksanaan pasien ada beberapa aspek dalam rehabilitasi jantung
yang menyesuaikan kebutuhan yang berbeda setiap individu, perlu dilakukan evaluasi fisik
dan mental yang lengkap di awal program rehabilitasi jantung. Tujuannya adalah untuk
menentukan lingkungan yang aman bagi pasien dan memfasilitasi talaksana dengan risiko
minimal. Evaluasi ini digunakan untuk membantu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai
bagi pasien dalam rehabilitasi jantung. Sebelum program latihan dimulai, perlu dilakukan
uji latih symptom-limited untuk tujuan prognostik, diagnostik dan terapeutik. Kemudian di
akhir program dilakukan evaluasi rutin untuk memeriksa apakah tujuan telah tercapai dan
memastikan kelanjutan jangka panjang.
- Program latihan
Berdasarkan hasil studi di Harvard (1984) dan Penelitian Intervensi Faktor Risiko Multipel
(the Multiple Risk Factor Intervention Trial) tahun 1987, menunjukkan adanya hubungan
berbanding terbalik antara latihan fisik dengan mortalitas penyakit jantung dan pembuluh
darah. Bahkan latihan intensitas ringan hingga sedang pun dapat memberikan efek proteksi
jantung.15,16
Menurut data ilmiah, program latihan yang diresepkan dan dilakukan secara tepat, sebagai
komponen kunci dari rehabilitasi jantung, dapat meningkatkan toleransi latihan. Myers
dan kawan-kawan (2002) menunjukkan perbaikan metabolic equivalent times (METs) pada
kapasitas fungsional yang menurunkan angka mortalitas sebanyak 12%.17 Jolie dan kawan-
kawan (2011) baru-baru ini menujukkan adanya perbaikan denyut jantung abnormal dan
penurunan mortalitas sebagai hasil dari program latihan.18 Protokol latihan sebaiknya tidak
hanya mencakup ketahanan pasien (endurance) melainkan juga resistensi (resistance) misalnya
treadmills, steppers, weights, rowers, elliptical trainers, exercise bikes, dumbbells. Kolam renang
juga bisa digunakan untuk latihan pada pasien yang tidak mampu banyak bergerak. Uji latih
baseline symptom-limited digunakan untuk stratifikasi risiko pasien sebelum memulai program
latihan. Latihan diberikan berdasarkan hasil uji latih meliputi tipe, intensitas, durasi dan
frekuensi latihan. Di Amerika Serikat program latihan diberikan 3 kali selama 8-12 minggu
dengan durasi 45 menit per sesi. Di Kanada biasanya program diberikan 6-8 minggu dan
program kelanjutan di rumah.5
Rehabilitasi Kardiovaskuler 17
aktivitas erobik yang dilengkapi dengan aktivitas sehari-hari (berjalan, berkebun, pekerjaan
rumah tangga).5
- Kebiasaan merokok
Berhenti merokok adalah cara paling efektif, murah dan penting dalam mencegah penyakit
kardiovaskular. Tidak hanya menurunkan risiko kejadian kardiovaskular, berhenti merokok
dapat menurunkan risiko terkena kanker, ulkus peptikum dan penyakit paru kronis.10 Sebuah
penelitian meta-analisis oleh Critchley JA dan kawan-kawan (2003) menunjukkan adanya
penurunan mortalitas pada pasien dengan riwayat infark miokard, CABG, angioplasti, gagal
jantung yang berhenti merokok dibandingkan dengan pasien yang tetap merokok. Hasil ini
didukung dengan penelitian Mohhiudin dan kawan-kawan (2007) yang mendapatkan adanya
penurunan mortalitas semua penyakit sebanyak 50% pada pasien yang berhenti merokok.
Dari studi kohort Iestra dkk (2005) didapatkan 20% penurunan mortalitas penyakit jantung
dan pembuluh darah.21,22,23
Berhenti merokok bukanlah sebuah keputusan yang mudah karena tidak hanya berhubungan
dengan fisik tapi juga sisi psikologis berupa kecanduan, oleh karena itu, dibutuhkan konsultasi
personal. Beberapa cara dapat dilakukan di antaranya: farmakologi (substitusi nikotin,
bupropion, vareniklin), konseling, edukasi dan dukungan kelompok.
- Konseling nutrisi
Dalam rehabilitasi jantung, konseling nutrisi berguna untuk memberi pengertian kepada
pasien akibat makanan bagi kesehatan. Ahli gizi dalam hal ini dapat memberi informasi tentang
asupan kalori harian yang disesuaikan tiap pasien, secara umum terdiri dari: mengurangi
asupan lemak jenuh (<7% dari kalori total) dan kolesterol (<200 mg/hari), meningkatkan
asupan lemak tidak jenuh polyunsaturated (10% dari kalori total) dan monounsaturated (20%
dari kalori total), membagi sumber kalori yang cukup (karbohidrat 50-60%, protein 15% dan
lemak 25-35% dari kalori total) dan meningkatkan asupan serat (20-30 g/hari).5
18 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Tatalaksana kadar lemak tubuh
Hiperkolesterolemia adalah faktor risiko dengan persentase tertinggi paling berpengaruh
pasca infark miokard. Penelitian Yusuf dan kawan-kawan dalam jurnal Lancet tahun 2009
menunjukkan penurunan LDL setiap 1 mmol/L (38,7 mg/dL), terjadi penurunan kejadian
kardiovaskular 21%. Beberapa aspek rehabilitasi jantung seperti latihan fisik, konseling nutrisi
dan tatalaksana berat badan, dapat memperbaiki profil lipid pasien. Tatalaksana farmakologis
sering ditambahkan juga untuk mencapai target kadar LDL.9,24
Beberapa penelitian di masa lalu juga telah menunjukkan bahwa penurunan kadar kolesterol
dalam darah diikuti dengan penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit jantung dan
pembuluh darah. Salah satunya adalah penelitian tahun 1985 oleh Arntzenius dan kawan-
kawan yang mendapatkan hasil penurunan kadar kolesterol dalam darah dapat memperlambat
perkembangan penyakit jantung koroner hampir di sebagian besar kasus.25
- Tatalaksana diabetes
Selain tekanan darah, tatalaksana diabetes dapat diberikan karena diperkirakan 26% pasien
yang dirujuk ke rehabilitasi jantung memiliki riwayat diabetes. Studi prevalens di Perancis
tahun 2008 mendapatkan hasil bahwa pasien dengan diabetes merupakan kelompok pasien
risiko tinggi di mana mayoritas (93%) memiliki faktor risiko lainnya yang berhubungan seperti
merokok (16%), hipertensi (54%), hiperkolesterolemia (51%), overweight (40%) dan obesitas
(34%). Dengan pendekatan multidisiplin, rehabilitasi jantung diharapkan membantu pasien
dalam mengontrol kadar gula darah lebih baik dan mempertahankan kadar HbA1c <7%.5
- Tatalaksana psikososial
Pasien dengan penyakit jantung seringkali dihadapkan dengan masalah psikologis dan sosial
yang tentunya berdampak pada morbiditas dan mortalitas, 20% dari pasien infark miokard
mengalami depresi, gangguan cemas dan rasa tidak terima (Milani dan kawan-kawan, 1996).
The INTERHEART Study dalam penelitiannya menekankan stres sebagai faktor risiko ketiga
terpenting dalam hal penyakit jantung koroner, setelah kebiasaan merokok dan lemak tubuh,
oleh karenanya rehabilitasi jantung bertindak sebagai alat terapeutik penting. Tidak hanya
menawarkan program latihan, rehabilitasi jantung memberikan pelatihan cara mengurangi
stres misalnya dengan meditasi, relaksasi, yoga dan sebagainya.9,28 Area pelayanan ini
merupakan bagian penting dan menjanjikan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien
Rehabilitasi Kardiovaskuler 19
terutama pada masa awal pemulihan pasca infark miokard. Dampak bagi pasien melalui
edukasi dan konseling ini adalah meningkatkan self-efficacy yakni kemampuan pasien dalam
menilai kapasitas dirinya dalam melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan. Kemampuan ini
menjadi alat penting dalam meningkatkan perilaku sehat di antaranya: latihan fisik, mengatur
pola makanan dan menghentikan kebiasaan merokok.10
Keuntungan pada kualitas hidup pasien terlihat juga dalam perbaikan gejala (berkurangnya
nyeri dada, dispnea dan lelah), penurunan stres dan peningkatan kesehatan psikososial secara
keseluruhan. Keuntungan dari rehabilitasi jantung pada pasien dengan penyakit jantung koroner
terangkum dalam dua meta-analisis terbaru. Satu meta-analisis oleh Clark AM dkk tahun 2005
yang menggunakan 63 uji eksperimental dengan total 21.295 pasien menunjukkan 17% penurunan
terjadinya infark miokard berulang dalam 12 bulan dan penurunan 47% mortalitas selama 2 tahun
rehabilitasi jantung. Meta-analisis satunya lagi (Taylor dan kawan-kawan, 2004) menggunakan
48 uji acak dengan total 8.940 pasien penyakit koroner menunjukkan rehabilitasi jantung secara
signifikan mengurangi mortalitas (odd ratio [OR] = 0.80; 95% [CI] 0.68 hingga 0.93) dan mortalitas
jantung (OR =0.74; 95% CI 0.61 hingga 0.96). Tidak ada perbedaan secara signifikan insidens
infark miokard nonfatal dengan revaskularisasi.19,30
Pada studi Hammil (2010) lebih dari 600.000 pasien Medicare dirawat inapkan karena sindrom
koroner akut (SKA), intervensi koroner perkutan (PCI), operasi Coronary Artery Bypass Grafting
(CABG). Diantaranya hanya 73.049 pasien (12,2%) mengikuti rehabilitasi jantung. Setelah 1 tahun,
terdapat insidens mortalitas pada peserta rehabilitasi jantung sebesar 2,2%, sedangkan pada
yang bukan peserta rehabilitasi jantung sebesar 5,3%. Manfaat ini masih didapatkan hingga 5
tahun dengan insidens mortalitas peserta rehabilitasi jantung sebesar 16,3% dan bukan peserta
sebesar 24,6%. Terdapat hubungan antara respon dengan dosis dalam rehabilitasi jantung. Pasien
20 Rehabilitasi Kardiovaskuler
yang mengikuti 25 sesi atau lebih memiliki insiden mortalitas 20% lebih rendah dalam 5 tahun
dibandingkan dengan peserta yang mengikuti kurang dari 25 sesi.31
Penelitian Exercise Training Meta-Analysis of Trials in Patients with Chronic Heart Failure (ExTraMatch),
meta-analisis dari 9 studi acak menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 35% pasien gagal
jantung. Sebuah uji terkontrol acak tentang latihan fisik pada gagal jantung (HF-ACTION Study)
melibatkan 2.331 pasien dengan ejeksi fraksi < 35% menunjukkan latihan fisik dapat menghasilkan
penurunan (15%) secara signifikan mortalitas yang disebabkan penyakit kardiovaskular atau
penyebab lainnya dan kemungkinan dirawat inap karena gagal jantung.32,33
American Heart Association (AHA) tahun 2007 kaitannya dengan latihan fisik dan kejadian
kardiovaskular akut, memperkirakan risiko komplikasi kardiovaskular mayor berupa henti jantung,
kematian atau infark miokard akut dalam 1 insidens pada setiap 60.000 hingga 80.000 jam latihan
fisik yang disupervisi.35 Pasien yang paling berisiko adalah pasien dengan iskemik setelah tindakan,
aritmia ventrikuler kompleks dan disfungsi ventrikular sinistra berat (fraksi ejeksi <35%) terutama
dengan NYHA III atau IV. Penting untuk diingat bahwa indikasi dan kontraindikasi serta stratifikasi
risiko merupakan kunci keamanan dari rehabilitasi jantung.5 Rehabilitasi jantung modern saat
ini aman dan dapat ditoleransi dengan insidens komplikasi mayor yang sangat rendah seperti
kematian, henti jantung, infark miokard atau cedera yang serius.
Pada tahun 1997 Ades dan kawan-kawan dalam jurnal Cardiopulmonary Rehabilitation mendapatkan
hasil rehabilitasi jantung lebih efektif secara biaya setelah terjadi infark miokard, dibandingkan
obat penurun kolesterol dan trombolitik. Dalam hal modifikasi faktor risiko, hanya berhenti
merokok yang lebih efektif secara biaya dibandingkan faktor risiko lainnya.36
Sebuah penelitian oleh Levin di Swedia (1991) menunjukkan rehabilitasi jantung setelah infark
miokard atau operasi bypass (dengan follow-up 5 tahun) mengurangi rawat inap berulang sebanyak
11 hingga 16 hari, meningkatkan angka kembali bekerja dari 38% menjadi 53% dan lebih hemat
$12,000 tiap pasien. Studi lain oleh Oldridge dkk (1993) menunjukkan partisipai rehabilitasi jantung
12 minggu mengurangi biaya medis sebesar $739 per pasien setelah follow-up 21 bulan.37,38
Rehabilitasi Kardiovaskuler 21
Meskipun telah terbukti manfaatnya, angka rujukan dan partisipasi rehabilitasi jantung lebih
rendah dibandingkan tindakan lain. Studi sebelumnya dari beberapa negara melaporkan angka
rujukan kira-kira 30% di Kanada, Amerika Serikat dan Inggris serta 50% di negara-negara Eropa
lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan kebijakan dan sistem kesehatan.5
Dalam analisis data dari 156 rumah sakit yang berpartisipasi dalam program Get with the Guidelines
(GWTG) pada tahun 2009, Brown dan kawan-kawan menemukan 56% pasien rawat inap dengan
infark miokard, intervensi koroner perkutan (PCI), Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dirujuk
untuk rehabilitasi jantung saat diperbolehkan pulang dari rumah sakit.39
Ditemukan perbedaan jenis kelamin mempengaruhi partisipasi rehabilitasi jantung, wanita memiliki
partisipasi lebih rendah dibanding laki-laki. Rintangan partisipasi perempuan adalah kurangnya
sumber penghasilan, kesulitan transportasi dan kurangnya dukungan sosial atau emosi. Rintangan
partisipasi pasien lainnya berupa motivasi, minat dan waktu. Walaupun studi menunjukkan kaum
lansia memiliki kebutuhan lebih besar untuk rehabilitasi jantung dan mendapatkan hasil yang baik
dengan rendahnya kejadian yang tidak diinginkan, kaum lanjut usia lebih sering tidak dirujuk atau
tidak mengikuti rehabilitasi jantung. Beberapa studi di antaranya Sanderson dan kawan-kawan
(2007) dan Mazzini dan kawan-kawan (2008) juga menunjukkan bahwa ras dan suku minoritas
memiliki angka kejadian tinggi pada penyakit kardiovaskular dan faktor risiko yang berhubungan,
tetapi rendahnya partisipasi terhadap rehabilitasi jantung dikarenakan kurangnya akses dan
perlindungan asuransi serta rendahnya angka rujukan.42,43
22 Rehabilitasi Kardiovaskuler
menarik untuk penyajian dan ekspansi program rehabilitasi jantung dengan kondisi di luar yang
diawasi, terstruktur dan dalam bentuk grup serta membantu meningkatkan partisipasi, mengurangi
faktor risiko dan meningkatkan rasio keuntungan-biaya.
Dewan penasehat dari American Heart Association (AHA) memberikan rekomendasi untuk
meningkatkan kualitas dan partisipasi program rehabilitasi jantung. Implementasi rekomendasi
tersebut akan memberikan perbedaan pada pasien jantung dengan memberikan kesempatan
pasien mendapat manfaat dari program rehabilitasi jantung.45
Ringkasan
Rehabilitasi jantung telah terbukti aman dan efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien
kardiovaskular dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Semakin banyak pasien yang dapat
merasakan manfaat dan efektivitas biaya dari program ini bila rujukan dan partisipasi program
rehabilitasi jantung ditingkatkan dan pelayanan disesuaikan setiap individual berdasarkan profil
pasien. Area penelitian baru termasuk mencari cara baru penyajian rehabilitasi jantung untuk
meningkatkan partisipasi dan rujukan serta mengembangkan latihan fisik baru yang lebih efektif
dan fleksibel dan menggunakan teknologi terbaru untuk memaksimalkan manfaat dari rehabilitasi
jantung.
Daftar Pustaka
1. Kottke L. Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitaition. 4th edition. W.B.
Saunders, 1990.
2. Singh VN and Lorenzo CT, editor. Cardiac Rehabilitation. Prim care. 2015.
3. Grabert D. A Brief Histroy of Cardiac Rehab. NSCA. 2016.
4. Goble AJ and Worcester MUC. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention. Heart Research Centre. Department of Human Services Victoria, 1999.
5. Warner MM. Cardiac Rehabilitation Past, Present and Future: An Overview. Cardiovasc Diagn
Ther. 2012;2(1): 38–49.
6. Morris JN and Heady JA. Mortality in Relation to the Physical Activity of Work: A Preliminary
Note on Experience in Middle Age. Br J Ind Med 1953;10:245-54.
7. Bethell HJ. Cardiac rehabilitation: from Hellerstein to the Millennium. Int J Clin Pract
2000;54:92-7.
8. Wannamethee SG, Shaper AG and Walker M. Physical Activity and Mortality in Older Men
with Diagnosed Coronary Heart Disease. Circulation 2000;102:1358-63.
9. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S, et al. Effect of Potentially Modifiable Risk Factors Associated
with Myocardial Infarction in 52 countries (the INTERHEART study): Case-control study.
Lancet 2004;364:937-52.
10. Gattiker H, Goins P and Dennis C. Cardiac Rehabilitation-Current Status and Future Directions.
West J Med 1992 Feb; 156:183-188.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 23
11. Sullivan MJ, Higginbotham MB, and Cobb FR. Exercise Training in Patients with Severe Left
Ventricular Dysfunction. Hemodynamic and Metabolic Effects. Circulation 1988;78:506-515.
12. Zwisler AD, Soja AM, Rasmussen S, et al. Hospital-based Comprehensive Cardiac Rehabilitation
versus Usual Care among Patients with Congestive Heart Failure, Ischemic Heart Disease or
High Risk of Ischemic Heart Disease: 12-month Results of A Randomized Clinical Trial. Am
Heart J 2008;155:1106-1113.
13. Scrutinio D and Giannuzzi P. Comorbidity in Patients Undergoing Coronary Artery Bypass Graft
Surgery: Impact on Outcome and Implications for Cardiac Rehabilitation. Eur J Cardiovasc
Prev Rehabil 2008;15:379-385.
14. Pande RL, Perlstein TS, Beckman JA, et al. Secondary Prevention and Mortality in Peripheral
Artery Disease: National Health and Nutrition Examination Study, 1999 to 2004. Circulation
2011;124:17-23.
15. Paffenbarger RS Jr, Hyde RT, Wing AL, et al. A Natural History of Athleticism and Cardiovascular
Health. JAMA 1984; 252:491-495.
16. Leon AS, Connett J, Jacobs DR Jr, et al. Leisure-time Physical Activity Levels and Risk of
Coronary Heart Disease and Death-The Multiple Risk Factor Intervention Trial. JAMA 1987;
258:2388-2395.
17. Myers J, Prakash M, Froelicher V, et al. Exercise Capacity and Mortality among Men Referred
for Exercise Testing. N Engl J Med 2002;346:793-801.
18. Jolly MA, Brennan DM and Cho L. Impact of Exercise on Heart Rate Recovery. Circulation
Journal 2011;124:1520-1526.
19. Clark AM, Hartling L, Vandermeer B, et al. Meta-analysis: Secondary Prevention Programs for
Patients with Coronary Artery Disease. Ann Intern Med 2005;143:659-672.
20. Sattelmair J, Pertman J, Ding EL, et al. Dose Response between Physical Activity and Risk of
Coronary Heart Disease: A Meta-analysis. Circulation 2011;124:789-795.
21. Critchley JA and Capewell S. Mortality Risk Reduction Associated with Smoking Cessation in
Patients with Coronary Heart Disease: A Systematic Review. JAMA 2003;290:86-97.
22. Mohiuddin SM, Mooss AN, Hunter CB, et al. Intensive Smoking Cessation Intervention
Reduces Mortality in High-risk Smokers with Cardiovascular Disease. Chest 2007;131:446-
452.
23. Iestra JA, Kromhout D, Van der Schouw YT, et al. Effect Size Estimates of Lifestyle and Dietary
Changes on All-cause Mortality in Coronary Artery Disease Patients: A Systematic Review.
Circulation 2005;112:924-934.
24. Yusuf S, Lonn E and Bosch J. Lipid Lowering for Primary Prevention. Lancet 2009;373:1152-
1155.
25. Arntzenius AC, Kromhout D, Barth JD, et al. Diet, Lipoproteins and the Progression of
Coronary Atherosclerosis: The Leiden Intervention Trial. N Engl J Med 1985; 312:805-811.
26. Zanchetti A. What Blood Pressure Levels Should be Treated? Clin Investig. 1992;70:S2-6.
27. Hedner T, Hansson L and Jern S. What is Happening to Blood Pressure? Blood Press
1996;5:132-133.
28. Milani RV, Lavie CJ and Cassidy MM. Effects of Cardiac Rehabilitation and Exercise Training
Programs on Depression in Patients after Major Coronary Events. Am Heart J 1996;132:726-
732.
24 Rehabilitasi Kardiovaskuler
29. Mitchell ME. Sexual Counseling in Cardiac Rehabilitation. J Rehabil 1982;48:15-18.
30. Taylor RS, Brown A, Ebrahim S, et al. Exercise-based Rehabilitation for Patients with Coronary
Heart Disease: Systematic Review and Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Am J
Med 2004;116:682-692.
31. Hammill BG, Curtis LH, Schulman KA, et al. Relationship between Cardiac Rehabilitation and
Long-term Risks of Death and Myocardial Infarction among Elderly Medicare Beneficiaries.
Circulation 2010;121:63-70.
32. Piepoli MF, Davos C, Francis DP, et al. Exercise Training Meta-analysis of Trials in Patients
with Chronic Heart Failure (ExTraMATCH). BMJ 2004;328:189.
33. O’Connor CM, Whellan DJ, Lee KL, et al. Efficacy and Safety of Exercise Training in Patients
with Chronic Heart Failure: HF-ACTION Randomized Controlled Trial. JAMA 2009;301:1439-
1450.
34. Pavy B, Iliou MC, Meurin P, et al. Safety of Exercise Training for Cardiac Patients: Results
of the French Registry of Complications During Cardiac Rehabilitation. Arch Intern Med
2006;166:2329-34.
35. Thompson PD, Franklin BA, Balady GJ, et al. Exercise and Acute Cardiovascular Events Placing
the Risks into Perspective: A Scientific Statement from the American Heart Association
Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism and the Council on Clinical Cardiology.
Circulation 2007;115:2358-68.
36. Ades PA, Pashkow FJ and Nestor JR. Cost-effectiveness of Cardiac Rehabilitation after
Myocardial Infarction. J Cardiopulm Rehabil 1997;17:222-31.
37. Levin LA, Perk J and Hedbäck B. Cardiac Rehabilitation--a cost analysis. J Intern Med
1991;230:427-34.
38. Oldridge N, Furlong W, Feeny D, et al. Economic Evaluation of Cardiac Rehabilitation Soon
after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 1993;72:154-161.
39. Brown TM, Hernandez AF, Bittner V, et al. Predictors of Cardiac Rehabilitation Referral in
Coronary Artery Disease Patients: Findings from the American Heart Association’s Get With
The Guidelines Program. J Am Coll Cardiol 2009;54:515-521.
40. French DP, Cooper A and Weinman J. Illness Perceptions Predict Attendance at Cardiac
Rehabilitation Following Acute Myocardial Infarction: A Systematic Review with Meta-analysis.
J Psychosom Res 2006;61:757-767.
41. Yohannes AM, Yalfani A, Doherty P, et al. Predictors of Drop-out from An Outpatient Cardiac
Rehabilitation Programme. Clin Rehabil 2007;21:222-229.
42. Sanderson BK, Mirza S, Fry R, et al. Secondary Prevention Outcomes among Black and White
Cardiac Rehabilitation Patients. Am Heart J 2007;153:980-986.
43. Mazzini MJ, Stevens GR, Whalen D, et al. Effect of an American Heart Association Get With
the Guidelines Program-based Clinical Pathway on Referral and Enrollment into Cardiac
Rehabilitation after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 2008;101:1084-1087.
44. Jolly K, Lip GY, Taylor RS, et al. The Birmingham Rehabilitation Uptake Maximisation Study
(BRUM): A Randomised Controlled Trial Comparing Home-based with Centre-based Cardiac
Rehabilitation. Heart 2009;95:36-42.
45. Balady GJ, Ades PA, Bittner VA, et al. Referral, Enrollment and Delivery of Cardiac Rehabilitation/
Secondary Prevention Programs at Clinical Centers and Beyond: A Presidential Advisory from
the American Heart Association. Circulation 2011;124:2951-2960.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 25
26 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 2
Pemeriksaan FIsik
Jantung dan Paru
Rehabilitasi Kardiovaskuler 27
Pemeriksaan yang baik dan benar dapat membantu menegakkan diagnosis yang tepat, dengan
didasari rasa percaya dan kepuasan terhadap dokter. Sebelum memulai rehabilitasi jantung untuk
meningkatkan keamanan dan keefektifan program setiap pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik
serta evaluasi klinis yang komprehensif.1,2,3 Evaluasi medis dilakukan oleh spesialis Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi pada awal program latihan, juga perlu mengetahui kapan pasien mendapatkan
gejala angina, dispnea, palpitasi, serangan infark terakhir, riwayat Sindrom Koroner Akut, tindakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dan Coronary Artery Bypass Graft (CABG).1,2,4,5,6,7
Selain itu obat-obatan apa yang digunakan serta dosis dan kepatuhan pasien dalam meminum
obat tersebut. Penyakit komorbid lain seperti penyakit paru, endokrin, neurologis, muskuloskeletal
dan neuromuskular perlu diperhatikan. Informasi yang terperinci tentang kehidupan sosial dan
pekerjaan memungkinkan rehabilitasi jantung dapat mencapai tujuan yang diharapkan.1,2,4,7
Komponen anamnesis
- Gejala klinis
- Faktor risiko penyakit jantung
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu
- Pengobatan dan prosedur medis
- Diagnosis medis
- Dosis obat-obatan dan riwayat alergi obat
- Kebiasaan lain seperti merokok, alkohol
- Riwayat latihan fisik seperti tipe latihan, frekuensi, intensitas dan durasi
- Riwayat pekerjaan, menekankan pada kemampuan fisik dan mental khususnya harapan kembali
bekerja
- Riwayat psikososial, termasuk kondisi kehidupan pribadi, status pernikahan, kebutuhan
transportasi, kebutuhan keluarga, problem emosi, masalah dalam keluarga, depresi, cemas dan
gangguan psikologis lainnya.1,2,4,5,6,7
28 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Komponen pemeriksaan fisik1,2,4,5,6,7
1. Berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, rasio pinggang dan panggul
2. Kecepatan dan keteraturan irama nadi, tekanan darah, suhu, laju napas, saturasi oksigen
3. Memeriksa adanya xanthoma dan xanthelasma
4. Pemeriksaan dada, tungkai dan peredaran darah pada pasien post CABG atau PCI
5. Inspeksi dan palpasi ekstremitas bawah untuk memeriksa edema, pulsasi arteri, dan kelenturan
kulit
6. Palpasi dan auskulatasi dari arteri karotis, arteri abdominal dan arteri femoral
7. Auskultasi bunyi paru seperti ronkhi, wheezing atau bunyi abnormal lain.
8. Auskultasi jantung seperti murmur, gallop atau bunyi jantung lain.
9. Pemeriksaan ortopedik, neurologis dan pemeriksaan lain yang dapat menghambat uji latih dan
latihan.
Topografi jantung
Jantung merupakan organ yang terletak di dalam rongga dada, dengan dua pertiga bagiannya
berada di rongga dada sebelah kiri dan hanya sepertiga bagian yang berada di sebelah kanan. Batas
kanan jantung dibatasi oleh atrium kanan, sedangkan batas kiri jantung dibatasi oleh ventrikel kiri
dan sebagian besar sisi anterior jantung yang ditempati oleh ventrikel kanan.8,9,10
Ventrikel kanan menyempit di sebelah superior dan bertemu dengan arteri pulmonalis pada
daerah setinggi sternum yang lebih dikenal dengan basis kordis yang letaknya terdapat pada sela
iga ke-2 kanan dan kiri dekat sternum.8,9,10 Ventrikel kiri yang berada di belakang ventrikel kanan
dan di sebelah kirinya akan membentuk tepi lateral kiri jantung. Ujung inferiornya yang meruncing
sering kali dinamakan apeks kordis. Bagian apeks ini memiliki makna klinis yang penting karena
memproduksi impuls apikal yang terkadang dinamakan iktus kordis. Impuls ini biasa ditemukan di
sela iga 5 linea midklavikula kiri dengan diameter 1 hingga 2,5 cm.8,9,10
Tepi kanan jantung dibentuk oleh atrium kanan yang sesungguhnya atrium kanan adalah bagian
yang biasanya tidak dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik. Atrium kiri merupakan ruang
yang letaknya paling posterior dan tidak dapat diperiksa langsung, dalam beberapa kasus atrium
kiri dapat ikut membentuk sisi kiri jantung di antara arteri pulmonalis dan ventrikel kiri.8,9,10
Rehabilitasi Kardiovaskuler 29
Gambar 2.1. Topografi Jantung
30 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Pemeriksaan fisik jantung
Pemeriksaan fisik jantung yang komprehensif harus meliputi pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi. Pada sebagian besar pemeriksaan jantung, pasien harus berbaring terlentang
sementara tubuh bagian atas ditinggikan dengan menaikkan kepala ranjang atau meja periksa
hingga sudut sekitar 30 derajat, sebaiknya pemeriksa harus berdiri di sisi kanan pasien.1,2,4,5,6,7
Inspeksi
Inspeksi yang cermat pada bagian dada anterior dapat mengungkapkan lokasi iktus kordis atau
titik impuls maksimal (apical impulse) serta dapat melihat gerakan ventrikel kiri pada saat bunyi S3
atau S4 sisi kiri, tetapi kasusnya lebih jarang.1,2
- Dada normal memiliki perbandingan diameter tranversal dan diamater antero posterior adalah
2:1 dengan dinding sebelah kiri dan kanan yang simetris.
- Barrel chest atau dada emfisema merupakan bentuk dada yang “menggelembung” dengan
angulus costae lebih dari 90 derajat.
- Kifosis adalah bentuk dada patologis yang ditandai dengan korpus vertebra melengkung ke
belakang.
- Pectus carinatum merupakan bentuk dada dengan tulang sternum yang menonjol ke depan.
- Pectus excavatum merupakan bentuk dada dengan tulang sternum yang melengkung ke
belakang.
- Skoliosis merupakan bentuk tulang vertebra torakalis membentuk huruf S, bila disertai dengan
kifosis disebut kifoskoliosis.1
Rehabilitasi Kardiovaskuler 31
Selain menilai bentuk dada, pada tahap inspeksi juga harus melihat ada atau tidaknya pulsasi pada
beberapa titik tertentu di dinding dada seperti apeks (daerah mitral), sela iga 4 dan 5 (daerah
trikuspidal), sela iga 3 kiri (daerah septal), sela iga 2 kiri (daerah pulmonal) dan sela iga 2 kanan
(daerah aorta).1
Palpasi
Pemeriksaan palpasi digunakan untuk memastikan karakteristik iktus kordis. Pemeriksaan palpasi
juga bertujuan untuk mencari apakah terdapat pulsasi patologis di daerah tersebut seperti thrill,
lift dan heaving. Pemeriksaan palpasi dilakukan di daerah yang sama dengan pemeriksaan inspeksi,
yaitu di daerah apeks, trikuspidal, septal, pulmonal dan aorta. Palpasi yang baik menggunakan
telapak atau ujung jari pemeriksa yang merupakan daerah sensitif untuk meraba. 1,2,4,5,6,7
- Pulsasi apeks normal: teraba pada sela iga 5 kiri, 1 sampai 2 jari medial linea midklavikula kiri,
dengan diameter ±2 cm.
- Thrill adalah getaran akibat turbulensi pada katup jantung dan dapat dikonfirmasi dengan
auskultasi. Jika disebabkan oleh thrill, pada auskultasi akan terdengar bising yang cukup keras,
seperti bising derajat 3.
- Lift adalah gerakan yang mendorong terlapak tangan yang sering ditemukan pada gangguan
katup seperti stenosis mitral.
- Heaving adalah gerakan bergelombang yang dirasakan pada telapak tangan yang sering
ditemukan pada apeks jantung untuk kasus beban volume berlebih (volume overload) seperti
insufiseinsi mitral.
32 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Perkusi
Perkusi dilakukan dengan mengetuk dinding jantung, yang bertujuan untuk menentukan batas
dan kontur jantung. Garis-garis imajiner yang digunakan sebagai acuan antara lain:
Perkusi yang benar menggunakan ruas tengah jari dan jari lain diangkat sedikit agar tidak meredam
suara dan jari pengetuk merupakan jari tengah tangan kanan, dengan kekuatan pada pergelangan
tangan, dilakukan secara ritmis dan tidak terlalu kuat.1,2
- Tentukan batas paru hati: dengan perkusi pada midklavikula kanan turun ke bawah untuk
mendapatkan perubahan suara sonor ke redup.
- Kemudian naik 2 jari ke arah kranial dari batas paru hati.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 33
- Lakukan perkusi dari lateral ke medial dengan jari tegak lurus tulang iga dan temukan
perubahan suara dari sonor ke redup. Titik ini disebut batas relatif jantung kanan, yang pada
keadaan normal berada pada garis sternalis kanan.
- Jika perkusi dilanjutkan akan terdapat perubahan suara dari redup ke pekak yang disebut
batas absolut jantung kanan.1
Pada umumnya penentuan batas jantung kanan dan kiri cukup dilakukan untuk menentukan batas
relatif jantung.
1. Lakukan perkusi melalui parasternal kiri dan mencari perubahan dari sonor ke redup.
2. Pada keadaan normal pinggang jantung terletak pada sela iga 3 linea parasternal kiri.
Auskultasi
Untuk pemeriksaan auskultasi, pemeriksa dapat menggunakan alat bantu stetoskop, yang
memiliki 2 bagian yaitu bell yang digunakan untuk memeriksa nada rendah seperti bunyi jantung
3 dan bagian membran untuk nada tinggi, seperti bunyi jantung 1 dan 2 serta opening snap dan
sebagainya. Pada pemeriksaan daerah trikuspid sebaiknya pemeriksa menggunakan bell dari
stetoskop dan menggunakan bagian membran untuk semua daerah auskultasi.1,2,4,5,6,7
34 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 2.6 Lokasi Auskultasi Jantung
Terkadang juga perlu dilakukan auskultasi di daerah karotis, dengan cara mencari pulsasi karotis
terlebih dahulu, instruksikan pasien untuk menarik nafas dan menahan nafas agar suara nafas
tidak mengganggu pemeriksaan. Pada pasien yang sangat gemuk, apeks jantung akan sulit teraba,
maka pasien diinstruksikan untuk miring sedikit ke kiri sehingga bunyi lebih jelas.1,2,4,5,6,7
Rehabilitasi Kardiovaskuler 35
Gambar 2.7 Posisi pemeriksaan auskultasi pada pasien gemuk
- Bunyi jantung 3, terletak setelah BJ 2 dengan intensitas frekuensi rendah, biasa ditemukan
pada keadaan patologis seperti pada pasien insufisensi mitral atau normal pada anak dan usia
muda.
- Opening snap, terletak setelah BJ 2, dan merupakan suara frekuensi tinggi yang sering
ditemukan pada stenosis mitral
- Split S2, merupakan BJ 2 yang terpecah sama keras dengan jarak yang tidak jauh, sering
ditemukan pada pasien ASD yang tidak menghilang pada saat respirasi dan istirahat, juga
dapat normal pada usia muda, yang akan hilang saat respirasi.
- Bunyi jantung 4 atau BJ atrial merupakan bunyi akibat kontraksi atrium, jika terjadi takikardia
akan menimbulkan bunyi gallop atau derap kuda.
- Fase sistolik merupakan fase diantara BJ 1 dan 2, sedangkan fase diastolik merupakan fase
diantara BJ 2 dan 1. Fase sistolik umumnya lebih singkat dibanding fase diastolik.
Bising jantung
Bila terdengar bising jantung, bising tersebut perlu ditentukan pada fase sistolik atau diastolik.
Juga perlu menentukan sifat bisingnya di mana:1,2,4,5,6,7
36 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 2.1 Gradasi Bising Jantung (bickley, 2003)
Derajat Deskripsi
Derajat 1 Bising terdengar sangat samar-samar sekalipun dengan stetoskop dan baru terdengar
setelah dokter yang mendengarkannya itu sudah membiasakan telinganya untuk
menangkap bunyi tersebut dan mungkin tidak terdengar pada semua posisi
Derajat 2 Bising tidak terdengar (senyap), tetapi segera terdengar ketika kita meletakkan ujung
stetoskop pada dada pasien.
Derajat 3 Bising terdengar cukup keras
Derajat 4 Bising terdengar keras disertai thrill yang dapat diraba
Derajat 5 Bising terdengar sangat keras dengan disertai thrill. Dapat terdengar ketika sebagian ujung
stetoskop diangkat dari permukaan dada pasien.
Derajat 6 Bising terdengar sangat keras dengan disertai thrill. Dapat terdengar ketika seluruh ujung
stetoskop diangkat dari permukaan dada pasien.
- Upayakan pasien merasa nyaman. Tinggikan sedikit kepala pasien dengan menaruh bantal di
bawahnya sehingga otot-otot sternokleidomastoideus dalam keadaan rileks.
- Tinggikan kepala ranjang atau meja periksa hingga sudut 45 derajat. Miringkan kepala pasien
sedikit menjauhi sisi leher yang akan diperiksa.
- Gunakan penerangan dari samping (tangensial) dan periksa kedua sisi leher. Kenali vena
jugularis eksterna pada setiap sisi, kemudian temukan pulsasi vena jugularis interna.
- Jika perlu, tinggikan atau turunkan kepala ranjang sampai anda dapat melihat titik osilasi atau
meniskus pulsasi vena jugularis interna pada leher bagian bawah.
- Fokuskan perhatian anda pada vena jugularis interna kanan. Cari pulsasi pada insisura sterni
di antara posterior muskulus sternokleidomastoideus.
- Kenali titik pulsasi tertinggi pada vena jugularis interna kanan. Bentangkan benda atau
kartu yang berbentuk persegi secara horizontal dari titik ini dan kemudian letakkan sebuah
penggaris (dalam ukuran sentimeter) secara vertikal pada angulus sterni sehingga terbentuk
sudut sembilan puluh derajat yang tepat. Ukur jarak vertikal dalam satuan sentimeter di atas
angulus sterni tempat benda yang dipegang horizontal itu menyilang penggaris. Jarak ini yang
diukur dalam sentimeter di atas angulus sterni atau atrium dan disebut Jugular Venous Pressure
(JVP).
Rehabilitasi Kardiovaskuler 37
Gambar 2.8 Pemeriksaan JVP
Tekanan vena yang diukur melebihi 3 cm atau mungkin 4 cm diatas angulus sterni, atau yang
melebihi jarak total 8 cm diatas atrium kanan, dianggap sebagai kenaikan diatas nilai normal.1,2
Saat penilaian awal, disarankan untuk mencatat tidak hanya laju napas saja tapi juga menilai ritme,
kedalaman laju napas dan usaha napas pasien. Orang dewasa normalnya bernapas teratur 14-20
kali/menit. Berkaitan dengan ada tidaknya masalah saluran pernapasan, dapat pula dilihat ada
tidaknya tanda-tanda kesulitan bernapas seperti sianosis, bunyi mengi yang cukup jelas, adanya
38 Rehabilitasi Kardiovaskuler
kontraksi otot sternokleidomastoideus atau otot-otot lainnya serta adanya retraksi supraklavikular
maupun terdapatnya pergeseran garis tengah trakea. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya
(Gambar 2.4), perlu juga untuk menilai bentuk dada dan diameter anteroposterior terutama pada
pasien usia tua.1,2,4,5,6,7
Inpeksi
Inspeksi dilakukan dengan mengamati bentuk dada dan gerakan dinding dada. Turut pula
memperhatikan ada tidaknya deformitas, asimetri, retraksi abnormal ruang sela iga bawah saat
pasien menarik napas, ada tidaknya bagian dada yang tertinggal saat gerakan inspirasi.2,4,5,7
Palpasi
Indentifikasi area yang nyeri saat ditekan, apakah tampak adanya abormalitas. Selanjutnya dilakukan
penilaian ekspansi rongga dada dengan menempatkan kedua ibu jari pemeriksa di sepanjang tiap-
tiap tepi tulang iga dan merapatkan kedua tangan ke arah lateral dinding dada. Pasien diminta
untuk menarik napas dalam dan kesimetrisan gerakan respirasi dapat dinilai. Penilaian fremitus
taktil dapat dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan ketika memeriksa pasien wanita, pastikan
untuk hati-hati sisihkan payudara ke samping.2,4,5,7
Rehabilitasi Kardiovaskuler 39
Gambar 2.10 Lokasi Fremitus Taktil.
Perkusi
Perkusi dilakukan dari apeks ke basal paru dengan membandingkan kanan dan kiri. Akan tetapi,
bedanya pada anterior terdapat jantung, sehingga akan menghasilkan bunyi redup dari sela iga 3
sampai 5 dada kiri.2,4,5,7
Auskultasi
Pemeriksaan dilakukan dengan mendengarkan dada di sebelah anterior dan lateral juga pasien
diminta untuk menarik napas lebih dalam daripada pernapasan normal dengan mulut terbuka.
Dalam mendengarkan bunyi pernapasan, patut memperhatikan intensitas dan variasi dari
pernapasan vesikular yang normal dan mengenali ada tidaknya bunyi napas tambahan.2,4,5,7
40 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Pemeriksaan paru bagian posterior
Inspeksi
Yang perlu diperhatikan dalam hal inspeksi rongga dada adalah:
Palpasi
Pemeriksaan palpasi paru posterior fokus utamanya adalah area yang terdapat abnormalitas atau
nyeri saat ekspansi dada dan fremitus. Pada area yang dilaporkan adanya nyeri secara seksama
dilakukan palpasi dan dinilai apakah ada abnormalitas misalnya teraba adanya massa. Kemudian
dilakukan pemeriksaan ekspansi rongga dada dengan meletakkan kedua ibu jari pemeriksa setinggi
iga 10 dan rentangkan telapak tangan ke arah lateral kedua paru dengan kedua ibu jari berada di
posisi medial. Pasien kemudian diminta untuk menarik napas secara dalam dan pemeriksa dapat
mengamati pergerakkan kedua ibu jari pemeriksa apakah asimetris pada kedua sisi.2,4,5,7
Masih pada palpasi paru posterior, pemeriksaan fremitus taktil dilakukan untuk menilai transmisi
getaran yang dihantarkan melalui cabang bronkopulmoner ke rongga dada saat pasien berbicara.
Dalam hal ini, pemeriksa menggunakan permukaan ventral atau permukaan ulnar kedua telapak
tangan karena lebih sensitif dalam meraba getaran. Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata
“tujuh tujuh’ saat diperiksa. Sama halnya dengan pemeriksaan ekspansi rongga dada, dengan
menggunakan kedua tangan dapat menilai apakah kedua sisi paru simetris.2,4,5,7
Rehabilitasi Kardiovaskuler 41
Gambar 2.13 Lokasi fremitus taktil
Perkusi
Pemeriksaan yang berlandaskan pada ketukan ini merupakan teknik paling penting karena dapat
membantu dalam menentukan apakah jaringan di bawah dinding dada berisi udara, cairan, atau
padat. Saat melakukan perkusi paru posterior bagian bawah, pemeriksa lebih baik berdiri sedikit ke
samping tubuh pasien dibandingkan tepat di belakang pasien sehingga memungkinkan pemeriksa
untuk menempatkan jari pleksimeter tangan kiri dan jari pleksor tangan kanan lebih efektif dalam
menghasilkan bunyi perkusi yang lebih jelas. Perkusi dilakukan sebaiknya 2 kali pada tiap lokasi
di kedua sisi mulai dari apeks sampai dengan basis pulmonalis. Sebelum perkusi dilakukan, pasien
diposisikan dengan cara menyilangkan kedua lengannya di depan.2,4,5,7
42 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 2.15 Lokasi perkusi dan auskultasi paru posterior
Paru yang normal akan mengeluarkan bunyi sonor saat dilakukan perkusi. Oleh karena itu,
penting untuk dapat membedakan dengan bunyi-bunyi lain dengan karasteristiknya, seperti yang
dijabarkan dalam tabel berikut ini.2,4,5,7
Auskultasi
Penilaian akan aliran udara melalui cabang trakeobronkial dapat dinilai melalui teknik auskultasi.
Untuk menilai keadaan paru dan rongga pleura yang dilakukan dalam auskultasi adalah
mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh pernapasan, ada tidaknya bunyi tambahan, jika ada
kecurigaan akan abnormalitas, dapat mendengarkan bunyi yang ditimbulkan saat pasien bersuara
atau berbisik. Bunyi napas atau bunyi paru normal antara lain:
- Vesikular yang intensitasnya pelan, bernada rendah, terdengar selama inspirasi sampai dengan
akhir ekspirasi dan berlokasi hampir di seluruh kedua lapang paru.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 43
- Bronkovesikular, lamanya bunyi kurang lebih sama antara saat inspirasi dan ekspirasi, sering
ditemukan di ruang sela iga 1 dan 2 sebelah anterior dan interskapular.
- Bronkial yaitu bunyi yang keras dengan nada lebih tinggi, ekspirasi berlangsung lebih lama dari
inspirasi, terdengar normalnya di daerah manubrium
Dalam mendengarkan bunyi napas, pasien diminta untuk menarik napas dalam melalui mulut
dengan membran stetoskop, auskultasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan lokasi perkusi,
yakni dari apeks hingga basal paru serta dibandingkan kedua sisi, sedikitnya satu siklus pernapasan
yang penuh di setiap lokasi. Setiap bunyi tambahan yang saling tumpang tindih dengan bunyi
napas normal merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis kelainan jantung dan paru.
Bunyi tambahan bisa terputus-putus seperti crackles halus dan kasar serta bunyi kontinu seperti
mengi dan ronkhi.
Daftar Pustaka
1. Makmun LH. Instruksional Pemeriksaan Fisis Jantung. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. 2000.
2. Bickley LS. Toraks dan paru dalam Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2003.
3. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
4. Grubb N, Spratt J and Bradbury A. The Cardiovascular System in Macleod’s Clinical Examination.
13h edition. Philadelphia: Elsevier. 2009; p105-153.
5. Harold E. Clinical Anantomy A Revision and Applied Anatomy for Clinical Students. 11th edition.
Victoria: Blackwell Publishing. 2006; p3-47.
6. Joseph KP. Physical Examination of the Heart and Circulation. 4th edition. USA: PMPH USA.
2009.
7. Burns EA, Korn K and Whyte J. Oxford American Handbook of Clinical Examination and
Practical Skills. New York: Oxford University Press. 2011; p145-180.
8. Putz R and Pabst R. Sobotta Atlas of Human Anatomy. 22nd Edition. Jakarta: EGC. 2010; p304-
350
9. Agur AMR and Dalley AF. Grant’s Atlas Anatomy. 12th edition. Philadelphia: Lipincott Williams
and Wilkins. 2009; p12-90
10. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, et al. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9th
edition. USA: Pearson. 2012.
44 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 3
Uji Latih Beban
jantung pada
Rehabilitasi
KARDIOVASKULAR
Rehabilitasi Kardiovaskuler 45
Pendahuluan
Uji latih sudah banyak digunakan dalam mendiagnosis penyakit jantung koroner dan sudah
tersebar luas selama beberapa dekade terakhir. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas
uji latih untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner masing masing sekitar 63% dan 74%. Uji
latih merupakan prosedur yang aman dan risikonya ditentukan oleh karakteristik klinis dari pasien
yang mengikuti prosedur. Pada populasi pasien secara keseluruhan angka mortalitas di bawah
0,01% dan angka morbiditas di bawah 0,05%. Penilaian klinis yang baik sangat diperlukan untuk
menentukan keamanan pasien mengikuti uji latih. Uji latih sebaiknya dilakukan dibawah supervisi
dokter yang kompeten disertai perlengkapan, obat-obatan dan tenaga medis untuk melakukan
prosedur Advanced Cardiac Life Support (ACLS).1
Uji latih normal diterminasi saat denyut jantung mencapai 85% dari prediksi denyut jantung
maksimum yang didasari oleh usia dan jenis kelamin. Abnormalitas yang ditemukan selama uji latih
dapat menandakan prognosis yang buruk. Toleransi tes maksimum dipengaruhi oleh disfungsi
ventrikel kiri baik selama pemulihan dan setelah tes. Penanda kapasitas erobik selama tes antara
lain ditinjau dari lamanya kemampuan melakukan tes, METs, denyut jantung maksimal dan double
product. Mengubah durasi selama tes menjadi satuan METs dalam menentukan kapasitas tes
memberikan data yang lebih konsisten mengenai fungsi dan performa dalam setiap protokol. Uji
latih yang dilakukan serial dapat mendokumentasikan perkembangan fisiologis dan fungsional
pasien dan membantu dalam memodifikasi peresepan program latihan.2
Uji latih (treadmill, cycle ergometer, uji jalan 6 atau 12 menit) sangat penting dalam awal latihan
untuk menentukan dosis yang akurat untuk semua pasien yang menjalani program rehabilitasi
jantung, demikian pula pada akhir latihan semua pasien dievaluasi menggunakan protokol
uji latih jantung yang sesuai dengan diagnosis pasien. Hasil latihan dapat menentukan tingkat
penyembuhan, kebugaran dan kapasitas fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari, kembali
bekerja serta kualitas hidup.3
Uji latih maksimal (symptom limited) yang dilakukan beberapa bulan setelah program latihan atau
setelah selesai program sangat berguna dalam penilaian kebugaran pasien secara komprehensif.3,4
Uji latih dapat memperlihatkan performa fisik yang menurun seperti shortness of breath dan
kelelahan juga dapat melihat gejala iskemia yang nampak seperti angina dan perubahan segmen ST
pada EKG. Perubahan ini dapat menentukan penatalaksanaan berikutnya pada pasien. Kapasitas
erobik pada uji latih dapat meyakinkan pasien karena biasanya menunjukkan hasil yang sebenarnya
dari kemampuan fisik.3,4
Uji latih maksimal (symptom limited) memiliki risiko henti jantung yang minimal sehingga harus
diwaspadai, oleh karena itu observasi perlu dilakukan atas dasar keamanan dan keselamatan pasien.3
Bagi para dokter, uji latih memberikan informasi diagnostik, prognostik dan kapasitas fungsi. Data
yang didapatkan selama uji latih gunanya adalah:5
46 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih memberikan informasi berhubungan dengan respon iskemik atau aritmia, tekanan darah
dan nadi, keterbatasan yang berhubungan dengan toleransi latihan dan kapasitas fungsi. Seluruh
informasi ini berguna untuk modifikasi resep latihan dan penatalaksanaan pasien selama latihan.5
Pelaksanaan uji latih dilakukan sampai pasien mencapai kemampuan maksimal atau sign/symptom
limited dan dihentikan pada denyut jantung tertentu atau beban kerja tertentu sampai pasien
dapat diketahui kemampuan endurance nya. Jika uji latih dihentikan pada denyut jantung atau
beban latihan yang sudah ditetapkan sebelumnya atau sebelum mencapai munculnya gejala hasil
uji latih ini akan menghasilkan denyut jantung puncak yang lebih rendah. Namun pada praktiknya
target 85% denyut jantung maksimal sudah menggambarkan hasil pasien yang sesungguhnya dan
mampu menentukan hasil tes yang optimal.5
Kebanyakan pasien sudah menunjukkan kemampuan fisik yang signifikan sebelum dilakukan uji
latih oleh karena itu uji latih merupakan pilihan yang dianjurkan pada umumnya untuk memastikan
keadaan klinis.3
Satuan tugas ACC/AHA dalam acuan praktik rehabilitasi kardiovaskular dibentuk untuk membuat
rekomendasi mengenai penggunaan uji latih sebagai alat bantu diagnosis dan pengobatan pada
pasien yang dicurigai mengalami penyakit jantung. Uji latih sudah tersebar luas dan termasuk
dalam alat bantu yang murah namun efektif. American college of cardiology/American Heart
Association menerbitkan panduan klinis dalam uji latih meliputi uji latih menggunakan treadmill
atau sepeda statis dengan pemantauan EKG dan tekanan darah, namun panduan klinis tersebut
tidak meliputi penggunaan modalitas pencitraan (radionuclide imaging dan echocardiography).6
Acuan klinis sebelumnya disusun tahun 1986, setelah itu banyak peneliti yang menguji kegunaan
uji latih dalam memprediksi hasil akhir baik pada pasien yang simptomatik dan asimptomatik.
Manfaat dan efektivitas uji latih sudah terbukti jika dibandingkan dengan modalitas pemeriksaan
lain pada pasien.6
Efektivitas uji latih pada setiap individu dipengaruhi beberapa faktor antara lain:6
- Diagnostik:
- Membantu diagnosis penyakit.
- Tes residual iskemia pada gejala berulang.
- Prognostik:
- Mampu mengelompokkan penyakit berdasarkan tingkat keparahan dan risiko.
- Penilaian risiko pada sindrom koroner akut.
- Fungsional:
- Penentuan dosis latihan.
- Mengukur kapasitas fungsi saat istirahat atau respon uji latih.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 47
Uji latih dapat digunakan untuk menilai kemampuan toleransi pasien terhadap aktivitas fisik,
sementara latihan fisik yang disupervisi oleh dokter dapat mencegah manifestasi infark miokard,
artimia dan kelainan yang berhubungan dengan kelelahan fisik.1,7
Duke treadmill score pada protokol Bruce disusun dan sudah banyak digunakan untuk tujuan
prognosis.8
Treadmill score= waktu uji latih – (5xdeviasi segmen ST [mm]) – (4xindeks angina latihan)
Keterangan:
48 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Hasil interpretasi
Pria: risiko rendah à 0,9%, risiko sedang à 2,9%, risiko tinggi à 8,3%.
Wanita: risiko rendah à 0,5%, risiko sedang à 1,1%, risiko tinggi à 1,8%.
Beberapa studi sudah dilakukan dalam menilai berbagai variabel untuk menentukan skor prognosis.
Menggunakan Cox regresion analysis, Mark dan kolega menciptakan Duke treadmill skor dari 2842
pasien dengan PJK yang menjalani uji latih sebelum diagnostik angiografi. Kelompok risiko tinggi
(≤11, 13% pasien), memiliki kemungkinan angka mortalitas ≥5%. Kelompok risiko rendah (≥5, 34%
pasien), memiliki kemungkinan angka mortalitas sebesar 0.05%.6
Penelitian dari Mayo Clinic di Olmstead menilai kegunaan skor treadmill pada populasi uisa tua,
seperti yang diduga sebelumnya pada usia tua banyak penyakit komorbid yang menyertai dan
hanya mampu mencapai beban kerja yang lebih rendah serta memiliki angka kemungkinan hidup
yang lebih rendah.6
Rehabilitasi Kardiovaskuler 49
Uji latih untuk tujuan fungsional
Uji latih juga memiliki fungsi untuk memodifikasi resep latihan, Center for Medicare dan Medicaid
Services (CMS) menganjurkan uji latih dilakukan sebelum dan sesudah 36 sesi rehabilitasi jantung.5
Cardiopulmonary exercise testing (CPET) merupakan gold standard untuk mengevaluasi penyebab
intoleransi latihan pada pasien dengan penyakit jantung paru. Cardiopulmonary exercise testing
juga memberikan penilaian objektif untuk kapasitas latihan, mengidentifikasi mekanisme yang
membatasi toleransi latihan, memberikan petunjuk mengenai prognosis pasien serta memonitor
progresi penyakit maupun respons dari intervensi. Yang dinilai pada uji latih ini adalah VO2 max,
ventilasi menit (minute ventilation), frekuensi jantung, gejala sesak napas dan nyeri.9
Kapasitas erobik maksimal dapat diukur dengan uji latih serta melihat variabel lain yang didapat
seperti respon denyut jantung selama uji latih sampai saat istirahat, respon tekanan darah sistolik
dan diastolik, konsumsi oksigen saat ambang batas anerobik dan respon ventilasi saat uji latih.
Uji latih ini penting dalam memberikan gambaran kesehatan keseluruhan pasien serta membantu
dalam peresepan latihan yang aman untuk pasien.10
Pedoman yang disusun oleh AHA/ACC didasari oleh penelitian secara meta-analisis dari penelitian
yang sudah dilakukan sejak 1975. American college of cardiology/American Heart Association
menggolongkan tingkat kegunaan sebuah prosedur uji latih dalam 3 kelas:6
- Kelas I: Terdapat bukti dan kesepakatan pendapat bahwa sebuah tindakan/prosedur efektif
dan berguna dalam suatu kondisi.
- Kelas II: Terdapat perbedaan pendapat (belum ada kesepakatan) mengenai tindakan atau
prosedur
- IIa: bukti/pendapat lebih menunjukkan manfaat yang diterima mengenai tindakan/
prosedur.
- IIb: kegunaan dan efisiensi belum dapat dibuktikan karena kurang bukti yang cukup.
- Kelas III: Terdapat bukti dan kesepakatan pendapat bahwa sebuah tindakan/prosedur tidak
berguna/efektif dan dalam beberapa kasus dapat berbahaya.
50 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Fisiologi uji latih
Dasar dari fisiologi uji latih menunjukkan terdapat hubungan linear antara denyut jantung dan
beban kerja dari istirahat ke ambang batas ventilasi yang terjadi saat kebutuhan oksigen pada saat
uji latih melebihi suplai oksigen dari otot yang bekerja.5 Perlu dicatat bahwa respon ini spesifik
pada otot yang dilatih sehingga peresepan latihan harus memperhatikan kelompok otot yang
sering digunakan pada kehidupan sehari–hari. Sebagai contoh, seseorang yang banyak memiliki
aktivitas alat gerak atas perlu mendapat uji latih pada anggota gerakan atas selama rehabilitasi
jantung.5
isometrik (statis)
- Latihan isometrik didefinisikan sebagai kontraksi otot tanpa gerakan (misalnya, handgrip) dan
membebankan tekanan lebih besar dari beban volume pada ventrikel kiri dalam kaitannya
dengan kemampuan tubuh untuk memasok oksigen. Curah jantung tidak meningkat sebanyak
di latihan isotonik karena peningkatan resistensi di kelompok otot aktif membatasi aliran
darah.,
isotonik (dinamis)
- Latihan isotonik, yang didefinisikan sebagai kontraksi otot yang mengakibatkan gerakan akan
memberikan beban volume ke ventrikel kiri dan respon yang sebanding dengan ukuran massa
otot yang bekerja dan intensitas latihan.
resistensi (kombinasi isometrik dan isotonik) .
- Latihan resistensi menggabungkan kedua isometrik dan isotonik (seperti olahraga angkat
beban).
Rehabilitasi Kardiovaskuler 51
denyut jantung, curah jantung, tekanan darah dan ventilasi paru dipertahankan pada tingkat yang
cukup konstan. Pada peningkatan intensitas pengeluaran energi yang berat menstimulasi saraf
simpatis maksimal sedangkan stimulasi parasimpatis akan berkurang sehingga vasokonstriksi
terjadi di sebagian besar sistem pembuluh darah kecuali otot yang bekerja, sirkulasi serebral dan
koroner.11,12,13
Selama uji latih berlangsung aliran darah otot rangka akan meningkat dan konsumsi
oksigen meningkat sebanyak 3 kali lipat, resistensi perifer total menurun sedangkan tekanan darah
sistolik, tekanan arteri rerata serta tekanan nadi biasanya meningkat. Tekanan darah diastolik
mungkin tetap tidak berubah atau menurun sedikit. Pembuluh darah paru dapat menampung
sebanyak peningkatan 6 kali lipat curah jantung tanpa peningkatan yang signifikan pada tekanan
arteri pulmonalis. Pada orang normal hal ini bukan penentu yang dapat membatasi kapasitas uji
latih maksimal. Curah jantung dapat meningkat sebanyak 4 sampai 6 kali lipat di atas tingkat basal
selama aktivitas maksimal dalam posisi tegak, tergantung pada faktor genetik dan tingkat uji latih.
Pada tahap post exercise hemodinamik kembali ke baseline dalam beberapa menit dari penghentian
uji latih. Reaktivasi vagal merupakan mekanisme deselerasi jantung penting setelah uji latih yang
biasanya lebih cepat pada atlet terlatih tetapi dapat lebih lambat pada pasien yang mengalami
dekondisi dan atau pasien yang sakit.11,12,13,14
Metabolic equivalents adalah satuan pengambilan oksigen saat istirahat (sebesar 3,5 mL O2 per
kilogram berat badan per menit [mL/kg/min]). Maximal oxygen uptake dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin, kebiasaan olahraga, faktor keturunan dan status klinis kardiovaskular. Ambang batas
ventilasi adalah ukuran lain dari usaha kerja dan hal itu menggambarkan titik di mana ventilasi
tiba-tiba meningkat meskipun terjadi peningkatan linear dalam ambilan oksigen dan tingkat kerja.
Pada sebagian besar kasus ambang ventilasi mudah diatur, meskipun mungkin tidak akan tercapai
atau mudah diidentifikasi pada beberapa pasien, khususnya mereka dengan kapasitas uji latih yang
sangat buruk. Ambang ventilasi adalah suatu titik saat uji latih ketika ventilasi mulai meningkat
dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan VO2 max.
1. Usia
Nilai tertinggi VO2 max umumnya ditemukan pada usia 15-30 tahun dan berkurang sesuai
bertambahnya usia. Pada laki-laki usia 60 tahun VO2 max hanya berkisar 20% dari saat usia
20 tahun. Penurunan VO2 max biasanya 8% hingga 10% per dekade baik pada populasi yang
kurang aktif bergerak dan pada populasi atlet.
52 Rehabilitasi Kardiovaskuler
2. Jenis kelamin
Pada perempuan VO2 max lebih rendah karena massa otot yang lebih kecil, hemoglobin,
volume darah yang lebih rendah dan stroke volume yang lebih kecil dibanding laki-laki.
3. Kebiasaan olahraga
Aktivitas fisik memiliki pengaruh besar terhadap VO2 max. Pada laki-laki sehat setelah tiga
minggu tirah baring terjadi penurunan VO2 max sebeesar 25%. Pada laki-laki muda yang sehat
dan cukup aktif VO2 max mencapai 12 METs, sedangkan individu yang menjalankan latihan
erobik seperti berlari VO2 max mencapai 18 – 24 METs (60 – 85 ml/kg/min).
4. Keturunan.
Terdapat variasi VO2 max alami yang berhubungan dengan faktor genetik.
5. Status klinis kardiovaskular
Berbagai macam penyakit mempengaruhi VO2 max dan sulit untuk memprediksi secara akurat
hal ini berhubungan dengan kebiasaan latihan dan usia yang memiliki sebaran cukup variatif
serta berkorelasi rendah. Tabel 1 menggambarkan nilai-nilai normal untuk usia.
Tabel 3.1 Nilai normal VO2 max menurut Usia dan Jenis Kelamin12
Nilai VO2 max setara dengan produk dari cardiac output maksimal dan perbedaan maksimal oksigen
arteriovenous. VO2max secara langsung berkaitan dengan denyut jantung karena curah jantung
setara dengan produk dari stroke volume dan denyut jantung. Selain itu stroke volume hanya
meningkat pada tingkat tertentu. Perbedaan VO2 max arteriovenous yang meningkat dengan uji
latih memiliki batas fisiologis 15% sampai 17% dari volume, sehingga jika usaha maksimal tercapai,
VO2 max dapat digunakan untuk memperkirakan curah jantung maksimal.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 53
Ambilan oksigen miokard (myocardial oxygen uptake)11,12,13
Ambilan oksigen miokard terutama ditentukan oleh stres dinding intramiokard (yang merupakan
produk dari tekanan dan volume ventrikel kiri dibagi dengan ketebalan dinding ventrikel kiri),
kontraktilitas dan denyut jantung. Faktor lain yang kurang penting seperti kerja eksternal yang
dilakukan oleh jantung, energi yang diperlukan untuk aktivasi dan metabolisme basal miokard.11-13
Pengukuran yang akurat dari ambilan oksigen miokard membutuhkan kateterisasi jantung untuk
mendapatkan arteri koroner dan kandungan oksigen vena. Ambilan oksigen miokard dapat
diperkirakan selama uji latih klinis yang diperlihatkan dari denyut jantung dan tekanan darah
sistolik yang disebut sebagai double product. Ada hubungan linear antara pengambilan oksigen
miokard dan aliran darah koroner. Selama uji latih aliran darah koroner meningkat sebanyak 5 kali
lipat di atas nilai istirahat.11-13
Pada penderita penyakit obstruksi arteri koroner (CAD) sering tidak bisa mempertahankan aliran
darah koroner yang memadai ke daerah yang terkena iskemia dan tidak dapat memasok kebutuhan
metabolisme untuk miokard selama latihan, akibatnya iskemia miokard biasanya terjadi pada
produk tingkat tekanan yang sama bukan pada beban kerja eksternal yang sama (misalnya tahap
uji latih).11-13
Respon denyut jantung terhadap uji latih dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya posisi
tubuh, jenis uji latih dinamis, kondisi fisik tertentu, keadaan kesehatan, volume darah, fungsi
nodus sinus, obat-obatan dan lingkungan. Denyut jantung saat uji latih dinamis meningkat lebih
tinggi dari jenis uji latih isometrik atau resistensi. Respon denyut jantung lebih cepat ditemukan
pada pasien yang tirah baring lama di tempat tidur pada beban kerja standar yang menunjukkan
respon dekondisi pada pasien.
Di antara pasien dengan penyakit jantung dengan atau tanpa terapi beta blocker, peningkatan
denyut jantung akan sesuai antara peningkatan dengan uji latih namun respon maksimal akan
berkurang pada pasien dengan penyakit jantung. Respon denyut jantung pada pasien dengan beta
blocker secara signifikan memiliki denyut jantung yang lebih rendah.
Rumus yang sering digunakan untuk memprediksi denyut jantung maksimal (220-usia) sebaiknya
tidak digunakan pada terutama pada pasien penyakit jantung dengan pengobatan beta blocker.
Namun denyut jantung maksimal dapat diprediksi sesuai dengan populasinya.
54 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Respon Tekanan Darah Arteri (Arterial Blood Pressure Response)5
Tekanan darah sistolik meningkat dengan meningkatnya uji latih yang dinamis sebagai akibat dari
meningkatnya curah jantung, sedangkan tekanan diastolik biasanya tetap sama atau turun sedikit
dan mungkin didengar hingga ke nol di beberapa subjek normal. Nilai normal tekanan darah sistolik
maksimal untuk pria sudah ditetapkan dan secara langsung berhubungan dengan usia.
Setelah uji latih maksimal biasanya ada penurunan tekanan darah sistolik yang mencapai tingkat
istirahat dalam waktu 6 menit dan sering tetap lebih rendah dari tingkat pra-latihan selama
beberapa jam. Ketika uji latih dihentikan tiba-tiba, pada beberapa orang yang sehat didapatkan
penurunan cepat tekanan darah sistolik karena pengumpulan darah vena dan meningkat pasca
latihan sesuai dengan pengurangan curah jantung.
Tekanan darah sistolik meningkat secara progresif selama uji latih dari saat istirahat hingga
mencapai puncak uji latih, tetapi tekanan darah diastolik tidak berubah. Peningkatan tekanan
darah sistolik 10 mmHg biasanya terjadi dari peningkatan beban kerja 1 MET. Tekanan darah
sistolik yang tidak meningkat dengan adanya peningkatan beban kerja menandakan kemungkinan
iskemia miokard dan atau disfungsi ventrikel kiri.
Apabila uji latih dilakukan tanpa minum obat rutin yang dianjurkan dokter maka dikhawatirkan
akan memiliki risiko terjadi iskemia atau nyeri dada yang dapat menghambat uji latih sehingga
kemampuan kapasitas erobik maksimal tidak diketahui secara pasti. Uji latih jantung umumnya
dilaksanakan oleh dokter yang ahli dan kompeten biasanya dilakukan oleh dokter spesialis jantung.5
Persiapan Pasien
Pasien sebaiknya disarankan untuk tidak makan dan mengkonsumsi minuman berkafein dalam 3
jam sebelum uji latih. Obat-obatan dari dokter ahli jantung yang diterima pasien dikonsumsi seperti
biasa. Elektrokardiografi dan tanda-tanda vital dicatat sebelum, selama dan sesudah testing.2
Rehabilitasi Kardiovaskuler 55
Penjadwalan uji latih (oleh dokter ahli jantung):5
-- Jadwal uji latih pada jam yang sama seperti waktu akan mengikuti latihan
-- Pertimbangkan penundaan uji latih jika pasien tidak mengkonsumsi obat sesuai anjuran
-- Jangan lakukan uji latih jika pasien menunjukkan perubahan klinis yang dapat membatasi
kemampuan untuk beraktivitas maksimal, seperti infeksi saluran nafas atas atau eksarsebasi
akut gout atau artritis.
Sebelum memulai uji latih, anamnesis dan informed consent perlu dilakukan. Sangat penting
untuk mengetahui riwayat aktivitas fisik pasien, gejala yang pernah timbul dan mengkonfirmasi
kepatuhan minum obat serta kondisi klinis yang mengindikasikan uji latih dapat dilakukan.5
Pasien dipersiapkan dengan menempelkan elektroda untuk memonitor EKG selama uji latih.
Pemeriksaan EKG, tanda-tanda vital dan gejala perlu dinilai sebelum memulai uji latih. Jika pasien
mampu berjalan tanpa keterbatasan atau ketidaknyamanan dada, maka protokol treadmill yang
sebaiknya dipilih, jika ada masalah pada neuromuskuloskeletal khususnya ekstremitas bawah
pertimbangkan protokol lain seperti ergocycle test.5
Selama uji latih pasien harus dimonitor dengan EKG dengan penggunaan 12 sadapan EKG, evaluasi
berkala hemodinamik dan skala Borg sebaiknya dilakukan secara berkala pada interval tertentu.
Pengukuran secara manual maupun otomatis, ukuran cuff, peletakan stetoskop dan tenaga medis
terlatih merupakan hal yang penting.5
Studi terbaru pada PCI yang menggunakan DES dan terapi antiplatelet kombinasi (pada 97,2%
pasien) menunjukkan pasien memulai uji latih pada 26 hari pasca PCI, yang 58% persen di
antaranya memulai uji latih dalam 30 hari pasca PCI. Kekhawatiran terjadinya stent trombosis
tidak boleh menghambat dimulainya rehabilitasi jantung setelah PCI.
Uji latih submaksimal biasa dilakukan segera setelah prosedur dan 14 hari untuk uji latih maksimal.
Jika PCI dilakukan pada infark miokard yang luas sebaiknya uji latih ditunda hingga 4 minggu
pasca PCI. Rehabilitasi jantung dapat dimulai segera setelah uji latih submaksimal jika pasien
dalam keadaan stabil atau pada sindrom koroner akut dengan kerusakan miokardial yang minimal.
Jika pada gambaran EKG tampak gelombang Q, sebaiknya ditunda sampai 1 bulan setelah infark
miokard.4-7
56 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih maksimal (symptom limited) aman dilakukan pasca infark miokard tanpa komplikasi. Pada
pasien yang menjalani operasi seperti sternotomi uji latih maksimal ditunda terlebih dahulu
sampai terjadi penyembuhan pada daerah sternum. Menurut penelitian Jelinek dan kawan-kawan
menyatakan bahwa pada pasien pasca CABG ditemukan perbaikan kapasitas latihan sebesar 8%
dibandingkan PCI yang hanya 1%.4-7
Mc Connell dan kawan-kawan melaporkan pasien yang mengikuti 12 minggu program rehabilitasi
jantung memperlihatkan peningkatan energy expenditure secara aman. Namun guidelines terkini
menganjurkan uji latih dilakukan hampir pada semua pasien yang akan mengikuti program
rehabilitasi jantung. Akan tetapi masih banyak orang yang mengikuti program rehabilitasi jantung
fase II tidak mendapat uji latih sebelumnya. Berdasarkan survei dari Andreuzzi dan kawan-
kawan 60% pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II tidak mengikuti uji latih
sebelumnya. Namun uji latih submaksimal seperti uji jalan 6 menit dapat dilakukan sebelum
memasuki program rehabilitasi jantung fase II, hal ini bertujuan untuk mendapatkan dosis awal
latihan yang optimal. Penundaan pelaksanaan uji latih dianjurkan pada pasien dengan kapasitas
fungsional yang sangat rendah dan pasien yang tidak terbiasa dengan latihan. Pasien seperti ini
mungkin mendapat hasil yang lebih baik jika mengikuti program rehabilitasi jantung beberapa sesi
latihan sebelum melakukan uji latih maksimal.
Terdapat banyak protokol dalam uji latih yang dicantumkan pada banyak penelitian sebelumnya.
Protokol yang paling sering digunakan adalah protokol Bruce, tetapi modifikasi latihan jalan selama
6 atau 12 menit juga menunjukkan manfaat yang baik. Kapasitas latihan dilaporkan dalam bentuk
perkiraan metabolic equivalents (METs) latihan.6,7 Pemilihan protokol harus dititik beratkan pada
kapasitas fungsional setiap pasien yang tergantung dari penyakit utama, penyakit penyerta, usia
dan kebugaran fisik.7
Symptom limited-test merupakan uji latih yang dilakukan sampai pasien timbul gejala klinis sehingga
uji latih perlu dihentikan. Biasanya dilakukan pada pasien sebelum pulang apabila tidak terdapat
komplikasi khususnya pada kelompok pasien tertentu seperti pada kelompok usia muda, sindrom
koroner akut yang melibatkan satu pembuluh darah hasil coronary angiography dan ingin kembali
ke pekerjaan sesegera mungkin.7 Namun pasien yang memiliki penyulit atau komplikasi maka uji
latih ini dapat dilakukan pada akhir fase II.7
Pemilihan protokol5
Protokol Bruce merupakan protokol uji latih menggunakan treadmill yang paling sering digunakan.
Beban kerja pada step 1 diperkirakan mencapai 4,6 METs dan peningkatan 2,5-3 METs setiap
stepnya. Pasien harus mencapai 4-6 Mets untuk memulai rehabilitasi jantung, pada pasien yang
memiliki gagal jantung kongestif memiliki METs yang lebih rendah. Namun protokol Bruce bukan
Rehabilitasi Kardiovaskuler 57
merupakan pilihan utama untuk pasien memasuki rehabilitasi jantung karena pasien umumnya
hanya mencapai 1-2 step (<6 menit) dari protokol ini.
Protokol modified Bruce mulai dari beban kerja yang sesuai 2,3 METs, namun step 3 memilki beban
yang sama dengan protokol Bruce sehingga protokol ini bukan merupakan pilihan utama. Jika
dimungkinkan uji latih sebaiknya dilakukan pada treadmill karena mendapat respon fisiologi yang
lebih tinggi dari uji latih menggunakan leg atau arm ergometer. Dibanding dengan leg ergometry,
uji latih treadmill memilik tingkat VO2 max yang lebih tinggi 10-15% dan denyut jantung maksimal
5-20%. Beberapa pasien dengan obesitas, artritis atau penyakit komorbid lainnya mungkin tidak
dapat melakukan uji latih treadmill secara adekuat dan membutuhkan uji latih menggunakan teknik
lain. Pada penggunaan leg ergometer protokol dimulai dari 0-10 watts dan meningkat 10 watts per
menit atau 20-30 watts per 2-3 menit.5
Arm ergometry merupakan alternatif untuk pasien yang tidak dapat melakukan aktivitas uji latih
menggunakan tungkai. VO2 maks pada arm ergometry 20-30% lebih rendah dari leg ergometry
karena penggunaan massa otot yang lebih kecil. Pada uji latih submaksimal keluaran energi yang
sama tetapi denyut jantung dan tekanan darah lebih tinggi, sedangkan stroke volume dan VO2 lebih
rendah dari leg ergometry.5
Kebanyakan dari uji latih treadmill dilakukan pada orang dewasa yang diketahui atau memiliki
kemungkinan akan penyakit jantung iskemik. Peserta uji latih sebaiknya dalam keadaan stabil, pada
pasien dengan angina pektoris tidak stabil dan infark miokard, harus distabilkan menggunakan
medikamentosa atau menjalani prosedur revaskularisasi sebelum dilakukan uji latih.7,15 Pada pasca
revaskularisasi EKG yang tidak terintrepretasi atau pasien yang tidak mampu menjalani uji latih
secara adekuat, pemeriksaan imaging/radiologi perlu dilakukan.7,15
Uji latih dilakukan ketika diagnosis penyakit jantung koroner sudah dipastikan berdasarkan usia,
jenis kelamin, nyeri dada khas angina dan riwayat infark miokard sebelumnya dan uji latih dapat
digunakan untuk menilai risiko atau prognosis untuk menentukan terapi selanjutnya.7,15
58 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 3.2 Indikasi uji latih menurut American Heart Association (AHA)6
Diagnosis PJK Pasien dewasa (termasuk juga RBBB komplit atau ST depresi saat istirahat Kelas I
< 1mm) dengan intermediate pretest probability penyakit arteri koroner
berdasarkan jenis kelamin, usia dan gejala.
Pretest probability obstruksi arteri koroner berdasarkan pada estimasi
klinis dari riwayat pasien (usia, jenis kelamin dan karakteristik nyeri dada),
pemeriksaan fisik dan uji awal serta pengalaman klinisi untuk menangani
tipe masalah tersebut. Tabel berikut merupakan modifikasi dari studi
literatur Diamond and Forrester.
Usia Jenis Ke- Angina Pekto- Angina Pekto- Nyeri Dada
lamin ris Tipikal ris Atipikal Non Angina
30-39 Pria Sedang Sedang Rendah
Wanita Sedang Sangat rendah Sangat rendah
40-49 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Sedang Sangat rendah Sangat rendah
50-59 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Sedang Sedang Rendah
60-69 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Tinggi Sedang Sedang
Rehabilitasi Kardiovaskuler 59
Prognosis dan Pasien dengan suspek penyakit arteri koroner termasuk juga RBBB komplit Kelas I
stratifikasi atau ST depresi saat istirahat < 1mm.
risiko Pasien dengan suspek atau riwayat penyakit arteri koroner yang sudah
dievaluasi namun saat ini terjadi perubahan klinis yang signifikan.
Pasien angina pektoris tidak stabil risiko rendah yang tidak memiliki gejala
iskemik atau gagal jantung 8 – 12 jam setelah serangan.
Pasien angina pektoris tidak stabil risiko sedang yang tidak memiliki gejala
iskemik atau gagal jantung 2 – 3 hari setelah serangan.
Pasien angina tidak stabil risiko sedang dengan penanda jantung awal Kelas IIa
normal, tidak ada perubahan signifikan EKG serial, penanda jantung yang
normal 6 – 12 jam setelah serangan dan tidak ditemukan gejala iskemik
selama observasi.
Pasien dengan EKG abnormal saat istirahat sebagai berikut: Kelas IIb
1.Sindrom Wolff Parkinson White
2.Electronically paced ventricular rhytm
3.ST depresi saat istirahat > 1 mm
4.LBBB komplit atau gangguan konduksi interventrikuler dengan durasi QRS
>120 ms.
Pasien dengan perjalanan penyakit yang stabil dan menjalani pemantauan
periodik.
Pasien dengan komorbid berat yang dapat membatasi angka harapan hidup Kelas III
dan/atau merupakan kandidat revaskularisasi.
Pasien angina tidak stabil risiko tinggi.
Pasca infark Sebelum pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan aktivitas dan Kelas I
miokard dan evaluasi terapi medis (submaksimal selama 4 sampai 6 hari).
kelainan Tidak lama setelah pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan
jantung lain aktivitas, evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung bila uji latih tidak
dilakukan sebelum pemulangan(symptom limited; sekitar 14 sampai 21 hari).
Setelah pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan aktivitas,
evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung bila uji latih tidak dilakukan
sebelum pemulangan(symptom limited; sekitar 3 sampai 6 minggu).
Setelah pemulangan untuk konsultasi aktivitas dan/atau program latihan Kelas IIa
sebagai bagian dari rehabiltiasi jantung pada pasien pasca revaskularisasi
jantung.
EKG abnormal sebagai berikut: Kelas IIb
LBBB komplit
Sindrom pre-eksitasi
Pembesaran ventrikel kiri
Terapi digoksin
ST depresi saat istirahat > 1 mm
Irama alat pacu ventrikel jantung
Pemantauan periodik pada pasien yang meneruskan partisipasi program
latihan atau rehabilitasi jantung
60 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Komorbid berat yang dapat membatasi angka harapan hidup dan/atau Kelas III
merupakan kandidat untuk revaskularisasi.
Kapan saja saat mengevaluasi pasien dengan infark miokard akut disertai
gagal jantung tidak terkompensasi, aritmia jantung atau keadaan nonkardiak
yang sangat membatasi kemampuan latihan. (LOE C)
Sebelum dipulangkan untuk mengevaluasi pasien yang akan atau sudah
menjalani kateterisasi jantung. Walaupun stress test dapat bermanfaat
sebelum atau sesudah kateterisasi untuk mengevaluasi atau mengidentifikasi
penyebaran lesi iskemik koroner, stress imaging juga direkomendasikan. (LOE
C)
Rehabilitasi Kardiovaskuler 61
EKG Perubahan segmen T-inverted > 0,2 mV Tidak ada perubahan
ST transient > 0,05 Gelombang Q patologis gambaran EKG saat nyeri
mV pada angina saat dada
istirahat
Bundle Branch Block,
takikardia ventrikuler
baru atau yang
menetap
Pada umumnya uji latih merupakan prosedur yang aman, tetapi terdapat kemungkinan terjadinya
kejadian yang tidak diinginkan seperti serangan infark miokard hingga kematian, yang memiliki
insidens sebesar 1/2500 kali uji latih sehingga penilaian klinis sangat penting dan diperlukan
untuk menentukan pasien yang dapat menjalani uji latih.6
Hasil pemeriksaan EKG, denyut jantung dan tekanan darah harus dimonitor serta dicatat pada
setiap tahap tes, begitu pula nyeri dada dan abnormalitas segmen ST harus diperhatikan. Uji latih
umumnya diterminasi ketika pasien mencapai 85% denyut jantung maksimal, namun terdapat
indikasi penghentian uji latih yang digunakan untuk mengurangi risiko.1
Kontraindikasi uji latih menurut American College of Cardiology (ACC) and American Heart
Association (AHA).1,4,5,6,7
- Absolut
- Infark miokard akut (2 hari terakhir)
- Unstable angina dengan risiko tinggi
- Aritmia yang tidak terkontrol yang menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik
- Stenosis aorta yang berat dan bergejala
- Gagal jantung yang tidak terkontrol
- Emboli paru akut atau infark paru akut
- Miokarditis akut atau perikarditis akut
- Diseksi aorta akut
- Relatif
- Stenosis arteri koroner left main
- Stenosis katup jantung
- Abnormalitas elektrolit
- Hipertensi arterial yang berat
- Takiaritmia atau bradiaritmia
- Kardiomiopati hipertrofi dan gangguan curah jantung lain
- Gangguan mental atau fisik yang menyulitkan uji latih secara adekuat
- AV block derajat 2
62 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih seharusnya disupervisi oleh dokter yang terlatih seperti yang dianjurkan oleh ACC/AHA.
Uji latih pada pasien dapat dilakukan oleh perawat dan asisten dokter yang harus disupervisi oleh
dokter terlatih sebagai penanggung jawab yang siap dan mampu mengatasi keadaan emergensi.6
Pada saat menggunakan treadmill dokter perlu mengevaluasi bagaimana pasien berjalan.
Instruksikan pasien untuk mengikuti biomekanik berjalan yang baik dan pasien dianjurkan untuk
memegang handrail untuk menjaga keseimbangan. Namun pasien diperbolehkan tidak memegang
atau hanya memegang 1 handrail jika pasien merasa lebih nyaman. Jika pasien terlihat mengalami
kesulitan berjalan, pertimbangkan untuk menghentikan protokol ini, keputusan ini biasanya
diambil pada 1-2 menit awal memulai tes. Jika hal ini terjadi, protokol perlu diulang dari stage 1.5
Berikan dorongan dan motivasi pada pasien untuk bertahan selama mungkin untuk mencapai
kemampuan maksimumnya. Selama tes berikan kata-kata motivasi dan hindari kata-kata yang
menanyakan apakah mereka lelah atau siap untuk berhenti. Jika pasien merasa lelah dan ingin
berhenti, Anda bisa menanyakan alasan ia ingin berhenti. Sangat penting untuk mengidentifikasi
denyut jantung, tekanan darah, tanda dan gejala pada ambang atas iskemik dan beban kerja,
informasi ini berguna untuk membina pasien pada uji latih jantung. Titik di mana tekanan darah
sistolik menurun serta peningkatan frekuensi dan kompleksitas aritmia ventrikular juga perlu
diperhatikan dan dicatat.5,6
- Indikasi absolut
- Penurunan tekanan darah sistolik >10 mmHg dari baseline
- Kelelahan tanpa adanya peningkatan beban latihan dan disertai tanda iskemia lain
- Angina sedang hingga berat
- Meningkatnya gejala sistem saraf (contoh: ataksia, pusing atau hampir pingsan/syncope)
- Tanda perfusi yang buruk (sianosis dan pucat)
- Kesulitan secara teknis pada EKG
- Pasien ingin berhenti
- Ventrikel takikardia yang menetap
- ST elevasi (>1 mm) tanpa gelombang Q (selain pada V1 dan aVR)
- Atrial fibrilasi onset baru
- Takikardia supraventrikular
- AV blok derajat 3
- ST elevasi > 1mm pada gelombang Q (selain pada V1 atau aVR)
- Perubahan ST atau QRS seperti ST depresi (> 2mm horisontal atau downsloping segmen ST
depresi) atau pergeseran aksis pada pasien yang memiliki EKG abnormal saat resting atau
dalam pengobatan digoksin
- Tekanan darah sistolik > 250mmHg atau diastolik > 115mmHg
Rehabilitasi Kardiovaskuler 63
- Indikasi Relatif
- Penurunan tekanan darah sistolik >10 mmHg dari tekanan darah baseline/dasar dengan
adanya peningkatan beban latihan, dan tidak adanya bukti iskemia lain.
- Aritmia selain aritmia ventrikel takikardia yang menetap, termasuk premature ventriclar
contractions (PVC) multifocal, PVC triplets, bradiaritmia
- Kelelahan, sesak, wheezing, leg cramps, klaudikasio
- Bundle branch block baru atau intraventricular conduction delay (IVCD) yang tidak dapat
dibedakan dengan ventirkel takikardia
- Meningkatnya nyeri dada
- Perburukan ventrikular ectopik terutama jika melebihi 30% kompleks
- Klaudikasio
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi denyut jantung maksimal sehingga sebagian
pasien dapat melewati batas denyut jantung maksimal dan sebagian pasien yang hanya mampu
mencapai submaksimal.6
Pada pasien dengan pengobatan beta blocker dan pasien dengan gangguan irama (takikardia,
bradikardia) dapat mengganggu penilaian denyut jantung selama uji latih.6
Penggunaan skala perceived exertion seperti skala Borg sangat membantu menilai tingkat kelelahan
pasien. Uji latih maksimal (symptom limited) dengan skala Borg sebagai pendukung sangat penting
dalam menilai kapasitas fungsional, namun skala Borg kurang bermanfaat pada populasi anak.6
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui fungsi jantung dan pembuluh darah koroner:2
- EKG saat istirahat dapat mengidentifikasi abnormalitas termasuk hipertrofi ventrikel kiri,
riwayat infark miokard, abnormalitas konduksi dan aritmia.
- Rontgen dada dapat mengidentifikasi kardiomegali, edema pulmonal, efusi pleura. Efusi yang
terjadi unilateral umum ditemukan setelah tindakan operasi jantung yang minimal. Rontgen
dada juga dapat mengetahui temuan pasca operatif lain seperti atelektasis, konsolidasi dan
pneumotoraks.
- Ekokardiogram dapat mengevaluasi miokardium dan katup jantung, termasuk fraksi ejeksi,
abnormalitas dinding jantung, stenosis dan regurgitasi katup serta efusi perikardial.
- Pemantauan Holter selama 24 jam pada pasien rawat jalan dapat mengidentifikasi aritmia
intermiten dan membantu dalam memantau hasil pengobatan antiaritmia.
- Angiografi koroner digunakan untuk menentukan derajat PJK dan membantu dalam guiding
intervensi. Kateter dapat mengidentifikasi penyempitan lumen. Kateter yang menggunakan
ultrasound dengan tranduser intravaskular dapat mengidentifikasi plak lipid subendotelial yang
dapat menyebabkan penyumbatan pada lumen, namun pada risiko tinggi dapat menimbulkan
ruptur dan infark miokard. Angiografi juga dapat menilai ventrikel kiri dan fungsi katup.
64 Rehabilitasi Kardiovaskuler
untuk terminasi secepatnya. Abnormalitas pada kapasitas erobik, respon tekanan darah sistolik
dan denyut jantung selama uji latih merupakan temuan yang sangat penting. Temuan yang sangat
bermakna pada EKG adalah perubahan ST depresi dan elevasi.2,7
- EKG:
- ST depresi maksimum
- ST elevasi maksimum
- Slope ST depresi (downsloping, horizontal, upsloping)
- Jumlah sadapan/lead yang menunjukkan perubahan ST
- Durasi yang dibutuhkan dari deviasi ST mencapai normal (recovery)
- Aritmia ventrikular yang diinduksi latihan
- Waktu yang diperlukan hingga onset deviasi ST
- Hemodinamik:
- Denyut jantung latihan maksimum
- Tekanan darah sistolik maksimum
- Maximum exercise double product (HRxBP)
- Total durasi latihan
- Hipotensi yang dicetuskan kelelahan (turun di bawah tekanan darah istirahat)
- Inkompetensi dari kronotropik
- Simptomatik:
- Angina yang dicetuskan uji latih
- Gejala yang menghambat uji latih
- Waktu yang dibutuhkan hingga onset angina muncul
Dalam menilai kapasitas uji latih dan fungsi ventrikel kiri terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
seperti usia, kondisi fisik secara umum, penyakit komorbid dan status psikologis terutama depresi.
Beberapa parameter lain dapat dilihat dari EKG, hemodinamik dan simptomatik yang disebutkan
di atas, selain itu parameter uji latih juga meliputi tingkat METs maksimal.2,6,7
Kapasitas uji latih sangat menentukan dalam menginterpretasi hasil sedangkan variabel lain
kurang bermakna. Durasi uji latih dan beban kerja dapat diterjemahkan menjadi METs (ambilan
oksigen yang merupakan kelipatan dari ambilan oksigen basal 3,5 ml/kg/menit) yang memiliki
banyak keuntungan dalam menilai performa untuk semua jenis uji latih dan protokol.6,7
Rehabilitasi Kardiovaskuler 65
Kejadian nyeri dada iskemik sangat penting, karena hal tersebut dapat menjadi alasan untuk
terminasi uji latih.
- Hipertensi berat
- Stenosis aorta berat
- Kardiomiopati
- Anemia
- Hipokalemia
- Hipoksemia berat
- Digitalis
- Latihan yang berat dan cepat secara berlebihan
- Kelebihan glukosa
- Hipertofi ventirkel kiri
- Hiperventilasi
- Prolaps katup mitral
- Intraventikular conduction delay
- Sindrom preeksitasi (wolff-parkinson-white (WPW) syndrome)
- Volume overload berat (aorta dan mitral regurgitasi)
- Supraventrikular takiartimia
Prognosis umumnya mencakup kemungkinan hidup, bebas dari penyakit seperti infark, gejala,
kapasitas fungisonal dan kualitas hidup pasien. Uji latih sudah banyak dibuktikan dalam banyak
penelitian terutama hubungannya dengan angka kemungkinan hidup dan bebas dari infark
miokard.6
66 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Fraksi ejeksi
- Volume akhir sistolik
- Abnormalitas gerakan ventrikel kiri
- Gangguan konduksi pada EKG
- Regurgitasi mitral
- Durasi dan toleransi latihan
- Derajat penyakit jantung koroner
- Derajat keparahan dan luas penyakit jantung koroner
- Adanya pembuluh darah kolateral
- Transien iskemia
- Deviasi segmen ST yang dipicu latihan dan stres
- Kejadian plak koroner
- Gejala angina tidak stabil atau progresif
- Transien iskemia pada EKG
- Stabilitas fungsi elektrik
- Aritmia ventrikular
- Kesehatan secara umum
- Usia
- Penyakit komorbid non jantung
Mengubah risiko
Jika dilakukan oleh tenaga terlatih, uji latih tergolong prosedur yang aman. Infark miokard atau
kematian jantung terjadi 5 dari 100.000 uji latih pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, dan
sekitar 10 dari 100.000 infark miokard/kematian jantung pada uji latih pasien dengan penyakit
jantung koroner. Dokter yang terlatih perlu memastikan tim/personel kompeten dan dapat menilai
interpretasi uji latih. Rekomendasi dari AHA dan ACC bahwa dokter baru setidaknya berpartisipasi
dalam 50 kali uji latih sebelum dinyatakan kompeten.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 67
Uji latih ulang5
Pada beberapa kasus untuk evaluasi oleh dokter, perlu dilakukan uji latih seperti munculnya
gejala baru atau perburukan gejala selama latihan. Pada pasien dalam pengobatan beta blocker
yang sudah dikurangi atau dihentikan, uji latih perlu diulang untuk menilai kembali respon denyut
jantung dan ada tidaknya iskemia. Pada pasien yang dosis beta blocker ditingkatkan, pengulangan
uji latih tidak terlalu penting karena iskemia baru bukan merupakan perhatian, namun mereka
tidak dapat mencapai target denyut jantung sehingga dapat digunakan skala perceived exertion
untuk menilai intensitas latihan.5
Pasien yang belum mendapat uji latih sebelumnya biasanya akan mendapat intensitas latihan
yang tidak sesuai kemampuannya, dapat terlalu rendah atau terlalu tinggi. Uji latih pada pasien
seperti ini sangat penting untuk menentukan apakah mereka dapat kembali ke pekerjaan normal.
Namun sebelum melakukan uji latih ulang, pasien harus tetap meminum obat serta mengerti skala
perceived exertion.5
Baik treadmill dan cycle ergometer merupakan alat yang dapat digunakan untuk uji latih. Walaupun
cycle ergometer lebih murah, kecil dan lebih melibatkan sedikit anggota gerak atas, tetapi kelelahan
pada quadriceps sering menjadi hambatan untuk pasien yang tidak berpengalaman dalam
bersepeda, karena pasien sering berhenti sebelum mencapai maximum oxygen uptake. Selain itu
treadmill merupakan cara yang lebih umum digunakan untuk uji latih.2
Metoda uji latih yang sering digunakan adalah protokol Bruce, keterbatasan pada protokol ini
meliputi tingginya peningkatan VO2 setiap tahapan dan membutuhkan lebih banyak energi untuk
berlari dibandingkan berjalan pada tahap 3 ke atas, sehingga dibuat alternatif protokol lain seperti
modified Bruce yang memiliki 2 fase pemanasan. Protokol seperti Naughton, Weber and Janicki,
Balke-ware dan Cornell dikembangkan untuk pasien dengan gagal jantung kronik atau pasien yang
mengalami dekondisi atau penyebab lain yang dapat membatasi toleransi latihan.4
68 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Kapasitas latihan erobik dilaporkan dalam bentuk satuan metabolic equivalents (METs) yang
menggambarkan konsumsi oksigen per menit (VO2). Pada laki-laki usia 40 tahun dengan berat 70
kg diidentikan dengan energi 1 METs yang setara dengan 3,5 mL/kg/menit.7,15
Pada protokol Bruce, tahap awal (stage 1) dimulai dengan kecepatan 1,7 mph pada kemiringan
10%. Tahap 2 dengan kecepatan 2,5 mph pada kemiringan 12%. Tahap 3 pada kecepatan 3,4 mph
dengan 14% kemiringan dan seterusnya. Protokol ini menggunakan penambahan 3 menit acuan
dalam meningkatkan beban uji latih.7,15
Pada protokol modified Bruce terdapat 2 fase pemanasan yang berlangsung 3 menit, fase awal
dimulai dengan kecepatan 1,7 mph dan kemiringan 0%, dan tahap 2 mempunyai kecepatan 1,7
mph dan kemiringan 5%, tahap 3 dengan kecepatan 1,7 mph kemiringan 10%. Protokol ini sering
digunakan pada pasien yang kapasitas latihannya terbatas akibat penyakit jantung.7,15
Protokol Bruce memiliki peningkatan yang paling besar pada setiap tahapnya dibandingkan
protokol lainnya, seperti Naughton dan Weber yang mulai di bawah 2 METs dengan kecepatan 2
mph dan meningkat 1 - 1,5 METs pada setiap tahapnya.7,15
Protokol uji latih juga bisa menggunakan cycle ergometer dan arm ergometer, yang lebih jarang
digunakan dibandingkan treadmill. Cycle ergometer memiliki keuntungan karena ukurannya yang
lebih kecil, lebih tidak berisik dan menghasilkan gambar prekordial yang lebih baik pada monitor,
serta lebih aman karena risiko jatuh lebih kecil.7,15
Protokol Bruce
Uji latih menggunakan protokol Bruce didesain pada tahun 1963 oleh Robert A Bruce, MD, sebagai
tes noninvasif untuk menilai pasien yang diduga memiliki penyakit jantung, Pada praktiknya uji
latih menggunakan protokol Bruce sering disebut exercise tolerance test. Protokol Bruce juga
merupakan protokol yang umum digunakan untuk mengukur VO2 max pada atlit. Maximal
oksigen uptake (VO2 max) merupakan salah satu faktor yang menentukan kapasitas latihan atlit
dan berhubungan dengan ketahanan erobik (aerobic endurance), merujuk pada jumlah oksigen
maksimum pada seseorang yang dapat digunakan dalam latihan maksimal yang dituliskan dengan
satuan ml/kgBB/menit. Uji latih menggunakan protokol Bruce merupakan tes yang secara langsung
menentukan VO2 max.15
Protokol Bruce merupakan tes standar pada bagian kardiologi dan tersusun atas banyak tahapan
setiap 3 menit. Pada setiap tahapnya perubahan permukaan dan kecepatan akan dilakukan untuk
menambah beban uji latih. Uji latih dapat mendeteksi angina pektoris (chest pain) pada penyakit
jantung.15 Protokol Bruce dikembangkan untuk mengevaluasi pasien yang diduga memiliki penyakit
jantung koroner dan juga dapat mengukur tingkat kebugaran kardiovaskular. Karena uji latih ini
merupakan uji latih maksimal maka pada pasien dengan masalah jantung, uji latih ini sebaiknya
dilakukan sesuai persetujuan dokter dan di bawah supervisi oleh dokter yang terlatih dengan
perlengkapan yang lengkap.15
Rehabilitasi Kardiovaskuler 69
Gambar 3.2 Uji Latih Treadmill
Protokol Bruce merupakan uji latih maksimal yang dilakukan hingga pasien mengalami
kelelahan dengan meningkatkan kecepatan dan kemiringan setiap 3 menit secara kontinyu dan
otomatis. Waktu selama menjalani tes dapat digunakan untuk memperkirakan VO2 max dan
denyut jantung maksimal (HR max), tekanan darah dan rate of percieved exertion (Skala Borg) juga
dapat diperoleh.15
Prosedur: Uji latih dilakukan diatas treadmill dengan 12 lead EKG diletakan di dinding dada. Treadmill
dimulai pada kecepatan 1,7 mph dengan kemiringan 10%. Dalam selang waktu 3 menit kemiringan
ditingkatkan 2% dan kecepatan ditingkatkan seperti tabel dibawah ini. Uji latih dihentikan jika
pasien tidak dapat melanjutkan karena nyeri dada, kelelahan atau berbagai keluhan lainnya.15
70 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 3.4 Manual Penilaian Kebugaran Fisik menurut ACSM
Tabel 3.5 Tingkat kebugaran dalam ml/kg/menit yang diharapkan pada kelompok perempuan dan
laki-laki
Rehabilitasi Kardiovaskuler 71
Tabel 3.6 Protokol Bruce untuk laki-laki dan wanita normal
Obat-obatan beta-blocker, calcium channel blocker atau digitalis dapat menghambat respon denyut
jantung sehingga sebaiknya obat tersebut dihentikan selama 48 jam sebelum melakukan uji
latih untuk melihat respon denyut jantung yang adekuat. Namun penghentian obat sebaiknya
dikonsultasikan dulu dengan dokter yang merawat.15
Modified Bruce protocol merupakan perubahan dari protokol Bruce sehingga pada tahap awal
sudut kemiringan treadmill lebih mendatar dan hanya diubah tingkat kemiringan, tidak disertai
perubahan kecepatan. Uji latih protokol Modified Bruce menyerupai protokol Bruce, tetapi dimulai
dengan beban yang lebih ringan. Sama seperti pada protokol Bruce, uji latih menggunakan protokol
72 Rehabilitasi Kardiovaskuler
modified Bruce merupakan uji latih multi stage tetapi 2 tahap awal berbeda dengan protokol Bruce.
Bruce mulai dengan beban yang lebih rendah dan biasanya dilakukan pada pasien
Protokol Modified
usia tua dan pasien yang kurang aktif. Modifed Bruce juga dapat digunakan pada pasien dengan
cidera kaki, punggung atau pasien dengan toleransi latihan yang rendah. Pasien mulai berjalan
di treadmill dengan beban latihan yang lebih rendah dari protokol Bruce. Protokol Modified Bruce
memiliki 7 tahap yang setiap tahapannya berlangsung 3 menit. Pada dua tahap awal Modified
Bruce dimulai dengan kecepatan 1,7 mph dengan kemiringan 0%, tahap 2 memiliki kecepatan
yang sama dengan peningkatan kemiringan 5% dan stage selanjutnya sama seperti protokol Bruce
dengan kecepatan 1,7 mph dan kemiringan 10%.15,16 Tahap 3 pada Modified Bruce setara dengan
tahap 1 protokol Bruce standar. Selanjutnya tahapan berlangsung seperti protokol Bruce. Pada 2
tahap awal Modified Bruce disebut sebagai stage 0 dan stage ½ karena kemiringannya 0% dan 5%
dari tahap awal.16
Protokol Modified Bruce untuk uji latih umumnya dilakukan jika pasien dalam kondisi performa
pasien yang kurang baik atau pada pasien yang dicurigai infark miokard atau sebelum pasien
infark miokard pulang dari rumah sakit. Uji latih sebelum pasien pulang sering dilakukan sampai
timbulnya gejala seperti pada kondisi lain.16
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan Trabulo dan kawan kawan tahun 1994, dalam
menilai stres fisiologis yang dicetuskan modified Bruce dibandingkan dengan protokol Bruce
dengan cara menilai perbandingan denyut jantung, tekanan darah dan progresi double product.
Disebutkan bahwa pada modified Bruce inklinasi awal lebih ringan, namun mengurangi kapasitas
maksimal dibanding dengan protokol Bruce akibat timbul rasa fatigue setelah stage pertama.
Inklinasi awal protokol Bruce lebih tinggi namun dapat mencapai intensitas yang lebih tinggi dan
sesuai digunakan untuk individu dengan kapasitas fisik yang baik. Sedangkan modified Bruce
cocok digunakan pada individu dengan kapasitas fisik tidak terlalu baik.17
Rehabilitasi Kardiovaskuler 73
Protokol Naughton
Penelitian Handler dan Sowton pada tahun 1984 yang membandingkan protokol Naughton
dan modified bruce dalam mendeteksi iskemia 6 minggu pasca infark miokard pada 20 subjek,
menunjukkan hasil yang sama pada setiap protokol. Perbedaannya terletak hanya pada durasi,
pada protokol Naughton menunjukkan durasi uji latih yang lebih panjang. Tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua protokol untuk rata-rata denyut jantung maksimal, rate
pressure product dan beban latihan yang dicapai. Handler dan Sowton menyimpulkan kedua
protokol terbukti efektif dalam mendeteksi kelainan iskemik 6 minggu pasca infark miokard dan
mempunyai kemampuan yang relatif sama.18
Protokol Naughton merupakan uji latih submaksimal yang didesain untuk memastikan denyut
jantung dibawah denyut jantung maksimal. Terdapat beberapa tahap setiap tahapnya akan memiliki
intensitas yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Denyut jantung akan meningkat secara
bertahap selama tes dan akan berakhir saat mencapai 80-90% dari denyut jantung maksimal.
- Fungsi
Protokol Naughton merupakan salah satu Uji latih menggunakan treadmill yang bertujuan
untuk mengidentifikasi atau mengkonfirmasi penyakit jantung pada pasien. Uji latih dengan
protokol ini dapat melihat perubahan abnormal irama jantung dan kondisi jantung lain seperti
iskemia.18
- Intensitas
Protokol Naughton memiliki intensitas yang lebih ringan dibanding prosedur lain, seperti
protokol Bruce. Naughton memiliki lebih banyak tahapan peningkatan intensitas dan
menggunakan kecepatan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, protokol Naughton umumnya
digunakan pada pasien yang memiliki risiko koroner yang tinggi dan khususnya pada pasien
gagal jantung (congestive heart failure).18
- Prosedur
Protokol Naughton dimulai dengan pemansasan selama 2 menit. Kecepatan diatur mencapai 1
mph dengan kemiringan 0%, setelah pemanasan, kecepatan ditingkatkan menjadi 2 mph dan
tidak ditingkatkan lagi selama tes berlangsung. Uji latih terdiri dari 6 tahap, dengan interval
setiap 2 menit. Tahap pertama dimulai dengan 0% dan meningkat sebesar 3,5 % setiap 2
menit.18
Menurut pandangan ahli, protokol yang paling banyak dikenal adalah protokol modified
Bruce dimana kecepatan dan kemiringan ditingkatkan setiap 3 menit. Berdasarkan studi yang
diterbitkan oleh European Heart Journal, protokol Naughton dan protokol modified Bruce
memiliki efektivitas yang sama.18
Uji latih ini menggunakan treadmill yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau mengkonfirmasi
penyakit jantung pada pasien, dapat melihat perubahan abnormal irama jantung dan kondisi
jantung lain seperti iskemia. Protokol Naughton memiliki intensitas yang lebih ringan dibanding
prosedur lain, seperti protokol Bruce. Naughton memiliki lebih banyak tahapan peningkatan
intensitas dan menggunakan kecepatan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, protokol Naughton
umumnya digunakan pada pasien yang memiliki risiko koroner yang tinggi dan khususnya pada
pasien gagal jantung (congestive heart failure). Protokol Naughton dimulai dengan pemanasan
selama 2 menit. Kecepatan diatur mencapai 1 mph dengan kemiringan 0%, setelah pemanasan,
kecepatan ditingkatkan menjadi 2 mph dan tidak ditingkatkan lagi selama tes berlangsung. Uji
74 Rehabilitasi Kardiovaskuler
latih terdiri dari 6 tahap, dengan interval setiap 2 menit. Tahap pertama dimulai dengan 0%
dan meningkat sebesar 3,5 % setiap 2 menit.18
Menurut pandangan ahli, protokol yang paling banyak dikenal adalah protokol modified
Bruce dimana kecepatan dan kemiringan ditingkatkan setiap 3 menit. Berdasarkan studi yang
diterbitkan oleh European Heart Journal, protokol Naughton dan protokol modified Bruce
memiliki efektivitas yang sama.18
Cycle Ergometer
Sepeda statis dengan beban elektrik memiliki resistensi dan kecepatan yang bervariasi
serta memungkinkan untuk mengontrol keluaran energi, karena beberapa pasien lelah untuk
memperlambat kecepatannya. Nilai tertinggi denyut jantung dan VO2 didapat pada kecepatan 50-
80 rpm. Satuan yang digunakan dapat berupa kilopond (kp) atau Watts (W); 1 W setara dengan 6
kpm/min. Karena uji latih pada cycle ergometer merupakan latihan non weight bearing, Kp atau W
dapat dikonversi menjadi oxygen uptake ml/menit. METs didapat dari pembagian VO2 (ml/menit)
dengan produk berat badan (kg x 3,5).18
Rehabilitasi Kardiovaskuler 75
kapasitas latihan dan tidak menegangkan dibanding uji latih menggunakan treadmill.2,11
Cycle ergometer juga lebih kecil, lebih tidak berisik dan lebih murah dibanding treadmill. Pada cycle
ergometer pasien jarang dapat mencapai VO2 max atau target denyut jantung maksimal jika dibandingkan
dengan treadmill, karena kelelahan dini otot-otot kuadrisep yang menjadi faktor yang menghambat uji
latih. Cycle ergometry juga memiliki VO2 max dan ambang batas anerboik yang lebih rendah dibanding
treadmill. Cycle ergometry merupakan alternatif dari uji latih treadmill pada pasien yang memiliki
keterbatasan ortopedik, pembuluh darah perifer dan neurologis yang menyulitkan untuk
pembebanan berat badan (weight bearing).2,11
Terdapat 2 tipe sepeda yang dapat digunakan untuk uji latih yaitu sepeda beban mekanik dan
elektronik. Beban mekanik membutuhkan kecepatan mengayuh (cycling rate) tertentu yang harus
dipertahankan agar beban kerja konstan. Beban elektronik lebih mahal dan kurang portable, tetapi
dapat secara otomatis memberikan resistensi untuk menyesuaikan beban kerja berdasarkan
kecepatan. Cycle ergometer harus memiliki pegangan dan sadel yang dapat diatur ketinggiannya.
Tinggi sadel yang ideal dapat dilihat dari fleksi sendi lutut pada ekstensi maksimal. Untuk alasan
keamanan pedal pada cycle ergometer harus sesuai dengan pasien.2,11
Respon fisiologi pada uji latih cycle ergometer berbeda dengan respon fisiologis pada uji latih
treadmill. Maskimum oksigen uptake 5% hingga 20% lebih rendah dari treadmill.2,11
Cycle ergometer merupakan uji latih yang lebih murah, lebih kecil dan tidak berisik. Namun
kekurangan yang mendasar pada cycle ergometer adalah ketidaknyamanan pada otot kuadrisep,
terutama yang tidak terbiasa bersepeda. Pada orang yang tidak terbiasa bersepeda VO2 max dapat
10-15% lebih rendah.18
Protokol untuk uji latih meliputi pemanasan (beban rendah), latihan bertingkat secara kontinyu
dan periode pemulihan. Pada cycle ergometer pengeluaran energi pertama umumnya 10-25 W (150 kpm)
dan disertai dengan peningkatan sebesar 25W setiap 2-3 menit hingga pasien kelelahan atau terdapat
indikasi penghentian uji latih.18
Arm Ergometer
Uji latih arm ergometer digunakan sebagai pengganti cycle ergometer, protokol serupa dapat
digunakan tetapi pengeluaran tenaga awal dan peningkatan lebih rendah. Peningkatan beban
setiap 2 menit merupakan yang paling populer pada arm ergometer.18
Dalam mengevaluasi kemampuan fungsional, pasien perlu diberikan stimulasi berupa latihan. Uji
latih arm ergometer dilakukan jika treadmill atau bicycle ergometer tidak memungkinkan karena
cidera tulang belakang, amputasi, penyakit pembuluh darah perifer, artritis dan riwayat operasi
ortopedi. Prosedur arm ergometer menghasilkan respon denyut jantung dan tekanan darah sistolik
yang lebih tinggi dibandingkan beban serupa menggunakan tungkai. Denyut jantung maksimal
dapat dicapai walaupun hanya 70% dari yang dapat dicapai menggunakan tungkai. Peningkatan
double product relevan dengan pasien yang memiliki iskemia. Uji latih menggunakan arm ergometer
merupakan hal yang utama pada protokol rehabilitasi jantung serta digunakan setelah uji latih
rehabilitasi jantung. Kedua tes ini dapat melihat evaluasi dan perubahan fisiologi secara akurat.2
76 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 3.3 Standing arm ergometer stress testing dan Seated arm ergometer stress testing
with oxygen consumption
Arm ergometer juga dikenal sebagai arm cycle atau arm crank merupakan alternatif uji latih
menggunakan treadmill atau cycle ergometer. Pada uji latih arm ergometer pasien boleh duduk atau
berdiri saat menjalankan tes. Sama seperti uji latih pada treadmill, protokol uji latih dengan arm
ergometer juga menggunakan protokol bertahap, beban uji latih ditingkatkan setiap 2 menit hingga
pasien kelelahan. Protokol yang digunakan harus disesuaikan dengan usia dan tingkat aktivitas.11,19
Konsumsi oksigen maksimal pada arm ergometer mencapai 65% dari konsumsi oksigen maksimum
pada treadmill dan 70% dari komsumsi oksigen maksimun pada leg cycle, hal ini disebabkan karena
massa otot yang lebih kecil. Namun denyut jantung maksimal mencapai 90-95% dari perkiraan
denyut jantung dengan tekanan darah sistolik maksimum mencapai 80-85% dari yang biasanya
dicapai menggunakan treadmill, sehingga double product yang dihasilkan cukup tinggi untuk
menghasilkan perubahan iskemik.11,19
Penggunaan arm ergometer umumnya dilakukan pada pasien dengan paraplegia atau disabilitas
ektremitas bawah yang berat. Keuntungan dari arm ergometer dibanding uji latih farmakologis
antara lain dapat dilakukan pengukuran respon denyut jantung dan tekanan darah pada pasien dan
kapasitas latihan dan gejala dapat dilihat. Arm ergometer juga dapat digunakan pada pasien yang
mengeluhkan timbulnya gejala pada kegiatan yang melibatkan banyak gerakan lengan. Kapasitas
kerja lengan yang diukur selama tes arm ergometer, menunjukkan korelasi yang kuat dibanding
kapasitas erobik atau VO2 max dari treadmill pada pasien yang terbiasa mengangkat benda secara
repetitif dan membawa beban. 11,19
Uji latih arm ergometer memiliki preload yang lebih rendah dibanding latihan tungkai, karena
ektremitas bawah dapat berperan sebagai reservoir darah yang pasif, tetapi afterload meningkat
Rehabilitasi Kardiovaskuler 77
karena kontraksi otot ektremitas atas. Aspek hemodinamik ini menjelaskan timbulnya angina pada
uji latih lengan lebih tinggi dibanding berjalan pada beban kerja yang lebih ringan. Uji latih arm
ergometer dapat dilakukan dengan atau tanpa pengukuran konsumsi oksigen secara simultan.11,19
Uji latih dengan arm ergometer merupakan alternatif uji diagnostik pada pasien dengan kecacatan
pada ektremitas bawah yang disebabkan oleh masalah vaskular, ortopedik atau kondisi neurologis.
Arm ergometry berguna untuk mengeveluasi kemampuan kerja pasien, terutama pada pekerjaan
yang banyak melibatkan anggota gerak atas. Uji latih dinamis lengan melibatkan kelompok otot
yang lebih kecil dibanding dengan leg ergometry, namun uji latih lengan juga membutuhkan otot
dada, punggung, bokong dan tungkai untuk stabilisasi tergantung dari posisi yang digunakan.11,19
Rekomendasi protokol untuk uji latih arm ergometer sebaiknya dilakukan dalam posisi tegak dengan
tuas setinggi bahu. Lengan sebaiknya sedikit fleksi pada bagian siku saat ekstensi maksimal.
Kecepatan 60-75 repetisi permenit harus dipertahankan. Beban 10W setiap 2 menit merupakan
beban kerja yang paling direkomendasikan. Target akhir uji latih serupa dengan uji latih lainnya.
Kebutuhan VO2 selama arm cycle ergometer ditentukan dengan rumus yang melibatkan beban
kerja, jenis kelamin dan berat badan.11,19
Ambilan oksigen dengan beban kerja 50 Watt/Submaksimal pada lengan lebih tinggi daripada
latihan tungkai. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah pada uji latih arm ergometer lebih
cepat dibanding pada tungkai. Begitu pula dengan respon dinamik lain seperti stroke volume dan
tekanan darah diastolik.11,19
Guyatt 1985 adalah yang pertama kali mencoba untuk melakukan uji jalan 6 menit sebagai
pemeriksaan kapasitas latihan yang objektif pada pasien gagal jantung kronik. Saat itu didapatkan
bahwa dengan diberikan motivasi pasien gagal jantung dapat memiliki hasil uji jalan yang lebih
tinggi. Dalam beberapa penelitian uji jalan ini dapat menilai aktivitas fungsional lebih baik dari
uji kapasitas erobik, namun uji latih ini memiliki korelasi yang rendah dengan kapasitas latihan
maksimal pada pasien dengan gagal jantung kronik. Selanjutnya Lipkin (1986) melakukan penelitian
sejenis dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Kedua penelitian ini menggunakan parameter
jarak uji jalan yang dihubungkan dengan uji kapasitas maksimal (treadmill, ergocycle), namun tetap
didapatkan korelasi yang rendah. Cahalin pada tahun 1996 kembali melakukan uji jalan 6 menit
pada pasien gagal jantung kronik dan dibandingkan dengan uji latih kardiopulmoner symptom-
limited, hasilnya adalah uji jalan 6 menit mampu memprediksi VO2 max.1,7
Berdasarkan guideline yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society pada tahun 2002, maka
pasien diinstruksikan untuk berjalan, berusaha untuk menempuh jarak sejauh mungkin dalam 6
menit. Waktu tempuh dicatat dan pasien diminta utnuk berjalan sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum dan setelah uji ini dilakukan pemeriksaan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan,
tekanan darah, skala Borg untuk kelelahan dan sesak napas.1,7
78 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji jalan 6 menit merupakan prediktor VO2 peak yang kurang tepat pada pasien yang memiliki
prediksi VO2 peak yang lebih tinggi karena uji ini bersifat dibatasi waktu dan bukan dibatasi
keluhan, sehingga sulit untuk memprediksi pasien yang lebih bugar. Uji jalan 6 menit ini dapat
menggambarkan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas submaksimal sehari-hari.
Penggunaan uji jalan 6 menit ini sebagai indikator prognosis juga dapat berguna pada evaluasi
serial pasien dan / atau sebagai penilaian respon terhadap suatu intervensi terapi.1,7
Kudtarkar dan kawan-kawan (2010) melakukan penelitian yang menghubungkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri dengan jarak tempuh dalam uji jalan 6 menit pada pasien gagal jantung ventrikel
kiri. Didapatkan korelasi positif yang secara statistik signifikan, saat fraksi ejeksi ventrikel kiri
mengalami penurunan, maka didapatkan jarak tempuh juga menurun. Sehingga jarak tempuh
dalam uji jalan 6 menit dapat meramalkan fraksi ejeksi ventrikel kiri.1,7,16,18,19,20
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebagai pengamanan (safety issue) sebelum dilakuan uji latih
antara lain: 1,7,16,18,19,20
1. Uji latih sebaiknya dilakukan di lokasi dengan akses untuk pertolongan gawat darurat mudah
dicapai.
2. Persiapan bahan dan alat meliputi oksigen, nitrogliserin sublingual dan albuterol.
3. Pemeriksa sebaiknya sudah menguasai Basic life support atau kursus kardioresusitasi lain, atau
setidaknya terdapat seseorang yang memiliki sertifikat Advanced Cardiac Life Support.
4. Bila pasien yang akan diakukan uji latih sedang mendapat terapi oksigen, maka pada saat uji
latih pemberian oksigen harus sesuai dosis yang biasa diperoleh pasien atau sesuai petunjuk
dokter atau sesuai protokol.
- nyeri dada
- dispnea yang tidak dapat ditoleransi
- kram tungkai (kelelahan tungkai)
- jalan terhuyung-huyung
- keringat dingin dan pucat
Uji latih submaksimal sering digunakan pada pasien yang baru keluar rumah sakit, sekitar 4-6
hari pasca infark miokard. Tes ini bermanfaat untuk menentukan aktivitas fisik apa yang dapat
dilakukan dan menentukan program rehabilitasi selanjutnya.1,7,16,18,19,20
Rehabilitasi Kardiovaskuler 79
- Beban latihan tidak melebihi beban pada uji latih sebelumnya. Jika dilakukan sebagai uji latih
sebelum pasien pulang, maka beban latihan tidak melebihi 7 METs.
- Pencapaian pengeluaran tenaga >15 (Borg 6-20 grade scale)
Perlengkapan:
- Meteran
- Timbangan berat badan
- Lap counter
- Stopwatch
- Lembar kerja
- Tensimeter
- Stetoskop
- Pulse Oximetry
- Tabung Oksigen
- Emergensi Kit11
Uji jalan enam menit sebaiknya dilakukan di dalam koridor pada ruangan tertutup, bisa juga
dilakukan diruangan terbuka yang panjang, datar, lurus, dengan permukaan yang keras serta
jarang digunakan oleh orang banyak. Track untuk uji jalan memiliki panjang kira-kira 30 meter dan
diberi tanda setiap 3 meter. Pada kedua ujung sebaiknya diberi tanda dengan cone dan cone akhir
yang merupakan titik mulai sebaiknya diberi tanda menggunakan penanda berwarna cerah.7
Persiapan pasien7
1. Mengenakan pakaian yang nyaman
2. Mengenakan sepatu yang sesuai untuk berjalan
3. Mengkonsumsi regimen pengobatan yang sudah diresepkan
4. Porsi makanan yang kecil masih diperbolehkan sebelum uji latih pagi atau sore hari.
5. Pasien tidak boleh melakukan latihan yang berat dalam 2 jam sebelum uji latih.
6. Sebelum uji jalan pertama kali dilakukan, pemeriksaan denyut jantung, tekanan darah, dan
EKG (jika perlu) harus dicatat.
7. Uji jalan harus dilakukan setidaknya 2 jam setelah makan.
8. Pasien diminta untuk berjalan dari ujung ke ujung track/lintasan, dan menempuh jarak
semaksimal mungkin yang mampu dilakukan pasien dalam 6 menit.
9. Uji jalan 6 menit sebaiknya dilakukan di koridor yang tenang dan memiliki panjang setidaknya
100 kaki / 30,48 meter.
80 Rehabilitasi Kardiovaskuler
10. Segera setelah uji jalan, pasien akan dinilai level of percieved exertion (skala Borg), denyut
jantung, tekanan darah dan EKG (jika perlu), dan total jarak yang ditempuh untuk perbandingan
di kemudian hari.
Kriteria Inklusi7
- Masalah muskuloskeletal yang menghalangi untuk berjalan seperti klaudikasio intermiten,
paralisis, nyeri dan lain-lain.
- Masalah psikiatri / kejiwaan yang mampu menurunkan performa pasien.
- Angina yang tidak terkontrol.
- Hipertensi.
- Riwayat disritmia jantung.
- Penyakit jantung lain.
Uji latih sebaiknya dilakukan pada keadaan tenang dan nyaman sehingga pasien dapat
melaksanakannya dengan baik yang pada akhirnya didapatkan hasil kemampuan kapasitas erobik
yang sesuai dengan kondisi penyakit jantungnya. Siapkan alat-alat yang diperlukan seperti lap
counter, timer dan lembar kerja. Atur lap counter ke angka nol dan timer pada 6 menit.7
“Uji latih ini mengukur jarak terjauh yang dapat ditempuh dalam 6 menit. Anda akan berjalan bolak-
balik di koridor ini. Enam menit merupakan waktu yang panjang untuk berjalan, jangan paksakan
diri anda. Selama uji latih ini anda mungkin mengalami kelelahan atau sesak. Anda diperbolehkan
untuk menurunkan kecepatan, berhenti, hingga istirahat jika diperlukan. Anda boleh beristriahat
dengan bersandar ke dinding atau duduk dan kembali berjalan sesegera mungkin jika dirasa
mampu. Anda akan berjalan bolak balik lintasan ini dan saat berputar arah, sebaiknya dilakukan
dengan cepat dan langsung berjalan kembali. Saya akan memperlihatkannya kepada Anda, silahkan
perhatikan bagaimana cara saya berputar arah”.7
Peragakan berjalan sebanyak satu putaran, dan cara berputar arah yang cepat. “Apa anda siap
melakukannya? Saya akan menghitung berapa putaran yang anda selesaikan. Ingat bahwa uji ini
mengukur jarak terjauh yang anda bisa tempuh dalam 6 menit, tetapi jangan berlari. Anda dapat
mulai sekarang atau kapanpun anda siap.7
Posisikan pasien pada titik awal. Pemeriksa harus berdiri dekat dengan titik awal pada saat uji latih.
Jangan berjalan bersama dengan pasien. Sesaat setelah pasien berjalan, jalankan timer. Jangan
berbicara pada siapapun saat uji latih, gunakan nada yang senada dalam memberikan kalimat
penyemangat. Awasi pasien, jangan teralih dan lupa menghitung putaran yang dilalui pasien.
Setiap kali pasien kembali ke titik awal, tekan lap counter sebanyak satu kali (atau tandai pada
lembar kerja). Biarkan pasien melihat pemeriksa yang mencatat, karena gerakan ini dapat memacu
pasien seperti yang digunakan saat lomba.7
Pada saat uji latih, pemeriksa harus memberikan kata-kata motivasi dan memberi tahu sisa waktu uji
latih. Jangan berikan kata-kata motivasi dengan nada yang menyemangati yang dapat mensugesti
Rehabilitasi Kardiovaskuler 81
agar pasien bergerak lebih cepat. Ketika pasien berhenti berjalan saat uji latih, dan membutuhkan
istirahat, katakan “Anda dapat bersandar pada dinding atau duduk jika anda mau dan lanjutkan
berjalan jika anda sudah merasa sanggup”. Jangan hentikan timer. Jika pasien berhenti sebelum
6 menit dan enggan melanjutkan, jemput pasien untuk mengetahui kemampuan selanjutnya,
kemudian catat jarak dan waktu saat pasien berhenti dan alasan menghentikan uji latih.7
Ketika waktu menunjukkan 15 detik sebelum selesai katakan “Ketika saya katakan “berhenti”,
berhenti pada tempat anda berjalan dan saya akan menghampiri anda” Saat timer berbunyi,
katakan “stop/berhenti”, kemudian hampiri pasien. Pertimbangkan bawa kursi roda jika pasien
tampak kelelahan. Catat jarak yang ditempuh oleh pasien selama 6 menit.7
Pengukuran variabel gas exchange sudah banyak disederhanakan seiring perkembangan analisis
gas darah. Selain itu dapat diperoleh data tambahan selain VO2 max/peak. Uji fungsi paru seperti
analisa gas darah arterial berguna untuk membedakan penyakit jantung dan paru, atau memastikan
diagnosis. Analisis gas darah juga merupakan pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien
dispneu karena jantung.4,6
Uji latih menggunakan treadmill atau ergocycle dalam 3-5 minggu pasca CABG berguna untuk
menilai toleransi latihan dan peresepan intensitas aktivitas fisik. Namun ergometer lengan
tidak dilakukan karena nyeri bekas insisi. Uji latih sebagai follow up diakukan dalam 3-6 bulan
setelah program latihan atau 1 tahun setelahnya. Kapasitas fungsional dalam satuan METs lebih
mengindikasikan prognosis yang baik di samping respon lain yang ditemukan.7
Uji latih segera setelah PTCA dapat lebih intens dibanding pada pasien pasca infark miokard
ataupun CABG. Namun dari semua pasien yang asimptomatik dan penyakit jantung koroner yang
terdiri dari satu pembuluh darah, uji latih dapat dianjurkan untuk mendeteksi risiko restenosis,
morbiditas dan mortalitas. Tanda adanya restenosis nampak pada perubahan gejala dan perubahan
gambaran EKG atau terkadang dapat tampak pada uji latih 2-3 hari pasca PTCA. Uji latih umumnya
dilakukan pada pasien pasca PTCA pada 2-5 minggu dilanjutkan pada 6 bulan setelah program
latihan dan 1 tahun sekali.7
82 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Luka pada dinding dada dan kaki biasanya membutuhkan 4-8 minggu untuk sembuh sepenuhnya,
sehingga uji latih dengan treadmill atau ergometer sebaiknya tidak dilakukan sampai luka bekas
operasi sembuh. Fase pendinginan/recovery yang lebih lama pada uji latih maksimum/symptom
limited testing sebaiknya dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular yang
umumnya terjadi pada periode pasca uji latih.7,20
Pada pasien pasca PTCA dan CABG uji latih dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri dan
kemampuan merawat diri pasien.7,20
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada saat dilakukan uji latih maksimal symptom
limited test:
Rehabilitasi Kardiovaskuler 83
Uji latih dengan pacemakers dan Implanted Cardiac
Defibrilators
Uji latih berguna dan dapat dilakukan pada pasien dengan pacemaker dan/atau ICD dengan aman.
Informasi mengenai respon kronotropik selama tes pada pasien dengan rate responsive pacemaker
dapat digunakan untuk menyusun target rentang denyut jantung selama uji latih.5
Pada beberapa pasien denyut jantung selama tes dapat melewati batas atas denyut jantung (upper
rate). Pada kasus seperti ini uji latih dapat diteruskan sampai mencapai kelelahan maksimum
selama tekanan darah sistolik stabil dan indikasi terminasi lain tidak ditemukan.5 Pada pasien
dengan ICD fire rate perlu diidentifikasi sebelum memulai uji latih. Selain indikasi terminasi, uji
latih perlu dihentikan jika denyut jantung lebih rendah 10 denyut dari ICD fire rate.5
Daftar Pustaka
1. Perk J, Mathes P, Gohlke H, et al. Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. London:
Springer-verlag. 2007.
2. Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation 4th Edition. Elsevier Saunders. 2011.
3. Goble AJ and Worcester MUC. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention. Carlton south: Human Services Victoria. 1999; p27-68.
4. Niebauer J. Cardiac Rehabilitation Manual. London. Springer Verlag. 2011.
5. Kraus WE and Keteyian SJ. Cardiac Rehabilitation. Human Press Totowa. New Jersey. 2007
6. Balady GJ, Bricker JT and Chaitman BR. ACC/AHA 2002 Guideline Update For Exercise Testing.
USA: J Am Coll Cardiol. 2002; 40(8):1531-40.
7. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
8. Chow CM. Duke Treadmill Score Calculator. Canada: CS of Echo. 2011. http://www.csecho.ca/wp-
content/themes/twentyeleven-csecho/cardiomath/?eqnHD=stress&eqnDisp=duketsc [Diakses tanggal
26 agustus 2016]
9. Palange P, Ward SA, Carlsen KH, et al. Recommendation on the use of exercise testing in
clinical practice. European Respiratory Journal. 2007;29:185-209.
10. Mezzani A, Agostoni P, Cohen-Solal A, et al. Standards for the use of cardiopulmonary exercise
testing for the functional evaluation of cardiac patients: a report from the exercise physiology
section of the European Association for Cardiovascular Prevention and Rehabilitation.
European Journal of Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. 2009;16:249-267.
11. Pina IL, Balady GJ, Hanson P, et al. Guidelines for Clinical Exercise Testing Laboratories.
Comittee on Exercise and Cardiac Rehabilitation, American Heart Association. AHA. 1995.
12. Fletcher GF, Balady GJ, Amsterdam EA, et al. Exercise Standards for Testing and Training. American
Heart Ass. 2001.
13. Thompson PD. Exercise & Sports Cardiology. USA: Mc-Graw Hill, 2001:2(6)125-127.
14. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990; p
883-893
84 Rehabilitasi Kardiovaskuler
15. Akinpelu D. Editor: Yang EH. Treadmill Stress Testing Technique. New york: Medscape. 2015.
16. Johnson. Modified Bruce Protocol. London: Cardiophile. 2008.
17. Trabulo M, Mendes M, Mesquita A, et al. Does the Modified Bruce Protocol Induce Physiological
Stress Equal to that of the Bruce Protocol. 1994.
18. Handler CE and Sowton E. A Comparison of the Naughton and modified Bruce treadmill
exercise protocols in their ability to detect ischaemic abnormalities six weeks after myocardial
infarction. 1984.
19. Allison TG. Arm Ergometer Provides Alternative to Conventional Stress Testing. 2016.
20. Durstine JR. in ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Diseases and v
Rehabilitasi Kardiovaskuler 85
86 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 4
REHABILITASI
SINDROM
KORONER AKUT
Rehabilitasi Kardiovaskuler 87
Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan masalah kesehatan sebagai penyebab kematian utama
di seluruh dunia. Sebelum tahun 1990, penyakit infeksi dan gangguan nutrisi merupakan
penyebab kematian paling umum sedangkan penyakit jantung dan pembuluh darah kurang dari
10% menyebabkan kematian. Pada saat ini diperkirakan penyakit kardiovaskular menyebabkan
30% kematian di seluruh dunia yang diperkirakan setengahnya disebabkan oleh SKA. Prevalens
penyakit kardiovaskular semakin meningkat dengan berubahnya gaya hidup seperti pola makan
yang tidak terkendali, kurangnya aktivitas fisik dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya
pencegahan penyakit kardiovaskular.1,2,3
Saat ini di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalens penyakit kardiovaskular, namun
demikian berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2013 data di beberapa
rumah sakit di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan frekuensi penyakit ini.4,5
Di benua Amerika dan Eropa diperkirakan terdapat 15 sampai 20 juta pasien per tahun datang ke
instalasi gawat darurat dengan keluhan nyeri dada akut atau gejala lain yang mengarah kepada
SKA. Hal ini disebabkan tingginya prevalens faktor risiko penyakit jantung seperti merokok,
hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes, obesitas dan kurang latihan.1,2,3 Di Amerika Serikat
penderita SKA diperkirakan sekitar 13,7 juta orang dan 7,2 juta di antaranya merupakan infark
miokard akut, sekitar 6 juta orang merupakan angina pektoris tidak stabil.2,3 Di Amerika, pada usia
di atas 30 tahun, 213 dari 100.000 orang menderita SKA, namun beberapa dekade terakhir angka
kejadian baru SKA berdasarkan usia mulai berkurang, terbukti bahwa penderita SKA bergeser
dari usia tua menjadi usia yang lebih muda, dengan jumlahnya secara kumulatif meningkat seiring
dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi.2 Pada tahun 1975 di AS angka insidens infark
miokard akut menurun dari 244 per 100.000 orang menjadi 162 per 100.000 orang pada tahun
2006. Angka kematian juga berkurang dari 18% tahun 1975 menjadi 10% pada tahun 2006.2,6
Jumlah pasien dirawat inap akibat angina pektoris tidak stabil di Amerika Serikat mencapai 1
juta pasien, dimana 6-8 % mendapat serangan jantung yang tidak fatal dan meninggal dalam
satu tahun setelah diagnosis ditegakkan.2 Sindrom Koroner Akut sering ditemukan dan menjadi
penyebab sekitar 500.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Kematian berhubungan
pula dengan luasnya infark miokard, sehingga upaya membatasi luas infark akan menurunkan
mortalitas.2
Menurut data statistik 2008 di Inggris insiden rata-rata infark miokard akut pada usia 30-69 tahun
adalah 600 tiap 100.000 laki-laki dan 200 tiap 100.000 perempuan, sedangkan satu dari lima laki-
laki dan satu dari tujuh perempuan meninggal karena penyakit jantung koroner (PJK). 1,3 Penderita
penyakit jantung koroner yang datang ke IGD umumnya mengeluhkan nyeri dada yang jumlahnya
sebesar 5,3 juta/tahun, kira-kira sepertiganya memiliki diagnosis utama unstable angina pektoris
atau NSTEMI dan merupakan penyebab tersering dirawat di rumah sakit pada penyakit jantung.
Pasien yang dirawat inap dengan diagnosis infark miokard akut, jumlahnya sekitar 935.000 orang
per tahun mempunyai diagnosis utamanya adalah STEMI.2
Sindrom Koroner Akut sering ditemukan dan menjadi penyebab sekitar 500.000 kematian di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark miokard,
oleh karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.2
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas, walaupun
angka mortalitas penyakit jantung koroner sudah berkurang di negara maju, namun angka
88 Rehabilitasi Kardiovaskuler
morbiditas meningkat sebagai akibat meningkatnya kemampuan diagnosis dan kemampuan dalam
mengobati fase akut penyakit yang meningkatkan jumlah pasien infark miokard yang hidup.
Rehabilitasi jantung disarankan pada pasien yang mengalami serangan jantung untuk mengurangi
perkembangan penyakit jantung, meningkatkan kesehatan fisik dan mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas pasien PJK.2
Dari systematic review yang dilakukan oleh Heran dan kawan-kawan (2011) dengan melibatkan
48 randomised control trial menunjukkan 20% mengurangi mortalitas secara keseluruhan dan 27%
mengurangi mortalitas pada 2-5 tahun pertama. Program rehabilitasi jantung yang dilakukan pada
review tersebut terdiri dari latihan, edukasi, perubahan perilaku, konseling, dukungan keluarga
dan strategi untuk merubah faktor risiko penyakit jantung. Rehabilitasi jantung merupakan bagian
penting perawatan masa kini pada pasien dengan penyakit jantung dan menjadi prioritas pada
pasien PJK dan gagal jantung.7
Menurut meta-analisis yang dilakukan oleh Dalal dan kawan-kawan (2010), walaupun rehabilitasi
jantung menunjukkan hasil yang sangat bermanfaat, partisipasinya tetap belum optimal, dengan
alasan utamanya kebanyakan pasien menolak untuk datang ke kelas rehabilitasi jantung di rumah
sakit karena aksesibilitas, lahan parkir atau alasan pekerjaan. Hal ini dapat diupayakan dengan
program rehabilitasi jantung berbasis komunitas.8
Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan
iskemia miokardium akut, yang dapat bermanifestasi berupa angina pektoris tidak stabil, infark
miokard non-ST elevasi dan infark miokard ST elevasi.2,3
Secara patologis, infark miokard akut didefinisikan sebagai kematian sel otot jantung akibat
iskemia yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokardium dan aliran darah/suplai oksigen, akibatnya kebutuhan otot jantung tidak
dapat dipenuhi oleh pembuluh darah koroner sebagai akibat dari proses aterosklerosis yang
menyebabkan tromboemboli intrakoroner sehingga menyumbat aliran darah ke distal.1,3,9
Secara definisi, angina pektoris meliputi rasa tidak nyaman di dada yang dicetuskan oleh emosi dan
menghilang dengan nitrogliserin. Episode iskemik dapat dilihat dari abnormalitas EKG, abnormalitas
gerakan dinding ventrikel dan perfusi miokardial. Banyaknya hal yang mempengaruhi konsumsi
oksigen, perubahan keseimbangan suplai dan kebutuhan miokard, mekanisme vasoreaktivitas
dapat mempengaruhi tampilan dari sindrom koroner akut yang dapat terjadi baik simptomatis
maupun asimptomatis.2,3,6
Etiologi
Sindrom koroner akut disebabkan terutama oleh proses aterosklerosis. Sebagian besar kasus
sindrom koroner akut terjadi akibat gangguan lesi aterosklerotik primer yang sebelumnya stabil
tetapi rentan ruptur. Sindrom koroner akut juga dapat terjadi akibat trombosis atau spasme arteri
koroner.1-3
Penyebab lain yang jarang ditemukan namun berperan dalam terjadinya sindrom koroner akut
seperti obstruksi dinamis arteri epikardial yang menyebabkan kejang fokal intens (Angina
Rehabilitasi Kardiovaskuler 89
Prinzmetal), obstruksi mekanik berat tanpa kejang atau trombus seperti restenosis setelah PCI
(Percutaneous Coronary Intervention) atau beberapa pasien dengan aterosklerosis progresif;
peradangan arteri dan atau infeksi.1,2,3,6,10
Iskemia akut disebabkan oleh ruptur plak ateroslerotik, retakan, erosi atau kombinasi dengan
trombosis intrakoroner superimposed yang biasanya berhubungan dengan peningkatan risiko
kematian jantung (cardiac death) dan mionekrosis. Selain penyebab proses aterosklerosis pada
pembuluh darah koroner, keadaan lain dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen sehingga terjadi iskemia. Penyebab paling sering yang menyebabkan
penurunan suplai oksigen adalah penurunan tekanan perfusi akibat hipotensi seperti pada
keadaan hipovolemia atau syok septik dan penurunan konten oksigen darah yang berat seperti
anemia berat. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard seperti pada keadaan rapid tachycardia,
hipertensi akut atau stenosis aorta berat juga dapat menyebabkan iskemia walaupun tidak ada
proses aterosklerotik.11,12
Angina pektoris tidak stabil dapat disebabkan oleh penyebab sekunder yang pada umumnya
memiliki penyakit jantung koroner yang kronik dan memburuk sebagai akibat kebutuhan oksigen
miokard yang meningkat seperti yang dicetuskan dari olahraga berlebihan, stres emosional dan kondisi
lain seperti di bawah ini:2,6,7,8,9,10
Faktor risiko
Tabel 4.1 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut (DeLisa, 2010)
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Jenis kelamin Merokok
Usia Hipertensi
Riwayat keluarga dengan SKA <55 tahun HDL yang rendah (35mg/dl)
Riwayat peripheral arterial disease (PAD) Hiperkolesterolemia (200 mg/dl)
Riwayat penyakit serebrovaskular Hipertrigliseridemia (250mg/dl)
Obesitas sentral
Diabetes melitus
Sedentary lifestyle
Sindrom metabolik
Stres psikososial & depresi
Patogenesis
Aterosklerosis merupakan penyebab tersering timbulnya Sindrom Koroner Akut (SKA), namun
terbentuknya aterosklerosis ini dipengaruhi banyak faktor. Terdapat faktor yang mencetuskan
timbulnya lesi dan faktor lainnya yang dapat mempercepat progresivitas lesi aterosklerosis.1,15
Lesi aterosklerosis disebabkan oleh penumpukan dari plak, kemudian plak aterosklerosis
90 Rehabilitasi Kardiovaskuler
berkembang pada dinding pembuluh darah arteri sebelum plak tersebut mulai menonjol ke dalam
lumen pembuluh darah, adanya plak tersebut jarang dapat dideteksi oleh alat deteksi konvensional
seperti angiografi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa plak aterosklerosis baru ini berisi lemak
sangat rentan ruptur dan menyebabkan kejadian infark akut lebih sering dibandingkan dengan
plak aterosklerosis yang stabil. Teori perkembangan aterosklerosis meliputi peranan dari lipid,
darah, dinding pembuluh darah, kondisi sistemik dan faktor mekanik eksternal.1,15
Lesi ateroskleoritik diawali dengan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Penyebab kerusakan
ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti merokok, diabetes dan hipertensi. Ketika terjadi
kerusakan endotel maka faktor von williebrand yang akan menyebabkan agregasi trombosit akan
terlepas. Faktor ini merupakan komponen penting dalam proses homeostasis yang akan berikatan
dengan platelet (trombosit) dan membentuk platelet plug. Hal ini akan memicu terjadinya proses
inflamasi sehingga akan menarik sel darah putih (monosit) ke daerah kerusakan.1,15
Pada kondisi kerusakan endotel, low density lipoprotein (LDL) yang merupakan makromolekul
dapat menembus masuk kedalam dinding arteri, menembus sel endotel yang rusak sampai ke
tunika intima dan membran basal. Laju penumpukkan LDL ini dipengaruhi oleh konsentrasi LDL
plasma dan kondisi dari endotel. Low density lipoprotein (LDL) yang menembus sel endotel akan
mengalami proses oksidasi yang lebih berbahaya daripada LDL biasa, hal ini memicu terjadinya
proses inflamasi. Kemudian monosit akan merespon dengan bermigrasi dari lumen pembuluh
darah ke dalam dinding arteri dan berubah menjadi makrofag.1,15
Makrofag bertugas untuk membersihkan lesi dengan cara menyelubungi LDL yang teroksidasi dan
berubah menjadi sel busa (foam cell). Ketika sel busa (foam cell) mati, sel tersebut akan melepaskan
konten lemaknya dan membentuk inti lemak (lipid core). Selanjutnya tubuh akan berespon dengan
membentuk lapisan fibrosa tipis (thin fibrous cap) yang melapisi permukaan dari inti lemak (lipid core).
Lapisan fibrosa tipis (thin fibrous cap) sebagian besar terdiri dari kolagen dan elastin. Pertumbuhan
plak yang disebabkan oleh penumpukkan LDL didalam intima menyebabkan membran elastin
eksterna untuk berekspansi kearah tunika adventisia, hal ini disebut sebagai arterial remodeling.
Dengan arterial remodeling pembuluh darah dapat menjaga ukuran lumen dan aliran darah secara
adekuat. Namun, dengan berjalannya waktu dan terjadi penumpukkan LDL yang semakin banyak,
dinding pembuluh darah membran advintisia tidak akan mampu lagi mengkompensasi sehingga
terjadi pertumbuhan plak aterosklerosis kearah lumen. Hal ini menyebabkan lumen pembuluh
darah arteri menyempit.1,15
Perkembangan lebih lanjut aterosklerosis dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme. Salah
satunya makrofag berdeteriorirasi (kemampuan semakin melemah) yang meninggalkan hanya LDL
yang teroksidasi, yang menyebabkan kerusakan lebih besar pada endotel, yang memicu platelet
(trombosit) dalam jumlah besar untuk menutupi kerusakan endotel.1
Berikutnya sel endotel, monosit, dan trombosit, memproduksi growth factor yang memicu
kompensasi pembuluh darah koroner. Growth factor ini juga memicu perkembangan sel otot polos
hingga menembus dinding arteri normal mencapai lesi. Trombosit dan sel endotel menghasilkan
substansi vasoaktif yang mampu kontriksi dan dilatasi arteri koroner, seperti tromboksan, asetilkolin
dan serotonin. Baik growth factor dan substansi vasoaktif menyebabkan proliferasi di dalam sel
busa (foam cell) dan tunika intima yang menyebabkan pembesaran ateroma dan plak. Walaupun
proses kompensasi diperlukan, namun proses ini cenderung terjadi secara berlebihan yang mampu
menyebabkan obstruksi.1 Pada akhirnya pembuluh darah koroner akan semakin sempit, ditambah
faktor lain seperti spasme arteri koroner akan menimbulkan sumbatan pada aliran darah koroner.
Rehabilitasi Kardiovaskuler 91
Faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, kurang aktivitas, merokok dapat menginisiasi
atau mempercepat proses proliperatif di dalam dinding pembuluh darah.1
Pada sebagian besar kasus, infark miokard terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis. Plak yang ruptur tersebut
memiliki sifat trombogenik yang tinggi dan kolagen yang terlepas dapat semakin memprovokasi
agregasi platelet dan kaskade koagulasi ekstrinsik diaktivasi melalui interaksi antar faktor jaringan
di pembuluh darah serta darah yang bersirkulasi akan menyebabkan aktivasi trombin sehingga
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin kemudian berinteraksi dengan platelet yang teraktifasi
kemudian membentuk struktur mirip jaring yang kemudian menstabilkan trombus di mural.
Dengan demikian aterotrombosis melengkapi penyumbatan arteri koroner.1,6,10
Endotel seringkali rusak di area arteri koroner yang sakit. Disfungsi endotel menyebabkan defisit
faktor antitrombotik, seperti trombomodulin dan prostasiklin. Selain itu, tidak adanya endothelial-
derived relaxing factors menyebabkan vasokontriksi meningkat, akibatnya terjadi vasospasme lokal
yang akan memperburuk oklusi koroner. Iskemia berat dalam jangka lama menyebabkan area
nekrosis meluas ke seluruh dinding miokardium.1
Mekanisme neurohumoral dan sirkulasi teraktivasi oleh hipertensi, diabetes melitus, dan merokok,
juga faktor genetik dan herediter berperan pada mekanisme agregasi trombosit dan sel darah
merah pada plak serta vasokontriksi pada pembuluh darah sekitar plak.1
Pasokan darah ke otot jantung yang tiba-tiba terputus akibat oklusi arteri koroner menyebabkan
terjadinya peristiwa iskemia pada proses metabolisme dan biokimiawi. Kurangnya oksigen
menghambat jalur erobik untuk metabolisme asam lemak, hal ini menyebabkan asam lemak
terakumulasi di sitoplasma. Penumpukan asam lemak di dalam sitoplasma membatasi mekanisme
transpor melewati membran mitokondria. Iskemia tidak hanya menghambat jalur metabolisme
oksidatif tetapi juga berperan terhadap terjadinya asidosis yang berperan terhadap munculnya
disritmia.1,6,10
Iskemia menyebabkan hilangnya kontraktilitas pada miokardium yang terkena, kondisi ini disebut
hipokinesis. Nekrosis mulai berkembang di subendokardium 15-30 menit setelah oklusi koroner.
Area nekrosis berkembang keluar ke arah epikardium dalam 3-6 jam. Pada beberapa area (biasanya
di tepi infark) miokardium mengalami stunning (kerusakan reversibel) dan akan pulih ketika aliran
darah membaik. Pada kondisi tertentu aliran darah tidak mencapai daerah yang mengalami
hipoksia maka akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel.6,10,16
92 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 4.1. Proses pembentukan plak aterosklerosis17
Patofisiologi
Infark miokard akut dipengaruhi oleh kebutuhan dan suplai nutrisi pada otot miokardium. Dalam
kondisi normal, miokardium akan membantu mensuplai darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan mencegah hipoperfusi dari miosit serta mencegah terjadinya iskemia dan infark. Hal
yang menentukan myocardial oxygen demand (MVO2) antara lain denyut jantung, kontraktilitas
miokardium dan tekanan dinding jantung (myocardial wall tension). Suplai oksigen yang adekuat juga
dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen dalam darah seperti banyaknya oksigen yang terinspirasi,
fungsi paru, konsentrasi dan fungsi Hb serta adekuatnya aliran darah koroner.2
Dengan mengecilnya lumen pembuluh darah koroner, aterosklerosis membatasi perfusi ke miokard,
disertai dengan peningkatan kebutuhan saat aktivitas fisik dan emosi. Saat penyumbatan cukup
berat, perfusi miokardial basal juga berkurang. Penyumbatan pembuluh darah koroner juga bisa
disebabkan oleh spasme pembuluh darah koroner (Angina Prinzmetal), trombus arterial, emboli
koroner dan penyempitan ostium karena aortitis.2
Pada umumnya angina pektoris stabil terjadi ketika lesi arterosklerotik berjalan secara perlahan
atau dalam keadaan inaktif, sehingga pembuluh kolateral mampu mengimbangi proses obstruksi
yang terjadi. Sedangkan angina pektoris tidak stabil terjadi saat fase aktif dari proses aterosklerosis
di mana penyempitan arteri koroner berkembang dengan cepat, sehingga pembuluh kolateral
tidak mampu mengkompensasi penurunan sirkulasi koroner.1
Rehabilitasi Kardiovaskuler 93
Iskemia yang terjadi pada ventrikel kiri akan menimbulkan gejala yang lebih berat. Hal ini diawali
dengan abnormalitas pada fungsi diastolik ventrikel kiri, yang disebabkan oleh dinding jantung
yang lebih kaku. Kemudian berkembang pada abnormalitas pada fungsi sistolik ventrikel kiri diikuti
peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri, yang pada akhrinya menimbulkan gejala angina pada
pasien. Disfungsi ini juga dapat menimbulkan gejala lain seperi dyspnea on effort, edema paru akut,
akibat peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri.1
Secara teori preload didefinisikan sebagai dilatasi saat miokardium istirahat, pada jantung yang
intak preload dapat dilihat dari tekanan akhir diastolik atau lebih tepatnya tekanan dinding jantung
di akhir diastolik. Afterload merupakan tenaga yang dibutuhkan untuk membuka katup aorta yang
dapat dilihat dari tekanan darah sistemik. Afterload juga dapat dinilai dari tekanan dinding jantung
saat katup aorta terbuka (systolic wall stress), yang dihitung berdasarkan tekanan pada ventrikel
dan atrium, volume dan ketebalan dinding. Kontraktilitas dapat dilihat dari fraksi ejeksi dan
pengosongan mekanik, sedangkan frekuensi stimulasi dapat dilihat dari denyut jantung.1
Miokardium normal menggunakan asam lemak untuk proses aerob pembentukan ATP, sedangkan
iskemia miokardium menggunakan glukosa untuk proses anaerob. Daerah yang sudah terjadi
iskemia dapat menambah beban miokardium yang masih berfungsi dengan baik, sehingga
kebutuhan oksigen semakin meningkat.1
Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsumsi oksigen miokardial, keseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen miokard merupakan faktor penting terjadinya iskemia miokard. Penurunan
lumen pembuluh darah koroner dapat menurunkan aliran darah koroner dan mencetuskan iskemia
ketika kebutuhan oksigen meningkat akibat kerja mekanik jantung. Ini merupakan mekanisme yang
paling umum terjadinya angina pektoris stabil. Gejala akan menghilang ketika kebutuhan oksigen
kembali normal, sehingga walaupun dengan aliran darah yang berkurang tetap dapat memenuhi
kebutuhan jantung. Dalam keadaan lain kebutuhan oksigen jantung tetap, tetapi penurunan aliran
darah yang semakin besar pada hipotensi dapat diatasi dengan mekanisme vasokontriksi sehingga
perfusinya akan tetap baik.1,3
94 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Arteri koroner normal berdilatasi dengan latihan dan juga mempengaruhi kebutuhan oksigen
jantung. Pembuluh darah normal akan berdilatasi sebagai akibat latihan dan efek dari asetilkolin
di mana pada keadaan normal sebenarnya asetilkolin mempunyai efek vasodilatasi dengan
merangsang sintesis Nitric Oxide dari L-arginine di endotel, namun pada arteri koroner yang
terdapat plak di mana terjadi disfungsi endotel secara paradoks akan terjadi penurunan Nitric
Oxide sehingga asetilkolin akan menyebabkan vasokonstriksi.4
Substansi lain seperti serotonin dan tromboksan dapat dikeluarkan oleh trombosit untuk memicu
terjadinya vasokonstriksi. Mekanisme sistem saraf pusat dan keseimbangan antara sistem simpatis
dan parasimpatis juga dapat menyebabkan vasokontriksi arteri koroner. Hal ini sering ditemukan
pada pasien angina stabil, angina tidak stabil atau tahap awal infark miokard.1,3,6
- Trombosis koroner
Pada penelitian angiografi dan studi post mortem yang dilakukan pada pasien SKA segera
setelah timbulnya keluhan angina menunjukkan lebih dari 85% terdapat adanya oklusi trombus
pada arteri koroner (culprit artery).
- Robekan plak (Ruptur plaque)
Trombosis koroner umumnya dihubungkan dengan robekan plak. Perubahan yang tiba-tiba dari
angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard umumnya berhubungan dengan robekan
plak pada titik di mana tegangan geser (shear stress) paling tinggi dan seringkali dihubungkan
dengan plak aterosklerosis yang ringan. Plak yang mengalami robekan kemudian merangsang
agregasi trombosit yang selanjutnya akan membentuk thrombus. Pada penyumbatan total
akan menimbulkan gambaran STEMI, sedangkan penyumbatan parsial akan menyebabkan
gejala angina tidak stabil atau NSTEMI.
- Spasme arteri koroner
Perubahan tonus pembuluh darah koroner melalui Nitric Oxide (NO) endogen dapat membawa
variasi ambang rangsang angina di antara satu pasien dengan yang lain. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi tonus arteri yaitu hipoksia, katekolamin endogen dan zat vasoaktif (serotonin,
adenosine diphospat).
Penyebab kurang umum adalah obstruksi dinamis arteri epikardial yang menyebabkan kejang fokal
intens (Angina Prinzmetal). Diperkirakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot
polos pembuluh darah dan/atau disfungsi endotel. Angina Prinzmetal umumnya terjadi secara
berulang (recurrent), kejang ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain penggunaan rokok dan
kokain. Penyempitan pembuluh intramural kecil yang abnormal juga dapat menyebabkan obstruksi
dinamis dan iskemia akut.1,6,10
Penyebab lain angina tidak stabil adalah obstruksi mekanik berat tanpa kejang fokal intens (Angina
Prinzmetal) atau trombus. Penyebab lain selanjutnya adalah peradangan arteri dan atau infeksi.
Diperkirakan bahwa peradangan kronis mungkin berhubungan dengan infeksi yang menyebabkan
aktivasi makrofag dan limfosit-T pada plak yang rentan dan peningkatan ekspresi metaloproteinase
mengakibatkan gangguan dan pecahnya plak.1,6,10
Penyebab terakhir angina tidak stabil yang disinggung dalam Braunwald, yaitu angina tidak stabil
dari penyebab sekunder. Pasien-pasien ini umumnya memiliki penyakit jantung koroner kronis
Rehabilitasi Kardiovaskuler 95
yang memburuk sebagai akibat dari kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard,
seperti demam, takikardia, berkurangnya aliran darah koroner yang disebabkan oleh hipotensi
dan mengurangi kandungan oksigen dalam darah, seperti hipoksemia atau anemia.6,10
Iskemia miokard akut juga dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen seperti pada
hipertrofi ventrikel kiri dengan stenosis aorta. Turunnya konsentrasi oksigen dalam darah seperti
pada anemia berat, keracunan karbonmonooksida, sangat jarang menyebabkan iskemia miokard.
Sindrom koroner akut dapat terjadi akibat salah satu penyebab di atas atau dapat berupa kombinasi
antara ketiganya.2,3
Klasifikasi
Sindroma koroner akut (SKA) dapat digolongkan menjadi unstable angina pectoris (UAP), non
ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dan ST elevation myocardial infarction (STEMI).
Klasifikasi ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan penanda jantung.3,6
Tabel 4.3. Klasifikasi penyakit kardiovaskular berdasarkan New York Heart Association dan Canadian
Cardiovascular Society3
I Aktifitas fisik biasa, seperti berjalan dan menaiki Pasien yang memiliki penyakit jantung
tangga tidak menyebabkan angina. Angina tetapi tanpa keterbatasan yang
dicetuskan oleh aktivitas yang berat, cepat atau dihasilkan dari aktivitas fisik. Aktivitas
lama saat bekerja. fisik biasa tidak menyebabkan
kelelahan berlebihan, palpitasi,
dispnea atau nyeri angina.
96 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Class Canadian Cardiovascular Society New York Heart Association
Functional Classification Functional Classification
II Sedikit keterbatasan sat aktivitas fisik biasa Pasien memiliki penyakit jantung yang
sepeerti berjalan atau naik tangga dengan cepat, mengakibatkan sedikit keterbatasan
berjalan menanjak, berjalan atau naik tangga aktivitas fisik. Mereka merasa nyaman
setelah makan, saat cuaca dingin, stres emosional beristirahat. Aktivitas fisik biasa
atau beberapa jam setelah bangun, berjalan lebih mengakibatkan kelelahan, palpitasi,
dari 2 blok pada tingkat dan memanjat lebih dari dispnea atau nyeri angina.
12 anak tangga pada kecepatan normal juga
dalam kondisi normal.
III Keterbatasan ditandai aktivitas fisik biasa. Pasien memiliki penyakit jantung yang
Berjalan 1-2 blok dan menaiki tangga lebih dari 1 mengakibatkan keterbatasan saat
flight tangga dalam kondisi normal beraktivitas fisik biasa. Mereka merasa
nyaman pada saat istirahat. Aktivitas
fisik yang kurang dari biasanya
menyebabkan kelelahan, palpitasi,
dispnea atau nyeri angina.
IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik Pasien memiliki penyakit jantung yang
tanpa ketidaknyamanan, angina dapat terjadi mengakibatkan ketidakmampuan
pada saat istirahat untuk melakukan aktivitas fisik tanpa
ketidaknyamanan. Gejala insufisiensi
jantung atau sindrom angina dapat
terjadi bahkan pada saat istirahat.
Ketidaknyamanan meningkat saat
melakukan aktivitas fisik.
Etiologi NSTEMI disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid (lipid core) yang besar, densitas otot polos yang rendah, lapisan fibrosa (fibrous cap) yang
tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi.1,2,3
Rehabilitasi Kardiovaskuler 97
resultan ST-segmen elevasi di EKG. Biasanya gelombang Q baru berkembang karena nekrosis
penuh atau hampir penuh pada dinding ventrikel. Karena hal ini hanya dapat terjadi hingga 70%
dari pasien dan sebagian kecil pasien tanpa elevasi ST-segmen akhirnya dapat memunculkan
gelombang Q baru.1,2,3 Pada STEMI biasa ditemukan gejala klinis khas infark yang disertai
perubahan EKG berupa ST elevasi. Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.1,2,3,6
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.1,2,3
Diagnosis
Gambaran klinis dipengaruhi tingkat keparahan dan lamanya obstruksi arteri koroner, volume
miokardium yang terpengaruh, tingkat kemampuan dari sisa jantung untuk mengkompensasi.2,3,6
Anamnesis
Pasien dengan dugaan sindrom koroner akut perlu dilakukan anamnesis secara sistematis untuk
mengetahui adanya riwayat perkembangan nyeri dada (chest pain/angina). Karena aterosklerosis
koroner sering disertai dengan lesi serupa dalam arteri lain, maka pasien dengan angina harus
dilakukan anamnesis dan diperiksa untuk penyakit arteri perifer (klaudikasio intermiten, stroke
atau serangan iskemik transien). Hal ini juga penting untuk mengungkap riwayat keluarga penyakit
jantung iskemik dan adanya riwayat diabetes melitus, hiperlipidemia, hipertensi, merokok dan
faktor risiko lain untuk aterosklerosis koroner.2,3,6
- Rasa tekanan yang tidak nyaman, rasa penuh, diremas atau rasa nyeri di tengah dada dalam
beberapa menit.
- Nyeri yang menjalar ke bahu, leher, lengan kiri, punggung atau rahang bawah.
- Nyeri dada yang disertai rasa sempoyongan, mau jatuh, berkeringat atau mual.
- Sesak nafas yang tidak dapat dijelaskan, yang dapat terjadi tanpa nyeri dada.
- Palpitasi, agitasi, delirium, penurunan toleransi aktivitas fisik, rasa takut mati (fear of impending
death).
98 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Biasanya angina adalah gejala iskemia miokard yang muncul dalam keadaan meningkatnya
kebutuhan oksigen, pada kasus yang baru angina lebih sulit untuk didiagnosis karena gejala
sering tidak jelas dan mirip dengan gejala yang disebabkan oleh kondisi lain (misalnya gangguan
pencernaan atau kecemasan.2,3,6 Sekitar 20% dari pasien sindrom koroner akut tidak menunjukkan
gejala atau memiliki gejala atipikal yang tidak disadari. Gambaran tidak khas seperti dispeptic pain,
pada kasus orang tua usia lebih dari 75 tahun, utamanya pada wanita, riwayat diabetes dan pasca
operasi. Gejala yang mungkin timbul antara lain dispnea, mual, kelelahan dan pingsan.2,3,6
Pasien dengan angina atipikal, bersamaan dengan faktor risiko lain seperti usia lanjut, jenis kelamin
laki-laki, pasca menopause dan faktor risiko aterosklerosis lain akan meningkatkan kemungkinan
penyakit koroner yang signifikan.2,3
Angina stabil melibatkan nyeri episodik yang berlangsung 5-15 menit, diprovokasi oleh aktivitas
fisik, dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Pada angina tidak stabil pasien mengalami
peningkatan risiko kejadian yang merugikan jantung, seperti infark miokard atau kematian.
Sedangkan pada nyeri infark miokardia, nyeri akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
nyeri pada angina baik stabil maupun tidak stabil.2
Kebanyakan pasien dengan angina merasakan episode chest discomfort, yang sering dideskripsikan
seperti perasaan berat, tertindih, diremas, terbakar dan nyeri dada yang hebat. Pasien sering
melokalisasikan nyeri di sekitar sternum kadang dengan tangan terkepal yang mengindikasikan
nyeri seperti diremas di daerah substernal (Levine sign). Nyeri angina biasanya bertahan selama
2-5 menit dan menjalar ke lengan kiri, punggung, interskapular, rahang dan epigastrium. Jarang
nyeri menjalar ke atas mandibula dan di bawah umbilikus. Nyeri tidak pernah menjalar ke daerah
trapezius, jika nyeri seperti ini muncul lebih mengindikasikan nyeri karena perikarditis.3
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan angina stabil ketika mereka tidak
menunjukkan gejala. Namun karena peningkatan kemungkinan penyakit jantung iskemik pada
pasien dengan diabetes dan atau penyakit arteri perifer, sehingga dokter harus mencari bukti
penyakit aterosklerosis di lokasi yang lain, seperti aneurisma aorta abdominal, bruit karotis arteri
dan pulsasi arteri yang menurun di ekstremitas bawah.2,3,6
Pemeriksaan fisik juga harus mencakup pencarian bukti faktor risiko aterosklerosis seperti
xanthelasma dan xanthoma. Bukti untuk penyakit arteri perifer harus dicari dengan mengevaluasi
nadi di beberapa lokasi dan membandingkan tekanan darah antara lengan serta antara lengan dan
kaki (ankle-brachial index). Mungkin juga ada tanda-tanda anemia, penyakit tiroid dan noda nikotin
pada ujung jari dari merokok.2,3,6
Pasien dengan sindrom koroner akut sering datang dalam keadaan cemas dan tidak nyaman.
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri mungkin memiliki takipnea, takikardia, ronkhi paru dan
bunyi jantung ketiga. Adanya murmur sistolik menunjukkan disfungsi iskemik dari katup mitral
atau ruptur septum ventrikel.2,3,6 Pasien yang dapat melokalisai nyeri dengan satu jari di daerah
dada atau nyeri diakibatkan oleh penekanan menandakan nyeri mungkin tidak disebabkan oleh
iskemia miokard. Pada kondisi obesitas dengan peningkatan lemak di daerah abdomen dapat
menunjukkan bahwa kemungkinan memiliki sindrom metabolik dan timbulnya peningkatan risiko
untuk aterosklerosis.3
Rehabilitasi Kardiovaskuler 99
Pemeriksaan penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi selama episode gejala menyajikan data yang sangat berharga. Gambaran
EKG harus ditinjau segera dan melibatkan ahli jantung bila ragu. Perubahan ST-segmen (> 0,05
mV) yang muncul selama periode gejala sangat prediktif dari Coronary Artery Disease (CAD) dan
memiliki nilai prognostik.18
Dalam keadaan darurat, EKG adalah tes diagnostik yang paling penting untuk angina. Ini
menunjukkan perubahan selama gejala dan respon terhadap pengobatan. Pemeriksaan EKG juga
dapat menunjukkan adanya riwayat penyakit struktural atau jantung iskemik seperti hipertrofi
ventrikel kiri atau perubahan gelombang Q. Gambaran EKG yang normal atau yang tetap tidak
berubah dari baseline tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa nyeri dada adalah iskemik
pada sekitar 1 sampai 6% pasien.18
Perubahan yang dapat dilihat pada episode angina meliputi berikut ini: 2,3
Sensitivitas diagnostik EKG dapat ditingkatkan dengan melihat lead sisi kanan (V4 R), lead posterior
(V7-V9) dan rekaman serial.2,3
2. Pemeriksaan laboratorium
Biomarker adalah penanda penting untuk meningkatkan akurasi diagnosis, memberikan informasi
prognosis dan membantu klinis memutuskan secara agresif kapan harus melakukan tindakan.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah CK, CKMB dan cardiac spesific troponin (troponin I dan T)
dilakukan secara serial. Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali batas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).2,3
Gambar 4.2 Pemeriksaan penanda jantung3 Plot ini menunjukkan perubahan penanda jantung
dari waktu ke waktu setelah timbulnya gejala. Puncak A: Rilis awal mioglobin atau creatine kinase
isoenzim MB (CK-MB) setelah infark miokard akut. Puncak B: tingkat troponin jantung setelah
infark. Puncak C: tingkat CK-MB setelah infark. Puncak D: tingkat troponin jantung setelah
angina tidak stabil.
3. Pemeriksaan radiologi
Tatalaksana SKA telah menekankan peran pencitraan baik dalam fase akut maupun kronis. Teknik
pencitraan yang mengevaluasi perfusi miokard, viabilitas miosit, ketebalan dan gerak miokard serta
efek dari fibrosis adalah alat berharga dalam membantu diagnosis infark miokard akut, karena
hipoperfusi regional dan iskemia menyebabkan disfungsi miokard, kematian sel dan penyembuhan
dengan fibrosis. Ekokardiografi, ventrikulografi radionuklida, miokard perfusi skintigrafi dan
magnetic resonance imaging (MRI) biasanya digunakan untuk tujuan ini. Positron emission
tomography (PET scan) dan x-ray computed tomography (CT scan) kurang lazim digunakan.2,3
Pada pemeriksaan angiografi biasanya menilai pembuluh darah koroner jantung seperti left
main artery, left anterior descending, left circumflex dan right coronary artery. Penyumbatan pada
pembuluh darah koroner akan dapat segera diketahui dan biasanya ahli jantung dapat segera
mengambil rencana tindakan sesuai onset serangan maupun besarnya persentase sumbatan pada
4 pembuluh darah percabangan arteri koroner tersebut.2,3
Menurut penelitian Ezhumalai dan kawan-kawan dalam Angiographic prevalence and pattern
of coronary artery disease in women tahun 2014 mendapat hasil dari 500 pasien wanita yang
mengalami stenosis LMCA 17 (3,4%), LAD 176 (35,2%), LCX 128 (25,6%) dan RCA 130 (26%).
Pembuluh koroner LAD merupakan pembuluh darah paling sering mengalami penyumbatan diikuti
oleh LCX dan RCA dengan prevalens yang hampir sama.19
- Pasien dengan nyeri dada atau gejala yang mengindikasikan SKA, perlu dilakukan pemeriksaan
EKG dalam 10 menit pertama dan pemeriksaan EKG dilakukan secara serial untuk mendeteksi
perubahan mengarah ke iskemia.
- Pemeriksaan troponin I atau T serial perlu dilakukan saat pasien datang dan 3-6 jam setelah
onset gejala. Karena hasilnya dapat menilai prognosis.
- Pada pasien dengan gejala SKA tanpa bukti adanya tanda iskemik (EKG non iskemik dan
troponin level normal), pemeriksaan radiologi perlu dilakukan sebelum pasien pulang dengan
menggunakan pemeriksaan angiography (Coronary Computer Tomographic Angiography).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus difokuskan pada nyeri dada, tanda dan gejala gagal jantung,
riwayat sakit jantung, faktor risiko SKA dan gambaran riwayat untuk pemberian trombolisis.6
Menurut AHA dan ACC perbedaan antara angina tidak stabil dan NSTEMI diketahui berdasarkan
pemeriksaan laboratorium enzim jantung. Pada angina tidak stabil tidak didapatkan kenaikan
pada Troponin I dan T serta CKMB. Kenaikan enzim jantung tersebut merupakan penanda adanya
kerusakan miokardium, yang biasanya meningkat dalam 12 jam setelah serangan. Sehingga pada
fase awal antara angina tidak stabil dan NSTEMI tidak dapat dibedakan.2,3,6,18
Jika pasien tidak memiliki bukti segmen ST elevasi atau gelombang Q, tetapi didapatkan kelainan
seperti ST depresi dan kadar CK-MB meningkat, maka pasien didiagnosis dengan NSTEMI. Pasien
dengan nyeri dada iskemik akut tanpa bukti segmen ST elevasi atau gelombang Q dan yang
memiliki tingkat CK-MB negatif dianggap memiliki angina tidak stabil. Tetapi kriteria tersebut kini
dipertajam dengan pemeriksaan penanda serologis yang lebih sensitif seperti troponin T dan I
serta penggunaan teknik pencitraan mutakhir.2,3,6
Pembagian transmural dan nontransmural (subendokordial) infark miokard sudah tidak digunakan
karena temuan EKG pada pasien tidak ditemukan korelasi dengan perubahan patologi anatomi
miokardium. Pada sebelumnya yang dimaksud dengan Infark transmural dapat terjadi jika
gelombang Q ditemukan pada EKG, dan sebaliknya tidak adanya gelombang Q menandakan
terjadinya infark pada subendokordial. Kriteria ini sudah tidak lagi digunakan.6
Diagnosis STEMI yang akurat sangat penting karena dua alasan. Pertama, terapi reperfusi
merupakan terapi utama STEMI, baik oleh agen trombolitik maupun revaskularisasi mekanik
(Percutaneus Coronary Intervention/PCI). Kematian dapat menurun secara signifikan jika reperfusi
dilakukan dalam waktu 12 jam dari timbulnya gejala pada pasien dengan STEMI.2,3,6
Untuk mencegah bahaya yang tidak perlu, agen trombolitik hanya direkomendasikan untuk
setidaknya elevasi ST-segmen 2-mm di setidaknya 2 lead bersebelahan di prekordium atau
setidaknya ketinggian 1-mm ST-segmen di 2 ekstremitas berdampingan selain peningkatan
marker kardiac. Secara klinis perlu dicatat bahwa LBBB baru juga memenuhi kriteria untuk terapi
revaskularisasi agresif dengan agen trombolitik atau dengan cara mekanis.2,3,6
Tabel 4.5 Kriteria Infark Miokard menurut European Society of Cardiologists/American College of
Cardiology (ACC)
Farmakologis
Penatalaksanaan medik sindrom koroner akut meliputi beberapa tindakan yang harus dikerjakan
secara simultan antara lain menilai dan memberikan bantuan ABC (airway, breathing, dan
circulation), pemeriksaan EKG 12 sadapan serta interpretasinya, dilanjutkan pemeriksaan enzim
jantung, elektrolit dan evaluasi sistem pembekuan darah harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis SKA, yang ditunjang dengan pemeriksaan foto toraks.2,3,10
Oksigen: oksigen diberikan pada semua pasien yang dalam evaluasi SKA, dengan dosis oksigen
4 lpm kanul nasal dan pertahankan saturasi O2 di atas 90%. Penelitian menunjukkan pemberian
oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior. Berdasarkan konsensus, dianjurkan
oksigen dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak
bermanfaat, kecuali pada keadaan seperti di bawah ini:6,10
- Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang dengan hemodinamik yang tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru
- Pasien dengan saturasi oksigen <90%
Aspirin: Aspirin diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat aspirin
dan tidak ada riwayat alergi juga tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan. Dapat
menggunakan aspirin supositoria pada pasien dengan mual, muntah, ulkus peptikum atau
gangguan pada saluran pencernaan atas.6,10
Aspirin menginhibisi fungsi platelet dengan bekerja pada jalur cyclooxygenase dalam pembentukan
thromboxane A2. Aspirin dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas dan diberikan
seterusnya pada pasien SKA.6,10
Nitrogliserin: dapat diberikan tablet nitrogliserin sublingual sampai 3 kali dengan interval 3-5 menit,
jika tidak terdapat kontraindikasi. Jika nitrogliserin tidak memberikan respon maka dapat diberikan
secara parenteral. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak
stabil: tekanan darah (TD) <90mmHg atau 30mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal.6,10
Nitrat meringankan gejala nyeri dada melalui beberapa mekanisme, termasuk vasodilatasi koroner,
meningkatkan aliran darah kolateral, menurunkan preload (venodilation dan mengurangi aliran
balik vena) serta penurunan afterload (vasodilatasi arteri).6,10
Morfin: pemberian morfin IV dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot tidak
respon. Morfin merupkan pengobatan yang cukup penting pada SKA karena:6,10
- Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi neurohumoral dan
menyebabkan pelepasan katekolamin.
- Menghasilkan vasodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan mengurangi
kebutuhan oksigen.
- Menurunkan tahanan vaskular sistemik sehingga mengurangi afterload ventrikel kiri.
- Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut.
- Penatalaksanaan STEMI
- Pasien dengan STEMI biasanya terjadi akibat penyumbatan yang lengkap (complete) pada
arteri koroner epikardial.
- Pengobatan utama pada STEMI adalah terapi reperfusi segera yang dapat dilakukan dengan
fibrinolitik atau PCI Primer.
- Reperfusi terapi pada STEMI merupakan perkembangan yang sangat penting dalam pengobatan
penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi fibrinolitik segera atau kateterisasi langsung reperfusi
sudah merupakan standar pengobatan pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12 jam
dan tidak terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi mengurangi mortalitas dan menyelamatkan
jantung. Semakin pendek waktu reperfusi manfaatnya semakin besar.10
1. Langkah I:
a. Nilai waktu onset serangan
b. Risiko STEMI
c. Risiko Fibrinolisis
d. Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli kardiologi yang tersedia
Pengobatan lebih awal fibrinolysis (door-drug <30 menit) dapat membatasi luasnya infark, fungsi
ventrikel normal dan mengurangi angka kematian. Ada beberapa jenis obat fibrinolitik misalnya
alteplase recombinant, Reteplase, Tenecplase dan Streptokinase (streptase). Di Indonesia
umumnya tersedia Streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam
100cc NaCl 0,9% secara infus selama 1 jam.10
- Depresi segmen ST
- Onset lebih dari 24 jam
- Pada tekanan darah tinggi (tekanan darah sistolik >175mmHg)
- Syok kardiogenik
- STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
- Pasien kontraindikasi fibrinolysis
percutaneous coronary intervention juga dapat digunakan sebagai intervensi awal pada kasus
UAP dan NSTEMI dengan angina refrakter atau hemodinamik tidak stabil maupun stabil yang
tidak memiliki penyulit ataupun kontraindikasi untuk tindakan tersebut.6,10
Beta blocker mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan tekanan dinding ventrikel, juga dapat
mengurangi mortalitas dan kekambuhan penyakit SKA. Beta blocker dapat mencegah komplikasi
mekanik dari infark miokard seperti ruptur otot papilare dan dinding ventrikel.13 Atenolol diberikan
dengan dosis 50-200 mg/hari, Bisoprolol 10 mg/hari, Carvedilol 6,25 mg/hari diberikan 2 kali
sehari dengan titrasi sampai maksimum 25 mg/hari, propanolol 20-80 mg/hari diberikan 2 kali
sehari.10 Beta blocker tidak diberikan pada pasien syok kardiogenik atau pasien yang memiliki
tanda gagal jantung akut.6,10
- Pencegahan primordial: pencegahan yang dilakukan pada seseorang dalam kondisi sehat yang
tidak mempunyai faktor risiko penyakit jantung.
- Pencegahan primer: pencegahan seseorang yang sudah mempunyai faktor risiko penyakit
jantung tetapi belum mengalami masalah jantung.
- Pencegahan sekunder: pencegahan yang dilakukan kepada pasien yang telah mendapatkan
serangan jantung atau operasi jantung agar tidak mengalami masalah jantung berulang.
Program pencegahan sekunder bisa dilaksanakan di rumah sakit (hospital based) atau di komunitas
(community based) yang meliputi edukasi dan pengawasan (monitoring) selama latihan serta cara
yang rasional dalam melaksanakan program rehabilitasi jantung.13
Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), menyatakan
bahwa rehabilitasi jantung merupakan program multidisiplin dalam upaya pencegahan sekunder
sindrom koroner akut. Pemeriksaan yang menyeluruh, modalitas pengobatan dan follow-up perlu
dilakukan agar program rehabilitasi jantung berjalan maksimal.9,13
Program rehabilitasi jantung memerlukan sumber daya yang kompeten sehingga para staf
rehabilitasi jantung perlu menentukan tujuan individual setiap pasien apakah tujuan tersebut
realistis. Pengenalan dini tentang tujuan yang tidak realistis pada pasien seperti langsung kembali
bekerja setelah keluar dari rumah sakit akan menjadi sebuah hambatan untuk melakukan program
rehabilitasi jantung berikutnya.13
Semua anggota tim rehabilitasi jantung memerlukan kompetensi khusus dalam pelayanan agar
pelaksanaan rehabilitasi jantung mempunyai kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan.13
Spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi berfokus pada keadaan pemulihan pasca kondisi akut
serta bertanggung jawab untuk mengevaluasi, memberikan resep latihan dan edukasi pasien untuk
rehabilitasi jantung fase rawat inap.13
Selama perawatan pasien di ICCU dan bangsal rawat inap serta pada pasien yang akan pulang,
dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi melakukan hal di bawah ini:13
1. Edukasi mengenai keadaan gawat darurat dan hal yang perlu diperhatian selama di rumah
sakit.
2. Latihan meliputi evaluasi aktivitas, seperti mobilisasi jalan di koridor, menaiki anak tangga dan
uji jalan 6 menit sebelum pulang.
3. Diskusi pentingnya program rehabilitasi jantung selama fase rawat inap sebagai bekal untuk
memulai fase rawat jalan.
Psikolog
Tidak sedikit pasien jantung yang mengalami depresi berat akibat penyakit jantung. Hal ini
akan berpengaruh kepada kepatuhan pasien dalam menerima saran perubahan pola hidup serta
pengobatan yang nanti akan berdampak pada prognosis penyakit. Peran psikolog penting dalam
program rehabilitasi jantung. Psikolog bertugas untuk melakukan penilaian kognitif kepada pasien
juga membantu pasien serta keluarga agar dapat beradaptasi dengan kondisi pasien.23
Fisioterapis
Fisioterapis memiliki peran dalan komponen fisik dan edukasi untuk program rehabilitasi jantung.
Fisioterapis melaksanakan program terapi latihan masing-masing individu untuk meningkatkan
mobilitas melalui latihan, selain itu juga berkontribusi dalam program edukasi mengenai perubahan
pola hidup seperti penghentian merokok.23
Terapis Okupasi
Terapis okupasi memiliki beberapa peran dalam rehabilitasi jantung. Peran pertama adalah sebagai
edukator. Terapis okupasi perlu membangun hubungan yang baik dengan pasien dan keluarga
serta memberikan edukasi seputar rehabilitasi jantung melalui metode diskusi maupun role
playing. Kedua, terapis okupasi juga perlu mempromosikan gaya hidup sehat kepada pasien. Peran
terakhir adalah memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat melatih keterampilan dalam
memeriksakan tekanan darah, nadi, serta tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit jantung.
Secara umum, terapis okupasi membantu pasien untuk mengembalikan fungsi yang berhubungan
dengan kegiatan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL).23
Beberapa penelitian meta-analisis telah dilakukan untuk mencari efektivitas rehabilitasi jantung
pada pasien sindrom koroner akut dan hasilnya menunjukkan bahwa adanya penurunan mortalitas
26 sampai 31% bila dibandingkan dengan pasien yang tidak mengikuti program rehabilitasi jantung.
Adapun manfaat lain dari program rehabilitasi jantung antara lain dapat memperbaiki toleransi
latihan pasien, mengendalikan gejala, memperbaiki kadar lemak dalam darah, menjaga berat
badan, membantu mengurangi kebiasaan merokok dan memperbaiki psikososial pasien.
Penelusuran dan pelaporan hasil kepada pasien dan dokter sangat penting untuk keberhasilan
dan keberlanjutan pencegahan sekunder. Staf harus memiliki pengetahuan tentang penyakit
kardiovaskular, manajemen faktor risiko dan cara merubah perilaku.
Menurut penelitian Babu dan kawan-kawan dalam Protocol-Guided Phase 1 Cardiac Rehabilitation
in Patients with ST-Elevated Myocardial Infarction (STEMI) in A Rural Hospital (2010), ada 30 subyek
penelitian yang terdiri dari 15 orang melakukan program sesuai protokol fase I dan 15 orang
kelompok kontrol.25 Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa program rehabilitasi jantung fase
I dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan tanda vital ke baseline
(tekanan darah dan denyut jantung) pada kondisi semula setelah pasien dilakukan latihan dan uji
jalan 6 menit sebelum pulang dari perawatan. Juga terdapat perubahan yang signifikan pada Rating
of Perceived Exertion (RPE) dari skala Borg secara signifikan yaitu terdapat penurunan menuju
kondisi awal lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan adanya
manfaat dilakukannya program rehabilitasi jantung fase I pada pasien STEMI sindrom koroner
akut.25
Staf rehabilitasi jantung harus menilai mengenai pemahaman pasien tentang penyakitnya,
mengetahui gejala yang timbul pada pasien dan tujuan pasien untuk mengikuti rehabilitasi
jantung.2,9
Dalam program rehabilitasi jantung, diperlukan penilaian pasien meliputi wawancara dan evaluasi
aktivitas fisik untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi pasien dalam mengikuti program
rehabilitasi jantung, juga harus memulai penilaian terhadap faktor risiko penyakit jantung.13
Parameter penilaian untuk kegiatan Program Rehabilitasi Jantung Fase I (Rawat Inap)
Pasien dianggap stabil untuk mobilisasi dan memulai program rehabilitasi jantung jika:6,14,15
- Tidak ada nyeri dada baru atau berulang selama 8 jam terakhir.
- Tidak ada perubahan irama abnormal yang signifikan pada elektrokardiogram selama 8 jam
terakhir.
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung misalnya dispnea saat istirahat.
- Tidak ada peningkatan kadar CK-MB atau kadar troponin.
Perkembangan aktivitas tergantung pada penilaian awal serta penilaian fisik sehari-hari yang
didokumentasikan. Pasien dapat dipertimbangkan untuk melanjutkan aktivitas jika selama latihan
menunjukkan respon seperti:6,14,16
- Pemeriksaan fisik. Dilakukan pemeriksaan secara sistematis dari ujung kepala sampai ujung
kaki.13
- Inspeksi area jantung di sekitar dada sebelah kiri
- Palpasi denyut jantung (iktus kordis)
- Perkusi untuk menentukan pembesaran jantung
- Auskultasi bunyi jantung dan paru
- Palpasi pulsasi nadi perifer
- Menilai kekuatan dan kelenturan musculoskeletal
- Pemeriksaan penunjang:13
- Laboratorium
- Elektrokardiografi
- Ekokardiografi
- Radiologi
- Kateterisasi jantung
Seleksi pasien untuk memasuki program rehabilitasi jantung fase rawat inap sangat penting.
Rehabilitasi jantung sudah dapat dimulai pada hari pertama saat pasien kondisi stabil ketika masih
di ICCU khususnya pasien dengan infark miokard sederhana yang memiliki prognosis yang baik
seperti pasien tanpa aritmia yang signifikan, gagal jantung, hipotensi atau syok kardiogenik dan
nyeri dada persisten atau rekuren. Pasien dengan komplikasi memerlukan tirah baring lebih lama
dan rehabilitasi dapat dimulai jika komplikasi tersebut sudah stabil.1,13,14
Panduan utama untuk memulai aktivitas fisik rehabilitasi jantung di ICCU adalah aktivitas harus
dimulai dengan latihan yang dinamis dengan intensitas rendah (1-2 METs). Pada fase ini pasien
diharapkan dapat melakukan perawatan diri secara mandiri seperti makan, mandi, buang air serta
mampu melakukan aktivitas ringan seperti latihan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi (range
of motion) lengan dan tungkai untuk mempertahankan tonus otot dan mobilitas sendi. Pasien
juga dianjurkan untuk duduk di samping tempat tidur atau di kursi sebelah tempat tidur untuk
meminimalisir penurunan cairan intravaskular.1,13,14
Terdapat berbagai macam protokol yang dapat digunakan, namun secara garis besar rehabilitasi
jantung fase rawat inap mengedepankan latihan, aktivitas sehari-hari di rumah sakit, aktivitas
rekreasional dan edukasional. Tim rehabilitasi jantung yang mensupervisi latihan harus
mendokumentasikan respon aktivitas fisik pada pasien seperti denyut nadi, tekanan darah, saturasi
oksigen dan gejala klinis yang timbul. Menurut guidelines cardiac rehabilitation and secondary
prevention tahun 2013 program rehabilitasi jantung fase rawat inap di ICCU cukup dilakukan
Latihan utama yang dapat dilakukan pada masa perawatan di rumah sakit adalah melakukan
stretching, latihan penguatan dan endurance dilanjutkan latihan berjalan. Berjalan dapat dilakukan
secara progresif dengan meningkatkan kecepatan dan jarak bergantung pada kemampuan toleransi
pasien. Aktivitas ini dapat dilakukan 2-3 kali sehari diselingi waktu istirahat. Pasien dilatih menaiki
anak tangga sebelum meninggalkan rumah sakit, dengan turun 1 lantai atau menaiki setengah
lantai dan turun tangga ½ lantai pada hari keempat, kemudian pasien mampu naik satu lantai dan
turun tangga satu lantai sebelum pasien pulang. Aktivitas isometrik selama perawatan di ICCU
tidak dianjurkan karena hanya melibatkan 20% dari kemampuan kontraksi dan meningkatkan
sedikit tekanan darah.1,13,14
Tabel 4.8 Program Rehabilitasi Jantung Fase Rawat Inap, Aktivitas 5 hari perawatan13,16
MET Level Aktivitas
Sebelum pulang dari perawatan rumah sakit sebaiknya dilakukan uji jalan 6 menit untuk
mengetahui kapasitas erobik. Dengan diketahuinya kapasitas erobik, secara pasti dapat
mengetahui aktivitas yang dapat dikerjakan setelah pulang dari rumah sakit. Program rehabilitasi
jantung merupakan intervensi yang komprehensif mencakup bagaimana seseorang melakukan
aktivitas latihan, aktivitas hobi, aktivitas bekerja dan aktivitas seksual. Di samping hal tersebut
juga disiapkan program konseling dan edukasi sesuai dengan faktor risiko yang ada pada pasien
dengan masalah jantung. Secara umum penilaian aktivitas dilihat dari kemampuan untuk duduk di
samping tempat tidur lalu berdiri kemudian duduk kembali (out of bed). Juga dinilai kemampuan
pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti menggosok gigi, menyisir rambut, uper dan
berpakaian.2,13,14,15,16,18,19
- Denyut jantung <120 kali/menit atau 15-20 x/menit di atas denyut jantung istirahat, pada
pasien yang mendapat obat beta-adrenergik bloker.
- Tidak ada nyeri dada, upervi, palpitasi dan kelelahan.
- Tidak ada aritmia.
- Tidak ada peningkatan segmen ST yang menandakan infark miokard.
- Tidak ada penurunan tekanan darah sistolik >10-15 mmHg.
Penghentian latihan pada program rehabilitasi jantung fase rawat inap apabila didapatkan respon
abnormal selama aktivitas latihan seperti:2,13,14,15,16,18,19
- Peningkatan tekanan darah sistolik lebih besar 40 mmHg dan penurunan tekanan darah sitolik
≥10 mmHg.
- Peningkatan HR >130 kali/menit atau >30 kali/menit dari keadaan istirahat.
- Aritmia ventrikel / aritmia atrium yang signifikan.
- AV blok derajat dua dan tiga.
- Tanda atau gejala intoleransi latihan, seperti angina pektoris, dispnea dan palpitasi.
- Perubahan elektrokardiogram sugestif iskemia.
Penurunan tekanan darah sistolik menandakan iskemia ventrikel yang dicetuskan oleh aktivitas
akibat ketidaksesuaian supply dan demand. Respon yang abnormal menandakan beban latihan
terlalu tinggi sehingga perlu direvisi untuk menurunkan tingkat aktivitas latihan. Sedangkan bila
respon terhadap aktivitas sesuai, pasien akan mengalami peningkatan kapasitas aktivitas fisik
dengan intensitas yang lebih tinggi.2,13,14,15,16,18,19
Pemantauan EKG
Jumlah sesi pemantauan EKG tidak ditentukan dari keadaan klinis selama latihan, pencegahan
sekunder dan dari lamanya program. Pemantauan EKG selama latihan adalah salah satu dari beberapa
teknik yang dapat digunakan untuk supervisi klinis pasien. Penggunaaan EKG meningkatkan
- Mendeteksi disritmia berbahaya atau perubahan EKG yang signifikan lainnya untuk memulai
latihan sebelum timbul komplikasi;
- Monitor sesuai dengan resep latihan, terutama berkenaan dengan denyut jantung
- Meningkatkan kepercayaan diri pasien untuk kegiatan independen.
1. Aktivitas ringan
2. Aktivitas sedang
3. Aktivitas berat
Tabel 4.12 Respon aktivitas yang sering dilakukan pada awal rehabilitasi jantung.13
Aktivitas Metode METs Respon detak jantung normal
Sebelum pulang dari perawatan dilakukan uji jalan enam menit yang dapat memberikan data
respon latihan yang berguna untuk pedoman kegiatan di rumah dan untuk melanjutkan program
fase rawat jalan. Uji latih dengan treadmill sebelum pulang dari rumah sakit dapat dilakukan pada
pasien infark miokard yang tidak ada komplikasi dengan tujuan untuk menentukan batas aktivitas
yang mampu ditoleransi dan menilai kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari serta
kembali bekerja. Uji latih juga mampu mengidentifikasi gangguan yang dicetuskan aktivitas seperti
nyeri dada, aritmia, disfungsi ventrikel, perubahan gelombang ST-T pada infark miokard.1,13
Perubahan EKG dan gejala pada aktivitas rendah menandakan oklusi yang berat atau melibatkan
banyak pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti angiografi yang dilanjutkan dengan terapi intervensi. Kapasitas aktivitas yang rendah
sering disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri yang ditandai dengan timbulnya angina, perubahan
segmen ST dan aritmia ventrikuler. Fungsi terakhir uji latih adalah meningkatkan kepercayaan diri
pasien serta menghilangkan rasa takut untuk beraktivitas fisik.1,13
Pada beberapa kasus, pasien tidak benar-benar bisa dikelompokkan ke dalam salah satu kelompok
menggunakan kriteria stratifikasi di atas seperti pada pasien dengan hasil uji jalan 6 menit yang
tidak dapat dikelompokkan atau penyakit komorbid lain yang menyertai secara signifikan.1,13
- Riwayat penyakit sekarang dan dahulu, baik secara medis atau profil bedah (atau keduanya),
termasuk komplikasi, komorbiditas dan riwayat medis terkait lainnya
- Pemeriksaan fisik sistem kardiovaskular, pulmonar dan penilaian neuromuskuloskeletal,
terutama ekstremitas atas dan bawah.
- 12-lead elektrokardiogram saat beristirahat
- Riwayat pengobatan sekarang, termasuk dosisnya.
- Profil risiko penyakit jantung koroner, termasuk yang berikut:
- Identifikasi usia dan jenis kelamin dan status menopause jika perempuan, riwayat keluarga
- Penggunaan produk tembakau
- Riwayat dan tingkat kontrol hipertensi
- Riwayat dan tingkat kontrol dislipidemia termasuk profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL
dan trigliserida); profil lipid sebelum serangan jantung atau 6 sampai 8 minggu pasca
serangan; pola diet, khusus kandungan nutrisi termasuk lemak tidak jenuh, lemak jenuh,
kolesterol dan asupan kalori
- Komposisi tubuh (berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio
pinggang-pinggul dan kegemukan tubuh relatif)
- Glukosa darah puasa atau hemoglobin A1c dan riwayat diabetes melitus
- Status aktivitas fisik termasuk kapasitas latihan, waktu luang aktivitas fisik, duduk setiap
hari atau waktu menetap
- Riwayat psikososial termasuk depresi, tingkat emosi dan stres
- Tingkat emosional dan stres
Stratifikasi risiko
Semua pasien yang didiagnosis dengan penyakit kardiovaskular menilai stratifikasi risiko sebelum
melakukan program rehabilitasi jantung ketika sudah stabil. Pasien harus dikelompokkan menurut
risiko untuk mencegah terjadinya efek samping selama latihan.13
Tabel 4.13 Stratifikasi risiko untuk keselamatan selama mengikuti latihan fisik10
RISIKO
Parameter untuk menilai risiko juga dapat digunakan hal sebagai berikut:13
Keamanan pasien
Komplikasi yang dicetuskan oleh aktivitas dapat dicegah dengan skrining dan stratifikasi risiko
yang tepat pada awal sebelum memulai latihan dengan mencocokkan riwayat medis pasien,
dokter sebaiknya mampu menilai adakah kontraindikasi untuk memulai latihan pada pasien dan
menentukan uji latih sebelum memulai latihan juga perlu dilakukan informed consent.1,13
Pengetahuan peralatan emergensi bagi staff rehabilitasi jantung diperlukan agar tim rehabilitasi
jantung mampu menangani kasus emergensi, yang merupakan dasar dari keamanan program
rehabilitasi jantung. Tingkat supervisi tergantung dari tingkat risiko setiap individu, pasien
dengan risiko tinggi seperti infark miokard yang belum lama, gagal jantung atau aritmia perlu
dimonitor langsung oleh dokter. Staf rehabilitasi jantung yang terlatih dapat melakukan uji latih
dan monitoring selama latihan dan recovery, dengan supervisi oleh dokter spesialis kedokteran
fisik dan rehabilitasi.1,13
Pada keadaan dibawah ini pasien tidak diperbolehkan mengikuti program rehabilitasi jantung
seperti:1,10,13
Program latihan pada rehabilitasi jantung fase rawat jalan seringkali dimulai untuk pasien pasca
infark miokard akut baik yang nonintervensi dan intervensi segera setelah pulang dari rumah sakit.
Fase rawat jalan (fase II) umumnya berlangsung 4 hingga 8 minggu untuk mencapai kamajuan
fungsional yang optimal kira-kira mencapai aktivitas 6 METs. Program rehabilitasi jatung fase
rawat jalan biasa dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi rawat jalan di rumah sakit atau di pusat
kegiatan masyarakat atau komunitas yang tersedia EKG, tenaga kesehatan dan dokter yang
mensupervisi.1,13
Menurut penelitian Yokohama dan kawan-kawan tahun 2015 dalam Effects of Phase II Comprehensive
Cardiac Rehabilitation on Coronary Plaque Volume After Acute Coronary Syndrome, diteliti dari 46 pasien
sindrom koroner akut yang telah melewati fase I terdapat 21 orang mengikuti program fase II, setiap
sesi latihan melakukan pemanasan, latihan resisten dan pendinginan dilanjutkan latihan erobik
menggunakan sepeda statis (cycling) atau berjalan di treadmill atau berjalan di track dengan total
waktu 60 menit per sesi, dengan frekuensi latihan 1-2 kali per minggu selama 6 bulan. Penelitian
ini mendapatkan kesimpulan adanya penurunan dari indeks massa tubuh, lingkar perut, lingkar
panggul dan berat badan secara signifikan (p<0.05) pada peserta rehabilitasi jantung fase II. Selain
itu juga didapatkan peningkatan VO2 puncak, kekuatan otot dan toleransi latihan pada kelompok
latihan. Dengan latihan, pasien penyakit jantung mampu meningkatkan VO2 max 10% hingga 56%,
tergantung dari usia, keadaan klinis dan kepatuhan selama mengikuti latihan. 1,13,26
Bila fasilitas di rumah sakit memiliki monitor EKG yang merupakan modalitas untuk menilai
perubahan irama dan segmen ST serta menilai denyut jantung maksimal yang boleh dicapai
pasien. Monitor menggunakan EKG didasari pada keadaan klinis pasien, kapasitas fungsional dan
stratifikasi risiko.1,13 Terdapat dua program yang dapat dilakukan, antara lain program rehabilitasi
jantung dengan supervisi dan program latihan di rumah (komunitas). Program latihan di rumah
tanpa pengawasan dengan atau tanpa monitor EKG terbukti aman pada pasien risiko rendah.
Walaupun kapasitas fungsional yang dapat dicapai oleh pasien infark miokard menggunakan
program latihan di rumah sama dengan yang menggunakan program rehabilitasi jantung dengan
supervisi.
Pada tahap akhir setelah mengikuti program rehabilitasi jantung fase II, maka akan dirujuk kembali
kepada ahli jantung untuk dilakukan uji latih treadmill dalam rangka evaluasi latihan. Dari hasil
treadmill akan diketahui apakah pasien bisa melanjutkan fase maintenance (fase III) program
rehabilitasi jantung. Apabila hasilnya mencapai kapasitas erobik 6-8 METs maka pasien akan
ditingkatkan kemampuan endurance nya mengikuti program fase III rehabilitasi jantung.13
Tabel 4.14 Parameter pasien yang telah melewati rehabilitasi jantung fase rawat jalan 13,27,28,29
Penelitian yang dilakukan oleh Haddazadeh dan kawan-kawan (2011) di India, menyimpulkan
bahwa pasien yang mendapatkan rehabilitasi jantung selama 12 minggu didapatkan peningkatan
fraksi ejeksi yang siginifkan (p=0,001) dari 46,9 ± 5,9 % menjadi 61,5 ± 5,3 %, penelitian ini
Pada kelompok latihan diberikan dosis frekuensi 3 sampai 5 kali seminggu, yang terdiri dari 5-10
menit pemanasan (latihan napas, strecthing dan berjalan di treadmill tanpa beban), latihan erobik
20-40 menit dan diakhiri dengan pendinginan 5-10 menit. Latihan erobik yang dilakukan adalah
jalan di treadmill dengan intensitas 40-70% dari reserve HR sesuai dengan formula karvonen,
dengan RPE (rate percieved exertion) 11-14.30
Penelitian Heran dan kawan-kawan (2011) pada randomised clinical trial (RCT) di Inggris
menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung efektif untuk menurunkan total kematian
penyakit kardiovaskular pada jangka menengah dan jangka panjang, dan menurunkan angka
dirawat kembali (re-hospital) tetapi tidak megurangi jumlah total pasien infark miokard dan yang
akan menjalani revaskularisasi PTCA dan CABG.7
Dari 47 studi yang diteliti, 29 studi diantaranya menggunakan program komprehensif (yang
meliputi latihan, manajemen edukasi dan psikologi), 17 studi hanya menggunakan intervensi
latihan, dan satu studi melakukan pemilihan program secara acak pada pasien untuk mengikuti
program komprehensif, intervensi latihan saja, atau aktivitas biasa (tanpa latihan/edukasi/
manajemen psikologi).7
Program latihan rehabilitasi jantung yang digunakan berbeda setiap studi, yang durasinya berkisar
1-12 bulan, frekuensi 1-7 sesi perminggu, dan lama sesi 20-90 menit persesi. Kebanyakan
intensitas program diresepkan sesuai individu (individualy tailored). Program bebasis rumah sakit
(hospital based) umumnya menggunakan latihan bersepeda, treadmill atau latihan beban yang
disupervisi.7
Kebanyakan program berbasis komunitas (community based) tetap memerlukan intervensi di pusat
kesehatan pada tahap awalnya dan hampir semua program berbasis komunitas menggunakan
latihan berjalan. Baik kelompok intervensi dan kontrol tetap mendapat penatalaksanaan obat
seperti biasanya, edukasi tentang diet dan latihan, tetapi pasien kontrol tidak mendapatkan sesi
latihan formal.7
Dalal (2010) dalam systematic review dan meta-analisis pada British Medical Journal membandingkan
efek latihan rehabilitasi berbasis komunitas dengan berbasis rumah sakit pada angka morbiditas
dan mortalitas, kualitas hidup dan faktor risiko pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa rehabilitasi jantung berbasis rumah sakit dan komunitas
memiliki keefektifan yang hampir sama dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka
kejadian ulang pada pasien pasca MI atau revaskularisasi, tetapi keterikatan pasien dalam mengikuti
program rehabilitasi jantung berbasis komunitas tidak setinggi rehabiliasi jantung berbasis rumah
sakit, sayangnya bukti keterikatan tersebut tidak ditemukan. Program rehabilitasi jantung berbasis
komunitas umumnya disupervisi dengan monitoring dan follow up dengan kunjungan langsung,
surat, atau telepon dari tim rehabilitasi, atau pasien dapat mencatat perkembangannya sendiri.8
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya dalam systematic review dan meta-analysis yang
dilakukan oleh Dalal dan kawan-kawan (2010) dengan mengambil dari 12 studi (1938 peserta),
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari angka mortalitas, kejadian penyakit
jantung, kapasitas latihan, faktor risiko (tekanan darah, kolesterol total dan LDL) dan kualitas
hidup antara program berbasis rumah sakit dengan program berbasis komunitas. Kedua program
tersebut memiliki efektivitas yang sama dalam memperbaiki klinis dan kualitas hidup pasien
sindrom koroner akut.8
Penelitian Mosleh dan kawan-kawan (2015) dalam Effects of community-based cardiac rehabilitation:
comparison with a hospital-based program juga menunjukkan bahwa keikutsertaan peserta program
berbasis komunitas dapat mencapai jumlah kehadiran yang serupa dengan peserta program
berbasis rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari angka keikutsertaan peserta program komunitas
sejumlah 136 dari 179 (75%) peserta dan 169 dari 209 (80%) peserta program berbasis rumah
sakit.31
Umumnya target yang harus dicapai pasien mampu memiliki kapasitas fungsional 6-8 METs. Fase
ini berlangsung selama 3-6 bulan, program dilakukan supervisi secara minimal dan setiap akhir
pada fase ini dilakukan uji treadmill untuk memasuki fase lifelong atau seumur hidup.1,13
Penelitian Onishi dan kawan-kawan (2010) dalam Effects of Phase III Cardiac Rehabilitation on
Mortality and Cardiovascular Events in Elderly Patients with Stable Artery Coronary Disease yang
terdiri dari 37 pasien pada kelompok latihan dan 74 pasien pada kelompok kontrol dengan
karakteristik demografis sebagai berikut: sindrom koroner akut (5 orang kelompok latihan dan
16 orang kelompok kontrol), pasca PCI (6 orang kelompok latihan dan 20 orang kelompok
kontrol), pasca CABG (1 orang kelompok latihan dan 7 orang kelompok kontrol) dan gagal jantung
kongestif (1 orang kelompok latihan dan 9 orang kelompok kontrol). Protokol rehabilitasi jantung
yang dilakukan dalam penelitian tersebut terdiri dari 10 menit pemanasan, 40-60 menit latihan
erobik, latihan resisten (sit-up, squats, push-up, back kick, front raise) dilanjutkan dengan 10
menit pendinginan. Program ini dilakukan selama 6 bulan. Menurut penelitian tersebut, program
rehabilitasi jantung fase III memiliki efek yang menguntungkan dalam menurunkan kejadian
penyakit jantung (cardiac events) pada usia lanjut. Data menunjukkan insiden kejadian penyakit
jantung (Major Adverse Cardiovascular Event/MACE) pada kelompok peserta program rehabilitasi
jantung (30%) lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (62%) secara signifikan dengan nilai
p=0.001. Selain itu angka kematian penyakit jantung dan pembuluh darah juga lebih rendah pada
kelompok latihan daripada kelompok kontrol tetapi tidak signifikan (p=0.081).32
Latihan fisik yang teratur dan terukur sesungguhnya adalah proses adapatasi yang akan membuat
sel miokard manjadi lebih tahan terhadap stres oksidatif. Akibatnya pembuluh darah koroner lebih
fleksibel sehingga pembuluh darah lebih mudah memberikan nutrisi ke sel miokard.1,13 Latihan
erobik sebaiknya dilengkapi dengan latihan fleksibilitas otot dengan senam erobik menggunakan
beban (dumbel) yang tidak terlalu berat untuk meningkatkan endurance secara signifikan. Latihan
senam untuk fleksibilitas otot mula-mula diawali pemanasan 5 – 10 menit berupa peregangan
(stretching), dilanjutkan dengan senam erobik 20-30 menit dan diakhri dengan senam pendinginan
5-10 menit.4,9 Setelah latihan fleksibilitas otot, pasien jantung melakukan jalan erobik dengan
target 3-4 km dalam 30 menit sampai mencapai kekuatan fisik yang optimal.4,13 Latihan fisik
yang dianjurkan pada penderita jantung sebaiknya dilakukan 3-5 kali dalam seminggu dengan
melakukan latihan intensitas ringan sampai moderate sehingga dapat menghasilkan peningkatan
antioksidan internal, menekan produksi radikal bebas dan meningkatkan aktivitas nitrik oksida
secara signifikan. Latihan fisik ini akan sangat bermanfaat jika dilakukan sesuai dosis yang
dianjurkan oleh spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi yang kompeten dalam mendesain
program Rehabilitasi Jantung.4,13
Latihan tanpa supervisi (lifelong) memiliki tujuan utama mempertahankan tingkat kebugaran
pasien. Fase ini biasanya dilakukan di rumah atau komunitas yang menyediakan beragam modalitas
latihan. Pada fase ini diharapkan pasien dapat melakukan olah raga teratur sesuai dosis yang telah
dilakukan pada fase sebelumnya dan pasien dapat melakukan aktivitas latihan bersama dengan
orang sehat yang tidak menderita masalah jantung.4,13
1. Penilaian (assessment): Informasi tingkat kebugaran dan kesehatan pasien sebelum memulai
latihan harus dapat diketahui secara jelas, demikian pula faktor risikonya.
2. Interpretasi: Dari informasi di atas maka kondisi pasien tersebut dapat disimpulkan.
3. Peresepan: Berdasarkan interpretasi di atas maka dibuatlah suatu resep latihan dengan suatu
tujuan yang disesuaikan bagi pasien tersebut.
Landasan latihan erobik adalah frekuensi, intesitas, waktu dan tipe (FITT), hal ini telah
direkomendasikan oleh American Association of Cardiovascular dan Pulmonary Rehabilitation
(AACVPR) dan ACSM (American College of Sport Medicine), dosis minimum dan maksimum latihan
harus diukur dengan tepat untuk mendapatkan manfaat latihan.13,27,28,33
Intensitas latihan
Terdapat peningkatan manfaat latihan dengan peningkatan intensitas latihan. Ada batasan
intensitas minimum yang dapat menghasilkan manfaat kebugaran untuk kebanyakan pasien.
Latihan dengan intensitas sedang (40-60% VO2 max) terdapat peningkatan denyut jantung dan
pernapasan yang direkomendasikan pada orang dewasa untuk mendapatkan manfaat latihan.
Latihan dengan intensitas ringan hingga sedang direkomendasikan untuk seluruh program
rehabilitasi jantung karena memiliki efek yang serupa dengan latihan intensitas tinggi.13,20,21
Perdebatan mengenai intensitas latihan tidak lengkap tanpa memahami prediksi frekuensi denyut
jantung maksimal saat uji latih sebelum dilaksanakan latihan pada orang dewasa. Formula 220
– usia telah digunakan secara luas untuk memprediksi frekuensi denyut jantung maksimal baik
untuk laki-laki maupun perempuan. Metode yang sederhana dapat digunakan namun memiliki
variabilitas yang tinggi untuk menilai denyut jantung maksimal, namun demikian untuk usia di
bawah 40 tahun penilaiannya terlalu rendah.13,20,21
Setiap metode di atas dapat meningkatkan kebugaran bila digunakan dengan tepat saat meresepkan
intensitas latihan. Menurut metode Karvonen intensitas latihan dapat direkomendasikan sesuai
dengan rentang intensitas latihan pada pasien infark miokard yaitu 40-50% sampai 85% dari heart
rate reserve.20,22
Tabel 4.15
Komponen Rekomendasi
Tipe Gerakan ritmik dan melibatkan aktivitas banyak kelompok otot (treadmill, jalan,
sepeda dinamis, menaiki anak tangga, ergocycle/sepeda statis)
Komponen Rekomendasi
Intensitas Resistensi yang dimungkinkan 10-15 repetesisi tanpa kelelahan
11-13 dari skala 6-20 Borg
Gerakan sebaiknya meliputi semua ROM, hindari menahan nafas (valsava manuver),
ekspirasi saat mendorong beban, dan inspirasi saat fase relaksasi
RPP tidak melewati batas yang ditetapkan (RPP= HRxSBP)
Perkembangan Beban latihan dapat ditingkatkan 5% jika pasien mencapai batas atas intensitas latihan
tanpa ada keluhan
Tabel 4.17 Komponen peresepan latihan awal tanpa uji latih maksimal sebelumnya13,27,28
Pada pemantauan latihan program rehabilitasi kardiovaskular perlu monitoring dan evaluasi secara
ketat agar menghindari exercise induced (efek buruk) program latihan.
Tabel 4.18 Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian pada saat latihan (precaution) 13,27,28
Prognosis
Komplikasi yang potensial pada kasus iskemia jantung dapat terjadi edema pulmoner, namun
demikian apabila terjadi infark miokard maka terdapat kemungkinan terjadinya ruptur dari otot
papilari, dinding ventrikel kiri dan septum ventrikel.1,13,16,27-29
Angka mortalitas dalam 6 bulan pertama menurut Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE)
menyatakan ada 13% pada pasien NSTEMI dan 8% pada pasien dengan angina tidak stabil. Studi
oleh Sanchis dan kawan-kawan mengemukakan bahwa mortalitas pada pasien sindrom koroner
akut akan meningkat apabila dijumpai adanya disfungsi renal, demensia, penyakit arteri perifer,
riwayat gagal jantung dan riwayat infark miokard sebelumnya.1,13,16,27,28,29
Prognosis setelah satu episod angina pektoris tidak stabil tergantung dari jumlah, lokasi dan
luasnya penyumbatan arteri koroner misalnya stenosis left main proximal artery atau stenosis left
descending proximal artery yang disertai stenosis arteri circumflex memiliki prognosis lebih buruk
dibandingkan stenosis pada distal atau pada cabang arteri yang lebih kecil. Fungsi ventrikel kiri
sangat mempengaruhi prognosis yaitu pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang signifikan
meskipun dengan 1 atau 2 penyakit arteri (vessel disease), memiliki ambang batas revaskularisasi
lebih rendah. Sekitar 30% kasus angina pektoris tidak stabil mengalami infark miokard pada 3 bulan
pasca angina sehingga kasus henti jantung sering terjadi. Secara garis besar tingkat mortalitas
mencapai 30% dengan 25% sampai 30% kasus mengalami kematian sebelum berhasil dilarikan
ke rumah sakit yang umumnya terjadi karena aritimia ventrikel. Sedangkan tingkat kematian di
rumah sakit yaitu 10% terjadi biasanya karena syok kardiogenik yang beragam tergantung dari
berat ringannya gagal jantung.34
Pada pasien yang menjalani tindakan reperfusi baik fibrinolisis maupun PCI, tingkat mortalitas
berkisar antara 5 – 6%, hal ini berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan pasien yang
seharusnya menerima tindakan reperfusi tapi tidak dilakukan memiliki tingkat mortalitas 15%.34
Tingkat mortalitas kasus STEMI dapat mencapai 90% yang diprediksi melalui 5 karakteristik klinis
antara lain: usia tua, tekanan darah sistolik rendah, kelas Killip >1, denyut jantung cepat dan lokasi
anterior.
Klasifikasi Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) mencantumkan beberapa variabel yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat
darurat, serum kreatinin, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini
ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah
keluar dari rumah sakit.10
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan modalitas yang sering digunakan dalam
terapi penyakit jantung koroner dalam 20 tahun terakhir. Sekarang jumlah tindakan PCI melebihi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan
pun terjadi dalam tekonologi yang digunakan dalam PCI dari bare metal stents (BMS) sampaidrug
eluting stents (DES) dan sekarang menggunakan bioresorbable stents serta melakukan prosedur
memproteksi daerah infark dan aspirasi trombus.2
Pada metode PCI dengan DES dibandingkan CABG terjadi 4 kali lebih sering dilakukan
revaskularisasi. Namun demikian persentase Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) seperti
kematian, stroke, infark miokard, revaskularisasi berulang pada pasien PCI dengan DES (28,0%)
lebih besar daripada dengan CABG (20,2%).5
Menurut ACCF/AHA/SCAI Guidelines for PCI tahun 2011 sangat direkomendasikan (Kelas
IC) pendekatan tim jantung yang terdiri dari ahli jantung intervensi dan bedah jantung dalam
pengambilan keputusan revaskularisasi untuk pasien dengan unprotected left main atau CAD
kompleks. Pendekatan ini dilakukan dengan mempelajari kondisi medis pasien dan anatomi
koroner, menentukan penggunaan PCI dan/atau CABG, serta membahas opsi revaskularisasi yang
akan dilakukan dengan pasien. Revaskularisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
gejala klinispada stenosis arteri koroner yang secara anatomi sangat signifikan (≥50% left main
atau ≥70% non-left main) atau FFR ≤0,80.5
Keterangan:
Kelas I : manfaat melebihi risiko sehingga prosedur atau tatalaksana perlu dilakukan atau
diberikan (manfaat >>> risiko)
Kelas IIa : manfaat melebihi risiko sehingga prosedur atau tatalaksana dapat diberikan
(manfaat >> risiko)
Kelas IIb : manfaat melebihi atau sama dengan risiko sehingga prosedur atau tatalaksana dapat
dipertimbangkan (manfaat > risiko)
Kelas III : prosedur atau tatalaksana tidak memberikan manfaat atau dapat berbahaya bila
diberikan (tidak memberikan keuntungan – membahayakan)
Level A : berdasarkan populasi penelitian multipel serta diambil dari multiple randomized
clinical trial dan meta-analisis.
Level B : berdasarkan populasi penelitian yang terbatas (limited population) serta diambil dari
single randomized clinical trial atau non-randomized study.
Level C : berdasarkan populasi penelitian yang sangat terbatas (very limited population) serta
diambil dari konsensus opini para ahli, studi kasus atau standar operasional.
Penatalaksanaan rehabilitasi dan prevensi sekunder pasca PTCA lebih mengutamakan pada
latihan (exercise), pengendalian faktor risiko dan pengamatan terjadinya restenosis disamping
reconditioning/pemulihan kondisi pasien.2 American Cardiac Sport Medicine (ACSM) tahun 2010
merekomendasikan bahwa program latihan pada pasca Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
secara umum sama dengan penyakit jantung koroner lainnya, karena pasien yang menjalani PCI
umumnya tidak mengalami kerusakan miokard secara luas. Pasca PCI dapat memulai program
rehabilitasi jantung yang biasanya lebih cepat yakni sekitar 3-6 jam pasca prosedur.1,2
Adapun rehabilitasi jantung sudah terbukti dalam mengurangi angka kematian dan serangan
berulang pada pasien pasca infark miokard akut juga meningkatkan dampak pasien pasca PCI.
Rehabilitasi jantung merupakan program komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan gaya
hidup sehat, seperti meningkatkan aktivitas fisik, nutrisi seimbang, pemberhentian merokok
dan pengaturan berat badan. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi jantung
meningkatkan kapasitas fisik, kualitas hidup, menurunkan risiko kardiovaskular dan memperbaiki
prognosis pada pasien penyakit jantung koroner termasuk pasien pasca Percutaneous Coronary
Rehabilitasi jantung juga merupakan program yang cost effective, namun tingkat partisipasi pasien
masih rendah. Terdapat beberapa faktor yang menurunkan tingkat partisipasi pasien antara
lain, faktor sosial dan budaya, pendidikan, ekonomi, keparahan penyakit serta tergantung dari
pelayanan kesehatan sendiri (sistem asuransi), dimana fasilitas kesehatan belum menyediakan
sistem rujukan yang tepat serta kurangnya komunikasi akan pentingnya rehabilitasi jantung pada
pasien.7,8
Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca PCI sebaiknya dimulai segera saat pasien masih
dirawat di rumah sakit. Diperlukan sistem konsultasi dari ahli jantung intervensi yang berjalan
baik, dukungan dan edukasi oleh dokter untuk memulai segera rehabilitasi jantung, agar tingkat
partisipasi pasien setelah pulang dari rumah sakit dalam mengikuti program rehabilitasi jantung
meningkat.7,8
Standar di Amerika Serikat menetapkan perlunya rehabilitasi jantung yang disupervisi pada
pasien rawat inap dan dilanjutkan dengan fase rawat jalan selama 4-8 minggu pertama. Namun
terdapat banyak hambatan yang mengurangi keikusertaan pasien dalam rehabilitasi jantung
antara lain jauhnya jarak rumah ke fasilitas kesehatan, kurangnya kemauan pasien dan terbatasnya
infrastruktur serta kapasitas program rehabilitasi jantung.7,8
Program dirumah (community based) yang lebih cost effective perlu dibangun, yang setara dengan
latihan di fasilitas kesehatan disertai follow-up dengan menggunakan fasilitas yang tersedia
seperti telepon ataupun internet. Teknologi juga mampu dijadikan sebagai penyebaran informasi
dan edukasi tentang gaya hidup yang sehat.Perubahan gaya hidup sehat merupakan tujuan utama
dari program rehabilitasi jantung dan merupakan intervensi yang harus diresepkan kepada semua
orang yang mempunyai masalah jantung.7,8
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan prosedur yang membuka arteri koroner yang
tersumbat dan mengembalikan aliran darah ke otot jantung tanpa operasi bedah jantung. Pada
penyakit jantung koroner umumnya pembuluh darah koroner menyempit akibat penumpukan
materi lemak pada dinding arteri sehingga membatasi suplai oksigen ke miokardium. Adapun
indikasi prosedur PCI meliputi hal-hal dibawah sebagai berikut:2,10
Kontraindikasi PCI:10
Implantasi stent jantung dilakukan pada saat PCI untuk mencegah penutupan lumen tiba-tiba dan
stenosis berulang. Pemasangan stent pada PCI dapat menggunakan antara lain Bare metal stent
(BMS) atau Drug eluting stent (DES). Kelebihan DES antara lain risiko revaskularisasi berulang
lebih rendah dibandingkan BMS, risiko kematian atau infark miokard tidak meningkat seperti pada
BMS, dan periode risiko trombosis lebih panjang dibandingkan dengan BMS. Drug eluting stent
(DES) lebih mahal daripada BMS tetapi bila dilihat dari sisi cost-effectiveness, DES menjadi lebih
murah dibandingkan dengan BMS karena risiko revaskularisasi berulang lebih rendah pada DES
dibandingkan BMS. Akan tetapi BMS dapat dipertimbangkan pada pasien dengan risiko restenosis
yang rendah.5
Primary PCI lebih disukai dibandingkan dengan terapi fibrinolitik. Primary PCI menghasilkan angka
artery patency dan Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) flow grade 3 yang lebih tinggi. Selain
itu angka kejadian iskemia berulang, infark berulang, prosedur revaskularisasi ulang, perdarahan
intrakranial dan kematian yang lebih rendah dibandingkan terapi fibrinolitik.5
Kelas Level of
Rekomendasi Evidence
Gejala-gejala iskemik <12 jam I A
Gejala-gejala iskemik <12 jam dan memiliki kontraindikasi terhadap I B
fibrinolitik tanpa melihat waktu penundaan dari kontak penanganan pertama
Syok kardiogenik atau gagal jantung akut berat tanpa melihat waktu I B
onset infark miokard
Bukti adanya iskemik 12-24 jam setelah onset gejala IIa B
PCI arteri non infark pada waktu melakukan PCI primer pasien tanpa III B
gangguan hemodinamik
Menurut TIMI Study Group klasifikasi TIMI grade flow terbagi menjadi empat yaitu:11
Sedangkan TIMI score adalah estimasi mortalitas pada pasien angina pektoris tidak stabil, infark
miokard tanpa ST-elevasi dan infark miokard dengan ST-elevasi menurut TIMI Study Group yang
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.12
Ya Tidak
Usia >65 tahun 1 0
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1 0
>2x episode angina dalam 24 jam 1 0
Perubahan EKG gelombang ST >0,5 mm 1 0
Peningkatan penanda jantung 1 0
Riwayat penyakit arteri koroner (stenosis > 50%) 1 0
Minimal 3 faktor risiko antara lain:
Hipertensi 1 0
Merokok 1 0
Kadar HDL rendah (<40 mg/dL) 1 0
Diabetes 1 0
Riwayat penyakit arteri koroner dalam keluarga 1 0
Keterangan:
Ya Tidak
Usia:
- <65 tahun 0 0
- 65-74 tahun +2 0
- > 75 tahun +3 0
Diabetes, hipertensi, angina +1 0
Tekanan darah sistolik <100 mmHg +3 0
Denyut jantung >100x/menit +2 0
Kelas Killip II-IV +2 0
Berat badan <67 kg +1 0
ST-elevasi anterior atau LBBB +1 0
Waktu mendapat tatalaksana >4 jam +1 0
Keterangan:
Skor 0 : 0,8%
Skor 1 : 1,6%
Skor 2 : 2,2%
Skor 3 : 4,4%
Skor 4 : 7,3%
Skor 5 : 12%
Skor 6 : 16%
Skor 7 : 23%
Skor 8 : 27%
Pada kejadian infark miokard akut dapat terjadi komplikasi gagal jantung dan angka mortalitas
dalam 30 hari dapat diperkirakan dengan Klasifikasi Killip sebagai berikut:14
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi basah pada 17%
setengah lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di seluruh 38%
lapangan paru
Primary PCI perlu diberikan pada pasien dengan STEMI disertai gagal jantung berat atau syok
kardiogenik dan merupakan kandidat yang sesuai untuk dilakukan revaskularisasi secepat mungkin
dan memiliki kontraindikasi terhadap terapi fibrinolitik dengan gejala iskemi kurang dari 12 jam.5
Sedangkan rekomendasi kelas IIa Level of evidence B dikatakan Primary PCI dapat dilakukan pada
pasien STEMI apabila terdapat bukti klinis dan/atau EKG yang menunjukkan adanya proses
iskemia yang berlangsung antara 12-14 jam setelah onset danjuga dapat dipertimbangkan pada
pasien asimtomatik dengan STEMI antara 12-14 jam setelah onset gejala.5
PCI tidak boleh dilakukan pada arteri noninfark, dan saat Primary PCI dilakukan pada pasien STEMI
dengan hemodinamik stabil. (rekomendasi kelas III Level of evidence B)
Beberapa komplikasi PCI pada prosedur dan periprosedur adalah emboli, infark miokard, stroke,
hematoma, pseudoaneurisma, fistula arteriovenous, diseksi arteri, perdarahan dan oklusi pembuluh
darah.5 Pada penelitian Kurt dan kawan-kawan dalam The Economic Burden of Complication during
Percutaneous Interventions tahun 2007 menyebutkan komplikasi PCI yang terjadi pada pasien di
Mayo Clinic Rochester periode Maret 1998 sampai Maret 2003antara lain kematian (1,6%), infark
miokard (5,2%), CABG emergensi (0,4%), revaskularisasi pembuluh darah target (0,4%), stroke
(0,4%), perdarahan yang membutuhkan transfusi darah (6,0%), hematoma (2,5%), aneurisma
(0,8%), perdarahan gastrointestinal (0,9%) dan perdarahan retroperitoneal (0,9%).20 Pada guideline
AHA/ACCF 2011 didapatkan insiden stroke yang berhubungan dengan PCI sebesar 0,22% dengan
mortalitas pasien 5-30%. Faktor yang meningkatkan risiko stroke antara lain terapi fibrinolitik
sebelum PCI, adanya riwayat penyakit serebrovaskular, penggunaan intra-aortic balloon pump
pada usia tua. Untuk komplikasi vaskular biasanya berhubungan dengan akses vaskular.5
Faktor yang meningkatkan risiko komplikasi vaskular adalah usia lebih dari 70 tahun, wanita,luas
permukaan tubuh di bawah 1,6 m2, prosedur emergensi dan penyakit arteri perifer. Risiko
perdarahan periprosedural meningkat dengan adanya faktor seperti usia lanjut, indeks massa
tubuh yang rendah, gagal ginjal kronik, anemia serta gangguan inhibisi platelet dan trombin.5
Para ahli intervensi jantung perlu memahami bahwa PCI bukan satu-satunya pengobatan, tetapi
rehabilitasi jantung mampu memberikan manfaat yang signifikan.Terdapat beberapa standar
rehabilitasi jantung yang diterapkan diseluruh dunia untuk pasien pasca serangan jantung,
pemasangan stent, CABG maupun operasi katup, yang mana program rehabilitasi jantung dapat
meningkatkan kemampuan fisik pasien dengan cara implementasi latihan fisik, gaya hidup sehat
yang optimal dan dukungan psikososial. Rehabilitasi jantung terbukti efektif pada pasien pasca
infark miokard yang telah dilakukan PCI, seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa studi
mengenai keuntungan rehabilitasi jantung pasca PCI dan CABG.21
Berdasarkan studi yang dilakukan Thomas dan kawan-kawan (2011) dalam Impact of cardiac
rehabilitation on mortality and cardiovascular events after PCI in the community tahun, partisipasi
pasien dalam program rehabilitasi jantung pasca PCI secara signifikan mampu mengurangi angka
mortalitas. Program rehabilitasi jantung pada pasien dengan risiko rendah yang dilakukan PCI
secara efektif juga menunjukkan hasil yang lebih baik.21 Pada penelitian tersebut ada 2.395 data
yang dikumpulkan pada pasien yang menjalani program PCI dari tahun 1994 hingga 2008 dan
hanya 964 kasus (40%) yang mengikuti penelitian. Peneliti melakukan 3 analisis terpisah untuk
menilai hubungan antara partisipasi rehabilitasi jantung dan dampak yang dihasilkan. Ditemukan
partisipasi program rehabilitasi jantung secara signifikan menurunkan angka kematian dengan
Studi observasional oleh Dendale dan kawan-kawan (2005) yang menggunakan sampel lebih
kecil yaitu 223 orang pasien yang telah menjalani PCI, menemukan bahwa partisipasi program
rehabilitasi jantung secara signifikan menurunkan insiden rekuren dalam 15 bulan pertama seperti
infark miokard, revaskularisasi, stenosis, angina dan kematian pada pasien yang menjalani program
rehabilitasi jantung dibanding yang tidak (24% versus 42%; p<0.005).22
Studi Belardinelli dan kawan-kawan (2001) menggunakan sampel yang juga relatif kecil (n=131).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik menurunkan insiden terjadinya penyakit
jantung termasuk infark miokard, PCI, CABG dan kematian dalam 3 tahun pasca serangan.23 Kim
dan kawan-kawan (2007) melakukan studi pada 39 pasien (laki-laki 28 orang dan perempuan
11 orang) yang terbagi dalam 2 kelompok, 29 orang pada kelompok latihan dan 10 orang pada
kelompok kontrol dengan sampel terdiri dari14 pasien dengan infark miokard (10 pasien pada
kelompok latihan dan 4 orang pada kelompok kontrol) dan 25 pasien dengan angina tidak stabil
(19 pasien pada kelompok latihan dan 6 orang pada kelompok kontrol). Pada penelitian ini
dilakukan selama 14 minggu yang terdiri dari 6 minggu program rehabilitasi jantung di rumah sakit
(hospital-based) meliputi pemanasan,30-40 menit latihan di treadmill atau sepeda statis dilanjutkan
dengan pendinginan.Intensitas latihan ditingkatkan secara progresif 50-85% VO2 max sedangkan
program di rumah (community-based) dilakukan selama 8 minggu dengan melakukan treadmill dan
sepeda statis dengan memonitor RPE dan intensitas 50-85% VO2 max. Untuk kelompok kontrol
tidak mendapat program latihan tetapi keduanya mendapatkan program edukasi dan konseling
mengenai infomasi penyakit jantung, modifikasi faktor risiko, latihan fisik, diet dan manajemen
stres.24
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung dan latihan fisik yang
dilaksanakan pada pasien pasca PCI secara signifikan mampu menurunkan kadar hsCRP (59,4%,
p<0.0001) dan sitokin (IL-6 (49%, p<0.0001)) yang merupakan faktor prediktif risiko kardiovaskular.
Penelitian ini juga menghasilkan peningkatkan kapasitas erobik dari 27,6±1,3 Mets menjadi
31,8±1,4 Mets, dengan p<0,0001 dan toleransi latihan dari 780,2±35,9 detik menjadi 925,1±23,8
detik, dengan p<0,0001.24
Rehabilitasi jantung mampu meningkatkan kapasitas aktivitas fisik dan latihan, yang penting untuk
meningkatkan kemampuan adaptasi fisiologis yang meningkatkan kesehatan kardiovaskular seperti
meningkatkan jumlah circulating endothelial progenitor cells. Partisipasi pasien rehabilitasi jantung
mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat-obatan, seperti pentingnya obat-
obatan antiplatelet pada pasien pasca PCI. Pengendalian faktor risiko, identifikasi dan pengobatan
depresi, dukungan psikososial lebih dapat ditingkatkan pada pasien yang mengikuti rehabiltasi
jantung dibanding dengan kontrol. Follow-up yang rutin turut membantu mengidentifikasi gejala
yang baru, efek samping pengobatan, penyakit komorbid yang memerlukan evaluasi dan tindakan
yang cepat.1,7,8
Terdapat beberapa bukti yang mendukung rehabilitasi jantung pada pasien pasca PCI seperti
studi yang dilakukan Pasquali dan kawan-kawan (2003) meneliti peran rehabilitasi jantung pada
kemampuan fungsional pasien pasca PCI dan CABG. Peneliti mengemukakan adanya peningkatan
Terdapat beberapa tantangan dalam rehabilitasi pasien yang menjalani prosedur revaskularisasi
transkateter, karena pasien tidak menganggap serius penyakitnya. Hal ini disebabkan karena
prosedur PTCA biasanya dilakukan secara elektif dan dirawat dalam jangka waktu yang singkat
hanya sekitar 1-2 hari dan kebanyakan pasien dapat kembali bekerja 1 minggu pasca PTCA. Hal
yang dapat meningkatakan partisipasi pasien dalam rehabilitasi jantung pasca PTCA:7,8,26
- Mengedukasi pasien tentang penyakit dan cara untuk membatasi perkembangan penyakitnya
- Rujukan dimulai sebelum pasien pulang
- Meminimalisir batasan dan alasan pasien untuk tidak berpartisipasi, misalnya waktu rehabilitasi
disesuaikan dengan jam kerja pasien.
- Mengembangkan sistem rujukan, agar dokter jantung merujuk pasien pasca PTCA untuk
memulai rehabilitasi
- Menginformasikan pasien dan dokter bahwa prevensi sekunder berbeda setiap individu.
Protokol program rehabilitasi jantung pasca PCI pada fase I (inpatient) umumnya lebih cepat
dibandingkan dengan rehabilitasi infark miokard akut. Pasien setelah dilakukan tindakan PCI
umumnya keesokan harinya sudah diperbolehkan pulang oleh ahli jantung sehingga program
rehabilitasi jantung akan sangat mudah dilakukan pasca PCI. Pada umumnya sebelum pasien pulang
maka dilakukan uji jalan 6 menit untuk mengetahui kemampuan fisik dan endurance agar dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan nyaman. Juga dilakukan edukasi agar pasien mengikuti
program rehabilitasi jantung fase II (outpatient) sama seperti yang dilakukan pada pasien pasca
infark miokard akut.7,8
Program fase II lamanya biasanya 4-8 minggu dengan memperhatikan kemampuan fisik seperti
kekuatan otot, fungsi kontraktilitas, usia dan adanya penyakit komorbid. Latihan erobik harus
diberikan serta disupervisi, setidaknya pada awal sesi dan selalu pada pasien dengan risiko tinggi
(gagal jantung, faktor risiko multipel, fraksi ejeksi yang rendah, infark miokard yang luas pasca PCI).
Latihan fisik yang dilaksanakan umumnya 3-5 kali seminggu selama 30-45 menit dengan intensitas
moderate 70-85% agara mencapai kemampuan VO2 max optimal.7,8 Pasien harus memahami
bahwa resep latihan sama pentingnya dengan terapi farmakologis. Setiap sesinya harus terdiri
dari pemanasan 5-10 menit untuk adapatasi dari keadaan istirahat menjadi latihan dan dilakukan
latihan endurance kardiorespirasi selama 40 menit kemudian diakhiri dengan pendinginan 5-10
menit untuk menurunkan tekanan darah dan denyut jantung menuju keadaan normal. Sesi yang
lebih dari 60 menit tidak meningkatkan VO2 max dan hanya meningkatkan risiko terjadinya insiden
penyakit jantung.1,7,8
Selanjutnya pada program rehabilitasi jantung fase III, latihan endurance dikombinasikan dengan
latihan resistance sesuai dengan dosis yang dilakukan pada pasien infark miokard umumnya.
Menurut Thompson dan kawan-kawan (2010) terdapat 2 modalitas latihan: endurance training
dan interval training. Kedua program ini harus mencakup latihan kalistenik dan sepeda statis atau
treadmill.8
Intensitas latihan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi respon terhadap latihan.
Tingkat latihan mendekati ambang batas erobik menimbulkan efek latihan terbaik, aktivitas
intensitas rendah antara 40-50% VO2 max, intensitas sedang 50-70% VO2 max dan intensitas
tinggi >70% VO2 max. Semakin tinggi peningkatan kapasitas erobik, semakin tinggi efek protektif
jantung terhadap latihan.1,7,8 Pada latihan dinamis yang melibatkan kelompok otot besar, terdapat
hubungan yang linear antara denyut jantung dan ambilan oksigen (oxygen uptake). Target denyut
jantung yang perlu dicapai selama sesi latihan dihitung berdasarkan presentasi dari denyut jantung
maksimal saat uji latih biasanya 70-85% dari denyut jantung maksimal sering digunakan.
Menurut Secondary prevention through cardiac rehabilitation: physical activity counselling and
exercise training dalam jurnal European Heart tahun 2010, peresepan program latihan pasca PCI
yang dapat diaplikasikan secara umum adalah sebagai berikut:27
Peningkatan regimen latihan sebaiknya diberikan dengan follow-up yang teratur (minimal 3-6 bulan),
menyesuaikan durasi dan tingkat latihan sampai batas toleransi. Metode uji latih kardiopulmoner
merupakan indikator ideal untuk mengetahui konsumsi oksigen puncak (peak oxygen consumption/
peak VO2) pada pasien pasca PCI.27
Kelas
Komponen Rekomendasi
(Level of Evidence)
Pasca Primary Nilai
PCI - Menentukan risiko latihan sebelum dilakukan peresepan I (B)
dengan melakukan anamnesa riwayat aktivitas fisik dan
melakukan uji latih I (C)
- Uji latih symptom limited test atau submaksimaldilakukan
setelah klinis pasien stabil sebelum pulang dari rumah sakit.
Rekomendasi I (A)
- Setelah prosedur tanpa komplikasi, aktivitas fisik dapat dimulai
setelah pasien stabil dan ditingkakan secara perlahan.
- Pada pasien dengan kapasitas latihan terbatas tanpa gejala, I (B)
dapat kembali ke aktivitas rutin seperti jalan cepat,berkebun
atau aktivitasharian selama 30-60 menit atau pasien dapat
kembali ke aktivitas rutin sampai 50% dari kapasitas maksimal
dan dapat ditingkatkan perlahan.
- Aktivitas fisik yang dianjurkan merupakan kombinasi dari
berjalan, menaiki tangga dan bersepeda
Metode Karvonen menunjukkan hasil yang serupa, namun dengan batasan yang lebih tinggi. Metode
Karvonen merupakan rumus matematika yang membantu menentukan target Heart Rate(HR) pada
zona latihan. Rumus ini menggunakan denyut jantung saat istirahat(resting HR) maksimum dan
minimum dengan intensitas latihan yang ingin dicapai untuk mencapai target latihan. Denyut
jantung saat istirahat biasanya ditetapkan dengan nilai 70x permenit jika pemeriksaan resting HR
tidak dilakukan.1,7,8
Pasien yang sudah terbiasa dengan latihan, membutuhkan pemantauan HR yang lebih rendah.
Kendati demikian pengukuran HR mandiri harus dilaksanakan dan dapat dibantu oleh perawat.1,7,8
Latihan turut dapat menstimulasi sirkulasi kolateral. Setelah 3 bulan program endurance training,
terdapat peningkatan collateral flow index(CFI) pada pembuluh darah yang dilakukan PCI, yang
mana CFI merupakan penanda sirkulasi kolateral. Ini juga berkorelasi dengan VO2 max pada
spiroergometry.1,7,8 Collateral flow index adalah penilaian sirkulasi koroner kolateral dengan
mengukur tekanan intrakoroner, telah dilakukan sejak beberapa dekade lalu dan saat ini telah
diterima sebagai standar klinis. Collateral flow index (CFI) menunjukkan aliran kolateral yang
berhubungan dengan perfusi miokardial maksimal yang normal. Perhitungan CFI diukur dengan
pengukuran tekanan aorta simultan (Pa), tekanan vena (Pv) dan tekanan bagian distal arteri koroner
yang mengalami stenosis (coronary wedge/Pw).28
(Pw – Pv)
CFI =
(Pa – Pv)
Sebagai tambahan, aliran kolateral dipengaruhi oleh resistensi pembuluh darah kolateral dan
mikrovaskularisasi miokard, oleh karena itu sebaiknya CFI dinilai saat kondisi vasodilatasi
maksimal agar resistensi pembuluh darah diminimalisir dan konstan. Hal ini biasanya diinduksi
dengan pemberian obat-obatan seperti adenosine atau papaverine.28
Program latihan pada rehabilitasi jantung dengan supervisi perlu direkomendasikan pada seluruh
pasien pasca PCI, terutama pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang dan tinggi dimana
pasien harus disupervisi untuk melakukan latihan. Partisipasi pada rehabilitasi jantung secara
signifikan mengurangi angka kematian pada semua kasus penyakit jantung dan penyebab lainnya.
Berdasarkan laporan community based survey, yang mengikutsertakan pasien usia tua dan faktor
risiko tinggi menunjukkan partisipasi pada rehabilitasi jantung secara independen berhubungan
dengan menurunkan angka rekurensi infark miokard dan mengurangi angka mortalitas.28
Rehabilitasi jantung juga meningkatkan toleransi latihan, mengurangi gejala penyakit jantung,
kadar lipid, frekuensi merokok, tingkat stress dan meningkatkan kepatuhan mengikuti pengobatan
serta kehidupan psikososial pasien. Rujukan dari dokter merupakan prediktor yang sangat penting
terhadap partisipasi pasien dalam program rehabilitasi jantung.1,2,3
Prevensi Sekunder
Penatalaksanaan pasien infark miokard tidak berhenti pada revaskularisasi saja karena prevensi
sekunder adalah komponen paling berpengaruh dalam tatalaksana seperti yang dijabarkan dalam
AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for Patients with Coronary and Other
Atherosclerotic Vascular Disease (2011). Beberapa rekomendasi tersebut di antaranya:5
Follow-Up
Prevensi sekunder pasca PCI merupakan komponen esential dalam terapi jangka panjang untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit jantung.Follow-up pasien setelah
PCI perlu memperhatikan keadaan klinis pasien, kepatuhan pasien dalam terapi prevensi sekunder
(tekanan darah, LDL, pemberhentian merokok).
Uji latih secara berkala pada pasien asimtomatik bukan merupakan bagian dari standar follow-up
pasien.7
Tindakan CABG yang sudah mulai diperkenalkan sejak tahun 1910 ini secara sederhana dapat
digambarkan sebagai prosedur membuat rute baru di sekitar pembuluh darah koroner yang
mengalami sumbatan dengan tujuan melancarkan aliran darah sehingga asupan oksigen dan
nutrisi ke miokard tetap terjaga. Adapun prosedur ini biasanya menggunakan pembuluh darah
vena saphena atau arteri mamaria interna, selain itu arteri radialis dan arteri gastroiliaka juga
bisa digunakan meskipun jarang.30 Operasi ini merupakan operasi jantung yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat dengan jumlah 200.000 tindakan per tahun. Walaupun penggunaan
operasi CABG sedikit berkurang sejak diperkenalkan Percutaneous Coronary Interventions (PCI),
CABG tetap menjadi operasi jantung yang paling sering dilakukan dan merupakan tatalaksana
standar untuk pasien dengan penyakit pembuluh darah jantung arteri kiri (left main) dan penyakit
3 pembuluh darah jantung (3-vessel coronary disease).31,32,33
Indikasi CABG10,23
- Untuk menghilangkan gejala angina yang berulang dengan terapi farmakologis.
- Terdapat dua atau tiga sumbatan pembuluh darah koroner (triple vesseldisease atau double
vessel disease)
- Terdapat satu atau dua sumbatan pembuluh darah koroner dengan risiko tinggi iskemi
padamiokard dengan angina stabil
- Stenosis LAD >70% dengan fraksi ejeksi <50%
- Mempertahankan fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan sindrom koroner akut yang difus,
infark miokard yang luas atau pada infark miokard yang menganggu fungsi ventrikel kiri.
- Terdapat kontraindikasi PTCA
Kontraindikasi CABG:10
- Pasien infark miokard risiko rendah yang asimtomatis
- Stenosis arteri koroner >50%
Teknik CABG
Terdapat dua macam teknik CABG yaitu on-pump CABG disebut sebagai CABG dengan Cardiopulmonary
Bypassmachinedan off-pump CABG tanpa Cardiopulmonary Bypassmachine(OPCABG). Perbedaan
dari kedua teknik tersebut terletak pada penggunaan mesin bypassjantung-paru selama prosedur.34
Pada teknik CABG yang tradisional atau yang on-pump CABG, jantung diberhentikan dan fungsi
jantung paru diambil alih oleh mesin bypass jantung paru selama operasi. Dahulu on-pump CABG
menjadi gold standard operasi dan dilakukan pada 80% pasien di Amerika Serikat. Namun pada on-
pump CABG banyak dilakukan manipulasi pada aorta ascending yang dihubungkan dengan kejadian
komplikasi perioperatif seperti oklusi aorta, mionekrosis, disfungsi neurokognitif, dan disfungsi
renal. Untuk mencegah komplikasi ini teknik off-pump CABG mulai dikembangkan.5
Teknik off-pump CABG mulai diperkenalkan pada tahun 1990an. Off-pump CABG dilakukan pada
jantung yang masih berdetak dengan menggunakan alat stabilitasi jantung yang meminimalisir
gerakan jantung. Selain ituoff-pump CABG juga menggunakan teknik-teknik yang dapat
meminimalisir iskemi miokard serta menjaga hemodinamik sistemik.5
Tabel 5. 7 Berikut adalah kelebihan dari masing-masing on-pump dan off-pump CABG36
Jumlah pasien yang menjalani tindakan CABG sebagai cara untuk meningkatkan aliran darah ke
miokard semakin meningkat dari waktu ke waktu, dengan prosedur yang biasanya terdiri dari
operasi oleh ahli bedah kardiovaskular menggunakan mesin jantung-paru atau minimally invasive
direct coronary artery bypass (MIDCAB).2,22 Minimally Invasive Direct Coronary Artery Bypass
(MIDCAB) merupakan teknik yang menghindari sternotomy dan mampu mempercepat proses
penyembuhan serta memfasilitasi kembali bekerja lebih cepat serta melakukan aktivitas sehari-
hari, biasanya berkisar 5-7 hari pasca operasi.7,22
Komplikasi CABG
Segala prosedur operasi selalu memiliki risiko komplikasi begitu pula dengan prosedur operasi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG). ACCF/AHA Guideline for Coronary Artery Bypass Graft Surgery
2011 menyebutkan komplikasi operasi CABG antara lain:5
- Stroke
Insiden stroke pasca on-pump CABG adalah 1,4% sampai 3,8% tergantung dari populasi pasien
dan kriteria diagnosis stroke. Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya stroke pasca
CABG antara lain usia lanjut, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, hipertensi dan
wanita. Angka mortalitas meningkat 10 kali lipat pada pasien stroke pasca CABG dibandingkan
pasien yang tidak mengalami stroke pasca CABG dan lamanya perawatan di rumah sakit juga
lebih panjang pada stroke pasca CABG.5
- Delirium, gangguan kognitif pasca operasi
Insiden delirium pasca CABG adalah <10% dengan faktor risiko yang mempengaruhi antara lain usia
lanjut, gangguan fungsi kognitif dan penyakit vaskular. Perubahan fungsi kognitif jangka pendek dapat
terjadi pada pasien pasca CABG. Beberapa studi menyebutkan angka kejadian penurunan fungsi
kognitif jangka pendek lebih rendah pada off-pump CABG dibandingkan dengan on-pump CABG.5
Menurut Kirklin (2003) komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi jantung CABG umumnya
hampir sama dengan komplikasi pasca operasi jantung lainnya. Beberapa komplikasi pasca CABG
yang perlu diperhatikan:38
Pada tindakan CABG dengan melibatkan arteri mamaria interna lebih menunjukkan tahan terhadap
terjadinya risiko aterosklerosis dibanding pada vena saphena.11
Pada penelitian Lin dan kawan-kawan (2010) pada 319 sampel yang sudah menjalani CABG,
ditemukan ada empat komplikasi mayor yang berhubungan dengan mortalitas pasca CABG antara
lain prolonged sirkulasi mekanik, lebih dari 72 jam menggunakan Intraaortik Baloon Pump/IABP
atau Extracorporeal Membrane Oxygenator/ECMO (p<0,0001), bantuan ventilator mekanik yang
lebih dari 72 jam(p=0,03), gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis (p=0,002) dan komplikasi
gastrointestinal mayor (p= 0,04).40
- Bernapas yang terdiri dari 10 kali repetisi napas dalam dan pernafasan diafragma
- Latihan Incentive Spirometer dan batuk efektif
- Latihan mobilisasi leher dan bahu dengan penekanan pada ekstensi dada
- Latihan peregangan otot ekstremitas
- Latihan kekuatan otot bahu untuk bergerak fleksi dan ekstensi
Sedangkan program latihan pasca operasi yang dilakukan baik pada kelompok latihan maupun
kelompok kontrol meliputi:
Dari penelitian tersebut didapatkan hasil perbedaan yang signifikan dari durasi penggunaan
ventilasi yaitu 10.6±3.8 jam pada kelompok latihan dan 17.2±4.9 jam pada kelompok kontrol.
Selain itu didapatkan pula perbedaan signifikan dari parameter spirometri di antara kedua
kelompok yaitu Forced Vital Capactity/FVC (CI 95%: 1.3 to 8.7) dan Peak Expiratory Flow/PEF (CI
95%: 1.98 to 9.4).41
Hulzebos dan kawan-kawan (2006) meneliti efek positif dilakukannya latihan otot inspirasi pra
operasi dalam menurunkan insiden komplikasi paru pasca operasi CABG pada pasien risiko tinggi.42
Total sampel pada penelitian ini sebanyak 279 pasien dengan risiko tinggi mengalami komplikasi
paru pasca operasi yang akan menjalani operasi CABG. Adapun risiko komplikasi paru pasca
operasi ditentukan dari pulmonary risk score sebagai berikut:42
Ya Tidak
Usia > 70 tahun 1 0
Batuk dengan/tanpa dahak 1 0
Diabetes Melitus 1 0
Merokok 1 0
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan FEV1<75% atau adanya 1 0
riwayat pengobatan paru
Indeks massa tubuh >27,0 kg/m2 1 0
Spirometry dengan FEV1<80% dan FEV1/FVC <70% 2 0
Keterangan:
Pasien termasuk risiko rendah apabila mendapat skor 0-1 dan risiko tinggi apabila mendapat skor >2.
Sampel penelitian tersebut dibagi secara acak menjadi kelompok yang menjalani latihan otot
inspirasi pra operasi (kelompok latihan) dan perawatan biasa (kelompok kontrol). Intervensi latihan
dilakukan 2 minggu sebelum operasi dengan masing-masing intervensi berdurasi 20 menit yang
dilakukan sebanyak 7 kali dalam seminggu (6 kali tanpa supervisi dan 1 kali dengan supervisi). Latihan
inspirasi meliputiincentive spirometri (IS), edukasi mengenai teknik latihan dengan siklus aktif dan
teknik ekspirasi paksa.Setiap harinya pasien diminta untuk mendokumentasikan perkembangan
latihan otot inspirasinya. Pada kelompok kontrol menerima instruksi seperti manuver napas dalam,
batuk dan mobilisasi awal pada 1 hari sebelum operasi. Penelitan tersebut mendapatkan hasil
adanya perbedaan komplikasi paru pasca operasi CABG antara kelompok latihan dan kelompok
kontrol. Pada kelompok latihan terdapat 25 orang (18%) mengalami komplikasi paru pasca operasi
sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 48 orang (35%) dengan OR 0,52; 95% CI; 0,30-0,92.
Selain itu didapatkan pula perbedaan signifikan antara durasi masa perawatan pasca operasi pada
kedua kelompok yaitu 5 – 41 hari pada kelompok latihan dan 6 – 70 hari pada kelompok kontrol
dengan p=0.02.42
Sebelum dilakukan tindakan operasi jantung biasanya ahli bedah jantung akan menilai angka
kematian atau mortality rate menggunakan Euro Score tahun 2011. Model ini disebut sebagai
EuroSCORE II, sebuah aplikasi kalkulator online yang sudah diperbaharui dari model terdahulu dan
dirilis di Lisbon tahun 2011.
Setelah pasien dilakukan operasi bypass, latihan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan panduan Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation edisi 4 tahun
1990 bahwa penatalaksanaan rehabilitasi medik pasca operasi jantung seperti dijelaskan berikut
ini:44
Cepatnya perkembangan pada fase pemulihan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status
premorbid dan teknik operasi. Inisiasi program rehabilitasi jantung di ruang rawat harus dilakukan
secepat mungkin setelah kondisi pasien stabil. Pada awal periode pasca operasi, kemungkinan
terjadinya depresi cukup tinggi, namun akan menurun seiring berjalannya proses pemulihan serta
dukungan sosial yang didapat.7,8
Pemeriksaan awal yang perlu dilakukan pasca CABG harus menginspeksi luka bekas operasi
apakah terdapat kemerahan, bengkak dan drain. Karena tingginya angka infeksi, pasien dengan
luka terbuka sebaiknya tidak mengikuti program rehabilitasi hingga lukanya membaik. Apabila
terjadi infeksi maka beberapa hal yang harus dilakukan adalah:7,8
Pada evaluasi dasar perlu dilakukan anamnesis awal yang mencakup perasaan dan dukungan sosial
pada pasien serta menilai faktor risiko lain. Pemeriksaan fisik harus dapat menilai range of motion
dari ektremitas atas dan bawah, yang sering dibatasi oleh luka bekas operasi dibanding masalah
pada jantung. Pemeriksaan penunjang perlu memperhatikan irama jantung pada EKG, kemampuan
pompa jantung pada echokardiografi dan pembesaran jantung pada rontgen.
Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti laboratorium yang perlu diperhatikan adalah
pemeriksaan gula darah, elektrolit seperti kalium, natrium dan lain-lain. Selanjutnya akan
mendapatkan diagnosis yang sangat akurat karena program berikutnya akan dilakukan intervensi
rehabilitasi medik jantung secara komprehensif agar didapatkan hasil yang memuaskan sesuai
target capaian pada fase-fase rehabilitasi jantung selanjutnya.7,8
Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi harus memfasilitasi dan mengamati perkembangan
pasien dengan cara:
Perubahan gaya hidup didisain untuk menghambat dan menghentikan lesi arterosklerotik
termasuk:1,7,8
Pada pasca operasi jantung CABG dapat memulai program rehabilitasi jantung fase II segera setelah
penyembuhan lengkap. Sebelum melakukan program rehabilitasi jantung sebaiknya dilakukan uji
jalan 6 menit untuk menentukan kapasitas fungsi maksimal, denyut jantung maksimal, respon
tekanan darah, exercise-induced arrhythmia dan ambang batas angina. Program untuk pasien rawat
jalan (outpatient) dapat diberikan selama 4-8 minggu. Pada fase inidilakukan stratifikasi risiko
latihan menjadi risiko rendah, sedang dan tinggi.
Latihan dengan tingkat skala Borg RPE 13 merupakan tingkat latihan yang aman untuk diberikan
pada pasien rawat jalan (outpatient setting).
Berdasarkan studi empiris menunjukkan supervisi dan monitoring pasca revaskularisasi selama
latihan dapat mendeteksi penurunan kondisi pasien. Tanda dan gejala yang dicetuskan aktivitas
dapat mengindikasikan adanya restenosis, oklusi pada pembuluh darah dan perkembangan lesi
aterosklerotik termasuk nyeri dada khas angina, pusing dan kepala terasa ringan dan denyut
ventrikel ektopik yang berbahaya (VES multiform atau berpasangan, couplets, VT).7,8
Program latihan pasca operasi jantung (CABG)terdiri dari 3 jenis antara lain:7,8
a. Latihan Erobik (endurance) merupakan latihan yang melibatkan banyak aktivitas kelompok otot,
seperti latihan berjalan, cycle ergometer atau treadmill
-. Tujuan:
- meningkatkan kapasitas erobik
- menurunkan respon tekanan darah dan denyut jantung
- menurunkan kebutuhan O2 miokard
- menurunkan risiko penyakit jantung koroner selanjutnya
- Dosis latihan terdiri dari:
- Frekuensi: 3-5 hari/minggu
- Intensitas:
- Skala Borg RPE 12-14
- 40-70% VO2 max atau menggunakan reserve HR (rumus Karvonen)
- Durasi:
- 30-60 menit/sesi
- 5-10 menit pemanasan dan pendinginan
- Tujuan:
- Meningkatkan kekutan otot, mobilitas dan stamina
- Meningkatkan kemampuan untuk aktivitas rekreasi, okupasi dan kegiatan sehari-hari.
- Dosis Latihan:
- Frekuensis: 2-3 hari / minggu
- Intensitas: 40-50% dari kemampuan kontraksi maksimal (hindari valsava)
- Time: 1-3 set dengan 10-15 repetisi
b. Latihan Fleksibilitas, melatih range of motion dari ektremitas atas dan bawah
- Tujuan:
- Menurunkan risiko cedera
- Meningkatkan ROM pada pasca operasi jantung(CABG)
- Dosis latihan
- frekuensi: 2-3 hari/minggu
- intensitas: 40-60% VO2 max
- time: 20-30 menit
Menurut penelitian Farahani dan kawan-kawan (2011) menemukan adanya hubungan antara
rehabilitasi jantung dengan repolarisasi ventrikel yang ditandai dengan gambaran EKG. Dispersi
QT -jarak antara interval QT maksimum dan minimum dalam gambaran EKG, merupakan prediktor
kemungkinan adanya aritmia ventrikular, kematian mendadak dan tingkat mortalitas pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik.45
Peneliti membagi 122 pasien yang menjalani tindakan CABG elektif dan sesuai kriteria inklusi ke
dalam 2 kelompok, latihan dan kontrol. Kedua kelompok diikutsertakan dalam program rehabilitasi
jantung, namun kelompok kontrol hanya mengikuti latihan kurang dari lima sesi. Adapun program
rehabilitasi jantung tersebut menggunakan protokol berupa 3 sesi per minggu yang terdiri dari
total waktu selama 8 minggu, 20 menit pemanasan (stretching dan kalistenik), 20 menit treadmill
dan 20 menit pendinginan (stretching dan kalistenik).45
Kaitannya dengan pemeriksaan laboratorium, sebuah penelitian oleh Bilinska dan kawan-kawan
(2010) menemukan pertama kali adanya pengaruh latihan statis dengan sepeda (ergometer cycle)
sebagai variabel independen dengan beberapa parameter kimia darah dan penanda inflamasi.
Peneliti membagi 120 pasien laki-laki yang baru menjalani tindakan CABG 3 bulan terakhir
dan telah disaring sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi ke dalam kelompok latihan dan
kontrol sama banyak secara acak. Kelompok latihan melakukan program rehabilitasi jantung
menggunakan ergometer cycledalam 18 sesi selama 6 minggu (3 sesi per minggu). Setiap sesinya
latihan dilakukan selama 60 menit dengan interval 4 menit mengayuh dan 2 menit istirahat selang
seling. Sedangkan kelompok kontrol tidak mendapat latihan sepeda statis. Penelitian tersebut
mendapatkan adanya penurunan yang signifikan dari beberapa kadar penanda inflamasi plasma
darah. Beberapa parameter di antaranya fibrinogen (p<0,05), hsCRP (p<0,05), leukosit (p<0,01),
trombosit atau platelet (p<0,01), laju endah darah atau LED (p<0,01), interleukin-6 atau IL-6
(p<0,02). Kadar profil lipid yang didapatkan signifikan adalah HDL meningkat dengan nilai p<0,05.
Selain itu didapatkan pula perbedaan berupa kadar nitrik oksida lebih tinggi pada kelompok latihan
dibandingkan kontrol (46% vs 14%) dan penurunan LDL lebih banyak pada kelompok latihan
ketimbang kelompok kontrol (2,3±0,7 menjadi 2,2±0,7 vs 2,6±0,83 menjadi 2,6±0,87).46
Sebuah studi yang dilakukan oleh Hedback dan kawan-kawan (2001) menemukan bahwa angka
mortalitas pada kelompok pasien yang melakukan rehabilitasi jantung pasca CABG jauh lebih
rendah dibanding kelompok kontrol (8,2% vs 20,4%).47
Hasil penelitian di atas juga didukung oleh hasil sebuah penelitian berbasis komunitas yang
dilakukan oleh Pack dan kawan-kawan (2013) yang mendapatkan adanya hubungan antara
rehabilitasi jantung pasca CABG dengan penurunan angka mortalitas sebesar 46% (HR=0,54; 95%
CI, 0,40--,74; p<0.001).48
Guideline for Coronary Artery Bypass Graft Surgery dari ACCF/AHA tahun 2011 merekomendasikan
program rehabilitasi jantung untuk pasien pasca CABG. Rehabilitasi jantung yang diberikan
seawal mungkin setelah operasi, selama perawatan dan saat rawat jalan jugaberguna menurunkan
risiko kematian pada pasien infark miokard. Program rehabilitasi jantung yang dilakukan 4
sampai 8 minggu setelah operasi CABG dengan frekuensi 3 kali seminggu selama 3 bulan dapat
meningkatkan toleransi latihan sebanyak 35 %, peningkatan 2% dari HDL dan penurunan 6%
dari lemak tubuh. Pada kurun waktu 6 bulan latihan erobik dapat memperbaiki konsumsi oksigen
maksimum dibandingkan dengan latihan sedang yang kontinu.5 Berjalan merupakan latihan yang
paling dianjurkan pada pasca revaskularisasi CABG, dimana pasca CABG memiliki beberapa
karakteristik yang perlu perhatian khusus pada range of motion(ROM) ektremitas atas. Latihan
pada ekstremitas atas harus disupervisi sampai batas keluhan. Pasien dapat melakukan akvitas
sehari-hari, dengan aktivitas intensitas sedang seperti berjalan cepat.
Pasca CABG umumnya dapat memulai rehabilitasi jantung lebih awal dengan perkembangan yang
lebih cepat. Pada pasca CABG latihan fleksibilitas lebih mengutamakan latihan ROM ektremitas
Follow-Up
Saat pasien pulang, pasien diinstruksikan untuk menghubungi dokter spesialis jantung jika gejala
kembali muncul. Pentingnya pertemuan dengan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi
dapat menentukan kapan pasien kembali bekerja dan melakukan aktivitas seksual seperti
sediakala.1,7,8 Prevensi sekunder pasca CABG merupakan komponen esensial dalam terapi latihan
fisik jangka panjang, khususnya mengurangi angka mobiditas dan mortalitas terkait penyakit
jantung. Follow-up pasien setelah CABG perlu memperhatikan keadaan klinis pasien, kepatuhan
pasien dalam edukasi prevensi sekunder (tekanan darah, koleterol LDL, pemberhentian merokok
dan lain-lain).7,8
Program rehabilitasi jantung merupakan program prevensi sekunder yang sudah diakui kaitannya
menurunkan mortalitas melalui latihan fisik, modifikasi faktor risiko dan pola hidup sehat. Program
latihan fisik pada fase III dilakukan sebanyak 3-5 kali seminggu selama 24 minggu dengan
intensitas 70-85% denyut jantung maksimal dengan durasi 30 menit disertai latihan resistance.
Tipe latihan yang biasa digunakan adalah latihan berjalan erobik, menggunakan ergocycle atau
treadmill. Latihan resistensi biasanya dilakukan pada ekstremitas atas dengan intensitas 30-40%
dari satu repetisi maksimal sedangkan pada ekstremitas bawah diberikan 40-50% dari satu repetisi
maksimal sebanyak 12-15 kali repetisi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu.49
Daftar Pustaka
1. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. New York:
Churchill Livingstone, 1992.
2. Venturini E and Testa R. Cardiac Rehabilitation and Percutaneous Coronary Intervention,
Together Against Global Burden of Cardiovascular Disease. Ceciana, Italy: Department of
Cardiology, Civic Hospital.
3. Fuster V, Walsh RH and Harrington RA. Hurst’s the Heart. 13th edition. USA: Mc-Graw Hill
Companies, 2011.
4. Link MS, Berkow LC, Kudenchuk PJ, et al. Adult Advanced Cardiovascular Life Support. 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Rescucitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation Journal. 2015.
5. Levine GN, Bates ER, Blankenship JC, et al. ACCF/AHA/SCAI Guidelines for Percutaneous
Coronary Intervention A Report of te American College of Cardiology Foundation/Americn
Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions. Circ AHA Journal. 2011. 124:e574-e651.
6. O’Riordan M. Cardiac Rehabilitation After PCI Lowers Mortality. New york: Medscape. 2015
7. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
8. American College of Sports Medicine (ACSM). Exercise prescription for patients with cardiac
disease. In WR Thompson et al., eds., ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription,
8th ed., Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010. p207–224.
9. Deb S, Wijeysundera HC, Ko DT, et al. Coronary Artery Bypass Graft Surgery vs Percutaneous
Interventions in Coronary Revascularization: A Systematic Review. JAMA. 2013.;310(19):
2086-2095.
10. Stouffer GA and Peter K, Editor. Percutaneous Coronary Intervention. New York: Medscape,
2015.
11. Appleby MA, Angeja B, Dauterman K, et al. Angiographic Assessment of Myocardioal Perfusion:
TIMI Myocardial Perfusion (TMP) Grading System. Heart Journal. 2001;86:485-486.
12. Amsterdam EA and Wenger NK. Guidelines for Management of Patients with Non-ST Elevation
Acute Coronary Syndromes. American Heart Association/American College of Cardiology
Guidelines 2014;64(24):e139-e228.
Prevalensi gagal jantung pada orang dewasa di negara berkembang diperkirakansebesar 1-2%,pada
wanitagagal jantung memiliki insiden relatif lebih rendah dibandingkandengan pria, namun
demikian hampir 75% kasus gagal jantung pada wanitahal ini dimungkinkan karena mempunyai
angka harapan hidup yang lebih tinggi.Risiko gagal jantung pada usia 55 tahun sekitar 33% pada
pria dan 28% pada wanita.4,5,6 Prevalensi gagal jantung pada orang dewasa di negara berkembang
bila dibandingkan dengan negara maju memang terbilang lebih rendah, walau demikian di masa
datang diprediksi akan mengalami peningkatanhingga lebih dari 10% terutama pada kelompok
usia di atas 70 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi gagal
jantung di Indonesia mencapai 0,3% dan dikatakan angka ini akan bertambah setiap tahunnya.4,6,7
Di Amerika Serikat diagnosisgagal jantung yang dirawat di rumah sakit menempati urutan tertinggi
dengan beberapa penyebab yang mendasarinya di antaranya penyakit jantung koroner, hipertensi
dan diabetes mellitus.2,3,4,5
Dahulu gagal jantung dianggap sebagai ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa darah yang
ditandai dengan rendahnya fraksi ejeksi, namun demikian berdasarkan studi epidemiologi gagal
jantung dapat terjadi pada pasien dengan fraksi ejeksi yang normal atau dapat dipertahankan/Heart
Failure with preservedejection fraction(40-50%).6 Sekarang gagal jantung dikelompokan menjadi
dua kelompok besar yaitu gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (systolic failure / heart
failure with reduced ejection fraction / HFrEF) dan gagal jantung yang mampu mempertahankan
fraksi ejeksi (diastolic failure / heart failure with preserved ejection fraction / HFpEF).2,3,4,6 Menurut
European Society of Cardiology tahun 2016 semua penyebab kematian gagal jantung lebih besar
pada HFrEF dibandingkan dengan HFpEF.2-4,6
Pada era sebelum tahun 1980 penderita gagal jantung tidak diperbolehkan menjalani program
latihan rehabilitasi atas dasar keamanan pasien dan istirahat menjadi terapi utama karena dianggap
dapat menurunkan kebutuhan sirkulasi, meningkatkan aliran darah ke ginjal, meningkatkan urine
output dan mendukung terapi diuresis yang bermanfaat pada pasien gagal jantung kongestif. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang rehabilitasi jantung maka banyak konsensus oleh
para pakar yang menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung sesuai guidelines dapat diterima
oleh pasien gagal jantung kongestif di mana program latihan tidak hanya mengurangi gejala tetapi
juga terbukti mengubah perjalanan penyakit gagal jantungsecara klinis. 2,3,4
Berdasarkan Framingham Heart Study tahun 2013, diperkirakan terdapat 5 juta pasien penyakit
jantung yang perlu dilakukan rehabilitasi jantung sehingga perlu perhatian dan intervensi yang
mampu mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Angka harapan hidup
bukan merupakan satu-satunya tujuan pada penderita gagal jantung, namun penting juga untuk
memprioritaskan pada kualitas hidup dan kemampuan fungsional dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari. Untuk mencapai hal ini, rehabilitasi jantung berupa latihan yang agresif perlu
dilakukan sesuai dosis latihan.5,8 Menurut Belardineli latihan intensitas rendah dapat meningkatkan
kemampuan fisik pada pasien gagal jantung kronik stabil. 2,3,4
Latihan sudah terbukti aman pada pasien jantung, berdasarkan penelitian Haskell dan kawan-
kawan hanya ditemukan satu kematian pada 116.400 jam. Penelitian Van Camp dan Peterson
melaporkan hanya satu kejadian cardiac arrest pada 112.000 jam latihan, satu kejadian infark
miokard pada 294.000 jam latihan dan satu kematian pada 784.000 jam latihan. Risiko ini dapat
ditekan dengan pemeriksaan yang baik, stratifikasi risiko dan edukasi pasien.9,10
Definisi
American College of Cardiology Foundation (ACCF)/ American Heart Association (AHA) tahun
2013 mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindroma klinis yang kompleks disebabkan
oleh gangguan struktural dan fungsional dari pengisian ventrikel atau gangguan pompa darah
sehingga muncul gejala klinis khas berupa sesak napas, lelah disertai tanda-tanda edema dan
rales.9 Adapun manifestasi utama dari kondisi gagal jantung adalah sesak napas dan kelelahan yang
dapat mengurangi toleransi latihan sehingga menyebabkan tingginya angka rawat inap, rendahnya
kualitas hidup dan menurunnya angka harapan hidup.2,3
Gagal jantung kongestif bukan merupakan diagnosis yang disebabkan oleh satu etiologi tertentu,
tetapi merupakan manifestasi tahap akhir dari perkembangan penyakit kardiovaskular seperti
gangguan pada arteri koroner, katup jantung atau miokardium. Pada pasien dengan gagal
jantungyang terkompensasi umumnya asimptomatik pada saat istirahat, tetapi akan muncul sesak
napas atau kelelahan saat beraktivitas. Kelelahan pada aktivitas inilah yang membatasi pasien
dalam mengikuti program aktivitas fisik, tetapi bukan berarti sebagai kontraindikasi dari program
latihan.10
Etiologi
Di negara maju penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama terjadinya kasus gagal
jantung pada pria maupun wanita (60-75%). Begitu pula dengan hipertensiyang turut berkontribusi
pada 75% kasus gagal jantung. Tidak hanya penyakit jantung koroner dan hipertensi yang dapat
meningkatkan risiko gagal jantung, diabetes melitus pun juga menjadi penyakit yang mendasari.2,3
Secara umum etiologi gagal jantung kongestif terbagi menjadi empat kelompok yaitu beberapa
kondisi dengan fraksi ejeksi yang menurun, fraksi ejeksi yang mampu dipertahankan, penyakit
paru-jantung dan keadaan lainnya seperti yang digambarkan sebagai berikut.2,3
- Hipertrofi patologis
- Primer (Kardiomiopati hipertrofi)
- Sekunder (Hipertensi)
- Penuaan (aging)
- Kardiomiopati restriktif
- Kelainan infiltratif (amiloidosis, sarkoidosis)
- Storage diseases (hemochromatosis)
- Fibrosis
- Kelainan endomiokardial
- Cor pulmonale
- Gangguan vaskularisasi paru
High-output States
- Kelainan metabolik
- Tirotoksikosis
- Gangguan Nutrisi (beri-beri)
- Peningkatan kebutuhan aliran darah yang berat
- Shunt arteri vena sistemik
- Anemia kronik
Klasifikasi
Gagal jantung kronik merupakan sindrom yang menunjukkan gejala namun lebih stabil, sering
dikenal sebagai gagal jantung terkompensasi. Faktor yang menyebabkan perubahan dari gagal
jantung terkompensasi menjadi tidak terkompensasi belum diketahui secara pasti dan dapat
terjadi dalam hitungan hari hingga minggu. Pada gagal jantung kronik terbatasnya curah jantung
dapat menyebabkan kelelahan akibat perfusi yang tidak adekuat pada otot rangka, selanjutnya
akumulasi cairan dapat terjadi dan dapat menyebabkan kongesti paru serta edema perifer, apabila
kondisi ini terjadi bersamaan maka disebut congestive heart failure.3
Pengelompokan ini lebih mengarah pada performa ventrikel dibanding gangguan hemodinamik
yang timbul, karena 2 kelompok ini dapat menunjukkan gejala yang sama. Disfungsi sistolik dan
diastolik sering terjadi bersamaan pada pasien gagal jantung karena gagal jantung dengan disfungsi
sistolik dapat menimbulkan disfungsi diastolik terutama saat aktivitas.3
Gagal jantung diastolik dan gagal jantung sistolik merupakan dua sindrom yang terpisah dengan
morfologi dan perubahan fungsi yang berbeda walaupun memiliki kesamaan gejala, tanda dan
prognosis. Pada gagal jantung diastolik tidak ada dilatasi ventrikel maupun penurunan fraksi ejeksi
sedangkan pada gagal jantung sistolik terjadi dilatasi ventrikel dan penurunan fraksi ejeksi.
Penegakkan diagnosis HFpEF lebih sulit dibandingkan dengan diagnosis HFrEF karena pada
HFpEF biasanya tidak ditemui dilatasi ventrikel kiri tetapi lebih sering ditemukan penebalan
dinding ventikel kiri atau peningkatan ukuran atrium kiri sebagai akibat dari peningkatan tekanan
Pada guidelines sebelumnya terdapat satu daerah abu-abu yang berada diantara HFrEF dan HFpEF
yaitu pasien dengan LVEF antara 40-49% di mana pada guidelines 2016 dimasukkan ke dalam
kelompok heart failure with mid-range ejection fraction (HFmrEF). Pada heart failure with mid-range
ejection fraction (HFmrEF) dapat ditemukan gejala disfungsi sistolik yang sedang disertai dengan
beberapa karakterisktik disfungsi diastolik.6
Patogenesis
Gagal jantung dapat dilihat sebagai penyakit progresif yang dicetuskan oleh kerusakan otot jantung
sebagai akibat dari berkurangnya miosit jantung atau disebabkan dari gangguan miokardium
yang tidak dapat berkontraksi secara normal. Pencetus gagal jantung secara tiba-tiba biasanya
disebabkan oleh infark miokardatau dapat terjadi secara perlahan seperti yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hemodinamik,overload cairan atau bisa juga diturunkan secara herediter
pada kardiomiopati genetik. Apapun penyebab dari gagal jantung, semuanya akan menyebabkan
manifestasi klinis yang sama yaitu penurunan kapasitas pompa jantung.2,3
Pada kontraksi ventrikel yang menurun akan terjadi pengosongan ruang yang tidak sempurna
sehingga volume darah yang menumpuk di dalam ventrikel saat fase diastole menjadi lebih besar
dari normal. Hal ini menyebabkan peregangan otot jantung berlebih saat pengisian. Semakin
teregangnya jantung maka semakin panjang serabut otot jantung hal ini menghasilkan gaya yang
lebih kuat pada kontraksi jantung berikutnya disertai peningkatan stroke volume (hukum Frank-
Starling). Selain itu mekanisme kompensasi ini dapat disertai dengan aktivasi molekul vasodilator
seperti atrial natriuretic peptides dan brain natriuretic pepetides (ANP dan BNP), prostaglandin
(PGE2 dan PGI2) dan nitrik oksida (NO) yang menghambat vasokontriksi pembuluh perifer secara
berlebihan.2,3
Latarbelakang genetik, jenis kelamin, usia dan lingkungan dapat mempengaruhi mekanisme
kompensasi ini sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan. Penderita gagal jantung
Aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel
serta vasokonstriksi sistemik.Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel akan
mengakibatan curah jantung meningkat. Vasonstriksi vena akan meningkatkan aliran darah balik
ke jantung yang meningkatkan preload dan stroke volume. Vasokonstriksi arteriol menyebabkan
peningkatan resistensi perifer dan membantu menjaga tekanan darah.11
Antidiuretic hormone (ADH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis posterior meningkat pada pasien
dengan gagal jantung, hal inidifasilitasi oleh baroreseptor arteri dan peningkatan angiotensin
II. Antidiuretic hormone (ADH) membantu dalam meningkatkan volume intravaskular dengan
meretensi air di distal nefron ginjal. Selain itu ADH juga berperan dalam vasokonstriksi sistemik
yang akan meningkatkan resistensi total perifer sehingga terjadi peningkatan curah jantung.2,3,11
Semua mekanisme kompensasi ini meningkatkan resistensi vaskular sistemik untuk membantu
perfusi arteri ke organ vital pada saat curah jantung menurun ditambah dengan mekanisme retensi
garam dan air akibat aktivasi RAAS dapat meningkatkan preload dan memaksimalkan stroke
volume sehingga dapat menjaga tekanan darah. Efek akut dari stimulasi neurohormonal dapat
memberikan manfaat untuk jantung, namun bila respon ini terjadi secara kronis maka terdapat
penurunan fungsi jantung yang akan berkontribusi terhadap kejadian gagal jantung. Peningkatan
angiotensin II dan aldosterone yang kronis akan memprovokasi produksi sitokin, aktivasi makrofag
dan stimulasi fibroblast yang akan menyebabkan fibrosis dan proses remodeling pada jantung.11
Hipertrofi ventrikel dan remodeling jantung merupakan kompensasi dinding jantung akibat beban
hemodinamik. Pada gagal jantung stres dinding meningkat karena dilatasi ventrikel kiri atau beban
yang meningkatkan tekanan sistolik untuk mengatasi afterload yang berlebihan. Hal ini akan
menyebabkan hipertrofi miokardium dan deposit matriks ekstraseluler yang akhirnya mengakibatkan
peningkatan massa serat otot untuk mengatasi peningkatan stress dinding ventrikel. Mekanisme
kompensasi ini akan dapat memberikan manfaat dalam mengatasi stres dinding pembuluh darah,
namun pada akhirnya akan menyebabkan penurunan fungsi ventrikel.11 Walaupun mekanisme
neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek dengan menstabilkan tekanan darah dan
perfusi organ vital, mekanisme neurohormonal yang sama menyebabkan perubahan organ target
seperti jantung dan menyebabkan retensi air dan natrium pada gagal jantung lanjut.2,3
Patofisiologi
Patofisiologi yang utama terjadi pada pasien dengan gagal jantung kongestif adalah penurunan
curah jantung secara relatif dengan kebutuhan saat bekerja. Buruknya curah jantung menyebabkan
ketidaksesuaian antara ventiliasi dengan perfusi paru-paru, yang menyebabkan peningkatan dead
space fisiologis dan menyebabkan dispnea. Walaupun dispnea dan kelelahan merupakan tanda
khas gagal jantung, kurang lebih 2/3 dari pasien mengeluh kelelahan pada kaki mereka saat uji
Penyebab gagal jantung kongestifsecara umum dikelompokkan menjadi tiga yaitu yang
menyebabkan menurunnya kontraktilitas, peningkatan afterload dan gangguan relaksasi atau
pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan oleh pengosongan ventrikel abnormal seperti
menurunnya kontraktilitas dan peningkatan afterload disebut sebagai disfungsi sistolik (systolic
failure) sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh relaksasi atau pengisian ventrikel abnormal
disebut sebagai disfungsi diastolik (diastolic failure). Namun karena kedua keadaan tersebut sering
terjadi tumpang tindih, maka menurut AHA tahun 2013 saat ini gagal jantung dibagi menjadi 2
berdasarkan fraksi ejeksi yaitu heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF)dan heart failure
with preserved ejection fraction (HFpEF).11
Gangguan pompa darah ventrikel akan menyebabkan penurunan stroke volume dan peningkatan
end systolic volume. Volume darah yang tersisa di ventrikel ini akan semakin meningkat ketika
aliran darah dari vena pulmonal dipompa masuk ke dalam atrium kiri dan ventrikel kiri sehingga
end diastolic volume dan end diastolic pressure akan semakin meningkat. Walaupun peningkatan
Diagnosis
Anamnesis harus dilakukan secara teliti dan mendalam karena biasanya gagal jantung jarang
ditemukan pada pasien tanpa riwayat medis yang relevan. Gejala gagal jantung umumnya tidak
spesifik dan biasanya kurang dapat membantu dalam membedakan antara gagal jantung dengan
keadaan lain. Gejala dan tanda gagal jantung yang disebabkan oleh retensi cairan seperti sesak
dan edema biasanya dapat cepat ditangani dengan pemberian diuretik. Gejala dan tanda akan lebih
sulit untuk diindentifikasi dan diinterpretasikan pada orang obese, lanjut usia dan penyakit paru
kronis. Gagal jantung pada usia muda biasanya memiliki penyebab yang berbeda dengan yang usia
dewasa atau lanjut. Pada setiap penemuan gejala dan tanda gagal jantung harus dinilai dan dicari
bukti gejala kongesti. Gejala dan tanda sangat penting untuk memantau respon pengobatan dan
stabilitas jantung. Keadaan gejala yang tidak membaik walaupun sudah diberikan terapi biasanya
mengindikasikan perlunya terapi tambahan.2,3,6
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang seksama diperlukan untuk mengevaluasi pasien dengan gagal jantung.
Adapun tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk membantu menentukan penyebab dari gagal
jantung dan juga menilai derajat keparahan dari penyakit. Informasi tambahan tentang profil
hemodinamik dan respon terhadap terapi dan menentukan prognosis merupakan tujuan lain yang
perlu didapatkan selama pemeriksaan fisik.2,3
Keterangan:
Diagnosis gagal jantung ditegakan dengan kriteria Framingham jika terdapat minimal 2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.2,3
Pemeriksaan penunjang
1. Foto Toraks
Pemeriksaan rontgen dada dapat memberi informasi tentang bentuk dan ukuran jantung, serta
dapat menilai vaskularisasi paru-paru, dan dapat mengindentifikasi penyebab nonkardiak yang
dapat menimbulkan gejala seperti pada pasien.2,3
Fungsi utama foto polos toraks adalah untuk mengeksklusi penyebab lain timbulnya dispnea
seperti efusi pleura, pneumotoraks, kanker paru, atau pneumonia. Cardiothoracic ratio (CRT)
tidak memberikan informasi yang cukup untuk mengidentifikasi gagal jantung dan sesak yang
dialami.2,3
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi aritmia dan menyediakan informasi adanya
kemungkinan riwayat infark miokard sebelumnya (gelombang Q) atau hipertrofi ventrikel dan
menentukan lebar QRS yang berfungsi untuk menentukan perlunya terapi revaskularisasi.
Berdasarkan beberapa studi, ditemukan pada pasien gagal jantung jarang memiliki EKG
yang normal, namun memiliki nilai prediksi positif rendah pada pasien usia tua karena
gangguan gelombang irama jantung yang umum ditemukan. EKG yang normal menunjukkan
ketidakterlibatan disfungsi sistolik ventrikel kiri.2,3
5. Kateterisasi jantung
Cardiac catheterization memungkinkan pengukuran tekanan intrakardiak, memperkirakan
curah jantung, mendeteksi kelainan katup, mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri dan mendeteksi
penyakit jantung koroner. Begitu pula dengan fungsi diastolik yang dapat dinilai secara detil.
Namun karena termasuk dalam modalitas yang invasif, tindakan kateterisasi jantung ini tidak
banyak digunakan.2,3
6. Transthoracic Echocardiogaphy(TTE)
Pemeriksaan pencitraan dengan Transthoracic Echocardiogaphy adalah suatu metode pilihan
untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik kedua ventrikel.2,3
9. Laboratorium rutin
Pasien dengan onset gagal jantung baru dan gagal jantung kronik dengan dekompensasi akut
harus menjalani pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepar dan urinalisis. Beberapa pasien tertentu juga perlu diperiksa parameter
darah lainnya seperti diabetes melitus (gula darah puasa atau TTGO), dislipidemia (kadar lipid
puasa), dan kelainan tiroid (kadar TSH).2,3
10. Biomarker
B-type natriuretic peptide (BNP) merupakan biomarker yang disekresi oleh jantung dan kadarnya
meningkat pada kondisi hipertrofi ventrikel kiri atau disfungsi (sistolik atau diastolik) dan gagal
jantung. Menurut European and North American Heart Failure Guidelines menjelaskan peran BNP
sebagai tes untuk membedakan gagal jantung kongestif atau bukan pada pasien dengan gejala
baru. Selain itu BNP juga dapat meningkat pada infark miokard akut, emboli paru dan gagal
ginjal, di mana nilai normal umumnya lebih tinggi pada orang tua dan perempuan. Penggunaan
pemeriksaan BNP pada pasien yang dicurigai gagal jantung memiliki nilai diagnostik lebih
tinggi dibanding EKG.2,3
Konsentrasi plasma NP dapat digunakan sebagai uji diagnostik awal terutama pada keadaan
non akut dan tidak tersedia echocardiography di mana peningkatan NP dapat membantu dalam
menentukan diagnosis kerja awal, mengidentifikasi pasien yang membutuhkan investigasi
jantung lebih lanjut. Gagal jantung biasanya jarang ditemukan kadar plasma NP yang normal.
Batas atas dari plasma NP pada keadaan non akut untuk B-type natriuretic peptide (BNP)
adalah 35 pg/mL dan untuk N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) 125 pg/mL. Pada keadaan
akut nilai batas atas lebih tinggi yaitu BNP <100 pg/mL, NT-proBNP <300 pg/mL dan mid-
regional pro A-type natriuretic peptide (MR-proANP) <120 pmol/L. 6 Richards dan kawan-kawan
melaporkan bahwa kadar NT-proBNP 5 kali diatas normal mempunyai sensitivitas ≥90% untuk
mendeteksi Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF) < 50%. Batasan normal untuk NT-proBNP
berdasarkan pada studi Pro BNP Investigation of Dyspnea in the Emergency Department (PRIDE)
adalah cutpoint 300 pg/ml digunakan untuk menyingkirkan sesak napas karena gagal jantung
kongestif akut.2,3 Richards dan kawan-kawan juga menetapkan batasan normal NT-proBNP
untuk mendeteksi gagal jantung yaitu 68-112 pg/ml (8,2 – 13,3 pmol/1). Konsentrasi cutpoint
NT-proBNP yang direkomendasikan di Eropa untuk mendeteksi gagal jantung adalah 100
pg/ml untuk pria dan 150pg/ml untuk wanita. Sementara di USA untuk kedua jenis kelamin
ditetapkan 125 pg/ml. Untuk Indonesia nilai NT-proBNP yang ditetapkan adalah bila disfungsi
akut < 300 pg/ml dan kronis <125 pg/ml.2,3
Algoritma diagnosis gagal jantung non akut dapat dilihat di gambar 5.4. Untuk pasien yang
menunjukkan gejala untuk pertama kalinya, maka kemungkinan diagnosis gagal jantung harus
dievaluasi dari riwayat medis sebelumnya (seperti riwayat penyakit jantung koroner), gejala
seperti sesak nafas, pemeriksaan fisik seperti edema bilateral, peningkatan tekanan vena jugular,
pegeseran apeks jantung) dan EKG istirahat. Bila ada salah satu dari evaluasi tersebut abnormal
maka perlu diperiksakan kadar plasma natriuretic peptide(NP). Bila pemeriksaan plasma NP tidak
tersedia atau jarang digunakan maka dapat dilakukan echocardiography.6
Penatalaksanaan
Pada perkembangannya sebelum memulai rehabilitasi jantung, para spesialis jantung perlu
mengkondisikan pasien sebaik mungkin dalam keadaan stabil yang dicapai dengan penggunaan
obat-obatan seperti nitrat, hydralazine, ACE inhibitor dan digitalis serta diuretik yang dapat
mengurangi gejala, meningkatkan status fungsional dan memperlambat kerusakan jantung.2,3
Penggunaan ACE inhibitor yang semakin luas memberikan hasil yang lebih stabil sehingga
Evaluasi dasar pada pasien gagal jantung biasanya sudah diperiksa oleh spesialis jantung, seperti
stress testing, ekokardiografi dan kateterisasi pada beberapa kasus. Data ini dapat menentukan
etiologi dari gagal jantung, keamanan mengikuti latihan dan potensi timbulnya serangan ulang.
Pengukuran kapasitas erobik maksimal (VO2 max) penting dilakukan sebagai informasi prognostik
yang berhubungan dengan kemampuan fisik dalam melakukan rehabilitasi jantung. Pemeriksaan
fungsi fisik dan kuesioner kualitas hidup yang spesfik untuk pasien gagal jantung seperti Minnesota
Living With Heart Failure Questionaire dapat dilakukan untuk menilaiefek gagal jantung dalam
kehidupan sehari-hari.2,3
Sejak dahulu gagal jantung kongestif merupakan kontraindikasi dari program latihan karena
ditakutkan dapat menimbulkan aritmia dan eksaserbasi akut, namun sekarang hanya kondisi gagal
jantung yang tidak terkompensasi tidak diijinkan untuk melakukan latihan. Bukti dari beberapa
tahun terakhir menunjukkan intervensi latihan terbukti aman dan efektif pada populasi ini. Latihan
rehabilitasi pada pasien gagal jantung dan pasien disfungsi sistolik ventrikel kiri yang sedang
hingga berat dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan penurunan gejala tanpa perubahan
yang signifikan pada fungsi ventrikel kiri. Perubahan gejala merupakan hasil dari perubahan
sirkulasi perifer dan otot rangka yang menurunkan kebutuhan oksigen dari miokard. 2,3
Tatalaksana farmakologis
Penatalaksanaan gagal jantung harus mampu mengidentifikasi penyakit penyebab. Jika terdapat
masalah katup maka penggantian katup perlu dipertimbangkan, hipertensi dan penyakit jantung
koroner perlu dikontrol dan penggunaan alkohol perlu dihentikan. Pada beberapa pasien perubahan
ini sudah mampu mengembalikan fungsi jantung kembali normal. Kendati demikian pada kondisi
yang berat, gagal jantung meningkatkan volume dan tekanan ventrikel oleh karena itu tujuan
terapi selanjutnya harus mengurangi gejala dengan menggunakan obat-obatan.8,10
Kelebihan natrium dan cairan merupakan penanda khas gagal jantung kongestif, maka kebanyakan
pasien akan membutuhkan terapi diuretik. Obat vasodilator seperti nitrogliserin dan nitroprusside
dapat meningkatkan kapasitas vena, hal ini membantu aliran carian dari sentral ke perifer, sehingga
menurunkan tekanan pada jantung dan paru. Penurunan afterload menggunakan ACE inhibitor atau
arterial vasodilator dapat menurunkan tekanan akhir ventrikel kiri dan meningkatkan stroke volume
dan curah jantung, sehingga mengurangi gejala yang timbul. ACE inhibitor mampu mengurangi
angka kematian, sedangkan digoxin atau obat inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas
miokardium.8,10
Pengobatan pasien gagal jantung yang terdekompensasi harus meliputi satu atau kombinasi
dari beberapa obat seperti diuretik intravena untuk mengurangi kelebihan cairan ekstraselular,
vasodilator untuk mengurangi tekanan pengisian ventrikel dan mengurangi resistensi perifer dan
Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan sangat penting untuk menangani retensi
cairan sebelum pemberian ACE inhibitor (atau Angiotensin II Receptor Blocker/ARB pada pasien
yang intoleran ACE inhibitor). Beta blocker perlu diberikan setelah retensi cairan teratasi dan/atau
dosis ACE inhibitor sudah ditingkatkan.2,3
Jika gejala gagal jantung tidak membaik dapat digunakan “triple therapy” yang terdiri dari
ARB, aldosteron antagonis dan digoksin. Kombinasi fixed dose hidralazin/isosorbid dinitrat perlu
ditambahkan pada terapi ACE inhibitor dan beta blocker pada pasien gagal jantung dengan NYHA
class II-IV. Begitu pula dengandevice teraphy yang perlu dipertimbangkan sebagai tambahan dari
terapi farmakologis.2,3
Diet
Pada penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi asupan natrium sekitar 2-3 g/hari
sedangkan pada kondisi gagal jantung tahap lanjut, restriksi natrium perlu dilakukan (<2 g/hari)
untuk mengurangi ekspansi cairan ekstraseluler dan perkembangan edema. Hiponatremia tidak
boleh menghentikan program restriksi natrium, karena umumnya hiponatremia berhubungan
dengan total natrium tubuh dan kelebihan cairan. Pemberian natrium hanya boleh jika terjadi
diuresis berlebihan atau dehidrasi. Retensi cairan (<2 L/hari) hanya dianjurkan jika pasien
dalam keadaan hiponatremia (<130 meq/L) atau pada kondisi retensi cairan yang sulit dikontrol
menggunakan diuretik dosis tinggi di mana antagonis vasopresin dapat berguna pada keadaan
hiponatremia berat. Walaupun restriksi natrium dapat mengurangi edema, tetapi retensi natrium
oleh ginjal tetap terjadi, sehingga diuretik memegang peranan penting dalam pengobatan gagal
jantung.3
Apabila didapatkan penurunan berat badan berlebih dan cardiac cachexia, suplemen kalori diberikan
pada kondisi gagal jantung lanjut, namun steroid anabolik tidak dianjurkan untuk meningkatkan
nafsu makan dan berat badan karena dapat menyebabkan retensi cairan. Suplemen juga harus
dihindari pada pasien gagal jantung yang simptomatik karena manfaat yang belum terbukti secara
klinis dan adanya kemungkinan interaksi dengan pengobatan gagal jantung.3
Latihan isometrik memberikan hasil yang buruk pada pasien gagal jantung kronis, sehingga latihan
ini tidak dianjurkan pada pasien bergejala mengingat peningkatan kerja miokard yang berhubungan
dengan latihan beban. Peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri selama latihan isometrik akan
memiliki pengaruh yang tidak menguntungkan pada remodeling ventrikel.3,8,10
Di sisi lain rehabilitasi jantung yang dilakukan secara konsisten dengan latihan erobik pada kondisi
gagal jantung kronis yang stabil terbukti dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan fungsi
ventrikel kiri secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari latihana erobik pada gagal
jantung kronis bersifat periferal dan sentral.3,8,10
Endurance training (latihan ketahanan) dapat meningkatkan VO2max, fungsi hemodinamik sentral,
fungsi otonom, fungsi vaskular perifer, kekuatan otot dan kapasitas latihan pada kondisi gagal
jantung. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Smart dan kawan-kawan (2004) menemukan
bahwa peserta gagal jantung kongestif dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF) mengalami
perbaikan VO2 maksimal sebesar 17%setelah mengikuti program latihan rehabilitasi jantung
berdurasi 15-120 menit, frekuensi 1-7 sesi per minggu dan lama program 1-104 minggu, jenis
latihan berupa latihan erobik dan latihan kekuatan (strength) dengan intensitas 40-85% konsumsi
oksigen maksimal atau 45-95% denyut jantung maksimal.12
Penelitian Kitzman dan kawan-kawan (2010) melibatkan 53 partisipan gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang masih dapat dipertahankan (HFpEF) dengan fraksi ejeksi > 50%, kelas NYHA
II-III. Penelitian ini dilakukan secara prospektif, acak, di bawah supervisi selama 16 minggu dan
membagi partisipan ke dalam 2 kelompok yaitu latihan dan kontrol. Adapun kelompok kontrol
tidak mendapat program latihan sedangkan kelompok latihan mendapat program berupa latihan
dengan supervisi 3 kali per minggu selama 16 minggu (total 48 sesi). Setiap sesi berlangsung
selama 1 jam dan terdiri dari pemanasan, berjalan di atas jalur/track dan latihan ekstremitas bawah
dengan bersepeda kemudian diakhiri dengan pendinginan. Denyut jantung dan rate of perceived
exertion(RPE) dinilai secara berkala selama sesi latihan berlangsung. Selama 2 minggu pertama,
latihan diberikan 40 – 50% dari HR reserve dan durasi dinaikkan secara bertahap. Beberapa minggu
kemudian intensitas latihan dinaikkan menjadi 60 – 70% dari HR reserve dan durasi ditingkatkan
15 – 20 menit pada masing-masing latihan (berjalan dan bersepeda). Setiap 2 minggu sekali kedua
kelompok latihan dan kontrol dihubungi via telepon untuk menjaga keikutsertaan para partisipan.
Penelitian ini mendapatkan hasil peningkatan VO2 max yang signifikan pada kelompok latihan
sebesar 2,7 mL/kg/menit (p<0,001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat 67% dari
kelompok latihan mengalami peningkatan VO2 max>10% dari baseline sedangkan pada kelompok
kontrol hanya sebanyak 27% mengalami peningkatan VO2 max > 10% yang digunakan sebagai
patokan menilai perbaikan klinis. Selain itu pada kelompok latihan didapatkan pula peningkatan
signifikan dari performa latihan submaksimal yang dinilai dengan Ventilatory Anaerobic Threshold/
VAT (p=0,001) dan uji jalan 6 menit (p=0,002). Perbaikan klinis ini diikuti pula dengan perbaikan
kualitas hidup (quality of life) yaitu parameter skor fisik dengan menggunakan survei Minnesota
Living with Heart Failure Questionnaire/MLHF (p=0,003).13
Rehabilitasi jantung denganintervensi konseling pada penderita gagal jantung bertujuan antara
lain:1,8,10
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan aktivitas kehidupan sehari-hari
- Meningkatkan kualitas hidup
Untuk mencapai tujuan ini dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi harus memonitor
perkembangan kondisi pasien, gejala serta menilai tanda dekompensasi. Adanya peningkatan
berat badan ≥ 5 pound (2,267 kg) dalam 3 hari, serta perubahan gejala seperti peningkatan sesak
napas atau dispnea dan nocturnal dyspnea, harus dilaporkan ke dokter yang merawat.1,8,10
Kondisi gagal jantung perlu mendapat tatalaksana khusus karena secara patofisiologi terdapat
keterbatasan kapasitas latihan dan potensi dekompensasi. Selain itu dibutuhkan juga edukasi
tentang pengobatan, perubahan diet, pengenalan gejala dan dukungan emosional. Penurunan
curah jantung selama latihan akan meningkatan risiko hipotensi sehingga tim rehabilitasi jantung
perlu mengevaluasi respon tekanan darah lebih sering, terutama pada tahap awal program latihan
atau ketika beban latihan ditingkatkan secara signifikan.1,8,10
Toleransi latihan pada gagal jantung kongestif berhubungan dengan beberapa variabel:8,10
- Kemampuan meningkatkan denyut jantung, sebagai salah satu cara meningkatkan cardiac
output saat stroke volume sudah tidak dapat ditingkatkan.
- Kemampuan mentoleransi peningkatan tekanan pembuluh darah perifer paru tanpa adanya
dispnea
Kapasitas latihan, gejala, kelas fungsional dan VO2 max dapat ditingkatkan dengan program latihan,
bahkan pada disfungsi sistolik ventrikel. Program latihan pada pasien gagal jantung biasanya lebih
panjang dibanding pasien pada umumnya. Adaptasi yang timbul seperti pada fungsi jantung, otot
rangka, sistem sirkulasi dan sistem saraf mempengaruhi peningkatan kapasitas latihan.8,10
Keuntungan secara psikososial juga dapat dicapai dengan program latihan di mana peningkatan
kualitas hidup berhubungan dengan peningkatan kemampuan fisik.Tujuan akhir dari
penatalaksanaan gagal jantung kongestif harus mencakup perbaikan secara klinis dan simptomatis
guna meningkatkan kemampuan fungsional pasien dalam bekerja.8,10
Piepoli dan kawan-kawan (2004) menganalisis 9 dataset yang melibatkan 801 penderita gagal
jantung sistolik dan menunjukkan hasil penurunan angka mortalitas sebesar 35% pada kelompok
intervensi dibandingkan kelompok kontrol.15
Schmidt dan kawan-kawan (2010) melakukan studi terhadap 198 pasien gagal jantung kronis
yang mengikuti program rehabilitasi jantung selama 3 bulan dan diikuti 6 bulan berikutnya. Dalam
penelitian ini program rehabilitasi jantung terdiri dari 2 sesi latihan erobik dengan 45 menit per
sesi, intensitas 50% – 80% puncak VO2, latihan resistensi dan sesi relaksasi. Selain itu terdapat 12
sesi edukasi mengenai beberapa aspek gagal jantung termasuk pentingnya medikasi, konseling
diet dan manajemen kelebihan cairan. Performa pasien terlihat meningkat secara signifikan dalam
3 bulan seperti pada kapasitas latihan dari 93 + 35 W menjadi 107 + 42 ( p<0,001), puncak VO2
dari 17,1 + 4,9 min/ml/kg menjadi 19,5 + 6,8 min/ml/kg (p<0,001) dan hasil uji jalan 6 menit
426 + 146 m menjadi 478 + 127 m (p<0,001). Hasil uji jalan 6 menit pada bulan 9 masih terjadi
peningkatan menjadi 525 + 130 m (p=0,001).16
Latihan erobik diperkirakan menghambat remodeling ventrikel kiri melalui mekanisme penurunan
neurohormon vasokonstriktor atau penurunan beban hemodinamik. Terjadi perbaikan dalam 3
bulan pasca mengikuti rehabilitasi jantung, pada pemeriksaan fraksi ejeksi vertikel kiri dari 28,1%
+ 7,6% menjadi 34,3 + 10% (p<0.001), diameter ventrikel kiri end-diastolic dari 64,4+9,1 mm
menjadi 61,3+8,4 mm (p<0.001) serta BNP berkurang dari 396+422 pg/ml menjadi 277+270
pg/ml.16 Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner Minnesota Living with Heart Failure(lihat
lampiran) juga mengalami perbaikan setelah 3 bulan mengikuti program rehabilitasi jantung dari
skor 33,1+23,0 menjadi 20,1 +16,5 (p<0,001).16
- Faktor sentral:
- Disfungsi sistolik membaik
- Hemodinamik paru meningkat
- Disfungsi diastolik membaik
- Mekanisme neurohumoral akan meningkatkan kontraktilitas jantung
- Faktor perifer:
- Aliran darah menjadi normal, perfusi meningkat
- Kapasitas vasodilatasi meningkat
- Biokima otot rangka (peningkatan serat aerob tipe I dan penurunan tipe II)
- Faktor pernapasan:
- Tekanan paru menurun
- Physiologic dead space menurun
- Sinkronisasi ventilasi dengan perfusi membaik
- Kontrol respirasi membaik
- Pola pernafasan: normal
Sesak napas sebagai tanda gagal jantung awalnya dikaitkan dengan peningkatan tekanan atrium
kiri, tetapi hal tersebut tidak berkolerasi secara langsung dengan peningkatan tekanan intersitial
paru. Pernapasan cepat dan dangkal merupakan kompensasi untuk mempertahankan ventilasi yang
adekuat dari penurunan daya kembang paru. Selain itu sesak napas juga timbul dari metabolisme
anaerob otot rangka.8,10
Kelelahan yang timbul pada kondisi gagal jantung merupakan efek dari kurangnya perfusi jaringan,
kurangnya aliran darah yang berisi nutrisi, bukan berhubungan secara langsung dengan penurunan
curah jantung. Rendahnya perfusi yang menimbulkan kelelahan juga disebabkan oleh kelemahan
pembuluh darah perifer untuk dilatasi, perubahan glikolisis anaerob dan penumpukan asam
laktat.8,10
Perubahan otot rangka juga terjadi pada kondisi gagal jantung kongestif, dengan peningkatan
fast twitch type IIb fibers dan berkurangnya persentase slow twitch type I Fibers. Kapasitas enzim
oksidatif juga berkurang dan perubahan kondisi otot rangka ini terlihat pada pengurangan masa
dan kekuatan otot.2,3
Pada orang normal resistensi pembuluh darah pulmoner akan berkurang saat aktivitas, tetapi
mekanisme ini tidak terjadi pada kondisi gagal jantung. Baik resistensi pembuluh darah pulmoner
maupunfraksi ejeksi ventrikel kanan berkolerasi dengan kapasitas latihan (VO2 max) sehingga
obat-obatan yang menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dapat meningkatkan kapasitas
latihan (VO2 max) pada penderita gagal jantung.8,10
Pada gagal jantung yang stabil namun memiliki kapasitas fungsional yang rendah, latihan
sebaiknya dilakukan dengan intensitas rendah dengan durasi yang lebih panjang dan dapat
dipertimbangkanuntuk meningkatkan frekuensi latihan.1,3,8,10 Pada tahap awal 5 – 10 menit per
sesi setiap harinya cukup optimal dengan waktu pemanasan dan pendinginan yang diperpanjang.
Peningkatan kemampuan fisik akan berangsur-angsur meningkat sesuai dosis latihan (intensitas
rendah) dalam jangka waktu yang panjang. Regimen ini merupakan protokol yang aman untuk
penderita gagal jantung kongestif, dan selama latihan tekanan darah harus diperiksa secara
serial.1,2,8,10,13,17
Perlu diperhatikan bagi penderita gagal jantung untuk membatasi asupan makanan sebelum latihan
dan menghindari konsumsi alkohol karena dapat menekan kontraksi miokard, juga penurunan
berat badanmerupakan faktor penunjang meningkatnya kapasitas latihan.1,2,8,10,13,17
Program latihan pada gagal jantung kongestif terdiri dari 4 jenis latihan:1,10
1. Latihan erobik: merupakan latihan yang melibatkan aktivitas kelompok otot besar.
Tujuan:
- Meningkatkan ambang batas VO2 maksimal dan ventilasi
- Meningkatkan kemampuan aktivitas dan stamina/ketahanan
Dosis (FITT):
- Frekuensi: 3-7 hari/minggu
- Intensitas: 40-70% VO2 maksimal atau Heart Rate reserve
- Time: 20-40 menit/sesi
- Type: walking, jogging, cycling, treadmill
- Skala Borg RPE 11-16
Waktu: sesuai dengan fase rehabilitasi gagal jantung
Fase Inpatient: sesuai dengan kelas NYHA (New York Heart Association)1,17
- Kelas I
- Definisi: adalah tidak ada keterbatasan pada aktivitas fisik. Pada aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan fatigue, palpitasi atau dispnea.
- Target latihan: Aktivitas ≥ 6 METs
- Kelas II
- Definisi: terdapat sedikit keterbatasan pada aktivitas fisik. Merasa nyaman dengan
istirahat, namun dengan aktivitas fisik biasa menyebabkan fatigue, palpitasi dan dispnea.
- Target latihan: Aktivitas 5-6 METs
- Kelas III
- Definisi: tampak jelas keterbatasan pada aktivitas fisik. Merasa nyaman dengan istirahat,
namun dengan aktivitas fisik ringan menyebabkan fatigue, palpitasi dan dispnea.
- Target latihan: Aktivitas 3-4 METs
- Kelas IV
- Definisi: tidak mampu melakukan aktivitas fisik tanpa adanya ketidaknyamanan. Gejala
gagal jantung timbul pada saat istirahat. Bila melakukan aktivitas fisik maka rasa tidak
nyaman semakin berat.
- Target latihan: Aktivitas 1-2 METs
Terdapat 3 tahap kemajuan latihan yang perlu diperhatikan yaitu tahap awal, tahap perbaikan dan
tahap pemeliharaan.1,13,17
Studi Belardinelli dan kawan-kawan (2012) meneliti kapasitas latihan dan kualitas hidup pada
gagal jantung NYHA kelas II dan III melakukan program latihan yang diikuti selama periode 10
tahun dan membandingkan dengan kelompok kontrol. Jumlah peserta penelitian sebanyak 123
orang penderitagagal jantung kongestif yang sudah stabil selama 3bulan terakhir yang kemudian
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 63 kelompok latihan dan 60 kelompok kontrol. Kelompok
latihan diberikan dosis yang terdiri dari pemanasan dan peregangan selama 15 sampai 20 menit,
dilanjutkan dengan latihan erobik seperti sepeda ergometer, treadmill atau keduanya. Latihan
dilakukan sebanyak 3 sesi per minggu di rumah sakit selama 2 bulan, dilanjutkan 2 sesi yang
disupervisi perminggunya sampai akhir tahun. Setiap enam bulan peserta diminta untuk latihan di
rumah sakit lalu dilanjutkan di klub jantung untuk sampai akhir tahun. Intensitas latihan 60 % dai
VO2 maksimal untuk 2 bulan pertama dnan 70% VO2maksimal sampai akhir penelitian. Kelompok
kontrol tidak diberikan program latihan formal dan diminta untuk meneruskan kegiatan sehari-
hari seperti biasanya. Peserta diperbolehkan untuk melakukan kegiatan erobik seperti berjalan,
bersepeda dan berenang selama tidak lebih dari 30 menit namun disarankan untuk menghindari
latihan intensitas tinggi.18
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa VO2 maksimum pada kelompok latihan dapat dipertahankan
lebih dari 60% selama perjalanan 10 tahun penelitian sedangkan pada kelompok kontrol <55%
dengan nilai p < 0,01. Selain itu kualitas hidup kelompok latihan jauh lebih baik dibandingkan
dengan kelompok kontrol dengan nilai skor kuesioner kualitas hidup 43±12 vs 58±14 (p < 0,05).
Jumlah peserta yang masuk rawat selama penelitian 10 tahun jauh lebih rendah pada kelompok
latihan (p < 0,001) dan mortalitas jantung juga lebih rendah pada kelompok latihan dibaningkan
dengan kelompok kontrol (p 0,001).18
Kesimpulan pada studi ini menyatakan bahwa program latihan jangka panjang (10tahun) aman
untuk dilakukan dan dapat menghasilkan perbaikan dari kapasitas fungsional dan kualitas hidup
penderita gagal jantung kronis.18
Hal yang perlu diperhatikan dalam uji latih pada gagal jantung:1,10
- Uji jalan 6 menit merupakan suplemen yang efektif untuk uji latih.
- Pemilihan protokol treadmill yang dianjurkan biasanya menggunakan Naughton sesuai dengan
keamanan pasien.
- Dokter harus mewaspadai kemungkinan hipotensi dicetuskan aktivitas, disritmia yang
signifikan, inkompeten kronotropik.
- Gejala yang mengindikasikan gagal jantung kongestif yang tidak stabil dan tidak terkompensasi
merupakan kontraindikasi.
- Terminasi latihan harus difokuskan pada gejala subjektif dan respon objektif seperti keadaan
hemodinamik, bukan berdasarkan target denyut jantung.
Uji latih kardiopulmoner/cardiopulmonary exercise testing semakin sering digunakan untuk evaluasi
pasien gagal jantung, uji latih memberikan data yang objektif, sesuai dan aman untuk pasien selain
itu uji latih juga dapat mengevaluasi hasil pengobatan, perubahan kapasitas fungsional setelah
latihan dan terapi intervensi lainnya. Uji latih dapat membedakan penyebab penyakit baikdari
jantung atau dari paru-paru.1,10
Berdasarkan Veterans Administration Cooperative Study – Vasodilator Heart Failure Trial, komplikasi
uji latih jarang sekali terjadi pada pasien gagal jantung yang stabil dan menghilangkan stigma bahwa
uji latih membahayakan pasien. Tidak ada efek samping selama 3000 uji latih pada 607 pasien.
Hipotensi yang dicetuskan aktivitas sangat jarang terjadi walaupun dalam terapi vasodilator. Aritmia
ventrikular juga sangat jarang terjadi hanya sekitar 2%. Terminasi uji latih umumnya ditentukan
dari gejala yang berat, sedangkan gejala yang sedang menjadi tolak ukur untuk menghentikan
aktivitas sehari-hari.1,10 Protokol uji latih kontinyu yang meningkatkan intensitas secara perlahan
terus menerus dapat menentukan performa maksimum pasien dalam mengikuti latihan.1,10
Pemeriksaan analisa gas respirasi dapat melengkapi uji latih, pengukuran kadar asam laktat juga
dapat berguna.1,10
Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan kapasitas fungsional pada uji latih (Weber Functional
Class for Heart Failure).19
Terdapat 4 metode uji latih yang digunakan pada pasien yaitu metode aerobic power, endurance,
strength dan kapasitas fungsional.8
2. Ketahanan (endurance)
Metode uji latih stamina dapat menggunakan uji jalan 6 menit dapat menilai jarak yang
ditempuh pasien dalam waktu 6 menit. Uji ini sangat berguna dalam program latihan.
3. Kekuatan (strength)
Metode ini menggunakan tes isotonik. Kekuatan kontraksi otot mengakibatkan gerakan yang
akan meningkatkan beban volume ke ventrikel kiri sehingga kekuatan pompa akan meningkat
secara signifikan yang pada akhirnya bisa dijadikan indikator untuk menilai performa fisik.
4. Kapasitas fungsional (functional capacity)
Metode uji latih yang menilai gaya hidup pasien dengan cara melihat kemampuan dan cara
pasien dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
- Perubahan fungsional
- Perbaikan kelas fungsional NYHA
- Perbaikan skor kualitas hidup
- Penurunan lama masa rawat inap
- Perubahan performa latihan
- Peningkatan jarak uji berjalan 6 menit
- Peningkatan durasi latihan treadmill
- Peningkatan VO2 maksimal
- Peningkatan ambang batas anaerobik
- - Perubahan jantung
- Peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri
- Penurunan volume atrium kiri
- Penurunan end-diastolic ventrikel kiri dan ukuran end-systolic
- Penurunan keterlambatan mekanis intraventrikuler
- Penurunan regurgitasi mitral
- Perbaikan indeks performa miokardial
- Pemendekan interval QRS
Pada gagal jantung dapat terjadi cardiac dyssynchrony. Interval AV (atrioventrikular) yang
memanjang akan memperlambat kontraksi sistolik yang kemudian dapat mengganggu pengisian
diastolik awal (early diastolic filling). Kontraksi ventrikel yang lambat akan menyebabkan tekanan
diastolik ventrikel kiri melebihi tekanan atrial karena tekanan atrium menurun pada saat atrium
relaksasi sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral diastolik. Penurunan preload ventrikel akan
menyebabkan kontraktilitas ventrikel kiri menurun karena mekanisme Starling menghilang.20
Keterlambatan konduksi inter maupun intra ventrikular akan menyebabkan kontraksi yang
tidak sinkron kedua dinding ventrikel (ventricular dyssynchrony), mengganggu efisiensi jantung,
menurunkan isi sekuncup dan tekanan darah sistolik. Fungsi otot papillare yang tidak terkoordinasi
dengan baik dapat menyebabkan semakin memperburuk functional systolic mitral regurgitation
sehingga menyebabkan remodelling ventrikel kiri yang buruk (adverse LV remodelling).20
Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) berfungsi untuk mengembalikan sinkronisasi AV, inter dan
intra venrikular, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, menurunkan functional mitral regurgitation dan
memicu LV reverse remodelling, meningkatkan durasi waktu pengisian ventrikel kiri, ejeksi fraksi
ventrikel kiri, menurunkan end-diastolic volume dan end systolic volume ventrikel kiri, regurgitasi
mitral dan septal dyskinesis.20
Hasil penelitian ini mendapatkan 62,5% atau 30 orang memiliki respon baik pasca CRT berupa
penurunan volume sistolik akhir ventrikel kiri (left ventricle end-systolic volume/LVESV) > 15%
dibandingkan nilai awal sebelum tindakan CRT. Enam bulan setelah tindakan tersebut uji latih
dengna metode yang sama pun dilakukan dan didapatkan hasil berupa peningkatan heart rate
recovery yang signifikan dibandingkan dengan baseline HRR 1, 2 dan 3 dengan masing-masing
p=0,001.21 Penelitian ini juga mendapatkan adanya korelasi antara heart rate recovery dengan
perbaikan remodelling ventrikel kiri yang dinilai dari penurunan volume sistolik akhir ventrikel
kiri (LVESV), di mana HRR 1 dan LVESV p=0,001; HRR 2 dan LVESV p=0,033; HRR 3 dan LVESV
dengan nilai p=0,001).20
Pollentier dan kawan-kawan dalam sebuah systemic review memfokuskan pada reliabilitas dan
validitas uji jalan 6 menit untuk menilai kapasitas fungsional pada pasien dengan gagal jantung
kongestif. Hasilnya adalah terdapat korelasi sedang sampai baik, uji jalan 6 menit dapat memprediksi
VO2 peak 83% dan 91% akurat bila jarak tempuh kurang dari 450 hingga 490 meter berturut-
turut. Korelasi yang lebih kuat terlihat bila pasien berjalan kurang dari 300 meter dalam 6 menit
atau memmilki VO2 peak yang rendah (<10 ml/kg/menit).
Daftar Pustaka
1. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
2. Fuster V, Walsh RH and Harrngton RA. Hurst’s the Heart. 13th edition. USA: Mc-Graw Hill
Companies, 2011;2(6)125-127.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012.
4. Mahmood SS, Levy D, Vasan RS, et al. The Framingham Heart Study and the Epidemiology of
Cardiovascular Disesase: A historical Perspective. USA: NCBI, US National Library of Medicine.
2013.
5. Kannel, D’Agostino, Silbershatz, et al. Congestive Heart Failure in Framingham Heart Study.
Arch Intern. Med. 1999.
Berdasarkan studi epidemiologis didapatkan prevalensi penyakit arteri perifer berkisar antara 11%
sampai 16% dari populasi 55 tahun ke atas. Penyakit ini menurut estimasi telah diderita oleh 27
juta orang di benua Eropa dan Amerika utara. Di Jerman sekitar 1,8 juta orang memiliki penyakit
arteri perifer yang simtomatis dan di antaranya terdapat 50.000 sampai 80.000 orang mengalami
iskemi kritis pada anggota gerak (critical limb ischemia). Adapun gambaran klinis yang umum terjadi
pada penyakit arteri perifer adalah klaudikasio intermiten dan iskemia kritis. Pada kondisi iskemia
kritis memiliki risiko tinggi hilangnya anggota gerak dan kejadian vaskular fatal lainnya dengan
tingkat mortalitas 20-25% pada tahun pertama setelah timbulnya gejala dan tingkat kelangsungan
hidup lima tahun yang kurang dari 30%.2
Trombosis vena yang terbagi menjadi Deep Vein Thrombosis (DVT) dan emboli paru, terjadi pada
1 dari 1000 orang pada populasi dewasa tiap tahunnya. Angka kejadiannya lebih tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita. Sekitar 2/3 kasus trombosis vena adalah DVT dan sisanya merupakan
kasus emboli paru dengan atau tanpa DVT.3
Komplikasi mayor dari trombosis vena antara lain kematian, sindroma pasca trombosis rekuren dan
perdarahan akibat penggunaan antikoagulation. Penyakit ini juga berhubungan dengan kualitas
hidup yang menurun terutama ketika terjadi sindroma pasca trombosis. Kematian pada DVT sekitar
6% terjadi dalam kurun waktu 1 bulan.3 Deep Vein Thrombosis (DVT) dan tromboemboli menjadi
penyebab yang utama untuk morbiditas dan mortalitas pasien tirah baring, rawat inap maupun
individu yang sehat. Data menunjukkan insidensi DVT sekitar 80 kasus per 100000 populasi tiap
tahunnya. Sekitar 1 dari 20 orang berisiko terkena DVT dalam hidupnya. Di Amerika Serikat sudah
hampir 600000 pasien yang masuk perawatan rumah sakit dengan diagnosis DVT tiap tahunnya.4
Sekitar 1/3 populasi atau 33% memiliki risiko kejadian rekuren dalam kurun waktu 10 tahun.5
Deep Vein Thrombosis (DVT) terjadi pada individu diatas usia 40 tahun dan kejadiannya meningkat
dengan bertambahnya usia. Kejadian DVT lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 1.2:1.4
Istilah chronic venous insuffiiency (CVI) adalah suatu kondisi patologis pada sistem vena ekstremitas
bawah dengan hipertensi vena yang memiliki manifestasi klinis seperti edema, perubahan kulit
dan ulserasi kulit. Prevalensi varises diperkirakan antara 5-30% populasi dewasa dan lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingan laki-laki dengan perbandingan 3:1.6 The San Valentino
Screening project menemukan bahwa diantara 30000 subjek yang dinilai secara klinis dan
ultrasonografi dupleks, prevalensi varises sebesar 7% dan CVI simptomatik 0.86%.7 Di Amerika
serikat diperkirakan ada 2,5 juta orang yang menderita CVI dan sekitar 20% menderita komplikasi
berupa ulkus vena dan biasanya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Prognosis ulkus vena secara
keseluruhan buruk.8
- Tunika intima adalah lapisan paling dalam dari pembuluh darah yang terdiri dari satu lapisan
endotel dan jaringan ikat berisi serat elastin disekitarnya. Pada arteri terdapat satu lapisan
yang membungkus tunika intima yaitu membrana elastik interna yang berisi serat elastin
tebal.8,9
- Tunika media adalah lapisan tengah dari pembuluh darah. Lapisan ini terdiri dari jaringan otot
polos dan jaringan ikat longgar. Lapisan ini dipisahkan dari tunika eksterna oleh membrana
elastik eksterna yang berisi serat elastin tipis. Otot polos yang ada di tunika media ini
bertanggung jawab atas proses vasodilastasi atau vasokonstriksi pembuluh darah. Ketika ia
berkontraksi diameter pembuluh darah akan mengecil dan begitupula sebaliknya.8
- Tunika eksterna atau tunika adventisia adalah lapisan terluar dari pembuluh darah dan berisi
jaringan ikat. Pada arteri, akan terdiri dari serat kolagen dengan beberapa serat elastin yang
tersebar sedangkan pada vena tunika eksterna akan lebih tebal dibandingkan dengan tunika
media dan berisi jaringan dari serat elastin serta sel otot polos.8,9
Arteri
Dinding arteri sama seperti pembuluh darah pada umumnya memiliki 3 lapisan yaitu tunika intima,
tunika media dan tunika eksterna, bedanya tunika media pada arteri terdiri dari lapisan otot elastis
tebal sehingga memungkinkan untuk meregang saat ada perubahan tekanan tanpa mengakibatkan
kerusakan.8,9
Arteri elastis merupakan arteri terbesar yang beragam dimulai dari pembuluh darah besar seperti
aorta dan trunkus pulmonalis hingga cabang-cabangnya (arteri pulmoner, karotis komunis,
subklavia dan iliaca komunis). Arteri elastis memiliki diameter terbesar namun memiliki dinding
pembuluh darah yang relatif lebih tipis (sekitar sepersepuluh diameter total), dengan lamina elastik
interna dan eksterna. Hal ini memudahkan dalam mengakomodasi pengangkutan darah, di mana
saat meregang (stretch) serat elastik di dalam menyimpan energi mekanik yang berfungsi sebagai
cadangan tekanan dan saat mengendur (recoil) energi mekanik tersebut diubah menjadi energi
kinetik agar darah tetap dapat bergerak meskipun ventrikel sedang relaksasi.8,9
Anastomosis
Sebagian besar jaringan tubuh mendapatkan aliran darah lebih dari 1 arteri dan percabangan
beberapa arteri ini disebut sebagai anastomosis, di mana hal ini bertujuan untuk memastikan
agar setiap jaringan mendapat aliran darah yang adekuat. Apabila aliran darah berhenti untuk
beberapa saat misalnya dikarenakan pergerakan normal yang menekan pembuluh darah atau
adanya penyakit, cidera atau operasi sebagai penyebabnya maka sirkulasi darah ini tidak ikut
berhenti juga. Adanya jalur alternatif atau disebut juga sirkulasi kolateral ini tidak hanya terjadi
pada arteri namun juga terjadi pada arteriol dan vena.8
Arteriola
Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat arteri kecil atau arteriol sebanyak empat ratus juta,
dengan ukuran antara 15 µm sampai dengan 30 µm. Arteriol memiliki tunika intima yang tipis, lamina
elastik interna yang berpori, tunika media dengan 1-2 lapis otot polos dan tunika eksterna yang
mengandung jaringan penyambung kaya akan saraf simpatis. Dalam sirkulasi darah arteriol berperan
dalam regulasi aliran darah dari arteri ke kapiler dengan mengatur resistensi sehingga arteriol sering
dikenal sebagai pembuluh darah resisten. Dalam pembuluh darah resistensi terjadi karena friksi
antara darah dengan dinding dalam pembuluh darah sehingga semakin kecil diameter pembuluh
darah, semakin besar friksi terjadi, semakin besar pula resistensi. Oleh karena itu perubahan ukuran
diameter arteriol menghasilkan perubahan hemodinamik berupa tekanan darah yang berbeda.8,9
Kapiler
Sebagai pembuluh darah terkecil yakni dengan diameter 5-10 µm, kapiler menghubungkan aliran
darah arteri dengan vena. Kapiler dapat ditemukan di setiap sel tubuh dan diperkirakan dua
puluh juta jaringan kapiler tersebar dalam tubuh. Kendati demikian, jumlah kapiler bergantung
dari aktivitas metabolik area jaringan yang diperdarahi, di mana pada bagian dengan tingkat
metobolik tinggi seperti otot, otak, hepar, renal dan sistem saraf memiliki kapiler yang lebih
banyak dibandingkan jaringan dengan tingkat metabolik rendah seperti tendon dan ligamen. Pada
beberapa jaringan tubuh tidak terdapat kapiler seperti di kornea, lensa mata dan kartilago.8
Venula
Venula mendrainase darah kapiler dan memulai aliran balik darah ke jantung. Postcapiler venula
adalah venula terkecil dan venula merupakan lokasi pertukaran nutrien dan sisa metabolisme yang
penting. Postcapiler venula nanti menjadi venular muscular yang ukurannya lebih besar.8,9
Kerja pompa jantung merupakan faktor utama yang membantu aliran darah vena balik ke jantung.
Kontraksi otot rangka pada tungkai bawah juga membantu dalam meningkatkan aliran darah vena
jantung. Tekanan darah di vena cukup rendah dan tidak dapat melawan arah gaya gravitasi, aliran
darah ke jantung berjalan lambat bahkan dapat mengalir balik sehingga banyak vena terutama di
ekstremitas bawah memiliki katup. Katup merupakan lipatan dari tunika intima yang menonjol ke
dalam lumen pembuluh darah dan lipatannya mengarah sesuai dengan arah aliran darah. Katup
vena berfungsi untuk mencegah backflow aliran darah vena. Selama katup berfungsi dengan baik,
maka segala gerakan yang mengkompresi vena akan mendorong darah ke jantung. Hal ini akan
memperbaiki venous return.8,9
Vena terbagi menjadi vena superfisialis, vena dalam dan vena perforata. Vena superfisialis berjalan
melalui lapisan subkutan dan sepanjang pembuluh darah vena superfisialis terbentuk sambungan
kecil atau anastomosis yang disebut sebagai vena perforate. Vena perforata akan menyambungkan
vena superfisialis dengan vena dalam.8,9
Venous return
Venous return adalah volume darah yang mengalir balik ke jantung melalui sistem vena dan terjadi
karena tekanan yang dibentuk oleh kontraksi ventrikel kiri. Perbedaan tekanan antara venula dan
ventrikel kanan cukup kecil namun venous return ke jantung dapat secara otomatis cukup terjadi.
Bila tekanan di atrium atau ventrikel kanan meningkat maka venous return akan menurun. Salah
satu penyebab tekanan pada atrium kanan meningkat adalah katup trikuspid yang inkompeten
sehingga terjadi regurgitasi saat ventrikel berkontraksi. Hal ini akan menyebabkan penurunan
venous return dan penumpukan darah pada sistem vena.8,9
Selain jantung, terdapat dua mekanisme lain yang membantu memompa darah vena dari tungkai
bawah ke jantung, yaitu pompa otot rangka dan pompa respiratori.
- Pompa respiratori
Ketika inspirasi rongga toraks akan berekspansi sehingga menurunkan tekanan pada rongga
pleural. Pada saat penurunan tekanan ini, udara akan ditarik ke paru dan darah akan ditarik ke
vena kava inferior serta atrium kanan dari vena kecil di rongga abdomen dan tungkai bawah.
Ketika ekspirasi, rongga toraks mengecil, tekanan internal meningkat memaksa udara di paru
keluar dan mendorong darah vena ke atrium kanan.8,9
Arteri bercabang menjadi arteriol yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi kapiler, di mana
terjadi pertukaran darah dan sel-sel di sekitar. Selanjutnya kapiler kembali menyatu menjadi
venula dan kumpulan venula bergabung menyatu menjadi vena kecil yang keluar dari organ dan
seterusnya membentuk vena yang lebih besar mengalirkan darah ke jantung.10
Laju aliran darah atau blood flow rate berbanding lurus dengan gradien tekanan dan berbanding
terbalik dengan resistensi pembuluh darah dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:10
F = ΔP
R
Keterangan:
ΔP : gradien tekanan
Gradien tekanan merupakan perbedaan tekanan antara bagian awal dan akhir pembuluh.
Kontraksi jantung menimbulkan tekanan terhadap aliran darah, namun karena adanya resistensi
atau tahanan, tekanan darah berkurang saat darah mengalir melalui pembuluh darah. Tekanan
Selain gradien tekanan dan resistensi pembuluh darah terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi
laju aliran darah, yakni ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang
ditimbulkan oleh friksi antara cairan yang mengalir dengan pembuluh yang stasioner. Pada saat
terjadi peningkatan resistensi terhadap aliran, darah akan menjadi sulit melewati pembuluh
sehingga aliran berkurang, selama gradien tekanan tidak berubah. Apabila peningkatan resistensi
terjadi diikuti dengan gradien tekanan yang meningkat maka tidak terjadi perubahan laju aliran
darah. Dengan demikian di saat pembuluh memberikan resistensi yang lebih besar maka jantung
akan bekerja lebih keras untuk mempertahankan sirkulasi agar adekuat.10
Adapun resistensi atau tahanan pembuluh darah dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kekentalan
darah atau viskositas, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah. Viskositas mengacu
kepada friksi yang timbul antara molekul suatu cairan saat bergesekan satu sama lain saat cairan
mengalir. Semakin besar viskositas, semakin besar resistensi. Saat terjadi gesekan/friksi antara
komponen darah dengan lapisan dalam pembuluh darah saat mengalir, semakin besar pula luas
permukaan pembuluh darah yang kontak dengan komponen darah sehingga semakin besar
resistensi terhadap aliran darah. Luas permukaan ditentukan oleh panjang dan diameter pembuluh,
namun karena panjang pembuluh darah konstan maka penentu utama resistensi adalah diameter
pembuluh darah.10
Banyak pasien dengan penyakit arteri perifer hanya menunjukkan beberapagejala sehingga penting
untuk mencari faktor risiko. Faktor-faktor risiko penyakit vaskular perifer yang penting adalah
merokok, diabetes, hipertensi dan adanya riwayat penyakit vaskular di organ tubuh lain seperti
stroke atau penyakit jantung koroner. Pada penyakit perifer dapat ditemukan gejala seperti dingin,
kebas dan nyeri bahkan ada saat keadaan diam. Nyeri, pucat, denyut yang berkurang atau hilang,
parastesia, perubahan warna pada saat terpapar dingin,perabaan kulit yang dingin dan kelemahan
adalah hal-hal yang perlu dievaluasi pada penyakit vaskular perifer.11
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan pada penyakit vaskular perifer antara lain:
Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan rutin pada jantung, cari tanda-tanda anemia atau sianosis, gagal jantung
serta bukti penyakit vaskular (tabel 7.1) Kemudian dilakukan pemeriksaan pada denyut arteri.
Ekstremitas atas
Inspeksi kedua ekstremitas atas dari bahu sampai jari jemari dan nilai ukuran, simetris, adanya
bengkak atau tidak, warna kulit dan kuku serta tekstur kulit. Palpasi denyut nadi radialis dan
brakialis pada kedua sisi. Bila ada keraguan mengenai denyut yang dirasakan, palpasi denyut nadi
pasien dan diri sendiri secara bersamaan.
Bila derajat amplitudo denyut nadi dengan sistem skala seperti berikut:11
Arteri radialis dan femoralis dengan derajat amplitudo +4 menunjukkan adanya insufisiensi
aortik dan ketidaksimetrisan denyut nadi biasanya disebabkan oleh oklusi arteri atau emboli.
Periksakan tekanan darah pada kedua lengan karena tidak sedikit pasien dengan penyakit arteri
perifer juga dapat memiliki penyakit arteri subklavia yang asimtomatik. Penyakit arteri subklavia
atau subclavian steal syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran darah retrograde di
arteri vertebral akibat stenosis atau penyumbatan arteri subklavia proksimal ipsilateral. Penyebab
penyakit arteri subklavia paling sering adalah aterosklerosis. Penyakit arteri subklavia biasanya
asimptomatik dan tidak membutuhkan terapi spesifik selain penatalaksanaan etiologi. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan perbedaan tekanan darah pada kedua ektremitas atas sebesar >15
mmHg, penurunan derajat amplitudo pulsasi arteri pada sisi ekstremitas yang terkena dan bruit
pada fossa supraklavikular. Perbedaan sampai 10 mmHg pada tekanan sistolik adalah normal.13,14
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas dilakukan inspeksi untuk menilai ukuran, kesimetrisan,
pembengkakan, dilatasi vena, pigmentasi, ruam, luka, ulkus, perubahan kulit serta tekstur pada
kulit. Palpasi denyut pada artari femoralis, arteri popliteal, arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior.11
Pada penyakit vaskular perifer perlu dilakukan palpasi arteri perifer pada femoralis, tibialis, dorsalis
pedis dan auskultasi untuk mencari adanya bruit. Selain itu periksa adanya edema perifer dengan
cara menekan daerah pretibial, ketika dilepaskan akan terbentuk lekukan bekas penekanan jari
di daerah tersebut yang disebut sebagai edema pitting. Kemudian nilai apakah edema tersebut
adalah edema pitting cepat atau lambat (>40 detik). Edema pitting cepat berhubungan dengan
kadar albumin normal yang biasanya disebabkan oleh hipertensi sistem vena. Hipertensi sistem
vena adalah suatu keadaan dimana tekanan pada sistem vena meningkat akibat aliran vena yang
tidak adekuat yang dapat disebabkan oleh kelainan jantung maupun non jantung.11,15
Hipertensi sistem vena dibagi menjadi dua yaitu yang disebabkan karena kelainan sistemik
seperti gagal jantung kongestif, penyakit perikardial, regurgitasi trikuspid dan kelainan regional
seperti sindrom vena kava inferior, trombosis vena, insufisiensi sistem vena tungkai bawah.
Untuk membedakannya biasanya pada kelainan regional sifatnya kronik dan bilateral.11,15 Pada
trombosis vena dalam biasanya dapat ditemukan rasa nyeri pada tungkai, bengkak, pelebaran
vena superfisial dan kulit biasanya teraba hangat. Ulkus pada tungkai paling sering disebabkan
oleh stasis vena dan biasanya terdapat pigmentasi, batas ulkus yang tidak jelas, edema dan tanda
radang. Sedangkan oklusi arteri perifer akut biasanya disertai dengan gejala nyeri, denyut nadi
perifer yang melemah atau menghilang, kulit yang teraba dingin, kesulitan menggerakkan tungkai
dan adanya kesemutan.11,15
Varises pada tungkai diperiksa dengan inspeksi pada vena safena di daerah inguinal sampai
ke bagian bawah medial kaki. Periksa adakah vena superfisialis yang melebar dan melengkung
(tortuous).Palpasi vena yang keras menandakan trombosis, bila palpasi terasa lembek dan nyeri
menandakan tromboflebitis. Untuk memeriksakan katup vena femoralis dapat dilakukan tes batuk.
Letakkan jari pada vena safena magna yang terletak medial dari arteri femoralis. Kemudian minta
pasien untuk batuk. Bila terdapat thrill berarti kemungkinan ada gangguan katup vena.11,15
Penyakit arteri perifer sebagian besar memiliki faktor risiko berupa usia tua, merokok riwayat
diabetes, dislipidemia, hipertensi dan hiperkromosisteinemia. Prevalensi klaudikasio intermiten
pada usia antara 60 dan 65 tahun sebesar 35% dan meningkat menjadi 70% pada usia 70 sampai
75 tahun. Begitu pula dengan insiden klaudikasio intermiten antara usia 30 dan 44 tahun berkisar
6 per 10.000 pria dan 3 per 10.000 wanita yang meningkat menjadi 61 per 10.000 pria dan 54
per 10.000 wanita pada usia antara 65 dan 74 tahun.16,18,19 Tidak hanya faktor usia, kebiasaan
merokok juga memiliki kaitan yang sangat erat, di mana perokok memiliki risiko empat kali lebih
besar terkena penyakit arteri perifer dan tiga sampai sepuluh kali lipat mengalami klaudikasio
intermiten dibandingkan yang tidak merokok. Risiko terjadinya amputasi dan mortalitas yang
tinggi ditemukan pada perokok berat.16,18,19
Berkaitan dengan peningkatan risiko amputasi, penderita penyakit arteri perifer dengan riwayat
diabetes berisiko sepuluh kali lebih besar mengalami amputasi dibandingkan yang tidak memiliki
riwayat diabetes. Hal ini dikarenakan adanya mikroangiopati dan neuropati terjadi sehingga
memperburuk infeksi dan menurunnya respon terhadap perbaikan luka. Penderita diabetes
dengan penyakit arteri perifer tungkai bawah memiliki risiko mengalami amputasi sebesar tujuh
sampai lima belas kali lipat lebih besar daripada yang tidak memiliki riwayat diabetes.16,19
Dibandingkan dengan diabetes dan kebiasaan merokok, hipertensi memegang peranan sebagai
faktor risiko lebih rendah. Kendati demikian, terdapat peningkatan risiko penyakit arteri perifer
dua kali sampai empat kali lipat pada penderita hipertensi dibandingkan yang tidak ada riwayat
hipertensi. Sedangkan untuk dislipidemia, kolesterol total dan HDL merupakan prediktor yang
kuat, di mana peningkatan kolestrol total dan penurunan HDL berkaitan dengan mortalitas
penyakit jantung dan pembuluh darah yang tinggi. Setiap peningkatan 10 mg/dL kolesterol total
meningkatkan risiko penyakit arteri perifer 5% sampai 10%.16,19
Klasifikasi
Penyakit arteri perifer diklasifikasi menurut berat ringannya gejala dan abnormalitas yang didapat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Berikut adalah klasifikasi menurut Fontaine dan Rutherford
yang mendeskripsikan penyakit arteri perifer dalam beberapa stadium serta progresivitasnya.16,19
Pemeriksaan penunjang
- Ankle Brachial Index (ABI). Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
with Peripheral Arterial Disease tahun 2005 dan 2011, pemeriksaan ABI saat istirahat
direkomendasikan untuk mendiagnosis suspek penyakit arteri perifer tungkai bawah (individu
dengan gejala nyeri kaki, luka yang tidak sembuh, pasien usia 65 tahun atau lebih, pasien
usia 50 tahun atau lebih dengan riwayat diabetes atau merokok). Teknik pemeriksaan ini
sederhana, tidak mahal dan tidak invasif, yaitu dengan membandingkan tekanan darah sistolik
kedua arteri brakialis dengan arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior yang dilakukan dalam
posisi terlentang/supine selama 10 menit.1,16,20 Cara pengukuran dilakukan dengan meletakkan
pneumatic cuff di sekitar ankle, kemudian dinaikkan di atas tekanan sistolik laluditurunkan
secara perlahan kemudian onset aliran dideteksi menggunakan Ultrasonografi (USG) Doppler
pada dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior sebagai perwakilan dari tekanan darah sistolik
pada pergelangan kaki atau ankle. Normalnya tidak didapatkan perbedaan pada tekanan sistolik
kedua lengan, atau perbedaan minimal kurang dari 12 mmHg. Apabila terdapat perbedaan
tekanan sistolik yang cukup signifikan di antara kedua lengan, kemungkinan terdapat stenosis
arteri subklavia atau axillaris pada lengan yang memiliki tekanan sistolik lebih rendah.1,16,10
Tekanan sistolik arteri brakialis dapat dinilai dengan stetoskop untuk mendengar bunyi atau
menggunakan Doppler untuk mendengar aliran saat deflasi cuff. Nilai normal dari pengukuran
ABI adalah 1,00 – 1,40. Dikatakan abnormal bila nilai ABI kurang dari 0,90 dengan kategori
ringan-sedang antara 0,40 – 0,90 dan berat bila kurang dari 0,40. Adapun penilaian pengukuran
ABI ini dilakukan dengan menggunakan 2 desimal. Penderita klaudikasio umumnya memiliki
nilai ABI 0,50 – 0,90 dan Critical Limb Ischemia (CLI) dengan nilai ABI kurang dari 0,40.1,16,20
Selama uji latih menggunakan treadmill yang perlu dicatat adalah waktu onset munculnya gejala,
keterlibatan otot, ada tidaknya gejala koroner dan total waktu berjalan. Uji latih dihentikan bila
muncul gejala iskemia miokard (yang ditandai dengan respon tekanan darah abnormal, depresi
segmen ST lebih dari 2 mm, munculnya disritmia). Setelah menyelesaikan uji latih treadmill pasien
diminta untuk tidur terlentang dan dilakukan pemeriksaan ABI setiap 1 menit sekali sampai nilai
kembali ke baseline. Pada kondisi normal nilai ABI meningkat seiring lamanya waktu istirahat,
sedangkan bila terjadi stenosis nilai ABI justru mengalami penurunan.1,16
Apabila treadmill tidak tersedia, uji latih dapat dilakukan dengan uji fleksi plantar pedal. Berjalan
di koridor atau dikenal sebagai uji berjalan 6 menit dinilai berpotensi untuk mengukur kapasitas
berjalan terutama untuk usia tua dan yang tidak dapat melakukan uji treadmill.1,16
Arteriosklerosis obliterans
Penyakit oklusi arteri dapat memiliki manifestasi beragam karena dipengaruhi oleh perjalanan
penyakit, pembuluh darah kolateral, penyakit komorbid dan aktivitas fisik. Penyakit oklusi arteri
perifer pada penderita yang aktif umumnya memiliki gejala klaudikasio intermiten sedangkan pada
yang kurang aktif (inactive) gejala yang timbul umumnya nyeri saat beristirahat,kemerahan kulit,
ulkus dan gangren. Adapun istilah yang lebih tepat menggambarkan gejala nyeri saat istirahat,
ulkua dan gangren adalah iskemik kronis dari tungkai (chronic limb ischemic / CLI). 1,16
Berbeda dengan klaudikasio, pasien dengan CLI memiliki perfusi saat istirahat (resting perfusion)
yang tidak adekuat dalam menjaga kelangsungan hidup jaringan di sisi lain klaudikasio intermiten
menandakan adanya suplai darah yang tidak adekuat dari arteri yang memasok otot terutama saat
beraktivitas. Hal ini biasanya terjadi pada penyakit oklusi arteri kronik atau kondisi arteriospastik
berat. Gejala klaudikasio dideskripsikan sebagai rasa baal, kelemahan, kram sampai nyeri pada
ekstremitas dan hal ini dipengaruhi oleh aktivitas.1,16
Adapun penatalaksanaan klaudikasio intermiten tidak hanya bertujuan untuk meringankan gejala
tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit jantung. Pada penderita penyakit arteri perifer
perlu dilakukan pemeriksaan penyaringan yang mencakup kadar homosistein sebagai prediktor
aterosklerosis pembuluh darah serebral, koroner maupun perifer serta pemeriksaan penanda
inflamasi sistemik seperti C-reactive protein (CRP).1 Untuk mengurangi risiko kejadian penyakit
jantung pada penderita penyakit arteri perifer diperlukan tatalaksana menyeluruh atas faktor
risiko yang ada, guna menurunkan morbiditas dan mortalitas seperti penatalaksanaan diabetes
mellitus, dislipidemia, hipertensi dan menghentikan kebiasaan merokok.1
- pain (nyeri)
- pallor (pucat)
- paralysis (kelemahan)
- paresthesia (kesemutan)
- pulselessness (tidak teraba nadi)
- polar (teraba dingin).
Pada saat oklusi arteri terjadi aliran darah terhambat sehingga jaringan menjadi iskemia akibat
kekurangan oksigen, hal ini kemudian memicu kompensasi sel dengan metabolisme anaerobik
yang melepaskan asam laktat dan piruvat ke dalam sirkulasi darah. Kemudian apabila iskemia
berlangsung lama maka adenosin trifosfat (ATP) dikeluarkan sehingga terjadi pembengkakan sel
akibat gangguan pompa natrium dan kalium. Pada fase ini secara klinis gejala yang timbul berupa
nyeri, kekakuan otot, edema nonpitting dan asidosis metabolik.1
Idealnya oklusi arteri akut memerlukan tindakan segera, meskipun tingkat urgensi tergantung dari
derajat iskemia, terlebih bila gejala 6 P itu timbul maka evaluasi dan intervensi medis harus segera
dilakukan untuk menyelamatkan anggota gerak. Penilaian derajat iskemia dilanjutkan dengan
evaluasi sumber emboli (umumnya terletak di bifurcatio femoralis), pemberian antikoagulan segera
dan tindakan embolektomi sampai saat ini masih menjadi standar terapi pada emboli dengan
maksimal 4-6 jam setelah onset iskemia terjadi.1
Sindroma Raynaud
Adanya kejadian vasospasme episodik yangacapkali dipicu oleh stres terhadap suhu dingin maupun
emosi merupakan karakteristik dari sindroma Raynaud. Vasospasme paling sering dijumpai di
bagian tangan dan jari-jari tangan, namun demikian pada beberapa kasus vasospasme dapat juga
terjadi di kaki dan jari-jari kaki. Tanda klasik dari vasospasme berupa perubahan tiga warna yakni
dari kepucatan menjadi kebiruan atau sianosis kemudian menjadi kemerahan. Akan tetapi tanda
khas ini sulit ditemukan karena biasanya hanya kepucatan dan kebiruan yang tampak saat serangan
vasospasme berlangsung, di mana biasanya berdurasi 30 sampai 60 menit dan sifatnya bilateral.1
Penatalaksanaan pada sindroma Raynaud ini masih terbilang sulit, namun demikian umumnya
penderita memiliki gejala ringan sampai sedang yang membaik dengan terapi konservatif berupa
pemakaian baju hangat, sarung tangan dan menghindari faktor pencetus, rokok serta obat-obatan
yang memiliki efek vasokonstriksi.1` medikamentosa ditujukan pada penderita sindroma Raynaud
dengan gejala berat dan sudah mengganggu aktivitas hingga berisiko terjadinya kerusakan
jaringan akibat proses iskemik. Obat golongan calcium channel blocker seperti nifedipin efektif
mengurangi frekuensi dan keparahan vasospasme, begitu pula dengan golongan alpha-1 blocker
seperti doxazosin dan terazosin serta golongan ACE-inhibitor.1
Sindroma vaskulitis
Vaskulitis atau angiitis merupakan kondisi peradangan pada pembuluh darah yang seringkali
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah, stenosis atau oklusi lumen dan proliferasi
intima yang progresif. Gejala vaskulitis menunjukkan adanya inflamasi sistemik dan iskemik akibat
oklusi pembuluh darah dan kondisi ini bisa berlangsung sementara, sembuh dengan sendirinya,
kronis sampai dengan progresif.1
Pada penderita artritis berat dan titer faktor reumatoid yang tinggi, vaskulitis dapat terjadi dan
kondisi ini dikenal sebagai vaskulitis reumatoid, biasanya terdapat deposit kompleks sel imun di
dinding pembuluh darah. Selanjutnya terjadi proliferasi tunika intima dan media pada akhirnya
menyebabkan endarteropati obliteratif berupa penutupan lumen pembuluh darah.1 Kaitannya
dengan sistem imunologi, cryoglobulin merupakan salah satu imunoglobulin yang berperan
dalam kondisi vaskulitis terutama cryoglobulin tipe II yang berhubungan dengan infeksi kronis
dan masalah imunologi lainnya. Pada kondisi peningkatan cryoglobluin tipe II dalam darah selain
terjadinya vaskulitis juga dapat timbul purpura, urtikaria, ulkus, neuropati perifer, artralgia dan
artritis. Vaskulitis umumnya melibatkan pembuluh darah kecil seperti arteriola dan venula, sehingga
dapat dilakukan kompresi ringan seperti penggunaan stocking (20-30 mmHg) untuk mengurangi
kongesti vena dan mempertahankan perfusi kulit.1
Adapun pilihan prosedur dipengaruhi beberapa faktor seperti lokasi, tipe dan karakteristik lesi dan
kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi risiko operasi. Sebelum dilakukan operasi, penting untuk
sebelumnya melakukan pemeriksaan pencitraan seperti CTA atau MRA dan/atau kateter angiografi.16
- Pemberian statin untuk semua penderita penyakit arteri perifer dengan target LDL <100mg/
dl (Class I, LOE B)
- Pada pasien risiko tinggi target LDL <70mg/dl (Class IIa, , LOE B)
Tatalaksana Hipertensi
- Target tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg bila ada diabetes atau penyakit
ginjal kronis (Class I, LOE A)
- Pemberian beta blocker efektif dan bukan kontraindikasi penyakit arteri perifer (Class I, LOE A)
- ACE-inhibitor dapat diberikan pada kasus penyakit arteri perifer simtomatis (Class IIa, LOE B)
- ACE-inhibitor dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada kasus penyakit arteri perifer
asimtomatis (Class IIb, LOE C)
Tatalaksana Diabetes
- Perawatan diri berupa alas kaki, inspeksi kaki setiap hari, kebersihan kulit, pengunaan krim
pelembap kulit dan segera melakukan perawatan luka atau ulkus (Class I, LOE B)
- Kontrol gula darah dan menurunkan HbA1C dengan target <7% (Class IIb, LOE C)
Berhenti Merokok
Terapi Antiplatelet
- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah termasuk
klaudikasio intermiten atau CLI, riwayat revaskularisasi atau amputasi. (Class I, LOE A)
Dosis Aspirin 75 mg – 325 mg (Class I, LOE B)
Dosis Clopidogrel 75 mg dapat digunakan sebagai pengganti aspirin (Class I, LOE B)
- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah pada
pasien dengan ABI <0,90. (Class IIa, LOE C)
- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah pada
pasien dengan ABI 0,91 – 0,99 belum diketahui manfaatnya. (Class IIb, LOE A)
Terapi lini pertama pada klaudikasio yang direkomendasikan adalah program latihan dengan
supervisi. Program latihan perlu diberikan secara komprehensif dengan mengkombinasikan
bersama modifikasi faktor risiko untuk mencapai perubahan klinis antara lain:21
Program latihan
Menurut American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA)Practice Guidelines
for the Management of Patients with Peripheral Arterial Disease tahun 2005 memberikan rekomendasi
berupa latihan dengan supervisi yang dilakukan minimal 30-45 menit per sesi, 3 sesi per minggu
selama minimal 12 minggu (Class I, LOE A) dibandingkan dengan latihan tanpa supervisi (Class IIb,
LOE B). Adapun latihan dengan supervisi dapat meningkatkan keikutsertaan pasien dalam program
rehabilitasi medik. Hal ini serupa dengan hasil studi Cochrane tahun 2006 yang melibatkan
319 partisipan menyimpulkan bahwa latihan dengan supervisi menghasilkan perbaikan berupa
peningkatan waktu berjalan jarak 150 m dibandingkan dengan latihan tanpa supervisi.1,21 Panduan
program latihan untuk klaudikasio menurut ACC/AHA tahun 2005 terdiri dari pemanasan dan
pendinginan masing-masing 5 – 10 menit serta program latihan seperti berikut ini:16,17
- Jenis latihan: treadmill atau berjalan di atas track dapat ditambah dengan latihan resistance
- Intensitas: kecepatan dan tingkat latihan treadmill inisial diatur sampai didapatkan gejala
klaudikasio muncul selama 3 – 5 menit hingga mencapai gejala klaudikasio sedang-berat
kemudian diistirahatkan beberapa saat sampai gejala hilang.
- Durasi: pola latihan-istirahat-latihan terus dipertahankan selama sesi berlangsung. Durasi
awal biasanya 35 menit latihan berjalan intermiten dan dinaikkan 5 menit per sesi nya hingga
mencapai durasi 50 menit latihan berjalan intermiten.
- Frekuensi: 3 – 5 kali per minggu latihan treadmill atau berjalan di atas track.
Program latihan pada penderita penyakit arteri perifer perlu disesuaikan gejala dan penyakit
penyerta. Penderita yang memiliki gejala klaudikasio intermiten diinstruksikan untuk berjalan dan
berhenti bila timbul nyeri sedang sampai berat yang diukur dengan skala klaudikasio antara 3 – 4
dari 5. Ketika nyeri sudah hilang, latihan dapat dilanjutkan. Penderita tanpa klaudikasio intermiten
dapat mengikuti latihan untuk penderita penyakit kardiovaskular, dengan intensitas latihan sesuai
dengan uji toleransi latihan menggunakan heart rate reserve dan oxygen uptake reserve.21
Latihan endurance
Frekuensi:3–5 hari/minggu Modalitas:
Intensitas: 40 – <60% HRR + resting HR -berjalan dengan treadmill
atau -naik tangga
40 – <60% VO2 reserve + resting VO2 -sepeda statis
-arm cycle ergometry
-mendayung
Durasi:30–60 menit/hari -berenang
HRR = heart rate reserve (peak HR – resting HR); VO2 reserve = (peak VO2– resting VO2)
Deep vein thrombosis (DVT) pada vena kava superior biasanya disebabkan oleh kompresi mekanis
vena oleh tumor mediastinum sedangkan penyebab DVT pada vena kava inferior adalah perluasan
trombus dari vena di daerah pelvis atau ekstremitas bawah. Pada ekstremitas bawah dapat
disebabkan oleh kompresi vena iliaka oleh arteri ilaka, pemasangan kateter kedalam vena femoralis
atau keadaan imobilisasi (bed rest) yang membatasi pergerakan tungkai bawah. Kasus DVT paling
sering terjadi pada ekstremitas bawah.30
Dalam kondisi normal darah yang bersirkulasi dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk
bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Trias of Virchow mengungkapkan
adanya trias yang merupakan dasar terbentuknya trombus. Trias ini terdiri dari gangguan aliran
vena, ketidakseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan dan disfungsi endotel. Bila ada
ketidakseimbangan antara trombogenik (gangguan endotel, terpaparnya subendotel, aktivasi
trombosit dan koagulasi, terganggunya fibrinolisis serta stasis) dan mekanisme protektif (faktro
antitrombotik, inhibitor pembekuan, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran
Manifestasi klinis dari DVT tergantung dengan lokasi thrombus, seberapa luas dan bersifat
oklusif atau tidak (tabel 7.10). Gejala klinis dari DVT antara lain bengkak, rasa nyeri, teraba hangat
dan kemerahanpada tungkai yang terkena namun DVT juga dapat tidak menunjukkan gejala atau
asimptomatik. Hal ini biasanya dikarenakan trombus yang terbentuk tidak menyebabkan obstruksi
outflow vena sehingga tidak timbul gejala. DVT dapat terjadi bersamaan dengan gangguan lain
yang manifestasinya mirip dengan DVT yaitu trauma, infeksi, penyakit arteri perifer dan lain-lain.
Ekstremitas yang terkena dapat unilateral atau bilateral dengan derajat sedang sampai berat.
Trombus yang terjadi pada bifurkasio iliaka, vena pelvis, atau vena kava lebih sering menyebabkan
edema bilateral dibandingkan dengan edema unilateral.
Ada beberapa sistem skor yang menghitung mengenai probabilitas diagnosis DVT seperti
Hamilton score, the AMUSE (Amsterdam Maastricht Utrecht Study on thromboembolism) score dan
Wells clinical prediction rule. Namun Wells clinical prediction rule merupakan yang paling sering
digunakan. Ia membagi pasien menjadi 3 kategori yaitu risiko rendah, risiko intermediate dan
risiko tinggi. (tabel 7.11). Pada sistem skor ini terdapat 9 keadaan klinis dengan skor yang berbeda,
skor tersebut akan dijumlahkan dan hasil tersebut akan menentukan risiko pasien. Bila skor <0
maka pasien termasuk risiko rendah, risiko intermediate bila skor 1 – 2 dan risiko tinggi bila skor
> 3.
Terapi standar untuk DVT akut terdiri dari antikoagulan, elevasi dan penyokong ekstremitas.1
Antikoagulan
Antikoagulan tetap menjadi tatalaksana utama untuk penyakit tromboemboli. Adapun tujuan
dari pemberian antikoagulan pada DVT adalah untuk mencegah kematian akibat emboli paru
dan membatasi kerusakan vena serta sindrom pasca flebitik. Pemberian antikoagulan sebagai
profilaksis disarankan untuk pasien dengan riwayat penyakit tromboemboli vena sebelumnya,
penyakit kelainan faktor pembekuan, pernah menjalani perawatan medis atau operasi dengan
- Heparin
Antikoagulan heparin merupakan tatalaksana yang efektik untuk penyakt tromboemboli.
Heparin tidak memiliki sifat fibrinolitik tetapi proses fibrinolisis alami tetap terjadi. Hal ini
akan menstabilisasi trombus, menghindari pembesaran trombus dan meredakan gejala akut
pada pasien.
Komplikasi awal penggunaan heparin adalah trombositopeni. Kejadian trombositopenia
benigna cukup sering dan merupakan penurunan angka platelet sampai 70.000 sampai 100.000
unit/L. Adapun komplikasi lain yang jarang terjadi adalah Heparin-induced thrombocytopenia
(HIT) yang terjadi akibat proses autoimun. Pada keadaan ini maka pemberian heparin harus
segera dihentikan. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pemberian heparin bovine tetapi
lebih jarang terjadi pada dosis profilaksis atau pada pemberian low-molecular-weight heparin
(LMWH).
- Warfarin
Warfarin bekerja dengan menginhibisi sintesis faktor koagulasi II, VII, IX dan X di hepar. Efek
kerja warfarin sedikit lebih lama karena akan baru muncul efek ketika semua faktor koagulasi
sudah dikeluarkan dari sirkulasi. Warfarin juga menghilangkan inhibitor alami koagulasi seperti
protein C dan protein S. Kompikasi yang jarang terjadi adalah nekrosis kulit yang biasanya
terjadi pada daerah dengan jaringan adipose yang banyak seperti payudara, bokong, paha
dan dinding abdomen. Komplikasi ini disebabkan oleh trombosis pembuluh darah kecil
akibat penurunan protein C oleh warfarin. Warfarin dikontrandikasikan untuk wanita hamil
trimester pertama karena memiliki efek teratogenik dan selama trimester ketiga karena akan
meningkatkan risiko perdarahan selama persalinan.
Pada ACCP Guidelines DVT and PE tahun 2012 mengeluarkan pedoman tatalaksana untuk DVT
sebagai berikut:
Chronic venous insuffiiency (CVI) adalah penyebab penting pada ketidaknyamanan serta disabilitas
dan persentase kejadiannya cukup signifikan pada populasi seluruh dunia. Di Amerika Serikat
CVI menjadi masalah kesehatan yang signifikan, menyerang sekitar 2-5% dari seluruh populasi
Amerika. Prevalensi CVI meningkat dengan bertambahnya usia dengan puncak insidensinya
terjadi pada wanita usia 40-49 tahun dan 70-79 tahun pada laki-laki.7 Kejadian CVI lebih sering
pada wanita dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 3:1.7
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian CVI antara lain hereditas, trauma lokal, trombosis
dan defek intrinsik pada vena atau katup vena.1 Sumber lain menyatakan bahwa faktor risiko lain
yang berhubungan dengan kejadian CVI adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan varises
vena, obesitas, kehamilan, phlebitis dan riwayat trauma tungkai bawah. Adapula faktor lingkungan dan
kebiasaan seperti berdiri atau posisi duduk dalam jangka waktu yang lama.1,7 San Diego Population Study
(SDPS) telah melakukan studi mengenai faktor risiko apa saja yang berpotensi untuk menyebabkan
timbulnya penyakit vena dan menyebutkan bahwa usia, riwayat keluarga, penemuan yang sugestif
laksitas ligamentum (seperti operasi hernia, flat feet), obesitas, aktivitas fisik, merokok, posisi berdiri
atau duduk dalam jangka waktu yang lama mempengaruhi kejadian penyakit vena.7
Chronic venous insuffiiency (CVI) terjadi setelah periode waktu yang lama (15-20 tahun) pada vena
hidrostatik dan sangat cepat pada sindrom pasca flebitis (1-2 tahun). Keluhan utama pada pasien
CVI adalah kaki berat, gatal, nyeri, sensasi terbakar, restless leg syndrome dan nyeri pada posisi
ortostatik.36,7 Selain itu disebutkan di kepustakaan lain karakteristik klinis mayor pada CVI adalah
pelebaran vena, edema, nyeri tungkai bawah dan perubahan kulit pada tungkai bawah. Varises
vena merupakan vena superfisialis yang semakin melebar dan berkelok-kelok (tortuous). Edema
tungkai biasanya bermula dari daerah perimalleolar dan bergerak secara asenden akibat akumulasi
cairan. Ketidaknyamanan pada tungkai biasanya dideskripsikan sebagai rasa berat atau nyeri yang
timbul setelah berdiri yang terlalu lama dan mereda dengan elevasi tungkai. Rasa nyeri ini dapat
disebabkan oleh peningkatan volume intrakompartemen dan subkutaneus serta peningkatan
tekanan. Distensi vena pada CVI dapat menimbulkan gejala nyeri sepanjang vena yang terkena
dan obstruksi pada sistem vena dalam dapat menyebabkan klaudikasio vena. Perubahan kulit yang
dapat terjadi pada CVI antara lain hiperpigmentasi karena penumpukkan hemosiderin, dermatitis
eczematous, lipodermatosklerosis akibat proses fibrotik pada lapisan dermis dan lemak subutan,
selulitis, ulserasi tungkai bawah dan penyembuhan luka yang lama.7
Manifestasi CVI dapat dilihat pada skema klasifikasi klinis. Skema klasifikasi CEAP (clinical, etiologic,
anatomic, pathophysiologic) menjabarkan gejala dan tanda CVi serta derajat keparahannya. 7,25
Klasifikasi ini ada 7 kategori (0-6) dan dibagi lagi berdasarkan ada atau tidaknya gejala. Etiologi
diklasifikasikan menjadi penyebab disfungsi vena akibat penyebab kongenital seperti sindrom
Klippel-Trenaunay dan Parkes Weber, penyebab primer yang tidak diketahui dan penyebab
sekunder. Klasifikasi anatomi dibagi berdasarkan sistem vena yang terkena yaitu superfisialis,
dalam dan perforata. Terakhir pembagian patofiologinya menggambarkan mekanisme dasar yang
menyebabkan CVI yaitu refluks, obstruksi vena atau keduanya.
Untuk melengkapi skema klasifikasi CEAP dan untuk mengetahui lebih jauh mengenai derajat
keparahan CVI maka dikembangkan venous clinical severity score. Venous clinical severity score
terdiri dari 10 atribut dengan 4 derajat keparahan (tidak ada, ringan, sedang dan berat).7
Pada pemeriksan lokalis pada tungkai bawah dapat diamati antara lain:36,37 Dilatasi vena varikose
sebagai corona phlebectatica atau vena yang timbul atau dapat ditemukan caput medusa pada
obstruksi vena iliaka dan vena femoralis.
- Edema yang persisten saat istirahat dan diperparah dengan posisi ortostatik
- Dermatitis yang biasanya terjadi pada1/3 distal betis. Kulit tampak mengkilap, merah, hangat
pada perabaan dan seringkali nyeri saat disentuh.
- Eczema berbentuk polisiklik, garis yang tiak khas dengan karakter eksudatif
- Pigmentasi coklat akibat deposit hemosiderin
- Atrofi putih pada kulit .
Dalam pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan posisi berdiri untuk dapat melihat ditensi
vena maksimal. Inspeksi dan palpasi dapat menunjukkan bukti adanya penyakit vena Pada kulit
perlu diperiksakan adanya pelebaran vena superfisialis yang abnormal seperti telangiektasis, vena
retikular atau varises vena. Selain itu nilai apakah ada penonjolan atau permukaan yang ireguler
pada permukaan kulit untuk mencari adanya pelebaran vena yang berkelok-kelok. Kelainan kulit
yang dapat ditemukan saat inspeksi adalah hiperpigmentasi, dermatitis stasis, atrophie blanche atau
lipodermatosklerosis. Kelainan seperti edema tungkai juga dinilai. Pada CVI biasanya ditemukan
edema pitting. Nyeri dapat ditemukan sepanjang jalur pelebaran vena saat palpasi.
Penegakkan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik. Akurasi pemeriksaan fisik dapat
ditingkatkan dengan bantuan alat Doppler, sehingga pemeriksa dapat mendengarkan aliran
darah. Namun, pemeriksaan paling akurat dan rinci adalah dengan venous duplex ultrasound yang
dapat memberikan gambaran vena, sehingga dapat ditemukan hambatan akibat bekuan darah
atau gangguan fungsi vena. Alat diagnostik lain yang dapat digunakan adalah air plestimography,
pencitraan dengan CT atau MRI dan modalitas lain yang lebih invasif seperti contrast venography,
intravscular ultrasound dan ambulatory venous pressure.7 Hipertensi vena pada saat posisi berdiri
atau selama ambulasi (pergerakan) merupakan penyebab kerusakan pada CVI sehingga langkah
pertama tatalaksana CVI adaah untuk menurunkan ambulatory venous pressure. Terapi kompresi
adalah tatalaksana utama untuk CVI. Terapi ini merupakan terapi konservatif untuk mengurangi
- Elevasi tungkai
Bila elevasi digunakan untuk mengontrol edema maka ekstremitas dielevasi diatas jantung.
Elevasi tungkai dilakukan sebisa mungkin dan disarankan untuk menghindari kegiatan dengan
posisi berdiri atau duduk yang terlalu lama.Pasien sebaiknya berbaring atau duduk reclining
dengan elevasi tungkai kaki yang sesuai. Duasi dan frekuensi elevasi disesuaikan dengan
derajat keparahan penyakit.1
- Latihan otot betis
Latihan yang melibatkan otot tungkai bawah seperti berjalan, bersepeda atau berenang dapat
merangsang tonus otot tungkai bawah dan meningkatkan venous return.1
1. DeLisa JA and Frontera WR. DeLisa’s Physical Medicine and Rehabilitation. 5th edition.
Philadelphia: Lippincot Wlliams and Wilkins, 2010.
2. Krishna SM, Moxon JV and Golledge J. A Review of the Pathophysiology and Potential
Biomarkers for Peripheral Artery Disease. Int J Mol Sci. 2015;16:11294-322.
3. Cushman M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol 2007.
44(2): 62-69.
4. Patel K and Brenner BE, Editor. Deep Venous Thrombosis. New York: Medscape. 2016.
5. Center for Disease Control and Prevention. Venous Thromboembolism. USA: U.S. Department
of Health & Human Services. 2015.
6. Cetin C, Serbest MO, Ercan S, et al. An Evaluation of the Lower Extremity Muscle Strength of
Patients with Chronic Venous Insufficiency. Phlebology. 2016. 31(3):203-208.
7. Eberhardt RT and Reffetto JD. Chronic Venous Insufficiency. Circulation. 2014. 130(4):333-
346.
8. Martini FH, Nath JL and Bartholomew EF. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9th
edition. San Fransisco: Pearson. 2012.
9. Tortora GJ and Derrickson BA. Principles of Anatomy and Physiology. 14th edition. USA: Wiley.
2014.
10. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. New York : Cengage Learning. 7th
edition. 2010
11. Bickley LS. Toraks dan paru dalam Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2003.
12. Macloed , Graham G, Nicol F, et al. Macloeds Clinical Examination 11th ed. USA : Elsevier.
2005.
13. Bayat I and Rowe VL, Editor. Subclavian Steal Syndrome. New York: Medscape. 2015.
14. Potter BJ and Pinto DS. Clinical update Subclavian Steal Syndrome. Circulation AHA. 2016
15. Sertiati S, Nafrialdi, Alwi I, et al. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta :
PAPDI. 2005
16. Hirsch AT, Misra S, Sidawy AN, et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
with Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric and Abdominal Aortic):
Executive Summary. Circulation. 2005.
17. Rooke TW, Hirsch AT, Misra S, et al. ACCF/AHA Focused Update of the Guideline for the
Management of Patients with Peripheral Artery Disease (Updating the 2005 Guideline).
Circulation. 2011.
18. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, et al. Inter-society Consensus for the Management of the
Peripheral Arterial Disease (TASC II). Eur J Vasc Endovasc Surg. 2007; 33: S1-S70.
19. Hernando FJ and Conejero AM. Peripheral Artery Disease: Pathophysiology, Diagnosis and
Treatment. Rev Esp Cardiol. 2007; 60(9):969-82.
20. Arain FA and Cooper LT. Peripheral Arterial Disease: Diagnosis and Management. Mayo Clin
Proc. 2008;83(8):944-50.
21. Hamburg NM and Balady GJ. Exercise Rehabilitation in Peripheral Artery Disease: Functional
Dahulu komponen edukasi dan konseling program rehabilitasi jantung belum disusun secara
terstruktur dan hanya berdasarkan filosofi atau pengalaman dokter. Upaya edukasi dan konseling
juga hanya sebagai tambahan dari program latihan. Namun sekarang edukasi dan konseling
dinilai sama pentingnya dengan latihan. Studi terbaru mendukung edukasi pada pasien yang
menjalani rehabilitasi jantung dimulai sejak pasien dirawat inap dengan memberikan pengetahuan
dan mengurangi kecemasan (ansietas) serta depresi, meningkatkan kepatuhan latihan saat akan
pulangdari rumah sakit dan mengurangi ketakutan pasien untuk beraktivitas.Selanjutnya pada
periode rawat jalan edukasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan pasien terhadap pemahaman
akan pentingnya program rehabilitasi jantung untuk mengurangi derajat disabilitas pada pasien
jantung koroner. Organisasi profesional seperti AACPR (American Association of Cardiovascular and
Purlmonary Rehabilitation) merekomendasikan komponen edukasi dan konseling disamping latihan
fisik pada guidelines rehabilitasi jantung.1
Banyak studi telah membuktikan manfaat manajemen faktor risiko yang komprehensif pada pasien
jantung. Manfaat yang didapat dari manajemen faktor risiko antara lain:2
Walaupun memiliki manfaat yang potensial, hanya sepertiga pasien jantung koroner yang
mengimplementasikannya kedalam perubahan gaya hidup, hal ini disebabkan karena sistem
rujukan yang masih rendah atau keputusan terhadap program yang tidak komprehensif.2
- Kondisi fisik stabil (bebas nyeri dan komplikasi) - Status emosional yang sesuai (tidak terlalu cemas
- Energi yang adekuat (tidak terlalu kelelahan atau depresi)
dan mengantuk) - Menyadari masalah utama (tidak dalam penyangkalan)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mencapai program edukasi dan modifikasi
perilaku yang optimal antara lain:2,3
- Penentuan target
Tim harus menentukan target yang spesifik dan realistik baik untuk jangka pendekmaupun
panjang. Penting untuk pasien dapat mencapai target jangka pendek, agar pasien dapat
merasakan keberhasilan pencapaian dan mengurangi risiko ketidaknyamanan. Jika pasien
gagal mencapai target, pertimbangkan untuk mengatur ulang target.
- Menurunkan faktor risiko penyakit jantung melalui diet rendah lemak, pengaturan tekanan
darah, manajemen lemak (lipid), pemberhentian merokok, manajemen diabetes, manajemen
latihan dan stres.
- Pengendalian kegawatdaruratan jantung seperti angina, kemungkinan infark miokardial atau
tidak nyaman saat latihan
Edukasi dan modifikasi perilaku dapat dilakukan perseorangan maupun berkelompok, atau dengan
pengawasan dan follow up menggunakan telepon, tergantung dari kebutuhan dan keinginan pasien.
Berdasarkan studi kontrol menunjukkan penggunaan sarana buku, audio, video dan komputer
merupakan media yang efektif untuk pembelajaran pasien.3
Edukasi pasien tentang bahaya merokok sebagai faktor risiko mayor terjadinya penyakit jantung
koroner. Risiko rekurensi dari serangan jantung dapat berkurang hingga 50% dalam satu tahun
pertama setelah pemberhentian merokok. Menyediakan bimbingan, edukasi dan dukungan
pada setiap pasien untuk menghindari merokok, kelas pemberhentian merokok seperti ini perlu
dianjurkan pada setiap pasien dengan miokard infark.4,5,6,7
Diet memegang peranan penting dalam perkembangan penyakit jantung koroner, oleh karena
itu sebelum dipulangkan pasien pasca infark miokard perlu dievaluasi oleh ahli gizi. Pasien perlu
diinformasikan tentang keuntungan dari diet rendah kolesterol, rendah lemak dan rendah garam.
Program rehabilitasi jantung setelah pasien pulang dapat meningkatkan intensitas edukasi dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.4,5,6,7
- Identifikasi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dan status menopause jika perempuan
- Penggunaan produk tembakau
- Riwayat dan tingkat kontrol hipertensi
Penilaian risiko untuk perkembangan sindrom koroner akut harus bertujuan untuk membantu
membangun ketersinambungan dalam pencegahan sekunder dan menetapkan tingkat masing-
masing faktor risiko merupakan langkah awal dalam proses pencegahan. 3
Menurut European Society of Cardiology pada Secondary Prevention Through Cardiac Rehabilitation
terdapat komponen inti dari program pencegahan sekunder pada rehabilitasi jantung antara lain
penilaian baseline pasien, konseling aktivitas fisik dan latihan, konseling nutrisi, manejemen faktor
risiko seperti lipid, hipertensi, berat badan, diabtetes serta merokok, manejemen psikososial dan
konseling pekerjaan.8
Merokok
Di Amerika Serikat kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang paling mudah dicegah dan
dapat mengurangi kematian dan disabilitas secara signifikan. Merokok berhubungan dengan
meningkatnya kejadian infark miokard, kematian mendadak, restenosis pasca angioplasti koroner.
Nikotin pada rokok menyebabkan pelepasan katekolamin, meningkatkan detak jantung dan
tekanan darah yang menyebabkan meningkatkan beban kerja jantung. Nikotin juga meningkatkan
aktivasi trombosit dan mengganggu profil lipid seperti mengurangi kadar HDL dan meningkatkan
oksidasi dari LDL yang dipercaya sebagai penyebab aterogenesis.
Merokok secara negatif mempengaruhi fungsi endotel, mengurangi HDL dan meningkatkan
oksidasi LDL. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan lipid secara agresif mampu
meningkatkan fungsi endotel relatif cepat, meskipun asupan makanan tinggi lemak dapat merusak
fungsi endotel secara akut. Pada primata stres psikososial telah ditunjukkan untuk dihubungkan
dengan gangguan respon vasomotor disamping pola atau tingkat lemak darah. 3,11,13,15,16,17 Terdapat
bukti bahwa beberapa risiko penurunan faktor pada pasien dengan sindrom koroner akut dengan
cara meningkatkan fungsi endotel, menstabilisasi plak dan mengurangi risiko kejadian klinis yang
relatif cepat. 11,15,16,17
Karbonmonoksida yang terdapat dalam rokok dapat menyebabkan injuri pada endotel pembuluh
darah dan menganggu kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen, yang secara
langsung mengurangi jumlah oksigen ke miokard. 2
Penghentian merokok dapat mengurangi risiko reinfark sebesar 50% pada tahun pertama dan
menyerupai pasien yang tidak merokok pada tahun ke 10.2Selain itu, penghentian merokok dapat
Penilaian:
Setiap pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung harus diskrining apakah pasien
merupakan perokok atau memiliki riwayat merokok pada saat awal dirawat dirumah sakit.
Anamnesa tentang konsumsi atau penyalahgunaan alkohol juga perlu dicatat karena tingkat
konsumsi alkohol berhubungan dengan kemampuan untuk berhenti merokok.2 Penilaian pasien
Apakah anda merasa sulit untuk tidak merokok pada tempat yang Ya 1
dilarang merokok? Tidak 0
Waktu merokok yang sulit untuk anda hentikan? Pada pagi hari 1
Pada waktu lainnya 0
Berapa banyak batang rokok yang anda habiskan dalam sehari? <10 0
11 – 20 1
21 – 30 2
> 31 3
Skor Total
Adiksi yang kuat ditandai dengan 25 batang rokok setiap harinya, merokok 30 menit setelah
bangun atau merokok disaat waktu tidur.2
- Menurut Anda seberapa berat untuk tidak merokok selamadi rumah sakit?
1. Sangat mudah
2. Mudah
3. Sedang
4. Sulit
5. Sangat sulit
Keterangan:
- Pasien yang merasa sulit saat tidak merokok (4 atau 5) terutama jika mereka mengalami
gejala withdrawal, mudah terjadi relaps setelah keluar dari rumah sakit.2
- Pasien yang merasa depresi >5 sering mengalami masalah depresi dan memerlukan evaluasi
lebih lanjut. Pada beberapa penelitian penggunaan anti depresan terbukti bermanfaat
untuk membantu pemberhentian merokok. 2
- Pasien yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar memiliki kecenderungan untuk
sulit berhenti merokok.2
Intervensi penghentian merokok harus terdiri dari strategi multi komponen seperti:
Pasien yang mencoba berhenti merokok perlu diberi intervensi lebih sering dan kuat, serta tetap
perlu diberi informasi secara rutin.2
Rumah sakit merupakan lingkungan yang tepat untuk memulai motivasi terhadap penghentian
merokok. Di rumah sakit pasien difokuskan pada pengobatan penyakit akut dan larangan
merokok untuk mencegah mereka agar tidak merokok, yang tentunya mereka akan merasakan
ketidaknyamanan akibat withdrawal pada 48-72 jam pertama. Jika mereka di dukung dengan baik,
paisen akan tetap menghindari merokok selepas keluar dari rumah sakit karena rasa percaya diri
dan memahami cara menaggulanginya. 2
- Mengidentifikasi apakah mereka masih merokok atau tidak pada setiap pertemuan
- Menanyakan keinginan mereka untuk berhenti merokok
- Memberi materi dan anjuran yang diperlukan untuk berhenti.
- Mengatur follow up secara langsung atau dengan telepon. 2
Pasien dapat memilih apakah mereka melakukan pemberhentian langsung secara total (cold
turkey), mengganti merek atau mengurangi jumlah rokok.2
- Berat badan
- Frekuensi timbulnya gejala withdrawal yang menentukan perlunya penggunaan NRT
- Kesulitan berhenti yang berhubungan dengan alkohol
- Kehadiran keluarga atau teman yang merokok disekitar pasien
- Keinginan secara psikologi yang berhubungan dengan hasrat atau keinginan pasien
- Kerugian yang dirasakan yang berhubungan dengan berhenti merokok 2
Sudah terdapat banyak jenis NRT yang dapat membantu konseling perilaku seperti transderm
patch, nikotin spray dan permen karet nikotin yang terbukti aman pada pasien penyakit jantung
kecuali angina tidak stabil. Bupropion HCL juga terbukti dapat membantu pengehentian merokok
tetrutama pada pasien dengan ciri depresi saat berhenti merokok. 2
Edukasi pasien tentang bahaya merokok sebagai faktor risiko mayor terjadinya penyakit jantung
koroner. Risiko rekurensi dari serangan jantung dapat berkurang hingga 50% dalam 1 tahun
pertama setelah pemberhentian merokok. Menyediakan bimbingan, edukasi dan dukungan
pada setiap pasien untuk menghindari merokok, kelas pemberhentian merokok seperti ini perlu
dianjurkan pada setiap pasien dengan miokard infark.11,13,15,16
Tiga jenis lipoprotein utama pada darah puasa antara lain LDL, HDL dan Very Low Density Lipoprotein
(VLDL). Profil LDL umumnya menyumbang 60-70% dari kolesterol total dan keduanya berhubungan
dengan risiko penyakit jantung koroner. Umumnya HDL terdapat sebanyak 20-30% dari total
koleterol dan jumlah HDL berbanding terbailk dengan risiko penyakit jantung. VLDL menyumbang
10-15% dari total kolesterol bersamaan dengan trigliseridapada darah puasa. Prekursor LDL adalah
VLDL, dan beberapa bentuk VLDL memiliki kecenderungan yang bersifat aterogenik.2
Sekitar 50% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki kadar kolesterol diatas 200mg/dL.
Penurunan mortalitas kardiovaskular, rekurensi penyakit jantung, hospitalisasi dan perkembangan
lesi aterosklerosis berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol.2 Menurut National Cholesterol
Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP) II, pasien dengan LDL kolesterol diatas 100
mg/dL memiliki risiko infark miokard dan kematian yang lebih tinggi sehingga memerlukan terapi.
Kadar LDL dapat dihitung menggunakan rumus:
Evaluasi klinis pada pasien dengan lipid abonormal pada anamnesis harus dapat menentukan
penyebab peningkatan lipidseperti penyakit, diet atau obat-obatan.
- Diabetes mellitus
- Hipotiroid
- Sindroma nefrotik
- Penyakit hati obstruktif/obstruktif hepatitis
- Obat-obatan yang meningkatkan kolesterol LDL atau menurunkan kolesterol HDL seperti
progestin, steroid anabolik, kortikosteroid dan beberapa antihipertensi. Thiazide dan loop
diuretic dapat menyebabkan total kolesterol, LDL dan trigliserida meningkat.
Evaluasi profil lipid puasa sebaiknya dilakukan 2 kali dengan jarak 1 – 8 minggu pada pasien
dengan penyakit jantung koroner yang pada umumnya dapat dimulai pada 6 minggu pertamapasca
serangan atau prosedur tatalaksana.2
Pemeriksaan fisik yang relevan dengan kadar lipid abnormal meliputi pemeriksaan cermat pada
mata seperti arkus kornea, pemeriksaan funduskopi untuk melihat perubahan retina akibat lipid
dan pemeriksaan kulit untuk melihat xanthoma dan xanthelasma. 2
Intervensi:
Edukasi, konseling dan intervensi perilaku mengenai nutrisi dan latihan dengan atau tanpa terapi
farmakologis perlu diberikan pada pasien.2 Dislipidemia berhubungan dengan berekembangnya
ateroskelrosis sehingga mengobati dislipidemia dengan cara meningkatkan HDL dan menurunkan
LDL merupakan hal yang perlu diperhatikan. Menurunkan LDL secepat mungkin dengan obat-
obatan dan diet terbukti menurunkan risiko penyakit jantung, dengan cara menstabilkan plak
dan meningkatkan fungsi endotel. Target LDL harus dibawah 100mg/dl, turunnya LDL dapat
menurunkan risiko berulangnya kejadian sindrom koroner akut. 11 Intervensi dapat diberikan
sesuai American Heart Association Consensus Statement dan ACC/AHA Practice Guidelines.
Step I Step II
Asam lemak jenuh 8-10% total kalori Lebih rendah dari 7% total kalori
Kolesterol Lebih rendah dari 300 mg/hari Lebih rendah dari 200 mg/hari
Terapi farmakologis
Terdapat beberapa strategi agar pasien dapat terus mengontrol kadar lipid jangka panjang antara
lain:2
- Pengukuran ulang 4-6 minggu dan setiap 3 bulan jika target belum tercapai
- Diikuti dengan 8-12 minggu interval selama 52 minggu setelah target tercapai
- Memonitor secara periodik 4 – 6 bulan setelah pasien mempertahankan kadar lipidnya selama
1 tahun, selanjutnya pemeriksaan LDL sebaiknya dilakukan setahun sekali
Hipertensi
Satu dari empat orang dewasa di Amerika memiliki hipertensi, umumnya ditemukan pada laki-
laki sampai usia di atas 55 tahun,pria dan wanita memiliki prevalensi yang sama. Hipertensi
memiliki prevalensi yang tinggi pada pasien penyakit jantung koroner sebesar 30-38%,pada
pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung dilaporkan bahwa hipertensi angkanya 47-
65% denganetiologi hipertensi 90-95% tidak diketahui penyebabnya.2 Hipertensi mempengaruhi
faktor risiko penyakit kardiovaskular melalui peningkatan tegangan geser (shear stress)pada dinding
pembuluh darah dan dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Dengan menurunkan
tekanan darah dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular termasuk miokard infark, gagal
jantung kongestif dan penyakit serebrovaskular. 11
Penilaian:
Hipertensi tidak dapat ditegakkan hanya dengan satu kali pengukuran. Peningkatan tekanan
darah setidaknya ditemukan pada 2 kali pemeriksaan dengan nilai rata-rata tekanan darah sistolik
sebesar 140 mmHg dan diastolik sebesar 90mmHg kecuali sistolik > 180 mmHg dan diastolik >
110 mmHg. Anamnesis pasien dengan hipertensi perlu memperhatikan asupan garam, konsumsi
alkohol berlebih, konsumsi kalori berlebih dan aktivitas fisik yang rendah. Pemeriksaan fisik meliputi
dua kali pemeriksaan dengan jeda 2-5 menitpada posisi duduk diikuti dengan pemeriksaan pada
lengan yang berlawanan (jika hasil berbeda, gunakan angka yang lebih tinggi).2
- Pemeriksaan leher untuk mengetahui bruit karotis, distensi vena, pembesaran kelenjar tiroid
- Pemeriksaan jantung untuk melihat peningkatan detak jantung, pembesaran, murmur, aritmia,
bunyi jantung S3 dan S4.
- Pemeriksaan abdomen untuk melihat bruit, perbesaran ginjal, massa, pulsasi aorta abnormal
- Pemeriksaan ekstremitas untuk melihat apakah ada absen dari pulsasi pembuluh darah
ekstremitas atau adanya bruit/edema
- Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan rutin sebelum terapi hipertensi seperti urinalisis, darah
lengkap, kadar gula darah, potasium, kalsium, kreatinin, asam urat dan profil lipid. Pemeriksaan
EKG 12 sadapan dilakukan untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri.2
Intervensi:
Berdasarkan para ahli latihan dan edukasi merupakan komponen penting dalam intervensi
multifaktorial meliputi konseling, intervensi perilaku dan farmakologis. Prevensi sekunder perlu
dilakukan pada semua pasiendengan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik 90 mmHg, prevensi sekunder seperti pemantauan berat badan, aktivitas fisik, konsumsi
alkohol dan restriksi natrium ringan. Pengobatan sebaiknya dipertimbangkan setelah prevensi
sekunder tidak menunjukkan perubahan dalam 3 bulan.2
Menurut guidelines JNC VIII komponen modifikasi gaya hidup meliputi aktivitas atau latihan fisik
yang reguler, manajemen berat badan, restriksi natrium yang sedang, peningkatan konsumsi buah
segar, sayur dan produk susu rendah lemak, penurunan konsumsi alcohol dan berhenti merokok.9
Target tekanan darah adalah 140/90 mmHg dan pada pasien dengan risiko tinggi penyakit jantung
koroner maka direkomendasikan target tekanan darah yang lebih ketat yaitu 130/80 mmHg.9
Modifikasi gaya hidup untuk kontrol hipertensi dan atau risiko kardiovaskular secara keseluruhan:
- Mencapai tingkat lemak tubuh yang direkomendasikan contoh: 12-18% untuk laki-laki dan
18-25% untuk perempuan (angka normal: pada laki-laki 11-14% dan perempuan 16-19%)
- Membatasi asupan alkohol tidak lebih dari 1 ounces ethanol perhari (1 ounces = 29,5 ml), 24
ounces bir atau 8 ounces wine.
- Latihan erobik secara rutin 20-30 menit per hari, 5-7 hari perminggu
- Mengurangi asupan garam agar lebih rendah dari 100 mmol per hari (<2,3 gr natrium atau <6
gram natrium klorida)
- Mempertahankan konsumsi kalium, kalsium dan magnesium sulfat yang adekuat
- Berhenti merokok
- Mengurangi konsumsi lemak jenuh dan kolesterol untuk meningkatkan kesehatan
kardiovaskular. 2
Menurut National Center for Health Statistics (NCHS) di Amerika Serikat antara tahun 2011-2012
hipertensi pada usia 18-39 tahun sekitar 7,3% dan pada usia 40-59 tahun sekitar 32,4% dan usia
di atas 60 tahun sekitar 65%.12 Pengukuran tekanan darah juga harus dinilai ada atau tidaknya
hipotensi ortostatik, oleh karena itusebaiknya pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri.Keadaan
ini sering ditemukan padausia tua. Target pengobatan pada usia tua sama dengan pada usia muda
yaitu dibawah 140mmHg/90mmHg.9 Pasien dengan diabetes memiliki target tekanan darah
<130/85 mmHg. Obat-obatan seperti ACE inhibitor, alpha blocker, calcium antagonist dan diuretik
lebih disukai karena efek yang rendah terhadap gula darah, profil lipid dan fungsi ginjal. ACE
inhibitor merupakan pilihan pada diabetik neuropati.2
Prehipertensi Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup - Modifikasi gaya hidup
- Terapi farmakologis haya
pada pasien dengan gagal
jantung, insufisiensi ginjal,
atau diabetes
Stage I Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup (6 Modifikasi gaya hidup
(12 bulan) bulan) Terapi farmakologis
Penilaian kapasitas fungsional harus dilakukan secara akurat untuk mengukur kemampuan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik dengan aman dan menyediakan informasi penting tentang respon
terapi dalam mengontrol gejala dan meningkatkan fungsional pasien. Data yang diperoleh juga
digunakan dalam menentukan peresepan latihan pasien,selanjutnya evaluasi respon latihan fisik
dianjurkan dilakukan secara teratur dan terjadwal setiap 3, 6, 12 bulan.2
Penilaian:
Uji latih submaksmimal dapat digunakan untuk melihat respon latihan yang mampu menyediakan
data untuk memberikan peresepan latihan. Data yang didapat juga membantu pengambilan
keputusan program aktivitas, stabilitas dan status vokasional. Penilaian aktivitas fisik perlu
mengenali komponen kebugaran termasuk fleksibilitas, komposisi tubuh dan kekuatan otot. Uji
latih submaksimal yang dapat digunakan antara lain uji jalan 6 menit atau 12 menit, estimasi
menggunakan interview, kuesioner dan simulasi pekerjaan. 2
Progam latihan harus didasari pada stratifikasi risiko, tujuan pasien dan sumber daya yang dimiliki
fasilitas kesehatan. Rekomendasi untuk mengurangi komplikasi kardiovaskular pada Program
Rehabilitasi Jantung berbasis latihan.2
Latihan pada pemulihan aktivitas fisik umumnya terdiri dari latihan endurance dengan intensitas
ringan-sedang selama 20-60 menit dengan frekuensi 3 hari perminggu.2 Menurut guidelines
standar untuk latihan terdiri dari sesi pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan fleksibilitas
dengan penambahan dan perubahan peresepan latihan dilakukan secara progresif sesuai dengan
perubahan status klinis pasien.9
- Faktor keamanan
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya
- Stratifikasi risiko dan risiko latihan
- Ambang batas angina atau iskemik
- Gangguan koginitif dan psikologis
- Penyakit komorbid (diabetes mellitus, gagal jantung kongestif) 2
- Faktor pendukung
- Kebutuhan vokasional dan avokasional
- Limitasi ortopedik
- Aktivitas sebelum sakit dan sekarang
- Kesehatan pribadi
- Pertimbangan nonkardiak lainnya2
- Denyut jantung maksimal harus diatur untuk tetap berada dibawah denyut jantung yang dapat
menimbulkan hal-hal dibawah ini:2
- Angina atau gejala lain yang menandakan insufisiensi kardiovaskular
- Penurunan atau tekanan darah sistolik yang mendatar yang berhubungan dengan disfungsi
ventrikel kiri
- Sistolik > 240 mmHg atau diastolik > 110 mmHg
- EKG yang menandakan iskemia
- Latihan dengan ekokardiografi yang menunjukkan disfungsi ventrikel kiri
- Meningkatnya aritmia ventrikel
- Gangguan EKG lain (AV blok derajat 2 atau 3, fibrilasi atrial, SVT, LBBB)
- Gejala atau tanda intoleransi latihan
Persentase detak jantung Peresepan target denyut jantung didasari pada persentase
maksimum denyut jantung maksimal yang didapat pada uji latih. Perkiraan
konsumsioksigen equivalent sekitar 15% (contoh: 70% HR max = 55%
METs maksimal)
RPE (skala Borg) Pasien sebaiknya menggunakan skala RPE yang sudah diketahui
sebelumnya dari uji latih, RPE selama sesi latihan biasanya lebih
rendah dibanding selama uji latih.
Latihan fleksibilitas
Fungsi muskuloskeletal yang optimal memerlukan perawatan pada semua lingkup gerak sendi (range of
motion) terutama otot punggung bagian bawah dan bagian paha belakang. Kurangnya fleksibilitas pada
bagian tersebut dapat meningkatkan risiko low back pain kronis. Oleh karena itu usaha promotif dan
preventif harus melibatkan program latihan fleksibilitas.Kurangnya fleksibilitas berhubungan dengan
berkurangnya kemampuan dalam melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Program latihan pada usia tua
harus menekankan pada pemanasan yang baik dan benar terutama tubuh, leher dan pinggang. 2
Latihan penguatan
Latihan kekuatan dapat meningkatkan kekuatan otot dan stamina dan terdapat bukti toleransi latihan
juga meningkat. Hal ini sangat membantu dalam aktivitas sehari-hari, vokasional dan avokasional
serta kebebasan beraktivitas pada orang tua. Dahulu banyak persepsi yang menyebutkan latihan
kekuatan berbahaya atau setidaknya tidak bermanfaat, hal ini mungkin berhubungan dengan
konsumsi oksigen yang jauh lebih rendah dibandingkan denganlatihan dinamis, respon iskemik dan
peningkatan perfusi subendokardial. Namun bukti terbaru menyatakan keamanan dari efektivitas
latihan kekuatan.2
Lakukan satu set yang terdiri dari 8-10 jenis latihan yang melibatkan kelompok otot, dilakukan 2-3
kali perminggu. Tambahan set dapat dilakukan tetapi manfaat tidak terlalu signifikan. 2
- Melibatkan kelompok otot yang besar dibanding kelompok yang otot kecil
- Meningkatkan beabn 5-10 pound jika 12-15 repetisi dapat dilakukan dengan mudah
- Angkat beban secara perlahan dengan gerakan yang benar, pastikan ekstremitas pada ekstensi
maksimal ketika mengangkat beban
- Ekspirasi saat fase mengangkat atau mendorong beban dan inspirasi saat menurunkan beban
- Hindari pegangan yang terlalu kuat karena dapat mencetuskan peningkatan tekanan darah
- Minimalisir periode istirahat antara setiap jenis latihan semampunya pasien untuk
memaksimalkan kemampuan otot
Peresepan latihan pada pasien yang tidak dilakukan uji latih sebelumnya
Pada pasien yang mengikuti program prevensi sekunder yang belum dilakukan uji latih sebelumnya,
program latihan harus diimplementasikan secara konservatif dengan supervisi yang ketat. Pada
tahap awal program pasien perlu dimontior EKG, tanda dan gejala, tekanan darah, RPE dan tanda
kelelahan. 2
Intensitas awal latihan dapat ditentukan dari jangka waktu setelah pasien keluar dari rumah sakit
yang didapat berdasarkan anamnesis dan juga perlu disesuaikan dengan aktivitas yang biasa
dilakukan sehari-hari. Umumnya latihan berkisar 2-3 METs atau 1-3 mph dengan kemiringan 0%
pada treadmill atau 25-50 Watts pada cycle ergometer dengan peningkatan 0.5 – 1 METssesuai
toleransi. Peningkatan intensitas latihan dapat didasari pada respon latihan dan skala RPE pasien.
Intensitas latihan dapat ditingkatkan menjadi skala RPE 12-13 jika pasien tetap asimptomatik.2
Psikososial
Faktor psikososial memiliki pengaruh pada proses pemulihan dan perkembangan penyakit terutama
pasien yang memiliki masalah mental seperti depresi, rasa tidak berdaya, isolasi sosial dan stres
akut. Terapi psikososial yang dilakukan telah terbukti memiliki efek positif pada rehabilitasi seperti
meningkatnya keterikatan pada program pengobatan dan latihan, vokasional, morbiditas dan
mortalitas. Sayangnya kebutuhan psikososial pada pasien jantung sering dilupakan baik pada fase
rawat inap maupun rawat jalan. 2
Depresi sering terjadi pada 20-45 % pasien pasca serangan penyakit jantung. Depresi merupakan
faktor risiko independen untuk mortalitas infark miokard akut atau angina tidak stabil. Komplikasi
psikososial terjadi pada 20% pasien pasca infark miokard akut. Depresi sering berhubungan
dengan menurunnya tenaga, sering fatigue, penurunan kapasitas latihan dan penurunan kualitas
hidup maupun sense of well-being. Risiko depresi pasca kejadian penyakit jantung lebih sering
terjadi pada wanita terutama wanita muda.9
Distres psikososial dan depresi meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari pasien yang
didiagnosis SKA. Terutama pada kasus infark miokard dengan depresi. Stres dan isolasi sosial dapat
memperburuk prognosis pasca infark miokard. Stresor yang bersifat akut dapat menyebabkan plak
aterosklerotik menjadi tidak stabil sehingga pengendalian mental dan status emosional penting
untuk mempertahankan stabilitas dari plak. Program prevensi sekunder perlu memperhatikan
kemungkinan adanya depresi dan psikososisal distress. Vasokonstriksi koroner dalam menanggapi
stres mental pada pasien dengan sindrom koroner akut telah ditunjukkan dengan angiografi.11
Evaluasi psikososial meliputi indentifikasi depresi, anxietas, kemarahan, isolasi sosial, distres
keluarga, disfungsi seksual atau penyalahgunaan zat serta statuspenggunaan obat-obatan
psikotropika melalui wawancara dan/atau teknik pengukuran lainnya. Pasien dengan gejala
depresi berisiko 5 kali lipat untuk tidak menyelesaikan program rehabilitasi jantung sehingga
membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih dibandingkan pasien lainnya. Sedangkan wanita
Penilaian:
Tim harus mengidentifikasi tingkat distress psikososial dengan kombinasi antara anamnesis dan
instrumen skrining psikososial pada saat memasuki, keluar atau follow up berkala.2
Hasil penilaian:
- Klinis: pasien harus menunjukkan kesehatan emosional yang baik yang ditandai dengan tidak
adanya:2
- Distres psikososial seperti depresi, isolasi sosial, cemas, marah
- Ketergantungan obat
- Respon psikofisiologi yang berlebihan
- Perilaku: program harus dapat meningkatkan kemampuan pasien pada hal-hal berikut ini:2
- Menjelaskan proses rehabilitasi dan pemulihan
- Mengembangkan ekspektasi hidup yang realistis
- Bertanggung jawab pada perubahan kebiasaan
- Menunjukkan kemampuan menyelesaikan masalah
- Ikut serta dalam latihan fisik, mediasi dan teknik relaksasi lainnya
- Menunjukkan manfaat dari kemampuan pengaturan stres kognitif dan perilaku
- Mendapat dukungan sosial yang efektif
- Beradaptasi dengan obat-obatan psikotropik (jika diresepkan)
- Mengurangi hingga berhenti mengkonsumsi alkohol, rokok, kafein dan zat psikoaktif
lainnya yang tidak diresepkan
- Kembali ke perannya dalam sosial, vokasional dan avokasional
- Apakah masalah psikososial disebabkan oleh penyakit atau karena memulai program prevensi
sekunder.
- Apakah penyakit mengganggu kemampuan pasien untuk beradapatasi dengan aktivitas hidup
sehari-hari.
- Apakah pasien menunjukkan gangguan afektif atau kognitif dalam menghadapi penyesuaian
dengan penyakit dan program prevensi sekunder.
- Apakah pasien menerima dukungan psikososial yang adekuat untuk mengatasi stressor dari
intervensi medis atau prevensi sekunder.
- Manajemen psikososial: tim harus menentukan cara dan keberhasilan pasien dalam menangani
dan manajemen krisis (medis) yang dialami.
Pasien yang memerlukan evaluasi dan dukungan tambahan antara lain:2
- Pasien yang hidup sendiri
- Pasien yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan
- Pasien yang baru saja cerai atau menjadi duda/janda
- Pasien yang terisolasi secara sosial
- Pasien berasal dari kelurga dengan banyak permasalahan
- Pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah
- Pasien dengan pendapatan yang rendah
- Pasien yang merokok
- Pasien dengan obesitas
- Pasien dengan penyakit kronis multipel
- Pasien yang tidak memiliki dukungan spiritual dan agama
- Pasien yang menganut kebudayaan yang bertentangan dengan filosofi mandiri dan
optimisme
- Pasien yang memiliki gangguan fungsi kognitif
- Kemampuan untuk relaks: tim harus menilai kemampuan pasien untuk relaks
Relaksasi dapat memfasilitasi kemampuan menangani ketakutan,cemas dan nyeri. Relaksasi
dan mood yang baik sebelumnya juga dikenal memiliki peranan penting dalam menentukan
hasil intervensi. Sehingga tim perlu mengetahui cara pasien untuk bisa relaksasi.2
- Kebutuhan untuk konsultasi dengan spesialis: jika rujukan ke spesialis dibutuhkan karena
adanya gejala depresi, penyalahgunaan alkohol, merokok dan masalah spiritual.2
- Menyediakan konseling individual dan atau berkelompok mengenai perubahan yang terjadi
akibat penyakitnya dan penghentian merokok
- Membantu terciptanya lingkungan yang mendukung kesehatan pasien dan dukungan oleh
keluarga. Serta membantu pasien untuk relaks seperti mengintruksikan untuk pernapasan
Strespasca trauma sering sekali ditemukan pada pasien yang baru keluar dari rumah sakit.
Kemungkinan stres pasca trauma dapat dipertimbangkan jika terdapat gejala dibawah ini yang
berlangsung menetap setidaknya 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit:2
Tujuan pasien perlu diketahui saat memasuki program prevensi sekunder sehingga program dapat
disesuaikan untuk membantu tercapainya target tersebut. 2
- Penyesuaian aktivitas seksual serta efek dari penyakit kardiopulmonal, medikasi pada mood
dan respon seksual
- Strategi untuk memodifikasi kebiasaan seperti merokok atau makan berlebih
- Bahaya depresi dan emosi yang tidak terkendali pada kesehatan
- Pentingnya dukungan sosial dalam mempromosikan prevensi sekunder dan kesehatan pasien
- Strategi manajemenstres secara umum
- Berlatih teknik relaksasi
Menyerupai intervensi pada fase rawat inap, tim rehabilitasi juga perlu melakukan intervensi
psikososial pada pasien dengan hal-hal sebagai berikut:2
- Menyediakan konseling individual atau edukasi kelompok kecil mengenai manajemen stres
termasuk latihan kognitif dan perilaku pada pasien dengan kepribadian tipe A, merokok dan
makan berlebih.
- Membantu terciptanya lingkungan yang mendukung kesehatan pasien dan dukungan oleh
keluarga.
- Merujuk pasien yang secara signifikan mengalami strespasca trauma, depresi, cemas, dan
penyalahgunaan obat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
- Follow up
Penilaian berat badan, Body Mass Index (BMI) dan komposisi tubuh
Pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang serta indeks massa tubuh dapat
memberikan dasar untuk mencapai target berat badan jangka pendek maupun jangka panjang.
Semua pasien perlu diukur berat dan tinggi badan dan menghitung indeks massa tubuh (Body
Mass Index/BMI) pada kunjungan awal sebagai evaluasi rutin. Analisis komposisi tubuh dilakukan
dengan skinfolds, pengukuran lingkar pinggang, rasio pinggang-panggul dan metode lain yang
berhubungan dengan proses evaluasi.2
Peresepan latihan dapat disesuaikan dengan target kalori yang ingin dicapai berdasarkan komposisi
tubuh atau kelebihan berat badan.2
Pemeriksaan seperti pengukuran hydrostatik, CT atau MRI, dual energy X-ray absorptiometry
(DEXA) merupakan pemeriksaan yang lebih akurat tetapi tidak praktis dalam program prevensi
sekunder.2 Indeks massa tubuh (IMT) adalah pengukuran berat badan yang disesuaikan dengan
tinggi badan. Adapula cara perhitungan IMT adalah berat badan (dalam kg) dibagi dengan tinggi
badan (dalam m) dikuadrat.14
Klasifikasi IMT
Normal 18,5-22,9
Berisiko 23,0-24,9
Obese I 25,0-29,9
Obese II >30
Normal 18,50-24,99
Obese I 30,00-34,99
Obese II 35,00-39,99
Tebal lemak subkutan dan pengukuran lingkar pinggang dapat memperkirakan persentase lemak
tubuh.2
Lingkar pinggang diukur setinggi pusar
Rasio pinggang-panggul:
Lingkar panggung diukur setinggi pertengahan panggul
% lemak tubuh: dapat diukur dengan metode lemak subkutan, penimbangan hidrostatic, DEXA.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam intervensi untuk menurunkan berat badan:
Program prevensi sekunder yang mengkombinasi latihan, edukasi, diet, konseling dan intervensi
perilaku didesain untuk mengurangi berat badan. Rekomendasi modifikasi diet sebaiknya disusun
pada tujuan yang masuk akal dan mudah diikuti pasien. Edukasi ini juga harus disampaikan pada
pendamping pasien terutama mereka yang menyiapkan makanan untuk pasien. Diet haruslah
rendah gula, lemak dan kolesterol tetapi harus tinggi karbohidrat kompleks dan serat.2
Target indeks massa tubuh adalah 18,5 sampai 24,9 kg/m dengan lingkar pinggang 40 inchi pada
laki-laki dan 35 inchi pada wanita. Manajemen berat badan meliputi kombinasi diet, aktivitas
atau latihan fisik dan program kebiasaan (behavioral program). Walaupun durasi latihan 30 menit
merupakan rekomendasi global, durasi latihan untuk penurunan atau menjaga berat badan dapat
dilakukan selama 60 menit.9
Sama halnya seperti penyakit jantung lainnya aktivitas sangatlah dianjurkan di antaranya berjalan,
menaiki tangga, berkebun dan aktivitas rekreasional (golf, bowling, tenis) yang diterapkan dalam
Menurut American Family Physician tahun 2003 peresepan latihan untuk pasien overweight dan
obesitas:17
Frekuensi : 3-5 hari per minggu. Latihan yang sering dan rutin sangat disarankan
Intensitas : Sekitar 55-70 % dari age-predicted maximal heart rate untuk menghindari trauma
musculoskeletal dan meningkatkan kepatuhan, mulai latihan dari intensitas
rendah sampai sedang dan mulai meningkat secara bertahap selama beberapa
minggu atau bulan kedepan. Lebih disarankan untuk meningkatkandurasi
dibandingkan meningkatkan intesitas untuk mencapai target ekspenditur
kalori yang optimal
Tipe : aktivitas low-impact seperti berjalan, bersepeda, erobik low impact dan
latihan air) yang sesuai, lebih mudah diakses dan memberikan kesenangan
untuk pasien
Menurut ACSM tahun 2013 peresepan latihan untuk pasien overweight dan obesitas:18
Intensitas : aktivitas erobik dengan intensitas sedang – berat, awali intensitas sedang
sekitar 40 – 60% dari VO2 Reserve atau HR Reserve (RPE 11-13) ditingkatkan
secara bertahap menjadi intensitas berat sekitar > 60% VO2 Reserve atau HR
Reserve yang dapat menghasilkan manfaat kesehatan dan kebugaran tubuh
Waktu : minimal 30 menit per sesi (150 menit per minggu) yang dapat bertambah 60
menit per sesi (300 menit per minggu) atau dapat berupa akumulasi latihan
Tipe : tipe latihan utama berupa latihan erobik yang meliputi kelompok otot besar.
Latihan penguatan (resistensi) direkomendasikan sebagai tambahan untuk latihan erobik karena
dapat membantu menjaga laju metabolik basal (basal metabolic rate), memperbaiki kekuatan dan
kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang berhubungan dengan aktivitas sehari-
hari seperti mengangkat kantung belanjaan dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Disarankan
latihan resistensi intensitas sedang dengan frekuensi 2-3 hari per minggu, satu set dengan repetisi
15 kali dan melakukan 10 macam latihan untuk melatih kelompok otot yang berbeda.17
Diabetes melitus
Kontrol gula darah yang baik dapat mengurangi angka kejadian penyakit pembuluh darah,
(mikrovaskular maupun makrovaskular) pada penderita diabetes melitus yang insulin dependent
maupun non insulin dependent. 11
Menurut Zdrenghea dan kawan-kawan (2009), aktivitas fisik sangat penting dilakukan oleh
penderita diabetes. Pada orang normal aktivitas fisik dapat mencegah risiko diabetes dan pada
penderita diabetes aktivitas fisik berguna untuk menghambat komplikasi kardiovaskular sedangkan
pada penderita diabetes dengan masalah kardiovaskular, latihan fisik meningkatkan kapasitas
latihan dan menurunkan komplikasi dan memperpanjang kelangsungan hidup.20
Pada penderita diabetes latihan fisik yang direkomendasikan adalah latihan dengan supervisi.
Kendati demikian rehabilitasi di rumah (home based) juga memiliki manfaat. Program latihan erobik
dan latihan resistanceyang direkomendasikan pada pasien diabetes memiliki durasiselama 30 – 60
menit dan frekuensi 3 -5 kali perminggu.20
Diabetes melitus dan gangguan glukosa puasa berhubungan dengan outcome kardiovaskular
jangka panjang yang buruk. Perbaikan kontrol glikemik (glycemic control) akan menurunkan
angka mobiditas dan mortalitas kardiovaskular. Aktivitas fisik menurunkan resistensi insulin dan
intoleransi glukosa. Pasien perlu dinilai dengan sebaik mungkin mengenai status diabetes melitus
yang meliputi medikasi, diet, pemantauan kadar gula darah dan kepatuhan pasien. Target yang
diharapkan adalah HbA1c <7% untuk pasien diabetes melitus. Edukasi pasien harus mencakup
latihan terutama pada pasien dengan insulin dan mengajarkan kemampuan self-monitoring untuk
latihan yang tidak disupervisi.9
Komponen Rekomendasi
Penilaian Pasien Penilaian pasien curiga DM tipe 2 dengan menggunakan kombinasi risk score
tools dan GD2PP; penilaian pasien dengan penyakit jantung koroner dan DM
menggunakan GD2PP; kapasitas fungsional dan exercise induced ischemia
menggunakan maximal symptom-limited exercise stress testing
Program latihan - Aktivitas fisik erobik dengan intensitas sedang selama > 150 menit/
minggu (> 4,5 METs) dan/atau latihan erobik berat selama 90 menit/
minggu (> 7,5 METs)
- Aktivitas fisik perlu dilakukan minimal 30 menit
- Latihan kekuatan atau resistensi dilakukan 3 kali/minggu,2-4 set dengan
7-40 repitisi, mentargetkan kelompok otot mayor
Konseling diet/nutrisi - Pada kasus overweight restriksi kalori sekirar 1500 kcal/hari
- Diet antiaterogenik meliputi diet redah lemak sekitar 30-35% dari ambilan
energy harian, hindari lemak trans, tinggi serat 30 g/hari, rendah pemanis
buatan, buah atau sayur sebanyak 5 porsi per hari.
- Diet akan lebih efektif apabila dikombinasi dengan program latihan.
- Menghitung indeks massa tubuh (IMT) dan intake makanan saat ini
- Menanyakan pasien mengenai kesediaan pasien untuk memulai perubahan diet, bila pasien
sudah siap makan resepkan terapi nutrisi atau pertimbangkan untuk dirujuk
- Memberikan edukasi mengenai kekhawatiran pasien yang berhubungan dengan kemampuanya
untuk memulai serta menjaga perubahan diet
Seimbangkan asupan kalori dengan aktivitas fisik untuk mencapai berat badan ideal/healthy
Konsumsi banyak buah dan sayuran
Pilih makanan berserat tinggi seperti whole grain/gandum
Konsumsi ikan setidaknya 2 kali seminggu
Batasi lemak jenuh <7% dari energi and kolesterol <300 mg
Minimalisir lemak trans <1% dari energi atau tidak mengkonsumsi sama sekali.
Batasi asupan gula <100 kcal/d untuk wanita dan<150 kcal/d untuk pria.
Pilih makanan dengan sedikit atau tanpa garam
Mengikuti rekomendasi AHA ketika makan diluar rumah
Batasi konsumsi alkohol
Berhenti merokok dan pastikan lingkungan bebas rokok
Lingkungan dengan udara bersih
Definisi dan etiologi gagal jantung Mengerti bahaya dari gagal jantung dan bagaimana gejala bisa terjadi
Aspek psikososial Mengetahui gejala depresi dan gangguan kognitif yang umum dan
bagaimana pentingnya dukungan sosial
Daftar Pustaka
1. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
2. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. New York:
Churchill Livingstone, 1992.
3. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
4. Singh VN and Lorenzo CT, editor. Cardiac Rehabilitation. Prim care. 2015.
5. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012.
6. American College of Sports Medicine. Exercise prescription for patients with cardiac disease.
In WR Thompson et al, eds, ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription, 8th ed,
pp. 207–224. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2010.
7. Graham IM, Fallon N, Ingram S, et al. Rehabilitation of the patient with coronary heart disease.
In Hurst’s the Heart, 13th edition. New York: McGraw-Hill. 2011. vol. 2, pp. 1513–1530
8. Giannuzzi P. Secondary Prevention Through Cardiac Rehabilitation: Position Paper of the
Working Group on Cardiac Rehabilitation and Exercise Physiology of the European Society of
Cardiology. European Heart Journal. 2003. 24: 1273-1278.
9. Wenger NK. Current Status of Cardiac Rehabilitation. Journal of the American College of
Cardiology. 2008. 51.
10. Rustin TA. Assessing Nicotine Dependence. American Family Physician. 2000.62(3):579-584.
11. Bell K, Twiggs J and Olin BR. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline
Recommendation. Alabama Pharmacy Association. 2015.
12. Nwankwo T, Yoon SS, Burt V et al. Hypertension Among Adults in the United States : National
Health and Nutrition Examination Survey, 2011-2012. NCHS. 133. 2013.
284 Rehabilitasi Kardiovaskuler
13. Department of Health. Physical Inactivity and Cardiovascular Disease. 1999.
14. Center for Disease Control and Prevention Adult BMI. 2009.
15. Purnamasari D, Badarsono S, Moersadik N, et al. Identification, Evaluation and Treatment of
Overweight an Obesity in Adults : Clinical Practice Guidelines of Obesity Clinic, Wellness
Cluster Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Journal of the ASEAN Federation
of Endocrine Societies. 2011.
16. BMI Classifications. World Health Organization. 2016.
17. Mcinnis KJ, Franklin BA and Rippe JM. Counseling for Physical Activity in Overweight and
Obese Patients. American Family. 2003. 67: 1249-1256.
18. Pescatello, LS et al. ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription: Overweight and
Obesity. 9th ed. Lippincott Willians and Wilkins. 2013.
19. Yumuk V, Tsigos C, Fried M, et al. European Guidelines for Obesity Management in Adults. Karger.
2015; 8: 402-424.
20. Zdrenghea D and Penciu O. Rehabilitation in diabetic patients. Rom J Intern Med.
2009;47(4):309-17.
21. Piepoli MF, Corrà U, Benzer W, et al. Secondary Prevention through Cardiac Rehabilitation
: from knowledge to implementation. European Journal of Cardiovascular Prevention and
Rehabilitation. 2010, 17:1-17.
22. Olendzki B, Speed C and Domino FJ. Nutritional Assessment and Counseling for Prevention and
Treatment of Cardiovascular Disease. American Family Physician. 2006. 73 : 257-264.
23. Ackel RH, Jakicic JM, Ard JD, et al. 2013 AHA/ACC Guideline on Lifestyle Management to
Reduce Cardivascular Risk: a Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of American College of Cardiology
2014; 63(25).
Penyakit jantung koroner menyumbang kematian, disabilitas dan kerugian yang besar secara
ekonomi pada negara industrial seperti Amerika Serikat. Pada pasien infark miokard baik yang
menjalani vaskularisasi PTCA maupun CABG mengalami banyak penurunan kemampuan salah
satunya aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan.2
Banyak penelitian mengenai kembali bekerja pada pasien jantung menilai status pekerjaan (bekerja
atau tidak bekerja), kerja full-time atau part-time serta waktu yang diperlukan untuk kembali
bekerja. Diperkirakan terdapat 50-80% pasien pasca infark miokard dapat kembali bekerja.3
Di Amerika Serikat hampir satu juta pasien yang hidup pasca serangan jantung, 45% diantaranya
masih berusia dibawah 60 tahun. Pasien penyakit jantung koroner yang hidup dan berusia dibawah
65 tahun yang dapat kembali bekerja secara signifikan akan berdampak pada ekonomi nasional.2
Di Israel sekitar 80% pasien pasca infark miokard kembali bekerja, namun demikian lamanya masa
bekerja hanya sekitar 50% dan hal ini berkaitan dengan usia pasien dan karakteristik pekerjaan,
begitu pula dengan tingkat keparahan penyakit dan metode revaskularisasi.1
Populasi di Uni Eropa diperkirakan kehilangan 90 juta hari kerja per tahunnya karena morbiditas
penyakit jantung koroner, padahal kembali bekerja setelah kejadian kardiovaskular dibutuhkan
untuk menyokong kondisi ekonomi dan memperbaiki kualitas hidup, tidak kembalinya bekerja
dapat menyebabkan depresi.4,5,6
Umumnya pasien menargetkan untuk kembali bekerja sebagai tujuan utama saat mengikuti
program rehabilitasi pasca infark miokard, CABG dan PTCA. Kembali bekerja juga dinilai sebagai
manfaat nyata dari efektivitas program rehabilitasi. Faktor psikologi dan sosioekonomi juga
terbukti sama pentingnya dengan faktor fisik dan medis dalam menentukan kemampuan bekerja
kembali. Kemajuan yang signifikan ditunjukkan pada kelompok pasien yang menjalani program
latihan rehabilitasi jantung, namun rehabilitasi psikososial dan okupasional belum dapat data
secara signifikan. Penilaian semua faktor yang mempengaruhi aktivitas pekerjaan pada pasien
kardiovaskular sangat penting untuk mengidentifikasi masalah terutama melanjutkan pekerjaan
sehingga dapat tersusun program rehabilitasi yang fokus untuk menyelesaikan masalah.2 Kembali
ke pekerjaan sebelumnya sangat penting untuk status kesehatan fisik dan emosional pasien namun
hanya 50-80 % pasien yang kembali bekerja setelah infark miokard atau operasi jantung. Dalam
dua tahun angka tersebut akan berkurang 10-15%.7 Frekuensi dan waktu kembalinya bekerja
menjadi gambaran efek infark miokard terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Beberapa studi di
negara maju mendapatkan angka frekuensi kembali bekerja pasca infark miokard sebesar 63 –
94% di Amerika Serikat, 58 – 80% di Swedia, 85 – 87% di Belgia dan 90% di Denmark.8
Untuk menentukan kapan seseorang dapat kembali bekerja, maka program rehabilitasi harus
menyediakan program vokasional secepatnya. Pasien dengan infark miokard yang sederhana dan
pekerjaan dengan beban kerja ringan sampai sedang dapat memulai pekerjaan setelah 4 minggu
pasca infark miokard. Pasien yang tidak menunjukkan gejala selama uji latih menjadi data dan
dokumen yang penting tentang keamanan selama berkerja.7
Sulitnya kembali bekerja pada pasien yang mengalami infark miokard dapat terjadi karena:2
Kemampuan pasien untuk kembali bekerja juga tergantung dari usia, sosialekonomi, lingkungan
pekerjaan, jenis infark yang sederhana atau infark menyeluruh dan waktu penilaian pasca infark.
Diperkirakan 70-75% dari seluruh pasien dapat kembali bekerja di Amerika. Sekitar 85% pasien
pasca infark miokard yang sederhana dapat melanjutkan pekerjaan sebelumnya.Namun demikian
hal ini tidak menjamin pasien dapat terus berada pada pekerjaannya karenadari data yang didapat
sebesar 20% keluar pada satu tahun pertama.2
Menurut pengalaman sebelumnya kebanyakan pasien dapat kembali bekerja dua hingga tiga bulan
pasca infark namun studi terbaru sudah menunjukkan periode yang lebih singkat kurang lebih 4
minggu pasien dapat kembali bekerja.
Waktu kembali bekerja pasien penyakit jantung asimptomatis tanpa komplikasi adalah 4 minggu pasca
infark miokard, pada pasca Coronary Artery Bypass Surgery/CABG 4-8 minggu dan pasca Percutaneous
Coronary Intervention/PCI 1 minggu.1
Tren ini terjadi karena pesatnya perkembangan pada bidang terapeutik seperti terapi reperfusi,
identifikasi faktor risiko rendah yang memungkinkan program rehabilitasi lebih agresif sehingga
pemulihan psikososial dan program rehabilitasi jantung lebih mudah. 2
Pemahaman berbagai faktor yang mempengaruhi kembali bekerja penting dalam menyediakan
informasi dan komunikasi efektif antara dokter dan pasien.2
- Faktor medis: luasnya infark miokard, fungsi otot jantung, kapasitas fungsional, variabel
psikologis (ansietas, depresi)
- Faktor non medis: kepuasan pekerjaan (job satisfaction), status ekonomi, usia, persepsi
penyakit, riwayat gagal jantung dan rekomendasi dokter.
Faktor sosio-demografi6
- Usia
Beberapa penelitian melaporkan bahwa usia lanjut merupakan faktor negatif untuk kembali
bekerja. Pada penelitian PERISCOP rata-rata usia pasien yang kembali bekerja pasca CABG
adalah 49,6 ± 5,4 tahun (p<0,001). Penelitian Hallberg dan kawan-kawan pada penelitian yang
dipantau selama 10 tahun menemukan bahwa angka keberhasilan kembali bekerja pasien
pasca CABG usia muda lebih tinggi dibandingkan dengan yang usia tua. Pasien pasca penyakit
jantung usia diatas 60 tahun disarankan untuk mengambil pensiun.
- Jenis Kelamin
Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dengan angka kembali
bekerja pasca intervensi jantung. Dikatakan bahwa wanita memiliki risiko tidak kembali
bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan oleh tingginya morbiditas
dan masalah psikiatri pada wanita pasca infark miokard serta wanita yang sudah menikah
banyak yang enggan kembali bekerja.
- Pendidikan
Terdapat hubungan antara tingginya tingkat pendidikan dengan angka kembali bekerja. Hal ini
tercantum pada penelitian yang dilakukan oleh Waszkowska dan Szymczak yang menemukan
bahwa pasien yang kembali bekerja pasca infark miokard memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi dan juga usia muda.
- Kategori Profesi
Beberapa studi menyatakan bahwa angka kembali bekerja pasca intervensi jantung sangat
dipengaruhi oleh status pekerjaan pasien. Angka kembali bekerja biasanya lebih tinggi pasien
dengan jabatan yang lebih tinggi “white collar” dibandingkan dengan yang pasien yang bekerja
sebagai bawahan “blue collar”.
Faktor psikososial6
- Depresi
Pasien depresi memiliki risiko yang tinggi untuk tidak kembali bekerja dan juga pasien dengan
gejala depresi sedang dapat mempengaruhi proses kembali bekerja. Penelitian yang dilakukan
oleh Soderman dan kawan-kawan mengatakan bahwa depresi merupakan prediktor negatif
- Persepsi pasien
Pengalaman masa lalu tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya (sebagai contoh pendapat
bahwa penyakit ini adalah penyakit yang akan bertahan lama dan memiliki konsekuensi berat)
dapat mempengaruhi penilaian pasien terhadap kemampuan bekerja, kapasitas bekerja dan
keputusan mengenai kembali bekerja. Penelitian Soejima dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa persepsi yang positif mengenai penyakit pasien merupakan salah satu faktor yang
positif untuk pasien kembali bekerja.
- Kepribadian
Pola kepribadian introvert, usia tua dan gejala depresif merupakan prediktor negatif untuk
kembali bekerja.
Program latihan.
Selain ketiga hal yang disampaikan sebelumnya adapula faktor lain yang mempengaruhi kembali
bekerjanya pasien yaitu program latihan. Program latihan mempengaruhi kapasitas fungsional
pasien dan berhubungan dengan penurunan gejala kardiorespirasi sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pasien dalam melakukan pekerjaan. Konseling mengenai pekerjaan dan aktivitas fisik
yang dapat dilakukan serta edukasi juga akan semakin memperbaiki kemampuan pasien untuk
kembali bekerja.12
- Faktor klinis:
- Derajat keparahan penyakit berdasarkan Killip atau profil komprehensif yang merupakan
indikator penting dalam kemampuan pasien kembali bekerja
- Komplikasi infark miokard (aritmia atau gagal jantung)
- Angina berkepanjangan
- Rehospitalisasi
Dennis dan kawan-kawan mengemukakan bahwa kurangnya produktivitas dan pendapatan
tidak terhindarkan pada pasien risiko tinggi dengan infark miokard yang berat atau dengan
komplikasi, tetapi kerugian ini dapat dicegah pada pasien dengan risiko rendah. Pada studi random
menggunakan protokol evaluasi pekerjaan (occupational work evaluation) pada 21 hari pasca infark
miokard, pasien dengan risiko rendah mampu kembali bekerja dalam 5 minggu pasca infark dan
pada kelompok yang diberikan rehabilitasi mampu kembali bekerja 3 minggu lebih cepat. 2
- Faktor psikososial
Status sosioekonomi yang tercermin dalam tingkat edukasi, kebutuhan fisik atau tipe pekerjaan
merupakan prediktor kemampuan kembali bekerja. Umumnya sulitnya kembali bekerja berhubungan
dengan status sosioekonomi yang rendah terutama pada pekerja kasar (blue collar worker). Karena
jenis pekerjaan ini umumnya memerlukan kebutuhan fisik yang tinggi sehingga sulit untuk kembali
bekerja. Para pekerja kasar umumnya juga menunjukkan tingkat cemas dan depresi lebih tinggi
dari pekerja berkerah putih(white collar worker). Persepsi tentang status kesehatan diri sendiri juga
terbukti sebagai prediktor kemampuan kembali bekerja berdasarkan studi univariat dan bivariat.
Pasien usia diatas 60 tahun menunjukkan angka kembali bekerja yang lebih rendah, hal ini mungkin
disebabkan karena dengan bertambahnya usia, pasien cenderung ingin meninggalkan pekerjaan
secara psikologis sebagai persiapan untuk pensiun dari pekerjaanya.2
Manifestasi psikologis seperti distres, cemas dan depresi berhubungan dengan perpanjangan
masa konvalesens dan rendahnya angka kembali bekerja. Penelitian Shanfield mengemukakan
gangguan afektifmerupakan prediktor kuat dibanding gejala cemas atau depresi dalam kemampuan
untuk kembali bekerja. Sedangkan pada orang dengan kepribadian tipe A umumnya memiliki
angka kembali bekerja yang tinggi. Pada orang yang giat bekerja, usaha untuk kembali bekerja
tidak sepenuhnya bermanfaat tetapi lebih mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan
kemampuan fisiknya.2
Laki-laki memiliki kecenderungan untuk kembali bekerja lebih tinggi dari perempuan karena perempuan
yang mengalami sakit jantung sebagian besar berusia lebih tua dan sudah menikah sehingga secara
psikologis akan mementingkan keluarga dan kurang semangat untuk melanjutkan pekerjaan, tidak
seperti halnya pria. Dukungan keluarga berhubungan dengan pendeknya masa konvalesens dan
kembali bekerja lebih awaltetapi dukungan yang belebihan akan menyebabkan pasien menjadi terlalu
tergantung pada keluarganya sehingga memperpanjang waktu yang diperlukan untuk kembali bekerja.
2
Pasien yang tidak kembali bekerja dalam 6 bulan cenderung tidak akan melanjutkan pekerjaannya,
hal ini mungkin disebabkan oleh psikologis paisen yang cenderung menyalahkan pekerjaannya sebagai
penyebab penyakitnya. Sehingga presepsi pribadi merupakan hal yang sangat penting dalam kembali
bekerja, 96% tidak bekerja jika mempercayai mereka sudah memiliki disabilitas.
Pada tabel 1 menunjukan faktor non medis yang mempengaruhi keputusan pasien dalam hal
kembali bekerja.2
Penyakit Umum
- Usia yang tua saat onset serangan - Kategori dan status pekerjaan
- Prognosis medis - Pekerjaan sebelumnya
- Keparahan penyakit dan Komplikasi - Kepedulian pasien mengenai work safety
- Derajat disabilitas - Kebutuhan fisik pekerjaan
- Penyakit lain yang signifikan - Kebutuhan emosional, kognitif dan mental
Keluarga Dokter
- Overprotection - Nasehat mengenai pekerjaan
- Kurangnya dukungan keluarga - Kurangnya kosneling dan pemberi motivasi
Ekonomi
- Keuntungan dan dana pensiun
- Peraturan dan keuntungan pekerja
- Pendapatan pasif
Boudrez dan kawan-kawan (2000) meneliti angka kembali bekerja pada pasien pasca infark
miokard akut dan pasca CABG serta menganalisis variabel yang memprediksi angka kembali
bekerja. Penelitian tersebut mengambil 227 subjek penelitian yang terdiri dari 90 pasien pasca
infark miokard akut dan 137 pasien pasca CABG. Subjek diberikan kuesioner pada saat di rumah
sakit dan 1 tahun pasca perawatan untuk mengevaluasi status pekerjaan, alasan tidak kembali
bekerja, morbiditas dan kondisi psikososialnya.13
Sebuah penelitian yang dilakukan Mirmohammadi dan kawan-kawan (2010) dengan melibatkan
200 partisipan di bawah usia 65 tahun yang mengalami kejadian infark miokard pertama kali dan
bekerja sebelum infark miokard yang diikuti selama 1 tahun ini menilai frekuensi kembali bekerja
pasien pasca infark miokard dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.14
Metode penelitian tersebut antara lain pengisian kuesioner untuk mendapatkan data demografik,
status ekonomi dan informasi mengenai pekerjaan setiap partisipan, pemeriksaan echocardiografi
untuk mengevaluasi fungsi otot jantung (device: GE vivid 7 USA) dan pengisian kuesioner oleh
Direct Support Professional untuk menilai kepuasan pekerjaan (job satisfaction). Dari 200 partisipan
hanya 174 yang dapat dipantau dan 134 orang (77%) di antaranya kembali bekerja selama kurun
waktu 1 tahun penelitian ini dilakukan. Didapatkan waktu rata-rata kembali bekerja adalah 46,00
+ 4,12 hari, 50% pasien kembali bekerja selama 40 hari pertama pasca infark miokard dan 10%
lainnya kembali bekerja antara 40 – 50 hari pertama setelah kejadian infark miokard. Alasan
tidak kembali bekerja yang paling sering ditemukan adalah keputusan pasien sendiri, selain ada
beberapa alasan lainnya seperti dalam tabel berikut.14
Pasien yang kembali bekerja sebagian besar kembali pada pekerjaan lamanya yaitu sebanyak
99,2%. Kebiasaan olahraga rutin sebelum mengalami infark miokard, memiliki dampak positif
terhadap kembali bekerja karena didapatkan 86,7% pasien yang dulunya olahraga teratur kembali
bekerja pasca infark miokard dibandingkan dengan yang tidak olahraga sebelumnya hanya 78,3%
di antaranya yang kembali bekerja.14
Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF) memiliki efek signifikan terhadap kembali bekerja dengan
nilai p = 0,007.14
Beberapa faktor yang tidak signifikan berhubungan dengan kembali bekerja antara lain: kepuasan
bekerja (p = 0,350), kelompok usia (p = 0,410), beban pekerjaan (p = 0,210), penyalahgunaan obat
terlarang (p = 0,230), merokok (p = 0,230), penghasilan/income (p = 0,620) dan titel pekerjaan (p
= 0,710).14
Dalam menentukan kembali bekerja pada pasien infark miokard perlu mengevaluasi prognosis,
kapasitas fungsional dan status psikososial.14
Prognosis dinilai dari adanya penyakit lainnya, temuan elektrokardiogram, uji toleransi latihan,
thallium scan dan angiografi. Kapasitas fungsional yang dinilai dari Left Ventricle Ejection Fraction
(LVEF) merupakan prediktor penting. Studi sebelumnya mendapatkan nilai signifikan bahwa lebih
dari 95% yang kembali bekerja memiliki fraksi ejeksi > 50%.14
Faktor psikososial di antara yang lainnya merupakan penentu paling penting terhadap kembali
bekerja. Perubahan psikologis setelah serangan jantung merupakan hal yang kompleks dan
berbeda tiap individu. Kecemasan serangan berulang dan rasa takut mati dapat mencegah pasien
kembali bekerja.14
Pada penelitian ini mendapatkan bahwa tingginya kepuasan akan pekerjaan membuat frekuensi
kembali bekerja lebih tinggi dan pekerja kantoran merupakan kelompok yang paling sering kembali
bekerja. Waktu rata-rata kembali bekerja pada penelitian ini adalah 6 minggu dan hasil ini serupa
dengan beberapa penelitian lainnya.14
Penelitian Kovoor dan kawan-kawan (2006) mendapatkan bahwa kelompok pasien risiko rendah
yang kembali bekerja 2 minggu setelah infark miokard dibandingkan dengan kelompok pasien
risiko tinggi yang kembali bekerja 6 minggu setelah infark miokard sama-sama tidak berbahaya.
Selain itu tidak didapatkan perbedaan signifikan pada kedua kelompok pasien tersebut mengenai
komplikasi kardiovaskular.14
Penelitian Korzeniowska dan kawan-kawan (2005) mendapatkan hasil bahwa rehabilitasi, usia,
tingkat pendidikan, dukungan sosial dan kepuasan pekerjaan menjadi faktor penentu kembali
bekerja pasca kejadian infark miokard.14
Pasien pasca CABG umumnya membatasi aktivitas sehari-hari pada awal minggu pertama termasuk
kemampuan untuk bekerja, walaupun angina berkurang dan kapasitas fungsional meningkat tetapi
hal tersebut tidak serta merta memudahkan pasien untuk kembali bekerja.2
Pamela dan kawan-kawan (2005) menyebutkan bahwa angka pasien yang kembali bekerja setelah
tindakan CABG menurun sekitar 14 % yaitu dari 56% menjadi 42% pada tahun pertama pasca
CABG. Menurunnya angka pasien yang kembali bekerja pasca tindakan CABG lebih sering terjadi
pada pekerja “blue-collar” (OR: 2.1, 99% CI: 1.4–3.1, 46% vs 29%, p < 0.001), usia tua (9% per tahun,
Penelitian Villa dan kawan-kawan memiliki hasil yang kurang lebih sama dengan penelitian Pamela
yang juga meneliti faktor yang mempengaruhi angka kembali bekerja dan seberapa baik pasien
tetap bekerja pasca tindakan CABG. Jumlah subyek penelitian sebesar 569 pasien pasca CABG
usia di bawah 65 tahun yang dipantau selama 10 tahun.16
Dengan analisis multivariate dalama penelitian Villa dan kawan-kawan ditemukan bahwa prediktor
terbaik yang mempengaruhi angka kembali bekerja adalah usia muda, status pekerjaan praoperasi,
tidak adanya diabetes atau kerusakan jantung perioperatif. Hampir setengah dari jumlah subyek
usia di bawah 60 tahun dan sebelumnya bekerja, kembali pada pekerjaannya satu tahun pasca
CABG. Lima tahun pasca CABG 85% dari jumlah subyek tersebut masih bekerja. Dapat disimpulkan
bahwa usia muda dan status pekerjaan preoperatif merupakan prediktor yang kuat untuk pasien
dapat kembali bekerja.16
Di sisi lain penelitian Vasiliauskas dan kawan-kawan (2008) menilai alasan tidak kembali bekerja
pada pasien pasca CABG dengan melibatkan 134 partisipan usia kurang dari 65 tahun setelah
menjalani prosedur revaskularisasi CABG.17
Penelitian tersebut mendapatkan hasil yaitu 48,1% pasien yang bekerja sebelum operasi kembali
bekerja dalam 1 tahun setelah revaskularisasi dan tidak ada masalah signifkan yang dijumpai.
Sekitar 30% lainnya yang juga bekerja mengalami gejala angina rekuren selama 12 bulan pasca
CABG. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kembali bekerja secara signifikan dipengaruhi oleh
jenis kelamin wanita, pola fisik dari pekerjaan, usia dan berat ringannya gagal jantung.17
Kemampuan pasien pasca PCI kembali bekerja tidak jauh berbeda dari pasien dengan infark
miokard atau pasien pasca CABG. Didapatkan data epidemiologis dari sebuah penelitian yaitu
dari 1.252 pasien pekerja yang mengalami penyakit jantung koroner diperkirakan hanya 20% di
antaranya yang kembali bekerja pasca revaskularisasi dengan PCI.8
Faktor non medis juga terbukti sama pentingnya dengan faktor medis dalam mempredikisi waktu
kembali bekerja pada pasien pasca PCI. Seperti yang diketahui masa konvalesen dan waktu yang
diperlukan untuk kembali bekerja lebih singkat dibanding pasien infark miokard dan CABG.2
Penatalaksanaan pasien perlu disesuaikan dengan stratifikasi risiko sehingga program rehabilitasi
perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi pasien, juga dapat disesuaikan setiap individu untuk
mencapai kebutuhan vokasionalnya. Pasien risiko rendah tahap komplikasi membutuhkan lebih
sedikit konseling vokasional atau intervensi psikologis karena mereka memiliki disabilitas fisik yang
rendah dan memiliki angka kembali bekerja yang tinggi. Dennis dan kawan-kawan menunjukkan
pasien risiko rendah secara signifikan membutuhkan waktu kembali bekerja yang lebih singkat.
Pickard dan kawan-kawan yang menilai cost benefit program ini pada pasien usia kurang dari 60
tahun di Amerika Serikat menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang lebih rendah dan pendapatan
okupasional lebih tinggi pada pasien yang dapat kembali bekerja lebih cepat. Penatalaksanaan
yang sesuai dengan indikasi dan pemberian terapi trombolitik untuk mengembalikan perfusi
miokard menyebabkan peningkatan signifikan pada angka kehidupan jangka pendek dan panjang
serta juga menghindari kecacatan fungsional serta risiko yang mungkin muncul.2
Pasien yang mendapat intervensi di rumah sakit dibandingkan di rumah menunjukkan stres psikologi
dan ketergantungan pada keluarga yang lebih rendah serta mampu menghilangkan hambatan untuk
kembali bekerja. Burgess dan kawan-kawan melaporkan baik program vokasional dan psikososial
serta kelompok yang mendapat rehabilitasi biasa menunjukkan angka kembali bekerja yang tinggi
(88%). Pada pasien yang akan menjalani intervensi program konseling vokasional dapat dimulai
sebelum pasien menjalani prosedur tersebut. Hal ini memungkinkan pasien lebih bersemangat,
merasa aman dan percaya diri untuk kembali bekerja setelahnya. Pada penelitian Liddle dan
kawan-kawan pasien yang menjalani rehabilitasi pekerjaan sebelum operasi menunjukkan hasil
yang lebih baik pasca operasinya. Hanya 46% dari 413 pasien yang berusia di bawah 65 tahun
yang bekerja sebelum operasi tetapi 85% di antaranya kembali bekerja setelah operasi. Liddle
menekankan bahwa dukungan psikologis terhadap rehabilitasi vokasional merupakan faktor yang
penting dalam meningkatkan angka kembali bekerja pada pasien.2
Evaluasi pekerjaan
Evaluasi kemampuan kembali bekerja pasca infark miokard masih menjadi kontroversi. Pada tahun
1960an hanya 12 – 18% pasien infark miokard yang kembali ke pekerjaan lamanya. Pada dekade
pertama abad 21 meskipun sudah banyak kemajuan di bidang diagnosis dan penatalaksanaan
selama 40 tahun terakhir tingkat kembali bekerja pasca infark miokard terbilang masih rendah.19,20
Teknik intervensi seperti Coronary Artery Bypass Surgery (CABG), Percutaneous Coronary Intervention
(PCI), terapi trombolitik dan latihan olahraga telah meningkatkan kelangsungan hidup tetapi
belum konsisten terkait dengan peningkatan produktivitas dan kembali bekerja pada pasien yang
sebelumnya bekerja, disabilitas atau memiliki keterbatasan bekerja, meskipun program rehabilitasi
telah memberikan kemajuan dramatis pada kapasitas fungsional dan psikologis penderita jantung
Dari sekitar 800.000 warga Amerika yang selamat dari akut miokard infark, sebanyak 200.000
orang dilakukan evaluasi kerja, stratifikasi risiko yang sesuai dan kembali bekerja. Terdapat studi
yang memperkirakan pengeluaran biaya medis yang hemat untuk setiap individu yang mencapai
$100 juta dollar dan mendapatkan penghasilan tambahan $400 juta dollar. Jika ditotal mencapai
$500 juta dollar. Data serupa tidak tersedia pada pasien yang menjalani PTCA atau operasi CABG.
Kesuksesan dari rehabilitasi jantung dalam pengembalian pasien ke dalam aktivitas pekerjaannya
senantiasa dievaluasi dalam hal berapa persentase pasien yang kembali bekerja, lamanya waktu
antara terjadinya serangan koroner akut sampai kembali bekerja, lamanya kerja berdasarkan
jumlah jam per minggu dan kompensasi lainnya.2
Menurut penelitian Engblom dan kawan-kawan (1994) rehabilitasi jantung memiliki dampak
signifikan terhadap kembalinya bekerja. Penelitian yang melibatkan pasien pasca CABG elektif
dengan 66 partisipan di antaranya sebagai kelompok latihan dan 59 partisipan kelompok kontrol
ini mendapatkan hasil 6 bulan setelah CABG kembali bekerja sebanyak 45% pada kelompok latihan
dan 34% pada kelompok kontrol, pada 12 bulan pasca CABG 56% pada kelompok latihan dan 38%
pada kelompok kontrol. Pada pasien usia di bawah 55 tahun kembalinya bekerja sangat signifikan
dijumpai pada kelompok latihan dengan perbedaan 60% vs 35% dan p = 0,02.21
Penilaian lebih menitik beratkan pada aspek performa lain (psikologis), kompetensi intelektual,
relasi interpersonal dan keahlian dengan kebutuhan energi yang lebih sedikit, lebih lanjut pekerjaan
berat biasanya diberikan pada pekerja yang lebih muda.1
Pasien penyakit jantung koroner umumnya berasal dari orang paruh baya yang bekerja. Lebih
dari 40% dari populasi tersebut sudah bekerja 15 tahun atau lebih di pekerjaan yang sama. Salah
satu studi mendemonstrasikan 56% pasien penyakit jantung koroner sudah bekerja 5 tahun pada
tempat yang sama, 39% lebih dari 10 tahun dan 23% lebih dari 20 tahun. Kebanyakan pekerjaan
membutuhkan keahlian tinggi 37%, sedangkan 43% membutuhkan keahlian biasa dan kurang dari
20% yang pekerjaan tidak membutuhkan keahlian.1
Syarat kepegawaian pada pasien jantung sudah disebutkan oleh WHO dalam Expert Committee on
Rehabilitation of Patients with Cardiovascular Disease antara lain:2
Kembali bekerja membutuhkan evaluasi kemampuan dan limitasi dari setiap individu dan
penyesuaian dengan persyaratan pekerjaan yang dapat diperkirakan dengan orang normal sesuai
usianya.2 Evaluasi pasien dengan penyakit jantung koroner harus komprehensif dan mencakup
tidak hanya kualifikasi dari kapasitas fungsional, kebutuhan terapi, status psikologis, prognosis
tetapi juga evaluasi menyeluruh dari status kesehatan pasien (penyakit komorbid yang signifikan,
penyakit pembuluh darah perifer dan serebral).2
Pasien dengan penyakit jantung koroner, beban emosional pekerjaan lebih mempengaruhi
daripada kebutuhan energi pekerjaan tersebut. Beban emosional didapat dari status pekerjaan,
stres dari atasan dan kompetisi di tempat kerja. Hubungan antara tekanan ekonomi dan keluarga di
rumah juga dapat mempengaruhi pekerjaan sehingga serangan angina umumnya terjadi di rumah.
Perlu ditekankan bagaimanapun juga pada hampir semua kasus, kepuasan dan pengembalian
kehormatan diri serta bebas dari masalah finansial, menjadi stres emosional yang mempengaruhi
pasien. Pekerjaan yang sesuai harus mampu memberikan status aktualisasi diri, gaji dan sesuai
dengan kapasitas individu sekarang dan di kemudian hari.2
Identifikasi kebutuhan spesifik setiap pekerjaan dan nilai dari kapasitas fungsional yang dibutuhkan
sangat penting untuk nasehat penentuan pekerjaan kepada pasien penyakit jantung.2 Stratifikasi
risiko dapat menjadi pedoman tidak hanya untuk manajemen medis tetapi juga menentukan
pekerjaan dan rehabilitasi vokasional. Dokter perlu membedakan pasien koroner yang memiliki
prognosis buruk baik angka harapan hidup dan kembali bekerjanya serta pasien yang memilki
kapasitas fungsional yang baik dan mampu kembali bekerja tanpa penyesuaian pekerjaan.2
Penilaian pekerjaan dengan kebutuhan energi yang rendah membantu banyak pasien dengan risiko
sedang hingga ringan untuk kembali bekerja. Klasifikasi fungsi jantung disesuaikan dengan klasifikasi
New York Heart Association.2 Pada pasien dengan pekerjaan berat atau kapasitas fungsional kelas
III atau IV dapat ditunda bekerja beberapa minggu dulu dan uji latih fungsional dapat dilakukan
sebelum pasien bekerja. Ada beberapa pengecualian yaitu pasien dengan pekerjaan berat atau
dengan penyakit jantung tertentu (kardiomiopati hipertrofi, stenosis aorta berat dan sindroma
Marfan) memerlukan pertimbangan saran dari spesialis jantung dan kedokteran okupasi.1
Kondisi khusus
Pasien dengan episode pingsan atau hampir pingsan yang tidak terkontrol, yang tidak berhubungan
dengan kelelahan fisik tetapi karena paroksismal takikardia aritmia, AV block derajat 2 atau 3,
malfungsi pacemaker, hipotensi postural, Transient Ischemic Attack/TIA dan lain-lain dikategorikan
pada risiko tinggi sampai pasien terkontrol, tidak peduli dengan klasifikasi fungsional. Pasien yang
termasuk pada kelompok ini tidak diizinkan melakukan pekerjaan yang dapat berakibat buruk
pada pasien, teman kerja sekitar dan lingkungan seperti operator crane, pengemudi kendaraan
umum atau menjalankan mesin lain.2
Penyakit arteri obstruktif seperti klaudikasio dengan gangguan sirkulasi arteri (dengan ratio SBP
pada lengan dan tungkai kurang dari 0,50) sebaiknya dihindari dari pekerjaan yang membutuhkan
banyak aktivitas berjalan. Tetapi pekerjaan sedentary seperti pekerjaan ringan yang melibatkan
ektremitas atas dan kemampuan komunikasi dan administrasi.2
Dalam penelitian tersebut sejumlah 72 subjek kembali bekerja 2 minggu pasca serangan dan 70
subyek menjalani rehabilitasi jantung serta kembali bekerja 6 minggu pasca serangan. Tidak ada
subyek yang mengalami gagal jantung atau meninggal pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan
insidensi reinfark, revaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan uji latih yang signifikan pada kedua
kelompok sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien pasca infark miokard dengan risiko rendah
aman untuk kembali bekerja secepatnya pasca serangan atau sekitar 2 minggu.22
Setelah evaluasi komprehensif pada pasien koroner seperti penilaian kapasitas fungsional dan
stratifikasi risiko, penting untuk menentukan kesesuaian dengan pekerjaan. Pada umumnya pasien
dapat kembali ke pekerjaan sebelumnya. Namun jika terjadi ketidakcocokan dengan kapasitas
individu maka perlu dilakukan beberapa upaya antara lain:2
- Modifikasi pekerjaan: untuk mengurangi syarat kerja dengan mengubah lingkungan yang
sesuai, mengubah desain pekerjaan atau mengganti pekerjaan
- Penempatan selektif: berpindah ke pekerjaan yang membutuhkan syarat yang lebih rendah
dengan cara dipindahkan ke bagian lain pada perusahaan yang sama.
- Latihan vokasional: untuk meningkatkan kapasitas dengan cara konseling vokasional dan
latihan vokasional. Atau pelatihan kerja kembali dengan keahlian yang lebih tinggi tetapi
dengan kebutuhan energi yang lebih rendah.
- Peningkatan kapasitas individu: dengan cara program latihan fisik, dukungan psikologis dan
emosional dan atau terapi medis seperti obat, operasi, angioplasti
- Pengunduran diri atau pensiun jika hal di atas tidak memungkinkan.
Kebutuhan pekerjaan
Kebutuhan pekerjaan dapat dibagi dalam dua kategori:2
- Kebutuhan fisik
Pengeluaran energi dari setiap pekerjaan dapat dilihat dari satuan kilogram-meter, foot-pounds,
METs, kalori per menit, pengeluaran energi maksimum atau keadaan stabil (steady state). Fitur
lain yang perlu dilihat adalah kecepatan (cepat atau lambat), istirahat, diam atau bergerak,
keahlian, latihan dan pengalaman pekerjaan sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi
seperti bising, debu, fumes (asap), stress suhu dan pencahayaan.
- Deskripsi pekerjaan
Oxygen uptake atau kalori dapat dihitung dari deskripsi pekerjaan yang mendetail yang
disusun menjadi tabel terstandar (dictionary of occupatinal titles atau manual lainnya).
Namun tabel ini tidak bisa menggambarkan seluruh kegiatan karena lingkungan, peralatan
dan faktor psikologis di setiap tempat pekerjaan dapat berbeda.
- Asupan makanan harian
Kebutuhan energi pada jam kerja dapat diperkirakan dengan cara mengurangi energi
yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari pada asupan makanan. Metode ini tidak
hanya tidak akurat tetapi juga memakan waktu.
Pada studi yang dilakukan pada 500 pekerja dengan berbagai penyakit jantung (mayoritas
penderita PJK) menunjukkan hasil yang sama seperti orang normal pada berbagai pekerjaan dengan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Semua subjek dievaluasi dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, EKG 12 sadapan, uji latih dan tes psikologi seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Pesonality
Inventory) dan riwayat pekerjaan. Pasien dinilai saat menjalani aktivitas pekerjaan yang biasa,
pasien akan diperiksa setiap aktivitas yang dijalankan, menilai ambilan oksigen dari udara ekspirasi
serta EKG dan tekanan darah. Pasien yang gagal mencapai target harian menunjukkan penurunan
produktivitas kerja. Pengukuran faktor lingkungan seperti panas dapat dilakukan dengan black
globe thermometer, kecepatan udara, wet and dry bulb temperatur.2
Tabel 9. 4 Kebutuhan energi rata-rata dan maksimal saat melakukan pekerjaan pada orang dengan
atau tanpa penyakit jantung2
METs pada pasien dengan penyakit jantung METs pada orang normal
Rerata 1-1,2. Maksimal 1,2-2,3 Rerata 1,3-1,6.
Penjaga toko, teknisi listrik, pelukis, supervisor, Pengacara, radio dan televisi
manajer, pekerja kantoran
Rerata 1,3-1,6. Maksimal 1,6-3,3 Rerata 1,6-2.
Ahli anestesi, pekerja kantoran, bisnis, control Pekerja kantoran, mengetik, operasi mesin ringan.
operator, buruh pabrik, security, ahli bedah,
operator mesin.
Rerata 1,6-2. Maksimal 1,8-3,4 Rerata 2-2,5.
Operator mesin, pengawas, teknisi mesin Bartender, membersihkan jendela, memperbaiki radio
dan televisi, pialang saham, berjalan 2mph
Rerata 2-2,5 Maksimal 2,5-5,4 Rerata 2,5-3.
Pemadam kebakaran, manajer, pengrajin Bertani dan berkebun, bekerja di industri
perabotan, pembersih, penempa (memindahkan barang), mengendarai truk, berjalan 2,5
mph, menempa
Mean 3-4.
Tukang bangunan, perkejaan kasar (menggali), berjalan
3mph, tukang kayu ringan, mengendari trailer,
menempa, membersihkan jendela.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas 5 METs pada latihan digunakan oleh Social Security
Administration untuk evaluasi disabilitas. Pasien tersebut dikategorikan pada kategori risiko tinggi.
Pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ventrikel kiri juga dapat kembali bekerja jika memenuhi
kebutuhan pekerjaan tetapi hal ini perlu dibantu dengan program rehabilitasi jantung yang tepat.
Pengaturan dan modifikasi pekerjaan dapat membantu agar kembali bekerja tidak hanya didasari
pada kebutuhan energi maskimum pekerjaan.2
Stres fisik pada pekerjaan umumnya melibatkan usaha ringan atau submaksimal dari otot dalam
waktu yang singkat dan aktivitas berat hanya berlangsung 2-3 menit. Pekerjaan sebaiknya diselingi
waktu istirahat 30-45% dari jam kerja.2
Uji latih yang biasa masih memiliki keterbatasan dalam rekomendasi pekerjaan, stres pekerjaan
berbeda tipe dan besarnya dibanding uji latih biasa. Respon kardiovaskular yang berhubungan
dengan uji latih juga dapat berbeda pada uji latih biasa di mana detak jantung, tekanan darah
dan volume ventilasi permenit meningkat secara linear dengan ambilan oksigen sedangkan pada
pekerjaan emosi dan peran lingkungan dapat mempengaruhi.2
Peningkatan stres pada uji latih seperti pertanyaan cepat, soal aritmatika, tugas yang membutuhkan
konsentrasi dalam 3-10 menit mampu meningkatkan denyut jantung 10-15 kali per menit dan
Pada umumnya stres mental dan psikologis memberikan respon yang kecil dan kurang dapat
diprediksi. Namun status psikologis sepert depresi, cemas dan rendah diri dapat berhubungan
dengan kejadian penyakit jantung dan mempengaruhi kemampuan kembali bekerja di samping
kapasitas erobik dan keadaan tanpa gejala.2
Keterangan:
1. Moshe S, Levy D and Harefuah SH. Return to work with heart disease. 2007;146(2):113-9,
165.
2. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. Churchill
Livingstone, 1992.
3. Izabela Z, Schultz, Gatchel, et al. Handbook of Retun to Work: From Research to Practice. New
York: Springer science+business Media. 2016.
4. Leal J, Luengo-Fernandez R, Gray A, et al. Economic burden of cardiovascular diseases in the
enlarged European Union. Eur Heart J 2006; 27(13): 1610-9.
5. Mital A, Desai A and Mital A. Return to work after a coronary event. J Cardiopulm Rehabil
2004; 24(6): 365-73.
6. Fiabane E, Omodeo O, Argentero P, et al. Return to Work after an Acute Cardiac Event: the Role
of Psychosocial Factors. Journal Prevention and Research. 2014 3(4): 137-141.
7. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
8. Kaplan RJ. PMR Review: Pearls of Wisdom. 2nd edition. New York: Mc Graw Hill. 2006
9. Slebus FG, Jorstad HT, Peters RJ, et al. Return to work after an acute coronary syndrome:
patients’ perspective. Saf Health Work 2012; 3(2): 117-22.
10. Bhattacharyya MR, Perkins-Porras L,Whitehead DL, et al. Psychological and clinical predictors
of return to work after acute coronary syndrome.Eur Heart J 2007; 28(2): 160-5.
11. Fiabane E, Argentero P, Calsamiglia G, et al. Does job satisfaction predict early return to work
after coronary angioplasty or cardiac surgery? Int Arch Occup Environ Health 2013; 86(5):
561-9.
12. Fuster V. The AHA Guidelines and Scietific Statements Handbook. Wiley Blackwell. USA 2009.
13. Boudrez H and De Backer G. recent findings on return to work after an acute myocardial infarction
or coronary artery bypass grafting. Acta Cardiologica. 2000, 55(6):341-349.
14. Mirmohammadi SJ, Sadr-Bafghi SM, Mehrparvar AH, et al. Evaluation of the return to work and
its duration after myocardial infarction. ARYA Atheroscler 2014; Vol 10(3): 137-140.
15. Pamela JB. Return to Work After Coronary Artery Bypass Surgery in a Population of Long-Term
Survivors. Heart lung circulation. 2005. Vol 14: 191-196.
16. Villa H, Palomaki A, Kataja M, et al. Return to work after coronary artery bypass surgery. A 10-
year follow-up study. Scandinavian Cardiovascular Journal. 2009. Vol 43: issue 5.
17. Vasiliauskas D, Raugaliene R, Grizas V, et al. Return to work after coronary bypass. Medicina
(Kaunas). 2008;44(11):841-7.
18. Japanese Circulation Society. Guidelines for Rehabilitation in Patients with Cardiovascular
Disease. Circulation Journal. 2012.
19. Wigle RD, Symington DC, Lewis M, et al. Return to work after myocardial infarction. Can Med
Assoc J 1971; 104(3): 210-2.
20. Brisson C, Leblanc R, Bourbonnais R, et al. Psychologic distress in postmyocardial infarction
patients who have returned to work. Psychosom Med 2005; 67(1): 59-63.
21. Engblom E, Hämäläinen H, Rönnemaa T, et al. Qual Life Res. 1994;3(3):207-13.
- Memberikan pasien materi tertulis tentang efek penyakit jantung pada fugnsi seksual
- Mendukung hubungan pernikahan dengan memaksimalkan komunikasi tentang perilaku dan
ketakutan terhadap penyakit
- Menjelaskan aktifitas seksual yang diperbolehkan
Ketakutan akan kegagalan melakukan aktifitas seksual, merupakan alasan utama terjadinya
kegagalan, pasangan suami istri dianjurkan menunda hubungan seksual hingga pasangannya
merasa nyaman untuk melakukannya. Berpelukan, bermesraan, foreplay noncoital, boleh
dianjurkan karena merupakan aktifitas ringan, dan tidak berbahaya serta merupakan aktifitas yang
menyenangkan dan menenangkan. Waktu yang tepat untuk aktifitas seksual adalah ketika kedua
pasangan sudah cukup beristirahat. Usaha melakukan aktifitas seksual sehabis makan dan minum
terlalu banyak sering menimbulkan kegagalan pada pasangan. Pasien menemukan pagi hari dan
sore ahri merupakan waktu yang ideal untuk aktifitas seksual. Jika pasien memiliki risiko timbulnya
angina, premedaksi nitrogliserin dapat memberikan hasil yang memuaskan. Jika pasien memiliki
masalah yang persisten selama aktifitas fisik, pemeriksaan EKG dapat mendeteksi baik disritmia
dan iskemia.2
Keluhan penurunan libido atau performa sering disebabkan oleh pengobatan. Obat-obatan
seperti tranquiliser, anti hipertensi, beta blocker, anti depresan, thiazid diuretik, phenotiazine,
haloperidol, benzodiazepin, alkohol, MAO (monoamin oksidase) inhibitor terbukti menurunkan
libido, meningkatkan risiko impotensi, atau mengganggu ejakulasi. Hackett dan Cassem melihat
disfungsi seksual bertahan lebh dari enam bulan atau tujuh bulan dan memerlukan penelitian lebih
lanjut. 2
Master dan Johnson membagi respon terhadap rangsangan seksual menjadi 4 fase:
Pada model yang dikeluarkan Masters dan Johnson, laki-laki cenderung lebih cepat dalam melewati
setiap fase dibanding perempuan, dan hanya mengalami satu kali orgasme setiap siklusnya, dan
disertai fase plateau yang sangat singkat. Sedangkan perempuan dapat mencapai multipel orgasme
dalam satu siklus. Masters dan Johnson juga mencatat, wanita dapat mengalami fase plateau
yang lama dan langusng ke fase resolusi tanpa mencapai orgasme. Masters dan Johnson lebih
meneliti respon seksual berdasarkan respon genital dan kurang menerangkan tentang kontrol
neurofisiologi sentral. 6
Pada tahun 1970, Kaplan mengemukakan model respon seksual yang baru dengan tiga fase:
fase desire (keinginan), excitement (rangsangan), dan orgasme. Menurut Kaplan, keinginan selalu
mengawali rangsangan, keinginan di definisikan sebagai sensasi spesifik yang memotivasi individu
untuk memulai atau menjadi responsif terhadap stimulasi seksual. Seperti hal nya Master dan
Saraf somatis dan otonom penting sebagai komunikasi aferen dan eferen seksual antara otak dan
perifer. Saraf otonom diaktiftkan karena kekurangan oksigen dibanding sentuhan dan temperatur.
Pada sistem somatis, input taktil meliputi sentuhan ringan, temperatur, tekanan getaran, dan
nyeri. evaluasi otak pada kulit dan stimasi viseral; input visual, gustatori, dan auditori; fantasi dan
emosi dapat menajdi sinyal eksitasi atau inhibisi seksual. Sinyal dikoordinasi melalui sistem limbik,
hipotalamus, dan struktur otak, dan dibawa ke brainstem dan traktus spinal dan dapat diatur oleh
mood, hormon, emosi, dan faktor fisik ketika sudah melewati sumsum tulang belakang, organ
seksual mendapat sinyal melalui sumsum tulang belakang melalui 3 jalur:3
Bangkitan hasrat seksual menyebabkan jaringan erektil mengalmi perbesaran dan vasokongesti
pelvis via vasodilatasi arteri dan relaksasi otot polos. Pada wanita, lubrikasi dipengaruhi oleh kadar
estrogen. Pada pria produksi semen dan ereksi dipengaruhi oleh kadar testosteron. 3
- Jalur refleksogenik, dicetuskan oleh stimulasi langsung dari organ genital, dengan komponen
aferen yang diatur oleh saraf pudendal S2-S4. Komponen eferen melalui pusat parasimpatis
sakrum, menuju ke nervus kavernosal di genitalia.
- Jalur psikogenik, berasal dari supraspinal (auditori, imajinasi, visual, dan lain-lain) melibatkan
nukelus preoptik medial, nukleus paraventrikel hipotalamus, dan sistem aktivasi retikular
(berhubungan dengan rangsangan nokturnal pada tidur rapid eye movement (REM)) 3
Pada tingkat genital, relaksasi otot polos kavernosa menyebabkan vasokongesti, pembesaran
dan pemanjangan dari jaringan rektil pria dan wanita. Tunika albugenia yang merupakan pelapis
fibroelastik yang menyelimuti korpus karvernosum, menjadi meregang beriringan dengan
pembesaran, yang membuat fiber elastik menjadi lebih keras dan menekan vena diantaranya. Pada
pria, mekanisme venooklusi serta kontraksi bulbus kavernosum, menyebabkan ereksi yang cukup
keras dan kontraksi otot iskiokarvernoisum untuk mengeluarkan semen. Pada wanita mekanisme
venooklusif kurang jelas terlihat. Lubrikasi vagina (plasma transudat dari sirkulasi darah ke epitel
vagina), perpanjangan vagina, dan uterus, labia, dan uretra, dan vasokongesti ligamen pelvis terjadi
pada wanita saat terangsang.3
Disabilitas
Disabilitas mempengaruhi fungsi seksual melalui 4 makenisme dasar:
1. Efek langsung: vaskular, neurologis (termasuk nyeri), hormonal, anatomi, dan kerusakan area
lain yang secara fungsional berhubungan dengan respon seksual.
2. Efek tidak langsung: kondisi fisik dan psikologis, seperti perubahan persepsi atau penilaian,
perubahan sensori dan motorik, inkontiensia baldder dan bowel, spastisitas, tremor, kelelahan,
nyeri kornis, dan lain-lain.
3. Efek iatrogenik dari pengobatan ( radiasi, pembedahan, medikasi, dan kemoterapi)
4. Faktor kontekstual, kompleksitas biopsikososial dan komponen situasional. 3
- Pengobatan Hormon:3
- Obat-obatan yang mengurangi nor adrenaline (NA), seperti antihipertensi simpatolitik,
berdampak negatif pada fungsi seksual.
- Dopamin Agonist DA blockers (seperti antipsychotics) akan mengurangi libido, sedangkan
agonis DA (levodopa pada pasien Parkinson) akan meningkatkan libido
- Serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), meningkatkan jumlah serotonin di neural junction,
Antidepresan trisklik, amitriptilin, clomipramine, dan doxepin memiliki efek paling negatif pada
fungsi seksual terutama orgasme dan ejakulasi, sehingga perlu, penurunan dosis, atau penggantian
obat lain seperti buproprion, nafzodon, trazodon, atau mirtazapin. Trazadon dapat menyebabkan
priapismus dan ereksi nokturnal. 3
Saraf perifer
- Obat-obatan simpatis dapat menyebabkan konstriksi vaskular dan otot polos, sehingga
menghambat rangsangan genital.
- Obat-obatan antagonis kolinergik serta obat-oabtan yang mengurangi resistensi pembuluh
darah perifer, dan aliran darah genital seperti antihieprtensi dapat menyebakan gangguan
libido, ereksi dan lubrikasi vagina, serta ejakulasi3
Penggunaan phophodiesterasi V inhibitor dapat mengurangi efek samping pada rangsangan genital
pada obat-obatan SSRI dan diuretik thiazid, tetapi PDE5i kurang efektif pada kadar testosteron
rendah. 3
· Penuaan
Frekuensi aktifitas seksual cenderung menurun sesuai usia. Seksualitas merupakan kontributor
penting dalam menentukan kualtias hidup seseorang. Aktfitias seksual tidak hanya terbatas pada
hubungan koitus, pada salah satu studi yang meneliti pria dan wanita berusia 80-103 tahun,
menemukan 63% pria dan 30% wanita masih melakukan hubungan, sedangkan 83% pria dan 64%
wanita masih saling menyentuh dan bermesraan tanpa hubungan, dan 72% laki-laki dan 40%
wanita masih melakukan mastubasi. Bertambahnya usia juga berhubungan dengan faktor medis
seperti penyakit, efek samping pengobatan. Wanita pasca menopause cenderung mengalami
atrofi vulvovaginal dan kekeringan pada vagina. Testosteron pada pria cenderung berkurang
berdasarkan usia, yang mengakibatkan hilangnya dorongan seksual dan fisik yang lebih lemah.
Faktor psikososial juga berbeda pada usia tua, seperti perubahan citra diri dan persepsi diri,
penurunan kognitif, dan masalah lingkungan seperti hilangnya privasi. 6
- Perubahan neurologis
Teknik pencitraan terbaru seperti PET dan fMRI dapat melihat perubahan pada otak terkait
stimulasi seksual, rangsangan, dan orgasme pada laki-laki dan perempuan. Kerusakan pada
bagian otak spesifik, SSTL, dan saraf perifer, yang menyampaikan informasi dapat menganggu
fungsi seksual. 3
- Faktor psikologi
Penyesuaian dengan disabilitas berhubungan dengan rasa kehilangan yang ditimbulkan tidak
hanya fisik, tetapi juga emosional, relasional, dan finansial, adanya dukungan dan kepribadian
sebelum sakit dan serta kemampuan menghadapi masalah juga mempengaruhi kemampuan
seksual pasien. Pada pasien yang melihat seks sebagai bagian hidup dan kepercayaan dirinya,
gangguan seksual dampak berdampak sangat buruk. 3
- Faktor kardiovaskular
Beberapa studi menilai respon kardiovaskular terhadap aktifitas seksual dan kemungkinan
kejadian serangan akut. Rerata detak jantung maksimal 110-130 kali permenit dan tekanan
darah sistolik maksimal 150-170 mmHg. Umumnya energi yang dibuthkan tidak melebihi 4-5
METs. Hal ini setara dengan berjalan di treadmill 3 mill/jam pada kemiringan 5% atau menaiki
2 lantai tangga dengan kecepatan 20 anak tangga dalam 10 detik. Menaiki 2 lantai setara
dengan 6 METs, sudah menjadi acuan untuk kembali ke aktfitas seksual. walaupun seseorang
tidak memiliki gangguan otot jantung atau pembuluh darah, gangguan kontrol otonom jantung
dan pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan respon aktifitas seksual. 3
Pasangan dari penderita jantung koroner sering mengalami stres yang berat, terjadi perubahan
- Nyeri kronis
Kondisi nyeri dapat menyebabkan depresi, peningkatan atau penurunan berat badan,
dekondisi dan hilangnya citra diri, menyebabkan penurunan fungsi mental, fisik, seksual.
Derajat keparahan nyeri dan lokasinya dapat berperan pada kualitas kehidupan seksual pasien
dan variabel psikologis. Disfungsi seksual sering dilaporkan pada orang dengan disabilitas dan
depresi yang lebih berat. 3
- Pertimbangan fertilitas
Pendekatan yang diperlukan untuk menilai fertilitas antara lain:
a. Masalah fungsi seksual mengganggu kemampuan untuk memasuki aktifitas seksual
terutama ejakulasi pada pria.
b. Perubahan hormon secara sekunder (trauma kepala) atau pengobatan (obat-obatan dan
radiasi otak)
c. Perubahan kualitas oosit atau sperma sekunder karena kondisi dan pengobatan
- Faktor genetik3
Pada laki-laki, cidera sumsum tulang belakang menyebabkan motilitas sperma terganggu
serta abnormalitas morfologi yang terjadi sekunder akibat abnormlitas pada cairan seminalis.
Pada perempuan, kondisi kronik juga dapat menentukan kemampuan pasien untuk hamil dan
menjalani proses persalinan. 3
Terapi:
HSDD primer dapat dibantu dengan pengobatan yang meningkatkan gairah. HSDD sekunder
yang sering disebabkan efek samping pengobatan dapat diatasi dengan perubahan dosis
atau kategori dapat memperbaiki dorongan seksual. Trauma seksual dan orientasi seksual
dapat diatasi dengan penanganan faktor psikososial dan motivasi untuk komunikasi dengan
pasangan. Pengobatan dengan suplementasi testosteron dapat bermanfaat dengan dosis 120
– 240 mg/hari dibagi menjadi 2 – 3 dosis per oral.6
- Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang adekuat hingga akhir
aktifitas seksual, secara terus menerus atau rekuren, hal ini harus terjadi setidaknya 3 bulan
sebelum dapat menegakkan diagnosis (kecuali terdapat riwayat trauma atau disfungsi ereksi
paska operasi).10 Disfungsi ereksi berhubungan dengan usia, penyakit kardiovaskular, diabetes,
Ejakulasi prematur diperkirakan terdapat pada 15-30% pria dari segala usia. Umumnya
disebabkan kombinasi antar ganguan organik, psikogenik dan hubungan.6
Terapi: Terapi pilihan ejakulasi prematur adalah cognitive behavioral theraphy (CBT) dan konseling
psikologi. Salah satu CBT yang digunakan antara lain teknik penekanan dan penglemasan
frenulum, dan percobaan dalam posisi, ritme, kecepatan, nafas, dan kedalaman penetrasi.6
Serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan obat yang sering digunakan, dan paroxetine yang
terbukti paling efektif, tetapi obat-obatan ini belum di akui FDA sebagai terapi EP. Obat-
obatan lain yang dapat digunakan antara lain clomipiramine, dapoxetine, tramadol, dan agen
topikal seperti lidokain.6
- Dispareunia
Dispareunia merupakan permasalahan yang cukup sering terjadi antara penderita dengan
pasangannya. Dispareunia adalah nyeri persisten atau rekuren pada genital saat hubungan
seksual. Stigma mengenai gangguan seksual pada pria menyebabkan para penderita
disparaeunia malu dan jarang melaporkan gangguannya sehingga angka kejadian dispareunia
menjadi sedikit. Namun adapula penelitan Pitts (2008) yang menyebutkan bahwa dari 4000
subyek penelitan di Australia 5 % mengalami dispareunia.11
Prevalens dispareunia pada pria jauh lebih kecil dibanding wanita yaitu hanya 0,2 hingga 8%.
Untuk mendiagnosis dispareunia, mengetahui penyebab serta memberikan tatalaksana yang
sesuai perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penyebab dispareunia
biasanya tidak berhubungan dengan infeksi namun diperkirakan pelepasan sitokin proinflamasi
berperan dalam patofisiologi gangguan ini.11
- Priapismus
Ereksi yang tidak diinginkan dan tidak berhubungan dengan keinginan atau stimulasi seksual
dan berlangsung lebih dari 4 jam. Terdapat 3 tipe priapismus:
- Priapismus iskemik (low flow)
- Priapismus dengna oksigenansi baik (high flow)
- Priapismus rekuren atau terhambat6
Priapismus aliran rendah merupakan yang paling umum ditemui, yang memilki mekanisme
seperti sindrom compartment dan dapat berujung pada nekrosis otot kavernosis jika tidak
diobati. Priapismus merupakan kejadian yang jarang dan umumnya berubungan dengan
pemakaian obat dan disfungsi vaskular.6
Terapi: Priapismus aliran rendah merupakan kegawatdaruratan, terapinya dapat dilakukan
dengan melakukan dekompresi pada korpus dengan aspirasi darah dalam 1 jam, dilanjutkan
injeksi agonis α adrenergik untuk mengkontraksi otot polos. Priapismus yang terhambat atau
aliran tinggi umumnya ringan dan tidak memerlukan terapi karena akan hilang sendirinya.6
- Peyronie
Kelainan pada tunika albugenia yang ditandai dengan terbentuknya plak jaringan fibrosa
yang menyebabkan nyeri dan deformitas saat ereksi. Umumnya terjadi akibat trauma, dengan
insiden 1% dan bertambah sesuai usia.6
- Vaginismus
Vagina terlalu sulit untuk ditembus oleh penis, jari atau objek lainnya, tanpa keinginan
melakukan hal tersebut, baik secara persisten maupun rekuren. Hal ini sering diakibatkan
karena rasa takut terhadap penetrasi sehingga sering timbul nyeri dan kontraksi hingga spasme
otot otot pelvis. Vaginismus dahulu didefiniskan sebagai spasme sepertiga luar otot vagina
yang menghalangi penetrasi. Prevalensinya sebesar 1-6%, nyeri dan spasme tidak selalu hadir.6
Terapi terbaik adalah dengan melakukan desentisasi terhadap rasa takut terhadap penetrasi,
hal ini dapat dilakukan dengan mencoba memasukkan jari sendiri dan alat dilatasi vagina.
Terapis juga dapat memberikan teknik melemahkan miofasial dan elektromiografi pelvis untuk
mengatur kekuatan levator ani. Psikoterapi juga dapat membantu bagi pasien yang mengalami
trauma.6
Energi ekspenditur berbeda pada berbagai jenis aktivitas seksual seperti pada self-stimulation,
partner stimulation dan posisi laki-laki atau wanita di atas (on top). Denyut jantung maksimum lebih
besar pada saat posisi laki-laki di atas dibandingkan ketika wanita berada di posisi atas (denyut
jantung 127±23 vs. 110±24 atau sekitar 2,0-5,4 METs vs 2,5-3,0).16
Menurut data dari jumlah pasien dengan diagnosis penyakit jantung sekitar 25 % kembali pada
level fungsi seksual sebelumnya, 25% tidak kembali melakukan aktivitas seksual dan 50% kembali
melakukan aktivitas seksual dengan level fungsi seksual yang lebih rendah. Alasan pasien untuk
tidak kembali melakukan aktivitas seksual adalah antara lain ketakutan terhadap kematian,
ketakutan berulangnya serangan jantung (infark miokard, aritmia atau dekompensasi jantung),
kekhawatiran pasangan memicu serangan jantung dan lain-lain.10,16
Seperti pada penyakit stroke, pasien dengan penyakit jantung tidak semata-mata hanya kehilangan
minat dan kemampuan untuk merespon, pasien umumnya memiliki stres dan preokupasi terhadap
penyakit kronik dan rasa takut mengalami serangan jantung saat hubungan seksual. Tetapi seks
sangat jarang menjadi faktor presipitat pada serangan jantung hanya 0,5 sampai 1% dari semua
serangan jantung.3
Disfungsi seksual cukup sering terjadi pada kasus penyakit jantung. Hal ini dapat disebabkan oleh
efek samping dari pengobatan jantung terutama obat-obatan penghambat reseptor beta, adanya
penyakit lain yang menyertai seperti diabetes melitus, dislipidemia, merokok serta hipertensi dan
faktor psikososial seperti depresi, cemas dan ketakutan akan serangan jantung saat melakukan
hubungan seks.17,18
Hipertensi merupakan komorbid yang paling sering ditemukan pada laki-laki dengan disfungsi
ereksi. Kontrol tekanan darah dapat mengembalikan fungsi ereksi. Disfungsi ereksi juga ditemukan
pada penyakit jantung dengan prevalensi sebesar 42%-75%. Disfungsi ereksi merupakan indikator
yang paling awal muncul pada gangguan kardiovaskular pada pria. Gangguan disfungsi seksual
pada wanita dilaporkan sebesar 25%-63% seperti berkurangnya hasrat seksual, kekeringan vagina,
dispareunia dan penurunan sensasi genital serta penurunan kemampuan orgasme.6
Aktivitas seksual merupakan komponen kualitas hidup yang penting untuk para penderita
penyakit jantung beserta dengan pasangannya, juga termasuk untuk penderita penyakit jantung
usia lanjut. Penurunan aktivitas dan fungsi seksual sering ditemukan pada kasus penyakit jantung
dan biasanya berhubungan dengan ansietas dan depresi.18
Faktor psikologi lainnya yang mempunyai peran penting antara lain rasa takut terhadap gejala atau
rasa takut terhadap kematian saat melanjutkan aktivitas seksual. Kematian kardiovaskular selama
hubungan seksual sangat jarang hanya 0,2 per 100.000 pria dan pada perempuan lebih rendah
12 kali dibanding pria. Banyak obat-obatan kardiovaskular seperti antihipertensi dan digoksin
berkontribusi dengan disfungsi seksual.6
- Miokardial infark
Hampir 25% pasien tidak melanjutkan aktifitas seksual, 25% tidak merubah frekuensi, dan
50% mengurangi aktifitas seksual mereka. Alasan tidak melanjutkan aktifitas seksual umumnya
karena hilangnya libido, pasien merasa takut untuk melakukannya, gejala yang persisten,
impotensi, dan depresi. Faktor lain seperti usia pasien dan pasangannya, aktifitas seksual
sebelum sakit, diskusi dan komunikasi sangat penting dalam aktifitas seksual. Pasien paska
Meta-analisis dari 4 penelitian yang terdiri dari 50-74% laki-laki pada usia 50-60 tahun
menunjukkan bahwa aktivitas seksual berhubungan dengan peningkatan risiko relatif infark
miokard sebesar 2,7 kali bila dibandingkan dengan subyek yang tidak melakukan aktivitas
seksual. Individu yang jarang melakukan aktivitas fisik memiliki risiko relatif untuk infark
miokard koital lebih besar 3 kali, sedangkan risiko relatif sebesar 1,2 kali pada individu yang
aktif.19,20
Penelitian The Stockholm Heart Epidemiology Programme (SHEEP) menemukan pasien paska
infark miokard yang inaktif, memiliki risiko mengalami infark miokard pada saat melakukan
aktivitas seksual dengan risiko relatif 4,4 kali dibandingkan dengan kelompok yang aktif dalam
melakukan aktivitas fisik dengan risiko relatif 0,7 kali.18
Rasa takut paska MI yang timbul pada pasien dan pasangannya, perlu mendapat perhatian dari
dokter yang merawat. Dokter perlu menjelaskan faktor fisiologis, pengaturan psikososial, dan
efek obat pada pasien paska MI. Para ahli sepakat, bahwa hanya sedikit alasan pasien koroner
tidak mencapai kepuasan seksual karena beban fisiologis umumnya tidak signifikan. Sex play
menyehatkan dan menenangkan, namun pasien yang terlalu tegang dan frustasi dapat menjadi
faktor resiko yang lebih tinggi dibandingkan aktifitas seksual sedang seperti koitus dan koital
alternatif. Secara umum pasien aman untuk melanjutkan aktifitas seksual jika mereka mampu
melakukan latihan aktifitas 6-8 kkal/menit tanpa gejala, detak jantung abnormal, tekanan
darah atau perubahan EKG. Studi menunjukkan aktifitas seksual maksimal diperkirakan setara
dengan 6 kkal/menit (5 METs) dibawah 30 detik dan 4,5 kkal/menit pada periode preorgasme
dan pascaorgasme. 1
Studi Larson dan kawan-kawan mendukung uji dengan menaiki tangga 2 lantai (10 menit
berjalan cepat dilanjutkan dengan menaiki 2 lantai dalam 10 detik) sebagai uji yang digunakan
untuk kesiapan aktifitas seksual setelah MI akut. Evaluasi yang lebih akurat dapat menggunakan
treadmill atau ergocycle. Rehabilitasi dengan latihan dapat mengurangi detak jantung maksimal
saat koitus, dan mengurangi gejala dan meningkatkan fungsi dan kepuasan seksual. Masturbasi
merupakan aktifitas seksual yang biasa dilakukan pada pasien koroner dan orang dewasa
lainnya. Aktifitas nonkoitus seperti ini memiliki tingkat pengeluaran energi yang lebih rendah
dibanding koitus. 1 Terdapat potensi artimia jantung selama aktfitias seksual, tetapi potensi ini
kecil.
- Angina pektoris
Pasien yang memiliki penyakit jantung koroner dan angina mungkin mengalami nyeri dada
atau ketidaknyamanan selama aktivitas seksual. Kebanyakan pasien mengalami gejala serupa
pada aktivitas keseharian lainnya dan hanya sebagian kecil pasien yang timbul gejala hanya
pada saat hubungan seksual. Pasien yang mengalami angina saat berhubungan mungkin
akan memilih untuk menghindari aktivitas seksual sepenuhnya karena ketidaknyamanan atau
ketakutan akan infark atau kematian.1
Coital angina atau angina d’amour adalah angina atau rasa nyeri dada yang dirasakan beberapa
menit selama aktivitas seksual atau beberapa jam setelah aktivitas seksual. Hal ini jarang terjadi
pada pasien yang tidak mengalami angina saat melakukan aktivitas fisik yang berat tetapi lebih
sering terjadi pada pasien penyakit jantung koroner berat yang biasanya mengalami angina
dengan aktivitas fisik minimal.18,22
Aktivitas seksual setara dengan aktivitas fisik ringan sampai sedang pada 3-5 METs. Apabila
pasien dapat mencapai > 3-5 METs tanpa menunjukkan gejala iskemia pada uji latih maka
risiko iskemia pada saat melakukan aktivitas seksual sangat rendah.23
Angina koital dapat menghilang secara spontan, berespon terhadap pengobatan nitrogliserin
atau berprogresi menjadi infark miokard akut maupun kematian.18,22
Menurut guidelines dari The Agency for Healthcare Research and Quality tahun 2003 angina
yang bertahan lebih dari 20 menit diklasifikasikan menjadi angina tidak stabil (unstable angina).
Pada penderita angina koital yang tidak mengkonsumsi obat penghambat PDE-5i (contoh
Viagra) maka dianjurkan untuk langsung berhenti berhubungan untuk istirahat atau meminum
nitrogliserin. Nitrogliserin dapat diulang sebanyak 3 kali dengan jeda waktu 5 menit dan
bila gejala nyeri dada masih berlangsung maka dianjurkan untuk langsung mencari bantuan
medis.24
Pada penderita angina koital yang mengkonsumsi obat penghambat PDE-5i sebelum
melakukan hubungan seksual maka tidak diperbolehkan mengkonsumsi nitrogliserin. Berikut
adalah algoritma tatalaksana angina koital:24
- Transplantasi jantung
Dalam beberapa tahun terakhir, transplantasi jantung menjadi alternatif terapi yang dapat
diandalkan pada pasien end stage CHF. Tidak terdapat studi yang menjelaskan aktifitas
seksual pada kelompok ini. Pada salah satu studi mengemukakan impotensi dan hilangnya
libido menjadi masalah utama pasien, studi lain menemukan pada 50% resipien puas dengan
kehidupan seksual mereka, dan 20% merasa ada peningkatan dan 29% lainnya mengalami
penurunan. 1
- Implan pacemakers
Pasien yang aktif secara seksual sebelum mendapat pacemaker permanen sering mengalami
masalah seksual. Pada salah satu studi, walaupun pacemaker tidak mempengaruhi kualitas
aktifitas seksual pada mayoritas pasien (68%), dan hanya sedikit pasien yang merasakan
peningkatan, dan sisanya merasakan mengalami kemunduran pada aktifitas seksual setelah
pemasangan implan pacemaker. 1
Anamnesis
Anamnesis yang terinci perlu dilakukan oleh pemeriksa, seperti informasi tentang perubahan
premorbid dan paska traumatik pada aktifitas seksual, pemeriksa juga harus menilai pengetahuan
pasien mengenai penyakit menular seksual. Pasien yang memiliki pengetahuan kurang perlu
dipikirkan kemungkinan adanya infeksi. Pertanyaan seperti “Banyak orang dengan (penyakit
Ruang lingkup yang mudah digunakan oleh klinisi, yang diadaptasi dari Szasz, memudahkan untuk
menilai dan dalam penatalaksanaan pasien. Pasien diperiksa secara holistik yang berhubungan
dengan penyakit mereka tidak hanya berfokus pada genital. Hal yang perlu diperhatikan antara
lain: 3
1. Ketertarikan seksual (dorongan biologis serta motivasi / keinginan untuk aktifitas seksual)
2. Respon seksual (rangsangan mental dan genital, ejakulasi pada pria, kemampuan
mempertahankan orgasme dan kualitas orgasme)
3. Perubahan pada sensasi genital atau zona erogenous (kehilangan sensitivitas organ intim atau
hipersensitivitas pada daerah lain)
4. Perubahan fungsi motorik (fungsi tangan, keseimbangan, kemampuan berpindah ke tempat
tidur, memegang pasangan, dan lain-lain)
5. Masalah kandung kemih dan pencernaan (strategi pengaturan, kekhawatiran terjadi
inkontinensia saat aktifitas seksual, dan implikasi sosial)
6. Faktor yang berhubungan (efek pengobatan, perubahan status hormon, nyeri, kelelahan,
anemia, dan lain-lain)
7. Penggunaan kontrasepsi, masalah fertilitas, kehamilan, dan persalinan
8. Kemampuan mendidik anak yang berhubungan dengan disabilitas atau penyakit
9. Masalah hubungan dengan pasangan (dalam konteks seksual)
10. Kepercayaan diri dan citra diri (penampilan fisik, perubahan figur tubuh, maskulinitas/feminim,
perubahan peran dalam keluarga, dan lain-lain) 3
Tabel 10. 3 Model untuk membangun komunikasi mengenai seksualitas (Delisa, 2005)
Pemeriksaan neurologis harus meliputi status mental, pemeriksaan motorik dan sensorik, mengukur
range of motion / lingkup gerak sendi, dan evaluasi tonus otot dan refleks. Pengukuran range
of motion dari panggul, lutut, bahu, dan tangan sangatlah penting. Pemeriksaan sensorik seperti
sentuhan, pinprick dan proprioseptif pada ekstremitas bawah. Terutama pada evaluasi sensorik
T11-L2 dan S2-S5 karena mewakili traktus eferen simpatis dan parasimpatis. Pemeriksaan kontraksi
anus dan refleks bulbokavernosus dapat mengevaluasi saraf pudendal dan perlu dilakukan baik
pria maupun wanita.4
Pada pemeriksaan genital laki-laki, perlu melihat lesi di penis dan posisi uretra, serta palpasi
dalam posisi diregangkan untuk melihat kemungkinan penyakit peyronie. Testes juga perlu dilihat
untuk menilai ukuran, massa dan posisi, rektum dievaluasi tonus sfingter dan otot dasar panggul
dan kekuatannya serta pemeriksaan prostat meliputi ukuran massa dan lesi. 4 Pada pemeriksaan
genital perempuan, perlu melihat tampilan luar genital, apakah terdapat inflamasi, atrofi vulva,
episiotomi, laserasi atau striktur bekas jalan lahir. Pemeriksaan dalam merupakan cara yang baik
utnuk melihat masalah umum yang berhubungan disfungsi seskual pada perempuan. Pemeriksaan
rektal dilakukan untuk menilai tonus sfingter, otot dasar panggul, dan kontraksi dan relaksasi
volunter dan involunter otot dasar panggul.
Baik pada pria dan wanita perlu dilakukan pemeriksaan infeksi atau penyakit menular seksual,
termasuk sekret, kemerahan atau ulserasi. 4
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah dapat mendeteksi masalah yang mungkin timbul.
Testosteron bebas dan bioavailabilitas testosteron perlu di cek pada pasien dengan cidera kepala,
terutama jika mereka mengalami perubahan dorongan seksual. Penting juga menilai sensasi dari
genital (sentuhan rignan dan pinprick), tonus rektal, kontraksi volunter anus, dan bulbocarvernosus
reflex. Adanya refleks bulbokavernosus menandakan refleks sakral yang intak dan berhubungan
dengan rangsang refleksogenik dan kapasitas ejakulasi. Deteksi sensasi pinprick di glans penis
atau klitoris dengan kemampuan mengkontraksi anus secara volunter dapat menilai kemampuan
genital dapat mencetuskan orgasme. 3
- Pasien perempuan
- Pemeriksaan payudara (Breast Self Examination/Periksa Payudara Sendiri/Sadari),
setidaknya 3 bulan sekali
- Pemeriksaan pelvis, pemeriksaan bimanual, dan respon klitoris
- Pemeriksaan darah samar
- Papsmear3
- Pasien laki-laki
Kulit skrotum dan penis. 3
Sistem Observasi
Pemeriksaan Penunjang
Sejumlah besar tes laboratorium, serta prosedur diagnostik, dapat digunakan untuk menentukan
kelainan yang menyebabkan disfungsi seksual pasien. Namun, pemilihan pengobatan didasarkan
pada keluhan utama bukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya.6 Pemanfaatan tes ini telah
menurun sejak munculnya obat PDE-5 inhibitor, yang mudah digunakan, tingkat efektivitas yang
tinggi, dan profil efek samping rendah. Prosedur pemeriksaan lain meliputi USG penis, nocturnal
penile tumescence, pharmacoarteriography, pharmacocavernosometry atau pharmacocavernosography
(PHCAS atau PHCAG), dan elektrodiagnostik.6
Pada wanita, USG panggul dapat diindikasikan jika diduga terdapat gangguan patologis uterus
atau adneksa. Menggunakan langkah-langkah tujuan aliran darah genital, yang diukur dengan
photoplethysmography vagina, dan pencitraan canggih teknik seperti functional magnetic resonance
imaging. Saat ini terutama terbatas pada setting penelitian6
Rehabilitasi seksual merupakan bagian dari rehabilitasi jantung yang komprehensif. Aktifitas
seksual dapat secara bertahap diintegrasikan dengan program rehabilitasi baik fisik maupun dan
psikologi. Pada umumnya dampak psikoseksual pada pasien MI dan CABG sering terlupakan karena
waktu yang kurang, atau tertutupi oleh aspek medis yang lebih besar. Pentingnya seksualitas bagi
pasien dan pasangannya, maka informasi tentang fungsi seksual perlu dimasukkan kedalam proses
rehabilitasi. Penting bagi seorang spesialis Kedokeran Fisik dan Rehabilitasi untuk memberikan
suasana yang nyaman agar pasien mampu menyampaikan masalah seksual mereka. Dokter juga
perlu menyadari bahwa pasien tidak mudah menceritakan kehidupan seksual mereka jika tidak
terdapat komunikasi yang baik antara dokter dan paisen yang rutin. 1
Riwayat seksual, perlu ditanyakan sebagai data dasar pada semua pasien koroner. Konseling dan
instruksi yang menyeluruh tentang masalah dan kebutuhan seksual pasien. Instruksi seksual
harus didasari pada riwayat seksual sebelum sakit, orientasi seks, keingian, dan masalah yang
dihadapi. Hal lain yang perlu diperhatikan antara lain respon seksual terhadap penyakit, status
kesehatan individu sebelum sakit, efek pengobatan pada pasien, dan respon pasangan terhadap
penyakit pasien. Usia, lama menikah, dorongan seksual sebelum sakit, dan tingkat kepuasan
seksual pasien merupakan faktor yang signifikan untuk melanjutkan aktifitas seksual. Penyakit
lain seperti hipertensi dan diabetes melitus juga dapat mempengaruhi pasien, begitu pula halnya
dengan usia yang lebih tua. 1
Instruksi seksual sering tidak spesifik dan komperhensif dan tidak menghilangkan ketakutan
pasien, maka spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi perlu lebih spesifik dalam membahas
kelanjutan, posisi, frekuensi koitus dan efek samping obat-obatan. 1 Nasehat tentang aktifitas
seksual dapat diberikan dengan materi tertulis atau video sebagai tambahan dari komunikasi secara
personal. Instruksi spesifik yang diberikan kepada pasien melalui tulisan serta dijelaskan secara
jelas merukan metode terbaik dalam komunikasi yang efektif dan menyeluruh. Konseling seksual
harus mampu memberi dukungan dan meyakinkan pasien dan pasangannya, serta memfasilitasi
komunikasi keduanya. Komunikasi seksual yang buruk akan berakibat apda komunikasi pada
bagian lainnya. Kualitas hidup keluarga dan pernikahan berhubungan dengan kepuasan seksual
dan terbukti menjadi faktor penting dalam aspek psikologi dan sosial pasien. Setiap pasien perlu
mendapat instruksi seksual yang sesuai dengan kebutuhan dan bersama dengan pasangan mereka
untuk mengatasi rasa takut. Program rehabilitasi seksual perlu memperhatikan pasangan para
pasien, untuk menghasilkan program yang produktif. 1
Konseling yang dapat diberikan pada pasien paska MI dan CABG yang ingin memulai aktifitas
seksual:
- Waktu yang tepat: Ketika pasien tidak menunjukkan gejala abnormal dan stabil, pasien
dapat melakukan aktifitas seksual pada minggu 3 hingga 6. Tetapi waktu ini bisa berbeda
setiap pasiennya tergantung libido setiap pasangan. Program latihan fisik dapat membantu
pasien kembali ke aktifitas seksual lebih cepat. Wanita yang menjalani program rehabilitasi
Konseling pada pasien yang menjalani CABG perlu dimuali saat sebelum operasi dan perlu
menginformasikan keuntungan fisik, okupasional, dan psikososial dan masalah yang akan
terjadi setelahnya. Pasien perlu mengetahui thoracotomy dan sternotomy, dapat memberikan
ketidaknyamnan yang berlangusng dalam beberapa waktu. Konselor perlu mendukung kembali
bekerja, dan aktifitas rekreasional dan seksual setelah operasi. Staf juga perlu mengetahui
kecenderungan cemas, depresi, dan paranoid pada pasien, serta pola seksual dan sosial pada
pasien. 1 Pasien paska CABG biasanya tidak mengetahui perubahan pada aktifitas seksual mereka.
Beberapa pasien tidak melakukan aktifitas seksual. Pada kelompok pasien ini program konseling
dapat membantu pasien ke aktifitas seksual sebelumnya. 1
Jika pasien mempertanyakan toleransi fisik dan kemungkinan timbulnya aritmia, dokter dapat
melakukan uji latih dengan treadmill atau cycle ergometer atau dengan monitoring EKG sebelum,
saat, dan setelah aktifitas seksual, hal ini dapat membantu memberi gambaran pentingnya obat
anti angina dan anti aritmia pada pasien. 1
Pasien pada kondisi stabil sangat ingin kembali melakukan aktifitas seksual, tetapi memiliki
disfungsi seksual, pasien perlu dirujuk utnuk mendapat terapi seksual. Pasien yang takut dengan
hubungan seksual atau memiliki difsungsi seksual, merasa cukup puas hanya dengan berpelukan
Rehabilitasi seksual merupakan program multidisiplin dan saran yang dapat diberikan pada pasien
antara lain:
1. Menyarankan aktifitas seksual saat istirahat dan pada beberapa waktu untuk mencegah
kelelahan. Dan siapkan ruangan kondusif dan terpisah dari peralatan rehabilitatif dan intervensi
medis lainnya.
2. Bereksperimen menentukan posisi yang tepat, dapat dilakukan sendiri atau bersama pasangan,
hal ini bertujuan menetukan posisi yang memudahkan untuk bernafas, mengurangi nyeri,
mengurangi tekanan pada kandung kemih, usus, dan keseimbangan.
3. Manajemen kandung kemih dan pencernaan, dengan mengosongkan atau katetrisasi sebelum
aktifitas dan buang air besar secara teratur.
4. Manajemen pengobatan, gunakan obat yang dapat menghilangkan neyri paling efektif dan
relaksasi, dan gunakan obat-obatan yang menunjang aktifitas seksual.
5. Pertahankan privasi baik psikologis dan fisik (stimulasi seindividu)
6. Beri kebebasan pasien untuk memilih hal yang berhubungan dengan seks seperti dokter untuk
konseling dan bantuan yang digunakan. Hindari overprotektif terhadap pasien, terutama pada
pasien usia muda.
7. Teliti dalam melihat faktor yang mempengaruhi ketertarikan seksual pada pasangan, seperti
perasaan depresi, perubahan peran, kehilangan kemampuan secara finansial, dan perubahan
motivasi.
8. Memperkenalkan pilihan terapi ketika pasien sudah mencapai kondisi fisiologi yang maksimal. 3
Tujuan latihan fisik adalah untuk mencapai target kapasitas fisik pasien dan untuk mengeliminasi
rasa takut serta ketidakpastian pasien yang behubungan dengan aktivitas seksual. Intervensi
latihan fisik didasarkan pada rekomendasi European Society of Cardiology mengenai aktivitas fisik
untuk pasien jantung. Frekuensi yang dianjurkan adalah 3 kali seminggu dengan intensitas latihan
pemanasan skala Borg 11-12, latihan inti skala Borg 13-17, dengan waktu pemanasan 10 menit,
latihan inti 20 menit dan pendinginan, serta tipe latihan menggunakan ergocycle. Pada penelitian
tersebut dilakukan latihan selama 12 minggu dengan supervisi.27
Selain itu pasien disarankan untuk melakukan pelvic floor exercise sebanyak 2 kali sehari. Latihan
ini diulang sebanyak 9 kali, durasi kontraksi masing-masing 10 detik dan diselingi istirahat selama
10 detik.27
Menurut studi klinis Schumann J dkk tahun 2010 dalam Sexual Dysfunction Before and After
Cardiac Rehabilitation, menganjurkan untuk dilakukan program rehabilitasi berupa latihan dengan
peresepan dan supervisi, relaksasi, edukasi dan konseling. Program rehabilitasi dalam penelitian
ini dibagi menjadi 2 yaitu fase build-up dan fase konsolidasi yang berlangsung selama 12 minggu.28
Fase Build-up terdiri dari rehabilitasi intens selama 4 minggu dengan aktivitas harian 3 jam/hari.
Fase Consolidation dilakukan selama 8 minggu dengan aktivitas fisik harian 3 kali/minggu, durasi
1. Risiko rendah : pasien asimptomatik dengan faktor risiko PJK kurang dari 3 faktor, angina
stabil, infark miokard tanpa komplikasi, penyakit katup derajat ringan, gagal jantung ringan,
hipertensi terkontrol atau paska revaskularisasi yang sukses. Kelompok pasien ini dapat
ditangani secara medis dan dilakukan pemantauan berkala serta dapat melakukan aktivitas
seksual secara normal.
2. Risiko sedang : pasien dengan faktor risiko PJK lebih dari 3 faktor, riwayat infark miokard
yang baru terjadi, gagal jantung NYHA kelas II dan penyakit vaskular perifer. Kelompok pasien
ini dapat dilakukan uji latih terlebih dahulu dan secara umum apabila pasien dapat mencapai
5 METs pada uji latih treadmill tanpa tanda-tanda iskemia atau aritmia maka diperbolehkan
untuk kembali ke aktivitas seksual normal.
3. Risiko tinggi : pasien dengan angina tidak stabil, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung
NYHA kelas III/IV, riwayat infark miokard dalam 2 minggu terakhir, aritmia yang signifikan,
kardiomiopati berat dan penyakit katup berat. Kelompok pasien ini perlu dirujuk untuk
dilakukan evaluasi kardiovaskular dan distabilkan terlebih dahulu sebelum diperbolehkan
untuk kembali melakukan aktivitas seksual.
Pasien penyakit jantung yang stabil dan tidak memiliki gejala atau memiliki gejala minimal saat
melakukan aktivitas sehari-hari diperbolehkan untuk melakukan aktivitas seksual.
Berikut ini adalah pasien penyakit jantung yang boleh melakukan aktivitas seksual:
Sedangkan untuk penyakit jantung tidak stabil atau dekompensasi kordis seperti angina tidak stabil,
gagal jantung tidak terkompensasi, aritmia tidak terkontrol atau penyakit katup yang berat, aktivitas
seksual perlu ditunda terlebih dahulu sampai pasien dalam keadaan stabil. Pada pasien dengan
kapasitas latihan atau risiko kardiovaskular yang belum diketahui maka dapat dilakukan uji latih
untuk menilai kapasitas erobik dan perkembangan gejala, iskemia, sianosis, hipotensi atau aritmia.
Program latihan selama rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kapasitas erobik maksimum dan
menurunkan denyut jantung maksimal saat koitus. Latihan yang reguler juga berhubungan dengan
penurunan risiko infark miokard yang dipicu oleh aktivitas seksual sehingga rehabilitasi jantung
Berikut adalah rekomendasi umum aktivitas seksual untuk penderita penyakit jantung menurut
AHA tahun 2012.18
American Heart Association (AHA) juga mencantumkan beberapa pertimbangan untuk kembali
melakukan aktivitas seksual pada beberapa kondisi khusus atau spesifik seperti paska infark
miokard, paska revaskularisasi PCI atau CABG dan pada gagal jantung.18
Evaluasi awal untuk risiko kardiovaskular perlu dilakukan pada penyakit jantung iskemik stabil
sebelum pasien memulai atau kembali melakukan hubungan seksual. Pasien dengan angina stabil
yang ringan termasuk risiko rendah sedangkan pasien dengan angina tidak stabil atau angina
refrakter masuk ke dalam kategori risiko tinggi.18
Pasien dengan riwayat infark miokard asimptomatik, tidak ditemukan iskemia saat uji latih atau
sudah menjalani tindakan revaskularisasi komplit memiliki risiko infark miokard coital yang
rendah. Pada tahun 2005 Princeton Conference menyarankan bahwa pasien infark miokard yang
sudah berhasil menjalani revaskularisasi atau dapat melakukan uji treadmill tanpa timbul iskemia
diperbolehkan kembali melakukan aktivitas seksual 3-4 minggu pasca serangan.18
Aktivitas seksual paska PCI berhubungan dengan keberhasilan revaskularisasi yang adekuat atau
tidak. Pasien dengan revaskularisasi komplit yang berhasil dapat kembali melakukan aktivitas
seksual dalam waktu beberapa hari paska PCI dengan catatan tidak ditemukan komplikasi pada
daerah akses pembuluh femoral.18
Pasien dengan kecurigaan komplikasi vaskular perlu menjalani beberapa evaluasi sebelum kembali
melakukan aktivitas seksual. Pada kasus revaskularisasi inkomplit, uji latih dapat memberikan
gambaran keparahan iskemia residual.18
Pasien paska CABG melalui teknik sternotomi median merupakan teknik yang paling sering
digunakan dan waktu penyembuhannya sekitar 8 minggu paska tindakan. Aktivitas seksual dapat
memberikan beban stres yang berat pada dada dan peningkatan tekanan intratorakal yang akan
memperlambat penyembuhan luka sternum. Oleh karena itu umumnya aktivitas seksual baru
disarankan 6 sampai 8 minggu paska CABG.18
Pasien yang menjalani operasi perlu diberikan konseling untuk menghindari posisi yang dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman atau memberikan beban stres pada lokasi operasi terutama
pada beberapa bulan awal paska operasi. Setelah penyembuhan sempurna paska CABG, aktivitas
seksual dapat kembali dilakukan.18
Gagal Jantung
Abnormalitas hemodinamik, vaskular, hormonal dan neurohormonal dapat berkontribusi pada
disfungsi seksual yang biasanya terjadi pada pasien gagal jantung. Sekitar 60-87% pasien gagal
jantung melaporkan memiliki masalah mengenai hubungan seksual seperti penurunan minat dan
aktivitas seksual serta sekitar 25% tidak lagi melakukan aktivitas seksual.18
Tatalaksana gagal jantung yang optimal dapat meningkatkan kemungkinan pasien untuk kembali
melakukan hubungan seksual yang aman. Program latihan memperbaiki kualitas hidup pada gagal
jantung dan juga dapat berdampak positif pada aktivitas seksualnya.18
Pasien gagal jantung yang mengalami sesak nafas atau fatigue pada saat melakukan hubungan
seksual disarankan untuk menggunakan posisi semireclining atau posisi di bawah yang dapat
menurunkan pengeluaran tenaga fisik serta pasien dapat beristirahat apabila timbul sesak.18
Aktivitas seksual diperbolehkan pada pasien gagal jantung ringan atau dengan kompensasi.
Aktivitas seksual tidak dianjurkan bagi pasien gagal jantung dengan dekompensasi atau gagal
jantung lanjut sampai kondisi stabil dan tertangani secara optimal.25
2. Aktivitas seksual tidak disarankan pada gagal jantung tidak Kelas III, LOE C
terkompensasi sampai kondisi pasien sudah stabil.
Daftar Pustaka
1. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. Churchill
Livingstone, 1992.
2. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
3. Steccy E and Krassioukov A. Sexuality and Disability. In DeLisa JA, et al. Physical Medicine and
Rehabilitation: Principles and Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005; p445-58.
4. Hoffman BM, Sherwood A, Smith PJ, et al. Cardiovascular Disesase Risk, Vascular Heatlh and
Erectile Dysfunction among Middle-aged Men, Clinically Depressed Men. Int J Impot Res.
2010; 22(1):30-35.
5. Schwarz ER, V Kapur; S Bionat; et al. The Prevalence and Clinical Relevance of Sexual
Dysfunction in Women and Men with Chronic Heart Failure. Int J Impot Res. 2008;20(1):85-
91.
6. Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation Fouth Edition. Saunders, Elsevier 2011.
7. Simons J and Carey MP. Prevalence of Sexual Dysfunction. Arch Sex Behav. 2001;30(2):177-
219.
8. Brotto LA. The DSM Diagnostic Criteria for Sexual Aversion Disorder. Arch Sex Behav. 2010;
39(2): 271-277.
9. Montgomery KA. Sexual Desire Disorder. Handbook Psychiatry MMC. 2008; 5(6): 50-55.
10. Tuniz D. Cardiac Rehabilitation and Resuming Sexual Activity. Monaldi Arch Chest Dis.
2004.62(3):162-168.
11. Oommen M and Hellstrom WJG. Male Dyspareunia. UPTODATE. 2014.
12.Basson R. Efficacy and safety of sildenafil citrate in women with sexual dysfunction associated with
female sexual arousal disorder. Journal of womens health gender based medicine. 202: 11(4):
367-377.
13.Goldmeier D, Hiller J and Crowley T. Persistant genital arousal disorder: a review of the literature
and recommendation for management. BASHH special interest group for sexual dysfunction.
BASHH papers. 2009.
14. Pink L, Rancourt V and Gordon A. Persistent Genital Arousal in Women with Pelvic and Genital
Pain. JOGC. 2014.
15. Seehusen DA, Baird DC and Carl R. Dyspareunia in Women. AAFP. 2014.
16. Thorson AI. Sexual Activity and the Cardiac Patient. The American Journal of Geriatric
Cardiology. 2003 :12(1).
17. Mampuya WM. Cardiac Rehabilitation Past, Present and Future: An Overview. Cardiovascular
Diagnosis and Therapy. 2012.
METs Peternak/Petani
3.0 Berternak, memerah susu, aktivitas sedang
3.5 Berternak, menggembala hewan dengan berjalan, aktivitas sedang
4.0 Berternak, memberi makan binatang kecil
4.0 Berternak, menggembala hewan menggunakan kuda, aktivitas sedang.
4.0 Memotong ilalang
4.5 Berternak, mengambil air untuk hewan
METs Teknisi
2.3 Mencetak atau mengeprint (berdiri)
2.5 Mengoperasikan mesin/alat berat, tidak mengendarai
3.0 Mengoperasikan mesin pemotong
3.0 Menggunakan mesin untuk welding (menyambung)
4.0 Menggunakan mesin untuk mengebor
5.0 Mengoperasikan mesin press
METs Penyelam
12.0 Menyelam tanpa perlengkapan, SCUBA diving (Angkatan Laut)
METs Polisi
1.3 Menaiki mobil kepolisian
2.0 Mengendarai mobil kepolisian
2.5 Mengatur lalu lintas
4.0 Melakukan penangkapan (berdiri)
METs Penggali
6.0 Menyekop aktivitas ringan (kurang dari 10 pounds/menit)
7.0 Menyekop aktivitas sedang (10-15 pound/menit)
8.5 Menggali tanah
9.0 Menyekop, aktivitas berat (lebih dari 16 pound/menit)
METs Karyawan
1.5 Mengetik di komputer atau manual
1.5 Pekerjaan kantoran (lab kimia, membaca, memperbaiki mesin kecil)
1.5 Rapat, duduk sambil berbicara dan makan
2.3 Pekerjaan ringan posisi berdiri (bartender, penjaga toko)
2.5 Pekerjaan sedang dalam posisi duduk, operator crane, fork lift, guru yoga
3.0 Pekerjaan ringan sedang posisi berdiri (memperbaiki barang, mengepack barang, merawat
pasien)
3.5 Pekerjaan sedang dalam posisi berdiri (merakit barang, mengangkat barang 50 lbs)
4.0 Pekerjaan sedang berat posisi berdiri (mengangkat beban lebih dari 50lbs)
METs Berjalan
2.0 Berjalan <2.0mph, di kantor
3.0 Berjalan 2.5mph, perlahan dengan memegang beban <25lbs
3.0 Berjalan, membereskan barang-barang dan bersiap-siap untuk pulang,
3.3 Berjalan 3.0 mph, di kantor tanpa barang bawaan
3.8 Berjalan 3.5 mph, jalan cepat di kantor tanpa barang bawaan
4.0 Berjalan 3.0mph, sedang degnan mengangkat beban <25lbs
4.0 Berjalan mendorong kursi roda
4.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban <25 pound
5.0 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 25-49 pound
6.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 50-74 pound
7.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 75-99 pound
8.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban >100 pound
METs Instruktur
3.0 Bekerja di theater, aktor, pekerja belakang layar
4.0 Mengajar olah raga, bukan permainan
6.5 Mengajar olah raga, berpartisipasi dalam permainan