Anda di halaman 1dari 360

Rehabilitasi Kardiovaskuler 1

2 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Rehabilitasi Kardiovaskuler 3
REHABILITASI KARDIOVASKULAR

Penerbit
©2016 PERDOSRI
Cetakan I, September 2016

ISBN:

PB PERDOSRI
Jl. Cakalang Raya 28 A, Jakarta Timur
Tlp. 021-47866390
e-mail : pbperdosri@yahoo.com

Editor:
Deddy Tedjasukmana Basuni
Hening L Putra

Kontributor:
…..

Editor Teknis:
Andreas Ricky
Kirana Kusumawardhani
Elisabet Augustina
Ayu Budi Lestari
Sariyani

Percetakan:

Isi luar tanggung jawab percetakan

4 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Daftar Isi

Kata Pengantar 7
BAB 1 Rehabilitasi Jantung 9
Rehabilitasi Jantung: masa lalu, masa kini dan masa depan 13
Ringkasan 23
Daftar Pustaka 23

BAB 2 Pemeriksaan FIsik Jantung dan Paru 27


Komponen anamnesis 28
Pemeriksaan fisik secara umum 28
Topografi jantung 29
Pemeriksaan fisik jantung 31
Pemeriksaan fisik paru 38
Daftar Pustaka 44

BAB 3 Uji Latih Beban jantung pada Rehabilitasi KARDIOVASKULAR 45


Pendahuluan 46
Fisiologi uji latih 51
Prosedur uji latih 55
Macam-macam protokol uji latih 68
Uji latih setelah revaskularisasi PCI dan CABG 82
Uji latih dengan pacemakers dan Implanted Cardiac Defibrilators 84
Daftar Pustaka 84

BAB 4 REHABILITASI SINDROM KORONER AKUT 87


Pendahuluan 88
Definisi 89
Etiologi 89
Faktor risiko 90
Patogenesis 90
Patofisiologi 93
Klasifikasi 96
Diagnosis 98
Penatalaksanaan 106
Prognosis 132
Daftar Pustaka 135

BAB 5 REHABILITASI PASCA REVASKULARISASI JANTUNG (PCI dan CABG) 137


Pendahuluan 138
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) 140
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) 152
Rehabilitasi Pasca Operasi Jantung 157

Rehabilitasi Kardiovaskuler 5
Efek latihan pada pasien pasca revaskuarisasi 166
Daftar Pustaka 167

BAB 6 REHABILITASI GAGAL JANTUNG KONGESTIF 171


Pendahuluan 172
Definisi 173
Etiologi 173
Klasifikasi 175
Patogenesis 177
Patofisiologi 179
Diagnosis 181
Penatalaksanaan 190
Daftar Pustaka 206

BAB 7 REHABILITASI PENYAKIT VASKULAR PERIFER 209


Pendahuluan 210
Anatomi pembuluh darah 211
Fisiologi pembuluh darah 216
Anamnesis dan pemeriksaan penyakit vaskular perifer 217
Penyakit arteri perifer 221
Penyakit vena perifer 234
Daftar Pustaka 248

BAB 8 Edukasi dan Konseling pada Rehabilitasi Jantung 251


Pendahuluan 252
Prinsip edukasi pada rehabilitasi jantung 252
Membangun semangat kemandirian pasien 254
Edukasi terhadap faktor risiko penyakit jantung 256
Diet pada rehabilitasi jantung 281
Daftar Pustaka 284

BAB 9 Kembali Bekerja pada Rehabilitasi Jantung 287


Pendahuluan 288
Faktor- faktor yang mempengaruhi kembali bekerja 290
Program Kembali Bekerja 296
Evaluasi pekerjaan 297
Pilihan untuk kembali bekerja 301
Kebutuhan energi pada pekerjaan 302
Uji latih sebelum kembali bekerja 304
Daftar Pustaka 306

BAB 10 AktiVitas SeKSual pada Rehabilitasi Jantung 309


Pendahuluan 310
Respon fisiologi aktifitas seksual 311
Faktor yang mempengaruhi fungsi seksual: 315
Jenis – jenis disfungsi seksual 319
Aktifitas seksual pada panyakit jantung koroner 324
Diagnostik disfungsi seksual 329
Penatalaksanaan rehabilitasi seksual 333
Rekomendasi aktivitas seksual 336
Obat-obatan yang Berpengaruh Terhadap Aktivitas Seksual: 340
Daftar Pustaka 343

Lampiran 345
Compendium of Physical Activities (2011) 345

6 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Kata Pengantar

Puji syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
Buku Rehabilitasi Kardiovaskuler dapat diselesaikan sesuai waktunya. Buku ini dibuat untuk
memudahkan para sejawat dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dalam memahami
rehabilitasi kardiovaskuler dan mengimplementasikannya kepada pasien yang secara sistematis
dapat diterapkan dalam mengelola pasien kardiovaskuler di Rumah Sakit . Pembahasan materi
dalam buku ini diawali dengan sejarah perkembangan rehabilitasi kardiovaskuler dan beberapa
topik rehabilitasi jantung dan vaskuler yang banyak ditemukan secara klinik di rumah sakit serta
penanganan rehabilitasi kardiovaskular sesuai dengan guidelines yang diakhiri dengan topik
aktivitas seksual pada penyakit jantung.

Terima kasih kami sampaikan kepada dr. Luhyuni SpKFR (K) sebagai Ketua PB PERDOSRI yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membuat Buku Rehabilitasi Kardiovaskular
untuk dapat digunakan para sejawat dalam menangani kasus rehabilitasi kardiovaskuler sesuai
dengan guidelines, metanalytic study maupun systematic review. Kita ketahui bersama bahwa ilmu
pengetahuan rehabilitasi kardiovaskuler berkembang dengan sangat cepat seperti konsep serta
paradigma baru yang bermunculan melahirkan guidelines baru setiap saat.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Mulyadi SpA (K), Dr. dr. Yusuf SpBTKV
(K), MARS, Dr. dr. Muhammad Yamin SpJP (K), dr. Sally SpPD-KKV, dr. Azra SpBTKV (K), dr. Ismail
SpBTKV (K), MARS, yang telah memberikan koreksi dan masukannya sehingga buku ini dapat
diselesaikan.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan buku ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar buku ini mendapat perbaikan yang signifikan
untuk kepentingan pelayanan, pendidikan dan penelitian. Semoga buku ini dapat memberikan
manfaat bagi teman sejawat khususnya Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik dan bagi
sejawat dokter pada umumnya.

Tim Penulis

Rehabilitasi Kardiovaskuler 7
8 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 1
Sejarah Perkembangan
Rehabilitasi Jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 9
Sejak lebih dari 200 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1772, Heberden sudah mengemukakan
pentingnya aktivitas fisik pada pasien pasca infark miokard, namun cabang ilmu rehabilitasi
belum berkembang dan populer seperti saat ini.1 Pada tahun 1900 pasien dengan infark miokard
umumnya dirawat selama 3-4 bulan di rumah sakit dengan 6-8 minggu di antaranya tirah baring
total (bedrest). Pasien tidak diizinkan untuk banyak bergerak, makan, minum, mandi, menaiki anak
tangga dan memakai pakaian.1 Pada masa itu kelelahan fisik yang minimal pun diduga menjadi
predisposisi timbulnya aneurisma ventrikular dan ruptur ventrikel serta meningkatkan hipoksemia
arterial yang dapat menimbulkan aritmia, rekurensi infark miokard dan kematian mendadak.1,2
Bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit, aktivitas dengan beban sedang seperti menaiki
anak tangga bisa dilakukan setidaknya setelah 1 tahun pasca serangan dan jarang sekali pasien
dapat kembali ke kehidupan normal serta pekerjaan yang produktif.1,2

Sejak tahun 1929 terjadi perubahan yang revolusioner pada konsep perawatan pasien dengan
infark miokard akut. Dahulu perawat diinstruksikan untuk membantu semua kegiatan pasien baik
makan, minum dan berdiri di samping tempat tidur. Dan pada saat itu, pasien dianjurkan untuk
dirawat tirah baring total 6-8 minggu atau lebih. Hal ini juga dikemukakan oleh Mallory-White
dan Salcedo Salger. Begitupun Lewis yang juga merekomendasikan istirahat total 6-8 minggu pada
pasien dengan oklusi arteri koroner.1,2

Dalam perkembangannya, temuan empiris dan penelitian pendukung lainnya menunjukkan pada
pasien dengan infark miokard akut dengan penyumbatan arteri koroner yang ringan hingga sedang
tanpa komplikasi, cukup istirahat dalam 1 bulan yakni 2 minggu pertama istrahat total dan 2
minggu berikutnya melakukan latihan ringan di tempat tidur untuk selanjutnya 1 bulan aktivitas
bertahap serta dalam masa 3 bulan penyembuhan dapat mengembalikan kesehatan fisik.1

Pada tahun 1930 pasien infark miokard umumnya dianjurkan untuk tirah baring selama 6
minggu. Namun Mallory-White melaporkan istirahat yang terlalu lama (lebih dari 6 minggu) dapat
menyebabkan miokardium yang telah mengalami nekrosis berubah menjadi jaringan parut.1,2
Dan pada tahun 1930an di New York, Amerika Serikat banyak anggota buruh yang terpaksa
dipensiunkan karena dianggap tidak mampu bekerja pasca penyakit jantung, 80% di antaranya
adalah kasus penyakit jantung koroner (PJK). Hal ini membuat perserikatan pekerja di New York
meminta New York Heart Association mengevaluasi masalah tersebut sehingga dirumuskannya
the Work Classification Unit or Work Evaluation Unit yang melibatkan aspek fisik dan psikologis.
Evaluasi inilah yang menjadi cikal bakal rehabilitasi jantung saat ini.5 Pada tahun 1930 pasien
dengan sindrom koroner akut (SKA) disarankan untuk tirah baring selama 6 minggu. Kemudian
aktivitas duduk mulai diperkenalkan di tahun 1940an. Selanjutnya pada awal tahun 1950, setelah
4 minggu pulih dari sindrom koroner akut pasien diperbolehkan untuk berjalan 3-5 menit sehari.
Dari sini tampak bahwa ambulasi dini mulai diakui dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan
oleh tirah baring.5

Pada tahun 1940 Levine juga menuliskan istirahat yang terlalu lama dapat meningkatkan rasa
ketidakberdayaan, kecemasan serta menurunkan moral keinginan untuk hidup pasien. Levine
merekomendasikan agar duduk di kursi 1-2 jam/hari pada pasien dengan infark miokard akut
dimulai pada hari pertama setelah infark miokard akut stabil. Posisi duduk dipercayai dapat
bermanfaat dalam meningkatkan pooling vena perifer, menurunkan venous return dan menurunkan
beban kerja jantung. Levine juga berteori bahwa rehabilitasi jantung dapat menurunkan komplikasi
tromboemboli dan sistem pernapasan.1,2 Dock pada tahun 1990 juga memutuskan bahwa
perpanjangan masa istirahat dan peningkatan risiko tromboemboli, demineralisasi tulang, atrofi

10 Rehabilitasi Kardiovaskuler
otot, masalah gastrointestinal, masalah urologi serta instabilitas vasomotor berhubungan dengan
imobilisasi berkepanjangan. Dock juga menganjurkan penggunaan bedside commode dibanding
pispot untuk mengurangi manuver valsava pada pasien karena lebih sedikit tenaga dan kerja
miokard juga lebih ringan pada posisi duduk dibanding posisi tidur telentang.1

Pada tahun 1950 Newman merekomendasikan untuk aktivitas perawatan di rumah sakit dengan
menganjurkan untuk mobilisasi jalan 3-5 menit dua kali sehari, biasanya dimulai pada minggu
keempat dengan supervisi dan hasilnya terdapat peningkatan aktivitas berjalan secara signifikan.1
Studi Hellerstein tahun 1950 mempresentasikan metodologi rehabilitasi yang komprehensif
terhadap pasien yang mengalami serangan jantung akut dan menganjurkan pendekatan multidisiplin
dalam program rehabilitasi jantung. Pendekatan multifaktorial termasuk modifikasi faktor risiko
yang agresif merupakan hal penting dalam rehabilitasi jantung masa sekarang. Herman Hellerstein
mencetuskan rehabilitasi jantung dengan konsep latihan fisik yang meningkatkan kondisi jantung
terutama kapasitas erobik.2,3 Hellerstein mendemonstrasikan bahwa latihan merupakan cara yang
efektif dan aman untuk mengembalikan kondisi jantung. Hellerstein juga merintis latihan klinis
dan khususnya rehabilitasi jantung dengan melakukan program bertahap pada pasien. Berbeda
dengan awal abad 20 di mana penyembuhan penyakit jantung umumnya menitik beratkan pada
tirah baring jangka panjang.3

Secara bertahap dokter memahami pentingnya mobilisasi dini yang dapat mengurangi komplikasi
akibat tirah baring termasuk emboli paru. Kendati demikian, perhatian terhadap pentingnya
keamanan pasien ketika mengikuti program latihan rehabilitasi sangatlah utama. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan program rehabilitasi jantung yang terstruktur dan disupervisi
oleh dokter sangat penting, meliputi supervisi klinis dan monitoring EKG.2

Pada tahun 1963 Hellerstein mempublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukkan manfaat
peningkatan kemampuan erobik pada pasien yang didiagnosa dengan penyakit jantung (infark
miokard akut). Yang lebih penting, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pasien dengan
penyakit jantung mampu meningkatkan denyut jantung, ambilan oksigen dan tekanan darah
sebagai respon dari latihan. Secara singkat dapat disimpulkan, pasien yang berpartisipasi dalam
rehabilitasi jantung dengan melakukan program latihan erobik memiliki jantung yang lebih efisien.1,3

Pada awal 1968 Naughton dan kawan-kawan juga Nagle dan kawan-kawan dan beberapa peneliti
lainnya melaporkan program latihan fisik dapat meningkatkan status emosional. Di tahun yang
sama, Toiz dan Zohman melaporkan bahwa rehabilitasi jantung fase rawat inap terbukti aman.1
Menurut Saltin (1968) dalam penelitiannya disimpulkan bahwa pasien yang mendapatkan
imoblisasi setelah 3 minggu mengalami penurunan kapasitas fungsional 20-25%, kekuatan dan
massa otot berkurang 10-15%, penurunan ventilasi oksigen, peningkatan refleks takikardia dan
peningkatan hipotensi ortostatik.1

Pada tahun 1970 di Amerika Serikat telah diperkenalkan bedrest selama 1 sampai 4 minggu pada
pasien dengan infark miokard akut disertai monitoring EKG dan penanganan aritmia. Waktu rawat
inap umumnya berkisar 2-6 minggu atau lebih.1

Bloch dan kawan-kawan pada tahun 1974 membuktikan tingkat keamanan mobilisasi dini dengan
studi kontrol. Pada penelitan tersebut menyimpulkan bahwa kelompok pasien yang memulai
program rehabilitasi dengan intensitas latihan yang sebelumnya dinyatakan tidak aman namun
setelah dilakukan latihan fisik tidak menunjukkan gejala yang lebih berat.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 11
Wilhelmsen dan kawan-kawan tahun 1975 melaporkan berdasarkan studi acak (randomized
control trial) pada latihan fisik menyimpulkan bahwa setelah 4 tahun follow up, pada kelompok
latihan terdapat 28 dari 158 pasien meninggal, pada kelompok kontrol didapatkan 35 dari 157
pasien meninggal.1

Pada tahun 1979 Kallio dan kawan-kawan melakukan uji secara acak dan menunjukkan rehabilitasi
jantung menurunkan kematian sebesar 40-60% dari total pasien yang mengikuti program
rehabilitasi jantung. Perbedaan yang mencolok terlihat pada kemampuan aktivitas fisik di samping
perbaikan pada tekanan darah, serum kolesterol dan berat badan.1

Beberapa studi menunjukkan latihan erobik menghasilkan jantung yang lebih kuat, meningkatkan
stroke volume, sehingga dapat mensuplai oksigen ke jaringan lebih baik. Lebih lanjut, peningkatan
tekanan darah dan peningkatan kapasitas beban latihan mampu meningkatkan efisiensi jantung
secara bertahap.3

Pada tahun 1986 DeBusk dan kawan-kawan mengeluarkan beberapa panduan untuk
mengidentifikasi pasien risiko rendah dan pasien yang dapat mengalami perbaikan setelah
revaskularisasi. Tingkat keamanan rehabilitasi jantung fase rawat jalan sudah dinyatakan pada
tahun 1986. Pada 50.000 pasien yang menjalani latihan 2,3 juta jam latihan, hanya 3 pasien yang
meninggal, 18 pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) yang diresusitasi, 8 kasus infark miokard
nonfatal. Insidens henti jantung sebesar 8,9 per 1 juta jam latihan, infark miokard 3,4 per 1 juta
jam latihan dan kematian 1,3 per 1 juta jam latihan.1

Rehabilitasi jantung dapat meningkatkan angka harapan hidup dan kualitas hidup pasien. Usia
pasien dapat diperpanjang dengan latihan fisik secara teratur serta penggunaan Beta adrenergic
blocker dan ACE inhibitor, lebih lagi jika faktor risiko terkontrol. Kualitas hidup pasien dapat
dioptimalkan jika dokter tanggap menilai tanda cemas dan depresi saat pasien mengikuti program
latihan, hingga mencapai kehidupan paling aktif yang dapat ditoleransi pasien.1

Rehabilitasi jantung memiliki banyak tantangan pada perkembangannya. Dua di antaranya adalah
semakin besarnya populasi usia tua dan semakin banyak pasien dengan disfungsi organ multipel.
Pasien seperti ini memerlukan penanganan komprehensif dari banyak spesialis, juga spesialis
kedokteran jiwa. Penyakit kardiovaskular yang stabil jangan menjadi hambatan untuk berfungsi
optimal, tetapi menjadi dasar bagi para dokter untuk menangani pasien dengan percaya diri.1

Dahulu rehabilitasi jantung dibagi menjadi beberapa fase: fase 1 merupakan rehabilitasi jantung
fase rawat inap, fase 2 merupakan 12 minggu pertama setelah pasien keluar dari rumah sakit, dan
fase 3 merupakan periode antara 12 minggu sampai 1 tahun setelah keluar rumah sakit. Empat
bagian dalam rehabilitasi jantung mencakup antara lain tatalaksana penyakit kardiovaskular,
kontrol faktor risiko, mobilisasi dini dan penyesuaian psikososial yang harus dilakukan di setiap
fase rehabilitasi.1

Kongres World Heart Rehabilitation dilakukan pertama kali di Jerman pada tahun 1977, memulai
konsep berupa mobiliasi dini (early mobilization). Di Indonesia, rehabilitasi jantung diperkenalkan
oleh Kusmana D dan kawan-kawan yang secara nasional rehabilitasi jantung disebarluaskan pada
kongres rehabilitasi pertama pada tahun 1980 dan kongres kedua pada tahun 1985. Pada saat itu
secara agresif program rehabilitasi jantung mengalami perkembangan secara signifikan.1

Seperti yang kita ketahui saat ini, intervensi rehabilitasi jantung sudah berkembang dan
bermetamorfosis dalam 30 tahun terakhir seiring berkembangnya intervensi penanganan penyakit

12 Rehabilitasi Kardiovaskuler
kardiovaskular. Pada masa awal dimulainya program rehabilitasi jantung, fasilitas coronary care unit
masih dalam tahap sederhana, operasi jantung Coronary Artery Bypass Graft (CABG) baru dilakukan
dalam periode 10 tahun. Angioplasti masih merupakan impian dalam pengobatan kardiovaskular.4

Rehabilitasi jantung dan pengobatan kardiovaskular modern mewakili pengobatan yang terus
berkembang. Sebagai contoh pada tahun 2006, Center for Medicare and Medicaid Services (CMS)
sudah menyetujui program rehabilitasi jantung dapat diterapkan pada tindakan seperti percutaneous
coronary intervention (PCI), tranplantasi jantung, dan operasi katup pada kasus angina stabil kronis,
pasca operasi bypass dan infark miokard akut.4

Centre for Medicare and Medicaid Services (CMS) merekomendasikan intervensi rehabiltasi jantung
sebagai program multidisiplin yang tidak hanya melibatkan terapi latihan pada pasien jantung,
tetapi juga melibatkan konseling dan edukasi pada pasien yang sudah stabil sehingga pasien dapat
beraktivitas di rumah atau di komunitasnya.4

Rehabilitasi Jantung: masa lalu, masa kini dan masa


depan
Rehabilitasi jantung telah berkembang sejak beberapa dekade terakhir ini. Dari hanya sebuah
pengawasan sederhana untuk mengembalikan pasien kepada aktivitas fisik hingga pendekatan
multidisiplin yang menitik beratkan pada edukasi pasien, latihan yang disesuaikan secara individu,
modifikasi faktor risiko dan seluruh aspek keamanan pasien. Rehabilitasi jantung telah terbukti
efektif untuk penanganan pasien dengan penyakit jantung. Penelitian terbaru dalam rehabilitasi
jantung menunjukkan bahwa pasien dengan berbagai masalah jantung termasuk penyakit jantung
iskemik, gagal jantung dan pasca operasi jantung bisa mendapatkan banyak manfaat dari rehabilitasi
jantung yang optimal.5 Adapun manfaat tersebut di antaranya: menurunkan angka mortalitas,
mengurangi gejala, mengurangi kebiasaan merokok, memperbaiki toleransi latihan, memodifikasi
faktor risiko dan memperbaiki keseluruhan aspek keamanan pasien. Namun rehabilitasi jantung
kurang dimanfaatkan secara baik karena masalah sistem rujukan dan asuransi kesehatan.5

Program-program rehabilitasi jantung telah menjadi bagian penting dalam standar penatalaksanaan
penyakit jantung dewasa ini. Telah mengalami pergeseran dari sekedar terapi latihan menjadi
strategi pencegahan sekunder yang komprehensif dalam menangani faktor risiko, nutrisi, psikologis
dan faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi perkembangan pasien. Rehabilitasi jantung
yang bertindak sebagai pencegahan sekunder mengandalkan deteksi awal (early detection) dan
penerapan beberapa intervensi (edukasi, konseling dan perilaku) untuk mendorong perubahan
pola hidup dan memodifikasi faktor risiko. Penelitian klinis telah menunjukkan bahwa deteksi
dini dan modifikasi faktor risiko dapat memperlambat, menstabilkan atau bahkan menghentikan
perjalanan penyakit serta mengurangi kejadian penyakit jantung.5

Latar belakang sejarah


Levine dan Lown sebagai pemelopor rehabilitasi jantung, awalnya mengalami banyak penolakan
terhadap mobilisasi dini pada pasien. Kendati demikian, banyak bukti bermunculan yang semakin

Rehabilitasi Kardiovaskuler 13
mematahkan pandangan tersebut. Dalam penelitan Morris (1953) menunjukkan bahwa supir-
supir bis di London memiliki kemungkinan terkena serangan jantung lebih tinggi dibandingkan
dengan kondektur. Hal ini dikarenakan kondektur lebih aktif berjalan, naik turun dalam bis tingkat
sedangkan supir bis hanya duduk mengemudi.6 Selanjutnya, hasil penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh Saltin, Braunwald, Sarnoff, Sonnenblick, Hellerstein, Naughton dan masih banyak
lagi berhasil menunjukkan pentingnya latihan, efek merugikan dari tirah baring yang terlalu lama
dan ini semuanya yang mendasari perkembangan program rehabilitasi jantung sebagai pendekatan
multidisiplin.7

Sejak saat itu, pendekatan ini terbukti bermanfaat direkomendasikan sebagai program terapeutik
penting dalam ilmu kardiologi modern. Akan tetapi sangat disayangkan, pada penerapannya, ilmu
ini tidak banyak mendapat tempat karena banyak ahli kardiologi muda yang lebih tertarik pada
teknologi terbaru seperti echocardiography, coronary angiography dan angioplasty serta obat-
obatan terbaru yang lebih bertumpu pada pengobatan jangka pendek.7

Tujuan
Berdasarkan sejarahnya, tujuan pertama dari rehabilitasi jantung adalah untuk membantu pasien
agar mandiri dan memperbaiki aktivitas fisiknya sehari-hari. Dampak positif dari aktivitas fisik
setelah terkena infark miokard telah banyak diteliti oleh beberapa penelitian seperti Wannametthee
dan The INTERHEART Study. Kedua penelitian ini mendapatkan hasil adanya peningkatan HDL
(High Densitiy Lipoprotein), penurunan kadar lemak tubuh, gula darah dan tekanan darah sebagai
dampak dari aktivitas fisik teratur.8,9

Tujuan rehabilitasi jantung lainnya adalah mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
seperti: menghentikan kebiasaan merokok, mengoptimalkan pengobatan hipertensi, diabetes dan
kolesterol serta memberikan edukasi terapeutik. Adapun edukasi terapeutik merupakan sebuah
program yang terstruktur dengan kegiatan workshop untuk memberi edukasi kepada pasien
mengenai kondisi penyakitnya. Dan tujuan akhirnya adalah untuk membuat pasien mandiri dan
punya tanggung jawab akan pengobatan dan perubahan pola hidupnya.10

Membantu pasien dalam mengelola masalah psikososial turut menjadi tujuan dari rehabilitasi
jantung. Masalah psikis seperti gangguan cemas dan depresi seringkali dialami pasien penyakit
jantung. Pada pusat rehabilitasi jantung, pasien dapat belajar mengelola stres, yang tentunya
berkaitan bagi pengendalian faktor risiko.10

Untuk jangka pendek tujuan rehabilitasi jantung meliputi rekondisi untuk mengembalikan aktivitas
fisik, edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai kondisi penyakit yang dialami dan memberi
dukungan psikologis saat awal masa pemulihan. Sedangkan tujuan jangka panjang dari program
ini adalah untuk penatalaksanaan faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit,
mengoptimalkan kondisi fisik dan memfasilitasi kembalinya pasien dalam pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari.10

14 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Indikasi
Secara umum pelayanan rehabilitasi jantung biasanya diberikan kepada pasien dengan manifestasi
penyakit jantung koroner. Namun pada pasien yang telah pulih dari infark miokard atau pasca
operasi bypass dan angina stabil yang kronis pun dapat dilakukan program rehabilitasi jantung.
Pada dasarnya bila pasien secara klinis mampu melakukan uji latih, maka pasien tersebut dapat
memulai program rehabilitasi jantung.10

Terdapat perbedaan ketentuan dan penyusunan program rehabilitasi jantung di setiap negara
karena berkaitan dengan aturan-aturan kesehatan dan sumber daya yang ada. Tentunya di
negara yang lebih makmur sumber dayanya pun lebih banyak, oleh karena itu indikasi rehabilitasi
jantungpun berbeda di setiap negara. Saat ini cakupan indikasi program rehabilitasi jantung
meliputi infark miokard akut, angina pektoris stabil, operasi bypass arteri koroner, operasi katup
jantung, pemasangan ring jantung (percutaneous transluminal coronary angioplasty), pasca tindakan
stem cell jantung dan transplantasi jantung.5

Pada pasien gagal jantung pembatasan latihan sebelumnya masih diterapkan seperti yang
dikemukakan oleh Sullivan dan kawan-kawan (1988). Namun demikian, program rehabilitasi
jantung memberikan kontribusi besar dalam perkembangannya sehingga baru belakangan ini
gagal jantung diikutsertakan sebagai indikasi rehabilitasi jantung. Dalam suatu uji klinis secara
acak (randomized clinical trial) tahun 2008, Zwisler dan kawan-kawan menyatakan bahwa hanya
pasien dengan gagal jantung NYHA kelas II dan III yang stabil dan tanpa komplikasi aritmia dapat
dirujuk untuk program latihan.11,12

Pada kasus transplantasi jantung pasien dapat memperoleh manfaat dari program latihan
yang disesuaikan tiap individu mengingat ada beberapa kondisi fisiologis tertentu. Pada kasus
transplantasi jantung terjadi gangguan hantaran saraf pada miokardium, meningkatnya kadar
norepinefrin, menurunnya denyut jantung dan stroke volume puncak, melambatnya denyut jantung
selama masa pemulihan dan meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik.5

Pasien dengan penyakit pembuluh darah tepi (Peripheral Artery Disease atau PAD) dapat merasakan
manfaat dari program latihan rehabilitasi jantung karena pada dasarnya kondisi ini berhubungan
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian Scrutinio D dan kawan-kawan di Eropa tahun 2008
mendapatkan setengah dari jumlah pasien dengan PAD memiliki penyakit jantung koroner dan
sepertiga jumlah pasien dengan penyakit jantung koroner juga memiliki PAD. Pande RL dan
kawan-kawan menyatakan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa jutaan pasien dengan PAD
tidak mendapat terapi pencegahan sekunder. Oleh karena itu penelitian tersebut menegaskan
perlunya merujuk pasien dengan PAD ke program rehabilitasi jantung agar mendapatkan intervensi
pencegahan sekunder.13,14

Kontra indikasi
Beberapa kontraindikasi rehabilitasi jantung di antaranya: angina pektoris tidak stabil (unstable
angina), gagal jantung akut (heart failure), aritmia ventrikular kompleks, hipertensi arteri pulmoner >60
mmHg, trombus kapiler (intracavitary thrombus), tromboflebitis baru dengan atau tanpa emboli paru,
kardiomiopati obstruktif berat, stenosis aorta simtomatik atau berat, inflamasi atau infeksi yang tidak
terkontrol dan kondisi muskuloskeletal yang tidak memungkinkan dilakukannya latihan fisik.5

Rehabilitasi Kardiovaskuler 15
Komponen rehabilitasi jantung
Pendekatan multidisiplin yang dikemukakan Hellerstein pada tahun 1950an tentang rehabilitasi
komprehensif untuk pasien penyakit jantung akut, telah dipakai oleh program rehabilitasi jantung
di seluruh dunia.5

Secara umum rehabilitasi jantung dibagi menjadi 3 fase, ketiganya bertujuan untuk memfasilitasi
proses pemulihan dan mencegah penyakit jantung lanjutan.5

Fase I dimulai saat pasien dirawat inap. Fase ini terdiri dari mobilisasi dini yang progresif sampai
dengan tingkat aktivitas yang dibutuhkan pasien untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang
sederhana. Karena seringkali masa rawat inap pasien singkat, program rehabilitasi fase ini terbatas
pada mobilisasi dini agar pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri dan konseling ringkas
mengenai kondisi penyakit yang dialami, tatalaksana faktor risiko dan rencana follow up.10

Oleh karena itu area-area pelayanan paling penting harus secara efektif diberikan dalam rentang
waktu masa rawat inap yang terbatas itu, seperti program ambulasi untuk mengembalikan pasien
beraktivitas seperti biasa di rumah, edukasi pasien mengenai kondisi penyakit, faktor risiko,
pengobatan (dosis, efek samping), tatalaksana kedaruratan serta informasi dasar tentang program
rehabilitasi ini.10

Fase II adalah program rawat jalan yang disupervisi dengan durasi 4-8 minggu, terdiri dari latihan
yang dipantau dan upaya mengurangi faktor risiko secara komprehensif. Pada beberapa negara
terutama di Eropa, program latihan peralihan (transitional) dilakukan selama 1-2 minggu.10

Beberapa pelayanan sesuai standar yang komprehensif diberikan pada fase ini. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pelayanan fase ini mencakup program latihan, evaluasi, tatalaksana
faktor risiko, edukasi-konseling serta rehabilitasi vokasional. Pasien berusia kurang dari 60 tahun
sebagian besar akan kembali pada pekerjaannya setelah terkena penyakit jantung.10

Pada beberapa kasus pasien tidak dapat kembali pada profesi lamanya dikarenakan kondisi dan
komplikasi yang dialami seperti pada kasus stroke dan gagal jantung kongestif berat sehingga
tidak memungkinkan pasien kembali bekerja. Pada beberapa profesi sepeti pilot dan pekerjaan
yang berhubungan dengan sistem keselamatan tidak diperbolehkan kembali bekerja karena hal
tersebut sudah diatur secara hukum yang membutuhkan pergantian pekerjaan, untuk dilakukan
rehabilitasi vokasional.10

Fase III, fase pemeliharaan seumur hidup (maintenance and lifelong) yaitu fase yang menekankan
pada kebugaran fisik dan pengurangan faktor risiko tambahan. Fase ini mencakup latihan berbasis
rumah sakit dan komunitas bertujuan untuk melanjutkan program latihan yang telah dipelajari
pada fase II dan modifikasi faktor risiko.10

American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC) dan American Association
of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation (AACPR) tahun 2007 merumuskan komponen-
komponen inti dari rehabilitasi jantung dan menghasilkan beberapa panduan untuk deteksi,
tatalaksana dan pencegahan penyakit jantung seperti berikut ini.5

Komponen-komponen inti mencakup penilaian pasien, latihan, konseling aktivitas fisik,


menghentikan kebiasaan merokok, konseling nutrisi, tatalaksana berat badan, tatalaksana faktor
risiko penyakit jantung koroner dan konseling psikososial. Sebagai tambahan selama rehabilitasi
jantung, pasien dapat diedukasi mengenai masalah disfungsi seksual dan tatalaksana stres.

16 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Penilaian pasien.
Dalam rangka penatalaksanaan pasien ada beberapa aspek dalam rehabilitasi jantung
yang menyesuaikan kebutuhan yang berbeda setiap individu, perlu dilakukan evaluasi fisik
dan mental yang lengkap di awal program rehabilitasi jantung. Tujuannya adalah untuk
menentukan lingkungan yang aman bagi pasien dan memfasilitasi talaksana dengan risiko
minimal. Evaluasi ini digunakan untuk membantu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai
bagi pasien dalam rehabilitasi jantung. Sebelum program latihan dimulai, perlu dilakukan
uji latih symptom-limited untuk tujuan prognostik, diagnostik dan terapeutik. Kemudian di
akhir program dilakukan evaluasi rutin untuk memeriksa apakah tujuan telah tercapai dan
memastikan kelanjutan jangka panjang.

- Program latihan
Berdasarkan hasil studi di Harvard (1984) dan Penelitian Intervensi Faktor Risiko Multipel
(the Multiple Risk Factor Intervention Trial) tahun 1987, menunjukkan adanya hubungan
berbanding terbalik antara latihan fisik dengan mortalitas penyakit jantung dan pembuluh
darah. Bahkan latihan intensitas ringan hingga sedang pun dapat memberikan efek proteksi
jantung.15,16

Menurut data ilmiah, program latihan yang diresepkan dan dilakukan secara tepat, sebagai
komponen kunci dari rehabilitasi jantung, dapat meningkatkan toleransi latihan. Myers
dan kawan-kawan (2002) menunjukkan perbaikan metabolic equivalent times (METs) pada
kapasitas fungsional yang menurunkan angka mortalitas sebanyak 12%.17 Jolie dan kawan-
kawan (2011) baru-baru ini menujukkan adanya perbaikan denyut jantung abnormal dan
penurunan mortalitas sebagai hasil dari program latihan.18 Protokol latihan sebaiknya tidak
hanya mencakup ketahanan pasien (endurance) melainkan juga resistensi (resistance) misalnya
treadmills, steppers, weights, rowers, elliptical trainers, exercise bikes, dumbbells. Kolam renang
juga bisa digunakan untuk latihan pada pasien yang tidak mampu banyak bergerak. Uji latih
baseline symptom-limited digunakan untuk stratifikasi risiko pasien sebelum memulai program
latihan. Latihan diberikan berdasarkan hasil uji latih meliputi tipe, intensitas, durasi dan
frekuensi latihan. Di Amerika Serikat program latihan diberikan 3 kali selama 8-12 minggu
dengan durasi 45 menit per sesi. Di Kanada biasanya program diberikan 6-8 minggu dan
program kelanjutan di rumah.5

- Konseling aktivitas fisik


Banyak bukti menunjukkan bahwa aktivitas fisik reguler bermanfaat bagi jantung dan
pembuluh darah seperti penurunan berat badan, tekanan darah dan perbaikan kadar gula
darah serta lemak tubuh. Sebuah meta-analisis tahun 2005, dari 11 studi acak mengenai latihan
rehabilitasi jantung dengan total 2285 pasien, program latihan yang teratur menghasilkan
dampak siginifikan berupa penurunan mortalitas 12% dan penurunan kemungkinan infark
miokard berulang sebanyak 24%.19 Sebagian besar panduan merekomendasikan latihan
setidaknya dilakukan minimal 30 menit per sesi, 5 kali dalam seminggu, dengan intensitas
sedang (target nadi: 70-80% HR (Heart rate) maksimal dengan skala Borg 12 to 14) melibatkan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 17
aktivitas erobik yang dilengkapi dengan aktivitas sehari-hari (berjalan, berkebun, pekerjaan
rumah tangga).5

Sattlemair dkk dalam meta-analisis (2011) merumuskan bahwa “berapapun sedikitnya


aktivitas tetap lebih baik daripada tidak sama sekali” dan “semakin banyak beraktivitas
semakin banyak manfaat yang dirasa”.20

- Kebiasaan merokok
Berhenti merokok adalah cara paling efektif, murah dan penting dalam mencegah penyakit
kardiovaskular. Tidak hanya menurunkan risiko kejadian kardiovaskular, berhenti merokok
dapat menurunkan risiko terkena kanker, ulkus peptikum dan penyakit paru kronis.10 Sebuah
penelitian meta-analisis oleh Critchley JA dan kawan-kawan (2003) menunjukkan adanya
penurunan mortalitas pada pasien dengan riwayat infark miokard, CABG, angioplasti, gagal
jantung yang berhenti merokok dibandingkan dengan pasien yang tetap merokok. Hasil ini
didukung dengan penelitian Mohhiudin dan kawan-kawan (2007) yang mendapatkan adanya
penurunan mortalitas semua penyakit sebanyak 50% pada pasien yang berhenti merokok.
Dari studi kohort Iestra dkk (2005) didapatkan 20% penurunan mortalitas penyakit jantung
dan pembuluh darah.21,22,23

Berhenti merokok bukanlah sebuah keputusan yang mudah karena tidak hanya berhubungan
dengan fisik tapi juga sisi psikologis berupa kecanduan, oleh karena itu, dibutuhkan konsultasi
personal. Beberapa cara dapat dilakukan di antaranya: farmakologi (substitusi nikotin,
bupropion, vareniklin), konseling, edukasi dan dukungan kelompok.

- Konseling nutrisi
Dalam rehabilitasi jantung, konseling nutrisi berguna untuk memberi pengertian kepada
pasien akibat makanan bagi kesehatan. Ahli gizi dalam hal ini dapat memberi informasi tentang
asupan kalori harian yang disesuaikan tiap pasien, secara umum terdiri dari: mengurangi
asupan lemak jenuh (<7% dari kalori total) dan kolesterol (<200 mg/hari), meningkatkan
asupan lemak tidak jenuh polyunsaturated (10% dari kalori total) dan monounsaturated (20%
dari kalori total), membagi sumber kalori yang cukup (karbohidrat 50-60%, protein 15% dan
lemak 25-35% dari kalori total) dan meningkatkan asupan serat (20-30 g/hari).5

- Tatalaksana berat badan


Banyak penelitian telah menyetujui dampak negatif dari overweight dan obesitas. Pengukuran
antropometri dilakukan di setiap kunjungan pasien ke pusat rehabilitasi jantung. Sasaran
yang ingin dicapai dari tatalaksana berat badan adalah indeks massa tubuh 18,5-24,9 kg/m2
dan lingkar pinggul <40 inch (pria) dan <35 inch (wanita).5

18 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Tatalaksana kadar lemak tubuh
Hiperkolesterolemia adalah faktor risiko dengan persentase tertinggi paling berpengaruh
pasca infark miokard. Penelitian Yusuf dan kawan-kawan dalam jurnal Lancet tahun 2009
menunjukkan penurunan LDL setiap 1 mmol/L (38,7 mg/dL), terjadi penurunan kejadian
kardiovaskular 21%. Beberapa aspek rehabilitasi jantung seperti latihan fisik, konseling nutrisi
dan tatalaksana berat badan, dapat memperbaiki profil lipid pasien. Tatalaksana farmakologis
sering ditambahkan juga untuk mencapai target kadar LDL.9,24

Beberapa penelitian di masa lalu juga telah menunjukkan bahwa penurunan kadar kolesterol
dalam darah diikuti dengan penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit jantung dan
pembuluh darah. Salah satunya adalah penelitian tahun 1985 oleh Arntzenius dan kawan-
kawan yang mendapatkan hasil penurunan kadar kolesterol dalam darah dapat memperlambat
perkembangan penyakit jantung koroner hampir di sebagian besar kasus.25

- Tatalaksana tekanan darah


Peneliti klinis Zancheti A (1992) dalam jurnal Blood Pressure dan Hedner T dan kawan-kawan
(1996) dalam jurnal Clincial Investigation mendapatkan penurunan sistolik 10 mmHg dapat
menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular 20-40% dan penurunan diastolik 5-6 mmHg
menjadikan penurunan risiko terkena stroke dan penyakit jantung koroner sebanyak 15%.26,27

- Tatalaksana diabetes
Selain tekanan darah, tatalaksana diabetes dapat diberikan karena diperkirakan 26% pasien
yang dirujuk ke rehabilitasi jantung memiliki riwayat diabetes. Studi prevalens di Perancis
tahun 2008 mendapatkan hasil bahwa pasien dengan diabetes merupakan kelompok pasien
risiko tinggi di mana mayoritas (93%) memiliki faktor risiko lainnya yang berhubungan seperti
merokok (16%), hipertensi (54%), hiperkolesterolemia (51%), overweight (40%) dan obesitas
(34%). Dengan pendekatan multidisiplin, rehabilitasi jantung diharapkan membantu pasien
dalam mengontrol kadar gula darah lebih baik dan mempertahankan kadar HbA1c <7%.5

- Tatalaksana psikososial
Pasien dengan penyakit jantung seringkali dihadapkan dengan masalah psikologis dan sosial
yang tentunya berdampak pada morbiditas dan mortalitas, 20% dari pasien infark miokard
mengalami depresi, gangguan cemas dan rasa tidak terima (Milani dan kawan-kawan, 1996).
The INTERHEART Study dalam penelitiannya menekankan stres sebagai faktor risiko ketiga
terpenting dalam hal penyakit jantung koroner, setelah kebiasaan merokok dan lemak tubuh,
oleh karenanya rehabilitasi jantung bertindak sebagai alat terapeutik penting. Tidak hanya
menawarkan program latihan, rehabilitasi jantung memberikan pelatihan cara mengurangi
stres misalnya dengan meditasi, relaksasi, yoga dan sebagainya.9,28 Area pelayanan ini
merupakan bagian penting dan menjanjikan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien

Rehabilitasi Kardiovaskuler 19
terutama pada masa awal pemulihan pasca infark miokard. Dampak bagi pasien melalui
edukasi dan konseling ini adalah meningkatkan self-efficacy yakni kemampuan pasien dalam
menilai kapasitas dirinya dalam melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan. Kemampuan ini
menjadi alat penting dalam meningkatkan perilaku sehat di antaranya: latihan fisik, mengatur
pola makanan dan menghentikan kebiasaan merokok.10

- Konseling mengenai hubungan seksual


Disfungsi seksual sering dialami pasien dengan penyakit kardiovaskular. Hal ini disebabkan
oleh efek samping obat tertentu (misalnya beta-blocker), faktor risiko (diabetes, dislipidemia,
hipertensi, merokok) dan faktor psikologis (depresi, gangguan cemas, rasa takut terkena
serangan jantung saat berhubungan intim, dan lain lain). Menurut Mitchell (1982) penting
untuk memberikan konseling tentang hubungan seks selama sesi rehabilitasi jantung.29

Manfaat rehabilitasi jantung


Manfaat yang didapatkan dengan rehabilitasi jantung merupakan hasil kombinasi dari seluruh
komponennya. Diperkirakan setengah dari penurunan mortalitas yang dicapai dengan latihan fisik
pada rehabilitasi jantung (28%), berhubungan dengan penurunan faktor risiko mayor terutama
merokok. Faktor lain juga bisa mendapatkan manfaat dari rehabilitasi jantung yaitu penurunan
konsentrasi protein serum C-reaktif protein (CRP) yang independen terhadap penurunan berat
badan dan terapi medis lainnya, peningkatan fungsi endotel dan keseimbangan fibrinolitik yang
lebih baik. Manfaat lain yang penting dari rehabilitasi jantung adalah peningkatan toleransi
metabolik sebesar 33% dan konsumsi oksigen maksimal sebesar 16%. Perbaikan dalam performa
latihan berhubungan dengan kualitas hidup dan kejadian kardiovaskular.5

Keuntungan pada kualitas hidup pasien terlihat juga dalam perbaikan gejala (berkurangnya
nyeri dada, dispnea dan lelah), penurunan stres dan peningkatan kesehatan psikososial secara
keseluruhan. Keuntungan dari rehabilitasi jantung pada pasien dengan penyakit jantung koroner
terangkum dalam dua meta-analisis terbaru. Satu meta-analisis oleh Clark AM dkk tahun 2005
yang menggunakan 63 uji eksperimental dengan total 21.295 pasien menunjukkan 17% penurunan
terjadinya infark miokard berulang dalam 12 bulan dan penurunan 47% mortalitas selama 2 tahun
rehabilitasi jantung. Meta-analisis satunya lagi (Taylor dan kawan-kawan, 2004) menggunakan
48 uji acak dengan total 8.940 pasien penyakit koroner menunjukkan rehabilitasi jantung secara
signifikan mengurangi mortalitas (odd ratio [OR] = 0.80; 95% [CI] 0.68 hingga 0.93) dan mortalitas
jantung (OR =0.74; 95% CI 0.61 hingga 0.96). Tidak ada perbedaan secara signifikan insidens
infark miokard nonfatal dengan revaskularisasi.19,30

Pada studi Hammil (2010) lebih dari 600.000 pasien Medicare dirawat inapkan karena sindrom
koroner akut (SKA), intervensi koroner perkutan (PCI), operasi Coronary Artery Bypass Grafting
(CABG). Diantaranya hanya 73.049 pasien (12,2%) mengikuti rehabilitasi jantung. Setelah 1 tahun,
terdapat insidens mortalitas pada peserta rehabilitasi jantung sebesar 2,2%, sedangkan pada
yang bukan peserta rehabilitasi jantung sebesar 5,3%. Manfaat ini masih didapatkan hingga 5
tahun dengan insidens mortalitas peserta rehabilitasi jantung sebesar 16,3% dan bukan peserta
sebesar 24,6%. Terdapat hubungan antara respon dengan dosis dalam rehabilitasi jantung. Pasien

20 Rehabilitasi Kardiovaskuler
yang mengikuti 25 sesi atau lebih memiliki insiden mortalitas 20% lebih rendah dalam 5 tahun
dibandingkan dengan peserta yang mengikuti kurang dari 25 sesi.31

Penelitian Exercise Training Meta-Analysis of Trials in Patients with Chronic Heart Failure (ExTraMatch),
meta-analisis dari 9 studi acak menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 35% pasien gagal
jantung. Sebuah uji terkontrol acak tentang latihan fisik pada gagal jantung (HF-ACTION Study)
melibatkan 2.331 pasien dengan ejeksi fraksi < 35% menunjukkan latihan fisik dapat menghasilkan
penurunan (15%) secara signifikan mortalitas yang disebabkan penyakit kardiovaskular atau
penyebab lainnya dan kemungkinan dirawat inap karena gagal jantung.32,33

Risiko rehabilitasi jantung


Pada beberapa dekade terakhir rehabilitasi jantung telah berevolusi sebagai hasil dari beberapa
penelitian, seiring berkembangnya pemahaman akan proses aterosklerosis dan peranan faktor
risiko. Pada sebuah studi yang dilakukan Pavy (2006) dengan 25.000 pasien berpartisipasi di 65
pusat rehabilitasi jantung pada tahun 2003, terdapat satu insidens penyakit jantung pada setiap
8.484 tes latihan, satu insidens penyakit jantung pada setiap 50.000 jam latihan dan 1,3 henti
jantung pada setiap 1 juta jam latihan pasien.34

American Heart Association (AHA) tahun 2007 kaitannya dengan latihan fisik dan kejadian
kardiovaskular akut, memperkirakan risiko komplikasi kardiovaskular mayor berupa henti jantung,
kematian atau infark miokard akut dalam 1 insidens pada setiap 60.000 hingga 80.000 jam latihan
fisik yang disupervisi.35 Pasien yang paling berisiko adalah pasien dengan iskemik setelah tindakan,
aritmia ventrikuler kompleks dan disfungsi ventrikular sinistra berat (fraksi ejeksi <35%) terutama
dengan NYHA III atau IV. Penting untuk diingat bahwa indikasi dan kontraindikasi serta stratifikasi
risiko merupakan kunci keamanan dari rehabilitasi jantung.5 Rehabilitasi jantung modern saat
ini aman dan dapat ditoleransi dengan insidens komplikasi mayor yang sangat rendah seperti
kematian, henti jantung, infark miokard atau cedera yang serius.

Biaya dan efektivitas rehabilitasi jantung


Beberapa studi terbaru menunjukkan rehabilitasi jantung tidak hanya efektif secara klinis, tapi juga
efektif secara biaya dan menguntungkan dibandingkan intervensi medis lainnya yang dikerjakan
pada pasien dengan penyakit jantung koroner.

Pada tahun 1997 Ades dan kawan-kawan dalam jurnal Cardiopulmonary Rehabilitation mendapatkan
hasil rehabilitasi jantung lebih efektif secara biaya setelah terjadi infark miokard, dibandingkan
obat penurun kolesterol dan trombolitik. Dalam hal modifikasi faktor risiko, hanya berhenti
merokok yang lebih efektif secara biaya dibandingkan faktor risiko lainnya.36

Sebuah penelitian oleh Levin di Swedia (1991) menunjukkan rehabilitasi jantung setelah infark
miokard atau operasi bypass (dengan follow-up 5 tahun) mengurangi rawat inap berulang sebanyak
11 hingga 16 hari, meningkatkan angka kembali bekerja dari 38% menjadi 53% dan lebih hemat
$12,000 tiap pasien. Studi lain oleh Oldridge dkk (1993) menunjukkan partisipai rehabilitasi jantung
12 minggu mengurangi biaya medis sebesar $739 per pasien setelah follow-up 21 bulan.37,38

Rehabilitasi Kardiovaskuler 21
Meskipun telah terbukti manfaatnya, angka rujukan dan partisipasi rehabilitasi jantung lebih
rendah dibandingkan tindakan lain. Studi sebelumnya dari beberapa negara melaporkan angka
rujukan kira-kira 30% di Kanada, Amerika Serikat dan Inggris serta 50% di negara-negara Eropa
lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan kebijakan dan sistem kesehatan.5

Dalam analisis data dari 156 rumah sakit yang berpartisipasi dalam program Get with the Guidelines
(GWTG) pada tahun 2009, Brown dan kawan-kawan menemukan 56% pasien rawat inap dengan
infark miokard, intervensi koroner perkutan (PCI), Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dirujuk
untuk rehabilitasi jantung saat diperbolehkan pulang dari rumah sakit.39

Hambatan partisipasi rehabilitasi jantung


Beberapa penelitian terbaru seperti French dan kawan-kawan (2006) dan Yohannes dan kawan-
kawan (2007) menunjukkan variabel sosial, psikologi dan demografik memiliki efek terhadap
partisipasi rehabilitsi jantung. Faktor tersebut termasuk umur, jenis kelamin, ras, rekomendasi
dokter, pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya, ekspektasi pasien terhadap
rehabilitasi jantung, perasaan efektifitas diri, mood dan mekanisme pertahanan diri.40,41 Semua
penelitian tersebut juga menunjukkan perbedaan partisipasi rehabilitasi jantung pada kaum
perempuan, lanjut usia dan minoritas.

Ditemukan perbedaan jenis kelamin mempengaruhi partisipasi rehabilitasi jantung, wanita memiliki
partisipasi lebih rendah dibanding laki-laki. Rintangan partisipasi perempuan adalah kurangnya
sumber penghasilan, kesulitan transportasi dan kurangnya dukungan sosial atau emosi. Rintangan
partisipasi pasien lainnya berupa motivasi, minat dan waktu. Walaupun studi menunjukkan kaum
lansia memiliki kebutuhan lebih besar untuk rehabilitasi jantung dan mendapatkan hasil yang baik
dengan rendahnya kejadian yang tidak diinginkan, kaum lanjut usia lebih sering tidak dirujuk atau
tidak mengikuti rehabilitasi jantung. Beberapa studi di antaranya Sanderson dan kawan-kawan
(2007) dan Mazzini dan kawan-kawan (2008) juga menunjukkan bahwa ras dan suku minoritas
memiliki angka kejadian tinggi pada penyakit kardiovaskular dan faktor risiko yang berhubungan,
tetapi rendahnya partisipasi terhadap rehabilitasi jantung dikarenakan kurangnya akses dan
perlindungan asuransi serta rendahnya angka rujukan.42,43

Strategi Meningkatkan Partisipasi Rehabilitasi Jantung


Dalam program Get with the Guidelines (GWTG) oleh AHA tahun 2009, merekomendasikan sistem
rujukan otomatis dan edukasi pasien oleh dokter dan tenaga medis lainnya mengenai rehabilitasi
jantung yang efektif dalam meningkatkan angka rujukan dan partisipasi. Dukungan dokter
merupakan salah satu faktor terkuat pada patisipasi rehabilitasi jantung.39 Program rehabilitasi
jantung berbasis komunitas (community-based) sebagai alternatif program rehabilitasi jantung
berbasis di rumah sakit (hospital-based) juga disarankan sebagai salah satu cara meningkatkan
angka partisipasi. Sebuah meta-analisis menunjukkan efek rehabilitasi jantung di rumah sama
dengan rehabilitasi jantung di rumah sakit. Studi Birmingham Rehabilitation Uptake Maximization
(BRUM) pada tahun 2009 yang melibatkan 525 peserta pasca revaskularisasi pembuluh koroner,
membandingkan rehabilitasi jantung di rumah dengan di rumah sakit dan menemukan tidak ada
perbedaan besarnya jarak pada tes berjalan, aktivitas fisik dan edukasi faktor risiko.44 Penggunaan
teknologi modern (internet, telepon dan alat komunikasi lainnya) menawarkan prospek yang

22 Rehabilitasi Kardiovaskuler
menarik untuk penyajian dan ekspansi program rehabilitasi jantung dengan kondisi di luar yang
diawasi, terstruktur dan dalam bentuk grup serta membantu meningkatkan partisipasi, mengurangi
faktor risiko dan meningkatkan rasio keuntungan-biaya.

Dewan penasehat dari American Heart Association (AHA) memberikan rekomendasi untuk
meningkatkan kualitas dan partisipasi program rehabilitasi jantung. Implementasi rekomendasi
tersebut akan memberikan perbedaan pada pasien jantung dengan memberikan kesempatan
pasien mendapat manfaat dari program rehabilitasi jantung.45

Ringkasan
Rehabilitasi jantung telah terbukti aman dan efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien
kardiovaskular dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Semakin banyak pasien yang dapat
merasakan manfaat dan efektivitas biaya dari program ini bila rujukan dan partisipasi program
rehabilitasi jantung ditingkatkan dan pelayanan disesuaikan setiap individual berdasarkan profil
pasien. Area penelitian baru termasuk mencari cara baru penyajian rehabilitasi jantung untuk
meningkatkan partisipasi dan rujukan serta mengembangkan latihan fisik baru yang lebih efektif
dan fleksibel dan menggunakan teknologi terbaru untuk memaksimalkan manfaat dari rehabilitasi
jantung.

Daftar Pustaka
1. Kottke L. Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitaition. 4th edition. W.B.
Saunders, 1990.
2. Singh VN and Lorenzo CT, editor. Cardiac Rehabilitation. Prim care. 2015.
3. Grabert D. A Brief Histroy of Cardiac Rehab. NSCA. 2016.
4. Goble AJ and Worcester MUC. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention. Heart Research Centre. Department of Human Services Victoria, 1999.
5. Warner MM. Cardiac Rehabilitation Past, Present and Future: An Overview. Cardiovasc Diagn
Ther. 2012;2(1): 38–49.
6. Morris JN and Heady JA. Mortality in Relation to the Physical Activity of Work: A Preliminary
Note on Experience in Middle Age. Br J Ind Med 1953;10:245-54.
7. Bethell HJ. Cardiac rehabilitation: from Hellerstein to the Millennium. Int J Clin Pract
2000;54:92-7.
8. Wannamethee SG, Shaper AG and Walker M. Physical Activity and Mortality in Older Men
with Diagnosed Coronary Heart Disease. Circulation 2000;102:1358-63.
9. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S,  et al. Effect of Potentially Modifiable Risk Factors Associated
with Myocardial Infarction in 52 countries (the INTERHEART study): Case-control study.
Lancet 2004;364:937-52.
10. Gattiker H, Goins P and Dennis C. Cardiac Rehabilitation-Current Status and Future Directions.
West J Med 1992 Feb; 156:183-188.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 23
11. Sullivan MJ, Higginbotham MB, and Cobb FR. Exercise Training in Patients with Severe Left
Ventricular Dysfunction. Hemodynamic and Metabolic Effects. Circulation 1988;78:506-515.
12. Zwisler AD, Soja AM, Rasmussen S,  et al. Hospital-based Comprehensive Cardiac Rehabilitation
versus Usual Care among Patients with Congestive Heart Failure, Ischemic Heart Disease or
High Risk of Ischemic Heart Disease: 12-month Results of A Randomized Clinical Trial. Am
Heart J 2008;155:1106-1113.
13. Scrutinio D and Giannuzzi P. Comorbidity in Patients Undergoing Coronary Artery Bypass Graft
Surgery: Impact on Outcome and Implications for Cardiac Rehabilitation. Eur J Cardiovasc
Prev Rehabil 2008;15:379-385.
14. Pande RL, Perlstein TS, Beckman JA, et al. Secondary Prevention and Mortality in Peripheral
Artery Disease: National Health and Nutrition Examination Study, 1999 to 2004. Circulation
2011;124:17-23.
15. Paffenbarger RS Jr, Hyde RT, Wing AL, et al. A Natural History of Athleticism and Cardiovascular
Health. JAMA 1984; 252:491-495.
16. Leon AS, Connett J, Jacobs DR Jr, et al. Leisure-time Physical Activity Levels and Risk of
Coronary Heart Disease and Death-The Multiple Risk Factor Intervention Trial. JAMA 1987;
258:2388-2395.
17. Myers J, Prakash M, Froelicher V, et al. Exercise Capacity and Mortality among Men Referred
for Exercise Testing. N Engl J Med 2002;346:793-801.
18. Jolly MA, Brennan DM and Cho L. Impact of Exercise on Heart Rate Recovery. Circulation
Journal 2011;124:1520-1526.
19. Clark AM, Hartling L, Vandermeer B, et al. Meta-analysis: Secondary Prevention Programs for
Patients with Coronary Artery Disease. Ann Intern Med 2005;143:659-672.
20. Sattelmair J, Pertman J, Ding EL, et al. Dose Response between Physical Activity and Risk of
Coronary Heart Disease: A Meta-analysis. Circulation 2011;124:789-795.
21. Critchley JA and Capewell S. Mortality Risk Reduction Associated with Smoking Cessation in
Patients with Coronary Heart Disease: A Systematic Review. JAMA 2003;290:86-97.
22. Mohiuddin SM, Mooss AN, Hunter CB,   et al. Intensive Smoking Cessation Intervention
Reduces Mortality in High-risk Smokers with Cardiovascular Disease. Chest 2007;131:446-
452.
23. Iestra JA, Kromhout D, Van der Schouw YT,  et al. Effect Size Estimates of Lifestyle and Dietary
Changes on All-cause Mortality in Coronary Artery Disease Patients: A Systematic Review.
Circulation 2005;112:924-934.
24. Yusuf S, Lonn E and Bosch J. Lipid Lowering for Primary Prevention. Lancet 2009;373:1152-
1155.
25. Arntzenius AC, Kromhout D, Barth JD,  et al. Diet, Lipoproteins and the Progression of
Coronary Atherosclerosis: The Leiden Intervention Trial. N Engl J Med 1985; 312:805-811.
26. Zanchetti A. What Blood Pressure Levels Should be Treated? Clin Investig. 1992;70:S2-6.
27. Hedner T, Hansson L and Jern S. What is Happening to Blood Pressure? Blood Press
1996;5:132-133.
28. Milani RV, Lavie CJ and Cassidy MM. Effects of Cardiac Rehabilitation and Exercise Training
Programs on Depression in Patients after Major Coronary Events. Am Heart J 1996;132:726-
732.

24 Rehabilitasi Kardiovaskuler
29. Mitchell ME. Sexual Counseling in Cardiac Rehabilitation. J Rehabil 1982;48:15-18.
30. Taylor RS, Brown A, Ebrahim S,  et al. Exercise-based Rehabilitation for Patients with Coronary
Heart Disease: Systematic Review and Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Am J
Med 2004;116:682-692.
31. Hammill BG, Curtis LH, Schulman KA,  et al. Relationship between Cardiac Rehabilitation and
Long-term Risks of Death and Myocardial Infarction among Elderly Medicare Beneficiaries.
Circulation 2010;121:63-70.
32. Piepoli MF, Davos C, Francis DP,   et al. Exercise Training Meta-analysis of Trials in Patients
with Chronic Heart Failure (ExTraMATCH). BMJ 2004;328:189.
33. O’Connor CM, Whellan DJ, Lee KL,  et al. Efficacy and Safety of Exercise Training in Patients
with Chronic Heart Failure: HF-ACTION Randomized Controlled Trial. JAMA 2009;301:1439-
1450.
34. Pavy B, Iliou MC, Meurin P,   et al. Safety of Exercise Training for Cardiac Patients: Results
of the French Registry of Complications During Cardiac Rehabilitation. Arch Intern Med
2006;166:2329-34.
35. Thompson PD, Franklin BA, Balady GJ, et al. Exercise and Acute Cardiovascular Events Placing
the Risks into Perspective: A Scientific Statement from the American Heart Association
Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism and the Council on Clinical Cardiology.
Circulation 2007;115:2358-68.
36. Ades PA, Pashkow FJ and Nestor JR. Cost-effectiveness of Cardiac Rehabilitation after
Myocardial Infarction. J Cardiopulm Rehabil 1997;17:222-31.
37. Levin LA, Perk J and Hedbäck B. Cardiac Rehabilitation--a cost analysis. J Intern Med
1991;230:427-34.
38. Oldridge N, Furlong W, Feeny D,  et al. Economic Evaluation of Cardiac Rehabilitation Soon
after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 1993;72:154-161.
39. Brown TM, Hernandez AF, Bittner V,   et al. Predictors of Cardiac Rehabilitation Referral in
Coronary Artery Disease Patients: Findings from the American Heart Association’s Get With
The Guidelines Program. J Am Coll Cardiol 2009;54:515-521.
40. French DP, Cooper A and Weinman J. Illness Perceptions Predict Attendance at Cardiac
Rehabilitation Following Acute Myocardial Infarction: A Systematic Review with Meta-analysis.
J Psychosom Res 2006;61:757-767.
41. Yohannes AM, Yalfani A, Doherty P, et al. Predictors of Drop-out from An Outpatient Cardiac
Rehabilitation Programme. Clin Rehabil 2007;21:222-229.
42. Sanderson BK, Mirza S, Fry R, et al. Secondary Prevention Outcomes among Black and White
Cardiac Rehabilitation Patients. Am Heart J 2007;153:980-986.
43. Mazzini MJ, Stevens GR, Whalen D,  et al. Effect of an American Heart Association Get With
the Guidelines Program-based Clinical Pathway on Referral and Enrollment into Cardiac
Rehabilitation after Acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 2008;101:1084-1087.
44. Jolly K, Lip GY, Taylor RS,  et al. The Birmingham Rehabilitation Uptake Maximisation Study
(BRUM): A Randomised Controlled Trial Comparing Home-based with Centre-based Cardiac
Rehabilitation. Heart 2009;95:36-42.
45. Balady GJ, Ades PA, Bittner VA, et al. Referral, Enrollment and Delivery of Cardiac Rehabilitation/
Secondary Prevention Programs at Clinical Centers and Beyond: A Presidential Advisory from
the American Heart Association. Circulation 2011;124:2951-2960.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 25
26 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 2
Pemeriksaan FIsik
Jantung dan Paru

Rehabilitasi Kardiovaskuler 27
Pemeriksaan yang baik dan benar dapat membantu menegakkan diagnosis yang tepat, dengan
didasari rasa percaya dan kepuasan terhadap dokter. Sebelum memulai rehabilitasi jantung untuk
meningkatkan keamanan dan keefektifan program setiap pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik
serta evaluasi klinis yang komprehensif.1,2,3 Evaluasi medis dilakukan oleh spesialis Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi pada awal program latihan, juga perlu mengetahui kapan pasien mendapatkan
gejala angina, dispnea, palpitasi, serangan infark terakhir, riwayat Sindrom Koroner Akut, tindakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dan Coronary Artery Bypass Graft (CABG).1,2,4,5,6,7

Selain itu obat-obatan apa yang digunakan serta dosis dan kepatuhan pasien dalam meminum
obat tersebut. Penyakit komorbid lain seperti penyakit paru, endokrin, neurologis, muskuloskeletal
dan neuromuskular perlu diperhatikan. Informasi yang terperinci tentang kehidupan sosial dan
pekerjaan memungkinkan rehabilitasi jantung dapat mencapai tujuan yang diharapkan.1,2,4,7

Komponen anamnesis
- Gejala klinis
- Faktor risiko penyakit jantung
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu
- Pengobatan dan prosedur medis
- Diagnosis medis
- Dosis obat-obatan dan riwayat alergi obat
- Kebiasaan lain seperti merokok, alkohol
- Riwayat latihan fisik seperti tipe latihan, frekuensi, intensitas dan durasi
- Riwayat pekerjaan, menekankan pada kemampuan fisik dan mental khususnya harapan kembali
bekerja
- Riwayat psikososial, termasuk kondisi kehidupan pribadi, status pernikahan, kebutuhan
transportasi, kebutuhan keluarga, problem emosi, masalah dalam keluarga, depresi, cemas dan
gangguan psikologis lainnya.1,2,4,5,6,7

Pemeriksaan fisik secara umum


Pemeriksaan fisik awal dilakukan oleh dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi yang
sudah terlatih memeriksa pasien penyakit jantung. Cidera muskuloskeletal dan neuromuskular
merupakan komplikasi yang patut diketahui pada saat memulai program Rehabilitasi Jantung.
Oleh karena itu, pemeriksaan muskuloskeletal dan neuromuskular penting dilakukan seperti
pemeriksaan kekuatan dan kelenturan ekstremitas bawah terutama kelenturan hamstring dan
gastrocnemeus yang dapat mengurangi risiko cidera pada saat latihan menumpu berat badan
(weight bearing exercise).1,2,4,5,6,7

28 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Komponen pemeriksaan fisik1,2,4,5,6,7

1. Berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, rasio pinggang dan panggul
2. Kecepatan dan keteraturan irama nadi, tekanan darah, suhu, laju napas, saturasi oksigen
3. Memeriksa adanya xanthoma dan xanthelasma
4. Pemeriksaan dada, tungkai dan peredaran darah pada pasien post CABG atau PCI
5. Inspeksi dan palpasi ekstremitas bawah untuk memeriksa edema, pulsasi arteri, dan kelenturan
kulit
6. Palpasi dan auskulatasi dari arteri karotis, arteri abdominal dan arteri femoral
7. Auskultasi bunyi paru seperti ronkhi, wheezing atau bunyi abnormal lain.
8. Auskultasi jantung seperti murmur, gallop atau bunyi jantung lain.
9. Pemeriksaan ortopedik, neurologis dan pemeriksaan lain yang dapat menghambat uji latih dan
latihan.

Topografi jantung
Jantung merupakan organ yang terletak di dalam rongga dada, dengan dua pertiga bagiannya
berada di rongga dada sebelah kiri dan hanya sepertiga bagian yang berada di sebelah kanan. Batas
kanan jantung dibatasi oleh atrium kanan, sedangkan batas kiri jantung dibatasi oleh ventrikel kiri
dan sebagian besar sisi anterior jantung yang ditempati oleh ventrikel kanan.8,9,10

Ventrikel kanan menyempit di sebelah superior dan bertemu dengan arteri pulmonalis pada
daerah setinggi sternum yang lebih dikenal dengan basis kordis yang letaknya terdapat pada sela
iga ke-2 kanan dan kiri dekat sternum.8,9,10 Ventrikel kiri yang berada di belakang ventrikel kanan
dan di sebelah kirinya akan membentuk tepi lateral kiri jantung. Ujung inferiornya yang meruncing
sering kali dinamakan apeks kordis. Bagian apeks ini memiliki makna klinis yang penting karena
memproduksi impuls apikal yang terkadang dinamakan iktus kordis. Impuls ini biasa ditemukan di
sela iga 5 linea midklavikula kiri dengan diameter 1 hingga 2,5 cm.8,9,10

Tepi kanan jantung dibentuk oleh atrium kanan yang sesungguhnya atrium kanan adalah bagian
yang biasanya tidak dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik. Atrium kiri merupakan ruang
yang letaknya paling posterior dan tidak dapat diperiksa langsung, dalam beberapa kasus atrium
kiri dapat ikut membentuk sisi kiri jantung di antara arteri pulmonalis dan ventrikel kiri.8,9,10

Rehabilitasi Kardiovaskuler 29
Gambar 2.1. Topografi Jantung

Ruang dan katup jantung


Jantung merupakan organ yang letaknya di dalam rongga dada sebelah kiri, terdapat 4 ruang di
dalam jantung yakni 2 atrium dan 2 ventrikel yang masing-masing dibatasi oleh katup mitral di
sebelah kiri dan katup trikuspid di sebelah kanan jantung. Oleh karena posisinya, katup mitral
dan trikuspid sering kali disebut katup atrioventrikular. Katup aorta dan pulmonal dinamakan
katup semilunaris karena bentuk lipatannya yang menyerupai bulan sabit. Ketika katup jantung
menutup, bunyi jantung timbul dari getaran yang berasal dari lipatan daun katup, struktur jantung
di dekatnya dan aliran darah.2,8,9,10

Gambar 2.2 Katup Jantung

30 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Pemeriksaan fisik jantung
Pemeriksaan fisik jantung yang komprehensif harus meliputi pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi. Pada sebagian besar pemeriksaan jantung, pasien harus berbaring terlentang
sementara tubuh bagian atas ditinggikan dengan menaikkan kepala ranjang atau meja periksa
hingga sudut sekitar 30 derajat, sebaiknya pemeriksa harus berdiri di sisi kanan pasien.1,2,4,5,6,7

Gambar 2.3 Posisi Pemeriksaan

Inspeksi
Inspeksi yang cermat pada bagian dada anterior dapat mengungkapkan lokasi iktus kordis atau
titik impuls maksimal (apical impulse) serta dapat melihat gerakan ventrikel kiri pada saat bunyi S3
atau S4 sisi kiri, tetapi kasusnya lebih jarang.1,2

Pemeriksaan bentuk dada:

- Dada normal memiliki perbandingan diameter tranversal dan diamater antero posterior adalah
2:1 dengan dinding sebelah kiri dan kanan yang simetris.
- Barrel chest atau dada emfisema merupakan bentuk dada yang “menggelembung” dengan
angulus costae lebih dari 90 derajat.
- Kifosis adalah bentuk dada patologis yang ditandai dengan korpus vertebra melengkung ke
belakang.
- Pectus carinatum merupakan bentuk dada dengan tulang sternum yang menonjol ke depan.
- Pectus excavatum merupakan bentuk dada dengan tulang sternum yang melengkung ke
belakang.
- Skoliosis merupakan bentuk tulang vertebra torakalis membentuk huruf S, bila disertai dengan
kifosis disebut kifoskoliosis.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 31
Selain menilai bentuk dada, pada tahap inspeksi juga harus melihat ada atau tidaknya pulsasi pada
beberapa titik tertentu di dinding dada seperti apeks (daerah mitral), sela iga 4 dan 5 (daerah
trikuspidal), sela iga 3 kiri (daerah septal), sela iga 2 kiri (daerah pulmonal) dan sela iga 2 kanan
(daerah aorta).1

Gambar 2.4 Bentuk Dada

Palpasi
Pemeriksaan palpasi digunakan untuk memastikan karakteristik iktus kordis. Pemeriksaan palpasi
juga bertujuan untuk mencari apakah terdapat pulsasi patologis di daerah tersebut seperti thrill,
lift dan heaving. Pemeriksaan palpasi dilakukan di daerah yang sama dengan pemeriksaan inspeksi,
yaitu di daerah apeks, trikuspidal, septal, pulmonal dan aorta. Palpasi yang baik menggunakan
telapak atau ujung jari pemeriksa yang merupakan daerah sensitif untuk meraba. 1,2,4,5,6,7

- Pulsasi apeks normal: teraba pada sela iga 5 kiri, 1 sampai 2 jari medial linea midklavikula kiri,
dengan diameter ±2 cm.
- Thrill adalah getaran akibat turbulensi pada katup jantung dan dapat dikonfirmasi dengan
auskultasi. Jika disebabkan oleh thrill, pada auskultasi akan terdengar bising yang cukup keras,
seperti bising derajat 3.
- Lift adalah gerakan yang mendorong terlapak tangan yang sering ditemukan pada gangguan
katup seperti stenosis mitral.
- Heaving adalah gerakan bergelombang yang dirasakan pada telapak tangan yang sering
ditemukan pada apeks jantung untuk kasus beban volume berlebih (volume overload) seperti
insufiseinsi mitral.

32 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Perkusi
Perkusi dilakukan dengan mengetuk dinding jantung, yang bertujuan untuk menentukan batas
dan kontur jantung. Garis-garis imajiner yang digunakan sebagai acuan antara lain:

- Garis midsternal: merupakan garis yang terletak di tengah-tengah tulang sternum.


- Garis sternal: merupakan garis yang terletak di tepi sternum kiri dan kanan, yang merupakan
perbatasan tulang iga dan sternum.
- Garis midklavikula: merupakan garis yang terletak pada titik tengah dari ujung-ujung klavikula,
pada pria normal garis midklavikula ini akan melewati papila mammae.
- Garis parasternal adalah garis yang terletak di pertengahan antara garis sternal dan midklavikula,
garis parasternal merupakan perbatasan tulang rawan dan tulang iga.
- Garis aksilaris anterior: merupakan garis yang melewati lipat ketiak bagian depan.
- Garis aksilaris posterior: merupakan garis yang melewati lipat ketiak bagian belakang.
- Garis aksilaris medial: merupakan garis pertengahan antara garis aksilaris anterior dan
posterior.
- Titik angulus Ludovici adalah bagian yang paling menonjol pada tulang sternum dan perbatasan
antara manubrium dan korpus sternum. Titik angulus Ludovici merupakan tempat pelekatan
tulang iga 2 dan tepat di bawah tulang iga 2 ada sela iga 2.1,2,4,5,6,7

Gambar 2.5 Garis-garis Imajiner Toraks

Perkusi yang benar menggunakan ruas tengah jari dan jari lain diangkat sedikit agar tidak meredam
suara dan jari pengetuk merupakan jari tengah tangan kanan, dengan kekuatan pada pergelangan
tangan, dilakukan secara ritmis dan tidak terlalu kuat.1,2

Batas jantung kanan:

- Tentukan batas paru hati: dengan perkusi pada midklavikula kanan turun ke bawah untuk
mendapatkan perubahan suara sonor ke redup.
- Kemudian naik 2 jari ke arah kranial dari batas paru hati.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 33
- Lakukan perkusi dari lateral ke medial dengan jari tegak lurus tulang iga dan temukan
perubahan suara dari sonor ke redup. Titik ini disebut batas relatif jantung kanan, yang pada
keadaan normal berada pada garis sternalis kanan.
- Jika perkusi dilanjutkan akan terdapat perubahan suara dari redup ke pekak yang disebut
batas absolut jantung kanan.1

Batas jantung kiri:


- Tentukan batas paru lambung: dengan cara melakukan perkusi di linea aksilaris anterior sejajar
tulang iga dan mencari perubahan suara dari sonor ke timpani.
- Naik 2 jari ke arah kranial dari batas paru lambung
- Lakukan perkusi dari lateral ke medial, tegak lurus tulang iga, mencari perubahan suara sonor
ke redup, titik ini disebut batas relatif jantung kiri. Dalam keadaan normal terletak 2 jari medial
dari garis midklavikula kiri.
- Jika perkusi dilanjutkan lagi ke arah medial, akan ditemukan perubahan suara dari redup ke
pekak, yang disebut batas absolut jantung kiri.

Pada umumnya penentuan batas jantung kanan dan kiri cukup dilakukan untuk menentukan batas
relatif jantung.

Penentuan Pinggang Jantung


Pada pasien dengan kelainan katup mitral pinggang jantung dapat menghilang, sehingga
pemeriksaan pinggang jantung perlu dilakukan.

1. Lakukan perkusi melalui parasternal kiri dan mencari perubahan dari sonor ke redup.
2. Pada keadaan normal pinggang jantung terletak pada sela iga 3 linea parasternal kiri.

Penentuan kontur jantung


Untuk memastikan bentuk jantung, perlu dilakukan penentuan kontur jantung. Kontur jantung
ditentukan dengan perkusi dari lateral ke medial dari setiap sela iga sampai setinggi batas paru
hati. Hal yang sama dilakukan pada dinding dada sebelah kiri dengan cara mencari perubahan
suara dari sonor ke redup.1

Auskultasi
Untuk pemeriksaan auskultasi, pemeriksa dapat menggunakan alat bantu stetoskop, yang
memiliki 2 bagian yaitu bell yang digunakan untuk memeriksa nada rendah seperti bunyi jantung
3 dan bagian membran untuk nada tinggi, seperti bunyi jantung 1 dan 2 serta opening snap dan
sebagainya. Pada pemeriksaan daerah trikuspid sebaiknya pemeriksa menggunakan bell dari
stetoskop dan menggunakan bagian membran untuk semua daerah auskultasi.1,2,4,5,6,7

34 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 2.6 Lokasi Auskultasi Jantung

1. katup aorta terletak di garis sternalis dekstra interkosta II


2. katup pulmonal terletak di garis sternalis sinistra interkosta II
3. daerah septal untuk memeriksa kelainan septal seperti Atrial Septal
Defect (ASD) dan Ventricular Septal Defect (VSD) pada interkosta III
sinistra
4. katup trikuspidal terletak di garis parasternal sinistra interkosta IV
5. katup mitral terletak di garis midklavikula sinistra interkosta V

Lokasi pemeriksaan auskultasi sama dengan pemeriksaan palpasi meliputi daerah:1,2,4,5,6,7

- apeks, trikuspidal, septal, aorta dan pulmonal.


- sela iga 4 pada sternalis kiri untuk daerah trikuspidal
- sela iga 3 sternalis kiri untuk pemeriksaan daerah septal, bising yang ditemukan mungkin
disebabkan ASD dan VSD
- sela iga 2 sternalis kiri untuk daerah pulmonal
- sela iga 2 sternalis kanan untuk daerah aorta

Terkadang juga perlu dilakukan auskultasi di daerah karotis, dengan cara mencari pulsasi karotis
terlebih dahulu, instruksikan pasien untuk menarik nafas dan menahan nafas agar suara nafas
tidak mengganggu pemeriksaan. Pada pasien yang sangat gemuk, apeks jantung akan sulit teraba,
maka pasien diinstruksikan untuk miring sedikit ke kiri sehingga bunyi lebih jelas.1,2,4,5,6,7

Rehabilitasi Kardiovaskuler 35
Gambar 2.7 Posisi pemeriksaan auskultasi pada pasien gemuk

Tentukan bunyi jantung 1 dan 2


Bunyi jantung I (saat katup mitral dan trikuspidal menutup) dan bunyi jantung 2 (saat katup aorta
dan pulmonal menutup) pada masing-masing katup jantung. Di apeks bunyi jantung 1 (BJ I)
lebih keras dibanding bunyi jantung 2, (BJ 1>2), BJ 1 merupakan bunyi yang seirama dengan arteri
radialis, karotis dan iktus kordis, BJ 1 disebut sistolik, BJ 2 merupakan bunyi setelah BJ 1 disebut
diastolik. Kemudian tentukan bunyi jantung tambahan seperti:1,2,4,5,6,7

- Bunyi jantung 3, terletak setelah BJ 2 dengan intensitas frekuensi rendah, biasa ditemukan
pada keadaan patologis seperti pada pasien insufisensi mitral atau normal pada anak dan usia
muda.
- Opening snap, terletak setelah BJ 2, dan merupakan suara frekuensi tinggi yang sering
ditemukan pada stenosis mitral
- Split S2, merupakan BJ 2 yang terpecah sama keras dengan jarak yang tidak jauh, sering
ditemukan pada pasien ASD yang tidak menghilang pada saat respirasi dan istirahat, juga
dapat normal pada usia muda, yang akan hilang saat respirasi.
- Bunyi jantung 4 atau BJ atrial merupakan bunyi akibat kontraksi atrium, jika terjadi takikardia
akan menimbulkan bunyi gallop atau derap kuda.
- Fase sistolik merupakan fase diantara BJ 1 dan 2, sedangkan fase diastolik merupakan fase
diantara BJ 2 dan 1. Fase sistolik umumnya lebih singkat dibanding fase diastolik.

Bising jantung
Bila terdengar bising jantung, bising tersebut perlu ditentukan pada fase sistolik atau diastolik.
Juga perlu menentukan sifat bisingnya di mana:1,2,4,5,6,7

- Murmur pansistolik biasa ditemukan pada pasien insufisiensi mitral


- Murmur late sistolik yang biasa ditemukan juga pada insufiseinsi mitral.
- Murmur diastolik dengan opening snap yang biasa ditemukan pada stenosis mitral
- Murmur diamond shift yang khas ditemukan pada stenosis aorta.
- Murmur protodiastolik yang sering ditemukan pada insufisiensi aorta

36 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 2.1 Gradasi Bising Jantung (bickley, 2003)

Derajat Deskripsi
Derajat 1 Bising terdengar sangat samar-samar sekalipun dengan stetoskop dan baru terdengar
setelah dokter yang mendengarkannya itu sudah membiasakan telinganya untuk
menangkap bunyi tersebut dan mungkin tidak terdengar pada semua posisi
Derajat 2 Bising tidak terdengar (senyap), tetapi segera terdengar ketika kita meletakkan ujung
stetoskop pada dada pasien.
Derajat 3 Bising terdengar cukup keras
Derajat 4 Bising terdengar keras disertai thrill yang dapat diraba
Derajat 5 Bising terdengar sangat keras dengan disertai thrill. Dapat terdengar ketika sebagian ujung
stetoskop diangkat dari permukaan dada pasien.
Derajat 6 Bising terdengar sangat keras dengan disertai thrill. Dapat terdengar ketika seluruh ujung
stetoskop diangkat dari permukaan dada pasien.

Tekanan vena jugularis (jugular venous pressure)


Tekanan darah vena sistemik jauh lebih rendah daripada tekanan darah arteri. Meskipun tekanan
vena pada akhirnya tergantung pada kontraksi ventrikel kiri sebagian besar kekuatan ini akan hilang
ketika darah mengalir melewati percabangan arterial dan capillary bed. Tekanan dalam pembuluh
vena jugularis mencerminkan tekanan atrium kanan dan merupakan indikator yang penting secara
klinis mengenai fungsi jantung serta hemodinamika jantung kanan.1,2,4,5,6,7

Langkah pemeriksaan tekanan vena jugularis (JVP) 1,2

- Upayakan pasien merasa nyaman. Tinggikan sedikit kepala pasien dengan menaruh bantal di
bawahnya sehingga otot-otot sternokleidomastoideus dalam keadaan rileks.
- Tinggikan kepala ranjang atau meja periksa hingga sudut 45 derajat. Miringkan kepala pasien
sedikit menjauhi sisi leher yang akan diperiksa.
- Gunakan penerangan dari samping (tangensial) dan periksa kedua sisi leher. Kenali vena
jugularis eksterna pada setiap sisi, kemudian temukan pulsasi vena jugularis interna.
- Jika perlu, tinggikan atau turunkan kepala ranjang sampai anda dapat melihat titik osilasi atau
meniskus pulsasi vena jugularis interna pada leher bagian bawah.
- Fokuskan perhatian anda pada vena jugularis interna kanan. Cari pulsasi pada insisura sterni
di antara posterior muskulus sternokleidomastoideus.
- Kenali titik pulsasi tertinggi pada vena jugularis interna kanan. Bentangkan benda atau
kartu yang berbentuk persegi secara horizontal dari titik ini dan kemudian letakkan sebuah
penggaris (dalam ukuran sentimeter) secara vertikal pada angulus sterni sehingga terbentuk
sudut sembilan puluh derajat yang tepat. Ukur jarak vertikal dalam satuan sentimeter di atas
angulus sterni tempat benda yang dipegang horizontal itu menyilang penggaris. Jarak ini yang
diukur dalam sentimeter di atas angulus sterni atau atrium dan disebut Jugular Venous Pressure
(JVP).

Rehabilitasi Kardiovaskuler 37
Gambar 2.8 Pemeriksaan JVP

Tabel 2.2 Ciri pulsasi (Bickley, 2003)

Pulsasi jugularis interna Pulsasi karotis


Jarang dapat diraba Dapat diraba
Sifatnya bergelombang (undulasi), cepat dan Denyutan terasa memukul lebih keras dengan
lembut, biasanya dengan dua puncak dan dua komponen keluar tunggal
palung per detak jantung
Pulsasi akan menghilang jika dilakukan penekanan Pulsasi tidak menghilang dengan penekanan ini
ringan pada vena jugularis tepat diatas ujung
sternalis os klavikula
Ketinggian pulsasi berubah menurut posisi tubuh Ketinggian pulsasi tidak berubah oleh posisi tubuh
pasien; ketinggiannya akan menurun jika posisi pasien.
tubuh semakin tegak
Biasanya ketinggian pulsasi menurun pada inspirasi Ketinggian pulsasi tidak dipengaruhi oleh inspirasi

Tekanan vena yang diukur melebihi 3 cm atau mungkin 4 cm diatas angulus sterni, atau yang
melebihi jarak total 8 cm diatas atrium kanan, dianggap sebagai kenaikan diatas nilai normal.1,2

Pemeriksaan fisik paru


Pada pemeriksaan fisik paru, pasien dalam posisi terlentang untuk pemeriksaan paru anterior dan
posisi duduk untuk pemeriksaan paru posterior. Pemeriksaan selanjutnya diikuti dengan inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi secara berurutan. Pasien yang tidak mampu duduk sendiri dapat
dibantu. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam posisi tidur dan dibantu untuk miring ke kanan dan
ke kiri apabila tidak memungkinkan.2,4,5,6,7

Saat penilaian awal, disarankan untuk mencatat tidak hanya laju napas saja tapi juga menilai ritme,
kedalaman laju napas dan usaha napas pasien. Orang dewasa normalnya bernapas teratur 14-20
kali/menit. Berkaitan dengan ada tidaknya masalah saluran pernapasan, dapat pula dilihat ada
tidaknya tanda-tanda kesulitan bernapas seperti sianosis, bunyi mengi yang cukup jelas, adanya

38 Rehabilitasi Kardiovaskuler
kontraksi otot sternokleidomastoideus atau otot-otot lainnya serta adanya retraksi supraklavikular
maupun terdapatnya pergeseran garis tengah trakea. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya
(Gambar 2.4), perlu juga untuk menilai bentuk dada dan diameter anteroposterior terutama pada
pasien usia tua.1,2,4,5,6,7

Gambar 2.9 Kontraksi M. Sternokleidomastoideus

Pemeriksaan paru anterior


Pasien diposisikan terlentang, berbaring dengan nyaman, kedua lengan sedikit diabduksikan.
Kasus pasien yang kesulitan bernapas harus diperiksa dalam posisi duduk atau bagian kepala
dinaikkan hingga mencapai ketinggian yang membuat pasien nyaman. Pasien diperiksa mulai dari
inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi secara berurutan.2,4,5,7

Inpeksi
Inspeksi dilakukan dengan mengamati bentuk dada dan gerakan dinding dada. Turut pula
memperhatikan ada tidaknya deformitas, asimetri, retraksi abnormal ruang sela iga bawah saat
pasien menarik napas, ada tidaknya bagian dada yang tertinggal saat gerakan inspirasi.2,4,5,7

Palpasi
Indentifikasi area yang nyeri saat ditekan, apakah tampak adanya abormalitas. Selanjutnya dilakukan
penilaian ekspansi rongga dada dengan menempatkan kedua ibu jari pemeriksa di sepanjang tiap-
tiap tepi tulang iga dan merapatkan kedua tangan ke arah lateral dinding dada. Pasien diminta
untuk menarik napas dalam dan kesimetrisan gerakan respirasi dapat dinilai. Penilaian fremitus
taktil dapat dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan ketika memeriksa pasien wanita, pastikan
untuk hati-hati sisihkan payudara ke samping.2,4,5,7

Rehabilitasi Kardiovaskuler 39
Gambar 2.10 Lokasi Fremitus Taktil.

Perkusi
Perkusi dilakukan dari apeks ke basal paru dengan membandingkan kanan dan kiri. Akan tetapi,
bedanya pada anterior terdapat jantung, sehingga akan menghasilkan bunyi redup dari sela iga 3
sampai 5 dada kiri.2,4,5,7

Gambar 2.11 Lokasi Perkusi dan Auskultasi

Auskultasi
Pemeriksaan dilakukan dengan mendengarkan dada di sebelah anterior dan lateral juga pasien
diminta untuk menarik napas lebih dalam daripada pernapasan normal dengan mulut terbuka.
Dalam mendengarkan bunyi pernapasan, patut memperhatikan intensitas dan variasi dari
pernapasan vesikular yang normal dan mengenali ada tidaknya bunyi napas tambahan.2,4,5,7

40 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Pemeriksaan paru bagian posterior

Inspeksi
Yang perlu diperhatikan dalam hal inspeksi rongga dada adalah:

- Ada tidaknya deformitas dan asimetris


- Retraksi interkosta atau supraklavikular yang abnormal selama inspirasi
- Gangguan gerakan respirasi salah satu atau kedua sisi2,4,5,7

Palpasi
Pemeriksaan palpasi paru posterior fokus utamanya adalah area yang terdapat abnormalitas atau
nyeri saat ekspansi dada dan fremitus. Pada area yang dilaporkan adanya nyeri secara seksama
dilakukan palpasi dan dinilai apakah ada abnormalitas misalnya teraba adanya massa. Kemudian
dilakukan pemeriksaan ekspansi rongga dada dengan meletakkan kedua ibu jari pemeriksa setinggi
iga 10 dan rentangkan telapak tangan ke arah lateral kedua paru dengan kedua ibu jari berada di
posisi medial. Pasien kemudian diminta untuk menarik napas secara dalam dan pemeriksa dapat
mengamati pergerakkan kedua ibu jari pemeriksa apakah asimetris pada kedua sisi.2,4,5,7

Gambar 2.12 Pemeriksaan ekspansi rongga toraks

Masih pada palpasi paru posterior, pemeriksaan fremitus taktil dilakukan untuk menilai transmisi
getaran yang dihantarkan melalui cabang bronkopulmoner ke rongga dada saat pasien berbicara.
Dalam hal ini, pemeriksa menggunakan permukaan ventral atau permukaan ulnar kedua telapak
tangan karena lebih sensitif dalam meraba getaran. Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata
“tujuh tujuh’ saat diperiksa. Sama halnya dengan pemeriksaan ekspansi rongga dada, dengan
menggunakan kedua tangan dapat menilai apakah kedua sisi paru simetris.2,4,5,7

Rehabilitasi Kardiovaskuler 41
Gambar 2.13 Lokasi fremitus taktil

Perkusi
Pemeriksaan yang berlandaskan pada ketukan ini merupakan teknik paling penting karena dapat
membantu dalam menentukan apakah jaringan di bawah dinding dada berisi udara, cairan, atau
padat. Saat melakukan perkusi paru posterior bagian bawah, pemeriksa lebih baik berdiri sedikit ke
samping tubuh pasien dibandingkan tepat di belakang pasien sehingga memungkinkan pemeriksa
untuk menempatkan jari pleksimeter tangan kiri dan jari pleksor tangan kanan lebih efektif dalam
menghasilkan bunyi perkusi yang lebih jelas. Perkusi dilakukan sebaiknya 2 kali pada tiap lokasi
di kedua sisi mulai dari apeks sampai dengan basis pulmonalis. Sebelum perkusi dilakukan, pasien
diposisikan dengan cara menyilangkan kedua lengannya di depan.2,4,5,7

Gambar 2.14 Cara perkusi paru bagian posterior

42 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 2.15 Lokasi perkusi dan auskultasi paru posterior

Paru yang normal akan mengeluarkan bunyi sonor saat dilakukan perkusi. Oleh karena itu,
penting untuk dapat membedakan dengan bunyi-bunyi lain dengan karasteristiknya, seperti yang
dijabarkan dalam tabel berikut ini.2,4,5,7

Table 2.3 Karakteristik bunyi perkusi

Intensitas Nada Relatif Durasi Relatif Contoh Lokasi


Relatif

Pekak Pelan Tinggi Singkat Paha

Redup Sedang Sedang Sedang Hepar

Sonor Keras Rendah Lama Paru normal

Sangat keras Lebih rendah Lebih lama Tidak ditemukan pada


keadaan normal

Timpani Keras Tinggi - Gelembung udara


dalam lambung

Auskultasi
Penilaian akan aliran udara melalui cabang trakeobronkial dapat dinilai melalui teknik auskultasi.
Untuk menilai keadaan paru dan rongga pleura yang dilakukan dalam auskultasi adalah
mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh pernapasan, ada tidaknya bunyi tambahan, jika ada
kecurigaan akan abnormalitas, dapat mendengarkan bunyi yang ditimbulkan saat pasien bersuara
atau berbisik. Bunyi napas atau bunyi paru normal antara lain:

- Vesikular yang intensitasnya pelan, bernada rendah, terdengar selama inspirasi sampai dengan
akhir ekspirasi dan berlokasi hampir di seluruh kedua lapang paru.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 43
- Bronkovesikular, lamanya bunyi kurang lebih sama antara saat inspirasi dan ekspirasi, sering
ditemukan di ruang sela iga 1 dan 2 sebelah anterior dan interskapular.
- Bronkial yaitu bunyi yang keras dengan nada lebih tinggi, ekspirasi berlangsung lebih lama dari
inspirasi, terdengar normalnya di daerah manubrium

Dalam mendengarkan bunyi napas, pasien diminta untuk menarik napas dalam melalui mulut
dengan membran stetoskop, auskultasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan lokasi perkusi,
yakni dari apeks hingga basal paru serta dibandingkan kedua sisi, sedikitnya satu siklus pernapasan
yang penuh di setiap lokasi. Setiap bunyi tambahan yang saling tumpang tindih dengan bunyi
napas normal merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis kelainan jantung dan paru.
Bunyi tambahan bisa terputus-putus seperti crackles halus dan kasar serta bunyi kontinu seperti
mengi dan ronkhi.

Daftar Pustaka
1. Makmun LH. Instruksional Pemeriksaan Fisis Jantung. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. 2000.
2. Bickley LS. Toraks dan paru dalam Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2003.
3. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
4. Grubb N, Spratt J and Bradbury A. The Cardiovascular System in Macleod’s Clinical Examination.
13h edition. Philadelphia: Elsevier. 2009; p105-153.
5. Harold E. Clinical Anantomy A Revision and Applied Anatomy for Clinical Students. 11th edition.
Victoria: Blackwell Publishing. 2006; p3-47.
6. Joseph KP. Physical Examination of the Heart and Circulation. 4th edition. USA: PMPH USA.
2009.
7. Burns EA, Korn K and Whyte J. Oxford American Handbook of Clinical Examination and
Practical Skills. New York: Oxford University Press. 2011; p145-180.
8. Putz R and Pabst R. Sobotta Atlas of Human Anatomy. 22nd Edition. Jakarta: EGC. 2010; p304-
350
9. Agur AMR and Dalley AF. Grant’s Atlas Anatomy. 12th edition. Philadelphia: Lipincott Williams
and Wilkins. 2009; p12-90
10. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, et al. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9th
edition. USA: Pearson. 2012.

44 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 3
Uji Latih Beban
jantung pada
Rehabilitasi
KARDIOVASKULAR

Rehabilitasi Kardiovaskuler 45
Pendahuluan
Uji latih sudah banyak digunakan dalam mendiagnosis penyakit jantung koroner dan sudah
tersebar luas selama beberapa dekade terakhir. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas
uji latih untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner masing masing sekitar 63% dan 74%. Uji
latih merupakan prosedur yang aman dan risikonya ditentukan oleh karakteristik klinis dari pasien
yang mengikuti prosedur. Pada populasi pasien secara keseluruhan angka mortalitas di bawah
0,01% dan angka morbiditas di bawah 0,05%. Penilaian klinis yang baik sangat diperlukan untuk
menentukan keamanan pasien mengikuti uji latih. Uji latih sebaiknya dilakukan dibawah supervisi
dokter yang kompeten disertai perlengkapan, obat-obatan dan tenaga medis untuk melakukan
prosedur Advanced Cardiac Life Support (ACLS).1

Uji latih normal diterminasi saat denyut jantung mencapai 85% dari prediksi denyut jantung
maksimum yang didasari oleh usia dan jenis kelamin. Abnormalitas yang ditemukan selama uji latih
dapat menandakan prognosis yang buruk. Toleransi tes maksimum dipengaruhi oleh disfungsi
ventrikel kiri baik selama pemulihan dan setelah tes. Penanda kapasitas erobik selama tes antara
lain ditinjau dari lamanya kemampuan melakukan tes, METs, denyut jantung maksimal dan double
product. Mengubah durasi selama tes menjadi satuan METs dalam menentukan kapasitas tes
memberikan data yang lebih konsisten mengenai fungsi dan performa dalam setiap protokol. Uji
latih yang dilakukan serial dapat mendokumentasikan perkembangan fisiologis dan fungsional
pasien dan membantu dalam memodifikasi peresepan program latihan.2

Uji latih (treadmill, cycle ergometer, uji jalan 6 atau 12 menit) sangat penting dalam awal latihan
untuk menentukan dosis yang akurat untuk semua pasien yang menjalani program rehabilitasi
jantung, demikian pula pada akhir latihan semua pasien dievaluasi menggunakan protokol
uji latih jantung yang sesuai dengan diagnosis pasien. Hasil latihan dapat menentukan tingkat
penyembuhan, kebugaran dan kapasitas fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari, kembali
bekerja serta kualitas hidup.3

Uji latih maksimal (symptom limited) yang dilakukan beberapa bulan setelah program latihan atau
setelah selesai program sangat berguna dalam penilaian kebugaran pasien secara komprehensif.3,4

Uji latih dapat memperlihatkan performa fisik yang menurun seperti shortness of breath dan
kelelahan juga dapat melihat gejala iskemia yang nampak seperti angina dan perubahan segmen ST
pada EKG. Perubahan ini dapat menentukan penatalaksanaan berikutnya pada pasien. Kapasitas
erobik pada uji latih dapat meyakinkan pasien karena biasanya menunjukkan hasil yang sebenarnya
dari kemampuan fisik.3,4

Uji latih maksimal (symptom limited) memiliki risiko henti jantung yang minimal sehingga harus
diwaspadai, oleh karena itu observasi perlu dilakukan atas dasar keamanan dan keselamatan pasien.3

Bagi para dokter, uji latih memberikan informasi diagnostik, prognostik dan kapasitas fungsi. Data
yang didapatkan selama uji latih gunanya adalah:5

- mengukur kapasitas fungsi


- stratifikasi risiko
- kembali bekerja (return to work)
- peresepan latihan
- penatalaksanaan progam latihan.

46 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih memberikan informasi berhubungan dengan respon iskemik atau aritmia, tekanan darah
dan nadi, keterbatasan yang berhubungan dengan toleransi latihan dan kapasitas fungsi. Seluruh
informasi ini berguna untuk modifikasi resep latihan dan penatalaksanaan pasien selama latihan.5

Pelaksanaan uji latih dilakukan sampai pasien mencapai kemampuan maksimal atau sign/symptom
limited dan dihentikan pada denyut jantung tertentu atau beban kerja tertentu sampai pasien
dapat diketahui kemampuan endurance nya. Jika uji latih dihentikan pada denyut jantung atau
beban latihan yang sudah ditetapkan sebelumnya atau sebelum mencapai munculnya gejala hasil
uji latih ini akan menghasilkan denyut jantung puncak yang lebih rendah. Namun pada praktiknya
target 85% denyut jantung maksimal sudah menggambarkan hasil pasien yang sesungguhnya dan
mampu menentukan hasil tes yang optimal.5

Kebanyakan pasien sudah menunjukkan kemampuan fisik yang signifikan sebelum dilakukan uji
latih oleh karena itu uji latih merupakan pilihan yang dianjurkan pada umumnya untuk memastikan
keadaan klinis.3

Satuan tugas ACC/AHA dalam acuan praktik rehabilitasi kardiovaskular dibentuk untuk membuat
rekomendasi mengenai penggunaan uji latih sebagai alat bantu diagnosis dan pengobatan pada
pasien yang dicurigai mengalami penyakit jantung. Uji latih sudah tersebar luas dan termasuk
dalam alat bantu yang murah namun efektif. American college of cardiology/American Heart
Association menerbitkan panduan klinis dalam uji latih meliputi uji latih menggunakan treadmill
atau sepeda statis dengan pemantauan EKG dan tekanan darah, namun panduan klinis tersebut
tidak meliputi penggunaan modalitas pencitraan (radionuclide imaging dan echocardiography).6
Acuan klinis sebelumnya disusun tahun 1986, setelah itu banyak peneliti yang menguji kegunaan
uji latih dalam memprediksi hasil akhir baik pada pasien yang simptomatik dan asimptomatik.
Manfaat dan efektivitas uji latih sudah terbukti jika dibandingkan dengan modalitas pemeriksaan
lain pada pasien.6

Efektivitas uji latih pada setiap individu dipengaruhi beberapa faktor antara lain:6

- Kualitas, ekspertise, pengalaman dari dokter yang melakukan interpretasi.


- Sensitivitas, spesifisitas dan akurasi teknik yang digunakan.
- Efek positif dan negatif pengambilan keputusan medis.
- Efek psikologis akan rasa aman pada pasien.

Manfaat uji latih jantung adalah:6

- Diagnostik:
- Membantu diagnosis penyakit.
- Tes residual iskemia pada gejala berulang.
- Prognostik:
- Mampu mengelompokkan penyakit berdasarkan tingkat keparahan dan risiko.
- Penilaian risiko pada sindrom koroner akut.
- Fungsional:
- Penentuan dosis latihan.
- Mengukur kapasitas fungsi saat istirahat atau respon uji latih.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 47
Uji latih dapat digunakan untuk menilai kemampuan toleransi pasien terhadap aktivitas fisik,
sementara latihan fisik yang disupervisi oleh dokter dapat mencegah manifestasi infark miokard,
artimia dan kelainan yang berhubungan dengan kelelahan fisik.1,7

Uji latih untuk tujuan diagnostik


Hampir pada seluruh penyakit kardiovaskular uji latih atau exercise tolerance test digunakan untuk
memastikan diagnosis pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) khususnya angina pektoris
stabil. Uji latih digunakan sebagai diagnosis awal (de novo) untuk pasien PJK selanjutnya digunakan
untuk mengevaluasi program latihan setelah prosedur invasif seperti PCI atau CABG.5 Pasien
jantung dapat mengalami serangan berulang yang mengarah pada angina oleh karena itu uji latih
dengan monitor EKG perlu dianjurkan pada pasien untuk melihat adanya iskemia yang dicetuskan
latihan. Prosedur uji latih dapat dilakukan pada awal dan akhir program rehabilitasi jantung atau
setelah restenosis pasca angioplasty. Jika iskemia ditemukan pasien perlu dirujuk untuk menjalani
pemeriksaan lebih lanjut hingga prosedur revaskularisasi berikutnya.5

Uji latih untuk tujuan prognostik


Kebugaran kardiorespirasi yang diukur menggunakan uji latih mampu memberikan informasi
prognosis yang kuat dan independen secara komprehensif, terutama menilai morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular. Kebugaran kardiovaskular merupakan indikator prognosis yang kuat
pada individu yang sehat, pasien dengan diabetes melitus, sindrom metabolik, hipertensi dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular yang mengikuti program rehabilitasi.5 Setelah infark miokard,
uji latih dapat digunakan untuk menentukan risiko kejadian iskemia pada jangka menengah dan
jangka panjang.5

Duke treadmill score pada protokol Bruce disusun dan sudah banyak digunakan untuk tujuan
prognosis.8

Treadmill score= waktu uji latih – (5xdeviasi segmen ST [mm]) – (4xindeks angina latihan)

Keterangan:

Indeks angina latihan

0 tidak ada angina selama latihan


1 timbul angina saat latihan (non limiting angina)
2 timbul angina menyebabkan pasien berhenti latihan (exercise limited angina)

48 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Hasil interpretasi

Risiko rendah : > +5


Risiko sedang : +4 sampai -10
Risiko tinggi : < -11
Hasil interpretasi ini diprediksi dalam 1-year mortality:

Pria: risiko rendah à 0,9%, risiko sedang à 2,9%, risiko tinggi à 8,3%.
Wanita: risiko rendah à 0,5%, risiko sedang à 1,1%, risiko tinggi à 1,8%.

Gambar 3.1 Aplikasi Kalkulator Duke Treadmill Score8

Beberapa studi sudah dilakukan dalam menilai berbagai variabel untuk menentukan skor prognosis.
Menggunakan Cox regresion analysis, Mark dan kolega menciptakan Duke treadmill skor dari 2842
pasien dengan PJK yang menjalani uji latih sebelum diagnostik angiografi. Kelompok risiko tinggi
(≤11, 13% pasien), memiliki kemungkinan angka mortalitas ≥5%. Kelompok risiko rendah (≥5, 34%
pasien), memiliki kemungkinan angka mortalitas sebesar 0.05%.6

Penelitian dari Mayo Clinic di Olmstead menilai kegunaan skor treadmill pada populasi uisa tua,
seperti yang diduga sebelumnya pada usia tua banyak penyakit komorbid yang menyertai dan
hanya mampu mencapai beban kerja yang lebih rendah serta memiliki angka kemungkinan hidup
yang lebih rendah.6

Rehabilitasi Kardiovaskuler 49
Uji latih untuk tujuan fungsional
Uji latih juga memiliki fungsi untuk memodifikasi resep latihan, Center for Medicare dan Medicaid
Services (CMS) menganjurkan uji latih dilakukan sebelum dan sesudah 36 sesi rehabilitasi jantung.5

Cardiopulmonary exercise testing (CPET) merupakan gold standard untuk mengevaluasi penyebab
intoleransi latihan pada pasien dengan penyakit jantung paru. Cardiopulmonary exercise testing
juga memberikan penilaian objektif untuk kapasitas latihan, mengidentifikasi mekanisme yang
membatasi toleransi latihan, memberikan petunjuk mengenai prognosis pasien serta memonitor
progresi penyakit maupun respons dari intervensi. Yang dinilai pada uji latih ini adalah VO2 max,
ventilasi menit (minute ventilation), frekuensi jantung, gejala sesak napas dan nyeri.9

Kapasitas erobik maksimal dapat diukur dengan uji latih serta melihat variabel lain yang didapat
seperti respon denyut jantung selama uji latih sampai saat istirahat, respon tekanan darah sistolik
dan diastolik, konsumsi oksigen saat ambang batas anerobik dan respon ventilasi saat uji latih.
Uji latih ini penting dalam memberikan gambaran kesehatan keseluruhan pasien serta membantu
dalam peresepan latihan yang aman untuk pasien.10

Penilaian fungsional pada pasien penyakit jantung antara lain:10

- Penilaian kapasitas latihan


- Peresepan intensitas latihan ketahanan
- Evaluasi respon terhadap latihan ketahanan
- Evaluasi respon dari tindakan intervensi terapeutik (obat-obatan, ventricular resynchronization
dan lain-lain) yang mempengaruhi kapasitas latihan
- Evaluasi transpor oksigen dan komponen ventilasi, hemodinamik serta metabolik
Hasil uji latih dapat digunakan untuk menitrasi terapi klinis sampai kadar yang diinginkan. Selain
itu uji latih menjadi salah satu pertimbangan perlu atau tidaknya uji latih tambahan.6 Sebagai
kesimpulan uji latih berguna sebagai alat prognostik, diagnostik dan fungsional sehingga uji latih
yang dilaksanakan secara seksama pada program rehabilitasi jantung dapat mengurangi risiko
kejadian berulang.5

Pedoman yang disusun oleh AHA/ACC didasari oleh penelitian secara meta-analisis dari penelitian
yang sudah dilakukan sejak 1975. American college of cardiology/American Heart Association
menggolongkan tingkat kegunaan sebuah prosedur uji latih dalam 3 kelas:6

- Kelas I: Terdapat bukti dan kesepakatan pendapat bahwa sebuah tindakan/prosedur efektif
dan berguna dalam suatu kondisi.
- Kelas II: Terdapat perbedaan pendapat (belum ada kesepakatan) mengenai tindakan atau
prosedur
- IIa: bukti/pendapat lebih menunjukkan manfaat yang diterima mengenai tindakan/
prosedur.
- IIb: kegunaan dan efisiensi belum dapat dibuktikan karena kurang bukti yang cukup.
- Kelas III: Terdapat bukti dan kesepakatan pendapat bahwa sebuah tindakan/prosedur tidak
berguna/efektif dan dalam beberapa kasus dapat berbahaya.

50 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Fisiologi uji latih
Dasar dari fisiologi uji latih menunjukkan terdapat hubungan linear antara denyut jantung dan
beban kerja dari istirahat ke ambang batas ventilasi yang terjadi saat kebutuhan oksigen pada saat
uji latih melebihi suplai oksigen dari otot yang bekerja.5 Perlu dicatat bahwa respon ini spesifik
pada otot yang dilatih sehingga peresepan latihan harus memperhatikan kelompok otot yang
sering digunakan pada kehidupan sehari–hari. Sebagai contoh, seseorang yang banyak memiliki
aktivitas alat gerak atas perlu mendapat uji latih pada anggota gerakan atas selama rehabilitasi
jantung.5

Respon kardiovaskular terhadap uji latih (exercise testing)


Latihan dan stres fisiologis secara umum dapat menimbulkan kelainan kardiovaskular yang tidak
timbul pada saat istirahat dan dapat digunakan untuk menentukan fungsi jantung. Karena olahraga
merupakan salah satu dari banyak stres yang dapat memberikan beban pada manusia, maka uji
latih lebih baik disebut sebagai “exercise test” dan bukan “stress test.”11,12

Jenis-jenis uji latih


Terdapat tiga jenis kontraksi otot atau latihan yang dapat diterapkan sebagai stres untuk sistem
kardiovaskular:11,12

isometrik (statis)

- Latihan isometrik didefinisikan sebagai kontraksi otot tanpa gerakan (misalnya, handgrip) dan
membebankan tekanan lebih besar dari beban volume pada ventrikel kiri dalam kaitannya
dengan kemampuan tubuh untuk memasok oksigen. Curah jantung tidak meningkat sebanyak
di latihan isotonik karena peningkatan resistensi di kelompok otot aktif membatasi aliran
darah.,
isotonik (dinamis)

- Latihan isotonik, yang didefinisikan sebagai kontraksi otot yang mengakibatkan gerakan akan
memberikan beban volume ke ventrikel kiri dan respon yang sebanding dengan ukuran massa
otot yang bekerja dan intensitas latihan.
resistensi (kombinasi isometrik dan isotonik) .

- Latihan resistensi menggabungkan kedua isometrik dan isotonik (seperti olahraga angkat
beban).

Fisiologi uji latih


Pada fase awal uji latih peningkatan curah jantung umumnya terjadi karena meningkatnya stroke
volume yang disebabkan melalui mekanisme Frank -Starling , selanjutnya peningkatan curah
jantung pada fase akhir dari uji latih terutama disebabkan oleh peningkatan denyut jantung. Pada
beban kerja submaksimal yang tetap di bawah ambang batas ventilasi pada orang yang sehat ,
kondisi stabil biasanya dicapai dalam beberapa menit setelah onset uji latih. Setelah kondisi stabil
tercapai

Rehabilitasi Kardiovaskuler 51
denyut jantung, curah jantung, tekanan darah dan ventilasi paru dipertahankan pada tingkat yang
cukup konstan. Pada peningkatan intensitas pengeluaran energi yang berat menstimulasi saraf
simpatis maksimal sedangkan stimulasi parasimpatis akan berkurang sehingga vasokonstriksi
terjadi di sebagian besar sistem pembuluh darah kecuali otot yang bekerja, sirkulasi serebral dan
koroner.11,12,13

Selama uji latih berlangsung aliran darah otot rangka akan meningkat dan konsumsi
oksigen meningkat sebanyak 3 kali lipat, resistensi perifer total menurun sedangkan tekanan darah
sistolik, tekanan arteri rerata serta tekanan nadi biasanya meningkat. Tekanan darah diastolik
mungkin tetap tidak berubah atau menurun sedikit. Pembuluh darah paru dapat menampung
sebanyak peningkatan 6 kali lipat curah jantung tanpa peningkatan yang signifikan pada tekanan
arteri pulmonalis. Pada orang normal hal ini bukan penentu yang dapat membatasi kapasitas uji
latih maksimal. Curah jantung dapat meningkat sebanyak 4 sampai 6 kali lipat di atas tingkat basal
selama aktivitas maksimal dalam posisi tegak, tergantung pada faktor genetik dan tingkat uji latih.
Pada tahap post exercise hemodinamik kembali ke baseline dalam beberapa menit dari penghentian
uji latih. Reaktivasi vagal merupakan mekanisme deselerasi jantung penting setelah uji latih yang
biasanya lebih cepat pada atlet terlatih tetapi dapat lebih lambat pada pasien yang mengalami
dekondisi dan atau pasien yang sakit.11,12,13,14

Ambilan oksigen maksimal (maximum oxygen uptake/ VO2


max)11,12,13
Ambilan oksigen dengan cepat meningkat ketika uji latih dinamis dimulai. Ambilan oksigen
biasanya relatif stabil (steady state) setelah menit kedua dengan intensitas uji latih di bawah
ambang batas ventilasi. Konsumsi oksigen maksimal (VO2 max) adalah jumlah oksigen terbesar
yang dapat diinspirasi saat melakukan uji latih dinamis yang melibatkan sebagian besar dari total
massa otot. Hal ini dianggap sebagai ukuran terbaik dari kebugaran kardiovaskular dan kapasitas
erobik. Maximal oxygen uptake menggambarkan jumlah oksigen yang diangkut dan digunakan
dalam metabolisme sel, satuan yang digunakan adalah METs (Metabolic equivalents).11-13

Metabolic equivalents adalah satuan pengambilan oksigen saat istirahat (sebesar 3,5 mL O2 per
kilogram berat badan per menit [mL/kg/min]). Maximal oxygen uptake dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin, kebiasaan olahraga, faktor keturunan dan status klinis kardiovaskular. Ambang batas
ventilasi adalah ukuran lain dari usaha kerja dan hal itu menggambarkan titik di mana ventilasi
tiba-tiba meningkat meskipun terjadi peningkatan linear dalam ambilan oksigen dan tingkat kerja.
Pada sebagian besar kasus ambang ventilasi mudah diatur, meskipun mungkin tidak akan tercapai
atau mudah diidentifikasi pada beberapa pasien, khususnya mereka dengan kapasitas uji latih yang
sangat buruk. Ambang ventilasi adalah suatu titik saat uji latih ketika ventilasi mulai meningkat
dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan VO2 max.

Faktor-faktor yang mempengaruhi VO2 max antara lain:11-13

1. Usia
Nilai tertinggi VO2 max umumnya ditemukan pada usia 15-30 tahun dan berkurang sesuai
bertambahnya usia. Pada laki-laki usia 60 tahun VO2 max hanya berkisar 20% dari saat usia
20 tahun. Penurunan VO2 max biasanya 8% hingga 10% per dekade baik pada populasi yang
kurang aktif bergerak dan pada populasi atlet.

52 Rehabilitasi Kardiovaskuler
2. Jenis kelamin
Pada perempuan VO2 max lebih rendah karena massa otot yang lebih kecil, hemoglobin,
volume darah yang lebih rendah dan stroke volume yang lebih kecil dibanding laki-laki.
3. Kebiasaan olahraga
Aktivitas fisik memiliki pengaruh besar terhadap VO2 max. Pada laki-laki sehat setelah tiga
minggu tirah baring terjadi penurunan VO2 max sebeesar 25%. Pada laki-laki muda yang sehat
dan cukup aktif VO2 max mencapai 12 METs, sedangkan individu yang menjalankan latihan
erobik seperti berlari VO2 max mencapai 18 – 24 METs (60 – 85 ml/kg/min).
4. Keturunan.
Terdapat variasi VO2 max alami yang berhubungan dengan faktor genetik.
5. Status klinis kardiovaskular
Berbagai macam penyakit mempengaruhi VO2 max dan sulit untuk memprediksi secara akurat
hal ini berhubungan dengan kebiasaan latihan dan usia yang memiliki sebaran cukup variatif
serta berkorelasi rendah. Tabel 1 menggambarkan nilai-nilai normal untuk usia.
Tabel 3.1 Nilai normal VO2 max menurut Usia dan Jenis Kelamin12

Usia (tahun) Pria Wanita


20 – 29
VO2 max (ml/kg/menit) 43±7,2 36±6,9
METs 12 10
30 – 39
VO2 max (ml/kg/menit) 42±7,0 34±6,2
METs 12 10
40 – 49
VO2 max (ml/kg/menit) 40±7,2 32±6,2
METs 11 9
50 – 59
VO2 max (ml/kg/menit) 36±7,1 29±5,4
METs 10 8
60 – 69
VO2 max (ml/kg/menit) 33±7,3 27±4,7
METs 9 8
70 – 79
VO2 max (ml/kg/menit) 29±7,3 27±5,8
METs 8 8

Nilai VO2 max setara dengan produk dari cardiac output maksimal dan perbedaan maksimal oksigen
arteriovenous. VO2max secara langsung berkaitan dengan denyut jantung karena curah jantung
setara dengan produk dari stroke volume dan denyut jantung. Selain itu stroke volume hanya
meningkat pada tingkat tertentu. Perbedaan VO2 max arteriovenous yang meningkat dengan uji
latih memiliki batas fisiologis 15% sampai 17% dari volume, sehingga jika usaha maksimal tercapai,
VO2 max dapat digunakan untuk memperkirakan curah jantung maksimal.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 53
Ambilan oksigen miokard (myocardial oxygen uptake)11,12,13
Ambilan oksigen miokard terutama ditentukan oleh stres dinding intramiokard (yang merupakan
produk dari tekanan dan volume ventrikel kiri dibagi dengan ketebalan dinding ventrikel kiri),
kontraktilitas dan denyut jantung. Faktor lain yang kurang penting seperti kerja eksternal yang
dilakukan oleh jantung, energi yang diperlukan untuk aktivasi dan metabolisme basal miokard.11-13

Pengukuran yang akurat dari ambilan oksigen miokard membutuhkan kateterisasi jantung untuk
mendapatkan arteri koroner dan kandungan oksigen vena. Ambilan oksigen miokard dapat
diperkirakan selama uji latih klinis yang diperlihatkan dari denyut jantung dan tekanan darah
sistolik yang disebut sebagai double product. Ada hubungan linear antara pengambilan oksigen
miokard dan aliran darah koroner. Selama uji latih aliran darah koroner meningkat sebanyak 5 kali
lipat di atas nilai istirahat.11-13

Pada penderita penyakit obstruksi arteri koroner (CAD) sering tidak bisa mempertahankan aliran
darah koroner yang memadai ke daerah yang terkena iskemia dan tidak dapat memasok kebutuhan
metabolisme untuk miokard selama latihan, akibatnya iskemia miokard biasanya terjadi pada
produk tingkat tekanan yang sama bukan pada beban kerja eksternal yang sama (misalnya tahap
uji latih).11-13

Respon denyut jantung5


Respon langsung dari sistem kardiovaskular terhadap uji latih adalah peningkatan denyut jantung
karena penurunan tonus vagal. Peningkatan ini diikuti oleh peningkatan aktivitas simpatis ke
jantung dan pembuluh darah sistemik. Selama uji latih dinamis denyut jantung meningkat secara
linear dengan beban kerja dan ambilan oksigen. Denyut jantung akan mencapai keadaan stabil
dalam beberapa menit selama uji latih tingkat rendah dan konstan. Ketika beban kerja meningkat
waktu yang diperlukan untuk menstabilkan denyut jantung akan semakin memanjang.

Respon denyut jantung terhadap uji latih dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya posisi
tubuh, jenis uji latih dinamis, kondisi fisik tertentu, keadaan kesehatan, volume darah, fungsi
nodus sinus, obat-obatan dan lingkungan. Denyut jantung saat uji latih dinamis meningkat lebih
tinggi dari jenis uji latih isometrik atau resistensi. Respon denyut jantung lebih cepat ditemukan
pada pasien yang tirah baring lama di tempat tidur pada beban kerja standar yang menunjukkan
respon dekondisi pada pasien.

Di antara pasien dengan penyakit jantung dengan atau tanpa terapi beta blocker, peningkatan
denyut jantung akan sesuai antara peningkatan dengan uji latih namun respon maksimal akan
berkurang pada pasien dengan penyakit jantung. Respon denyut jantung pada pasien dengan beta
blocker secara signifikan memiliki denyut jantung yang lebih rendah.

Rumus yang sering digunakan untuk memprediksi denyut jantung maksimal (220-usia) sebaiknya
tidak digunakan pada terutama pada pasien penyakit jantung dengan pengobatan beta blocker.
Namun denyut jantung maksimal dapat diprediksi sesuai dengan populasinya.

54 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Respon Tekanan Darah Arteri (Arterial Blood Pressure Response)5
Tekanan darah sistolik meningkat dengan meningkatnya uji latih yang dinamis sebagai akibat dari
meningkatnya curah jantung, sedangkan tekanan diastolik biasanya tetap sama atau turun sedikit
dan mungkin didengar hingga ke nol di beberapa subjek normal. Nilai normal tekanan darah sistolik
maksimal untuk pria sudah ditetapkan dan secara langsung berhubungan dengan usia.

Setelah uji latih maksimal biasanya ada penurunan tekanan darah sistolik yang mencapai tingkat
istirahat dalam waktu 6 menit dan sering tetap lebih rendah dari tingkat pra-latihan selama
beberapa jam. Ketika uji latih dihentikan tiba-tiba, pada beberapa orang yang sehat didapatkan
penurunan cepat tekanan darah sistolik karena pengumpulan darah vena dan meningkat pasca
latihan sesuai dengan pengurangan curah jantung.

Tekanan darah sistolik meningkat secara progresif selama uji latih dari saat istirahat hingga
mencapai puncak uji latih, tetapi tekanan darah diastolik tidak berubah. Peningkatan tekanan
darah sistolik 10 mmHg biasanya terjadi dari peningkatan beban kerja 1 MET. Tekanan darah
sistolik yang tidak meningkat dengan adanya peningkatan beban kerja menandakan kemungkinan
iskemia miokard dan atau disfungsi ventrikel kiri.

Prosedur uji latih


Karena uji latih bertujuan untuk menentukan peresepan latihan, maka sebaiknya pasien dikondisikan
seperti saat akan melakukan program latihan. Pasien harus mengkonsumsi obat-obatan yang
diresepkan 3-10 jam sebelum uji latih sesuai anjuran dokter. Jika pasien lupa meminum obat-
obatan tersebut pertimbangkan untuk menunda uji latih.5

Apabila uji latih dilakukan tanpa minum obat rutin yang dianjurkan dokter maka dikhawatirkan
akan memiliki risiko terjadi iskemia atau nyeri dada yang dapat menghambat uji latih sehingga
kemampuan kapasitas erobik maksimal tidak diketahui secara pasti. Uji latih jantung umumnya
dilaksanakan oleh dokter yang ahli dan kompeten biasanya dilakukan oleh dokter spesialis jantung.5

Persiapan Pasien
Pasien sebaiknya disarankan untuk tidak makan dan mengkonsumsi minuman berkafein dalam 3
jam sebelum uji latih. Obat-obatan dari dokter ahli jantung yang diterima pasien dikonsumsi seperti
biasa. Elektrokardiografi dan tanda-tanda vital dicatat sebelum, selama dan sesudah testing.2

Anjuran yang perlu diperhatikan sebelum uji latih:5

-- Konsumsi obat-obatan sesuai resep 3 jam sebelum uji latih


-- Hindari minuman kopi, beralkohol, rokok dan makan berat 3 jam sebelum uji latih
-- Hindari penggunaan pelembab kulit pada dada dan abdomen
-- Jangan melakukan latihan erobik dalam 24 jam sebelum uji latih
-- Gunakan pakaian yang nyaman untuk olahraga, jangan gunakan sepatu dengan hak.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 55
Penjadwalan uji latih (oleh dokter ahli jantung):5

-- Jadwal uji latih pada jam yang sama seperti waktu akan mengikuti latihan
-- Pertimbangkan penundaan uji latih jika pasien tidak mengkonsumsi obat sesuai anjuran
-- Jangan lakukan uji latih jika pasien menunjukkan perubahan klinis yang dapat membatasi
kemampuan untuk beraktivitas maksimal, seperti infeksi saluran nafas atas atau eksarsebasi
akut gout atau artritis.

Sebelum memulai uji latih, anamnesis dan informed consent perlu dilakukan. Sangat penting
untuk mengetahui riwayat aktivitas fisik pasien, gejala yang pernah timbul dan mengkonfirmasi
kepatuhan minum obat serta kondisi klinis yang mengindikasikan uji latih dapat dilakukan.5

Pasien dipersiapkan dengan menempelkan elektroda untuk memonitor EKG selama uji latih.
Pemeriksaan EKG, tanda-tanda vital dan gejala perlu dinilai sebelum memulai uji latih. Jika pasien
mampu berjalan tanpa keterbatasan atau ketidaknyamanan dada, maka protokol treadmill yang
sebaiknya dipilih, jika ada masalah pada neuromuskuloskeletal khususnya ekstremitas bawah
pertimbangkan protokol lain seperti ergocycle test.5

Selama uji latih pasien harus dimonitor dengan EKG dengan penggunaan 12 sadapan EKG, evaluasi
berkala hemodinamik dan skala Borg sebaiknya dilakukan secara berkala pada interval tertentu.
Pengukuran secara manual maupun otomatis, ukuran cuff, peletakan stetoskop dan tenaga medis
terlatih merupakan hal yang penting.5

Waktu pelaksanaan uji latih4,5,6,7


Setelah infark miokard, baik STEMI maupun NSTEMI, guidelines merekomendasikan uji latih
submaksimal pada hari ke 3 – 5 untuk pasien tanpa komplikasi sebelum pulang dari rawat inap, dan
uji latih maksimal tanpa melewati batas denyut jantung yang ditetapkan (85% HR max) dilakukan
pada pasien yang telah menyelesaikan program rehabilitasi jantung fase II. Berdasarkan studi di
Jepang yang melibatkan 13.500 pasien pasca infark miokard akut, 4.360 di antaranya dilakukan
prosedur PTCA (31,9%). Uji latih pada pasien pasca PTCA dilakukan setelah 17 hari sedangkan
pada pasien pasca infark miokard akut dilakukan 13 hari pasca serangan (p<0,01).

Studi terbaru pada PCI yang menggunakan DES dan terapi antiplatelet kombinasi (pada 97,2%
pasien) menunjukkan pasien memulai uji latih pada 26 hari pasca PCI, yang 58% persen di
antaranya memulai uji latih dalam 30 hari pasca PCI. Kekhawatiran terjadinya stent trombosis
tidak boleh menghambat dimulainya rehabilitasi jantung setelah PCI.

Uji latih submaksimal biasa dilakukan segera setelah prosedur dan 14 hari untuk uji latih maksimal.
Jika PCI dilakukan pada infark miokard yang luas sebaiknya uji latih ditunda hingga 4 minggu
pasca PCI. Rehabilitasi jantung dapat dimulai segera setelah uji latih submaksimal jika pasien
dalam keadaan stabil atau pada sindrom koroner akut dengan kerusakan miokardial yang minimal.
Jika pada gambaran EKG tampak gelombang Q, sebaiknya ditunda sampai 1 bulan setelah infark
miokard.4-7

56 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih maksimal (symptom limited) aman dilakukan pasca infark miokard tanpa komplikasi. Pada
pasien yang menjalani operasi seperti sternotomi uji latih maksimal ditunda terlebih dahulu
sampai terjadi penyembuhan pada daerah sternum. Menurut penelitian Jelinek dan kawan-kawan
menyatakan bahwa pada pasien pasca CABG ditemukan perbaikan kapasitas latihan sebesar 8%
dibandingkan PCI yang hanya 1%.4-7

Mc Connell dan kawan-kawan melaporkan pasien yang mengikuti 12 minggu program rehabilitasi
jantung memperlihatkan peningkatan energy expenditure secara aman. Namun guidelines terkini
menganjurkan uji latih dilakukan hampir pada semua pasien yang akan mengikuti program
rehabilitasi jantung. Akan tetapi masih banyak orang yang mengikuti program rehabilitasi jantung
fase II tidak mendapat uji latih sebelumnya. Berdasarkan survei dari Andreuzzi dan kawan-
kawan 60% pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II tidak mengikuti uji latih
sebelumnya. Namun uji latih submaksimal seperti uji jalan 6 menit dapat dilakukan sebelum
memasuki program rehabilitasi jantung fase II, hal ini bertujuan untuk mendapatkan dosis awal
latihan yang optimal. Penundaan pelaksanaan uji latih dianjurkan pada pasien dengan kapasitas
fungsional yang sangat rendah dan pasien yang tidak terbiasa dengan latihan. Pasien seperti ini
mungkin mendapat hasil yang lebih baik jika mengikuti program rehabilitasi jantung beberapa sesi
latihan sebelum melakukan uji latih maksimal.

Protokol uji latih


Treadmill dan cycle ergometer merupakan alat yang sering digunakan untuk melakukan uji latih.
Walaupun cycle ergometer secara umum lebih murah, melibatkan lebih sedikit gerakan ekstremitas
atas dan tidak sebising treadmill, namun kelelahan otot-otot quadriceps pada orang yang tidak
biasa bersepeda dapat menjadi hambatan, karena pasien akan berhenti sebelum mencapai
ambilan oksigen maksimal (maximum oxygen uptake) sehingga treadmill lebih umum digunakan
dibandingkan cycle ergometer.6,7

Terdapat banyak protokol dalam uji latih yang dicantumkan pada banyak penelitian sebelumnya.
Protokol yang paling sering digunakan adalah protokol Bruce, tetapi modifikasi latihan jalan selama
6 atau 12 menit juga menunjukkan manfaat yang baik. Kapasitas latihan dilaporkan dalam bentuk
perkiraan metabolic equivalents (METs) latihan.6,7 Pemilihan protokol harus dititik beratkan pada
kapasitas fungsional setiap pasien yang tergantung dari penyakit utama, penyakit penyerta, usia
dan kebugaran fisik.7

Symptom limited-test merupakan uji latih yang dilakukan sampai pasien timbul gejala klinis sehingga
uji latih perlu dihentikan. Biasanya dilakukan pada pasien sebelum pulang apabila tidak terdapat
komplikasi khususnya pada kelompok pasien tertentu seperti pada kelompok usia muda, sindrom
koroner akut yang melibatkan satu pembuluh darah hasil coronary angiography dan ingin kembali
ke pekerjaan sesegera mungkin.7 Namun pasien yang memiliki penyulit atau komplikasi maka uji
latih ini dapat dilakukan pada akhir fase II.7

Pemilihan protokol5
Protokol Bruce merupakan protokol uji latih menggunakan treadmill yang paling sering digunakan.
Beban kerja pada step 1 diperkirakan mencapai 4,6 METs dan peningkatan 2,5-3 METs setiap
stepnya. Pasien harus mencapai 4-6 Mets untuk memulai rehabilitasi jantung, pada pasien yang
memiliki gagal jantung kongestif memiliki METs yang lebih rendah. Namun protokol Bruce bukan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 57
merupakan pilihan utama untuk pasien memasuki rehabilitasi jantung karena pasien umumnya
hanya mencapai 1-2 step (<6 menit) dari protokol ini.

Protokol modified Bruce mulai dari beban kerja yang sesuai 2,3 METs, namun step 3 memilki beban
yang sama dengan protokol Bruce sehingga protokol ini bukan merupakan pilihan utama. Jika
dimungkinkan uji latih sebaiknya dilakukan pada treadmill karena mendapat respon fisiologi yang
lebih tinggi dari uji latih menggunakan leg atau arm ergometer. Dibanding dengan leg ergometry,
uji latih treadmill memilik tingkat VO2 max yang lebih tinggi 10-15% dan denyut jantung maksimal
5-20%. Beberapa pasien dengan obesitas, artritis atau penyakit komorbid lainnya mungkin tidak
dapat melakukan uji latih treadmill secara adekuat dan membutuhkan uji latih menggunakan teknik
lain. Pada penggunaan leg ergometer protokol dimulai dari 0-10 watts dan meningkat 10 watts per
menit atau 20-30 watts per 2-3 menit.5

Arm ergometry merupakan alternatif untuk pasien yang tidak dapat melakukan aktivitas uji latih
menggunakan tungkai. VO2 maks pada arm ergometry 20-30% lebih rendah dari leg ergometry
karena penggunaan massa otot yang lebih kecil. Pada uji latih submaksimal keluaran energi yang
sama tetapi denyut jantung dan tekanan darah lebih tinggi, sedangkan stroke volume dan VO2 lebih
rendah dari leg ergometry.5

Pelaksanaan uji latih


Uji latih merupakan prosedur yang sudah teruji dan sudah tersebar luas selama beberapa dekade
terakhir. Uji latih perlu dilakukan sebelum meresepkan latihan program rehabilitasi jantung.
Evaluasi jantung selama latihan memberikan penilaian yang lebih bermakna di samping evaluasi
pada saat istirahat. Pasien dengan diabetes dapat menyebabkan penyakit jantung koroner yang
beragam sehingga memerlukan modifikasi dalam peresepan latihan rehabilitasi jantung.2,6

Kebanyakan dari uji latih treadmill dilakukan pada orang dewasa yang diketahui atau memiliki
kemungkinan akan penyakit jantung iskemik. Peserta uji latih sebaiknya dalam keadaan stabil, pada
pasien dengan angina pektoris tidak stabil dan infark miokard, harus distabilkan menggunakan
medikamentosa atau menjalani prosedur revaskularisasi sebelum dilakukan uji latih.7,15 Pada pasca
revaskularisasi EKG yang tidak terintrepretasi atau pasien yang tidak mampu menjalani uji latih
secara adekuat, pemeriksaan imaging/radiologi perlu dilakukan.7,15

Uji latih dilakukan ketika diagnosis penyakit jantung koroner sudah dipastikan berdasarkan usia,
jenis kelamin, nyeri dada khas angina dan riwayat infark miokard sebelumnya dan uji latih dapat
digunakan untuk menilai risiko atau prognosis untuk menentukan terapi selanjutnya.7,15

58 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 3.2 Indikasi uji latih menurut American Heart Association (AHA)6

Diagnosis PJK Pasien dewasa (termasuk juga RBBB komplit atau ST depresi saat istirahat Kelas I
< 1mm) dengan intermediate pretest probability penyakit arteri koroner
berdasarkan jenis kelamin, usia dan gejala.
Pretest probability obstruksi arteri koroner berdasarkan pada estimasi
klinis dari riwayat pasien (usia, jenis kelamin dan karakteristik nyeri dada),
pemeriksaan fisik dan uji awal serta pengalaman klinisi untuk menangani
tipe masalah tersebut. Tabel berikut merupakan modifikasi dari studi
literatur Diamond and Forrester.
Usia Jenis Ke- Angina Pekto- Angina Pekto- Nyeri Dada
lamin ris Tipikal ris Atipikal Non Angina
30-39 Pria Sedang Sedang Rendah
Wanita Sedang Sangat rendah Sangat rendah
40-49 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Sedang Sangat rendah Sangat rendah
50-59 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Sedang Sedang Rendah
60-69 Pria Tinggi Sedang Sedang
Wanita Tinggi Sedang Sedang

Pasien dengan angina vasospastik. Kelas IIa


Pasien dengan pretest probability penyakit arteri koroner yang tinggi Kelas IIb
berdasarkan usia, gejala dan jenis kelamin.
Pasien dengan pretest probability penyakit arteri koroner yang rendah
berdasarkan usia, gejala dan jenis kelamin.
Pasien dengan ST depresi < 1 mm dari baseline dan mengkonsumsi digoksin.
Pasien dengan kriteria EKG untuk hipertrofi ventrikel kiri dan ST depresi < 1
mm dari baseline.
Pasien dengan EKG abnormal seperti berikut Kelas III
Sindrom Wolff Parkinson White
Electronically paced ventricular rhytm
ST depresi saat istirahat > 1 mm
LBBB komplit
Pasien dengan riwayat infark miokard atau angiografi koroner yang
signifikan menunjukkan diagnosis penyakit arteri perifer, namun iskemia dan
risiko dapat ditentukan dengan uji.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 59
Prognosis dan Pasien dengan suspek penyakit arteri koroner termasuk juga RBBB komplit Kelas I
stratifikasi atau ST depresi saat istirahat < 1mm.
risiko Pasien dengan suspek atau riwayat penyakit arteri koroner yang sudah
dievaluasi namun saat ini terjadi perubahan klinis yang signifikan.
Pasien angina pektoris tidak stabil risiko rendah yang tidak memiliki gejala
iskemik atau gagal jantung 8 – 12 jam setelah serangan.
Pasien angina pektoris tidak stabil risiko sedang yang tidak memiliki gejala
iskemik atau gagal jantung 2 – 3 hari setelah serangan.
Pasien angina tidak stabil risiko sedang dengan penanda jantung awal Kelas IIa
normal, tidak ada perubahan signifikan EKG serial, penanda jantung yang
normal 6 – 12 jam setelah serangan dan tidak ditemukan gejala iskemik
selama observasi.
Pasien dengan EKG abnormal saat istirahat sebagai berikut: Kelas IIb
1.Sindrom Wolff Parkinson White
2.Electronically paced ventricular rhytm
3.ST depresi saat istirahat > 1 mm
4.LBBB komplit atau gangguan konduksi interventrikuler dengan durasi QRS
>120 ms.
Pasien dengan perjalanan penyakit yang stabil dan menjalani pemantauan
periodik.
Pasien dengan komorbid berat yang dapat membatasi angka harapan hidup Kelas III
dan/atau merupakan kandidat revaskularisasi.
Pasien angina tidak stabil risiko tinggi.
Pasca infark Sebelum pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan aktivitas dan Kelas I
miokard dan evaluasi terapi medis (submaksimal selama 4 sampai 6 hari).
kelainan Tidak lama setelah pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan
jantung lain aktivitas, evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung bila uji latih tidak
dilakukan sebelum pemulangan(symptom limited; sekitar 14 sampai 21 hari).
Setelah pemulangan untuk penilaian prognostik, peresepan aktivitas,
evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung bila uji latih tidak dilakukan
sebelum pemulangan(symptom limited; sekitar 3 sampai 6 minggu).
Setelah pemulangan untuk konsultasi aktivitas dan/atau program latihan Kelas IIa
sebagai bagian dari rehabiltiasi jantung pada pasien pasca revaskularisasi
jantung.
EKG abnormal sebagai berikut: Kelas IIb
LBBB komplit
Sindrom pre-eksitasi
Pembesaran ventrikel kiri
Terapi digoksin
ST depresi saat istirahat > 1 mm
Irama alat pacu ventrikel jantung
Pemantauan periodik pada pasien yang meneruskan partisipasi program
latihan atau rehabilitasi jantung

60 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Komorbid berat yang dapat membatasi angka harapan hidup dan/atau Kelas III
merupakan kandidat untuk revaskularisasi.
Kapan saja saat mengevaluasi pasien dengan infark miokard akut disertai
gagal jantung tidak terkompensasi, aritmia jantung atau keadaan nonkardiak
yang sangat membatasi kemampuan latihan. (LOE C)
Sebelum dipulangkan untuk mengevaluasi pasien yang akan atau sudah
menjalani kateterisasi jantung. Walaupun stress test dapat bermanfaat
sebelum atau sesudah kateterisasi untuk mengevaluasi atau mengidentifikasi
penyebaran lesi iskemik koroner, stress imaging juga direkomendasikan. (LOE
C)

Tabel 3.2 Indikasi Uji Latih menurut AHA6

Pada tabel dibawah ini tampak prognosis dan stratifikasi risiko:

Gambaran Risiko Tinggi Risiko Sedang Risiko Rendah


(Minimal satu dari (Tidak ditemukan gambaran (Tidak ditemukan
gambaran berikut) risiko tinggi, terdapat gambaran risiko tinggi
minimal satu dari gambaran dan sedang, terdapat
berikut) minimal satu dari
gambaran berikut)

Riwayat Riwayat infark miokard


atau penyakit arteri perifer,
serebrovaskular atau CABG
sebelum penggunaan aspirin
Karakteristik Nyeri istirahat yang Nyeri istirahat yang menetap Onset baru atau
nyeri menetap saat istirahat saat istirahat (> 20 menit) progresif angina CCS
(> 20 menit) yang sudah tertangani, dengan kelas III atau IV dalam
kemungkinan penyakit arteri waktu 2 minggu terakhir,
koroner sedang sampai tinggi dengan kemungkinan
penyakit arteri koroner
sedang sampai tinggi
Gambaran klinis Edema paru yang Usia lebih dari 70 tahun
berhubungan dengan
iskemia
Murmur mitral
regurgitasi yang baru
atau semakin berat
Bunyi S3 atau ronkhi
baru atau yang
semakin berat

Rehabilitasi Kardiovaskuler 61
EKG Perubahan segmen T-inverted > 0,2 mV Tidak ada perubahan
ST transient > 0,05 Gelombang Q patologis gambaran EKG saat nyeri
mV pada angina saat dada
istirahat
Bundle Branch Block,
takikardia ventrikuler
baru atau yang
menetap

Penanda Jantung Peningkatan troponin T Peningkatan troponin T 0,01 – Normal


dan I >0,1 mg/ml 0,1 mg/ml
Tabel 3.3 Prognosis dan Stratifikasi Risiko6

Pada umumnya uji latih merupakan prosedur yang aman, tetapi terdapat kemungkinan terjadinya
kejadian yang tidak diinginkan seperti serangan infark miokard hingga kematian, yang memiliki
insidens sebesar 1/2500 kali uji latih sehingga penilaian klinis sangat penting dan diperlukan
untuk menentukan pasien yang dapat menjalani uji latih.6

Hasil pemeriksaan EKG, denyut jantung dan tekanan darah harus dimonitor serta dicatat pada
setiap tahap tes, begitu pula nyeri dada dan abnormalitas segmen ST harus diperhatikan. Uji latih
umumnya diterminasi ketika pasien mencapai 85% denyut jantung maksimal, namun terdapat
indikasi penghentian uji latih yang digunakan untuk mengurangi risiko.1

Kontraindikasi uji latih menurut American College of Cardiology (ACC) and American Heart
Association (AHA).1,4,5,6,7

- Absolut
- Infark miokard akut (2 hari terakhir)
- Unstable angina dengan risiko tinggi
- Aritmia yang tidak terkontrol yang menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik
- Stenosis aorta yang berat dan bergejala
- Gagal jantung yang tidak terkontrol
- Emboli paru akut atau infark paru akut
- Miokarditis akut atau perikarditis akut
- Diseksi aorta akut
- Relatif
- Stenosis arteri koroner left main
- Stenosis katup jantung
- Abnormalitas elektrolit
- Hipertensi arterial yang berat
- Takiaritmia atau bradiaritmia
- Kardiomiopati hipertrofi dan gangguan curah jantung lain
- Gangguan mental atau fisik yang menyulitkan uji latih secara adekuat
- AV block derajat 2

62 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji latih seharusnya disupervisi oleh dokter yang terlatih seperti yang dianjurkan oleh ACC/AHA.
Uji latih pada pasien dapat dilakukan oleh perawat dan asisten dokter yang harus disupervisi oleh
dokter terlatih sebagai penanggung jawab yang siap dan mampu mengatasi keadaan emergensi.6

Pada saat menggunakan treadmill dokter perlu mengevaluasi bagaimana pasien berjalan.
Instruksikan pasien untuk mengikuti biomekanik berjalan yang baik dan pasien dianjurkan untuk
memegang handrail untuk menjaga keseimbangan. Namun pasien diperbolehkan tidak memegang
atau hanya memegang 1 handrail jika pasien merasa lebih nyaman. Jika pasien terlihat mengalami
kesulitan berjalan, pertimbangkan untuk menghentikan protokol ini, keputusan ini biasanya
diambil pada 1-2 menit awal memulai tes. Jika hal ini terjadi, protokol perlu diulang dari stage 1.5

Berikan dorongan dan motivasi pada pasien untuk bertahan selama mungkin untuk mencapai
kemampuan maksimumnya. Selama tes berikan kata-kata motivasi dan hindari kata-kata yang
menanyakan apakah mereka lelah atau siap untuk berhenti. Jika pasien merasa lelah dan ingin
berhenti, Anda bisa menanyakan alasan ia ingin berhenti. Sangat penting untuk mengidentifikasi
denyut jantung, tekanan darah, tanda dan gejala pada ambang atas iskemik dan beban kerja,
informasi ini berguna untuk membina pasien pada uji latih jantung. Titik di mana tekanan darah
sistolik menurun serta peningkatan frekuensi dan kompleksitas aritmia ventrikular juga perlu
diperhatikan dan dicatat.5,6

Terminasi uji latih


Walaupun pada umumnya uji latih dihentikan saat pasien mencapai persentase tertentu dari
prediksi denyut jantung maksimal, namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai
tanda terminasi uji latih antara lain1,4-7

- Indikasi absolut
- Penurunan tekanan darah sistolik >10 mmHg dari baseline
- Kelelahan tanpa adanya peningkatan beban latihan dan disertai tanda iskemia lain
- Angina sedang hingga berat
- Meningkatnya gejala sistem saraf (contoh: ataksia, pusing atau hampir pingsan/syncope)
- Tanda perfusi yang buruk (sianosis dan pucat)
- Kesulitan secara teknis pada EKG
- Pasien ingin berhenti
- Ventrikel takikardia yang menetap
- ST elevasi (>1 mm) tanpa gelombang Q (selain pada V1 dan aVR)
- Atrial fibrilasi onset baru
- Takikardia supraventrikular
- AV blok derajat 3
- ST elevasi > 1mm pada gelombang Q (selain pada V1 atau aVR)
- Perubahan ST atau QRS seperti ST depresi (> 2mm horisontal atau downsloping segmen ST
depresi) atau pergeseran aksis pada pasien yang memiliki EKG abnormal saat resting atau
dalam pengobatan digoksin
- Tekanan darah sistolik > 250mmHg atau diastolik > 115mmHg

Rehabilitasi Kardiovaskuler 63
- Indikasi Relatif
- Penurunan tekanan darah sistolik >10 mmHg dari tekanan darah baseline/dasar dengan
adanya peningkatan beban latihan, dan tidak adanya bukti iskemia lain.
- Aritmia selain aritmia ventrikel takikardia yang menetap, termasuk premature ventriclar
contractions (PVC) multifocal, PVC triplets, bradiaritmia
- Kelelahan, sesak, wheezing, leg cramps, klaudikasio
- Bundle branch block baru atau intraventricular conduction delay (IVCD) yang tidak dapat
dibedakan dengan ventirkel takikardia
- Meningkatnya nyeri dada
- Perburukan ventrikular ectopik terutama jika melebihi 30% kompleks
- Klaudikasio

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi denyut jantung maksimal sehingga sebagian
pasien dapat melewati batas denyut jantung maksimal dan sebagian pasien yang hanya mampu
mencapai submaksimal.6

Pada pasien dengan pengobatan beta blocker dan pasien dengan gangguan irama (takikardia,
bradikardia) dapat mengganggu penilaian denyut jantung selama uji latih.6

Penggunaan skala perceived exertion seperti skala Borg sangat membantu menilai tingkat kelelahan
pasien. Uji latih maksimal (symptom limited) dengan skala Borg sebagai pendukung sangat penting
dalam menilai kapasitas fungsional, namun skala Borg kurang bermanfaat pada populasi anak.6

Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui fungsi jantung dan pembuluh darah koroner:2

- EKG saat istirahat dapat mengidentifikasi abnormalitas termasuk hipertrofi ventrikel kiri,
riwayat infark miokard, abnormalitas konduksi dan aritmia.
- Rontgen dada dapat mengidentifikasi kardiomegali, edema pulmonal, efusi pleura. Efusi yang
terjadi unilateral umum ditemukan setelah tindakan operasi jantung yang minimal. Rontgen
dada juga dapat mengetahui temuan pasca operatif lain seperti atelektasis, konsolidasi dan
pneumotoraks.
- Ekokardiogram dapat mengevaluasi miokardium dan katup jantung, termasuk fraksi ejeksi,
abnormalitas dinding jantung, stenosis dan regurgitasi katup serta efusi perikardial.
- Pemantauan Holter selama 24 jam pada pasien rawat jalan dapat mengidentifikasi aritmia
intermiten dan membantu dalam memantau hasil pengobatan antiaritmia.
- Angiografi koroner digunakan untuk menentukan derajat PJK dan membantu dalam guiding
intervensi. Kateter dapat mengidentifikasi penyempitan lumen. Kateter yang menggunakan
ultrasound dengan tranduser intravaskular dapat mengidentifikasi plak lipid subendotelial yang
dapat menyebabkan penyumbatan pada lumen, namun pada risiko tinggi dapat menimbulkan
ruptur dan infark miokard. Angiografi juga dapat menilai ventrikel kiri dan fungsi katup.

Interpretasi dari uji latih


Interpretasi uji latih harus meliputi kapasitas latihan, respon klinis, respon hemodinamik dan
respon EKG. Kejadian nyeri dada berhubungan erat dengan episode angina yang mengharuskan

64 Rehabilitasi Kardiovaskuler
untuk terminasi secepatnya. Abnormalitas pada kapasitas erobik, respon tekanan darah sistolik
dan denyut jantung selama uji latih merupakan temuan yang sangat penting. Temuan yang sangat
bermakna pada EKG adalah perubahan ST depresi dan elevasi.2,7

Hasil uji latih maksimal treadmill dapat memperlihatkan keadaan:2,6,7

- EKG:
- ST depresi maksimum
- ST elevasi maksimum
- Slope ST depresi (downsloping, horizontal, upsloping)
- Jumlah sadapan/lead yang menunjukkan perubahan ST
- Durasi yang dibutuhkan dari deviasi ST mencapai normal (recovery)
- Aritmia ventrikular yang diinduksi latihan
- Waktu yang diperlukan hingga onset deviasi ST
- Hemodinamik:
- Denyut jantung latihan maksimum
- Tekanan darah sistolik maksimum
- Maximum exercise double product (HRxBP)
- Total durasi latihan
- Hipotensi yang dicetuskan kelelahan (turun di bawah tekanan darah istirahat)
- Inkompetensi dari kronotropik
- Simptomatik:
- Angina yang dicetuskan uji latih
- Gejala yang menghambat uji latih
- Waktu yang dibutuhkan hingga onset angina muncul

Dalam menilai kapasitas uji latih dan fungsi ventrikel kiri terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
seperti usia, kondisi fisik secara umum, penyakit komorbid dan status psikologis terutama depresi.
Beberapa parameter lain dapat dilihat dari EKG, hemodinamik dan simptomatik yang disebutkan
di atas, selain itu parameter uji latih juga meliputi tingkat METs maksimal.2,6,7

Kapasitas uji latih sangat menentukan dalam menginterpretasi hasil sedangkan variabel lain
kurang bermakna. Durasi uji latih dan beban kerja dapat diterjemahkan menjadi METs (ambilan
oksigen yang merupakan kelipatan dari ambilan oksigen basal 3,5 ml/kg/menit) yang memiliki
banyak keuntungan dalam menilai performa untuk semua jenis uji latih dan protokol.6,7

Hasil positif pada uji latih


Hasil uji latih yang positif dapat dilihat menggunakan EKG, terjadi penurunan setidaknya 1 mm
pada segmen ST atau elevasi setidaknya 2 mm dan 60-80 milidetik setelah kompleks QRS. Nyeri
dada berhubungan erat dengan kejadian angina dan merupakan tanda untuk menghentikan uji
latih. Abnormalitas pada kapasitas uji latih, respon tekanan darah sistolik dan respon denyut
jantung juga merupakan hasil yang penting.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 65
Kejadian nyeri dada iskemik sangat penting, karena hal tersebut dapat menjadi alasan untuk
terminasi uji latih.

Penyebab depresi segmen ST pada uji latih antara lain:15

- Hipertensi berat
- Stenosis aorta berat
- Kardiomiopati
- Anemia
- Hipokalemia
- Hipoksemia berat
- Digitalis
- Latihan yang berat dan cepat secara berlebihan
- Kelebihan glukosa
- Hipertofi ventirkel kiri
- Hiperventilasi
- Prolaps katup mitral
- Intraventikular conduction delay
- Sindrom preeksitasi (wolff-parkinson-white (WPW) syndrome)
- Volume overload berat (aorta dan mitral regurgitasi)
- Supraventrikular takiartimia

Stratifikasi risiko dengan uji latih


Stratifikasi risiko atau prognosis merupakan salah satu hal yang utama dalam praktik klinis karena
pada kenyataannya pemilihan penatalaksanaan pasien didasari pada hasil pemeriksaan dokter
dan prognosis pasien. Pada pertemuan pertama, dokter perlu mengumpulkan data tentang pasien
yang didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dengan data ini
dokter dapat menentukan diagnosa utama dan menilai risiko serta menyusun penatalaksanaan
untuk pasien.6

Prognosis umumnya mencakup kemungkinan hidup, bebas dari penyakit seperti infark, gejala,
kapasitas fungisonal dan kualitas hidup pasien. Uji latih sudah banyak dibuktikan dalam banyak
penelitian terutama hubungannya dengan angka kemungkinan hidup dan bebas dari infark
miokard.6

Faktor yang mempengaruhi prognosis pasien penyakit jantung koroner:6

Mempengaruhi status risiko

- Fungsi dan kerusakan ventrikel kiri


- Riwayat infark miokard sebelumnya
- Q patologis pada hasil EKG saat istirahat
- Gejala jantung kongestif
- Kardiomegali pada X ray

66 Rehabilitasi Kardiovaskuler
- Fraksi ejeksi
- Volume akhir sistolik
- Abnormalitas gerakan ventrikel kiri
- Gangguan konduksi pada EKG
- Regurgitasi mitral
- Durasi dan toleransi latihan
- Derajat penyakit jantung koroner
- Derajat keparahan dan luas penyakit jantung koroner
- Adanya pembuluh darah kolateral
- Transien iskemia
- Deviasi segmen ST yang dipicu latihan dan stres
- Kejadian plak koroner
- Gejala angina tidak stabil atau progresif
- Transien iskemia pada EKG
- Stabilitas fungsi elektrik
- Aritmia ventrikular
- Kesehatan secara umum
- Usia
- Penyakit komorbid non jantung
Mengubah risiko

- Faktor predisposisi yang mempengaruhi perkembangan penyakit


- Merokok
- Hiperlipidemia
- Diabetes meitus
- Hipertensi
- Faktor metabolik dan genetik lain

Supervisi dan keamanan5


Berdasarkan AHA, uji latih sebaiknya dilaksanakan oleh personel/dokter terlatih yang mengerti
fisiologi latihan. Sangat penting mengerti respon normal dan abnormal selama tes untuk
menghindari kejadian yang tidak diharapkan. Ahli fisiologi latihan, perawat, asisten dokter atau
dokter dapat dilatih untuk menjalankan uji latih. Dan mereka perlu dilatih mengenai resusitasi
kardiopulmoner.

Jika dilakukan oleh tenaga terlatih, uji latih tergolong prosedur yang aman. Infark miokard atau
kematian jantung terjadi 5 dari 100.000 uji latih pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, dan
sekitar 10 dari 100.000 infark miokard/kematian jantung pada uji latih pasien dengan penyakit
jantung koroner. Dokter yang terlatih perlu memastikan tim/personel kompeten dan dapat menilai
interpretasi uji latih. Rekomendasi dari AHA dan ACC bahwa dokter baru setidaknya berpartisipasi
dalam 50 kali uji latih sebelum dinyatakan kompeten.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 67
Uji latih ulang5
Pada beberapa kasus untuk evaluasi oleh dokter, perlu dilakukan uji latih seperti munculnya
gejala baru atau perburukan gejala selama latihan. Pada pasien dalam pengobatan beta blocker
yang sudah dikurangi atau dihentikan, uji latih perlu diulang untuk menilai kembali respon denyut
jantung dan ada tidaknya iskemia. Pada pasien yang dosis beta blocker ditingkatkan, pengulangan
uji latih tidak terlalu penting karena iskemia baru bukan merupakan perhatian, namun mereka
tidak dapat mencapai target denyut jantung sehingga dapat digunakan skala perceived exertion
untuk menilai intensitas latihan.5

Pasien yang belum mendapat uji latih sebelumnya biasanya akan mendapat intensitas latihan
yang tidak sesuai kemampuannya, dapat terlalu rendah atau terlalu tinggi. Uji latih pada pasien
seperti ini sangat penting untuk menentukan apakah mereka dapat kembali ke pekerjaan normal.
Namun sebelum melakukan uji latih ulang, pasien harus tetap meminum obat serta mengerti skala
perceived exertion.5

Macam-macam protokol uji latih


1. Uji latih dengan Treadmill
- Protokol Bruce
- Protokol Modified Bruce
- Protokol Naughton
2. Uji latih dengan Ergocycle
- Arm ergocycle
- Leg ergocycle
3. Uji jalan 6 menit

Baik treadmill dan cycle ergometer merupakan alat yang dapat digunakan untuk uji latih. Walaupun
cycle ergometer lebih murah, kecil dan lebih melibatkan sedikit anggota gerak atas, tetapi kelelahan
pada quadriceps sering menjadi hambatan untuk pasien yang tidak berpengalaman dalam
bersepeda, karena pasien sering berhenti sebelum mencapai maximum oxygen uptake. Selain itu
treadmill merupakan cara yang lebih umum digunakan untuk uji latih.2

Protokol uji latih treadmill


Uji latih dengan treadmill melibatkan beban fisiologik yang lebih tinggi sehingga diindikasikan
protokol treadmill lebih banyak digunakan dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit jantung
koroner.4

Metoda uji latih yang sering digunakan adalah protokol Bruce, keterbatasan pada protokol ini
meliputi tingginya peningkatan VO2 setiap tahapan dan membutuhkan lebih banyak energi untuk
berlari dibandingkan berjalan pada tahap 3 ke atas, sehingga dibuat alternatif protokol lain seperti
modified Bruce yang memiliki 2 fase pemanasan. Protokol seperti Naughton, Weber and Janicki,
Balke-ware dan Cornell dikembangkan untuk pasien dengan gagal jantung kronik atau pasien yang
mengalami dekondisi atau penyebab lain yang dapat membatasi toleransi latihan.4

68 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Kapasitas latihan erobik dilaporkan dalam bentuk satuan metabolic equivalents (METs) yang
menggambarkan konsumsi oksigen per menit (VO2). Pada laki-laki usia 40 tahun dengan berat 70
kg diidentikan dengan energi 1 METs yang setara dengan 3,5 mL/kg/menit.7,15

Pada protokol Bruce, tahap awal (stage 1) dimulai dengan kecepatan 1,7 mph pada kemiringan
10%. Tahap 2 dengan kecepatan 2,5 mph pada kemiringan 12%. Tahap 3 pada kecepatan 3,4 mph
dengan 14% kemiringan dan seterusnya. Protokol ini menggunakan penambahan 3 menit acuan
dalam meningkatkan beban uji latih.7,15

Pada protokol modified Bruce terdapat 2 fase pemanasan yang berlangsung 3 menit, fase awal
dimulai dengan kecepatan 1,7 mph dan kemiringan 0%, dan tahap 2 mempunyai kecepatan 1,7
mph dan kemiringan 5%, tahap 3 dengan kecepatan 1,7 mph kemiringan 10%. Protokol ini sering
digunakan pada pasien yang kapasitas latihannya terbatas akibat penyakit jantung.7,15

Protokol Bruce memiliki peningkatan yang paling besar pada setiap tahapnya dibandingkan
protokol lainnya, seperti Naughton dan Weber yang mulai di bawah 2 METs dengan kecepatan 2
mph dan meningkat 1 - 1,5 METs pada setiap tahapnya.7,15

Protokol uji latih juga bisa menggunakan cycle ergometer dan arm ergometer, yang lebih jarang
digunakan dibandingkan treadmill. Cycle ergometer memiliki keuntungan karena ukurannya yang
lebih kecil, lebih tidak berisik dan menghasilkan gambar prekordial yang lebih baik pada monitor,
serta lebih aman karena risiko jatuh lebih kecil.7,15

Protokol Bruce
Uji latih menggunakan protokol Bruce didesain pada tahun 1963 oleh Robert A Bruce, MD, sebagai
tes noninvasif untuk menilai pasien yang diduga memiliki penyakit jantung, Pada praktiknya uji
latih menggunakan protokol Bruce sering disebut exercise tolerance test. Protokol Bruce juga
merupakan protokol yang umum digunakan untuk mengukur VO2 max pada atlit. Maximal
oksigen uptake (VO2 max) merupakan salah satu faktor yang menentukan kapasitas latihan atlit
dan berhubungan dengan ketahanan erobik (aerobic endurance), merujuk pada jumlah oksigen
maksimum pada seseorang yang dapat digunakan dalam latihan maksimal yang dituliskan dengan
satuan ml/kgBB/menit. Uji latih menggunakan protokol Bruce merupakan tes yang secara langsung
menentukan VO2 max.15

Protokol Bruce merupakan tes standar pada bagian kardiologi dan tersusun atas banyak tahapan
setiap 3 menit. Pada setiap tahapnya perubahan permukaan dan kecepatan akan dilakukan untuk
menambah beban uji latih. Uji latih dapat mendeteksi angina pektoris (chest pain) pada penyakit
jantung.15 Protokol Bruce dikembangkan untuk mengevaluasi pasien yang diduga memiliki penyakit
jantung koroner dan juga dapat mengukur tingkat kebugaran kardiovaskular. Karena uji latih ini
merupakan uji latih maksimal maka pada pasien dengan masalah jantung, uji latih ini sebaiknya
dilakukan sesuai persetujuan dokter dan di bawah supervisi oleh dokter yang terlatih dengan
perlengkapan yang lengkap.15

- Tujuan: mengevaluasi fungsi dan kebugaran jantung


- Perlengkapan: treadmill, stopwatch, 12-lead electrocardiograph (EKG), Gel

Rehabilitasi Kardiovaskuler 69
Gambar 3.2 Uji Latih Treadmill

- Populasi target: pasien yang diduga memiliki penyakit jantung koroner.


- Keuntungan: dapat menilai kapastias erobik dan denyut jantung maksimum dengan mencatat
denyut jantung selama uji latih, yang sangat membantu dalam menentukan intensitas program
latihan.
- Kerugian: membutuhkan waktu yang lama, tempat yang memadai dan harga yang cukup tinggi,
serta memerlukan dokter yang terlatih untuk menginterpretasinya.12

Protokol Bruce merupakan uji latih maksimal yang dilakukan hingga pasien mengalami
kelelahan dengan meningkatkan kecepatan dan kemiringan setiap 3 menit secara kontinyu dan
otomatis. Waktu selama menjalani tes dapat digunakan untuk memperkirakan VO2 max dan
denyut jantung maksimal (HR max), tekanan darah dan rate of percieved exertion (Skala Borg) juga
dapat diperoleh.15

Prosedur: Uji latih dilakukan diatas treadmill dengan 12 lead EKG diletakan di dinding dada. Treadmill
dimulai pada kecepatan 1,7 mph dengan kemiringan 10%. Dalam selang waktu 3 menit kemiringan
ditingkatkan 2% dan kecepatan ditingkatkan seperti tabel dibawah ini. Uji latih dihentikan jika
pasien tidak dapat melanjutkan karena nyeri dada, kelelahan atau berbagai keluhan lainnya.15

70 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Tabel 3.4 Manual Penilaian Kebugaran Fisik menurut ACSM

(ACSM’s Health-Related Physical Fitness Assessment Manual)

Tabel 3.5 Tingkat kebugaran dalam ml/kg/menit yang diharapkan pada kelompok perempuan dan
laki-laki

Rehabilitasi Kardiovaskuler 71
Tabel 3.6 Protokol Bruce untuk laki-laki dan wanita normal

Obat-obatan beta-blocker, calcium channel blocker atau digitalis dapat menghambat respon denyut
jantung sehingga sebaiknya obat tersebut dihentikan selama 48 jam sebelum melakukan uji
latih untuk melihat respon denyut jantung yang adekuat. Namun penghentian obat sebaiknya
dikonsultasikan dulu dengan dokter yang merawat.15

Protokol Modified Bruce


Berdasarkan protokol yang mirip Bruce, pasien berjalan mendaki di atas treadmill dengan monitor
EKG. Setiap 3 menit, kecepatan dan kemiringan akan ditingkatkan.6

Modified Bruce protocol merupakan perubahan dari protokol Bruce sehingga pada tahap awal
sudut kemiringan treadmill lebih mendatar dan hanya diubah tingkat kemiringan, tidak disertai
perubahan kecepatan. Uji latih protokol Modified Bruce menyerupai protokol Bruce, tetapi dimulai
dengan beban yang lebih ringan. Sama seperti pada protokol Bruce, uji latih menggunakan protokol

72 Rehabilitasi Kardiovaskuler
modified Bruce merupakan uji latih multi stage tetapi 2 tahap awal berbeda dengan protokol Bruce.
Bruce mulai dengan beban yang lebih rendah dan biasanya dilakukan pada pasien
Protokol  Modified 

usia tua dan pasien yang kurang aktif. Modifed Bruce juga dapat digunakan pada pasien dengan
cidera kaki, punggung atau pasien dengan toleransi latihan yang rendah. Pasien mulai berjalan
di treadmill dengan beban latihan yang lebih rendah dari protokol Bruce. Protokol Modified Bruce
memiliki 7 tahap yang setiap tahapannya berlangsung 3 menit. Pada dua tahap awal Modified
Bruce dimulai dengan kecepatan 1,7 mph dengan kemiringan 0%, tahap 2 memiliki kecepatan
yang sama dengan peningkatan kemiringan 5% dan stage selanjutnya sama seperti protokol Bruce
dengan kecepatan 1,7 mph dan kemiringan 10%.15,16 Tahap 3 pada Modified Bruce setara dengan
tahap 1 protokol Bruce standar. Selanjutnya tahapan berlangsung seperti protokol Bruce. Pada 2
tahap awal Modified Bruce disebut sebagai stage 0 dan stage ½ karena kemiringannya 0% dan 5%
dari tahap awal.16

Tabel 3.7 Protokol Modified Bruce

Protokol Modified Bruce untuk uji latih umumnya dilakukan jika pasien dalam kondisi performa
pasien yang kurang baik atau pada pasien yang dicurigai infark miokard atau sebelum pasien
infark miokard pulang dari rumah sakit. Uji latih sebelum pasien pulang sering dilakukan sampai
timbulnya gejala seperti pada kondisi lain.16

Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan Trabulo dan kawan kawan tahun 1994, dalam
menilai stres fisiologis yang dicetuskan modified Bruce dibandingkan dengan protokol Bruce
dengan cara menilai perbandingan denyut jantung, tekanan darah dan progresi double product.
Disebutkan bahwa pada modified Bruce inklinasi awal lebih ringan, namun mengurangi kapasitas
maksimal dibanding dengan protokol Bruce akibat timbul rasa fatigue setelah stage pertama.
Inklinasi awal protokol Bruce lebih tinggi namun dapat mencapai intensitas yang lebih tinggi dan
sesuai digunakan untuk individu dengan kapasitas fisik yang baik. Sedangkan modified Bruce
cocok digunakan pada individu dengan kapasitas fisik tidak terlalu baik.17

Rehabilitasi Kardiovaskuler 73
Protokol Naughton
Penelitian Handler dan Sowton pada tahun 1984 yang membandingkan protokol Naughton
dan modified bruce dalam mendeteksi iskemia 6 minggu pasca infark miokard pada 20 subjek,
menunjukkan hasil yang sama pada setiap protokol. Perbedaannya terletak hanya pada durasi,
pada protokol Naughton menunjukkan durasi uji latih yang lebih panjang. Tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua protokol untuk rata-rata denyut jantung maksimal, rate
pressure product dan beban latihan yang dicapai. Handler dan Sowton menyimpulkan kedua
protokol terbukti efektif dalam mendeteksi kelainan iskemik 6 minggu pasca infark miokard dan
mempunyai kemampuan yang relatif sama.18

Protokol Naughton merupakan uji latih submaksimal yang didesain untuk memastikan denyut
jantung dibawah denyut jantung maksimal. Terdapat beberapa tahap setiap tahapnya akan memiliki
intensitas yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Denyut jantung akan meningkat secara
bertahap selama tes dan akan berakhir saat mencapai 80-90% dari denyut jantung maksimal.

- Fungsi
Protokol Naughton merupakan salah satu Uji latih menggunakan treadmill yang bertujuan
untuk mengidentifikasi atau mengkonfirmasi penyakit jantung pada pasien. Uji latih dengan
protokol ini dapat melihat perubahan abnormal irama jantung dan kondisi jantung lain seperti
iskemia.18
- Intensitas
Protokol Naughton memiliki intensitas yang lebih ringan dibanding prosedur lain, seperti
protokol Bruce. Naughton memiliki lebih banyak tahapan peningkatan intensitas dan
menggunakan kecepatan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, protokol Naughton umumnya
digunakan pada pasien yang memiliki risiko koroner yang tinggi dan khususnya pada pasien
gagal jantung (congestive heart failure).18
- Prosedur
Protokol Naughton dimulai dengan pemansasan selama 2 menit. Kecepatan diatur mencapai 1
mph dengan kemiringan 0%, setelah pemanasan, kecepatan ditingkatkan menjadi 2 mph dan
tidak ditingkatkan lagi selama tes berlangsung. Uji latih terdiri dari 6 tahap, dengan interval
setiap 2 menit. Tahap pertama dimulai dengan 0% dan meningkat sebesar 3,5 % setiap 2
menit.18
Menurut pandangan ahli, protokol yang paling banyak dikenal adalah protokol modified
Bruce dimana kecepatan dan kemiringan ditingkatkan setiap 3 menit. Berdasarkan studi yang
diterbitkan oleh European Heart Journal, protokol Naughton dan protokol modified Bruce
memiliki efektivitas yang sama.18
Uji latih ini menggunakan treadmill yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau mengkonfirmasi
penyakit jantung pada pasien, dapat melihat perubahan abnormal irama jantung dan kondisi
jantung lain seperti iskemia. Protokol Naughton memiliki intensitas yang lebih ringan dibanding
prosedur lain, seperti protokol Bruce. Naughton memiliki lebih banyak tahapan peningkatan
intensitas dan menggunakan kecepatan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, protokol Naughton
umumnya digunakan pada pasien yang memiliki risiko koroner yang tinggi dan khususnya pada
pasien gagal jantung (congestive heart failure). Protokol Naughton dimulai dengan pemanasan
selama 2 menit. Kecepatan diatur mencapai 1 mph dengan kemiringan 0%, setelah pemanasan,
kecepatan ditingkatkan menjadi 2 mph dan tidak ditingkatkan lagi selama tes berlangsung. Uji

74 Rehabilitasi Kardiovaskuler
latih terdiri dari 6 tahap, dengan interval setiap 2 menit. Tahap pertama dimulai dengan 0%
dan meningkat sebesar 3,5 % setiap 2 menit.18
Menurut pandangan ahli, protokol yang paling banyak dikenal adalah protokol modified
Bruce dimana kecepatan dan kemiringan ditingkatkan setiap 3 menit. Berdasarkan studi yang
diterbitkan oleh European Heart Journal, protokol Naughton dan protokol modified Bruce
memiliki efektivitas yang sama.18

Tabel 3.8 Protokol Naughton

Protokol uji latih ergocycle

Cycle Ergometer
Sepeda statis dengan beban elektrik memiliki resistensi dan kecepatan yang bervariasi
serta memungkinkan untuk mengontrol keluaran energi, karena beberapa pasien lelah untuk
memperlambat kecepatannya. Nilai tertinggi denyut jantung dan VO2 didapat pada kecepatan 50-
80 rpm. Satuan yang digunakan dapat berupa kilopond (kp) atau Watts (W); 1 W setara dengan 6
kpm/min. Karena uji latih pada cycle ergometer merupakan latihan non weight bearing, Kp atau W
dapat dikonversi menjadi oxygen uptake ml/menit. METs didapat dari pembagian VO2 (ml/menit)
dengan produk berat badan (kg x 3,5).18

Umumnya gerakan ekstremitas atas dibatasi untuk memudahkan pengukuran tekanan


darah dan EKG. Perhatian khusus perlu diberikan untuk mencegah uji latih isometrik pada tangan
saat memegang handle.18 Uji latih cycle ergometry dapat dilakukan dalam posisi tegak atau supine
(terlentang). Posisi terlentang merupakan posisi yang paling mudah untuk memantau EKG dan
juga meningkatkan sensitivitas nuclear imaging. Beban latihan yang digunakan pada ergocycle
di kalibrasi dalam satuan Watts atau kilopond meter per menit. Kebanyakan protokol dimulai
dengan beban latihan 25 Watt dan peningkatan 25 Watt setiap 2 menit. Keuntungan dari cycle
ergometry antara lain gerakan dinding thoraks yang stabil, mengurangi artifak pada pemantauan
EKG, pengukuran tekanan darah lebih mudah, berat badan pasien tidak banyak mempengaruhi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 75
kapasitas latihan dan tidak menegangkan dibanding uji latih menggunakan treadmill.2,11

Cycle ergometer juga lebih kecil, lebih tidak berisik dan lebih murah dibanding treadmill. Pada cycle
ergometer pasien jarang dapat mencapai VO2 max atau target denyut jantung maksimal jika dibandingkan
dengan treadmill, karena kelelahan dini otot-otot kuadrisep yang menjadi faktor yang menghambat uji
latih. Cycle ergometry juga memiliki VO2 max dan ambang batas anerboik yang lebih rendah dibanding
treadmill. Cycle ergometry merupakan alternatif dari uji latih treadmill pada pasien yang memiliki
keterbatasan ortopedik, pembuluh darah perifer dan neurologis yang menyulitkan untuk
pembebanan berat badan (weight bearing).2,11

Terdapat 2 tipe sepeda yang dapat digunakan untuk uji latih yaitu sepeda beban mekanik dan
elektronik. Beban mekanik membutuhkan kecepatan mengayuh (cycling rate) tertentu yang harus
dipertahankan agar beban kerja konstan. Beban elektronik lebih mahal dan kurang portable, tetapi
dapat secara otomatis memberikan resistensi untuk menyesuaikan beban kerja berdasarkan
kecepatan. Cycle ergometer harus memiliki pegangan dan sadel yang dapat diatur ketinggiannya.
Tinggi sadel yang ideal dapat dilihat dari fleksi sendi lutut pada ekstensi maksimal. Untuk alasan
keamanan pedal pada cycle ergometer harus sesuai dengan pasien.2,11

Respon fisiologi pada uji latih cycle ergometer berbeda dengan respon fisiologis pada uji latih
treadmill. Maskimum oksigen uptake 5% hingga 20% lebih rendah dari treadmill.2,11

Cycle ergometer merupakan uji latih yang lebih murah, lebih kecil dan tidak berisik. Namun
kekurangan yang mendasar pada cycle ergometer adalah ketidaknyamanan pada otot kuadrisep,
terutama yang tidak terbiasa bersepeda. Pada orang yang tidak terbiasa bersepeda VO2 max dapat
10-15% lebih rendah.18

Protokol untuk uji latih meliputi pemanasan (beban rendah), latihan bertingkat secara kontinyu
dan periode pemulihan. Pada cycle ergometer pengeluaran energi pertama umumnya 10-25 W (150 kpm)
dan disertai dengan peningkatan sebesar 25W setiap 2-3 menit hingga pasien kelelahan atau terdapat
indikasi penghentian uji latih.18

Arm Ergometer
Uji latih arm ergometer digunakan sebagai pengganti cycle ergometer, protokol serupa dapat
digunakan tetapi pengeluaran tenaga awal dan peningkatan lebih rendah. Peningkatan beban
setiap 2 menit merupakan yang paling populer pada arm ergometer.18

Dalam mengevaluasi kemampuan fungsional, pasien perlu diberikan stimulasi berupa latihan. Uji
latih arm ergometer dilakukan jika treadmill atau bicycle ergometer tidak memungkinkan karena
cidera tulang belakang, amputasi, penyakit pembuluh darah perifer, artritis dan riwayat operasi
ortopedi. Prosedur arm ergometer menghasilkan respon denyut jantung dan tekanan darah sistolik
yang lebih tinggi dibandingkan beban serupa menggunakan tungkai. Denyut jantung maksimal
dapat dicapai walaupun hanya 70% dari yang dapat dicapai menggunakan tungkai. Peningkatan
double product relevan dengan pasien yang memiliki iskemia. Uji latih menggunakan arm ergometer
merupakan hal yang utama pada protokol rehabilitasi jantung serta digunakan setelah uji latih
rehabilitasi jantung. Kedua tes ini dapat melihat evaluasi dan perubahan fisiologi secara akurat.2

76 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 3.3 Standing arm ergometer stress testing dan Seated arm ergometer stress testing
with oxygen consumption

Arm ergometer juga dikenal sebagai arm cycle atau arm crank merupakan alternatif uji latih
menggunakan treadmill atau cycle ergometer. Pada uji latih arm ergometer pasien boleh duduk atau
berdiri saat menjalankan tes. Sama seperti uji latih pada treadmill, protokol uji latih dengan arm
ergometer juga menggunakan protokol bertahap, beban uji latih ditingkatkan setiap 2 menit hingga
pasien kelelahan. Protokol yang digunakan harus disesuaikan dengan usia dan tingkat aktivitas.11,19

Konsumsi oksigen maksimal pada arm ergometer mencapai 65% dari konsumsi oksigen maksimum
pada treadmill dan 70% dari komsumsi oksigen maksimun pada leg cycle, hal ini disebabkan karena
massa otot yang lebih kecil. Namun denyut jantung maksimal mencapai 90-95% dari perkiraan
denyut jantung dengan tekanan darah sistolik maksimum mencapai 80-85% dari yang biasanya
dicapai menggunakan treadmill, sehingga double product yang dihasilkan cukup tinggi untuk
menghasilkan perubahan iskemik.11,19

Penggunaan arm ergometer umumnya dilakukan pada pasien dengan paraplegia atau disabilitas
ektremitas bawah yang berat. Keuntungan dari arm ergometer dibanding uji latih farmakologis
antara lain dapat dilakukan pengukuran respon denyut jantung dan tekanan darah pada pasien dan
kapasitas latihan dan gejala dapat dilihat. Arm ergometer juga dapat digunakan pada pasien yang
mengeluhkan timbulnya gejala pada kegiatan yang melibatkan banyak gerakan lengan. Kapasitas
kerja lengan yang diukur selama tes arm ergometer, menunjukkan korelasi yang kuat dibanding
kapasitas erobik atau VO2 max dari treadmill pada pasien yang terbiasa mengangkat benda secara
repetitif dan membawa beban. 11,19

Uji latih arm ergometer memiliki preload yang lebih rendah dibanding latihan tungkai, karena
ektremitas bawah dapat berperan sebagai reservoir darah yang pasif, tetapi afterload meningkat

Rehabilitasi Kardiovaskuler 77
karena kontraksi otot ektremitas atas. Aspek hemodinamik ini menjelaskan timbulnya angina pada
uji latih lengan lebih tinggi dibanding berjalan pada beban kerja yang lebih ringan. Uji latih arm
ergometer dapat dilakukan dengan atau tanpa pengukuran konsumsi oksigen secara simultan.11,19

Uji latih dengan arm ergometer merupakan alternatif uji diagnostik pada pasien dengan kecacatan
pada ektremitas bawah yang disebabkan oleh masalah vaskular, ortopedik atau kondisi neurologis.
Arm ergometry berguna untuk mengeveluasi kemampuan kerja pasien, terutama pada pekerjaan
yang banyak melibatkan anggota gerak atas. Uji latih dinamis lengan melibatkan kelompok otot
yang lebih kecil dibanding dengan leg ergometry, namun uji latih lengan juga membutuhkan otot
dada, punggung, bokong dan tungkai untuk stabilisasi tergantung dari posisi yang digunakan.11,19

Rekomendasi protokol untuk uji latih arm ergometer sebaiknya dilakukan dalam posisi tegak dengan
tuas setinggi bahu. Lengan sebaiknya sedikit fleksi pada bagian siku saat ekstensi maksimal.
Kecepatan 60-75 repetisi permenit harus dipertahankan. Beban 10W setiap 2 menit merupakan
beban kerja yang paling direkomendasikan. Target akhir uji latih serupa dengan uji latih lainnya.
Kebutuhan VO2 selama arm cycle ergometer ditentukan dengan rumus yang melibatkan beban
kerja, jenis kelamin dan berat badan.11,19

Ambilan oksigen dengan beban kerja 50 Watt/Submaksimal pada lengan lebih tinggi daripada
latihan tungkai. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah pada uji latih arm ergometer lebih
cepat dibanding pada tungkai. Begitu pula dengan respon dinamik lain seperti stroke volume dan
tekanan darah diastolik.11,19

Uji jalan 6 menit (6-minute walking test)


Pada pertengahan tahun 1960, Balke membuat sebuah uji sederhana untuk menilai kapasitas
fungsional dengan melihat jarak tempuh dalam sejumlah waktu tertentu. Uji jalan 12 menit
kemudian dikembangkan untuk menilai tingkat kebugaran pada individu yang sehat. Uji jalan ini
kemudian diadaptasi untuk menilai disabilitas pada pasien dengan gangguan respirasi. Namun
berjalan selama 12 menit terlalu melelahkan maka dibuatlah uji jalan 6 menit.1,7

Guyatt 1985 adalah yang pertama kali mencoba untuk melakukan uji jalan 6 menit sebagai
pemeriksaan kapasitas latihan yang objektif pada pasien gagal jantung kronik. Saat itu didapatkan
bahwa dengan diberikan motivasi pasien gagal jantung dapat memiliki hasil uji jalan yang lebih
tinggi. Dalam beberapa penelitian uji jalan ini dapat menilai aktivitas fungsional lebih baik dari
uji kapasitas erobik, namun uji latih ini memiliki korelasi yang rendah dengan kapasitas latihan
maksimal pada pasien dengan gagal jantung kronik. Selanjutnya Lipkin (1986) melakukan penelitian
sejenis dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Kedua penelitian ini menggunakan parameter
jarak uji jalan yang dihubungkan dengan uji kapasitas maksimal (treadmill, ergocycle), namun tetap
didapatkan korelasi yang rendah. Cahalin pada tahun 1996 kembali melakukan uji jalan 6 menit
pada pasien gagal jantung kronik dan dibandingkan dengan uji latih kardiopulmoner symptom-
limited, hasilnya adalah uji jalan 6 menit mampu memprediksi VO2 max.1,7

Berdasarkan guideline yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society pada tahun 2002, maka
pasien diinstruksikan untuk berjalan, berusaha untuk menempuh jarak sejauh mungkin dalam 6
menit. Waktu tempuh dicatat dan pasien diminta utnuk berjalan sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum dan setelah uji ini dilakukan pemeriksaan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan,
tekanan darah, skala Borg untuk kelelahan dan sesak napas.1,7

78 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Uji jalan 6 menit merupakan prediktor VO2 peak yang kurang tepat pada pasien yang memiliki
prediksi VO2 peak yang lebih tinggi karena uji ini bersifat dibatasi waktu dan bukan dibatasi
keluhan, sehingga sulit untuk memprediksi pasien yang lebih bugar. Uji jalan 6 menit ini dapat
menggambarkan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas submaksimal sehari-hari.
Penggunaan uji jalan 6 menit ini sebagai indikator prognosis juga dapat berguna pada evaluasi
serial pasien dan / atau sebagai penilaian respon terhadap suatu intervensi terapi.1,7

Kudtarkar dan kawan-kawan (2010) melakukan penelitian yang menghubungkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri dengan jarak tempuh dalam uji jalan 6 menit pada pasien gagal jantung ventrikel
kiri. Didapatkan korelasi positif yang secara statistik signifikan, saat fraksi ejeksi ventrikel kiri
mengalami penurunan, maka didapatkan jarak tempuh juga menurun. Sehingga jarak tempuh
dalam uji jalan 6 menit dapat meramalkan fraksi ejeksi ventrikel kiri.1,7,16,18,19,20

Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebagai pengamanan (safety issue) sebelum dilakuan uji latih
antara lain: 1,7,16,18,19,20

1. Uji latih sebaiknya dilakukan di lokasi dengan akses untuk pertolongan gawat darurat mudah
dicapai.
2. Persiapan bahan dan alat meliputi oksigen, nitrogliserin sublingual dan albuterol.
3. Pemeriksa sebaiknya sudah menguasai Basic life support atau kursus kardioresusitasi lain, atau
setidaknya terdapat seseorang yang memiliki sertifikat Advanced Cardiac Life Support.
4. Bila pasien yang akan diakukan uji latih sedang mendapat terapi oksigen, maka pada saat uji
latih pemberian oksigen harus sesuai dosis yang biasa diperoleh pasien atau sesuai petunjuk
dokter atau sesuai protokol.

Uji jalan 6 menit harus dihentikan bila ditemukan tanda-tanda: 1,7,16,18,19,20

- nyeri dada
- dispnea yang tidak dapat ditoleransi
- kram tungkai (kelelahan tungkai)
- jalan terhuyung-huyung
- keringat dingin dan pucat

Uji latih submaksimal sering digunakan pada pasien yang baru keluar rumah sakit, sekitar 4-6
hari pasca infark miokard. Tes ini bermanfaat untuk menentukan aktivitas fisik apa yang dapat
dilakukan dan menentukan program rehabilitasi selanjutnya.1,7,16,18,19,20

Penghentian uji latih submaksimal jika:7,18,19

- Ada indikasi penghentian latihan


- Jika denyut melewati denyut jantung maksimal pada uji latih sebelumnya. Jika dilakukan
sebagai uji latih sebelum pasien pulang, maka denyut jantung tidak boleh melebihi 130 kali
per menit

Rehabilitasi Kardiovaskuler 79
- Beban latihan tidak melebihi beban pada uji latih sebelumnya. Jika dilakukan sebagai uji latih
sebelum pasien pulang, maka beban latihan tidak melebihi 7 METs.
- Pencapaian pengeluaran tenaga >15 (Borg 6-20 grade scale)

Protokol uji jalan 6 Menit


Uji jalan 6 menit dapat digunakan sebagai alernatif untuk mengukur kapasitas latihan ketika uji
latih treadmill dan cycle ergomoter tidak tersedia. Uji jalan enam menit tidak terlalu bermanfaat
untuk menentukan iskemia miokard secara objektif, tetapi uji jalan enam menit yang dilakukan
secara serial dapat mengevaluasi perubahan kapasitas latihan yang didapat selama latihan.7

Perlengkapan:

- Meteran
- Timbangan berat badan
- Lap counter
- Stopwatch
- Lembar kerja
- Tensimeter
- Stetoskop
- Pulse Oximetry
- Tabung Oksigen
- Emergensi Kit11

Uji jalan enam menit sebaiknya dilakukan di dalam koridor pada ruangan tertutup, bisa juga
dilakukan diruangan terbuka yang panjang, datar, lurus, dengan permukaan yang keras serta
jarang digunakan oleh orang banyak. Track untuk uji jalan memiliki panjang kira-kira 30 meter dan
diberi tanda setiap 3 meter. Pada kedua ujung sebaiknya diberi tanda dengan cone dan cone akhir
yang merupakan titik mulai sebaiknya diberi tanda menggunakan penanda berwarna cerah.7

Persiapan pasien7
1. Mengenakan pakaian yang nyaman
2. Mengenakan sepatu yang sesuai untuk berjalan
3. Mengkonsumsi regimen pengobatan yang sudah diresepkan
4. Porsi makanan yang kecil masih diperbolehkan sebelum uji latih pagi atau sore hari.
5. Pasien tidak boleh melakukan latihan yang berat dalam 2 jam sebelum uji latih.
6. Sebelum uji jalan pertama kali dilakukan, pemeriksaan denyut jantung, tekanan darah, dan
EKG (jika perlu) harus dicatat.
7. Uji jalan harus dilakukan setidaknya 2 jam setelah makan.
8. Pasien diminta untuk berjalan dari ujung ke ujung track/lintasan, dan menempuh jarak
semaksimal mungkin yang mampu dilakukan pasien dalam 6 menit.
9. Uji jalan 6 menit sebaiknya dilakukan di koridor yang tenang dan memiliki panjang setidaknya
100 kaki / 30,48 meter.

80 Rehabilitasi Kardiovaskuler
10. Segera setelah uji jalan, pasien akan dinilai level of percieved exertion (skala Borg), denyut
jantung, tekanan darah dan EKG (jika perlu), dan total jarak yang ditempuh untuk perbandingan
di kemudian hari.

Kriteria Inklusi7
- Masalah muskuloskeletal yang menghalangi untuk berjalan seperti klaudikasio intermiten,
paralisis, nyeri dan lain-lain.
- Masalah psikiatri / kejiwaan yang mampu menurunkan performa pasien.
- Angina yang tidak terkontrol.
- Hipertensi.
- Riwayat disritmia jantung.
- Penyakit jantung lain.

Sarana dan prasarana:

Uji latih sebaiknya dilakukan pada keadaan tenang dan nyaman sehingga pasien dapat
melaksanakannya dengan baik yang pada akhirnya didapatkan hasil kemampuan kapasitas erobik
yang sesuai dengan kondisi penyakit jantungnya. Siapkan alat-alat yang diperlukan seperti lap
counter, timer dan lembar kerja. Atur lap counter ke angka nol dan timer pada 6 menit.7

Instruksi kepada pasien:

“Uji latih ini mengukur jarak terjauh yang dapat ditempuh dalam 6 menit. Anda akan berjalan bolak-
balik di koridor ini. Enam menit merupakan waktu yang panjang untuk berjalan, jangan paksakan
diri anda. Selama uji latih ini anda mungkin mengalami kelelahan atau sesak. Anda diperbolehkan
untuk menurunkan kecepatan, berhenti, hingga istirahat jika diperlukan. Anda boleh beristriahat
dengan bersandar ke dinding atau duduk dan kembali berjalan sesegera mungkin jika dirasa
mampu. Anda akan berjalan bolak balik lintasan ini dan saat berputar arah, sebaiknya dilakukan
dengan cepat dan langsung berjalan kembali. Saya akan memperlihatkannya kepada Anda, silahkan
perhatikan bagaimana cara saya berputar arah”.7

Peragakan berjalan sebanyak satu putaran, dan cara berputar arah yang cepat. “Apa anda siap
melakukannya? Saya akan menghitung berapa putaran yang anda selesaikan. Ingat bahwa uji ini
mengukur jarak terjauh yang anda bisa tempuh dalam 6 menit, tetapi jangan berlari. Anda dapat
mulai sekarang atau kapanpun anda siap.7

Posisikan pasien pada titik awal. Pemeriksa harus berdiri dekat dengan titik awal pada saat uji latih.
Jangan berjalan bersama dengan pasien. Sesaat setelah pasien berjalan, jalankan timer. Jangan
berbicara pada siapapun saat uji latih, gunakan nada yang senada dalam memberikan kalimat
penyemangat. Awasi pasien, jangan teralih dan lupa menghitung putaran yang dilalui pasien.
Setiap kali pasien kembali ke titik awal, tekan lap counter sebanyak satu kali (atau tandai pada
lembar kerja). Biarkan pasien melihat pemeriksa yang mencatat, karena gerakan ini dapat memacu
pasien seperti yang digunakan saat lomba.7

Pada saat uji latih, pemeriksa harus memberikan kata-kata motivasi dan memberi tahu sisa waktu uji
latih. Jangan berikan kata-kata motivasi dengan nada yang menyemangati yang dapat mensugesti

Rehabilitasi Kardiovaskuler 81
agar pasien bergerak lebih cepat. Ketika pasien berhenti berjalan saat uji latih, dan membutuhkan
istirahat, katakan “Anda dapat bersandar pada dinding atau duduk jika anda mau dan lanjutkan
berjalan jika anda sudah merasa sanggup”. Jangan hentikan timer. Jika pasien berhenti sebelum
6 menit dan enggan melanjutkan, jemput pasien untuk mengetahui kemampuan selanjutnya,
kemudian catat jarak dan waktu saat pasien berhenti dan alasan menghentikan uji latih.7

Ketika waktu menunjukkan 15 detik sebelum selesai katakan “Ketika saya katakan “berhenti”,
berhenti pada tempat anda berjalan dan saya akan menghampiri anda” Saat timer berbunyi,
katakan “stop/berhenti”, kemudian hampiri pasien. Pertimbangkan bawa kursi roda jika pasien
tampak kelelahan. Catat jarak yang ditempuh oleh pasien selama 6 menit.7

Uji latih menggunakan ventilatory gas analysis


Analisis ventilatory gas exchange pada uji latih sangat berguna sebagai perangkat tambahan dalam
menguji pasien dengan penyakit kardiovaskular dan paru. Pengukuran pertukaran gas umumnya
meliputi perhitungan ambilan oksigen (VO2), output karbondioksida (VCO2), minute ventilation
dan ambang batas ventilasi/anerobik. ada uji latih maksimal merupakan indeks terbaik untuk
melihat kapasitas erobik dan fungsi kardiorespirasi. Definisi VO2 max sebagai titik dimana tidak
ada peningkatan VO2 walaupun dengan peningkatan beban kerja (plateau) pada uji latih bertahap.
Gas exchange dapat menyediakan informasi penting untuk mengevaluasi kapasitas fungsional dan
menyingkirkan gangguan paru pada penyakit jantung selama uji latih.4,6

Pengukuran variabel gas exchange sudah banyak disederhanakan seiring perkembangan analisis
gas darah. Selain itu dapat diperoleh data tambahan selain VO2 max/peak. Uji fungsi paru seperti
analisa gas darah arterial berguna untuk membedakan penyakit jantung dan paru, atau memastikan
diagnosis. Analisis gas darah juga merupakan pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien
dispneu karena jantung.4,6

Uji latih setelah revaskularisasi PCI dan CABG


Uji latih harus menyesuaikan beban latihan dengan mengukur target yang diambil dari denyut
jantung maksimal, namun harus disesuaikan dengan keadaan jantung (kelainan katup, gagal
jantung, fraksi ejeksi yang rendah, atrial fibrilasi), penyakit komorbid, usia pasien dan kemunduran
kondisi otot.7

Uji latih menggunakan treadmill atau ergocycle dalam 3-5 minggu pasca CABG berguna untuk
menilai toleransi latihan dan peresepan intensitas aktivitas fisik. Namun ergometer lengan
tidak dilakukan karena nyeri bekas insisi. Uji latih sebagai follow up diakukan dalam 3-6 bulan
setelah program latihan atau 1 tahun setelahnya. Kapasitas fungsional dalam satuan METs lebih
mengindikasikan prognosis yang baik di samping respon lain yang ditemukan.7

Uji latih segera setelah PTCA dapat lebih intens dibanding pada pasien pasca infark miokard
ataupun CABG. Namun dari semua pasien yang asimptomatik dan penyakit jantung koroner yang
terdiri dari satu pembuluh darah, uji latih dapat dianjurkan untuk mendeteksi risiko restenosis,
morbiditas dan mortalitas. Tanda adanya restenosis nampak pada perubahan gejala dan perubahan
gambaran EKG atau terkadang dapat tampak pada uji latih 2-3 hari pasca PTCA. Uji latih umumnya
dilakukan pada pasien pasca PTCA pada 2-5 minggu dilanjutkan pada 6 bulan setelah program
latihan dan 1 tahun sekali.7

82 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Luka pada dinding dada dan kaki biasanya membutuhkan 4-8 minggu untuk sembuh sepenuhnya,
sehingga uji latih dengan treadmill atau ergometer sebaiknya tidak dilakukan sampai luka bekas
operasi sembuh. Fase pendinginan/recovery yang lebih lama pada uji latih maksimum/symptom
limited testing sebaiknya dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular yang
umumnya terjadi pada periode pasca uji latih.7,20

Pada pasien pasca PTCA dan CABG uji latih dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri dan
kemampuan merawat diri pasien.7,20

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada saat dilakukan uji latih maksimal symptom
limited test:

Tabel 3.9 Uji Latih Maksimal Symptom Limited Test7

Pengukuran Terminasi Catatan


EKG 12 sadapan Terdapat disritmia yang berat -Perubahan segment ST dapat terjadi
> 2mm ST depresi atau elevasi akibat restenosis atau oklusi partial.
Melewati ambang batas iskemik -Penting untuk dokter memberikan
Inverted T dengan perubahan segmen ST intensitas latihan yang aman
-Gangguan kronotropik mengindikasikan
prognosis yang buruk
-Kecepatan minimal treadmill setidaknya
1.0 mph.
Tekanan darah Sistolik > 260 mmHg atau Diastolik -Hipotensi yang dicetuskan latihan
>115 mmHg (turun ≥20 mmHg atau tidak meningkat)
mengindikasikan prognosis yang buruk
RPE Borg 6-20 Observasi Bersama dengan pengukuran denyut
jantung berguna untuk menentukan
intensitas latihan
Gas analysis Observasi Hanya dilakukan jika terdapat indikasi
(VO2 peak) untuk hasil pengukuran yang akurat. Pada
pasien CABG yang mampu mencapai
9 METs atau lebih mengindikasikan
prognosis yang baik.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 83
Uji latih dengan pacemakers dan Implanted Cardiac
Defibrilators
Uji latih berguna dan dapat dilakukan pada pasien dengan pacemaker dan/atau ICD dengan aman.
Informasi mengenai respon kronotropik selama tes pada pasien dengan rate responsive pacemaker
dapat digunakan untuk menyusun target rentang denyut jantung selama uji latih.5

Pada beberapa pasien denyut jantung selama tes dapat melewati batas atas denyut jantung (upper
rate). Pada kasus seperti ini uji latih dapat diteruskan sampai mencapai kelelahan maksimum
selama tekanan darah sistolik stabil dan indikasi terminasi lain tidak ditemukan.5 Pada pasien
dengan ICD fire rate perlu diidentifikasi sebelum memulai uji latih. Selain indikasi terminasi, uji
latih perlu dihentikan jika denyut jantung lebih rendah 10 denyut dari ICD fire rate.5

Daftar Pustaka
1. Perk J, Mathes P, Gohlke H, et al. Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. London:
Springer-verlag. 2007.
2. Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation 4th Edition. Elsevier Saunders. 2011.
3. Goble AJ and Worcester MUC. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention. Carlton south: Human Services Victoria. 1999; p27-68.
4. Niebauer J. Cardiac Rehabilitation Manual. London. Springer Verlag. 2011.
5. Kraus WE and Keteyian SJ. Cardiac Rehabilitation. Human Press Totowa. New Jersey. 2007
6. Balady GJ, Bricker JT and Chaitman BR. ACC/AHA 2002 Guideline Update For Exercise Testing.
USA: J Am Coll Cardiol. 2002; 40(8):1531-40.
7. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
8. Chow CM. Duke Treadmill Score Calculator. Canada: CS of Echo. 2011. http://www.csecho.ca/wp-
content/themes/twentyeleven-csecho/cardiomath/?eqnHD=stress&eqnDisp=duketsc [Diakses tanggal
26 agustus 2016]
9. Palange P,  Ward SA, Carlsen KH, et al. Recommendation on the use of exercise testing in
clinical practice. European Respiratory Journal. 2007;29:185-209.
10. Mezzani A, Agostoni P, Cohen-Solal A, et al. Standards for the use of cardiopulmonary exercise
testing for the functional evaluation of cardiac patients: a report from the exercise physiology
section of the European Association for Cardiovascular Prevention and Rehabilitation.
European Journal of Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. 2009;16:249-267.
11. Pina IL, Balady GJ, Hanson P,   et al. Guidelines for Clinical Exercise Testing Laboratories.
Comittee on Exercise and Cardiac Rehabilitation, American Heart Association. AHA. 1995.
12. Fletcher GF, Balady GJ, Amsterdam EA,  et al. Exercise Standards for Testing and Training. American
Heart Ass. 2001.
13. Thompson PD. Exercise & Sports Cardiology. USA: Mc-Graw Hill, 2001:2(6)125-127.
14. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990; p
883-893

84 Rehabilitasi Kardiovaskuler
15. Akinpelu D. Editor: Yang EH. Treadmill Stress Testing Technique. New york: Medscape. 2015.
16. Johnson. Modified Bruce Protocol. London: Cardiophile. 2008.
17. Trabulo M, Mendes M, Mesquita A, et al. Does the Modified Bruce Protocol Induce Physiological
Stress Equal to that of the Bruce Protocol. 1994.
18. Handler CE and Sowton E. A Comparison of the Naughton and modified Bruce treadmill
exercise protocols in their ability to detect ischaemic abnormalities six weeks after myocardial
infarction. 1984.
19. Allison TG. Arm Ergometer Provides Alternative to Conventional Stress Testing. 2016.
20. Durstine JR. in ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Diseases and v

Rehabilitasi Kardiovaskuler 85
86 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 4
REHABILITASI
SINDROM
KORONER AKUT

Rehabilitasi Kardiovaskuler 87
Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan masalah kesehatan sebagai penyebab kematian utama
di seluruh dunia. Sebelum tahun 1990, penyakit infeksi dan gangguan nutrisi merupakan
penyebab kematian paling umum sedangkan penyakit jantung dan pembuluh darah kurang dari
10% menyebabkan kematian. Pada saat ini diperkirakan penyakit kardiovaskular menyebabkan
30% kematian di seluruh dunia yang diperkirakan setengahnya disebabkan oleh SKA. Prevalens
penyakit kardiovaskular semakin meningkat dengan berubahnya gaya hidup seperti pola makan
yang tidak terkendali, kurangnya aktivitas fisik dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya
pencegahan penyakit kardiovaskular.1,2,3

Saat ini di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalens penyakit kardiovaskular, namun
demikian berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2013 data di beberapa
rumah sakit di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan frekuensi penyakit ini.4,5

Di benua Amerika dan Eropa diperkirakan terdapat 15 sampai 20 juta pasien per tahun datang ke
instalasi gawat darurat dengan keluhan nyeri dada akut atau gejala lain yang mengarah kepada
SKA. Hal ini disebabkan tingginya prevalens faktor risiko penyakit jantung seperti merokok,
hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes, obesitas dan kurang latihan.1,2,3 Di Amerika Serikat
penderita SKA diperkirakan sekitar 13,7 juta orang dan 7,2 juta di antaranya merupakan infark
miokard akut, sekitar 6 juta orang merupakan angina pektoris tidak stabil.2,3 Di Amerika, pada usia
di atas 30 tahun, 213 dari 100.000 orang menderita SKA, namun beberapa dekade terakhir angka
kejadian baru SKA berdasarkan usia mulai berkurang, terbukti bahwa penderita SKA bergeser
dari usia tua menjadi usia yang lebih muda, dengan jumlahnya secara kumulatif meningkat seiring
dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi.2 Pada tahun 1975 di AS angka insidens infark
miokard akut menurun dari 244 per 100.000 orang menjadi 162 per 100.000 orang pada tahun
2006. Angka kematian juga berkurang dari 18% tahun 1975 menjadi 10% pada tahun 2006.2,6
Jumlah pasien dirawat inap akibat angina pektoris tidak stabil di Amerika Serikat mencapai 1
juta pasien, dimana 6-8 % mendapat serangan jantung yang tidak fatal dan meninggal dalam
satu tahun setelah diagnosis ditegakkan.2 Sindrom Koroner Akut sering ditemukan dan menjadi
penyebab sekitar 500.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Kematian berhubungan
pula dengan luasnya infark miokard, sehingga upaya membatasi luas infark akan menurunkan
mortalitas.2

Menurut data statistik 2008 di Inggris insiden rata-rata infark miokard akut pada usia 30-69 tahun
adalah 600 tiap 100.000 laki-laki dan 200 tiap 100.000 perempuan, sedangkan satu dari lima laki-
laki dan satu dari tujuh perempuan meninggal karena penyakit jantung koroner (PJK). 1,3 Penderita
penyakit jantung koroner yang datang ke IGD umumnya mengeluhkan nyeri dada yang jumlahnya
sebesar 5,3 juta/tahun, kira-kira sepertiganya memiliki diagnosis utama unstable angina pektoris
atau NSTEMI dan merupakan penyebab tersering dirawat di rumah sakit pada penyakit jantung.
Pasien yang dirawat inap dengan diagnosis infark miokard akut, jumlahnya sekitar 935.000 orang
per tahun mempunyai diagnosis utamanya adalah STEMI.2

Sindrom Koroner Akut sering ditemukan dan menjadi penyebab sekitar 500.000 kematian di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark miokard,
oleh karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.2

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas, walaupun
angka mortalitas penyakit jantung koroner sudah berkurang di negara maju, namun angka

88 Rehabilitasi Kardiovaskuler
morbiditas meningkat sebagai akibat meningkatnya kemampuan diagnosis dan kemampuan dalam
mengobati fase akut penyakit yang meningkatkan jumlah pasien infark miokard yang hidup.
Rehabilitasi jantung disarankan pada pasien yang mengalami serangan jantung untuk mengurangi
perkembangan penyakit jantung, meningkatkan kesehatan fisik dan mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas pasien PJK.2

Dari systematic review yang dilakukan oleh Heran dan kawan-kawan (2011) dengan melibatkan
48 randomised control trial menunjukkan 20% mengurangi mortalitas secara keseluruhan dan 27%
mengurangi mortalitas pada 2-5 tahun pertama. Program rehabilitasi jantung yang dilakukan pada
review tersebut terdiri dari latihan, edukasi, perubahan perilaku, konseling, dukungan keluarga
dan strategi untuk merubah faktor risiko penyakit jantung. Rehabilitasi jantung merupakan bagian
penting perawatan masa kini pada pasien dengan penyakit jantung dan menjadi prioritas pada
pasien PJK dan gagal jantung.7

Menurut meta-analisis yang dilakukan oleh Dalal dan kawan-kawan (2010), walaupun rehabilitasi
jantung menunjukkan hasil yang sangat bermanfaat, partisipasinya tetap belum optimal, dengan
alasan utamanya kebanyakan pasien menolak untuk datang ke kelas rehabilitasi jantung di rumah
sakit karena aksesibilitas, lahan parkir atau alasan pekerjaan. Hal ini dapat diupayakan dengan
program rehabilitasi jantung berbasis komunitas.8

Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan
iskemia miokardium akut, yang dapat bermanifestasi berupa angina pektoris tidak stabil, infark
miokard non-ST elevasi dan infark miokard ST elevasi.2,3

Secara patologis, infark miokard akut didefinisikan sebagai kematian sel otot jantung akibat
iskemia yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokardium dan aliran darah/suplai oksigen, akibatnya kebutuhan otot jantung tidak
dapat dipenuhi oleh pembuluh darah koroner sebagai akibat dari proses aterosklerosis yang
menyebabkan tromboemboli intrakoroner sehingga menyumbat aliran darah ke distal.1,3,9

Secara definisi, angina pektoris meliputi rasa tidak nyaman di dada yang dicetuskan oleh emosi dan
menghilang dengan nitrogliserin. Episode iskemik dapat dilihat dari abnormalitas EKG, abnormalitas
gerakan dinding ventrikel dan perfusi miokardial. Banyaknya hal yang mempengaruhi konsumsi
oksigen, perubahan keseimbangan suplai dan kebutuhan miokard, mekanisme vasoreaktivitas
dapat mempengaruhi tampilan dari sindrom koroner akut yang dapat terjadi baik simptomatis
maupun asimptomatis.2,3,6

Etiologi
Sindrom koroner akut disebabkan terutama oleh proses aterosklerosis. Sebagian besar kasus
sindrom koroner akut terjadi akibat gangguan lesi aterosklerotik primer yang sebelumnya stabil
tetapi rentan ruptur. Sindrom koroner akut juga dapat terjadi akibat trombosis atau spasme arteri
koroner.1-3

Penyebab lain yang jarang ditemukan namun berperan dalam terjadinya sindrom koroner akut
seperti obstruksi dinamis arteri epikardial yang menyebabkan kejang fokal intens (Angina

Rehabilitasi Kardiovaskuler 89
Prinzmetal), obstruksi mekanik berat tanpa kejang atau trombus seperti restenosis setelah PCI
(Percutaneous Coronary Intervention) atau beberapa pasien dengan aterosklerosis progresif;
peradangan arteri dan atau infeksi.1,2,3,6,10

Iskemia akut disebabkan oleh ruptur plak ateroslerotik, retakan, erosi atau kombinasi dengan
trombosis intrakoroner superimposed yang biasanya berhubungan dengan peningkatan risiko
kematian jantung (cardiac death) dan mionekrosis. Selain penyebab proses aterosklerosis pada
pembuluh darah koroner, keadaan lain dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen sehingga terjadi iskemia. Penyebab paling sering yang menyebabkan
penurunan suplai oksigen adalah penurunan tekanan perfusi akibat hipotensi seperti pada
keadaan hipovolemia atau syok septik dan penurunan konten oksigen darah yang berat seperti
anemia berat. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard seperti pada keadaan rapid tachycardia,
hipertensi akut atau stenosis aorta berat juga dapat menyebabkan iskemia walaupun tidak ada
proses aterosklerotik.11,12

Angina pektoris tidak stabil dapat disebabkan oleh penyebab sekunder yang pada umumnya
memiliki penyakit jantung koroner yang kronik dan memburuk sebagai akibat kebutuhan oksigen
miokard yang meningkat seperti yang dicetuskan dari olahraga berlebihan, stres emosional dan kondisi
lain seperti di bawah ini:2,6,7,8,9,10

- Peningkatan kebutuhan oksigen, seperti demam, tirotoksikosis, takikardia, hipertensi maligna,


feokromositoma, stenosis aorta, kehamilan dan obat-obatan (kokain, amfetamin).
- Penurunan suplai oksigen, seperti anemia, hipoksemia, keracunan CO, polisitemia vera dan
sindrom hipoviskositas.

Faktor risiko
Tabel 4.1 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut (DeLisa, 2010)

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Jenis kelamin Merokok
Usia Hipertensi
Riwayat keluarga dengan SKA <55 tahun HDL yang rendah (35mg/dl)
Riwayat peripheral arterial disease (PAD) Hiperkolesterolemia (200 mg/dl)
Riwayat penyakit serebrovaskular Hipertrigliseridemia (250mg/dl)
Obesitas sentral
Diabetes melitus
Sedentary lifestyle
Sindrom metabolik
Stres psikososial & depresi

Patogenesis
Aterosklerosis merupakan penyebab tersering timbulnya Sindrom Koroner Akut (SKA), namun
terbentuknya aterosklerosis ini dipengaruhi banyak faktor. Terdapat faktor yang mencetuskan
timbulnya lesi dan faktor lainnya yang dapat mempercepat progresivitas lesi aterosklerosis.1,15

Lesi aterosklerosis disebabkan oleh penumpukan dari plak, kemudian plak aterosklerosis

90 Rehabilitasi Kardiovaskuler
berkembang pada dinding pembuluh darah arteri sebelum plak tersebut mulai menonjol ke dalam
lumen pembuluh darah, adanya plak tersebut jarang dapat dideteksi oleh alat deteksi konvensional
seperti angiografi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa plak aterosklerosis baru ini berisi lemak
sangat rentan ruptur dan menyebabkan kejadian infark akut lebih sering dibandingkan dengan
plak aterosklerosis yang stabil. Teori perkembangan aterosklerosis meliputi peranan dari lipid,
darah, dinding pembuluh darah, kondisi sistemik dan faktor mekanik eksternal.1,15

Lesi ateroskleoritik diawali dengan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Penyebab kerusakan
ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti merokok, diabetes dan hipertensi. Ketika terjadi
kerusakan endotel maka faktor von williebrand yang akan menyebabkan agregasi trombosit akan
terlepas. Faktor ini merupakan komponen penting dalam proses homeostasis yang akan berikatan
dengan platelet (trombosit) dan membentuk platelet plug. Hal ini akan memicu terjadinya proses
inflamasi sehingga akan menarik sel darah putih (monosit) ke daerah kerusakan.1,15

Pada kondisi kerusakan endotel, low density lipoprotein (LDL) yang merupakan makromolekul
dapat menembus masuk kedalam dinding arteri, menembus sel endotel yang rusak sampai ke
tunika intima dan membran basal. Laju penumpukkan LDL ini dipengaruhi oleh konsentrasi LDL
plasma dan kondisi dari endotel. Low density lipoprotein (LDL) yang menembus sel endotel akan
mengalami proses oksidasi yang lebih berbahaya daripada LDL biasa, hal ini memicu terjadinya
proses inflamasi. Kemudian monosit akan merespon dengan bermigrasi dari lumen pembuluh
darah ke dalam dinding arteri dan berubah menjadi makrofag.1,15

Makrofag bertugas untuk membersihkan lesi dengan cara menyelubungi LDL yang teroksidasi dan
berubah menjadi sel busa (foam cell). Ketika sel busa (foam cell) mati, sel tersebut akan melepaskan
konten lemaknya dan membentuk inti lemak (lipid core). Selanjutnya tubuh akan berespon dengan
membentuk lapisan fibrosa tipis (thin fibrous cap) yang melapisi permukaan dari inti lemak (lipid core).
Lapisan fibrosa tipis (thin fibrous cap) sebagian besar terdiri dari kolagen dan elastin. Pertumbuhan
plak yang disebabkan oleh penumpukkan LDL didalam intima menyebabkan membran elastin
eksterna untuk berekspansi kearah tunika adventisia, hal ini disebut sebagai arterial remodeling.
Dengan arterial remodeling pembuluh darah dapat menjaga ukuran lumen dan aliran darah secara
adekuat. Namun, dengan berjalannya waktu dan terjadi penumpukkan LDL yang semakin banyak,
dinding pembuluh darah membran advintisia tidak akan mampu lagi mengkompensasi sehingga
terjadi pertumbuhan plak aterosklerosis kearah lumen. Hal ini menyebabkan lumen pembuluh
darah arteri menyempit.1,15

Perkembangan lebih lanjut aterosklerosis dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme. Salah
satunya makrofag berdeteriorirasi (kemampuan semakin melemah) yang meninggalkan hanya LDL
yang teroksidasi, yang menyebabkan kerusakan lebih besar pada endotel, yang memicu platelet
(trombosit) dalam jumlah besar untuk menutupi kerusakan endotel.1

Berikutnya sel endotel, monosit, dan trombosit, memproduksi growth factor yang memicu
kompensasi pembuluh darah koroner. Growth factor ini juga memicu perkembangan sel otot polos
hingga menembus dinding arteri normal mencapai lesi. Trombosit dan sel endotel menghasilkan
substansi vasoaktif yang mampu kontriksi dan dilatasi arteri koroner, seperti tromboksan, asetilkolin
dan serotonin. Baik growth factor dan substansi vasoaktif menyebabkan proliferasi di dalam sel
busa (foam cell) dan tunika intima yang menyebabkan pembesaran ateroma dan plak. Walaupun
proses kompensasi diperlukan, namun proses ini cenderung terjadi secara berlebihan yang mampu
menyebabkan obstruksi.1 Pada akhirnya pembuluh darah koroner akan semakin sempit, ditambah
faktor lain seperti spasme arteri koroner akan menimbulkan sumbatan pada aliran darah koroner.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 91
Faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, kurang aktivitas, merokok dapat menginisiasi
atau mempercepat proses proliperatif di dalam dinding pembuluh darah.1

Pada sebagian besar kasus, infark miokard terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis. Plak yang ruptur tersebut
memiliki sifat trombogenik yang tinggi dan kolagen yang terlepas dapat semakin memprovokasi
agregasi platelet dan kaskade koagulasi ekstrinsik diaktivasi melalui interaksi antar faktor jaringan
di pembuluh darah serta darah yang bersirkulasi akan menyebabkan aktivasi trombin sehingga
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin kemudian berinteraksi dengan platelet yang teraktifasi
kemudian membentuk struktur mirip jaring yang kemudian menstabilkan trombus di mural.
Dengan demikian aterotrombosis melengkapi penyumbatan arteri koroner.1,6,10

Endotel seringkali rusak di area arteri koroner yang sakit. Disfungsi endotel menyebabkan defisit
faktor antitrombotik, seperti trombomodulin dan prostasiklin. Selain itu, tidak adanya endothelial-
derived relaxing factors menyebabkan vasokontriksi meningkat, akibatnya terjadi vasospasme lokal
yang akan memperburuk oklusi koroner. Iskemia berat dalam jangka lama menyebabkan area
nekrosis meluas ke seluruh dinding miokardium.1

Mekanisme neurohumoral dan sirkulasi teraktivasi oleh hipertensi, diabetes melitus, dan merokok,
juga faktor genetik dan herediter berperan pada mekanisme agregasi trombosit dan sel darah
merah pada plak serta vasokontriksi pada pembuluh darah sekitar plak.1

Pasokan darah ke otot jantung yang tiba-tiba terputus akibat oklusi arteri koroner menyebabkan
terjadinya peristiwa iskemia pada proses metabolisme dan biokimiawi. Kurangnya oksigen
menghambat jalur erobik untuk metabolisme asam lemak, hal ini menyebabkan asam lemak
terakumulasi di sitoplasma. Penumpukan asam lemak di dalam sitoplasma membatasi mekanisme
transpor melewati membran mitokondria. Iskemia tidak hanya menghambat jalur metabolisme
oksidatif tetapi juga berperan terhadap terjadinya asidosis yang berperan terhadap munculnya
disritmia.1,6,10

Iskemia menyebabkan hilangnya kontraktilitas pada miokardium yang terkena, kondisi ini disebut
hipokinesis. Nekrosis mulai berkembang di subendokardium 15-30 menit setelah oklusi koroner.
Area nekrosis berkembang keluar ke arah epikardium dalam 3-6 jam. Pada beberapa area (biasanya
di tepi infark) miokardium mengalami stunning (kerusakan reversibel) dan akan pulih ketika aliran
darah membaik. Pada kondisi tertentu aliran darah tidak mencapai daerah yang mengalami
hipoksia maka akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel.6,10,16

92 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Gambar 4.1. Proses pembentukan plak aterosklerosis17

Patofisiologi
Infark miokard akut dipengaruhi oleh kebutuhan dan suplai nutrisi pada otot miokardium. Dalam
kondisi normal, miokardium akan membantu mensuplai darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan mencegah hipoperfusi dari miosit serta mencegah terjadinya iskemia dan infark. Hal
yang menentukan myocardial oxygen demand (MVO2) antara lain denyut jantung, kontraktilitas
miokardium dan tekanan dinding jantung (myocardial wall tension). Suplai oksigen yang adekuat juga
dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen dalam darah seperti banyaknya oksigen yang terinspirasi,
fungsi paru, konsentrasi dan fungsi Hb serta adekuatnya aliran darah koroner.2

Dengan mengecilnya lumen pembuluh darah koroner, aterosklerosis membatasi perfusi ke miokard,
disertai dengan peningkatan kebutuhan saat aktivitas fisik dan emosi. Saat penyumbatan cukup
berat, perfusi miokardial basal juga berkurang. Penyumbatan pembuluh darah koroner juga bisa
disebabkan oleh spasme pembuluh darah koroner (Angina Prinzmetal), trombus arterial, emboli
koroner dan penyempitan ostium karena aortitis.2

Pada umumnya angina pektoris stabil terjadi ketika lesi arterosklerotik berjalan secara perlahan
atau dalam keadaan inaktif, sehingga pembuluh kolateral mampu mengimbangi proses obstruksi
yang terjadi. Sedangkan angina pektoris tidak stabil terjadi saat fase aktif dari proses aterosklerosis
di mana penyempitan arteri koroner berkembang dengan cepat, sehingga pembuluh kolateral
tidak mampu mengkompensasi penurunan sirkulasi koroner.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 93
Iskemia yang terjadi pada ventrikel kiri akan menimbulkan gejala yang lebih berat. Hal ini diawali
dengan abnormalitas pada fungsi diastolik ventrikel kiri, yang disebabkan oleh dinding jantung
yang lebih kaku. Kemudian berkembang pada abnormalitas pada fungsi sistolik ventrikel kiri diikuti
peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri, yang pada akhrinya menimbulkan gejala angina pada
pasien. Disfungsi ini juga dapat menimbulkan gejala lain seperi dyspnea on effort, edema paru akut,
akibat peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri.1

Mekanisme iskemia miokard


Pada dasarnya iskemia mengindikasikan penurunan aliran darah ke organ tertentu. Iskemia juga
terjadi akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan di mana iskemia miokardial terjadi akibat
peningkatan kebutuhan oksigen miokard atau penurunan aliran darah koroner.1

Tabel 4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen miokard1

Faktor yang menentukan konsumsi oksigen miokard


Otot Papillaris Jantung yang intak
Preload Tekanan pada akhir diastolik
Volume
Tekanan dinding jantung
Afterload Tekanan aorta
Tekanan dinding jantung
Kemampuan kontraktilitas Fraksi ejeksi
Kurva fungsi ventrikel
Frekuensi stimulasi Denyut jantung

Secara teori preload didefinisikan sebagai dilatasi saat miokardium istirahat, pada jantung yang
intak preload dapat dilihat dari tekanan akhir diastolik atau lebih tepatnya tekanan dinding jantung
di akhir diastolik. Afterload merupakan tenaga yang dibutuhkan untuk membuka katup aorta yang
dapat dilihat dari tekanan darah sistemik. Afterload juga dapat dinilai dari tekanan dinding jantung
saat katup aorta terbuka (systolic wall stress), yang dihitung berdasarkan tekanan pada ventrikel
dan atrium, volume dan ketebalan dinding. Kontraktilitas dapat dilihat dari fraksi ejeksi dan
pengosongan mekanik, sedangkan frekuensi stimulasi dapat dilihat dari denyut jantung.1

Miokardium normal menggunakan asam lemak untuk proses aerob pembentukan ATP, sedangkan
iskemia miokardium menggunakan glukosa untuk proses anaerob. Daerah yang sudah terjadi
iskemia dapat menambah beban miokardium yang masih berfungsi dengan baik, sehingga
kebutuhan oksigen semakin meningkat.1

Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsumsi oksigen miokardial, keseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen miokard merupakan faktor penting terjadinya iskemia miokard. Penurunan
lumen pembuluh darah koroner dapat menurunkan aliran darah koroner dan mencetuskan iskemia
ketika kebutuhan oksigen meningkat akibat kerja mekanik jantung. Ini merupakan mekanisme yang
paling umum terjadinya angina pektoris stabil. Gejala akan menghilang ketika kebutuhan oksigen
kembali normal, sehingga walaupun dengan aliran darah yang berkurang tetap dapat memenuhi
kebutuhan jantung. Dalam keadaan lain kebutuhan oksigen jantung tetap, tetapi penurunan aliran
darah yang semakin besar pada hipotensi dapat diatasi dengan mekanisme vasokontriksi sehingga
perfusinya akan tetap baik.1,3

94 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Arteri koroner normal berdilatasi dengan latihan dan juga mempengaruhi kebutuhan oksigen
jantung. Pembuluh darah normal akan berdilatasi sebagai akibat latihan dan efek dari asetilkolin
di mana pada keadaan normal sebenarnya asetilkolin mempunyai efek vasodilatasi dengan
merangsang sintesis Nitric Oxide dari L-arginine di endotel, namun pada arteri koroner yang
terdapat plak di mana terjadi disfungsi endotel secara paradoks akan terjadi penurunan Nitric
Oxide sehingga asetilkolin akan menyebabkan vasokonstriksi.4

Substansi lain seperti serotonin dan tromboksan dapat dikeluarkan oleh trombosit untuk memicu
terjadinya vasokonstriksi. Mekanisme sistem saraf pusat dan keseimbangan antara sistem simpatis
dan parasimpatis juga dapat menyebabkan vasokontriksi arteri koroner. Hal ini sering ditemukan
pada pasien angina stabil, angina tidak stabil atau tahap awal infark miokard.1,3,6

Penyebab terjadinya SKA dapat disebabkan :6,10

- Trombosis koroner
Pada penelitian angiografi dan studi post mortem yang dilakukan pada pasien SKA segera
setelah timbulnya keluhan angina menunjukkan lebih dari 85% terdapat adanya oklusi trombus
pada arteri koroner (culprit artery).
- Robekan plak (Ruptur plaque)
Trombosis koroner umumnya dihubungkan dengan robekan plak. Perubahan yang tiba-tiba dari
angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard umumnya berhubungan dengan robekan
plak pada titik di mana tegangan geser (shear stress) paling tinggi dan seringkali dihubungkan
dengan plak aterosklerosis yang ringan. Plak yang mengalami robekan kemudian merangsang
agregasi trombosit yang selanjutnya akan membentuk thrombus. Pada penyumbatan total
akan menimbulkan gambaran STEMI, sedangkan penyumbatan parsial akan menyebabkan
gejala angina tidak stabil atau NSTEMI.
- Spasme arteri koroner
Perubahan tonus pembuluh darah koroner melalui Nitric Oxide (NO) endogen dapat membawa
variasi ambang rangsang angina di antara satu pasien dengan yang lain. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi tonus arteri yaitu hipoksia, katekolamin endogen dan zat vasoaktif (serotonin,
adenosine diphospat).

Penyebab kurang umum adalah obstruksi dinamis arteri epikardial yang menyebabkan kejang fokal
intens (Angina Prinzmetal). Diperkirakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot
polos pembuluh darah dan/atau disfungsi endotel. Angina Prinzmetal umumnya terjadi secara
berulang (recurrent), kejang ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain penggunaan rokok dan
kokain. Penyempitan pembuluh intramural kecil yang abnormal juga dapat menyebabkan obstruksi
dinamis dan iskemia akut.1,6,10

Penyebab lain angina tidak stabil adalah obstruksi mekanik berat tanpa kejang fokal intens (Angina
Prinzmetal) atau trombus. Penyebab lain selanjutnya adalah peradangan arteri dan atau infeksi.
Diperkirakan bahwa peradangan kronis mungkin berhubungan dengan infeksi yang menyebabkan
aktivasi makrofag dan limfosit-T pada plak yang rentan dan peningkatan ekspresi metaloproteinase
mengakibatkan gangguan dan pecahnya plak.1,6,10

Penyebab terakhir angina tidak stabil yang disinggung dalam Braunwald, yaitu angina tidak stabil
dari penyebab sekunder. Pasien-pasien ini umumnya memiliki penyakit jantung koroner kronis

Rehabilitasi Kardiovaskuler 95
yang memburuk sebagai akibat dari kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard,
seperti demam, takikardia, berkurangnya aliran darah koroner yang disebabkan oleh hipotensi
dan mengurangi kandungan oksigen dalam darah, seperti hipoksemia atau anemia.6,10

Iskemia miokard akut juga dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen seperti pada
hipertrofi ventrikel kiri dengan stenosis aorta. Turunnya konsentrasi oksigen dalam darah seperti
pada anemia berat, keracunan karbonmonooksida, sangat jarang menyebabkan iskemia miokard.
Sindrom koroner akut dapat terjadi akibat salah satu penyebab di atas atau dapat berupa kombinasi
antara ketiganya.2,3

Klasifikasi
Sindroma koroner akut (SKA) dapat digolongkan menjadi unstable angina pectoris (UAP), non
ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dan ST elevation myocardial infarction (STEMI).
Klasifikasi ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan penanda jantung.3,6

Angina pektoris tidak stabil (UAP)


Pada angina pektoris tidak stabil (UAP) biasa ditemukan nyeri khas infark tanpa adanya peningkatan
segmen ST dan tanpa adanya peningkatan penanda serologis, tetapi terdapat perubahan EKG
umumnya berupa segmen ST depresi maupun gelombang T yang terbalik.6 Angina pektoris tidak stabil
biasanya terjadi akibat aterotrombosis arteri koroner, namun trombus nonoklusif yang berkembang
pada plak aterosklerosis tidak menghasilkan nekrosis miokard. Unstable angina pectoris (UAP) dan
NSTEMI dapat dilihat sebagai kondisi klinis yang berhubungan sangat erat dengan gambaran yang
sama patogenesisnya tapi memilki derajat keparahan yang berbeda.2 Derajat angina dapat dengan
mudah dinilai oleh Canadian Cardiac Society. Sedangkan untuk menilai status fungsional dapat
digambarkan dengan klasifikasi New York Heart Association.3

Tabel 4.3. Klasifikasi penyakit kardiovaskular berdasarkan New York Heart Association dan Canadian
Cardiovascular Society3

Class Canadian Cardiovascular Society New York Heart Association


Functional Classification Functional Classification

I Aktifitas fisik biasa, seperti berjalan dan menaiki Pasien yang memiliki penyakit jantung
tangga tidak menyebabkan angina. Angina tetapi tanpa keterbatasan yang
dicetuskan oleh aktivitas yang berat, cepat atau dihasilkan dari aktivitas fisik. Aktivitas
lama saat bekerja. fisik biasa tidak menyebabkan
kelelahan berlebihan, palpitasi,
dispnea atau nyeri angina.

96 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Class Canadian Cardiovascular Society New York Heart Association
Functional Classification Functional Classification

II Sedikit keterbatasan sat aktivitas fisik biasa Pasien memiliki penyakit jantung yang
sepeerti berjalan atau naik tangga dengan cepat, mengakibatkan sedikit keterbatasan
berjalan menanjak, berjalan atau naik tangga aktivitas fisik. Mereka merasa nyaman
setelah makan, saat cuaca dingin, stres emosional beristirahat. Aktivitas fisik biasa
atau beberapa jam setelah bangun, berjalan lebih mengakibatkan kelelahan, palpitasi,
dari 2 blok pada tingkat dan memanjat lebih dari dispnea atau nyeri angina.
12 anak tangga pada kecepatan normal juga
dalam kondisi normal.
III Keterbatasan ditandai aktivitas fisik biasa. Pasien memiliki penyakit jantung yang
Berjalan 1-2 blok dan menaiki tangga lebih dari 1 mengakibatkan keterbatasan saat
flight tangga dalam kondisi normal beraktivitas fisik biasa. Mereka merasa
nyaman pada saat istirahat. Aktivitas
fisik yang kurang dari biasanya
menyebabkan kelelahan, palpitasi,
dispnea atau nyeri angina.
IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik Pasien memiliki penyakit jantung yang
tanpa ketidaknyamanan, angina dapat terjadi mengakibatkan ketidakmampuan
pada saat istirahat untuk melakukan aktivitas fisik tanpa
ketidaknyamanan. Gejala insufisiensi
jantung atau sindrom angina dapat
terjadi bahkan pada saat istirahat.
Ketidaknyamanan meningkat saat
melakukan aktivitas fisik.

Infark miokard akut tanpa ST-elevasi


Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) ditandai dengan gejala klinis berupa khas infark
(typical chest pain), tanpa disertai elevasi segmen ST pada pemeriksaan EKG. Pada NSTEMI biasanya
terdapat peningkatan penanda serologis berupa peningkatan enzim jantung seperti creatinin kinase
(CK), cretinin kinase cardial band (CKMB), troponin I/T dan mioglobin. Perubahan pada gambaran
EKG dan peningkatan cardiac marker merupakan tanda nekrosis yang dapat membedakan NSTEMI
dengan UAP.1,2,3,4,13 Sangat penting membedakan NSTEMI dan UAP karena perbedaan manajemen
awal selama perawatan.1,2,3

Etiologi NSTEMI disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid (lipid core) yang besar, densitas otot polos yang rendah, lapisan fibrosa (fibrous cap) yang
tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi.1,2,3

Infark miokard akut dengan ST-elevasi


ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bentuk yang paling mematikan dari sindrom
koroner akut (SKA), di mana trombus mengoklusi seluruh aliran darah koroner dan terlihat pada

Rehabilitasi Kardiovaskuler 97
resultan ST-segmen elevasi di EKG. Biasanya gelombang Q baru berkembang karena nekrosis
penuh atau hampir penuh pada dinding ventrikel. Karena hal ini hanya dapat terjadi hingga 70%
dari pasien dan sebagian kecil pasien tanpa elevasi ST-segmen akhirnya dapat memunculkan
gelombang Q baru.1,2,3 Pada STEMI biasa ditemukan gejala klinis khas infark yang disertai
perubahan EKG berupa ST elevasi. Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.1,2,3,6

Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.1,2,3

Diagnosis
Gambaran klinis dipengaruhi tingkat keparahan dan lamanya obstruksi arteri koroner, volume
miokardium yang terpengaruh, tingkat kemampuan dari sisa jantung untuk mengkompensasi.2,3,6

Anamnesis
Pasien dengan dugaan sindrom koroner akut perlu dilakukan anamnesis secara sistematis untuk
mengetahui adanya riwayat perkembangan nyeri dada (chest pain/angina). Karena aterosklerosis
koroner sering disertai dengan lesi serupa dalam arteri lain, maka pasien dengan angina harus
dilakukan anamnesis dan diperiksa untuk penyakit arteri perifer (klaudikasio intermiten, stroke
atau serangan iskemik transien). Hal ini juga penting untuk mengungkap riwayat keluarga penyakit
jantung iskemik dan adanya riwayat diabetes melitus, hiperlipidemia, hipertensi, merokok dan
faktor risiko lain untuk aterosklerosis koroner.2,3,6

Tanda dan gejala


Gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada retrosternal. Pasien sering kali merasa
mengeluh seperti ditekan atau dihimpit beban lebih dominan dibanding rasa nyeri. Dengan durasi
lebih dari 20 menit yang hilang dengan nitrat dan tidak hilang dengan istirahat.2,3,6

Keluhan-keluhan yang mengarah pada SKA termasuk di bawah ini:2,3,6

- Rasa tekanan yang tidak nyaman, rasa penuh, diremas atau rasa nyeri di tengah dada dalam
beberapa menit.
- Nyeri yang menjalar ke bahu, leher, lengan kiri, punggung atau rahang bawah.
- Nyeri dada yang disertai rasa sempoyongan, mau jatuh, berkeringat atau mual.
- Sesak nafas yang tidak dapat dijelaskan, yang dapat terjadi tanpa nyeri dada.
- Palpitasi, agitasi, delirium, penurunan toleransi aktivitas fisik, rasa takut mati (fear of impending
death).

98 Rehabilitasi Kardiovaskuler
Biasanya angina adalah gejala iskemia miokard yang muncul dalam keadaan meningkatnya
kebutuhan oksigen, pada kasus yang baru angina lebih sulit untuk didiagnosis karena gejala
sering tidak jelas dan mirip dengan gejala yang disebabkan oleh kondisi lain (misalnya gangguan
pencernaan atau kecemasan.2,3,6 Sekitar 20% dari pasien sindrom koroner akut tidak menunjukkan
gejala atau memiliki gejala atipikal yang tidak disadari. Gambaran tidak khas seperti dispeptic pain,
pada kasus orang tua usia lebih dari 75 tahun, utamanya pada wanita, riwayat diabetes dan pasca
operasi. Gejala yang mungkin timbul antara lain dispnea, mual, kelelahan dan pingsan.2,3,6

Pasien dengan angina atipikal, bersamaan dengan faktor risiko lain seperti usia lanjut, jenis kelamin
laki-laki, pasca menopause dan faktor risiko aterosklerosis lain akan meningkatkan kemungkinan
penyakit koroner yang signifikan.2,3

Angina stabil melibatkan nyeri episodik yang berlangsung 5-15 menit, diprovokasi oleh aktivitas
fisik, dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Pada angina tidak stabil pasien mengalami
peningkatan risiko kejadian yang merugikan jantung, seperti infark miokard atau kematian.
Sedangkan pada nyeri infark miokardia, nyeri akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
nyeri pada angina baik stabil maupun tidak stabil.2

Kebanyakan pasien dengan angina merasakan episode chest discomfort, yang sering dideskripsikan
seperti perasaan berat, tertindih, diremas, terbakar dan nyeri dada yang hebat. Pasien sering
melokalisasikan nyeri di sekitar sternum kadang dengan tangan terkepal yang mengindikasikan
nyeri seperti diremas di daerah substernal (Levine sign). Nyeri angina biasanya bertahan selama
2-5 menit dan menjalar ke lengan kiri, punggung, interskapular, rahang dan epigastrium. Jarang
nyeri menjalar ke atas mandibula dan di bawah umbilikus. Nyeri tidak pernah menjalar ke daerah
trapezius, jika nyeri seperti ini muncul lebih mengindikasikan nyeri karena perikarditis.3

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan angina stabil ketika mereka tidak
menunjukkan gejala. Namun karena peningkatan kemungkinan penyakit jantung iskemik pada
pasien dengan diabetes dan atau penyakit arteri perifer, sehingga dokter harus mencari bukti
penyakit aterosklerosis di lokasi yang lain, seperti aneurisma aorta abdominal, bruit karotis arteri
dan pulsasi arteri yang menurun di ekstremitas bawah.2,3,6

Pemeriksaan fisik juga harus mencakup pencarian bukti faktor risiko aterosklerosis seperti
xanthelasma dan xanthoma. Bukti untuk penyakit arteri perifer harus dicari dengan mengevaluasi
nadi di beberapa lokasi dan membandingkan tekanan darah antara lengan serta antara lengan dan
kaki (ankle-brachial index). Mungkin juga ada tanda-tanda anemia, penyakit tiroid dan noda nikotin
pada ujung jari dari merokok.2,3,6

Pasien dengan sindrom koroner akut sering datang dalam keadaan cemas dan tidak nyaman.
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri mungkin memiliki takipnea, takikardia, ronkhi paru dan
bunyi jantung ketiga. Adanya murmur sistolik menunjukkan disfungsi iskemik dari katup mitral
atau ruptur septum ventrikel.2,3,6 Pasien yang dapat melokalisai nyeri dengan satu jari di daerah
dada atau nyeri diakibatkan oleh penekanan menandakan nyeri mungkin tidak disebabkan oleh
iskemia miokard. Pada kondisi obesitas dengan peningkatan lemak di daerah abdomen dapat
menunjukkan bahwa kemungkinan memiliki sindrom metabolik dan timbulnya peningkatan risiko
untuk aterosklerosis.3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 99
Pemeriksaan penunjang

1. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi selama episode gejala menyajikan data yang sangat berharga. Gambaran
EKG harus ditinjau segera dan melibatkan ahli jantung bila ragu. Perubahan ST-segmen (> 0,05
mV) yang muncul selama periode gejala sangat prediktif dari Coronary Artery Disease (CAD) dan
memiliki nilai prognostik.18

Dalam keadaan darurat, EKG adalah tes diagnostik yang paling penting untuk angina. Ini
menunjukkan perubahan selama gejala dan respon terhadap pengobatan. Pemeriksaan EKG juga
dapat menunjukkan adanya riwayat penyakit struktural atau jantung iskemik seperti hipertrofi
ventrikel kiri atau perubahan gelombang Q. Gambaran EKG yang normal atau yang tetap tidak
berubah dari baseline tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa nyeri dada adalah iskemik
pada sekitar 1 sampai 6% pasien.18

Perubahan yang dapat dilihat pada episode angina meliputi berikut ini: 2,3

- Transient ST-segment elevations


- Dynamic T-wave changes - inversions
- ST depressions - mungkin junctional, downsloping atau upsloping

Pada pasien dengan elevasi ST-segmen sementara, pertimbangkan kemungkinan diagnosis


aneurisma ventrikel kiri, perikarditis, Angina Prinzmetal, repolarisasi awal dan sindrom Wolff-
Parkinson-White.2,3 Ketika ditemukan inversi gelombang T yang mendalam, pertimbangkan
kemungkinan gangguan sistem saraf pusat (SSP) atau terapi obat dengan antidepresan trisiklik
atau fenotiazin sebagai penyebabnya.2,3

Sensitivitas diagnostik EKG dapat ditingkatkan dengan melihat lead sisi kanan (V4 R), lead posterior
(V7-V9) dan rekaman serial.2,3

Kriteria EKG pada infark miokard akut


Terdapat gambaran iskemia, injuri, nekrosis yang timbul pada urutan tertentu dan evolusi
perkembangan penyakit dapat diketahui pada EKG dengan urutan sebagai berikut: 2,3,10

- Fase awal/hiperakut: elevasi ST non spesifik, T yang tinggi


- Fase evolusi infark: elevasi ST spesifik yang konveks ke atas, T negatif dan simetris
- Fase infark lama: Q patologis, berupa QS atau QR. ST isoelektrik, tidak ada T negatif2,3,10

Tabel 4.4 Klasifikasi pasien berdasarkan deviasi segmen ST10

Kolompok Umum Deskripsi


STEMI Elevasi segmen ST
NSTEMI / UAP risiko tinggi Depresi segmen ST atau T inverted
UAP risiko rendah / sedang Normal

100 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) ditandai dengan elevasi segmen ST >1mm
(0,1mv) dalam minimal 2 sadapan atau adanya LBBB baru atau diduga baru.
- NSTEMI / UAP risiko tinggi ditandai dengan depresi segmen ST sebesar 0,5 mm (0,05mv) atau
T inverted dengan nyeri dada atau ketidaknyamanan dada.
- UAP risiko rendah / sedang ditandai tidak adanya perubahan segmen ST

2. Pemeriksaan laboratorium
Biomarker adalah penanda penting untuk meningkatkan akurasi diagnosis, memberikan informasi
prognosis dan membantu klinis memutuskan secara agresif kapan harus melakukan tindakan.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah CK, CKMB dan cardiac spesific troponin (troponin I dan T)
dilakukan secara serial. Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali batas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).2,3

Gambar 4.2 Pemeriksaan penanda jantung3 Plot ini menunjukkan perubahan penanda jantung
dari waktu ke waktu setelah timbulnya gejala. Puncak A: Rilis awal mioglobin atau creatine kinase
isoenzim MB (CK-MB) setelah infark miokard akut. Puncak B: tingkat troponin jantung setelah
infark. Puncak C: tingkat CK-MB setelah infark. Puncak D: tingkat troponin jantung setelah
angina tidak stabil.

- Creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB)


CK-MB, merupakan isoenzim khusus untuk otot jantung, adalah biomarker utama cidera
jantung sampai troponin melengkapi pemeriksaan.
Pada infark miokard, konsentrasi CK-MB biasanya naik sekitar 4-8 jam setelah onset nyeri
dada. Dan mencapai puncak dalam 12-24 jam dan kembali ke tingkat dasar dalam waktu
24-48 jam. Pengukuran serial dilakukan setiap 6-8 jam (minimal 3 kali) sampai nilai puncak
didapatkan. Namun demikian, CK-MB tidak memiliki nilai prognostik.2,3
Selain sindrom koroner akut (SKA) nilai CK-MB dapat meningkat pada operasi jantung,
miokarditis, kardioversi elektrik trauma, aktivitas berat, penyakit otot rangka rhabdomyolysis,
intoksikasi alkohol, kejang dan emboli paru.2,3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 101


- Troponin
Troponin adalah suatu protein yang dilepaskan miosit ketika terjadi kerusakan miokardium
yang ireversibel. Troponin merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik dan memberikan
informasi prognostik untuk pasien dengan SKA. Troponin telah menjadi penanda jantung yang
terpilih untuk pasien dengan sindrom koroner akut (SKA).2,3,6
Kadar troponin bergantung luasnya infark, namun pasca terapi reperfusi level aktual troponin
dapat berubah karena fenomena wash out. Enzim ini akan meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam, Trop T masih dapat terdeteksi setelah
5-14 hari, sedangkan Trop I setelah 2-10 hari.2,3,6
- Mioglobin
Pemeriksaan mioglobin pada jantung tidak spesifik, tetapi dapat dideteksi secara dini 1-2 jam
dan mencapai puncak dalam 4-8jam setelah nekrosis miokard dimulai. Namun, hasil mioglobin
harus dilengkapi dengan biomarker jantung yang lebih spesifik lainnya, seperti CK-MB atau
troponin.2,3,6
- Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap membantu dalam mengesampingkan anemia sebagai penyebab
sekunder SKA. Leukositosis memiliki nilai prognostik dalam pengaturan infark miokard akut.2,3,6
- Pemeriksaan profil metabolik dasar
Pemeriksaan profil metabolik dasar termasuk pemeriksaan kadar glukosa darah, fungsi ginjal dan
tingkat elektrolit untuk pasien dengan angina baru. Pemantauan ketat kalium dan magnesium
sangat penting pada pasien SKA karena dapat mempengaruhi terjadinya aritmia ventrikel.
Pengukuran rutin kadar kalium serum dan koreksi yang cepat sangat direkomendasikan.2,3,10
- Biomarker baru
Penelitian lanjutan pada penanda jantung mendokumentasikan tingkat penanda inflamasi
seperti protein C-reaktif (CRP), serum amyloid A dan interleukin-6 pada pasien dengan angina
tidak stabil. Pemeriksaan lain yang sedang dikembangkan antara lain pemeriksaan E-selectin
dan intercellular adhesion molecule-1. Pemeriksaan fibrinopeptida dan fibrinogen dapat menilai
risiko kematian pada pasien SKA.2,10

3. Pemeriksaan radiologi
Tatalaksana SKA telah menekankan peran pencitraan baik dalam fase akut maupun kronis. Teknik
pencitraan yang mengevaluasi perfusi miokard, viabilitas miosit, ketebalan dan gerak miokard serta
efek dari fibrosis adalah alat berharga dalam membantu diagnosis infark miokard akut, karena
hipoperfusi regional dan iskemia menyebabkan disfungsi miokard, kematian sel dan penyembuhan
dengan fibrosis. Ekokardiografi, ventrikulografi radionuklida, miokard perfusi skintigrafi dan
magnetic resonance imaging (MRI) biasanya digunakan untuk tujuan ini. Positron emission
tomography (PET scan) dan x-ray computed tomography (CT scan) kurang lazim digunakan.2,3

- Foto polos toraks


Foto polos toraks membantu dalam menilai kardiomegali dan komplikasi iskemia, seperti
edema paru. Hal ini juga dapat memberikan petunjuk penyebab lain yang serupa dengan gejala
SKA, seperti aneurisma atau pneumonia.2,3

102 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Echocardiography
Echocardiography dapat membantu dalam diagnosis baik yang akut dan old infark miokard.
Echocardiography dapat membantu membedakan iskemia miokard dan non iskemik, seperti
perimiokarditis, penyakit jantung katup, kardiomiopati, emboli paru atau diseksi aorta.
Echocardiography juga dapat membantu mendeteksi komplikasi mekanik infark akut seperti
dinding jantung yang ruptur, defek septum ventrikel dan regurgitasi mitral. Selain itu jika
didapatkan hypocontractility miokard dengan dinding yang menipis, dapat menandakan bahwa
gejala tersebut dicetuskan oleh infark miokard subakut atau infark miokard lama.2,3
- Myocardial perfusion imaging
Myocardial perfusion imaging telah terbukti memiliki nilai diagnostik dan prognostik, dengan
sensitivitas awal yang sangat baik dalam mendeteksi infark miokard akut yang tidak ditemukan
dalam modalitas pengujian lainnya. 2,3
Dengan nilai sensitivitas atau nilai prediktif negatif lebih dari 99% dalam menyingkirkan
diagnosis infark miokard. Myocardial perfusion imaging juga telah digunakan dalam stratifikasi
risiko setelah infark miokard dan untuk pengukuran infark dalam mengevaluasi terapi
reperfusi.2,3
- Angiografi Jantung
Kateterisasi jantung membantu dalam mendeteksi anatomi koroner, pasien dengan syok
kardiogenik, angina, kongesti paru yang parah atau infark ventrikel kanan (RV) harus segera
menjalani kateterisasi jantung.2,3

Pada pemeriksaan angiografi biasanya menilai pembuluh darah koroner jantung seperti left
main artery, left anterior descending, left circumflex dan right coronary artery. Penyumbatan pada
pembuluh darah koroner akan dapat segera diketahui dan biasanya ahli jantung dapat segera
mengambil rencana tindakan sesuai onset serangan maupun besarnya persentase sumbatan pada
4 pembuluh darah percabangan arteri koroner tersebut.2,3

Menurut penelitian Ezhumalai dan kawan-kawan dalam Angiographic prevalence and pattern
of coronary artery disease in women tahun 2014 mendapat hasil dari 500 pasien wanita yang
mengalami stenosis LMCA 17 (3,4%), LAD 176 (35,2%), LCX 128 (25,6%) dan RCA 130 (26%).
Pembuluh koroner LAD merupakan pembuluh darah paling sering mengalami penyumbatan diikuti
oleh LCX dan RCA dengan prevalens yang hampir sama.19

- Magentic Resonance Imaging (MRI)


Alat ini sudah dikenal dalam menilai fungsi miokardial dengan cara yang serupa seperti
echocardiography dalam mendiagnosis infark miokard akut namun memiliki ukuran yang besar
sehingga sulit untuk dimobilisasi. Kontras paramagnetik dapat menilai perfusi miokardial dan
meningkat pada ekstraseluler saat terjadi infark miokard kronik.2,3
- Computed tomography (CT coronary angiography dan MSCT coronary artery with calcium scoring)
Multislice Computed Tomography (MSCT) merupakan salah satu modalitas non invasif untuk
penilaian SKA, memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi lokasi penyumbatan dan derajat
stenosis. Adapun sensitivitas MSCT untuk mendeteksi SKA adalah 73-100% dan spesifisitas
sebesar 91-97%. MSCT memiliki keterbatasan dalam memvisualisasikan lesi dengan kadar
kalsium tinggi, yang memerlukan kontras intravena dan paparan radiasi. Pemeriksaan CT juga
dapat mendeteksi infark miokard pada daerah fokal, emboli paru dan diseksi arota.2,3,20

Rehabilitasi Kardiovaskuler 103


Kriteria diagnosis
Pada tahun 2015, American College of Cardiology dan American Heart Association mengeluarkan
rekomendasi guidelines bahwa pasien dengan sindrom koroner akut (SKA), sebaiknya dilakukan
beberapa tahapan sebagai berikut: 6,21

- Pasien dengan nyeri dada atau gejala yang mengindikasikan SKA, perlu dilakukan pemeriksaan
EKG dalam 10 menit pertama dan pemeriksaan EKG dilakukan secara serial untuk mendeteksi
perubahan mengarah ke iskemia.
- Pemeriksaan troponin I atau T serial perlu dilakukan saat pasien datang dan 3-6 jam setelah
onset gejala. Karena hasilnya dapat menilai prognosis.
- Pada pasien dengan gejala SKA tanpa bukti adanya tanda iskemik (EKG non iskemik dan
troponin level normal), pemeriksaan radiologi perlu dilakukan sebelum pasien pulang dengan
menggunakan pemeriksaan angiography (Coronary Computer Tomographic Angiography).

Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus difokuskan pada nyeri dada, tanda dan gejala gagal jantung,
riwayat sakit jantung, faktor risiko SKA dan gambaran riwayat untuk pemberian trombolisis.6

1. Kriteria angina stabil


- Angina stabil merupakan tipe angina yang paling sering dijumpai, memiliki pola yang terprediksi.
- Pasien yang mengalami nyeri dada khas angina, dipengaruhi oleh aktivitas dan hanya
berlangsung kurang dari 20 menit serta berkurang saat istirahat.
- Pemeriksaan Stress Test dilakukan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai risiko
terhadap terjadinya penyakit jantung iskemik. Jika didapatkan hasil positif dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan angiografi untuk menentukan tindakan reperfusi jantung.2,3,6

2. Kriteria angina tidak stabil


- Angina tidak stabil merupakan salah satu bentuk angina yang muncul tiba-tiba dan dapat
memburuk serta dapat mencetuskan serangan jantung.
- Pasien dengan angina stabil semakin lama semakin berat, disertai dengan faktor presipitat
yang ringan dapat mencetuskan nyeri dada seperti aktivitas fisik biasa maupun emosional.
- Pasien dengan angina pada saat aktivitas fisik dan tidak hilang saat istirahat.
- Nyeri akan hilang setelah pemberian obat vasodilator seperti nitrogliserin.

Menurut AHA dan ACC perbedaan antara angina tidak stabil dan NSTEMI diketahui berdasarkan
pemeriksaan laboratorium enzim jantung. Pada angina tidak stabil tidak didapatkan kenaikan
pada Troponin I dan T serta CKMB. Kenaikan enzim jantung tersebut merupakan penanda adanya
kerusakan miokardium, yang biasanya meningkat dalam 12 jam setelah serangan. Sehingga pada
fase awal antara angina tidak stabil dan NSTEMI tidak dapat dibedakan.2,3,6,18

104 Rehabilitasi Kardiovaskuler


3. Kriteria infark miokard
Berdasarkan kriteria WHO, secara klasik diagnosis infark miokard akut berdasarkan terpenuhinya
minimal 2 dari 3 kriteria yaitu:2,3,6

- Nyeri dada iskemia yang khas, lebih dari 20 menit


- Adanya evolusi pada EKG serial yang khas,
- Peningkatan kadar enzim jantung yang kemudian diikuti penurunannya.

Jika pasien tidak memiliki bukti segmen ST elevasi atau gelombang Q, tetapi didapatkan kelainan
seperti ST depresi dan kadar CK-MB meningkat, maka pasien didiagnosis dengan NSTEMI. Pasien
dengan nyeri dada iskemik akut tanpa bukti segmen ST elevasi atau gelombang Q dan yang
memiliki tingkat CK-MB negatif dianggap memiliki angina tidak stabil. Tetapi kriteria tersebut kini
dipertajam dengan pemeriksaan penanda serologis yang lebih sensitif seperti troponin T dan I
serta penggunaan teknik pencitraan mutakhir.2,3,6

Pembagian transmural dan nontransmural (subendokordial) infark miokard sudah tidak digunakan
karena temuan EKG pada pasien tidak ditemukan korelasi dengan perubahan patologi anatomi
miokardium. Pada sebelumnya yang dimaksud dengan Infark transmural dapat terjadi jika
gelombang Q ditemukan pada EKG, dan sebaliknya tidak adanya gelombang Q menandakan
terjadinya infark pada subendokordial. Kriteria ini sudah tidak lagi digunakan.6

Diagnosis STEMI yang akurat sangat penting karena dua alasan. Pertama, terapi reperfusi
merupakan terapi utama STEMI, baik oleh agen trombolitik maupun revaskularisasi mekanik
(Percutaneus Coronary Intervention/PCI). Kematian dapat menurun secara signifikan jika reperfusi
dilakukan dalam waktu 12 jam dari timbulnya gejala pada pasien dengan STEMI.2,3,6

Untuk mencegah bahaya yang tidak perlu, agen trombolitik hanya direkomendasikan untuk
setidaknya elevasi ST-segmen 2-mm di setidaknya 2 lead bersebelahan di prekordium atau
setidaknya ketinggian 1-mm ST-segmen di 2 ekstremitas berdampingan selain peningkatan
marker kardiac. Secara klinis perlu dicatat bahwa LBBB baru juga memenuhi kriteria untuk terapi
revaskularisasi agresif dengan agen trombolitik atau dengan cara mekanis.2,3,6

Tabel 4.5 Kriteria Infark Miokard menurut European Society of Cardiologists/American College of
Cardiology (ACC)

Diagnosis Infark Miokard Akut harus memenuhi kriteria ini:


1. Gejala Iskemia
2. Perubahan EKG mengindikasikan iskemia/injury (ST depresi atau elevasi)
3. Peningkatan dan penurunan troponin T secara bertahap atau peningkatan cepat dan penurunan CKMB
Kriteria Infark Miokard lama: 
1. Pasien bisa tidak mengingat gejala sebelumnya.
2. Q patologis pada pemeriksaan EKG serial.
3. Marker biokimia sudah kembali ke batas normal.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 105


Penatalaksanaan

Farmakologis
Penatalaksanaan medik sindrom koroner akut meliputi beberapa tindakan yang harus dikerjakan
secara simultan antara lain menilai dan memberikan bantuan ABC (airway, breathing, dan
circulation), pemeriksaan EKG 12 sadapan serta interpretasinya, dilanjutkan pemeriksaan enzim
jantung, elektrolit dan evaluasi sistem pembekuan darah harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis SKA, yang ditunjang dengan pemeriksaan foto toraks.2,3,10

Penatalaksanaan farmakologis pasien SKA meliputi pemberian obat-obatan seperti aspirin,


nitrogliserin dan morfin jika diperlukan. Di samping itu perlu dilakukan pengisian check list terapi
fibrinolitik untuk menentukan kemungkinan pemberian terapi fibrinolitik untuk pasien ST-elevation
myocardial infarct (STEMI). Target reperfusi adalah pemberian terapi fibrinolisis dalam 30 menit
atau PCI dalam 90 menit semenjak penderita sampai ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).2,3,10

Obat-obat yang digunakan antara lain:

Oksigen: oksigen diberikan pada semua pasien yang dalam evaluasi SKA, dengan dosis oksigen
4 lpm kanul nasal dan pertahankan saturasi O2 di atas 90%. Penelitian menunjukkan pemberian
oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior. Berdasarkan konsensus, dianjurkan
oksigen dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak
bermanfaat, kecuali pada keadaan seperti di bawah ini:6,10

- Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang dengan hemodinamik yang tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru
- Pasien dengan saturasi oksigen <90%

Aspirin: Aspirin diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat aspirin
dan tidak ada riwayat alergi juga tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan. Dapat
menggunakan aspirin supositoria pada pasien dengan mual, muntah, ulkus peptikum atau
gangguan pada saluran pencernaan atas.6,10

Aspirin menginhibisi fungsi platelet dengan bekerja pada jalur cyclooxygenase dalam pembentukan
thromboxane A2. Aspirin dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas dan diberikan
seterusnya pada pasien SKA.6,10

Nitrogliserin: dapat diberikan tablet nitrogliserin sublingual sampai 3 kali dengan interval 3-5 menit,
jika tidak terdapat kontraindikasi. Jika nitrogliserin tidak memberikan respon maka dapat diberikan
secara parenteral. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak
stabil: tekanan darah (TD) <90mmHg atau 30mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal.6,10

106 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Nitrogliserin adalah vasodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan di bawah ini:

- Infark inferior atau infark ventrikel kanan


- Hipotensi, bradikardi atau takikardi
- Penggunaan obat penghambat fosfodiesterase (Viagra) dalam waktu <24jam.

Nitrat meringankan gejala nyeri dada melalui beberapa mekanisme, termasuk vasodilatasi koroner,
meningkatkan aliran darah kolateral, menurunkan preload (venodilation dan mengurangi aliran
balik vena) serta penurunan afterload (vasodilatasi arteri).6,10

Morfin: pemberian morfin IV dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot tidak
respon. Morfin merupkan pengobatan yang cukup penting pada SKA karena:6,10

- Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi neurohumoral dan
menyebabkan pelepasan katekolamin.
- Menghasilkan vasodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan mengurangi
kebutuhan oksigen.
- Menurunkan tahanan vaskular sistemik sehingga mengurangi afterload ventrikel kiri.
- Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut.
- Penatalaksanaan STEMI
- Pasien dengan STEMI biasanya terjadi akibat penyumbatan yang lengkap (complete) pada
arteri koroner epikardial.
- Pengobatan utama pada STEMI adalah terapi reperfusi segera yang dapat dilakukan dengan
fibrinolitik atau PCI Primer.
- Reperfusi terapi pada STEMI merupakan perkembangan yang sangat penting dalam pengobatan
penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi fibrinolitik segera atau kateterisasi langsung reperfusi
sudah merupakan standar pengobatan pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12 jam
dan tidak terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi mengurangi mortalitas dan menyelamatkan
jantung. Semakin pendek waktu reperfusi manfaatnya semakin besar.10

Terapi reperfusi awal


Pada SKA STEMI dan LBBB baru atau dugaan baru, sebelum melakukan terapi reperfusi harus
dilakukan evaluasi sebagai berikut: 10

1. Langkah I:
a. Nilai waktu onset serangan
b. Risiko STEMI
c. Risiko Fibrinolisis
d. Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli kardiologi yang tersedia

Rehabilitasi Kardiovaskuler 107


2. Langkah II: Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
Tabel 4.6 Strategi Terapi Reperfusi10

Terapi fibrinolisis Terapi invasif


Onset <3jam Onset >3 jam
Tidak tersedia pilihan terapi invasif Tersedia ahli PCI
Kontak doctor-balloon >90menit Kontak doctor-balloon <90menit
(door-balloon) , (door-needle) >1 jam (door-balloon) – (door-needle) < 1 jam
Tidak terdapat kontraindikasi fibrinolisis Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk risiko perdarahan dan
perdarahan intraserebral
STEMI risiko tinggi (CHF, Killip >2)

Pengobatan lebih awal fibrinolysis (door-drug <30 menit) dapat membatasi luasnya infark, fungsi
ventrikel normal dan mengurangi angka kematian. Ada beberapa jenis obat fibrinolitik misalnya
alteplase recombinant, Reteplase, Tenecplase dan Streptokinase (streptase). Di Indonesia
umumnya tersedia Streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam
100cc NaCl 0,9% secara infus selama 1 jam.10

Fibrinolisis bermanfaat diberikan pada pasien:

- ST elevasi atau perkiraan LBBB baru


- Infark miokard yang luas
- Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah

Fibrinolisis kurang bermanfaat pada:

- Onset serangan setelah 12-24 jam atau infark kecil


- Pasien usia >75 tahun

Fibrinolisis mungkin berbahaya pada:

- Depresi segmen ST
- Onset lebih dari 24 jam
- Pada tekanan darah tinggi (tekanan darah sistolik >175mmHg)

108 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 4.7 Kontraindikasi terapi fibrinolisis10

Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif


- Perdarahan intrakranial kapan pun - Tekanan darah yang tidak terkontrol
- Stroke iskemik dalam waktu 3 jam – 3 - tekanan darah sistol >180mmHg dan tekanan darah
bulan diastol >110mmHg.
- Kecurigaan diseksi aorta - Riwayat stroke iskemik >3 bulan, demensia
- Tumor intrakranial - Perdarahan internal dalam 2-4 minggu
- Adanya kelainan struktur vaskular serebral - Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan
(AVM) penekanan
- Perdarahan internal aktif atau gangguan - Pernah mendapat streptokinase 5 hari sebelumnya,
system pembekuan darah atau riwayat alergi
- Cidera kepala tertutup atau cedera wajah - Hamil
dalam 3 bulan terakhir - Ulkus peptikum aktif
- Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil
INR tinggi.

Tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) primer, efektif dilaksanakan pada:

- Syok kardiogenik
- STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
- Pasien kontraindikasi fibrinolysis
percutaneous coronary intervention juga dapat digunakan sebagai intervensi awal pada kasus
UAP dan NSTEMI dengan angina refrakter atau hemodinamik tidak stabil maupun stabil yang
tidak memiliki penyulit ataupun kontraindikasi untuk tindakan tersebut.6,10

Terapi penunjang lain


Terapi antikoagulan farmakologis

1. Unfractionated heparin (UFH)


Terapi heparin unfractionated (UFH) dengan dosis 85 U/kg dapat menurunkan risiko infark
miokard sebesar 33% pada pasien dengan angina pektoris tidak stabil (UAP) yang diobati
dengan kombinasi antara aspirin dengan heparin. 6,10
2. Low-molecular-weight heparin (LMWH)
Terapi LMWH diberikan pada pasien dengan NSTEMI atau angina tidak stabil. Pada STEMI
dapat diberikan Enoxaparin sebagai terapi tambahan fibrinolitik dan hanya Enoxaparin
yang diperbolehkan untuk pasien angina tidak stabil. Tidak perlu dilakukan APTT sebelum
pemberian LMWH tidak seperti pada pemberian heparin. LMWH lebih sering digunakan
dibanding heparin karena pemberian yang mudah dan tidak perlu monitoring antikoagulan.6,10
3. Terapi antitrombotik (Clopidogrel)
Dosis pemberian: loading dose 300 mg, kemudian diikuti dosis rumatan 75mg/hari.
Clopidogrel diberikan dengan indikasi:
- Pemberian dosis 300mg loading dose ditambahkan selain pemberian aspirin, UFH atau
LMWH dan GP IIb/IIIa inhibitor (abciximab, double-bolus eptifibatide atau high-bolus dose
tirofiban)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 109


- Dapat menggantikan aspirin bila alergi
Mekanisme kerja: sebagai antiplatelet, antagonist reseptor adenosine diphospate11
4. Statin (Hydroxy Methyl Glutary CoEnzymeA Reductase Inhibitor)
- Mengurangi insiden reinfark, angina yang berulang, rehospitalisasi dan stroke bila diberikan
dalam beberapa hari setelah SKA
- Pemberian lebih awal (dalam 24 jam) pada SKA atau IMA
- Bila sudah mendapat statin sebelumnya, tetap dilanjutkan
- Dosis simvastatin: 10 mg/hari.
- Efek statin: memperbaiki fungsi endotel, mengurangi inflamasi, menghambat trombosis
dan stabilisasi plak. Statin memperbaiki fungsi endotel dengan cara meningkatkan
pelepasan Nitrit oksida yang menyebabkan pembuluh darah menjadi dilatasi, pengurangan
efek inflamasi dengan cara menghambat pembentukan mevalonate dan isoprenoid
sehingga menghambat protein yang berperan dalam kaskade inflamasi, juga menghambat
trombosis dengan cara menurunkan faktor platelet dan terakhir menstabilisasi plak dengan
menurunkan metaloproteinase (MMP) di mana protein ini mendegradasi matriks sehingga
otot polos pada tunika media bermigrasi ke tunika intima mengakibatkan penebalan plak
sehingga mencegah ruptur. 6,10,22
5. Terapi ACE inhibitor: berfungsi untuk remodeling jantung, sehingga baik digunakan untuk
mencegah komplikasi STEMI seperti disfungsi ventrikel. Dosis ACE-Inhibitor yang diberikan
antara lain: Captopril 25-50 mg diberikan 2-3 kali/hari, Ramipril 2,5-10 mg/hari terbagi
menjadi 1-2 dosis, lisinopril 2,5-20 mg/hari single dose dan enalapril 5-20 mg/hari terbagi
dalam 1-2 dosis.6,10
6. Beta blocker diindikasikan untuk semua pasien kecuali ditemukan kontra indikasi sebagai
berikut: 6,10
- Tekanan darah sistolik di bawah 90 mm Hg
- Syok kardiogenik
- Bradikardia berat
- AV blok derajat 2 dan 3
- Asma atau emfisema yang sensitif terhadap beta agonists
- Penyakit pembuluh darah perifer

Beta blocker mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan tekanan dinding ventrikel, juga dapat
mengurangi mortalitas dan kekambuhan penyakit SKA. Beta blocker dapat mencegah komplikasi
mekanik dari infark miokard seperti ruptur otot papilare dan dinding ventrikel.13 Atenolol diberikan
dengan dosis 50-200 mg/hari, Bisoprolol 10 mg/hari, Carvedilol 6,25 mg/hari diberikan 2 kali
sehari dengan titrasi sampai maksimum 25 mg/hari, propanolol 20-80 mg/hari diberikan 2 kali
sehari.10 Beta blocker tidak diberikan pada pasien syok kardiogenik atau pasien yang memiliki
tanda gagal jantung akut.6,10

110 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Non farmakologis

Aktifitas fisik / Rehabilitasi jantung


Perkembangan rehabilitasi jantung pada saat ini juga mengedepankan tentang pentingnya
kewaspadaan dan penanggulangan terhadap faktor risiko sindrom koroner akut di samping
pengobatan dan pencegahannya.1,9,13-15

Penatalaksanaan pencegahan pada penyakit jantung terdiri dari 3 tahap:13,14

- Pencegahan primordial: pencegahan yang dilakukan pada seseorang dalam kondisi sehat yang
tidak mempunyai faktor risiko penyakit jantung.
- Pencegahan primer: pencegahan seseorang yang sudah mempunyai faktor risiko penyakit
jantung tetapi belum mengalami masalah jantung.
- Pencegahan sekunder: pencegahan yang dilakukan kepada pasien yang telah mendapatkan
serangan jantung atau operasi jantung agar tidak mengalami masalah jantung berulang.

Program pencegahan sekunder bisa dilaksanakan di rumah sakit (hospital based) atau di komunitas
(community based) yang meliputi edukasi dan pengawasan (monitoring) selama latihan serta cara
yang rasional dalam melaksanakan program rehabilitasi jantung.13

Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), menyatakan
bahwa rehabilitasi jantung merupakan program multidisiplin dalam upaya pencegahan sekunder
sindrom koroner akut. Pemeriksaan yang menyeluruh, modalitas pengobatan dan follow-up perlu
dilakukan agar program rehabilitasi jantung berjalan maksimal.9,13

Tujuan yang diharapkan pada intervensi rehabilitasi jantung meliputi:3

- Modifikasi faktor risiko melalui perubahan perilaku hidup sehat,


- Memperbaiki fungsi fisik dan kembali bekerja,
- Dapat melakukan hobi dan aktivitas rekreasional
- Peningkatan kualitas hidup dan psikologis
- Mendapat dukungan keluarga dan sosial.

Program rehabilitasi jantung memerlukan sumber daya yang kompeten sehingga para staf
rehabilitasi jantung perlu menentukan tujuan individual setiap pasien apakah tujuan tersebut
realistis. Pengenalan dini tentang tujuan yang tidak realistis pada pasien seperti langsung kembali
bekerja setelah keluar dari rumah sakit akan menjadi sebuah hambatan untuk melakukan program
rehabilitasi jantung berikutnya.13

Sumber Daya / resources3


- Staf Rehabilitasi Jantung
Keputusan spesifik harus dibuat tentang bagaimana personil akan berfungsi dalam pengelolaan
program rehabilitasi jantung dan ekspektasi dari setiap anggota staf.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 111


- Standar Kompetensi Staf
Untuk memenuhi harapan progam rehabilitasi jantung, semua personil harus cukup siap untuk
melakukan masing-masing perannya dalam melaksanakan rehabilitasi jantung sesuai standar
kompetensi.

Tim Rehabilitasi Jantung


Begitu pentingnya peran spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi dalam melaksanakan program
baik pasien selama dirawat di rumah sakit maupun berobat jalan. Namun demikian jalur klinis
mendorong keterlibatan mutlidisiplin dalam proses rehabilitasi jantung. Untuk mengoptimalkan
hasil, tenaga profesional kesehatan yang berkualitas dapat berbagi tanggung jawab dengan
spesialis kedokteran fisik dan rehabiltasi untuk kemajuan kegiatan, edukasi pasien dan aspek lain
dari proses rehabilitasi jantung selama mereka memenuhi kompetensi tertentu.13

Semua anggota tim rehabilitasi jantung memerlukan kompetensi khusus dalam pelayanan agar
pelaksanaan rehabilitasi jantung mempunyai kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan.13

Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


Peran spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bervariasi dalam setiap pola latihan, bertanggung
jawab terhadap pemberian dosis latihan dan memberikan edukasi pada pasien serta visite selama
perawatan maupun sebelum pasien pulang.13

Spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi berfokus pada keadaan pemulihan pasca kondisi akut
serta bertanggung jawab untuk mengevaluasi, memberikan resep latihan dan edukasi pasien untuk
rehabilitasi jantung fase rawat inap.13

Selama perawatan pasien di ICCU dan bangsal rawat inap serta pada pasien yang akan pulang,
dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi melakukan hal di bawah ini:13

1. Edukasi mengenai keadaan gawat darurat dan hal yang perlu diperhatian selama di rumah
sakit.
2. Latihan meliputi evaluasi aktivitas, seperti mobilisasi jalan di koridor, menaiki anak tangga dan
uji jalan 6 menit sebelum pulang.
3. Diskusi pentingnya program rehabilitasi jantung selama fase rawat inap sebagai bekal untuk
memulai fase rawat jalan.

Psikolog
Tidak sedikit pasien jantung yang mengalami depresi berat akibat penyakit jantung. Hal ini
akan berpengaruh kepada kepatuhan pasien dalam menerima saran perubahan pola hidup serta
pengobatan yang nanti akan berdampak pada prognosis penyakit. Peran psikolog penting dalam
program rehabilitasi jantung. Psikolog bertugas untuk melakukan penilaian kognitif kepada pasien
juga membantu pasien serta keluarga agar dapat beradaptasi dengan kondisi pasien.23

Perawat Rehabilitasi Jantung


Perawat Rehabilitasi Jantung biasanya memiliki latar belakang keperawatan jantung serta
pengetahuan perawat mengenai komponen keperawatan cukup luas sehingga cukup berkompeten

112 Rehabilitasi Kardiovaskuler


untuk bekerja tim menangani pasien dengan penyakit jantung. Peran perawat rehabilitasi
memberikan semangat serta membantu dalam pelatihan keterampilan yang dipelajari dalam sesi
terapi. Edukasi perawat juga berperan penting dalam meningkatkan hasil terapi dan menurunkan
risiko kejadian sindrom koroner akut berulang.23

Fisioterapis
Fisioterapis memiliki peran dalan komponen fisik dan edukasi untuk program rehabilitasi jantung.
Fisioterapis melaksanakan program terapi latihan masing-masing individu untuk meningkatkan
mobilitas melalui latihan, selain itu juga berkontribusi dalam program edukasi mengenai perubahan
pola hidup seperti penghentian merokok.23

Terapis Okupasi
Terapis okupasi memiliki beberapa peran dalam rehabilitasi jantung. Peran pertama adalah sebagai
edukator. Terapis okupasi perlu membangun hubungan yang baik dengan pasien dan keluarga
serta memberikan edukasi seputar rehabilitasi jantung melalui metode diskusi maupun role
playing. Kedua, terapis okupasi juga perlu mempromosikan gaya hidup sehat kepada pasien. Peran
terakhir adalah memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat melatih keterampilan dalam
memeriksakan tekanan darah, nadi, serta tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit jantung.
Secara umum, terapis okupasi membantu pasien untuk mengembalikan fungsi yang berhubungan
dengan kegiatan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL).23

Manfaat program rehabilitasi jantung24


Manfaat program rehabilitasi jantung dapat dicapai bila seluruh komponen dilaksanakan dengan
baik. Program rehabilitasi jantung yang komprehensif dapat menghasilkan outcome yang positif
untuk pasien. Menurut penelitian Taylor dan kawan-kawan tahun 2006, angka mortalitas menurun
dengan program rehabilitasi jantung berbasis latihan hampir sebesar 50% dari sebelumnya.

Beberapa penelitian meta-analisis telah dilakukan untuk mencari efektivitas rehabilitasi jantung
pada pasien sindrom koroner akut dan hasilnya menunjukkan bahwa adanya penurunan mortalitas
26 sampai 31% bila dibandingkan dengan pasien yang tidak mengikuti program rehabilitasi jantung.

Adapun manfaat lain dari program rehabilitasi jantung antara lain dapat memperbaiki toleransi
latihan pasien, mengendalikan gejala, memperbaiki kadar lemak dalam darah, menjaga berat
badan, membantu mengurangi kebiasaan merokok dan memperbaiki psikososial pasien.

Rehabilitasi jantung fase I (rawat inap)


Perawatan pasien yang dikelola secara komprehensif dapat memperpendek masa rawat inap di
rumah sakit serta memberikan kesempatan kepada pasien untuk melakukan rehabilitasi jantung
fase rawat jalan.9,13

Penelusuran dan pelaporan hasil kepada pasien dan dokter sangat penting untuk keberhasilan
dan keberlanjutan pencegahan sekunder. Staf harus memiliki pengetahuan tentang penyakit
kardiovaskular, manajemen faktor risiko dan cara merubah perilaku.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 113


Berdasarkan guidelines cardiac rehabilitation and secondary prevention, pasien yang dirawat inap
di rumah sakit akibat penyakit jantung koroner perlu dilakukan program rehabilitasi jantung yang
terdiri dari:2,9

- Pemeriksaan awal dan mobilisasi dini,


- Identifikasi dan informasi mengenai faktor risiko serta perawatan diri,
- Selanjutnya rencana pulang perawatan secara menyeluruh termasuk rencana kontrol dan
melanjutkan program rehabilitasi jantung masa transisional, fase rawat jalan (outpatient) dan
fase maintenance.

Menurut penelitian Babu dan kawan-kawan dalam Protocol-Guided Phase 1 Cardiac Rehabilitation
in Patients with ST-Elevated Myocardial Infarction (STEMI) in A Rural Hospital (2010), ada 30 subyek
penelitian yang terdiri dari 15 orang melakukan program sesuai protokol fase I dan 15 orang
kelompok kontrol.25 Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa program rehabilitasi jantung fase
I dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan tanda vital ke baseline
(tekanan darah dan denyut jantung) pada kondisi semula setelah pasien dilakukan latihan dan uji
jalan 6 menit sebelum pulang dari perawatan. Juga terdapat perubahan yang signifikan pada Rating
of Perceived Exertion (RPE) dari skala Borg secara signifikan yaitu terdapat penurunan menuju
kondisi awal lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan adanya
manfaat dilakukannya program rehabilitasi jantung fase I pada pasien STEMI sindrom koroner
akut.25

Staf rehabilitasi jantung harus menilai mengenai pemahaman pasien tentang penyakitnya,
mengetahui gejala yang timbul pada pasien dan tujuan pasien untuk mengikuti rehabilitasi
jantung.2,9

Dalam program rehabilitasi jantung, diperlukan penilaian pasien meliputi wawancara dan evaluasi
aktivitas fisik untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi pasien dalam mengikuti program
rehabilitasi jantung, juga harus memulai penilaian terhadap faktor risiko penyakit jantung.13

Parameter penilaian untuk kegiatan Program Rehabilitasi Jantung Fase I (Rawat Inap)

Pasien dianggap stabil untuk mobilisasi dan memulai program rehabilitasi jantung jika:6,14,15

- Tidak ada nyeri dada baru atau berulang selama 8 jam terakhir.
- Tidak ada perubahan irama abnormal yang signifikan pada elektrokardiogram selama 8 jam
terakhir.
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung misalnya dispnea saat istirahat.
- Tidak ada peningkatan kadar CK-MB atau kadar troponin.

Parameter untuk melanjutkan Program Rehabilitasi Jantung:

Perkembangan aktivitas tergantung pada penilaian awal serta penilaian fisik sehari-hari yang
didokumentasikan. Pasien dapat dipertimbangkan untuk melanjutkan aktivitas jika selama latihan
menunjukkan respon seperti:6,14,16

- Peningkatan denyut jantung tidak lebih dari 30 kali/menit

114 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Peningkatan tekanan darah sistolik 10-40 mmHg
- Tidak ada perubahan ST-T selama aktivitas
- Tidak ada gejala kardiovaskular baru seperti berdebar-debar, dispnea, kelelahan yang
berlebihan atau nyeri dada dengan aktivitas.

Assessment awal sebelum Program Rehabilitasi Jantung:

- Pemeriksaan fisik. Dilakukan pemeriksaan secara sistematis dari ujung kepala sampai ujung
kaki.13
- Inspeksi area jantung di sekitar dada sebelah kiri
- Palpasi denyut jantung (iktus kordis)
- Perkusi untuk menentukan pembesaran jantung
- Auskultasi bunyi jantung dan paru
- Palpasi pulsasi nadi perifer
- Menilai kekuatan dan kelenturan musculoskeletal

- Pemeriksaan penunjang:13
- Laboratorium
- Elektrokardiografi
- Ekokardiografi
- Radiologi
- Kateterisasi jantung

Seleksi pasien untuk memasuki program rehabilitasi jantung fase rawat inap sangat penting.
Rehabilitasi jantung sudah dapat dimulai pada hari pertama saat pasien kondisi stabil ketika masih
di ICCU khususnya pasien dengan infark miokard sederhana yang memiliki prognosis yang baik
seperti pasien tanpa aritmia yang signifikan, gagal jantung, hipotensi atau syok kardiogenik dan
nyeri dada persisten atau rekuren. Pasien dengan komplikasi memerlukan tirah baring lebih lama
dan rehabilitasi dapat dimulai jika komplikasi tersebut sudah stabil.1,13,14

Panduan utama untuk memulai aktivitas fisik rehabilitasi jantung di ICCU adalah aktivitas harus
dimulai dengan latihan yang dinamis dengan intensitas rendah (1-2 METs). Pada fase ini pasien
diharapkan dapat melakukan perawatan diri secara mandiri seperti makan, mandi, buang air serta
mampu melakukan aktivitas ringan seperti latihan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi (range
of motion) lengan dan tungkai untuk mempertahankan tonus otot dan mobilitas sendi. Pasien
juga dianjurkan untuk duduk di samping tempat tidur atau di kursi sebelah tempat tidur untuk
meminimalisir penurunan cairan intravaskular.1,13,14

Terdapat berbagai macam protokol yang dapat digunakan, namun secara garis besar rehabilitasi
jantung fase rawat inap mengedepankan latihan, aktivitas sehari-hari di rumah sakit, aktivitas
rekreasional dan edukasional. Tim rehabilitasi jantung yang mensupervisi latihan harus
mendokumentasikan respon aktivitas fisik pada pasien seperti denyut nadi, tekanan darah, saturasi
oksigen dan gejala klinis yang timbul. Menurut guidelines cardiac rehabilitation and secondary
prevention tahun 2013 program rehabilitasi jantung fase rawat inap di ICCU cukup dilakukan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 115


selama 5 hari setelah pasien stabil khususnya pada pasien yang tidak memiliki komplikasi. Tujuan
utama rehabilitasi jantung fase rawat inap adalah untuk mengurangi penurunan fungsi fisiologis
dan psikologis akibat tirah baring yang lama. Biasanya pasien sudah mampu melaksanakan kegiaan
sehari-hari dengan aktivitas fisik 3-4 METs sebelum pulang dari rumah sakit.1,13,14

Latihan utama yang dapat dilakukan pada masa perawatan di rumah sakit adalah melakukan
stretching, latihan penguatan dan endurance dilanjutkan latihan berjalan. Berjalan dapat dilakukan
secara progresif dengan meningkatkan kecepatan dan jarak bergantung pada kemampuan toleransi
pasien. Aktivitas ini dapat dilakukan 2-3 kali sehari diselingi waktu istirahat. Pasien dilatih menaiki
anak tangga sebelum meninggalkan rumah sakit, dengan turun 1 lantai atau menaiki setengah
lantai dan turun tangga ½ lantai pada hari keempat, kemudian pasien mampu naik satu lantai dan
turun tangga satu lantai sebelum pasien pulang. Aktivitas isometrik selama perawatan di ICCU
tidak dianjurkan karena hanya melibatkan 20% dari kemampuan kontraksi dan meningkatkan
sedikit tekanan darah.1,13,14

Tabel 4.8 Program Rehabilitasi Jantung Fase Rawat Inap, Aktivitas 5 hari perawatan13,16
MET Level Aktivitas

Hari pertama 1-2 - Tirah baring hingga stabil


- Duduk di kursi samping tempat tidur / Out of bed (OOB)
- BAB di samping tempat tidur
Hari kedua 2-3 - Aktivitas rutin di ICCU terutama perawatan diri
- Duduk sambil melakukan gerakan ringan
- Berjalan di ruangan
Hari ketiga 2-3 - Duduk di samping tempat tidur sesuai kemampuan
- Berdiri sambil melakukan gerakan ringan
- Berjalan 5-10 menit di koridor, 2-3 kali sehari (dengan supervisi)
Hari keempat 3-4 - Mandi dengan shower diatas kursi
- Berdiri sambil melakukan gerakan ringan
- Berjalan 5-10 menit di koridor, 3-4 kali sehari
- Turun tangga 1 lantai, atau naik dan turun tangga ½ lantai (dengan supervisi)
Hari ke lima 3-4 - Aktivitas rutin seperti diatas
- Naik dan turun tangga 1 lantai dengan supervisi
- Latihan berjalan di treadmill (sesuai fasilitas rumah sakit)

Sebelum pulang dari perawatan rumah sakit sebaiknya dilakukan uji jalan 6 menit untuk
mengetahui kapasitas erobik. Dengan diketahuinya kapasitas erobik, secara pasti dapat
mengetahui aktivitas yang dapat dikerjakan setelah pulang dari rumah sakit. Program rehabilitasi
jantung merupakan intervensi yang komprehensif mencakup bagaimana seseorang melakukan
aktivitas latihan, aktivitas hobi, aktivitas bekerja dan aktivitas seksual. Di samping hal tersebut
juga disiapkan program konseling dan edukasi sesuai dengan faktor risiko yang ada pada pasien
dengan masalah jantung. Secara umum penilaian aktivitas dilihat dari kemampuan untuk duduk di
samping tempat tidur lalu berdiri kemudian duduk kembali (out of bed). Juga dinilai kemampuan
pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti menggosok gigi, menyisir rambut, uper dan
berpakaian.2,13,14,15,16,18,19

116 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Respon yang diharapkan pada aktivitas intensitas rendah di ruang perawatan:1,13,14

- Denyut jantung <120 kali/menit atau 15-20 x/menit di atas denyut jantung istirahat, pada
pasien yang mendapat obat beta-adrenergik bloker.
- Tidak ada nyeri dada, upervi, palpitasi dan kelelahan.
- Tidak ada aritmia.
- Tidak ada peningkatan segmen ST yang menandakan infark miokard.
- Tidak ada penurunan tekanan darah sistolik >10-15 mmHg.

Penghentian latihan pada program rehabilitasi jantung fase rawat inap apabila didapatkan respon
abnormal selama aktivitas latihan seperti:2,13,14,15,16,18,19

- Peningkatan tekanan darah sistolik lebih besar 40 mmHg dan penurunan tekanan darah sitolik
≥10 mmHg.
- Peningkatan HR >130 kali/menit atau >30 kali/menit dari keadaan istirahat.
- Aritmia ventrikel / aritmia atrium yang signifikan.
- AV blok derajat dua dan tiga.
- Tanda atau gejala intoleransi latihan, seperti angina pektoris, dispnea dan palpitasi.
- Perubahan elektrokardiogram sugestif iskemia.

Penurunan tekanan darah sistolik menandakan iskemia ventrikel yang dicetuskan oleh aktivitas
akibat ketidaksesuaian supply dan demand. Respon yang abnormal menandakan beban latihan
terlalu tinggi sehingga perlu direvisi untuk menurunkan tingkat aktivitas latihan. Sedangkan bila
respon terhadap aktivitas sesuai, pasien akan mengalami peningkatan kapasitas aktivitas fisik
dengan intensitas yang lebih tinggi.2,13,14,15,16,18,19

Supervisi klinis di ICCU


Supervisi klinis yang sesuai dengan risiko dan respon yang dialami selama latihan adalah
hal yang paling penting untuk faktor keamanan pasien selama rehabilitasi jantung.
Observasi dapat dilakukan berulang kali selama latihan dan saat pemulihan untuk menilai derajat
kesehatan pasien. Supervisi klinis juga termasuk mengedukasi pasien untuk mengenali dirinya
sendiri dan melaporkan jika terjadi perubahan gejala. Komunikasi juga perlu dibangun untuk
meningkatkan kepatuhan pasien jantung mengikuti program rehabilitasi jantung. Sebaiknya pasien
dilakukan upervise selama melakukan aktivitas di ICCU yang bertujuan: 13

- Deteksi dini jika ada respon abnormal pada aktivitas rendah


- Mencegah beban latihan yang terlalu berat
- Memberi semangat pada pasien yang takut berkaktivitas

Pemantauan EKG
Jumlah sesi pemantauan EKG tidak ditentukan dari keadaan klinis selama latihan, pencegahan
sekunder dan dari lamanya program. Pemantauan EKG selama latihan adalah salah satu dari beberapa
teknik yang dapat digunakan untuk supervisi klinis pasien. Penggunaaan EKG meningkatkan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 117


keamanan namun tidak menentukan lamanya program.13 Pemantauan EKG tampaknya berbanding
terbalik dengan risiko, tetapi tidak ada prediktor kuat yang ada untuk membantu mengidentifikasi
untuk siapa pemantauan EKG berkelanjutan dibutuhkan.13

Tujuan pemantauan EKG untuk:13

- Mendeteksi disritmia berbahaya atau perubahan EKG yang signifikan lainnya untuk memulai
latihan sebelum timbul komplikasi;
- Monitor sesuai dengan resep latihan, terutama berkenaan dengan denyut jantung
- Meningkatkan kepercayaan diri pasien untuk kegiatan independen.

Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pasien jantung dibagi menjadi:1,13

1. Aktivitas ringan
2. Aktivitas sedang
3. Aktivitas berat

Tabel 4.9 Aktivitas Ringan1,13

Aktivitas Posisi METs


Makan Duduk 1.60
Menjahit Duduk 1.60
Membaca Duduk 1.60
Mengatur Berdiri 1.60
Berpindah dan kembali ke tempat tidur Dari tempat tidur ke kursi 1.65
Membuat kerajinan dari kulit Duduk di kursi 1.70
Menenun, taplak meja Duduk di kursi 1.70
Membaca Berdiri 1.80
Menulis Duduk 2.00
Mengetik Duduk 2.00
Tes aktivitas bimanual Duduk 2.00
Menenun, karpet Duduk di kursi 2.10
Memalu Berdiri 2.15
Menggunakan mesin press Berdiri 2.30
Merakit kursi Duduk 2.35
Menjemur baju Berdiri dan membungkuk 2.40

Tabel 4.10 Aktivitas Sedang1,13

Aktivitas Posisi METs


Bermain piano Duduk 2.50
Memakai dan melepaskan pakaian Duduk/berdiri 2.50-3.50
Bersepeda ringan Duduk 2.90

118 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Menyiapkan makanan Duduk/berdiri 3.00
Mengangkat beban, 10 lb setinggi 15 inch Duduk 2.80
Berjalan 2 mph Berdiri 3.20
Menggergaji kayu Berdiri 3.50
Mandi air hangat Duduk 3.50

Tabel 4.11 Aktivitas Berat1,13

Aktivitas Posisi METs


Buang air besar Toilet 3.60
Merapihkan tempat tidur Berdiri 3.90
Mandi air hangat Berdiri 4.20
Jalan cepat (3.5mph) Berdiri 5.00
Turun tangga Berdiri 5.20
Menyikat lantai Berlutut 5.30
Naik 2 lantai Berdiri 5.70
Mengangkat beban 10-20 lb setinggi 36 inch 15/min Berdiri 6.50
Bersepeda cepat Duduk 6.90
Berlari Berdiri 7,40
Memotong rumput Berdiri 7.70

Tabel 4.12 Respon aktivitas yang sering dilakukan pada awal rehabilitasi jantung.13
Aktivitas Metode METs Respon detak jantung normal

Toilet Bab Pispot 1-2


Commode 1-2 5-15 dari HR istirahat
Bak (di tempat 1-2
tidur) 1-2
Bak (berdiri)
Mandi Di tempat tidur 2-3
Di Bath tub 2-3 10-20 dari HR istirahat
Shower 2-3
Berjalan Permukaan yang
datar 2-2,5
- 2 mph 2,5-2,9 5-15 dari HR istirahat
- 2,5 mph 3-3,3
- 3 mph
Latihan anggota gerak Posisi Berdiri:
atas Lengan 2,6-3,1 10-20 dari HR istirahat
Tubuh 2-2,2
Leg calisthenics 2,5-4,5 15-25 dari HR istirahat
Menaiki tangga Turun 1 lantai 2,5 10 dari HR istirahat
Naik 1-2 lantai 4,0-5,0 10-25 dari HR istirahat

Rehabilitasi Kardiovaskuler 119


Uji latih sebelum keluar rumah sakit
Uji latih jalan 6 menit bisa dilaksanakan ketika pasien akan merencanakan pulang, dimulai dengan
aktivitas intensitas ringan yang didisain untuk menimbulkan respon 120-130 kali/menit atau 70%
dari denyut jantung maksimal sesuai usia. Di beberapa pusat rehabilitasi jantung, pasien sering
diuji dengan tes maksimal/symptom limited test atau dapat digunakan aktivitas 3-4 METs sebagai
target uji latih jika tidak ditemukan keluhan.1,13

Sebelum pulang dari perawatan dilakukan uji jalan enam menit yang dapat memberikan data
respon latihan yang berguna untuk pedoman kegiatan di rumah dan untuk melanjutkan program
fase rawat jalan. Uji latih dengan treadmill sebelum pulang dari rumah sakit dapat dilakukan pada
pasien infark miokard yang tidak ada komplikasi dengan tujuan untuk menentukan batas aktivitas
yang mampu ditoleransi dan menilai kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari serta
kembali bekerja. Uji latih juga mampu mengidentifikasi gangguan yang dicetuskan aktivitas seperti
nyeri dada, aritmia, disfungsi ventrikel, perubahan gelombang ST-T pada infark miokard.1,13

Perubahan EKG dan gejala pada aktivitas rendah menandakan oklusi yang berat atau melibatkan
banyak pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti angiografi yang dilanjutkan dengan terapi intervensi. Kapasitas aktivitas yang rendah
sering disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri yang ditandai dengan timbulnya angina, perubahan
segmen ST dan aritmia ventrikuler. Fungsi terakhir uji latih adalah meningkatkan kepercayaan diri
pasien serta menghilangkan rasa takut untuk beraktivitas fisik.1,13

Pada beberapa kasus, pasien tidak benar-benar bisa dikelompokkan ke dalam salah satu kelompok
menggunakan kriteria stratifikasi di atas seperti pada pasien dengan hasil uji jalan 6 menit yang
tidak dapat dikelompokkan atau penyakit komorbid lain yang menyertai secara signifikan.1,13

Pasien yang tidak dilakukan uji latih antara lain:1,13

- Pasien dengan EKG abnormal saat istirahat seperti:


- Left Bundle Branch Block (LBBB), hipertrofi ventrikel kiri (LVH) dengan atau tanpa perubahan
gelombang ST-T resting
- Nonspecific intraventricular blok
- Pola EKG dengan gambaran Wolff-Parkinson-White
- Aritmia ventrikular
- Terapi digitalis

Perencanaan keluar rumah sakit


Proses perencanaan pulang harus mempertimbangkan dua prinsip dasar yakni, keselamatan
pasien dan kesinambungan program rehabilitasi jantung. Beberapa parameter telah disusun untuk
menentukan pasien pulang dari rumah sakit antara lain:2,13-16,18,19

- Stabilitas fisiologis dan kemampuan fungsional


- Kemampuan untuk melaksanakan perawatan diri
- Ketersediaan dukungan sosial
- Akses ke sumber daya kesehatan

120 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Rehabilitasi jantung masa transisional
Program transisional merupakan bagian dari kelanjutan rehabilitasi jantung setelah pasien keluar
dari rumah sakit. Masa transisional dapat dilakukan di 3 tempat sebagai berikut:13

- Fasilitas rehabilitasi di rumah sakit


Pasien memerlukan terapi rehabilitasi yang spesifik dan mampu mengikuti program latihan.
- Fasilitas kesehatan dengan tenaga paramedis terlatih
Pasien yang belum mampu mengerjakan beberapa kegiatan sehari-hari dan memerlukan
bantuan dari tenaga kesehatan.
- Aktivitas di rumah
Pasien yang dirawat di rumah dan dapat dibantu dengan tenaga medis

Rehabilitasi jantung fase II (outpatient)


Pada saat memulai maupun saat selesai program, semua pasien harus menjalani skrining sebagai
berikut:13

- Riwayat penyakit sekarang dan dahulu, baik secara medis atau profil bedah (atau keduanya),
termasuk komplikasi, komorbiditas dan riwayat medis terkait lainnya
- Pemeriksaan fisik sistem kardiovaskular, pulmonar dan penilaian neuromuskuloskeletal,
terutama ekstremitas atas dan bawah.
- 12-lead elektrokardiogram saat beristirahat
- Riwayat pengobatan sekarang, termasuk dosisnya.
- Profil risiko penyakit jantung koroner, termasuk yang berikut:
- Identifikasi usia dan jenis kelamin dan status menopause jika perempuan, riwayat keluarga
- Penggunaan produk tembakau
- Riwayat dan tingkat kontrol hipertensi
- Riwayat dan tingkat kontrol dislipidemia termasuk profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL
dan trigliserida); profil lipid sebelum serangan jantung atau 6 sampai 8 minggu pasca
serangan; pola diet, khusus kandungan nutrisi termasuk lemak tidak jenuh, lemak jenuh,
kolesterol dan asupan kalori
- Komposisi tubuh (berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio
pinggang-pinggul dan kegemukan tubuh relatif)
- Glukosa darah puasa atau hemoglobin A1c dan riwayat diabetes melitus
- Status aktivitas fisik termasuk kapasitas latihan, waktu luang aktivitas fisik, duduk setiap
hari atau waktu menetap
- Riwayat psikososial termasuk depresi, tingkat emosi dan stres
- Tingkat emosional dan stres

Stratifikasi risiko
Semua pasien yang didiagnosis dengan penyakit kardiovaskular menilai stratifikasi risiko sebelum
melakukan program rehabilitasi jantung ketika sudah stabil. Pasien harus dikelompokkan menurut
risiko untuk mencegah terjadinya efek samping selama latihan.13

Rehabilitasi Kardiovaskuler 121


Tujuan dari program latihan adalah untuk meningkatkan endurance, kapasitas erobik dan
membangun sistem kolateral serta mencapai manfaat fisiologis dan psikologis serta kemampuan
aktivitas fisik dengan menggunakan dosis latihan yang sesuai kondisi pasien. Stratifikasi risiko
pada penyakit jantung koroner merupakan sebuah elemen penting demi keamanan. Stratifikasi
yang tidak tepat dapat mengurangi keamanan pasien selama mengikuti program rehabilitasi
jantung. Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas terkait
dengan latihan atau risiko keseluruhan. Meskipun demikian, stratifikasi risiko selama latihan
adalah indikator klinis yang dapat membantu menentukan tingkat yang tepat dari pengawasan
bagi setiap individu.13

Stratifikasi risiko latihan


Stratifikasi risiko sebaiknya dilakukan saat pasien memulai rehabilitasi jantung fase rawat jalan.
Stratifikasi risiko latihan ini disusun agar tim rehabilitasi jantung dapat melakukan program dengan
risiko seminimal mungkin.13

Tabel 4.13 Stratifikasi risiko untuk keselamatan selama mengikuti latihan fisik10

RISIKO

Rendah Sedang Tinggi


- Tidak ada disfungsi Fungsi - Disfungsi sedang - Disfungsi Signifikan, Fungsi sistolik
sistolik ventirkel kiri yang Fungsi sistolik ventirkel kiri EF <40%
signifikan, EF >50% ventirkel kiri, EF = 40- - Aritmia/disritmia ventrikuler kompleks
- Tidak ditemukan Aritmia/ 49% Timbul saat istirahat dan latihan
disritmia ventrikuler - Gejala dan angina - Gejala dan angina timbul dengan
kompleks baik saat timbul dengan aktivitas ringan (<5 mets) atau selama
istirahat maupun selama aktivitas sedang (5-6,9 istirahat.
latihan METs) atau selama - Kapasitas Latihan < 5 METs*
- Asimptomatik, tidak ada istirahat. - Respon hemodinamik abnormal
angina yang terinduksi dengan latihan Tidak ada peningkatan
latihan maupun saat atau terjadi penurunan tekanan darah
istirahat sistolik atau denyut jantung dengan
- Kapasitas Latihan ≥ 7 peningkatan beban
METs* - Infark atau prosedur invasif dengan
- Respon hemodinamik komplikasi syok kardiogenik dan/atau
Normal dengan latihan edema paru. Iskemik persisten setelah
- Infark tanpa komplikasi/ terapi invasif
CABG/PTCA - Ditemukan depresi yang signifikan
- Tidak adanya CHF dan secara klinis
gejala menandakan iskemia
yang sudah lama.
- Tidak didapatkan depresi
secara klinis

122 Rehabilitasi Kardiovaskuler


NYHA kelas I NYHA kelas II NYHA kelas III-IV
- Klasifikasi risiko rendah - Klasifikasi risiko - Klasifikasi risiko tinggi dipilih bila
dipilih bila didapatkan sedang dipilih bila didapatkan salah satu dari faktor
semua faktor dalam pasien tidak dapat risiko yang tercantum dalam
setiap kategori ini memenuhi klasifikasi kategori ini
risiko rendah atau
tinggi
*Bila kapasitas latihan tidak ada maka variabel ini tidak dipertimbangkan pada stratifikasi risiko

Parameter untuk menilai risiko juga dapat digunakan hal sebagai berikut:13

- Keluhan nyeri dada (chest pain)


- Pemantauan EKG baik kontinyu atau intermiten
- Tekanan darah
- Denyut jantung / heart rate
- Respirasi dengan skala Borg
- Saturasi oksigen dengan pulse oksimetri

Keamanan pasien
Komplikasi yang dicetuskan oleh aktivitas dapat dicegah dengan skrining dan stratifikasi risiko
yang tepat pada awal sebelum memulai latihan dengan mencocokkan riwayat medis pasien,
dokter sebaiknya mampu menilai adakah kontraindikasi untuk memulai latihan pada pasien dan
menentukan uji latih sebelum memulai latihan juga perlu dilakukan informed consent.1,13

Pengetahuan peralatan emergensi bagi staff rehabilitasi jantung diperlukan agar tim rehabilitasi
jantung mampu menangani kasus emergensi, yang merupakan dasar dari keamanan program
rehabilitasi jantung. Tingkat supervisi tergantung dari tingkat risiko setiap individu, pasien
dengan risiko tinggi seperti infark miokard yang belum lama, gagal jantung atau aritmia perlu
dimonitor langsung oleh dokter. Staf rehabilitasi jantung yang terlatih dapat melakukan uji latih
dan monitoring selama latihan dan recovery, dengan supervisi oleh dokter spesialis kedokteran
fisik dan rehabilitasi.1,13

Pada keadaan dibawah ini pasien tidak diperbolehkan mengikuti program rehabilitasi jantung
seperti:1,10,13

- Angina tidak stabil


- Gagal jantung tidak terkompensasi
- Aritmia yang tidak terkontrol
- Stenosis aorta yang berat
- Kardiomiopati hipertrofi obstruktif
- Hipertensi pulmoner yang berat.
- Kondisi lain yang dipicu oleh aktivitas. Contoh: SBP > 180 atau DBP istirahat > 110 mmHg,
- Miokarditis atau perikarditis
- Diseksi aorta

Rehabilitasi Kardiovaskuler 123


- Tromboflebitis
- Emboli paru

Program latihan pada rehabilitasi jantung fase rawat jalan seringkali dimulai untuk pasien pasca
infark miokard akut baik yang nonintervensi dan intervensi segera setelah pulang dari rumah sakit.
Fase rawat jalan (fase II) umumnya berlangsung 4 hingga 8 minggu untuk mencapai kamajuan
fungsional yang optimal kira-kira mencapai aktivitas 6 METs. Program rehabilitasi jatung fase
rawat jalan biasa dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi rawat jalan di rumah sakit atau di pusat
kegiatan masyarakat atau komunitas yang tersedia EKG, tenaga kesehatan dan dokter yang
mensupervisi.1,13

Menurut penelitian Yokohama dan kawan-kawan tahun 2015 dalam Effects of Phase II Comprehensive
Cardiac Rehabilitation on Coronary Plaque Volume After Acute Coronary Syndrome, diteliti dari 46 pasien
sindrom koroner akut yang telah melewati fase I terdapat 21 orang mengikuti program fase II, setiap
sesi latihan melakukan pemanasan, latihan resisten dan pendinginan dilanjutkan latihan erobik
menggunakan sepeda statis (cycling) atau berjalan di treadmill atau berjalan di track dengan total
waktu 60 menit per sesi, dengan frekuensi latihan 1-2 kali per minggu selama 6 bulan. Penelitian
ini mendapatkan kesimpulan adanya penurunan dari indeks massa tubuh, lingkar perut, lingkar
panggul dan berat badan secara signifikan (p<0.05) pada peserta rehabilitasi jantung fase II. Selain
itu juga didapatkan peningkatan VO2 puncak, kekuatan otot dan toleransi latihan pada kelompok
latihan. Dengan latihan, pasien penyakit jantung mampu meningkatkan VO2 max 10% hingga 56%,
tergantung dari usia, keadaan klinis dan kepatuhan selama mengikuti latihan. 1,13,26

Bila fasilitas di rumah sakit memiliki monitor EKG yang merupakan modalitas untuk menilai
perubahan irama dan segmen ST serta menilai denyut jantung maksimal yang boleh dicapai
pasien. Monitor menggunakan EKG didasari pada keadaan klinis pasien, kapasitas fungsional dan
stratifikasi risiko.1,13 Terdapat dua program yang dapat dilakukan, antara lain program rehabilitasi
jantung dengan supervisi dan program latihan di rumah (komunitas). Program latihan di rumah
tanpa pengawasan dengan atau tanpa monitor EKG terbukti aman pada pasien risiko rendah.
Walaupun kapasitas fungsional yang dapat dicapai oleh pasien infark miokard menggunakan
program latihan di rumah sama dengan yang menggunakan program rehabilitasi jantung dengan
supervisi.

Terdapat beberapa keuntungan penggunaan program rehabilitasi jantung dengan supervisi:1,13

- Menurunkan risiko terjadinya kondisi fatal


- Membangun kepatuhan dalam melaksanakan pengobatan dan terapi
- Dapat mengevaluasi hasil latihan, keamanan dan keefektifannya dalam implementasi ke
kegiatan sehari-hari.
- Memberikan dukungan psikososial
- Memberikan edukasi tentang penyakit dan penatalaksanaannya
- Menyediakan lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan dan depresi pada pasien
- Jika dilakukan terapi kelompok, pasien akan merasakan hubungan saling membangun satu
dengan yang lain

124 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Berikut ini adalah kemampuan yang harus dicapai pada fase II selama 4-8 minggu pertama
mengikuti program rehabilitasi jantung:13

- Aktivitas rumah tangga


- Menaiki tangga
- Mengangkat barang/benda
- Olahraga berjalan di fasilitas kesehatan
- Aktivitas seksual
- Berkendaraan
- Kembali bekerja
- Kegiatan rekreasi dan sosial

Pada tahap akhir setelah mengikuti program rehabilitasi jantung fase II, maka akan dirujuk kembali
kepada ahli jantung untuk dilakukan uji latih treadmill dalam rangka evaluasi latihan. Dari hasil
treadmill akan diketahui apakah pasien bisa melanjutkan fase maintenance (fase III) program
rehabilitasi jantung. Apabila hasilnya mencapai kapasitas erobik 6-8 METs maka pasien akan
ditingkatkan kemampuan endurance nya mengikuti program fase III rehabilitasi jantung.13

Tabel 4.14 Parameter pasien yang telah melewati rehabilitasi jantung fase rawat jalan 13,27,28,29

Parameter Standar yang diharapkan


Kapasitas 5-6 METs
fungsional
Status kesehatan - Respon hemodinamik normal selama latihan (peningkatan tekanan darah yang
sesuai, EKG normal, tidak ada aritmia)
- Tidak ada angina atau angina pektoris stabil
- Denyut jantung <90 kali/menit dan tekanan darah yang stabil dan atau terkontrol
saat istirahat <140/90 mmHg
Kebugaran fisik Kemampuan fisik yang sesuai dengan aktivitas sehari-hari dan kebutuhan pekerjaan,
yang setara dengan 5-6 METs.
Edukasi Pasien memahami:
- Patofisiologi penyakit kardiovaskuler
- Rencana intervensi
- Gaya hidup sehat menjauhi faktor risiko PJK
- Alasan setiap pengobatan yang diberikan
- Batasan aktivitas fisik yang diperbolehkan, termasuk aktivitas seksual, vokasional
dan rekreasional
- Latihan personal yang diresepkan dan dapat melakukan sesuai batasan yang
ditetapkan
- Gejala dan tanda intoleransi yang timbul akibat kelelahan fisik

Penelitian yang dilakukan oleh Haddazadeh dan kawan-kawan (2011) di India, menyimpulkan
bahwa pasien yang mendapatkan rehabilitasi jantung selama 12 minggu didapatkan peningkatan
fraksi ejeksi yang siginifkan (p=0,001) dari 46,9 ± 5,9 % menjadi 61,5 ± 5,3 %, penelitian ini

Rehabilitasi Kardiovaskuler 125


diikuti oleh 42 pasien yang terbagi pada kelompok latihan sebesar 28 orang dan kelompok kontrol
sebanyak 14 orang. Pada kelompok latihan terdapat 17,4% yang menjalani PTCA dan 82,6% yang
mendapat terapi secara konservatif tanpa tindakan sedangkan pada pasien kontrol 100% terdiri
dari yang mendapat terapi konservatif tanpa tindakan.30

Pada kelompok latihan diberikan dosis frekuensi 3 sampai 5 kali seminggu, yang terdiri dari 5-10
menit pemanasan (latihan napas, strecthing dan berjalan di treadmill tanpa beban), latihan erobik
20-40 menit dan diakhiri dengan pendinginan 5-10 menit. Latihan erobik yang dilakukan adalah
jalan di treadmill dengan intensitas 40-70% dari reserve HR sesuai dengan formula karvonen,
dengan RPE (rate percieved exertion) 11-14.30

Penelitian Heran dan kawan-kawan (2011) pada randomised clinical trial (RCT) di Inggris
menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung efektif untuk menurunkan total kematian
penyakit kardiovaskular pada jangka menengah dan jangka panjang, dan menurunkan angka
dirawat kembali (re-hospital) tetapi tidak megurangi jumlah total pasien infark miokard dan yang
akan menjalani revaskularisasi PTCA dan CABG.7

Dari 47 studi yang diteliti, 29 studi diantaranya menggunakan program komprehensif (yang
meliputi latihan, manajemen edukasi dan psikologi), 17 studi hanya menggunakan intervensi
latihan, dan satu studi melakukan pemilihan program secara acak pada pasien untuk mengikuti
program komprehensif, intervensi latihan saja, atau aktivitas biasa (tanpa latihan/edukasi/
manajemen psikologi).7

Program latihan rehabilitasi jantung yang digunakan berbeda setiap studi, yang durasinya berkisar
1-12 bulan, frekuensi 1-7 sesi perminggu, dan lama sesi 20-90 menit persesi. Kebanyakan
intensitas program diresepkan sesuai individu (individualy tailored). Program bebasis rumah sakit
(hospital based) umumnya menggunakan latihan bersepeda, treadmill atau latihan beban yang
disupervisi.7

Kebanyakan program berbasis komunitas (community based) tetap memerlukan intervensi di pusat
kesehatan pada tahap awalnya dan hampir semua program berbasis komunitas menggunakan
latihan berjalan. Baik kelompok intervensi dan kontrol tetap mendapat penatalaksanaan obat
seperti biasanya, edukasi tentang diet dan latihan, tetapi pasien kontrol tidak mendapatkan sesi
latihan formal.7

Dalal (2010) dalam systematic review dan meta-analisis pada British Medical Journal membandingkan
efek latihan rehabilitasi berbasis komunitas dengan berbasis rumah sakit pada angka morbiditas
dan mortalitas, kualitas hidup dan faktor risiko pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa rehabilitasi jantung berbasis rumah sakit dan komunitas
memiliki keefektifan yang hampir sama dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka
kejadian ulang pada pasien pasca MI atau revaskularisasi, tetapi keterikatan pasien dalam mengikuti
program rehabilitasi jantung berbasis komunitas tidak setinggi rehabiliasi jantung berbasis rumah
sakit, sayangnya bukti keterikatan tersebut tidak ditemukan. Program rehabilitasi jantung berbasis
komunitas umumnya disupervisi dengan monitoring dan follow up dengan kunjungan langsung,
surat, atau telepon dari tim rehabilitasi, atau pasien dapat mencatat perkembangannya sendiri.8

126 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Rehabilitasi jantung fase III (maintenance)
Panduan program pemeliharaan (maintenance) diterbitkan oleh American Association of
Cardiovascular dan Pulmonary Rehabilitation (AACVPR) dan American College of Sports Medicine
(ACSM), umumnya program dilakukan berbasis rumah sakit dan komunitas, di rumah sakit program
dilakukan secara terstruktur, disupervisi oleh spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Program
komunitas dikhususkan pada pasien risiko rendah yang telah keluar dari rumah sakit yang stabil
secara klinis, tidak ada angina, aritmia saat latihan, pasien mengenali gejala penyakit jantung
koroner secara mendalam serta mampu mengatur intensitas latihan secara mandiri.1,13

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya dalam systematic review dan meta-analysis yang
dilakukan oleh Dalal dan kawan-kawan (2010) dengan mengambil dari 12 studi (1938 peserta),
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari angka mortalitas, kejadian penyakit
jantung, kapasitas latihan, faktor risiko (tekanan darah, kolesterol total dan LDL) dan kualitas
hidup antara program berbasis rumah sakit dengan program berbasis komunitas. Kedua program
tersebut memiliki efektivitas yang sama dalam memperbaiki klinis dan kualitas hidup pasien
sindrom koroner akut.8

Penelitian Mosleh dan kawan-kawan (2015) dalam Effects of community-based cardiac rehabilitation:
comparison with a hospital-based program juga menunjukkan bahwa keikutsertaan peserta program
berbasis komunitas dapat mencapai jumlah kehadiran yang serupa dengan peserta program
berbasis rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari angka keikutsertaan peserta program komunitas
sejumlah 136 dari 179 (75%) peserta dan 169 dari 209 (80%) peserta program berbasis rumah
sakit.31

Umumnya target yang harus dicapai pasien mampu memiliki kapasitas fungsional 6-8 METs. Fase
ini berlangsung selama 3-6 bulan, program dilakukan supervisi secara minimal dan setiap akhir
pada fase ini dilakukan uji treadmill untuk memasuki fase lifelong atau seumur hidup.1,13

Penelitian Onishi dan kawan-kawan (2010) dalam Effects of Phase III Cardiac Rehabilitation on
Mortality and Cardiovascular Events in Elderly Patients with Stable Artery Coronary Disease yang
terdiri dari 37 pasien pada kelompok latihan dan 74 pasien pada kelompok kontrol dengan
karakteristik demografis sebagai berikut: sindrom koroner akut (5 orang kelompok latihan dan
16 orang kelompok kontrol), pasca PCI (6 orang kelompok latihan dan 20 orang kelompok
kontrol), pasca CABG (1 orang kelompok latihan dan 7 orang kelompok kontrol) dan gagal jantung
kongestif (1 orang kelompok latihan dan 9 orang kelompok kontrol). Protokol rehabilitasi jantung
yang dilakukan dalam penelitian tersebut terdiri dari 10 menit pemanasan, 40-60 menit latihan
erobik, latihan resisten (sit-up, squats, push-up, back kick, front raise) dilanjutkan dengan 10
menit pendinginan. Program ini dilakukan selama 6 bulan. Menurut penelitian tersebut, program
rehabilitasi jantung fase III memiliki efek yang menguntungkan dalam menurunkan kejadian
penyakit jantung (cardiac events) pada usia lanjut. Data menunjukkan insiden kejadian penyakit
jantung (Major Adverse Cardiovascular Event/MACE) pada kelompok peserta program rehabilitasi
jantung (30%) lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (62%) secara signifikan dengan nilai
p=0.001. Selain itu angka kematian penyakit jantung dan pembuluh darah juga lebih rendah pada
kelompok latihan daripada kelompok kontrol tetapi tidak signifikan (p=0.081).32

Rehabilitasi Kardiovaskuler 127


Program tanpa supervisi
Latihan fisik pada fase III merupakan latihan fisik yang cukup berat, dengan intensitas latihan
70-85% dari denyut jantung maksimal, seperti berjalan cepat, jogging, sepeda ergocycle atau
treadmill. Latihan fase III di rumah sakit dilakukan dengan supervisi minimal, sedangkan latihan
di komunitas dilakukan tanpa supervisi karena kemampuan fisik pasien sesungguhnya sudah
setara dengan orang sehat. Walaupun demikian bagi pasien jantung kini tidak dianjurkan untuk
mengikuti program latihan dengan dosis yang berat, tetapi dianjurkan untuk mengikuti program
fase III dengan dosis moderat.1,13

Latihan fisik yang teratur dan terukur sesungguhnya adalah proses adapatasi yang akan membuat
sel miokard manjadi lebih tahan terhadap stres oksidatif. Akibatnya pembuluh darah koroner lebih
fleksibel sehingga pembuluh darah lebih mudah memberikan nutrisi ke sel miokard.1,13 Latihan
erobik sebaiknya dilengkapi dengan latihan fleksibilitas otot dengan senam erobik menggunakan
beban (dumbel) yang tidak terlalu berat untuk meningkatkan endurance secara signifikan. Latihan
senam untuk fleksibilitas otot mula-mula diawali pemanasan 5 – 10 menit berupa peregangan
(stretching), dilanjutkan dengan senam erobik 20-30 menit dan diakhri dengan senam pendinginan
5-10 menit.4,9 Setelah latihan fleksibilitas otot, pasien jantung melakukan jalan erobik dengan
target 3-4 km dalam 30 menit sampai mencapai kekuatan fisik yang optimal.4,13 Latihan fisik
yang dianjurkan pada penderita jantung sebaiknya dilakukan 3-5 kali dalam seminggu dengan
melakukan latihan intensitas ringan sampai moderate sehingga dapat menghasilkan peningkatan
antioksidan internal, menekan produksi radikal bebas dan meningkatkan aktivitas nitrik oksida
secara signifikan. Latihan fisik ini akan sangat bermanfaat jika dilakukan sesuai dosis yang
dianjurkan oleh spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi yang kompeten dalam mendesain
program Rehabilitasi Jantung.4,13

Latihan tanpa supervisi (lifelong) memiliki tujuan utama mempertahankan tingkat kebugaran
pasien. Fase ini biasanya dilakukan di rumah atau komunitas yang menyediakan beragam modalitas
latihan. Pada fase ini diharapkan pasien dapat melakukan olah raga teratur sesuai dosis yang telah
dilakukan pada fase sebelumnya dan pasien dapat melakukan aktivitas latihan bersama dengan
orang sehat yang tidak menderita masalah jantung.4,13

Peresepan latihan erobik


Untuk membuat resep latihan diperlukan suatu proses yang terdiri dari 3 langkah yaitu:

1. Penilaian (assessment): Informasi tingkat kebugaran dan kesehatan pasien sebelum memulai
latihan harus dapat diketahui secara jelas, demikian pula faktor risikonya.
2. Interpretasi: Dari informasi di atas maka kondisi pasien tersebut dapat disimpulkan.
3. Peresepan: Berdasarkan interpretasi di atas maka dibuatlah suatu resep latihan dengan suatu
tujuan yang disesuaikan bagi pasien tersebut.

Landasan latihan erobik adalah frekuensi, intesitas, waktu dan tipe (FITT), hal ini telah
direkomendasikan oleh American Association of Cardiovascular dan Pulmonary Rehabilitation
(AACVPR) dan ACSM (American College of Sport Medicine), dosis minimum dan maksimum latihan
harus diukur dengan tepat untuk mendapatkan manfaat latihan.13,27,28,33

128 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Frekuensi latihan
Walaupun volume total aktivitas fisik merupakan faktor utama dalam mencapai manfaat latihan
namun frekuensi latihan fisik misalnya jumlah hari dalam 1 minggu yang digunakan untuk latihan
juga dianggap penting. Manfaat latihan bisa didapatkan pada pasien dengan frekuensi latihan
3 hingga 5 kali latihan perminggu dengan intensitas sedang. Namun frekuensi minimal ini tidak
dapat direkomendasikan untuk populasi dewasa secara umum karena adanya risiko tinggi cidera
muskuloskeletal dan efek samping kardiovaskular yang merugikan pada orang yang tidak aktif
secara teratur. American College of Sport Medicine (ACSM) merekomendasikan frekuensi latihan
3-5 kali perminggu yang secara signifikan terdapat peningkatan kebugaran fisik dengan frekuensi
lebih dari 3 kali perminggu dan mencapai peningkatan yang menetap (plateau) jika latihan
dilakukan 5 kali perminggu. Latihan fisik dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan kejadian
cidera sehingga dosis aktivitas fisik ini tidak disarankan untuk orang dewasa pada umumnya.13,20,21

Intensitas latihan
Terdapat peningkatan manfaat latihan dengan peningkatan intensitas latihan. Ada batasan
intensitas minimum yang dapat menghasilkan manfaat kebugaran untuk kebanyakan pasien.
Latihan dengan intensitas sedang (40-60% VO2 max) terdapat peningkatan denyut jantung dan
pernapasan yang direkomendasikan pada orang dewasa untuk mendapatkan manfaat latihan.
Latihan dengan intensitas ringan hingga sedang direkomendasikan untuk seluruh program
rehabilitasi jantung karena memiliki efek yang serupa dengan latihan intensitas tinggi.13,20,21

Perdebatan mengenai intensitas latihan tidak lengkap tanpa memahami prediksi frekuensi denyut
jantung maksimal saat uji latih sebelum dilaksanakan latihan pada orang dewasa. Formula 220
– usia telah digunakan secara luas untuk memprediksi frekuensi denyut jantung maksimal baik
untuk laki-laki maupun perempuan. Metode yang sederhana dapat digunakan namun memiliki
variabilitas yang tinggi untuk menilai denyut jantung maksimal, namun demikian untuk usia di
bawah 40 tahun penilaiannya terlalu rendah.13,20,21

Berbagai metode untuk menilai intensitas latihan meliputi:

- Heart rate reserve


- VO2 istirahat
- Rating of percieved exertion (RPE)
- Tes bicara
- Energi ekspenditur absolut per menit (kcal/menit)
- Persentase usia-prediksi HR maksimum (HR max)
- Persentase uptake oksigen (VO2)
- METs (ekuivalen metabolik)

Setiap metode di atas dapat meningkatkan kebugaran bila digunakan dengan tepat saat meresepkan
intensitas latihan. Menurut metode Karvonen intensitas latihan dapat direkomendasikan sesuai
dengan rentang intensitas latihan pada pasien infark miokard yaitu 40-50% sampai 85% dari heart
rate reserve.20,22

Rehabilitasi Kardiovaskuler 129


Waktu Latihan
Lamanya waktu latihan merupakan penilaian waktu aktivitas fisik dilakukan misalnya persesi,
perhari, perminggu atau juga berdasarkan kalori total yang dikeluarkan. Kuantitas aktivitas fisik
dapat dilakukan terus menerus atau intermiten dan diakumulasikan dalam satu hari dengan durasi
aktivitas fisik minimal 20 – 30 menit.9,10,13,14Jika lama latihan rendah (kurang dari 20 menit per sesi)
atau intensitas latihan rendah (kurang dari 60% dari denyut jantung maksimal) maka frekuensi
latihan dapat ditingkatkan. Berdasarkan data epidemiologi menyatakan bahwa frekuensi/durasi
latihan minimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan manfaat latihan dari aktivitas fisik adalah
selama 30 menit dan dilakukan 3 kali /minggu, setara dengan pengeluaran energi 700 kcal/sesi;
dan aktivitas fisik optimal dilakukan selama 30 menit dilakukan 5-7 kali/minggu, setara dengan
pengeluaran energi 2000-3500 kcal/minggu.13,28,33 Dikatakan bahwa jika program latihan
mengkuti aturan di atas maka akan terjadi peningkatan kapasitas erobik dan peningkatan ketahanan
kardiorespirasi yang ditandai dengan peningkatan VO2 max. Semakin besar intensitas latihan
maka akan terjadi peningkatan kapasitas kardiorespirasi yang semakin besar, dimana semakin
lama latihan dilakukan maka akan terjadi peningkatan ketahanan (endurance) kardiorespirasi yang
semakin besar.28,33

Komponen peresepan latihan Endurance pada pasien jantung yang stabil13,27,28

Tabel 4.15

Komponen Rekomendasi

Intensitas 40% - 80% dari HR maksimal atau VO2 max


Umumnya 11-14 dari 6-20 skala Borg sebagai pengukuran HR yang objektif
Penurunan HR >10x/menit, latihan dihentikan terutama apabila disertai dengan:
- Onset angina atau gejala insufisensi kardiovaskular
- SBP yang menurun ≥ 10mmHg; DBP >110 mmHg
- ST depresi >2mm, horisontal atau downsloping
- Abnormalitas sedang – berat pada gerakan dinding jantung saat aktivitas yang
dibuktikan dengan ekokardiografi
- Peningkatan disritmia ventrikel
- Gangguan EKG lain (AV block derajat 2 dan 3, fibrilasi atrium, SVT)
- Gejala dan tanda dari intoleransi latihan

Durasi 20-60 menit persesi


Durasi yang lebih panjang atau multipel sesi dalam sehari direkomendasikan untuk
meningkatkan pembakaran energi yang dapat mengurangi berat badan.

Frekuensi Idealnya dilakukan 3-5 hari seminggu

Tipe Gerakan ritmik dan melibatkan aktivitas banyak kelompok otot (treadmill, jalan,
sepeda dinamis, menaiki anak tangga, ergocycle/sepeda statis)

130 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 4.16 Komponen peresepan latihan kekuatan (Strength) pada pasien jantung yang Stabil13,27,28

Komponen Rekomendasi
Intensitas Resistensi yang dimungkinkan 10-15 repetesisi tanpa kelelahan
11-13 dari skala 6-20 Borg
Gerakan sebaiknya meliputi semua ROM, hindari menahan nafas (valsava manuver),
ekspirasi saat mendorong beban, dan inspirasi saat fase relaksasi
RPP tidak melewati batas yang ditetapkan (RPP= HRxSBP)

Volume Minimal 1 set setiap latihan


Dapat ditingkatkan hingga 2-3 set ketika sudah terbiasa dengan regimen yang
diberikan. Sebaiknya melakukan 8-10 latihan berbeda yang melibatkan banyak
kelompok otot seperti chest press, shoulder press, triceps extension, biceps curl, abdominal
crunch, quadriceps extension.
Frekuensi 3-5 kali seminggu, yang tidak berurutan (berselang satu hari)
Tipe Menggunakan beban, pemilihan peralatan harus aman efektif dan mudah dilakukan
seperti cycling, treadmill.

Perkembangan Beban latihan dapat ditingkatkan 5% jika pasien mencapai batas atas intensitas latihan
tanpa ada keluhan

Tabel 4.17 Komponen peresepan latihan awal tanpa uji latih maksimal sebelumnya13,27,28

Komponen Rekomendasi Awal


Pemanasan Stretching, kalistenik ringan, 5 – 10 menit
Kebugaran Frekuensi Durasi
Kardiorespirasi 3-5 hari perminggu 20-30 menit
Intensitas Tipe
2-4 METs Treadmill, ergometer lengan atau tungkai,
11-14 skala Borg menaiki anak tangga
Kebugaran Latihan beban yang melibatkan banyak kelompok otot
Muskuloskeletal
Pendinginan 5-10 menit

Pada pemantauan latihan program rehabilitasi kardiovaskular perlu monitoring dan evaluasi secara
ketat agar menghindari exercise induced (efek buruk) program latihan.

Tabel 4.18 Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian pada saat latihan (precaution) 13,27,28

Karakerisitik Diagnostik Perhatian Khusus


Angina Onset, frekuensi, durasi dan penyebab (contoh: latihan tubuh bagian
atas) dari gejala angina
Revaskularisasi (PTCA, CABG) Monitor gejala terutama pada 6 bulan pertama setelah prosedur
Disfungsi ventrikel kiri, Gagal Aritmia, hipotensi, penurunan berat badan secara tiba-tiba, sesak napas,
jantung kongestif kelelahan.
Pacemaker / ICD Tipe dari ICD, tipe ektopik (contoh VT), ambang batas discharge ICD
Transplantasi Jantung Respon perubahan denyut jantung/tekanan darah
Klaudikasio pada tungkai Skala nyeri, evaluasi latihan termasuk onset gejala dan jarak saat berjalan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 131


Diabetes Manajemen gula darah, gejala spesisik yang berhubungan dengan
hipoglikemia dan hiperglikemia begitu pula respon terhadap latihan serta
masalah dan kebersihan kaki.
PPOK Desaturasi, suplementasi oksigen, skala dispnea
Hipertensi Pemilihan aktivitas (hindari latihan isometrik)
Obesitas Stres ortopedik, faktor perilaku (kepercayaan diri yang buruk, tidak
menyukai pribadi sendiri)
Aritmia Stres sendi yang berlebihan, perubahan format altihan (mengurangi
intensitas, dan mengganti modalitas)

Prognosis
Komplikasi yang potensial pada kasus iskemia jantung dapat terjadi edema pulmoner, namun
demikian apabila terjadi infark miokard maka terdapat kemungkinan terjadinya ruptur dari otot
papilari, dinding ventrikel kiri dan septum ventrikel.1,13,16,27-29

Angka mortalitas dalam 6 bulan pertama menurut Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE)
menyatakan ada 13% pada pasien NSTEMI dan 8% pada pasien dengan angina tidak stabil. Studi
oleh Sanchis dan kawan-kawan mengemukakan bahwa mortalitas pada pasien sindrom koroner
akut akan meningkat apabila dijumpai adanya disfungsi renal, demensia, penyakit arteri perifer,
riwayat gagal jantung dan riwayat infark miokard sebelumnya.1,13,16,27,28,29

Prognosis setelah satu episod angina pektoris tidak stabil tergantung dari jumlah, lokasi dan
luasnya penyumbatan arteri koroner misalnya stenosis left main proximal artery atau stenosis left
descending proximal artery yang disertai stenosis arteri circumflex memiliki prognosis lebih buruk
dibandingkan stenosis pada distal atau pada cabang arteri yang lebih kecil. Fungsi ventrikel kiri
sangat mempengaruhi prognosis yaitu pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang signifikan
meskipun dengan 1 atau 2 penyakit arteri (vessel disease), memiliki ambang batas revaskularisasi
lebih rendah. Sekitar 30% kasus angina pektoris tidak stabil mengalami infark miokard pada 3 bulan
pasca angina sehingga kasus henti jantung sering terjadi. Secara garis besar tingkat mortalitas
mencapai 30% dengan 25% sampai 30% kasus mengalami kematian sebelum berhasil dilarikan
ke rumah sakit yang umumnya terjadi karena aritimia ventrikel. Sedangkan tingkat kematian di
rumah sakit yaitu 10% terjadi biasanya karena syok kardiogenik yang beragam tergantung dari
berat ringannya gagal jantung.34

Pada pasien yang menjalani tindakan reperfusi baik fibrinolisis maupun PCI, tingkat mortalitas
berkisar antara 5 – 6%, hal ini berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan pasien yang
seharusnya menerima tindakan reperfusi tapi tidak dilakukan memiliki tingkat mortalitas 15%.34

Tingkat mortalitas kasus STEMI dapat mencapai 90% yang diprediksi melalui 5 karakteristik klinis
antara lain: usia tua, tekanan darah sistolik rendah, kelas Killip >1, denyut jantung cepat dan lokasi
anterior.

Klasifikasi Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) mencantumkan beberapa variabel yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat
darurat, serum kreatinin, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini
ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah
keluar dari rumah sakit.10

132 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu pasien dengan skor risiko GRACE
109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).
Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko
GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien
dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berurutan mempunyai risiko kematian menengah
(3-8%) dan tinggi (>8%).10

Tabel 4.19 Prediktor GRACE score10

Rehabilitasi Kardiovaskuler 133


Gambar 4.3 Aplikasi kalkulator GRACE score34

Tabel 4.20 Tingkat mortalitas sindrom koroner akut dalam 6 bulan34

134 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Daftar Pustaka
1. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. Churchill
Livingstone, 1992.
2. Fuster V, Walsh RH and Harrington RA. Hurst’s the Heart. 13th edition. USA: Mc-Graw Hill
Companies, 2011.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012.
4. Baraas F. Kardiologi Molekuler, Radikal Bebas, Disfungsi Endotel, Aterosklerosis, Antioksidan,
Latihan Fisik dan Rehabilitasi Jantung. Jakarta: Yayasan Kardia Iqratama, RS. Jantung Harapan
Kita. 2006.
5. Sitohang V, Budijanto D, Hardhana B, et al, editor. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013; p161-163.
6. Coven DL, Editor: Yang EH. Acute Coronary Syndrome. New york: Medscape. 2015.
7. Heran BS, Chen JM, Ebrahim S, et al. Exercise-based cardiac rehabilitation for coronary heart
disease. London: Cochrane Database Syst Rev. 2011.
8. Dalal HM, Zawada A, Jolly K, et al. Home based versus center based cardiac rehabilitation:
Cochrane systematic review and meta-analysis. BMJ 2010; p340.
9. Singh VN and Lorenzo CT, editor. Cardiac Rehabilitation. Prim care. 2015
10. Perhimpuan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Centra Communication, 2015.
11. Lily LS. Pathophysiology of Heart Disease. A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011.
12. Kim MC, Kini AS and Fuster V. Definition of acute coronary syndrome in Hurst’s the Heart.
13th edition, vol. 2. New York: McGraw-Hill. 2011
13. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
14. DeLisa JA and Frontera WR. DeLisa’s Physical Medicine and Rehabilitation. 5th edition.
Philadelphia: Lippincot Wlliams and Wilkins, 2010.
15. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
16. Goble AJ and Worcester MUC. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and
Secondary Prevention. Carlton south: Human Services Victoria. 1999.
17. Robbin SL. Robbin’s and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th edition. Jakarta: EGC. 2015.
18. Amsterdam EA and Wenger NK. Guidelines for Management of Patients with Non-ST Elevation
Acute Coronary Syndromes. American Heart Association/American College of Cardiology
Guidelines 2014.
18. Ezhumalai B and Jayaraman B. Angiographic prevalence and pattern of coronary artery disease
in women. Indian Heart J. 2014; 66(4): 422–426.
19. Zimmerman SK and Vacek JL. Imaging techniques in acute coronary syndromes: a review.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 135


ISRN Cardiology. 2011.
20. Litt HI, Gatsonis C, Snyder B, et al. CT angiography for safe discharge of patients with possible
acute coronary syndrome. N Engl J Med 2012; 366:1393-1403.
21. Papageorgiou N, Tousoulis D, Antoniades C, et al. The impact of statin administration in acute
coronary syndromes. Hellenic J Cardiol 2010; 51: 250-261.
22. Mayo Clinic. The Rehabilitation Team. Scottsdale: Mayo Foundation for Medical Education and
Research.
23. Taylor RS, Unal B, Critchley JA, et al. Mortality reductions in patients receiving exercise-based
cardiac rehabilitation: how much can be attributed to cardiovascular risk factor improvements?
Eur J Cardiovasc Prev Rehabil. 2006;13(3):369-74.
24. Babu A, Noone MS, Haneef M, et al. Protocol-guided phase 1 cardiac rehabilitation in patients
with ST-elevated myocardial infarction (STEMI) in a rural hospital. Heart Views. 2010;11(2):52-
6.
25. Yokohama MN, Miyauchi K, Shimada K, et al. Effects of phase II comprehensive cardiac
rehabilitation on coronary plaque volume after acute coronary syndromes. Int Heart J 2015;
56: 597-604.
26. American College of Sports Medicine (ACSM). Exercise prescription for patients with cardiac
disease. In WR Thompson et al., eds., ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription,
8th ed., Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010. p207–224.
27. Durstine JR. ACSM. Exercise Management for Persons with Chronic Diseases and Disabilities.
USA: Human Kinetics, 1997.
28. Graham IM, Fallon N, Ingram S, et al. Rehabilitation of the patient with coronary heart disease.
In Hurst’s the Heart, 13th edition. New York: McGraw-Hill. 2011. vol. 2, pp. 1513–1530
29. Haddadzadeh MH, Maiya AG, Padmakumar R, et al. Effect of exercise-based cardiac
rehabilitation on ejection fraction in coronary artery disease patients: a randomized controlled
trial. Heart view 2011;12(2):51-7.
30. Mosleh SM, Bond CM, Lee AJ, et al. Effects of community-based cardiac rehabilitation:
comparison with a hospital-based program. Eur J Cardiovasc Nurs. 2015;14(2):108-16.
31. Onishi T, Shimada K, Sato H, et al. Effects of phase III cardiac rehabilitation on mortality and
cardiovascular events in elderly patients with stable artery coronary disease. Circ J2010; 74:
709 – 714.
32. Thompson PD. Exercise & Sports Cardiology. USA: Mc-Graw Hill, 2001:2(6)125-127.
33. Warnica JW. Acute Coronary Syndrome (Unstable Angina, AMI). Kenilworth: Merck and the
Merck Manuals

136 Rehabilitasi Kardiovaskuler


BAB 5
REHABILITASI PASCA
REVASKULARISASI
JANTUNG
(PCI dan CABG)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 137


Pendahuluan
Proses revaskularisasi mempunyai dua teknik yang sering digunakan yaitu: Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) dan Coronary Artery Bypass Grafting(CABG). Pada PTCA
balon kateter ditujukan langsung pada lesi aterosklerotik hingga balon berada di pembuluh
darah yang stenosis. Prosedur revaskularisasi Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty
(PTCA)dapat dilakukan di catheterization laboratory (cath lab) oleh ahli jantung intervensi seperti
pemasangan ring/stent atau dilakukan balooning. 1,2 Teknik operasi dengan cara membuat jalur
bypass menggunakan vena saphena magna atau arteri mamaria interna (pembuluh darah besar
yang mengalirkan darah ke dinding dada). Sekarang lebih dari setengah pasien yang didiagnosis
sindrom koroner akut (>600.000 pasien/tahun) menjalani revaskularisasi PTCA.1,3,4

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan modalitas yang sering digunakan dalam
terapi penyakit jantung koroner dalam 20 tahun terakhir. Sekarang jumlah tindakan PCI melebihi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan
pun terjadi dalam tekonologi yang digunakan dalam PCI dari bare metal stents (BMS) sampaidrug
eluting stents (DES) dan sekarang menggunakan bioresorbable stents serta melakukan prosedur
memproteksi daerah infark dan aspirasi trombus.2

Pada metode PCI dengan DES dibandingkan CABG terjadi 4 kali lebih sering dilakukan
revaskularisasi. Namun demikian persentase Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) seperti
kematian, stroke, infark miokard, revaskularisasi berulang pada pasien PCI dengan DES (28,0%)
lebih besar daripada dengan CABG (20,2%).5

Menurut ACCF/AHA/SCAI Guidelines for PCI tahun 2011 sangat direkomendasikan (Kelas
IC) pendekatan tim jantung yang terdiri dari ahli jantung intervensi dan bedah jantung dalam
pengambilan keputusan revaskularisasi untuk pasien dengan unprotected left main atau CAD
kompleks. Pendekatan ini dilakukan dengan mempelajari kondisi medis pasien dan anatomi
koroner, menentukan penggunaan PCI dan/atau CABG, serta membahas opsi revaskularisasi yang
akan dilakukan dengan pasien. Revaskularisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
gejala klinispada stenosis arteri koroner yang secara anatomi sangat signifikan (≥50% left main
atau ≥70% non-left main) atau FFR ≤0,80.5

Tabel 5. 1 Rekomendasi menurut ACCF/AHA/SCAI 20115

Setting Klinis Rekomendasi Level of


Evidence
Apabila ≥1 stenosis signifikan dan angina yang masih ada Class I-PCI A
walaupun sudah diberikan terapi GDMT (guideline-directed Class I-CABG
medical therapy)
Apabila ≥1 stenosis signifikan dan angina masih ada tetapi Class IIa-PCI C
terapi GDMT tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi Class IIa-CABG
medis, efek samping atau keinginan pasien.

138 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Apabila sudah dilakukan CABG sebelumnya, terdapat ≥1 Class IIa-PCI C
stenosis signifikan yang disertai iskemia dan angina masih ada
walaupun sudah diberikan terapi GDMT. Class IIb-CABG C
Apabila complex 3-vessel CAD (contoh skor SYNTAX >22) Class IIa B
dengan atau tanpa keterlibatan proksimal arteri LAD dan Lebih dipilih CABG
kandidat bagus untuk CABG. dibandingkan PCI
Apabila miokardium masih baik dan mendapat perfusi dari Class IIb B
arteri koroner yang tidak dapat menerima grafting. CABG dan TMR
(transmyocardial laser
revascularization)
Tidak ada kriteria anatomi atau fisiologis untuk revaskularisasi Class III C

Keterangan:

Kelas I : manfaat melebihi risiko sehingga prosedur atau tatalaksana perlu dilakukan atau
diberikan (manfaat >>> risiko)

Kelas IIa : manfaat melebihi risiko sehingga prosedur atau tatalaksana dapat diberikan
(manfaat >> risiko)

Kelas IIb : manfaat melebihi atau sama dengan risiko sehingga prosedur atau tatalaksana dapat
dipertimbangkan (manfaat > risiko)

Kelas III : prosedur atau tatalaksana tidak memberikan manfaat atau dapat berbahaya bila
diberikan (tidak memberikan keuntungan – membahayakan)

Level A : berdasarkan populasi penelitian multipel serta diambil dari multiple randomized
clinical trial dan meta-analisis.

Level B : berdasarkan populasi penelitian yang terbatas (limited population) serta diambil dari
single randomized clinical trial atau non-randomized study.

Level C : berdasarkan populasi penelitian yang sangat terbatas (very limited population) serta
diambil dari konsensus opini para ahli, studi kasus atau standar operasional.

Penatalaksanaan rehabilitasi dan prevensi sekunder pasca PTCA lebih mengutamakan pada
latihan (exercise), pengendalian faktor risiko dan pengamatan terjadinya restenosis disamping
reconditioning/pemulihan kondisi pasien.2 American Cardiac Sport Medicine (ACSM) tahun 2010
merekomendasikan bahwa program latihan pada pasca Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
secara umum sama dengan penyakit jantung koroner lainnya, karena pasien yang menjalani PCI
umumnya tidak mengalami kerusakan miokard secara luas. Pasca PCI dapat memulai program
rehabilitasi jantung yang biasanya lebih cepat yakni sekitar 3-6 jam pasca prosedur.1,2

Adapun rehabilitasi jantung sudah terbukti dalam mengurangi angka kematian dan serangan
berulang pada pasien pasca infark miokard akut juga meningkatkan dampak pasien pasca PCI.
Rehabilitasi jantung merupakan program komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan gaya
hidup sehat, seperti meningkatkan aktivitas fisik, nutrisi seimbang, pemberhentian merokok
dan pengaturan berat badan. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi jantung
meningkatkan kapasitas fisik, kualitas hidup, menurunkan risiko kardiovaskular dan memperbaiki
prognosis pada pasien penyakit jantung koroner termasuk pasien pasca Percutaneous Coronary

Rehabilitasi Kardiovaskuler 139


Intervention (PCI).2 Rehabilitasi jantung berhubungan dengan 20-30% penurunan angka mortalitas
pada pasien penyakit jantung koroner pasca PCI. Keuntungan ini berhubungan dengan beberapa
faktor termasuk faktor psikososial yang didapatkan selama latihan, meningkatkan keterikatan
pada pola pencegahan (prevensi) dan pengendalian terhadap faktor risiko.6

Rehabilitasi jantung juga merupakan program yang cost effective, namun tingkat partisipasi pasien
masih rendah. Terdapat beberapa faktor yang menurunkan tingkat partisipasi pasien antara
lain, faktor sosial dan budaya, pendidikan, ekonomi, keparahan penyakit serta tergantung dari
pelayanan kesehatan sendiri (sistem asuransi), dimana fasilitas kesehatan belum menyediakan
sistem rujukan yang tepat serta kurangnya komunikasi akan pentingnya rehabilitasi jantung pada
pasien.7,8

Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca PCI sebaiknya dimulai segera saat pasien masih
dirawat di rumah sakit. Diperlukan sistem konsultasi dari ahli jantung intervensi yang berjalan
baik, dukungan dan edukasi oleh dokter untuk memulai segera rehabilitasi jantung, agar tingkat
partisipasi pasien setelah pulang dari rumah sakit dalam mengikuti program rehabilitasi jantung
meningkat.7,8

Standar di Amerika Serikat menetapkan perlunya rehabilitasi jantung yang disupervisi pada
pasien rawat inap dan dilanjutkan dengan fase rawat jalan selama 4-8 minggu pertama. Namun
terdapat banyak hambatan yang mengurangi keikusertaan pasien dalam rehabilitasi jantung
antara lain jauhnya jarak rumah ke fasilitas kesehatan, kurangnya kemauan pasien dan terbatasnya
infrastruktur serta kapasitas program rehabilitasi jantung.7,8

Program dirumah (community based) yang lebih cost effective perlu dibangun, yang setara dengan
latihan di fasilitas kesehatan disertai follow-up dengan menggunakan fasilitas yang tersedia
seperti telepon ataupun internet. Teknologi juga mampu dijadikan sebagai penyebaran informasi
dan edukasi tentang gaya hidup yang sehat.Perubahan gaya hidup sehat merupakan tujuan utama
dari program rehabilitasi jantung dan merupakan intervensi yang harus diresepkan kepada semua
orang yang mempunyai masalah jantung.7,8

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Prosedur intervensi koroner perkutan sudah semakin banyak digunakan untuk tatalaksana
penyakit jantung koroner dalam dua puluh tahun terakhir. Sekitar lebih dari 1,2 juta kasus di
Amerika Serikat telah dilakukan tindakan prosedur ini dan berdasarkan data diperkirakan akan
meningkat lima kali lipat setiap dekade. Lebih disukainya prosedur ini dibandingkan CABG menjadi
salah satu penyebab peningkatan tersebut.2,9

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan prosedur yang membuka arteri koroner yang
tersumbat dan mengembalikan aliran darah ke otot jantung tanpa operasi bedah jantung. Pada
penyakit jantung koroner umumnya pembuluh darah koroner menyempit akibat penumpukan
materi lemak pada dinding arteri sehingga membatasi suplai oksigen ke miokardium. Adapun
indikasi prosedur PCI meliputi hal-hal dibawah sebagai berikut:2,10

- Infark miokard dengan ST-elevasi


- Infark miokard tanpa ST-elevasi
- Angina pektoris tidak stabil

140 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Angina pektoris stabil
- Angin ekuivalen (dispnea, aritmia, pusing atau syncope)
- Hasil uji stres menunjukkan risiko tinggi
- Penyakit pembuluh darah arteri koroner kiri (left main disease)
- Penyakit v jantung koroner dengan 2 atau 3 pembuluh darah
- Penyakit arteri koroner berat dan kompleks

Kontraindikasi PCI:10

- Intoleransi penggunaan antiplatelet jangka panjang


- Kondisi komorbid yang berat
- Diameter arteri <1,5 mm
- Graft vena saphena yang kurang baik
- Keadaan anatomis koroner yang tidak dapat dilakukan PCI

Implantasi stent jantung dilakukan pada saat PCI untuk mencegah penutupan lumen tiba-tiba dan
stenosis berulang. Pemasangan stent pada PCI dapat menggunakan antara lain Bare metal stent
(BMS) atau Drug eluting stent (DES). Kelebihan DES antara lain risiko revaskularisasi berulang
lebih rendah dibandingkan BMS, risiko kematian atau infark miokard tidak meningkat seperti pada
BMS, dan periode risiko trombosis lebih panjang dibandingkan dengan BMS. Drug eluting stent
(DES) lebih mahal daripada BMS tetapi bila dilihat dari sisi cost-effectiveness, DES menjadi lebih
murah dibandingkan dengan BMS karena risiko revaskularisasi berulang lebih rendah pada DES
dibandingkan BMS. Akan tetapi BMS dapat dipertimbangkan pada pasien dengan risiko restenosis
yang rendah.5

Primary PCI lebih disukai dibandingkan dengan terapi fibrinolitik. Primary PCI menghasilkan angka
artery patency dan Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) flow grade 3 yang lebih tinggi. Selain
itu angka kejadian iskemia berulang, infark berulang, prosedur revaskularisasi ulang, perdarahan
intrakranial dan kematian yang lebih rendah dibandingkan terapi fibrinolitik.5

Tabel 5.2 Rekomendasi Primary PCI menurut ACCF/AHA/SCAI 20115

Kelas Level of
Rekomendasi Evidence
Gejala-gejala iskemik <12 jam I A
Gejala-gejala iskemik <12 jam dan memiliki kontraindikasi terhadap I B
fibrinolitik tanpa melihat waktu penundaan dari kontak penanganan pertama
Syok kardiogenik atau gagal jantung akut berat tanpa melihat waktu I B
onset infark miokard
Bukti adanya iskemik 12-24 jam setelah onset gejala IIa B
PCI arteri non infark pada waktu melakukan PCI primer pasien tanpa III B
gangguan hemodinamik

Menurut TIMI Study Group klasifikasi TIMI grade flow terbagi menjadi empat yaitu:11

Rehabilitasi Kardiovaskuler 141


- TIMI 0 : tidak ada aliran antegrade setelah titik sumbatan
- TIMI 1 : aliran antegrade yang sedikit setelah titik sumbatan dengan pengisian inkomplit pada
distal koroner
- TIMI 2 : aliran antegrade yang lambat dengan pengisian komplit pada bagian distal koroner
- TIMI 3 : aliran darah normal dengan pengisian komplit pada distal koroner

Sedangkan TIMI score adalah estimasi mortalitas pada pasien angina pektoris tidak stabil, infark
miokard tanpa ST-elevasi dan infark miokard dengan ST-elevasi menurut TIMI Study Group yang
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.12

Tabel 5. 3 TIMI score untuk UAP/NSTEMI12

Ya Tidak
Usia >65 tahun 1 0
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1 0
>2x episode angina dalam 24 jam 1 0
Perubahan EKG gelombang ST >0,5 mm 1 0
Peningkatan penanda jantung 1 0
Riwayat penyakit arteri koroner (stenosis > 50%) 1 0
Minimal 3 faktor risiko antara lain:
Hipertensi 1 0
Merokok 1 0
Kadar HDL rendah (<40 mg/dL) 1 0
Diabetes 1 0
Riwayat penyakit arteri koroner dalam keluarga 1 0


Keterangan:

Estimasi mortalitas setelah 14 hari pasca serangan

Skor 0-1 : 4,7% risiko

Skor 2 : 8,3% risiko

Skor 3 : 11,2% risiko

Skor 4 : 19,9% risiko

Skor 5 : 26,2% risiko

Skor 6-7 : 40,9% risiko

142 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 5. 4 TIMI score untuk STEMI13

Ya Tidak
Usia:
- <65 tahun 0 0
- 65-74 tahun +2 0
- > 75 tahun +3 0
Diabetes, hipertensi, angina +1 0
Tekanan darah sistolik <100 mmHg +3 0
Denyut jantung >100x/menit +2 0
Kelas Killip II-IV +2 0
Berat badan <67 kg +1 0
ST-elevasi anterior atau LBBB +1 0
Waktu mendapat tatalaksana >4 jam +1 0
Keterangan:

Estimasi mortalitas setelah 30 hari pasca serangan

Skor 0 : 0,8%

Skor 1 : 1,6%

Skor 2 : 2,2%

Skor 3 : 4,4%

Skor 4 : 7,3%

Skor 5 : 12%

Skor 6 : 16%

Skor 7 : 23%

Skor 8 : 27%

Skor 9-14 : 36%

Pada kejadian infark miokard akut dapat terjadi komplikasi gagal jantung dan angka mortalitas
dalam 30 hari dapat diperkirakan dengan Klasifikasi Killip sebagai berikut:14

Tabel 5. 5 Klasifikasi Killip14

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

I Tidak terdapat gagal jantung (tidak ada ronkhi, S3) 6%

II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi basah pada 17%
setengah lapangan paru

Rehabilitasi Kardiovaskuler 143


Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di seluruh 38%
lapangan paru

IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah sistolik 81%


<90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

Rekomendasi kelas ILevel of evidence Amenurut guideline pada penatalaksanaan Primary


PCIdilakukan dalam 12 jam setelah onset STEMI dan pada rumah sakit yang memiliki kemampuan
PCI sebaiknya dalam 90 menit sudah dilakukanprimary PCI, sedangkan bila rumah sakit tersebut
tidak mampu melakukan primary PCI maka dapat dilakukan dalam 2 jam.5

Primary PCI perlu diberikan pada pasien dengan STEMI disertai gagal jantung berat atau syok
kardiogenik dan merupakan kandidat yang sesuai untuk dilakukan revaskularisasi secepat mungkin
dan memiliki kontraindikasi terhadap terapi fibrinolitik dengan gejala iskemi kurang dari 12 jam.5

Sedangkan rekomendasi kelas IIa Level of evidence B dikatakan Primary PCI dapat dilakukan pada
pasien STEMI apabila terdapat bukti klinis dan/atau EKG yang menunjukkan adanya proses
iskemia yang berlangsung antara 12-14 jam setelah onset danjuga dapat dipertimbangkan pada
pasien asimtomatik dengan STEMI antara 12-14 jam setelah onset gejala.5

PCI tidak boleh dilakukan pada arteri noninfark, dan saat Primary PCI dilakukan pada pasien STEMI
dengan hemodinamik stabil. (rekomendasi kelas III Level of evidence B)

Delayed atau Elective PCI pada pasien STEMI


Berdasarkan guidelineAHA/ACCF 2011 Delayed atau Elective PCI dapat dilakukan pada STEMI
denganbukti klinis adanya kegagalan fibrinolitik atau reoklusi 3-24 jam setelah terapi fibrinolitik
(rekomendasi kelas IIa level of evidence B). Perlu dipertimbangkan juga dilakukan tindakan Delayed
atau Elective PCI pada stenosis infark arteri paten lebih dari 24 jam setelah STEMI (rekomendasi
kelas IIb level of evidence B). Namun disarankan untuk tidak dilakukan pada oklusi arteri infark
total pada 1 atau 2 pembuluh darahdalam 24 jam setelah STEMI pada pasien asimtomatik dengan
hemodinamik stabil tanpa bukti iskemia berat (rekomendasi kelas III level of evidence B).5

PCI dalam populasi spesifik


1. Usia merupakan salah satu prediktor paling kuat dari mortalitas pasca PCI. Adapun kesuksesan
angiografik dan manfaat PCI pada pasien usia tua dan muda hampir sama.15,16
2. Diabetes. Di Amerika Serikat sepertiga pasien yang melakukan tindakan PCI memiliki riwayat
diabetes. Dari meta-analisis yang dilakukan Boyden TF dkkmenyatakan bahwa kemungkinan
restenosis pada pasien dengan diabetes pasca PCI berkurang secara signifikan bila dilakukan
PCI dengan DES dibandingkan dengan BMS. Kendati demikian, belum ada data jelas mengenai
hubungan perbedaan tipe DES dengan hasil klinis.17
3. Jenis kelamin. Di benua Amerika dan Eropa penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama
kematian, pada wanita diperkirakan 35% total pasien yang dilakukan PCI di mana biasanya
berkaitan dengan hipertensi, usia lanjut, kadar kolesterol dan penyakitarteri koroner yang
difus.18,19

144 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Komplikasi PCI
Faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya angka kematian pada PCI antara lain usia lanjut,
komorbid (Diabetes Mellitus, Gagal Ginjal Kronik, Gagal Jantung Kongestif), penyakit jantung
koroneryang multipel, lesi risiko tinggi, STEMI, prosedur gawat darurat dan syok kardiogenik.5

Beberapa komplikasi PCI pada prosedur dan periprosedur adalah emboli, infark miokard, stroke,
hematoma, pseudoaneurisma, fistula arteriovenous, diseksi arteri, perdarahan dan oklusi pembuluh
darah.5 Pada penelitian Kurt dan kawan-kawan dalam The Economic Burden of Complication during
Percutaneous Interventions tahun 2007 menyebutkan komplikasi PCI yang terjadi pada pasien di
Mayo Clinic Rochester periode Maret 1998 sampai Maret 2003antara lain kematian (1,6%), infark
miokard (5,2%), CABG emergensi (0,4%), revaskularisasi pembuluh darah target (0,4%), stroke
(0,4%), perdarahan yang membutuhkan transfusi darah (6,0%), hematoma (2,5%), aneurisma
(0,8%), perdarahan gastrointestinal (0,9%) dan perdarahan retroperitoneal (0,9%).20 Pada guideline
AHA/ACCF 2011 didapatkan insiden stroke yang berhubungan dengan PCI sebesar 0,22% dengan
mortalitas pasien 5-30%. Faktor yang meningkatkan risiko stroke antara lain terapi fibrinolitik
sebelum PCI, adanya riwayat penyakit serebrovaskular, penggunaan intra-aortic balloon pump
pada usia tua. Untuk komplikasi vaskular biasanya berhubungan dengan akses vaskular.5

Faktor yang meningkatkan risiko komplikasi vaskular adalah usia lebih dari 70 tahun, wanita,luas
permukaan tubuh di bawah 1,6 m2, prosedur emergensi dan penyakit arteri perifer. Risiko
perdarahan periprosedural meningkat dengan adanya faktor seperti usia lanjut, indeks massa
tubuh yang rendah, gagal ginjal kronik, anemia serta gangguan inhibisi platelet dan trombin.5

Program Rehabilitasi Jantung pasca PCI


Pasien yang menjalani PCI biasanya dirawat dalam jangka waktu yang cukup singkat sekitar 1-2
hari. Namun PCI memiliki tingkat kegagalan yang cukup tinggi, sekitar 30-40% pasien muncul
restenosis dalam 6 bulan setelah prosedur.4,8

Para ahli intervensi jantung perlu memahami bahwa PCI bukan satu-satunya pengobatan, tetapi
rehabilitasi jantung mampu memberikan manfaat yang signifikan.Terdapat beberapa standar
rehabilitasi jantung yang diterapkan diseluruh dunia untuk pasien pasca serangan jantung,
pemasangan stent, CABG maupun operasi katup, yang mana program rehabilitasi jantung dapat
meningkatkan kemampuan fisik pasien dengan cara implementasi latihan fisik, gaya hidup sehat
yang optimal dan dukungan psikososial. Rehabilitasi jantung terbukti efektif pada pasien pasca
infark miokard yang telah dilakukan PCI, seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa studi
mengenai keuntungan rehabilitasi jantung pasca PCI dan CABG.21

Berdasarkan studi yang dilakukan Thomas dan kawan-kawan (2011) dalam Impact of cardiac
rehabilitation on mortality and cardiovascular events after PCI in the community tahun, partisipasi
pasien dalam program rehabilitasi jantung pasca PCI secara signifikan mampu mengurangi angka
mortalitas. Program rehabilitasi jantung pada pasien dengan risiko rendah yang dilakukan PCI
secara efektif juga menunjukkan hasil yang lebih baik.21 Pada penelitian tersebut ada 2.395 data
yang dikumpulkan pada pasien yang menjalani program PCI dari tahun 1994 hingga 2008 dan
hanya 964 kasus (40%) yang mengikuti penelitian. Peneliti melakukan 3 analisis terpisah untuk
menilai hubungan antara partisipasi rehabilitasi jantung dan dampak yang dihasilkan. Ditemukan
partisipasi program rehabilitasi jantung secara signifikan menurunkan angka kematian dengan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 145


sebab apapun dengan nilai hazard ratio, 0.53 to 0.55; P<0.001. Hasil penelitian di atas mendapatkan
adanya penurunan angka mortalitas sebesar 47% pada pasien yang menjalani program rehabilitasi
jantung. Peneliti melaporkan bahwa baik laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan muda serta
pasien yang menjalani PCI secara elektif maupun non elektif menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda.21

Studi observasional oleh Dendale dan kawan-kawan (2005) yang menggunakan sampel lebih
kecil yaitu 223 orang pasien yang telah menjalani PCI, menemukan bahwa partisipasi program
rehabilitasi jantung secara signifikan menurunkan insiden rekuren dalam 15 bulan pertama seperti
infark miokard, revaskularisasi, stenosis, angina dan kematian pada pasien yang menjalani program
rehabilitasi jantung dibanding yang tidak (24% versus 42%; p<0.005).22

Studi Belardinelli dan kawan-kawan (2001) menggunakan sampel yang juga relatif kecil (n=131).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik menurunkan insiden terjadinya penyakit
jantung termasuk infark miokard, PCI, CABG dan kematian dalam 3 tahun pasca serangan.23 Kim
dan kawan-kawan (2007) melakukan studi pada 39 pasien (laki-laki 28 orang dan perempuan
11 orang) yang terbagi dalam 2 kelompok, 29 orang pada kelompok latihan dan 10 orang pada
kelompok kontrol dengan sampel terdiri dari14 pasien dengan infark miokard (10 pasien pada
kelompok latihan dan 4 orang pada kelompok kontrol) dan 25 pasien dengan angina tidak stabil
(19 pasien pada kelompok latihan dan 6 orang pada kelompok kontrol). Pada penelitian ini
dilakukan selama 14 minggu yang terdiri dari 6 minggu program rehabilitasi jantung di rumah sakit
(hospital-based) meliputi pemanasan,30-40 menit latihan di treadmill atau sepeda statis dilanjutkan
dengan pendinginan.Intensitas latihan ditingkatkan secara progresif 50-85% VO2 max sedangkan
program di rumah (community-based) dilakukan selama 8 minggu dengan melakukan treadmill dan
sepeda statis dengan memonitor RPE dan intensitas 50-85% VO2 max. Untuk kelompok kontrol
tidak mendapat program latihan tetapi keduanya mendapatkan program edukasi dan konseling
mengenai infomasi penyakit jantung, modifikasi faktor risiko, latihan fisik, diet dan manajemen
stres.24

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung dan latihan fisik yang
dilaksanakan pada pasien pasca PCI secara signifikan mampu menurunkan kadar hsCRP (59,4%,
p<0.0001) dan sitokin (IL-6 (49%, p<0.0001)) yang merupakan faktor prediktif risiko kardiovaskular.
Penelitian ini juga menghasilkan peningkatkan kapasitas erobik dari 27,6±1,3 Mets menjadi
31,8±1,4 Mets, dengan p<0,0001 dan toleransi latihan dari 780,2±35,9 detik menjadi 925,1±23,8
detik, dengan p<0,0001.24

Rehabilitasi jantung mampu meningkatkan kapasitas aktivitas fisik dan latihan, yang penting untuk
meningkatkan kemampuan adaptasi fisiologis yang meningkatkan kesehatan kardiovaskular seperti
meningkatkan jumlah circulating endothelial progenitor cells. Partisipasi pasien rehabilitasi jantung
mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat-obatan, seperti pentingnya obat-
obatan antiplatelet pada pasien pasca PCI. Pengendalian faktor risiko, identifikasi dan pengobatan
depresi, dukungan psikososial lebih dapat ditingkatkan pada pasien yang mengikuti rehabiltasi
jantung dibanding dengan kontrol. Follow-up yang rutin turut membantu mengidentifikasi gejala
yang baru, efek samping pengobatan, penyakit komorbid yang memerlukan evaluasi dan tindakan
yang cepat.1,7,8

Terdapat beberapa bukti yang mendukung rehabilitasi jantung pada pasien pasca PCI seperti
studi yang dilakukan Pasquali dan kawan-kawan (2003) meneliti peran rehabilitasi jantung pada
kemampuan fungsional pasien pasca PCI dan CABG. Peneliti mengemukakan adanya peningkatan

146 Rehabilitasi Kardiovaskuler


kapasitas fisik berhubungan dengan keikutsertaan dalam rehabilitasi jantung. Penelitian ini juga
menunjukkan peningkatan kapasitas fisik lebih cepat terjadi pada usia yang lebih muda dibandingkan
pada kelompok usia tua, laki-laki dibanding pada perempuan dan pasca CABG dibandingkan
PCI.25 Di samping itu, peneliti menilai hubungan rehabilitasi jantung dengan gaya hidup sehat dan
faktor risiko. Ditemukan penurunan indeks massa tubuh, merokok (dari 44% menjadi 4,38%) dan
menurunkan jumlah pasien dengan hiperkolesterolemia (dari 55% menjadi 20%) dan peningkatan
waktu yang dialokasikan pasien untuk olah raga. Program rehabilitasi jantung juga menilai respon
emosi yang negatif seperti cemas dan depresi, karena dapat menghambat aktivitas fisik selama
mengikuti program. Respon seperti ini lebih sering muncul pada perempuan dan yang kurang aktif
bergerak. Dengan rehabilitasi jantung yang disertai dengan konseling psikososial, serta kembali
bekerja, dapat mengurangi masalah ini.7,26 Pada penelitian yang dilakukan Arena (2015) pada
pasien rehabilitasi jantung selama 8 minggu latihan fisik dan prevensi sekunder terjadi penurunan
rasa cemas dan depresi disertai peningkatan kualitas hidup.26

Rehabilitasi jantung berbasis di rumah (community-based) merupakan program alternatif dalam


meningkatkan partisipasi pasien. Berdasarkan meta-analisis tidak ditemukan perbedaan hasil dari
rehabilitasi jantung di rumah sakit dengan yang dirumah. Namun perlu diperhatikan, pentingnya
kontrol berkala dengan spesialis jantung dan spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, serta pasien
menjalani semua program rehabilitasi seperti pengendalian faktor risiko, dukungan psikososialdan
edukasi untuk mencapai rehabilitasi jantung yang komprehensif.7,26

Panduan klinis Rehabilitasi Jantung pasca revaskularisasi PCI


Pengendalian faktor risiko yang agresif merupakan kunci keberhasilan terapi, program ini dapat
membantu:7,8

- Menurunkan terjadinya restenosis setelah angioplasty


- Meminimalisir perkembangan penyakit jantung
- Mengidentifikasi tanda awal terjadinya restenosis dan oklusi yang cepat/rapid occlusion

Terdapat beberapa tantangan dalam rehabilitasi pasien yang menjalani prosedur revaskularisasi
transkateter, karena pasien tidak menganggap serius penyakitnya. Hal ini disebabkan karena
prosedur PTCA biasanya dilakukan secara elektif dan dirawat dalam jangka waktu yang singkat
hanya sekitar 1-2 hari dan kebanyakan pasien dapat kembali bekerja 1 minggu pasca PTCA. Hal
yang dapat meningkatakan partisipasi pasien dalam rehabilitasi jantung pasca PTCA:7,8,26

- Mengedukasi pasien tentang penyakit dan cara untuk membatasi perkembangan penyakitnya
- Rujukan dimulai sebelum pasien pulang
- Meminimalisir batasan dan alasan pasien untuk tidak berpartisipasi, misalnya waktu rehabilitasi
disesuaikan dengan jam kerja pasien.
- Mengembangkan sistem rujukan, agar dokter jantung merujuk pasien pasca PTCA untuk
memulai rehabilitasi
- Menginformasikan pasien dan dokter bahwa prevensi sekunder berbeda setiap individu.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 147


Rekomendasi Rehabilitasi Jantung

Keamanan dan peresepan latihan pasca PCI


Program latihan fisik sebaiknya dilakukan 3-4 jam seminggu, yang umumnya dilakukan 3-5 sesi
latihan dalam seminggu, selama minimal 4 minggu hingga 24 minggu yang berbeda setiap negara.7,8

Protokol program rehabilitasi jantung pasca PCI pada fase I (inpatient) umumnya lebih cepat
dibandingkan dengan rehabilitasi infark miokard akut. Pasien setelah dilakukan tindakan PCI
umumnya keesokan harinya sudah diperbolehkan pulang oleh ahli jantung sehingga program
rehabilitasi jantung akan sangat mudah dilakukan pasca PCI. Pada umumnya sebelum pasien pulang
maka dilakukan uji jalan 6 menit untuk mengetahui kemampuan fisik dan endurance agar dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan nyaman. Juga dilakukan edukasi agar pasien mengikuti
program rehabilitasi jantung fase II (outpatient) sama seperti yang dilakukan pada pasien pasca
infark miokard akut.7,8

Program fase II lamanya biasanya 4-8 minggu dengan memperhatikan kemampuan fisik seperti
kekuatan otot, fungsi kontraktilitas, usia dan adanya penyakit komorbid. Latihan erobik harus
diberikan serta disupervisi, setidaknya pada awal sesi dan selalu pada pasien dengan risiko tinggi
(gagal jantung, faktor risiko multipel, fraksi ejeksi yang rendah, infark miokard yang luas pasca PCI).
Latihan fisik yang dilaksanakan umumnya 3-5 kali seminggu selama 30-45 menit dengan intensitas
moderate 70-85% agara mencapai kemampuan VO2 max optimal.7,8 Pasien harus memahami
bahwa resep latihan sama pentingnya dengan terapi farmakologis. Setiap sesinya harus terdiri
dari pemanasan 5-10 menit untuk adapatasi dari keadaan istirahat menjadi latihan dan dilakukan
latihan endurance kardiorespirasi selama 40 menit kemudian diakhiri dengan pendinginan 5-10
menit untuk menurunkan tekanan darah dan denyut jantung menuju keadaan normal. Sesi yang
lebih dari 60 menit tidak meningkatkan VO2 max dan hanya meningkatkan risiko terjadinya insiden
penyakit jantung.1,7,8

Selanjutnya pada program rehabilitasi jantung fase III, latihan endurance dikombinasikan dengan
latihan resistance sesuai dengan dosis yang dilakukan pada pasien infark miokard umumnya.

Menurut Thompson dan kawan-kawan (2010) terdapat 2 modalitas latihan: endurance training
dan interval training. Kedua program ini harus mencakup latihan kalistenik dan sepeda statis atau
treadmill.8

- Endurance training lebih sering digunakan karena memungkinkan peningkatan maksimal


kapasitas erobik, biasanya sering menggunakan sepeda statis/ergocycle atau treadmill. Pada
fase lanjut program latihan isotonik terintegrasi dengan latihan beban. Aktivitas sehari – hari
sebaiknya mencakup aktivitas fisik baik statis dan dinamis. Pada pasien risiko rendah (angina
stabil, infark miokard tanpa penyulit) melakukan latihan beban terbukti aman dan efektif.8
- Interval training, pemberian beban latihan pada beberapa saat, membantu meningkatkan
kemampuan adapatasi pada pasien dengan angina, usia tua, kondisi yang lemah dan fraksi
ejeksi yang rendah. Baru-baru ini interval training dengan intensitas tinggi (85%-90% Heart
Rate maksimum) terbukti aman pada pasien penyakit jantung koroner dan menunjukkan
peningkatan kapasitas latihan yang ditunjukan dengan pengukuran ambilan oksigen puncak
(peak oxygen uptake).8

148 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Adapun tujuan program rehabilitasi pasca PTCA adalah:7,8

- Meningkatkan kapasitas erobik


- Menurunkan respon tekanan darah dan denyut jantung
- Menurunkan kebutuhan oksigen miokard
- Menurunkan risiko penyakit jantung koroner

Intensitas latihan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi respon terhadap latihan.
Tingkat latihan mendekati ambang batas erobik menimbulkan efek latihan terbaik, aktivitas
intensitas rendah antara 40-50% VO2 max, intensitas sedang 50-70% VO2 max dan intensitas
tinggi >70% VO2 max. Semakin tinggi peningkatan kapasitas erobik, semakin tinggi efek protektif
jantung terhadap latihan.1,7,8 Pada latihan dinamis yang melibatkan kelompok otot besar, terdapat
hubungan yang linear antara denyut jantung dan ambilan oksigen (oxygen uptake). Target denyut
jantung yang perlu dicapai selama sesi latihan dihitung berdasarkan presentasi dari denyut jantung
maksimal saat uji latih biasanya 70-85% dari denyut jantung maksimal sering digunakan.

Menurut Secondary prevention through cardiac rehabilitation: physical activity counselling and
exercise training dalam jurnal European Heart tahun 2010, peresepan program latihan pasca PCI
yang dapat diaplikasikan secara umum adalah sebagai berikut:27

- Mode : latihan endurance(senam erobik, berjalan, jogging, bersepeda, berenang,


mendayung, naik turun tangga)
- Durasi : minimal 20-30 menit (sebaiknya 45-60 menit)
- Frekuensi : minimal 3 hari/minggu (sebaiknya 6-7 hari/minggu)
- Intensitas : 50-80% ambilan oksigen puncak (peak oxygen uptake) atau 40-60% heart rate
reserve, skala Borg RPE 10-14

Peningkatan regimen latihan sebaiknya diberikan dengan follow-up yang teratur (minimal 3-6 bulan),
menyesuaikan durasi dan tingkat latihan sampai batas toleransi. Metode uji latih kardiopulmoner
merupakan indikator ideal untuk mengetahui konsumsi oksigen puncak (peak oxygen consumption/
peak VO2) pada pasien pasca PCI.27

Rehabilitasi Kardiovaskuler 149


Tabel 5. 6 Rekomendasi aktivitas fisik dan latihan untuk keadaan spesifik27

Kelas
Komponen Rekomendasi
(Level of Evidence)
Pasca Primary Nilai
PCI - Menentukan risiko latihan sebelum dilakukan peresepan I (B)
dengan melakukan anamnesa riwayat aktivitas fisik dan
melakukan uji latih I (C)
- Uji latih symptom limited test atau submaksimaldilakukan
setelah klinis pasien stabil sebelum pulang dari rumah sakit.

Rekomendasi I (A)
- Setelah prosedur tanpa komplikasi, aktivitas fisik dapat dimulai
setelah pasien stabil dan ditingkakan secara perlahan.
- Pada pasien dengan kapasitas latihan terbatas tanpa gejala, I (B)
dapat kembali ke aktivitas rutin seperti jalan cepat,berkebun
atau aktivitasharian selama 30-60 menit atau pasien dapat
kembali ke aktivitas rutin sampai 50% dari kapasitas maksimal
dan dapat ditingkatkan perlahan.
- Aktivitas fisik yang dianjurkan merupakan kombinasi dari
berjalan, menaiki tangga dan bersepeda

Program latihan: I (B)


- Program latihan yang direkomendasikan harus disupervisi baik
risiko sedang sampai tinggi. Program yang dilakukan berupa
latihan erobik selama minimal 30 menit, 5 kali seminggu.
- Pada intensitas 70-85% denyut jantung puncak (peak heart
rate) apabila ditemukan exercise-induced ischemiamaka
diberikan nitrogliserin profilaksis pada saat awal sesi latihan.
- Latihan pada pasien risiko tinggi seperti disfungsi ventrikel
kiri, penyakit koroner berat, komorbid dan penuaan diberikan
intensitas 50% denyut jantung puncak (peak heart rate). IIb (C)
- Latihan resistensi pada ekstremitas atas dengan intensitas
30-40% dari 1 repetisi maksimal dan pada ekstremitas bawah
diberikan 40-50% dari 1 repetisi maksimal sebanyak 12-15 kali
repetisi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu.

Metode Karvonen menunjukkan hasil yang serupa, namun dengan batasan yang lebih tinggi. Metode
Karvonen merupakan rumus matematika yang membantu menentukan target Heart Rate(HR) pada
zona latihan. Rumus ini menggunakan denyut jantung saat istirahat(resting HR) maksimum dan
minimum dengan intensitas latihan yang ingin dicapai untuk mencapai target latihan. Denyut
jantung saat istirahat biasanya ditetapkan dengan nilai 70x permenit jika pemeriksaan resting HR
tidak dilakukan.1,7,8

Target HR = ((maxHR – resting HR) x % intensitas) + resting HR

150 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Pada kasus pasien dengan pengobatan beta blocker, dalam keadaan istirahat denyut jantung
berkisar antara 70-85% dari HR reserve di manaHR reserve adalah selisih antara HR maksimal dan
resting HR yang diguanakan sebagai penghitungan zona latihan. Seseorang dengan resting HR
yang rendah dan HR maksimum yang tinggi memliki kapasitas fungsional yang tinggi.

HR Reserve = HR max – Resting HR

Pasien yang sudah terbiasa dengan latihan, membutuhkan pemantauan HR yang lebih rendah.
Kendati demikian pengukuran HR mandiri harus dilaksanakan dan dapat dibantu oleh perawat.1,7,8

Latihan turut dapat menstimulasi sirkulasi kolateral. Setelah 3 bulan program endurance training,
terdapat peningkatan collateral flow index(CFI) pada pembuluh darah yang dilakukan PCI, yang
mana CFI merupakan penanda sirkulasi kolateral. Ini juga berkorelasi dengan VO2 max pada
spiroergometry.1,7,8 Collateral flow index adalah penilaian sirkulasi koroner kolateral dengan
mengukur tekanan intrakoroner, telah dilakukan sejak beberapa dekade lalu dan saat ini telah
diterima sebagai standar klinis. Collateral flow index (CFI) menunjukkan aliran kolateral yang
berhubungan dengan perfusi miokardial maksimal yang normal. Perhitungan CFI diukur dengan
pengukuran tekanan aorta simultan (Pa), tekanan vena (Pv) dan tekanan bagian distal arteri koroner
yang mengalami stenosis (coronary wedge/Pw).28

(Pw – Pv)
CFI =
(Pa – Pv)

Sebagai tambahan, aliran kolateral dipengaruhi oleh resistensi pembuluh darah kolateral dan
mikrovaskularisasi miokard, oleh karena itu sebaiknya CFI dinilai saat kondisi vasodilatasi
maksimal agar resistensi pembuluh darah diminimalisir dan konstan. Hal ini biasanya diinduksi
dengan pemberian obat-obatan seperti adenosine atau papaverine.28

Program latihan pada rehabilitasi jantung dengan supervisi perlu direkomendasikan pada seluruh
pasien pasca PCI, terutama pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang dan tinggi dimana
pasien harus disupervisi untuk melakukan latihan. Partisipasi pada rehabilitasi jantung secara
signifikan mengurangi angka kematian pada semua kasus penyakit jantung dan penyebab lainnya.
Berdasarkan laporan community based survey, yang mengikutsertakan pasien usia tua dan faktor
risiko tinggi menunjukkan partisipasi pada rehabilitasi jantung secara independen berhubungan
dengan menurunkan angka rekurensi infark miokard dan mengurangi angka mortalitas.28
Rehabilitasi jantung juga meningkatkan toleransi latihan, mengurangi gejala penyakit jantung,
kadar lipid, frekuensi merokok, tingkat stress dan meningkatkan kepatuhan mengikuti pengobatan
serta kehidupan psikososial pasien. Rujukan dari dokter merupakan prediktor yang sangat penting
terhadap partisipasi pasien dalam program rehabilitasi jantung.1,2,3

Prevensi Sekunder
Penatalaksanaan pasien infark miokard tidak berhenti pada revaskularisasi saja karena prevensi
sekunder adalah komponen paling berpengaruh dalam tatalaksana seperti yang dijabarkan dalam
AHA/ACCF Secondary Prevention and Risk Reduction Therapy for Patients with Coronary and Other
Atherosclerotic Vascular Disease (2011). Beberapa rekomendasi tersebut di antaranya:5

Rehabilitasi Kardiovaskuler 151


- Hentikan kebiasaan merokok (Class I, LoE: A)
- Kontrol tekanan darah (target: <140/90 mmHg)
- Modifikasi gaya hidup (Class I, LoE: B)
- Farmakoterapi (Class I, LoE: A)
- Tatalaksana Diabetes: modifikasi gaya hidup dan farmakoterapi, koordinasikan dengan ahli
endokrin. (Class I, LoE: C)
- Tatalaksana Lemak Tubuh dengan:
- Modifikasi gaya hidup (Class I, LoE: B)
- Statin (Class I, LoE: A)
- Statin dengan target menurunkan LDL <100 mg/dL dan mencapai min. 30% penurunan
LDL (Class I, LoE: C)
- Statin menurunkan LDL <70 mg/dL pada pasien risiko tinggi (Class IIa, LoE: C)
- Bila trigliserida >200 mg/dL diberikan statin dengan target kadar kolesterol selain HDL
<130 mg/dL (Class I, LoE B)
- Bila trigliserida >200 mg/dL pada pasien risiko tinggi diberikan statin dengan target
kolesterol selain HDL <100 mg/dL. (Class IIa, LoE:C)

Follow-Up
Prevensi sekunder pasca PCI merupakan komponen esential dalam terapi jangka panjang untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit jantung.Follow-up pasien setelah
PCI perlu memperhatikan keadaan klinis pasien, kepatuhan pasien dalam terapi prevensi sekunder
(tekanan darah, LDL, pemberhentian merokok).

Uji latih secara berkala pada pasien asimtomatik bukan merupakan bagian dari standar follow-up
pasien.7

Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)


Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) adalah suatu prosedur yang menggunakan arteri atau vena
sebagai graft untuk mengembalikan aliran darah (bypass) arteri koroner yang tersumbat secara
parsial atau komplit akibat proses aterosklerotik (John, 2016).29

Tindakan CABG yang sudah mulai diperkenalkan sejak tahun 1910 ini secara sederhana dapat
digambarkan sebagai prosedur membuat rute baru di sekitar pembuluh darah koroner yang
mengalami sumbatan dengan tujuan melancarkan aliran darah sehingga asupan oksigen dan
nutrisi ke miokard tetap terjaga. Adapun prosedur ini biasanya menggunakan pembuluh darah
vena saphena atau arteri mamaria interna, selain itu arteri radialis dan arteri gastroiliaka juga
bisa digunakan meskipun jarang.30 Operasi ini merupakan operasi jantung yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat dengan jumlah 200.000 tindakan per tahun. Walaupun penggunaan
operasi CABG sedikit berkurang sejak diperkenalkan Percutaneous Coronary Interventions (PCI),
CABG tetap menjadi operasi jantung yang paling sering dilakukan dan merupakan tatalaksana
standar untuk pasien dengan penyakit pembuluh darah jantung arteri kiri (left main) dan penyakit
3 pembuluh darah jantung (3-vessel coronary disease).31,32,33

152 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Selama kurun waktu tujuh tahun Epstein dan kawan-kawan (2011) mendapatkan hasil lebih dari
300.000 pasien di Amerika Serikat setiap tahun menjalani tindakan operasi Coronary Artery Bypass
Grafting atau lebih dikenal dengan CABG.32 Metode CABG dan Bare Metal Stent (BMS) memiliki
tingkat survival yang sama pada satu dan lima tahun baik dengan penyakit jantung koroner satu
pembuluh darah atau multipel serta insiden infark miokard yang sama setelah 5 tahun. Ketika
membandingkan kedua metode tersebut pengurangan rasa nyeri/angina dapat berkurang lebih
efektif dengan CABG dibandingkan dengan PCI dalam satu dan lima tahun berikutnya, serta
revaskularisasi berulang dilakukan lebih jarang pada tahun pertama(3,8% vs 26,5%) hingga setelah
5 tahun (9,8% vs 46,1%). Namun, stroke lebih sering terjadi pada CABG dibanding PCI (1,2% vs
0,6%).5

Indikasi CABG10,23
- Untuk menghilangkan gejala angina yang berulang dengan terapi farmakologis.
- Terdapat dua atau tiga sumbatan pembuluh darah koroner (triple vesseldisease atau double
vessel disease)
- Terdapat satu atau dua sumbatan pembuluh darah koroner dengan risiko tinggi iskemi
padamiokard dengan angina stabil
- Stenosis LAD >70% dengan fraksi ejeksi <50%
- Mempertahankan fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan sindrom koroner akut yang difus,
infark miokard yang luas atau pada infark miokard yang menganggu fungsi ventrikel kiri.
- Terdapat kontraindikasi PTCA

Kontraindikasi CABG:10
- Pasien infark miokard risiko rendah yang asimtomatis
- Stenosis arteri koroner >50%

Teknik CABG
Terdapat dua macam teknik CABG yaitu on-pump CABG disebut sebagai CABG dengan Cardiopulmonary
Bypassmachinedan off-pump CABG tanpa Cardiopulmonary Bypassmachine(OPCABG). Perbedaan
dari kedua teknik tersebut terletak pada penggunaan mesin bypassjantung-paru selama prosedur.34

Pada teknik CABG yang tradisional atau yang on-pump CABG, jantung diberhentikan dan fungsi
jantung paru diambil alih oleh mesin bypass jantung paru selama operasi. Dahulu on-pump CABG
menjadi gold standard operasi dan dilakukan pada 80% pasien di Amerika Serikat. Namun pada on-
pump CABG banyak dilakukan manipulasi pada aorta ascending yang dihubungkan dengan kejadian
komplikasi perioperatif seperti oklusi aorta, mionekrosis, disfungsi neurokognitif, dan disfungsi
renal. Untuk mencegah komplikasi ini teknik off-pump CABG mulai dikembangkan.5

Teknik off-pump CABG mulai diperkenalkan pada tahun 1990an. Off-pump CABG dilakukan pada
jantung yang masih berdetak dengan menggunakan alat stabilitasi jantung yang meminimalisir
gerakan jantung. Selain ituoff-pump CABG juga menggunakan teknik-teknik yang dapat
meminimalisir iskemi miokard serta menjaga hemodinamik sistemik.5

Rehabilitasi Kardiovaskuler 153


Sampai saat ini sudah banyak studi dan randomized clinical trial yang membandingkan antara on-
pump dan off-pump CABG pada berbagai populasi yang berbeda. Pada tahun 2005 AHA Scientific
Statement menyatakan bahwa kedua prosedur tersebut memiliki hasil operasi yang baik dan tidak
ada yang lebih superior diantara keduanya. Penelitian Naggar dan kawan-kawan (2011) pada 30
sampel off pump dan 10 sampel on pump, menyimpulkan bahwa insiden komplikasi pasca operatif
seperti gagal ginjal akut (0% vs 10%), infark miokard (3,3% vs 20%), infeksi luka (0% vs 20%),
atrial fibrilasi (10% vs 70%) dan durasi perawatan rumah sakit lebih rendah pada off-pump CABG
dibandingkan dengan on-pump CABG.5,35

Tabel 5. 7 Berikut adalah kelebihan dari masing-masing on-pump dan off-pump CABG36

Keuntungan Off-Pump CABG Keuntungan On-Pump CABG


- Kemungkinan perdarahan lebih sedikit - Kemungkinan patensi graft jangka panjang lebih
- Kemungkinan disfungsi renal lebih sedikit baik
- Kemungkinan disfungsi neurokognitif lebih - Teknik yang lebih mudah untuk dikuasai
sedikit - Lebih mudah untuk mencangkok target posterior
- Kemungkinan durasi perawatan lebih singkat (circumflex artery)
- Lebih banyak graft yang dibuat
- Kejadian revaskularisasi inkomplit lebih rendah

Jumlah pasien yang menjalani tindakan CABG sebagai cara untuk meningkatkan aliran darah ke
miokard semakin meningkat dari waktu ke waktu, dengan prosedur yang biasanya terdiri dari
operasi oleh ahli bedah kardiovaskular menggunakan mesin jantung-paru atau minimally invasive
direct coronary artery bypass (MIDCAB).2,22 Minimally Invasive Direct Coronary Artery Bypass
(MIDCAB) merupakan teknik yang menghindari sternotomy dan mampu mempercepat proses
penyembuhan serta memfasilitasi kembali bekerja lebih cepat serta melakukan aktivitas sehari-
hari, biasanya berkisar 5-7 hari pasca operasi.7,22

Komplikasi CABG
Segala prosedur operasi selalu memiliki risiko komplikasi begitu pula dengan prosedur operasi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG). ACCF/AHA Guideline for Coronary Artery Bypass Graft Surgery
2011 menyebutkan komplikasi operasi CABG antara lain:5

- Stroke
Insiden stroke pasca on-pump CABG adalah 1,4% sampai 3,8% tergantung dari populasi pasien
dan kriteria diagnosis stroke. Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya stroke pasca
CABG antara lain usia lanjut, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, hipertensi dan
wanita. Angka mortalitas meningkat 10 kali lipat pada pasien stroke pasca CABG dibandingkan
pasien yang tidak mengalami stroke pasca CABG dan lamanya perawatan di rumah sakit juga
lebih panjang pada stroke pasca CABG.5
- Delirium, gangguan kognitif pasca operasi
Insiden delirium pasca CABG adalah <10% dengan faktor risiko yang mempengaruhi antara lain usia
lanjut, gangguan fungsi kognitif dan penyakit vaskular. Perubahan fungsi kognitif jangka pendek dapat
terjadi pada pasien pasca CABG. Beberapa studi menyebutkan angka kejadian penurunan fungsi
kognitif jangka pendek lebih rendah pada off-pump CABG dibandingkan dengan on-pump CABG.5

154 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Mediastinitis pada infeksi perioperatif
Etiologi infeksi bekas sternotomy disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: diabetes
mellitus, obesitas, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), waktu operasi CABG yang lama,
operasi ulang (reoperasi), waktu intubasi yang lama, reeksplorasi saat operasi.
Insidensi infeksi luka bekas sternotomy meningkat dalam 15 tahun terakhir. Untuk menurunkan
angka infeksi perlu dilakukan pencegahan seperti sterilisasi alat yang ketat, meminimalisir
pergerakan aktivitas tenaga kesehatan dalam ruang operasi, penurunan penggunaan
elektrokauter, penggunaan sarung tangan berlapis dan waktu operasi yang lebih singkat.
Infeksi nosokomial terjadi 10% sampai 20% pada pasien pasca CABG, sehingga untuk
mencegah hal ini perlu dilakukan screening dan dekolonisasi pasien dengan methicillin-resistant
dan methicillin-sensitive koloni S. aureus serta persiapan preoperatif pasien yang adekuat.5
- Disfungsi renal
Definisi gagal ginjal akut (GGA) pada ACCF/AHA Guideline for Coronary Artery Bypass Graft
Surgery 2011 adalah peningkatan konsentrasi serum kreatinin dan/atau penurunan glomerular
filtration rate (GFR). Insiden GGA pasca CABG sebesar 2-3% sedangkan insiden GGA yang
membutuhkan dialisis sebanyak 1%. Disfungsi renal preoperatif, disfungsi sistolik ventrikel
kiri, penyakit arteri perifer, usia lanjut, diabetes mellitus, gagal jantung kongestif dan syok
merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian GGA pasca CABG.5
- Disfungsi miokardium perioperatif
Nekrosis miosit sering terjadi selama atau segera setelah CABG, hal ini biasanya disebabkan
oleh manipulasi, proteksi miokardium yang inadekuat, defibrilasi intraoperasi atau kegagalan
graft akut. Menurut European Society of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task
Force for the Redefinition of Myocardial Infarction tahun 2007 bahwa apabila ditemukan
peningkatan biomarker jantung lebih dari 5 kali lipat selama 72 jam setelah CABG, disertai
dengan gelombang Q pada EKG, bukti angiografi yang menunjukkan adanya oklusi arteri
atau bukti imaging yang menunjukkan hilangnya miokardium yang masih baik maka dapat
dipertimbangkan diagnosis CABG-related myocardial infarction.5
- Disritmia perioperatif
Atrial Fibrilasi (AF) biasanya terjadi 20% sampai 50% pada pasien pasca operasi jantung
CABG. Keadaan ini sulit untuk ditangani dan sangat berkaitan dengan peningkatan risiko
morbiditas dan mortalitas. Studi prospektif observasional yang dilakukan oleh Mariscalco dan
kawan-kawan (2008) menggunakan 1.878 partisipan yang menjalani CABG sebagai sampel
menunjukkan bahwa atrial fibrilasi pasca CABG berhubungan dengan peningkatan kejadian
stroke emboli sebanyak 4 kali lipat dan risiko kematian sebanyak 3 kali lipat.37 Faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian AF antara lain usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, penyakit arteri
perifer, penyakit paru kronis, penyakit katup jantung, riwayat operasi jantung sebelumnya,
takiaritmia atrial preoperative dan perikarditis. Atrial fibrilasi pasca CABG biasanya muncul
sekitar 5 hari pasca operasi dan biasanya hilang dalam waktu 6 minggu pasca operasi.5
- Perdarahan perioperatif
Sekitar 60-70% pasien yang menjalani tindakan CABG mengkonsumsi antiplatelet seperti
aspirin. Sebuah meta-analisis dengan data dari 805 pasien mendapatkan dosis aspirin pra
operatif>325 mg berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan. Beberapa studi lainnya juga
menunjukkan adanya peningkatan risiko perdarahan perioperatif, kebutuhan transfusi dan
eksplorasi perdarahan pada penggunaan antiplatelet ganda yaitu aspirin dan klopidogrel (Double
Antiplatelet Therapy/DAPT). Penggunaan klopodogrel dihentikan 5-7 hari sebelum operasi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 155


CABG elektif dilakukan. Pada pasien yang mendapat DAPT dengan riwayat PCI sebelumnya
menggunakan DES, penggunaan klopidogrel dihentikan 1 tahun pasca tindakan PCI tersebut.
American College of Cardiology and American Heart Association tahun 2004 merekomendasikan
untuk menghentikan penggunaan aspirin 7-10 hari sebelum tindakan operasi, berbeda dengan
The Society of Thoracic Surgeon tahun 2005 yang menyatakan penghentikan konsumsi aspirin
dilakukan 3-5 hari sebelum operasi.
- Infark perioperatif pada pasien usia tua, perempuan, obesitas, pasien dengan fraksi ejeksi yang
rendah (<30%) dan pasien yang menjalani emergensi CABG.

Menurut Kirklin (2003) komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi jantung CABG umumnya
hampir sama dengan komplikasi pasca operasi jantung lainnya. Beberapa komplikasi pasca CABG
yang perlu diperhatikan:38

- Defisit neurologis paska operasi.


Insidensi terjadinya deficit neurologis berkisar 5% hingga 6% pada pasien yang menjalani
prosedur CABG dengan cardiopulmonary bypass. Studi lain oleh Roach dkk mencatat 6,1%
pasien CABG dengan cardiopulmonary bypass mengalami defisit neurologis pasca operasi.
Defisit neurologis terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 seperti defisit fokal mayor, stupor dan
koma sebesar 3,1% dan tipe 2 seperti penurunan fungsi intelektual atau memori sebesar 3%.
Selain itu peningkatan insiden kematian pada kelompok ini (21% pada tipe 1 dan 10% pada
tipe 2).
- Mediastinitis
Infeksi luka dalam sternum terjadi 1% hingga 4% pada pasien pasca CABG dengan
cardiopulmonary bypass (on-pump CABG)dan berhubungan dengan risiko kematian. Faktor risiko
terjadinya mediastinitis adalah obesitas, diabetes, riwayat CABG sebelumnya, penggunaan
bilateral arteri thoracic internal dan lamanya waktu operasi. Sedangkan dua studi lainnya
menunjukkan pada pasien pasca CABG tanpa cardiopulmonary bypass (off-pump CABG)tidak
berhubungan dengan insidensi mediastinitis.
- Disfungsi renal
- Disfungsi renal didefinisikan dengan level serum kreatinin pasca operasi lebih dari sama
dengan 2,0 mg/dL atau meningkat 0,7mg/dL dari sebelumnya. Pada sebuah studi, disfungsi
renal terjadi pada 7,7% pasien paska CABG dan 1.4% memerlukan dialisis. Risiko terjadinya
disfungsi renal setelah opersasi CABG adalah usia tua, gagal jantung sedang dan berat, riwayat
CABG sebelumnya, diabetes dan riwayat penyakit ginjal.
- Disfungsi paru
- Pasca tindakan operasi jantung dengan CPB (cardiopulmonary bypass/on-pump) paru-paru
lebih memungkinkan untuk terjadi disfungsi daripada organ jantung itu sendiri. Salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya aliran darah pulmonal selama total CPB. Hal ini menyebabkan
sangat rendahnya shear-stress (tegangan geser) kapiler pulmonal sehingga teraktivasinya
sel-sel darah putih serta sitokin. Membran kapiler alveolar menjadi lebih permeabel serta
makromolekul dapat memasuk interstisial paru hingga alveoli yang akhirnya menyebabkan
edema paru.Edema paru baik lokal maupun luas dapat timbul disebabkan adanya tekanan
atrial kiri yang rendah berhubungan dengan perubahan venula paru dan permeabilitas kapiler.
Selain itu, beberapa faktor yang belum dikenali meningkatkan risiko luasnya atelektasis baik
segmental maupun lobular dengan risiko tertinggi pada bagian lobus kiri bawah. Kerusakan

156 Rehabilitasi Kardiovaskuler


nervus frenikus kiri dapat terjadi walaupun lebih jarang. Markand dan kawan-kawan,
menemukan paralisis pada nervus frenikus kiri sebesar 11 % pada pasien dengan atelektasis
lobus kiri bawah. Pada sebagian besar pasien, paralisis nervus frenikus kiri akan hilang dalam
6 bulan. Faktor risiko yang menyebabkan disfungsi paru pasca operasi jantung antara lain
usia muda (<2 tahun), usia tua (>60 tahun), riwayat penyakit paru obstruksi kronis (PPOK),
hipertensi pulmonal, alveolar hipoplasia dan penggunaan obat seperti amiodarone.
- Kematian
- Pada sebuah analisis oleh Jones dan kawan-kawan yang memuat data lebih dari 172.000
pasien dapat diidentifikasi 7 variabel yang meningkatkan risiko kematian yaitu usia tua, jenis
kelamin perempuan, riwayat operasi bypass jantung sebelumnya (CABG), adanya disfungsi
ventrikel kiri, left main disease dan luasnya area penyakit jantung koroner.

Pada tindakan CABG dengan melibatkan arteri mamaria interna lebih menunjukkan tahan terhadap
terjadinya risiko aterosklerosis dibanding pada vena saphena.11

Pada penelitian Lin dan kawan-kawan (2010) pada 319 sampel yang sudah menjalani CABG,
ditemukan ada empat komplikasi mayor yang berhubungan dengan mortalitas pasca CABG antara
lain prolonged sirkulasi mekanik, lebih dari 72 jam menggunakan Intraaortik Baloon Pump/IABP
atau Extracorporeal Membrane Oxygenator/ECMO (p<0,0001), bantuan ventilator mekanik yang
lebih dari 72 jam(p=0,03), gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis (p=0,002) dan komplikasi
gastrointestinal mayor (p= 0,04).40

Hybrid Coronary Revascularization


Hybrid Coronary Revascularization didefinisikan sebagai prosedur yang mengkombinasikan grafting
arteri LIMA-to-LAD (Left Internal Mamary Artery-to Left Anterior Descending) dengan PCI pada ≥
1 arteri koroner non-LAD. Prosedur operasi ini dilakukan dengan mengkombinasikan keunggulan
dari CABG dengan PCI. Hybrid Coronary Revascularization idealnya diterapkan pada pasien yang
tidak dapat dilakukan CABG saja seperti aorta proksimal dengan kalsifikasi berat, keadaan dimana
tindakan invasif yang diminimalisir lebih diharapkan, seperti pada pasien dengan komorbid
berat dan keadaan dimana PCI pada LAD tidak dapat dilakukan karena pembuluh darah terlalu
berkelok-kelok. Beberapa studi retrospektif yang dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
melaporkan Hybrid Coronary Revascularization memiliki angka mortalitas yang rendah (0-2%) dan
tingkat bebas rekurensi (event free survival rate) sebesar 83% sampai 92% pada follow-up 6 sampai
12 bulan setelah prosedur.5

Rehabilitasi Pasca Operasi Jantung

Penatalaksanaan pra operasi jantung


Shakouri dan kawan-kawan (2015) melakukan penelitian randomized clinical trial dalam Effect
of respiratory rehabilitation before open cardiac surgery on respiratory functionuntuk melihat efek
latihan respirasi sebelum operasi jantung. Penelitian tersebut membagi 60 pasien (39 pria dan 21
wanita)yang akan dilakukan tindakan CABG secara acak ke dalam kelompok latihan dan kontrol.
Pada kelompok latihan diberikan latihan pernapasan 15 hari sebelum operasi sedangkan kelompok

Rehabilitasi Kardiovaskuler 157


kontrol tidak dilakukan latihan. Namun pada kedua kelompok tetap dilakukan program latihan
dengan prosedur yang sama pasca operasi. Adapun latihan yang dilakukan pada kelompok latihan
sebelum operasi CABG antara lain:41

- Bernapas yang terdiri dari 10 kali repetisi napas dalam dan pernafasan diafragma
- Latihan Incentive Spirometer dan batuk efektif
- Latihan mobilisasi leher dan bahu dengan penekanan pada ekstensi dada
- Latihan peregangan otot ekstremitas
- Latihan kekuatan otot bahu untuk bergerak fleksi dan ekstensi

Sedangkan program latihan pasca operasi yang dilakukan baik pada kelompok latihan maupun
kelompok kontrol meliputi:

- Teknik membersihkan saluran napas (mobilisasi sekret)


- Latihan Incentive Spirometer (IS)
- Gerakan aktif ekstremitas
- Latihan pernapasan dan ekspansi lobus paru

Dari penelitian tersebut didapatkan hasil perbedaan yang signifikan dari durasi penggunaan
ventilasi yaitu 10.6±3.8 jam pada kelompok latihan dan 17.2±4.9 jam pada kelompok kontrol.
Selain itu didapatkan pula perbedaan signifikan dari parameter spirometri di antara kedua
kelompok yaitu Forced Vital Capactity/FVC (CI 95%: 1.3 to 8.7) dan Peak Expiratory Flow/PEF (CI
95%: 1.98 to 9.4).41

Tabel 5. 8 Forced Vital Capactity/FVC and Peak Expiratory Flow/PEF41

Hulzebos dan kawan-kawan (2006) meneliti efek positif dilakukannya latihan otot inspirasi pra
operasi dalam menurunkan insiden komplikasi paru pasca operasi CABG pada pasien risiko tinggi.42

Total sampel pada penelitian ini sebanyak 279 pasien dengan risiko tinggi mengalami komplikasi
paru pasca operasi yang akan menjalani operasi CABG. Adapun risiko komplikasi paru pasca
operasi ditentukan dari pulmonary risk score sebagai berikut:42

158 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 5. 8 pulmonary risk score42

Ya Tidak
Usia > 70 tahun 1 0
Batuk dengan/tanpa dahak 1 0
Diabetes Melitus 1 0
Merokok 1 0
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan FEV1<75% atau adanya 1 0
riwayat pengobatan paru
Indeks massa tubuh >27,0 kg/m2 1 0
Spirometry dengan FEV1<80% dan FEV1/FVC <70% 2 0
Keterangan:
Pasien termasuk risiko rendah apabila mendapat skor 0-1 dan risiko tinggi apabila mendapat skor >2.

Sampel penelitian tersebut dibagi secara acak menjadi kelompok yang menjalani latihan otot
inspirasi pra operasi (kelompok latihan) dan perawatan biasa (kelompok kontrol). Intervensi latihan
dilakukan 2 minggu sebelum operasi dengan masing-masing intervensi berdurasi 20 menit yang
dilakukan sebanyak 7 kali dalam seminggu (6 kali tanpa supervisi dan 1 kali dengan supervisi). Latihan
inspirasi meliputiincentive spirometri (IS), edukasi mengenai teknik latihan dengan siklus aktif dan
teknik ekspirasi paksa.Setiap harinya pasien diminta untuk mendokumentasikan perkembangan
latihan otot inspirasinya. Pada kelompok kontrol menerima instruksi seperti manuver napas dalam,
batuk dan mobilisasi awal pada 1 hari sebelum operasi. Penelitan tersebut mendapatkan hasil
adanya perbedaan komplikasi paru pasca operasi CABG antara kelompok latihan dan kelompok
kontrol. Pada kelompok latihan terdapat 25 orang (18%) mengalami komplikasi paru pasca operasi
sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 48 orang (35%) dengan OR 0,52; 95% CI; 0,30-0,92.
Selain itu didapatkan pula perbedaan signifikan antara durasi masa perawatan pasca operasi pada
kedua kelompok yaitu 5 – 41 hari pada kelompok latihan dan 6 – 70 hari pada kelompok kontrol
dengan p=0.02.42

Sebelum dilakukan tindakan operasi jantung biasanya ahli bedah jantung akan menilai angka
kematian atau mortality rate menggunakan Euro Score tahun 2011. Model ini disebut sebagai
EuroSCORE II, sebuah aplikasi kalkulator online yang sudah diperbaharui dari model terdahulu dan
dirilis di Lisbon tahun 2011.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 159


Gambar 5. 1 EuroSCORE II

Penatalaksanaan rehabilitasi jantung pasca operasi jantung


Penatalaksanaan rehabilitasi jantung pasca operasi ada 3 fase yaitu:

- fase 1 : rawat inap (inpatient)


- fase 2 : rawat jalan (outpatient)
- fase 3 : pemeliharaan (maintenance)

160 Rehabilitasi Kardiovaskuler


1. Penatalaksanaan fase I pasca operasi jantung(Inpatient)

Setelah pasien dilakukan operasi bypass, latihan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

- Latihan napas dan ekspansi lobus paru


- Latihan batuk untuk membersihkan saluran napas
- Latihan lingkup gerak sendi pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
- Latihan incentive spirometri
- Latihan mobilisasi bertahap sesuai guidelines

Berdasarkan panduan Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation edisi 4 tahun
1990 bahwa penatalaksanaan rehabilitasi medik pasca operasi jantung seperti dijelaskan berikut
ini:44

Tabel 5. 10 Penatalaksanaan rehabilitasi medik pasca operasi jantung44

Hari Aktivitas Perawatan Aktivitas Terapi Aktivitas Terapi Fisik Edukasi


Pasca Okupasional
Operasi
1 Duduk di kursi Perkenalan diri dan Perkenalan diri dan Rehabilitasi
program program Jantung
2 - Makan sendiri - Penilaian gaya hidup - Berjalan jarak Faktor Risiko
- Buang air di samping - Penyederhanaan dekat
tempat tidur pekerjaan - Gerakan aktif dari
- Berjalan dengan jarak - Konservasi energi range of motion
pendek - Aktivitas 1-3
METs
3 - Berjalan di koridor 3 - Peringatan akan - Berjalan di koridor Tingkat METs
kali perhari aktivitas 3 kali perhari
- Buang air di kamar - Monitoring denyut - Aktivitas1-4 METs
mandi dengan nadi
pendamping - Larangan merokok
- Diseka di tempat tidur
(half bath)
4 - Berjalan - Aktivitas kehidupan - Berjalan Edukasi untuk
- Mobilisasi 3-4 jam dari sehari-hari - Aktivitas 2-4 Fase II
tempat tidur - Larangan merokok METs
- Diseka di kamar mandi
(half bath)
5 Berjalan dengan jarak - Latihan relaksasi - Berjalan Perencanaan
yang lebih jauh - Larangan merokok - Menaiki anak pulang
- Bekerja sesuai dengan tangga
kondisi - Aktivitas 3-5
METs

Rehabilitasi Kardiovaskuler 161


Sekitar satu juta pasien menjalani prosedur revaskularisasi setiap tahunnya, dengan pembagian
yang hampir merata antara operasi maupun trans kateter. Separuh dari pasien memiliki usia
diatas 65 tahun. Pasien yang menjalani program pencegahan sekunder setelah open chest
surgicalrevascularization, umumnya merupakan pasien yang berhasil dilakukan revaskularisasi
sepenuhnya dan pasien iskemia koroner dengan berbagai stratifikasi risiko. Periode pemulihan
dapat bervariasi mulai dari yang hanya berlangsung beberapa hari hingga perpanjangan masa
penyembuhan akibat dampak medis dan nonmedis pada operasi jantung.2,22

Cepatnya perkembangan pada fase pemulihan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status
premorbid dan teknik operasi. Inisiasi program rehabilitasi jantung di ruang rawat harus dilakukan
secepat mungkin setelah kondisi pasien stabil. Pada awal periode pasca operasi, kemungkinan
terjadinya depresi cukup tinggi, namun akan menurun seiring berjalannya proses pemulihan serta
dukungan sosial yang didapat.7,8

Pemeriksaan awal yang perlu dilakukan pasca CABG harus menginspeksi luka bekas operasi
apakah terdapat kemerahan, bengkak dan drain. Karena tingginya angka infeksi, pasien dengan
luka terbuka sebaiknya tidak mengikuti program rehabilitasi hingga lukanya membaik. Apabila
terjadi infeksi maka beberapa hal yang harus dilakukan adalah:7,8

- Menghubungi dokter penanggung jawab dan menyarankan agar pasien diobati.


- Menutup area yang terbuka dengan kassa steril.
- Menunda latihan hingga infeksi sembuh.

Pada evaluasi dasar perlu dilakukan anamnesis awal yang mencakup perasaan dan dukungan sosial
pada pasien serta menilai faktor risiko lain. Pemeriksaan fisik harus dapat menilai range of motion
dari ektremitas atas dan bawah, yang sering dibatasi oleh luka bekas operasi dibanding masalah
pada jantung. Pemeriksaan penunjang perlu memperhatikan irama jantung pada EKG, kemampuan
pompa jantung pada echokardiografi dan pembesaran jantung pada rontgen.

Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti laboratorium yang perlu diperhatikan adalah
pemeriksaan gula darah, elektrolit seperti kalium, natrium dan lain-lain. Selanjutnya akan
mendapatkan diagnosis yang sangat akurat karena program berikutnya akan dilakukan intervensi
rehabilitasi medik jantung secara komprehensif agar didapatkan hasil yang memuaskan sesuai
target capaian pada fase-fase rehabilitasi jantung selanjutnya.7,8

Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi harus memfasilitasi dan mengamati perkembangan
pasien dengan cara:

- Mengidentifikasi pasien jantung yang diperbolehkan pulang


- Mengedukasi untuk memulai prevensi sekunder secepatnya sebelum pasien pulang
- Berkomunikasi dengan dokter spesialis jantung dalam memantau perkembanganpasien dan
kesiapan untuk memulai rehabilitasi
- Mengedukasi pasien bahwa prevensi sekunder dini yang menekankan edukasi dan konseling,
ditambah dengan latihan intensitas rendah harus dilakukan pada 1 minggu pertama setelah
pasien pulang
- Menyediakan fasilitas transisional untuk pasien yang belum siap memulai program rehabilitasi
jantung rawat jalan.1

162 Rehabilitasi Kardiovaskuler


2. Penatalaksanaan fase II pasca operasi jantung (outpatient)

Perubahan gaya hidup didisain untuk menghambat dan menghentikan lesi arterosklerotik
termasuk:1,7,8

- Latihan erobik rutin


- Kontrol tekanan darah
- Larangan merokok
- Manajemen stres
- Penurunan kadar kolesterol

Pada pasca operasi jantung CABG dapat memulai program rehabilitasi jantung fase II segera setelah
penyembuhan lengkap. Sebelum melakukan program rehabilitasi jantung sebaiknya dilakukan uji
jalan 6 menit untuk menentukan kapasitas fungsi maksimal, denyut jantung maksimal, respon
tekanan darah, exercise-induced arrhythmia dan ambang batas angina. Program untuk pasien rawat
jalan (outpatient) dapat diberikan selama 4-8 minggu. Pada fase inidilakukan stratifikasi risiko
latihan menjadi risiko rendah, sedang dan tinggi.

Latihan dengan tingkat skala Borg RPE 13 merupakan tingkat latihan yang aman untuk diberikan
pada pasien rawat jalan (outpatient setting).

Berdasarkan studi empiris menunjukkan supervisi dan monitoring pasca revaskularisasi selama
latihan dapat mendeteksi penurunan kondisi pasien. Tanda dan gejala yang dicetuskan aktivitas
dapat mengindikasikan adanya restenosis, oklusi pada pembuluh darah dan perkembangan lesi
aterosklerotik termasuk nyeri dada khas angina, pusing dan kepala terasa ringan dan denyut
ventrikel ektopik yang berbahaya (VES multiform atau berpasangan, couplets, VT).7,8

Program latihan pasca operasi jantung (CABG)terdiri dari 3 jenis antara lain:7,8

a. Latihan Erobik (endurance) merupakan latihan yang melibatkan banyak aktivitas kelompok otot,
seperti latihan berjalan, cycle ergometer atau treadmill

-. Tujuan:
- meningkatkan kapasitas erobik
- menurunkan respon tekanan darah dan denyut jantung
- menurunkan kebutuhan O2 miokard
- menurunkan risiko penyakit jantung koroner selanjutnya
- Dosis latihan terdiri dari:
- Frekuensi: 3-5 hari/minggu
- Intensitas:
- Skala Borg RPE 12-14
- 40-70% VO2 max atau menggunakan reserve HR (rumus Karvonen)
- Durasi:
- 30-60 menit/sesi
- 5-10 menit pemanasan dan pendinginan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 163


Latihan Kekuatan (strength) melibatkan circuit training

- Tujuan:
- Meningkatkan kekutan otot, mobilitas dan stamina
- Meningkatkan kemampuan untuk aktivitas rekreasi, okupasi dan kegiatan sehari-hari.
- Dosis Latihan:
- Frekuensis: 2-3 hari / minggu
- Intensitas: 40-50% dari kemampuan kontraksi maksimal (hindari valsava)
- Time: 1-3 set dengan 10-15 repetisi

b. Latihan Fleksibilitas, melatih range of motion dari ektremitas atas dan bawah

- Tujuan:
- Menurunkan risiko cedera
- Meningkatkan ROM pada pasca operasi jantung(CABG)
- Dosis latihan
- frekuensi: 2-3 hari/minggu
- intensitas: 40-60% VO2 max
- time: 20-30 menit

Panduan klinis American Heart Cardiopulmonary Rehabilitation (AHCPR) menyarankan bahwa


rehabilitasi jantung fase rawat jalan (fase II) dimulai 1 minggu setelah pasien pulang dari rumah
sakit dan dibantu dengan modifikasi jika pasien mengalami masalah pada dada, sebagai contoh
menunda latihan ekstremitas atas yang agresif agar luka sternotomy sembuh. American Heart
Cardiopulmonary Rehabilitation (AHCPR) mengindikasikan bahwa program rehabilitasi jantung baik
saat dirawat inap maupun rawat jalan, terbukti menguntungkan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari dan meningkatkan kualitas hidup. Pada pasca CABG diharuskan menjalani aktivitas fisik
setelah operasi akibat terbatasnya aktivitas yang berkepanjangan, namun kapastias fungsionalnya
cukup rendah saat memulai rehabilitasi dibandingkan pada infark miokard.7

Menurut penelitian Farahani dan kawan-kawan (2011) menemukan adanya hubungan antara
rehabilitasi jantung dengan repolarisasi ventrikel yang ditandai dengan gambaran EKG. Dispersi
QT -jarak antara interval QT maksimum dan minimum dalam gambaran EKG, merupakan prediktor
kemungkinan adanya aritmia ventrikular, kematian mendadak dan tingkat mortalitas pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik.45

Peneliti membagi 122 pasien yang menjalani tindakan CABG elektif dan sesuai kriteria inklusi ke
dalam 2 kelompok, latihan dan kontrol. Kedua kelompok diikutsertakan dalam program rehabilitasi
jantung, namun kelompok kontrol hanya mengikuti latihan kurang dari lima sesi. Adapun program
rehabilitasi jantung tersebut menggunakan protokol berupa 3 sesi per minggu yang terdiri dari
total waktu selama 8 minggu, 20 menit pemanasan (stretching dan kalistenik), 20 menit treadmill
dan 20 menit pendinginan (stretching dan kalistenik).45

164 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Dari hasil penelitian didapatkan perbedaan signifikan antara kelompok latihan dan kelompok
kontrol. Terdapat peningkatan ejeksi fraksi yang signifikan pada kelompok latihan antara sebelum
dan setelah latihan (p<0,0001). Penurunan dispersi interval QT (QTd) dan interval QT yang
terkoreksi dengan denyut jantung (heart rate-corrected QT atau QTdc) pun didapatkan cukup
signifikan pasca rehabiliasi jantung.45

Kaitannya dengan pemeriksaan laboratorium, sebuah penelitian oleh Bilinska dan kawan-kawan
(2010) menemukan pertama kali adanya pengaruh latihan statis dengan sepeda (ergometer cycle)
sebagai variabel independen dengan beberapa parameter kimia darah dan penanda inflamasi.
Peneliti membagi 120 pasien laki-laki yang baru menjalani tindakan CABG 3 bulan terakhir
dan telah disaring sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi ke dalam kelompok latihan dan
kontrol sama banyak secara acak. Kelompok latihan melakukan program rehabilitasi jantung
menggunakan ergometer cycledalam 18 sesi selama 6 minggu (3 sesi per minggu). Setiap sesinya
latihan dilakukan selama 60 menit dengan interval 4 menit mengayuh dan 2 menit istirahat selang
seling. Sedangkan kelompok kontrol tidak mendapat latihan sepeda statis. Penelitian tersebut
mendapatkan adanya penurunan yang signifikan dari beberapa kadar penanda inflamasi plasma
darah. Beberapa parameter di antaranya fibrinogen (p<0,05), hsCRP (p<0,05), leukosit (p<0,01),
trombosit atau platelet (p<0,01), laju endah darah atau LED (p<0,01), interleukin-6 atau IL-6
(p<0,02). Kadar profil lipid yang didapatkan signifikan adalah HDL meningkat dengan nilai p<0,05.
Selain itu didapatkan pula perbedaan berupa kadar nitrik oksida lebih tinggi pada kelompok latihan
dibandingkan kontrol (46% vs 14%) dan penurunan LDL lebih banyak pada kelompok latihan
ketimbang kelompok kontrol (2,3±0,7 menjadi 2,2±0,7 vs 2,6±0,83 menjadi 2,6±0,87).46

Sebuah studi yang dilakukan oleh Hedback dan kawan-kawan (2001) menemukan bahwa angka
mortalitas pada kelompok pasien yang melakukan rehabilitasi jantung pasca CABG jauh lebih
rendah dibanding kelompok kontrol (8,2% vs 20,4%).47

Hasil penelitian di atas juga didukung oleh hasil sebuah penelitian berbasis komunitas yang
dilakukan oleh Pack dan kawan-kawan (2013) yang mendapatkan adanya hubungan antara
rehabilitasi jantung pasca CABG dengan penurunan angka mortalitas sebesar 46% (HR=0,54; 95%
CI, 0,40--,74; p<0.001).48

Guideline for Coronary Artery Bypass Graft Surgery dari ACCF/AHA tahun 2011 merekomendasikan
program rehabilitasi jantung untuk pasien pasca CABG. Rehabilitasi jantung yang diberikan
seawal mungkin setelah operasi, selama perawatan dan saat rawat jalan jugaberguna menurunkan
risiko kematian pada pasien infark miokard. Program rehabilitasi jantung yang dilakukan 4
sampai 8 minggu setelah operasi CABG dengan frekuensi 3 kali seminggu selama 3 bulan dapat
meningkatkan toleransi latihan sebanyak 35 %, peningkatan 2% dari HDL dan penurunan 6%
dari lemak tubuh. Pada kurun waktu 6 bulan latihan erobik dapat memperbaiki konsumsi oksigen
maksimum dibandingkan dengan latihan sedang yang kontinu.5 Berjalan merupakan latihan yang
paling dianjurkan pada pasca revaskularisasi CABG, dimana pasca CABG memiliki beberapa
karakteristik yang perlu perhatian khusus pada range of motion(ROM) ektremitas atas. Latihan
pada ekstremitas atas harus disupervisi sampai batas keluhan. Pasien dapat melakukan akvitas
sehari-hari, dengan aktivitas intensitas sedang seperti berjalan cepat.

Pasca CABG umumnya dapat memulai rehabilitasi jantung lebih awal dengan perkembangan yang
lebih cepat. Pada pasca CABG latihan fleksibilitas lebih mengutamakan latihan ROM ektremitas

Rehabilitasi Kardiovaskuler 165


atas. Selama latihan perlu dievaluasi gejala restenosis atau oklusi. Batasan selama latihan pada
pasca CABG adalah Borg Scale RPE 11-13 dan denyut jantung pada istirahat meningkat 30 kali/
menit.7,8

Efek latihan pada pasien pasca revaskuarisasi


Keuntungan dan limitasi latihan pada pasien pasca revaskularisasi serupa dengan pasca infark
miokard. Rata-rata peningkatan kapasitas latihan dan maximal oxygen uptake sekitar 20%.
Penurunan tekanan darah dan denyut jantung dari efek latihan yang rutin dilakukan secara periodik
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard saat istirahat dan pada latihan submaksimal.
Revaskularisasi meningkatkan aliran darah dan suplai oksigen ke miokard, serta menghilangkan
gejala angina, yang memudahkan untuk meningkatkan kapasitas fisik, menstabilkan antara
kebutuhan dan suplai oksigen ke miokard serta meningkatkan kontraktilitas ventrikel dan gerak
dinding jantung dan merubah respon hemodinamik terhadap latihan.1,7,8

Follow-Up
Saat pasien pulang, pasien diinstruksikan untuk menghubungi dokter spesialis jantung jika gejala
kembali muncul. Pentingnya pertemuan dengan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi
dapat menentukan kapan pasien kembali bekerja dan melakukan aktivitas seksual seperti
sediakala.1,7,8 Prevensi sekunder pasca CABG merupakan komponen esensial dalam terapi latihan
fisik jangka panjang, khususnya mengurangi angka mobiditas dan mortalitas terkait penyakit
jantung. Follow-up pasien setelah CABG perlu memperhatikan keadaan klinis pasien, kepatuhan
pasien dalam edukasi prevensi sekunder (tekanan darah, koleterol LDL, pemberhentian merokok
dan lain-lain).7,8

Penatalaksanaan fase III pasca operasi jantung (maintenance)


Program rehabilitasi jantung fase III pada umumnya menekankan pada pentingnya pemeliharaan
fisik dan endurance agar pasien pasca operasi jantung dapat mempertahankan kemampuannya
untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sekitar 40% pasien
yang telah menjalani operasi jantung CABG mengalami gangguan cemas saat minggu pertama
setelah diperbolehkan pulang. Gangguan kecemasan ini tentunya mempengaruhi kualitas
kehidupan dan dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan terhadap masalah jantung yang
dimiliki seperti meningkatnya angka rekurensi dan mortalitas.

Program rehabilitasi jantung merupakan program prevensi sekunder yang sudah diakui kaitannya
menurunkan mortalitas melalui latihan fisik, modifikasi faktor risiko dan pola hidup sehat. Program
latihan fisik pada fase III dilakukan sebanyak 3-5 kali seminggu selama 24 minggu dengan
intensitas 70-85% denyut jantung maksimal dengan durasi 30 menit disertai latihan resistance.
Tipe latihan yang biasa digunakan adalah latihan berjalan erobik, menggunakan ergocycle atau
treadmill. Latihan resistensi biasanya dilakukan pada ekstremitas atas dengan intensitas 30-40%
dari satu repetisi maksimal sedangkan pada ekstremitas bawah diberikan 40-50% dari satu repetisi
maksimal sebanyak 12-15 kali repetisi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu.49

166 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Dari hasil penelitian yang dilakukan Tahereh dan kawan-kawan (2007) yang melibatkan 66 pasien
dengan disain penelitian pre dan post exercise trainingberupa latihan 3 kali seminggu selama 24
minggu dengan intensitas latihan 70-85% denyut jantung maksimal selama 30 menit per sesi terdiri
dari latihan ergometer cycle 8 menit, arm ergometer 12 menit dan diakhiri dengan latihan treadmill
selama 10 menit. Hasil penelitian ini mendapatkan adanya penurunan status kecemasan yang
signifikan (p<0,01) disertai perbaikan kualitas hidup yang ditandai dengan fungsi fisik (p<0,001).
Hasil penelitian ini menunjukkan program rehabilitasi pasca operasijantung dapat memberikan
hasil yang signifikan dalam memperbaiki psikologis dan kualitas hidup,namun demikian ada
beberapa studi yang menjelaskan masih rendahnya angka partisipasi program reahbilitasi jantung
yang dikarenakan beberapa sebab seperti faktor pekerjaan, jenis kelamin, masalah kesehatan lain,
faktor demografis dan psikososial.50

Daftar Pustaka
1. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. New York:
Churchill Livingstone, 1992.
2. Venturini E and Testa R. Cardiac Rehabilitation and Percutaneous Coronary Intervention,
Together Against Global Burden of Cardiovascular Disease. Ceciana, Italy: Department of
Cardiology, Civic Hospital.
3. Fuster V, Walsh RH and Harrington RA. Hurst’s the Heart. 13th edition. USA: Mc-Graw Hill
Companies, 2011.
4. Link MS, Berkow LC, Kudenchuk PJ, et al. Adult Advanced Cardiovascular Life Support. 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Rescucitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation Journal. 2015.
5. Levine GN, Bates ER, Blankenship JC, et al. ACCF/AHA/SCAI Guidelines for Percutaneous
Coronary Intervention A Report of te American College of Cardiology Foundation/Americn
Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions. Circ AHA Journal. 2011. 124:e574-e651.
6. O’Riordan M. Cardiac Rehabilitation After PCI Lowers Mortality. New york: Medscape. 2015
7. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
8. American College of Sports Medicine (ACSM). Exercise prescription for patients with cardiac
disease. In WR Thompson et al., eds., ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription,
8th ed., Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010. p207–224.
9. Deb S,  Wijeysundera HC, Ko DT, et al. Coronary Artery Bypass Graft Surgery vs Percutaneous
Interventions in Coronary Revascularization: A Systematic Review. JAMA. 2013.;310(19):
2086-2095.
10. Stouffer GA and Peter K, Editor. Percutaneous Coronary Intervention. New York: Medscape,
2015.
11. Appleby MA, Angeja B, Dauterman K, et al. Angiographic Assessment of Myocardioal Perfusion:
TIMI Myocardial Perfusion (TMP) Grading System. Heart Journal. 2001;86:485-486.
12. Amsterdam EA and Wenger NK. Guidelines for Management of Patients with Non-ST Elevation
Acute Coronary Syndromes. American Heart Association/American College of Cardiology
Guidelines 2014;64(24):e139-e228.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 167


13. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI Risk Score for ST Elevation Myocardial
Infarction: A Conveninent, Bed side, Clinical Score for Risk Assessment at Presentation: An
Intravenous nPA for Treatment of Infarcting Myocardium Early II Trial Substudy. Circulation
Journal. 2000;102(17): 2031-2037.
14. Perhimpuan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Jakarta: Centra Communication, 2015.
15. Johnman C, Oldroyd KG, Mackay DF,  et al. Percutaneous coronary intervention in the elderly:
changes in case-mix and periprocedural outcomes in 31,758 patients treated between 2000
and 2007. Circ Cardiovasc Interv. 2010;3:341–5.
16. Moonen LA, van’t Veer M and Pijls NH. Procedural and longterm outcome of primary
percutaneous coronary intervention in octogenarians. Neth Heart J. 2010;18:129–34.
17. Boyden TF, Nallamothu BK, Moscucci M,  et al. Meta-analysis of randomized trials of drug-
eluting stents versus bare metal stents in patients with diabetes mellitus. Am J Cardiol.
2007;99:1399–402.
18. Stramba-Badiale M, Fox KM, Priori SG,  et al. Cardiovascular diseases in women: a statement
from the policy conference of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2006;27:994–
1005.
19. Mueller C, Neumann FJ, Roskamm H, et al. Women do have an improved long-term outcome
after non-ST-elevation acute coronary syndromes treated very early and predominantly with
percutaneous coronary intervention: a prospective study in 1,450 consecutive patients. J Am
Coll Cardiol. 2002;40:245–50.
20. Jacobson KM,  Hall Long K, McMurtry EK, et al. The Economic Burden of Complication during
Percutaneous Interventions. Qual Saf Health Care. 2007;16(2):154-159.
21. Thomas RJ, Goel K,  Lennon RJ, et al. Squires. Impact of cardiac rehabilitation on mortality and
cardiovascular events after percutaneous coronary intervention in the community. Circulation
2011:123:2344-2352.
22. Dendale P,  Berger J, Hansen D, et al. Cardiac rehabilitation reduces the rate of major adverse
cardiac events after percutaneous coronary intervention. Eur J Cardiovasc Nurs. 2005
Jun;4(2):113-6.
23. Belardinelli R, Ivana Paolini I, Giovanni Cianci G, et al. Exercise training intervention after
coronary angioplasty: the ETICA trial. J Am Coll Cardiol. 2001 Jun 1;37(7):1891-900.
24. Kim YJ,  Shin YO, Bae JS, et al. Beneficial effects of cardiac rehabilitation and exercise after
percutaneous coronary intervention on hsCRP and inflammatory cytokines in CAD. Pflugers
Arch. 2008 Mar;455(6):1081-8.
25. Pasquali SK,  Alexander KP,  Coombs LP,  et al. Effect of cardiac rehabilitation on functional
outcomes after coronary revascularization. Am Heart J. 2003; 145(3).
26. Arena R. The Case for Cardiac Rehabilitation Post PCI and Why We Arent Meeting Our Goal.
Am coll of cardiol. 2015
27. Piepoli MF. Secondary prevention through cardiac rehabilitation: physical activity counselling
and exercise training: key components of the position paper from the Cardiac Rehabilitation
Section of the European Association of Cardiovascular Prevention and Rehabilitation.
European Heart Journal. 2010; 31(16): 1967-1974.
28. Perera D, Patel S, Blows L, et al. Pharmacological vasodilatation in the assesment of pressure-
derived collateral flow index. Heart. 2006 Aug; 92(8): 1149-1150.

168 Rehabilitasi Kardiovaskuler


29. Alexander JH and Smith PK. Coronary Artery Bypass Grafting. NEJM. 2016;374:1954-1964.
30. Diodato M and Chedrawy EG. Coronary artery bypass graft surgery: past, present and future.
2014.
31. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics—2011 update.
Circulation. 2011; 123:e18–e209.
32. Epstein AJ,   Polsky D, Yang F,  et al. Coronary revascularization trends in the United States:
2001-2008. JAMA 2011 May 4; 305(17):1769-1776.
33. Hockenberry J, Lu X, Vaughan-Sarrazin MS, et al. Shifts in surgical revascularization and valve
procedures amon Medicare beneficiaries. Med Care. 2011;49:686–692.
34. Prem SS. Pump and off pump coronary artery bypas grafting. Circulation Journal. 2006;113:
51-52.
35. El Naggar A, El Magd MA, El Hoseiny R et al. Off-pump vs on-pump Coronary Artery Bypass
Grafting : Perioperative Complications and Early Clinical Outcomes. The Egyptian Heart
Journal. 2012;64:43-47.
36. Sellke FW, DiMaio JM,  Caplan LR, et al. Comparing On-Pump and Off-Pump Coronary
Artery Bypass Grafting: Numerous Studies but Few Conclusions: Scientific Statement
from the American Heart Association Council on Cardiovascular Surgery and Anesthesia in
Collaboration with the Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcome
Research. 2005;111(21): 2858-2864.
37. Mariscalco G, Musumeci F and Banach M. Factors Influencing Post Coronary Artery Bypass
Grafting Arterial Fibrilation Episode. Cardiologia Polska. 2013;71(11): 1115-1120.
38. Kouchoukos N, Blackstone EH  ,  Doty DB,  et al. Kirklin/Barratt-Boyes Cardiac Surgery. 3rd
edition. England: Churchil Livingstone. 2003.
39. Hawkes AL,   Nowak M,  Bidstrup B,  et al. Outcomes of CABG Surgery. Vascular Health and
Risk Management. 2006;2(4):477-484.
40. Lin CC,  Wu MY, Tsai FC, et al. Prediction of Major Complications after Isolated Coronary Artery
Bypass Grafting : The CGMH Experience. Chang Gung Medical Journal.2010;33(4):370-378.
41. Shakouri SK, Salekzamani Y, Taghizadieh A,  et al. Effect of respiratory rehabilitation before open
cardiac surgery on respiratory function: a randomized clinical trial. J Cardiovasc Thorac Res.
2015; 7(1): 13–17.
42. Hulzebos EH, Helders PJ,  Favié NJ,  et al. Preoperative intensive inspiratory muscle training
to prevent postoperative pulmonary complication in high-risk patients undergoing CABG
surgery. JAMA. 2006;296(15):1851-1857.
43. Roques F,  Nashef SA, Michel P, et al. Risk Factors and Outcome in European Cardiac Surgery:
Analysis of the EuroSCORE Multinational Database of 19030 Patients.
44. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
45. Farahani AV,  Asef-Kabiri L, Masoudkabir F, et al. Effect of exercise-based cardiac rehabilitation
following coronary artery bypass surgery on ventricular repolarization indices. J Cardiopulm
Rehabil Prev. 2011 Jul-Aug;31(4):239-44.
46. Bilinska M,   Kosydar-Piechna M,  Gasiorowska A,  et al. Influence of dynamic training on
hemodynamic, neurohormonal responses to static exercise and on inflammatory markers in
patients after coronary artery bypass grafting. Circ J. 2010 Nov;74(12):2598-604

Rehabilitasi Kardiovaskuler 169


47. Hedbackb B, Perka J, Hörnblada M, et al. Cardiac Rehabilitation after Coronary Artery Bypass
Surgery: 10-Year Results on Mortality, Morbidity and Readmissions to Hospital. Departmen of
Cardiology, Heart Center, Oskarsham Hospital, Sweden.2001
48. Pack QR,  Goel K, Lahr BD, et al. Participation in cardiac rehabilitation and survival following
coronary artery bypass graft surgery: a community based study. Circulation. 2013 Aug
6;128(6): 590-7.
49. Davies N. Patients’ and carers’ perceptions of factors influencing recovery after cardiac
surgery. J Adv Nurs 2000;32:318-326.
50. Tahereh D, Heidarnia A, Ramezankhani A, et al. Effects of Phase III Cardiac Rehabilitation
Programs on Anxiety and Quality of Life in Anxious Patients After Coronary Bypass Surgery.
Journal Tehran University Heart Center. 2007:207-212.

170 Rehabilitasi Kardiovaskuler


BAB 6
REHABILITASI GAGAL
JANTUNG KONGESTIF

Rehabilitasi Kardiovaskuler 171


Pendahuluan
Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure(CHF) merupakan masalah global dengan
jumlah penderita diperkirakan lebih dari 20 juta orang dan menjadi penyakit pandemi di Amerika
Serikat yang penderitanya mencapai kira-kira 500.000 kasus baru setiap tahunnya dengan 70.000
diantaranya perlu dilakukan tindakan transplantasi jantung.1,2,3,4

Prevalensi gagal jantung pada orang dewasa di negara berkembang diperkirakansebesar 1-2%,pada
wanitagagal jantung memiliki insiden relatif lebih rendah dibandingkandengan pria, namun
demikian hampir 75% kasus gagal jantung pada wanitahal ini dimungkinkan karena mempunyai
angka harapan hidup yang lebih tinggi.Risiko gagal jantung pada usia 55 tahun sekitar 33% pada
pria dan 28% pada wanita.4,5,6 Prevalensi gagal jantung pada orang dewasa di negara berkembang
bila dibandingkan dengan negara maju memang terbilang lebih rendah, walau demikian di masa
datang diprediksi akan mengalami peningkatanhingga lebih dari 10% terutama pada kelompok
usia di atas 70 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi gagal
jantung di Indonesia mencapai 0,3% dan dikatakan angka ini akan bertambah setiap tahunnya.4,6,7

Di Amerika Serikat diagnosisgagal jantung yang dirawat di rumah sakit menempati urutan tertinggi
dengan beberapa penyebab yang mendasarinya di antaranya penyakit jantung koroner, hipertensi
dan diabetes mellitus.2,3,4,5

Dahulu gagal jantung dianggap sebagai ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa darah yang
ditandai dengan rendahnya fraksi ejeksi, namun demikian berdasarkan studi epidemiologi gagal
jantung dapat terjadi pada pasien dengan fraksi ejeksi yang normal atau dapat dipertahankan/Heart
Failure with preservedejection fraction(40-50%).6 Sekarang gagal jantung dikelompokan menjadi
dua kelompok besar yaitu gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (systolic failure / heart
failure with reduced ejection fraction / HFrEF) dan gagal jantung yang mampu mempertahankan
fraksi ejeksi (diastolic failure / heart failure with preserved ejection fraction / HFpEF).2,3,4,6 Menurut
European Society of Cardiology tahun 2016 semua penyebab kematian gagal jantung lebih besar
pada HFrEF dibandingkan dengan HFpEF.2-4,6

Pada era sebelum tahun 1980 penderita gagal jantung tidak diperbolehkan menjalani program
latihan rehabilitasi atas dasar keamanan pasien dan istirahat menjadi terapi utama karena dianggap
dapat menurunkan kebutuhan sirkulasi, meningkatkan aliran darah ke ginjal, meningkatkan urine
output dan mendukung terapi diuresis yang bermanfaat pada pasien gagal jantung kongestif. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang rehabilitasi jantung maka banyak konsensus oleh
para pakar yang menyatakan bahwa program rehabilitasi jantung sesuai guidelines dapat diterima
oleh pasien gagal jantung kongestif di mana program latihan tidak hanya mengurangi gejala tetapi
juga terbukti mengubah perjalanan penyakit gagal jantungsecara klinis. 2,3,4

Berdasarkan Framingham Heart Study tahun 2013, diperkirakan terdapat 5 juta pasien penyakit
jantung yang perlu dilakukan rehabilitasi jantung sehingga perlu perhatian dan intervensi yang
mampu mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Angka harapan hidup
bukan merupakan satu-satunya tujuan pada penderita gagal jantung, namun penting juga untuk
memprioritaskan pada kualitas hidup dan kemampuan fungsional dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari. Untuk mencapai hal ini, rehabilitasi jantung berupa latihan yang agresif perlu
dilakukan sesuai dosis latihan.5,8 Menurut Belardineli latihan intensitas rendah dapat meningkatkan
kemampuan fisik pada pasien gagal jantung kronik stabil. 2,3,4

172 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Pada umumnyakeluhan utama penderita gagal jantung adalah rasa kelelahan dan intolerasi
terhadap aktivitas, kemampuan toleransi terhadap latihan dapat diukur dengan konsumsi oksigen
maksimum (VO2 max) dan merupakan prediktor angka harapan hidup pasien. Dalam satu dekade
terakhir, program rehabilitasi jantung disertai dengan terapi obat vasodilator mampu meningkatkan
kapasitas fungsional dan menurunkan gejala pada gagal jantung. Hal ini menunjukkan bahwa
latihan erobik terbukti aman pada penderita gagal jantung yang sudah terkompensasi secara
klinis sehingga risiko aritmia atau infark miokard akut yang mengancam nyawa tidak terbukti
ditimbulkan oleh latihan. 2,3,4

Latihan sudah terbukti aman pada pasien jantung, berdasarkan penelitian Haskell dan kawan-
kawan hanya ditemukan satu kematian pada 116.400 jam. Penelitian Van Camp dan Peterson
melaporkan hanya satu kejadian cardiac arrest pada 112.000 jam latihan, satu kejadian infark
miokard pada 294.000 jam latihan dan satu kematian pada 784.000 jam latihan. Risiko ini dapat
ditekan dengan pemeriksaan yang baik, stratifikasi risiko dan edukasi pasien.9,10

Definisi
American College of Cardiology Foundation (ACCF)/ American Heart Association (AHA) tahun
2013 mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindroma klinis yang kompleks disebabkan
oleh gangguan struktural dan fungsional dari pengisian ventrikel atau gangguan pompa darah
sehingga muncul gejala klinis khas berupa sesak napas, lelah disertai tanda-tanda edema dan
rales.9 Adapun manifestasi utama dari kondisi gagal jantung adalah sesak napas dan kelelahan yang
dapat mengurangi toleransi latihan sehingga menyebabkan tingginya angka rawat inap, rendahnya
kualitas hidup dan menurunnya angka harapan hidup.2,3

Gagal jantung kongestif bukan merupakan diagnosis yang disebabkan oleh satu etiologi tertentu,
tetapi merupakan manifestasi tahap akhir dari perkembangan penyakit kardiovaskular seperti
gangguan pada arteri koroner, katup jantung atau miokardium. Pada pasien dengan gagal
jantungyang terkompensasi umumnya asimptomatik pada saat istirahat, tetapi akan muncul sesak
napas atau kelelahan saat beraktivitas. Kelelahan pada aktivitas inilah yang membatasi pasien
dalam mengikuti program aktivitas fisik, tetapi bukan berarti sebagai kontraindikasi dari program
latihan.10

Etiologi
Di negara maju penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama terjadinya kasus gagal
jantung pada pria maupun wanita (60-75%). Begitu pula dengan hipertensiyang turut berkontribusi
pada 75% kasus gagal jantung. Tidak hanya penyakit jantung koroner dan hipertensi yang dapat
meningkatkan risiko gagal jantung, diabetes melitus pun juga menjadi penyakit yang mendasari.2,3

Secara umum etiologi gagal jantung kongestif terbagi menjadi empat kelompok yaitu beberapa
kondisi dengan fraksi ejeksi yang menurun, fraksi ejeksi yang mampu dipertahankan, penyakit
paru-jantung dan keadaan lainnya seperti yang digambarkan sebagai berikut.2,3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 173


Fraksi Ejeksi yang menurun (<40%)

- Penyakit jantung koroner


- Infark miokard
- Iskemia miokard
- Tekanan overload yang kronik
- Hipertensi
- Obstruksi katup
- Volume overload yang kronik
- Regurgitasi katup
- Intracardiac shunt (left to right)
- Extracardiac shunt
- Non iskemik kardiomiopati
- Kelainan genetik/familial
- Kelainan infiltratif
- Kerusakan akibat zat toksik
- Kelainan metabolik
- Viral
- Penyakit Chagas
- Gangguan Irama
- Bradiaritmia kronik
- Takiaritmia kronik

Fraksi Ejeksi yang mampu dipertahankan (>40-50%)

- Hipertrofi patologis
- Primer (Kardiomiopati hipertrofi)
- Sekunder (Hipertensi)
- Penuaan (aging)
- Kardiomiopati restriktif
- Kelainan infiltratif (amiloidosis, sarkoidosis)
- Storage diseases (hemochromatosis)
- Fibrosis
- Kelainan endomiokardial

174 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Penyakit Jantung-Paru

- Cor pulmonale
- Gangguan vaskularisasi paru

High-output States
- Kelainan metabolik
- Tirotoksikosis
- Gangguan Nutrisi (beri-beri)
- Peningkatan kebutuhan aliran darah yang berat
- Shunt arteri vena sistemik
- Anemia kronik

Klasifikasi

Gagal jantung akut dan kronik


Sindrom gagal jantung akut didefinisikan sebagai perubahan tanda dan gejala yang cepat atau
dalam jangka waktu yang singkat mengharuskan terapi segera. Gejala timbul secara progresif
dalam periode yang singkat (jam, hari atau minggu), biasanya dicetuskan oleh serangan iskemia
atau nekrosis ventrikel (infark miokard akut), fibrilasi atrium atau aritmia lain, hilangnya fungsi
katup secara tiba-tiba seperti pada ruptur otot papillary atau chordae tendinea. 3

Gagal jantung kronik merupakan sindrom yang menunjukkan gejala namun lebih stabil, sering
dikenal sebagai gagal jantung terkompensasi. Faktor yang menyebabkan perubahan dari gagal
jantung terkompensasi menjadi tidak terkompensasi belum diketahui secara pasti dan dapat
terjadi dalam hitungan hari hingga minggu. Pada gagal jantung kronik terbatasnya curah jantung
dapat menyebabkan kelelahan akibat perfusi yang tidak adekuat pada otot rangka, selanjutnya
akumulasi cairan dapat terjadi dan dapat menyebabkan kongesti paru serta edema perifer, apabila
kondisi ini terjadi bersamaan maka disebut congestive heart failure.3

Gagal jantung sistolik dan diastolik


Gagal jantung dapat dikategorikan berdasarkan kelainan struktural yang dapat dipastikan dengan
modalitas pencitraan terutama Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menilai struktur ventrikel
kiri dan menentukan penyebab gagal jantung seperti amiloidosis, kardiomiopati iskemik dan
hemochromatosis. Disfungsi sistolik dideskripisikan sebagai ventrikel yang mengalami hipertrofi
dan dilatasi yang menyebabkan curah jantung berkurang saat sistolik sedangkan disfungsi diastolik
adalah penebalan dan penyempitan rongga ventrikel sehingga proses pengisian terganggu selama
fase diastolik.2,3

Pengelompokan ini lebih mengarah pada performa ventrikel dibanding gangguan hemodinamik
yang timbul, karena 2 kelompok ini dapat menunjukkan gejala yang sama. Disfungsi sistolik dan
diastolik sering terjadi bersamaan pada pasien gagal jantung karena gagal jantung dengan disfungsi
sistolik dapat menimbulkan disfungsi diastolik terutama saat aktivitas.3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 175


Gambar 6. 1 Gambaran jantung normal dan disfungsi sistolik dengan diastolik2

Gagal jantung diastolik dan gagal jantung sistolik merupakan dua sindrom yang terpisah dengan
morfologi dan perubahan fungsi yang berbeda walaupun memiliki kesamaan gejala, tanda dan
prognosis. Pada gagal jantung diastolik tidak ada dilatasi ventrikel maupun penurunan fraksi ejeksi
sedangkan pada gagal jantung sistolik terjadi dilatasi ventrikel dan penurunan fraksi ejeksi.

Tabel 6. 1 Perbedaan gagal jantung sistolik dan diastolik2

Gagal Jantung Sistolik Gagal Jantung Diastolik


Jantung berdilatasi dan membesar Rongga ventrikel kiri yang kecil, hipertrofi konsentrik
ventrikel kiri
Tekanan darah normal atau rendah Hipertensi
Umumnya ditemukan pada laki-laki Umumnya pada usia tua dan perempuan
EF yang rendah EF yang normal atau meningkat
S3 gallop S4 gallop
Pada ekokardiografi terdapat gangguan pada Pada ekokardiografi terdapat gangguan diastolik
sistolik dan diastolik

Heart failure with preserved, mid-range and reduced ejection


fraction
Menurut American Heart Association(AHA) gagal jantung dibagi berdasarkan ukuran dari fraksi
ejeksi ventrikel kiri (left ventricle ejection fraction / LVEF) yaitu heart failure with preserved ejection
fraction (HFpEF) dengan LVEF > 50% dan heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) dengan
LVEF <40%. Namun demikian menurut Guideline European Society of Cardiology tahun 2016 gagal
jantung dengan LVEF antara 40-49% dimasukkan menjadi kelompok heart failure with mid-range
ejection fraction (HFmrEF).6

Penegakkan diagnosis HFpEF lebih sulit dibandingkan dengan diagnosis HFrEF karena pada
HFpEF biasanya tidak ditemui dilatasi ventrikel kiri tetapi lebih sering ditemukan penebalan
dinding ventikel kiri atau peningkatan ukuran atrium kiri sebagai akibat dari peningkatan tekanan

176 Rehabilitasi Kardiovaskuler


saat pengisian. Selain itu biasanya ditemukan gangguan dalam pengisian ventrikel kiri sehingga
dianggap sebagai disfungsi diastolik atau dulu disebut sebagai gagal jantung diastolik. Namun
pada HFrEF yang sebelumnya dikenal sebagai gagal jantung sistolik juga memiliki gejala klinis
disfungsi diastolik dengan gangguan sistolik yang ringan sehingga kini lebih dipilih penggunaan
istilah heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) dan heart failure with reduced ejection
fraction (HFrEF).6

Pada guidelines sebelumnya terdapat satu daerah abu-abu yang berada diantara HFrEF dan HFpEF
yaitu pasien dengan LVEF antara 40-49% di mana pada guidelines 2016 dimasukkan ke dalam
kelompok heart failure with mid-range ejection fraction (HFmrEF). Pada heart failure with mid-range
ejection fraction (HFmrEF) dapat ditemukan gejala disfungsi sistolik yang sedang disertai dengan
beberapa karakterisktik disfungsi diastolik.6

Patogenesis
Gagal jantung dapat dilihat sebagai penyakit progresif yang dicetuskan oleh kerusakan otot jantung
sebagai akibat dari berkurangnya miosit jantung atau disebabkan dari gangguan miokardium
yang tidak dapat berkontraksi secara normal. Pencetus gagal jantung secara tiba-tiba biasanya
disebabkan oleh infark miokardatau dapat terjadi secara perlahan seperti yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hemodinamik,overload cairan atau bisa juga diturunkan secara herediter
pada kardiomiopati genetik. Apapun penyebab dari gagal jantung, semuanya akan menyebabkan
manifestasi klinis yang sama yaitu penurunan kapasitas pompa jantung.2,3

Pada disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatikdiperkirakan timbul mekanisme kompensasi


yang terjadi akibat cardiac injury dan/atau penurunan curah jantung (cardiac output) yang
mempengaruhifungsi ventrikel kiri sehingga kapasitas fungsi pasien dapat dipertahankan.2,3

Mekanisme kompensasi antara lain:2,3

- Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan nervous adrenergic yang bertanggung


jawab untuk mempertahankan curah jantung dengan cara meningkatkan retensi air dan garam.
- Peningkatan kontraktilitas miokard: aktivasi reseptor β-adrenergik jantung meningkatkantonus
simpatis yang akan mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung sebagai
respon kompensasi terhadap penurunan curah jantung.

Pada kontraksi ventrikel yang menurun akan terjadi pengosongan ruang yang tidak sempurna
sehingga volume darah yang menumpuk di dalam ventrikel saat fase diastole menjadi lebih besar
dari normal. Hal ini menyebabkan peregangan otot jantung berlebih saat pengisian. Semakin
teregangnya jantung maka semakin panjang serabut otot jantung hal ini menghasilkan gaya yang
lebih kuat pada kontraksi jantung berikutnya disertai peningkatan stroke volume (hukum Frank-
Starling). Selain itu mekanisme kompensasi ini dapat disertai dengan aktivasi molekul vasodilator
seperti atrial natriuretic peptides dan brain natriuretic pepetides (ANP dan BNP), prostaglandin
(PGE2 dan PGI2) dan nitrik oksida (NO) yang menghambat vasokontriksi pembuluh perifer secara
berlebihan.2,3

Latarbelakang genetik, jenis kelamin, usia dan lingkungan dapat mempengaruhi mekanisme
kompensasi ini sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan. Penderita gagal jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 177


dapat bertahan dalam keadaan asimptomatik atau gejala yang minimal dalam beberapa tahun,
tetapi sewaktu-waktu bisa terjadi serangan yang meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas.
Walaupun mekanisme ini belum banyak diketahui, perubahan dari gagal jantung asimptomatik
menjadi simptomatik dipengaruhi oleh meningkatnya aktivasi neurohormonal, sistem adrenergik
dan sitokin yang menyebabkan perubahan miokardium (Left Ventricle remodeling/remodeling
jantung).2,3

Gambar 6. 2 Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal jantung3

Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal jantung.


Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengaktivasi berbagai mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskular. Penurunan curah jantung pada gagal
jantung dideteksi oleh baroreseptor di sinus karotis dan arkus aorta. Sinyal ini akan diteruskan
ke cardiovascular control center di medula sehingga menyebabkan aktivasi saraf simpatis dan
tonus parasimpatis dihilangkan. Secara umum peningkatan simpatis eferen dan pelepasan arginine
vasopressin (AVP) terjadi secara non osmotik dari kelenjar pituitari, di mana AVP atau antidiuretik
hormone (ADH) merupakan vasokonstriktor yang dapat meningkatkan permeabilitas duktus
koledokus ginjal sehingga reabsorbsi air meningkat. Sinyal aferen pada susunan saraf pusat juga
mengaktivasi jalur sistem saraf eferen simpatis yang mempengaruhi jantung, ginjal, pembuluh
darah perifer dan otot rangka.2,3

Aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel
serta vasokonstriksi sistemik.Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel akan
mengakibatan curah jantung meningkat. Vasonstriksi vena akan meningkatkan aliran darah balik
ke jantung yang meningkatkan preload dan stroke volume. Vasokonstriksi arteriol menyebabkan
peningkatan resistensi perifer dan membantu menjaga tekanan darah.11

178 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Stimulasi simpatis di ginjal menyebabkan pelepasan renin. Selain itu pencetus stimulus lain
pelepasan renin dari sel jukstaglomerular di ginjal antara lain penurunan perfusi arteri renal
akibat curah jantung yang rendah, penurunan transportasi garam ke macula densa ginjal sehingga
menyebabkan perubahan hemodinamik intrarenal dan stimulasi langsung dari reseptor β akibat
aktivasi sistem saraf adrenergik.2,3,11

Renin merupakan enzim yang mengubah angiotensin menjadi angiotensin I. Angiotensin I


kemudian diubah oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang merupakan
vasokonstriktor kuat. Angiotensin II akan meningkatkan volume intravaskular dengan cara
menstimulasi rasa haus dari hipotalamus sehingga meningkatkan intake air dan sekresi aldosteron
di korteks adrenal. Selain itu angiotensin II menyebabkan reabsorpsi natrium di ginjal yang
kemudian akan meretensi air dan meningkatkan volume intravaskular. Peningkatan ini akan
meningkatan preload ventrikel kiri dan curah jantung. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
ini menyebabkan retensi air dan garam sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh perifer.2,3,11

Antidiuretic hormone (ADH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis posterior meningkat pada pasien
dengan gagal jantung, hal inidifasilitasi oleh baroreseptor arteri dan peningkatan angiotensin
II. Antidiuretic hormone (ADH) membantu dalam meningkatkan volume intravaskular dengan
meretensi air di distal nefron ginjal. Selain itu ADH juga berperan dalam vasokonstriksi sistemik
yang akan meningkatkan resistensi total perifer sehingga terjadi peningkatan curah jantung.2,3,11
Semua mekanisme kompensasi ini meningkatkan resistensi vaskular sistemik untuk membantu
perfusi arteri ke organ vital pada saat curah jantung menurun ditambah dengan mekanisme retensi
garam dan air akibat aktivasi RAAS dapat meningkatkan preload dan memaksimalkan stroke
volume sehingga dapat menjaga tekanan darah. Efek akut dari stimulasi neurohormonal dapat
memberikan manfaat untuk jantung, namun bila respon ini terjadi secara kronis maka terdapat
penurunan fungsi jantung yang akan berkontribusi terhadap kejadian gagal jantung. Peningkatan
angiotensin II dan aldosterone yang kronis akan memprovokasi produksi sitokin, aktivasi makrofag
dan stimulasi fibroblast yang akan menyebabkan fibrosis dan proses remodeling pada jantung.11

Hipertrofi ventrikel dan remodeling jantung merupakan kompensasi dinding jantung akibat beban
hemodinamik. Pada gagal jantung stres dinding meningkat karena dilatasi ventrikel kiri atau beban
yang meningkatkan tekanan sistolik untuk mengatasi afterload yang berlebihan. Hal ini akan
menyebabkan hipertrofi miokardium dan deposit matriks ekstraseluler yang akhirnya mengakibatkan
peningkatan massa serat otot untuk mengatasi peningkatan stress dinding ventrikel. Mekanisme
kompensasi ini akan dapat memberikan manfaat dalam mengatasi stres dinding pembuluh darah,
namun pada akhirnya akan menyebabkan penurunan fungsi ventrikel.11 Walaupun mekanisme
neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek dengan menstabilkan tekanan darah dan
perfusi organ vital, mekanisme neurohormonal yang sama menyebabkan perubahan organ target
seperti jantung dan menyebabkan retensi air dan natrium pada gagal jantung lanjut.2,3

Patofisiologi
Patofisiologi yang utama terjadi pada pasien dengan gagal jantung kongestif adalah penurunan
curah jantung secara relatif dengan kebutuhan saat bekerja. Buruknya curah jantung menyebabkan
ketidaksesuaian antara ventiliasi dengan perfusi paru-paru, yang menyebabkan peningkatan dead
space fisiologis dan menyebabkan dispnea. Walaupun dispnea dan kelelahan merupakan tanda
khas gagal jantung, kurang lebih 2/3 dari pasien mengeluh kelelahan pada kaki mereka saat uji

Rehabilitasi Kardiovaskuler 179


latih. Cepat lelah berhubungan dengan ketidakmampuan jantung untuk mensuplai darah dan
oksigen secara adekuat ke otot yang bekerja. Penumpukan laktat di darah akibat aktivitas rendah
menyebabkan tubuh mengkompensasi dengan hiperventilasi baik saat latihan maupun dalam
keadaan kelelahan.10

Penyebab gagal jantung kongestifsecara umum dikelompokkan menjadi tiga yaitu yang
menyebabkan menurunnya kontraktilitas, peningkatan afterload dan gangguan relaksasi atau
pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan oleh pengosongan ventrikel abnormal seperti
menurunnya kontraktilitas dan peningkatan afterload disebut sebagai disfungsi sistolik (systolic
failure) sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh relaksasi atau pengisian ventrikel abnormal
disebut sebagai disfungsi diastolik (diastolic failure). Namun karena kedua keadaan tersebut sering
terjadi tumpang tindih, maka menurut AHA tahun 2013 saat ini gagal jantung dibagi menjadi 2
berdasarkan fraksi ejeksi yaitu heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF)dan heart failure
with preserved ejection fraction (HFpEF).11

Gambar 6. 3 Patofisiologi gagal jantung11

Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF)


Pada keadaan disfungsi sistolik,kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu
akibatkontraktilitas miokardium menurun atau tekanan yang tinggi (overload). Gangguan
kontraktilitas dapat disebabkan oleh kerusakan dan disfungsi miosit atau fibrosis. Dengan
adanya overload tekanan akan menyebabkan peningkatan resistensi sehingga mengganggu ejeksi
ventrikel.11

Gangguan pompa darah ventrikel akan menyebabkan penurunan stroke volume dan peningkatan
end systolic volume. Volume darah yang tersisa di ventrikel ini akan semakin meningkat ketika
aliran darah dari vena pulmonal dipompa masuk ke dalam atrium kiri dan ventrikel kiri sehingga
end diastolic volume dan end diastolic pressure akan semakin meningkat. Walaupun peningkatan

180 Rehabilitasi Kardiovaskuler


preload menyebabkan peningkatan stroke volume sebagai respon kompensasi, namun kondisi
kontraktilitas yang tidak baik dan penurunan fraksi ejeksi akan semakin meningkatkan end-systolic
volume. Pada fase diastole tekanan ventrikel kiri yang tinggi akan ditransmisikan melalui katup
mitral ke atrium kiri menuju ke vena dan kapiler paru. Hal ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik
kapiler paru dan bila tekanan meningkat lebih dari 20 mmHg akan menyebabkan transudasi cairan
ke insterstisium sehingga timbul gejala kongesti paru seperti sesak.11

Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF)


Pasien dengan heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) biasanya menunjukkan
abnormalitas disfungsi diastolik ventrikel antara lain berupa gangguan relaksasi diastolik awal
(early diastolic relaxation), peningkatan kekakuan dinding ventrikel atau keduanya. Contohnya
pada infark miokard menyebabkan hambatan pengiriman energi dan gangguan relaksasi diastolik
sedangkan pada hipertrofi ventrikel kiri, proses fibrosis atau kardiomiopati restriktif menyebabkan
dinding ventrikel menjadi kaku.11

Keadaan ekstrakardial seperti tamponade jantung atau konstriksi perikardial membatasi


pengisian ventrikel dan menyebabkan disfungsi diastolik.Pada gangguan diastolik juga biasanya
menunjukkan gejala kongesti vaskular akibat peningkatan tekanan diastolik yang ditransmisikan
secara retrograde ke vena pulmonal dan sistemik.11

Diagnosis
Anamnesis harus dilakukan secara teliti dan mendalam karena biasanya gagal jantung jarang
ditemukan pada pasien tanpa riwayat medis yang relevan. Gejala gagal jantung umumnya tidak
spesifik dan biasanya kurang dapat membantu dalam membedakan antara gagal jantung dengan
keadaan lain. Gejala dan tanda gagal jantung yang disebabkan oleh retensi cairan seperti sesak
dan edema biasanya dapat cepat ditangani dengan pemberian diuretik. Gejala dan tanda akan lebih
sulit untuk diindentifikasi dan diinterpretasikan pada orang obese, lanjut usia dan penyakit paru
kronis. Gagal jantung pada usia muda biasanya memiliki penyebab yang berbeda dengan yang usia
dewasa atau lanjut. Pada setiap penemuan gejala dan tanda gagal jantung harus dinilai dan dicari
bukti gejala kongesti. Gejala dan tanda sangat penting untuk memantau respon pengobatan dan
stabilitas jantung. Keadaan gejala yang tidak membaik walaupun sudah diberikan terapi biasanya
mengindikasikan perlunya terapi tambahan.2,3,6

Tanda dan gejala


- Dispnea
Pada stadium awal dispnea hanya muncul saat kelelahan, namun seiring perkembangan penyakit,
dispnea dapat muncul pada aktivitas yang relatif lebih ringan hingga dapat muncul saat istirahat.
Dispnea pada pasien gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan mekanisme yang
paling penting adalah terjadinya kongesti di paru-paru akibat akumulasi cairan di intersitial dan
intraalveolar mengaktivasi reseptor juxtacapillary, kemudian menstimulasi pernapasan cepat dan
dangkal yang menjadi tanda khas dari dispnea kardiak. Faktor lain yang berkontribusi terhadap
munculnya dispnea pada aktivitas adalah penurunan compliance paru, peningkatan tahanan
udara paru, kelelahan otot-otot pernapasan dan diafragma juga akibat anemia.2,3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 181


- Ortopnea
Dispnea yang terjadi saat posisi tidur terlentang disebut sebagai ortopnea dan gejala inisering
ditemukan pada penderita gagal jantung lanjut akibat redistribusi cairan dari sirkulasi splanikus
dan ektremitas bawah kembali ke sirkulasi sentral pada saat berbaring sehingga terjadi
peningkatan tekanan kapiler paru.Walaupun ortopnea merupakan gejala yang spesifik pada
gagal jantung, orthopnea juga mungkin tejadi pada pasien obesitas atau asites dan penyakit
paru tertentu. Adapun faktor yang memperingan gejala ortopnea berhubungan dengan
perubahan posisi yaitu dengan duduk atau tidur dengan tambahan bantal.2,3
- Paroxysmal Nocturnal Dypnea (PND)
Paroxysmal Nocturnal Dypnea (PND) diartikan sebagai episode akut dari shortness of breath
dan batuk atau mengi yang sering terjadi di malam hari sehingga pasien sering terbangun dari
tidurmya dan biasanya terjadi 1-3 jam setelah tidur. Hal in terjadi akibat peningkatan tekanan
arteri bronkial yang menyebabkan kompresi aliran udara dan dengan perkembangan edema
intersitial paru akan semakin meningkatkan tahanan aliran udara. Apabila pasien ortopnea
dapat diredakan dengan posisi duduk, pasien PND memiliki batuk dan mengi yang persisten
walaupun dalam posisi duduk.2,3
- Pernapasan Cheyne-Stokes
Tipe pernapasan ini juga dikenal sebagai respirasi periodik atau cyclic respiration yang muncul
pada 40% pasien dengan gagal jantung lanjut dan berhubungan dengan rendahnya curah
jantung. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh hilangnya sensitivitas pusat pernafasan
terhadap PCO2. Terdapat fase apnea saat PO2 turun dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan gas
darah ini menstimulasi pusat pernafasan yang terdepresi sehingga menyebabkan hiperventilasi
dan hipokapnia, diikuti oleh munculnya apnea kembali. Respirasi Cheyne-Stokes sering disebut
oleh pasien dan keluarga sebagai berhenti bernapas yang sementara.2,3
- Gejala lain
Gejala gastrointestinal dapat ditemukan pada penderita gagal jantung seperti anoreksia,
nausea dan rasa cepat kenyang yang berhubungan dengan nyeri dan perut terasa penuh
akibat edema pada dinding usus dan kongesti hepar, sehingga kadang dapat terasa nyeri pada
kuadran kanan atas.2,3,6
Gejala lain yang dapat ditemukan berkaitan dengan sistem saraf seperti pusing, disorientasi,
gangguan mood, gangguan tidur muncul pada penderita gagal jantung yang berat terutama
pada usia tua yang disertai dengan aterosklerosis serebral dan penurunan perfusi serebral.2,3,6

182 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 6. 2 Tanda dan gejala gagal jantung6

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang seksama diperlukan untuk mengevaluasi pasien dengan gagal jantung.
Adapun tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk membantu menentukan penyebab dari gagal
jantung dan juga menilai derajat keparahan dari penyakit. Informasi tambahan tentang profil
hemodinamik dan respon terhadap terapi dan menentukan prognosis merupakan tujuan lain yang
perlu didapatkan selama pemeriksaan fisik.2,3

- Keadaan umum dan tanda vital


Pada kondisi gagal jantung yang ringan dan sedang biasanya tidak tampak kelainan kecuali
rasa tidak nyaman saat berbaring terlentang selama beberapa menit namun pada kasus
gagal jantung yang berat, penderita harus duduk tegak dan tampak sesak hingga tidak dapat
menyelesaikan kalimat.2,3
Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal namun secara umum akan menurun
pada gagal jantung lanjut dikarenakan disfungsi ventrikel kiri. Nadi menjadi sulit teraba akibat
menurunnya curah jantung. Sinus takikardia merupakan tanda nospesifik akibat peningkatan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 183


aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan ekstremitas teraba dingin dan
sianosis pada bibir atau kuku juga merupakan tanda peningkatan aktivitas adrenergik.2,3
- Vena jugularis
Pemeriksaan tekanan vena jugular untuk memperkirakan tekanan atrium kanan ini dilakukan
dengan membaringkan pasien posisi terlentang dan kepala ditekuk dalam posisi 45º kemudian
diukur tinggi tekanan di atas dari angulus ludovici sternal ditambah 5 cm.Tekanan vena jugular
dituliskan sebagai cmH2O (normal=8 cmH2O). Pada stadium awal gagal jantung, tekanan vena
dapat normal saat istirahat namun dapat meningkat dengan adanya peningkatan tekanan
intrabdomen (positive abdominojugular reflux).2,3
- Pemeriksaan fisik paru
Ronkhi paru merupakan hasil dari transudasi cairan dari intrvaskular ke alveoli dan pada penderita
edema paru ronkhi dapat terdengar hampir diseluruh lapangan paru yang biasanya disertai dengan
mengi (asma kardiale).Pada pasien yang tidak memiliki riwayat gangguan paru, ronkhi merupakan
tanda spesifik gagal jantung namun demikian ronkhi bisa saja tidak ditemukan pada pasien gagal
jantung kronikkarena adanya peningkatan drainase limfatik cairan alvoelar.2,3
Efusi pleura terjadi akibat peningkatan tekanan kapiler pleura yang menyebabkan transudasi carian ke
rongga pleura kemudian oleh vena pleura diserap ke pembuluh darah sistemik dan vena paru sehingga
biasanya efusi pleura terjadi bila terdapat gagal pada kedua ventrikel. Walaupun efusi pleura sering
terjadi bilateral namun jika unilateral lebih sering terjadi pada rongga sebelah kanan.2,3
- Pemeriksaan fisik jantung
Pada penderita gagal jantung dapat ditemukan kardiomegali dengan point maximal impulse/
iktus cordis biasanya bergeser dari midklavicula interkostal 5 menjadi teraba 2 interkosta
dibawahnya. Pada palpasi iktus kordis akan teraba pada apeks dan dapat bergeser jika
terdapat hipertrofi jantung. Pada perkusi dengan jantung yang hipertrofi, pinggang jantung
akan menghilang disertai dengan batas kiri jantung yang bergeser ke lateral.2,3
Dari pemeriksaan auskultasi bunyi jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan teraba pada
apeks jantung. S3 (prodiastolic gallop) sering diemukan pada pasien volume overload dengan
takikardia dan takipneu, dan memiliki keadaan hemodinamik yang buruk. Bunyi jantung empat
(S4) bukan merupakan indikator spesifik dari gagal jantung namun sering muncul pada pasien
dengan disfungsi diastolik. Murmur dari katup mitral dan trikuspid sering ditemukan pada
gagal jantung yang lanjut.2,3
- Pemeriksaan fisik abdomen
Hepatomegali merupakan tanda penting pada kasus gagal jantung kanan, yang ditandai
dengan perbesaran hepar yang lunak dan dapat berdenyut saat sistolik jika terdapat regurgitasi
trikuspid. Asites merupakan tanda yang muncul pada tahap lanjut sebagai akibat dari
peningkatan tekanan vena hepar dan vena peritoneum. Jaundice atau ikterus juga merupakan
tanda yang muncul pada tahap lanjut sebagai efek sekunder dari kongesti hepar dan hipoksemia
hepatoselular dan berhubungan dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.2,3
- Pemeriksaan fisik ekstremitas
Edema perifer merupakan manifestasi kardinal dari gagal jantung, tetapi tidak spesifik dan
seringkali tidak ditemukan bila sudah mendapat terapi diuretik. Edema perifer biasanya
simetris dan pada pasien yang mampu berjalan umumnya timbul di pergelangan kaki dan
pretibial, sedangkan pada pasien yang menjalani tirah baring biasanya ditemukan pada area
sakral dan scrotum. Edema yang berkepanjangan dapat menyebabkan kulit melepuh dan
hiperpigmentasi. 2,3

184 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Cardiac Cachexia
Pada gagal jantung kronik dapat terjadi penurunan berat badan dan cachexia. Walaupun
mekanismenya belum dipelajari hal ini mungkin disebabkan dari beberapa faktor, salah satunya
adalah peningkatan metabolisme saat istirahat, anorexia, nausea, dan vomitus akibat kongesti
hepar serta terganggunya penyerapan nutirsi akibat kongesti pada vena usus. Cachexia
merupakan tanda prognosis buruk pada pasien.2,3

Tabel 6. 3 Kriteria diagnosis gagal jantung2,3,5

Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham


Mayor Minor

Bilateral moist rales / ronkhi paru Edema ekstremitas


Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea Efusi pleura
Edema paru yang dibuktikan dengan radiografi Hepatomegali
Peningkatan tekanan vena jugularis Takikardia (120 kali/menit)
Kardiomegali yang dibuktikan dengan Dyspnea d’effort (sesak saat aktivitas)
radiografi
S3 gallop Batuk malam hari

Refluks hepatojugular Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Keterangan:
Diagnosis gagal jantung ditegakan dengan kriteria Framingham jika terdapat minimal 2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.2,3

Pemeriksaan penunjang
1. Foto Toraks
Pemeriksaan rontgen dada dapat memberi informasi tentang bentuk dan ukuran jantung, serta
dapat menilai vaskularisasi paru-paru, dan dapat mengindentifikasi penyebab nonkardiak yang
dapat menimbulkan gejala seperti pada pasien.2,3
Fungsi utama foto polos toraks adalah untuk mengeksklusi penyebab lain timbulnya dispnea
seperti efusi pleura, pneumotoraks, kanker paru, atau pneumonia. Cardiothoracic ratio (CRT)
tidak memberikan informasi yang cukup untuk mengidentifikasi gagal jantung dan sesak yang
dialami.2,3

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi aritmia dan menyediakan informasi adanya
kemungkinan riwayat infark miokard sebelumnya (gelombang Q) atau hipertrofi ventrikel dan
menentukan lebar QRS yang berfungsi untuk menentukan perlunya terapi revaskularisasi.
Berdasarkan beberapa studi, ditemukan pada pasien gagal jantung jarang memiliki EKG
yang normal, namun memiliki nilai prediksi positif rendah pada pasien usia tua karena
gangguan gelombang irama jantung yang umum ditemukan. EKG yang normal menunjukkan
ketidakterlibatan disfungsi sistolik ventrikel kiri.2,3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 185


3. Ekokardiografi
Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri menggunakan modalitas pencitraan noninvasif penting untuk
menegakkan diagnosis dan mengevaluasi pasien gagal jantung. Sebagai modalitas utama yang
digunakan dalam bidang kardiologi, echocardiography transthoracic merupakan pemeriksaan
sederhana, aman dan efektif untuk menilai struktur dan fungsi jantung.2,3,6
Ekokardiografi dapat memberikan informasi ukuran volume ruang jantung, fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel, ketebalan dinding, fungsi katup serta mengindentifikasi ada atau tidaknya
hipertensi pulmonal. Pemeriksaan ini berperan penting dalam membantu menegakkan
diagnosis gagal jantung dan penentuan tatalaksana yang sesuai.2,3,6
Hasil pemeriksaan initerkadang sulit diinterpretasi pada pasien dengan obesitas atau penyakit
saluran pernapasan kronik, namun demikian hasil yang baik hampir didapat dari 80-90%
pasien.2,3
Stress echocardiography dapat digunakan untuk menilai inducible ischemia dan/atau viabilitas
miokardium, dan beberapa kasus penyakit katup. Adapula yang menyatakan bahwa stress
echocardiography dapat mendeteksi disfungsi diastolik yang berhubungan dengan latihan pada
pasien dengan exertional dyspnea dan preserved LVEF.6

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran dengan resolusi tinggi mengenai
struktur dan fungsi ventrikel dan merupakan gold standard untuk melihat massa dan volume
ventrikel kiri. Penggunaan kontras seperti gadolinium dapat memeberikan informasi adanya
inflamasi, fibrosis dan perfusi miokardial. Alat ini juga muncul sebagai modalitas yang akurat
dalam mengevaluasi struktur ventrikel kiri dan menentukan penyebab dari gagal jantung
(amiloidosis, ischemicmyopathy, hemochromatosis). Fungsi katup juga dapat dinilai, walaupun
tidak sebaik dalam memeriksa struktur dan fungsi miokard.2,3
Cardiac Magnetic Resonance (CMR) adalah gold standard untuk mengukur volume, massa dan
fraksi ejeksi dari kedua ventrikel dan juga merupakan modalitas alternatif untuk pasien dengan
gambaran echocardiography non-diagnostik serta penyakit jantung bawaan kompleks. Fungsi
lain CMR dapat digunakan dalam penilaian iskemia miokard dan viabilitas pasien dengan
gagal jantung dan penyakit jantung koroner namun kerugiannya CMR adalah ketersediaannya
terbatas dan biayanya yang cukup mahal.6

5. Kateterisasi jantung
Cardiac catheterization memungkinkan pengukuran tekanan intrakardiak, memperkirakan
curah jantung, mendeteksi kelainan katup, mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri dan mendeteksi
penyakit jantung koroner. Begitu pula dengan fungsi diastolik yang dapat dinilai secara detil.
Namun karena termasuk dalam modalitas yang invasif, tindakan kateterisasi jantung ini tidak
banyak digunakan.2,3

6. Transthoracic Echocardiogaphy(TTE)
Pemeriksaan pencitraan dengan Transthoracic Echocardiogaphy adalah suatu metode pilihan
untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik kedua ventrikel.2,3

186 Rehabilitasi Kardiovaskuler


7. Single-photon emission computed tomography and radionuclide ventriculography (SPECT)
Modalitas teknik pencitraan ini dapat digunakan untuk penilaian iskemia miokardium, viabilitas
miokardium, volume dan fungsi ventrikel tetapi pasien akan terlalu lama terkena paparan
radiasi ion.2,3

8. Positron Emission Tomography (PET)


Positron Emission Tomography (PET) dapat menilai iskemia dan viabilitas namun tracer yang
digunakan yaitu N-12 ammonia atau O-15 memerlukan on-site cyclotron sehingga PET jarang
digunakan.2,3

9. Laboratorium rutin
Pasien dengan onset gagal jantung baru dan gagal jantung kronik dengan dekompensasi akut
harus menjalani pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepar dan urinalisis. Beberapa pasien tertentu juga perlu diperiksa parameter
darah lainnya seperti diabetes melitus (gula darah puasa atau TTGO), dislipidemia (kadar lipid
puasa), dan kelainan tiroid (kadar TSH).2,3

10. Biomarker
B-type natriuretic peptide (BNP) merupakan biomarker yang disekresi oleh jantung dan kadarnya
meningkat pada kondisi hipertrofi ventrikel kiri atau disfungsi (sistolik atau diastolik) dan gagal
jantung. Menurut European and North American Heart Failure Guidelines menjelaskan peran BNP
sebagai tes untuk membedakan gagal jantung kongestif atau bukan pada pasien dengan gejala
baru. Selain itu BNP juga dapat meningkat pada infark miokard akut, emboli paru dan gagal
ginjal, di mana nilai normal umumnya lebih tinggi pada orang tua dan perempuan. Penggunaan
pemeriksaan BNP pada pasien yang dicurigai gagal jantung memiliki nilai diagnostik lebih
tinggi dibanding EKG.2,3
Konsentrasi plasma NP dapat digunakan sebagai uji diagnostik awal terutama pada keadaan
non akut dan tidak tersedia echocardiography di mana peningkatan NP dapat membantu dalam
menentukan diagnosis kerja awal, mengidentifikasi pasien yang membutuhkan investigasi
jantung lebih lanjut. Gagal jantung biasanya jarang ditemukan kadar plasma NP yang normal.
Batas atas dari plasma NP pada keadaan non akut untuk B-type natriuretic peptide (BNP)
adalah 35 pg/mL dan untuk N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) 125 pg/mL. Pada keadaan
akut nilai batas atas lebih tinggi yaitu BNP <100 pg/mL, NT-proBNP <300 pg/mL dan mid-
regional pro A-type natriuretic peptide (MR-proANP) <120 pmol/L. 6 Richards dan kawan-kawan
melaporkan bahwa kadar NT-proBNP 5 kali diatas normal mempunyai sensitivitas ≥90% untuk
mendeteksi Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF) < 50%. Batasan normal untuk NT-proBNP
berdasarkan pada studi Pro BNP Investigation of Dyspnea in the Emergency Department (PRIDE)
adalah cutpoint 300 pg/ml digunakan untuk menyingkirkan sesak napas karena gagal jantung
kongestif akut.2,3 Richards dan kawan-kawan juga menetapkan batasan normal NT-proBNP
untuk mendeteksi gagal jantung yaitu 68-112 pg/ml (8,2 – 13,3 pmol/1). Konsentrasi cutpoint
NT-proBNP yang direkomendasikan di Eropa untuk mendeteksi gagal jantung adalah 100
pg/ml untuk pria dan 150pg/ml untuk wanita. Sementara di USA untuk kedua jenis kelamin
ditetapkan 125 pg/ml. Untuk Indonesia nilai NT-proBNP yang ditetapkan adalah bila disfungsi
akut < 300 pg/ml dan kronis <125 pg/ml.2,3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 187


11. Uji latih
Uji latih treadmill atau ergocycle tidak selalu dianjurkan pada pasien gagal jantung dan apabila
perlu dilakukan stress testing, uji latih dengan treadmill pada pasien gagal jantung kronik adalah
dengan menggunakan metode Naughton. Adapun VO2<14 ml/kg per menit menunjukkan
prognosis yang buruk.2,3

Algoritma diagnosis gagal jantung non akut dapat dilihat di gambar 5.4. Untuk pasien yang
menunjukkan gejala untuk pertama kalinya, maka kemungkinan diagnosis gagal jantung harus
dievaluasi dari riwayat medis sebelumnya (seperti riwayat penyakit jantung koroner), gejala
seperti sesak nafas, pemeriksaan fisik seperti edema bilateral, peningkatan tekanan vena jugular,
pegeseran apeks jantung) dan EKG istirahat. Bila ada salah satu dari evaluasi tersebut abnormal
maka perlu diperiksakan kadar plasma natriuretic peptide(NP). Bila pemeriksaan plasma NP tidak
tersedia atau jarang digunakan maka dapat dilakukan echocardiography.6

Gambar 6. 4 Algoritma diagnosis gagal jantung non akut6

188 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Sedangkan gagal jantung akut didefiniskan sebagai perburukan onset cepat gejala dan/atau tanda
gagal jantung dan merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa yang butuh penanganan
segera. Diagnosis awal gagal jantung akut harus melalui anamnesis keluhan, riwayat penyakit
jantung sebelumnya, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti EKG, rontgen
toraks, laboratorium dan echocardiography. Biasanya ditemukan tanda dan gejala akibat retensi
cairan berlebih pada gagal jantung akut, selain itu terdapat penurunan curah jantung disertai
hipoperfusi perifer.6

Gambar 6. 5 Algoritma diagnosis gagal jantung akut6

Rehabilitasi Kardiovaskuler 189


Tabel 6. 4 Rekomendasi tes diagnosis pada gagal jantung menurut Guideline European Society of
Cardiology(2016)6

Penatalaksanaan
Pada perkembangannya sebelum memulai rehabilitasi jantung, para spesialis jantung perlu
mengkondisikan pasien sebaik mungkin dalam keadaan stabil yang dicapai dengan penggunaan
obat-obatan seperti nitrat, hydralazine, ACE inhibitor dan digitalis serta diuretik yang dapat
mengurangi gejala, meningkatkan status fungsional dan memperlambat kerusakan jantung.2,3

Penggunaan ACE inhibitor yang semakin luas memberikan hasil yang lebih stabil sehingga

190 Rehabilitasi Kardiovaskuler


memungkinkan lebih banyak pasien dapat mengikuti program latihan. Obat vasodilator berfungsi
untuk mengurangi respon vasokonstriksi dan retensi natrium sebagai respon dari penurunan
curah jantung. Obat-obatan alpha dan beta blocker terbukti mengurangi gejala dan meningkatkan
kapasitas latihan serta hemodinamik latihan dengan cara meningkatkan curah jantung dan
menurunkan resistensi perifer. Namun karena gagal jantung kongestif merupakan kelompok
risiko tinggi pada rehabilitasi jantung, perlu dilakukan supervisi dengan baik mengingat adanya
kemungkinan terjadi peningkatan risiko remodelling jantung sebagai respon dari latihan kronik
dengan intensitas tinggi.2,3

Evaluasi dasar pada pasien gagal jantung biasanya sudah diperiksa oleh spesialis jantung, seperti
stress testing, ekokardiografi dan kateterisasi pada beberapa kasus. Data ini dapat menentukan
etiologi dari gagal jantung, keamanan mengikuti latihan dan potensi timbulnya serangan ulang.
Pengukuran kapasitas erobik maksimal (VO2 max) penting dilakukan sebagai informasi prognostik
yang berhubungan dengan kemampuan fisik dalam melakukan rehabilitasi jantung. Pemeriksaan
fungsi fisik dan kuesioner kualitas hidup yang spesfik untuk pasien gagal jantung seperti Minnesota
Living With Heart Failure Questionaire dapat dilakukan untuk menilaiefek gagal jantung dalam
kehidupan sehari-hari.2,3

Sejak dahulu gagal jantung kongestif merupakan kontraindikasi dari program latihan karena
ditakutkan dapat menimbulkan aritmia dan eksaserbasi akut, namun sekarang hanya kondisi gagal
jantung yang tidak terkompensasi tidak diijinkan untuk melakukan latihan. Bukti dari beberapa
tahun terakhir menunjukkan intervensi latihan terbukti aman dan efektif pada populasi ini. Latihan
rehabilitasi pada pasien gagal jantung dan pasien disfungsi sistolik ventrikel kiri yang sedang
hingga berat dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan penurunan gejala tanpa perubahan
yang signifikan pada fungsi ventrikel kiri. Perubahan gejala merupakan hasil dari perubahan
sirkulasi perifer dan otot rangka yang menurunkan kebutuhan oksigen dari miokard. 2,3

Tatalaksana farmakologis
Penatalaksanaan gagal jantung harus mampu mengidentifikasi penyakit penyebab. Jika terdapat
masalah katup maka penggantian katup perlu dipertimbangkan, hipertensi dan penyakit jantung
koroner perlu dikontrol dan penggunaan alkohol perlu dihentikan. Pada beberapa pasien perubahan
ini sudah mampu mengembalikan fungsi jantung kembali normal. Kendati demikian pada kondisi
yang berat, gagal jantung meningkatkan volume dan tekanan ventrikel oleh karena itu tujuan
terapi selanjutnya harus mengurangi gejala dengan menggunakan obat-obatan.8,10

Kelebihan natrium dan cairan merupakan penanda khas gagal jantung kongestif, maka kebanyakan
pasien akan membutuhkan terapi diuretik. Obat vasodilator seperti nitrogliserin dan nitroprusside
dapat meningkatkan kapasitas vena, hal ini membantu aliran carian dari sentral ke perifer, sehingga
menurunkan tekanan pada jantung dan paru. Penurunan afterload menggunakan ACE inhibitor atau
arterial vasodilator dapat menurunkan tekanan akhir ventrikel kiri dan meningkatkan stroke volume
dan curah jantung, sehingga mengurangi gejala yang timbul. ACE inhibitor mampu mengurangi
angka kematian, sedangkan digoxin atau obat inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas
miokardium.8,10

Pengobatan pasien gagal jantung yang terdekompensasi harus meliputi satu atau kombinasi
dari beberapa obat seperti diuretik intravena untuk mengurangi kelebihan cairan ekstraselular,
vasodilator untuk mengurangi tekanan pengisian ventrikel dan mengurangi resistensi perifer dan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 191


agen inotropik untuk meningkatkan curah jantung dan aliran darah.2,3

Gambar 6. 6 Algoritma penanganan gagal jantung kongestif3

Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan sangat penting untuk menangani retensi
cairan sebelum pemberian ACE inhibitor (atau Angiotensin II Receptor Blocker/ARB pada pasien
yang intoleran ACE inhibitor). Beta blocker perlu diberikan setelah retensi cairan teratasi dan/atau
dosis ACE inhibitor sudah ditingkatkan.2,3

Jika gejala gagal jantung tidak membaik dapat digunakan “triple therapy” yang terdiri dari
ARB, aldosteron antagonis dan digoksin. Kombinasi fixed dose hidralazin/isosorbid dinitrat perlu
ditambahkan pada terapi ACE inhibitor dan beta blocker pada pasien gagal jantung dengan NYHA
class II-IV. Begitu pula dengandevice teraphy yang perlu dipertimbangkan sebagai tambahan dari
terapi farmakologis.2,3

192 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Obat-obat yang sering digunakan pada pasien gagal jantung:2,3

Dosis awal Dosis maksimal


- Diuretik
Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da
Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da
- ACE Inhibitor
Captopril l6.25 mg tid 50 mg tid
- Beta Blocker
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
- Angiotensin II Receptor Blocker
Valsartan 40 mg bid 160 mg bid
- Aldosterone Antagonist
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd

- Digoxin 0.125 mg qd 0.375 mg/db
- Nitrat dan Hydralazine 37.5 mg/20 mg tid 75 mg/40 mg

Tatalaksana non farmakologis


Tatalaksana non farmakologis pada pasien gagal jantung umumnya mencakup diet rendah garam/
natrium, menurunkan kelelahan fisik (aktivitas isometrik) dan penurunan berat badan pada pasien
dengan obesitas.3

Diet
Pada penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi asupan natrium sekitar 2-3 g/hari
sedangkan pada kondisi gagal jantung tahap lanjut, restriksi natrium perlu dilakukan (<2 g/hari)
untuk mengurangi ekspansi cairan ekstraseluler dan perkembangan edema. Hiponatremia tidak
boleh menghentikan program restriksi natrium, karena umumnya hiponatremia berhubungan
dengan total natrium tubuh dan kelebihan cairan. Pemberian natrium hanya boleh jika terjadi
diuresis berlebihan atau dehidrasi. Retensi cairan (<2 L/hari) hanya dianjurkan jika pasien
dalam keadaan hiponatremia (<130 meq/L) atau pada kondisi retensi cairan yang sulit dikontrol
menggunakan diuretik dosis tinggi di mana antagonis vasopresin dapat berguna pada keadaan
hiponatremia berat. Walaupun restriksi natrium dapat mengurangi edema, tetapi retensi natrium
oleh ginjal tetap terjadi, sehingga diuretik memegang peranan penting dalam pengobatan gagal
jantung.3

Apabila didapatkan penurunan berat badan berlebih dan cardiac cachexia, suplemen kalori diberikan
pada kondisi gagal jantung lanjut, namun steroid anabolik tidak dianjurkan untuk meningkatkan
nafsu makan dan berat badan karena dapat menyebabkan retensi cairan. Suplemen juga harus
dihindari pada pasien gagal jantung yang simptomatik karena manfaat yang belum terbukti secara
klinis dan adanya kemungkinan interaksi dengan pengobatan gagal jantung.3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 193


Aktivitas fisik
Meskipun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada pasien gagal jantung, namun latihan ringan
yang rutin terbukti bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan kelas NYHA I-III. Pada kondisi
gagal jantung yang euvolemik, latihan isotonik reguler seperti berjalan atau cycle-ergometer
semampunya sangat dianjurkan. Dampak positif dari latihan antara lain berkurangnya gejala gagal
jantung, meningkatkan kapasitas latihan dan kualitas hidup.3,8,10

Latihan isometrik memberikan hasil yang buruk pada pasien gagal jantung kronis, sehingga latihan
ini tidak dianjurkan pada pasien bergejala mengingat peningkatan kerja miokard yang berhubungan
dengan latihan beban. Peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri selama latihan isometrik akan
memiliki pengaruh yang tidak menguntungkan pada remodeling ventrikel.3,8,10

Di sisi lain rehabilitasi jantung yang dilakukan secara konsisten dengan latihan erobik pada kondisi
gagal jantung kronis yang stabil terbukti dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan fungsi
ventrikel kiri secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari latihana erobik pada gagal
jantung kronis bersifat periferal dan sentral.3,8,10

Endurance training (latihan ketahanan) dapat meningkatkan VO2max, fungsi hemodinamik sentral,
fungsi otonom, fungsi vaskular perifer, kekuatan otot dan kapasitas latihan pada kondisi gagal
jantung. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Smart dan kawan-kawan (2004) menemukan
bahwa peserta gagal jantung kongestif dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF) mengalami
perbaikan VO2 maksimal sebesar 17%setelah mengikuti program latihan rehabilitasi jantung
berdurasi 15-120 menit, frekuensi 1-7 sesi per minggu dan lama program 1-104 minggu, jenis
latihan berupa latihan erobik dan latihan kekuatan (strength) dengan intensitas 40-85% konsumsi
oksigen maksimal atau 45-95% denyut jantung maksimal.12

Penelitian Kitzman dan kawan-kawan (2010) melibatkan 53 partisipan gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang masih dapat dipertahankan (HFpEF) dengan fraksi ejeksi > 50%, kelas NYHA
II-III. Penelitian ini dilakukan secara prospektif, acak, di bawah supervisi selama 16 minggu dan
membagi partisipan ke dalam 2 kelompok yaitu latihan dan kontrol. Adapun kelompok kontrol
tidak mendapat program latihan sedangkan kelompok latihan mendapat program berupa latihan
dengan supervisi 3 kali per minggu selama 16 minggu (total 48 sesi). Setiap sesi berlangsung
selama 1 jam dan terdiri dari pemanasan, berjalan di atas jalur/track dan latihan ekstremitas bawah
dengan bersepeda kemudian diakhiri dengan pendinginan. Denyut jantung dan rate of perceived
exertion(RPE) dinilai secara berkala selama sesi latihan berlangsung. Selama 2 minggu pertama,
latihan diberikan 40 – 50% dari HR reserve dan durasi dinaikkan secara bertahap. Beberapa minggu
kemudian intensitas latihan dinaikkan menjadi 60 – 70% dari HR reserve dan durasi ditingkatkan
15 – 20 menit pada masing-masing latihan (berjalan dan bersepeda). Setiap 2 minggu sekali kedua
kelompok latihan dan kontrol dihubungi via telepon untuk menjaga keikutsertaan para partisipan.
Penelitian ini mendapatkan hasil peningkatan VO2 max yang signifikan pada kelompok latihan
sebesar 2,7 mL/kg/menit (p<0,001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat 67% dari
kelompok latihan mengalami peningkatan VO2 max>10% dari baseline sedangkan pada kelompok
kontrol hanya sebanyak 27% mengalami peningkatan VO2 max > 10% yang digunakan sebagai
patokan menilai perbaikan klinis. Selain itu pada kelompok latihan didapatkan pula peningkatan
signifikan dari performa latihan submaksimal yang dinilai dengan Ventilatory Anaerobic Threshold/
VAT (p=0,001) dan uji jalan 6 menit (p=0,002). Perbaikan klinis ini diikuti pula dengan perbaikan
kualitas hidup (quality of life) yaitu parameter skor fisik dengan menggunakan survei Minnesota
Living with Heart Failure Questionnaire/MLHF (p=0,003).13

194 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Intervensi Rehabilitasi Jantung
Intervensi rehabilitasi jantung sudah mulai banyak dilibatkan sebagai perawatan komprehensif dari
kondisi gagal jantung kongestif. Pada program rehabilitasi jantung rawat jalan tidak hanya sekedar
dilakukan pemberian informasi untuk latihan tetapi juga caramengoptimalisasi penggunaan obat,
pengawasan berat badan, diet rendah garam dan pengamatan akan potensi eksaserbasi.1,8,10,14

Rehabilitasi jantung denganintervensi konseling pada penderita gagal jantung bertujuan antara
lain:1,8,10

- Mengurangi gejala
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan aktivitas kehidupan sehari-hari
- Meningkatkan kualitas hidup

Untuk mencapai tujuan ini dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi harus memonitor
perkembangan kondisi pasien, gejala serta menilai tanda dekompensasi. Adanya peningkatan
berat badan ≥ 5 pound (2,267 kg) dalam 3 hari, serta perubahan gejala seperti peningkatan sesak
napas atau dispnea dan nocturnal dyspnea, harus dilaporkan ke dokter yang merawat.1,8,10

Kondisi gagal jantung perlu mendapat tatalaksana khusus karena secara patofisiologi terdapat
keterbatasan kapasitas latihan dan potensi dekompensasi. Selain itu dibutuhkan juga edukasi
tentang pengobatan, perubahan diet, pengenalan gejala dan dukungan emosional. Penurunan
curah jantung selama latihan akan meningkatan risiko hipotensi sehingga tim rehabilitasi jantung
perlu mengevaluasi respon tekanan darah lebih sering, terutama pada tahap awal program latihan
atau ketika beban latihan ditingkatkan secara signifikan.1,8,10

Implementasi latihan pada gagal jantung kronik stabil

Tabel 6. 5 Strategi intervensi pada gagal jantung10

Keamanan - Gagal jantung yang tidak terkompensasi merupakan kontraindikasi latihan;


Dekompensasi juga merupakan salah satu indikator penghentian program.
- Pemeriksaan tanda-tanda vital sebelum latihan harus dilakukan setiap sesi rehabilitasi.
- Sebagai bagian dari awal evaluasi, pasien sebaiknya ditanya tentanglatihan yang sudah
dilaksanakan.
Latihan - Stress test harus dilakukan jika memungkinkan, menggunakan protokol yang bertahap
seperti 1METs/stage seperti protokol Naughton
- Pasien dengan aritmia ventrikular dan dekompensasi termasuk kategori risiko tinggi
Resep latihan:
- 40-60% dari kapasitas fungsional (VO2 max), atau 11-13 RPE, ditingkatkan durasi
lebih dahulu dilanjutkan dengan peningkatan intensitas.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 195


Protokol latihan:
- Pemanasan dan pendinginan yang lebih panjang; dan peningkatan yang bertahap.
Karena latihan yang bertahap dan pasien dengan risiko tinggi maka lama latihan dan
supervisi akan lebih panjang.
- Latihan dimulai dengan beban yang ringan (low resistance training)
- Monitoring EKG dilakukan dalam periode yang lebih panjang, periksa tekanan darah
lebih sering. Hipotensi secara signifikan menandakan tanda dekompensasi.
- Efek samping yang sering terjadi adalah kelelahan pasca latihan.
Edukasi - Prioritas edukasi adalah pengenalan tanda dan gejala seperti kelelahan, kelemahan,
napas pendek (shortness of breath), sesak ketika aktivitas (dyspnea on the effort), sesak
ketika berbaring (orthopnea), sesak malam hari (paroksismal nocturnal dyspnea), edema
dan peningkatan berat badan.
- Konsultasi nutrisi: diet rendah garam dan diet rendah lemak.
- Regimen pengobatan: penjelasan obat dan kepatuhan minum obat dari obat-obatan
diuretik, digitalis, ACE inhibitor, beta blocker.
- Konsultasi psikososial untuk depresi, menggunakan kelompok pendukung dan
konseling individu.
- Informasi mengenai penyakit gagal jantung secara menyeluruh.

Faktor yang mempengaruhi intoleransi terhadap latihan: 8,10

1. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri


Left ventricle ejection fraction/LVEF merupakan hal penting untuk menilai disfungsi sistolik
miokardial tetapi tidak bisa digunakan untuk meniali kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas.
2. Gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri
Peningkatan VO2 maksimal setelah program latihan pada pasien CHF dengan disfungsi diastolik
mungkin disebabkan oleh relaksasi abnormal ventrikel kiri, tetapi pasien dengan disfungsi
diastolik yang tipe restriktif tidak dapat meningkatkan VO2 maksimal.
3. Desensitisasi barorefleks dan aktivasi simpatis
Pada gagal jantung kongestif sensitivitas baroreseptor arteri dan kardiopulmoner menurun,
hilangnya inhibisi baroreseptor memberikan informasi ke medullary center menyebabkan
eksitasi simpatis. Sehingga penderita lebih sering mengalami takikardia dan vasokontriksi
pembuluh perifer.
4. Stimulasi abnormal dari sistem neurohormonal
5. Gangguan kapasitas vasodilatasi
6. Abnormalitas otot rangka
7. Abnormalitas pulmoner

Toleransi latihan pada gagal jantung kongestif berhubungan dengan beberapa variabel:8,10

- Kemampuan meningkatkan denyut jantung, sebagai salah satu cara meningkatkan cardiac
output saat stroke volume sudah tidak dapat ditingkatkan.
- Kemampuan mentoleransi peningkatan tekanan pembuluh darah perifer paru tanpa adanya
dispnea

196 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Dilatasi ventrikel untuk meningkatakan stroke volume
- Mempertahankan fungsi ventrikel kanan
- Kemampuan untuk mengurangi resistensi perifer sebagai respon latihan.

Efek latihan pada gagal jantung kongestif


Sebelum tahun 1980 penderita gagal jantung kongestif tidak dianjurkan untuk mengikuti
program latihan karena mempertimbangkan keamanan pasien. Namun pada 10 tahun kemudian
beberapa penelitian berhasil menunjukkan adanya peningkatan kapasitas latihan pada pasien
gagal jantung yang menjalani program latihan. Hasil ini lebih disebabkan oleh adaptasi perifer
dibanding perubahan pada jantung (hemodinamik sentral termasuk volum, fraksi ejeksi, tekanan
paru saat istirahat dan latihan). Pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi dibawah 40% dapat terjadi
penurunan/deteriorasi ventrikel kiri dan dengan latihan tampak menunjukkan dampak perbaikan
pada fungsi ventrikel.8,10

Kapasitas latihan, gejala, kelas fungsional dan VO2 max dapat ditingkatkan dengan program latihan,
bahkan pada disfungsi sistolik ventrikel. Program latihan pada pasien gagal jantung biasanya lebih
panjang dibanding pasien pada umumnya. Adaptasi yang timbul seperti pada fungsi jantung, otot
rangka, sistem sirkulasi dan sistem saraf mempengaruhi peningkatan kapasitas latihan.8,10

Keuntungan secara psikososial juga dapat dicapai dengan program latihan di mana peningkatan
kualitas hidup berhubungan dengan peningkatan kemampuan fisik.Tujuan akhir dari
penatalaksanaan gagal jantung kongestif harus mencakup perbaikan secara klinis dan simptomatis
guna meningkatkan kemampuan fungsional pasien dalam bekerja.8,10

Piepoli dan kawan-kawan (2004) menganalisis 9 dataset yang melibatkan 801 penderita gagal
jantung sistolik dan menunjukkan hasil penurunan angka mortalitas sebesar 35% pada kelompok
intervensi dibandingkan kelompok kontrol.15

Schmidt dan kawan-kawan (2010) melakukan studi terhadap 198 pasien gagal jantung kronis
yang mengikuti program rehabilitasi jantung selama 3 bulan dan diikuti 6 bulan berikutnya. Dalam
penelitian ini program rehabilitasi jantung terdiri dari 2 sesi latihan erobik dengan 45 menit per
sesi, intensitas 50% – 80% puncak VO2, latihan resistensi dan sesi relaksasi. Selain itu terdapat 12
sesi edukasi mengenai beberapa aspek gagal jantung termasuk pentingnya medikasi, konseling
diet dan manajemen kelebihan cairan. Performa pasien terlihat meningkat secara signifikan dalam
3 bulan seperti pada kapasitas latihan dari 93 + 35 W menjadi 107 + 42 ( p<0,001), puncak VO2
dari 17,1 + 4,9 min/ml/kg menjadi 19,5 + 6,8 min/ml/kg (p<0,001) dan hasil uji jalan 6 menit
426 + 146 m menjadi 478 + 127 m (p<0,001). Hasil uji jalan 6 menit pada bulan 9 masih terjadi
peningkatan menjadi 525 + 130 m (p=0,001).16

Latihan erobik diperkirakan menghambat remodeling ventrikel kiri melalui mekanisme penurunan
neurohormon vasokonstriktor atau penurunan beban hemodinamik. Terjadi perbaikan dalam 3
bulan pasca mengikuti rehabilitasi jantung, pada pemeriksaan fraksi ejeksi vertikel kiri dari 28,1%
+ 7,6% menjadi 34,3 + 10% (p<0.001), diameter ventrikel kiri end-diastolic dari 64,4+9,1 mm
menjadi 61,3+8,4 mm (p<0.001) serta BNP berkurang dari 396+422 pg/ml menjadi 277+270
pg/ml.16 Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner Minnesota Living with Heart Failure(lihat
lampiran) juga mengalami perbaikan setelah 3 bulan mengikuti program rehabilitasi jantung dari
skor 33,1+23,0 menjadi 20,1 +16,5 (p<0,001).16

Rehabilitasi Kardiovaskuler 197


Respon latihan terhadap gagal jantung
Perubahan pada aliran darah sentral dan perifer, serta perubahan pada sistem pernapasan
berdampak pada respon latihan antara lain:10

- Faktor sentral:
- Disfungsi sistolik membaik
- Hemodinamik paru meningkat
- Disfungsi diastolik membaik
- Mekanisme neurohumoral akan meningkatkan kontraktilitas jantung
- Faktor perifer:
- Aliran darah menjadi normal, perfusi meningkat
- Kapasitas vasodilatasi meningkat
- Biokima otot rangka (peningkatan serat aerob tipe I dan penurunan tipe II)
- Faktor pernapasan:
- Tekanan paru menurun
- Physiologic dead space menurun
- Sinkronisasi ventilasi dengan perfusi membaik
- Kontrol respirasi membaik
- Pola pernafasan: normal

Sesak napas sebagai tanda gagal jantung awalnya dikaitkan dengan peningkatan tekanan atrium
kiri, tetapi hal tersebut tidak berkolerasi secara langsung dengan peningkatan tekanan intersitial
paru. Pernapasan cepat dan dangkal merupakan kompensasi untuk mempertahankan ventilasi yang
adekuat dari penurunan daya kembang paru. Selain itu sesak napas juga timbul dari metabolisme
anaerob otot rangka.8,10

Kelelahan yang timbul pada kondisi gagal jantung merupakan efek dari kurangnya perfusi jaringan,
kurangnya aliran darah yang berisi nutrisi, bukan berhubungan secara langsung dengan penurunan
curah jantung. Rendahnya perfusi yang menimbulkan kelelahan juga disebabkan oleh kelemahan
pembuluh darah perifer untuk dilatasi, perubahan glikolisis anaerob dan penumpukan asam
laktat.8,10

Perubahan otot rangka juga terjadi pada kondisi gagal jantung kongestif, dengan peningkatan
fast twitch type IIb fibers dan berkurangnya persentase slow twitch type I Fibers. Kapasitas enzim
oksidatif juga berkurang dan perubahan kondisi otot rangka ini terlihat pada pengurangan masa
dan kekuatan otot.2,3

Pada orang normal resistensi pembuluh darah pulmoner akan berkurang saat aktivitas, tetapi
mekanisme ini tidak terjadi pada kondisi gagal jantung. Baik resistensi pembuluh darah pulmoner
maupunfraksi ejeksi ventrikel kanan berkolerasi dengan kapasitas latihan (VO2 max) sehingga
obat-obatan yang menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dapat meningkatkan kapasitas
latihan (VO2 max) pada penderita gagal jantung.8,10

198 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Rekomendasi latihan
Program latihan rehabilitasi jantung terbukti efektif dalam mengurangi gejala dan meningkatkan
kapasitas latihan sehinggamampu hidup mandiri dan kembali bekerja. Oleh karena itu rehabilitasi
jantung secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.8-10

Indikasi program latihan:

- Gagal jantung akut stabil


- Gagal jantung kronik stabil

Kontraindikasi program latihan:

- Gagal jantung tidak terkompensasi


- Obstruksi aliran ventrikel kiri
- Disritmia yang tidak stabil
- Iskemia yang tidak stabil
- Stenosis aorta yang berat dan simptomatis
- Kardiomiopati obstruktif hipertrofi
- Hipertensi pulmonal berat

Kondisi tersebut diperberat oleh aktivitas seperti:1,8,10


- Tekanan darah sistolik istirahat ≥180 mmHg diastolik istirahat ≥110 mmHg
- Miokarditis, perikarditis, tromboflebitis
- Diseksi aorta
- Aneurisma
- Riwayat emboli sistemik dan pulmonal.

Hal yang perlu diperhatikan (precaution) selama program latihan:8,10


- Kelelahan dan sesak napas (Borg Scale) lebih diperhatikan disamping target denyut jantung
dan beban latihan.
- Sesi pemanasan dan pendinginan harus lebih panjang.
- Hindari latihan isometrik.
- Monitor EKG diperlukan pada pasien dengan riwayat ventrikel takikardi, henti jantung (cardiac
arrest), hipotensi yang dicetuskan aktivitas.
- Pertimbangkan pemeriksaan ekokardiogram, studi radionuklir, studi hemodinamik, analisis gas
respirasi selama melakukan program latihan.
- Aktivitas latihan dimulai dengan intensitas ringan dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
- Keadaan pasien gagal jantung dapat berubah dengan cepat sehingga pasien perlu dievaluasi
berkala untuk melihat tanda dari dekompensasi, perubahan cepat pada berat badan atau
tekanan darah, sesak napas dan angina yang dicetuskan latihan, meningkatnya disritmia.
- Secara umum latihan tidak boleh melewati batas latihan yang dapat menyebabkanabnormalitas
wall motion, menurunkan fraksi ejeksi, tekanan paru 20mmHg atau batas ambang ventilasi.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 199


Guidelines program latihan
Tirah baring yang berkepanjangan tidak direkomendasikan dalam penatalaksanaan gagal jantung
karena justru akan memperburuk reaktivitas pembuluh darah dan kapasitas oksidatif otot rangka.
Aktivitas sehari-hari yang mudah ditoleransi dapat dilakukan jika sudah dalam keadaan stabil.
Latihan pada gagal jantung kongestif sedang dan berat dapat meningkatkan kapasitas erobik
fungsional selain itu latihan rutin yang tersupervisi dapat meningkatkan durasi latihan dan
konsumsi oksigen maksimal.1,3,8,10

Pada gagal jantung yang stabil namun memiliki kapasitas fungsional yang rendah, latihan
sebaiknya dilakukan dengan intensitas rendah dengan durasi yang lebih panjang dan dapat
dipertimbangkanuntuk meningkatkan frekuensi latihan.1,3,8,10 Pada tahap awal 5 – 10 menit per
sesi setiap harinya cukup optimal dengan waktu pemanasan dan pendinginan yang diperpanjang.
Peningkatan kemampuan fisik akan berangsur-angsur meningkat sesuai dosis latihan (intensitas
rendah) dalam jangka waktu yang panjang. Regimen ini merupakan protokol yang aman untuk
penderita gagal jantung kongestif, dan selama latihan tekanan darah harus diperiksa secara
serial.1,2,8,10,13,17

Perlu diperhatikan bagi penderita gagal jantung untuk membatasi asupan makanan sebelum latihan
dan menghindari konsumsi alkohol karena dapat menekan kontraksi miokard, juga penurunan
berat badanmerupakan faktor penunjang meningkatnya kapasitas latihan.1,2,8,10,13,17

Program latihan pada gagal jantung kongestif terdiri dari 4 jenis latihan:1,10

1. Latihan erobik: merupakan latihan yang melibatkan aktivitas kelompok otot besar.
Tujuan:
- Meningkatkan ambang batas VO2 maksimal dan ventilasi
- Meningkatkan kemampuan aktivitas dan stamina/ketahanan
Dosis (FITT):
- Frekuensi: 3-7 hari/minggu
- Intensitas: 40-70% VO2 maksimal atau Heart Rate reserve
- Time: 20-40 menit/sesi
- Type: walking, jogging, cycling, treadmill
- Skala Borg RPE 11-16
Waktu: sesuai dengan fase rehabilitasi gagal jantung

2. Latihan penguatan, dapat dengan latihan yang menggunakan sirkuit.


- Tujuan: mengurangi atropi.
- Dosis: repetisi yang banyak, tetapi dengan tahanan yang rendah (high repetition, low
resistance).
- Waktu: 3 bulan
3. Latihan fleksibilitas: melatih range of motion (ROM) ekstremitas atas dan bawah.
- Tujuan: mengurangi risiko cedera
- Dosis: frekuensi 3 – 5 kali/minggu
- Waktu: 4-6 bulan

200 Rehabilitasi Kardiovaskuler


4. Latihan fungsional: difokuskan pada aktivitas tertentu.
Tujuan:
- Meningkatkan kemampuan aktivitas sehari-hari
- Kembali bekerja
- Meningkatkan kualitas hidup
- Mempertahankan kemandirian
Waktu: 3 bulan

Penatalaksanaan rehabilitasi jantung pada gagal jantung terdiri dari:

Fase Inpatient: sesuai dengan kelas NYHA (New York Heart Association)1,17

- Kelas I
- Definisi: adalah tidak ada keterbatasan pada aktivitas fisik. Pada aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan fatigue, palpitasi atau dispnea.
- Target latihan: Aktivitas ≥ 6 METs
- Kelas II
- Definisi: terdapat sedikit keterbatasan pada aktivitas fisik. Merasa nyaman dengan
istirahat, namun dengan aktivitas fisik biasa menyebabkan fatigue, palpitasi dan dispnea.
- Target latihan: Aktivitas 5-6 METs
- Kelas III
- Definisi: tampak jelas keterbatasan pada aktivitas fisik. Merasa nyaman dengan istirahat,
namun dengan aktivitas fisik ringan menyebabkan fatigue, palpitasi dan dispnea.
- Target latihan: Aktivitas 3-4 METs
- Kelas IV
- Definisi: tidak mampu melakukan aktivitas fisik tanpa adanya ketidaknyamanan. Gejala
gagal jantung timbul pada saat istirahat. Bila melakukan aktivitas fisik maka rasa tidak
nyaman semakin berat.
- Target latihan: Aktivitas 1-2 METs

Fase rawat jalan


Perbaikan awal dari kapasitas erobik pada pasien gagal jantung terjadi pada 4 minggu setelah stabil
sehingga sebaiknya latihan dimulai pada periode tersebut. Kemajuan aktivitas latihan disesuaikan
dengan kondisi individual seperti kapasitas fungsional awal, status klinis, kemampuan adaptasi
individu terhadap program latihan, kemungkinan adanya penyakit sekunder dan usia biologis.1,13,17

Terdapat 3 tahap kemajuan latihan yang perlu diperhatikan yaitu tahap awal, tahap perbaikan dan
tahap pemeliharaan.1,13,17

1. Tahap awal (initial stage): 2–6 minggu


Pada tahap ini intensitas latihan dipertahankan pada level yang rendah (eg. 40-50% VO2 max)
sampai tercapai durasi latihan 10-15 menit. Durasi dan frekuensi latihan ditingkatkan sesuai

Rehabilitasi Kardiovaskuler 201


dengan gejala-gejala dan status klinik. Biasanya didapatkan peningkatan kapasitas fungsional
yang cepat walaupun tidak maksimum. Tujuannya adalah untuk perbaikan fungsi fisik dan
aktivitas.1,17

2. Tahap perbaikan (improvement stage): 6–26 minggu


Tujuan utama tahap ini adalah peningkatan intensitas (50% à 60% à 70% VO2 max jika dapat
ditoleransi). Tujuan sekunder yaitu sesi latihan diperpanjang menjadi 15–20 menit dan jika
dapat ditoleransi oleh pasien, dipertahankan sampai 30 menit. Juga direkomendasikan untuk
mengatur kembali intensitas latihan jika pasien dapat melakukan latihan dengan penurunan
rating of percieve exertion(RPE) dan/atau terdapat peningkatan toleransi latihan.1,17

3. Tahap pemeliharaan (maintenance stage): 26–52 minggu


Tahap ini biasanya dimulai setelah 6 bulan pertama program latihan. Program latihan individual
yang berkelanjutan dapat membuat pasien yang stabil secara klinis untuk mempertahankan
kapasitas latihan dan/atau menghambat hipotrofi otot dan penurunan kapasitas erobik. Program
latihan dipertahankan 60–70%VO2 max yang dikemas secara individual dan berkelanjutan.
Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan Activity Daily Life/ADL dan kualitas hidup.1,17

Studi Belardinelli dan kawan-kawan (2012) meneliti kapasitas latihan dan kualitas hidup pada
gagal jantung NYHA kelas II dan III melakukan program latihan yang diikuti selama periode 10
tahun dan membandingkan dengan kelompok kontrol. Jumlah peserta penelitian sebanyak 123
orang penderitagagal jantung kongestif yang sudah stabil selama 3bulan terakhir yang kemudian
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 63 kelompok latihan dan 60 kelompok kontrol. Kelompok
latihan diberikan dosis yang terdiri dari pemanasan dan peregangan selama 15 sampai 20 menit,
dilanjutkan dengan latihan erobik seperti sepeda ergometer, treadmill atau keduanya. Latihan
dilakukan sebanyak 3 sesi per minggu di rumah sakit selama 2 bulan, dilanjutkan 2 sesi yang
disupervisi perminggunya sampai akhir tahun. Setiap enam bulan peserta diminta untuk latihan di
rumah sakit lalu dilanjutkan di klub jantung untuk sampai akhir tahun. Intensitas latihan 60 % dai
VO2 maksimal untuk 2 bulan pertama dnan 70% VO2maksimal sampai akhir penelitian. Kelompok
kontrol tidak diberikan program latihan formal dan diminta untuk meneruskan kegiatan sehari-
hari seperti biasanya. Peserta diperbolehkan untuk melakukan kegiatan erobik seperti berjalan,
bersepeda dan berenang selama tidak lebih dari 30 menit namun disarankan untuk menghindari
latihan intensitas tinggi.18

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa VO2 maksimum pada kelompok latihan dapat dipertahankan
lebih dari 60% selama perjalanan 10 tahun penelitian sedangkan pada kelompok kontrol <55%
dengan nilai p < 0,01. Selain itu kualitas hidup kelompok latihan jauh lebih baik dibandingkan
dengan kelompok kontrol dengan nilai skor kuesioner kualitas hidup 43±12 vs 58±14 (p < 0,05).
Jumlah peserta yang masuk rawat selama penelitian 10 tahun jauh lebih rendah pada kelompok
latihan (p < 0,001) dan mortalitas jantung juga lebih rendah pada kelompok latihan dibaningkan
dengan kelompok kontrol (p 0,001).18

Kesimpulan pada studi ini menyatakan bahwa program latihan jangka panjang (10tahun) aman
untuk dilakukan dan dapat menghasilkan perbaikan dari kapasitas fungsional dan kualitas hidup
penderita gagal jantung kronis.18

202 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Uji latih pada gagal jantung
Uji latih dapat menjadi modalitas yang berharga untuk menilai derajat keparahan gagal jantung dan
keberhasilan terapi intervensi. EKG merupakan modalitas standar untuk memantau pasien, namun
EKG kurang mampu untuk melihat gejala pada pasien. Selama latihan penting untuk menilai fungsi
kardiopulmoner, toleransi terhadap latihan, patofisiologi abnormal yang menghambat kapasitas
latihan. Kapasitas latihan dapat diukur menggunakan teknik pertukaran gas yang menstratifikasi
risiko pasien gagal jantung kongestif.1,10

Hal yang perlu diperhatikan dalam uji latih pada gagal jantung:1,10

- Uji jalan 6 menit merupakan suplemen yang efektif untuk uji latih.
- Pemilihan protokol treadmill yang dianjurkan biasanya menggunakan Naughton sesuai dengan
keamanan pasien.
- Dokter harus mewaspadai kemungkinan hipotensi dicetuskan aktivitas, disritmia yang
signifikan, inkompeten kronotropik.
- Gejala yang mengindikasikan gagal jantung kongestif yang tidak stabil dan tidak terkompensasi
merupakan kontraindikasi.
- Terminasi latihan harus difokuskan pada gejala subjektif dan respon objektif seperti keadaan
hemodinamik, bukan berdasarkan target denyut jantung.

Uji latih kardiopulmoner/cardiopulmonary exercise testing semakin sering digunakan untuk evaluasi
pasien gagal jantung, uji latih memberikan data yang objektif, sesuai dan aman untuk pasien selain
itu uji latih juga dapat mengevaluasi hasil pengobatan, perubahan kapasitas fungsional setelah
latihan dan terapi intervensi lainnya. Uji latih dapat membedakan penyebab penyakit baikdari
jantung atau dari paru-paru.1,10

Berdasarkan Veterans Administration Cooperative Study – Vasodilator Heart Failure Trial, komplikasi
uji latih jarang sekali terjadi pada pasien gagal jantung yang stabil dan menghilangkan stigma bahwa
uji latih membahayakan pasien. Tidak ada efek samping selama 3000 uji latih pada 607 pasien.
Hipotensi yang dicetuskan aktivitas sangat jarang terjadi walaupun dalam terapi vasodilator. Aritmia
ventrikular juga sangat jarang terjadi hanya sekitar 2%. Terminasi uji latih umumnya ditentukan
dari gejala yang berat, sedangkan gejala yang sedang menjadi tolak ukur untuk menghentikan
aktivitas sehari-hari.1,10 Protokol uji latih kontinyu yang meningkatkan intensitas secara perlahan
terus menerus dapat menentukan performa maksimum pasien dalam mengikuti latihan.1,10

Pemeriksaan analisa gas respirasi dapat melengkapi uji latih, pengukuran kadar asam laktat juga
dapat berguna.1,10

Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan kapasitas fungsional pada uji latih (Weber Functional
Class for Heart Failure).19

Rehabilitasi Kardiovaskuler 203


Tabel 6. 6 Klasifikasi kapasitas fungsional Weber19

Kelas VO2 max (mL/kg/ Ambang Batas Anaerobik Perburukan Kapasitas


Weber menit) (mL O2/kg/menit) Fungsional
A ≥20 >14 Tidak ada – ringan
B 16-20 11 – 14 Ringan – sedang
C 10-15 8 – 11 Sedang – berat

D <10 <8 Berat

Terdapat 4 metode uji latih yang digunakan pada pasien yaitu metode aerobic power, endurance,
strength dan kapasitas fungsional.8

1. Kekuatan erobik (aerobic power)


Metode ini dapat menggunakan ergocycle dengan protokol ramp (10-15 Watt/menit atau 25-
50 Watt/3menit) dan juga dapat menggunakan treadmill dengan protokol Naughton.

Tabel 6. 7 Indikator terminasi latihan8


Pengukuran Terminasi Latihan Catatan
EKG 12 sadapan Terdapat disritmia yang berat Pasien dengan CHF umumnya hanya
Inverted T dengan perubahan mampu <5 METs, sehingga protokol ramp
segmen ST atau Naughton sering digunakan
Tekanan darah Respon hipotensi
Dispnea / Terdapat shortness of breath dan
skala RPE kelelahan
Gas analysis Melewati ambang batas VO2
(VO2 peak) maksimum dan ventilasi

2. Ketahanan (endurance)
Metode uji latih stamina dapat menggunakan uji jalan 6 menit dapat menilai jarak yang
ditempuh pasien dalam waktu 6 menit. Uji ini sangat berguna dalam program latihan.
3. Kekuatan (strength)
Metode ini menggunakan tes isotonik. Kekuatan kontraksi otot mengakibatkan gerakan yang
akan meningkatkan beban volume ke ventrikel kiri sehingga kekuatan pompa akan meningkat
secara signifikan yang pada akhirnya bisa dijadikan indikator untuk menilai performa fisik.
4. Kapasitas fungsional (functional capacity)
Metode uji latih yang menilai gaya hidup pasien dengan cara melihat kemampuan dan cara
pasien dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)


Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) bertujuan untuk mengembalikan kontraksi jantung yang
tersinkronisasi antara ventrikel kanan dan kiri. Menurut American College of Cardiology, American

204 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Heart Association dan Heart Rhythm Society Guidelines menyebutkan indikasi CRT pada gagal
jantung kelas NYHA III-IV yang tidak membaik dengan pemberian farmakologis dan memiliki
keterlambatan konduksi interventrikular (kompleks QRS melebar 120 – 130 ms atau lebih), fraksi
ejeksi < 35% dan dimensi end-diastolic ventrikel kiri > 55 mm.14

Pengaruh CRT pada gagal jantung:14

- Perubahan fungsional
- Perbaikan kelas fungsional NYHA
- Perbaikan skor kualitas hidup
- Penurunan lama masa rawat inap
- Perubahan performa latihan
- Peningkatan jarak uji berjalan 6 menit
- Peningkatan durasi latihan treadmill
- Peningkatan VO2 maksimal
- Peningkatan ambang batas anaerobik
- - Perubahan jantung
- Peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri
- Penurunan volume atrium kiri
- Penurunan end-diastolic ventrikel kiri dan ukuran end-systolic
- Penurunan keterlambatan mekanis intraventrikuler
- Penurunan regurgitasi mitral
- Perbaikan indeks performa miokardial
- Pemendekan interval QRS

Pada gagal jantung dapat terjadi cardiac dyssynchrony. Interval AV (atrioventrikular) yang
memanjang akan memperlambat kontraksi sistolik yang kemudian dapat mengganggu pengisian
diastolik awal (early diastolic filling). Kontraksi ventrikel yang lambat akan menyebabkan tekanan
diastolik ventrikel kiri melebihi tekanan atrial karena tekanan atrium menurun pada saat atrium
relaksasi sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral diastolik. Penurunan preload ventrikel akan
menyebabkan kontraktilitas ventrikel kiri menurun karena mekanisme Starling menghilang.20

Keterlambatan konduksi inter maupun intra ventrikular akan menyebabkan kontraksi yang
tidak sinkron kedua dinding ventrikel (ventricular dyssynchrony), mengganggu efisiensi jantung,
menurunkan isi sekuncup dan tekanan darah sistolik. Fungsi otot papillare yang tidak terkoordinasi
dengan baik dapat menyebabkan semakin memperburuk functional systolic mitral regurgitation
sehingga menyebabkan remodelling ventrikel kiri yang buruk (adverse LV remodelling).20

Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) berfungsi untuk mengembalikan sinkronisasi AV, inter dan
intra venrikular, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, menurunkan functional mitral regurgitation dan
memicu LV reverse remodelling, meningkatkan durasi waktu pengisian ventrikel kiri, ejeksi fraksi
ventrikel kiri, menurunkan end-diastolic volume dan end systolic volume ventrikel kiri, regurgitasi
mitral dan septal dyskinesis.20

Rehabilitasi Kardiovaskuler 205


Sebuah penelitian yang dilakukan Okutucu dan kawan-kawan (2010), merupakan yang pertama
meneliti hubungan antara heart rate recovery (HRR) sebagai indikator menilai respon cardiac
resynchronization therapy (CRT) dan korelasinya dengan respon perbaikan remodeling ventrikel kiri.
Penelitian ini melibatkan 48 penderita gagal jantung kelas NYHA III-IV yang sesuai dengan kriteria
inklusi (fraksi ejeksi ventrikel kiri < 35%, sinus rhythm, durasi QRS > 120 ms, dalam pengobatan
yang optimal) dan kriteria eksklusinya riwayat sindrom koroner akut 3 bulan terakhir, transplantasi
jantung, sick sinus syndrome, kelainan anatomis sinus. Uji latih treadmill dengan protokol Naughton
dilakukan pada semua partisipan 1 hari sebelum dan 6 bulan setelah tindakan terapi resinkronisasi
jantung. Adapun uji latih treadmill ini menggunakan peningkatan gradien dan kecepatan tiap
2 menit yang sesuai dengan 1 METs, disertai pemberian oksigen 3,5 mL/kg/menit. Kemudian
dilakukan penghitungan denyut jantung maksimal dengan denyut jantung menit pertama, kedua
dan ketiga saat uji latih di mana hasilnya merupakan angka baseline dari heart rate recovery (HRR
1, HRR 2, HRR 3).21

Hasil penelitian ini mendapatkan 62,5% atau 30 orang memiliki respon baik pasca CRT berupa
penurunan volume sistolik akhir ventrikel kiri (left ventricle end-systolic volume/LVESV) > 15%
dibandingkan nilai awal sebelum tindakan CRT. Enam bulan setelah tindakan tersebut uji latih
dengna metode yang sama pun dilakukan dan didapatkan hasil berupa peningkatan heart rate
recovery yang signifikan dibandingkan dengan baseline HRR 1, 2 dan 3 dengan masing-masing
p=0,001.21 Penelitian ini juga mendapatkan adanya korelasi antara heart rate recovery dengan
perbaikan remodelling ventrikel kiri yang dinilai dari penurunan volume sistolik akhir ventrikel
kiri (LVESV), di mana HRR 1 dan LVESV p=0,001; HRR 2 dan LVESV p=0,033; HRR 3 dan LVESV
dengan nilai p=0,001).20

Pollentier dan kawan-kawan dalam sebuah systemic review memfokuskan pada reliabilitas dan
validitas uji jalan 6 menit untuk menilai kapasitas fungsional pada pasien dengan gagal jantung
kongestif. Hasilnya adalah terdapat korelasi sedang sampai baik, uji jalan 6 menit dapat memprediksi
VO2 peak 83% dan 91% akurat bila jarak tempuh kurang dari 450 hingga 490 meter berturut-
turut. Korelasi yang lebih kuat terlihat bila pasien berjalan kurang dari 300 meter dalam 6 menit
atau memmilki VO2 peak yang rendah (<10 ml/kg/menit).

Daftar Pustaka
1. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
2. Fuster V, Walsh RH and Harrngton RA. Hurst’s the Heart. 13th edition. USA: Mc-Graw Hill
Companies, 2011;2(6)125-127.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012.
4. Mahmood SS, Levy D, Vasan RS, et al. The Framingham Heart Study and the Epidemiology of
Cardiovascular Disesase: A historical Perspective. USA: NCBI, US National Library of Medicine.
2013.
5. Kannel, D’Agostino, Silbershatz, et al. Congestive Heart Failure in Framingham Heart Study.
Arch Intern. Med. 1999.

206 Rehabilitasi Kardiovaskuler


6. Ponikowski P, et al. European Society of Cardiology Guideline for the Diagnosis and Treatment
of Acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal 2016. Vol 62 issue 6
7. Kementerian Kesehatan Indonesia. Prevalensi Gagal Jantung. Jakarta: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013.
8. Durstine JR. in ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Diseases and
Disabilities. 4th Edition. USA:Human Kinetics, 1997.
9. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Circ J AHA 2013;128:240-327.
10. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition.
ChurchillLivingstone, 1992.
11. Lily LS. Pathophysiology of Heart Disease. A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty. 5th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011.
12. Smart N and Marwick TH. Exercise training for patients with heart failure: a systematic review of
factors that improve mortality and morbidity. Am J Med 2004;116:693-706.
13. Kitzman DW, Brubaker PH, Morgan TM, et al. Exercise training in older patients with heart
failure and preserved ejection fraction a randomized, controlled, single-blind trial. Circ Heart Fail
2010;3:659-667.
14. Haenel RG. Exercise Rehabilitation for Chronic Heart Failure Patients with Cardiac Device Implants.
Faculty of Rehabilitation Medicine University of Alberta. 2012;23(3); 23-2.
15. Piepoli MF, Davos C, Francis DP et al. Exercise training meta-analysis of trials in patients with
chronic heart failure (ExTraMATCH). BMJ 2004; 328:189.
16. Schmid J, Blatter-Bühler P, Gaillet R, et al. Impact of a cardiac rehabilitation programme on
exercise capacity, parameters of left ventricular function and health-related quality of life in chronic
heart failure patients. Cardiovascular Medicine 2010:13(3):86-51.
17. Kottke TE, Haney T, et al. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s Handbook
of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
18. Belardinelli R, Georgiou D, Cianci G, et al. A 10-year exercise training in chronic heart failure: a
randomized controlled trial. J Am Coll Cardiol. 2012;60:1521-1528.
19. Recommendation for Exercise Testing in Chronic Heart Failure Patient. European Heart
Journal. 2001;22:37-45.
20. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, et al. European Society of Cardiology Guidelines
on Cardiac Pacing and Cardiac Resynchronization Therapy. European Heart Journal 2013.
21. Okutucu S, Evranos B, Aytemir K, et al. Cardiac resynchronization therapy improves exercise
heart rate reacovery in patients with heart failure. Europace 2010; 526-532.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 207


208 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 7
REHABILITASI
PENYAKIT VASKULAR
PERIFER

Rehabilitasi Kardiovaskuler 209


Pendahuluan
Penyakit vaskular merupakan kumpulan tanda dan gejala dari sistem pembuluh darah baik arteri
maupun vena yang terjadi secara akut atau kronis, kongenital atau didapat. Penyakit arteri
melingkupi kondisi akut dan kronis dengan oklusi atau aneurisma dilatasi dapat berupa parsial
atau komplit secara fungsional atau anatomis. Sedangkan penyakit vena yang dapat terjadi adalah
oklusi akut dan kronis baik dari sistem vena sistemik maupun pulmoner, yang sering disebabkan
oleh tromboemboli.1

Berdasarkan studi epidemiologis didapatkan prevalensi penyakit arteri perifer berkisar antara 11%
sampai 16% dari populasi 55 tahun ke atas. Penyakit ini menurut estimasi telah diderita oleh 27
juta orang di benua Eropa dan Amerika utara. Di Jerman sekitar 1,8 juta orang memiliki penyakit
arteri perifer yang simtomatis dan di antaranya terdapat 50.000 sampai 80.000 orang mengalami
iskemi kritis pada anggota gerak (critical limb ischemia). Adapun gambaran klinis yang umum terjadi
pada penyakit arteri perifer adalah klaudikasio intermiten dan iskemia kritis. Pada kondisi iskemia
kritis memiliki risiko tinggi hilangnya anggota gerak dan kejadian vaskular fatal lainnya dengan
tingkat mortalitas 20-25% pada tahun pertama setelah timbulnya gejala dan tingkat kelangsungan
hidup lima tahun yang kurang dari 30%.2

Trombosis vena yang terbagi menjadi Deep Vein Thrombosis (DVT) dan emboli paru, terjadi pada
1 dari 1000 orang pada populasi dewasa tiap tahunnya. Angka kejadiannya lebih tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita. Sekitar 2/3 kasus trombosis vena adalah DVT dan sisanya merupakan
kasus emboli paru dengan atau tanpa DVT.3

Komplikasi mayor dari trombosis vena antara lain kematian, sindroma pasca trombosis rekuren dan
perdarahan akibat penggunaan antikoagulation. Penyakit ini juga berhubungan dengan kualitas
hidup yang menurun terutama ketika terjadi sindroma pasca trombosis. Kematian pada DVT sekitar
6% terjadi dalam kurun waktu 1 bulan.3 Deep Vein Thrombosis (DVT) dan tromboemboli menjadi
penyebab yang utama untuk morbiditas dan mortalitas pasien tirah baring, rawat inap maupun
individu yang sehat. Data menunjukkan insidensi DVT sekitar 80 kasus per 100000 populasi tiap
tahunnya. Sekitar 1 dari 20 orang berisiko terkena DVT dalam hidupnya. Di Amerika Serikat sudah
hampir 600000 pasien yang masuk perawatan rumah sakit dengan diagnosis DVT tiap tahunnya.4

Sekitar 1/3 populasi atau 33% memiliki risiko kejadian rekuren dalam kurun waktu 10 tahun.5
Deep Vein Thrombosis (DVT) terjadi pada individu diatas usia 40 tahun dan kejadiannya meningkat
dengan bertambahnya usia. Kejadian DVT lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 1.2:1.4

Istilah chronic venous insuffiiency (CVI) adalah suatu kondisi patologis pada sistem vena ekstremitas
bawah dengan hipertensi vena yang memiliki manifestasi klinis seperti edema, perubahan kulit
dan ulserasi kulit. Prevalensi varises diperkirakan antara 5-30% populasi dewasa dan lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingan laki-laki dengan perbandingan 3:1.6 The San Valentino
Screening project menemukan bahwa diantara 30000 subjek yang dinilai secara klinis dan
ultrasonografi dupleks, prevalensi varises sebesar 7% dan CVI simptomatik 0.86%.7 Di Amerika
serikat diperkirakan ada 2,5 juta orang yang menderita CVI dan sekitar 20% menderita komplikasi
berupa ulkus vena dan biasanya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Prognosis ulkus vena secara
keseluruhan buruk.8

210 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Meskipun prevalensi dan tingkat morbiditas maupun morbiditas penyakit vaskular perifer terbilang
signifikan, namun acapkali penyakit ini dikesampingkan dan tidak mendapat tatalaksana yang
adekuat. Dibutuhkan penanganan yang tepat dan menyeluruh, tidak hanya menitikberatkan pada
farmakologis namun juga terapi konservatif seperti rehabilitasi medik. Dengan latihan rekondisi,
modifikasi dan kontrol faktor risiko yang optimal serta edukasi terapeutik, program rehabilitasi
medik terbukti bermanfaat secara signifikan dalam mengurangi gejala, meningkatkan status
fungsional dan kualitas hidup serta prevensi sekunder terhadap risiko penyakit kardiovaskular
lainnya.1

Anatomi pembuluh darah


Darah bersirkulasi di dalam tubuh dipompa dari jantung ke seluruh jaringan melalui pembuluh darah
arteri dan kembali lagi ke jantung melalui pembuluh darah vena. Sistem kardiovaskular memiliki
lima tipe umum pembuluh darah yaitu arteri, arteriol, kapiler, venula dan vena. Arteri membawa
darah dari jantung keseluruh tubuh sampai ke jaringan perifer dan terbagi menjadi cabang-cabang
kecil dengan diameter yang semakin kecil. Cabang terkecil dari arteri adalah arteriol dan dari
arteriol darah akan mengalir ke kapiler dimana akan terjadi proses difusi. Dari kapiler darah akan
masuk ke venula dan kemudian vena yang akan membawa darah kembali ke jantung.Sedangkan
sistem limfa melengkapi fungsi sistem sirkulasi dengan membantu pengangkutan substansi dari
ruang interstisial ke dalam vena.8,9

Struktur dinding pembuluh darah


Dinding pembuluh darah memiliki 3 lapisan, yaitu tunika intima, tunika media dan tunika eksterna.

- Tunika intima adalah lapisan paling dalam dari pembuluh darah yang terdiri dari satu lapisan
endotel dan jaringan ikat berisi serat elastin disekitarnya. Pada arteri terdapat satu lapisan
yang membungkus tunika intima yaitu membrana elastik interna yang berisi serat elastin
tebal.8,9

- Tunika media adalah lapisan tengah dari pembuluh darah. Lapisan ini terdiri dari jaringan otot
polos dan jaringan ikat longgar. Lapisan ini dipisahkan dari tunika eksterna oleh membrana
elastik eksterna yang berisi serat elastin tipis. Otot polos yang ada di tunika media ini
bertanggung jawab atas proses vasodilastasi atau vasokonstriksi pembuluh darah. Ketika ia
berkontraksi diameter pembuluh darah akan mengecil dan begitupula sebaliknya.8

- Tunika eksterna atau tunika adventisia adalah lapisan terluar dari pembuluh darah dan berisi
jaringan ikat. Pada arteri, akan terdiri dari serat kolagen dengan beberapa serat elastin yang
tersebar sedangkan pada vena tunika eksterna akan lebih tebal dibandingkan dengan tunika
media dan berisi jaringan dari serat elastin serta sel otot polos.8,9

Rehabilitasi Kardiovaskuler 211


Gambar 7. 1 Struktur dinding pembuluh darah8

Arteri
Dinding arteri sama seperti pembuluh darah pada umumnya memiliki 3 lapisan yaitu tunika intima,
tunika media dan tunika eksterna, bedanya tunika media pada arteri terdiri dari lapisan otot elastis
tebal sehingga memungkinkan untuk meregang saat ada perubahan tekanan tanpa mengakibatkan
kerusakan.8,9

Arteri elastis merupakan arteri terbesar yang beragam dimulai dari pembuluh darah besar seperti
aorta dan trunkus pulmonalis hingga cabang-cabangnya (arteri pulmoner, karotis komunis,
subklavia dan iliaca komunis). Arteri elastis memiliki diameter terbesar namun memiliki dinding
pembuluh darah yang relatif lebih tipis (sekitar sepersepuluh diameter total), dengan lamina elastik
interna dan eksterna. Hal ini memudahkan dalam mengakomodasi pengangkutan darah, di mana
saat meregang (stretch) serat elastik di dalam menyimpan energi mekanik yang berfungsi sebagai
cadangan tekanan dan saat mengendur (recoil) energi mekanik tersebut diubah menjadi energi
kinetik agar darah tetap dapat bergerak meskipun ventrikel sedang relaksasi.8,9

Gambar 7. 2 Arteri elastis8

212 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Arteri yang berukuran medium dikenal sebagai arteri muskular pada tunika media terkandung otot
polos yang lebih banyak dan serat elastis yang lebih sedikit sehingga memudahkan kemampuan
vasokontriksi dan vasodilatasi untuk mengatur laju aliran darah. Ukuran arteri muskular beragam
dari yang berdiameter sebesar pencil seperti arteri femoralis dan axillaris sampai dengan seukuran
seutas benang dengan diameter 0,5 mm. Contoh lain arteri muskular adalah arteri karotis eksterna,
brakialis dan mesenterika. Berbeda dengan arteri elastis, arteri muskular memiliki tunika eksterna
yang lebih tebal dengan fibroblas, kolagen dan serat elastin tersusun secara longitudinal. Hal ini
berguna untuk mencegah pemendekan dan retraksi pembuluh darah saat terpotong, namun di sisi
lain arteri muskular tidak memiliki kemampuan untuk meregang dan mengendur yang berfungsi
dalam menjaga kelancaran aliran darah.8,9

Gambar 7. 3 Arteri muskular8

Anastomosis
Sebagian besar jaringan tubuh mendapatkan aliran darah lebih dari 1 arteri dan percabangan
beberapa arteri ini disebut sebagai anastomosis, di mana hal ini bertujuan untuk memastikan
agar setiap jaringan mendapat aliran darah yang adekuat. Apabila aliran darah berhenti untuk
beberapa saat misalnya dikarenakan pergerakan normal yang menekan pembuluh darah atau
adanya penyakit, cidera atau operasi sebagai penyebabnya maka sirkulasi darah ini tidak ikut
berhenti juga. Adanya jalur alternatif atau disebut juga sirkulasi kolateral ini tidak hanya terjadi
pada arteri namun juga terjadi pada arteriol dan vena.8

Arteriola
Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat arteri kecil atau arteriol sebanyak empat ratus juta,
dengan ukuran antara 15 µm sampai dengan 30 µm. Arteriol memiliki tunika intima yang tipis, lamina
elastik interna yang berpori, tunika media dengan 1-2 lapis otot polos dan tunika eksterna yang
mengandung jaringan penyambung kaya akan saraf simpatis. Dalam sirkulasi darah arteriol berperan
dalam regulasi aliran darah dari arteri ke kapiler dengan mengatur resistensi sehingga arteriol sering
dikenal sebagai pembuluh darah resisten. Dalam pembuluh darah resistensi terjadi karena friksi
antara darah dengan dinding dalam pembuluh darah sehingga semakin kecil diameter pembuluh
darah, semakin besar friksi terjadi, semakin besar pula resistensi. Oleh karena itu perubahan ukuran
diameter arteriol menghasilkan perubahan hemodinamik berupa tekanan darah yang berbeda.8,9

Rehabilitasi Kardiovaskuler 213


Gambar 7. 4 Arteriola8

Kapiler
Sebagai pembuluh darah terkecil yakni dengan diameter 5-10 µm, kapiler menghubungkan aliran
darah arteri dengan vena. Kapiler dapat ditemukan di setiap sel tubuh dan diperkirakan dua
puluh juta jaringan kapiler tersebar dalam tubuh. Kendati demikian, jumlah kapiler bergantung
dari aktivitas metabolik area jaringan yang diperdarahi, di mana pada bagian dengan tingkat
metobolik tinggi seperti otot, otak, hepar, renal dan sistem saraf memiliki kapiler yang lebih
banyak dibandingkan jaringan dengan tingkat metabolik rendah seperti tendon dan ligamen. Pada
beberapa jaringan tubuh tidak terdapat kapiler seperti di kornea, lensa mata dan kartilago.8

Gambar 7. 5 Arteriol, kapiler dan venula8

Venula
Venula mendrainase darah kapiler dan memulai aliran balik darah ke jantung. Postcapiler venula
adalah venula terkecil dan venula merupakan lokasi pertukaran nutrien dan sisa metabolisme yang
penting. Postcapiler venula nanti menjadi venular muscular yang ukurannya lebih besar.8,9

214 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Vena
Vena secara umum memiliki dinding yang tipis dibandingkan dengan ukuran diameternya. Vena
memiliki jumlah lapisan yang sama dengan arteri namun tidak memiliki membran elastin interna
dan eksterna. Vena mampu berdistensi untuk beradaptasi dengan volume serta tekanan darah
yang mengalir namun tidak dapat bertahan terhadap tekanan tinggi.8,9

Kerja pompa jantung merupakan faktor utama yang membantu aliran darah vena balik ke jantung.
Kontraksi otot rangka pada tungkai bawah juga membantu dalam meningkatkan aliran darah vena
jantung. Tekanan darah di vena cukup rendah dan tidak dapat melawan arah gaya gravitasi, aliran
darah ke jantung berjalan lambat bahkan dapat mengalir balik sehingga banyak vena terutama di
ekstremitas bawah memiliki katup. Katup merupakan lipatan dari tunika intima yang menonjol ke
dalam lumen pembuluh darah dan lipatannya mengarah sesuai dengan arah aliran darah. Katup
vena berfungsi untuk mencegah backflow aliran darah vena. Selama katup berfungsi dengan baik,
maka segala gerakan yang mengkompresi vena akan mendorong darah ke jantung. Hal ini akan
memperbaiki venous return.8,9

Vena terbagi menjadi vena superfisialis, vena dalam dan vena perforata. Vena superfisialis berjalan
melalui lapisan subkutan dan sepanjang pembuluh darah vena superfisialis terbentuk sambungan
kecil atau anastomosis yang disebut sebagai vena perforate. Vena perforata akan menyambungkan
vena superfisialis dengan vena dalam.8,9

Venous return
Venous return adalah volume darah yang mengalir balik ke jantung melalui sistem vena dan terjadi
karena tekanan yang dibentuk oleh kontraksi ventrikel kiri. Perbedaan tekanan antara venula dan
ventrikel kanan cukup kecil namun venous return ke jantung dapat secara otomatis cukup terjadi.
Bila tekanan di atrium atau ventrikel kanan meningkat maka venous return akan menurun. Salah
satu penyebab tekanan pada atrium kanan meningkat adalah katup trikuspid yang inkompeten
sehingga terjadi regurgitasi saat ventrikel berkontraksi. Hal ini akan menyebabkan penurunan
venous return dan penumpukan darah pada sistem vena.8,9

Selain jantung, terdapat dua mekanisme lain yang membantu memompa darah vena dari tungkai
bawah ke jantung, yaitu pompa otot rangka dan pompa respiratori.

- Pompa otot rangka


Kontraksi otot rangka akan mengkompresi vena yang berada didekatnya sehingga akan
membantu mendorong darah balik ke jantung. Katup di vena akan memastikan aliran darah
hanya satu arah saja. Ketika berjalan akanada proses kontraksi dan relaksasi yang terjadi pada
otot rangka tungkai bawah. Hal ini akan membantu menjaga venous return.8,9

- Pompa respiratori
Ketika inspirasi rongga toraks akan berekspansi sehingga menurunkan tekanan pada rongga
pleural. Pada saat penurunan tekanan ini, udara akan ditarik ke paru dan darah akan ditarik ke
vena kava inferior serta atrium kanan dari vena kecil di rongga abdomen dan tungkai bawah.
Ketika ekspirasi, rongga toraks mengecil, tekanan internal meningkat memaksa udara di paru
keluar dan mendorong darah vena ke atrium kanan.8,9

Rehabilitasi Kardiovaskuler 215


Gambar 7. 6 Pompa otot rangka8

Fisiologi pembuluh darah


Sirkulasi sistemik dan paru-paru memiliki sistem pembuluh darah yang tertutup di mana arteri
mengangkut darah dari jantung ke jaringan, bercabang-cabang menjadi pembuluh darah yang
semakin kecil, dengan berbagai cabang menyalurkan darah ke setiap jaringan tubuh.10

Arteri bercabang menjadi arteriol yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi kapiler, di mana
terjadi pertukaran darah dan sel-sel di sekitar. Selanjutnya kapiler kembali menyatu menjadi
venula dan kumpulan venula bergabung menyatu menjadi vena kecil yang keluar dari organ dan
seterusnya membentuk vena yang lebih besar mengalirkan darah ke jantung.10

Laju aliran darah atau blood flow rate berbanding lurus dengan gradien tekanan dan berbanding
terbalik dengan resistensi pembuluh darah dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:10

F = ΔP
R

Keterangan:

F : laju aliran darah dalam pembuluh darah

ΔP : gradien tekanan

R : resistensi pembuluh darah

Gradien tekanan merupakan perbedaan tekanan antara bagian awal dan akhir pembuluh.
Kontraksi jantung menimbulkan tekanan terhadap aliran darah, namun karena adanya resistensi
atau tahanan, tekanan darah berkurang saat darah mengalir melalui pembuluh darah. Tekanan

216 Rehabilitasi Kardiovaskuler


akan semakin menurun sepanjang pembuluh, sehingga tekanan akan lebih tinggi pada bagian awal
dibandingkan akhir pembuluh. Semakin besar gradien tekanan yang mendorong darah melintasi
suatu pembuluh, semakin besar laju aliran darah melalui pembuluh tersebut.10

Selain gradien tekanan dan resistensi pembuluh darah terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi
laju aliran darah, yakni ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang
ditimbulkan oleh friksi antara cairan yang mengalir dengan pembuluh yang stasioner. Pada saat
terjadi peningkatan resistensi terhadap aliran, darah akan menjadi sulit melewati pembuluh
sehingga aliran berkurang, selama gradien tekanan tidak berubah. Apabila peningkatan resistensi
terjadi diikuti dengan gradien tekanan yang meningkat maka tidak terjadi perubahan laju aliran
darah. Dengan demikian di saat pembuluh memberikan resistensi yang lebih besar maka jantung
akan bekerja lebih keras untuk mempertahankan sirkulasi agar adekuat.10

Adapun resistensi atau tahanan pembuluh darah dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kekentalan
darah atau viskositas, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah. Viskositas mengacu
kepada friksi yang timbul antara molekul suatu cairan saat bergesekan satu sama lain saat cairan
mengalir. Semakin besar viskositas, semakin besar resistensi. Saat terjadi gesekan/friksi antara
komponen darah dengan lapisan dalam pembuluh darah saat mengalir, semakin besar pula luas
permukaan pembuluh darah yang kontak dengan komponen darah sehingga semakin besar
resistensi terhadap aliran darah. Luas permukaan ditentukan oleh panjang dan diameter pembuluh,
namun karena panjang pembuluh darah konstan maka penentu utama resistensi adalah diameter
pembuluh darah.10

Anamnesis dan pemeriksaan penyakit vaskular


perifer
Untuk menilai adanya kemungkinan penyakit vaskular perifer, mulailah dengan menanyakan
adanya rasa nyeri pada ekstremitas atas dan bawah. Pada kasus dengan kecurigaan penyakit
arteri perifer perlu ditanyakan mengenai gejala klaudikasio intermiten yang merupakan nyeri yang
ditimbulkan karena aktivitas dan biasanya berkurang setelah istirahat.11

Banyak pasien dengan penyakit arteri perifer hanya menunjukkan beberapagejala sehingga penting
untuk mencari faktor risiko. Faktor-faktor risiko penyakit vaskular perifer yang penting adalah
merokok, diabetes, hipertensi dan adanya riwayat penyakit vaskular di organ tubuh lain seperti
stroke atau penyakit jantung koroner. Pada penyakit perifer dapat ditemukan gejala seperti dingin,
kebas dan nyeri bahkan ada saat keadaan diam. Nyeri, pucat, denyut yang berkurang atau hilang,
parastesia, perubahan warna pada saat terpapar dingin,perabaan kulit yang dingin dan kelemahan
adalah hal-hal yang perlu dievaluasi pada penyakit vaskular perifer.11

Pada anamnesis yang perlu ditanyakan pada penyakit vaskular perifer antara lain:

- Nyeri pada tungkai saat berjalan


- Lokasi nyeri
- Jarak yang dicapai sebelum timbul nyeri
- Nyeri berkurang atau hilang setelah istirahat
- Nyeri timbul saat keadaan tidak bergerak atau diam
- Perubahan warna kulit dan timbul luka pada tungkai

Rehabilitasi Kardiovaskuler 217


- Riwayat stroke atau penyakit jantung koroner
- Kebiasaan merokok

Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan rutin pada jantung, cari tanda-tanda anemia atau sianosis, gagal jantung
serta bukti penyakit vaskular (tabel 7.1) Kemudian dilakukan pemeriksaan pada denyut arteri.

Tabel 7. 1 Tanda klinis penyakit vaskular12

Ekstremitas atas
Inspeksi kedua ekstremitas atas dari bahu sampai jari jemari dan nilai ukuran, simetris, adanya
bengkak atau tidak, warna kulit dan kuku serta tekstur kulit. Palpasi denyut nadi radialis dan
brakialis pada kedua sisi. Bila ada keraguan mengenai denyut yang dirasakan, palpasi denyut nadi
pasien dan diri sendiri secara bersamaan.

Bila derajat amplitudo denyut nadi dengan sistem skala seperti berikut:11

0 tidak dapat dipalpasi


1+ pulsasi yang lemah, hilang dan timbul saat perabaan, mudah sekali hilang dengan tekanan yang
lembut
2+ butuh palpasi yang ringan, namun bila terdeteksi, pulsasi akan lebih kuat dibandingkan pada
skala +1
3+ normal
4+ pulsasi yang kuat, mudah dipalpasi, hiperaktif, dapat mengindikasikan keadaan patologis
seperti regurgitasi aorta.

218 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Gambar 7. 7 Pemeriksaan denyut nadi arteri radialis dan arteri brachialis11

Arteri radialis dan femoralis dengan derajat amplitudo +4 menunjukkan adanya insufisiensi
aortik dan ketidaksimetrisan denyut nadi biasanya disebabkan oleh oklusi arteri atau emboli.
Periksakan tekanan darah pada kedua lengan karena tidak sedikit pasien dengan penyakit arteri
perifer juga dapat memiliki penyakit arteri subklavia yang asimtomatik. Penyakit arteri subklavia
atau subclavian steal syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran darah retrograde di
arteri vertebral akibat stenosis atau penyumbatan arteri subklavia proksimal ipsilateral. Penyebab
penyakit arteri subklavia paling sering adalah aterosklerosis. Penyakit arteri subklavia biasanya
asimptomatik dan tidak membutuhkan terapi spesifik selain penatalaksanaan etiologi. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan perbedaan tekanan darah pada kedua ektremitas atas sebesar >15
mmHg, penurunan derajat amplitudo pulsasi arteri pada sisi ekstremitas yang terkena dan bruit
pada fossa supraklavikular. Perbedaan sampai 10 mmHg pada tekanan sistolik adalah normal.13,14

Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas dilakukan inspeksi untuk menilai ukuran, kesimetrisan,
pembengkakan, dilatasi vena, pigmentasi, ruam, luka, ulkus, perubahan kulit serta tekstur pada
kulit. Palpasi denyut pada artari femoralis, arteri popliteal, arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior.11

Rehabilitasi Kardiovaskuler 219


Gambar 7. 8 Pemeriksaan denyut nadi arteri femoralis, arteri popliteal, arteri dorsalis pedis dan
arteri tibialis posterior11,12

Pada penyakit vaskular perifer perlu dilakukan palpasi arteri perifer pada femoralis, tibialis, dorsalis
pedis dan auskultasi untuk mencari adanya bruit. Selain itu periksa adanya edema perifer dengan
cara menekan daerah pretibial, ketika dilepaskan akan terbentuk lekukan bekas penekanan jari
di daerah tersebut yang disebut sebagai edema pitting. Kemudian nilai apakah edema tersebut
adalah edema pitting cepat atau lambat (>40 detik). Edema pitting cepat berhubungan dengan
kadar albumin normal yang biasanya disebabkan oleh hipertensi sistem vena. Hipertensi sistem
vena adalah suatu keadaan dimana tekanan pada sistem vena meningkat akibat aliran vena yang
tidak adekuat yang dapat disebabkan oleh kelainan jantung maupun non jantung.11,15

Hipertensi sistem vena dibagi menjadi dua yaitu yang disebabkan karena kelainan sistemik
seperti gagal jantung kongestif, penyakit perikardial, regurgitasi trikuspid dan kelainan regional
seperti sindrom vena kava inferior, trombosis vena, insufisiensi sistem vena tungkai bawah.
Untuk membedakannya biasanya pada kelainan regional sifatnya kronik dan bilateral.11,15 Pada
trombosis vena dalam biasanya dapat ditemukan rasa nyeri pada tungkai, bengkak, pelebaran
vena superfisial dan kulit biasanya teraba hangat. Ulkus pada tungkai paling sering disebabkan
oleh stasis vena dan biasanya terdapat pigmentasi, batas ulkus yang tidak jelas, edema dan tanda
radang. Sedangkan oklusi arteri perifer akut biasanya disertai dengan gejala nyeri, denyut nadi
perifer yang melemah atau menghilang, kulit yang teraba dingin, kesulitan menggerakkan tungkai
dan adanya kesemutan.11,15

Varises pada tungkai diperiksa dengan inspeksi pada vena safena di daerah inguinal sampai
ke bagian bawah medial kaki. Periksa adakah vena superfisialis yang melebar dan melengkung
(tortuous).Palpasi vena yang keras menandakan trombosis, bila palpasi terasa lembek dan nyeri
menandakan tromboflebitis. Untuk memeriksakan katup vena femoralis dapat dilakukan tes batuk.
Letakkan jari pada vena safena magna yang terletak medial dari arteri femoralis. Kemudian minta
pasien untuk batuk. Bila terdapat thrill berarti kemungkinan ada gangguan katup vena.11,15

220 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Penyakit arteri perifer
Penyakit arteri perifer merupakan penyakit pada pembuluh darah yang disebabkan terutama oleh
proses aterosklerosis dan tromboemboli sehingga terjadi perubahan struktur fungsi normal aorta,
cabang viseral dan arteri ekstremitas bawah. Gangguan vaskular ini terjadi pada pembuluh darah
setelah keluar dari jantung dan aortoiliaka. Adapun yang termasuk dalam penyakit arteri perifer
adalah stenosis, oklusi dan/atau aneurisma aorta dan percabangan arteri tanpa keterlibatan arteri
koroner.16,17

Penyakit arteri perifer sebagian besar memiliki faktor risiko berupa usia tua, merokok riwayat
diabetes, dislipidemia, hipertensi dan hiperkromosisteinemia. Prevalensi klaudikasio intermiten
pada usia antara 60 dan 65 tahun sebesar 35% dan meningkat menjadi 70% pada usia 70 sampai
75 tahun. Begitu pula dengan insiden klaudikasio intermiten antara usia 30 dan 44 tahun berkisar
6 per 10.000 pria dan 3 per 10.000 wanita yang meningkat menjadi 61 per 10.000 pria dan 54
per 10.000 wanita pada usia antara 65 dan 74 tahun.16,18,19 Tidak hanya faktor usia, kebiasaan
merokok juga memiliki kaitan yang sangat erat, di mana perokok memiliki risiko empat kali lebih
besar terkena penyakit arteri perifer dan tiga sampai sepuluh kali lipat mengalami klaudikasio
intermiten dibandingkan yang tidak merokok. Risiko terjadinya amputasi dan mortalitas yang
tinggi ditemukan pada perokok berat.16,18,19

Berkaitan dengan peningkatan risiko amputasi, penderita penyakit arteri perifer dengan riwayat
diabetes berisiko sepuluh kali lebih besar mengalami amputasi dibandingkan yang tidak memiliki
riwayat diabetes. Hal ini dikarenakan adanya mikroangiopati dan neuropati terjadi sehingga
memperburuk infeksi dan menurunnya respon terhadap perbaikan luka. Penderita diabetes
dengan penyakit arteri perifer tungkai bawah memiliki risiko mengalami amputasi sebesar tujuh
sampai lima belas kali lipat lebih besar daripada yang tidak memiliki riwayat diabetes.16,19

Dibandingkan dengan diabetes dan kebiasaan merokok, hipertensi memegang peranan sebagai
faktor risiko lebih rendah. Kendati demikian, terdapat peningkatan risiko penyakit arteri perifer
dua kali sampai empat kali lipat pada penderita hipertensi dibandingkan yang tidak ada riwayat
hipertensi. Sedangkan untuk dislipidemia, kolesterol total dan HDL merupakan prediktor yang
kuat, di mana peningkatan kolestrol total dan penurunan HDL berkaitan dengan mortalitas
penyakit jantung dan pembuluh darah yang tinggi. Setiap peningkatan 10 mg/dL kolesterol total
meningkatkan risiko penyakit arteri perifer 5% sampai 10%.16,19

Perubahan metabolisme homosistein merupakan risiko penting terjadinya arteriosklerosis,


khususnya penyakit arteri perifer. Kondisi hiperhomosisteinemia ditemukan pada 30%
penderita penyakit arteri perifer usia muda. Peningkatan kadar homosistein meningkatkan risiko
aterosklerosis dua sampai tiga kali lipat dan setiap peningkatan 5 µmol/L homosistein total dapat
meningkatkan risiko penyakit arteri perifer sebesar 44%.16,19

Klasifikasi
Penyakit arteri perifer diklasifikasi menurut berat ringannya gejala dan abnormalitas yang didapat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Berikut adalah klasifikasi menurut Fontaine dan Rutherford
yang mendeskripsikan penyakit arteri perifer dalam beberapa stadium serta progresivitasnya.16,19

Rehabilitasi Kardiovaskuler 221


Tabel 7. 2Klasifikasi Fontaine dan Rutherford16

Pemeriksaan penunjang
- Ankle Brachial Index (ABI). Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
with Peripheral Arterial Disease tahun 2005 dan 2011, pemeriksaan ABI saat istirahat
direkomendasikan untuk mendiagnosis suspek penyakit arteri perifer tungkai bawah (individu
dengan gejala nyeri kaki, luka yang tidak sembuh, pasien usia 65 tahun atau lebih, pasien
usia 50 tahun atau lebih dengan riwayat diabetes atau merokok). Teknik pemeriksaan ini
sederhana, tidak mahal dan tidak invasif, yaitu dengan membandingkan tekanan darah sistolik
kedua arteri brakialis dengan arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior yang dilakukan dalam
posisi terlentang/supine selama 10 menit.1,16,20 Cara pengukuran dilakukan dengan meletakkan
pneumatic cuff di sekitar ankle, kemudian dinaikkan di atas tekanan sistolik laluditurunkan
secara perlahan kemudian onset aliran dideteksi menggunakan Ultrasonografi (USG) Doppler
pada dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior sebagai perwakilan dari tekanan darah sistolik
pada pergelangan kaki atau ankle. Normalnya tidak didapatkan perbedaan pada tekanan sistolik
kedua lengan, atau perbedaan minimal kurang dari 12 mmHg. Apabila terdapat perbedaan
tekanan sistolik yang cukup signifikan di antara kedua lengan, kemungkinan terdapat stenosis
arteri subklavia atau axillaris pada lengan yang memiliki tekanan sistolik lebih rendah.1,16,10
Tekanan sistolik arteri brakialis dapat dinilai dengan stetoskop untuk mendengar bunyi atau
menggunakan Doppler untuk mendengar aliran saat deflasi cuff. Nilai normal dari pengukuran
ABI adalah 1,00 – 1,40. Dikatakan abnormal bila nilai ABI kurang dari 0,90 dengan kategori
ringan-sedang antara 0,40 – 0,90 dan berat bila kurang dari 0,40. Adapun penilaian pengukuran
ABI ini dilakukan dengan menggunakan 2 desimal. Penderita klaudikasio umumnya memiliki
nilai ABI 0,50 – 0,90 dan Critical Limb Ischemia (CLI) dengan nilai ABI kurang dari 0,40.1,16,20

222 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Gambar 7. 9 ABI dengan USG Doppler1,16,20

Gambar 7. 10 Pemeriksaan ABI1,16,20

Rehabilitasi Kardiovaskuler 223


- Ultrasonografi. Continous-wave ultrasonografi Doppler digunakan untuk penilaian awal
penyakit yang meliputi lokasi dan tingkat keparahan, menilai progresivitas perjalanan penyakit
serta efek dari terapi revaskularisasi. Analisis gelombang ultra pada pemeriksaan ini dapat
dioptimalkan bila dilakukan bersamaan dengan ultrasound duplex untuk menilai visualisasi
dinding arteri.1,16
- Angiografi. Kemajuan teknologi dengan pemeriksaan angiografi seperti Computed Tomography
Angiography (CTA) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA) memudahkan dalam
mengidentifikasi stenosis dan oklusi arteri di mana ada rencana tindakan revaskularisasi. CTA
bermanfaat pada kasus aneurisma karena tidak hanya memberi informasi mengenai ukuran
tapi juga lokasi pasti dari kondisi aneurisma tersebut dengan sensitivitas dan spesifisitas dalam
menilai oklusi sebesar 94% sampai 100%. Adapun kegunaan MRA adalah untuk mengetahui
morfologi pembuluh darah, menilai aliran darah, mengetahui ada tidaknya trombosis,
perdarahan dan infeksi dengan sensitivitas 99,6% dan spesifisitas 100%. Namun pemeriksaan
pencitraan ini membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal dibandingkan teknik pemeriksaan
lainnya.1,16,20
- Uji Latih. Menurut ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with Peripheral
Arterial Disease tahun 2005, beberapa kegunaan dari uji latih adalah:16
- Menegakkan diagnosis penyakit arteri perifer pada tungkai bawah dengan nilai ABI normal
- Menilai secara obyektif besarnya keterbatasan gejala pada penyakit arteri perifer dan
klaudikasio
- Mengukur secara obyektif perbaikan fungsional sebagai respon terhadap intervensi
- Membedakan klaudikasio dari psuedoklaudikasio
- Memberikan data obyektif atas keamanan latihan dan pentingnya memberikan resep
latihan yang disesuaikan tiap individu

Selama uji latih menggunakan treadmill yang perlu dicatat adalah waktu onset munculnya gejala,
keterlibatan otot, ada tidaknya gejala koroner dan total waktu berjalan. Uji latih dihentikan bila
muncul gejala iskemia miokard (yang ditandai dengan respon tekanan darah abnormal, depresi
segmen ST lebih dari 2 mm, munculnya disritmia). Setelah menyelesaikan uji latih treadmill pasien
diminta untuk tidur terlentang dan dilakukan pemeriksaan ABI setiap 1 menit sekali sampai nilai
kembali ke baseline. Pada kondisi normal nilai ABI meningkat seiring lamanya waktu istirahat,
sedangkan bila terjadi stenosis nilai ABI justru mengalami penurunan.1,16

Apabila treadmill tidak tersedia, uji latih dapat dilakukan dengan uji fleksi plantar pedal. Berjalan
di koridor atau dikenal sebagai uji berjalan 6 menit dinilai berpotensi untuk mengukur kapasitas
berjalan terutama untuk usia tua dan yang tidak dapat melakukan uji treadmill.1,16

224 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Gambar 7. 11 Algoritma diagnosis suspek penyakit arteri perifer16

Arteriosklerosis obliterans
Penyakit oklusi arteri dapat memiliki manifestasi beragam karena dipengaruhi oleh perjalanan
penyakit, pembuluh darah kolateral, penyakit komorbid dan aktivitas fisik. Penyakit oklusi arteri
perifer pada penderita yang aktif umumnya memiliki gejala klaudikasio intermiten sedangkan pada
yang kurang aktif (inactive) gejala yang timbul umumnya nyeri saat beristirahat,kemerahan kulit,
ulkus dan gangren. Adapun istilah yang lebih tepat menggambarkan gejala nyeri saat istirahat,
ulkua dan gangren adalah iskemik kronis dari tungkai (chronic limb ischemic / CLI). 1,16

Berbeda dengan klaudikasio, pasien dengan CLI memiliki perfusi saat istirahat (resting perfusion)
yang tidak adekuat dalam menjaga kelangsungan hidup jaringan di sisi lain klaudikasio intermiten
menandakan adanya suplai darah yang tidak adekuat dari arteri yang memasok otot terutama saat
beraktivitas. Hal ini biasanya terjadi pada penyakit oklusi arteri kronik atau kondisi arteriospastik
berat. Gejala klaudikasio dideskripsikan sebagai rasa baal, kelemahan, kram sampai nyeri pada
ekstremitas dan hal ini dipengaruhi oleh aktivitas.1,16

Adapun penatalaksanaan klaudikasio intermiten tidak hanya bertujuan untuk meringankan gejala
tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit jantung. Pada penderita penyakit arteri perifer
perlu dilakukan pemeriksaan penyaringan yang mencakup kadar homosistein sebagai prediktor
aterosklerosis pembuluh darah serebral, koroner maupun perifer serta pemeriksaan penanda
inflamasi sistemik seperti C-reactive protein (CRP).1 Untuk mengurangi risiko kejadian penyakit
jantung pada penderita penyakit arteri perifer diperlukan tatalaksana menyeluruh atas faktor
risiko yang ada, guna menurunkan morbiditas dan mortalitas seperti penatalaksanaan diabetes
mellitus, dislipidemia, hipertensi dan menghentikan kebiasaan merokok.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 225


Oklusi arteri akut
Acute limb ischemia (ALI) atau iskemi akut dari tungkai adalah kejadian saat perfusi anggota gerak
mengalami penurunan secara mendadak atau cepat sehingga mengancam kelangsungan hidup
jaringan. Peristiwa ini dapat menjadi manifestasi pertama yang bila berkelanjutan menimbulkan gejala
kronis pada anggota gerak atau chronic limb ischemic (CLI). Sebagian besar oklusi arteri akut disebabkan
oleh salah satu dari tiga penyebab seperti trombosis, diseksi dan emboli.1,16 Trombosis umumnya
terjadi pada area pembuluh darah yang abnormal seperti adanya lesi aterosklerosis atau aneurisma,
sedangkan diseksi dihubungkan dengan hipertensi, aterosklerosis, gangguan jaringan penyambung,
trauma dan penyebab iatrogenik. Pada kasus oklusi arteri akut oleh emboli seringkali bersumber dari
masalah di jantung seperti trombus ventrikel, gangguan katup, atrial fibrilasi kronis atau paroksismal
atrial fibrilasi. Namun demikian pada 5 – 10% kasus tidak diketahui sumber embolinya.1

Gejala oklusi arteri akut secara umum dideskripsikan sebagai 6 P yaitu:1,16

- pain (nyeri)
- pallor (pucat)
- paralysis (kelemahan)
- paresthesia (kesemutan)
- pulselessness (tidak teraba nadi)
- polar (teraba dingin).

Pada saat oklusi arteri terjadi aliran darah terhambat sehingga jaringan menjadi iskemia akibat
kekurangan oksigen, hal ini kemudian memicu kompensasi sel dengan metabolisme anaerobik
yang melepaskan asam laktat dan piruvat ke dalam sirkulasi darah. Kemudian apabila iskemia
berlangsung lama maka adenosin trifosfat (ATP) dikeluarkan sehingga terjadi pembengkakan sel
akibat gangguan pompa natrium dan kalium. Pada fase ini secara klinis gejala yang timbul berupa
nyeri, kekakuan otot, edema nonpitting dan asidosis metabolik.1

Idealnya oklusi arteri akut memerlukan tindakan segera, meskipun tingkat urgensi tergantung dari
derajat iskemia, terlebih bila gejala 6 P itu timbul maka evaluasi dan intervensi medis harus segera
dilakukan untuk menyelamatkan anggota gerak. Penilaian derajat iskemia dilanjutkan dengan
evaluasi sumber emboli (umumnya terletak di bifurcatio femoralis), pemberian antikoagulan segera
dan tindakan embolektomi sampai saat ini masih menjadi standar terapi pada emboli dengan
maksimal 4-6 jam setelah onset iskemia terjadi.1

Sindroma Raynaud
Adanya kejadian vasospasme episodik yangacapkali dipicu oleh stres terhadap suhu dingin maupun
emosi merupakan karakteristik dari sindroma Raynaud. Vasospasme paling sering dijumpai di
bagian tangan dan jari-jari tangan, namun demikian pada beberapa kasus vasospasme dapat juga
terjadi di kaki dan jari-jari kaki. Tanda klasik dari vasospasme berupa perubahan tiga warna yakni
dari kepucatan menjadi kebiruan atau sianosis kemudian menjadi kemerahan. Akan tetapi tanda
khas ini sulit ditemukan karena biasanya hanya kepucatan dan kebiruan yang tampak saat serangan
vasospasme berlangsung, di mana biasanya berdurasi 30 sampai 60 menit dan sifatnya bilateral.1

226 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Sindroma Raynaud lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Adapun mekanisme
vasospasme ini masih belum diketahui pasti namun sering dikaitkan dengan fungsi adrenergik,
kekentalan darah, kelainan endotel atau gangguan sistem thermoregulasi. Di sisi lain berbeda
dengan sindroma Raynaud, fenomena Raynaud lebih dititikberatkan pada vasospasme sekunder
yang disebabkan penyebab lainnya seperti aterosklerosis, arteritis, kanker, gangguan kolagen,
oklusi emboli, gejala umumnya timbul unilateral.1

Penatalaksanaan pada sindroma Raynaud ini masih terbilang sulit, namun demikian umumnya
penderita memiliki gejala ringan sampai sedang yang membaik dengan terapi konservatif berupa
pemakaian baju hangat, sarung tangan dan menghindari faktor pencetus, rokok serta obat-obatan
yang memiliki efek vasokonstriksi.1` medikamentosa ditujukan pada penderita sindroma Raynaud
dengan gejala berat dan sudah mengganggu aktivitas hingga berisiko terjadinya kerusakan
jaringan akibat proses iskemik. Obat golongan calcium channel blocker seperti nifedipin efektif
mengurangi frekuensi dan keparahan vasospasme, begitu pula dengan golongan alpha-1 blocker
seperti doxazosin dan terazosin serta golongan ACE-inhibitor.1

Sindroma vaskulitis
Vaskulitis atau angiitis merupakan kondisi peradangan pada pembuluh darah yang seringkali
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah, stenosis atau oklusi lumen dan proliferasi
intima yang progresif. Gejala vaskulitis menunjukkan adanya inflamasi sistemik dan iskemik akibat
oklusi pembuluh darah dan kondisi ini bisa berlangsung sementara, sembuh dengan sendirinya,
kronis sampai dengan progresif.1

Pada penderita artritis berat dan titer faktor reumatoid yang tinggi, vaskulitis dapat terjadi dan
kondisi ini dikenal sebagai vaskulitis reumatoid, biasanya terdapat deposit kompleks sel imun di
dinding pembuluh darah. Selanjutnya terjadi proliferasi tunika intima dan media pada akhirnya
menyebabkan endarteropati obliteratif berupa penutupan lumen pembuluh darah.1 Kaitannya
dengan sistem imunologi, cryoglobulin merupakan salah satu imunoglobulin yang berperan
dalam kondisi vaskulitis terutama cryoglobulin tipe II yang berhubungan dengan infeksi kronis
dan masalah imunologi lainnya. Pada kondisi peningkatan cryoglobluin tipe II dalam darah selain
terjadinya vaskulitis juga dapat timbul purpura, urtikaria, ulkus, neuropati perifer, artralgia dan
artritis. Vaskulitis umumnya melibatkan pembuluh darah kecil seperti arteriola dan venula, sehingga
dapat dilakukan kompresi ringan seperti penggunaan stocking (20-30 mmHg) untuk mengurangi
kongesti vena dan mempertahankan perfusi kulit.1

Tromboangitis obliterans (Penyakit Buerger)


Penyakit Buerger atau tromboangitis obliterans merupakan penyakit arteri dan vena segmental
pada ekstremitas yang sering dijumpai pada pria dewasa muda yang merokok. Terdapat dua hal
yang membedakan penyakit Buerger dengan vaskulitis lainnya, biasanya pada kondisi ini yang
terkena adalah arteri-arteri distal yang kecil dahulu kemudian berkembang ke arah proksimal
terutama jika kebiasaan merokok terus berlanjut. Apabila disertai dengan peningkatan penanda
imunologis seperti LED, CRP, antibodi antinuklear, faktor reumatoid dan lainnya, maka progresivitas
akan berlanjut. Sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas patofisiologi penyakit Buerger,
apakah lebih disebabkan karena trombotik atau inflamasi. Kendati demikian yang pasti harus
dilakukan untuk menangani kondisi ini adalah menghentikan kebiasaan merokok.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 227


Tatalaksana farmakologi penyakit arteri perifer
- Cilostazol menjadi obat pilihan untuk klaudikasio yang diakui oleh Food and Drug Administration
sejak tahun 1999. Obat ini bekerja dengan meningkatkan kadar adenosin monofosfat siklik
intraselular yang menghambat fosfodiesterase 3 sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
dari agregasi trombosit, pembentukan trombus arteri dan proliferasi otot polos pembuluh
darah. Cilostazol terbukti meningkatkan 50% jarak berjalan maksimal dan 67% jarak berjalan
bebas nyeri. Adapun kontraindikasi pemakaian obat ini adalah kondisi gagal jantung (Class I,
LOE A). Menurut rekomendasi ACC/AHA tahun 2005 dosis cilostazol 100 mg dua kali sehari
efektif untuk mengurangi gejala (Class I, LOE A). Cilostazol juga terbukti dapat meningkatkan
kadar kolesterol HDLdan menurunkan kadar trigliserida.1,20
- Pentoxifylline, golongan derivat metilxantin ini merupakan obat pertama untuk menangani
penyakit arteri perifer. Mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi viskositas darah dan
meningkatkan fleksibilitas eritrosit sehingga meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan.
Pentoxifylline terbukti meningkatkan 30% jarak berjalan maksimal dan 20% jarak berjalan
bebas nyeri. Menurut rekomendasi ACC/AHA tahun 2005 dosis penggunaan pentoxifylline
adalah 400 mg tiga kali sehari. Adapun efek samping obat ini umumnya tidak mengancam
nyawa seperti radang tenggorokan, dispepsia, mual dan diare.1,20
- Obat-obatan lainnya yang dapat dipertimbangkan menurut rekomendasi ACC/AHA tahun
2005 dengan kelas IIb level of evidence B antara lain: L-arginine, propionyl-L-carnitine dan
ginkgo biloba. Sedangkan yang termasuk kelas III yaitu yang tidak memberikan keuntungan
atau bahkan berbahaya bila diberikan antara lain: prostaglandin, vitamin E dan chelation (asam
etilendiamintetraasetat).16

Tatalaksana revaskularisasi pada penyakit arteri perifer


Rujukan untuk dilakukannya prosedur revaskularisasi mekanis termasuk prosedur endovaskular
dan open surgical bypass sebaiknya dilakukan jika ditemukan kondisi berikut ini.

- Nyeri saat istirahat akibat iskemia


- Ulkus iskemik yang tidak sembuh
- Klaudikasio yang membatasi aktivitas meskipun sudah dilakukan modifikasi risiko, terapi
antiplatelet dan program latihan.

Adapun pilihan prosedur dipengaruhi beberapa faktor seperti lokasi, tipe dan karakteristik lesi dan
kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi risiko operasi. Sebelum dilakukan operasi, penting untuk
sebelumnya melakukan pemeriksaan pencitraan seperti CTA atau MRA dan/atau kateter angiografi.16

Tatalaksana rehabilitasi penyakit arteri perifer

Modifikasi faktor risiko


Program yang difokuskan pada kontrol faktor risiko secara optimal terbukti efektif dalam
menurunkan mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Prevensi
sekunder pada penderita penyakit arteri perifer bertujuan untuk menurunkan kejadian

228 Rehabilitasi Kardiovaskuler


kardiovaskular melalui cara-cara berikut.16,20,21

Tabel 7. 3 Prevensi sekunder penyakit arteri perifer21

Menurunkan Lemak Tubuh

- Pemberian statin untuk semua penderita penyakit arteri perifer dengan target LDL <100mg/
dl (Class I, LOE B)
- Pada pasien risiko tinggi target LDL <70mg/dl (Class IIa, , LOE B)

Tatalaksana Hipertensi

- Target tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg bila ada diabetes atau penyakit
ginjal kronis (Class I, LOE A)
- Pemberian beta blocker efektif dan bukan kontraindikasi penyakit arteri perifer (Class I, LOE A)
- ACE-inhibitor dapat diberikan pada kasus penyakit arteri perifer simtomatis (Class IIa, LOE B)
- ACE-inhibitor dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada kasus penyakit arteri perifer
asimtomatis (Class IIb, LOE C)

Tatalaksana Diabetes

- Perawatan diri berupa alas kaki, inspeksi kaki setiap hari, kebersihan kulit, pengunaan krim
pelembap kulit dan segera melakukan perawatan luka atau ulkus (Class I, LOE B)
- Kontrol gula darah dan menurunkan HbA1C dengan target <7% (Class IIb, LOE C)

Berhenti Merokok

- Status penggunaan tembakau/rokok harus ditanyakan setiap kunjungan (Class I, LOE A)


- Program menghentikan kebiasaan merokok dengan konseling dan farmakoterapi (substitusi
nikotin, bupropion, varenicline). Apabila tidak ada kontraindikasi dapat diberikan lebih dari 1
farmakoterapi. (Class I, LOE A)

Terapi Antiplatelet

- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah termasuk
klaudikasio intermiten atau CLI, riwayat revaskularisasi atau amputasi. (Class I, LOE A)
Dosis Aspirin 75 mg – 325 mg (Class I, LOE B)
Dosis Clopidogrel 75 mg dapat digunakan sebagai pengganti aspirin (Class I, LOE B)
- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah pada
pasien dengan ABI <0,90. (Class IIa, LOE C)
- Antiplatelet menurunkan risiko infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah pada
pasien dengan ABI 0,91 – 0,99 belum diketahui manfaatnya. (Class IIb, LOE A)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 229


- Kombinasi Aspirin dan Klopidogrel dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko infark
miokard, stroke dan kematian pembuluh darah termasuk klaudikasio intermiten atau CLI,
riwayat revaskularisasi atau amputasi, yang tidak memiliki risiko perdarahan, yang memiliki
risiko kardiovaskular tinggi (Class IIb, LOE B)
- Bila tidak ada indikasi, pemberian warfarin sebagai tambahan dari terapi antiplatelet tidak
bermanfaat dan berpotensi bahaya karena meningkatkan risiko perdarahan. (Class III, LOE B)

Efek Latihan pada Status Fungsional


Penurunan kapasitas berjalan merupakan hal yang paling sering dikeluhkan penderita penyakit
arteri perifer dengan 50% di antaranya mengalami gangguan mobilitas. Bahkan pada kasus yang
asimtomatis atau memiliki gejala atipikal penderita dapat mengalami hendaya fungsional dan
berisiko tidak dapat berjalan 6 menit dibandingkan dengan orang normal. Terbatasnya aktivitas
fisik pada penderita penyakit arteri perifer meupakan usaha pasien sendiri untuk mencegah
timbulnya gejala. Namun disayangkan, usaha membatasi aktivitas fisik tersebut justru berdampak
tidak baik bagi sistem kardiovaskular. Dibutuhkan tatalaksana berupa program latihan yang tepat
untuk memutus rantai tersebut.21

Gambar 7. 12 Dampak fungsional penyakit arteri perifer21

Terapi lini pertama pada klaudikasio yang direkomendasikan adalah program latihan dengan
supervisi. Program latihan perlu diberikan secara komprehensif dengan mengkombinasikan
bersama modifikasi faktor risiko untuk mencapai perubahan klinis antara lain:21

- Mengurangi gejala pada tungkai


- Meningkatkan kapasitas latihan dan mengurangi keterbatasan fisik
- Mengurangi risiko kejadian kardiovaskular

230 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Program latihan dapat meningkatkan kemampuan berjalan penderita dengan klaudikasio
intermiten. Adapun hasil beberapa penelitian mendapatkan efek positif dari program latihan dapat
meningkatkan jarak berjalan bebas nyeri sebesar 180% dan secara klinis dapat meningkatkan
waktu dan jarak berjalan begitu pula terdapat perbaikan kualitas hidup.Beberapa mekanisme
dari efek latihan terhadap hendaya fungsional yang terjadi pada kondisi penyakit arteri perifer
dijelaskan dalam tabel berikut ini.21

Tabel 7. 4 Efek latihan terhadap hendaya fungsional21

Proses Patofisiologi Dampak Fungsional Efek Latihan


Obstruksi arteri Penurunan aliran darah Peningkatan minimal aliran kolateral
Disfungsi endotel Penurunan fungsi vasodilatasi Perbaikan nitrik oksida dalam fungsi
Peningkatan kekakuan otot vasodilatasi
Gangguan respon hiperemis
Gangguan remodelling arteri
Peningkatan aktivitas inflamasi
Disfungsi mitokondria Gangguan produksi energi Perbaikan fungsi mitokondria
Gangguan penggunaan oksigen Pada hewan didapatkan peningkatan
Peningkatan oksigen reaktif biogenesis mitokondria
Penurunan isi otot rangka
Aktivasi Inflamasi Remodelling otot rangka Penurunan penanda inflamasi sistemik
Peningkatan progresivitas
aterosklerosis

Program latihan
Menurut American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA)Practice Guidelines
for the Management of Patients with Peripheral Arterial Disease tahun 2005 memberikan rekomendasi
berupa latihan dengan supervisi yang dilakukan minimal 30-45 menit per sesi, 3 sesi per minggu
selama minimal 12 minggu (Class I, LOE A) dibandingkan dengan latihan tanpa supervisi (Class IIb,
LOE B). Adapun latihan dengan supervisi dapat meningkatkan keikutsertaan pasien dalam program
rehabilitasi medik. Hal ini serupa dengan hasil studi Cochrane tahun 2006 yang melibatkan
319 partisipan menyimpulkan bahwa latihan dengan supervisi menghasilkan perbaikan berupa
peningkatan waktu berjalan jarak 150 m dibandingkan dengan latihan tanpa supervisi.1,21 Panduan
program latihan untuk klaudikasio menurut ACC/AHA tahun 2005 terdiri dari pemanasan dan
pendinginan masing-masing 5 – 10 menit serta program latihan seperti berikut ini:16,17

- Jenis latihan: treadmill atau berjalan di atas track dapat ditambah dengan latihan resistance
- Intensitas: kecepatan dan tingkat latihan treadmill inisial diatur sampai didapatkan gejala
klaudikasio muncul selama 3 – 5 menit hingga mencapai gejala klaudikasio sedang-berat
kemudian diistirahatkan beberapa saat sampai gejala hilang.
- Durasi: pola latihan-istirahat-latihan terus dipertahankan selama sesi berlangsung. Durasi
awal biasanya 35 menit latihan berjalan intermiten dan dinaikkan 5 menit per sesi nya hingga
mencapai durasi 50 menit latihan berjalan intermiten.
- Frekuensi: 3 – 5 kali per minggu latihan treadmill atau berjalan di atas track.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 231


Di sinilah letak pentingnya supervisi dalam program latihan pada penyakit arteri perifer. Pada
saat pasien mengalami perbaikan kemampuan berjalan, beban latihan perlu dinaikkan untuk
memodifikasi tingkat dan kecepatan treadmill untuk memastikan stimulus nyeri klaudikasio selama
latihan berlangsung. Selain itu selama latihan ada kemungkinan munculnya gejala kardiovaskular
seperti disritmia, angina atau depresi segmen ST sehingga membutuhkan reevaluasi medis.16,17

Program latihan pada penderita penyakit arteri perifer perlu disesuaikan gejala dan penyakit
penyerta. Penderita yang memiliki gejala klaudikasio intermiten diinstruksikan untuk berjalan dan
berhenti bila timbul nyeri sedang sampai berat yang diukur dengan skala klaudikasio antara 3 – 4
dari 5. Ketika nyeri sudah hilang, latihan dapat dilanjutkan. Penderita tanpa klaudikasio intermiten
dapat mengikuti latihan untuk penderita penyakit kardiovaskular, dengan intensitas latihan sesuai
dengan uji toleransi latihan menggunakan heart rate reserve dan oxygen uptake reserve.21

Tabel 7. 5 Peresepan latihan dengan supervisi pada klaudikasio intermiten21


Latihan endurance
Frekuensi: 3–5 hari/minggu
Modalitas: Berjalan di atas treadmill
Intensitas:Latihan diberikan dengan laju yang disesuaikan dengan pengalaman pasien seperti onset
gejala, lanjutkan berjalan sampai nyeri sedang-berat timbul (skor 3–4); lalu berhenti sampai nyeri hilang;
ulangi latihan dengan intensitas yang sama. Perkembangan dicapai saat laju berjalan 8 menit meningkat
tanpa munculnya gejala.
Durasi: Waktu latihan total (termasuk istirahat) = 50 menit/hari

Tabel 7. 6 Peresepan latihan endurance dan resistance penderita penyakit kardiovaskular21

Latihan endurance
Frekuensi:3–5 hari/minggu Modalitas:
Intensitas: 40 – <60% HRR + resting HR -berjalan dengan treadmill
atau -naik tangga
40 – <60% VO2 reserve + resting VO2 -sepeda statis
-arm cycle ergometry
-mendayung
Durasi:30–60 menit/hari -berenang

232 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Latihan resistance
Frekuensi: ≥2–3 hari/minggu Kelompok otot besar
Lengan/bahu:
Intensitas: 1–3sets of 8–15 RM • Biceps
• Ekstensi Triceps
• Overhead press
• Lateral raises
Dada/punggung:
• Bench press
• Lateral pull-down /pull-up
• Bent-over / Seated row
Tungkai bawah:
• Ekstensi, curls, press
• Aduktor / Abduktor
Keterangan:

HR = denyut jantung (heart rate) ; RM = maksimal beban sebelum muncul fatigue

Maximum HR= peak HR saat uji latih ; VO2 = ambilan oksigen

HRR = heart rate reserve (peak HR – resting HR); VO2 reserve = (peak VO2– resting VO2)

Gambar 7. 13 Algoritma tatalaksana penyakit arteri perifer16,17

Rehabilitasi Kardiovaskuler 233


Penyakit vena perifer
Trombosis vena didefinisikan sebagai keadaan adanya trombus di vena superfisialis atau vena
dalam disertai dengan proses inflamasi pada dinding pembuluh darah. Faktor predisposisi dari
trombosis vena disebutkan pada hukum Virchow mencakup keadaan stasis, kerusakan vaskular
dan hiperkoagulasi. Selain itu adapula keadaan lain yang dapat meningkatkan risiko trombosis
vena yang terangkum pada tabel berikut25

Tabel 7. 7 Faktor risiko trombosis vena25

Keadaan lain yang dapat meningkatkan risiko trombosis vena

Operasi Prosedur ortopedik


Prosedur toraks
Prosedur abdomen
Prosedur genitourinarius

Neoplasma Neoplasma pankreas


Neoplasma paru
Neoplasma ovarium
Neoplasma testes
Neoplasma traktus urinarius
Neoplasma payudara
Neoplasma gaster

Trauma Fraktur spine


Fraktur pelvis
Fraktur femur atau tibia
Kerusakan korda spinalis

Immobilisasi Infark miokard akut


Gagal jantung kongestif
Stroke
Postoperative convalescence

Kehamilan Terutama pada trimester ketiga


Bulan pertama postpartum

Terapi sulih hormon atau kontrasepsi -

Status hiperkoagulasi Resistensi dari activated protein C


mutasi gen protrombin
deifisensi antitrombin III, protein C atau protin S
penyakit mieloproliferatif
DIC (disseminated intravascular coagulation)

Venulitis Tromboangitis obliterans


Behcet’s disease
Homosisteinuria

Riwayat trombosis vena dalam -

234 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Adapula yang membagi faktor risiko kejadian trombosis vena sebagai berikut.25

Tabel 7. 8 Faktor risiko tromboembolisme vena25

Deep vein thrombosis (DVT)


Deep vein thrombosis (DVT) merupakan salah satu manifestasi dari tromboembolisme vena dan
merupakan suatu keadaan dimana terbentuk pembekuan darah atau thrombus di vena dalam.4,28
Insidensi trombosis vena yang terdiri dari DVT dan emboli paru melebihi dari 1/1000 dari seluruh
populasi dewasa dan dari semua pasien 30% meninggal dalam waktu 30 hari. Dua pertiganya
bermanifestasi sebagai DVT dan sepertiganya bermanifestasi sebagai emboli paru dengan atau
tanpa DVT.3 Insidensi DVT diperkirakan sekitar 80 kasus per 10000 populasi dan dapat terjadi pada
1dari 20 orang. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 600.000 kasus DVT yang masuk perawatan
rumah sakit. Biasanya DVT terjadi pada populasi diatas 40 tahun dan insidensinya meningkat 4
kali lipat pada populasi lanjut usia. Perbandingan prevalensi DVT pada laki-laki dan wanita adalah
1,2:1 sehinggaDVT lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.4

Rehabilitasi Kardiovaskuler 235


Penyebab utama dari trombus vena adalah disfungsi endotel, hiperkoagulasi dan gangguan dari
aliran darah vena. Timbulnya DVT merupakan akibat dari kombinasi ketiga penyebab tersebut
dengan faktor risiko (tabel 7.9) Kasus DVT pada leher dan ekstremitas atas bisanya disebabkan
oleh penyebab iatrogenik seperti pemasangan infus intravena, kateter pacemaker atau shunt
hemodialisis.30

Deep vein thrombosis (DVT) pada vena kava superior biasanya disebabkan oleh kompresi mekanis
vena oleh tumor mediastinum sedangkan penyebab DVT pada vena kava inferior adalah perluasan
trombus dari vena di daerah pelvis atau ekstremitas bawah. Pada ekstremitas bawah dapat
disebabkan oleh kompresi vena iliaka oleh arteri ilaka, pemasangan kateter kedalam vena femoralis
atau keadaan imobilisasi (bed rest) yang membatasi pergerakan tungkai bawah. Kasus DVT paling
sering terjadi pada ekstremitas bawah.30

Tabel 7. 9 Faktor risiko deep vein thrombosis30

Dalam kondisi normal darah yang bersirkulasi dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk
bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Trias of Virchow mengungkapkan
adanya trias yang merupakan dasar terbentuknya trombus. Trias ini terdiri dari gangguan aliran
vena, ketidakseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan dan disfungsi endotel. Bila ada
ketidakseimbangan antara trombogenik (gangguan endotel, terpaparnya subendotel, aktivasi
trombosit dan koagulasi, terganggunya fibrinolisis serta stasis) dan mekanisme protektif (faktro
antitrombotik, inhibitor pembekuan, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran

236 Rehabilitasi Kardiovaskuler


faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, lisisnyatrombus
oleh sistem fibrinolisis) maka akan terjadi trombosis. Trombus di vena terjadi di daerah stasis dan
terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah besar serta sedikit trombosit.31

Gambar 7. 14 Trias Virchow25

Manifestasi klinis dari DVT tergantung dengan lokasi thrombus, seberapa luas dan bersifat
oklusif atau tidak (tabel 7.10). Gejala klinis dari DVT antara lain bengkak, rasa nyeri, teraba hangat
dan kemerahanpada tungkai yang terkena namun DVT juga dapat tidak menunjukkan gejala atau
asimptomatik. Hal ini biasanya dikarenakan trombus yang terbentuk tidak menyebabkan obstruksi
outflow vena sehingga tidak timbul gejala. DVT dapat terjadi bersamaan dengan gangguan lain
yang manifestasinya mirip dengan DVT yaitu trauma, infeksi, penyakit arteri perifer dan lain-lain.
Ekstremitas yang terkena dapat unilateral atau bilateral dengan derajat sedang sampai berat.
Trombus yang terjadi pada bifurkasio iliaka, vena pelvis, atau vena kava lebih sering menyebabkan
edema bilateral dibandingkan dengan edema unilateral.

Tabel 7. 10 Gambaran klinis DVT pada ekstremitas bawah25

Rehabilitasi Kardiovaskuler 237


Gambar 7. 15 Deep vein thrombosis28

Ada beberapa sistem skor yang menghitung mengenai probabilitas diagnosis DVT seperti
Hamilton score, the AMUSE (Amsterdam Maastricht Utrecht Study on thromboembolism) score dan
Wells clinical prediction rule. Namun Wells clinical prediction rule merupakan yang paling sering
digunakan. Ia membagi pasien menjadi 3 kategori yaitu risiko rendah, risiko intermediate dan
risiko tinggi. (tabel 7.11). Pada sistem skor ini terdapat 9 keadaan klinis dengan skor yang berbeda,
skor tersebut akan dijumlahkan dan hasil tersebut akan menentukan risiko pasien. Bila skor <0
maka pasien termasuk risiko rendah, risiko intermediate bila skor 1 – 2 dan risiko tinggi bila skor
> 3.

238 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 7. 11 Tes prediksi kemungkinan DVT26

Rehabilitasi Kardiovaskuler 239


Gambar 7. 16 Algoritma Diagnosis DVT menurut American Academy of Family Physician (2012)26

Terapi standar untuk DVT akut terdiri dari antikoagulan, elevasi dan penyokong ekstremitas.1

Antikoagulan
Antikoagulan tetap menjadi tatalaksana utama untuk penyakit tromboemboli. Adapun tujuan
dari pemberian antikoagulan pada DVT adalah untuk mencegah kematian akibat emboli paru
dan membatasi kerusakan vena serta sindrom pasca flebitik. Pemberian antikoagulan sebagai
profilaksis disarankan untuk pasien dengan riwayat penyakit tromboemboli vena sebelumnya,
penyakit kelainan faktor pembekuan, pernah menjalani perawatan medis atau operasi dengan

240 Rehabilitasi Kardiovaskuler


riwayat tirah baring lama. Apabila pemberian antikoagulan harus dihentikan untuk menjalani suatu
prosedur operasi maka baseline duplex ultrasound dan surveillance ultrasound harus dilakukan
setiap 3 sampai 5 hari.

- Heparin
Antikoagulan heparin merupakan tatalaksana yang efektik untuk penyakt tromboemboli.
Heparin tidak memiliki sifat fibrinolitik tetapi proses fibrinolisis alami tetap terjadi. Hal ini
akan menstabilisasi trombus, menghindari pembesaran trombus dan meredakan gejala akut
pada pasien.
Komplikasi awal penggunaan heparin adalah trombositopeni. Kejadian trombositopenia
benigna cukup sering dan merupakan penurunan angka platelet sampai 70.000 sampai 100.000
unit/L. Adapun komplikasi lain yang jarang terjadi adalah Heparin-induced thrombocytopenia
(HIT) yang terjadi akibat proses autoimun. Pada keadaan ini maka pemberian heparin harus
segera dihentikan. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pemberian heparin bovine tetapi
lebih jarang terjadi pada dosis profilaksis atau pada pemberian low-molecular-weight heparin
(LMWH).

- Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH).


Anti koagulan ini sudah lebih dipilih sebagai tatalaksana pilihan karena pemberian LMWH
memiliki keuntungan dibandingkan dengan pemberian heparin antara lain, LMWH memiliki
profil farkamokinetik yang lebih mudah di prediksi, waktu paruhnya lebih panjang, kejadian
perdarahan lebih rendah dan penggunaannya juga lebih mudah. Selain itu kejadian immune-
mediated thrombocytopenia biasanya tidak muncul pada pemberian LMWH jangka pendek dan
risiko heparin-induced osteoporosis lebih rendah pada LMWH dibandingkan heparin.32,33
Pemberian dosis LMWH tergantung dari berat badan pasien dan tidak perlu ada pemantauan
activated partial thrombolastin time (aPTT), diberikan satu sampai dua kali sehari. Pasien dengan
DVT dapat diobati secara aman dan efektif dengan LMWH di rumah selama inisiasi terapi
warfarin karena pemberiannya subkutaneous. Antikoagulan ini dapat menjadi pilihan untuk
pasien yang sulit dikontrol kadar INRnya dan lebih efektif daripada penggunaan antikoagulan
oral pada pasien kanker.1

- Warfarin
Warfarin bekerja dengan menginhibisi sintesis faktor koagulasi II, VII, IX dan X di hepar. Efek
kerja warfarin sedikit lebih lama karena akan baru muncul efek ketika semua faktor koagulasi
sudah dikeluarkan dari sirkulasi. Warfarin juga menghilangkan inhibitor alami koagulasi seperti
protein C dan protein S. Kompikasi yang jarang terjadi adalah nekrosis kulit yang biasanya
terjadi pada daerah dengan jaringan adipose yang banyak seperti payudara, bokong, paha
dan dinding abdomen. Komplikasi ini disebabkan oleh trombosis pembuluh darah kecil
akibat penurunan protein C oleh warfarin. Warfarin dikontrandikasikan untuk wanita hamil
trimester pertama karena memiliki efek teratogenik dan selama trimester ketiga karena akan
meningkatkan risiko perdarahan selama persalinan.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 241


Agen trombolitik
Streptokinase, urokinase dan tissue plasminogen activating factor biasanya akan menghancurkan
pembekuan darah baru (<1 minggu) dan dapat mengembalikan patensi dari vena yang tersumbat.
Agen trombolitik tidak rutin digunakan tetapi dapat diindikasikan untuk kasus DVT proksimal
yang masif serta dapat dipertimbangkan pada kasus DVT akut vena iliocaval. Selain itu, pemberian
agen trombolitik dapat dipertimbangkan pada pasien usia muda dengan trombosis proksimal yang
masif dan risiko gangguan permanen.

Vena cava filters


Vena cava filters diindikasikan untuk mencegah emboli paru pada kasus tromboemboli vena yang
memiliki kontraindikasi pemberian antikoagulan, terapi antikoagulan yang gagal, VTE selama
kehamilan, profilaksis preoperatif, operasi beriatrik, multitrauma, operasi saraf, operasi ortopedik
dengan riwayat DVT <1 bulan sebelumnya.1

Pada ACCP Guidelines DVT and PE tahun 2012 mengeluarkan pedoman tatalaksana untuk DVT
sebagai berikut:

- DVT distal tungkai bawah


- Gejala berat : berikan antikoagulan. Durasi pemberian tatalaksana selama 3 bulan.
- Gejala ringan sampai sedang atau tidak ada gejala (tidak ada risiko penyebaran sumbatan)
: tidak memerlukan antikoagulan, perlu dilakukan serial USG Doppler selama 2 minggu
untuk memastikan tidak adanya penyebaran DVT, bila ada maka perlu diberikan terapi
antikoagulan selama 3 bulan.
- Risiko penyebaran sumbatan : D-dimer positif, DVT yag luas atau dekat dengan vena
proksimal, tidak terdapat faktor pemicu DVT yang reversibel, kanker aktif, riwayat
sumbatan pembuluh darah sebelumnya dan status rawat inap.
- DVT proksimal tungkai bawah
- Perlu ditatalaksana dengan pemberian antikoagulan
- Tidak disarankan untuk menggunakan agen trombolitik atau melakukan intervensi
trombektomi
- Dapat rawat jalan, bila memungkinkan
- Durasi penggunaan antikoagulan:
- DVT akibat tindakan operasi : 3 bulan
- DVT akibat faktor risiko sedang (seperti pemberian terapi estrogen, perjalanan jauh,
imobilisasi akibat tirah baring) : 3 bulan
- Idiopatik : pemberian antikoagulan jangka panjang, perlu dilakukan evaluasi berkala.
- Compression Stockings
- Dapat digunakan selama minimal 2 tahun untuk mencegah atau meminimalisir kejadian
postthrombotic syndrome.
- Bila pada 2 tahun gejala postthrombotic syndrome muncul seperti bengkak dan nyeri
maka penggunaan stocking dapat dilanjutkan untuk meredakan gejala.

242 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Chronic venous insuffieciency (CVI)
Chronic venous insuffiiency (CVI) didefinisikan sebagai stadium dekompensasi dari sirkulasi vena
pada ekstremitas bawah dengan gejala dan tanda yang timbul karena hipertensi vena akibat hasil
dari abnormalitas struktur atau fungsi dari vena. Abnormalitas ini dapat berupa refluks (90%)
dan/atau obstruksi (10%) vena superfisialis atau vena dalam. Manifestasi klinis CVI antara lain
hiperpigmentasi, venous eczema, lipodermatosklerosis atrophie blanche dan ulkus.7,12

Chronic venous insuffiiency (CVI) adalah penyebab penting pada ketidaknyamanan serta disabilitas
dan persentase kejadiannya cukup signifikan pada populasi seluruh dunia. Di Amerika Serikat
CVI menjadi masalah kesehatan yang signifikan, menyerang sekitar 2-5% dari seluruh populasi
Amerika. Prevalensi CVI meningkat dengan bertambahnya usia dengan puncak insidensinya
terjadi pada wanita usia 40-49 tahun dan 70-79 tahun pada laki-laki.7 Kejadian CVI lebih sering
pada wanita dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 3:1.7

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian CVI antara lain hereditas, trauma lokal, trombosis
dan defek intrinsik pada vena atau katup vena.1 Sumber lain menyatakan bahwa faktor risiko lain
yang berhubungan dengan kejadian CVI adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan varises
vena, obesitas, kehamilan, phlebitis dan riwayat trauma tungkai bawah. Adapula faktor lingkungan dan
kebiasaan seperti berdiri atau posisi duduk dalam jangka waktu yang lama.1,7 San Diego Population Study
(SDPS) telah melakukan studi mengenai faktor risiko apa saja yang berpotensi untuk menyebabkan
timbulnya penyakit vena dan menyebutkan bahwa usia, riwayat keluarga, penemuan yang sugestif
laksitas ligamentum (seperti operasi hernia, flat feet), obesitas, aktivitas fisik, merokok, posisi berdiri
atau duduk dalam jangka waktu yang lama mempengaruhi kejadian penyakit vena.7

Chronic venous insuffiiency (CVI) terjadi setelah periode waktu yang lama (15-20 tahun) pada vena
hidrostatik dan sangat cepat pada sindrom pasca flebitis (1-2 tahun). Keluhan utama pada pasien
CVI adalah kaki berat, gatal, nyeri, sensasi terbakar, restless leg syndrome dan nyeri pada posisi
ortostatik.36,7 Selain itu disebutkan di kepustakaan lain karakteristik klinis mayor pada CVI adalah
pelebaran vena, edema, nyeri tungkai bawah dan perubahan kulit pada tungkai bawah. Varises
vena merupakan vena superfisialis yang semakin melebar dan berkelok-kelok (tortuous). Edema
tungkai biasanya bermula dari daerah perimalleolar dan bergerak secara asenden akibat akumulasi
cairan. Ketidaknyamanan pada tungkai biasanya dideskripsikan sebagai rasa berat atau nyeri yang
timbul setelah berdiri yang terlalu lama dan mereda dengan elevasi tungkai. Rasa nyeri ini dapat
disebabkan oleh peningkatan volume intrakompartemen dan subkutaneus serta peningkatan
tekanan. Distensi vena pada CVI dapat menimbulkan gejala nyeri sepanjang vena yang terkena
dan obstruksi pada sistem vena dalam dapat menyebabkan klaudikasio vena. Perubahan kulit yang
dapat terjadi pada CVI antara lain hiperpigmentasi karena penumpukkan hemosiderin, dermatitis
eczematous, lipodermatosklerosis akibat proses fibrotik pada lapisan dermis dan lemak subutan,
selulitis, ulserasi tungkai bawah dan penyembuhan luka yang lama.7

Manifestasi CVI dapat dilihat pada skema klasifikasi klinis. Skema klasifikasi CEAP (clinical, etiologic,
anatomic, pathophysiologic) menjabarkan gejala dan tanda CVi serta derajat keparahannya. 7,25
Klasifikasi ini ada 7 kategori (0-6) dan dibagi lagi berdasarkan ada atau tidaknya gejala. Etiologi
diklasifikasikan menjadi penyebab disfungsi vena akibat penyebab kongenital seperti sindrom
Klippel-Trenaunay dan Parkes Weber, penyebab primer yang tidak diketahui dan penyebab
sekunder. Klasifikasi anatomi dibagi berdasarkan sistem vena yang terkena yaitu superfisialis,
dalam dan perforata. Terakhir pembagian patofiologinya menggambarkan mekanisme dasar yang
menyebabkan CVI yaitu refluks, obstruksi vena atau keduanya.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 243


Tabel 7. 12 Klasifikasi penyakit vena kronis 25

Untuk melengkapi skema klasifikasi CEAP dan untuk mengetahui lebih jauh mengenai derajat
keparahan CVI maka dikembangkan venous clinical severity score. Venous clinical severity score
terdiri dari 10 atribut dengan 4 derajat keparahan (tidak ada, ringan, sedang dan berat).7

244 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 7. 13 Derajat keparahan CVI7

Pada pemeriksan lokalis pada tungkai bawah dapat diamati antara lain:36,37 Dilatasi vena varikose
sebagai corona phlebectatica atau vena yang timbul atau dapat ditemukan caput medusa pada
obstruksi vena iliaka dan vena femoralis.

- Edema yang persisten saat istirahat dan diperparah dengan posisi ortostatik
- Dermatitis yang biasanya terjadi pada1/3 distal betis. Kulit tampak mengkilap, merah, hangat
pada perabaan dan seringkali nyeri saat disentuh.
- Eczema berbentuk polisiklik, garis yang tiak khas dengan karakter eksudatif
- Pigmentasi coklat akibat deposit hemosiderin
- Atrofi putih pada kulit .

Dalam pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan posisi berdiri untuk dapat melihat ditensi
vena maksimal. Inspeksi dan palpasi dapat menunjukkan bukti adanya penyakit vena Pada kulit
perlu diperiksakan adanya pelebaran vena superfisialis yang abnormal seperti telangiektasis, vena
retikular atau varises vena. Selain itu nilai apakah ada penonjolan atau permukaan yang ireguler
pada permukaan kulit untuk mencari adanya pelebaran vena yang berkelok-kelok. Kelainan kulit
yang dapat ditemukan saat inspeksi adalah hiperpigmentasi, dermatitis stasis, atrophie blanche atau
lipodermatosklerosis. Kelainan seperti edema tungkai juga dinilai. Pada CVI biasanya ditemukan
edema pitting. Nyeri dapat ditemukan sepanjang jalur pelebaran vena saat palpasi.

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik. Akurasi pemeriksaan fisik dapat
ditingkatkan dengan bantuan alat Doppler, sehingga pemeriksa dapat mendengarkan aliran
darah. Namun, pemeriksaan paling akurat dan rinci adalah dengan venous duplex ultrasound yang
dapat memberikan gambaran vena, sehingga dapat ditemukan hambatan akibat bekuan darah
atau gangguan fungsi vena. Alat diagnostik lain yang dapat digunakan adalah air plestimography,
pencitraan dengan CT atau MRI dan modalitas lain yang lebih invasif seperti contrast venography,
intravscular ultrasound dan ambulatory venous pressure.7 Hipertensi vena pada saat posisi berdiri
atau selama ambulasi (pergerakan) merupakan penyebab kerusakan pada CVI sehingga langkah
pertama tatalaksana CVI adaah untuk menurunkan ambulatory venous pressure. Terapi kompresi
adalah tatalaksana utama untuk CVI. Terapi ini merupakan terapi konservatif untuk mengurangi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 245


gejala dan membantu mencegah komplikasi sekunder serta progresivitas penyakit. Terapi
konservatif lain yang dapat diberikan adalah elevasi tungkai untuk mengurangi edema dan tekanan
intrabdominal serta mengurangi gejala sementara, olahraga rutin seperti berjalan, pemberian
obat anti-inflamasi dengan stocking untuk pengobatan thromboflebitis superfisial serta menjaga
kelembaban kulit untuk mengurangi risiko kerusakan dan infeksi kulit karena pada CVI integritas
kulit terganggu 20%.36,37

Tatalaksana rehabilitasi penyakit vena perifer


- Terapi kompresi
Terapi kompresi merupakan tatalaksana yang sering digunakan pada rehabilitasi insufisiensi
vena pada ekstremitas bawah. Cara ini berfungsi seperti mekanisme pompa otot rangka untuk
mencegah kembalinya aliran darah vena, edema kaki dan bocornya bahan fibrin sehingga
mencegah pembesaran vena lebih lanjut namun tidak mengembalikan ukuran vena seperti
semula. Beberapa contoh terapi kompresi adalah elastic bandage, stocking dan pneumatic
compression.
Stocking kompresi digunakan untuk mencegah sindrom posttrombotik pada DVT proksimal
dan digunakan selama 1 tahun. Penggunaan stocking ini dapat membantu aliran darah balik
vena (venous return) dengan mengkompresi tungkai bawah dan meningkatkan ketegangan
interstisial. Kompresi vena yang melebar meningkatkan kerja calf pump mechanicm. Pada kasus
DVT tanpa riwayat gagal jantung kongestif atau obstruksi vena, maka volume ekstremitas
bawah dapat distabilisasi dengan menggunakan intermittent pneumatic compression pump (40
sampa 50 mmHg). Compression wraps perlu digunakan disela sesi pemompaan. Setelah volume
sudah terstabilisasi maka pasien dapat diukur ukuran stocking. Biasanya diresepkan stocking
kompresi sepanjang dengkul dengan tekanan 30 sampai 40 mmHg.1

- Compression stocking (CS)


Compression stocking sering digunakan dalam terapi fisik pada kondisi insufisiensi vena pada
ekstremitas bawah seperti deep vein thrombosis, CVI dan postthrombotic syndrome. Mekanisme
kerja dari CS diperlhatkan pada gambar berikut :

Gambar 7. 17 Mekanisme kerja compression stockings38

246 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Stocking bekerja dengan memberikan kompresi yang cukup besar pada area pergelangan kaki,
dengan tingkat kompresi yang semakin menurun secara gradual pada bagian atas. Gradien
tekanan ini memastikan aliran darah berjalan menuju jantung dan tidak refluks kearah distal
kaki atau lateral ke vena superfisialis. Aplikasi kompresi yang adekuat akan mengurangi
diameter vena mayor yang akan meningkatkan kecepatan dan volume aliran darah. Kompresi
gradual ini dapat memperbaiki hipertensi vena, meningkatkan efek pompa otot, memfasilitasi
aliran darah balik vena dan meningkatkan drainase limfatik. Hal ini akan memicu efek biokimia
dan fisiologis yang melibatkan sistem limfatik, arterial dan vena meskipun mekanisme belum
diketahui secara pasti.
Secara umum, kekuatan kompresi dibagi menjadi rendah, medium dan tinggi. Kompresi rendah
merujuk pada tekanan < 20 mmHg atau kelas 1, kompresi menengah tekanan dari 20-30
mmHg atau kelas 2 dan kompresi tinggi >30 mmHg atau kelas 3 atau lebih tinggi. Tekanan
keseluruhan dipengaruhi oleh faktor lain seperti elastisitas dan kekakuan bahan stocking,
ukuran dan bentuk tungkai penderita serta gerakan dan kegiatan penderita.
Berikut adalah kontraindikasi stocking:

Gambar 7. 18 Kontraindikasi Stocking38

- Elevasi tungkai
Bila elevasi digunakan untuk mengontrol edema maka ekstremitas dielevasi diatas jantung.
Elevasi tungkai dilakukan sebisa mungkin dan disarankan untuk menghindari kegiatan dengan
posisi berdiri atau duduk yang terlalu lama.Pasien sebaiknya berbaring atau duduk reclining
dengan elevasi tungkai kaki yang sesuai. Duasi dan frekuensi elevasi disesuaikan dengan
derajat keparahan penyakit.1
- Latihan otot betis
Latihan yang melibatkan otot tungkai bawah seperti berjalan, bersepeda atau berenang dapat
merangsang tonus otot tungkai bawah dan meningkatkan venous return.1

Rehabilitasi Kardiovaskuler 247


Daftar Pustaka

1. DeLisa JA and Frontera WR. DeLisa’s Physical Medicine and Rehabilitation. 5th edition.
Philadelphia: Lippincot Wlliams and Wilkins, 2010.
2. Krishna SM,   Moxon JV and  Golledge J. A Review of the Pathophysiology and Potential
Biomarkers for Peripheral Artery Disease. Int J Mol Sci. 2015;16:11294-322.
3. Cushman M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol 2007.
44(2): 62-69.
4. Patel K and Brenner BE, Editor. Deep Venous Thrombosis. New York: Medscape. 2016.
5. Center for Disease Control and Prevention. Venous Thromboembolism. USA: U.S. Department
of Health & Human Services. 2015.
6. Cetin C,  Serbest MO, Ercan S, et al. An Evaluation of the Lower Extremity Muscle Strength of
Patients with Chronic Venous Insufficiency. Phlebology. 2016. 31(3):203-208.
7. Eberhardt RT and Reffetto JD. Chronic Venous Insufficiency. Circulation. 2014. 130(4):333-
346.
8. Martini FH,   Nath  JL and  Bartholomew EF. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9th
edition. San Fransisco: Pearson. 2012.
9. Tortora GJ and Derrickson BA. Principles of Anatomy and Physiology. 14th edition. USA: Wiley.
2014.
10. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. New York : Cengage Learning. 7th
edition. 2010
11. Bickley LS. Toraks dan paru dalam Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.
Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2003.
12. Macloed , Graham G, Nicol F, et al. Macloeds Clinical Examination 11th ed. USA : Elsevier.
2005.
13. Bayat I and Rowe VL, Editor. Subclavian Steal Syndrome. New York: Medscape. 2015.
14. Potter BJ and Pinto DS. Clinical update Subclavian Steal Syndrome. Circulation AHA. 2016
15. Sertiati S, Nafrialdi, Alwi I, et al. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta :
PAPDI. 2005
16. Hirsch AT, Misra S, Sidawy AN, et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
with Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric and Abdominal Aortic):
Executive Summary. Circulation. 2005.
17. Rooke TW,   Hirsch AT,  Misra S,  et al. ACCF/AHA Focused Update of the Guideline for the
Management of Patients with Peripheral Artery Disease (Updating the 2005 Guideline).
Circulation. 2011.
18. Norgren L,  Hiatt WR, Dormandy JA, et al. Inter-society Consensus for the Management of the
Peripheral Arterial Disease (TASC II). Eur J Vasc Endovasc Surg. 2007; 33: S1-S70.
19. Hernando FJ and Conejero AM. Peripheral Artery Disease: Pathophysiology, Diagnosis and
Treatment. Rev Esp Cardiol. 2007; 60(9):969-82.
20. Arain FA and Cooper LT. Peripheral Arterial Disease: Diagnosis and Management. Mayo Clin
Proc. 2008;83(8):944-50.
21. Hamburg NM and Balady GJ. Exercise Rehabilitation in Peripheral Artery Disease: Functional

248 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Impact and Mechanisms of Benefits. Circluation. 2011;123:87-97.
22. Thompson PD. Exercise Training for Patients with Peripeheral Artery Disease. In Exercise and
Sports Cardiology. USA: McGraw-Hill International Edition. 2001.
23. McDermot MM, Guralnik JM, Criqui MH, et al. Home-based Walking Exercise Intervention in
Peripheral Artery Disease: a Randomized Clinical Trial. JAMA 2013;310(1):57-65.
24. Watson L,   Ellis B and Leng GC. Exercise for Intermittent Claudication. London: Cochrane
Database Syst Rev 2008;8 (4).
25. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012
26. Wilbur J and Shian B. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Embolism.
American Association of Family Physician. 2012. 86(10):913-919.
27. Cifu DX. Braddom’s Physical Medicine and Rehabilitation. 5th edition. Philadelphia: Elsevier.
2016.
28. Thompson AE. Deep Vein Thrmbosis. JAMA. 2015. 313(20): 2090
29. Anna C and Zakynthinos S. The Effectiveness of Early Mobilization in Hospitalized Patients
with Deep Venous Thrombosis. Hospital Chronicles. 2014: 9(1).
30. JCS Joint Working Group. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Pulmonary
Thromboembolism and Deep Vein Thrombosis (JCS 2009). Circ 30J. 2011; 75(5):1258-1281
31. Sukriyanti, L. Trombosis Vena Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 6. Interna Publishing:
Jakarta. 2014
32. Kearon C. Antithrombotic Therapy for VTE Disease Antithrombotic Therapy and Prevention of
Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice
Guidelines. Chest. 2012;14(2):419
33. Rydberg EJ, Westfall JM and Nicholas RA. Low molecular weight heparin in preventing and
treating DVT. AAFP 1999; 59(6):1607-1612.
34. Merli GJ and Groce JB. Pharmacological and Clinical Differences between Low Molecular
Weight Heparin Implications for Prescribing Practice and Therapeutic Interchange.PMC.
2010;35(2): 95-105.
35. Kahn SR,  Shrier I, Shapiro S, et al.  Six Months Exercise Training Program to Treat Post
Thrombotic Syndrome: Randomized Controlled Two-centre Trial. CMAJ. 2011;183(2):226.
36. Kartika RW. Gangguan Vena Menahun 2015.CDK.2015;24(1):36-41
37. Schneinder FA, Siska IR and Avram JA. Clinical physiology of the venous system. Boston:
Kluwer Academic Publishers. 2003.
38. Lim CS and Davies A. Graduated Compression Stockings. CMAJ. 2014;186(10):391-398
39. Blatter W and Partsch H. Leg Compression and Ambulation is Better than Bed Rest for the
Treatment of Acute Deep Venous Thrombosis. International Angiology. 2003; 22(4):393-400.
40. Prandoni P,   Lensing AW,  Prins MH,  et al. Below-knee Elastic Compression Stockings to
Prevent the Post Thrombotic Syndrome: A Randomized Controlled Trial. Ann Intern Med. 2004
Aug 17. 141(4):249-56.
41. Owayed AS, AlHamdan N,  Al-hothaly B,  et al. Chronic Venous Insufficiency : prevalence
and effect of compression stockings. International Journal of Health Science (Qassim).
2014;8(3):231-236

Rehabilitasi Kardiovaskuler 249


42. Kahn SR,  Shrier I and Kearon C. Physical Activity in Patients with Deep Venous Thrombosis: A
Systematic Review. CMAJ.2008;122(6):763-773
43. Kahn SR,  Azoulay L, Hirsch A, et al. Acute Effects of Exercise in Patients with Previous Deep
Venous Thrombosis: Impact of the Postthrombotic Syndrome. Chest. 2003;123(2):399-405.
44. Manganaro A,  Ando G, Lembo D, et al. A Retrospective Analysis of Hospitalized Patients with
Documented Deep Venous Thrombosis and Their Risk of Pulmonary Embolism. Angiology
2008; 59:599-604.
45. Wang JS and Liao CH. Moderate-intensity Exercise Suppresses Platelet Activation and
Polymorphonuclear Leukocyte Interaction with Surface Adherent Platelets under Shear Flow
in Man. Thromb Haemost 2004; 91:416-419.
46. Labas P,  Ohrádka B, Vladimír J et al. The Home Treatment of Deep Vein Thrombosis with Low
Molecular Weight Heparin, Forced Mobilization and Compression. Int Angiol 2000;19:303-
307.
47. Padberg. Structured Exercise Improves Calf Muscle Pump Function in Chronic Venous
Insufficiency: A Randomized Trial. 2004.
48. Davies J, Bull R, Farrelly I et al. Improving the Calf Pump Using Home-based Exercise for
Patients with Chronic Venous Disease. Clinical Rev Wounds UK. 2008. 4(3).

250 Rehabilitasi Kardiovaskuler


BAB 8
Edukasi dan
Konseling pada
Rehabilitasi Jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 251


Pendahuluan
Secara umum edukasi dan konseling pada pasien dengan gangguan kardiovaskular dapat
dinilai sebagai kumpulan aktivitas program kesehatan yang terorganisir untuk mencapai tujuan
yangdiharapkan denganaktivitas beragam dari yang sederhana sampai yang kompleks.1

Dahulu komponen edukasi dan konseling program rehabilitasi jantung belum disusun secara
terstruktur dan hanya berdasarkan filosofi atau pengalaman dokter. Upaya edukasi dan konseling
juga hanya sebagai tambahan dari program latihan. Namun sekarang edukasi dan konseling
dinilai sama pentingnya dengan latihan. Studi terbaru mendukung edukasi pada pasien yang
menjalani rehabilitasi jantung dimulai sejak pasien dirawat inap dengan memberikan pengetahuan
dan mengurangi kecemasan (ansietas) serta depresi, meningkatkan kepatuhan latihan saat akan
pulangdari rumah sakit dan mengurangi ketakutan pasien untuk beraktivitas.Selanjutnya pada
periode rawat jalan edukasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan pasien terhadap pemahaman
akan pentingnya program rehabilitasi jantung untuk mengurangi derajat disabilitas pada pasien
jantung koroner. Organisasi profesional seperti AACPR (American Association of Cardiovascular and
Purlmonary Rehabilitation) merekomendasikan komponen edukasi dan konseling disamping latihan
fisik pada guidelines rehabilitasi jantung.1

Banyak studi telah membuktikan manfaat manajemen faktor risiko yang komprehensif pada pasien
jantung. Manfaat yang didapat dari manajemen faktor risiko antara lain:2

- Menghambat perkembangan lesi aterosklerosis


- Mengupayakan stabilisasi plak dan mencegah ruptur plak
- Mengurangi risiko reinfark
- Mengurangi risiko kematian
- Mengurangi kebutuhan prosedur intervensional seperti CABG dan PTCA
- Meningkatkan kolateralisasi pembuluh darah koroner
- Mengurangi angka hospitalisasi
- Meningkatkan kemampuan Activity of Daily Living (ADL)
- Meningkatkan kualitas hidup

Walaupun memiliki manfaat yang potensial, hanya sepertiga pasien jantung koroner yang
mengimplementasikannya kedalam perubahan gaya hidup, hal ini disebabkan karena sistem
rujukan yang masih rendah atau keputusan terhadap program yang tidak komprehensif.2

Prinsip edukasi pada rehabilitasi jantung


- Mengerti pentingnya edukasi sebagai bagian rehabilitasi jantung serta proses pembelajaran
yang merupakan sebuah proses sehingga untuk mengerti pentingnya edukasi dalam mencapai
perubahan secara individual, pasien perlu terlibat aktif pada program rehabilitasi jantung.
Pemahaman pentingnya edukasi tidak hanya ditanamkan kepada pasien, tetapi juga pada
keluarganya agar selain terjadi perubahan perilaku dan kebiasaan hidup, keluarga juga dapat
mendukung berjalannya program rehabilitasi jantung.1

252 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Mengerti prinsip edukasi pada orang dewasa
Orang dewasa berbeda dengan anak-anak dalam proses belajar, karena orang dewasa
lebih berpengalaman, memiliki pengetahuan yang luas dan terbiasa memiliki kontrol pada
lingkungannya sehingga tim perlu mengetahui prinsip edukasi pada kelompok orang dewasa.1
- Pasien harus dalam keadaan stabil secara fisik dan emosional, memiliki cukup energi dan
mengerti masalah yang akan disampaikan
- Orang dewasa hanya dapat belajar jika mereka siap untuk belajar
- Orang dewasa cenderung menyukai pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam proses
edukasi
- Orang dewasa menggunakan pengalamannya sebagai sumber pembelajaran
- Orang dewasa belajar melalui pemecahan masalah dan akan mengerti hal yang terbaik
selama prosesnya.1,2
- Mengenali kesiapan untuk pembelajaran
Kesiapan untuk belajar didefinisikan sebagai keinginan dan kemampuan untuk belajar,
sedangkan kemampuan untuk belajar berkorelasi dengan kondisi fisik danberhubungan dengan
status psikologis pasien. Edukasi yang tidak efektif dapat terjadi pada pasien yang tidak siap
untuk melakukan proses belajar. 1

Tabel 8. 1 Check list penilaian kesiapan untuk pembelajaran1

Kemampuan Fisik Kesiapan Psikologi

- Kondisi fisik stabil (bebas nyeri dan komplikasi) - Status emosional yang sesuai (tidak terlalu cemas
- Energi yang adekuat (tidak terlalu kelelahan atau depresi)
dan mengantuk) - Menyadari masalah utama (tidak dalam penyangkalan)

Kemampuan konseling dasar


Kemampuan konseling merupakan inti dari semua intervensi perilaku karena dengan komunikasi
interpersonal yang dibangunoleh profesional dapat menciptakan hubungan dan rasa empati
dengan pasien.2

Hal yang perlu diperhatikan antara lain:

- Komunikasi non verbal


Komunikasi nonverbal meliputi gerakan tubuh, kontak mata, nada bicara, volume suara, ekspresi
wajah, posisi tubuh, jarak saat berbicara, sentuhan dan pengaturan ruangan. Tim rehabilitasi
jantung harus menyadari jika terdapat perbedaan antara komunkasi verbal dan nonverbal
yang disampaikan pasien, sebagai contoh pasien mengatakan bahwa dia baik-bak saja tetapi
dengan wajah dan nada bicara sedih. Kontak mata dapat menentukan apakah pasien tertarik
mendengarkan atau tidak. Pengaturan ruangan juga perlu diperhatikan, jika komunikasi hanya
pada perseorangan ruangan yang kecil dan duduk secara diagonal merupakan posisi yang
terbaik, tetapi pada komunikasi pada sesi grup sebaiknya dilakukan dalam posisi melingkar.2
- Menjadi pendengar aktif

Rehabilitasi Kardiovaskuler 253


Tim rehabilitasi dapat merasakan empati dan keinginan untuk mengerti dengan menjadi
pendengar yang aktif. Menjadi pendengar aktif juga perlu memberi respon seperti merangkum,
merefleksi, mengklarifikasi dan mengkonfrontasi. Respon yang diberikan ini penting agar
pasien merasa ia didengar.2

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mencapai program edukasi dan modifikasi
perilaku yang optimal antara lain:2,3

- Sumberdaya perlu disiapkan untuk edukasi seluruh faktor risikomodifiable


- Rencana modifikasi faktor risiko harus menggunakanpanduan praktek klinis
- Bermacam-macam strategi dan material perlu disesuaikan dengan individu tergantung dari
kultur dan kepercayaan pasien.
- Kemandirian pasien perlu dipertahankan
- Harus dilakukan fasilitasi fase transisi agar pasien dapat mandiri secara penuh setelah keluar
dari rumah sakit.
- Rencana pembelajaran dan dokumentasi perkembangan pasien perlu dicatat.
- Penghentian merokok harus dilakukan segera.
- Semua faktor risiko, perkembangan penyakit, manajemen kegawatdaruratan jantung,
pemeliharaan kesehatan psikososial, adaptasi terhadap keterbatasan perlu disampaikan
sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
- Rencana kembali bekerja perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

Membangun semangat kemandirian pasien


Program prevensi sekunder yang komprehensif biasanya akan memberikan sesi edukasi dan
konseling agar pasien mampu membangun semangat kemandirian. Kemandirian perlu dibina
dengan cara edukasi dan menyemangati pasien untuk mengembangkan upaya pasien untuk belajar
mandiri, motivasi mandiri dan untuk mendapat dukungan sosial. Strategi yang dapat digunakan
antara lain media audio, buku, majalah kesehatan, internet atau mendatangkan guru yang dapat
memimpin kelompok pendukung. Salah satu cara membina kemandirian pasien di fase transisi
setelah pasien pulang adalah dengan follow up keadaan pasien menggunakan telepon dengan
interval tertentu. Tujuan telepon untuk memberikan suport tambahan dan memastikan pasien
tetap melaksanakan program secara mandiri. 3

Prinsip modifikasi perilaku


Karena perubahan perilaku penting untuk memodifikasi faktor risiko jantung, sehingga prinsip ini
harus diterapkan pada intervensi rehabilitasi jantung. Prinsip tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:3

- Penentuan target
Tim harus menentukan target yang spesifik dan realistik baik untuk jangka pendekmaupun
panjang. Penting untuk pasien dapat mencapai target jangka pendek, agar pasien dapat
merasakan keberhasilan pencapaian dan mengurangi risiko ketidaknyamanan. Jika pasien
gagal mencapai target, pertimbangkan untuk mengatur ulang target.

254 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Persetujuan dan kontrak
Kontrak tertulis antara pasien dan tim, keluarga mengenai target latihan dapat meningkatkan
komitmen pasien, begitu pula sebaliknya.
- Umpan balik
Pasien memerlukan umpan balik dari kemajuan yang dialami untuk mempertahankan motivasi
serta melanjutkan kebiasaan tersebut. Pemeriksaan rutin terjadwal seperti lipid, tekanan
darah, berat badan, asupan makanan dan lain-lain penting dilakukan. Untuk memudahkan
penyampaian informasi mengenai perkembangan mereka seiring waktu maka perlu dibuatkan
grafik untuk memudahkan evaluasi.
- Pemantauan secara mandiri
Pasien perlu diajarkan cara memonitor kebiasaan mereka secara tertulis, catatan tersebut
tidak hanya berguna sebagai penyemangat tetapi juga mengukur keterikatan pasien.
- Pengingat (reminder)
Pada pasien yang belum terbiasa dengan kebiasaan baru, catatan sebagai pengingat dan
penyemangat dapat membantu. Catatan dapat diletakan di kulkas, kalender atau mereka
dapat mendapat telepon dari tim, keluarga atau teman.
- Hadiah
Ketika pasien mencapai target yang ditetapkan, pasien sebaiknya diberi hadiah. Hadiah
haruslah sehat dan tidak harus mahal. Hadiah seperti pujian, menonton film, atau buku,
hadiah yang tidak sesuai pada pasien antara lain, es krim dan rokok.
- Dukungan sosial
Dukungan sosial dari tim, keluarga, teman merupakan komponen penting dalam proses
perubahan perilaku dan kebiasaan. Tim dapat melibatkan keluarga dan teman atau secara
langung menggunakan telepon atau email.

Intervensi edukasi rawat inap


Prioritas utama pada fase rawat inap adalah mencapai kebutuhan utama dari pasien dan
keluarganya. Dengan edukasi faktor risiko diharapkan pemberhentian merokok harus dilakukan
sesegera mungkin, sedangkan faktor risiko lain dapat dimodifikasi setelah pasien berhenti
merokok. Merokok merupakanpengecualian karena dampaknya yang besar terhadap penyakit
kardiovaskular dan sesuai penelitian dimana pemberhentian merokok saat di dalam rumah sakit
memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dibanding setelah lepas dari rumah sakit.3

Intervensi edukasi rawat jalan


Intervensi edukasi bertujuan:

- Menurunkan faktor risiko penyakit jantung melalui diet rendah lemak, pengaturan tekanan
darah, manajemen lemak (lipid), pemberhentian merokok, manajemen diabetes, manajemen
latihan dan stres.
- Pengendalian kegawatdaruratan jantung seperti angina, kemungkinan infark miokardial atau
tidak nyaman saat latihan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 255


- Pemahaman mengenai perkembangan penyakit (aterosklerois, tekanan darah tinggi dan
diabetes)
- Mempertahankan kesehatan psikososial (seperti fungsi seksual, hubungan sosial, depresi dan
tingkat emosional)
- Adaptasi terhadap keterbatasan yang ditimbulkan oleh perkembangan penyakit (perubahan
peran dalam keluarga, pekerjaan, hobi dan aktivitas rekreasional)

Edukasi dan modifikasi perilaku dapat dilakukan perseorangan maupun berkelompok, atau dengan
pengawasan dan follow up menggunakan telepon, tergantung dari kebutuhan dan keinginan pasien.
Berdasarkan studi kontrol menunjukkan penggunaan sarana buku, audio, video dan komputer
merupakan media yang efektif untuk pembelajaran pasien.3

Edukasi pasien tentang bahaya merokok sebagai faktor risiko mayor terjadinya penyakit jantung
koroner. Risiko rekurensi dari serangan jantung dapat berkurang hingga 50% dalam satu tahun
pertama setelah pemberhentian merokok. Menyediakan bimbingan, edukasi dan dukungan
pada setiap pasien untuk menghindari merokok, kelas pemberhentian merokok seperti ini perlu
dianjurkan pada setiap pasien dengan miokard infark.4,5,6,7

Diet memegang peranan penting dalam perkembangan penyakit jantung koroner, oleh karena
itu sebelum dipulangkan pasien pasca infark miokard perlu dievaluasi oleh ahli gizi. Pasien perlu
diinformasikan tentang keuntungan dari diet rendah kolesterol, rendah lemak dan rendah garam.
Program rehabilitasi jantung setelah pasien pulang dapat meningkatkan intensitas edukasi dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.4,5,6,7

Edukasi pasien rawat jalan harus menekankan pada:

- Kontrol rutin ke dokter yang merawat


- Mengkuti anjuran pengobatan
- Melaksanakan program pemulihan rehabilitasi jantung
- Segera ke IGD jika terjadi perubahan gejala ke arah perburukan

Edukasi terhadap faktor risiko penyakit jantung


Semua pasien perlu dinilai faktor risiko yang dapat dimodifikasi termasuk merokok, hipertensi,
profil lipid abnormal, nutrisi, psikososial dan kurang aktivitas fisik. Beberapa penelitian baru-
baru ini menunjukkan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan kejadian klinis secara
signifikan dibandingkan dengan perubahan yang relatif kecil pada plak aterosklerosis dan diameter
arteri.3

Mengenali profil risiko penyakit jantung sebagai berikut:

- Identifikasi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dan status menopause jika perempuan
- Penggunaan produk tembakau
- Riwayat dan tingkat kontrol hipertensi

256 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Riwayat dan tingkat kontrol dislipidemia termasuk profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL dan
trigliserida)
- Komposisi tubuh (berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio
pinggang-pinggul, kegemukan tubuh relatif)
- Riwayat diabetes melitus dan glukosa darah puasa atau hemoglobin A1c (HbA1c)
- Status aktivitas fisik termasuk kapasitas latihan
- Riwayat psikososial termasuk bukti depresi
- Tingkat kemarahan dan permusuhan3

Penilaian risiko untuk perkembangan sindrom koroner akut harus bertujuan untuk membantu
membangun ketersinambungan dalam pencegahan sekunder dan menetapkan tingkat masing-
masing faktor risiko merupakan langkah awal dalam proses pencegahan. 3

Menurut European Society of Cardiology pada Secondary Prevention Through Cardiac Rehabilitation
terdapat komponen inti dari program pencegahan sekunder pada rehabilitasi jantung antara lain
penilaian baseline pasien, konseling aktivitas fisik dan latihan, konseling nutrisi, manejemen faktor
risiko seperti lipid, hipertensi, berat badan, diabtetes serta merokok, manejemen psikososial dan
konseling pekerjaan.8

Penilaian dan intervensi pada faktor risiko penyakit jantung

Merokok
Di Amerika Serikat kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang paling mudah dicegah dan
dapat mengurangi kematian dan disabilitas secara signifikan. Merokok berhubungan dengan
meningkatnya kejadian infark miokard, kematian mendadak, restenosis pasca angioplasti koroner.
Nikotin pada rokok menyebabkan pelepasan katekolamin, meningkatkan detak jantung dan
tekanan darah yang menyebabkan meningkatkan beban kerja jantung. Nikotin juga meningkatkan
aktivasi trombosit dan mengganggu profil lipid seperti mengurangi kadar HDL dan meningkatkan
oksidasi dari LDL yang dipercaya sebagai penyebab aterogenesis.

Merokok secara negatif mempengaruhi fungsi endotel, mengurangi HDL dan meningkatkan
oksidasi LDL. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan lipid secara agresif mampu
meningkatkan fungsi endotel relatif cepat, meskipun asupan makanan tinggi lemak dapat merusak
fungsi endotel secara akut. Pada primata stres psikososial telah ditunjukkan untuk dihubungkan
dengan gangguan respon vasomotor disamping pola atau tingkat lemak darah. 3,11,13,15,16,17 Terdapat
bukti bahwa beberapa risiko penurunan faktor pada pasien dengan sindrom koroner akut dengan
cara meningkatkan fungsi endotel, menstabilisasi plak dan mengurangi risiko kejadian klinis yang
relatif cepat. 11,15,16,17

Karbonmonoksida yang terdapat dalam rokok dapat menyebabkan injuri pada endotel pembuluh
darah dan menganggu kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen, yang secara
langsung mengurangi jumlah oksigen ke miokard. 2

Penghentian merokok dapat mengurangi risiko reinfark sebesar 50% pada tahun pertama dan
menyerupai pasien yang tidak merokok pada tahun ke 10.2Selain itu, penghentian merokok dapat

Rehabilitasi Kardiovaskuler 257


menurunkan risiko kardiovaskular pada sepertiga dari pasien dengan penyakit kardiovaskular.9
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan gaya hidup sehat yang harus dilakukan sesegera
mungkin. Menurut Surgeon General’s report merokok dapat meningkatkan mortalitas penderita
penyakit jantung hingga 50% serta meningkatkan serangan ulangan penyakit infark jantung.
Merokok mempunyai efek negatif terhadap hasil CABG dan meningkatkan risiko restenosis pasca
angioplasti. Menghentikan kebiasaan merokok dapat menurunkan mortalitas 20 – 90% dalam 2-4
tahun pasca infark miokard. Kebiasaan merokok dapat dinilai dengan mudah serta tersedia obat
dan terapi perilaku sehingga upaya penghentian merokok dapat dengan mudah dilakukan. 3,11

Gambar 8. 1 Dampak negatif merokok

Gambar 8. 2 Dampak negatif merokok

Penilaian:

Setiap pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung harus diskrining apakah pasien
merupakan perokok atau memiliki riwayat merokok pada saat awal dirawat dirumah sakit.
Anamnesa tentang konsumsi atau penyalahgunaan alkohol juga perlu dicatat karena tingkat
konsumsi alkohol berhubungan dengan kemampuan untuk berhenti merokok.2 Penilaian pasien

258 Rehabilitasi Kardiovaskuler


harus dapat menentukan tingkat keinginan pasien untuk berhenti merokok dan tingkat kecanduan
yang dialami pasien, dengan penilaian yang baik tim rehabilitasi mampu menentukan intervensi
yang tepat untuk pasien. Selanjutnya pasien yang tidak memiliki motivasi dapat dilakukan interview
motivasional dan pasien yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dapat diberikan terapi
nicotine replacement (NRT). Tes yang sering digunakan untuk menilai ketergantung terhadap
nikotin adalah Fagerstrom Tolerance Test of Nicotine Dependence (FTND) 2

Tabel 8. 2 Fagerstrom Tolerance Test of Nicotine Dependence (FTND)10

Seberapa cepat anda merokok setelah bangun pagi ? Dalam 5 menit 3


5 – 30 menit 2
31 – 60 menit 1

Apakah anda merasa sulit untuk tidak merokok pada tempat yang Ya 1
dilarang merokok? Tidak 0

Waktu merokok yang sulit untuk anda hentikan? Pada pagi hari 1
Pada waktu lainnya 0

Berapa banyak batang rokok yang anda habiskan dalam sehari? <10 0
11 – 20 1
21 – 30 2
> 31 3

Apakah anda lebih sering merokok di pagi hari? Ya 1


Tidak 0

Apakah anda tetap merokok ketika anda sedang sakit? Ya 1


Tidak 0

Skor Total

Interpretasi : 1–2 = Ketergantungan ringan


3–4 = Ketergantungan ringan-sedang
5–7 = Ketergantungan sedang
> 8 = Ketergantungan berat

Adiksi yang kuat ditandai dengan 25 batang rokok setiap harinya, merokok 30 menit setelah
bangun atau merokok disaat waktu tidur.2

Beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan kepada pasien antara lain:

- Menurut Anda seberapa berat untuk tidak merokok selamadi rumah sakit?
1. Sangat mudah
2. Mudah
3. Sedang
4. Sulit
5. Sangat sulit

Rehabilitasi Kardiovaskuler 259


- Apakah Anda merasa terganggu, sedih atau depresi?
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tidak pernah sedikit sedang cukup tinggi sangat tinggi


- Apakah Anda mengkonsumsi alkohol?

Keterangan:

- Pasien yang merasa sulit saat tidak merokok (4 atau 5) terutama jika mereka mengalami
gejala withdrawal, mudah terjadi relaps setelah keluar dari rumah sakit.2
- Pasien yang merasa depresi >5 sering mengalami masalah depresi dan memerlukan evaluasi
lebih lanjut. Pada beberapa penelitian penggunaan anti depresan terbukti bermanfaat
untuk membantu pemberhentian merokok. 2
- Pasien yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar memiliki kecenderungan untuk
sulit berhenti merokok.2

Intervensi penghentian merokok harus terdiri dari strategi multi komponen seperti:

- rekomendasi kuat dari dokter


- nicotine replacement theraphy atau agen farmakologi lainnya
- konseling perilaku atau kebiasaan
- prevensi terjadinya relaps
- aktivitas fisik rutin

Pasien yang mencoba berhenti merokok perlu diberi intervensi lebih sering dan kuat, serta tetap
perlu diberi informasi secara rutin.2

Rumah sakit merupakan lingkungan yang tepat untuk memulai motivasi terhadap penghentian
merokok. Di rumah sakit pasien difokuskan pada pengobatan penyakit akut dan larangan
merokok untuk mencegah mereka agar tidak merokok, yang tentunya mereka akan merasakan
ketidaknyamanan akibat withdrawal pada 48-72 jam pertama. Jika mereka di dukung dengan baik,
paisen akan tetap menghindari merokok selepas keluar dari rumah sakit karena rasa percaya diri
dan memahami cara menaggulanginya. 2

Tim rehabilitasi dapat membantu penghentian merokok dengan cara:

- Mengidentifikasi apakah mereka masih merokok atau tidak pada setiap pertemuan
- Menanyakan keinginan mereka untuk berhenti merokok
- Memberi materi dan anjuran yang diperlukan untuk berhenti.
- Mengatur follow up secara langsung atau dengan telepon. 2

Pasien dapat memilih apakah mereka melakukan pemberhentian langsung secara total (cold
turkey), mengganti merek atau mengurangi jumlah rokok.2

260 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Cold turkey adalah tindakan menghentikan suatu kebiasaan adiktif dalam satu waktu secara total.

Konseling yang berhubungan dengan penghentian merokok:

- Berat badan
- Frekuensi timbulnya gejala withdrawal yang menentukan perlunya penggunaan NRT
- Kesulitan berhenti yang berhubungan dengan alkohol
- Kehadiran keluarga atau teman yang merokok disekitar pasien
- Keinginan secara psikologi yang berhubungan dengan hasrat atau keinginan pasien
- Kerugian yang dirasakan yang berhubungan dengan berhenti merokok 2

Sudah terdapat banyak jenis NRT yang dapat membantu konseling perilaku seperti transderm
patch, nikotin spray dan permen karet nikotin yang terbukti aman pada pasien penyakit jantung
kecuali angina tidak stabil. Bupropion HCL juga terbukti dapat membantu pengehentian merokok
tetrutama pada pasien dengan ciri depresi saat berhenti merokok. 2

Edukasi pasien tentang bahaya merokok sebagai faktor risiko mayor terjadinya penyakit jantung
koroner. Risiko rekurensi dari serangan jantung dapat berkurang hingga 50% dalam 1 tahun
pertama setelah pemberhentian merokok. Menyediakan bimbingan, edukasi dan dukungan
pada setiap pasien untuk menghindari merokok, kelas pemberhentian merokok seperti ini perlu
dianjurkan pada setiap pasien dengan miokard infark.11,13,15,16

Profil lipid abnormal


Kolesterol merupakan substansi pada membran sel yang merupakan prekursor dari cairan empedu
dan hormon steroid. Kolesterol di darah ditentukan sebagian secara herediter dan sebagian
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti diet, keseimbangan kalori dan tingkat aktivitas fisik.2

Tiga jenis lipoprotein utama pada darah puasa antara lain LDL, HDL dan Very Low Density Lipoprotein
(VLDL). Profil LDL umumnya menyumbang 60-70% dari kolesterol total dan keduanya berhubungan
dengan risiko penyakit jantung koroner. Umumnya HDL terdapat sebanyak 20-30% dari total
koleterol dan jumlah HDL berbanding terbailk dengan risiko penyakit jantung. VLDL menyumbang
10-15% dari total kolesterol bersamaan dengan trigliseridapada darah puasa. Prekursor LDL adalah
VLDL, dan beberapa bentuk VLDL memiliki kecenderungan yang bersifat aterogenik.2

Sekitar 50% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki kadar kolesterol diatas 200mg/dL.
Penurunan mortalitas kardiovaskular, rekurensi penyakit jantung, hospitalisasi dan perkembangan
lesi aterosklerosis berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol.2 Menurut National Cholesterol
Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP) II, pasien dengan LDL kolesterol diatas 100
mg/dL memiliki risiko infark miokard dan kematian yang lebih tinggi sehingga memerlukan terapi.
Kadar LDL dapat dihitung menggunakan rumus:

Kolesterol LDL = Kolesterol total – Kolesterol HDL – (Trigliserid / 5)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 261


Kadar trigliserid harus dibawah 400 mg/dL dengan dibagi 5 untuk memperkirakan kolesterol LDL.
Pasien harus dipuasakan 9-12 jam sebelum pemeriksaan kecuali minum air putih dan obat-obatan.
Pada pasien dengan trigliserida diatas 400 mg/dL, hasil pengukuran LDL tidak akurat sehingga
memerlukan pemeriksaan ultrasentrifuse pada laboratorium tertentu.2

Evaluasi klinis pada pasien dengan lipid abonormal pada anamnesis harus dapat menentukan
penyebab peningkatan lipidseperti penyakit, diet atau obat-obatan.

Penyebab sekunder kadar lipid abnormal antara lain:2

- Diabetes mellitus
- Hipotiroid
- Sindroma nefrotik
- Penyakit hati obstruktif/obstruktif hepatitis
- Obat-obatan yang meningkatkan kolesterol LDL atau menurunkan kolesterol HDL seperti
progestin, steroid anabolik, kortikosteroid dan beberapa antihipertensi. Thiazide dan loop
diuretic dapat menyebabkan total kolesterol, LDL dan trigliserida meningkat.

Evaluasi profil lipid puasa sebaiknya dilakukan 2 kali dengan jarak 1 – 8 minggu pada pasien
dengan penyakit jantung koroner yang pada umumnya dapat dimulai pada 6 minggu pertamapasca
serangan atau prosedur tatalaksana.2

Pemeriksaan fisik yang relevan dengan kadar lipid abnormal meliputi pemeriksaan cermat pada
mata seperti arkus kornea, pemeriksaan funduskopi untuk melihat perubahan retina akibat lipid
dan pemeriksaan kulit untuk melihat xanthoma dan xanthelasma. 2

Gambar 8. 3 Xanthelasma dan Xanthoma (hxbenefit, 2011)

Intervensi:

Edukasi, konseling dan intervensi perilaku mengenai nutrisi dan latihan dengan atau tanpa terapi
farmakologis perlu diberikan pada pasien.2 Dislipidemia berhubungan dengan berekembangnya
ateroskelrosis sehingga mengobati dislipidemia dengan cara meningkatkan HDL dan menurunkan
LDL merupakan hal yang perlu diperhatikan. Menurunkan LDL secepat mungkin dengan obat-
obatan dan diet terbukti menurunkan risiko penyakit jantung, dengan cara menstabilkan plak
dan meningkatkan fungsi endotel. Target LDL harus dibawah 100mg/dl, turunnya LDL dapat
menurunkan risiko berulangnya kejadian sindrom koroner akut. 11 Intervensi dapat diberikan
sesuai American Heart Association Consensus Statement dan ACC/AHA Practice Guidelines.

262 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Manajemen pasien lipid abnormal meliputi:2

- Identifikasi penyebab tingginya LDL>100mg/dL


- Konseling diet
- Olahraga teratur sesuai dosis
- Terapi farmakologi terapi untuk LDL >130 mg/dL dan perlu dipertimbangkan pada LDL 110-
130 mg/dL

Evaluasi diet dan konseling menjadi dasar dari manajemen hiperlipidemia.

Tabel 8. 3 Manajemen hiperlipidemia2

Terapi diet pada hiperlipidemia2

Nutrisi Rekomendasi asupan

Step I Step II

Total lemak 30% atau lebih rendah dari total -


kalori

Asam lemak jenuh 8-10% total kalori Lebih rendah dari 7% total kalori

Asam lemak tak jenuh <10% dari total kalori -


(polyunsaturated)

Asam lemak tak jenuh <15% dari total kalori -


(monounsaturated)

Karbohidrat 55% atau lebih dari total kalori -

Protein Kurang lebih 15% dari total kalori -

Kolesterol Lebih rendah dari 300 mg/hari Lebih rendah dari 200 mg/hari

Total kalori Disesuaikan untuk mencapai berat -


badan yang diinginkan

Terapi farmakologis

- Inhibitor HMG Co-A reduktase (statin)


- Kolesteramin dan kolestipol
- Niasin
- Gemfibrozil
- Estrogen dan estrogen/progestin2

Follow up jangka panjang

Terdapat beberapa strategi agar pasien dapat terus mengontrol kadar lipid jangka panjang antara
lain:2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 263


- Mengajarkan pasien untuk mengingat regimen pengobatan
- Membantu pasien untuk mengetahui cara menghafalkan dosis
- Mengantisipasi efek samping dan penatalaksanaannya
- Memberikan update dari efek pengobatan
- Memastikan kontak pada individu yang merupakan program manajemen lipid

Menurut National Cholesterol Education Program(NCEP)follow up harus meliputi:2

- Pengukuran ulang 4-6 minggu dan setiap 3 bulan jika target belum tercapai
- Diikuti dengan 8-12 minggu interval selama 52 minggu setelah target tercapai
- Memonitor secara periodik 4 – 6 bulan setelah pasien mempertahankan kadar lipidnya selama
1 tahun, selanjutnya pemeriksaan LDL sebaiknya dilakukan setahun sekali

Hipertensi
Satu dari empat orang dewasa di Amerika memiliki hipertensi, umumnya ditemukan pada laki-
laki sampai usia di atas 55 tahun,pria dan wanita memiliki prevalensi yang sama. Hipertensi
memiliki prevalensi yang tinggi pada pasien penyakit jantung koroner sebesar 30-38%,pada
pasien yang mengikuti program rehabilitasi jantung dilaporkan bahwa hipertensi angkanya 47-
65% denganetiologi hipertensi 90-95% tidak diketahui penyebabnya.2 Hipertensi mempengaruhi
faktor risiko penyakit kardiovaskular melalui peningkatan tegangan geser (shear stress)pada dinding
pembuluh darah dan dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Dengan menurunkan
tekanan darah dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular termasuk miokard infark, gagal
jantung kongestif dan penyakit serebrovaskular. 11

Tabel 8. 4 Klasifikasi hipertensi menurut JNC VIII8

Klasifikasi Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik (mmHg)


(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi stage 2 >160 Atau > 100

Penilaian:

Hipertensi tidak dapat ditegakkan hanya dengan satu kali pengukuran. Peningkatan tekanan
darah setidaknya ditemukan pada 2 kali pemeriksaan dengan nilai rata-rata tekanan darah sistolik
sebesar 140 mmHg dan diastolik sebesar 90mmHg kecuali sistolik > 180 mmHg dan diastolik >
110 mmHg. Anamnesis pasien dengan hipertensi perlu memperhatikan asupan garam, konsumsi
alkohol berlebih, konsumsi kalori berlebih dan aktivitas fisik yang rendah. Pemeriksaan fisik meliputi
dua kali pemeriksaan dengan jeda 2-5 menitpada posisi duduk diikuti dengan pemeriksaan pada
lengan yang berlawanan (jika hasil berbeda, gunakan angka yang lebih tinggi).2

264 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Pemeriksaan fisik lain yang perlu diperhatikan pada hipertensi:2

- Pemeriksaan leher untuk mengetahui bruit karotis, distensi vena, pembesaran kelenjar tiroid
- Pemeriksaan jantung untuk melihat peningkatan detak jantung, pembesaran, murmur, aritmia,
bunyi jantung S3 dan S4.
- Pemeriksaan abdomen untuk melihat bruit, perbesaran ginjal, massa, pulsasi aorta abnormal
- Pemeriksaan ekstremitas untuk melihat apakah ada absen dari pulsasi pembuluh darah
ekstremitas atau adanya bruit/edema
- Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan rutin sebelum terapi hipertensi seperti urinalisis, darah
lengkap, kadar gula darah, potasium, kalsium, kreatinin, asam urat dan profil lipid. Pemeriksaan
EKG 12 sadapan dilakukan untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri.2

Intervensi:

Berdasarkan para ahli latihan dan edukasi merupakan komponen penting dalam intervensi
multifaktorial meliputi konseling, intervensi perilaku dan farmakologis. Prevensi sekunder perlu
dilakukan pada semua pasiendengan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik 90 mmHg, prevensi sekunder seperti pemantauan berat badan, aktivitas fisik, konsumsi
alkohol dan restriksi natrium ringan. Pengobatan sebaiknya dipertimbangkan setelah prevensi
sekunder tidak menunjukkan perubahan dalam 3 bulan.2

Menurut guidelines JNC VIII komponen modifikasi gaya hidup meliputi aktivitas atau latihan fisik
yang reguler, manajemen berat badan, restriksi natrium yang sedang, peningkatan konsumsi buah
segar, sayur dan produk susu rendah lemak, penurunan konsumsi alcohol dan berhenti merokok.9
Target tekanan darah adalah 140/90 mmHg dan pada pasien dengan risiko tinggi penyakit jantung
koroner maka direkomendasikan target tekanan darah yang lebih ketat yaitu 130/80 mmHg.9

Modifikasi gaya hidup untuk kontrol hipertensi dan atau risiko kardiovaskular secara keseluruhan:

- Mencapai tingkat lemak tubuh yang direkomendasikan contoh: 12-18% untuk laki-laki dan
18-25% untuk perempuan (angka normal: pada laki-laki 11-14% dan perempuan 16-19%)
- Membatasi asupan alkohol tidak lebih dari 1 ounces ethanol perhari (1 ounces = 29,5 ml), 24
ounces bir atau 8 ounces wine.
- Latihan erobik secara rutin 20-30 menit per hari, 5-7 hari perminggu
- Mengurangi asupan garam agar lebih rendah dari 100 mmol per hari (<2,3 gr natrium atau <6
gram natrium klorida)
- Mempertahankan konsumsi kalium, kalsium dan magnesium sulfat yang adekuat
- Berhenti merokok
- Mengurangi konsumsi lemak jenuh dan kolesterol untuk meningkatkan kesehatan
kardiovaskular. 2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 265


JNC VIII menitikberatkan pada pentingnya modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan,
meningkatkan aktivitas fisik, kontrol asupan natrium dan alkohol sebagai terapi tambahan pada
hipertensi. Stres yang berhubungan dengan peningkatan adrenaline/norepinefrin juga perlu
diatasi. Menurunkan respon stress begitu pula dengan pengurangan tingkat emosional terbukti
efektif dalam mengatur tekanan darah.2

Faktor yang menentukan perlunya terapi farmakologi:2

- Tingkat keparahan peningkatan tekanan darah


- Adanya faktor risiko mayor (merokok, abnormalitas lipid, diabetes, usia > 60 tahun, laki-laki,
perempuan pasca menopause, riwayat penyakit kardiovaskular).
- Bukti kerusakan end organ (jantung, ginjal, sistem serebrovaskular, penyakit pembuluh darah
perifer, retinopati)
- Terdapat penyakit komorbid
- Efek samping dan interaksi obat

Menurut National Center for Health Statistics (NCHS) di Amerika Serikat antara tahun 2011-2012
hipertensi pada usia 18-39 tahun sekitar 7,3% dan pada usia 40-59 tahun sekitar 32,4% dan usia
di atas 60 tahun sekitar 65%.12 Pengukuran tekanan darah juga harus dinilai ada atau tidaknya
hipotensi ortostatik, oleh karena itusebaiknya pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri.Keadaan
ini sering ditemukan padausia tua. Target pengobatan pada usia tua sama dengan pada usia muda
yaitu dibawah 140mmHg/90mmHg.9 Pasien dengan diabetes memiliki target tekanan darah
<130/85 mmHg. Obat-obatan seperti ACE inhibitor, alpha blocker, calcium antagonist dan diuretik
lebih disukai karena efek yang rendah terhadap gula darah, profil lipid dan fungsi ginjal. ACE
inhibitor merupakan pilihan pada diabetik neuropati.2

Tabel 8. 5 Penatalaksanaan hipertensi berdasarkan derajat dan stratifikasi risiko2

Kelompok risiko A Kelompok risiko B Kelompok risiko C

- Tidak ada faktor risiko - Terdapat 1 faktor risiko - Terdapat diabetes,


Derajat
- Tidak ada penyakit - Tidak ada diabetes atau penyakit kardiovaskular
Hipertensi
kardiovaskular atau penyakit kardiovaskular atau tanda kerusakan
tanda kerusakan organ atau tanda kerusakan organ dengan atau tanpa
organ faktor risiko lainnya.

Prehipertensi Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup - Modifikasi gaya hidup
- Terapi farmakologis haya
pada pasien dengan gagal
jantung, insufisiensi ginjal,
atau diabetes

Stage I Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup (6 Modifikasi gaya hidup
(12 bulan) bulan) Terapi farmakologis

Stage II Terapi farmakologis Terapi farmakologis Terapi farmakologis

266 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Inaktivitas fisik
Inaktivitas fisik didefinisikan sebagai seseorang yang tidak melakukan olahraga teratur yang
direkomendasikan, sementara olahraga yang dianjurkan AHA adalah olahraga 30-60 menit yang
dilakukan 3-4 kali perminggu.9 Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang paling sering
ditemukan pada kurang lebih 70% dari penderita penyakit jantung. Kurangnya kebugaran fisik
berhubungan dengan meningkatnya faktor risiko sindrom koroner akut. Laki-laki dan perempuan
yang bugar secara fisik disertai faktor risiko lain seperti hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes
dan obesitas memiliki tingkat mortalitas yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan perempuan
yang tidak bugar dengan faktor risiko yang sama.11 Aktivitas fisik sebesar 1.500-2.000 kilokalori/
minggu dapat menurunkan risiko penyakit jantung koronersecara signifikan. Aktivitas fisik juga
dapat mengurangi lesi ateroskelrotik, meningkatkan fungsi endotel dan mengurangi faktor risiko
lain. Program latihan fisik selama rehabilitasi jantung terbukti mengurangi angka kematian pada
pasien sindrom koroner akut.11

Penilaian kapasitas fungsional harus dilakukan secara akurat untuk mengukur kemampuan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik dengan aman dan menyediakan informasi penting tentang respon
terapi dalam mengontrol gejala dan meningkatkan fungsional pasien. Data yang diperoleh juga
digunakan dalam menentukan peresepan latihan pasien,selanjutnya evaluasi respon latihan fisik
dianjurkan dilakukan secara teratur dan terjadwal setiap 3, 6, 12 bulan.2

Penilaian:

Uji latih submaksmimal dapat digunakan untuk melihat respon latihan yang mampu menyediakan
data untuk memberikan peresepan latihan. Data yang didapat juga membantu pengambilan
keputusan program aktivitas, stabilitas dan status vokasional. Penilaian aktivitas fisik perlu
mengenali komponen kebugaran termasuk fleksibilitas, komposisi tubuh dan kekuatan otot. Uji
latih submaksimal yang dapat digunakan antara lain uji jalan 6 menit atau 12 menit, estimasi
menggunakan interview, kuesioner dan simulasi pekerjaan. 2

- Uji latih submaksimal


- Menilai denyut jantung dan tekanan darah pada uji latih bertahap menggunakan treadmill
atau cycle ergometer dengan peningkatan 1 METs setiap 3 menit.2
- Uji jalan 6 menit
- Sering digunakan sebagai pengukuran toleransi tespada pasien dengan penyakit jantung
– paruseperti gagal jantung dan penyakit jantung dengan PPOK sebagai penyerta.2
- Interview dan kuesioner
- Walaupun tidak dapat digunakan sebagai substitusi uji latih tetapi dapat untuk mengestimasi
secara kasar toleransi latihan menggunakan tabel aktivitas METs dan menanyakan aktivitas
yang menginduksi timbulnya kelelahan dan gejala.2
- Simulasi pekerjaan terkontrol
- Data dari uji latih dapat dibandingkan dengan tabel METs untuk membantu
merekomendasikan aktivitas vokasional dan avokasional. Namun simulasi pekerjaan dapat
lebih dipercaya untuk mengukur apakah pasien dapat kembali bekerja seperti biasa karena
mempertimbangkan jenis pekerjaan, lingkungan pekerjaan, stressor dan lain-lain.2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 267


Intervensi:

Progam latihan harus didasari pada stratifikasi risiko, tujuan pasien dan sumber daya yang dimiliki
fasilitas kesehatan. Rekomendasi untuk mengurangi komplikasi kardiovaskular pada Program
Rehabilitasi Jantung berbasis latihan.2

- Memastikan evaluasi follow up seperti uji latih pada semua partisipan.


- Memastikan adanya supervisi medis, defibrilator, obat-obatan dan perlengkapan emergensi.
- Menyusun jadwal dokter yang bertanggung jawab untuk kasus emergensi
- Menyusun rencana dan peraturan penatalaksanaan kasus emergensi serta simulasinya
- Monitoring EKG secara kontinyu atau intermiten
- Menekankan pada prosedur pemanasan dan pendinginan yang benar.
- Mengedukasi pasien tanda bahaya, gejala dan respon yang abnormal.
- Menekankan pada kesesuaian denyut jantung dengan resep latihan yang diberikan. RPE dapat
digunakan sebagai tambahan, tetapi memiliki nilai subjektivitas.
- Mengurangi intensitas latihan pada pasien risiko tinggi
- Mempertahankan supervisi selama periode pemulihan dan selama pasien masih difasilitas
kesehatan
- Memodifikasi aktivitas rekreasional dan meminimalisir kompetisi
- Memperhitungkan perubahan lingkungan (suhu, kelembaban) yang signifikan dalam menambah
beban kardiovaskular.2

Latihan pada pemulihan aktivitas fisik umumnya terdiri dari latihan endurance dengan intensitas
ringan-sedang selama 20-60 menit dengan frekuensi 3 hari perminggu.2 Menurut guidelines
standar untuk latihan terdiri dari sesi pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan fleksibilitas
dengan penambahan dan perubahan peresepan latihan dilakukan secara progresif sesuai dengan
perubahan status klinis pasien.9

Faktor yang perlu diperhatikan dalam peresepan latihan:

- Faktor keamanan
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya
- Stratifikasi risiko dan risiko latihan
- Ambang batas angina atau iskemik
- Gangguan koginitif dan psikologis
- Penyakit komorbid (diabetes mellitus, gagal jantung kongestif) 2
- Faktor pendukung
- Kebutuhan vokasional dan avokasional
- Limitasi ortopedik
- Aktivitas sebelum sakit dan sekarang
- Kesehatan pribadi
- Pertimbangan nonkardiak lainnya2

268 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Parameter peresepan latihan erobik
Latihan yang diberikan harus dibawah ambang batas angina, iskemik dan perubahan segmen ST.
Penentuan batas intensitas latihan berdasarkan tanda dan gejala:

- Denyut jantung maksimal harus diatur untuk tetap berada dibawah denyut jantung yang dapat
menimbulkan hal-hal dibawah ini:2
- Angina atau gejala lain yang menandakan insufisiensi kardiovaskular
- Penurunan atau tekanan darah sistolik yang mendatar yang berhubungan dengan disfungsi
ventrikel kiri
- Sistolik > 240 mmHg atau diastolik > 110 mmHg
- EKG yang menandakan iskemia
- Latihan dengan ekokardiografi yang menunjukkan disfungsi ventrikel kiri
- Meningkatnya aritmia ventrikel
- Gangguan EKG lain (AV blok derajat 2 atau 3, fibrilasi atrial, SVT, LBBB)
- Gejala atau tanda intoleransi latihan

Tabel 8. 6 Metodologi peresepan latihan2

Metode intensitas latihan Deskripsi

Persentase detak jantung Peresepan target denyut jantung didasari pada persentase
maksimum denyut jantung maksimal yang didapat pada uji latih. Perkiraan
konsumsioksigen equivalent sekitar 15% (contoh: 70% HR max = 55%
METs maksimal)

Reserve HR (metode Reserve HR =


Karvonen) HR istirahat + ((Maksimum HR-HR istirahat) x target latihan). Metode
ini menyerupai konsumsi oksigen equivalent (70% Reserve HR = 70%
METs maksimal

METs Peresepan latihan menggunakan METs sangat baik digunakan pada


latihan yang menggunakan treadmill atau ergometer karena dapat
mengurangi variabilitas

RPE (skala Borg) Pasien sebaiknya menggunakan skala RPE yang sudah diketahui
sebelumnya dari uji latih, RPE selama sesi latihan biasanya lebih
rendah dibanding selama uji latih.

Latihan fleksibilitas
Fungsi muskuloskeletal yang optimal memerlukan perawatan pada semua lingkup gerak sendi (range of
motion) terutama otot punggung bagian bawah dan bagian paha belakang. Kurangnya fleksibilitas pada
bagian tersebut dapat meningkatkan risiko low back pain kronis. Oleh karena itu usaha promotif dan
preventif harus melibatkan program latihan fleksibilitas.Kurangnya fleksibilitas berhubungan dengan
berkurangnya kemampuan dalam melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Program latihan pada usia tua
harus menekankan pada pemanasan yang baik dan benar terutama tubuh, leher dan pinggang. 2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 269


Latihan fleksibilitasyang dilakukan dengan benar dapat membantu meningkatkan dan
mempertahankan range of motion. Latihan fleksibilitas sebaiknya dilakukan secara perlahan,
terkontrol, bertahap menuju range of motion yang lebih luas. 2

Rekomendasi peresepan latihan fleksibilitas:2

- Frekuensi : sebaiknya 3 hari perminggu


- Intensitas : 60 – 70% HR maksimal
- Durasi : 5 – 10 menit (setiap gerakan 10-30 detik)
- Repetisi : dilakukan 3 – 5 kali setiap gerakan
- Tipe : gerakan statis dan dinamis yang mengutamakan pada punggung
bawah dan paha

Latihan penguatan
Latihan kekuatan dapat meningkatkan kekuatan otot dan stamina dan terdapat bukti toleransi latihan
juga meningkat. Hal ini sangat membantu dalam aktivitas sehari-hari, vokasional dan avokasional
serta kebebasan beraktivitas pada orang tua. Dahulu banyak persepsi yang menyebutkan latihan
kekuatan berbahaya atau setidaknya tidak bermanfaat, hal ini mungkin berhubungan dengan
konsumsi oksigen yang jauh lebih rendah dibandingkan denganlatihan dinamis, respon iskemik dan
peningkatan perfusi subendokardial. Namun bukti terbaru menyatakan keamanan dari efektivitas
latihan kekuatan.2

Program latihan penguatan


Untuk mencegah rasa pegal dan kelelahan otot serta meminimalisir risiko cidera, beban latihan
pada tahap awal hanya dilakukan 12-15 repetisi. Jika dilakukan evaluasi 1-RM biasanya beban
hanya berkisar 30-50% 1-RM. Pasien yang termasuk kategori stratifikasi risiko rendah dan pasien
yang terlatih dapat mendapat beban yang lebih tinggi tergantung target akhirnya. 2

Lakukan satu set yang terdiri dari 8-10 jenis latihan yang melibatkan kelompok otot, dilakukan 2-3
kali perminggu. Tambahan set dapat dilakukan tetapi manfaat tidak terlalu signifikan. 2

Latihan penguatan sebaiknya dilakukan dengan pertimbangan dibawah ini:2

- Melibatkan kelompok otot yang besar dibanding kelompok yang otot kecil
- Meningkatkan beabn 5-10 pound jika 12-15 repetisi dapat dilakukan dengan mudah
- Angkat beban secara perlahan dengan gerakan yang benar, pastikan ekstremitas pada ekstensi
maksimal ketika mengangkat beban
- Ekspirasi saat fase mengangkat atau mendorong beban dan inspirasi saat menurunkan beban
- Hindari pegangan yang terlalu kuat karena dapat mencetuskan peningkatan tekanan darah
- Minimalisir periode istirahat antara setiap jenis latihan semampunya pasien untuk
memaksimalkan kemampuan otot

270 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Hindari memaksakan latihan, skala RPE sebaiknya berkisar 11-13.
- Hentikan latihan jika terdapat gejala atau tanda penyakit terutama pusing, aritmia, sesak napas
dan nyeri angina.

Peresepan latihan pada pasien yang tidak dilakukan uji latih sebelumnya
Pada pasien yang mengikuti program prevensi sekunder yang belum dilakukan uji latih sebelumnya,
program latihan harus diimplementasikan secara konservatif dengan supervisi yang ketat. Pada
tahap awal program pasien perlu dimontior EKG, tanda dan gejala, tekanan darah, RPE dan tanda
kelelahan. 2

Intensitas awal latihan dapat ditentukan dari jangka waktu setelah pasien keluar dari rumah sakit
yang didapat berdasarkan anamnesis dan juga perlu disesuaikan dengan aktivitas yang biasa
dilakukan sehari-hari. Umumnya latihan berkisar 2-3 METs atau 1-3 mph dengan kemiringan 0%
pada treadmill atau 25-50 Watts pada cycle ergometer dengan peningkatan 0.5 – 1 METssesuai
toleransi. Peningkatan intensitas latihan dapat didasari pada respon latihan dan skala RPE pasien.
Intensitas latihan dapat ditingkatkan menjadi skala RPE 12-13 jika pasien tetap asimptomatik.2

Psikososial
Faktor psikososial memiliki pengaruh pada proses pemulihan dan perkembangan penyakit terutama
pasien yang memiliki masalah mental seperti depresi, rasa tidak berdaya, isolasi sosial dan stres
akut. Terapi psikososial yang dilakukan telah terbukti memiliki efek positif pada rehabilitasi seperti
meningkatnya keterikatan pada program pengobatan dan latihan, vokasional, morbiditas dan
mortalitas. Sayangnya kebutuhan psikososial pada pasien jantung sering dilupakan baik pada fase
rawat inap maupun rawat jalan. 2

Depresi sering terjadi pada 20-45 % pasien pasca serangan penyakit jantung. Depresi merupakan
faktor risiko independen untuk mortalitas infark miokard akut atau angina tidak stabil. Komplikasi
psikososial terjadi pada 20% pasien pasca infark miokard akut. Depresi sering berhubungan
dengan menurunnya tenaga, sering fatigue, penurunan kapasitas latihan dan penurunan kualitas
hidup maupun sense of well-being. Risiko depresi pasca kejadian penyakit jantung lebih sering
terjadi pada wanita terutama wanita muda.9

Distres psikososial dan depresi meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari pasien yang
didiagnosis SKA. Terutama pada kasus infark miokard dengan depresi. Stres dan isolasi sosial dapat
memperburuk prognosis pasca infark miokard. Stresor yang bersifat akut dapat menyebabkan plak
aterosklerotik menjadi tidak stabil sehingga pengendalian mental dan status emosional penting
untuk mempertahankan stabilitas dari plak. Program prevensi sekunder perlu memperhatikan
kemungkinan adanya depresi dan psikososisal distress. Vasokonstriksi koroner dalam menanggapi
stres mental pada pasien dengan sindrom koroner akut telah ditunjukkan dengan angiografi.11

Evaluasi psikososial meliputi indentifikasi depresi, anxietas, kemarahan, isolasi sosial, distres
keluarga, disfungsi seksual atau penyalahgunaan zat serta statuspenggunaan obat-obatan
psikotropika melalui wawancara dan/atau teknik pengukuran lainnya. Pasien dengan gejala
depresi berisiko 5 kali lipat untuk tidak menyelesaikan program rehabilitasi jantung sehingga
membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih dibandingkan pasien lainnya. Sedangkan wanita

Rehabilitasi Kardiovaskuler 271


memiliki risiko untuk tidak menyelesaikan program rehabilitasi jantung dua kali lipat daripada laki-
laki sehingga juga membutuhkan perhatian khusus.9

Penilaian:

Tim harus mengidentifikasi tingkat distress psikososial dengan kombinasi antara anamnesis dan
instrumen skrining psikososial pada saat memasuki, keluar atau follow up berkala.2

Hasil penilaian:

- Klinis: pasien harus menunjukkan kesehatan emosional yang baik yang ditandai dengan tidak
adanya:2
- Distres psikososial seperti depresi, isolasi sosial, cemas, marah
- Ketergantungan obat
- Respon psikofisiologi yang berlebihan
- Perilaku: program harus dapat meningkatkan kemampuan pasien pada hal-hal berikut ini:2
- Menjelaskan proses rehabilitasi dan pemulihan
- Mengembangkan ekspektasi hidup yang realistis
- Bertanggung jawab pada perubahan kebiasaan
- Menunjukkan kemampuan menyelesaikan masalah
- Ikut serta dalam latihan fisik, mediasi dan teknik relaksasi lainnya
- Menunjukkan manfaat dari kemampuan pengaturan stres kognitif dan perilaku
- Mendapat dukungan sosial yang efektif
- Beradaptasi dengan obat-obatan psikotropik (jika diresepkan)
- Mengurangi hingga berhenti mengkonsumsi alkohol, rokok, kafein dan zat psikoaktif
lainnya yang tidak diresepkan
- Kembali ke perannya dalam sosial, vokasional dan avokasional

Komponen psikososial dari prevensisekunder harus setidaknya meliputi 4 elemen: penilaian,


umpan balik, intervensi singkat dan rujukan ke spesialis jika dibutuhkan. Struktur dan fokus
konseling psikososial berbeda pada rawat inap maupun rawat jalannamun penilaian harus
mencakup pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:2

- Apakah masalah psikososial disebabkan oleh penyakit atau karena memulai program prevensi
sekunder.
- Apakah penyakit mengganggu kemampuan pasien untuk beradapatasi dengan aktivitas hidup
sehari-hari.
- Apakah pasien menunjukkan gangguan afektif atau kognitif dalam menghadapi penyesuaian
dengan penyakit dan program prevensi sekunder.
- Apakah pasien menerima dukungan psikososial yang adekuat untuk mengatasi stressor dari
intervensi medis atau prevensi sekunder.

272 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Apakah pasien menunjukkan perubahan perilaku seperti agresif sesaat setelah intervensi
psikososial. Perilaku seperti merokok, makanberlebih, penyalahgunaan obat juga termasuk
dalam kategori ini.
- Apakah fokus utama pasien dan keluarga dalam mengantisipasi adaptasi perubahan psikososial
di kemudian hari.

Evaluasi psikologis pada fase rawat inap


Tiga domain spesifik yang mendasari pogram psikologis di fase rawat inap antara lain:

- Manajemen psikososial: tim harus menentukan cara dan keberhasilan pasien dalam menangani
dan manajemen krisis (medis) yang dialami.
Pasien yang memerlukan evaluasi dan dukungan tambahan antara lain:2
- Pasien yang hidup sendiri
- Pasien yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan
- Pasien yang baru saja cerai atau menjadi duda/janda
- Pasien yang terisolasi secara sosial
- Pasien berasal dari kelurga dengan banyak permasalahan
- Pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah
- Pasien dengan pendapatan yang rendah
- Pasien yang merokok
- Pasien dengan obesitas
- Pasien dengan penyakit kronis multipel
- Pasien yang tidak memiliki dukungan spiritual dan agama
- Pasien yang menganut kebudayaan yang bertentangan dengan filosofi mandiri dan
optimisme
- Pasien yang memiliki gangguan fungsi kognitif
- Kemampuan untuk relaks: tim harus menilai kemampuan pasien untuk relaks
Relaksasi dapat memfasilitasi kemampuan menangani ketakutan,cemas dan nyeri. Relaksasi
dan mood yang baik sebelumnya juga dikenal memiliki peranan penting dalam menentukan
hasil intervensi. Sehingga tim perlu mengetahui cara pasien untuk bisa relaksasi.2
- Kebutuhan untuk konsultasi dengan spesialis: jika rujukan ke spesialis dibutuhkan karena
adanya gejala depresi, penyalahgunaan alkohol, merokok dan masalah spiritual.2

Intervensi psikologis pada fase rawat inap


Hal yang perlu dilakukan oleh dokter pada intervensi psikologis fase rawat inap antara lain:

- Menyediakan konseling individual dan atau berkelompok mengenai perubahan yang terjadi
akibat penyakitnya dan penghentian merokok
- Membantu terciptanya lingkungan yang mendukung kesehatan pasien dan dukungan oleh
keluarga. Serta membantu pasien untuk relaks seperti mengintruksikan untuk pernapasan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 273


abdominal serta menginstruksikan pasien untuk memfokuskan perhatian pada stimuli yang
menenangkan atau dengan berimajinasi.
- Merujuk pasien yang secara signifikan mengalami strespasca trauma, depresi, cemas dan
kemarahan yang memerlukan evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
- Melakukan sesi perencanaan pemulangan pasien
Sesi ini tidak hanya sekedar kunjungan ke pasien sebelum pulang, tetapi juga menekankan
pentingnya peran keluarga dalam prevensi sekunder. Pasien dan keluarga perlu di beritahu
kemungkinan adanya depresi, cemas dan ketegangan dalam keluarga yang mungkin terjadi
akibat adaptasi dengan penyakit, kebutuhan prevensi sekunder yang mendesak maupun
konsekuensi relaps. Dokter juga perlu menyampaikan masalah seksual yang terjadi akibat
penyakit dan pengobatan yang didapat secara proaktif serta memberi edukasi bagaimana cara
menanggulanginya. 2

Evaluasi psikologis pada fase rawat jalan


Tim harus mengidentifikasi keadaan psikologis pasien selepas pasien keluar dari rumah sakit antara
lain:2

- Menentukan adanya bukti sindrom stres pasca trauma


- Menilai adanya afek negatif yang signifikan, seperti depresi
- Mengevaluasi adanya penyalahgunaan obat
- Menentukan tingkat persepsi pasien dan keluarga mengenai penyakit
- Mengidentifikasi tujuan pasien serta pengaturan seksual dan masalah perilaku (kepribadian
tipe A, smoking, overeating, mudah marah dan lain-lain)
- Menentukan tingkat dukungan sosial
- Menilai efektivitas strategi pengaturan stres pada pasien.

Strespasca trauma sering sekali ditemukan pada pasien yang baru keluar dari rumah sakit.
Kemungkinan stres pasca trauma dapat dipertimbangkan jika terdapat gejala dibawah ini yang
berlangsung menetap setidaknya 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit:2

- Mengingat kembali kejadian yang traumatis atau mimpi buruk


- Ruminasi (sindroma klinis seseorang berulang-ulang dan tidak sengaja memuntahkan
makanan yang tidak tercerna dalam perut, mengunyah kembali dan kemudian menelan atau
memuntahkan makanan tersebut)
- Rekurensi cemas atau sedih
- Gangguan tidur
- Respon terkejut yang tidak terkontrol
- Menghindari stimuli yang berhubungan dengan trauma
- Kesulitan mengendalikan mood, konsentrasi dan iritabilitas

274 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Disfungsi seksual umum ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung. Hal yang dapat
memeperberat antara lain depresi, efek samping obat, perubahan hormon terkait menopause dan
insufisiensi vaskular. Kurangnya informasi mengenai kemanan dari aktivitas seksual pada pasien
dengan penyakit jantung dapat mencetuskan masalah pada pasien maupun pasangannya.2

Tujuan pasien perlu diketahui saat memasuki program prevensi sekunder sehingga program dapat
disesuaikan untuk membantu tercapainya target tersebut. 2

Intervensi psikologis pada fase rawat jalan


Terdapat banyak jenis intevensi psikososial yang dapat diberikan pada program prevensi sekunder,
intervensi sebaiknya disusun masing-masing sesuai individu pasien. Intervensi psikoedukasional
yang efektif dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok apapun format yang
dipilih,materi yang harus disampaikan dalam intervensi psikososial antara lain:2

- Penyesuaian aktivitas seksual serta efek dari penyakit kardiopulmonal, medikasi pada mood
dan respon seksual
- Strategi untuk memodifikasi kebiasaan seperti merokok atau makan berlebih
- Bahaya depresi dan emosi yang tidak terkendali pada kesehatan
- Pentingnya dukungan sosial dalam mempromosikan prevensi sekunder dan kesehatan pasien
- Strategi manajemenstres secara umum
- Berlatih teknik relaksasi

Menyerupai intervensi pada fase rawat inap, tim rehabilitasi juga perlu melakukan intervensi
psikososial pada pasien dengan hal-hal sebagai berikut:2

- Menyediakan konseling individual atau edukasi kelompok kecil mengenai manajemen stres
termasuk latihan kognitif dan perilaku pada pasien dengan kepribadian tipe A, merokok dan
makan berlebih.
- Membantu terciptanya lingkungan yang mendukung kesehatan pasien dan dukungan oleh
keluarga.
- Merujuk pasien yang secara signifikan mengalami strespasca trauma, depresi, cemas, dan
penyalahgunaan obat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
- Follow up

Psikoterapi dapat meningkatkan kemampuan adaptasi psikososial pasien secara menyeluruh


serta meningkatkan keterikatan dengan rekomendasi pengobatan. Psikoterapi juga menjadi usaha
terapeutik pada pasien yang secara klinis mangalmi distres emosional atau interpersonal. Seluruh
pasien dan keluarganya perlu dianjurkan untuk berpartispasi dalam program yang sesuai dengan
kebutuhan mereka. Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah follow up. Hence mengemukakan
bahwa pengaturan psikososial sebaiknya menjadi program rutin saat follow up menggunakan
wawancara, kuesioner atau telepon yang dilakukan tim rehabilitasi. Temuan dari evaluasi ini harus
disampaikan kepada dokter penanggung jawab. 2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 275


Manajemen berat badan
Obesitas merupakan faktor risiko kardiovaskular yang penting baik pada pria maupun wanita.
Data dari National Health and Nutrition Exam Survey menunjukan prevalensi obesitas pada orang
Amerika meningkat dalam 20 tahun terakhir, sekarang diperkirakan 47 juta orang dewasa Amerika
mengalami overweight.2 Obesitas merupakan masalah dengan penyebab yang heterogen seperti
genetik, biologi dan faktor perilaku.Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
sindrom koroner akut dan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, dislipidemia,
intoleransi gluksa dan faktor risiko lainnya. Penurunan sedikit berat badan (10% dari berat
badan) dapat secara signifikan mengurangi faktor risiko lain seperti dislipidemia, hipertensi dan
hiperglikemia.11 Program prevensi sekunder perlu memfokuskan usaha pada evaluasi mendetail
dan penatalaksanaan pasien overweight. Dokter harus mengidentifikasi pasien dengan manajemen
berat badan untuk melakukan evaluasi dan intervensi yang fokus.2

Penilaian berat badan, Body Mass Index (BMI) dan komposisi tubuh
Pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang serta indeks massa tubuh dapat
memberikan dasar untuk mencapai target berat badan jangka pendek maupun jangka panjang.
Semua pasien perlu diukur berat dan tinggi badan dan menghitung indeks massa tubuh (Body
Mass Index/BMI) pada kunjungan awal sebagai evaluasi rutin. Analisis komposisi tubuh dilakukan
dengan skinfolds, pengukuran lingkar pinggang, rasio pinggang-panggul dan metode lain yang
berhubungan dengan proses evaluasi.2

Penghitungan massa tubuh


Perhitungan berat dan komposisi tubuh juga harus diukur pada tahap awal karena BMI saja tidak
cukup adekuat untuk menilai jaringan adiposa. Selain itu pengukuran BMI juga harus dilengkapi
dengan pengukuran rasio pinggang-panggul. Pengukuran antropometrik ini menyediakan data
untuk menentukan distribusi lemak pada tubuh dan tingkat obesitas.2

Peresepan latihan dapat disesuaikan dengan target kalori yang ingin dicapai berdasarkan komposisi
tubuh atau kelebihan berat badan.2

Pemeriksaan seperti pengukuran hydrostatik, CT atau MRI, dual energy X-ray absorptiometry
(DEXA) merupakan pemeriksaan yang lebih akurat tetapi tidak praktis dalam program prevensi
sekunder.2 Indeks massa tubuh (IMT) adalah pengukuran berat badan yang disesuaikan dengan
tinggi badan. Adapula cara perhitungan IMT adalah berat badan (dalam kg) dibagi dengan tinggi
badan (dalam m) dikuadrat.14

Berat Badan (kg)


IMT =
[Tinggi Badan (m)]2

276 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Berikut adalah klasifikasi IMT menurut Asia Pasifik:15

Tabel 8. 7 Klasifikasi IMT menurut the ASEAN Federation of Endocrine Societies15

Klasifikasi IMT

Berat badan kurang <18,5

Normal 18,5-22,9

Berat badan lebih >23,0

Berisiko 23,0-24,9

Obese I 25,0-29,9

Obese II >30

Sedangkan berikut adalah klasifikasi IMT menurut WHO.14

Tabel 8. 8 Klasifikasi IMT menurut WHO14

Klasifikasi Cut-off Point IMT

Berat badan kurang/Underweight <18,50

Sangat kurus/severe thinness <16,00

Kurus sedang/moderate thinness 16,00-16,99

Kurus ringan/mild thinness 17,00-18,49

Normal 18,50-24,99

Berat badan lebih/Overweight >25,00

Pre Obese 25,0-29,99

Obese I 30,00-34,99

Obese II 35,00-39,99

Obese III >40

*IMT: Berat dalam kg / (Tinggi dalam m)2

Tebal lemak subkutan dan pengukuran lingkar pinggang dapat memperkirakan persentase lemak
tubuh.2


Lingkar pinggang diukur setinggi pusar
Rasio pinggang-panggul:
Lingkar panggung diukur setinggi pertengahan panggul

% lemak tubuh: dapat diukur dengan metode lemak subkutan, penimbangan hidrostatic, DEXA.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 277


Intervensi manajemen berat badan penting diberikan pada pasien yang memiliki berat badan
dan komposisi tubuhnya meningkatkan risikokardiovaskular serta berat badan tersebut dapat
mempengaruhi faktor risiko lain seperti diabetes, kadar lipid abnormal dan hipertensi. Semua
pasien harus mencapai dan mempertahankan berat badan sertaharus memulai manajemen diet
dan aktivitas fisik yang sesuai. Evaluasi diet merupakan komponen esensial program manajemen
berat badan. Setiap individu harus dinilai total asupan kalori, asupan kolesterol dan lemak, nutrisi
adekuat dan diet serat. Evaluasi dari kebiasaan makan seperti waktu makan, ukuran porsi makan,
kudapan, pengaruh sosial kultural juga merupakan hal yang penting. Pengeluaran kalori selama
melakukan pekerjaan, bersantai dan aktivitas fisik berguna untuk menghitung balance kalori.
Adanya abnormalitas metabolik seperti hipotiroidsme, sindrom Cushing dan penyakit endokrin
lainnya perlu dicatat. Riwayat obesitas dalam keluarga serta riwayat berat badan pasien juga perlu
dinilai untuk melihat pengaruh genetik. Penilaian yang baik dapat membantu untuk menyusun
tujuan jangka pendek dan menengah.2

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam intervensi untuk menurunkan berat badan:

- Mengidentifikasi dan mengobati penyakit metabolik yang mendasari jika memungkinkan


- Mengatur asupan kalori melalui konseling diet
- Meningkatkan pengeluaran kalori melalui peningkatan aktivitas fisik dan olahraga rutin.
- Mengimplementasikan intervensi perilaku untuk mempromosikan keterikatan jangka panjang
- Pertimbangkan intervensi medis pada pasien yang tingkat obesitasnya sangat mengganggu
kesehatannya.

Program prevensi sekunder yang mengkombinasi latihan, edukasi, diet, konseling dan intervensi
perilaku didesain untuk mengurangi berat badan. Rekomendasi modifikasi diet sebaiknya disusun
pada tujuan yang masuk akal dan mudah diikuti pasien. Edukasi ini juga harus disampaikan pada
pendamping pasien terutama mereka yang menyiapkan makanan untuk pasien. Diet haruslah
rendah gula, lemak dan kolesterol tetapi harus tinggi karbohidrat kompleks dan serat.2

Target indeks massa tubuh adalah 18,5 sampai 24,9 kg/m dengan lingkar pinggang 40 inchi pada
laki-laki dan 35 inchi pada wanita. Manajemen berat badan meliputi kombinasi diet, aktivitas
atau latihan fisik dan program kebiasaan (behavioral program). Walaupun durasi latihan 30 menit
merupakan rekomendasi global, durasi latihan untuk penurunan atau menjaga berat badan dapat
dilakukan selama 60 menit.9

Kebanyakan perempuan mengkonsumsi 1200-1500 kalori perhari dan laki-laki mengkonsumsi


1500-2000 kalori perhari tergantung dari usia, tinggi badan, berat badan dan tingkat aktivitas.
Penurunan berat badan 1 – 2 pound perminggu atau 1% dari berat badan perminggu dinilai
aman. Multivitamin dan mineral direkomendasikan untuk memastikan adekuatnya nutrisi pada
pasien yang menjalani diet. Pasien diajarkan untuk makanteratur dan tidak berpuasa yang dapat
memunculkan kekurangan nutrisi. Jadwal makan yang baik terdiri dari 4–6 kali makan dengan
porsi kecil dengan jeda 3–4 jam sekali.2

Sama halnya seperti penyakit jantung lainnya aktivitas sangatlah dianjurkan di antaranya berjalan,
menaiki tangga, berkebun dan aktivitas rekreasional (golf, bowling, tenis) yang diterapkan dalam

278 Rehabilitasi Kardiovaskuler


jadwal mingguan dapat menciptakan kesehatan secara umum dan meningkatkan pengeluaran
kalori. Program latihan harus didesain untuk setidaknya mengeluarkan 250-300 kalori per
sesi sehingga pada akhir 12 minggu pasien rawat jalan mengeluarkan kalori 1.250 perminggu,
untuk mencapai hal ini pasien memerlukan latihan fisik tambahan. Hal ini mungkin akan sulit
dicapai pada pasien yang memiliki kapasitas latihan yang rendah sehingga kelompok pasien ini
memerlukan sesi latihan yang lebih panjang. Pilihan jenis latihan sangat mempengaruhi pasien
yang ingin mengurangi berat badan, latihan weight bearing memiliki pengeluaran energi yang lebih
besar seperti latihan berjalan atau ergocycle.2

Menurut American Family Physician tahun 2003 peresepan latihan untuk pasien overweight dan
obesitas:17

Frekuensi : 3-5 hari per minggu. Latihan yang sering dan rutin sangat disarankan

Intensitas : Sekitar 55-70 % dari age-predicted maximal heart rate untuk menghindari trauma
musculoskeletal dan meningkatkan kepatuhan, mulai latihan dari intensitas
rendah sampai sedang dan mulai meningkat secara bertahap selama beberapa
minggu atau bulan kedepan. Lebih disarankan untuk meningkatkandurasi
dibandingkan meningkatkan intesitas untuk mencapai target ekspenditur
kalori yang optimal

Waktu : 30-60 menit dengan progresi bertahap

Tipe : aktivitas low-impact seperti berjalan, bersepeda, erobik low impact dan

latihan air) yang sesuai, lebih mudah diakses dan memberikan kesenangan
untuk pasien

Menurut ACSM tahun 2013 peresepan latihan untuk pasien overweight dan obesitas:18

Frekuensi : latihan> 5 hari per minggu untuk memaksimalkan pembakaran kalori

Intensitas : aktivitas erobik dengan intensitas sedang – berat, awali intensitas sedang
sekitar 40 – 60% dari VO2 Reserve atau HR Reserve (RPE 11-13) ditingkatkan
secara bertahap menjadi intensitas berat sekitar > 60% VO2 Reserve atau HR
Reserve yang dapat menghasilkan manfaat kesehatan dan kebugaran tubuh

Waktu : minimal 30 menit per sesi (150 menit per minggu) yang dapat bertambah 60

menit per sesi (300 menit per minggu) atau dapat berupa akumulasi latihan

intermiten selama 10 menit

Tipe : tipe latihan utama berupa latihan erobik yang meliputi kelompok otot besar.

Selain itu perlu menambahkan program latihan resistance, fleksibilitas dan


aktivitas sehari-hari (ADL).

Rehabilitasi Kardiovaskuler 279


Menurut European Guidelines for Obesity Management tahun 2015, latihan erobik merupakan
tipe latihan yang dapat menurunkan massa lemak dan tubuh paling optimal sedangkan latihan
resistance diperlukan untuk meningkatkan massa otot tanpa lemak (lean mass = total body
weight – body fat) pada usia pertengahan dan orang dengan overweight atau obesitas. Latihan
erobik dan resistance bermanfaat untuk pasien obesitas dalam rangka menurunkan morbiditas.
Direkomendasikan untuk melakukan latihan erobik sedang seperti berjalan cepat selama minimal
150 menit per minggu dan dikombinasikan dengan latihan resistance sebanyak 3 kali seminggu
untuk meningkatkan kekuatan otot.19

Latihan penguatan (resistensi) direkomendasikan sebagai tambahan untuk latihan erobik karena
dapat membantu menjaga laju metabolik basal (basal metabolic rate), memperbaiki kekuatan dan
kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang berhubungan dengan aktivitas sehari-
hari seperti mengangkat kantung belanjaan dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Disarankan
latihan resistensi intensitas sedang dengan frekuensi 2-3 hari per minggu, satu set dengan repetisi
15 kali dan melakukan 10 macam latihan untuk melatih kelompok otot yang berbeda.17

Diabetes melitus
Kontrol gula darah yang baik dapat mengurangi angka kejadian penyakit pembuluh darah,
(mikrovaskular maupun makrovaskular) pada penderita diabetes melitus yang insulin dependent
maupun non insulin dependent. 11

Menurut Zdrenghea dan kawan-kawan (2009), aktivitas fisik sangat penting dilakukan oleh
penderita diabetes. Pada orang normal aktivitas fisik dapat mencegah risiko diabetes dan pada
penderita diabetes aktivitas fisik berguna untuk menghambat komplikasi kardiovaskular sedangkan
pada penderita diabetes dengan masalah kardiovaskular, latihan fisik meningkatkan kapasitas
latihan dan menurunkan komplikasi dan memperpanjang kelangsungan hidup.20

Pada penderita diabetes latihan fisik yang direkomendasikan adalah latihan dengan supervisi.
Kendati demikian rehabilitasi di rumah (home based) juga memiliki manfaat. Program latihan erobik
dan latihan resistanceyang direkomendasikan pada pasien diabetes memiliki durasiselama 30 – 60
menit dan frekuensi 3 -5 kali perminggu.20

Diabetes melitus dan gangguan glukosa puasa berhubungan dengan outcome kardiovaskular
jangka panjang yang buruk. Perbaikan kontrol glikemik (glycemic control) akan menurunkan
angka mobiditas dan mortalitas kardiovaskular. Aktivitas fisik menurunkan resistensi insulin dan
intoleransi glukosa. Pasien perlu dinilai dengan sebaik mungkin mengenai status diabetes melitus
yang meliputi medikasi, diet, pemantauan kadar gula darah dan kepatuhan pasien. Target yang
diharapkan adalah HbA1c <7% untuk pasien diabetes melitus. Edukasi pasien harus mencakup
latihan terutama pada pasien dengan insulin dan mengajarkan kemampuan self-monitoring untuk
latihan yang tidak disupervisi.9

280 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 8. 9 Prevensi sekunder program rehabilitasi jantung pasien diabetes melitus 21

Komponen Rekomendasi

Penilaian Pasien Penilaian pasien curiga DM tipe 2 dengan menggunakan kombinasi risk score
tools dan GD2PP; penilaian pasien dengan penyakit jantung koroner dan DM
menggunakan GD2PP; kapasitas fungsional dan exercise induced ischemia
menggunakan maximal symptom-limited exercise stress testing

Konseling aktivitas fisik - Berjalan lebih dari 30 menit/hari


- Latihan dengan intensitas sedang (berjalan pada jalan dengan inklinasi
3%) selama 3 jam/minggu, 5-7 hari/minggu atau latihan intensitas berat
(jogging selama 20menit, 3 hari/minggu)

Program latihan - Aktivitas fisik erobik dengan intensitas sedang selama > 150 menit/
minggu (> 4,5 METs) dan/atau latihan erobik berat selama 90 menit/
minggu (> 7,5 METs)
- Aktivitas fisik perlu dilakukan minimal 30 menit
- Latihan kekuatan atau resistensi dilakukan 3 kali/minggu,2-4 set dengan
7-40 repitisi, mentargetkan kelompok otot mayor

Konseling diet/nutrisi - Pada kasus overweight restriksi kalori sekirar 1500 kcal/hari
- Diet antiaterogenik meliputi diet redah lemak sekitar 30-35% dari ambilan
energy harian, hindari lemak trans, tinggi serat 30 g/hari, rendah pemanis
buatan, buah atau sayur sebanyak 5 porsi per hari.
- Diet akan lebih efektif apabila dikombinasi dengan program latihan.

Manajemen berat badan - Lakukan kontrol berat badan rutin


dan lipid - Pemberian statin untuk menurunkan kadar LDL; target LDL <80 mg/dl
- Memulai terapi tanpa memandang kadar LDL baseline
- Bila monoterapi dengan statin tidak cukup menurunkan LDL maka
kombinasi dengan Ezetimib

Pemantauan tekanan - Target tekanan darah <130/80 mmHg


darah - Terapi lini pertama : penghambat ACE dan ARB
- Biasanya membutuhkan kombinasi terapi obat penurun tekanan darah
- Terapi antihipertensi lebih dipenting kontrol glukosa

Diet pada rehabilitasi jantung


U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) menemukan bahwa konseling diet pasien dengan
hiperlipidemia dan faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya dapat menyebabkan perubahan
intake komponen inti diet sehat. Selain itu USPSTF menyebutkan bahwa konseling diet dapat
memperbaiki kesehatan pasien terutama apabila dibantu dengan tim yang baik. The National
Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III merekomendasikan perubahan pola
hidup sebagai tatalaksana utama dan cara yang cost-effective untuk menurunkan risiko penyakit
jantung koroner. The World Heath Organization (WHO) dan kelompok lain mengatakan bahwa diet
kaya daging merah dan lemak, kadar garam tinggi serta makanan manis berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit jantung. Sebaliknya diet dengan buah, sayur, gandum, kacang, ikan
dan daging unggas yang tinggi bersifat protektif.22

Rehabilitasi Kardiovaskuler 281


Sebelum memulai konseling untuk perubahan diet, dokter perlu melakukan beberapa hal sebagai
berikut:22

- Menghitung indeks massa tubuh (IMT) dan intake makanan saat ini
- Menanyakan pasien mengenai kesediaan pasien untuk memulai perubahan diet, bila pasien
sudah siap makan resepkan terapi nutrisi atau pertimbangkan untuk dirujuk
- Memberikan edukasi mengenai kekhawatiran pasien yang berhubungan dengan kemampuanya
untuk memulai serta menjaga perubahan diet

Rekomendasi perubahan diet:22

- Meningkatan intake protein nabati


Peningkatan konsumsi dari gandum, kacang, legumes, buah dan sayur dikombinasi dengan
diet rendah lemak jenuh dan asam lemak trans dapat menurunkan kejadian penyakit jantung
(cardiac events) serta mortalitas secara signifikan. Produk kacang kedelai memiliki manfaat
dalam menurunkan kadar LDL dan trigliserid. Legumes (kacang kedelai, kacang polong dan
lain-lain) dan biji-bijian adalah contoh protein nabati yang baik yang mengandung lemak baik
dan serat tinggi.
- Meningkatan intake asam lemak omega-3
Diet yang mengandung asam lemak omega 6 yang tinggi dan lemak omega 3 yang rendah
dicurigai berkontribusi pada proses inflamasi pada penyakit kardiovaskular. The physician’s
health study menemukan bahwa peningkatan konsumsi ikan sekitar satu sampai dua porsi per
minggu dapat menurunkan risiko kematian jantung dibandingkan dengan yang mengkonsumsi
ikan dibawah satu porsi per bulannya (nilai p = 0,02) Makanan yang mengandung asam lemak
omega 3 yang tinggi antara lain sayur berdaun hijau, flaxseed,canola oil, kacang kedelai dan
lain-lain. Asam lemak omega 3 membantu dalam produksi eicosapentaenoic acid (EPA) and
docosahexaenoic acid (DHA) yang menghambat respon inflamasi dan agregasi platelet serta
memiliki efek antiaritmia. Studi yang dilakukan oleh the Italian GISSI menemukan bahwa
penggunaan 850 mg EPA dan DHA perharinya dapat menurunkan angka mortalitas, infark
miokard dan stroke.
Menurunkan intake lemak jenuh dan asam lemak trans, asam lemak trans bersifat aterogenik
dan meningkatkan kadar lipoprotein, LDL dan trigliserida dan menurunkan kadar HDL.
- Meningkatkan intake serat dan gandum
Peningkatan konsumsi serat terutama serat yang terlarut seperti pada kacang, biji-bijian,
buah dan sayur dapat menurunkan kadar LDL. Serat yang terlarut berikatan dengan bile acid,
menghambat penyerapan kolesterol dan memperbaiki sensitivitas insulin.
- Latihan reguler
Direkomendasikan untuk melakukan latihan selama 30 sampai 60 menit per sesi dengan
frekuensi 3 sampai 4 kali perminggu dan intensitas 70-80% HR maksimal serta menjaga berat
badan yang ideal untuk mengurangi risiko penyakit kronik.
- Merubah pilihan minyak pada masakan
Dianjurkan untuk memilih minyak nonhidrogenasi seperti minyak zaitun dan canola oil untuk
memasak karena minyak ini berhubungan dengan penurunan kadar trigliserida, peningkatan
kadar HDL dan perbaikan kontrol glikemik.

282 Rehabilitasi Kardiovaskuler


American Heart Association(AHA) tahun 2006 mengeluarkan rekomendasi diet dan gaya hidup
pada populasi untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner. 2,11

Tabel 8. 10 Rekomendasi diet dan gaya hidup AHA 2006 2,11

Rekomendasi diet dan gaya hidup oleh AHA 2006

Seimbangkan asupan kalori dengan aktivitas fisik untuk mencapai berat badan ideal/healthy
Konsumsi banyak buah dan sayuran
Pilih makanan berserat tinggi seperti whole grain/gandum
Konsumsi ikan setidaknya 2 kali seminggu
Batasi lemak jenuh <7% dari energi and kolesterol <300 mg
Minimalisir lemak trans <1% dari energi atau tidak mengkonsumsi sama sekali.
Batasi asupan gula <100 kcal/d untuk wanita dan<150 kcal/d untuk pria.
Pilih makanan dengan sedikit atau tanpa garam
Mengikuti rekomendasi AHA ketika makan diluar rumah
Batasi konsumsi alkohol
Berhenti merokok dan pastikan lingkungan bebas rokok
Lingkungan dengan udara bersih

Tabel 8. 11 Contoh edukasi dan konseling pada pasien gagal jantung1

Topik Edukasi Ketrampilan Perawatan Diri/Self Care

Definisi dan etiologi gagal jantung Mengerti bahaya dari gagal jantung dan bagaimana gejala bisa terjadi

Gejala dan tanda Monitor dan menemukan tanda dan gejala


Membuat buku harian tentang keluhan yang dirasakan dan
mengetahui kapan keluhan itu diberitahukan pada petugas
kesehatan, menggunakan terapi sesuai yang direkomendasikan

Terapi farmakologi Mengerti indikasi, dosis, efek samping


Mengenali efek samping pada setiap obat yang diminum

Modifikasi faktor risiko Mengerti pentingnya penurunan berat badan


Monitor tekanan darah

Rehabilitasi Kardiovaskuler 283


Rekomendasi diet Diet natrum sesuai yang direkomendasikan
Hindari mengkonsumsi cairan yang berlebihan
Monitor dan pencegahan malnutrition

Rekomendasi latihan Meyakini dan merasa nyaman dengan aktivitas fisik


Mengerti keuntungan latihan
Melakukan latihan secara rutin

Aktivitas seksual Meyakini tentang seks dan berdiskusi dengan dokter


Mengerti masalah aktivitas seksual

Kepatuhan Mengerti pentingnya mengikuti rekomendasi pengobatan dan


mempertahankan motivasi untuk mengikuti terapi

Aspek psikososial Mengetahui gejala depresi dan gangguan kognitif yang umum dan
bagaimana pentingnya dukungan sosial

Prognosis Mengerti pentingnya faktor prognosis dan membuat rencana yang


realistik
Mendapat dukungan psikososial yang sesuai

Daftar Pustaka

1. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
2. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. New York:
Churchill Livingstone, 1992.
3. AACVPR. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs. 5th
edition. USA: Human Kinetics, 2013.
4. Singh VN and Lorenzo CT, editor. Cardiac Rehabilitation. Prim care. 2015.
5. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, 2012.
6. American College of Sports Medicine. Exercise prescription for patients with cardiac disease.
In WR Thompson et al, eds, ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription, 8th ed,
pp. 207–224. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2010.
7. Graham IM, Fallon N, Ingram S, et al. Rehabilitation of the patient with coronary heart disease.
In Hurst’s the Heart, 13th edition. New York: McGraw-Hill. 2011. vol. 2, pp. 1513–1530
8. Giannuzzi P. Secondary Prevention Through Cardiac Rehabilitation: Position Paper of the
Working Group on Cardiac Rehabilitation and Exercise Physiology of the European Society of
Cardiology. European Heart Journal. 2003. 24: 1273-1278.
9. Wenger NK. Current Status of Cardiac Rehabilitation. Journal of the American College of
Cardiology. 2008. 51.
10. Rustin TA. Assessing Nicotine Dependence. American Family Physician. 2000.62(3):579-584.
11. Bell K, Twiggs J and Olin BR. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline
Recommendation. Alabama Pharmacy Association. 2015.
12. Nwankwo T,  Yoon SS, Burt V et al. Hypertension Among Adults in the United States : National
Health and Nutrition Examination Survey, 2011-2012. NCHS. 133. 2013.
284 Rehabilitasi Kardiovaskuler
13. Department of Health. Physical Inactivity and Cardiovascular Disease. 1999.
14. Center for Disease Control and Prevention Adult BMI. 2009.
15. Purnamasari D, Badarsono S,  Moersadik N, et al. Identification, Evaluation and Treatment of
Overweight an Obesity in Adults : Clinical Practice Guidelines of Obesity Clinic, Wellness
Cluster Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Journal of the ASEAN Federation
of Endocrine Societies. 2011.
16. BMI Classifications. World Health Organization. 2016.
17. Mcinnis KJ,   Franklin BA and Rippe JM. Counseling for Physical Activity in Overweight and
Obese Patients. American Family. 2003. 67: 1249-1256.
18. Pescatello, LS et al. ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription: Overweight and
Obesity. 9th ed. Lippincott Willians and Wilkins. 2013.
19. Yumuk V, Tsigos C, Fried M, et al. European Guidelines for Obesity Management in Adults. Karger.
2015; 8: 402-424.
20. Zdrenghea D and Penciu O. Rehabilitation in diabetic patients. Rom J Intern Med.
2009;47(4):309-17.
21. Piepoli MF,  Corrà U, Benzer W, et al. Secondary Prevention through Cardiac Rehabilitation
: from knowledge to implementation. European Journal of Cardiovascular Prevention and
Rehabilitation. 2010, 17:1-17.
22. Olendzki B,  Speed C and Domino FJ. Nutritional Assessment and Counseling for Prevention and
Treatment of Cardiovascular Disease. American Family Physician. 2006. 73 : 257-264.
23. Ackel RH, Jakicic JM, Ard JD, et al. 2013 AHA/ACC Guideline on Lifestyle Management to
Reduce Cardivascular Risk: a Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of American College of Cardiology
2014; 63(25).

Rehabilitasi Kardiovaskuler 285


286 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 9
Kembali Bekerja pada
Rehabilitasi Jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 287


Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian di negara maju yang menyumbang
40% mortalitas semua penyakit. Penyakit jantung umum ditemukan pada populasi usia produktif
dan berkontribusi pada penurunan kebugaran fisik pekerja. Penyakit jantung yang umum adalah
gagal jantung, gangguan katup dan angina. Pasien dengan kapasitas fungsional kelas I dan II
menurut kriteria NYHA, dapat kembali ke pekerjaannya.1 Waktu kembali bekerja pasien penyakit
jantung asimptomatis dan tanpa komplikasi yakni 4 minggu pasca infark miokard, 4 -8 minggu
pasca Coronary Artery Bypass Surgery/CABG dan 1 minggu pasca Percutaneous Coronary
Intervention/PCI.2

Penyakit jantung koroner menyumbang kematian, disabilitas dan kerugian yang besar secara
ekonomi pada negara industrial seperti Amerika Serikat. Pada pasien infark miokard baik yang
menjalani vaskularisasi PTCA maupun CABG mengalami banyak penurunan kemampuan salah
satunya aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan.2

Banyak penelitian mengenai kembali bekerja pada pasien jantung menilai status pekerjaan (bekerja
atau tidak bekerja), kerja full-time atau part-time serta waktu yang diperlukan untuk kembali
bekerja. Diperkirakan terdapat 50-80% pasien pasca infark miokard dapat kembali bekerja.3

Di Amerika Serikat hampir satu juta pasien yang hidup pasca serangan jantung, 45% diantaranya
masih berusia dibawah 60 tahun. Pasien penyakit jantung koroner yang hidup dan berusia dibawah
65 tahun yang dapat kembali bekerja secara signifikan akan berdampak pada ekonomi nasional.2
Di Israel sekitar 80% pasien pasca infark miokard kembali bekerja, namun demikian lamanya masa
bekerja hanya sekitar 50% dan hal ini berkaitan dengan usia pasien dan karakteristik pekerjaan,
begitu pula dengan tingkat keparahan penyakit dan metode revaskularisasi.1

Populasi di Uni Eropa diperkirakan kehilangan 90 juta hari kerja per tahunnya karena morbiditas
penyakit jantung koroner, padahal kembali bekerja setelah kejadian kardiovaskular dibutuhkan
untuk menyokong kondisi ekonomi dan memperbaiki kualitas hidup, tidak kembalinya bekerja
dapat menyebabkan depresi.4,5,6

Umumnya pasien menargetkan untuk kembali bekerja sebagai tujuan utama saat mengikuti
program rehabilitasi pasca infark miokard, CABG dan PTCA. Kembali bekerja juga dinilai sebagai
manfaat nyata dari efektivitas program rehabilitasi. Faktor psikologi dan sosioekonomi juga
terbukti sama pentingnya dengan faktor fisik dan medis dalam menentukan kemampuan bekerja
kembali. Kemajuan yang signifikan ditunjukkan pada kelompok pasien yang menjalani program
latihan rehabilitasi jantung, namun rehabilitasi psikososial dan okupasional belum dapat data
secara signifikan. Penilaian semua faktor yang mempengaruhi aktivitas pekerjaan pada pasien
kardiovaskular sangat penting untuk mengidentifikasi masalah terutama melanjutkan pekerjaan
sehingga dapat tersusun program rehabilitasi yang fokus untuk menyelesaikan masalah.2 Kembali
ke pekerjaan sebelumnya sangat penting untuk status kesehatan fisik dan emosional pasien namun
hanya 50-80 % pasien yang kembali bekerja setelah infark miokard atau operasi jantung. Dalam
dua tahun angka tersebut akan berkurang 10-15%.7 Frekuensi dan waktu kembalinya bekerja
menjadi gambaran efek infark miokard terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Beberapa studi di
negara maju mendapatkan angka frekuensi kembali bekerja pasca infark miokard sebesar 63 –
94% di Amerika Serikat, 58 – 80% di Swedia, 85 – 87% di Belgia dan 90% di Denmark.8

288 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Angina atau gejala lainnya bukan satu-satunya penentu status pekerjaan karena ada beberapa
faktor lain yang mempengaruhi antara lain status pekerjaan, edukasi, usia, angina dengan
kelelahan yang berkelanjutan, lamanya disabilitas atau lama tidak bekerja, cemas dan depresi,
gagal jantung kronik dan keuntungan pensiun. Perilaku pasien, keluarga dan pemberi pekerjaan
juga merupakan prediktor untuk melanjutkan pekerjaan. Pemberi pekerjaan umumnya lebih
memilih memperkerjakan karyawan usia muda yang memiliki risiko lebih rendah terhadap masalah
kesehatan yang dapat membebani anggaran perusahaan.7

Untuk menentukan kapan seseorang dapat kembali bekerja, maka program rehabilitasi harus
menyediakan program vokasional secepatnya. Pasien dengan infark miokard yang sederhana dan
pekerjaan dengan beban kerja ringan sampai sedang dapat memulai pekerjaan setelah 4 minggu
pasca infark miokard. Pasien yang tidak menunjukkan gejala selama uji latih menjadi data dan
dokumen yang penting tentang keamanan selama berkerja.7

Sulitnya kembali bekerja pada pasien yang mengalami infark miokard dapat terjadi karena:2

- Pasien tidak dapat kembali bekerja


- Masa konvalesens yang panjang dan terlambat kembali bekerja
- Kerja kurang efisien baik dari segi waktu dan intensitas
- Kehilangan pekerjaan karena kebijakan perusahaan atau faktor ekonomis.

Kemampuan pasien untuk kembali bekerja juga tergantung dari usia, sosialekonomi, lingkungan
pekerjaan, jenis infark yang sederhana atau infark menyeluruh dan waktu penilaian pasca infark.
Diperkirakan 70-75% dari seluruh pasien dapat kembali bekerja di Amerika. Sekitar 85% pasien
pasca infark miokard yang sederhana dapat melanjutkan pekerjaan sebelumnya.Namun demikian
hal ini tidak menjamin pasien dapat terus berada pada pekerjaannya karenadari data yang didapat
sebesar 20% keluar pada satu tahun pertama.2

Menurut pengalaman sebelumnya kebanyakan pasien dapat kembali bekerja dua hingga tiga bulan
pasca infark namun studi terbaru sudah menunjukkan periode yang lebih singkat kurang lebih 4
minggu pasien dapat kembali bekerja.

Waktu kembali bekerja pasien penyakit jantung asimptomatis tanpa komplikasi adalah 4 minggu pasca
infark miokard, pada pasca Coronary Artery Bypass Surgery/CABG 4-8 minggu dan pasca Percutaneous
Coronary Intervention/PCI 1 minggu.1

Tren ini terjadi karena pesatnya perkembangan pada bidang terapeutik seperti terapi reperfusi,
identifikasi faktor risiko rendah yang memungkinkan program rehabilitasi lebih agresif sehingga
pemulihan psikososial dan program rehabilitasi jantung lebih mudah. 2

Pemahaman berbagai faktor yang mempengaruhi kembali bekerja penting dalam menyediakan
informasi dan komunikasi efektif antara dokter dan pasien.2

Adapun faktor tersebut seperti di bawah ini:9,10,11

- Faktor medis: luasnya infark miokard, fungsi otot jantung, kapasitas fungsional, variabel
psikologis (ansietas, depresi)
- Faktor non medis: kepuasan pekerjaan (job satisfaction), status ekonomi, usia, persepsi
penyakit, riwayat gagal jantung dan rekomendasi dokter.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 289


Faktor- faktor yang mempengaruhi kembali bekerja
Pada penelitian Elena dan kawan-kawan (2014) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesempatan kembali bekerja pasien jantung antara lain faktor sosio-demografi (usia, jenis kelamin,
pendidikan dan kategori profesi), faktor psikososial (depresi, persepsi pasien terhadap penyakit,
motivasi dan ekspektasi pasien dan kepribadian) serta lingkungan kerja (stres pekerjaan dan
dukungan sosial).6

Faktor sosio-demografi6
- Usia
Beberapa penelitian melaporkan bahwa usia lanjut merupakan faktor negatif untuk kembali
bekerja. Pada penelitian PERISCOP rata-rata usia pasien yang kembali bekerja pasca CABG
adalah 49,6 ± 5,4 tahun (p<0,001). Penelitian Hallberg dan kawan-kawan pada penelitian yang
dipantau selama 10 tahun menemukan bahwa angka keberhasilan kembali bekerja pasien
pasca CABG usia muda lebih tinggi dibandingkan dengan yang usia tua. Pasien pasca penyakit
jantung usia diatas 60 tahun disarankan untuk mengambil pensiun.

- Jenis Kelamin
Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dengan angka kembali
bekerja pasca intervensi jantung. Dikatakan bahwa wanita memiliki risiko tidak kembali
bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan oleh tingginya morbiditas
dan masalah psikiatri pada wanita pasca infark miokard serta wanita yang sudah menikah
banyak yang enggan kembali bekerja.

- Pendidikan
Terdapat hubungan antara tingginya tingkat pendidikan dengan angka kembali bekerja. Hal ini
tercantum pada penelitian yang dilakukan oleh Waszkowska dan Szymczak yang menemukan
bahwa pasien yang kembali bekerja pasca infark miokard memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi dan juga usia muda.

- Kategori Profesi
Beberapa studi menyatakan bahwa angka kembali bekerja pasca intervensi jantung sangat
dipengaruhi oleh status pekerjaan pasien. Angka kembali bekerja biasanya lebih tinggi pasien
dengan jabatan yang lebih tinggi “white collar” dibandingkan dengan yang pasien yang bekerja
sebagai bawahan “blue collar”.

Faktor psikososial6
- Depresi
Pasien depresi memiliki risiko yang tinggi untuk tidak kembali bekerja dan juga pasien dengan
gejala depresi sedang dapat mempengaruhi proses kembali bekerja. Penelitian yang dilakukan
oleh Soderman dan kawan-kawan mengatakan bahwa depresi merupakan prediktor negatif

290 Rehabilitasi Kardiovaskuler


untuk kembali bekerja pada pasien penyakit arteri koroner. Pada penelitian tersebut dikatakan
2/3 pasien tidak kembali bekerja.

- Persepsi pasien
Pengalaman masa lalu tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya (sebagai contoh pendapat
bahwa penyakit ini adalah penyakit yang akan bertahan lama dan memiliki konsekuensi berat)
dapat mempengaruhi penilaian pasien terhadap kemampuan bekerja, kapasitas bekerja dan
keputusan mengenai kembali bekerja. Penelitian Soejima dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa persepsi yang positif mengenai penyakit pasien merupakan salah satu faktor yang
positif untuk pasien kembali bekerja.

- Motivasi dan ekspektasi pasien


Keinginan dan motivasi pasien pasca intervensi jantung untuk kembali bekerja sangat penting
karena pekerja yang termotivasi memiliki sifat yang proaktif dan perilaku untuk kembali
mencapai target pekerjaan.

- Kepribadian
Pola kepribadian introvert, usia tua dan gejala depresif merupakan prediktor negatif untuk
kembali bekerja.

Faktor lingkungan kerja6


- Stres pekerjaan
Persepsi pasien mengenai lingkungan kerja sebelumnya memiliki peran yang signifikan
terhadap proses kembali bekerja. Penelitian Fukouda dan kawan-kawan menyebutkan bahwa
beban kerja yang berat menjadi salah satu prediktor negatif untuk kembali bekerja atau
menyebabkan “delayed return to work” pada pasien pasca penyakit jantung koroner yang absen
terlalu lama.

- Dukungan sosial di tempat kerja


Dukungan sosial sesama teman kerja juga merupakan faktor penting untuk kembali bekerja
pada pasien jantung seperti halnya yang dicantumkan pada penelitian Sykes.

Program latihan.
Selain ketiga hal yang disampaikan sebelumnya adapula faktor lain yang mempengaruhi kembali
bekerjanya pasien yaitu program latihan. Program latihan mempengaruhi kapasitas fungsional
pasien dan berhubungan dengan penurunan gejala kardiorespirasi sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pasien dalam melakukan pekerjaan. Konseling mengenai pekerjaan dan aktivitas fisik
yang dapat dilakukan serta edukasi juga akan semakin memperbaiki kemampuan pasien untuk
kembali bekerja.12

Rehabilitasi Kardiovaskuler 291


Prediktor kembali bekerja pasca infark:2

- Faktor klinis:
- Derajat keparahan penyakit berdasarkan Killip atau profil komprehensif yang merupakan
indikator penting dalam kemampuan pasien kembali bekerja
- Komplikasi infark miokard (aritmia atau gagal jantung)
- Angina berkepanjangan
- Rehospitalisasi

Dennis dan kawan-kawan mengemukakan bahwa kurangnya produktivitas dan pendapatan
tidak terhindarkan pada pasien risiko tinggi dengan infark miokard yang berat atau dengan
komplikasi, tetapi kerugian ini dapat dicegah pada pasien dengan risiko rendah. Pada studi random
menggunakan protokol evaluasi pekerjaan (occupational work evaluation) pada 21 hari pasca infark
miokard, pasien dengan risiko rendah mampu kembali bekerja dalam 5 minggu pasca infark dan
pada kelompok yang diberikan rehabilitasi mampu kembali bekerja 3 minggu lebih cepat. 2

- Faktor psikososial
Status sosioekonomi yang tercermin dalam tingkat edukasi, kebutuhan fisik atau tipe pekerjaan
merupakan prediktor kemampuan kembali bekerja. Umumnya sulitnya kembali bekerja berhubungan
dengan status sosioekonomi yang rendah terutama pada pekerja kasar (blue collar worker). Karena
jenis pekerjaan ini umumnya memerlukan kebutuhan fisik yang tinggi sehingga sulit untuk kembali
bekerja. Para pekerja kasar umumnya juga menunjukkan tingkat cemas dan depresi lebih tinggi
dari pekerja berkerah putih(white collar worker). Persepsi tentang status kesehatan diri sendiri juga
terbukti sebagai prediktor kemampuan kembali bekerja berdasarkan studi univariat dan bivariat.
Pasien usia diatas 60 tahun menunjukkan angka kembali bekerja yang lebih rendah, hal ini mungkin
disebabkan karena dengan bertambahnya usia, pasien cenderung ingin meninggalkan pekerjaan
secara psikologis sebagai persiapan untuk pensiun dari pekerjaanya.2

Manifestasi psikologis seperti distres, cemas dan depresi berhubungan dengan perpanjangan
masa konvalesens dan rendahnya angka kembali bekerja. Penelitian Shanfield mengemukakan
gangguan afektifmerupakan prediktor kuat dibanding gejala cemas atau depresi dalam kemampuan
untuk kembali bekerja. Sedangkan pada orang dengan kepribadian tipe A umumnya memiliki
angka kembali bekerja yang tinggi. Pada orang yang giat bekerja, usaha untuk kembali bekerja
tidak sepenuhnya bermanfaat tetapi lebih mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan
kemampuan fisiknya.2

Laki-laki memiliki kecenderungan untuk kembali bekerja lebih tinggi dari perempuan karena perempuan
yang mengalami sakit jantung sebagian besar berusia lebih tua dan sudah menikah sehingga secara
psikologis akan mementingkan keluarga dan kurang semangat untuk melanjutkan pekerjaan, tidak
seperti halnya pria. Dukungan keluarga berhubungan dengan pendeknya masa konvalesens dan
kembali bekerja lebih awaltetapi dukungan yang belebihan akan menyebabkan pasien menjadi terlalu
tergantung pada keluarganya sehingga memperpanjang waktu yang diperlukan untuk kembali bekerja.
2
Pasien yang tidak kembali bekerja dalam 6 bulan cenderung tidak akan melanjutkan pekerjaannya,
hal ini mungkin disebabkan oleh psikologis paisen yang cenderung menyalahkan pekerjaannya sebagai
penyebab penyakitnya. Sehingga presepsi pribadi merupakan hal yang sangat penting dalam kembali
bekerja, 96% tidak bekerja jika mempercayai mereka sudah memiliki disabilitas.

292 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Aktivitas rekreasional merupakan faktor non klinis yang menentukan kemampuan seseorangkembali
bekerja sehingga pendekatan yang komprehensif penting agar pasien dan keluarga mendapatkan
seluruh manfaatnya.

Pada tabel 1 menunjukan faktor non medis yang mempengaruhi keputusan pasien dalam hal
kembali bekerja.2

Tabel 9.1 Faktor yang mempengaruhi kembali bekerja pasca PJK2

Faktor pasien Faktor pekerjaan

Penyakit Umum
- Usia yang tua saat onset serangan - Kategori dan status pekerjaan
- Prognosis medis - Pekerjaan sebelumnya
- Keparahan penyakit dan Komplikasi - Kepedulian pasien mengenai work safety
- Derajat disabilitas - Kebutuhan fisik pekerjaan
- Penyakit lain yang signifikan - Kebutuhan emosional, kognitif dan mental

Sosial ekonomi Nilai positif


- Tingkat pendidikan yang lebih rendah - Profesional, manager, eksekutif
- Kelas sosial yang rendah - Keahlian yang tinggi

Psikoemosional Nilai negatif


- Stabilitas emosional - Tidak bekerja sebelum serangan
- Kepribadian - Keahlian yang rendah
- Persepsi terhadap kesehatan - Perilaku pegawai yang negatif
- Persepsi penyakit dengan hubungannya ke
pekerjaan
- Masalah yang tidak terselesaikan

Keluarga Dokter
- Overprotection - Nasehat mengenai pekerjaan
- Kurangnya dukungan keluarga - Kurangnya kosneling dan pemberi motivasi

Ekonomi
- Keuntungan dan dana pensiun
- Peraturan dan keuntungan pekerja
- Pendapatan pasif

Boudrez dan kawan-kawan (2000) meneliti angka kembali bekerja pada pasien pasca infark
miokard akut dan pasca CABG serta menganalisis variabel yang memprediksi angka kembali
bekerja. Penelitian tersebut mengambil 227 subjek penelitian yang terdiri dari 90 pasien pasca
infark miokard akut dan 137 pasien pasca CABG. Subjek diberikan kuesioner pada saat di rumah
sakit dan 1 tahun pasca perawatan untuk mengevaluasi status pekerjaan, alasan tidak kembali
bekerja, morbiditas dan kondisi psikososialnya.13

Rehabilitasi Kardiovaskuler 293


Hasil yang didapatkan dalam penelitian tersebut adalah sebanyak 185 subyek (83,3%) kembali
bekerja (87,2% subyek pasca infark miokard dan 80,8% pasien pasca CABG) dan rata-rata waktu
keterlambatan kembali bekerja adalah 14,8 minggu. Setelah satu tahun subyek yang kembali
bekerja menunjukkan efek yang positif, angka keluhan somatik dan masalah kognitif yang lebih
rendah. Variabel yang mempengaruhi angka kembali bekerja berbeda antara kedua kelompok
penyakit. Pada pasien pasca CABG faktor yang mempengaruhi angka kembali bekerja adalah
fungsi ventrikel kiri yang baik dan revaskularisasi yang lebih luas. Variabel psikososial yang juga
berperan adalah kepercayaan, keamanan pekerjaan, ekspektasi pasien terhadap pekerjaan dan
stressor.13

Sebuah penelitian yang dilakukan Mirmohammadi dan kawan-kawan (2010) dengan melibatkan
200 partisipan di bawah usia 65 tahun yang mengalami kejadian infark miokard pertama kali dan
bekerja sebelum infark miokard yang diikuti selama 1 tahun ini menilai frekuensi kembali bekerja
pasien pasca infark miokard dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.14

Metode penelitian tersebut antara lain pengisian kuesioner untuk mendapatkan data demografik,
status ekonomi dan informasi mengenai pekerjaan setiap partisipan, pemeriksaan echocardiografi
untuk mengevaluasi fungsi otot jantung (device: GE vivid 7 USA) dan pengisian kuesioner oleh
Direct Support Professional untuk menilai kepuasan pekerjaan (job satisfaction). Dari 200 partisipan
hanya 174 yang dapat dipantau dan 134 orang (77%) di antaranya kembali bekerja selama kurun
waktu 1 tahun penelitian ini dilakukan. Didapatkan waktu rata-rata kembali bekerja adalah 46,00
+ 4,12 hari, 50% pasien kembali bekerja selama 40 hari pertama pasca infark miokard dan 10%
lainnya kembali bekerja antara 40 – 50 hari pertama setelah kejadian infark miokard. Alasan
tidak kembali bekerja yang paling sering ditemukan adalah keputusan pasien sendiri, selain ada
beberapa alasan lainnya seperti dalam tabel berikut.14

Tabel 9.3 Alasan Tidak Kembali Bekerja14

Pasien yang kembali bekerja sebagian besar kembali pada pekerjaan lamanya yaitu sebanyak
99,2%. Kebiasaan olahraga rutin sebelum mengalami infark miokard, memiliki dampak positif
terhadap kembali bekerja karena didapatkan 86,7% pasien yang dulunya olahraga teratur kembali
bekerja pasca infark miokard dibandingkan dengan yang tidak olahraga sebelumnya hanya 78,3%
di antaranya yang kembali bekerja.14

Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF) memiliki efek signifikan terhadap kembali bekerja dengan
nilai p = 0,007.14

294 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Tabel 9.4 Kaitan Fraksi Ejeksi dan Kembali Bekerja14

Beberapa faktor yang tidak signifikan berhubungan dengan kembali bekerja antara lain: kepuasan
bekerja (p = 0,350), kelompok usia (p = 0,410), beban pekerjaan (p = 0,210), penyalahgunaan obat
terlarang (p = 0,230), merokok (p = 0,230), penghasilan/income (p = 0,620) dan titel pekerjaan (p
= 0,710).14

Dalam menentukan kembali bekerja pada pasien infark miokard perlu mengevaluasi prognosis,
kapasitas fungsional dan status psikososial.14

Prognosis dinilai dari adanya penyakit lainnya, temuan elektrokardiogram, uji toleransi latihan,
thallium scan dan angiografi. Kapasitas fungsional yang dinilai dari Left Ventricle Ejection Fraction
(LVEF) merupakan prediktor penting. Studi sebelumnya mendapatkan nilai signifikan bahwa lebih
dari 95% yang kembali bekerja memiliki fraksi ejeksi > 50%.14

Faktor psikososial di antara yang lainnya merupakan penentu paling penting terhadap kembali
bekerja. Perubahan psikologis setelah serangan jantung merupakan hal yang kompleks dan
berbeda tiap individu. Kecemasan serangan berulang dan rasa takut mati dapat mencegah pasien
kembali bekerja.14

Pada penelitian ini mendapatkan bahwa tingginya kepuasan akan pekerjaan membuat frekuensi
kembali bekerja lebih tinggi dan pekerja kantoran merupakan kelompok yang paling sering kembali
bekerja. Waktu rata-rata kembali bekerja pada penelitian ini adalah 6 minggu dan hasil ini serupa
dengan beberapa penelitian lainnya.14

Penelitian Kovoor dan kawan-kawan (2006) mendapatkan bahwa kelompok pasien risiko rendah
yang kembali bekerja 2 minggu setelah infark miokard dibandingkan dengan kelompok pasien
risiko tinggi yang kembali bekerja 6 minggu setelah infark miokard sama-sama tidak berbahaya.
Selain itu tidak didapatkan perbedaan signifikan pada kedua kelompok pasien tersebut mengenai
komplikasi kardiovaskular.14

Penelitian Korzeniowska dan kawan-kawan (2005) mendapatkan hasil bahwa rehabilitasi, usia,
tingkat pendidikan, dukungan sosial dan kepuasan pekerjaan menjadi faktor penentu kembali
bekerja pasca kejadian infark miokard.14

Pasien pasca CABG umumnya membatasi aktivitas sehari-hari pada awal minggu pertama termasuk
kemampuan untuk bekerja, walaupun angina berkurang dan kapasitas fungsional meningkat tetapi
hal tersebut tidak serta merta memudahkan pasien untuk kembali bekerja.2

Pamela dan kawan-kawan (2005) menyebutkan bahwa angka pasien yang kembali bekerja setelah
tindakan CABG menurun sekitar 14 % yaitu dari 56% menjadi 42% pada tahun pertama pasca
CABG. Menurunnya angka pasien yang kembali bekerja pasca tindakan CABG lebih sering terjadi
pada pekerja “blue-collar” (OR: 2.1, 99% CI: 1.4–3.1, 46% vs 29%, p < 0.001), usia tua (9% per tahun,

Rehabilitasi Kardiovaskuler 295


99% CI: 1.06–1.11, p < 0.001) dan wanita (OR: 2.1, 99% CI: 1.1–3.6). Selain itu juga ditemukan
bahwa pada subyek usia di bawah 60 tahun yang kembali bekerja pasca tindakan CABG memiliki
kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan yang tidak kembali bekerja.15

Penelitian Villa dan kawan-kawan memiliki hasil yang kurang lebih sama dengan penelitian Pamela
yang juga meneliti faktor yang mempengaruhi angka kembali bekerja dan seberapa baik pasien
tetap bekerja pasca tindakan CABG. Jumlah subyek penelitian sebesar 569 pasien pasca CABG
usia di bawah 65 tahun yang dipantau selama 10 tahun.16

Dengan analisis multivariate dalama penelitian Villa dan kawan-kawan ditemukan bahwa prediktor
terbaik yang mempengaruhi angka kembali bekerja adalah usia muda, status pekerjaan praoperasi,
tidak adanya diabetes atau kerusakan jantung perioperatif. Hampir setengah dari jumlah subyek
usia di bawah 60 tahun dan sebelumnya bekerja, kembali pada pekerjaannya satu tahun pasca
CABG. Lima tahun pasca CABG 85% dari jumlah subyek tersebut masih bekerja. Dapat disimpulkan
bahwa usia muda dan status pekerjaan preoperatif merupakan prediktor yang kuat untuk pasien
dapat kembali bekerja.16

Di sisi lain penelitian Vasiliauskas dan kawan-kawan (2008) menilai alasan tidak kembali bekerja
pada pasien pasca CABG dengan melibatkan 134 partisipan usia kurang dari 65 tahun setelah
menjalani prosedur revaskularisasi CABG.17

Penelitian tersebut mendapatkan hasil yaitu 48,1% pasien yang bekerja sebelum operasi kembali
bekerja dalam 1 tahun setelah revaskularisasi dan tidak ada masalah signifkan yang dijumpai.
Sekitar 30% lainnya yang juga bekerja mengalami gejala angina rekuren selama 12 bulan pasca
CABG. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kembali bekerja secara signifikan dipengaruhi oleh
jenis kelamin wanita, pola fisik dari pekerjaan, usia dan berat ringannya gagal jantung.17

Kemampuan pasien pasca PCI kembali bekerja tidak jauh berbeda dari pasien dengan infark
miokard atau pasien pasca CABG. Didapatkan data epidemiologis dari sebuah penelitian yaitu
dari 1.252 pasien pekerja yang mengalami penyakit jantung koroner diperkirakan hanya 20% di
antaranya yang kembali bekerja pasca revaskularisasi dengan PCI.8

Faktor non medis juga terbukti sama pentingnya dengan faktor medis dalam mempredikisi waktu
kembali bekerja pada pasien pasca PCI. Seperti yang diketahui masa konvalesen dan waktu yang
diperlukan untuk kembali bekerja lebih singkat dibanding pasien infark miokard dan CABG.2

Program Kembali Bekerja


Pada tahun 1986 diperkirakan hanya sebagian kecil (6%) dari pasien dengan penyakit jantung
koroner yang mengikuti program rehabilitasi jantung, sedangkan berdasarkan laporan studi acak
(randomized trial) pada tahun 2000 menyatakan hampir setengah pasien dalam perawatan biasa
sudah mendapat rehabilitasi selama di rumah sakit. Akan tetapi program rehabilitasi lanjut yang
meliputi konseling vokasional dan program evaluasi pekerjaan masih sedikit diterapkan.2 Walaupun
kembali bekerja dan kehidupan yang produktif merupakan tujuan dari program rehabilitasi,
kebanyakan studi menekankan pada hasil klinis yang berhubungan dengan morbiditas, mortalitas
dan peningkatan kapasitas fungsional. Hedback dan Perk melaporkan angka kembali bekerja pada
pasien usia di bawah 55 tahun lebih tinggi pada pasien yang mendapat program rehabilitasi yang
komprehensif sebagai penunjang dari program latihan dan modifikasi risiko. Manfaat dari program
rehabilitasi dengan latihan erobik dinilai secara adekuat dapat meningkatkan kemampuan bekerja

296 Rehabilitasi Kardiovaskuler


kembali oleh karena itu manfaatnya baik jangka pendek dan jangka panjang perlu diperhitungkan
dan tidak boleh diabaikan. 2

Penatalaksanaan pasien perlu disesuaikan dengan stratifikasi risiko sehingga program rehabilitasi
perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi pasien, juga dapat disesuaikan setiap individu untuk
mencapai kebutuhan vokasionalnya. Pasien risiko rendah tahap komplikasi membutuhkan lebih
sedikit konseling vokasional atau intervensi psikologis karena mereka memiliki disabilitas fisik yang
rendah dan memiliki angka kembali bekerja yang tinggi. Dennis dan kawan-kawan menunjukkan
pasien risiko rendah secara signifikan membutuhkan waktu kembali bekerja yang lebih singkat.
Pickard dan kawan-kawan yang menilai cost benefit program ini pada pasien usia kurang dari 60
tahun di Amerika Serikat menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang lebih rendah dan pendapatan
okupasional lebih tinggi pada pasien yang dapat kembali bekerja lebih cepat. Penatalaksanaan
yang sesuai dengan indikasi dan pemberian terapi trombolitik untuk mengembalikan perfusi
miokard menyebabkan peningkatan signifikan pada angka kehidupan jangka pendek dan panjang
serta juga menghindari kecacatan fungsional serta risiko yang mungkin muncul.2

Pasien yang mendapat intervensi di rumah sakit dibandingkan di rumah menunjukkan stres psikologi
dan ketergantungan pada keluarga yang lebih rendah serta mampu menghilangkan hambatan untuk
kembali bekerja. Burgess dan kawan-kawan melaporkan baik program vokasional dan psikososial
serta kelompok yang mendapat rehabilitasi biasa menunjukkan angka kembali bekerja yang tinggi
(88%). Pada pasien yang akan menjalani intervensi program konseling vokasional dapat dimulai
sebelum pasien menjalani prosedur tersebut. Hal ini memungkinkan pasien lebih bersemangat,
merasa aman dan percaya diri untuk kembali bekerja setelahnya. Pada penelitian Liddle dan
kawan-kawan pasien yang menjalani rehabilitasi pekerjaan sebelum operasi menunjukkan hasil
yang lebih baik pasca operasinya. Hanya 46% dari 413 pasien yang berusia di bawah 65 tahun
yang bekerja sebelum operasi tetapi 85% di antaranya kembali bekerja setelah operasi. Liddle
menekankan bahwa dukungan psikologis terhadap rehabilitasi vokasional merupakan faktor yang
penting dalam meningkatkan angka kembali bekerja pada pasien.2

Evaluasi pekerjaan
Evaluasi kemampuan kembali bekerja pasca infark miokard masih menjadi kontroversi. Pada tahun
1960an hanya 12 – 18% pasien infark miokard yang kembali ke pekerjaan lamanya. Pada dekade
pertama abad 21 meskipun sudah banyak kemajuan di bidang diagnosis dan penatalaksanaan
selama 40 tahun terakhir tingkat kembali bekerja pasca infark miokard terbilang masih rendah.19,20

Rehabilitasi penderita jantung koroner melibatkan pemulihan, pemeliharaan fungsional, emosional,


psikologis, seksual, sosial dan status pekerjaan. Untuk pasien usia muda sampai menengah,
kembalinya fungsi fisik maupun mental secara penuh merupakan prioritas utama baik dalam
aspek medis, sosial dan ekonomi dianggap sebagai terapi psikologi untuk penyembuhan pasien
penderita koroner. Sebagai tambahan kelangsungan hidup ekonomi dari pasien penderita koroner
umumnya tergantung pada pekerjaan yang didapat.2

Teknik intervensi seperti Coronary Artery Bypass Surgery (CABG), Percutaneous Coronary Intervention
(PCI), terapi trombolitik dan latihan olahraga telah meningkatkan kelangsungan hidup tetapi
belum konsisten terkait dengan peningkatan produktivitas dan kembali bekerja pada pasien yang
sebelumnya bekerja, disabilitas atau memiliki keterbatasan bekerja, meskipun program rehabilitasi
telah memberikan kemajuan dramatis pada kapasitas fungsional dan psikologis penderita jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 297


koroner. Setiap tahun di Amerika beberapa juta pria dan wanita mengalami peningkatan gejala
klinis dari penyakit jantung koroner (PJK), angina atau infark miokard akut, dan beberapa ratus
ribu menjalani teknik intervensi seperti CABG dan PTCA.2

Dari sekitar 800.000 warga Amerika yang selamat dari akut miokard infark, sebanyak 200.000
orang dilakukan evaluasi kerja, stratifikasi risiko yang sesuai dan kembali bekerja. Terdapat studi
yang memperkirakan pengeluaran biaya medis yang hemat untuk setiap individu yang mencapai
$100 juta dollar dan mendapatkan penghasilan tambahan $400 juta dollar. Jika ditotal mencapai
$500 juta dollar. Data serupa tidak tersedia pada pasien yang menjalani PTCA atau operasi CABG.
Kesuksesan dari rehabilitasi jantung dalam pengembalian pasien ke dalam aktivitas pekerjaannya
senantiasa dievaluasi dalam hal berapa persentase pasien yang kembali bekerja, lamanya waktu
antara terjadinya serangan koroner akut sampai kembali bekerja, lamanya kerja berdasarkan
jumlah jam per minggu dan kompensasi lainnya.2

Menurut penelitian Engblom dan kawan-kawan (1994) rehabilitasi jantung memiliki dampak
signifikan terhadap kembalinya bekerja. Penelitian yang melibatkan pasien pasca CABG elektif
dengan 66 partisipan di antaranya sebagai kelompok latihan dan 59 partisipan kelompok kontrol
ini mendapatkan hasil 6 bulan setelah CABG kembali bekerja sebanyak 45% pada kelompok latihan
dan 34% pada kelompok kontrol, pada 12 bulan pasca CABG 56% pada kelompok latihan dan 38%
pada kelompok kontrol. Pada pasien usia di bawah 55 tahun kembalinya bekerja sangat signifikan
dijumpai pada kelompok latihan dengan perbedaan 60% vs 35% dan p = 0,02.21

Penilaian lebih menitik beratkan pada aspek performa lain (psikologis), kompetensi intelektual,
relasi interpersonal dan keahlian dengan kebutuhan energi yang lebih sedikit, lebih lanjut pekerjaan
berat biasanya diberikan pada pekerja yang lebih muda.1

Pasien penyakit jantung koroner umumnya berasal dari orang paruh baya yang bekerja. Lebih
dari 40% dari populasi tersebut sudah bekerja 15 tahun atau lebih di pekerjaan yang sama. Salah
satu studi mendemonstrasikan 56% pasien penyakit jantung koroner sudah bekerja 5 tahun pada
tempat yang sama, 39% lebih dari 10 tahun dan 23% lebih dari 20 tahun. Kebanyakan pekerjaan
membutuhkan keahlian tinggi 37%, sedangkan 43% membutuhkan keahlian biasa dan kurang dari
20% yang pekerjaan tidak membutuhkan keahlian.1

Syarat kepegawaian pada pasien jantung sudah disebutkan oleh WHO dalam Expert Committee on
Rehabilitation of Patients with Cardiovascular Disease antara lain:2

- Pekerjaan tidak boleh meningkatkan beban fisik


- Pekerjaan sebaiknya membutuhkan kemampuan khusus
- Pekerjaan harus memberikan kepuasan, jika memungkinkan memberikan keamanan dan
promosi

Kembali bekerja membutuhkan evaluasi kemampuan dan limitasi dari setiap individu dan
penyesuaian dengan persyaratan pekerjaan yang dapat diperkirakan dengan orang normal sesuai
usianya.2 Evaluasi pasien dengan penyakit jantung koroner harus komprehensif dan mencakup
tidak hanya kualifikasi dari kapasitas fungsional, kebutuhan terapi, status psikologis, prognosis
tetapi juga evaluasi menyeluruh dari status kesehatan pasien (penyakit komorbid yang signifikan,
penyakit pembuluh darah perifer dan serebral).2

298 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Disfungsi psikologi banyak ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung tetapi umumnya
bersifat transien dan jarang membutuhkan psikoterapi. Namun disfungsi psikologis yang berat
sering terjadi sebelum serangan akut koroner. Pada pasien seperti ini status psikologisnya
dapat mempengaruhi kemampuan untuk menyesuaikan dengan pekerjaan terutama jika mereka
mengalami eksaserbasi cemas atau depresi yang tidak hanya pada serangan akut tetapi juga pada
masa pemulihan. Hal ini sering terjadi pada pasien angina tidak stabil, aritmia tidak terkontrol atau
serangan akut pada pasien dengan diabetes melitus.2

Pasien dengan penyakit jantung koroner, beban emosional pekerjaan lebih mempengaruhi
daripada kebutuhan energi pekerjaan tersebut. Beban emosional didapat dari status pekerjaan,
stres dari atasan dan kompetisi di tempat kerja. Hubungan antara tekanan ekonomi dan keluarga di
rumah juga dapat mempengaruhi pekerjaan sehingga serangan angina umumnya terjadi di rumah.
Perlu ditekankan bagaimanapun juga pada hampir semua kasus, kepuasan dan pengembalian
kehormatan diri serta bebas dari masalah finansial, menjadi stres emosional yang mempengaruhi
pasien. Pekerjaan yang sesuai harus mampu memberikan status aktualisasi diri, gaji dan sesuai
dengan kapasitas individu sekarang dan di kemudian hari.2

Identifikasi kebutuhan spesifik setiap pekerjaan dan nilai dari kapasitas fungsional yang dibutuhkan
sangat penting untuk nasehat penentuan pekerjaan kepada pasien penyakit jantung.2 Stratifikasi
risiko dapat menjadi pedoman tidak hanya untuk manajemen medis tetapi juga menentukan
pekerjaan dan rehabilitasi vokasional. Dokter perlu membedakan pasien koroner yang memiliki
prognosis buruk baik angka harapan hidup dan kembali bekerjanya serta pasien yang memilki
kapasitas fungsional yang baik dan mampu kembali bekerja tanpa penyesuaian pekerjaan.2

Tabel 9.5 Algoritma Stratifikasi Risiko menurut AACVPR2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 299


Tiga keluaran pasien untuk kembali bekerja:2

- Kembali bekerja tanpa limitasi


- Kembali bekerja dengan limitasi
- Tidak dapat bekerja karena keterbatasan fisik atau tidak adanya pekerjaan yang sesuai.

Penilaian pekerjaan dengan kebutuhan energi yang rendah membantu banyak pasien dengan risiko
sedang hingga ringan untuk kembali bekerja. Klasifikasi fungsi jantung disesuaikan dengan klasifikasi
New York Heart Association.2 Pada pasien dengan pekerjaan berat atau kapasitas fungsional kelas
III atau IV dapat ditunda bekerja beberapa minggu dulu dan uji latih fungsional dapat dilakukan
sebelum pasien bekerja. Ada beberapa pengecualian yaitu pasien dengan pekerjaan berat atau
dengan penyakit jantung tertentu (kardiomiopati hipertrofi, stenosis aorta berat dan sindroma
Marfan) memerlukan pertimbangan saran dari spesialis jantung dan kedokteran okupasi.1

Kondisi khusus
Pasien dengan episode pingsan atau hampir pingsan yang tidak terkontrol, yang tidak berhubungan
dengan kelelahan fisik tetapi karena paroksismal takikardia aritmia, AV block derajat 2 atau 3,
malfungsi pacemaker, hipotensi postural, Transient Ischemic Attack/TIA dan lain-lain dikategorikan
pada risiko tinggi sampai pasien terkontrol, tidak peduli dengan klasifikasi fungsional. Pasien yang
termasuk pada kelompok ini tidak diizinkan melakukan pekerjaan yang dapat berakibat buruk
pada pasien, teman kerja sekitar dan lingkungan seperti operator crane, pengemudi kendaraan
umum atau menjalankan mesin lain.2

Penyakit arteri obstruktif seperti klaudikasio dengan gangguan sirkulasi arteri (dengan ratio SBP
pada lengan dan tungkai kurang dari 0,50) sebaiknya dihindari dari pekerjaan yang membutuhkan
banyak aktivitas berjalan. Tetapi pekerjaan sedentary seperti pekerjaan ringan yang melibatkan
ektremitas atas dan kemampuan komunikasi dan administrasi.2

300 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Pilihan untuk kembali bekerja
Penelitian Pramesh dan kawan-kawan (2005) membandingkan efek kembali bekerja 2 minggu
dan 6 minggu pasca infark miokard akut. Subjek pada penelitian ini berjumlah 142 subyek infark
miokard akut dengan risiko rendah penyakit jantung berulang. Subjek dipilih secara acak sebelum
dipulangkan dari rumah sakit. Kriteria inklusi berupa tidak ada angina, fraksi ejeksi > 40% dan hasil
symptom limited stress test yang negatif. Subjek dengan fraksi ejeksi < 40 % diikutsertakan dalam
penelitian apabila tidak ditemukan ventrikular takikardi.

Dalam penelitian tersebut sejumlah 72 subjek kembali bekerja 2 minggu pasca serangan dan 70
subyek menjalani rehabilitasi jantung serta kembali bekerja 6 minggu pasca serangan. Tidak ada
subyek yang mengalami gagal jantung atau meninggal pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan
insidensi reinfark, revaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan uji latih yang signifikan pada kedua
kelompok sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien pasca infark miokard dengan risiko rendah
aman untuk kembali bekerja secepatnya pasca serangan atau sekitar 2 minggu.22

Setelah evaluasi komprehensif pada pasien koroner seperti penilaian kapasitas fungsional dan
stratifikasi risiko, penting untuk menentukan kesesuaian dengan pekerjaan. Pada umumnya pasien
dapat kembali ke pekerjaan sebelumnya. Namun jika terjadi ketidakcocokan dengan kapasitas
individu maka perlu dilakukan beberapa upaya antara lain:2

- Modifikasi pekerjaan: untuk mengurangi syarat kerja dengan mengubah lingkungan yang
sesuai, mengubah desain pekerjaan atau mengganti pekerjaan
- Penempatan selektif: berpindah ke pekerjaan yang membutuhkan syarat yang lebih rendah
dengan cara dipindahkan ke bagian lain pada perusahaan yang sama.
- Latihan vokasional: untuk meningkatkan kapasitas dengan cara konseling vokasional dan
latihan vokasional. Atau pelatihan kerja kembali dengan keahlian yang lebih tinggi tetapi
dengan kebutuhan energi yang lebih rendah.
- Peningkatan kapasitas individu: dengan cara program latihan fisik, dukungan psikologis dan
emosional dan atau terapi medis seperti obat, operasi, angioplasti
- Pengunduran diri atau pensiun jika hal di atas tidak memungkinkan.

Kebutuhan pekerjaan
Kebutuhan pekerjaan dapat dibagi dalam dua kategori:2

- Kebutuhan fisik
Pengeluaran energi dari setiap pekerjaan dapat dilihat dari satuan kilogram-meter, foot-pounds,
METs, kalori per menit, pengeluaran energi maksimum atau keadaan stabil (steady state). Fitur
lain yang perlu dilihat adalah kecepatan (cepat atau lambat), istirahat, diam atau bergerak,
keahlian, latihan dan pengalaman pekerjaan sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi
seperti bising, debu, fumes (asap), stress suhu dan pencahayaan.

- Kebutuhan psikologis dan intelektual


Meliputi pengetahuan, kognitif, mental, penilaian (judgement), kemampuan mengambil
keputusan, relasi interpersonal dan motivasi.2

Rehabilitasi Kardiovaskuler 301


Kebutuhan energi pada pekerjaan
Pengeluaran energi untuk kebutuhan pekerjaan dapat diukur menggunakan:2

1. Pengukuran tidak langsung


Memprediksi respon pekerja dengan dasar uji latih atau performa pekerjaan dahulu seperti:
- Aktivitas pada saat bekerja
Evaluasi tidak langsung yang didasari analisis pada aktivitas yang dikerjakan dan nilai
kalori yang digunakan. Kalori yang digunakan tergantung dari tipe, kecepatan, istirahat,
berapa banyak siklus, pola bekerja, lingkungan serta keahlian, waktu yang dihabiskan
pada posisi duduk, berdiri, berjalan, menaiki tangga, adakah kegiatan yang memerlukan
pembungkukkan badan, gerakan lengan atau seluruh badan dan transportasi yang
dibutuhkan.

Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:


- Pencatatan waktu setiap aktivitas oleh observer (time and motion study)
- Pencatatan waktu oleh pasien (diary technique)
- Mengingat waktu aktivitas baik oleh pasien dengan kuesioner atau wawancara
- Accelerometri dan pedometri
- Fotografi dalam rentang waktu2

- Deskripsi pekerjaan
Oxygen uptake atau kalori dapat dihitung dari deskripsi pekerjaan yang mendetail yang
disusun menjadi tabel terstandar (dictionary of occupatinal titles atau manual lainnya).
Namun tabel ini tidak bisa menggambarkan seluruh kegiatan karena lingkungan, peralatan
dan faktor psikologis di setiap tempat pekerjaan dapat berbeda.
- Asupan makanan harian
Kebutuhan energi pada jam kerja dapat diperkirakan dengan cara mengurangi energi
yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari pada asupan makanan. Metode ini tidak
hanya tidak akurat tetapi juga memakan waktu.

- Respon fisiologi di tempat kerja


Respon fisiologi merupakan pengukuran tidak langsung dari respon tubuh terhadap
semua stimuli termasuk aktivitas fisik, ambilan oksigen, aktivitas mental, intelektual
dan faktor lingkungan seperti bising dan suhu.
Pada uji latih, detak jantung, tekanan darah dan menit ventilasi (Ve) meningkat secara
linear dengan uptake oksigen (VO2). Sehingga detak jantung dapat menjadi penanda
kebutuhan energi pada individu saat bekerja. Metode ini dikenal sebagai persamaan
HR-O2 intake. Namun hubungan linear ini tidak berlaku pada semua pekerjaan karena
faktor emosi dan lingkungan terutama pada pekerjaan dengan aktivitas ringan.2

302 Rehabilitasi Kardiovaskuler


2. Pengukuran langsung
Penilaian langsung terhadap respon pekerja:
- Respon kardiovaskular: detak jantung, tekanan darah, perubahan EKG.
- Respon respirasi: volume ventilasi per menit dan kecepatan ventilasi, penilaian ventilasi
per menit meningkat linear dengan ambilan oksigen.
- Respon regulasi terhadap suhu: suhu tubuh dan jumlah keringat terutama pada pekerjaan
dengan pajanan panas seperti pemadam kebakaran dan peleburan besi.
- Respon metabolik: asam laktat pada pekerjaan berat dan katekolamin pada pekerjaan
dengan stres mental dan emosional tinggi serta pada pekerjaan dengan beban fisik berat
seperti pemadam kebakaran.

Pada studi yang dilakukan pada 500 pekerja dengan berbagai penyakit jantung (mayoritas
penderita PJK) menunjukkan hasil yang sama seperti orang normal pada berbagai pekerjaan dengan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Semua subjek dievaluasi dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, EKG 12 sadapan, uji latih dan tes psikologi seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Pesonality
Inventory) dan riwayat pekerjaan. Pasien dinilai saat menjalani aktivitas pekerjaan yang biasa,
pasien akan diperiksa setiap aktivitas yang dijalankan, menilai ambilan oksigen dari udara ekspirasi
serta EKG dan tekanan darah. Pasien yang gagal mencapai target harian menunjukkan penurunan
produktivitas kerja. Pengukuran faktor lingkungan seperti panas dapat dilakukan dengan black
globe thermometer, kecepatan udara, wet and dry bulb temperatur.2

Tabel 9. 4 Kebutuhan energi rata-rata dan maksimal saat melakukan pekerjaan pada orang dengan
atau tanpa penyakit jantung2

METs pada pasien dengan penyakit jantung METs pada orang normal
Rerata 1-1,2. Maksimal 1,2-2,3 Rerata 1,3-1,6.
Penjaga toko, teknisi listrik, pelukis, supervisor, Pengacara, radio dan televisi
manajer, pekerja kantoran
Rerata 1,3-1,6. Maksimal 1,6-3,3 Rerata 1,6-2.
Ahli anestesi, pekerja kantoran, bisnis, control Pekerja kantoran, mengetik, operasi mesin ringan.
operator, buruh pabrik, security, ahli bedah,
operator mesin.
Rerata 1,6-2. Maksimal 1,8-3,4 Rerata 2-2,5.
Operator mesin, pengawas, teknisi mesin Bartender, membersihkan jendela, memperbaiki radio
dan televisi, pialang saham, berjalan 2mph
Rerata 2-2,5 Maksimal 2,5-5,4 Rerata 2,5-3.
Pemadam kebakaran, manajer, pengrajin Bertani dan berkebun, bekerja di industri
perabotan, pembersih, penempa (memindahkan barang), mengendarai truk, berjalan 2,5
mph, menempa
Mean 3-4.
Tukang bangunan, perkejaan kasar (menggali), berjalan
3mph, tukang kayu ringan, mengendari trailer,
menempa, membersihkan jendela.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 303


Perkembangan otomatisasi dan mekanisasi yang membantu pekerjaan akan mengurangi kebutuhan
energi setiap pekerjaan pada 60 tahun terakhir. Hanya sekitar 5% pasien yang melakukan
pekerjaan “berat” jika dibandingkan pada 65% di tahun 1950. Umumnya pengeluaran energi
maksimal tidak melewati 4 kal/menit. Muller dan Franz memperkirakan batas kemampuan stamina
pada orang normal 5 kal/menit. Pasien infark miokard akut pada masa konvalesen yang mampu
mandi, bercukur dan berpakaian mandiri (2 kal/menit, 2METs), berjalan di lingkungan rumah 6.6
kal/menit (5METs), dapat melakukan pekerjaan dengan beban yang sama di tempat kerja. Dokter
harus mengetahui kemampuan pasien di rumah sehingga dapat memberikan saran kembali bekerja
tanpa harus membebani jantung.2

Ketidakmampuan melakukan aktivitas 5 METs pada latihan digunakan oleh Social Security
Administration untuk evaluasi disabilitas. Pasien tersebut dikategorikan pada kategori risiko tinggi.
Pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ventrikel kiri juga dapat kembali bekerja jika memenuhi
kebutuhan pekerjaan tetapi hal ini perlu dibantu dengan program rehabilitasi jantung yang tepat.
Pengaturan dan modifikasi pekerjaan dapat membantu agar kembali bekerja tidak hanya didasari
pada kebutuhan energi maskimum pekerjaan.2

Uji latih sebelum kembali bekerja


Pada evaluasi pekerjaan, baik orang normal dan pasien dengan penyakit jantung perlu mendapat
cukup informasi tentang seberapa berat pekerjaan tersebut termasuk stres dan dampak bagi
diri mereka. Uji latih pada pasien koroner digunakan untuk melihat kapasitas erobik dan respon
hemodinamik untuk mengetahui kebutuhan energi dan menjadi basis untuk rekomendasi
pekerjaan, stratifikasi risiko dan asuransi jika pasien tersebut gagal mencapai 5 METs.2

Stres fisik pada pekerjaan umumnya melibatkan usaha ringan atau submaksimal dari otot dalam
waktu yang singkat dan aktivitas berat hanya berlangsung 2-3 menit. Pekerjaan sebaiknya diselingi
waktu istirahat 30-45% dari jam kerja.2

Uji latih dapat dimodifikasi dengan beberapa cara:2

- Usaha diagnositik dan kuantitatif yang terstandardisasi


- Uji latih yang realistis dengan kombinasi satu atau lebih stres yang didesain untuk mensimulasi
situasi kerja (dingin, panas, bising, pemecahan masalah, pengambilan keputusan)
- Uji situasional, evaluasi pekerjaan yang dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung
yang dijelaskan diatas.

Uji latih yang biasa masih memiliki keterbatasan dalam rekomendasi pekerjaan, stres pekerjaan
berbeda tipe dan besarnya dibanding uji latih biasa. Respon kardiovaskular yang berhubungan
dengan uji latih juga dapat berbeda pada uji latih biasa di mana detak jantung, tekanan darah
dan volume ventilasi permenit meningkat secara linear dengan ambilan oksigen sedangkan pada
pekerjaan emosi dan peran lingkungan dapat mempengaruhi.2

Peningkatan stres pada uji latih seperti pertanyaan cepat, soal aritmatika, tugas yang membutuhkan
konsentrasi dalam 3-10 menit mampu meningkatkan denyut jantung 10-15 kali per menit dan

304 Rehabilitasi Kardiovaskuler


tekanan darah sistolik 10-25 mmHg dan diastolik 5-15 mmHg pada hampir kebanyakan pasien
PJK.2

Pada umumnya stres mental dan psikologis memberikan respon yang kecil dan kurang dapat
diprediksi. Namun status psikologis sepert depresi, cemas dan rendah diri dapat berhubungan
dengan kejadian penyakit jantung dan mempengaruhi kemampuan kembali bekerja di samping
kapasitas erobik dan keadaan tanpa gejala.2

Gambar 9.1 Algoritma kembali bekerja pada sindrom koroner akut23

Keterangan:

- Revaskularisasi berupa PCI atau operasi


- Ekokardiografi: menilai fraksi ejeksi
- SLST : Symptom Limited Stress Test hasilnya negatif apabila tidak ada gejala klinis
dan abnormalitas EKG dan hasil positif bila ada gejala klinis dan ditemukan
EKG abnormal berupa ST depresi > 1 mm atau aritmia ventrikular pada > 7
METs
- A : boleh melakukan berbagai jenis pekerjaan
- M5 : boleh melakukan pekerjaan < 5 METs
- M3 : boleh melakukan pekerjaan < 3 METs
- I : tidak disarankan untuk melakukan pekerjaan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 305


Daftar Pustaka

1. Moshe S, Levy D and Harefuah SH. Return to work with heart disease. 2007;146(2):113-9,
165.
2. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. Churchill
Livingstone, 1992.
3. Izabela Z, Schultz, Gatchel, et al. Handbook of Retun to Work: From Research to Practice. New
York: Springer science+business Media. 2016.
4. Leal J, Luengo-Fernandez R, Gray A, et al. Economic burden of cardiovascular diseases in the
enlarged European Union. Eur Heart J 2006; 27(13): 1610-9.
5. Mital A, Desai A and Mital A. Return to work after a coronary event. J Cardiopulm Rehabil
2004; 24(6): 365-73.
6. Fiabane E, Omodeo O, Argentero P, et al. Return to Work after an Acute Cardiac Event: the Role
of Psychosocial Factors. Journal Prevention and Research. 2014 3(4): 137-141.
7. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
8. Kaplan RJ. PMR Review: Pearls of Wisdom. 2nd edition. New York: Mc Graw Hill. 2006
9. Slebus FG, Jorstad HT, Peters RJ, et al. Return to work after an acute coronary syndrome:
patients’ perspective. Saf Health Work 2012; 3(2): 117-22.
10. Bhattacharyya MR, Perkins-Porras L,Whitehead DL, et al. Psychological and clinical predictors
of return to work after acute coronary syndrome.Eur Heart J 2007; 28(2): 160-5.
11. Fiabane E, Argentero P, Calsamiglia G, et al. Does job satisfaction predict early return to work
after coronary angioplasty or cardiac surgery? Int Arch Occup Environ Health 2013; 86(5):
561-9.
12. Fuster V. The AHA Guidelines and Scietific Statements Handbook. Wiley Blackwell. USA 2009.
13. Boudrez H and  De Backer G. recent findings on return to work after an acute myocardial infarction
or coronary artery bypass grafting. Acta Cardiologica. 2000, 55(6):341-349.
14. Mirmohammadi SJ, Sadr-Bafghi SM, Mehrparvar AH, et al. Evaluation of the return to work and
its duration after myocardial infarction. ARYA Atheroscler 2014; Vol 10(3): 137-140.
15. Pamela JB. Return to Work After Coronary Artery Bypass Surgery in a Population of Long-Term
Survivors. Heart lung circulation. 2005. Vol 14: 191-196.
16. Villa H, Palomaki A, Kataja M, et al. Return to work after coronary artery bypass surgery. A 10-
year follow-up study. Scandinavian Cardiovascular Journal. 2009. Vol 43: issue 5.
17. Vasiliauskas D,  Raugaliene R, Grizas V, et al. Return to work after coronary bypass. Medicina
(Kaunas). 2008;44(11):841-7.
18. Japanese Circulation Society. Guidelines for Rehabilitation in Patients with Cardiovascular
Disease. Circulation Journal. 2012.
19. Wigle RD, Symington DC, Lewis M, et al. Return to work after myocardial infarction. Can Med
Assoc J 1971; 104(3): 210-2.
20. Brisson C, Leblanc R, Bourbonnais R, et al. Psychologic distress in postmyocardial infarction
patients who have returned to work. Psychosom Med 2005; 67(1): 59-63.
21. Engblom E, Hämäläinen H, Rönnemaa T, et al. Qual Life Res. 1994;3(3):207-13.

306 Rehabilitasi Kardiovaskuler


22. Kovoor P,  Lee AK, Carrozzi F, et al. return to full normal activities including work at two weeksafter
acute myocardial infarction. American Journal of Cardiology. 2005.
23. Reporting on coronary patients for return to work: an algorithm. An article from the e-journal
of the ESC Council for Cardiology Practice. Vol.10, N.20 - 23 Feb 2012.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 307


308 Rehabilitasi Kardiovaskuler
BAB 10
AktiVitas SeKSual pada
Rehabilitasi Jantung

Rehabilitasi Kardiovaskuler 309


Pendahuluan
Rehabilitasi yang baik juga perlu memperhatikan aktifitas seksual pasien, karena seks merupakan
kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan pasien.1 Pasien dan dokter cenderung
menghubungkan aktifitas seksual dengan resiko kematian mendadak. Namun, Ueno menemukan
kematian mendadak hanya terjadi kurang dari 1% di Jepang, saat koitus. Skinner menemukan pada
usia paruh baya, laki-laki yang menikah, aktifitas terberat saat aktifitas seksual tidak melampaui
5 METs. Bohlen dan kawan-kawan, mengukur uptake oksigen, denyut nadi, dan tekanan darah
saat empat aktifitas berbeda (masturbasi, foreplay, man on top, woman on top), menemukan bahwa
aktifitas seksual dengan posisi yang umum memiliki nilai metabolik yang lebih rendah dibanding
yang kurang familiar. Studi juga menemukan foreplay dapat dikategorikan sebagai aktifitas ringan.
Larangan untuk tidak melakukan aktifitas seksual 8-12 minggu setelah MI tidak diperlukan lagi.
Riwayat aktifitas seksual seharusnya juga menjadi bagian terhadap anamnesis awal untuk semua
pasien. terapi dasar yang dapat diberikan antara lain diskusi pendukung secara terbuka, dan
menjelaskan aktifitas yang diizinkan. 2

Pedoman terapi seksual dasar:2

- Memberikan pasien materi tertulis tentang efek penyakit jantung pada fugnsi seksual
- Mendukung hubungan pernikahan dengan memaksimalkan komunikasi tentang perilaku dan
ketakutan terhadap penyakit
- Menjelaskan aktifitas seksual yang diperbolehkan

Ketakutan akan kegagalan melakukan aktifitas seksual, merupakan alasan utama terjadinya
kegagalan, pasangan suami istri dianjurkan menunda hubungan seksual hingga pasangannya
merasa nyaman untuk melakukannya. Berpelukan, bermesraan, foreplay noncoital, boleh
dianjurkan karena merupakan aktifitas ringan, dan tidak berbahaya serta merupakan aktifitas yang
menyenangkan dan menenangkan. Waktu yang tepat untuk aktifitas seksual adalah ketika kedua
pasangan sudah cukup beristirahat. Usaha melakukan aktifitas seksual sehabis makan dan minum
terlalu banyak sering menimbulkan kegagalan pada pasangan. Pasien menemukan pagi hari dan
sore ahri merupakan waktu yang ideal untuk aktifitas seksual. Jika pasien memiliki risiko timbulnya
angina, premedaksi nitrogliserin dapat memberikan hasil yang memuaskan. Jika pasien memiliki
masalah yang persisten selama aktifitas fisik, pemeriksaan EKG dapat mendeteksi baik disritmia
dan iskemia.2

Keluhan penurunan libido atau performa sering disebabkan oleh pengobatan. Obat-obatan
seperti tranquiliser, anti hipertensi, beta blocker, anti depresan, thiazid diuretik, phenotiazine,
haloperidol, benzodiazepin, alkohol, MAO (monoamin oksidase) inhibitor terbukti menurunkan
libido, meningkatkan risiko impotensi, atau mengganggu ejakulasi. Hackett dan Cassem melihat
disfungsi seksual bertahan lebh dari enam bulan atau tujuh bulan dan memerlukan penelitian lebih
lanjut. 2

310 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Definisi disfungsi seksual
Disfungsi seksual pada laki-laki dan perempuan melibatkan banyak faktor seperti faktor fisiologi,
sosial, dan emosional. Hasrat seksual atau libido merupakan mekanisme yang kompleks dan
di atur oleh neurofisiologi sentral. Kaplan mendefinisikan “sensasi spesifik yang memotivasi
individu untuk memulai atau menjadi responsif terhadap stimulasi seksual”. Jika seseorang
dengan disabilitas, umumya mereka mengalami penurunan dorongan seksual yang dikenal sebagai
hipoaktif dorongan seksual. Masalah lain yang dapat terjadi adalah masalah kesuburan dan nyeri
pada aktivitas seksual.3

Tiga kelainan disfungsi seksual menurut model Masters & Johnson:3,4,5

1. Gangguan rangsangan (arousal disorder)3


Laki-laki : disfungsi ereksi
Perempuan : gangguan rangsangan subjektif dan objektif
2. Disfungsi ereksi dan ejakulasi
Menurut penelitian Hoffman BM dkk tahun 2010 dalam Cardiovascular Disesase Risk, Vascular
Heatlh and Erectile Dysfunction among Middle-aged Men, Clinically Depressed Men mendapatkan
hasil bahwa difungsi ereksi berkaitan dengan risiko penyakit kardiovaskular (p = 0,004) dan
usia sangat berpengaruh (p = 0,003). Disfungsi ejakulasi pada pria dari segala usia sebesar
15% – 30%.4
3. Gangguan orgasme
Gangguan orgasme pada pria sebesar kurang dari 9% dan wanita sebesar 24% seperti yang
telah diteliti oleh National Health and Social Life Survey. Menurut penelitian Schwarz ER dkk
tahun 2008 dalam The prevalence and clinical relevance of sexual dysfunction in women and men
with chronic heart failure, mendapatkan hasil di antara 100 pasien (76 pria dan 24 wanita) yang
diwawancara saat rawat jalan, 62% baik pria maupun wanita mengalami kesulitan mencapai
orgasme.5

Respon fisiologi aktifitas seksual


Pada tahun 1966, Masters dan Johnson mengemukakan model respon fisiologi setelah mempelajari
lebih dari 600 laki-laki dan perempuan di laboratorium, dan meneliti fungsi genital, payudara,
kulit, otot, dan kardiovaskular. 3,6

Master dan Johnson membagi respon terhadap rangsangan seksual menjadi 4 fase:

1. Excitement phase/ fase eksitasi


Fase excitement terjadi sebagai respon dari stimulus seksual baik secara sentuhan (reflexogenic)
atau imajinasi (psikogenik) pada pria dan wanita. Fase ini diatur oleh saraf parasimpatis melalui
S2,S3,dan S4 via kauda ekuina. Sistem saraf simpatis (T11-L1) juga sedikit mempengaruhi. 3,6
Vasokongesti pelvis dan tekanan neuromuskular menyebabkan perbesaran atau ereksi dari
jaringan erektil pada laki-laki dan perempuan, pada wanita juga terjadi lubrikasi vagina dan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 311


akomodasi (pemanjangan dan peninggian uterus). Pada pria skrotum berkontraksi searah
tubuh dan terkadang terjadi ereksi pada puting. Pada wanita perubahan lain terdapat pada
ekspansi 2/3 bagian dalam vagina, serviks dan labia mayora. Klitoris juga membesar, payudara
membesar dan puting mengeras. Parameter kardiovaskular dan respirasi meningkat dan
cenderung berkeringat. 3,6
2. Plateau phase / fase plateau
Fase plateau adalah bangkitan seksual yang sebelum melewati ambang batas orgasme
(preorgasme). Durasi fase plateau berbeda setiap individu. 3,6
Pada fase preorgasme, laki-laki mengalami ereksi maksimal dan warna bertambah gelap
dan ejakulasi sulit ditahan lagi, testes meninggi dan berputar ke anterior dan diam disekitar
perinemum, pada perempuan, ekspansi klitoris dan puting susu bertambah, dan “sex flush”
menyebar ke seluruh abdomen, payudara dan dinding dada. Sepertiga luar vagina menebal
yang dikenal sebagai “orgasmic platform.” Tanda ekstragenital pada pria dan wanita dapat
dilihat pada takipneu, takikardia, peningkatan tekanan darah, dan miotonia menyeluruh. 3,6
3. Fase orgasme
Orgasme merupakan pengalaman yang menyenangkan yang dirasakan pada organ genital,
otak dan seluruh tubuh diikuti kontraksi ritmik pada otot dasar panggul baik pada laki-laki
maupun perempuan, begitu pula kontraksi otot polos pada organ dan struktur tambahan
seksual interna. Fase ini dipengaruhi oleh kontrol simpatis pada setiap individu. Fase orgasme
memiliki heart rate, tekanan darah dan kecepatan respirasi maksimal pada seseorang dengan
fungsi neurologikal yang baik. Ejakulasi, merupakan pengeluaran cairan semen melalui
uretra. Pada wanita orgasme dirasakan sebagai kontraksi otot yang ritmis, ini meliputi uterus,
sfingter ani, dan 1/3 bagian depan vagina, pada wanita yang telah menjalani histerektomi dan
klitoridektomi juga tetap dapat merasakan orgasme. 3,6
4. Fase resolusi
Fase resolusi merupakan kebalikan dan atau kembali ke fase 1. Fase resolusi ditandai dengan
penurunan ereksi, vasokongesti pelvis, tekanan neuromuskular dan karidovaskular secara
berkala. Wanita memilki kemampuan untuk orgasme yang lebih panjang, berulang, dan orgasme
mutliorgan. Terdapat beberapa laporan laki-laki jgua dapat mengalami mutipel orgasme. Laki-
laki memiliki periode refrakter fisiolgis, pada periode refrakter, ejakulasi tidak dapat terjadi
dalam beberapa waktu, tetapi tetap dapat terjadi ereksi, lamanya periode ini berbeda setiap
individu, dan cenderung dipengaruhi oleh usia.3,6

Pada model yang dikeluarkan Masters dan Johnson, laki-laki cenderung lebih cepat dalam melewati
setiap fase dibanding perempuan, dan hanya mengalami satu kali orgasme setiap siklusnya, dan
disertai fase plateau yang sangat singkat. Sedangkan perempuan dapat mencapai multipel orgasme
dalam satu siklus. Masters dan Johnson juga mencatat, wanita dapat mengalami fase plateau
yang lama dan langusng ke fase resolusi tanpa mencapai orgasme. Masters dan Johnson lebih
meneliti respon seksual berdasarkan respon genital dan kurang menerangkan tentang kontrol
neurofisiologi sentral. 6

Pada tahun 1970, Kaplan mengemukakan model respon seksual yang baru dengan tiga fase:
fase desire (keinginan), excitement (rangsangan), dan orgasme. Menurut Kaplan, keinginan selalu
mengawali rangsangan, keinginan di definisikan sebagai sensasi spesifik yang memotivasi individu
untuk memulai atau menjadi responsif terhadap stimulasi seksual. Seperti hal nya Master dan

312 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Johnson, Kaplan juga melihat respon seksual sama baik pada pria maupun wanita. Masters
dan Johnson, serta Kaplan tidak melihat komponen utama kepuasan seksual wanita seperti
kepercayaan, intimasi, rasa sayang, rasa hormat, dan komunikasi. Penelitian terbaru oleh Basson
mengemukakan respon seksual pada perempuan untuk melihat perbedaan antara jenis kelamin
pada tahun 2000 sampai 2001. Model diagram oleh Basson menunjukkan respon pada wanita
lebih kompleks dibanding laki-laki. Wanita yang melakukan hubungan tidak semata-mata karena
dorongan seksual atau keinginan, umumnya wanita lebih pada keadaan netral, dan keputusan
utnuk melakukan hubungan didasari oleh banyak pertimbangan salah satunya hubungan emosional
dengan pasangannya. Rangsangan seksual dan kepuasan seksual tidak hanya terbatas pada
stimulasi fisik seperti stimulasi klitoris dan orgasme, tetapi juga pada status mental seperti rasa
aman atau sejahtera secara psikologis. Model berbentuk diagram juga dikeluarkan oleh Janssen,
tetapi dapat diterapkan pada pria maupun wanita. 6

Tabel 10. 1 Model Masters dan Johnson tentang respon seksual6

Excitement / - Berhubungan dengan indra, memori, dan fantasi


perangasangan - Peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan respirasi
- Miotonia terjadi di akhir fase rangsangan
- Laki-laki: perbesaran korpus kavernosa penis, peninggian testis, permukaan skrotum
mendatar, kemungkinan ereksi puting susu.
- Perempuan: perbesaran klitoris, lubriaksi vagina, konstiksi sepertiga luar vagina dan
dilatasi 2/3 dalam vagina, uterus meninggi, ereksi puting susu, dan perbesaran areola
Plateau - Peningkatan lebih lanjut pada detak jantung, respirasi dan tonus otot
- Sex flush dapat terjadi (kemerahan pada dada, leher, dan wajah)
- Laki-laki: peningkatan diameter dan warna glan penis, peninggian lebih lanjut testis
dan ukran 50-100% dari baseline
- Perempuan: perbesaran paryudara hingga 50% dan retraksi glan dan pembungkus
klitoris
- Bertahan selama beberapa detik hingga menit dan sering dikenal sebagai rasa
nyaman secara umum
Orgasme - Detak jantung, respirasi dan tekanan darah maksimal
- Kontraksi ritmis involunter pada otot dasar panggul
- Laki-laki: hanya satu orgasme persiklus
- Perempuan: dapat mencapai orgasme multipel per siklus dan mungkin melewati fase
orgasme, dari fase plateau langsung ke fase resolusi
Resolusi - Berkeringat dan penurunan kembali detak jantung, tekanan darah, dan respirasi
- Berlangsung 5-15 menit, tetapi penis tidak kembali keukuran normal selama 30-60
menit setelah orgasme.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 313


Gambar 10.2 Siklus Respon Seksual Wanita11

Saraf somatis dan otonom penting sebagai komunikasi aferen dan eferen seksual antara otak dan
perifer. Saraf otonom diaktiftkan karena kekurangan oksigen dibanding sentuhan dan temperatur.
Pada sistem somatis, input taktil meliputi sentuhan ringan, temperatur, tekanan getaran, dan
nyeri. evaluasi otak pada kulit dan stimasi viseral; input visual, gustatori, dan auditori; fantasi dan
emosi dapat menajdi sinyal eksitasi atau inhibisi seksual. Sinyal dikoordinasi melalui sistem limbik,
hipotalamus, dan struktur otak, dan dibawa ke brainstem dan traktus spinal dan dapat diatur oleh
mood, hormon, emosi, dan faktor fisik ketika sudah melewati sumsum tulang belakang, organ
seksual mendapat sinyal melalui sumsum tulang belakang melalui 3 jalur:3

(a) sacral parasympathetic (pelvic nerves and pelvic plexus),


(b) thoracolumbar sympathetic (hypogastric nerves and lumbar sympathetic chain),
(c) somatik (bilateral pudendal nerves)

Bangkitan hasrat seksual menyebabkan jaringan erektil mengalmi perbesaran dan vasokongesti
pelvis via vasodilatasi arteri dan relaksasi otot polos. Pada wanita, lubrikasi dipengaruhi oleh kadar
estrogen. Pada pria produksi semen dan ereksi dipengaruhi oleh kadar testosteron. 3

Terdapat 2 jalur neurologis untuk rangsangan genital:

- Jalur refleksogenik, dicetuskan oleh stimulasi langsung dari organ genital, dengan komponen
aferen yang diatur oleh saraf pudendal S2-S4. Komponen eferen melalui pusat parasimpatis
sakrum, menuju ke nervus kavernosal di genitalia.
- Jalur psikogenik, berasal dari supraspinal (auditori, imajinasi, visual, dan lain-lain) melibatkan
nukelus preoptik medial, nukleus paraventrikel hipotalamus, dan sistem aktivasi retikular
(berhubungan dengan rangsangan nokturnal pada tidur rapid eye movement (REM)) 3

314 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Baik pria dan wanita mengalami rangsangan genital pada tidur REM. Pada pria, ereksi pada tidur
REM menandakan masalah ereksi yang terjadi kemungkinan besar disebabkan oleh masalah
psikogenik.3

Pada tingkat genital, relaksasi otot polos kavernosa menyebabkan vasokongesti, pembesaran
dan pemanjangan dari jaringan rektil pria dan wanita. Tunika albugenia yang merupakan pelapis
fibroelastik yang menyelimuti korpus karvernosum, menjadi meregang beriringan dengan
pembesaran, yang membuat fiber elastik menjadi lebih keras dan menekan vena diantaranya. Pada
pria, mekanisme venooklusi serta kontraksi bulbus kavernosum, menyebabkan ereksi yang cukup
keras dan kontraksi otot iskiokarvernoisum untuk mengeluarkan semen. Pada wanita mekanisme
venooklusif kurang jelas terlihat. Lubrikasi vagina (plasma transudat dari sirkulasi darah ke epitel
vagina), perpanjangan vagina, dan uterus, labia, dan uretra, dan vasokongesti ligamen pelvis terjadi
pada wanita saat terangsang.3

Ejakulasi terjadi dalam 2 fase:

- Seminal emission (simpatis T10-L2)


Seminal emission meliputi tranportasi semen ke uretrea pars prostetika via vesikula seminalis
ejaculatory duct di prostat. Saraf simpatis hipogastrik (L1,L2) menutup leher kandung kemih
utuk mencegah ejakulasi retrograde.
- Propulsatile ejaculation/expulsion (parasimpatis S2-S4 dan somatik)
Rasa “tidak tertahankan” pada ejakulasi mendahului fase ejakulasi propulsatil dan bolus semen
dikeluarkan melalui meatus uretra eksternal3

Faktor yang mempengaruhi fungsi seksual:

Disabilitas
Disabilitas mempengaruhi fungsi seksual melalui 4 makenisme dasar:

1. Efek langsung: vaskular, neurologis (termasuk nyeri), hormonal, anatomi, dan kerusakan area
lain yang secara fungsional berhubungan dengan respon seksual.
2. Efek tidak langsung: kondisi fisik dan psikologis, seperti perubahan persepsi atau penilaian,
perubahan sensori dan motorik, inkontiensia baldder dan bowel, spastisitas, tremor, kelelahan,
nyeri kornis, dan lain-lain.
3. Efek iatrogenik dari pengobatan ( radiasi, pembedahan, medikasi, dan kemoterapi)
4. Faktor kontekstual, kompleksitas biopsikososial dan komponen situasional. 3
- Pengobatan Hormon:3
- Obat-obatan yang mengurangi nor adrenaline (NA), seperti antihipertensi simpatolitik,
berdampak negatif pada fungsi seksual.
- Dopamin Agonist DA blockers (seperti antipsychotics) akan mengurangi libido, sedangkan
agonis DA (levodopa pada pasien Parkinson) akan meningkatkan libido
- Serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), meningkatkan jumlah serotonin di neural junction,

Rehabilitasi Kardiovaskuler 315


yang menurunkan libido dan menyebabkan delay ejakulasi dan orgasme. Sehingga
obat ini dapat bermanfaat pada pasien dengan ejakulasi prematur.

Antidepresan trisklik, amitriptilin, clomipramine, dan doxepin memiliki efek paling negatif pada
fungsi seksual terutama orgasme dan ejakulasi, sehingga perlu, penurunan dosis, atau penggantian
obat lain seperti buproprion, nafzodon, trazodon, atau mirtazapin. Trazadon dapat menyebabkan
priapismus dan ereksi nokturnal. 3

Saraf perifer
- Obat-obatan simpatis dapat menyebabkan konstriksi vaskular dan otot polos, sehingga
menghambat rangsangan genital.
- Obat-obatan antagonis kolinergik serta obat-oabtan yang mengurangi resistensi pembuluh
darah perifer, dan aliran darah genital seperti antihieprtensi dapat menyebakan gangguan
libido, ereksi dan lubrikasi vagina, serta ejakulasi3

Penggunaan phophodiesterasi V inhibitor dapat mengurangi efek samping pada rangsangan genital
pada obat-obatan SSRI dan diuretik thiazid, tetapi PDE5i kurang efektif pada kadar testosteron
rendah. 3

Tabel 10. 2 Jenis obat yang berpengaruh terhadap fungsi seksual3

Jenis obat-obatan Efek yang ditimbulkan Disfungsi


Antihipertensi Simpatolitik sentral /α blocker perifer Dorongan seksual, ejakulasi
dini, rangsangan
SSRI Menekan seks terutama orgasme Dorongan seksual, ejakulasi
dini, rangsangan
Antikonvulsan Menurunkan rangsangan Dorongan seksual, rangsangan
Opiat, mariyuana, Menurunkan testosteron dan meningkatkan Dorongan seksual, ejakulasi
antipsikotik prolaktin. Pada penggunaan kronik dapat dini, rangsangan
menekan seks.
Antispasmodik Dapat menekan refleks seksual Ejakulasi dini, rangsangan
Antilipidemik Berhubungan dengan disfungsi ereksi
Indometasin Menyebabkan masalah fertilitas
Gabapentin Menyebabkan efek beragam
Digoxin Menurunkan testosterone dan LH, serta Dorongan seksual, rangsangan
meningkatkan estrogen
H2 blocker Efek rangsangan seperti pada Anti androgen Dorongan seksual, rangsangan
dan secara reversibel menekan spermatogensis

· Penuaan

316 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Usia mempengaruhi elastisitas jaringan, memepersempit vaskular, dan penurunan transmisi
saraf, menyebabkan perubahan inegritas dan kapasitas organ seksual. Wanita pasca menopause
mengalami lubrikasi vagina yang lebih sedikit dan penurunan spasme otot saat orgasme. Laki-
laki lebih sulit mengalami ereksi, dan ereksi tidak sekeras dahulu, dan setelah ejakulasi, ereksi
membutuhkan waktu yang lebih lama. Orgasme dapat tertunda dan cairan ejakulasi berkurang
seiring bertambahnya usia dan penurunan kadar testosteron. Pada wanita, gangguan nyeri pada
seksual berkurang seiring usia. Kepercayaan diri berkurang karena perubahan kulit, penambahan
berat badan, nyeri, rambut beruban dan rontok, dan kemampuan atletik. 3

Frekuensi aktifitas seksual cenderung menurun sesuai usia. Seksualitas merupakan kontributor
penting dalam menentukan kualtias hidup seseorang. Aktfitias seksual tidak hanya terbatas pada
hubungan koitus, pada salah satu studi yang meneliti pria dan wanita berusia 80-103 tahun,
menemukan 63% pria dan 30% wanita masih melakukan hubungan, sedangkan 83% pria dan 64%
wanita masih saling menyentuh dan bermesraan tanpa hubungan, dan 72% laki-laki dan 40%
wanita masih melakukan mastubasi. Bertambahnya usia juga berhubungan dengan faktor medis
seperti penyakit, efek samping pengobatan. Wanita pasca menopause cenderung mengalami
atrofi vulvovaginal dan kekeringan pada vagina. Testosteron pada pria cenderung berkurang
berdasarkan usia, yang mengakibatkan hilangnya dorongan seksual dan fisik yang lebih lemah.
Faktor psikososial juga berbeda pada usia tua, seperti perubahan citra diri dan persepsi diri,
penurunan kognitif, dan masalah lingkungan seperti hilangnya privasi. 6

- Perubahan neurologis
Teknik pencitraan terbaru seperti PET dan fMRI dapat melihat perubahan pada otak terkait
stimulasi seksual, rangsangan, dan orgasme pada laki-laki dan perempuan. Kerusakan pada
bagian otak spesifik, SSTL, dan saraf perifer, yang menyampaikan informasi dapat menganggu
fungsi seksual. 3

- Faktor psikologi
Penyesuaian dengan disabilitas berhubungan dengan rasa kehilangan yang ditimbulkan tidak
hanya fisik, tetapi juga emosional, relasional, dan finansial, adanya dukungan dan kepribadian
sebelum sakit dan serta kemampuan menghadapi masalah juga mempengaruhi kemampuan
seksual pasien. Pada pasien yang melihat seks sebagai bagian hidup dan kepercayaan dirinya,
gangguan seksual dampak berdampak sangat buruk. 3

- Faktor kardiovaskular
Beberapa studi menilai respon kardiovaskular terhadap aktifitas seksual dan kemungkinan
kejadian serangan akut. Rerata detak jantung maksimal 110-130 kali permenit dan tekanan
darah sistolik maksimal 150-170 mmHg. Umumnya energi yang dibuthkan tidak melebihi 4-5
METs. Hal ini setara dengan berjalan di treadmill 3 mill/jam pada kemiringan 5% atau menaiki
2 lantai tangga dengan kecepatan 20 anak tangga dalam 10 detik. Menaiki 2 lantai setara
dengan 6 METs, sudah menjadi acuan untuk kembali ke aktfitas seksual. walaupun seseorang
tidak memiliki gangguan otot jantung atau pembuluh darah, gangguan kontrol otonom jantung
dan pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan respon aktifitas seksual. 3
Pasangan dari penderita jantung koroner sering mengalami stres yang berat, terjadi perubahan

Rehabilitasi Kardiovaskuler 317


peran dalam keluarga dan biasanya tetap berlangsung sampai pasien keluar rumah sakit.
Berdasarkan wawancara dari 100 istri dari pasien pasca infark mengeluhkan risiko yang timbul
saat hubungan, kesulitan dalam pola seksual, gejala selama aktivitas seksual serta hubungan
emosional mereka. Beberapa dari mereka tidak melanjutkan aktivitas seksual dan mengalami
kecemasan seksual dan frustasi. Komunikasi seksual yang tidak baik berakibat pada komunikasi
pada lain hal.1

- Nyeri kronis
Kondisi nyeri dapat menyebabkan depresi, peningkatan atau penurunan berat badan,
dekondisi dan hilangnya citra diri, menyebabkan penurunan fungsi mental, fisik, seksual.
Derajat keparahan nyeri dan lokasinya dapat berperan pada kualitas kehidupan seksual pasien
dan variabel psikologis. Disfungsi seksual sering dilaporkan pada orang dengan disabilitas dan
depresi yang lebih berat. 3

- Pertimbangan fertilitas
Pendekatan yang diperlukan untuk menilai fertilitas antara lain:
a. Masalah fungsi seksual mengganggu kemampuan untuk memasuki aktifitas seksual
terutama ejakulasi pada pria.
b. Perubahan hormon secara sekunder (trauma kepala) atau pengobatan (obat-obatan dan
radiasi otak)
c. Perubahan kualitas oosit atau sperma sekunder karena kondisi dan pengobatan

- Faktor genetik3
Pada laki-laki, cidera sumsum tulang belakang menyebabkan motilitas sperma terganggu
serta abnormalitas morfologi yang terjadi sekunder akibat abnormlitas pada cairan seminalis.
Pada perempuan, kondisi kronik juga dapat menentukan kemampuan pasien untuk hamil dan
menjalani proses persalinan. 3

Bagaimana pasangan suami atau istri pasien dengan penyakit jantung


koroner?
Pasangan dari pasien koroner sering mengalami stres yang berat. Karena mereka mengalami
perubahan peran dalam keluarga, dan biasanya tetap berlangsung sampai setelah pasien keluar
rumah sakit. Berdasarkan wawancara dari 100 istri dari pasien paska infark, mengeluhkan risiko
yang timbul saat hubungan, kesulitan dalam pola seksual, gejala selama aktifitas seksual dan
hubungan emosional mereka. Beberapa dari mereka tidak melanjutkan aktifitas seksual dan
mengalami kecemasan seksual dan frustasi. Komunikasi seksual yang tidak baik berakibat pada
komunikasi pada lain hal. 1

318 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Jenis – jenis disfungsi seksual

Disfungsi seksual pada laki-laki


Fokus utama pada disfungsi seksual pada laki-laki umumnya pada masalah performa, disfungsi
erektil, dan ejakulasi prematur. Namun gangguan psikogenik juga perlu diperhatikan karena sering
terjadi misdiagnosis oleh dokter. 4

Tipe disfungsi seksual pada laki-laki antara lain:

- Hypoactive sexual desire disorder (HSDD):


Hilangnya fantasi dan keinginan aktifitas seksual secara terus menerus atau rekuren. Kelainan
ini ditemukan pada 0-15% pada laki-laki, menurut penelitian Simons dan Carey prevalensinya
sebesar 0-3% di komunitas.7 Hipogonad dengan kadar testosteron rendah dapat menjadi
penyebab HSDD pada pria.6

Terapi:
HSDD primer dapat dibantu dengan pengobatan yang meningkatkan gairah. HSDD sekunder
yang sering disebabkan efek samping pengobatan dapat diatasi dengan perubahan dosis
atau kategori dapat memperbaiki dorongan seksual. Trauma seksual dan orientasi seksual
dapat diatasi dengan penanganan faktor psikososial dan motivasi untuk komunikasi dengan
pasangan. Pengobatan dengan suplementasi testosteron dapat bermanfaat dengan dosis 120
– 240 mg/hari dibagi menjadi 2 – 3 dosis per oral.6

- Sexual aversion disorder


Kondisi ini merupakan salah satu dari gangguan hasrat seksual yang menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) didefinisikan sebagai menghindari atau mengalihkan
secara ekstrim kontak genital dengan pasangan secara terus menerus maupun rekuren.8
Revisi DSM IV menyebutkan bahwa terdapat 6 subtipe yaitu lifelong (seumur hidup), acquired
(didapat), generalized (umum), situational (situasional), akibat faktor psikososial (psychosocial)
dan akibat kombinasi dari beberapa faktor (combined). Penelitian mengenai prevalens kondisi
ini masih minim namun diperkirakan kejadian penyakit ini jarang terjadi dan lebih banyak
terjadi pada wanita daripada pria.9
Gold dan kawan-kawan juga menyebutkan penyebab terjadinya Sexual Aversion Disorder pada
laki-laki lebih sering akibat kecemaskan performa laki-laki saat melakukan aktivitas seksual.
Kriteria SAD bertumpang tindih dengan beberapa gejala gangguan panik dan HSSD sehingga
para ahli juga kesulitan untuk mendiagnosis dan memberikan tatalaksana SAD.9

- Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang adekuat hingga akhir
aktifitas seksual, secara terus menerus atau rekuren, hal ini harus terjadi setidaknya 3 bulan
sebelum dapat menegakkan diagnosis (kecuali terdapat riwayat trauma atau disfungsi ereksi
paska operasi).10 Disfungsi ereksi berhubungan dengan usia, penyakit kardiovaskular, diabetes,

Rehabilitasi Kardiovaskuler 319


dislipidemia, merokok, obesitas, dan depresi. Disfungsi ereksi tidak lagi dikenal sebagai
impoten.6
Terapi: Pengobatan disfungsi ereksi berkembang pesat pada tahun 1998, saat ditemukannya
PDE5i, yang memiliki efek samping yang rendah dan efikasi yang tinggi. Tiga PDE5i yang
dikenal antara lain sildenafil (viagra), vardenafil (levitra), dan tadalafil (cialis). Efek samping yang
mungkin timbul antara lain: sakit kepala, flushing, rinitis, nyeri punggung, kurang pendengaran,
pengurangan penglihatan. Dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi nitrat untuk
nyeri dada.
Terapi lini 2 meliputi injeksi intrakavernosa, alprostadil intrauretra, alprostadil topikal, alat
vakum. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain priapismus dan peyronie. Obat injeksi seperti
alprostadil, papaverin dan phentolamine, dapat menjadi pilihan bagi pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi PDE5i dan yang tidak ingin injeksi intrakevernosal. Terapi lini 3 meliputi teknik
operasi seperti protease penis baik semirigid dan inflatable.6

- Ejakulasi prematur (EP)


Ejakulasi dengan stimulasi minimal, atau sesaat setelah penetrasi dan sebelum diharapkan
oleh pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi fase excitement perlu diperhatikan seperti
usia, pasangan dan situasi, dan aktifitas seksual terakhir. Hal yang perlu diperhatikan dalam
menegakkan diagnosis ejakulasi prematur:
- Ejakulasi dalam 1-1,5 menit setelah penetrasi vagina
- Kurangnya kemampuan utnuk menunda dan mengontrol ejakulasi
- Gangguan psikologi pada pasien atau pada pasangan atau keduanya6

Ejakulasi prematur diperkirakan terdapat pada 15-30% pria dari segala usia. Umumnya
disebabkan kombinasi antar ganguan organik, psikogenik dan hubungan.6
Terapi: Terapi pilihan ejakulasi prematur adalah cognitive behavioral theraphy (CBT) dan konseling
psikologi. Salah satu CBT yang digunakan antara lain teknik penekanan dan penglemasan
frenulum, dan percobaan dalam posisi, ritme, kecepatan, nafas, dan kedalaman penetrasi.6
Serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan obat yang sering digunakan, dan paroxetine yang
terbukti paling efektif, tetapi obat-obatan ini belum di akui FDA sebagai terapi EP. Obat-
obatan lain yang dapat digunakan antara lain clomipiramine, dapoxetine, tramadol, dan agen
topikal seperti lidokain.6

- Gangguan orgasme pada pria (MOD)


Terlambat atau tidak ada orgasme setelah fase excitement normal pada aktifitas seksual,
dengan durasi, fokus dan intensitas yang adekuat. Gangguan orgasme dapat dibagi menjadi:
- Inhibisi ejakulasi / ejakulasi tertunda
- Anejakulasi
- Anorgasme
- Ejakulasi retrograde
- Hipostesia penis berhubungan dengan usia6

320 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Gangguan orgasme dapat terjadi akibat gangguan anatomis, neurogenik, dan endokrin,
termasuk efek samping obat. Prevalensi gangguan orgasme cukup rendah, hanya 0-9% dari
populasi.6
Terapi: Metode ejakulasi untuk fertilitas pada pasien SCI dan MS umumnya dapat menggunakan
penile vibratory stimulastion (PVS) dan rectal probe ejaculation (EEJ). Teknik PVS merupakan
teknik yang lebih sering digunakan karena memproduksi kualitas sperma yang lebih baik,
berhasil pada 60-80% kasus, dan teknik EEJ berhasil pada 80-100% kasus. Midrodirne dan
vardenafil dapat membantu ejakulasi pada beberapa kasus. 6

- Dispareunia
Dispareunia merupakan permasalahan yang cukup sering terjadi antara penderita dengan
pasangannya. Dispareunia adalah nyeri persisten atau rekuren pada genital saat hubungan
seksual. Stigma mengenai gangguan seksual pada pria menyebabkan para penderita
disparaeunia malu dan jarang melaporkan gangguannya sehingga angka kejadian dispareunia
menjadi sedikit. Namun adapula penelitan Pitts (2008) yang menyebutkan bahwa dari 4000
subyek penelitan di Australia 5 % mengalami dispareunia.11
Prevalens dispareunia pada pria jauh lebih kecil dibanding wanita yaitu hanya 0,2 hingga 8%.
Untuk mendiagnosis dispareunia, mengetahui penyebab serta memberikan tatalaksana yang
sesuai perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penyebab dispareunia
biasanya tidak berhubungan dengan infeksi namun diperkirakan pelepasan sitokin proinflamasi
berperan dalam patofisiologi gangguan ini.11

- Priapismus
Ereksi yang tidak diinginkan dan tidak berhubungan dengan keinginan atau stimulasi seksual
dan berlangsung lebih dari 4 jam. Terdapat 3 tipe priapismus:
- Priapismus iskemik (low flow)
- Priapismus dengna oksigenansi baik (high flow)
- Priapismus rekuren atau terhambat6

Priapismus aliran rendah merupakan yang paling umum ditemui, yang memilki mekanisme
seperti sindrom compartment dan dapat berujung pada nekrosis otot kavernosis jika tidak
diobati. Priapismus merupakan kejadian yang jarang dan umumnya berubungan dengan
pemakaian obat dan disfungsi vaskular.6
Terapi: Priapismus aliran rendah merupakan kegawatdaruratan, terapinya dapat dilakukan
dengan melakukan dekompresi pada korpus dengan aspirasi darah dalam 1 jam, dilanjutkan
injeksi agonis α adrenergik untuk mengkontraksi otot polos. Priapismus yang terhambat atau
aliran tinggi umumnya ringan dan tidak memerlukan terapi karena akan hilang sendirinya.6

- Peyronie
Kelainan pada tunika albugenia yang ditandai dengan terbentuknya plak jaringan fibrosa
yang menyebabkan nyeri dan deformitas saat ereksi. Umumnya terjadi akibat trauma, dengan
insiden 1% dan bertambah sesuai usia.6

Rehabilitasi Kardiovaskuler 321


Terapi: Eksisi dari plak fibrois dan perbaikan kurvatura penis, namun tindakan baru dapat
dilakukan setelah stabil lebih dari 6 bulan, efikasi jangka panjang. Terapi lain yang mungkin
dapat membantu walaupun dengan angka kesuksesan yang lebih rendah antara lain, pemberian
injeksi verapamil, kolkisin, aminobenzoate potassium, iontophoresis, dan extracorporeal shock
wave.6

Disfungsi seksual pada perempuan


Disfungsi seksual pada perempuan umum ditemukan dengan prevalen sebesar 40-50% dari
populasi. Berbeda dengan kelainan pada laki-laki, aspek psikologik lebih mempengaruhi dibanding
gangguan organik dalam disfungsi seksual. 6

Tipe disfungsi seksual pada perempuan antara lain:

- Hypoactive sexual desire disorder (HSDD):


Kurangnya hasrat yang responsif merupakan kunci utama diagnois HSDD pada wanita,
karena pada wanita normal jarang yang memilki pemikiran seksual spontan,dan berimajinasi.
Prevalensinya beragam berdasarkan beberapa studi, umumnya 24-43%. Sedangkan Segraves
dan Woodard menilai prevalensi yang rendah karena kriteria yang ketat, hanya 5,4 -13,6%.6
Terapi: Pada wanita, terapi HSDD lebih mengutamakan pada edukasi. Terapi utama HSDD
pada wanita dapat menggunakan terapi testosteron, dalam sediaan patch. Pada pasien
premenopause, dapat terjadi maskulinisasi seperti hirsutism dan acne. Namun terapi ini
belum diakui FDA, karena risiko kanker payudara, dan mempengaruhi profil lipid dan kelainan
kardiovaskualr. Obat-obatan yang dapat diberikan antara lain tibolon dan melonocortin6

- Sexual aversion disorder


Umumnya didahului dengan respon fisiologi seperti serangan panik, mual, sesak nafas. Riwayat
trauma seksual dapat menjadi penyebabnya.6 Gold (2001) menyebutkan bahwa pada wanita
umumnya disebabkan oleh sexual abuse. Data mengenai insidensi dan prevalens SAD masih
minim dan perlu diteliti lebih lanjut namun diperkirakan kejadian SAD lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan laki-laki.9

- Gangguan rangsangan seksual pada perempuan:


Ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan gairah hingga akhir aktifitas seksual
secara persisten atau rekuren. Kurangnya gairah dapat dilihat dari kurangnya lubrikasi dan
pembesaran genital atau respon somatik.6
Tiga subtipe dari gangguan rangsangan antara lain:
- Gangguan rangsangan seksual subjektif: lubrikasi normal tetapi perasaan subjektif
berkurang
- Ganggaun rangsangan kombinasi genital dan subjektif
- Gangguan rangsangan seksual genital: hilangnya lubrikasi dan pembesaran genital sebagai
respon stimulus non genital

322 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Terapi: Sexual behavioral techniques, sex therapy dan konseling pasangan dapat mengurangi
kecemasan dan ekspektasi seksual berlebihan. Karena mekanisme ereksi yang hampir serupa
dengan laki-laki maka sildenafil dapat menjadi opsi terapi. Namun hasil penelitan yang didapat
sedikit mengecewakan jika dibandingkan pada pria. Terapi lain yang dapat digunakan antara
lain estrogen terapi dan alat mekanis seperti eros clitoral therapy, dan vakum klitoris. Obat-
obatan lain yang dapat digunakan antara lain melanocortin, phentolamine, L-arginin, dan
alporstadil.6

- Persistent sexual arousal disorder:


Sensasi rangsangan genital yang spontan dan tidak diinginkan seperti menggelitik dan
berdenyut tanpa adanya keinginan seksual. bangkitan ini tidak dapat dihilangkan dengan
orgasme dan dapat bertahan dalam hitungan jam hingga hari.6 Prevalens persistent genital
arousal disorder (PGAD) sekitar 1% pada populasi wanita muda. PGAD dapat terjadi pada
wanita di semua kelompok usia. Etiologi PGAD masih belum diketahui. Disfungsi seksual
merupakan permasalahan sensitif and sulit untuk dibicarakan sehingga sedikit sekali wanita
yang mencari bantuan medis dan psikologis.13 Gejala PGAD antara lain kongesti genital,
rasa tingling, lubrikasi vagina, kontraksi, nyeri pelvis dan ereksi puting payudara. Frekuensi
timbul gejala bervariasi antara jarang sampai kontinu dan biasanya dipicu oleh stimulus visual,
stimulus fisik (stimulus yang seksual maupun yang nonseksual; sebagai contoh getaran saat
mengendarai mobil), stres dan kecemasan.14

- Gangguan orgasme pada perempuan


Berkurangnya hingga tidak adanya sensasi orgasme, atau orgasme yang tertunda dengan
stimulasi rangsangan dan keinginan yang tinggi. Anamnesis pada pasien ini sangat penting
karena keinginan pasien yang rendah akan sulit mendapat orgasme. Prefalensi gangguan
orgasme pada perempuan diperkirakan sebesar 24% oleh National Health and Social Life
Survey.6
Terapi: Terapi yang mengatasi masalah psikogenik seperti CBT (mengurangi cemas dan
membantu perubahan perilaku dan pemahaman seksual), terapi sensasi (yang membantu
pasien dan pasangan dalam meningkatkan keintiman seksual), masturbasi terarah (mengedukasi
bahwa masturbasi merupakan hal yang normal dan dapat menyehatkan), terapi ini terbukti
efektif pada 60%. Bupropion dan alat mekanik dapat membantu meningkatkan rangsangan.6

- Vaginismus
Vagina terlalu sulit untuk ditembus oleh penis, jari atau objek lainnya, tanpa keinginan
melakukan hal tersebut, baik secara persisten maupun rekuren. Hal ini sering diakibatkan
karena rasa takut terhadap penetrasi sehingga sering timbul nyeri dan kontraksi hingga spasme
otot otot pelvis. Vaginismus dahulu didefiniskan sebagai spasme sepertiga luar otot vagina
yang menghalangi penetrasi. Prevalensinya sebesar 1-6%, nyeri dan spasme tidak selalu hadir.6
Terapi terbaik adalah dengan melakukan desentisasi terhadap rasa takut terhadap penetrasi,
hal ini dapat dilakukan dengan mencoba memasukkan jari sendiri dan alat dilatasi vagina.
Terapis juga dapat memberikan teknik melemahkan miofasial dan elektromiografi pelvis untuk
mengatur kekuatan levator ani. Psikoterapi juga dapat membantu bagi pasien yang mengalami
trauma.6

Rehabilitasi Kardiovaskuler 323


- Dispareunia6
Nyeri saat hubungan seksual atau saat mencoba penetrasi vagina secara persisten atau
rekuren. Dispareunia dahulu dianggap sebagai kelainan psikogenik tetapi faktor biologi juga
berperan dalam gejala klinisnya.
Diferensial diagnosis dispareunia antara lain: atrofi vulvovaginal, kekeringan vagina pasca
menopause, disfungsi atau nyeri otot dasar panggul.
Penyebab yang paling sering menyebabkan dispareunia antara lain:
- Vulvodinia (nyeri vulva tanpa tampak kelainan)
- Vestibulodinia
- Sindrom vulval vestibulitis
- Infeksi saluran kencing (uretritis dan sistitis)
- Sindrom nyeri kandung kemih / sistitis intersitial kronis
- Perlengketan pelvis
- Infeksi
- Endometriosis, nyeri otot dinding perut
- Ganguan dermatologis vulvovaginal (lichen planus, lichen sklerosis)
- Sindrom kongesti pelvis

Prevalensi dispareunia berkisar antar 3-18% pada populasi umum, 9-21% pada wanita pasca
menopause6
Terapi: lidokain 5% topikal dapat membantu menghilangkan nyeri pada 5% pasien, yang
diaplikasikan 30 menit sebelum hubungan seksual. Obat anti depresan dan gabapentin juga
memberikan hasil yang serupa dengan keberhasilan 47% hingga 54%. Terapi fisik dasar panggul
bermanfaat pada 35% hingga 86% pasien.6

- Gangguan nyeri seksual non genital


Nyeri pada genital yang dicetuskan dengan stimulasi seksual non genital yang terjadi secara
persisten atau rekuren.6
Penyebab gangguan nyeri seksual non genital adalah gangguan psikologis berupa stres berat
atau gangguan interpersonal. Wanita dengan gangguan nyeri seksual non genital biasanya
melakukan hubungan seksual dengan frekuensi yang lebih rendah, memiliki keinginan serta
kepuasan seksual yang lebih rendah dan tidak dapat mencapai orgasme yang tinggi.15

Aktifitas seksual pada panyakit jantung koroner


Pada beberapa studi, 75% pasien laki-laki paruh baya mengurangi atau berhenti melakukan
aktifitas seksual, dan 80% laki-laki dengan CHF mengeluhkan ketidakmampuan untuk melakukan
hubungan seks. Penurunan aktifitas seksual yang drastis ini tetap terjadi walaupun aktifitas
seksual termasuk dalam aktifitas yang membutuhkan energi yang rendah. Pada pasien dengan
atau tanpa penyakit jantung koroner, aktivitas seksual hampir sama dengan melakukan latihan
intensitas ringan sampai berat. Denyut jantung jarang meningkat melebihi 130 kali/menit dan

324 Rehabilitasi Kardiovaskuler


tekanan darah sistolik umumnya di bawah 170 mmHg.16

Energi ekspenditur berbeda pada berbagai jenis aktivitas seksual seperti pada self-stimulation,
partner stimulation dan posisi laki-laki atau wanita di atas (on top). Denyut jantung maksimum lebih
besar pada saat posisi laki-laki di atas dibandingkan ketika wanita berada di posisi atas (denyut
jantung 127±23 vs. 110±24 atau sekitar 2,0-5,4 METs vs 2,5-3,0).16

Menurut data dari jumlah pasien dengan diagnosis penyakit jantung sekitar 25 % kembali pada
level fungsi seksual sebelumnya, 25% tidak kembali melakukan aktivitas seksual dan 50% kembali
melakukan aktivitas seksual dengan level fungsi seksual yang lebih rendah. Alasan pasien untuk
tidak kembali melakukan aktivitas seksual adalah antara lain ketakutan terhadap kematian,
ketakutan berulangnya serangan jantung (infark miokard, aritmia atau dekompensasi jantung),
kekhawatiran pasangan memicu serangan jantung dan lain-lain.10,16

Seperti pada penyakit stroke, pasien dengan penyakit jantung tidak semata-mata hanya kehilangan
minat dan kemampuan untuk merespon, pasien umumnya memiliki stres dan preokupasi terhadap
penyakit kronik dan rasa takut mengalami serangan jantung saat hubungan seksual. Tetapi seks
sangat jarang menjadi faktor presipitat pada serangan jantung hanya 0,5 sampai 1% dari semua
serangan jantung.3

Disfungsi seksual cukup sering terjadi pada kasus penyakit jantung. Hal ini dapat disebabkan oleh
efek samping dari pengobatan jantung terutama obat-obatan penghambat reseptor beta, adanya
penyakit lain yang menyertai seperti diabetes melitus, dislipidemia, merokok serta hipertensi dan
faktor psikososial seperti depresi, cemas dan ketakutan akan serangan jantung saat melakukan
hubungan seks.17,18

Hipertensi merupakan komorbid yang paling sering ditemukan pada laki-laki dengan disfungsi
ereksi. Kontrol tekanan darah dapat mengembalikan fungsi ereksi. Disfungsi ereksi juga ditemukan
pada penyakit jantung dengan prevalensi sebesar 42%-75%. Disfungsi ereksi merupakan indikator
yang paling awal muncul pada gangguan kardiovaskular pada pria. Gangguan disfungsi seksual
pada wanita dilaporkan sebesar 25%-63% seperti berkurangnya hasrat seksual, kekeringan vagina,
dispareunia dan penurunan sensasi genital serta penurunan kemampuan orgasme.6

Aktivitas seksual merupakan komponen kualitas hidup yang penting untuk para penderita
penyakit jantung beserta dengan pasangannya, juga termasuk untuk penderita penyakit jantung
usia lanjut. Penurunan aktivitas dan fungsi seksual sering ditemukan pada kasus penyakit jantung
dan biasanya berhubungan dengan ansietas dan depresi.18

Faktor psikologi lainnya yang mempunyai peran penting antara lain rasa takut terhadap gejala atau
rasa takut terhadap kematian saat melanjutkan aktivitas seksual. Kematian kardiovaskular selama
hubungan seksual sangat jarang hanya 0,2 per 100.000 pria dan pada perempuan lebih rendah
12 kali dibanding pria. Banyak obat-obatan kardiovaskular seperti antihipertensi dan digoksin
berkontribusi dengan disfungsi seksual.6

- Miokardial infark
Hampir 25% pasien tidak melanjutkan aktifitas seksual, 25% tidak merubah frekuensi, dan
50% mengurangi aktifitas seksual mereka. Alasan tidak melanjutkan aktifitas seksual umumnya
karena hilangnya libido, pasien merasa takut untuk melakukannya, gejala yang persisten,
impotensi, dan depresi. Faktor lain seperti usia pasien dan pasangannya, aktifitas seksual
sebelum sakit, diskusi dan komunikasi sangat penting dalam aktifitas seksual. Pasien paska

Rehabilitasi Kardiovaskuler 325


MI umumnya mengalami penurunan frekuensi serta penurunan kualitas aktifitas seksual.
Umumnya pasien menunggu 8-9 minggu sebelum kembali melakukan aktifitas seksual.
Ketakutan, depresi, dan gejala jantung mungkin dapat menjadi asumsi pasien untuk menunda
aktifitas seksual.1

Masalah seksual yang terjadi umumnya:


- Berkurangnya libido
- Impotensi
- Ejakulasi dini
Pasien juga mungkin mengeluhkan gejala yang timbul dengan aktifitas seksual. 1

Meta-analisis dari 4 penelitian yang terdiri dari 50-74% laki-laki pada usia 50-60 tahun
menunjukkan bahwa aktivitas seksual berhubungan dengan peningkatan risiko relatif infark
miokard sebesar 2,7 kali bila dibandingkan dengan subyek yang tidak melakukan aktivitas
seksual. Individu yang jarang melakukan aktivitas fisik memiliki risiko relatif untuk infark
miokard koital lebih besar 3 kali, sedangkan risiko relatif sebesar 1,2 kali pada individu yang
aktif.19,20
Penelitian The Stockholm Heart Epidemiology Programme (SHEEP) menemukan pasien paska
infark miokard yang inaktif, memiliki risiko mengalami infark miokard pada saat melakukan
aktivitas seksual dengan risiko relatif 4,4 kali dibandingkan dengan kelompok yang aktif dalam
melakukan aktivitas fisik dengan risiko relatif 0,7 kali.18
Rasa takut paska MI yang timbul pada pasien dan pasangannya, perlu mendapat perhatian dari
dokter yang merawat. Dokter perlu menjelaskan faktor fisiologis, pengaturan psikososial, dan
efek obat pada pasien paska MI. Para ahli sepakat, bahwa hanya sedikit alasan pasien koroner
tidak mencapai kepuasan seksual karena beban fisiologis umumnya tidak signifikan. Sex play
menyehatkan dan menenangkan, namun pasien yang terlalu tegang dan frustasi dapat menjadi
faktor resiko yang lebih tinggi dibandingkan aktifitas seksual sedang seperti koitus dan koital
alternatif. Secara umum pasien aman untuk melanjutkan aktifitas seksual jika mereka mampu
melakukan latihan aktifitas 6-8 kkal/menit tanpa gejala, detak jantung abnormal, tekanan
darah atau perubahan EKG. Studi menunjukkan aktifitas seksual maksimal diperkirakan setara
dengan 6 kkal/menit (5 METs) dibawah 30 detik dan 4,5 kkal/menit pada periode preorgasme
dan pascaorgasme. 1

Studi Larson dan kawan-kawan mendukung uji dengan menaiki tangga 2 lantai (10 menit
berjalan cepat dilanjutkan dengan menaiki 2 lantai dalam 10 detik) sebagai uji yang digunakan
untuk kesiapan aktifitas seksual setelah MI akut. Evaluasi yang lebih akurat dapat menggunakan
treadmill atau ergocycle. Rehabilitasi dengan latihan dapat mengurangi detak jantung maksimal
saat koitus, dan mengurangi gejala dan meningkatkan fungsi dan kepuasan seksual. Masturbasi
merupakan aktifitas seksual yang biasa dilakukan pada pasien koroner dan orang dewasa
lainnya. Aktifitas nonkoitus seperti ini memiliki tingkat pengeluaran energi yang lebih rendah
dibanding koitus. 1 Terdapat potensi artimia jantung selama aktfitias seksual, tetapi potensi ini
kecil.

326 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Potensi lain yang cukup mempengaruhi adalah faktor psikologi, pada evaluasi psikiatri di ruang
perawatan terdapat 3 hal yang menjadi rujukan untuk dikonsultasikan dengan spesialis Jiwa
yaitu cemas, depresi, dan manajemen perilaku. Ketakutan untuk melakukan aktifitas seksual
ditemukan pada 31% pasien pria, dan 51% pada pasien wanita. Ketakutan yang dirasakan
pasien adalah rasa takut akan timbulnya nyeri dada, serangan jantung ulang, kematian saat
koitus, dan kualitas seksual yang rendah, dan tidak atraktif. Tetapi hal ini lebih sedikit terjadi
pada pasien usia muda dan komunkiasi interpersonal yang baik. Bagaimanapun juga ketakutan
mampu mengurangi frekuensi dan kualitas aktifitas seksual.1

- Angina pektoris
Pasien yang memiliki penyakit jantung koroner dan angina mungkin mengalami nyeri dada
atau ketidaknyamanan selama aktivitas seksual. Kebanyakan pasien mengalami gejala serupa
pada aktivitas keseharian lainnya dan hanya sebagian kecil pasien yang timbul gejala hanya
pada saat hubungan seksual. Pasien yang mengalami angina saat berhubungan mungkin
akan memilih untuk menghindari aktivitas seksual sepenuhnya karena ketidaknyamanan atau
ketakutan akan infark atau kematian.1
Coital angina atau angina d’amour adalah angina atau rasa nyeri dada yang dirasakan beberapa
menit selama aktivitas seksual atau beberapa jam setelah aktivitas seksual. Hal ini jarang terjadi
pada pasien yang tidak mengalami angina saat melakukan aktivitas fisik yang berat tetapi lebih
sering terjadi pada pasien penyakit jantung koroner berat yang biasanya mengalami angina
dengan aktivitas fisik minimal.18,22
Aktivitas seksual setara dengan aktivitas fisik ringan sampai sedang pada 3-5 METs. Apabila
pasien dapat mencapai > 3-5 METs tanpa menunjukkan gejala iskemia pada uji latih maka
risiko iskemia pada saat melakukan aktivitas seksual sangat rendah.23
Angina koital dapat menghilang secara spontan, berespon terhadap pengobatan nitrogliserin
atau berprogresi menjadi infark miokard akut maupun kematian.18,22
Menurut guidelines dari The Agency for Healthcare Research and Quality tahun 2003 angina
yang bertahan lebih dari 20 menit diklasifikasikan menjadi angina tidak stabil (unstable angina).
Pada penderita angina koital yang tidak mengkonsumsi obat penghambat PDE-5i (contoh
Viagra) maka dianjurkan untuk langsung berhenti berhubungan untuk istirahat atau meminum
nitrogliserin. Nitrogliserin dapat diulang sebanyak 3 kali dengan jeda waktu 5 menit dan
bila gejala nyeri dada masih berlangsung maka dianjurkan untuk langsung mencari bantuan
medis.24
Pada penderita angina koital yang mengkonsumsi obat penghambat PDE-5i sebelum
melakukan hubungan seksual maka tidak diperbolehkan mengkonsumsi nitrogliserin. Berikut
adalah algoritma tatalaksana angina koital:24

Rehabilitasi Kardiovaskuler 327


Gambar 10.4 Algoritma Tatalaksana Angina Koital (DeBusk, 2003)

- Coronary artery bypass grafting (CABG)


Penatalaksanaan pasien paska CABG menitik beratkan pada penatalaksanaan medis, dan
kembali bekerja, dan hanya sedikit perhatian pada aktifitas seksual. Hasil paska CABG sering
tidak memuaskan mengenai masalah seksual, seperti penurunan fungsi seksual paska operasi,
frekuensi aktifitas seksual, dan pengaturan seksual, disebabkan oleh citra diri yang rusak,
gangguan preoperatif, dan durasi gejalanya. Namun beberapa studi menunjukkan tingkat
kepuasan seksual meningkat seiring bertambahnya waktu. Banyak pasien CABG melihat dirinya
sebagai “pasien jantung” yang merasa lemah, rentan, dan tidak memiliki semangat hidup.
Beberapa mempertahankan peran orang sakit, yang secara tidak langsung mempengaruhi
kehidupan seksual mereka. Pada beberapa pasien yang sudah mengalami gangguan jantung
yang lama, mereka cenderung menarik diri dari dorongan seksual. maka Pasien paska CABG
sudah terbiasa untuk menekan ketertarikan mereka, dan hal ini sulit sekali dikembalikan.
Pada beberapa individu, beberapa masalah seksual dapat menjadi alasan utnuk menghentikan
sepenuhnya aktifitas seksual. 1
Pada studi yang berbeda, pasien yang mengalami angina dengan keterbatasan fisik yang lama,
menghindari eksitasi dan berpuasa dari hubungan seksual, menunjukkan mereka mampu
mengalami perbaikan pada gaya hidup dan 70% diantaranya mampu kembali ke aktifitas
seksual sebelumnya. Pada penelitian Nanette, 134 pria dan wanita yang menjalani CABG,

328 Rehabilitasi Kardiovaskuler


91% yang aktif secara seksual sebelum operasi tetap aktif secara seksual. Rerata waktu yang
dibutuhkan untuk kembali melakukan aktifitas seksual adalah 7-8 minggu.1
Ketidakpuasan seksual sebelum operasi merupakan faktor pemberat, sedangkan pasien yang
aktif bekerja sebelumnya memiliki efek positif dalam melanjutkan aktifitas seksual. Dari seluruh
pasien yang aktif secara seksual sebelum CABG, 17% merasa takut untuk berhubungan seksual,
mereka takut akan nyeri dada ulang, serangan jantung, nyeri luka operasi hingga kematian.1

- Percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA)


Penilaian adaptasi pasien paska PTCA menunjukkan setelah 6 bulan pasien yang menjalani
PTCA mempunyai performa bekerja dan seksual yang lebih tinggi, serta memiliki hubungan
yang lebih baik dengan keluarga dibanding yang menjalani CABG. Peningkatan fungsi bekerja
berlanjut sampai 15 bulan, namun kemampuan seksual dan hubungan dengan keluarga
cenderung tidak berubah secara signifikan. 1

- Transplantasi jantung
Dalam beberapa tahun terakhir, transplantasi jantung menjadi alternatif terapi yang dapat
diandalkan pada pasien end stage CHF. Tidak terdapat studi yang menjelaskan aktifitas
seksual pada kelompok ini. Pada salah satu studi mengemukakan impotensi dan hilangnya
libido menjadi masalah utama pasien, studi lain menemukan pada 50% resipien puas dengan
kehidupan seksual mereka, dan 20% merasa ada peningkatan dan 29% lainnya mengalami
penurunan. 1

- Implan pacemakers
Pasien yang aktif secara seksual sebelum mendapat pacemaker permanen sering mengalami
masalah seksual. Pada salah satu studi, walaupun pacemaker tidak mempengaruhi kualitas
aktifitas seksual pada mayoritas pasien (68%), dan hanya sedikit pasien yang merasakan
peningkatan, dan sisanya merasakan mengalami kemunduran pada aktifitas seksual setelah
pemasangan implan pacemaker. 1

- Implantable Cardioverter Defribilator otomatis (ICD)


Pasien yang mendapat ICD mengalami perubahan fisik, sosial dan psikologi, yang terjadi
setelah resusitasi dan hospitalisasi. Ketakutan dan keterbatasan sering ditemukan dan absen
dari aktifitas seksual dilaporkan pada 41% pasien. 1

Diagnostik disfungsi seksual

Anamnesis
Anamnesis yang terinci perlu dilakukan oleh pemeriksa, seperti informasi tentang perubahan
premorbid dan paska traumatik pada aktifitas seksual, pemeriksa juga harus menilai pengetahuan
pasien mengenai penyakit menular seksual. Pasien yang memiliki pengetahuan kurang perlu
dipikirkan kemungkinan adanya infeksi. Pertanyaan seperti “Banyak orang dengan (penyakit

Rehabilitasi Kardiovaskuler 329


pasien) mengalami masalah seksual. Apakah anda memiliki masalah yang ingin anda sampaikan?”
memungkinkan untuk membuka topik. 3

Ruang lingkup yang mudah digunakan oleh klinisi, yang diadaptasi dari Szasz, memudahkan untuk
menilai dan dalam penatalaksanaan pasien. Pasien diperiksa secara holistik yang berhubungan
dengan penyakit mereka tidak hanya berfokus pada genital. Hal yang perlu diperhatikan antara
lain: 3

1. Ketertarikan seksual (dorongan biologis serta motivasi / keinginan untuk aktifitas seksual)
2. Respon seksual (rangsangan mental dan genital, ejakulasi pada pria, kemampuan
mempertahankan orgasme dan kualitas orgasme)
3. Perubahan pada sensasi genital atau zona erogenous (kehilangan sensitivitas organ intim atau
hipersensitivitas pada daerah lain)
4. Perubahan fungsi motorik (fungsi tangan, keseimbangan, kemampuan berpindah ke tempat
tidur, memegang pasangan, dan lain-lain)
5. Masalah kandung kemih dan pencernaan (strategi pengaturan, kekhawatiran terjadi
inkontinensia saat aktifitas seksual, dan implikasi sosial)
6. Faktor yang berhubungan (efek pengobatan, perubahan status hormon, nyeri, kelelahan,
anemia, dan lain-lain)
7. Penggunaan kontrasepsi, masalah fertilitas, kehamilan, dan persalinan
8. Kemampuan mendidik anak yang berhubungan dengan disabilitas atau penyakit
9. Masalah hubungan dengan pasangan (dalam konteks seksual)
10. Kepercayaan diri dan citra diri (penampilan fisik, perubahan figur tubuh, maskulinitas/feminim,
perubahan peran dalam keluarga, dan lain-lain) 3

Tabel 10. 3 Model untuk membangun komunikasi mengenai seksualitas (Delisa, 2005)

A – Ask , menanyakan fungsi dan aktifitas seksual pasien


L – Legitimate , menyadari masalah pasien bahwa disfungsi seksual berhubungan dengan masalah klinis
L – Limitation , batasan yang dapat membatasi evaluasi disfungsi seksual perlu diidentifikasi
O – Open up , diskusi terbuka, dan kemungkinan pasien dirujuk ke subspesialis
W – Work together , bekerjasama dalam menyusun rancangan dan tujuan pengobatan.

P – Permission , izin dari pasien harus diperolah dalam mendiskusikan seksualitas


LI - limited information , informasi mengenai fungsi seksual normal dan efek disabilitas perlu diberikan
SS - Specific suggestion , saran yang spesifik perlu diberikan sesuai komplain pasien saat ini.
IT - Intensif theraphy , terapi intensif mungkin dibutuhkan, termasuk terapi ke subspesialis

B – Bring up , bimbing topik mengenai seksualitas


E – Explain , jelaskan bahwa seksualitas merupakan hal yang penting, dan diri anda siap mendiskusikan
dengan pasien anda
T – Tell , beritahu pasien mengenai sumberdaya yang dapat membantu mereka
E – Educate , mengedukasi pasien mengenai efek samping dari obat – obatan dan penyakitnya
R – Record , catat percakapan anda dengan pasien di rekam medis pasien

330 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Pemeriksaan Fisik
Walaupun pemeriksaan fisik dapat normal pada pasien disfungsi seksual, pemeriksaan penting
dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi patologik untuk mengedukasi pasien untuk disabilitas
atau penyakitnya. Pemeriksaan komprehensif meliputi pemeriksaan tinggi badan, berat badan,
tanda-tanda vital, auskultasi jantung dan paru, pemeriksaan tiroid, kelenjar limfe, payudara,
abdomen, pemeriksaan nadi, edema ekstremitas, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
genital. 4 Penting juga untuk melihat tanda penyakit kardiovaskular (obesitas, hipertensi, hilangnya
nadi perifer, dan edema ekstremitas) dan tanda penyakit endokrin (tiromegali dan ginekomastia) 4

Pemeriksaan neurologis harus meliputi status mental, pemeriksaan motorik dan sensorik, mengukur
range of motion / lingkup gerak sendi, dan evaluasi tonus otot dan refleks. Pengukuran range
of motion dari panggul, lutut, bahu, dan tangan sangatlah penting. Pemeriksaan sensorik seperti
sentuhan, pinprick dan proprioseptif pada ekstremitas bawah. Terutama pada evaluasi sensorik
T11-L2 dan S2-S5 karena mewakili traktus eferen simpatis dan parasimpatis. Pemeriksaan kontraksi
anus dan refleks bulbokavernosus dapat mengevaluasi saraf pudendal dan perlu dilakukan baik
pria maupun wanita.4

Pada pemeriksaan genital laki-laki, perlu melihat lesi di penis dan posisi uretra, serta palpasi
dalam posisi diregangkan untuk melihat kemungkinan penyakit peyronie. Testes juga perlu dilihat
untuk menilai ukuran, massa dan posisi, rektum dievaluasi tonus sfingter dan otot dasar panggul
dan kekuatannya serta pemeriksaan prostat meliputi ukuran massa dan lesi. 4 Pada pemeriksaan
genital perempuan, perlu melihat tampilan luar genital, apakah terdapat inflamasi, atrofi vulva,
episiotomi, laserasi atau striktur bekas jalan lahir. Pemeriksaan dalam merupakan cara yang baik
utnuk melihat masalah umum yang berhubungan disfungsi seskual pada perempuan. Pemeriksaan
rektal dilakukan untuk menilai tonus sfingter, otot dasar panggul, dan kontraksi dan relaksasi
volunter dan involunter otot dasar panggul.

Baik pada pria dan wanita perlu dilakukan pemeriksaan infeksi atau penyakit menular seksual,
termasuk sekret, kemerahan atau ulserasi. 4

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah dapat mendeteksi masalah yang mungkin timbul.
Testosteron bebas dan bioavailabilitas testosteron perlu di cek pada pasien dengan cidera kepala,
terutama jika mereka mengalami perubahan dorongan seksual. Penting juga menilai sensasi dari
genital (sentuhan rignan dan pinprick), tonus rektal, kontraksi volunter anus, dan bulbocarvernosus
reflex. Adanya refleks bulbokavernosus menandakan refleks sakral yang intak dan berhubungan
dengan rangsang refleksogenik dan kapasitas ejakulasi. Deteksi sensasi pinprick di glans penis
atau klitoris dengan kemampuan mengkontraksi anus secara volunter dapat menilai kemampuan
genital dapat mencetuskan orgasme. 3

Persiapan pemeriksaan fisik


Kandung kemih dan pencernaan perlu dikosongkan sebelum memulai pemeriksaan. Pemeriksaan
anatomi dapat terganggu jika pencernaan terisi penuh dengan kotoran, terutama pada wanita
karena spekulum dimasukan dan akan menekan dinding posterior yang dapat menyebakan
ketidaknyamanan, rasa malu, trauma, hingga perdarahan. 3

Rehabilitasi Kardiovaskuler 331


Pemeriksaan fisik:

- Pasien perempuan
- Pemeriksaan payudara (Breast Self Examination/Periksa Payudara Sendiri/Sadari),
setidaknya 3 bulan sekali
- Pemeriksaan pelvis, pemeriksaan bimanual, dan respon klitoris
- Pemeriksaan darah samar
- Papsmear3
- Pasien laki-laki
Kulit skrotum dan penis. 3

Tabel 10. 4 Aspek seksual pada pemeriksaan fisik3

Sistem Observasi

Pemeriksaan umum Postur, status kognitif, perilaku

Kulit Bekas luka, kemerahan, luka terbuka, lesi kulit

Kepala, Mata, Telinga Hidung Tenggorokan Gangguan penglihatan pendengaran, disfagia

Paru-paru Batuk, konsolidadsi, tanda dan gejala PPOK

Jantung Aritmia, murmur

Abdomen Adanya tanda prosedur seperti kolostomi dan lain-


lain

Genital Anatomi genital normal, lesi terbuka

Rektal Lesi terbuka

Neurologis Paralisis, defisit sensori,

Muskuloskeletal Kontraktur, nyeri, inflamasi sendi, keterbatasan luas


gerak sendi

Pemeriksaan Penunjang
Sejumlah besar tes laboratorium, serta prosedur diagnostik, dapat digunakan untuk menentukan
kelainan yang menyebabkan disfungsi seksual pasien. Namun, pemilihan pengobatan didasarkan
pada keluhan utama bukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya.6 Pemanfaatan tes ini telah
menurun sejak munculnya obat PDE-5 inhibitor, yang mudah digunakan, tingkat efektivitas yang
tinggi, dan profil efek samping rendah. Prosedur pemeriksaan lain meliputi USG penis, nocturnal
penile tumescence, pharmacoarteriography, pharmacocavernosometry atau pharmacocavernosography
(PHCAS atau PHCAG), dan elektrodiagnostik.6

Pada wanita, USG panggul dapat diindikasikan jika diduga terdapat gangguan patologis uterus
atau adneksa. Menggunakan langkah-langkah tujuan aliran darah genital, yang diukur dengan
photoplethysmography vagina, dan pencitraan canggih teknik seperti functional magnetic resonance
imaging. Saat ini terutama terbatas pada setting penelitian6

332 Rehabilitasi Kardiovaskuler


Penatalaksanaan rehabilitasi seksual
Perubahan aktivitas seksual setelah penyakit jantung dapat mengurangi kualitas hidup pasien,
berdampak negatif pada kesehatan psikologis dan hubungan dengan pasangan. Gangguan
kecemasan dan depresi berkontribusi terhadap disfungsi seksual, penurunan libido, ganguan
rangsangan dan orgasme serta dispareunia. Dibutuhkan penilaian dari dokter dan jika diperlukan
dapat dilakukan konseling bagi pasien dan pasangannya.25

Rehabilitasi seksual merupakan bagian dari rehabilitasi jantung yang komprehensif. Aktifitas
seksual dapat secara bertahap diintegrasikan dengan program rehabilitasi baik fisik maupun dan
psikologi. Pada umumnya dampak psikoseksual pada pasien MI dan CABG sering terlupakan karena
waktu yang kurang, atau tertutupi oleh aspek medis yang lebih besar. Pentingnya seksualitas bagi
pasien dan pasangannya, maka informasi tentang fungsi seksual perlu dimasukkan kedalam proses
rehabilitasi. Penting bagi seorang spesialis Kedokeran Fisik dan Rehabilitasi untuk memberikan
suasana yang nyaman agar pasien mampu menyampaikan masalah seksual mereka. Dokter juga
perlu menyadari bahwa pasien tidak mudah menceritakan kehidupan seksual mereka jika tidak
terdapat komunikasi yang baik antara dokter dan paisen yang rutin. 1

Riwayat seksual, perlu ditanyakan sebagai data dasar pada semua pasien koroner. Konseling dan
instruksi yang menyeluruh tentang masalah dan kebutuhan seksual pasien. Instruksi seksual
harus didasari pada riwayat seksual sebelum sakit, orientasi seks, keingian, dan masalah yang
dihadapi. Hal lain yang perlu diperhatikan antara lain respon seksual terhadap penyakit, status
kesehatan individu sebelum sakit, efek pengobatan pada pasien, dan respon pasangan terhadap
penyakit pasien. Usia, lama menikah, dorongan seksual sebelum sakit, dan tingkat kepuasan
seksual pasien merupakan faktor yang signifikan untuk melanjutkan aktifitas seksual. Penyakit
lain seperti hipertensi dan diabetes melitus juga dapat mempengaruhi pasien, begitu pula halnya
dengan usia yang lebih tua. 1

Instruksi seksual sering tidak spesifik dan komperhensif dan tidak menghilangkan ketakutan
pasien, maka spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi perlu lebih spesifik dalam membahas
kelanjutan, posisi, frekuensi koitus dan efek samping obat-obatan. 1 Nasehat tentang aktifitas
seksual dapat diberikan dengan materi tertulis atau video sebagai tambahan dari komunikasi secara
personal. Instruksi spesifik yang diberikan kepada pasien melalui tulisan serta dijelaskan secara
jelas merukan metode terbaik dalam komunikasi yang efektif dan menyeluruh. Konseling seksual
harus mampu memberi dukungan dan meyakinkan pasien dan pasangannya, serta memfasilitasi
komunikasi keduanya. Komunikasi seksual yang buruk akan berakibat apda komunikasi pada
bagian lainnya. Kualitas hidup keluarga dan pernikahan berhubungan dengan kepuasan seksual
dan terbukti menjadi faktor penting dalam aspek psikologi dan sosial pasien. Setiap pasien perlu
mendapat instruksi seksual yang sesuai dengan kebutuhan dan bersama dengan pasangan mereka
untuk mengatasi rasa takut. Program rehabilitasi seksual perlu memperhatikan pasangan para
pasien, untuk menghasilkan program yang produktif. 1

Konseling yang dapat diberikan pada pasien paska MI dan CABG yang ingin memulai aktifitas
seksual:

- Waktu yang tepat: Ketika pasien tidak menunjukkan gejala abnormal dan stabil, pasien
dapat melakukan aktifitas seksual pada minggu 3 hingga 6. Tetapi waktu ini bisa berbeda
setiap pasiennya tergantung libido setiap pasangan. Program latihan fisik dapat membantu
pasien kembali ke aktifitas seksual lebih cepat. Wanita yang menjalani program rehabilitasi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 333


umumya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pria. Menopause merupakan
faktor lain yang mempengaruhi pasien wanita kembali ke aktifitas seksual, karena perubahan
psikologi dan fisiologi yang terjadi pada menopause. Pada studi terbaru, menopause terbukti
mengakibatkan hilangnya feminimitas dan dorongan seksual.1
- Kontak pertama: Pada masa konvalesen kontak dengan pasangan, bersentuhan pada daerah
non genital, dan masturbasi dapat dilakukan. Hal ini mampu meningkatkan kepercayaan diri
pasien, bahwa aktifitas tersebut tidak menimbulkan nyeri dada, sesak (SOB), atau palpitasi.
Saat libido dan kepercayaan diri pasien sudah meningkat, dan pasien tetap merasa nyaman,
pasien dapat diizinkan melakukan koitus. Foreplay sangat penting dilakukan sebagai pemanasan
pasien. 1
- Pasangan: Pasien perlu diyakinkan bahwa seorang suami atau istri merupakan pasangan yang
ideal untuk para pasien, karena tidak akan memberikan beban fisik dan emosional berlebihan
pada jantung. 1
- Lingkungan: Aktifitas seksual pada lingkungan yang biasa seperti rumah sangat dianjurkan.
Temperatur ekstrim, kelembapan, pakaian terlalu tebal, atau sprei yang terlalu dingin perlu
dihindari. 1
- Pertimbangan lain: Hindari aktifitas seksual yang terlalu berat, dan hindari hubungan setelah
aktifitas fisik atau stres, setelah makan berat, dan setelah minum terlalu banyak alkohol. 1
- Posisi: Kebanyakan pasien tidak merubah posisi mereka saat berhubungan. Namun posisi yang
dianjurkan adalah posisi pasif seperti posisi dibawah yang dinilai lebih membutuhkan sedikit
energi, atau posisi bersampingan seperti face to face, side by side, atau face to back. Jika pasien
merasa sesak pada posisi tidur, pasien dapat dianjurkan untuk duduk dikursi dengan pasangan
berada dipangkuan pasien. 1
- Tanda bahaya: Pasien perlu menginformasikan dokter jika timbul HR yang cepat dan nafas
cepat yang berlangusng 10-15 menit setelah koitus. Rasa lelah yang berkepanjangan sampai
esok hari, irama jantung yang ireguler, pusing, atau merasa “gelap”, nyeri dada setelah koitus,
dan difungsi seksual. 1

Konseling pada pasien yang menjalani CABG perlu dimuali saat sebelum operasi dan perlu
menginformasikan keuntungan fisik, okupasional, dan psikososial dan masalah yang akan
terjadi setelahnya. Pasien perlu mengetahui thoracotomy dan sternotomy, dapat memberikan
ketidaknyamnan yang berlangusng dalam beberapa waktu. Konselor perlu mendukung kembali
bekerja, dan aktifitas rekreasional dan seksual setelah operasi. Staf juga perlu mengetahui
kecenderungan cemas, depresi, dan paranoid pada pasien, serta pola seksual dan sosial pada
pasien. 1 Pasien paska CABG biasanya tidak mengetahui perubahan pada aktifitas seksual mereka.
Beberapa pasien tidak melakukan aktifitas seksual. Pada kelompok pasien ini program konseling
dapat membantu pasien ke aktifitas seksual sebelumnya. 1

Jika pasien mempertanyakan toleransi fisik dan kemungkinan timbulnya aritmia, dokter dapat
melakukan uji latih dengan treadmill atau cycle ergometer atau dengan monitoring EKG sebelum,
saat, dan setelah aktifitas seksual, hal ini dapat membantu memberi gambaran pentingnya obat
anti angina dan anti aritmia pada pasien. 1

Pasien pada kondisi stabil sangat ingin kembali melakukan aktifitas seksual, tetapi memiliki
disfungsi seksual, pasien perlu dirujuk utnuk mendapat terapi seksual. Pasien yang takut dengan
hubungan seksual atau memiliki difsungsi seksual, merasa cukup puas hanya dengan berpelukan

334 Rehabilitasi Kardiovaskuler


atau bermesraan saja. Pasien perlu memperhatikan efek obat yang diminum pada kehidupan
seksual mereka. Penuruan dosis atau subtitusi dengan obat yang memiliki efek negatif pada
seksual lebih rendah dapat diresepkan. 1

Rehabilitasi seksual merupakan program multidisiplin dan saran yang dapat diberikan pada pasien
antara lain:

1. Menyarankan aktifitas seksual saat istirahat dan pada beberapa waktu untuk mencegah
kelelahan. Dan siapkan ruangan kondusif dan terpisah dari peralatan rehabilitatif dan intervensi
medis lainnya.
2. Bereksperimen menentukan posisi yang tepat, dapat dilakukan sendiri atau bersama pasangan,
hal ini bertujuan menetukan posisi yang memudahkan untuk bernafas, mengurangi nyeri,
mengurangi tekanan pada kandung kemih, usus, dan keseimbangan.
3. Manajemen kandung kemih dan pencernaan, dengan mengosongkan atau katetrisasi sebelum
aktifitas dan buang air besar secara teratur.
4. Manajemen pengobatan, gunakan obat yang dapat menghilangkan neyri paling efektif dan
relaksasi, dan gunakan obat-obatan yang menunjang aktifitas seksual.
5. Pertahankan privasi baik psikologis dan fisik (stimulasi seindividu)
6. Beri kebebasan pasien untuk memilih hal yang berhubungan dengan seks seperti dokter untuk
konseling dan bantuan yang digunakan. Hindari overprotektif terhadap pasien, terutama pada
pasien usia muda.
7. Teliti dalam melihat faktor yang mempengaruhi ketertarikan seksual pada pasangan, seperti
perasaan depresi, perubahan peran, kehilangan kemampuan secara finansial, dan perubahan
motivasi.
8. Memperkenalkan pilihan terapi ketika pasien sudah mencapai kondisi fisiologi yang maksimal. 3

Tujuan latihan fisik adalah untuk mencapai target kapasitas fisik pasien dan untuk mengeliminasi
rasa takut serta ketidakpastian pasien yang behubungan dengan aktivitas seksual. Intervensi
latihan fisik didasarkan pada rekomendasi European Society of Cardiology mengenai aktivitas fisik
untuk pasien jantung. Frekuensi yang dianjurkan adalah 3 kali seminggu dengan intensitas latihan
pemanasan skala Borg 11-12, latihan inti skala Borg 13-17, dengan waktu pemanasan 10 menit,
latihan inti 20 menit dan pendinginan, serta tipe latihan menggunakan ergocycle. Pada penelitian
tersebut dilakukan latihan selama 12 minggu dengan supervisi.27

Selain itu pasien disarankan untuk melakukan pelvic floor exercise sebanyak 2 kali sehari. Latihan
ini diulang sebanyak 9 kali, durasi kontraksi masing-masing 10 detik dan diselingi istirahat selama
10 detik.27

Menurut studi klinis Schumann J dkk tahun 2010 dalam Sexual Dysfunction Before and After
Cardiac Rehabilitation, menganjurkan untuk dilakukan program rehabilitasi berupa latihan dengan
peresepan dan supervisi, relaksasi, edukasi dan konseling. Program rehabilitasi dalam penelitian
ini dibagi menjadi 2 yaitu fase build-up dan fase konsolidasi yang berlangsung selama 12 minggu.28

Fase Build-up terdiri dari rehabilitasi intens selama 4 minggu dengan aktivitas harian 3 jam/hari.
Fase Consolidation dilakukan selama 8 minggu dengan aktivitas fisik harian 3 kali/minggu, durasi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 335


masing-masing 2 jam dan intensitas 60-80% HR max menggunakan ergocycle atau treadmill disertai
berjalan kaki di luar rumah (outdoor walking) kemudian latihan kekuatan dan koordinasi.28

Rekomendasi aktivitas seksual


Pasien dapat distratifikasi berdasarkan risiko menjadi tiga kategori:16

1. Risiko rendah : pasien asimptomatik dengan faktor risiko PJK kurang dari 3 faktor, angina
stabil, infark miokard tanpa komplikasi, penyakit katup derajat ringan, gagal jantung ringan,
hipertensi terkontrol atau paska revaskularisasi yang sukses. Kelompok pasien ini dapat
ditangani secara medis dan dilakukan pemantauan berkala serta dapat melakukan aktivitas
seksual secara normal.
2. Risiko sedang : pasien dengan faktor risiko PJK lebih dari 3 faktor, riwayat infark miokard
yang baru terjadi, gagal jantung NYHA kelas II dan penyakit vaskular perifer. Kelompok pasien
ini dapat dilakukan uji latih terlebih dahulu dan secara umum apabila pasien dapat mencapai
5 METs pada uji latih treadmill tanpa tanda-tanda iskemia atau aritmia maka diperbolehkan
untuk kembali ke aktivitas seksual normal.
3. Risiko tinggi : pasien dengan angina tidak stabil, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung
NYHA kelas III/IV, riwayat infark miokard dalam 2 minggu terakhir, aritmia yang signifikan,
kardiomiopati berat dan penyakit katup berat. Kelompok pasien ini perlu dirujuk untuk
dilakukan evaluasi kardiovaskular dan distabilkan terlebih dahulu sebelum diperbolehkan
untuk kembali melakukan aktivitas seksual.

Pasien penyakit jantung yang stabil dan tidak memiliki gejala atau memiliki gejala minimal saat
melakukan aktivitas sehari-hari diperbolehkan untuk melakukan aktivitas seksual.

Berikut ini adalah pasien penyakit jantung yang boleh melakukan aktivitas seksual:

1. Angina Kelas 1 atau 2 menurut Canadian Classification System


2. Gagal jantung NYHA I atau II
3. Penyakit katup derajat ringan sampai sedang
4. Tidak ada gejala paska infark miokard
5. Paska tindakan revaskularisasi yang berhasil
6. Kemampuan untuk mencapai > 3-5 METs selama uji latih tanpa adanya angina, perubahan
EKG, hipotensi, sianosis, aritmia atau dispnea.

Sedangkan untuk penyakit jantung tidak stabil atau dekompensasi kordis seperti angina tidak stabil,
gagal jantung tidak terkompensasi, aritmia tidak terkontrol atau penyakit katup yang berat, aktivitas
seksual perlu ditunda terlebih dahulu sampai pasien dalam keadaan stabil. Pada pasien dengan
kapasitas latihan atau risiko kardiovaskular yang belum diketahui maka dapat dilakukan uji latih
untuk menilai kapasitas erobik dan perkembangan gejala, iskemia, sianosis, hipotensi atau aritmia.

Program latihan selama rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kapasitas erobik maksimum dan
menurunkan denyut jantung maksimal saat koitus. Latihan yang reguler juga berhubungan dengan
penurunan risiko infark miokard yang dipicu oleh aktivitas seksual sehingga rehabilitasi jantung

336 Rehabilitasi Kardiovaskuler


dan latihan reguler dapat disarankan kepada pasien penyakit jantung stabil yang berencana untuk
memulai kembali melakukan hubungan seksual.

Berikut adalah rekomendasi umum aktivitas seksual untuk penderita penyakit jantung menurut
AHA tahun 2012.18

Tabel 10.5 Rekomendasi Umum Akitivitas Seksual18

Klasifikasi rekomendasi dan


No. Rekomendasi
Level of Evidence (LOE)
Wanita dengan penyakit jantung perlu diberikan konseling mengenai
1. Kelas I, LOE C
keamanan metode terapi hormon/kontrasepsi oral dan kehamilan.
Pasien dengan penyakit jantung yang berencana memulai atau
2. kembali melakukan aktivitas seksual perlu dievaluasi secara seksama Kelas IIa, LOE B
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Aktivitas seksual diperbolehkan untuk pasien penyakit jantung
3. Kelas IIa, LOE B
dengan risiko komplikasi kardiovaskular yang rendah.
Uji latih dapat dilakukan pada pasien yang bukan risiko rendah atau
4. memiliki risiko kardiovaskular yang tidak diketahui untuk menilai Kelas IIa, LOE C
kapasitas latihan dan perkembangan gejala, iskemia atau aritmia
Aktivitas seksual diperbolehkan pada pasien yang dapat melakukan
5. latihan > 3-5 METs tanpa angina, dispnea berlebih, perubahan Kelas IIa, LOE C
segmen ST pada EKG, sianosis, hipotensi atau aritmia.
Rehabilitasi jantung dan latihan reguler dapat menurunkan risiko
6. komplikasi kardiovaskular saat melakukan aktivitas seksual pada Kelas IIa, LOE B
penyakit jantung.
Penyakit jantung tidak stabil, tidak terkompensasi dan/atau yang
7. memiliki gejala berat disarankan untuk menunda melakukan Kelas III, LOE C
hubungan seksual sampai kondisi pasien stabil.
Pasien penyakit jantung yang memiliki riwayat gejala kardiovaskular
8. saat melakukan aktivitas seksual juga perlu menunda melakukannya Kelas III, LOE C
sampai kondisi pasien stabil.


American Heart Association (AHA) juga mencantumkan beberapa pertimbangan untuk kembali
melakukan aktivitas seksual pada beberapa kondisi khusus atau spesifik seperti paska infark
miokard, paska revaskularisasi PCI atau CABG dan pada gagal jantung.18

Penyakit Jantung Koroner


Aktivitas seksual diperbolehkan bagi pasien penyakit jantung koroner jika memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut:

- Tidak ada angina atau angina ringan


- Tidak ada gejala muncul saat aktivitas fisik ringan-sedang minimal 1 minggu setelah kejadian
infark miokard tanpa komplikasi

Rehabilitasi Kardiovaskuler 337


- Revaskularisasi komplit dengan PCI dan tanpa komplikasi
- Sternotomi sembuh sempurna 6-8 minggu paska CABG

Uji latih (exercise stress testing) dilakukan untuk menilai luas dan keparahan sisa iskemia pada
pasien dengan revaskularisasi nonkomplit. Aktivitas seksual sebaiknya ditunda dulu pada pasien
dengan angina refrakter atau tidak stabil sampai kondisi stabil dan tertangani dengan optimal.25

Evaluasi awal untuk risiko kardiovaskular perlu dilakukan pada penyakit jantung iskemik stabil
sebelum pasien memulai atau kembali melakukan hubungan seksual. Pasien dengan angina stabil
yang ringan termasuk risiko rendah sedangkan pasien dengan angina tidak stabil atau angina
refrakter masuk ke dalam kategori risiko tinggi.18

Pasien dengan riwayat infark miokard asimptomatik, tidak ditemukan iskemia saat uji latih atau
sudah menjalani tindakan revaskularisasi komplit memiliki risiko infark miokard coital yang
rendah. Pada tahun 2005 Princeton Conference menyarankan bahwa pasien infark miokard yang
sudah berhasil menjalani revaskularisasi atau dapat melakukan uji treadmill tanpa timbul iskemia
diperbolehkan kembali melakukan aktivitas seksual 3-4 minggu pasca serangan.18

Aktivitas seksual paska PCI berhubungan dengan keberhasilan revaskularisasi yang adekuat atau
tidak. Pasien dengan revaskularisasi komplit yang berhasil dapat kembali melakukan aktivitas
seksual dalam waktu beberapa hari paska PCI dengan catatan tidak ditemukan komplikasi pada
daerah akses pembuluh femoral.18

Pasien dengan kecurigaan komplikasi vaskular perlu menjalani beberapa evaluasi sebelum kembali
melakukan aktivitas seksual. Pada kasus revaskularisasi inkomplit, uji latih dapat memberikan
gambaran keparahan iskemia residual.18

Pasien paska CABG melalui teknik sternotomi median merupakan teknik yang paling sering
digunakan dan waktu penyembuhannya sekitar 8 minggu paska tindakan. Aktivitas seksual dapat
memberikan beban stres yang berat pada dada dan peningkatan tekanan intratorakal yang akan
memperlambat penyembuhan luka sternum. Oleh karena itu umumnya aktivitas seksual baru
disarankan 6 sampai 8 minggu paska CABG.18

Pasien yang menjalani operasi perlu diberikan konseling untuk menghindari posisi yang dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman atau memberikan beban stres pada lokasi operasi terutama
pada beberapa bulan awal paska operasi. Setelah penyembuhan sempurna paska CABG, aktivitas
seksual dapat kembali dilakukan.18

Tabel 10.6 Rekomendasi Aktivitas Seksual Kondisi Khusus18

No. Rekomendasi Klasifikasi Rekomendasi LOE


Aktivitas seksual diperbolehkan untuk pasien tanpa angina atau Kelas IIa, LOE B
dengan angina ringan
Aktivitas seksual diperbolehkan setelah > 1 minggu pasca infark Kelas IIa, LOE C
miokard tanpa komplikasi pada pasien tidak ada gejala jantung
selama aktivitas fisik ringan sampai sedang

338 Rehabilitasi Kardiovaskuler


No. Rekomendasi Klasifikasi Rekomendasi LOE
- Aktivitas seksual diperbolehkan pada pasien yang sudah - Kelas IIa, LOE B
menjalani revaskularisasi komplit.
- Boleh kembali melakukan aktivitas seksual (a) beberapa hari
setelah PCI tanpa komplikasi lokasi akses pembuluh darah atau - (a) Kelas IIa, LOE C
(b) 6 sampai 8 mingu pasca CABG dengan catatan luka operasi - (b) Kelas IIa, LOE B
sudah sembuh dengan baik.
Untuk kasus revaskularisasi inkomplit, maka uji latih dapat Kelas IIa, LOE C
dipertimbangkan untuk menilai keparahan iskemia residual.
Aktivitas seksual harus ditunda pada angina tidak stabil atau Kelas III, LOE C
angina refrakter sampai kondisi pasien stabil.

Gagal Jantung
Abnormalitas hemodinamik, vaskular, hormonal dan neurohormonal dapat berkontribusi pada
disfungsi seksual yang biasanya terjadi pada pasien gagal jantung. Sekitar 60-87% pasien gagal
jantung melaporkan memiliki masalah mengenai hubungan seksual seperti penurunan minat dan
aktivitas seksual serta sekitar 25% tidak lagi melakukan aktivitas seksual.18

Tatalaksana gagal jantung yang optimal dapat meningkatkan kemungkinan pasien untuk kembali
melakukan hubungan seksual yang aman. Program latihan memperbaiki kualitas hidup pada gagal
jantung dan juga dapat berdampak positif pada aktivitas seksualnya.18

Pasien gagal jantung yang mengalami sesak nafas atau fatigue pada saat melakukan hubungan
seksual disarankan untuk menggunakan posisi semireclining atau posisi di bawah yang dapat
menurunkan pengeluaran tenaga fisik serta pasien dapat beristirahat apabila timbul sesak.18

Gambar 10.5 Posisi Semireclining

Aktivitas seksual diperbolehkan pada pasien gagal jantung ringan atau dengan kompensasi.
Aktivitas seksual tidak dianjurkan bagi pasien gagal jantung dengan dekompensasi atau gagal
jantung lanjut sampai kondisi stabil dan tertangani secara optimal.25

Rehabilitasi Kardiovaskuler 339


Tabel 10.7 Rekomendasi Aktvitas Seksual Gagal Jantung18

No. Rekomendasi Kelas dan Level of Evidence

1. Aktivitas seksual diperbolehkan pada gagal jantung Kelas IIa, LOE B


terkompensasi NYHA kelas I atau II

2. Aktivitas seksual tidak disarankan pada gagal jantung tidak Kelas III, LOE C
terkompensasi sampai kondisi pasien sudah stabil.

Obat-obatan yang Berpengaruh Terhadap Aktivitas


Seksual:

Meningkatkan Kemampuan Seksual


- Gangguan dorongan seksual
Perubahan dorongan seksual meliputi dorongan biopsikososial yang kompleks. Sangat penting
untuk melihat gangguan biologi yang reversibel seperti hipogonadism, hipotiroidism, depresi,
dan manajemen nyeri yang tidak adekuat. Jika memungkinkan, obat-obatan yang mempengaruhi
dorongan seksual perlu dihindari. Penting juga untuk melihat masalah yang menyebabkan
hilangnya motivasi, pasien hipoaktif yang perlu pemeriksaan dan penatalaksanaan dari
spesialis. Pasien hiperseksual sulit ditangani, terutama jika terapi perilaku tidak memungkinkan,
sehingga dapat digunakan SSRI, antiandrogen, atau dopamin agonis.3
- Penguatan ereksi
Medikasi yang secara tidak langsung otot polos penis dan menguatkan ereksi yang terjadi
akibat stimulasi psikogenik merupakan terapi lini pertama. Golongan PDE5i seperti viagra
(sildenafil), levitra (vardenafil), dan Cialis (tadalafil), pada saraf perifer yang intak. Obat ini
kurang bekerja maksimal pada pasien yang juga memiliki gangguan pada saraf dan endotelial
seperti diabetes, aterosklerosis, hipertensi, cidera saraf perifer, dan neuropati otonom.
Pada kasus seperti dosis tinggi PDE5i saat diperlukan atau dosis rendah yang dikonsumsi
rutin terbukti bermanfaat, terbukti efektif pada disfungsi ereksi karena SCI, psikogenik, dan
karena penggunaan antidepresan.3 Golongan obat PDE5i memiliki efek menurunkan tekanan
darah, sehingga perlu perhatian pada laki-laki yang memiliki kecenderungan hipotensi. Dosis
rendah perlu diberikan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal, atau digunakan bersama
obat-obatan yang meningkatkan kadar PDE5i di serum seperti obat retroviral. 3 Pemberian
PDE5i perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gagal jantung, 6 bulan paska MI
atau stroke, dan pasien dengan angina pektoris tidak stabil. Pemberian bersama nitrat tidak
dianjurkan karena dapat menurunkan tekanan darah. Kontraindikasi relatif seperti hipertensi
tidak terkontrol dan hipotensi simptomatik (seperti tetraplegia). Golongan PDE5i terbukti
aman dan tidak meningkatkan insiden kardiovaskular ataupun stroke. Memiliki efek relaksasi
otot polos diseluruh tubuh, sehingga dapat bermanfaat pada gangguan traktus urinarius bagian
bawah dan BPH, dan juga terbukti pada gangguan vasokonstriksi, dan memiliki efek proteksi
dari neurodegenerasi dan gangguan memori, dan disetujui untuk pengobatan hipertensi
pulmonal. 3

340 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Injeksi obat-obatan yang secara langsung merelaksasi penis
Prostaglandin E1 (PGE1), seperti alprostadil dapat diinjeksikan. Injeksi intra kavernosa
merupakan cara paling efektif dalam pengobatan disfungsi ereksi. Laki-laki dengan gangguan
neurologis memerlukan dosis rendah karena risiko prolonged ereksi hingga priapismus.
Dosis tinggi dibutuhkan pada pasien dengan disfungsi ereksi vaskular, seperti diabetes dan
hipertensi. Metode mekanik seperti vakum dan cincin penis merupakan pilihan nonmedis.
Implantasi secara operasi juga dapat bermanfaat tetapi juga memilki risiko infeksi dan risiko
operasi lainnya. 3
- Kesulitan ejakulasi dan orgasme pada pria
Problem ejakulasi setelah cidera atau penyakit kronik (seperti diabetes) terjadi akibat gangguan
neurologis dibanding masalah psikologis. Jika saraf yang bertanggung jawab untuk ejakulasi
terganggu, terdapat beberapa cara untuk menstimulasi ejakulasi. Pseudoefedrin dosis
tinggi dapat membantu fase seminal emission jika saraf simpatis mengalami penurunan atau
terdapat ejakulasi retrograde. Laki-laki yang mengalami ejakulasi spontan setelah gangguan
sumsum tulang belakang tidak dapat diobati dengan SSRI tetapi dapat sedikit dibantu dengan
phenoxybenzamine, terazosin, prazosin. Usia dan disabilitas neurologis dapat menyebabkan
orgasme terganggu, tetapi perlu diingat ereksi tidak dibutuhkan untuk mencapai orgasme.
Terapi pemberian testosteron dapat diberikan pada orgasme. 3

- Gangguan rangsangan dan orgasme pada perempuan


Berbeda dengan laki-laki obat-obatan yang digunakan pada kesulitan seksual pada wanita
tidak terbukti efektif, seperti penggunaan PDE5i hanya mengalami pembesaran vagina tepi
tidak pada stimulus untuk rangsangan. Pada beberapa wanita menunjukkan efek positif
penggunana dosis rendah PDE5i, dan sedikit peningkatan lubrikasi vagina pada pasien SCI dan
MS.3 Stimulasi klitoris merupakan cara paling efektif untuk mencapai orgasme pada perempuan.
Stimulasi klitoris dapat mencetuskan refleks orgasme pada wanita sebagai stimulasi sensoris
diluar genital. Pada wanita dengan secara cidera tulang belakang, stimulasi intravaginal lebih
efektif dibanding dengan klitoris. 3
Clitoral Therapy Device (CTD), merupakan alat vakum klitoris dapat digunakan dalam mengatasi
disfungsi seksual pada perempuan, dan terbukti efektif dalam meningkatkan respon orgasme
pada pasien dengan gangguan neurofisiologi pelvis atau dengan insufisiensi arteri. Secara
teori, stimulasi refleks BCR dan vasokongesti dapat meningkatkan sensori pada perempuan.3
- Opsi orgasme non genital
Filosofi tentang pikiran dan latihan sentuhan, dengan menyertakan stimulasi pada seluruh
tubuh, relaksasi dan pengaturan pikiran terbukti efektif dalam meningkatkan seksualitas dan
membantu mencapai orgasme non genital. 3

Menurunkan Kemampuan Seksual


- Obat-obatan penyakit kardiovaskular
Obat-obatan memiliki dampak negatif pada kualitas hidup pasien, tidak hanya pada seksualitas
tetapi juga kesejahteraan fisik dan emosional, serta fungsi sosial dan kognitif. Disfungsi seksual
dapat mengganggu kesehatan individu secara keseluruhan, karena seksualitas merupakan
aktifitas yang penting dalam kepuasan emosional. Agen farmakologis dapat mempengaruhi
libido, kemampuan ereksi dan fase orgasme. Kebanyakan obat memiliki efek samping pada

Rehabilitasi Kardiovaskuler 341


dosis tertentu, atau terdapat interaksi pada setiap individiu (usia, jenis kelamin, diet, penyakit
penyerta, dan faktor genetik), dan durasi konsumsi obat.1
Walaupun peran hubungan interpersonal dan komunkiasi yang buruk berperan dalam disfungsi
sekusal dan perkembangan penyakit, beberapa agen farmakologis sudah terbukti memiliki
efek pada fungsi seksual. Status emosional pasien serta fungsi sistem vaskular, neurologis,
dan endokrin merupakan suatu integritas dalam fungsi seksual yang normal. Obat-obatan
kardiovaskular umumnya memiliki efek pada mekanisme neurogenik, hormonal, dan vaskular. 1
Obat-obatan kardiovaskular seperti diuretik, antihipertensi, antiaritmia, antiangina, dan
obat hipolipidemik memiliki efek pada seksualitas pasien. Obat-obat tersebut menyebabkan
turunnya libido, impoten, kesulitan orgasme, terhambatnya lubrikasi vaginal, iregularitas siklus
menstruasi, ginekomastia pada laki-laki atau perbesaran payudara yang nyeri pada perempuan.
Obat-obatan lain seperti sedatif, antidepresan, penenang, antispasmodik, dan antihistamin
juga bisa bedampak negatif pada beberapa pasien. Terdapat beberapa obat yang terbukti
bermanfaat pada seksualitas pasien seperti β blocker, dan nitrat sublingual. Anti aritmia juga
terbukti mengurangi kecemasan pasien yang takut akan timbulnya palpitasi selama hubungan
seksual. Antihipertensi yang sesuai dapat membantu mengontrol tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi. Obat-obatan psikotropika dapat mengurangi cemas dan depresi pasien
yang bermanfaat agar pasien lebih terbuka terhadap aktifitas seksual. 1

- Efek antihipertensi dan pengobatan jantung


Efek samping pada seksualitas merupakan salah satu alasan kurangnya keterikatan pasien
menggunakan obat antihipertensi. 4 Diuretik berhubungan dengan disfungsi ereksi, gangguan
ejakulasi, dan berkurangnya hasrat seksual, terutama pada sprinolakton, thiazide, chlorhalidone,
dan loop diuretic. Disfungsi seksual berhubungan dengan diuretik dilaporkan sebanyak 5%.
Thiazid juga dapat menyebabkan ejakulasi retrograde. 4
- Agen simpatolitik terutama yang bekerja sentral seperti metildopa dan klonidin, yang
menyebabkan disfugnsi ereksi atau berkurangnya dorongan seksual pada 20-3% pasien. 4
- β-blockers menyebabkan disfungsi seksual (terutama disfungsi ereksi pada pria dan
berkurangnya hasrat seksual pada wanita dan pria) karena efek pada simpatolitik dan sistem
vaskular. Efek ini lebih berat pada obat non selektif. Disfungsi seksual yang signifikan terjadi
saat terjadi blokade β yang menyeluruh akibat penggunaan dosis tinggi, namun sekarang
efeknya cukup rendah dibanding antihipertensi lain. 4
- α-blockers seperti prazosin dan terazosin dapat menyebabkan disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograde, dan priapismus pada beberapa kasus. 4
- Tidak terdapat laporan yang signifikan tentang disfugnsi seksual yang berhubungan dengan
penggunaan calcium chanel blocker, ACE inhibitor, dan ARB. 4
- Hidralazine yang merupakan vasodilator, dapat menyebabkan priapismus walaupun pada
kasus yang sangat jarang. 4
- Digoksin dapat menurunkan hasrat dan disfungsi ereksi pada 36% pasien, karena memiliki
struktur kimia menyerupai hormon seks yang menurunkan kadar testosteron dan luteinizing
hormone, meningkatkan estrogen, dan ginekomastia. 4
- Obat antiaritmia disopyramide berhubungan dengan disfungsi ereksi. 4

342 Rehabilitasi Kardiovaskuler


- Obat anti hiperkolesterolemia berdampak pada disfungsi ereksi dan berkurangnya dorongan
seksual. Obat hiperkolesterolemia seperti statin, fibrat, dan niasin, walaupun mekanismenya
belum jelas, diduga hal ini mempengaruhi substrat dari hormon seksual. 4

Daftar Pustaka

1. Wenger NK and Hellerstein HK. Rehabilitation of the Coronary Patient. 3rd Edition. Churchill
Livingstone, 1992.
2. Kottke TE, Haney T, and Doucette MM. Rehabilitation of Patient with Heart Disease in:Krusen’s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th edition. USA:W.B. Saunders, 1990.
3. Steccy E and Krassioukov A. Sexuality and Disability. In DeLisa JA, et al. Physical Medicine and
Rehabilitation: Principles and Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2005; p445-58.
4. Hoffman BM,  Sherwood A, Smith PJ, et al. Cardiovascular Disesase Risk, Vascular Heatlh and
Erectile Dysfunction among Middle-aged Men, Clinically Depressed Men. Int J Impot Res.
2010; 22(1):30-35.
5. Schwarz ER, V Kapur; S Bionat; et al. The Prevalence and Clinical Relevance of Sexual
Dysfunction in Women and Men with Chronic Heart Failure. Int J Impot Res. 2008;20(1):85-
91.
6. Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation Fouth Edition. Saunders, Elsevier 2011.
7. Simons J and Carey MP. Prevalence of Sexual Dysfunction. Arch Sex Behav. 2001;30(2):177-
219.
8. Brotto LA. The DSM Diagnostic Criteria for Sexual Aversion Disorder. Arch Sex Behav. 2010;
39(2): 271-277.
9. Montgomery KA. Sexual Desire Disorder. Handbook Psychiatry MMC. 2008; 5(6): 50-55.
10. Tuniz D. Cardiac Rehabilitation and Resuming Sexual Activity. Monaldi Arch Chest Dis.
2004.62(3):162-168.
11. Oommen M and Hellstrom WJG. Male Dyspareunia. UPTODATE. 2014.
12.Basson R. Efficacy and safety of sildenafil citrate in women with sexual dysfunction associated with
female sexual arousal disorder. Journal of womens health gender based medicine. 202: 11(4):
367-377.
13.Goldmeier D, Hiller J and Crowley T. Persistant genital arousal disorder: a review of the literature
and recommendation for management. BASHH special interest group for sexual dysfunction.
BASHH papers. 2009.
14. Pink L, Rancourt V and Gordon A. Persistent Genital Arousal in Women with Pelvic and Genital
Pain. JOGC. 2014.
15. Seehusen DA, Baird DC and Carl R. Dyspareunia in Women. AAFP. 2014.
16. Thorson AI. Sexual Activity and the Cardiac Patient. The American Journal of Geriatric
Cardiology. 2003 :12(1).
17. Mampuya WM. Cardiac Rehabilitation Past, Present and Future: An Overview. Cardiovascular
Diagnosis and Therapy. 2012.

Rehabilitasi Kardiovaskuler 343


18. Levine GN,   Steinke EE,  Bakaeen FG,  et al. Sexual Activity and Cardiovascular Disease A
Scientific Statement from the American Heart Association. AHA. 2012:125;1058-1072.
19. Dahabreh IJ and Paulus JK. Association of Episodic Physical and Sexual Activity with Triggering
of Acute Cardiac Events: Systematic Review and Meta-Analysis. JAMA. 2011;305:1225-1233.
20. Muller JE,   Mittleman MA,  Maclure M,  et al. Determinants of Myocardial Infarction Onset
Study Investigators. Triggering Myocardial Infarction by Sexual Activity: Low Absolute Risk
and Prevention by Reguler Physical Exertion. JAMA. 1996;275:1405-1409.
21. Topol EJ, Califf RM, Prystowsky EN,  et al. Textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
22. Drory Y. Sexual Activity and Cardiovasular Risk. Eur Heart J Suppl. 2002;4:13-18.
23. Muller J,   Ahlbom A,  Hulting J,  et al. Sexual Activity as A Trigger of Myocardial Infarction:
A Case-Crossover Analysis in the Stockholm Heart Epidemiology Program (SHEEP). Heart.
2001;86:387-390.
24. DeBusk RF. Sexual Activity in Patients with Angina. JAMA. 2003;209(23).
25. Armstrong C. AHA Releases Statement on Sexual Activity and Cardiovascular Disesase. Am
Fam Physician. 2012;86(11):1074-1076.
26. Goble AJ and Worcester MUC. Education, Counseling and Behavioral Interventions. In Best
Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention. Department of
Human Services. April 1999.
27. Johansen PP,  Zwisler A, Hastrup-Svendsen J, et al. The CopenheartSF Trial-Comprehensive
Sexual Rehabilitation Program for Male Patients with Implantable Cardioverter Defibrillator or
Ishemic Heart Disease and Impaired Sexual Function: Protocol of Randomized Clinical Trial.
BMJ. 2013;3(11).
28. Schumann J, Zellweger MJ, Valentino MD, et al. Sexual Dysfunction Before and After Cardiac
Rehabilitation. Rehabilitation Research and Practice. 2010.
29. Dusing R. Sexual Dysfunction in Male Patients with Hypertension: Influence of Antihypertensive
Drugs. Drugs. 2005;65:773-786.

344 Rehabilitasi Kardiovaskuler


METs Kelompok aktivitas: Inaktivitas
0.9 Tidur
1.0 Berbaring diam, menonton televisi
1.0 Berbaring diam, mendengarkan musik tanpa berbicara atau membaca

Compendium of Physical Activities (2011)*

METs Kelompok aktivitas: Perawatan Diri


1.5 Mandi dalam posisi duduk
1.5 Makan dalam posisi duduk
2.0 Bersiap untuk bangun tidur, dan berdiri
2.0 Memakai dan melepaskan pakaian (duduk atau berdiri)
2.0 Makan sambil berbicara atau makan dalam posisi berdiri
2.5 Merawat diri (mandi, bercukur, menyikat gigi, BAK, mencuci tangan, memakai make up) dalam
posisi duduk atau berdiri.
2.5 Menata rambut

METs Kelompok aktivitas: Lain-lain


1,5 Duduk – bermain kartu atau board games
1,5 Duduk – berbicara atau berbicara lewat telefon
1,5 Duduk menonton di event olah raga
1,8 Duduk – belajar meliputi membaca dan menulis
1,8 Duduk di kelas meliputi mencatat dan diskusi
1,8 Berdiri – membaca
1,8 Berdiri – berbicara atau berbicara lewat telefon
1,8 Duduk – menulis dan mengetik
2.0 Berdiri – kegiatan lain-lain
2,0 Duduk – melukis dan kerajinan tangan sedang
2,0 Touring, bertamasya, berlibur meliputi berjalan dan bersepeda.
2,3 Berdiri – menggambar, bermain di kasino, mesin pencetak
2,5 Berkemah meliputi berdiri, berjalan, duduk, dan kegiatan ringan hingga sedang
3,0 Berdiri - Melukis dan Kerajinan Tangan Sedang

Rehabilitasi Kardiovaskuler 345


3,5 Berdiri - Melukis dan Kerajinan Tangan Berat

METs Kelompok aktivitas: Keagamaan


1.0 Mendengarkan ibadah, ceramah sambil berbaring
1.0 Berdoa sambal berbaring
1.3 Membaca kitab suci
1.5 Makan
2.0 Berdiri dan terlibat aktif dalam ibadah
2.0 Berjalan dalam ruangan
2.0 Kombinasi berjalan dan berdiri (penerima tamu)
2.0 Berjalan di bawah 2mph – sangat lambat
2.0 Makan dan berbicara
2.0 Menyiapkan makanan
2.5 Bermain alat musik
2.5 Menyajikan makanan
3.0 Membersihakan rumah ibadah
3.3 Berjalan 3mph – kecepatan sedang, tanpa barang bawaan.
3.8 Berjalan 3.5mph – berjalan cepat, tanpa barang bawaan.
4.0 Berdiri dengan aktivitas berat
5.0 Bernyanyi dan menari
5.0 Membersihkan halaman tempat ibadah

METs Kelompok aktivitas: Volunter


1.5 Duduk dan berdiskusi
1.5 Duduk, Kegiatan kantor ringan
1.5 Mengetik pada komputer
2.0 Berjalan dibawah 2 mph, sangat lambat
2.3 Berdiri, Kegiatan kantor ringan (menyusun berkas)
2.5 Duduk, Kegiatan kantor sedang
2.5 Duduk, mengasuh anak
3.0 Berdiri, mengasuh anak
3.0 Kombinasi berjalan dan berdiri
3.0 Berdiri, aktivitas ringan sedang (merakit funitur, mengepak barang)
3.0 Berjalan dibawah 2,5 mph, sedang, dengan barang bawaan di bawah 25pound.
3.3 Berjalan dibawah 3 mph, sedang, tanpa barang bawaan.
3.5 Berdiri, mengangkat beban 50 lbs, dan merakit degnan cepat
3.8 Berjalan dibawah 3,5 mph, sedang, tanpa barang bawaan.
4.0 Berdiri dengan kerja berat
4.0 Berjalan dibawah 3 mph, sedang, dengan barang bawaan dibawah 25pound.
4.0 Jalan dan berlari menemani anak bermain (sedang)
4.5 Berjalan dibawah 3,5 mph, sedang, dengan barang bawaan dibawah 25pound.
5.0 Jalan dan berlari menemani anak bermain (berat)

346 Rehabilitasi Kardiovaskuler


METs Kelompok aktivitas: bermain musik
1.8 Akordion
2.0 Cello
2.0 Alat musik tiup
2.0 Gitar klasik
2.0 Seruling
2.0 Horn
2.5 Terompet
2.5 Biola
2.5 Piano atau organ
2.5 Dirigen
3.0 Gitar rock, band
3.5 Trombone
3.5 Marching band, pemain drum
4.0 Drum
4.0 Marching band, pemain alat musik dan mayoret

METs Kelompok aktivitas: Hobi


2.0 Memancing di es
2.5 Memancing di perahu
2.5 Menembak menggunakan senjata
3.0 Memancing
3.5 Memancing di hilir sungai berdiri
4.0 Mencari cacing menggunakan sekop
4.0 Memancing di hilir sungai dan berjalan
5.0 Berburu
5.0 Berburu kelinci, tupai dan burung
6.0 Menangkap ikan menggunakan jala
6.0 Berburu rusa
6.0 Berburu burung belibis

METs Kelompok aktivitas: Berkebun


2.5 Memotong rumput menggunkan mesin pemotong rumput besar
2.5 Menjalankan alat penanam benih
3.0 Memetik bunga
3.0 Memetik buah dan sayur
3.0 Menaiki mesin pembersih salju
3.0 Menyusun alat berkebun
3.5 Memotong pohon dengan power cutter
4.0 Membersihkan genting dari salju
4.0 Berkebun
4.0 Mengumpulkan daun dan rumput
4.3 Menyapu halaman

Rehabilitasi Kardiovaskuler 347


4.5 Memotong rumput menggunkan power mower
4.5 Menajalankan alat pembersih salju
4.5 Menanam benih
4.5 Memotong pohon menggunakan cutter
4.5 Merawat tanaman
4.5 Menanam pohon
5.0 Membawa dan menyusun kayu
5.0 Membersihkan halaman, dari dahan” pohon
5.0 Menggali pasir
5.0 Menggali dan menyekop halaman, memupuk tanaman
5.0 Menata pecahan batu
5.5 Memotong rumput menggunakan gunting
6.0 Memotong rumput menggunakan mesin pemotong rumput tangan
6.0 Berkebun menggunakan alat berat seperti gergaji mesin
6.0 Membuat kayu bakar, membelah kayu
6.0 Membersihkan salju menggunakan sekop

METs Kelompok aktivitas: Berjalan


2.0 Berjalan dengan kecepatan di bawah 2mph, permukaan yang datar
2.5 Berjalan dari dan ke rumah
2.5 Berjalan santai
2.5 Berjalan sambil mendorong kereta bayi, atau berjalan bersama anak
2.5 Berjalan dengan kecepatan 2mph, permukaan keras, kecepatan lambat
2.5 Berjalan dari dan ke transportasi
2.5 Berjalan ke rumah tetangga untuk bersosialisasi
3.0 Turun tangga
3.0 Menyimpan atau mengeluarkan barang dari bagasi
3.0 Mengajak anjing jalan-jalan
3.0 Berjalan dengan kecepatan 2,5 mph, permukaan keras
3.0 Berjalan dengan kecepatan 2,5 mph, di lereng
3.5 Berjalan dengan menggendong bayi atau beban 15 pound
3.5 Berjalan dengan kecepatan 3.0 mph, permukaan keras
3.5 Berjalan-jalan untuk hiburan
4.0 Berjalan sambil mendorong kursi roda (bukan pekerjaan)
4.0 Berjalan keruang kantor atau kelas
4.3 Berjalan dengan kecepatan 3,5 mph, untuk latihan
5.0 Membawa beban 1-15 lb, keatas
5.0 Berjalan menggunakan kruk (tongkat)
5.0 Berjalan dengan kecepatan 4.0 mph, berjalan cepat
5.0 Berjalan di lintasan rumput
6.0 Membawa beban 16-24 pound, keatas
6.0 Mendaki gunung
6.0 Berjalan dengan kecepatan 3.5 mph, menanjak

348 Rehabilitasi Kardiovaskuler


6.3 Berjalan dengan kecepatan 4.5 mph, berjalan sangat cepat
6.5 Baris berbaris, berjalan serentak
7.0 Berjalan menggunakan tas punggung
7.0 Memanjat tebing dengan beban 0-9 pound
7.5 Memanjat tebing dengan beban 10-20 pound
8.0 Memanjat tebing dengan beban 21-42 pound
8.0 Membawa beban 25-49 lb, keatas
8.0 Berjalan dengan kecepatan 5.0 mph,
8.0 Memanjat tebing atau gunung
8.0 Menaki tangga menggunakan tangga lurus
9.0 Memanjat tebing dengan beban >42 pound
9.0 Membawa beban keatas menggunakan tangga
10.0 Membawa beban 50-74 pound, keatas
12.0 Membawa beban >74 pound, keatas

METs Kelompok aktivitas: rumah tangga


1.5 Tidur dengan bayi
2.0 Melipat baju, merapihkan baju
2.0 Menyiapkan dan memasak makanan
2.0 Membereskan tempat tidur
2.0 Mengganti bohlam lampu
2.3 Berbelanja makanan tanpa troley
2.3 Berbelanja non-makanan
2.3 Berbelanja
2.3 Menyetrika
2.3 Mengumpulkan baju untuk dicuci
2.3 Mencuci piring
2.3 membersihkan meja makan
2.5 Menyajikan makanan
2.5 Menyiapkan dan memasak makanan sambil berjalan
2.5 Memberi makan binatang peliharaan
2.5 Berbelanja dan membawa barang belanjaan
2.5 Membersihkan tingkat ringan (membersihkan debu, menyetrika, membawa sampah, menggati
sprei)
2.5 Mengerjakan lebih dari satu kegiatan rumah tangga ringan
2.5 Duduk dan bermain dengan binatang peliharaan
2.5 Merawat anak dalam posisi duduk dan berlutut seperti memakai baju, memandikan, memberi
makan, menggendong.
2.5 Menyiram tanaman
2.5 Bermain bersama anak-anak dalam posisi duduk
2.8 Bermain bersama anak-anak dalam posisi berdiri
2.8 Berdiri dan bermain dengan binatang peliharaan
2.8 Jalan/lari dan bermain ringan dengan binatang

Rehabilitasi Kardiovaskuler 349


3.0 Merawat anak dalam posisi berdiri dan berlutut seperti memakai baju, memandikan, memberi
makan, menggendong.
3.0 Membersihkan mobil, jendela, garasi (aktivitas berat)
3.0 Memanggang roti
3.0 Menggendong anak-anak
3.0 Menutup dan mengunci pintu, serta jendela.
3.0 Menyusun perabotan rumah tangga
3.3 Menyapu lantai
3.5 Mengeluarkan barang dari kotak untuk di susun
3.5 Menggunakan vacuum cleaner
3.5 Memandikan anjing
3.5 Mengepel
3.5 Mengerjakan lebih dari satu kegiatan rumah tangga sedang
3.5 Membersihkan rumah secara umum
3.8 Menyikat lantai, kamar mandi, dan bak mandi dengan tangan dalam posisi berlutut
4.0 Menyapu garasi atau depan rumah
4.0 Bermain bersama anak-anak yang membutuhkan aktiftas sedang, berjalan dan berlari
4.0 Mengerjakan lebih dari satu kegiatan rumah tangga berat
4.0 Merawat orang tua, dan difabel
4.0 Jalan/lari dan bermain sedang dengan binatang
5.0 Jalan/lari dan bermain berat dengan binatang
5.0 Bermain bersama anak-anak yang membtuhkan aktiftas berat, berjalan dan berlari
6.0 Memindahkan furniture, menata rumah.
6.0 Memotong hewan
7.0 Memindahkan barang seperti barang rumah tangga.
7.5 Membawa barang belanjaan kelantai atas
9.0 Memindahkan barang ke lantai atas seperti barang-barang rumah tangga, furnitur.

METS Kelompok aktivitas: perbaikan di rumah


3.0 Membetulkan pesawat kecil
3.0 Membetulkan mobil
3.0 Membetulkan perabot kayu di dalam rumah
3.0 Mengecat tembok dalam, memasang wallpapaer, mendekorasi
3.0 Memasang atau melepas terpal
3.0 Membetulkan pipa atau saluran air
4.0 Membetulkan body mobil
4.5 Mencuci dan memoles perahu atau pesawat atau mobil
4.5 Mengecat pagar, mencuci pagar
4.5 Mengecat
4.5 Meratakan tanah dan pasir
4.5 Mengamplas dan mengecat perahu atau pesawat
4.5 Memasang atau melepas karpet
4.5 Memasang keramik/lantai

350 Rehabilitasi Kardiovaskuler


4.5 Finishing perabot kayu
4.5 Meratakan kayu
5.0 Mengecat tembok luar
5.0 Menyusun bongkahan kayu
5.0 Memasang penanggkal badai
5.0 Membersihkan selokan
5.0 Membongkar garasi
5.0 Merapihkan tanah menggunakan cangkul
6.0 Membetulkan perabot kayu di luar rumah, membaut pagar, saluran pembuangan air.
6.0 Membetulkan atap
7.5 Menggergaji kayu

METs Kelompok aktivitas: menari


3.0 Ballroom tempo lambat (waltz, foxtrot,), samba tango, mambo, chacha
4.5 Ballroom, tempo ceapt (disco, square), line dance, polak, contra, country
4.5 Tarian hula, tarian perut
4.8 Balet, jazz, tap, twist, jitterbug
5.0 Erobik low impact
5.5 Ballroom tempo cepat
5.5 Tarian khas america india
6.5 Erobik
7.0 Erobik high impact
8.5 Menari dengan langkah 6-8inch
10.0 Menari dengan langkah 10-12 inch

METs Kelompok aktivitas: latihan fisik


2.5 Strecthing hatha yoga
2.5 Streching ringan
3.0 Mengangkat beban
3.0 Bersepeda statis 50 watt
3.5 Kalistenik ringan
3.5 Ergometer lengan 50 watt
4.0 Water erobik water kalistenik
5.5 Bersepeda statis 100 watt
5.5 Latihan di pusat kebugaran secara umum
6.0 Mengajar kelas erobik
6.0 Slimnastics jazzercise
6.0 Weigt lifting, body building
7.0 Bersepeda statis secara umum
7.0 Menggunkan mesin ski secara umum
7.0 Ergometer lengan 100 watts
7.0 Ergometer lengan secara umum
7.0 Bersepeda statis 150 watt

Rehabilitasi Kardiovaskuler 351


8.0 Kalistenik berat (pushup, sit up, pull up jmping jacks)
8.0 Latihan sirkuit, melibatkan gerakan erobik dengna istirahat seminimal mungkin
8.5 Ergometer lengan 150 watts
9.0 Treadmill ergometer secara umum
10.5 Bersepeda statis 200 watt
12.0 Ergometer lengan 200 watts
12.5 Bersepeda statis 250 watt

METs Aktivitas pekerjaan sesuai kelompok


2.3 Mengepak buku
3.5 Tukang kayu
4.0 Membuat roti
4.0 Mengangkat barang secara kontinyu (10-20 lbs) dengan istrahat terbatas
6.0 Membuat jalan
6.0 Pekerja tambang secara umum
6.5 Pekerja tambang bagian pengeboran
6.5 Pekerja tambang, pembawa barang
7.0 Pekerja tambang, mengumpulkan hasil tambang
7.5 Memindahkan atau mendorong benda dengan berat 75 lbs atau lebih
8.0 Membawa beban berat
8.0 Membawa beban sedang ke lantai atas

METs Asisten rumah tangga


2.5 Membereskan tempat tidur
2.5 Membersihkan wastafel dan toilet
2.5 Membersihkan debu perabotan
2.5 Menggunakan vacuum cleaner, lambat
3.0 Menggunakan vacuum cleaner, sedang
3.0 Membersihkan lantai menggunakan mesin
3.0 Mengeluarkan sampah
3.5 Pekerja perbaikan listrik atau perbaikan pipa
3.5 Membersihkan rumah secara um
3.5 Mengepel
4.0 Membersihkan debu lantai
5.5 Renovasi luar rumah

METs Peternak/Petani
3.0 Berternak, memerah susu, aktivitas sedang
3.5 Berternak, menggembala hewan dengan berjalan, aktivitas sedang
4.0 Berternak, memberi makan binatang kecil
4.0 Berternak, menggembala hewan menggunakan kuda, aktivitas sedang.
4.0 Memotong ilalang
4.5 Berternak, mengambil air untuk hewan

352 Rehabilitasi Kardiovaskuler


4.5 Berternak, memberi makan kuda, dan anak sapi
4.5 Menata bulu hewan
5.0 Mencangkul
5.5 Bertani, mengatur tumpukan padi
6.0 Berternak, merawat hewan (memandikan, merapihkan dan mencukur bulu domba, membantu
persalinan)
8.0 Bertani dan berternak, memebrsihkan lumbung dan kandan, memberi makan, aktivitas berat.
8.0 Bertani, merapihkan jerami, memebrsihkan ladang dan lumbung, aktivitas berat

METs Pemadam kebakaran


8.0 Pemadam kebakaran, menarik selang dari tanah
11.0 Pemadam kebakaran, menaiki tangga dengan perlengkapan lengkap.
12.0 Pemadam kebakaran dengan semua aktivitasnya

METs Penebang pohon


4.5 Menggergaji menggunakan gergaji mesin
7.0 Menggergaji dengan tangan
6.0 Menanam dengan menggunakan tangan
8.0 Menebang pohon
8.0 Becocok tanam secara keseluruhan
9.0 Memotong dahan pohon
11.0 Menguliti pohon
17.0 Memotong kayu menggunakan kapak, lambat

METs Penunggang kuda


2.6 Mengendarai kuda, berjalan
6.0 Merawat kuda
6.5 Mengendarai kuda, berderap
8.0 Mengendarai kuda, berlari

METs Pembuat kunci


3.5 Membuat kunci

METs Teknisi
2.3 Mencetak atau mengeprint (berdiri)
2.5 Mengoperasikan mesin/alat berat, tidak mengendarai
3.0 Mengoperasikan mesin pemotong
3.0 Menggunakan mesin untuk welding (menyambung)
4.0 Menggunakan mesin untuk mengebor
5.0 Mengoperasikan mesin press

Rehabilitasi Kardiovaskuler 353


METs Ahli pijat
4.0 Memijat

METs Buruh petik


4.5 Memetik buah jeruk, teh

METs Penyelam
12.0 Menyelam tanpa perlengkapan, SCUBA diving (Angkatan Laut)

METs Polisi
1.3 Menaiki mobil kepolisian
2.0 Mengendarai mobil kepolisian
2.5 Mengatur lalu lintas
4.0 Melakukan penangkapan (berdiri)

METs Tukang sepatu


2.5 Memperbaiki sepatu

METs Penggali
6.0 Menyekop aktivitas ringan (kurang dari 10 pounds/menit)
7.0 Menyekop aktivitas sedang (10-15 pound/menit)
8.5 Menggali tanah
9.0 Menyekop, aktivitas berat (lebih dari 16 pound/menit)

METs Karyawan
1.5 Mengetik di komputer atau manual
1.5 Pekerjaan kantoran (lab kimia, membaca, memperbaiki mesin kecil)
1.5 Rapat, duduk sambil berbicara dan makan
2.3 Pekerjaan ringan posisi berdiri (bartender, penjaga toko)
2.5 Pekerjaan sedang dalam posisi duduk, operator crane, fork lift, guru yoga
3.0 Pekerjaan ringan sedang posisi berdiri (memperbaiki barang, mengepack barang, merawat
pasien)
3.5 Pekerjaan sedang dalam posisi berdiri (merakit barang, mengangkat barang 50 lbs)
4.0 Pekerjaan sedang berat posisi berdiri (mengangkat beban lebih dari 50lbs)

METs Pandai besi


5.0 Memperhalus permukaan besi
5.5 Membentuk sisi-sisi besi
5.5 Menempa besi
7.5 Meratakan permukaan besi
8.0 Gerinda menggunakan tangan
8.0 Gerinda menggunakan mesin

354 Rehabilitasi Kardiovaskuler


METs Penjahit
2.0 Menjahit secara umum
2.5 Memotong/menggunting
2.5 Menjahit dengan tangan
3.5 Merajut
4.0 Menjahit dengan mesin

METs Supir truk


6.5 Mengendarai truk

METs Buruh bangunan


6.0 Pekerjaan menggunakan alat bor atau palu
7.0 Membuat tembok
8.0 Pekerjaan menggunakan peralatan kasar seperti, sekop, cangkul, dll

METs Berjalan
2.0 Berjalan <2.0mph, di kantor
3.0 Berjalan 2.5mph, perlahan dengan memegang beban <25lbs
3.0 Berjalan, membereskan barang-barang dan bersiap-siap untuk pulang,
3.3 Berjalan 3.0 mph, di kantor tanpa barang bawaan
3.8 Berjalan 3.5 mph, jalan cepat di kantor tanpa barang bawaan
4.0 Berjalan 3.0mph, sedang degnan mengangkat beban <25lbs
4.0 Berjalan mendorong kursi roda
4.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban <25 pound
5.0 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 25-49 pound
6.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 50-74 pound
7.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban 75-99 pound
8.5 Berjalan, atau berjalan menurun, berdiri dengan beban >100 pound

METs Instruktur
3.0 Bekerja di theater, aktor, pekerja belakang layar
4.0 Mengajar olah raga, bukan permainan
6.5 Mengajar olah raga, berpartisipasi dalam permainan

METs Kelompok aktivitas: olah raga


2.5 Mengendarai kuda berjalan
2.5 Billiards
2.5 Croquet
2.5 Darts / lempar anak panah
2.5 baseball latihan menangkap
3.0 Bowling
3.0 Bowling lapangan (shuffle board)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 355


3.0 Voli non kompetitif 6-9 orang
3.0 Mini golf
3.0 Bermain frisbee
3.0 Memasang sepatu kuda
3.5 Memasang pelana, dan merawat kuda
3.5 Golf, menggunakan mobil
3.5 Hand gliding
3.5 Terjun payung
3.5 Trampoline
3.5 Olah raga panahan (bukan berburu)
4.0 Tolak peluru, lempar cakram
4.0 Melatih olah raga (sepak bola, bola basket, baseball, berenang dll)
4.0 Curling
4.0 Sepak takraw
4.0 Olah raga gymnastik secara umum
4.0 Motor cross
4.0 Juggling
4.0 Tenis meja, ping pong
4.0 Tai chi
4.0 Voli
4.0 Softball, wasit
4.0 Mengendarai kuda secara umum
4,3 Golf, mengambil peralatan memukul
4.5 Golf, berjalan dan membawa pemukul
4.5 Golf secara umum
4.5 Badminton tunggal atau ganda, secara umum
4.5 Menembak bola basket
5.0 Kriket
5.0 Pemainan anak (hopscotch, dodgeball, taman bermain, gundu, dll)
5.0 Softball atau baseball melempar secara ringan
5.0 Skateboard
5.5 Golf, membawa peralatan memukul
6.0 Balapan (mengendarai atau mendorong mobil)
6.0 Lompat tinggi, lompat jauh, triple jump, lempar lembing
6.0 Gulat (1pertandingan 5 menit)
6.0 Bola basket, bukan permainan
6.0 Softball, pelempar
6.0 Tenis ganda
6.0 Bertinju, memukul samsak (punching bag)
6.0 Paddle ball secara umum
6.5 Mengendarai kuda berderap
6.5 Bermain bola basket dengan kursi roda

356 Rehabilitasi Kardiovaskuler


7.0 Wallyball
7.0 Rollersakte
7.0 Broomball
7.0 Kickball
7.0 Badminton kompetitif
7.0 Bola basket, wasit
7.0 Sepak bola
7.0 Racquetball secara umum
7.0 Tenis secara umum
8.0 Lacrosse
8.0 Polo
8.0 Voli pantai
8.0 Voli kompetitif
8.0 Lompat tali lambat
8.0 Tennis tunggal
8.0 Bola basket, permainan
8.0 American Football secara umum
8.0 Frisbee kompleks
8.0 Hockey, lapangan
8.0 Hockey, es
8.0 Berenang gaya bebas (50 yards permenit), ringan hingga sedang
8.0 Berenang side stroke
8.0 Berenang indah/sycnhronized
8.0 Handball dalam tim
8.0 Panjat tebing
9.0 Menjelajah
9.0 Bertinju, latih tanding
9.0 American Football kompetitif
10.0 Lari rintangan
10.0 Judo, jujitsu, karate, kick boxing, tae kwon do
10.0 Lompat tali sedang, secara umum
10.0 Sepak bola kompetitif
10.0 Racquetball kompetitif
10.0 Rugby
10.0 Paddle ball kompetitif, squash
11.0 Panjat tebing, terjal
12.0 Jal alal
12.0 Squash
12.0 Lompat tali cepat
12.0 Bertinju di ring secara umum
12.0 Handball secara umum
12.0 Inline skate

Rehabilitasi Kardiovaskuler 357


METs Kelompok aktivitas: di Air
2.5 Perahu motor
3.0 Menyelam
3.0 Mengayuh kano 2-3.9 mph, usaha ringan
3.0 Bermain perahu layar
3.0 Berlayar dengan yacht, kapal kecil
3.0 Berselancar
3.0 Voli air
3.5 Mengayuh kano untuk bersantai
3.5 Mengendarai Snowmobile
4.0 Bermain perahu kano
4.0 Berenang mengapung, sedang
4.0 Bermain perahu karet
4.0 Erobik di air, kalistenik di air
5.0 Kompetisi perahu layar
5.0 Bermain kayak
5.0 Berenang di laut menggunakan snorkle
5.0 Ski es menuruni bukit
5.0 Rafting, kayak, kano di sungai
5.5 Berseluncur es <9 mph
6.0 Aktivitas musim dingin, memindahka rumah salju
6.0 Berenang di danau, sungai atau laut
6.0 Berenang santai
6.0 Ski air
6.0 Ski es menuruni bukit sedang
7.0 Bermain papan seluncur salju
7.0 Berseluncur es secara umum
7.0 Lompat jauh menggunankan ski (menganggakt papan ski)
7.0 Ski es secara umum
7.0 Ski es 2.5 mph
7.0 Jetski
7.0 Berenang bebas, kecepatan ringan hingga sedang
7.0 Berenang gaya punggung, secara umum
7.0 Mengangkat perahu kano
7.0 Mengayuh kano 4-5.9 mph, usaha sedang
7.0 Menyelam dangkal, secara umum, scuba diving
8.0 Ski es 4-4.9 mph
8.0 Lomba ski menuruni bukit
8.0 Jogging di air
8.0 Berjalan di salju
9.0 Ski es 5-7.9 mph

358 Rehabilitasi Kardiovaskuler


9.0 Bersluncur es >9mph
10.0 Berenang bebas, cepat
10.0 Berenang mengapung, cepat
10.0 Berenang gaya dada, secara umum
10.0 Polo air
11.0 Berenang gaya kupu-kup, secara umum
11.0 Berenang gaya bebas (75 yards permenit), cepat
12.0 Mengayuh kano >6 mph, usaha berat
12.0 Mengayuh kano kompetisi
12.5 Menyelam dangkal, kecepatan sedang
14.0 Ski es, >8 mph
15.0 Kompetisi seluncur es
16.0 Menyelam dangkal, cepat
16.5 Ski es, di hujan salju, mendaki

METs Kelompok aktivitas: bersepeda


4.0 Bersepeda <10 mph, bersepeda santai
5.0 Bersepeda 1 roda.
6.0 Bersepeda 10-11,9 mph
8.0 Bersepeda
8.0 Bersepeda 12-13.9 mph, sedang
8.5 Bersepeda BMX atau gunung
10.0 Bersepeda 14-15.9 mph, cepat
12.0 Bersepeda 16-19 mph, lomba
16.0 Bersepeda >20 mph, lomba

METs Kelompok Aktivitas: Berlari


4.5 Jogging mini tramp
6.0 Kombinasi jogging dan berjalan (jogging <10menit)
7.0 Jogging
8.0 Jogging di tempat
8.0 Berlari mendorong kursi roda
8.0 Berlari di lantai
8.0 Berlari
8.0 Berlari dengan kecepatan 5mph (12 min/mile)
9.0 Berlari lintas kota
9.0 Berlari dengan kecepatan 5,2mph (11,5 min/mile)
9.8 Berlari dengan kecepatan 6mph (10 min/mile)
10.0 Berlari di lintasan
10.5 Berlari dengan kecepatan 6,7mph (9 min/mile)
11.0 Berlari dengan kecepatan 7mph (8,5 min/mile)

Rehabilitasi Kardiovaskuler 359


11.5 Berlari dengan kecepatan 7,5mph (8 min/mile)
13.5 Berlari dengan kecepatan 8mph (7,5 min/mile)
14.0 Berlari dengan kecepatan 8,6mph (7 min/mile)
15.0 Berlari menaiki tangga
15.0 Berlari dengan kecepatan 9mph (6,5 min/mile)
16.0 Berlari dengan kecepatan 10mph (6 min/mile)
18.0 Berlari dengan kecepatan 10,9mph (5,5 min/mile)

*Telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.

360 Rehabilitasi Kardiovaskuler

Anda mungkin juga menyukai