Anda di halaman 1dari 273

Segala puji kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi

karena buku kecil ini dapat diselesaikan.


isi buku ini jauh dari sempuma dan tujuannya hanya
untuk menambah bekal bagi para mahasiswa Fakultas
Kedokteran, maupun pcscrta pcndidikan Ancstesi yang
barn inulai bclajar memberikan ancstesi pada kasus cedera
kcpala.
Bab Neurofisiologi dan Pcngclolaan Pascabedah
sebagian besar diainbi 1 langsung dari buku Neuroancstesi
edisi ke-l. Bab lain sebagian besar dari “Good early
management prevent secondary neurologic injury” yang
saya presentasikan di PIB IX IDS AI di Palembang, dan
dari “Ancstesi pada Cedera Kcpala Berat" yang saya
presentasikan pada Simposium Konsep Baru Penanganan
Cedera Kcpala yang diadakan oleh Bagian Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP dr.
Hasan Sadikin di Bandung, bulan Desember 1996.
Tambahan- tambahan lain saya ambil dari jurnal dan buku-
buku terbitan tahun 1997 dan 1998, serta pada diskusi saat
“ASEAN Symposium on Neuroancsthesia” di Bandung,
tahun 1977.
Segala kritik dan saran dari para sejawat spesialis
Anestesi atari sejawat lain akan kami terima dengan segala
senang hati.

Terimaka

sih

Bandung.

Juni 1998

i
Kata Pengantar Edisi Kedua

Buku Pengelolaan Periopcratif Ccdera Kcpaia


Akut edisi ke-2 ini liampir sarna dengan edisi ke-l,
tetapi ada penainbahan tentang Pengelolaan Cedera
Kepala Berat pada Anak.
Hal-hal barn dan masih kontroversial juga dimasuk-
kan.
Mudah-mudahan ada manfaatnya
Segala kritik dan dari para sejawat spesialis
anestesi atau sejawat lain akan kami terima dengan
senang liati

Terimakas

ih

Bandung,

Agustus

1999

ii
Kata Pengantar Edisi Ketiga

Sudah 13 tahun buku ini tidak direvisi.


Perkcmbangan ilmu Neuroanestesi & Critical Care telah
berkcmbang dengan sangat pesat. tentu dal a m jangka
waktu selama itu banyak hal-hal bam yang patut kita
kctahui bcrsama tentang pcngclolaan cedera kcpala.
Judul lama “Pcngclolaan Pcriopcratif Ccdcra Kepala
Akut” diganti menjadi “Pcnanganan Neuroanestesi dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik”. Alasan
pengganlian ini karena katni punya organisasi seminat
yaitu Indonesian Society of Neuroanesthesia and Critical
Care (1NA-SNACC) yang menyeminati bidang ilmu
Neuroanestesi a dan Critical Care.
INA-SNACC sudah menyelenggarakan
pertemuan tahunan yang ke-1 1 pada tahun 201 I di
Bandung bersamaan dengan Joint Symposium Indonesia
- Singapore yang ke-3. Pertemuan selanjutkan akan
diadakan bulan Februari 2013 di Bali yang digabung
bersama 3rd Annual Meeting Asian Society for
Neuroanesthesia and Critical Care (ASNACC).
Ketua dan anggota ISNACC sepakat untuk
membuat suatu Course of NACC, dan yang ke-12 akan
diadakan di Medan, merupakan kursus 2 hari yang terdiri
dari kuliah, workshop, dan studi kasus yang dilengkapi
dengan Program Manual, Participant's Workbook,
Instructor's Workbook yang disusun oleh para
SpAnKNA dari seluruh Indonesia yang 4 diantaranya
adalah Guru Besar Ilmu Anestcsi, dan 7 orang
diantaranya Doktor dalam ilmu Neuroanestesi.
Walaupun demikian, saya meneoba untuk
merevisi ulang buku kecil yang terakhir saya buat tahun
1999, hanya untuk bacaan bagi mahasiswa Fakultas
Kcdokteran, para perawat anestesi, para peserta PPDS
Anestesi, para peserta Program Pendidikan SpAnKNA,
ataupun para sejawat Iain yang tidak sempat mengikuti

iii
Course of N ACC.
Untuk penulisan buku ini saya mengambil dari
buku Pcngclolaan Perioperatif Cedera Kepala Akut edisi
ke-2, disertasi saya dengan judul “Penentuan Jugular
Bulb Oxygen Saturation (S.KC) dan Cerebral Extraction
of Oxygen (CEOi)

iv
scbagai Indikator Utama Proteksi Otak pada Teknik
Anestesi untuk Operasi Cedera Kepala”, bebcrapa
guidelines dan rekomcndasi yang tclah dibuktikan
berdasarkan evidence-based dan dipublikasikan
tahun 2000 dan 2006, serta jurnal dari tahun 2005
sampai 2012. Isi buku ini juga berdasarkan
Guideline dari Brain Trauma Foundation (BTF)
2007. Kalau pada edisi I berdasarkan Guideline dari
BTF 1995 dan diperbaiki pada cetakan-cetakan
sclanjutnya dengan Guideline dari BTF 2000. pada
edisi ini berdasarkan BTF 2007 dan ditambah
dengan jurnal dan buku-buku yang diterbitkan
antara 2007 sampai 2011.
Mudah-mudahan ada manfaatnya untuk
pengelolaan pasien kita sehari-hari. Scgala kritik
dan saran dari para sejawat spesialis Anestesi atau
sejawat lain akan kami terima dengan segala senang
hati.

Wassalam

ualaikum

wr wb

Bandung,

Juni 2012

iv
Daftar Isi

BAB 1 Neurofisiologi I
Aliran Darah Otak Tckanan Intrakranial
Cairan serebrospinal Metabolismc Otak
Pengaruh Ancstetika terhadap Fisiologi
Otak
Patofisiologi 19
Terhadap SSP Efek Sistemik Cedera
BAB 2 Sekunder
Pengelolaan Dini 37
Pra Rumah Sakit Unit Gawat Darurat
Guideline Pengelolaan Cedera Kepala
BAB 3 Berat (C'KB)
Monitoring 63
SJO,
Tekanan Intrakranial
Anestesia 83
BAB 4 Prinsip Unium Pengelolaan Anestesi
Komplikasi
Trik-trik Barn pada Anestesi Cedera
BAB 5 Kepala
Pengelolaan Cedera Kepala Berat pada 125
Anak
Anatomi dan Fisiologi Pengelolaan
Teknik dan Obat Anestesi

BAB 6

V
BAB 7 Terapi Intensif 143
BAB 8 Proteksi Otak 169
BAB 9 Pengelolaan Hipcrtensi lntrakranial 187
BAB 10 Pengelolaan Cairan 209
BAB 1 1 Terapi Nutrisi 229

BAB 12 Sedasi dan Analgesia 243


Ringkasan
Riwayat liidup penulis

VII
Daftar Singkatan

ABW Actual Body Weight


ATP Adenosine Tri Phosphate
ATI Abdominal Trauma Index
AVM Arterio Venous Malformation
A VPU Alert, response to Verbal stimulation,
response to Painful stimulation.
Unresponsive
BBB Blood Brain Barrierc
BUN Blood Urea Nitrogen
CBV Cerebral Blood Volume
CBF Cerebral Blood Flow
CCS Children Coma Score
CHF Congestive Heart Failure
CKB Cedera Kcpala Berat
(MR Cerebral Metabolic Rate for Oxygen
(CMRO:)
COX Cyxlooxygenase
CPP Cerebral Perfusion Pressure
CSF C'erebro Spinal Fluid
CSW Cerebral Salt Wasting
CVP Central Venous Pressure
CVR Cerebro Vascular Resistance
CVP Central Venous Pressure
cvc Central Vein Catheter
CNS Central Nerve System
DAI Diffuse Axonal Injury
1)1 Diabetes Insipidus
DIC Disseminated Intravascular Coagulation
RAA Excitatory Amino Acids
FDU Epidural Hematoma
EEG Electro Enccphalo Graphy
F.CG Electro Cardio Graphy
ETT Endo Tradical Tube

vi
FFA Free Fatty Acids
CCS Glasgow Coma Scale
GOS Glasgow Outcome Score
HR Fleart Rate
IBW Ideal Body Weight
1CP Intra Cranial Pressure
ICU Intensive Care Unit
ISS Injury Severity Score
MAC Minimal Alveolar Concentration
MAP Mean Arterial Pressure
MRI Magnetic Resonance Imaging
NOT Naso Gastric Tube
NIRS Near Infrared Spectroscopy
NPE Neurogenic Pulmonary Edema
PCWP Pulmonary Capillary Wedge Pressure
PWP Pulmonary Wedge Pressure
PICC Peripheral Insert Central catheter
PEEP Positive end Expiratory Pressure
PIS Pediatric Trauma Score
PTS Post Traumatic Seizure
PCS Pediatric Coma Scale
REE Resting Energy Expenditure
RTS Revised Trauma Score
RSI Rapid Sequence Induction
SAH Sub Arachnoid Hemmorrhage
SDH Sub Dural Hematoma
SIADH Syndroma Inappropriate Antidiuretic
Hormone
SSP Susunan Saraf Pusat
SJ02 Jugular Bulb Oxygen saturation
SAH Sub Arachnoid 1 lemorrhage
SOL Space Occupying Lcssion
TBI Traumatic Brain Injury
TCD Trans Cranial Doppler
TMP Trans Mural Pressure
TPN Total Parenteral Nutrition
UGD Unit Gawat Darurat

viii
B AB 1
Neuroflsiologi

Pasicn ccdcra kepala mungkin dalam perawatan seorang dokter


spcsialis anestesiologi karena:
pasicn tersebut memerlukan resusitasi akut di Unit Gawat Darurat
(UGD).
untuk memberikan anestesi saat dilakukan evakuasi
hematoma intrakranial, deprcs fraktur, dsb.
memberikan anestesi untuk opcrasi lain di luar otak (misal.
mptur lien atau operasi ortopedi dengan disertai eedera
kepala, tapi operasi hanya untuk laparotomi atau open
reduction).
perawatan di ICU.
Dokter anestesi akan terlibat seeara menyeluruh dalam penangan- an
pasicn eedera kepala, mulai di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar
bedah, dan perawatan di Unit Tempi Intensif/Zw/em/Ve Care Unit
(ICU). Pengelolaan perioperatif ini memerlukan pengetahuan yang
mendalam mengcnai ftsiologi otak yang normal dan patofisiologi
eedera kepala akut sehingga harus dimengerti tentang fisiologi dan
farmakologi dari aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF),
metabolisme screbral, dan tekanan intrakranial (Intracranial
Pressure!ICP).
Aliran darah otak (Cerebral Blood //mt/CBF)
Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri screbral dan
resistensi pembuluh-pembuluh screbral. Aliran darah otak rata-rata
sekitar 50-54 ml/lOOg/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung.
Aliran darah ke substansia grisea 75-80 ml' I OOg/menit sedangkan
substansia alba 20-30 ml/l OOg/menit karena metabolisme otak lebih
banyak di substansia grisea. Pada infant dan anak-anak, CBF global
lebih tinggi daripada dew'asa sekitar 65 ml/l OOg/menit. Bila CBF<20
ml/l OOg/menit, elektroencefalografi (EEG) menunjukkan tanda
iskemik. Bila CBF 6-9 ml/100 gr/mcnit. C’a2’ masuk ke dalam sel.
Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak (tabel
1.1).

1
Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion Pressitre/CPP)
adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk) dengan
tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph/cerebral
venous junction. Nilai normalnya 80-90 mmHg. Akan tetapi, secara
praktis, adalah perbedaan tekanan arteri rata- rata (MAP=«m arterial
pressure) dan 1CP rata-rata (CPP = MAP-ICP) yang diukur setinggi
foramen Monroe atau MAP- tekanan vena sentral (central venous
pressure/CVP) bila nilai CVP lebih tinggi daripada ICP. CPP akan
menurun bila ada penuntnan tekanan arteri atau kenaikkan ICP. Bila
CPP turun sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan ada
perubahan ke arah serebral iskemia. CPP kurang dari 40 mmHg,
elektroeneephalographi (EEG) menjadi datar, menunjukkan adanya
proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau irreversible. Bila
CPP kurang dari 20 mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik
neuron yang ireversible.
Pasien ccdera kepala dengan CPP kurang dari 50 mmHg akan
mempunyai prognosa yang buruk. Pada ICP yang tinggi, supaya CPP
adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal
atau sedikit lebih tinggi. Tekanan perfusi otak pertahankan 60 mmHg
(antara 50-70 mmHg). Usaha kita adalah untuk mempertahankan CPP
normal, oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila
MAP lebih besar dari HOMO mmHg.

Banyak faktor yang mempengaruhi CBF. Mctabolismc otak,


tekanan darah, PaCb, PaCOi, suhu tubuh, simpatis-

2
NEUROFISIOLOGI
parasimpatis, obat-obatan dapat mempengaruhi CBF. Keadaan
patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF global dan regional.

Tabel 1. 1 Anibang Aliran Kritis


Aliran darah otak
(ml/lOOg/min)
< 20 EEC) iskemik
< 15 EEG isoelektrik Evok potcnsial ncgatif ATP
normal FosFokreatin meiutrun

8-10
Kegagalan metabolismc ATP mcnurun
Potasium extraselular meningkat
6-9 Kalsiutn masuk kcdalam sel
12-20 “Penumbra"
Dikutip (lari: Fdward N. Principles and Practice of Neuroaneslliesia. 1991

(iambar l.l Fnngsi Otak berganlung pada Oksigenasi dan Pcrfusi Dikutip
dari: Stone DJ. el al. The Neuroanesthesia Handbook, 1996 Sperry R.I. et
al. Manual of Neuroaneslliesia. 1989

3
Fungsi otak bergantung pada dua hal yaitu oksigenasi dan
pcrfusi otak. Oksigenasi bergantung pada PaO^ dan pasokan oksigen
(delivery oxygen/DQ2) dan perfusi bergantung pada CBF dan CPP
(gambar I. I).
Jaringan yang menerima aliran darah 18-23 ml/lOOg/menit
secara fungsional tidak aktip. akan tetapi fungsi dapat dipul ihkan
dengan meningkatkan perfusi (Penlucida). Untuk jaringan yang
mendapatkan aliran darah yang lebih rendah, terjadinya infark adalah
berdasarkan waktu. Bila jaringan mendapatkan perfusi yang adekuat
sebelum batas waktu terjadi infark, fungsi akan pulih (Penumbra)
(Gambar 1.2).

Ischemio Duration (hours)


Interaction ol degree and duration of flow reduc tions on
neurologic function.

Gambar 1.2. Interaksi antara lama dan besarnya penurunan CBF


dengan iskemia dan infark serebri Dikutipdari: Cottrell & Young, 2010

Aliran darah otak diatur terutama oleh autoregulasi, PaO:, PaCOs


(Gambar 1.3).

a. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP 50- 150
ntmHg. Pengaturan ini disebut autoregulasi yang disebabkan oleh
kontraksi otot polos dinding pembuluh darah otak sebagai

4
jawaban tcrhadap pcrubahan tekanan transmural. Jika tnclcbihi
batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau konstriksi maksimal
dari pembuluh darah otak. aliran darah otak akan mengikuti tekanan
pert'usi otak secara pasif. Bila aliran darah otak sangat berkurang
(MAP<50 mmHg) bisa terjadi serebral iskemia. Jika di atas batas
normal (MAP>I50 mmHg)., tekanan akan merusak daya konstriksi
pembuluh darah dan aliran darah otak akan naik dengan tiba-tiba.
Dengan demikian, terjadilah kcrusakan sawar darah otak (blood-brain
AanovBBB), yang dapat menimbulkan terjadinya edema serebral dan
perdarahan otak.
Berbagai keadaan dapat merubah batas autoregulasi, misalnya
hipertensi kronis. Pada hipertensi kronis autoregulasi bergeser ke
kanan sehingga sudah terjadi serebral iskemia pada tekanan darah yang
dianggap normal pada orang sehat. Serebral iskemia. serebral infark,
trauma kcpala. hipoksia, abses otak, diabetes, hiperkarbi berat. edema
sekeliling tumor otak, perdarahan subarakhnoid, aterosklerosis
serebrovaskuler, ancs- letika inhalasi juga mengganggu autoregulasi.
Karena anestctika mhalasi mengganggu autoregulasi sedangkan selama
anestesi diharapkan autoregulasi tidak terganggu, maka pemilihan
anestetika inhalasi menjadi penting. Harus dipilih anestetika inhalasi
yang tidak mengganggu autoregulasi pada dosis klinis.
Karena pada cedera kepala autoregulasi terganggu, adanya
hipotcnsi yang tiba-tiba bisa menimbulkan eedera otak sekunder.

I>. PaC t>2


Aliran darah otak bcrubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml 100
gr/menit) setiap mmHg perubahan PaC()2 antara 25-80 mmHg. Jadi,
jika dibandingkan dengan keadaan normokapni, aliran darah otak dua
kali lipat pada PaC02 80 mmHg dan setengahnya pada PaC02 20
mmHg. Karena hanya sedikit perubahan aliran darah otak pada PaC02
<25 mmHg, malahan bisa terjadi serebral iskemia akibat perubahan
biokimia, maka harus dihindari hiperventilasi yang berlebihan. Pada
operasi tumor otak rutin dipasang kapnogram untuk mengukur end
Tidal C02, umumnya dipertahankan end Tidal C’02 25-30 mmHg
yang setara dengan PaCCh 29-34 mmHg, akan tetapi, pada ccdcra
kcpala akut PaC02 jangan <i 35 mmHg.
Apabila tcrpaksa hams dilakukan hiperventilasi agrcsif, untuk
menurunkan PaCO2<30 mmHg, maka diperlukan pemantauan jugular

5
bulb salination of oxygen (SJOi) untuk mcnghindari terjadi komplikasi
iskemi otak akibat hiperventilasi.
c. PaO:
Bila PaC>2 <50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan
aliran darah otak akan meningkat. Peningkatan Pa02 hanya scdikit
pengaruhnya terhadap resistensi pembuluh darah serebral. Pada
binatang percobaan bila PaO2>450 mmHg terjadi sedikit penurunan
aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi, pada manusia
selama operasi otak Pa02 jangan melebihi 200 mmHg.

FIG 2-3.
Summary of CBF control.

Oatnbar 1.3 Pengaturan CHI


Dikulip dari: Slone DJ, ct al. The Neuroancsthesia Handbook. 1996 Gainbar diatas
menunjukkan bahwa ICP. PaCO., I’aO,, dan tekanan darah mcrupakan variabcl klinis
penting yang mengatur CBF. Dengan pengecualian kurf'e PaCO;, semua kurfe diatas
menunjukkan perubahan pada lekanan sckilar 50 mmHg. CBF normal 50
ml/lOOg/rnenit. konsumsi oksigen otak total 50 ml menit.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran darah otak:


a. Simpatis dan Parasimpatis
Stimulasi simpatis menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan
stimulasi parasimpatis menyebabkan vasodilatasi. Perubahan-
perubahan tersebut pada aliran darah otak tidak lebih dari 5-10%.
Stimulasi serabut simpatis menimbulkan perubahan pada kurfa
autoregulasi. Pada perdarahan tcrjadi stimulasi simpatis, autoregulasi
akan bergcser ke kanan sehingga batas bawah autoregulasi aliran darah
otak (toleransi terendah yang bisa menimbulkan iskemia) akan
bergeser kc kanan. Disamping itu. autoregulasi akan bergeser kc kanan
baik pada keadaan cemas, sakit, marah, maupun saat berlatih. Hal ini
bermanfaat untuk melindungi otak dari kenaikan tekanan darah yang

6
tiba-tiba.
h. Hematokrit
Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. Hi la
hematokrit meningkat di atas nilai normal, aliran darah otak akan
menurun karena ada peningkatan viskositas darah. Isovolemik atau
hemodilusi hipervolemia (hematokrit 33%) menunjukkan peningkatan
aliran darah otak tanpa ada gangguan penghantaran oksigen.

c. Temperatur
Penurunan temperatur tubuh akan memperlambat metabolisme
serebral. ha! ini berarti akan menurunkan aliran darah otak. Setiap
penurunan temperatur 1°C, aliran darah otak menurun kira-kira 5%.
d. Umur
CBF berbeda-beda pada setiap umur, seperti yang terlihat pada
tabel 1.2 di bawah ini.
Tabel 1.2 Aliran Darah Otak sesuai Umur
Umur (tahun) Aliran darah Otak (ml/IO()g/menit)

6 106
21 62
71 58
71 (dengan serebral 48
atherosclerosis)
Dikutip dari Edward N. Principles and Practice of Neuroanesthesia. I1W1

Gangguan pada Aliran Darah Otak


Autoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat sensitif
terhadap cedera dan dapat terganggu setelah eedera otak.

7
pcmberian anestetika inhalasi, dan stimulasi simpatis. Efek yang
scgcra timbul pada autoregulasi adalah menurunkan batas atas dari
autoregulasi sehingga pada tekanan darah sedikit di atas normal bisa
terjadi kerusakan sawar darah otak dan edema otak. Pada daerah yang
lerganggu (iskemia, trauma atau neoplasma) terjadi penekanan fungsi
neuron, asidosis laktat, edema, gangguan autoregulasi, dan
kemungkinan juga gangguan reaktivitas terhadap CO2.
Asidosis jaringan menimbulkan terjadinya dilatasi lokal yang
hebat hebat dari arteri serebral yang meluas ke jaringan normal
sekitarnya. Kadaan ini menyebabkan lebih luasnya, dan lebih kuatnya
gangguan fungsi serebrovaskuler dan hubungan antara aliran darah
otak dan metabolisme.
Bila autoregulasi hilang, aliran darah akan bergantung pada
tekanan darah secara pasif sehingga penurunan tekanan perfusi otak
akan menyebabkan penurunan aliran darah otak secara proporsional.
Bila reaktivitas terhadap CO2 juga hilang, maka aliran darah betul-
betul tergantung dari tekanan darah. Keadaan ini disebut serebral
vasoparalisis atau vasomotor paralysis. Vasoparalisis artinya
autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO2 sudah
hilang. Bila tekanan perfusi adekuat, perfusi pada daerah yang asidotik
akan berlebihan dengan kebutuhan metabolik dan saturasi oksigen
vena serebral linggi, keadaan ini disebut luxury perfusion (Gambar
1.4). Akan tetapi, bila tekanan perfusi turun, aliran darah akan
berkurang, dan cepat terjadi iskemia, seperti yang terjadi pada keadaan
hipotensi atau steal phenomena.
Intracerebral Steal:
Bila PaCOi meningkat dan terjadi dilatasi pembuluh darah otak
yang normal, darah pindah dari daerah otak yang abnormal yang tidak
bisa berespon terhadap CO2. Jadi bila stimuli vasodilatasi cerebral
terjadi secara global, aliran darah otak regional akan meningkat pada
daerah-daerah yang normal dengan mengorbankan daerah-daerah yang
mengalami vasomotor paralisis. Keadaan/ phenomena ini disebut steal
(intracerebral steal), dan terjadi bila asidotik fokal tclah
mempengaruhi reaksi terhadap CO2. Hiperkarbia akan menyebabkan
dilatasi pembuluh- pembuluh yang normal dan konsekuensinya darah
akan diambil (steal) dari daerah yang dipasok pcmbuluh yang sudah
stenosis. Mila stimulus vasodilator tersebut menyebabkan penurunan
tekanan darah atau kenaikkan tekanan intrakranial, aliran darah kc

8
daerah yang ada vasoparalisis akan lebih berkurang lagi.
Inverse Intracerebral Steal (Robin Hood phenomenon)'.
Inverse steal terjadi bila PaCO;> berkurang dan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah otak didaerah yang normal. Darah
mungkin diarahkan kc daerah yang iskemik, yang lidak terjadi
vasokonstriksi. Selain akibat penurunan PaCO? karena hiperventilasi,
hipokarbia, phenomena ini juga dapat terjadi bila diberikan obat yang
dapat menyebabkan vasokonstriksi serebral misalnya pcntotal atau
propofol.
Reverse Inverse Intracerebral Steal.
Pada situasi yang mana reaktivitas terhadap CO2 masih ada.
pembuluh darah di area fokal juga vasokonstriksi sesuai dengan stimuli
vasokonstriksi global. Pengaruh pada aliran darah dan tekanan perfusi
di daerah ini akan bergantung pada ICP.
Cerebral metabolism 7

Figure 1-3 Luxury perfusion. The figure on the


left shows the circulatory pathways around an
infarction in the patient at rest. In the lira wing
on the right, the vasodilatation of the rest of the
brain causes steal of blood flow from the aa*a
of luxury perfusion. From: Hunter, A.R
Neurosurgical Anaesthesia. 2nd Fxl. Blackwell
Scientific Publications, Oxford. I^ondon,
Edinburgh, Mellxmmc, 1975.

Gambar 1.4 Luxury perfusion


Oikulip dari : Edward N. Principles and Practice of Ncuroanesthesia, ll)91
Tekanan Intrakranial
Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah (4%) dan
cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid/CSF) 10%. Cairan
serebrospinal dibentuk dengan kccepatan konstan, 80% atau lebih
dibuat di pleksus koroideus, sisanya dibuat di parenkim otak. Fungsi
cairan serebrospinal adalah untuk proteksi, sokongan, dan regulasi
kimia otak. Produksi cairan serebrospinal kira-kira 0,35- 0,4 ml/menit

9
atau 30 ml/jam atau 500-600 ml/hari. Absorpsinya bergantung pada
perbedaan tekanan cairan serebrospinal dan vena. Absorpsi tersebut
terjadi melalui villi khorialis. Beberapa obat ancstesi mempengaruhi
produksi dan absorpsi cairan serebrospinal. Adanya darah pada cairan
serebrospinal dapat menyumbat gnuuilasio-arahnoid sehingga
mengganggu absorpsi cairan serebrospinal dm menyebabkan
terjadinya hidrosefalus. Volume dan tekanan cairan serebrospinal
berbeda pada anak dan dewasa.
Tabcl 1.3 t e k a n a n d a n V o l u m e ( SI p a d a M a n u s i a
Rentang
Tekanan CSF (niniHg) 3.0-7,5
Anak-anak 4,5-13,5
Dewasa
Volume CSF ( m L ) 40-60
Infant 60-100
Anak keeil 80-120
Anak yg lebih tua 100-160
Dewasa
Dikutip dari: Cottrell and Young’s. 2010

Karena ruangan tersebut dikelilingi tulang maka peningkatan


salah satu volume tersebut akan meningkatkan tekanan intrakranial.
Sedikit peningkatan volume intrakranial akan dikompensasi dengan
memindahkan CSF ke ruangan subarachnoid spinal dan penekanan
volume darah vena, tetapi kompensasi ini sangat terbatas dan bila
terlewati, setiap penambahan volume intrakranial akan meningkatkan
tekanan intrakranial.
Peningkatan tekanan intrakranial akan menurunkan CPP dan
menimbulkan iskemia serebral. juga akan menyebabkan hemiasi uncal
dan serebelar. Pada cedera kepala tekanan intrakranial sering
meningkat dan banyak faktor penyebabnya.

10
Makin tinggi ICP. prognosis makin jelek. Pada tabel dibawah adalah
hubungan mortalitas dan kcnaikkan tekanan intrakranial.
Bila tekanan intrakranial >20 mmHg dan sistolik <80 mmHg
maka prognosa akan jelek. Pada cedera kepala bcrat, diindikasikan
untuk memasang monitor tekanan intrakranial. Cara tcrbaik adalah
melalui ventriculostomi, tetapi kcrugiannya adalah lebih tingginya
risiko infeksi. Cara lain adalah melalui epidural atau subarachnoid.
Indikasi pemasangan monitor tekanan intrakranial: cedera
kepala berat (GCS <8)„ pasicn yang tidak bisa dinilai status
neurologisnya karcna diberi sedasi. pasien GCS 8-12 tetapi dilakukan
operasi besar yang memerlukan terapi cairan yang banyak.
Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg. Tekanan ini tidak
sclalu konstan bergantung pada pulsasi arteri. respirasi, dan batuk.
Pcningkatan volume salah satu komponen (otak, darah atau cairan
serebrospinal) akan dikompensasi dengan penurunan volume
komponen yang lainnya.
Doktrin Monro -Kcllie
Volume intrakranial selalu konstan. Bila volume bertambah,
misalnya karena ada hematom. untuk mengurangi volume, cairan
serebrospinal dan darah juga akan berkurang, keluardari ruangan
intrakranial schingga tekanan intrakranial akan tetap normal. Bila batas
kompensasi dilewati, tekanan intrakranial akan meningkat (Gam bar
1.5).

11
Figure 1-6 Idealized intracranial pressure volume
relationships. From: Shapiro, H.M. Intracranial
hypertension: Thcra[>eutic and anaesthetic
considerations. Anesthesiol- ogy 43: 445-471,
1975.
Ciambar 1.5 Hubungan ICP-volume
Dikutip dari: I’d ward N. Principles and Practice of Neuroanesthesia, 1991 Stone
DJ, et al. The Neuroanesthesia Handbook, 1996

Bila tckanan intrakranial meningkat dengan ccpat, terjadi


perubahan sistemik seperti hipertensi, hipotcnsi, takikardia,
bradikardia, perubahan irama jantung, perubahan elektrokardiografi
(EKG), gangguan elektrolit, hipoksia, dan Neurogenic Pulmonary’
Edema (NPE). Cushing inenuliskan adanya Trias Cushing pada pasien
dengan kenaikkan tekanan intrakranial. Trias itu terdiri alas hipertensi,
bradikardia dan melambatnya respirasi. Peningkatan tekanan darah ini
merupakan mekanisme untuk mempertahankan aliran darah otak yang
terjadi akibat peningkatan kadar adrenalin, nor-adrenalin, dopamin
dalam sirkulasi. Bradikardi tidak selalu terjadi pada setiap pasien.
Bradikardi dapat juga terjadi sclintas, yang paling sering terjadi yaitu
takikardia dan atau aritmia ventrikel.
Peningkatan tekanan intrakranial, selain dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas (Tabel 1.4), juga bila pasien bertahan hidup,
keadaan neuropsikologis sering lebih buruk daripada penderita tanpa
kenaikkan tekanan intrakranial.

12
Tabel 1.4 Hubunean antara Tekanan Intrakranial dan
Mortalitas pada Cedera Kepala
ICP rata-rata (mmHg) Mortalitas
0-20 19%
2 I -40 28%
41 -80 79%
Dikutip dari: Bisri T. Dasar-dasar Ncuroancslesi. 2011

Pada keadaan tekanan intrakranial yang meningkat bisa terjadi


spasme arteri sere bra I, yang bisa menimbulkan scrcbral iskemia dan
serebral infark. Pada cedera kepala berat bisa terjadi laktik asidosis
cairan serebrospinal, yang juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial.
Cairan Serebrospinal
Pada manusia dewasa jumlah CSF sekitar 150 ml pada otak dan
ruangan spinal. CSF dibentuk terutama di pleksus khoroideus, melalui
difusi transependimal. CSF dibentuk dan dircabsorpsi dengan
keeepatan 18-25 ml/jam (0,35-0,40 mL/menit) atau 500-600 mL/hari.
Kita-kia 0,25% dari volume CSF total diganti dengan C’SF' yang baru
setiap menitnya. Waktu pergantian seluruh volume CSF adalah 5-7
jam, sehingga dalam sehari terjadi 4 kali penggantian seluruh volume
CSF. Komposisi CSF secara umum sama dengan kompisisi eairan
ckstraseluler (label 1.4), walaupun kebanyakan ion konsentrasinya
lebih rendah dan sangat keeil kandungan proteinnya. Milieu
ckstraseluler yang diberikan CSF harus dipelihara dengan sangat ketat
disebabkan sifat neuron yang sangat sensitif. CSF juga berfungsi
sebagai bantalan neuron dan melakukan kompensasi pada perubahan
ICP. Peningkatan ICP akut dikompensasi dengan penurunan CBF.
sedangkan kompensasi khronik dilakukan melalui penurunan volume
CSF. Kebanyakan ancstetika mempengaruhi produksi dan absorpsi
CSF.

13
Tabel 1.5 Komposisi CSF dan Plasma pada Manusia
Komponen Nilai rata-rata atau
Konsentrasi Nilai rata-rata atau
padaCSF Konsentrasi pada Plasma
Berat jenis 1.007 1,025
Osmolalitas (mOsm/kg air) 289 289
pH 7.31 7.41
PCO, (mini Ig) 50,5 41.1
Sodium (meq/L) 141 140
Potasium (meq/L) 2,9 4.6
Calcium (meq/L) 2.5 5.0
Magnesium (meq/L) 2.4 1.7
Chlorida (meq/L) 124 101
Bicarbonat (meq/L) 21 23
Glukosa (mg/IGO mL) 01 92
Prolein (mg/100 mL) 28 7000
Albumin 23 4430
Globulin 5 2270
Fibrinogen 0 300
Dikulip dari: Cottrell & Young. 2010

Metabolisme Serebral
Neuron mempunyai laju metabolisme yang tinggi dan
menggunakan lebih banyak energi daripada sel tubuh yang lain.
Walaupun berat otak hanya 2% berat badan total, tapi pada istirahat
otak mengkonsumsi 20% oksigen yang diambil. Laju metabolisme
basal untuk oksigen adalah 3,3 ml/100 gr/menit dan untuk glukosa 4,5
mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur dan
bangun. Otak memerlukan pasokan substrat yang kon.stan karena
metabolismenya yang tinggi. Glukosa mcrupakan bahan bakar untuk
jaringan saraf walaupun keton dapat dipakai selama periode puasa dan
ketoacidosis.
Aliran darah otak dan laju metabolisme serebral berlangsung
bersama-sama. Peningkatan metabolisme akan meningkatkan aliran
darah otak. Anestetika inhalasi menyebabkan peningkatan aliran darah
otak dan penurunan cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2). Dari
semua obat anestesi inhalasi, isofluran mcrupakan serebral metabolik
depresant yang paling kuat, dan menurunkan 50% CMR02 pada
konsentrasi end-tidal isofluran 2,5%. Semua obat anestesi intravena
(keeuali ketamin) menurunkan CMRO2. Barbiturat menurunkan
CMRO2 dan aliran darah otak paling kuat.
Hipotemii menurunkan CMRO2 7% per I"C dan hipertemii
meningkatkan CMRO2. Suhu di atas 42°C akan menyebabkan

14
kematian sel neuron. Kejang-kejang akan meningkatkan aliran darah
otak dan CMRO2.

IVngaruh Anestetika terhadap Fisiologi Otak


Anestetika intravena, anestetika inhalasi, narkotik analgetik dan
pclumpuh otot mempengaruhi C'BF, CMRO2, ICP, dan CSF. I (ok ini
menyebabkan pentingnya memilih anestetika yang akan dipakai saat
memberikan anestesi umum, dan sedasi-analgesia di It'Ll.
l abel 1.6 Kick Anestetika pada C’BF dan CMRO;
Anestetika CBF CMRO; Vasodilatasi
Cerebral
Langsung
I lalotan TTT 1 Ya
I nfluran TT 1 Ya
Isolluran t II Ya
Desfluran t 11 Ya
Sevollurati T 11 Ya
NT) T T -

Tiopental 111 111 lidak


Itoniidat 11 11 Tidak
Propofol 11 11 Tidak
Midazolam 1 Tidak
Kctamin TT T Tidak
Fentanyl _________ kill ____ ___ ________ Tidak
Dikutip dari: Cottrell and Young, 2010
Kcterangan: f meningkat, J, menumn (jttmlah landa panah menunjukkan kekualannya), 0
lidak ada cfek. - tidak dilemukan.

15
Tabel 1.7. F.fek Ancstctika Inlialasi pada Dinamika CSF
Ancstctika Inhalasi Vf Ra
Prcdiksi Efek pada IC'P
Desfluran (>.+,a 0 O.t.a
Ft n Duran
Konscntrasi rendah 0 + +
Konscntrasi tinggi + 0 -1-
I lalothan -
+ -t-
IsoDuran
Konsentrasi rendah 0 (),+,b O.+.b
Konscntrasi tinggi 0 - -

N,() 0 0 0
Sc vo tluran - +
Dikulip dari: Cottrell & Young, 2010
Keterangan: Vf: kcccpatan pcmbcntukan CSF. Ra: resislensi absorpis.
+: meningkal, 0: lidak ada perubahan, mcnurun. a: cfck tcrjadi saal liipokapnia kombinasi
dengan peningkatan lekanan CSF dan terapi furosemid, b: cfck bergantung dosis, ?: tidak
tcntu.

Tabel I X Efek Hipnotik-Sedatif dan Antagonis


pada Dinamika CSF
Hipnotik-Sedatif Vf Ra Prcdiksi Efek
pada ICP
Etomidat
Dosis rendah 0 0 0
Dosis tinggi - O.-.a -

Midazolam
Dosis rendah 0 t,(),a i ,0.a
-
Dosis tinggi 0,+,a -.'.'.a
Pentobarbital 0 0 0
Propofol 0 0 0
1 iopcntal
Dosis rendah 0 0,+.a O.+.a
Dosis tinggi 0 0.-,a -,?,a
Antagonis
Fumazenil
Dosis rendah 0 0 0
Dosis tinggi 0 - -

Dikulip dari: Cottrell & Young. 2010


Keterangan: Vf: kcccpatan pcmbcntukan CSF. Ra: resistensi absorpis. i: meningkal. 0: tidak
ada perubahan. - : menurun, a: efek bergantung dosis, ?: tidak tcntu.

16
CSF l abel 1.9 Efek Opioid dan Anestetika Lain pada Dinamika
Vf Ra Prediksi Efek pada
IC'P
Opiod
Alfentanil
Dosis rcndali 0 - -

Dosis tinggi 0 0 0
Fentanyl
Dosis rcndali 0 - -

Dosis tinggi - ().+ •>


Sufentanil
Dosis rendah 0 - -

Dosis tinggi 0 +,() +.0


Anestetika Lain
Coca in 0 0 0
Ketamin II + +
Lidokain 0,-,a 0 ().-.a
Diktitip dari : Cottrell & Young. 2010
Kelerangan : Vf: kecepatan pembentukan CSF, Ra: rcsistensi absorpis,
+ : meningkal. 0 : tidak ada perubahan. - : menurun. a: efek bergantung dosis, ? : tidak tentu.

Daftar Pustaka
1. Artru AA. Cerebrospinal fluid. Dalam: Cottrell JE. Young
WL, eds, Cottrell and Young’s neuroanesthesia. Philadelphia:
Mosby Elsevier: 201 I. 60-72.
2. Bisri T. Neuroanestesi. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran; 1996. 1-14.
3. Bisri T, llimendra A. Surahman E. Neuroanestesi. Bandung:
Bagian Anestesiologi & IC'U Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin: 1997.
4. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Bagian/SMF
Anestesiologi & IC'U Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin; 1999.
5. Bisri T. Pengelolaan Perioperatif Cedera Kepala Akut.
Bandung: Bagian Anestesiologi & IC'U FK Universitas
Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin; 1999.
6. Bisri T. Pcnentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO;) dan
Cerebral Extraction of Oxygen (CEO;) sebagai indikator utama

17
proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi cedera kepala.
Disertasi, Universitas Padjadjaran 2002.
7. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Olah Saga Citra;
2 0 1 I.
8. Bisri T. Pengclolaan Periopcrati Cedera Kepala Akut. Bandung:
Saga Olah Citra. 1996.
9. Edwards N. Principles and practice of neuroanesthesia. London:
Chapman and Hall Medical; 1991, 1-20.
10. Farnsworth ST, Sperry RJ. Neurophysiology. Dalam: Stone DJ,
Sperry R.l, Johnson JO. Spickcrmann BF, Yemen TA, eds. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis: Mosby: 1996, 37-52.
I I. Joshi S, Ornstein E, Young WL. Cerebral and spinal cord blood
How. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s
neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 201 I,
I 7-49.
12. Kass IS. Physiology and metabolism of the brain and spinal
cord. Dalam: Newfield P. Cottrell JE, eds. Handbook of
neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 2007, 1-13.
13. Kass IS, Cottrell JE, l ei B. Brain metabolism, the
pathophysiology of brain injury, and potential beneficial agents
and technique. Dalam: Cottrell JE, Young WL. eds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 201 I,
60-72.
14. Sperry RJ. Clinical physiology of the central nervous system.
Dalam: Sperry RJ, Stirt JA, Stone DJ, eds. Manual of
Neuroanesthesia. Toronto: B.C Decker Inc; 1989. 27-36.
15. Werner C, Koch L. Hoffman WE. Cerebral blood flow and
metabolism. Dalam: Albin MS, ed. Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and neuroscience
perspectives. New York: The McGraw-Hill; 1997, 21-52.

18
BAB 2

I lilangnya autoregulasi - Arterial hipoksernia


- Depresi metabolisme - Peningkatan ICP
- Takikardi - Edema serebral
- Kelainan EKG - Asidosis cairan serebrospinal
Kerusakan miokardium - Edema paru

Perubahan-perubahan patofisiologi yang bisa terjadi pada cedera kcpala


akut adalah:

- Pcmbahan Aliran darah Otak - Penurunan oksigenisasi otak

Pada Susunan Saraf Pusat (SSP)


Cedera Kepala Akut dapat menyebabkan pengaruh langsung
(cedera primer) dan tidak langsung (cedera sekunder) pada SSP. Efek
langsung adalah adanya kontusio serebral, perdarahan intrasercbral dan
cedera axon yang dapat menimbulkan kematian jaringan atau kematian
sel neuron. Efek tidak langsung adalah efek yang menimbulkan kematian
sel mclalui proses biokimia yang dimulai dengan adanya trauma atau
iskemia.
Trauma sendiri dapat mempresipitasi kaskadc molekuler yang
menimbulkan kematian sel, tapi umumnya yang memegang peranan
utama adalah iskemia. Proses biokimia ini meliputi jalur metabolik yang
mengatur konsentrasi CV intraseluler dan stabilisasi membran sel.
Trauma sendiri menimbulkan iskemia karena peningkatan ICP. kolaps
kardiovaskuler. hipoksia, dan hal-hal yang menyebabkan tidak
adekuatnya tekanan perfusi otak.

a. Mekanisme Cedera:
Mekanisme cedera merupakan faktor yang menentukan dalam
perubahan patologi. Sebagian besar pasien cedera kepala adalah akibat
keeelakaan lain lintas dan hanya sebagian keeil akibat jatuh. Efek
biomekanik pada otak setelah dua kejadian tersebut berbeda. Keeelakaan
lalu lintas scring menimbulkan

19
terjadinya Diffuse Axonal Injuiy (DAI) tanpa perdarahan intrasercbral
yang besar. Sebaliknya, jatuh, sering mcnimbulkan hematoma subdural
dan intrasercbral.
Alasannya adalah:
1) orang tua lcbih sering karena jatuh, dan anak muda karena kecelakaan
lain lintas. Otak orang tua lebih atropi daripada otak anak muda.
2) adanya atropi menyebabkan lebih besamya pergeseran isi cranium,
sehingga lebih besar kemungkinan cedcra vaskuler.
3) vena subdura lebih bertanggung-jawab terhadap ruptur pada cedera
deselerasi yang cepat sepcrti jatuh dibandingkan dengan periode
yang lebih lama sepcrti pada kecelakaan lain lintas.
4) jatuh adalah mekanisme cedera pada 72% pasien hematoma subdural
akut. Sebaliknya 89% pasien yang koma lama tanpa ada massa pada
CT-Scan adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
Selain dari mekanisme langsung, faktor-faktor lain seperti
hipoksia dan hipertensi, diperkirakan sebagai mekanisme tidak langsung
dari cedcra serebral.
Pada cedera kepala sering terjadi iskemia serebral yang bersifat
global atau regional. Iskemia global dapat disebabkan karena tekanan
intrakranial yang tinggi, disfungsi kardiovaskuler atau respirasi.
Peningkatan tekanan dalam jaringan otak yang berdekatan dengan lessi
massa dapat menyebabkan hipoperfusi, karena itu iskemia pada cedera
kepala merupakan mekanisme penting dari luaran (outcome) cedera itu
sendiri.
b. Perubahan Patologi dan Biokimia
Pcrubahan patologi pada cedcra kepala adalah adanya hematoma
intrakranial, kontusio atau DAI. Hematoma intrakranial dapat berupa
extradural, subdural atau intrasercbral. Extradural hematoma pada
umumnya disebabkan karena ruptur arteri meningeal dan insidensinya
kira-kira 15% dari seluruh hematoma intrakranial. Kebanyakan
morbiditas dan mortalitas epidural hematoma (EDH) adalah akibat
bertambahnya massa dalam ruangan kranium. Adanya massa ini dapat
menyebabkan pergeseran struktur otak (herniasi uncal) atau peningkatan
ICP. yang bisa menyebabkan buruknya perfusi otak
Scbaliknya, subdural hematoma, berasal dari perdarahan
arteri/vena korteks serebri. Insidensinya kira-kira 30% dari cedera kepala
berat dan 63% dari cedera kepala yang fatal. Intraserebral hematoma
kira-kira 15% dari cedera kepala fatal.
Semua hematoma bervariasi mulai dari bereak keeil sampai

20
berbentuk clot besar yang bekerja sebagai lesi massa. DAI adalah
diagnosa mikroskopis dengan melihat adanya disrupsi axon, letapi dapat
diperkirakan pada:
1) pasien yang lama koma tanpa ada kelainan CT-Scan.
2) pasien dengan CT-Scan menunjukkan adanya edema serebral atau
bercak-bercak perdarahan pada sub cortical substansia alba, corpus
callosum atau batangotak.
Perubahan biokimia terjadi dalam menit ke jam setelah cedera
kepala. Banyak faktor yang ikul berperan terhadap terjadinya iskemia
serebral. Setiap penyebab kenaikkan tekanan intrakranial, misalnya
perdarahan atau edema dapat mempengaruhi tekanan perfusi otak dan
menyebabkan iskemia. laktor-faktor diluar otak seperti hipoksia,
hipotensi atau kedua- duanya yang disebabkan oleh berbagai hal
misalnya trauma dada, irauma abdominal atau pelvis dapat menambah
beratnya iskemia. Ilampir setengah kasus cedera kepala berat disertai
hipoksia dan hipotensi. Pada pemeriksaan autopsi ditemukan 91% pasien
cedera kepala menderita iskemia serebral difus atau regional.
Adanya proses iskemia menyebabkan peningkatan sintesa
mediator cedera serebral seperti katekholamin, exitatorv amino acid,
arachidonic acid dan metabolitnya. Akibat akhir dari iskemia dan
pelepasan komponen tersebut adalah kerusakan scluler.
Kaskade kerusakan iskemik menimbulkan influx ion Ca2 ke
intraselluler. Tingginya ion Ca2+ dalam sel akan menghentikan proses
phosphorilase dalam mitokhondria dan mencegah produksi adenosine
triphosphat (ATP), sehingga bila ATP sedemikian rendahnya sel menjadi
tidak bisa berfungsi dan terjadi kematian sel. Seluruh kaskade ini dimulai
dari lebih rendahkan pasokan oksigen dibandingkan dengan kebutuhan
oksigen Mekanisme detail terlihat pada diagram dibawah ini.

21
Ganibar2.1 Cedera Iskemik/reperfusi
Dikutip dari : Cottrell JE. Anesthesia and Neurosurgery. 3r ed.

c. Aliran Darah Otak dan Metabolisme Serebral


Pada cedera kepala berat autorcgulasi terganggu dan aliran darah
otak mcnurun setengahnya. Karcna pada hari pertama setelah cedera
kepala berat, aliran darah otak menurun setengahnya, maka ada resiko
iskemia serebral bila dilakukan hiperventilasi yang menurunkan PaC02.

22
Figure 2-3 Scheme showing effects of membrane permeability changes and
increased intracellular Ca1 + .

(lumbar 2.2 Efek perubahan permoabilitas membran dan peningkatan C'a imrasclulcr Dikutip
dari: lain. Anesthetic management of acute head injury, 1995

I'.fek Sisteinik
Pengaruh ccdera kepala bisa melibatkan organ paru, kardiovaskuler,
cairan dan clcktrolit, perubahan koagulasi dan lungsi gastrointestinal.
a. I tick Pulmonal
Pada pasien ccdera kepala sering terjadi arterial hipoksemia.
Satnpai 65% pasien cedera kepala yang bernafas spontan dalam keadaan
hipoksemia. Penyebabnya bermacam- mtieam, mungkin efek langsung
dari trauma paru, penyebab paru
(aspirasi, emboli lemak) atau proses yang merupakan efek sekunder dari
cedera otak. Adanya hipoksemia setelah cedera kepala akan
menyebabkan buruknya outcome, karena itu, hams selalu ingat adanya
hipoksemia, tentukan penyebabnya dan segcra tcrapi.

23
Bila PaC>2 <50 mmHg, CBF akan meningkat dan terjadi
peningkatan IC’P, pembengkakan sel dan disfungsi sel otak. Bila
hipoksemia lebih berat lagi terjadi kematian sel otak.
Terapinya bisa dilakukan positive end expiratory pressure (PEEP).
Pertimbangan bahwa PEEP dapat meningkatkan 1CP pada pasien cedera
kepala karena PEEP akan meningkatkan tekanan vena cava superior
dengan peningkatan tekanan intrapleural. Akibatnya, drainase vena
serebral terganggu yang akan menyebabkan peningkatan volume darah
otak (cerebral blood volume/CBV) dan ICP. Pcnelilian yang bam,
menunjukkan bahwa PEEP 10 cmH2O memperbaiki oksigenasi tapi tidak
meningkatkan ICP pada pasien cedera kepala berat. Pemberian PEEP 10
cm H2O hanya meningkatkan ICP dari 13±8 mmHg ke 14±8 mmHg pada
33 pasien cedera kepala berat. Tetapi karena ada potensi untuk
menaikkan ICP, maka bila memakai PEEP hams dipasang monitor ICP.
b. Efek Kardiovaskuler:
Keadaan hiperdinamik paling urnum setelah cedera kepala. Skor
Glasgow Coma Scale (GCS) berbanding terbalik dengan level
kateeholamine darah. Jadi makin berat cedera kepala, makin tinggi level
kateeholamine. Keadaan hiperdinamik ini akan menimbulkan terjadinya
hipertensi, aritmia, perubahan EKG dan ada indikasi kearah iskemia
jantung. Penycbab hiperdinamik adalah stimulasi sentral dari sistim saraf
simpatis.
Hipertensi, umum terjadi setelah cedera kepala. Pada penelitian
menunjukkan bahwa tekanan sislolik >160 mmHg terjadi pada 25%
kasus. Peningkatan tekanan darah ini lebih disebabkan oleh peningkatan
curah jantung daripada peningkatan resistensi vaskuler sistemik, tetapi
curah jantung mungkin menurun karena hipovolemia akibat diuretik atau
kehilangan darah dan disebabkan penurunan aliran balik vena (venous
return) akibat hiperventilasi untuk menurunkan PaC’CK
Peningkatan tckanan darah yang hebat mungkin disebabkan oleh
peningkatan ICP, kompresi batang otak, atau iskcmia medulla oblongata.
Keadaan ini akan menurunkan C’PP dan distorsi balang otak yang akan
mengaktivasi pusat simpatis dan vagal di batang otak. Cushing telah
menguraikan adanya peningkatan tckanan darah scbagai respon tcrhadap
peningkatan ICP. Adanya hipertensi akan menyebabkan outcome yang
buruk pada cedera kepala akut, karena itu hipertensi berat harus segera
diterapi (lerapi bila MAP > 130-140 mmHg).
Bradikardi, takikardi, irama nodal, sinus aritmia, atrial librilasi,
ventricular ekstrasistole (VF.S), blok jantung, ventricular takikardi bisa

24
timbul sctclah cedera kepala berat. Adanya aritmia lersebut karena
perubahan pada tonus vagal dan simpatis.
Bradikardi merupakan bagian dari trias Cushing terhadap
kenaikkan ICP, tetapi tidak ada korelasi yang tepat antara tmgginya
kenaikkan ICP dan beratnya bradikardi. Denyut jantung dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain seperti obat yang diberikan (misalnya pancuronium),
adanya hipovolemia dan nyeri.
Keadaan hiperdinamik dan perubahan EKG pada pasien cedera
kepala disebabkan peningkatan aktivitas simpatis, maka untuk terapi
hipertensi dapat diberikan beta adrenergik bloker. Kalau penyebab lain
seperti peningkatan tckanan intrakranial dan anestesi dangkal dapat
disingkirkan, maka dapat diberikan beta adrenergik bloker.

__________l abel 2.1 Kick Kardiovaskulcr Cedera Kepala


I h pertl inamik
I lipertensi
Peningkatan curah jantung
Peningkatan tckanan intrakranial (Cushing respons)
Aritmia Jantung
Bradikardia. sinus takhikardia, sinus aritmaia, atrial librilasi, kontraksi \ entrikcl
prematur. blok jantung, ventricular takhikardi.
Perubahan P.KG dari iskcmia miokardial
QT interval memanjang, ST segmen depresi. T inverted.
Pokal area dari nekrosis mikardium
I lipolensi ____________________________________________________
Dikutip dari: Lam AM. Anesthetic management of acute head injury. 1995

25
c. Gangguan Cairan dan Elektrolit
Pada pasien ccdera kepala dapat terjadi hipokalemia,
hiponatremia, hiperglikemia, hipcrkalemia, diabetes insipidus.
_______________ Tabcl 2.2 Kick pada Cairan dan Elektrolit ____________
Hipokalemia
Stres dan Trauma (stimulasi beta adrcncrgik)
Sekresi aldostcron akibat sties
I liperventilasi untuk menurunkan PaCO; dan meningkatnya pH Kehilangan mclalui
ginjal akibat diuretik atau steroid Hiponatremia
Volume berkurang (misalnya diuretik, adrenal insutisiensi, natriuresis SSP)
Volume normal (misalnya sindronta inappropriate anti diuretic hormone/S IA D
H)
Volume berlebih (misalnya gagal ginjal. gagal jantung)
Hiperglikemia
I lipernatremia: Diabetes insipidus _____________________________________
Dari: Lam AM. Anesthetic management of acute head injury. 1995
d. Efck pada Organ lain
Efek pada organ lain terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabcl 2.3 Efek pada Organ lain ________________
Disfungsi hipofise pars anterior
Respons metabolik lerhadap ccdera kepala
Muskuloskeletal:
Ccdera eervikal dan maksilofasial Hipcrkalemia akibat sueeynilcliolin Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC)
Trombosis intravaskuler difus Consumptive coagulopathy Gastrointestinal Lambung
penult
Concurrent intraabdominal injury Pengosongan lambung melambat
Gastritis akibat stres dan ulscrasi _____________________________________
Dikulip dari: Dari: Lam AM. Anesthetic management of acute head injury. 1995

Cedera Sekunder a. Konsep


Cedera Sekunder
Adalah penting untuk mengingat konsep ccdera sekunder karena
cedera primer tidak bisa dilerapi lianya bisa dicegah. Klias adanya cedera
sekunder adalah pasien dengan cedera kepala,
inasili sadar dan berhicara, tiba-tiba keadaannya mcmburuk. pasicn
menjadi koma dan akhirnya meninggal. Pcnyebab cedera sekunder
adalah serebral iskemia baik fokal atau global. Faktor pcnycbabnya
adalah hipoksia, hiperkarbia, penurunan CPP akibat hiperventilasi yang
agresif, hipotensi sistemik, hipertensi intrakranial, spasme arteri serebral
pasea trauma, hemiasi iranstcntorial atau cerebelar, seperti terlihat pada
tabel dibawah ini.

26
FIG 18-1.
Schematic representation of factors and events that influence outcome after head
injury. ETOH. Alcohol; BBB. blood-brain barrier. (From Vollmer DG. Dacey TG:
Prediction and assessment of outcome following closed head injury. In Pitts LH,
Wagner FC Jr, editors; Craniospinal trauma. New York, 1990, Thieme Medical Pub-
lishers, pp 120-140.)
< lumbar 2.3 Cedera Otak Primer dan Cedera Otak Sekunder Dikutip dari:
Stone D.l, et al. The Neuroanesthesia Handbook. 1906

Kerusakan otak akibat cedera kepala dapat dibagi kedalam


cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer adalah cedera yang
terjadi ketika terjadinya trauma. Efek yang segera dari trauma adalah
lascrasi otak. robekan yang difus, robeknya pembuluh darah atau
kerusakan neuron, axon dan dendril. Cedera primer sudah terjadi ketika
pasien dilihat oleh
tenaga medis/paramedis, karena itu cedera primer tidak dapat
dikurangi kecuali dengan pencegahan (misalnya inenggunakan helm).
Cedera sekunder adalah cedera yang terjadi setelah terjadinya
trauma. Penyebab cedera sekunder bisa sistemik atau intrakranial.
Penyebab sistemik adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial hipotensi,
anemia, hipoglikemia, hiponatremia dan osmotic imbalance,
hipertermia, sepsis, koagulopati, hipertensi.
Penyebab intrakranial adalah epidural/subdural hematoma,
kontusio/ intraserebral hematoma, peningkatan ICP. edema serebral,
vasospasme sercbral, infeksi intrakranial, hiperemia serebral, epilepsi
post trauma.

27
Tabel 2.4 Penyebab Cedera Sekunder
Sistemik Intrakranial
Hipotensi Epidural hematoma
Hipertensi Subdural hematoma
Hipoksemia Intracerebral hematoma
Hipcrkarbia Peningkatan ICP
Anemia Edema serebral
Hipoglikemia Infark intrakranial
Hiponatremia Hiperemia
1 tipertermi Epilepsi post trauma
Sepsis
Koagulopati
Dikulip tlari: Bisri T. Neuroancstcsia, 1997

Kerusakan sekunder dapat dipertimbangkan sebagai suatu


komplikasi dari cedera awal. Beberapa substansi seperti enzym
proteolitik, biogaiic amine (serotonin dan histamin), neunXransmiter
(glutamat), asam lemak tak jenuh (arachidonie acid dan metabolitnya),
radikal bebas, dan sistim kalikrein-kinin, telah terlihal sebagai
mediator dalam patofisiologi reversibel dan irreversibel dari cedera
sekunder. Mekanisme ini termasuk terjadinya edema vasogenik oleh
perubahan sawar darah otak. iskemia sekunder, dan peningkatan ICP
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, edema sitotoksik, dan
nekrosis sel.

28
Pcntingnya ccdera sekunder terhadap outcome terlihat sangat
jelas pada pasen yang ketika kejadian trauma atau heberapa saat setelali
trauma masih sadar dan berbicara, kernudian memburuk dan mcninggal.
Pada pasien-pasien ini kematian dapat disebutkan semuanya akibat
cedera sekunder.
Dikarcnakan cedera sekunder mungkin masih berkembang selama
pasen diterapi di rumah sakit, menyebabkan pcrlunya mtervensi aktif
dalam pcngelolaan pasicn. Konlribusi paling penting dalam cedera
sekunder adalah hipoksemia dan hipovolemia dengan hipotensi, yang
secant aktif hams dicari dan dikoreksi secepat mungkin.

29
Kebanyakan penelitian yang baru adalali tentang diffuse axonal
injury (DAI) yaitn kerusakan mikroskopis neuron dan axon. Hampir
50% pasien dengan cedera kepala berat mengalami cedera axon difus
yang diperlihatkan dengan tidak adanya massa intrakranial tetapi pasen
tetap dalam keadaan koma yang lama dan mortalitas yang tinggi.
Sayangnya DAI merupakan cedera primer, dan tidak menerima
terhadap intervensi tcrapi. Tetapi pengertian yang lebih baik dari
kerusakan yang telalt pasti tersebut akan melancarkan pemberian obat-
obat untuk mcmpercepat regenerasi neuron.
Peningkatan ICP adalali jalan utama dari berbagai proses yang
menyebabkan kematian akibat edema atau pembengkakan otak.

30
Tabcl 2.5 Pcnycbab Edema Serehral

edema vasogenik: akibat tcrganggunya sawar darah otak.


edema hidrostatik: terjadi setclah rusaknya autoregulasi. paling seritig terjadi setclah
dekompresi yang eepat dari suatu lesi massa

edema silotoksik: akibat dari iskemia dan ketidakmampuan untuk


mempertahankan metabolisme sekunder.

edema osmotik: akibat penurunan scrum osmolalitas, umumnya


__________________ dihubungkan dengan hiponatremi. ___________________

I’cmbcngkakan (swelling) adalali akibat obstruksi outflow dari ( SI-


atau darah.
Disebabkan adanya perbedaan dari penyebab peningkatan
lekanan intrakranial. maka terapinya berbeda; sehingga penting sckali
untuk menentukan penyebab kenaikan tekanan intrakranial sebelum
ditnulai terapi.
Simpulannya, cedera mekanis, perdarahan, edema dan iskemia
adalali penyebab paling penting dari kerusakan otak pada pasen
dengan ccdera kepala. Dari empat hal tersebut edema dan iskemia
merupakan suatu cedera sekunder yang merupakan tanggung-jawab
anesthesiologist.
b. Peranan Iskemia pada Cedera Otak
Walaupun pada penelitian autopsi ditemukan 85-90% pasien
yang meninggal karena cedera kepala mempunyai lesi iskemia, tetapi
penelitian klinis dari aliran darah otak dan metabolisme pasien cedera
kepala berat, gagal inenunjukkan adanya serebral iskemia.
Walaupun aliran darah otak menurun, pasien yang koma |uga
metabolismenya menurun dan Obrist dkk, inenunjukkan bahwa 55%
pasien dengan CCS < 8, relatif hipereinia {/low-nya relatif lebih tinggi
dari metabolisme). Tetapi penelitian Marion dkk serta Bouman dkk
inenunjukkan bahwa aliran darah otak menurun dengan drastis dengan
tingginya perbedaan oxygen content dalam arteri dan vena (AVDO2)
yang inenunjukkan bahwa flow lebih rendah dari metabolisme, tetapi
aliran darah otak akan meningkat dan akan mclebihi metabolisme
setclah 24

31
jam pascatrauma. Hiperemia lebih scring terjadi pada anak-anak.
Aliran darah otak yang ekstrem tinggi atau ekstrcm rendah akan
mcmperbunik prognosis. Bouman dkk., mcncliti aliran darah otak pada
3 jam pascatrauma dan ternyata pada 30% pasicn aliran darah otak
menurun dan pasicn dengan CBF paling rendah mempunyai prognosis
paling jclck. Scbaliknya Weber dkk, Martin dkk., menunjukkan bahwa
aliran darah otak menurun mengikuti fase hiperemia permulaan pada
20-40% kasus sebagai akibat vasospasme dan kejadian vasospasme
dihubungkan dengan lebih tingginya kejadian infark serebral tanpa
kontusio.
Jadi perubahan aliran darah olak/CMRCC tidak seragam.
Kebanyakan pasicn eedera kepala berat, aliran darah otak menurun,
kemudian diikuti dengan kembalinya kenilai normal atau relatif
hiperemia, dan kemudian menurun lagi karena terjadi vasospasme.
Penyebab rendahnya aliran darah otak tidak jelas tetapi hipotensi
sistemik merupakan salah satu penyebabnya. Bila sistolik < 80 mmHg
maka menunjukkan outcome yang jelek sama seperti halnya adanya
peningkatan tekanan intrakranial. Kombinasi peningkatan tekanan
intrakranial dan hipotensi sistemik akan menyebabkan penurunan
tekanan perfusi otak dan mengurangi aliran darah otak.
Mekanisme autoregulasi terganggu setelah eedera kepala berat,
tetapi reaktivitas CO2 tetap terpelihara. Tidak adanya reaktivitas CO2
telah ditunjukkan dalam hubungannya dengan kurangnya respon
vasokonstriksi terhadap barbiturat dan menunjukkan prognosis yang
buruk. Pada pasicn dengan gangguan autoregulasi, hipotensi sistemik
akan memperburuk perfusi serebral. Scbaliknya pada pasicn dengan
autoregulasi yang intak, hipotensi akan menyebabkan vasodilatasi
serebral yang meningkatkan ICP, dan hal ini mungkin menyebabkan
penurunan aliran darah otak. Pada pasicn dengan eedera kepala berat,
bisa terjadi autoregulasi palsu, misalnya aliran darah otak gagal untuk
berubah dengan perubahan tekanan darah karena ICP berubah sama
besarnya dengan tekanan darah sistemik sehingga CPP tetap konstan.
Berdasarkan basis biokimia, iskemia dapat menyebabkan eedera
sekunder dengan adanya akumulasi exitoto.xic amino acids (glutamat).
yang berinteraksi dengan n-mcthvl-d-aspartatc

32
(NMDA) reseptor yang menyebabkan akumulasi ion Ca intraseluler.

( edera Otak sebagai Penyakit Inflamasi


Ccdcra otak tertutup masih merupakan penyebab kctnatian dan
gangguan neurologik pada pasicn usia muda. Berbagai penelitian telah
dilakukan yang membuktikan bahwa respons inflamasi intrakranial
pada cedera otak berperan pada sckuclc neuropatologik yang
bcrtanggung jawab terhadap buruknya outcome setelah ccdcra kcpala.
Adanya hipoksia dan hipotensi pada saat resusitasi pasicn ccdcra
kcpala mempcrburuk respons inflamasi pada otak yang disebabkan
karena adanya iskemia/reperfusi akibat ccdcra. Respon neuroinflamasi
yang bcral setelah ccdcra otak tertutup, memegang peranan timbulnya
edema serebral, rusaknya sawar darah otak, dan akhirnya kematian scl
neuron.
Akan tetapi, disamping efck buruk tersebut, neuroinflamasi
mcmcdiasi mekanisme neuroreparasi setelah cedera otak. Efck ganda
neuroinflamasi ini merupakan fokus penelitian eksperimental dan
klinis pada tahun-tahun sebelumnya dan memperluas pengetahuan
dasar pada mekanisme sclulcr dan molekuler yang mengatur respons
inflamasi intrakranial setelah ccdcra otak tertutup.
Jadi, ccdcra kcpala telah dikembangkan sebagai penyakit
inflamasi dan imunologik lebih daripada hanya sebagai trauma,
kelainan neurologik, dan bcdali saraf.

33
Daftar Pustaka

1. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with


severe head injury. Dalam: Cottrell JH, Young WL, eds.
Cottrell and Young's neuroanesthesia; 201 I. 317-25.
2. Beauchamp K, Mutlak H. Smith WR, Shohami E, Stahel PF.
Pharmacology of Traumatic Brain Injury: Where is the
"Golden Bullet”? Molmcd 2008; I4 (11 -12): 731-40.
3. Bisri T. Neuroanestesi. Bandung: Fakultas Kedokteran
Univcrsitas Padjadjaran; 1996,1-14.
4. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Saga Olah
Citra: 201 1

34
5. E3isri T, Wargahadibrata HA, Surahnian E. Neuroanestesi.
Bandung: Fakultas Kedokteran Univcrsitas Padjadjaran; 1997,
21-33.
6. Domino KB. Pathophysiology of head injury: Secondary systemic
effects. Dalam: Lam AM. ed. Anesthetic management of acute
head injury. New York: McGraw Hill Inc; 1995,25-49.
7. Durieux ME. Anesthesia for head trauma. Dalam: Stone D.l,
Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA, eds. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis: Mosby; 1996,385-414.
S. Grady MS, Shapira Y. Pathophysiology of head injury primary
central nervous system effects. Dalam: Lam AM, cd. Anesthetic
management of acute head injury. New York: McGraw Hill I nef
1995.1 1-24 .
9. Greve MW, Zink B.l. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.
Mount Sinai Journal of Medicine 2009,76:97 104.
10. Fritz FIG, Bauer R. Secondary injuries in brain trauma: effect of
hypothermia. J Neurosurg Anesthesiol 2004: I6( l):43-52.
I I. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of brain injury. Dalam:
Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery. 4th ed.
St Louis: Mosby; 2001,69-79.
12. Milde LN, Weglinski MR. Pathophysiology of metabolic brain
injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
neurosurgery, 3rd ed. St Louis: Mosby; 1994,59-83.
13. Patro A, Mohanty S. Pathophysiology and treatment of traumatic
brain edema. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2009. 6( I):
11-16
14. Sakabc T. Bendo AA. Anesthetic management of head trauma.
Dalam: Newtield P. Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia, 4th
ed. Philadelphia: Lippincott
Wiliams*'Wilkins; 2007.91 -109.
15. Schmidt OI, lleyde CE, Ertel W, Stahel PF. Closed head injury-an
inflammatory disease? Brain Research Reviews 2005; 48:388 99.
16. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of traumatic brain
injury. Br J Anaesth 2007. 99 (1): 4 9

35
Bab 3
Pengelolaan Dini Cedera Kepala Berat

Pengelolaan cedera kepala liarus dimulai di tempat kcjadian.


diteruskan sclama transportasi, di Unit Gawat Darurat dan tcrapi
deflnitif.
Pada tahun-tahun terahir ini ada penekanan pada slandarisasi
initial assessment dan terapi penderita trauma, termasuk cedera kepala.
Tren ini timbul dari adanya 3 Case puncak dari saat kematian akibat
trauma, puncak pertama yang lerutama terjadi dalam detik atau menit
dari cedera (pada pasien cedera kepala disebut cedera primer). Puncak
yang kedua dalam beberapa menit sampai jam (akibat adanya cedera
sekunder). Periodc ini yang disebut sebagai "Golden hour''. Puncak
ketiga, hnri sampai minggu setelah cedera akibat sepsis atau gagal
organ.
Karena cedera primer tidak dapat dikurangi dengan terapi
medis, dan puncak mortalitas ke-3 berhubungan dengan keberhasilan
terapi yang segera, maka mortalitas tergantung pada cf'ek langsung
terapi pada jam-jam pertama setelah cedera kepala, herarti efek dari
terapi terhadap cedera sekunder. Hal ini paling baik dilakukan dengan
tim yang efisicn yang tentunya memerlukan protokol standar terapi, dan
yang sekarang sedang menjadi tren adalah standar yang dikemukakan
oleh American ( allege of Surgeon yakni Advanced Trauma Life
Support (AILS). Pada ATLS termasuk juga cara atau protokol
penanganan cedera kepala.
Tujuannya pengelolaan dini adalah untuk pemberian oksigen
adekuat, mempertahankan tekanan darah cukup untuk perlusi otak,
menghindari cedera otak sekunder, identifikasi lesi massa yang perlu
untuk tindakan pembedahan.
Diagram resusitasi cedera kepala berat dan penanganan
lupertensi intrakranial dapat dilihat pada gambar 3.1 dan gambar 3.2.
(lambar 3.1 Diagram Rcsusitasi pada Ccdcra Herat
Dikulip dari: Bullock R.et al. Guidelines lor the management of severe
head injury. Journ of Neurotrauma 1996

Pra Rumah Sakit


Limapuluh persen pasien cedera kepala berat menderita hipotensi
dan hipoksia. Hipotensi pada cedera kepala berat liampir sclalu
disebabkan karena cedera sistemik daripada karena perdarahan otak
sendiri atau akibat hilangnya tonus vaskuler, dengan pengecualian pada
anak < 4 tahun bisa disebabkan karena hipovolcmia akibat lascrasi
scalp. Hipotensi bisa juga bila sudah ada disfungsi batang otak.
Kejadian hipotensi (sistolik<90 mmHg) kira-kira terjadi pada 35%
pasien cedera kepala berat.

38
Hipoksia bisa disebabkan karcna ccdcra sistcmik
(pneumothoraks, heniothoraks) atau akibal obstruksi jalan nafas karena
koma atau trauma. Maka intubasi dan pemberian cairan hams bisa
dilakukan olch personil yang terlatih dalam mengelola pasien di
cedera kepala
Bila Cedera Kepala: Mortalitas:
Disertai Hipoksia 56%
Di sertai H ipovo 1 e m i a 64%
Disertai Hipovolemia + Hipoksia 76%
Tidak ada hipoksia dan hipovolemia 27%
tcmpat kejadian.
Hipoksemia sering ditemukan pada pasien yang ditransportasi
kc rumah sakit dan Miller, tahun 1978, melaporkan bahwa 30% pasien
dengan ccdcra kcpala berat Pa02 <65 mmHg.
Erat sekali hubungan antara mortalitas dengan adanya hipoksia
dan hipovolemia. Hubungan mortal itas dengan adanya hipoksemia
dan hipovolemia sebagai berikut:
Tabel3.l Hubungan hipoksia, hipovolemia dan mortalitas
Disini terlihat jelas adanya penurunan angka kematian bila hipoksia
dan hipovolemia dapat dihindari. Pengendalian jalan nafas, dalam
usaha untuk mcnccgah hipoksia juga mempunyai keuntungan dalam
mencegah hiperkarbia karena volume darah intrakranial sensitif
terhadap PaCOi.
Pengendalian jalan nafas dan ventilasi dapat dicapai melalui
intubasi endotrakheal, krikotirotomi, atau trakheostomi. Cedera tulang
lehcr terjadi pada 10% cedera kepala berat, maka harus hat i-hati saat
melakukan intubasi. Hal-hal yang akan memperburuk cedera leher atau
meningkatkan tekanan intrakranial seperti rotasi kepala, hipcrtleksi,
hiperekstensi harus dihindari. Prinsip A = Airway with cervical spine
control, harus selalu dilaksanakan. Dari Triple Mannouver Safar (chin
lift, head tilt, jaw thrust), hanya jaw thrust saja yang dapat dilakukan.
Adanya hipoksia akan meningkatkan mortalitas dari 37% menjadi
50%.
Intubasi dapat dilakukan dengan pemberian succinylcholine I
mg/kg dan lidokain 1,5 mg/kg intravena, bila tidak ada

41
succinycholin dapat dengan pclumpuh otot non dcpol yang
mempunyai mula kcrja yang cepat, misalnya rocuronium atau
vecuronium. Selama transportasi harus diberikan O2 100% dengan
ventilasi yang adekuat.
Cedera medulla spinalis cervical atau thorakal bagian atas lusa
menyebabkan hipotensi. tetapi disertai bradikardi. sedangkan pada
hipovolemia disertai takikardia.
Di lempat kejadian resusitasi dilakukan dengan pemberian
eairan RL atau NaCl atau balans solution ringerfundin. Hindari
pemberian glukosa karena akan memperburuk kerusakan otak pada
periode iskemia. Gula darah tidak boleh >150 mg%, dan bila > 200
mg% harus ditcrapi dengan insulin, jadi glukosa hanya diberikan bila
ada hipoglikemia.
Sckali pasien sudah normotensi, pemberian eairan harus diatur
untuk mcnccgah overload eairan yang dapat menyebabkan lerjadinya
problem pulmonal dan mempengaruhi tekanan mtrakranial karena
bertambahnya edema serebri. NaCl hipertonis (3-6%) dapat diberikan
untuk lujuan resusitasi eairan. Pemberian NaCl hipertonis sebanyak
10% dari jumlah volume resusitasi eairan isotonik sudah bisa
mcningkatkan tekanan darah dan cardiac indeks. NaCl hipertonis
menarik air dari ekstravaskuler, jadi jumlahnya akan tergantung pada
persediaan volume ekstravaskuler. Efek penambahan volume
intravaskuler ini hanya sekitar 15-30 menit, jadi harus segcra diberikan
eairan lain. NaCl hipertonik mempunyai efek menurunkan tekanan
intrakranial, karena menarik air dari interstitiel ke intravaskuler. Akan
tetapi, penelitian outcome pada 1000 kasus menunjukkan tidak ada
perbedaan antara pemberian NaCl hipertonik dengan NaCl 0,9%.
Mannitol, suatu osmotik diurctik, pada umumnya tidak
digunakan pada pra-rumah sakit bila kondisi pasien stabil atau ada
perbaikan status neurologis. Bila volume intravaskuler adekuat dalam
keadaan kritis, mannitol akan menyebabkan efek sistemis negatif
karena mengeluarkan eairan dari tubuh.
Pemberian steroid tidak memperbaiki outcome pada cedera
kepala berat, juga tidak mengurangi edema seperti halnya tumor otak.
Akan tetapi, bila cedera kepala tersebut disertai cedera mcdula
spinalis, dapat diberikan metilprednisolon 30 mg/kg intravena bolus,
diteruskan 5,4 mg/kg.

40
Lakukan penilaian GCS. Nilai 3 berarti ccdera kepala sangat
bcrat dan nilai 15 berarti normal. Sebaiknya GCS dinilai sctiap 15
mcnit.
Tabel 3.2 Glasgow Coma Scale
GCS Cedera Kepala
3-8 Berat
9-12 Scdang
13-15 Ringan

Transportasi pasien cedera kepala barns dalarn imobilisasi


kolumna spinalis. Sedikitnya 10% pasien cedera kepala berat
menderita ccdera kolumna spinalis atau medulla spinalis.
Berikut ini adalah tabel cara-cara penentuan GCS dewasa dan
anak. Disebut koma bila GCS <; 8 ( E-l, M 1-5. V 1-2). GCS > 8 tidak
coma.
Table 3.3 The Glasgow Coma Scale
Activity Qualification Response Score
Ryes Open Spontaneously 4
To verbal command 3
To pain 2
No response i
Best To verbal Obeys command 6
motor To painful Localizes pain 5
response stimulus Flexion-withdrawal 4
Flexion-abnormal 3
(Decorticate rigidity)
Rxtension 2
(Decerebrate rigidity)
No response i
Best Oriented and converses 5
verbal Disoriented and converses 4
response Inappropriate words 3
Incomprehensible sounds 2
No response 1
Dikutip dari: Tcasdale <i, el al. Assessment of outcome and impaired consciousness.
Lancet 1974

, 42
KEPALA BERAT
PENGELOLAAN DINI CEDER A
Tabcl 3.4 Trauma Score
< .Ins^ow oma Score Variabel Kardiopulmonal
C
lluku Spoil tan 4 Prekuensi napas 10-24 4
niiila: Terhadap suara 3 per menu 24-35 3
Terhadap nyeri 2 > 36 2
Tidak i 1-9 i
None 0
Ui-spon Oriented 5
Verbal : Confused 4 Hkspansi dada : Normal 1
Inappropriate 3 Retraksi
words
Incomprehcn- ") (menggunakan otot 0
sihle words pernapasan lambahan)
None
1
Tckanan Sistolik: > 90 4
Hcspon Obeys 6 (mniHg) 70-89 3
Molorik : command
Localizes pain 5 50-69 2
Withdraw (pain) 4 0-49 i
I 'le.xion (pain) 3 Tidak ada nadi 0
Extension (pain) 2
None 1 Capillary refill: Normal 2
Lambat (< 2 detik.) i
Tidak ada 0

Skor Trauma dan Nilai GCS Kcmungkinan hid up


Nilai GCS Skor T rauma
14-15 = 5 16 99%
11-13 4 13 93%
8-10 3 10 60%
5-7 2 7 1 5%
3-4 = 1 4 2%
1 0%
I hkutip dari: Shoemaker WC\ el al. Textbook of eritical eare. Philadelphia: WH Saunders:
I 9X4

43
Prehospital Guidelines untuk Cedera Kepala Berat(C'KB)
I. Assessment: Oksigenasi dan Tekanan Darah

Dewasa: a) pasicn dengan suspek CKB hams dipantau sejak ditcmpat


kejadian untuk mcncntukan adanya hipoksemia (Sp02 < 90%) atau
hipotensi (tekanan sistolik < 90 nimHg), b) nilai Sp() 2 harus diukur
secara kontinu mulai dari tempat keeelakaan dengan menggunakan
pulse oksimeter, c) Tekanan darah sistolik dan diastolik hams diukur
harus diukur dengan alat paling akurat yang tersedia, d) oksigenasi dan
tekanan darah harus diukur sesering mungkin dan bila mungkin diukur
secara kontinyu. Pediatrik: a) pediatrik dengan suspek CKB harus
dipantau sejak ditcmpat keeelakaan untuk adanya hipotensi, hipotensi
didefinisikan sebagai berikut: umur 0-28 hari (tekanan sistolik < 60
nimHg), 1-12 bulan (tekanan sistolik < 70 mmHg), umur I tahun-10
tahun (tekanan sistolik < 70 + 2 x umur dalam tahun mmHg), umur >
10 tahun (tekanan sistolik < 90 mmllg), b) nilai Sp02 harus diukur
secara kontinyu mulai dari tempat keeelakaan dengan menggunakan
pulse oksimeter yang sesuai untuk pediatrik, c) Tekanan darah sistolik
dan diastolik harus diukur dengan menggunakan cuff pediatrik yang
sesuai, bila tekanan darah sukar diukur disebabkan faktor umur anak
atau bentuk tubuh, pcmeriksaan status mental, tekanan nadi, capillary
refill dapat digunakan sebagai pengganti pengukuran, d) oksigenasi
dan tekanan darah harus diukur sesering mungkin dan bila
memungkinkan harus dipantau secara kontinyu. Ada korelasi yang
nyata antara desaturasi dengan outcome yang buruk (P<0,005).
Tabel 3.5 Korelasi antara SpOi dan Mortalitas dan Diabilitas
Berat pasien dengan Cedera Kepala Berat __________
Saturasi Oksigen Mortalitas Diabilitas Berat
(Severe Disability)
>90% 14% (3/21) 5% (1/21)
60-90% 27% (6/22) 27% (6/22)
< 60% 50% (3/6) 50% (3/6)
Dikutip dari: Prehospital l/mergecy Care. BTF Guidelines 2007

44

,
2. Assessment: Glasgow Coma Scale (GCS) Score Devvasa: a)
Pengukuran GCS pra rumahsakit adalah suatu indikator yang nyata
dan dapat dipcrcaya dari CKB dan harus digunakan berulang-ulang
untuk menentukan perbaikan atau perburukan sepanjang waktu, b)
GCS harus dilakukan melalui mleraksi dengan pasien misalnya diberi
rangsang verbal atau untuk pasien yang dapat mengikuti perintah,
memberikan stimulus nyeri dengan menekan kuku atau mencubit
axilla, c) (ICS harus diukur setelah airway, breathing, dan sirkulasi
dinilai, setelah airway bebas dan ventilasi atau resusitasi sirkulasi telah
dilakukan, d) GCS diukur sebelum memberikan sedatif atau pelumpuh
otot, atau setelah obat-obat tersebut dimetabolisme, e) penilaian GCS
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih bagaimana
caranya memeriksa GCS.
I’cdiatrik: a) GCS dan pediatric-GC’S (P-GCS) adalah indikator yang
dapat dipereaya untuk menentukan beratnya cedera otak iraumatik
pada anak dan harus dilakukan berulang kali untuk menentukan
perbaikan atau perburukan sepanjang waktu, b) protokol dewasa untuk
pengukuran GCS standar harus diikuti pada anak umur lebih 2 tahun,
pada anak yang belurn bisa bieara P-GCS verbal skor penult harus
diberikan dengan nilai 5 pada infant dengan cooing dan babbling
(bieara bayi), c) tenaga kesehatan di lapangan harus menentukan GCS
atau P-GCS setelah airway, breathing, sirkulasi dinilai dan stabil, d)
GCS diukur sebelum memberikan sedatif atau pelumpuh otot, atau
setelah obat-obat tersebut dimetabolisme.

45
Tabel 3.6 Perbandi ngan Pediatric GCS dengan GCS
GCS P-GC'S
Eye Opening . Eye Opening .
Spontaneous 4 Spontaneous 4
. Speech 3 . Speech 3
. Pain 2 . Pain 2
. None 1 . None 1
Verbal Response . Verbal Response .
Oriented 5 Coos, Rabbles 5
. Confused 4 . Irritable cries 4
. Inappropriate 3 . Cries to pain 3
. Incomprehensible 2 . Moans to pain 2
. None 1 . None 1
Motor Response . Obey Motor Response .
command 6 Normal sponatenous 6
. Localize pain 5 movement
. Flexor withdrawal 4 . Withdraws to touch 5
. Flexor posturing 3 . Withdrawas to pain 4
. Fixtensor posturing 2 . Abnormal flexion 3
. None 1 . Abnormal extension 2
. None 1
Dikutip dari: Guideline BTI-. 2007. Prehospital guideline
3.Assessment: Pemeriksaan Pupil
Dewasa dan pediatrik. a) pupil harus dinilai diteinpat kecelakaan untuk
digunakan dalam diagnosa, terapi, dan prognosis, 2) bila menilai pupil
bukti adanya trauma orbital harus dicacat, pupil dinilai setelah pasien
diresusitasi dan distabilisasi, penemuan pupil kiri dan kanan harus
diidentifikasi: pupil dilatasi bilateral atau unilateral, dan pupil dilatasi
atau fix. Asimetris bila terdapat > 1 mm perbedaan diameter, /lx pupil
bila < I mm respons terhadap cahaya.

46
Tabel 3.7 llubungan Skor CCS dengan Mortalitas
pada Dcwasa dan Pediatrik
Dewasa: GCS di Lapangan Mortalitas (%)
3 75
4 60
5 35
6 8
7 9
8 45
Pediatrik: GCS Mortalitas (%)
3 75
4 18
5 0
6 6
Diktnip iliiri: Guideline 15 IT, 2007. Prehospital guideline

4.1’crapi: Airway, Ventilasi, dan Oksigenasi


Dcwasa: Tidak direkomendasikan penggunaan pelumpuh otot untuk
intubasi endotrakheal pada pasien yang bemafas spontan dan mampu
mempertahankan SpO: diatas 90% dengan pemberian oksigen.
Dcwasa dan Pediatrik: 1) Hipokseinia (SpO2<90%) hams dihindari
dan segera koreksi. 2) Jalan nafas harus bebas pada pasien dengan GCS
<9, tidak mampu mempertahankan airway yang adekuat, atau
hipokseinia yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian oksigen. 3)
protokol intubasi endotrakheal lermasuk Rapid Sapience Induction
(RSI) harus dengan memantau tekanan darah. oksigenasi, dan bila
mungkin end-tidal ('(9 2 (ETCOj), 4) bila dilakukan intubasi
endotrakheal, konfirmasi bahwa pipa endotrakhea ada di trakhea,
dilakukan dengan auskultasi paru dan ETCOi, 5). pasien harus
dipertahankan pada laju nafas normal (ETCO2 35-40 mniHg) dan
hiperventilasi (ETCQ2< 35 mmHg) harus dihindari kecuali bila ada
tanda hemiasi otak. Tambahan untuk pediatrik, bahwa tidak bukti yang
menyatakan bahwa intubasi diluar RS hasilnya lebih baik daripada
dilakukan ventilasi dengan bag mask.
S.Terapi: Resusitasi Cairan
Dewasa: I) pasien yang llipotensi harus ditcrapi dengan cairan isotonik,
2) resusitasi dengan cairan hipertonik adalah opsi tcrapi untuk pasien
GCS <8.
Pediatrik: hipotensi harus diterapi dengan cairan isotonik. Perdarahan
47
setclah trauma menurunkan cardiac preload. Biia mekanisme
kompensasi dilevvati, hipovolemia menyebabkan penurunan perfusi
perifer dan pasokan oksigen. Tcrapi cairan digunakan untuk mengisi
preload, menyokong fungsi
kardiovaskuler dan pasokan oksigen perifer. Hal ini terutama penting
untuk pasien ccdera otak traumatik, sebab penurunan tekanan perfusi
serebral dapat memperburuk kerusakan otak primer. Secara spesifik,
hipotensi menyebabkan ccdera otak sekunder dan memperburuk
outcome.
Pada dewasa hipotensi didefinisikan bila tekanan sistolik < 90
mmHg. Pada anak-anak, hipotensi didefinisikan bila tekanan sistolik
kurang dari 5% umur atau ada gejala klinis syok.
Tabel 3.8 Definisi Syok pada Pediatrik berdasarkan Tekanan
Darah Sistolik
Umur Tekanan Sistolik (mmHg)
Neonatus (0-28 hari) < 60
Infant (1 bulan-12 bulan) < 70
1 tahun-10 tahun < 70 + 2 x umur dalam tahun
>10 tahun < 90
Dikulip dari: Guideline RTF, 2007. Prehospital guideline

6. Terapi: Herniasi Serebral


Dewasa dan Pediatrik: 1) Hiperventilasi ringan atau hiperventilasi
profilaksis (PaC02< 35 mmHg) harus dihindari. Tcrapi hiperventilasi
harus dititrasi terhadap cfck klinis yang mungkin diperlukan untuk
periode singkat dalam kasus herniasi serebral atau perburukan
neurologis akut, 2) pasien harus sering dinilai untuk tanda klinis adanya
herniasi serebral. Tanda klinis herniasi serebral adalah pupil dilatasi dan
unreaktif, pupil tidak simetris, extensor posturing atau tidak adanya
respons, atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih
dari 2

48
ilari CCS terbaik sebelumnya pada pasien dengan permulaan GCS < 9),
3) pada pasien yang normoventilasi, oksigcnasi baik, normotensi, tapi
ada tanda herniasi sercbral, niaka dapal digunakan hipervcntilasi secara
temporer dan dihentikan bila tanda herniasi sudah hiking.
Cara melakukan hiperventilasi adalah melakukan laju nafas 20
kali/menit pada dewasa. 25 kali per menit pada pcdiatrik, dan 30 kali
per menit pada infant <1 tahun. Target hiperventilasi adalah ETCO2 30-
35 mmHg. Kapnograf merupakan metodc yang disukai untuk
memantau ventilasi.
Di Unit Gawat Darurat
Disebabkan sangat potensial adanya cedera kolumna spinalis/
medulla spinalis, maka tindakan intubasi merupakan suatu hal yang
sangat menantang. Sasarannya adalah bisa melakukan intubasi untuk
memperbaiki oksigcnasi dan ventilasi tanpa menambah cedera pada
kolumna spinalis/medulla spinalis. Metodc intubasi tergantung pada
kondisi pasien, tingkat kooperatif pasien, skill dan pengalaman
anestetist.
Dua masalah utama pada cedera kepala berat adalah adanya
hipoksia dan hipovolemia (syok). Komplikasi-komplikasi ini paling
sering dihubungkan dengan buruknya outcome. Pcrubahan-perubahan
patofisiologi yang bisa terjadi
adalah:
- Perubahan CBF
- Hilangnya autoregulasi - Penurunan oksigenasi otak
- Depresi metabolisme - Arterial hipokscmia
- Takikardia - Hipertcnsi cerebral
- Kelainan EKG - Pcningkatan tekanan
- Kerusakan miokardium intrakranial
- Edema cerebral
- Asidosis CSF
- Edema paru
Pada ASEAN Congress of Anesthesiologist, Singapore, tahun
1995, disebutkan bahwa bila cedera kepala disertai dengan hipoksia,
tingkat angka kematiannya sekitar 56%; bila cedera kepala disertai
hipovolemia, tingkat angka kematiannya sekitar 64%; bila disertai
hipovolemia dan hipoksia, tingkat angka

49
kematiannya sekitar 76%; dan bila tidak ada hipoksia maupun
hipovolemia, tingkat angka kematiannya sekitar 27%.
Hipoksia didefinisikan bila PaO2<60mmHg. Pasien dengan
penurunan kesadaran mempunyai kesulitan dalam mempertahankan dan
melindungi jalan nafas. Obstruksi jalan nafas merupakan penyebab
kematian pada 15% kasus cedera kepala. Hipoksia akan diperberat
dengan adanya obstruksi jalan nafas, aspirasi, pneumothoraks dan atau
hemothoraks, kontusio paru, neurogenic pulmonary edema.
Syok didefinisikan bila tekanan sistolik <90 mtnHg. Penurunan
tekanan darah pada keadaan tekanan intrakranial yang meningkat dan
hipoksia akan mengakibatkan penurunan yang nyata dari oksigenasi otak
(sebab CPP = MAP-1CP). Hipotensi sistemik jarang disebabkan karena
trauma otak sendiri, kecuali pada stadium akhir. Normal CPP = 80-90
inmHg. Bila CPP turun dibawah 40 mmHg, bisa terjadi iskemia otak.
Cedera primer terjadi saat trauma. Kerusakan yang timbul
diakibatkan adanya kerusakan langsung struktur dalam kranium, seperti
arteri, vena, substansia alba dan substansia grisea. Trauma kepala yang
tertutup biasanya mengiris substasia alba dengan cedera pada axon dan
dendrit. Cedera sekundcr mungkin dimulai saat terjadinya cedera primer.
Faktor-faktor yang menyokong cedera sekundcr adalah hipoksia
jaringan, laktik asidosis, hiperkapni dan peningkatan tekanan intrakranial
dengan kemungkinan herniasi.
Ada 4 mekanisme yang menyokong kerusakan otak pada pasien
cedera kepala;
- Cedera mekanis - Edema
- Perdarahan - Iskemia
Untuk mengatasi edema dan iskemia, dokter anestesi ikut
memegang peranan. Iskemia adalah hasil akhir suatu cedera.
Kebanyakan iskemia adalah akibat dari kompresi extraeerebral
hematoma, intracerebral hematoma, atau dari edema difus yang
menyebabkan kenaikan 1CP. Bila ICP ± 60 mmHg akan terjadi
pembengkakan otak yang menjadi ireversible. CCS mempunyai korelasi
dengan beratnya cedera dan outcome. Dari 3 komponen skor, yang
paling sensitif adalah respon motorik. Keakuratan
(iC'S dipengaruhi oleh intoksikasi, hipoksia, obat-obatan, dan syok.
Tanda dan gejala kenaikan tckanan intrakranial sepcrti papil edema,
pupil anisokor, mual. muntah, sakit kepala, tinitus dan gangguan
penglihatan mempunyai kepentingan khusus untuk anesthesiologist.

50
Kebanyakan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sering
disertai cedera teller. Duapuluh person penderita yang meninggal
akibat kecelakaan lalu lintas mengalami trauma cervical atas. Fraktur
cervical terutama terjadi pada C1-C2 atau < 5-C"ft. Semua pasien yang
dicurigai ada trauma Ichor, harus hati- liati dalam memobilisasi pasien,
cegah extensi, rotasi dan flexi leher sampai dilakukan pemeriksaan
fisik dan radiologis.

I. Pengclolaan Dini:
Harus ditujukan kepada hal-hal yang mengancam jiwa. Pasien
harus distabilkan sebelum dilakukan pemeriksaan diagnostik sepcrti
C’T-scan. radiografi, arteriografi dan sebagainya. Pemeriksaan
laboratorium harus dilakukan sebelum mulai operasi seperti Hb,
hematokrit, kimia darah, gas darah, irombosit dengan waktu
perdarahan dan pembekuan.

a. Hipotensi
Hipotensi diterapi dengan memberikan kristaloid, atau darah.
Pemberian dextrose 5% (free water) harus dihindari. karena akan
menyebabkan hiponatremia dan hipoosmolalitas, dan kemudian edema
serebral. Penurunan tckanan darah akan menyebabkan penurunan yang
nyata pada pemberian oksigen otak. sebab CPP MAP-ICP. Target
pemberian cairan adalah normotensi, normovolemia, iso-osmoler, dan
normoglikemia.
Pada cedera kepala berat terjadi kenaikan tckanan intrakranial.
Bila tekanan darah turun, maka CPP akan turun. Adanya penurunan
tekanan darah akibat hipovolemia akan menyebabkan CPP menurun
dengan hebat. Harus diingat bahwa hipotensi sistemik jarang
disebabkan hanya oleh cedera otak, kecuali pada fasc terminal, infant
dengan subdural hematoma yang besar, atau cedera batang otak.
Normal CPP adalah 80- OOmmlig. Bila CPP turun di bawah 40mmHg
terjadilah iskemia otak dan akhirnya infark otak. Maka bila ada
hipotensi, pertama-

51
tama anggaplah karena hipovolemia. Pada kasus dengan
hipovolemia dilakukan pcmasangan infus dan penggantian volume
dengan memantau tekanan darah, frekuensi nadi, scrta produksi urine.
Bila mungkin pasang CVP dan tekanan arterial invasif. Pada
pemberian cairan harus diperhatikan hal-hal sebagai bcrikut:

_________________ Tabel 3.9 Terapi Cairan ____________


1. Tidak boleh memberikan larutan dextrose, karena akan menyebabkan
eerebral edema dan laktik asidosis.
2. Pergunakanlah insulin uniuk mcmpcrtahankan gula darah < 200mg%, target gula
darah < 150 mg%.
3. Usahakan produksi urine 1-2 ml/kgBB/jam.
4. Dapat diberikan larutan koloid. kristaloid atau darah untuk mengganti volume
yang hilang. Batasi penggunaan RL dan bcrikan koloid dan larutan normal saline-
ringer laktat untuk resusitasi.
5. Pertahankan hematokrit antara 30-35%.
6. Harus selalu diingat bahwa pemberian cairan adalah normovolemia,
normoglikemia. isoosmoler.
Dikulip ilari: Sperry et at. Manual Neuroanesthesia. 19X9

Pasien tidak boleh di-trendenlenburg-kan untuk menaikkan venous


return, karena menaikkan tekanan intrakranial secara nyata. Juga posisi
head down ini tidak memperbaiki CPP, sebab tekanan vena dan tekanan
arteri dua-duanya meningkat. Peningkatan kadar gula darah dihubungkan
dengan buruknya outcome pada keadaan-keadaan yang menurunkan
CPP, maka supplemen glukosa tidak diberikan kecuali bila ada
hipoglikemia (gula darah < 65 mg%).

Hipertensi
Bila ada hipertensi pikirkan dula bahwa hipertensi adalah
merupakan bagian dari trias Cushing. Usahakan dulu penurunan 1CP,
bila memang bukan karena peningkatan 1CP. maka hipertensi harus di
terapi karena adanya hipertensi dapat merugikan pada pasien ccdera
kepala scpcrti halnya hipotensi disebabkan karena meningkatnya
pembentukan edema dan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
darah yang hebat harus
iliterapi dengan adrenergic blocking agent, karcna obat ini mcmpunyai
cfck serebral yang minimal.
I) . Ilipoksiu
52
Sering terlihat secara klinis adanya kegelisahan pada pasicn.
maka scgera diberikan O2. Pada pasicn cedera kepala sering hams
dilakukan intubasi, sebab suatu pcnelitian menunjukkan bahwa intubasi
dalam jam pertama setelah cedera dibandingkan dengan setelah 1 jam
cedera akan mcnurunkan mortalitas dari 38% menjadi 22%.
Walaupun tindakan intubasi akan menyebabkan kenaikan
lekanan intrakranial secara temporer. efek ini minimal bila dibandingkan
dengan perubahan akibat hipoventilasi dan hipoksia. Keputusan kapan
dan bagaimana intubasi dilakukan menjadi sulit. Intubasi sering
diperlukan untuk : menghilangkan obstruksi jalan nafas. proteksi
aspirasi. mencegah hipoventilasi.
pemberian hiperventilasi untuk mengendalikan tekanan intrakranial.
memberikan paralisis pada pasen yang memberontak (tidak diam)
pada pemeriksaan untuk diagnostik.
Bebcrapa klinisi menganjurkan bahwa semua pasien dengan GC'S 8
harus diintubasi. Respirasi yang ireguler dan tahipnoe dapat sebagai
tanda adanya ancaman gagal nafas, dan juga dipertimbangkan untuk
intubasi, karcna mencegah hipoksia jauh lebih baik dari pada koreksi
intubasi. Jadi kriteria intubasi adalah bila:
Tabel 3.9 Kriteria Indikasi Intubasi
tics < s
Pemafasan ireguler
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 per menit
Volume tidal < 3.5 ml.kgBB Vital capacity <
15 ml/kgBB PaO: < 70 nimtlg
PaC'O; > 50 mm fig ______________________________________
Dikutip dari: Sperry R.1 et al. Manual of Neuroanesthesia. Philadelphia:
BcDecker.1989.
Intubasi
Intubasi pasien cedera kepala mcrupakan suatu tantangan.
Tcknik intubasi tergantung dari pentingnya kontrol ventilasi. Disebabkan
karcna hipoventilasi sebelumnya dan hipoksia yang ada dapat
menyebabkan turunnya saturasi O2 secara ccpat selama periode intubasi,
maka diperlukan dinitrogcnisasi yang optimal.
Setiap obstruksi jalan nafas yang pada umumnya disebabkan
karena pangkal lidah jatuh kc belakang, tetapi kadang-kadang bisa
disebabkan karena darah atau trauma oropharing harus segera
dihilangkan. Menarik mandibula, pemasangan oropharyngeal airway
(mayo) atau membuang muntahan/debris sering memperbaiki patensi

53
jalan nafas. Mulut sulit dibuka mungkin disebabkan spasme otot akibat
trauma atau kerusakan sendi temporo mandibular. Bila ada spasme otot
sebaiknya diberi pelemas otot.
Pemikiran bahwa succinylcholine dapat meningkatkan tekanan
intrakranial menyebabkan keraguan pemakaian sucinylcholinc dan
menganjurkan awake intubation. Tetapi dengan awake intubation terjadi
mengejan, merejan, maka tekanan intrakranial akan meningkat lebih
besar daripada bila kita berikan succinylcholine. Sebagai tambahan,
airway yang sulit dan lambung penuh pada pasien cedera kepala
memerlukan kondisi intubasi yang cepat dan optimal. Fraktur cervical
terjadi pada 10% cedera kepala dan meningkat sampai 20% pada cedera
kepala berat, maka intubasi harus dilakukan dengan pergcrakan leher
yang seminimal mungkin. Bila pasien dalam keadaan gawat, ada
hipoventilasi, hipoksia, dan tidak memungkinkan dilakukkan pergerakan
leher, sebaiknya dilakukan krikotirotomi. Di State University of New
York (SIJNY), Brooklyn, dianjurkan cara krikotirotomi cmergensi
sebagai berikut:
- tempatkan kepala hiperektensi (kecuali bila ada fraktur cervical).
cari membran krikotiroid.
- tusuk membran tersebut dengan Abocath no. 14 sambil dias- pirasi
untuk tes udara.
bila trakhea ditemukan, masukkan katetcr Abocath 45° kc arah distal.

54
hubungkan kateter dengan konektor pipa endotrakheal no.3,5 atau
hubungkan dengan ujung spuil 3ml dengan ujungnya disambung ke
konektor pipa endotrakheal no.7. hubungkan konektor dengan sistim
vcntilasi.

Keterangan: Sux succinylcholinc; Vcc vecuronium:


(it'S Glasgow Coma Scale
Dikuiip ilari: Lam AM, ed. Anesthetic management of acute head injury. New York: McGraw
Hill Inc; 1095

Pada keadaan difficult airway (yaitu suatu keadaan dimana


seorang ah I i ancstesi yang terlatih, sulit melakukan ventilasi dengan
face mask (difficult ventilation), atau sulit intubasi (difficult intubation)
pembcrian pelemas otot mungkin berbahaya, maka prinsip melakukan
intubasi endotrakheal adalali letap seperti yang dianjurkan American
Society of Anesthesiologist (ASA), yaitu berdasarkan algoritme sebagai
berikut:

55
Figure 5-79.Difficult Airway Algorithm developed by the American Society of Anesthesiologists ‘Confirm tracheal
intubation or LMA placement with exnaled C03. (Reproduced, with permission, from the Amencan Society of
Anesthesiologists Task force or. Management of the Diff cult Airway Practice guidelines tor management of the difficult
airway an upcated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult
Airway Anesthesiology 2003.98.1269.)

Ciambar: Managcmen Difficult airway


Dikutip dari Morgan CiF. Clinical Anesthesiology, 2005

56
Pnnduan untuk Pengelolaan Cedera Kepala Berat
Itrain Trauma Foundation Guideline 2007 Journal of
Neurotrauma 2007; 4.SI
I. Tekanan Darah dan Oksigenasi
Tekanan darah liarus dipantau dan hipotensi (sistolik<90 mmHg)
liarus dicegah. Oksigenasi hams dipantau dan hipoksia (PaOi<60
mmHg dan SpO2<90%) hams dihindari.
2. Terapi Hiperosmoler
Mannitol efektif dalam mengontrol peningkatan tekanan
intrakranial pada dosis 0,25-1 g/kgBB. Batasi penggunaan mannitol
sebelum pemasangan monitor ICP pada pasien dengan tanda
herniasi transtentorial atau penumnan neurologik progresif yang
tidak diakibatkan oleh penyebab ekstrakranial.
3. Profilaksis hipotermia
Tidak ada bukti level 1 dan 2 yang mcndukung penggunaan
hipotermia. Bukti level 3, menunjukkan bahwa profilaksis
hipotermi tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan
penumnan mortalitas bila dibandingkan dengan kontrol yang
normotermia. Akan tetapi, penemuan pendahuluan mendukung
bahwa penumnan yang lebih besar pada resiko mortalitas teil i hat
bi la temperatur target dipertahankan lebih dari 48 jam. Profilaksis
hipotermi dihubungkan dengan lebih besarnya skor GOS secara
nyata bi la dibandingkan dengan kclompok kontrol.
4. Profilaksis Infeksi
Pembcrian antibiotik periprocedur untuk intubasi liarus diberikan
untuk mengurangi kejadian pneumonia. Akan tetapi, tidak
mengubah lama perawatan dan mortalitas. Trakheostomi dini liarus
dilakukan untuk mengurangi lama memakai ventilator, akan tetapi,
tidak mengubah mortalitas dan laju pneumonia nosokomial.
Penggantian kateter ventrikular rutin atau pembcrian antibiotik
profilaksis untuk pemasangan kateter ventrikular tidak
direkomendasikan untuk mengurangi infeksi. F.kstubasi segcra
untuk pasien yang memenuhi syarat

57
dapat dilakukan tanpa meningkatkan resiko terjadinya pneumonia.
5. Profilaksis DVT
Dianjurkan memakai graduated compression stocking atau
intermiten pneumatic compresion. dengan pengecualian kalau
ekstremitas bawah tidak bisa dipakaikan alat tersebut.
Penggunaannya harus kontinyu sampai pasien dapat diambulasi.
Low Molecular Weigh Heparin (LMW11) atau dosis rendah
unfraetioned heparin harus digunakan dengan kombinasi profilaksis
mekanis, akan tetapi, ada resiko penambahan luas intracerebral
hematoma (ICH). Tidak ada bukti cukup untuk mendukung obat
apa yang digunakan, waktu pemberian, dan dosis yang digunakan
untuk profilaksis DVT.
6. Indikasi l( P monitor
ICP harus dimonitor pada semua pasien dengan cedera kepala berat
(TBI, CCS 3-8 setelah resusitasi), CT-scan abnormal (hematoma,
kontusio, edema, hemiasi, kompresi sisterna basalis), atau CT-scan
normal tapi mempunyai 2 atau lebih kritcria tambahan yaitu umur >
40 tahun, unilateral atau bilateral motor posturing, sistolik < 90
mmHg.
7. Teknologi ICP
Paling akurat intraventrikular. Subarachnoid, subdural, epidural
kurang akurat.
8. Ambang ICP
Tcrapi harus sudah dimulai bila ICP > 20 mmHg.
9. Ambang Perfusi Serebral
Tindakan agresif untuk mempertahankan tekanan perfusi otak >70
mmHg harus dihindari sebab adanya resiko terjadinya Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). CPP <50 mmHg harus
dihindari karena risiko terjadinya iskemia serebral. Target CPP
antara 50-70 mmHg. Pasien dengan autorcgulasi yang masih intact
dapat mentolerir nilai CPP yang lebih tinggi. Monitoring tambahan
dari parameter serebral tennasuk aliran darah otak. oksigcnasi.
metabolisme akan membantu pengelolaan CPP.
10. Brain Oksigen Monitoring dan Ambang
SJO2 < 50% atau brain tissue oxygen tension (PbrOi) (<15mmHg)
merupakan batas ambang terapi. SJOi dan PbrO^ untuk mengukur

58
oksigcnasi otak.
I l.Anestctik, Analgcsik, Sedatif
Pembcrian barbiturat profilaksis untuk burst supresi F.EG tidak
dianjurkan. Dosis tinggi barbiturat direkomendasikan untuk
mengontrol peningkatan IC'P yang membandel tcrhadap terapi
standar medikal dan surgikal yang maksimal. Stabilitas
hemodinamik adalah cssensial selama dan sebelum terapi barbiturat.
Propofol direkomendasikan untuk terapi peningkatan IC'P, tapi
tidak memperbaiki mortalitas dan outcome 6 bulan. Propofol dosis
tinggi menimbulkan morbiditas secara nyata.
12. Nutrisi
Kebutuhan kalori total harus dicapai dalam 7 hari pascatrauma.
13. Antiseizure Profilaksis
Penggunaan profilaksis fenitoin untuk profilaksis post traumatic
seizure (PTS) tidak dianjurkan. Antikonvulsan indikasi untuk
menurunkan kejadian early PTS (dalam 7 hari setelah ccdera), tapi
early PTS tidak dihubungkan dengan lebih buruknya outcome.
14. Hiperventilasi
Profilaksis hiperventilasi (PaCO? 25 mmllg) tidak dianjurkan.
Hipervcntilasi dianjurkan untuk tindakan sementara untuk
menurunkan peningkatan ICP. Hiperventilasi harus dihindari dalam
24 jam pertama setelah ccdera dimana aliran darah otak sering
berkurang mencapai ambang kritis. Bila digunakan hiperventilasi,
harus dipasang SJO2 atau Brain tissue oxygen tension (Pbr02) yang
direkomendasikan untuk memantau pasokan oksigen.
I S.Steroid
Penggunaan steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki outcome
atau menurunkan ICP. Untuk pasien dengan cedera otak sedang dan
berat penggunaan metilprednisolon dosis tinggi dihubungkan
dengan meningkatnya mortalitas, karena itu metilprednisolon
merupakan kontraindikasi.

Daftar Pustaka
1. Artru AA. Influence of anesthetic agent and technique on
intracranial hemodynamics and cerebral metabolism. Dalam: Lam
AM, ed. Anesthetic management of acute head injury. New York:

59
McGraw Hill Inc; 1995, 143-67.
2. Alexander RH, Proctor HJ. ATLS-Advanced trauma life support
course for physicians. Chicago II: American College of Surgeon;
1993, 153-83.
.3. Bcndo AA. Perioperative management of adult patient w ith severe
head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, cds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia; 2011. 317-25.
4. Bullock MR, Chesnut RM, Clifton G, Ghajar .1, Marion DW.
Guidelines for the management of severe head injury. Journ of
Neurotrauma 1996; 13. 11,693-703.
5. Bullock MR, Povlishock JT. Journal of Neurotrauma 2007; vol
24, supp I.
6. Durieux ME. Anesthesia for head trauma. Dalam: Stone DJ,
Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BE, Yemen TA. cds. The
Neuroanesthesia Handbook.St Louis: Mosby; 1996, 385-414.
7. Edwards N. Principles and practice of neuroanesthesia. London:
Chapman and Hall Medical: 1991, 1-20.
8. Fritz HG, Bauer R. Secondary injuries in brain trauma: effect of
hypothermia. .1 Neurosurg Anesthesiol 2004; 16(1): 43-52.
9. Guidelines for prehospital management of FBI 2"Jed. B I F; 2007

60
10, Grady MS, Lam AM. Management of acute head injury: Initial
resuscitation. Dalam: Lam AM, ed. Anesthetic management of
acute head injury. New York. McGravv Mill Inc; 1095, 87-96.
II Lam AM. Maybcrg TS. Anesthetic management of patient with
traumatic head injury. Dalam: Lam AM, ed. Anesthetic
management of acute head injury. New York: McGraw Hill Inc;
1995, 181-210.
12. National Heart, Lung, and Blood Institute
http://www.nhlbi.nih.gov
I L Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic management of head trauma.
Dalam: Newfield P, Cottrell .IL. eds.Handbook of
neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Wiliams&Wilkinns; 2007, 91-109.

61
B AB 4
Monitoring

Pasien dengan pcnyakit neurologik yang dilakukan Imdakan


pcmbcdahan mempunyai peningkatan risiko untuk kerusakan
iskemik/hipoksik pada SSP. Risiko ini mungkin berhubungan dengan
kejadian hemodinamik/embolik yang diluibungkan dengan operasi
bukan operasi bedah saraf (misalnya pasien stenosis karotis yang
dilakukan operasi coronary artervbypass graft/CABG) atau operasi
bedah saraf sendiri (misalnya dipping temporer dari feeding arteri
pada operasi aneurisma serebral). Monitoring neurofisiologi
intraoperatif dapat memperbaiki luaran klinis dengan cara: I) dapat
dilakukan diagnosa awal dari iskemia/hipoksia sebelum terjadi
kerusakan ireversibel dan 2) inemungkinkan ahli bedah memberikan
terapi operasi optimal sebagaimana ditunjukkan parameter
monitoring.
Walaupun tidak diadopsi secara universal, monitoring
neurofisiologi menjadi rutin untuk beberapa prosedur pembedahan di
berbagai pusat pendidkan. Secara luas, otak dapat dimonitor dalam hal
fungsi, aliran darah, dan metabolisme seperti lerlihat pada tabel-tabel
dibawah ini:
_____________ Tabel 4,1 Monitoring Fungsi _________________
Electroencephalogram
Raw dec t roc n c cp ha I
ogra i n Computerized
processed Bispcctral analysis
Evoked potentials
Sensory evoked potentials
Somatosensoery EP
Brain stem auditory EP
Visual EP
Motor evoked potentials
Transcranial magnetic Mt-P
Transcranial electric MEP Direct
spinal cord stimulation
Electromyography
Fu n gs i s a r af k ran i a l ( V , V II, IX , X , X I. X I I) _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Dikutip dari: Niewficld P. Cottrell Jli. Handbook of neuroanesthesia: 2007

63
Tabel 4.2 Monitoring aliran/tekanan
Aliran darah serebral Nitrous
oxide wash-in Radioactive
Xenon clereance Lasser
Dopier blood How
Transcranial Doppler
(TCD)
Tekanan intrakranial Kateter
intraventrukular Kateter
Fiberoptik intraparenkhim
Kateter Epidural Subarachnoid
bolt ___________________
Dikulip dari: Niewfiekl P. Court'll JE. I landbook of ncuroanesthesia: 2007

___________ Tabel 4.3 Monitoring Metabolisme ____


Monitor Invasif
Intracerebral PO2 electrode Monitor non-invasif
Transcranial cerebral oxynietri (near-infrared spectroscopy)
Jugular venous oximetry __________________________
Dikutip dari: Niewllcld P, Cottrell JR. Handbook olneuroaneslhesia; 2007

Iskemia serebral dideftnisikan scbagai kctidakcukupan perfusi


untuk memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang diperlukan
untuk pemeliharan integritas metabolisme dan fungsi neuron. Iskemia
meliputi setiap pengurangan aliran darah yang cukup untuk
menimbulkan gejala dari mulai transient ischemic attacks (TIAs)
sampai mati otak. Untuk mencegah terjadinya kerusakan otak perlu
adanya alat pantau yang dapat mengetahui adanya iskemia serebral
dengan cepat karena alat pantau konvensional dengan tekanan darah,
SpOj, En-tidal CO2 gagal mendeteksi adanya serebral iskemia.
Saturasi oksigen bulbtts vena jugularis (SJO2) dapat diukur
secara kontinu atau intermitten dengan mengambil contoh darah
melalui kateter yang ditempatkan pada vena jugularis interna dengan
posisi ujungnya terdapat di bulbus vena jugularis interna. Pemantauan
SJO2 sangat berguna untuk mendeteksi episode hipoksia/iskemia
serebral sehingga terapi dapat dilakukan secepat mungkin. Nilai SJO2
memberikan perkiraan keseimbangan secara menyeluruh antara
kebutuhan oksigen serebral dengan pasokan. Iskemia intraoperatif
scbagai akibat dari tidak adekuatnya

64
lekanan perfusi otak atau hiperventilasi berlebihan dapat scgcra
lerdeteksi.
Pemantauan SJO2 telah digunakan sccara luas dalam mcmantau
adekuatnya perfusi dan metabolismc otak pada pasien cedera kepala
untuk menolong dalam terapi hipertensi intrakranial, serta
mengidentitlkasi level optimal dari CPP. Oleli karena itu, SJO2
diindikasikan pada bedah saraf yang kritis, selama operasi aneurisma
serebral dan arteriovenous malformation (AVM). Pengaruh desaturasi
vena jugularis pada prognosis pasien cedera kepala telah diketahui dan
pemantauan kontinu dari SJO2 menjadi Hal yang rutin dilakukan pada
ICU Neuro. Ada beberapa komplikasi akan tetapi tidak ada komplikasi
serius yang dilaporkan dan biaya tidak tcrlalu mahal.
Dalam bab ini akan dibahas monitoring spesitik untuk otak yang
tersedia di Indonesia antara lain ICP dan S.IO2. Monitoring lain seperti
NIRS. microdyalisis, brain tissue oxygen (BtTiCA) bclum tersedia.

Monitoring SJ02, AVDO2, CEO2


Adanya iskemia serebral akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, untuk itu adanya iskemia harus segera dideteksi dan
diterapi. Pada saat ini selama pemberian anestesi, monitoring yang
dipakai adalah hanya bertujuan ke sirkulasi (tekanan darah, Irekuensi
nadi), volume (CVP), keadaan oksigenasi jaringan (saturasi O2). suliu.
dan kadar C02 yang dilihat dari end-tidal CO2 (eapnograph). Apabila
semuanya menunjukkan keadaan yang normal maka diperkirakan tidak
ada iskemia serebral. Akan tetapi pengukuran tekanan darah dan
saturasi oksigen jaringan tidak meneerminkan ada atau tidak adanya
iskemia otak. Dengan adanya pemantauan SJO2 (jugular venous
oxygen saturation), CEO2 (Cerebral extraction of oxygen) atau AVD02
(Arterial venous oxygen difference) akan menolong mendeteksi adanya
iskemia otak sehingga terapi dapat segera dilakukan.

Pemantauan SJ O 2.CEO 2 dan AVD0 2


Dearden (2000) mengatakan bahwa teknik yang pertama kali
dilakukan dan aman untuk mengambil sampel darah dari bulbus vena
jugularis adalah dengan menusukkan janim ke vena, medial dari
bagian bawah dan anterior prosessus mastoideus.
Sejak diperkenalkannya tcknik Seldinger untuk kanulasi bulbus vena
jugularis pada tahun I960, pengukuran intermitcn dari aliran darah
otak dan AVDO2 telah dianjurkan untuk pemantauan pasien bedah

65
saraf yang mcmpunyai resiko iskemi serebral. Selama tahun 1980-an,
pemantauan kontinu saturasi arteri dan vena jugularis dianjurkan untuk
pemantauan hipoperfusi otak. Di Eropa, 20% pasien cedcra kepala
yang dirawat di Unit Terapi Intensif menggunakan pemantauan
saturasi bulbus vena jugularis.
Millar dkk. (1999) mengatakan bahwa walaupun secara teknik
sulit, pemantauan SJO2 juga digunakan pada bedah saraf yang kritis,
sclatna operasi aneurisma serebral dan arteriovenous malformation
(AVM) serta selama bypass kardio pulmonal. Adanya iskemik setelah
cedera otak menegaskan kcbutuhan untuk memperbaiki rcsusitasi dan
cvaluasi dini dari hematom intrakranial, seraya adanya episode
desaturasi setelah subarachnoid hemorrhage (SAII) atau perdarahan
intraserebral menganjurkan adanya pemantauan dan koreksi segera
dari pengaliran darah ke otak selama fasc resusitasi dan selama dirawat
di ICU.
Pemantauan serebral dilakukan untuk melihat fungsi serebral,
hemodinamik serebral, dan mctabolisme serebral. Fungsi serebral
dipantau dengan EEC, dan evoked potential. Serebral hemodinamik
dipantau dengan tekanan arteri rata-rata, tekanan intrakranial, tekanan
perfusi otak, transcranial dopier (TCD), aliran darah otak global, aliran
darah otak regional, dan aliran darah otak focal. Serebral metabolisme
dipantau dengan SJO2, brain oxvmetri (cerebral venous O2 saturation)
S.IO2 = aliran darah otak/CMR02. Nilai normalnya adalah 55-71%
(Cole 2000).
Lam (1999) menyebutkan SJ02 memberikan perkiraan yang
kontinu atau intermiten dari keseimbangan secara menyeluruh antara
kebutuhan oksigen serebral dengan pasokan. Asal saja, CMRO2 tetap
konstan schingga perhitungan AVDO2 akan memberikan perkiraan
rclatif aliran darah otak. Bila CMRO2 tidak konstan, perbedaan
kandungan oksigen arteri-vena mercflcksikan keseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan pasokan pada otak. Karena oksigenasi arteri
selalu 100% dan hematokrit tetap konstan, SJO2 akan mercflcksikan
balans ini.
Iskemia intraopcratif dari tidak adekuatnya tckanan perfusi otak man
hiperventilasi bcrlcbihan dapat scgera terdetcksi. Pengaruh dcsaturasi
vena jugularis pada prognosis pasicn cedera kepala tclali dikctahui dan
pemantauan kontinu dari SJO2 menjadi hal sang rutin dilakukan pada
ICU Neuro. Ujung kateternya juga dapat mengukur suhu otak.

66
Interpretasi: AVDO2 normal adalah 2,8 pmohml atau 6,3 sol %
oksigeti (rentang 2,2 sampai 3,3 pm o I/ml atau 5 sampai 7,5 vol%)
dan SJO2 antara 60-70%. Bila pengaliran oksigen lebih besar dari
kebutuhan, seperti pada hiperemia, AVDO2 akan menurun dan SJO2
akan meningkat. Pada periode iskcmia screbral global, AVDO2 akan
melebar dan SJO2 akan menurun. a Peningkatan Nilai: S.IO2 yang
lebih dari 90% menunjukkan hiperemia absolut atau relatif. Hal ini
tcrjadi sebagai akibat dari penurunan kebutuhan metabolik (misal pada
pasicn koma atau mati otak) atau dari aliran darah yang berlebiban
(misalnya hiperkapnia berat). Pasien dengan AVM serebral
mempunyai shunting arteri yang langsung ke dalam sirkulasi vena dan
mempunyai peningkatan nilai SJO2 yang abnormal. Kontaminasi
ckstrakranial, misalnya dari vena fasialis atau dari pengambilan yang
eepat, juga akan berakibat terhadap peningkatan nilai.
b. Nilai normal: Walaupun suatu keseimbangan yang nonnal antara
aliran darah dan metabolisme akan berakibat SJO2 yang normal,
hal ini tidak mengesampingkan iskemia fokal. Karcna darah dari
vena jugularis berasal dari semua area otak, iskemia atau infark
yang diskrct tidak mempengaruhi tingkatan saturasi.
e. Penurunan nilai: Sebaliknya, SJO2 sensitif terhadap iskemia
screbral global. Nilai yang < 50% menunjukkan peningkatan
ekstraksi oksigen dan menunjukkan resiko cedera iskemik.
Mungkin, hal ini discbabkan oleh peningkatan kebutuhan
metabolik tidak sesuai dengan peningkatan aliran darah, misalnya
demam, kejang, atau penurunan aliran darah. Penurunan yang
nyata dari oxygen carrying capacity discbabkan oleh penurunan
hcmatokrit dapat menyebabkan dcsaturasi. Iskemia juga
mengubah CMRO2 dan

67
mempengaruhi interpretasi SJO2. Ketika iskemia menjadi infark,
konsumsi oksigcn akan menurun dan SJO2 akan normal.
S.IO2 dipcngaruhi olch lib, Fi02, asam-basa, sului tubuh, aliran darah
0tak/CMRO2, tempat suntikan dan kesalahan pengambilan sampel.
Rcndahnya SJO2 dapat terjadi akibat tekanan perfusi otak < 70 mmHg,
CO2 < 30 mmHg; jadi, disebabkan olch hipoperfusi atau iskemia. Normal
SJO2 tidak menghilangkan kemungkinan iskemia regional. Komplikasi
pemasangan monitor SJC)2 bisa terjadi penusukan karotis, Neural
syndrome, dati pncumothoraks.
Pemantauan kontinu SJO2 telah digunakan secara luas dalam
memantau adekuatnya perfusi otak dan metabolisme otak pada pasicn
cedera kepala. Terdapat hal yang kontroversial, apakah darah diperoleh
dari bulbus vena jugularis mewakili campuran darah vena? Contoh, darah
yang simultan dari bulbus jugularis kanan dan kiri pada individu yang
normal menunjukkan bahvva SJO2 adalah sama pada kedua sisi. Baru-
baru ini ditemukan perbedaan yang nyata antara kedua sisi pada pasien
cedera kepala. Data dari Stocchetti mendukung bahwa variabilitas
saturasi oksigen antara sisi kanan dan kiri adalah betul dan mercfleksikan
darah dari sinus sigmoid. Beberapa peneliti mcmiiih untuk melakukan
pemantauan pada bulbus vena jugularis kanan pada semua pasien.
Mereka melakukan pemasangan kateter bulbus vena jugularis pada sisi
yang mengalami cedera lebih berat atau pada sisi kanan bila cedcranya
difus(Lam, 1995).
Metz (1998)., menyebutkan bahwa pemantauan hemodinamik
serebral global dan metabolisme dilakukan berdasarkan prinsip Pick yang
memberikan informasi yang banyak mengenai patofisiologi cedera
kepala berat dan menjadi suatu alat penting untuk pengelolaan klinis.
Contoh, darah vena serebral untuk pemantauan saturasi oksigen
umumnya diambil dari katerisasi bulbus jugularis unilateral. Tetapi,
seperti yang baru-baru ini telah ditunjukkan. dapat terjadi perbedaan
besar pada pasien yang menderita cedera kepala berat. Pengambilan
sampel darah dilakukan dengan kecepatan 2ml/menit untuk menghindari
kontaminasi dengan darah ekstraserebral .
Met/ (1998)., melakukan penelitian dengan menempatkan kateter

68
fiberoptik pada kedua vena jugularis interna dan didorong ke atas
mencapai bulbus vena jugularis interna. Contoh, darali vena jugularis
bilateral dan darali arteri diainbil sceara simultan untuk pemeriksaan
SJO2, sehingga terlihat perbedaan laktat arteri dengan laktat vena
jugularis (A.JDL — arterial minus .Jugular venous lactat difference) dan
tnodifikasi indeks laktat-oksigen (mLOl modified lactate-oxygen index).
Iskemia diperkirakan
bila satu dari keadaan patologis terjadi sedikitnya unilateral: SJ02 55%,
AJL < -0,37 mmol/lt, mLOl > 0,08. Perbedaan rata-rata dan maksimal
Sj02 bilateral bervariasi antara 1,4%-21,0% dan 8.1 % sampai 44,3%.
Gopinath (1996) menyebutkan balnva hematom intrakranial akibat
trauma yang sudah ada saat pasien masuk ke rumah sakit atau yang
berkembang selama pasien dirawat dihubungkan dengan lebih buruknya
basil pengobatan daripada cedcra difus. Ada penelitian yang melakukan
pemantauan saturasi oksigen vena jugularis (SJ02) selama operasi untuk
evakuasi lesi intrakranial akibat trauma, untuk menentukan kejadian dan
penyebab desaturasi vena jugularis dan untuk menilai penggunaan
pemantauan SJ02. Penelitian dilakukan pada 25 pasien cedera kepala
berat. Pada pennulaan operasi, median SJ()2 adalah 47% (rentang 25%-
89%). Tujuh belas pasien (63%) mempunyai SJ()2 < 50%. Lima pasien
mempunjai SJ()2 yang sangat tendah (<30%). Setelah evakuasi hematom
intrakranial, ada peningkatan yang nyata (p<0,001) dari median SJ02
menjadi 65% (rentang 50%-88%). Hipertensi intrakranial sebagai
penyebab primer rendahnya SJ02, telali dikuatkan dengan adanya respons
terbadap evakuasi bedab. Hipotensi (MAP < 80 mmllg) mcrupakan
faktor yang mendukung pada tujuh kasus desaturasi jugularis. Terapi
definitif hematom intrakranial akibat trauma adalah dengan pembedahan.
Pada periode sebelum evakuasi hematom, umumnya terjadi desaturasi
vena jugularis. Hal ini mendukung bahwa pemantauan SJ()2 mungkin
memberikan informasi yang sangat berguna tentang adekuatnya pertusi
otak.
Pcngukuran SJ02 dilakukan dengan penempatan suatu kateter
fibreoptik yang ditempatkan dengan ujung kateter ada di
bulbus jugularis pada level kraniofaeial. Kateter dimasukkan dalam
keadaan steril dengan teknik rctrograd pada sisi drainase vena jugularis
yang dominan. Pengukuran S.IO2 inenggunakan ratio antara aliran darah
otak dan CMRO2 bcrdasarkan kalkulasi dari perbedaan kandungan O2
dalam vena jugularis dan arteri (AVDO2) dari prinsip Pick (AVDO2

69
CMRO2/ aliran darah otak). Bila diperkirakan saturasi oksigen arteri.
Pa02, dan Hb konstan rasio antara aliran darah otak dan CMRO2 adalah
proporsional terhadap SJO2. Di bawah kondisi tisiologis, nilai AVDO2
adalah 5-9 vol%. Nilai SJO2 antara 55-75%. Interprctasi pengukuran data
klinis ditambahkan dengan kalkulasi cerebral lactate oxygen index
(perbedaan konsentrasi arterio jugular venous lactate dan arteriojugular
venous content). Nilai SJO2 > 75% menunjukkan hiperemia. SJO2<50%
menunjukkan peningkatan ektraksi O2 dalam keadaan hipoperfusi. Bila
SJO2 <40% mungkin ada iskemia serebral. Dalam interprctasi SJO2,
perubahan dalam Pa02. PaC'CB, pH, temperatur tubuh, Mb, tekanan
intrakranial, aktivitas neuron (misalnya adanya kejang) harus
dipertimbangkan. Faktor-faktor ini mempengaruhi interaksi antara aliran
darah otak aliran darah otak, CMRO2, dan SJO2.
Adanya iskemia serebral akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Untuk itu, adanya iskemia harus segera dideteksi dan diterapi.
Pada saat ini, selama pemberian anestesi pemantauan yang dipakai hanya
bertujuan ke sirkulasi (tekanan darah, frekuensi nadi), volume (CVP),
keadaan oksigenasi jaringan (saturasi O2), suhu, dan kadar CO2 yang
dilihat dari end-tidal CO2 (kapnogralj. Apabila semuanya menunjukkan
keadaan yang normal, diperkirakan tidak ada iskemia serebral. Akan
tetapi, pengukuran tekanan darah dan saturasi oksigen jaringan tidak
mencerminkan ada atau tidak adanya iskemia otak. Dengan adanya
pemantauan SJO2, cerebral extraction of oxygen (CEO2) atau arterial
venous oxygen difference (AVD()2) akan menolong mendeteksi adanya
iskemia otak sehingga terapi dapat segera dilakukan.

70
I >iktitip dari; Albin MS, ed. Textbook of Ncuroanesthesia with Neurosurgical and neuroscience
perspectives. New York: The McGraw-Hill; 1997

kerusakan otak iskemia hiasa terjadi pada pasien yang meninggal


akibat cedera kepala tertutup. Sampel darah vena dari bulbils vena
jugularis dengan menggunakan suatu retrograde jugular kateter dapat
digunakan untuk menentukan SJO2. Jadi katerisasi bulbus jugularis
dapat deteksi desaturasi vena serebral akibat dari penurunan
CBF/CMRO2, dengan mengukur gas darah artcri dan hematokrit
(AVDO, CMRO2/CBF). Desaturasi vena serebral tnereflcksikan
peningkatan ekstraksi atau tidak adekuatnya aliran darah untuk
kebutuhan metabolisme. Ini suatu retleksi dari global C'BF dan
desaturasi didefinisikan bila:
I idak ada desaturasi : SJO2 > 50%
Desaturasi ringan : 45% < SJOi < 50%
Desaturasi berat : SJO2 < 45%
AVDOs adalali ratio dari metabolisme serebral terhadap ( BF
dan dapat dihitung dari perbedaan anlara kandungan oksigen arteri dan
vena jugularis.
Kandungan oksigcn artcri = (lib x 1,39 x Sat CEHb) + (PaCB x 0,0031)

71
CEO2 adalah parameter lain yang telah digunakan untuk kuantitas
ratio kebutuhan/pasokan pada otak. Bila Mb stabil dan diabaikan
kontribusi dari oksigcn yang terlarut, CEO2 = SaC>2 — SJO2. Pada
keadaan tidak ada hipokscmia, SaC>2 = 1 (100%), maka CEO2 - I-SJO2.
Pada pasicn dengan kandungan Hb stabil, pcngukuran SJO2
menunjukkan perubahan dalam ratio pengaliran oksigen dengan
keperluan dan mengijinkan kuantifikasi cadangan hemodinamik sercbral.
Scbagai contoh, SJO2 yang rendah menunjukkan adanya suatu
pcningkatan ekstraksi oksigen yang merupakan tanda dini kemungkinan
iskemia. Suatu penelitian tentang eedera kepala akut. menunjukkan
bahwa monitoring SJO2 sangat berguna untuk mengidentifikasikan
gangguan oksigen otak pada pasien dengan CPP yang normal.
Pcngukuran SJO2 dan AVDO2 akan mempengaruhi cara- eara
terapi kenaikkan 1CP. Pada dewasa, monitoring AVDO2 akan mcnolong
mendeteksi adanya episode iskemia cerebral (7,5 vol%) dan hiperemia (<
5 vol%). Scbagai contoh, bila terapi ICP dengan hiperventilasi mencapai
PaCC>2 20-25 mmHg, S.IO2 < 50% menunjukkan terjadi sercbral iskemia
scbagai komplikasi terapi. Pada situasi ini, penurunan hiperventilasi akan
memperbaiki CPP dan menurunkan ICP. Gopinath dkk melaporkan
bahwa desaturasi < 50% pada eedera kepala berat dihubungkan dengan
jeleknya outcome. Tetapi ada beberapa keterbatasan monitoring SJO2
yaitu bersifat invasif dan merupakan perkiraan global dari adanya
sercbral iskemia. Jadi pada fokal iskemia mungkin saja SJCAnya normal.
Selain itu juga dipengaruhi oleh konsentrasi Hb dan anemia dapat
menimbulkan desaturasi karena keterbatasan oxygen carrying capacity.
SJO2 dapat ditentukan dengan pengambilan darah sceara
intemiten atau kontinu dengan fiberoptik oksimetri.
Episode desaturasi vena jugularis < 50% telah dilaporkan terjadi
akibat hiperventilasi, pemberian obal hipnotik, vasospasme, anemia,
hipokscmia, tekanan perfusi otak yang rendah. Penyebab desaturasi vena
jugularis terjadi pada 40% pasicn ccdera kepala saat masuk ke ICU dan
lebih lanjnt dalam 6 jam saat dirawat di ICU. Penycbab utama adalah
tekanan perfusi otak < 70 mmHg dengan tekanan intrakranial < 20
mmHg dan liipervcntilasi menekankan kebutuhan lebih besarnva
perhatian untuk rcsusitasi.
Setclah cedera kepala berat, ada hubungan bifasik antara SJO2 dan
tekanan perfusi otak. Di bawah 70 mmHg, SJO2 seeara linier
berhubungan dengan tekanan perfusi otak (p<0,000l). Di atas ambang ini

72
peningkatan tekanan perfusi otak tidak berhubungan dengan
meningkatnya SJO2 . Oleh karena itu, pcrlu mempertahankan tekanan
perfusi otak > 70mmHg pada pasien devvasa setelah cedera kepala berat,
paling tidak selama 4X jam pertama.
Desaturasi vena jugularis selama operasi bedah saraf
Pemantauan S.IO2 intraoperatif selama dipping aneurisma setelah
subarachnoid hemorrhage (S A11) menunjukkan adanya hipoperfusi
global (SJO2 < 55%, Pa()2 13-16 kPa). Hipopcrfusi tanpa adanya
hiperventilasi dikoreksi dengan meningkatkan MAP dengan pemberian
koloid atau inotropik (dopamin atau noradrenalin). Akan tetapi, dalam
beberapa kesempatan, MAP yang > 110 mmHg diperlukan untuk
memelihara SJO2 pada pasien yang pada periode prabedah menunjukkan
bukti-bukti vasospasme serebral berat.
Pemantauan serebral dilakukan untuk melihat fungsi serebral,
hemodinamik serebral dan metabolisme serebral. Fungsi serebral
dipantau dengan HRG, evoked potensial. Serebral hemodinamik dengan
MAP. tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak, transeranial doppler
(TCD), aliran darah otak global, aliran darah otak regional, aliran darah
otak fokal.
Untuk menghitung CEO2 yang merupakan selisih SaO: dengan
S.IO:, maka setelah dilakukan kanulasi bulbus vena jugularis, lain
dilakukan kanulasi artcri, yang umumnya lebih disukai dipasang di arteri
radialis. Sebelum dipasang dilakukan Allen's test tcrlebih dulu. Rumus:
CEO2 = SaCF-SJCF sedangkan AVD02 = CEO: x E34 x l ib 4 PaO; PJO:
x 0,0031. Dengan pcngambilan sampel darah, yang diperiksa dengan alat
l-STAT dengan cartridge EG 7+ dapat diperoleh data-data tersebut

73
disertai analisa gas darah lcngkap. Dengan mengambil sampcl
darah dari bulbus vena jugularis dan darah arteri dapat dihitung nilai
SJO2, CEOi dan AVDO; dal am waktu 2 menit. sehingga terapi bila ada
iskemia otak dapat segera dilakukan.
SJO, < 50%
SaOi < 95% — ya —> Korcksi hipoksemia
Tidak
PaCO-2 < 4,0 kPa — ya —> Naikkan PaC02
1
Tidak
i
I I b < 10 gr% - ya —> T ranst'usi
|
Tidak
Tckanan darah rata-rata - ya —> Naikkan tckanan
rendah darah
i
Tidak
1
Hipertensi intrakranial - ya —> Mannitol, furosemid.
propofol, pentotal.
hipoternii
(iambar 4.1 Algoritmu untuk lerapi dcsalurasi vena jugularis

Cara melakukan kanulasi Bulbus Vena Jugularis


Walaupun ada variasi yang lebar dalam pola drainasc vena dengan
aliran yang dominan pada vena jugularis kanan atau kiri, pada individu
normal SJ02 sama pada kedua bulbus jugularis. Akan tetapi, S,102
mungkin berubah pada keadaan patologi intrakranial.
Perdebatan yang lain, darah vena ekstrakranial masuk ke tempat
yang lebili tinggi dari vena jugularis interna pada sisi kanan. Oleh karena
itu, pemilihan bulbus jugularis kiri lebih akurat dalam merefleksikan
saturasi oksigen vena serebral. Waktu yang diperlukan untuk
pemasangan kateter fiberoptik bulbus jugularis sekitar 15 menit dengan
rentang 6-30 menit bergantung pada pengalaman. Gangguan pembekuan,
infeksi lokal. trauma atau setiap gangguan drainasc vena serebral
kontraindikasi untuk pemantauan SJQ2. Asalkan halangan-

74
halangan tersebut diobservasi dan sistem ini secara kontinu di
Hushing dengan 3 ml/jam 2 U/ml heparin dalam NaCI. gangguan
drainase vena serebral akibat peningkatan tekanan intrakranial dapat
diabaikan dan risiko untuk trombosis lianya di bawah 5% asalkan lama
pemantauan kurang dari 7 hari.
Pengukuran akurat dari saturasi oksigen vena memerlukan ujung
katcter yang ditempatkan di bulbus jugularis, tepat di bawah dasar
tengkorak. Pada posisi ini sekitar 3% dari jugularis bcrasal dari sumber
ekstrakranial dan risiko kontaminasi dari darah ekstraserebral sclama
pengambilan sampel darah berkurang walaupun risiko kontaminasi vena
meningkat pada keadaan aliran darah otak rendah.

Iekni knya:
1. Siapkan alat-alat: abocatb No 18, spuit 5 cc, obat anestesi lokal,
venocath No 18, larutan 500 U heparin dalam 500 cc NaCI 0,9%,
three-way stopcock. Venocath sudah disiapkan dengan melcpaskan
jarum logamnya.
2. Posisi pasien dalam posisi netral
3. Dcsinfeksi daerah yang akan ditusuk yaitu leher (lihat anatomisnya)
4. Cari dan raba arteri earotis
5. Beri anestesi lokal didaerah lateral dari artreri karotis.
6. Tusuk daerah lateral dari arteri karotis. sambil diaspirasi dengan
abocatb no 18 (ujung abocath disambungkan ke spuit 5 cc)
7. Bila sudah keiuar darah. tarik spuit dengan jarumnya, lubang abocath
tutup dengan jari
8. Masukkan venocath no 18 kearah proksimal kira-kira 10 cm atau
sampai terasa ada tahanan
9. Tarik sedikit ( ±1 mm)
I t ) . Sekarang ujung kateter ada di bulbus, three way stop cock
dipasangkan lalu aspirasi dan kemudian dorong kembali dengan
NaCl-heparin.
I 1. Fiksasi ujung kateter.
12. Untuk menganbil sampel darah: ambil darah dengan kecepatan Ice
dalam waktu 2 menit.

75
Setelah ada sampel darah I a I u diperiksa dcngan 1-STAT.

Cara memeriksa sampel darah dengan lat l-STAT dengan


memakai cartridge:
I. Persiapan:
1.1. Mclakukan pengecekan alat
1.1.1 .Masukkan clektronik simulator
1.1.2.Masukkan nomor ID (identitas operator), lain tckan “ENT”
(enter). Ulangi sekali lagi, tnnggu sampai muncul hasil
"PASS”
1.2. Cartridge dikeluarkan dari refrigerator dan dibiarkan minimal 5
menit disuhu kamar untuk semua parameter keeuali Pa02. Untuk
PaO: minimal 4 jam. Setelah cartridge dikeluarkan jangan
dimasukkan lagi kc refrigerator. Cartridge yang terdapat di suhu
kamar tahan selama 16 hari.
II. Cara Kerja
2.1. Buka pembungkus di bagian bertanda ...
2.2. Keluarkan cartridgejangan sentuh bagian atas.
2.3. Masukkan sampel sampai batas panah
2.4. Tutup, jangan menckan bagian tutup yang berwarna kuning
(daerah tengah)
2.5. Masukkan cartridge ke alat sehingga terdengar bunyi “klik”.
2.6. Masukkan nomor identitas:
Operator: maksimal 7 digit tekan enter, diulang sekali lagi.
Pasien: maksimal 12 digit -> tekan enter, ulangi sekali lagi.
2.7. Tekan"/)(/ge” untuk masuk ke hal berikutnya. Untuk cartridge
BGA akan tampil:
Pt temp (suhu pasien)
Fi02 Field I Field 2
Field 3:
Sample type :
1. art (arteri)
2. veil (vena)
3. cap (eapiler)
4. cord (darah tali pusat)
5. mix vn (mix vena)
6. CPB (cardiopulmonary bypass)

76
Masukkan data-data seperti diatas, jangan lupa setiap memasukkan
data tekan “ENT”.
Untuk Cartridge Non BGA akan tampil:
Field 1
Field 2
Field 3
Sampl
e type
Tunggu dan baca hasil kurang lebih 2 menit.
2. X.Untuk mencetak basil:
2.X. I .apabila dilayar masih tampil hasil pasien tcrakhir. langsung
tekan "PR T” (print)
2.X.2.apabila layar mati (layar akan mati secara otomatis untuk
menghcmat batere setelah kurang lebih 45 delik).
I ckan “dis” untuk menghidupkan layar
Pilih “menu” stored result--> pilih “display result” nomor posisi dari
data yang dikehendaki.
( atatan :
1. Sclama pada layar tampil kode “LC’K", cartridge maupun
elektronik simulator jangan dicabut. Pencabutan pada kondisi
“LCK” akan merusak sistim elektronik alat.
2. Jarak alat dan printer, maksimal 45 cm dengan kemiringan
maksimal 60 derajat.
3. Cartridge yang baru dikeluarkan dari refrigerator jangan langsung
dipakai. Biarkan dulu di suhu kamar.
4. Pada saat memasukkan satnpel, buang tetesan pertama dari spuit
untuk mendapatkan kondisi anacrobik dan mengeluarkan udara
supaya tidak ada gelembung dalam cartridge.

77
Anatomi

Gambar4.2 Anatomi vena jugularis interna Keterangan: 1J V


internal jugular vein. Carotid A arteri karotis, SCM
sternoclcido masloideus

tiambar-4.3 Drainasc vena kepala dan lelier

78
Gambar4.4. S.K). monitor

Monitor ICP
Pemantauan ICP bukan suatu hal yang rutin dilakukan pada
operasi otak. pemantauan ICP biasanya merupakan bagian dari
penatalaksanaan penderita cedera kepala. Pemantauan ICP saat ini
masih invasif sehingga berisiko tinggi untuk terjadi infeksi. Cara tion-
invasif masih dalam penelitian. Nilai normal ICP 5-15 inmHg. Terapi
dimulai bila ICP > 20 mmHg.
Indikasi pemantauan ICP adalah GCS 3-8 dengan C'T scan
abnonnal, atau bila CT-scan normal adalah bila ada 2 atau lebih
keadaan: umur > 40 tahun, motor posturing, dan tekanan sistolik 90
mmHg.
Dalam melakukan pengukuran ICP ada 4 tempat untuk
penempatan sensornya yaitu epidural, subdural, intraparenkim, dan
intraventrikular, dan yang paling akurat adalah intraventricular.
Epidural: Sensor tekanan/transducer ditempatkan secara
langsung kontak dengan dura. Keuntungannya parenkhim otak letap
utuh dan kejadian infeksi rendah. Akan tetapi. kerugiannya adalah ICP
terukur lebih tinggi dari sebenarnya (tekanan intraventricular) juga
pada pemantauan 24 jam hasilnya sangat bervariasi.

79
Fiberoptic device Subarachnoid
(intraparenchemal)

Figure 3-11 Ventricular, intraparenchymal. subarachnoid, and epidural


pressure monitoring systems. Systems which are fluid filled and whose fluid is
in contact with CSF often are "zeroed" following insertion by placing the
transducer at the same height <>.s the distal end of the catheter or screw The
intraparenchymal and epidural monitors often are "zeroed'' before insertion
With these latter monitors, the position ol the device that displays the pressure
readings does not affect the measurement
Subdural: Pengukuran dilakukan melalui sckrup (Richmond
screw) atau kateter yang ditempatkan dibawah dura (subdura). Cara ini
dapat merusak parenchim otak. Hasil yang didapat tidak setepat seperti
kateter intraventricular.
Intraventrikular: Pengukuran dilakukan dcngan
menempatan kateter langsung kcdalam ventrikel lateral. Cara ini
paling akurat tetapi sukar dan menimbulkan kerusakan jaringan lebih
banyak. Risiko infeksi paling tinggi, kejadian infeksi makin nyata
(walau diberi antibiotik profilaksis) bila terpasang lebih dari 3 hari.
lntraparenchymal: Fiber optic kateter ditempatkan dalam
parenkhim. Cara ini kurang lebih setara dcngan cara subdural.
Gambar 4.5 Monitor ICP
Dikutip dari: Stone DJ, el at eds. The Ncuroancsthesia Handbook; 1996

80
Ilubungan antara bcratnya hipertensi intrakranial dengan outcome yang
buruk adalah makin tinggi IC'P. makin tinggi mortalitas. I’cnelitian
Marshal et al. .1 Neurosurg 1979, menunjukkan bahwa hi la ICP < 15
mmllg maka 77% pasien mempunyai outcome yang baik, akan tetapi
bila ICP>15 mmllg outcome yang baik lianya mencapai 43%.
Penelitian yang lain (Saul TG et al. .1 Neurosurg 1982) menunjukkan
bila bila ICP<25 mmllg mortalitas 15% sedangkan bila IC’P>25
mmHg, mortalitas mencapai 69%. Pcnelitain Miller .ID. ISr. J.
Anaesth 1985 menyebutkan balivva bila ICP 0-20 mortalitas 19%. bila
ICP 21- 40 mortalitas 28%, dan bila ICP 41-80 mortalitas 79%.

Daftar Pustaka

1. Andrew P.1, Murugavel S. Deehan S. Conventional


multimodality monitoring and failure to detect ischemic
cerebral blood flow. .1. Neurosurg Anesthesiol 1996; 8(3):
220-6.
2. Avellino AM, Lam AM. Winn HR. Management of acute head
injury. Dalam: Albin MS.ed. Textbook of Neuroanesthesia
with Neurosurgical and Neuroscience Perspectives. New
York; McGraw-Hill ; 1997, I 137-75
3. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah Citra,
2 0 1 I.
4. Cruz .1, Miner ME, Allen S.I. Alves WM, Gennarelli TA.
Continuous monitoring of cerebral oxygenation in acute brain
injury: injection of mannitol during hyperventilation. .1.
Neurosurg 1990:73 : 725-30.
5. Cruz J. Miner ME, Allen SJ . Continuous monitoring on
cerebral oxygenation in acute brain injury: Assesment of
cerebral hemodynamic reserve. Neurosurgery 1991; 29: 743-
49.
6. Cruz .1. Hoffstad O.I. Jaggi JL. Cerebral lactate-oxygen index
in acute brain injury with acute anemia : Assesment of false
versus true ischemia. Crit care Med 1994; 22 (9): 1465-70.
7. Cruz .1, Zager EL. Sinson GP. Hoffstad OJ. Cerebral
extraction of oxygen, lactate production, and perfusion
pressure in

81
gunshot wound to the head: Case report. The Jour of Trauma:
Injury, Infection and Crit care 1996 ;40 (3).
8. Dearden NM .Jugular bulb oxygen saturation monitoring.
WCA Proceeding, 2000. Montreal. Canada; 2000.
9. Gopinath SP. Cormio M, Ziegler J, Raty S, Valadka A,
Robertson CS. Intraoperative jugular desaturation during
surgery for traumatic intracranial hematomas. Anesth Analg
1996;83 : 1014-21.
10. Gupta AK, Malta BP. Cerebral Oximetry. Dalam: Matta BF,
Mcnon DK, Turner JM, eds. Textbook of Neuroanaesthesia
and Critical care. 1st ed. London: Greenwich Medical Media
Ltd ; 2000,
11. Holzschuh M, Metz C, Woertgen C, Rothorl RD, Brawanski.
Brain ischemia detected by lissue-P02 measurement and the
lactate* oxygen index in head injury. Acta Neurochir 1998 ;
71 : 170-71.
12. Lam JMK, Chan MSY, Poon WS. Cerebral venous oxygen
saturation monitoring: is dominant jugular bulb cannulation
good enough '? J. Neurosurgery 1995; 10 (4): 357-64.
13. Lam AM. Neurophysiologic Monitoring. Dalam: Newfield P,
Cottrell JT, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3rd ed.
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkin; 1999.
14. Menzel M, Doppenberg EM, Zauner A, Soukup J, Reinert
MM, Bullock R. Increased inspired oxygen concentration as a
factor in improved brain tissue oxygenation and tissue lactate
levels after severe human head injury. .1 Neurosurg 1999; 91:
1-10.
15. Metz C, Holzschuh M. Bein T. Kallenbach B, Taegcr K.
Jugular bulb monitoring of cerebral oxygen metabolism in
severe head injury: Accuracy of unilateral measurement. Acta
Neurochir 1998; 71: 324-27.’
16. Sheinberg M, Kanter M.l, Robertson CS, el al. Continuous
monitoring of jugular venous oxygen saturation in head injury
patient. .1. Neurosurgery 1992; 76 : 212-17.
17. Zauner A, Doppenberg E, Woodward .1.1 . Multi-paremetric
continuous monitoring of brain metabolism and substrate
delivery in neurosurgical patients. Neurological Research
1996.

82
B AB 5
Anestesi Pada Pasien dengan Cedera
Kepala Akut

Ada tiga sasaran anesthesiologist sclain memfasilitasi dapat


dilakukan pcmbcdahan untuk niembantu ah I i bedah dalam opcrasi
bedah saraf yaitu :
mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak. mclindungi
jaringan saraf dari iskemia dan ccdera (brain protection).
mengurangi perdarahan.
Ada interaksi yang kontinyu antara CBF dengan volume darah
otak, jaringan otak dan CSF. Neuroanestetist harus selalu waspada,
bagaimana obat dan teknik anestesi mempengaruhi hal- lial tersebut
tadi. Pengendalian ICP merupakan hal yang paling penting pada tahap
permulaan operasi. sebab tekanan intrakranial menjadi sama dengan
atmosfir saat otak terbuka. Akan tctapi, bila ketika tulang kepala
terbuka, CBF meningkat akibat obat-obatan atau kesalahan teknik
anestesi, otak akan menjadi "bengkak". Otak yang bengkak
memerlukan retraksi oleh operator yang lebili kuat, meningkatkan
terjadinya iskemia dan kerusakan akibat tekanan dari retraktor scrta
meningkatkan risiko edema serebral pascabedah. Pada beberapa kasus,
otak menonjol keluar sehingga terjadi kerusakan dan sayatati oleh sisi-
sisi tulang tengkorak.
Otak yang "kempis" diperlukan pada saat operasi otak untuk
memudahkan ah I i bedah saraf bekerja dan mengurangi kerusakan
akibat trauma retraktor. Untuk mendapatkan keadaan tersebut
diperlukan teknik anestesi dan obat anestesi tcrtentu.
Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf adalah
mengatur Airway, Breathing, Circulation. Drugs, dan Environment
yang disebut sebagai ABODE neuroanestesi:
A: Airway, jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu
B: Breathing', ventilasi kendaii untuk mendapatkan
oksigenasi adekuat dan sedikit hipokarbia pada operasi tumor
otak atau normokarbi pada eedera kepala.
C: Circulation: hindari lonjakan tckanan darah karcna bisa
memperbcrat edema serebral dan kenaikan IC'P, hindari
83
faktor-faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena
serebral, target: normovolemia, normotensi, iso-osmoler, dan
normoglikemia.
D: Drugs', hindari obat-obat dan teknik anestesi yang
meningkatkan tckanan intrakranial, berikan obat yang
mempunyai efck proteksi otak.
E: Environment : snhu mild hipotermia (35°C, core
temperatur).

Prinsip-prinsip umum
Pengclolaan anestesi pada cedera kcpala, secara prinsip sama
dengan pasien-pasien peningkatan 1CP yang lain. Obat- obatan dan
teknik anestesi yang mempakan kontra indikasi pada pasien dengan
cedera kcpala berat adalah: premedikasi dengan narkotik, nafas
spontan, neurolept analgesia, ketamin, N2O bila ada aeroeele, halotan,
spinal anestesi. Hal ini karena narkotik analgesi mendepresi nafas,
ketamin meningkatkan 1CP, CMRO2 dan mempresipitasi kejang.
Keterbatasan ini bisa dipertimbangkan bila anestesi dilakukan setelah
autoregulasi kembali (ditnulai hari ke-5, dan maksimal pada hari ke-9
setelah cedera kcpala).
Pemasangan pipa nasogastrik merupakan kontra indikasi
pada:
- Pascn yang tidak sadar sebelum dilakukan intubasi karcna bisa
merangsang muntah atau regurgitasi yang bisa menimbulkan
aspirasi paru.
ICP yang tinggi karena pemasangan pipa nasogastrik bisa
menyebabkan straining dan terjadi kenaikan ICP yang lebih hebat.
- Fraktur fossa anterior.
- Basis fraktur.

84
I’rinsip dasar pengelolaan anestesi pada cedcra kepala adalah :
a) mengoptimalkan perfusi otak dcngan mniatan hemodinamik
sistemik MAP. CPP).
b) menghindari iskemia serebral dcngan mclihat DO;, PaCK, CPP,
CBF.
c) menghindari tehnik dan obat yang meningkatkan IC’P.

I'emeliliaraan Hemodinamik Sistemik


Hipotensi sistemik (tekanan sistolik < 90 mmHg sclama 30
menit) memberi outcome yang-negatif pada pasien dengan cedcra
kepala berat. Penyebab hipotensi pada umumnya banyak faktor. Anak-
anak kemungkinan bisa menderita hipotensi dan hipovolemia karena
perdarahan intrakranial atau luka pada scalp, letapi hal ini tidak
mungkin terjadi pada dewasa, dan adanya hipotensi pada dewasa hams
dicari adanya kehilangan darah ditempat lain.
Discbabkan karena pada cedcra kepala terjadi stimulasi simpatis
yang kuat. kebanyakan pasien berada dalam keadaan hipertensi dan
takikardia. Kebanyakan pasien dewasa yang hanya menderita cedcra
kepala dan terjadi kenaikkan ICP yang nyata, lerdapat hipertensi dan
bila ada kompresi batang otak terjadi bradikardi (Cushing refleks).
Disebabkan karena kenaikan tekanan darah adalah mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak. maka peningkatan
tekanan darah yang sedang (moderat) tidak pcrlu diterapi. Kenaikkan
tekanan darah yang ekstrem (mclebihi batas atas autoregulasi) harus
diterapi sebab akan meningkatkan CBV dan mungkin akan
memperbesar kenaikkan ICP. Tidak adanya hipertensi dan bradikardi
tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kompresi batang otak,
sebab adanya hipotensi sistemik akan mencegah terjadinya hipertensi
dan stimulasi simpatis akan mencegah lerjadinya bradikardi. Urine
output yang adekuat adalah indikator vang jelek untuk status volume,
terutama jika baru diberikan mannitol.
Selama cvakuasi epidural hematoma atau subdural hematoma
dengan kompresi otak yang nyata, scring terlihat adanya penurunan
tekanan darah yang tiba-tiba pada saat dekompresi.
Bila pasien hipertensi pada saat sebelum cedera, penurunan
tekanan darah mungkin akan membawa kearah level normal. Pasien
yang normotensi tapi takikardia, dan dengan hipovolemia yang

85
tersembunyi karena adanya peningkatan resistesi vaskuler sistemik,
adanya dekompresi akan menyebabkan terjadinya penurunan
tekanan darah yang tiba-tiba atau kolaps
kardiovaskuler. Bila terjadi penurunan tekanan darah yang tiba- tiba
saat dekompresi, berikan cairan, maka pada operasi kraniotomi untuk
cedera kepala hams sclalu dipasang kanula vena yang besar (minimal
noinor 16). Pemberian vasopressor, mungkin diperlukan sampai
resusitasi cairan yang adekuat dicapai.

Penteliharaan Ventilasi dun Oksigenasi yang Adekuat


Pasien dengan cedera kepala berat sering mengalami hipoksia
dan hiperkapnia, yang keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi
screbral dan kenaikkan 1CP. Walaupun ventilasi sudah dikendalikan
dan hiperkapnia dikoreksi, oksigenasi pasien masih merupakan
masalah pada pasien dengan kontusio paru, aspirasi. Neurogenic
Pulmonary Edema (NPE). Untuk terapi hipoksemia mungkin
diperlukan dengan oksigen konsentrasi tinggi dan PFFP.

Penteliharaan PerJ'usi Serebral


CBF tnenurun bila dilakukan hiperventilasi. Reaktivitas CO2
umumnya, tetapi tidak seialu, tetap dipertahankan. Pada pasien dengan
reaktivitas C02 normal dan CBF yang rendah setelah trauma,
hiperventilasi bisa menyebabkan penurunan regional CBF ke level
dibawah level yang mcnimbulkan iskemia. CPP akan diperburuk
dengan adanya hipotensi sistemik. Jadi harus sclalu diingat bahwa
hiperventilasi yang ekstrem mempunyai pengaruh buruk terhadap
pcrfusi otak. Mctode lain untuk memperbaiki CPP adalah menurunkan
ICP.

Penggunaan Obat Anestesi yang optima!


Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efcknya
pada sistim kardiovaskuler, tetapi pada pasien bcdah saraf hams
dipikirkan efcknya terhadap CBF, CBV, ICP. C’SF, autorcgulasi dsb.
Antara anestetika volatil (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan
desfluran) semuanya menurunkan tekanan darah, tetapi mckanismenya
yang berbeda. Halotan lebih bersifat depresi miokard, sedikit
menumnkan resitensi perifer, sebaliknya isofluran terutama karena

86
penurunan resistensi vaskuler sistemik. Enfluran menurunkan tekanan
darah karena depresi miokard dan menurunkan resistensi perifer. Efek
penurunan tekanan darah pada minimum alveolar concentration
(MAC) yang sama, sama antara halotan, isofluran dan enfluran dan
hanya setengahnya pada sevofluran (label 5.1).
Obat-obat yang menumnkan ICP dan CBF dari golongan obat
induksi intravena adalah yang paling menurunkan adalah pcntotal lalu
etomidat, propofol, midazolam. Jadi pilihan utama adalah pentotal.
Pelcmas otot, semuanya meningkatkan CBF, tetapi yang paling
sedikit menaikkan CBF adalah vecuronium, sehingga vecuronium
mempakan obat relaxant terpilih untuk bcdah saraf.
Obat anestesi yang tidak mempengaruhi CBF dan metabolisme
serebral mungkin menguntungkan atau memgikan pada pasien cedera
kepala. Hasil ahir bukan saja dari pengaruh obat anestesi terhadap CBF
dan metabolisme serebral, tetapi juga interaksi dengan hemodinamik
sistemik, ICP, reaktivitas CO2, produksi/absorpsi CSF dan stimulasi
bcdah.

87
Pengelolaan anestesi untiik pasien bcdah saraf bcrdasarkan pada
pengetahuan efck obat pada fisiologi SSP. Gabungan anestetika
tertentu mempunyai pengaruh pada hemodinamik serebral,
metabolisme serebral, dan tekanan intrakranial untuk mcmberikan
kondisi operasi yang baik serta meningkatkan outcome. Kebanyakan
anestetika telah diteliti dalam tujuan ini dan obat-obat bam pun
dikcmbangkan, efeknya pada fisiologi serebral telah dijelaskan.
Pengaruh anestetika terhadap volume CSF (yang ditentukan oleh
keccpatan pembentukan dan tahanan reabsorpsi) juga telah diteliti.
Beberapa pemelitian telah difokuskan pada pengaruh anestetika
pada fisiologi medula spinalis. Telah diperkirakan bahwa pengaruh
anestetika pada medula spinalis mirip efeknya pada otak, akan tetapi
untuk membuat perbandingan yang betul, peneliti harus mengukumya
secara simultan.
Anestetika intravena
Obat anestesi intravena seperti barbiturat, etomidat dan
propofol menurunkan CBF dan metabolisme serebral. Penuninan CBF
disebabkan karena penuninan CMROj, dan karena CBF menurun
maka 1CP akan menurun.
Karena penuninan CBF sekunder terhadap penuninan CMR02,
maka pada pasien tanpa metabolisme otak yang dilihat dari FEG,
maka obat ini tidak berefek pada CBF dan 1CP.

88
Lidokain mcnyebabkan penurunan CMRO2 dan CBF dan digunakan
untuk mengurangi respons kardiovaskuler terhadap luringoskopi dan
intubasi.
Ketamin scbaiknya dihindari pada pasien dengan kcnaikkan ICP.
scbab ketamin meninggikan CBF, CMRO2 dan ICP. Peningkatan CBF
disebabkan karena peningkatan tekanan darah akibat stimulasi simpatis
dan karena peningkatan PaC02 pada pasien yang bernafas sponian,
Barbiturat
Barbiturat merupakan obat ancstcsi pertama yang telah diuji
efeknya pada pcmbuluh darah otak. Tiopental menurunkan aliran darah
otak dan laju metabolisme otak/CMROi paralel dengan isoelektrik pada
EF,G. Pcrubahan CBF sekunder terhadap perubahan CMRO2 (penurunan
aliran darah bergandengan dengan penurunan metabolisme). Pada titik
terjadi isoelektrik I EG setelah pemberian tiopental, terjadi penurunan
50% metabolisme otak tanpa adanya bukti toksisitas metabolik serebral.
Bila penggunaan barbiturat ditujukan untuk proteksi otak, sering
ditujukan untuk menurunkan metabolisme otak. Penurunan MAP akibat
pemberian dosis tinggi tiopental yang dibutuhkan untuk burst supresi
EEG mungkin mcmerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan
pert'usi otak (cerebral perfusion pressure/CW) yang merupakan
perbedaan antara MAP dan ICP (CPP MAP-ICP). Tiopental. kccuali
dalam dosis besar. tidak mengganggu autoregulasi dan reaktivitas CO2
serebral. Dosis kecil tiopental tidak mempengaruhi kecepatan
pembentukan CSF (Vt) serta tidak ada perubahan atari peningkatan pada
rcsistensi absorpsi (Ra). Hal in akan memprediksi tidak ada perubahan
atau peningkatan pada ICP. Dosis tinggi tiopental mcnyebabkan
penurunan Vj dan tidak ada perubahan atau penurunan pada Ra dengan
prediksi penurunan ICP.
Sebagai akibat dari penurunan CBF dan C'BV, barbiturat
menurunkan ICP. Barbiturat digunakan di klinik untuk tujuan ini dan
efektif bila cara lain untuk menurunkan ICP telah gagal. Barbiturat
menurunkan spinal cord blood /low (SCBF). Autoregulasi pada SCBF
tetap intact dengan anestesi barbiturat

89
Etomidat
Etomidat, sama halnya scpcrti barbiturat, menurunkan CBF dan
CMROi. EEC! yang isoclektrik dapat dicapai dengan etomidat dan
sama scpcrti hanya tiopental, tidak ada bukti adanya

90
toksisitas serebral dcngan metabolit otak yang normal. Tidak ada
penurunan lebih besar dari CMRO2 setelah burst supresi F.FG tercapai.
Mioklonus akibat etomidat mempunyai kerugian dcngan kesalahan
intcrprctasi dcngan kejang pada pasicn bedah saraf. Pcmakaian
etomidat yang lama dapat menekan respons adrenocortical tcrhadap
stres. Tetapi, hal ini bukan menjadi masalah pada pasicn tumor
intrakranial karctia pasien ini sering mcnerima kortikosteroid—
Kecilnya dcprcsi kardiovaskuler olch etomidat dibandingkan dcngan
tiopental menyebabkan obat ini menguntungkan untuk induksi anestesi
pasien trauma.
Reaktivitas tcrhadap CC>> tetap dipertahankan dengan etomidat.
Pengaruh etomidat terhadap autoregulasi belum pernab dievaluasi. Dosis
kccil etomidat tidak menimbulkan perubahan pada V ( dan Ra dan ICP.
Dosis tinggi etomidat menyebabkan penurunan dalam Vt- dan tidak
perubahan atau penurunan Ra dcngan prediksi penurunan ICP. Etomidat
dapat menurunkan ICP tanpa menurunkan CPP dan dcngan tujuan
tersebut etomidat tclah digunakan di klinik pada pasicn bedah saraf.

Propofol
Propofol menurunkan CBF dan CM RCA sesuai dcngan dosisnya.
Pada pasien bedah saraf yang hipovolemi, bila mendapat dosis besar
propofol, dapat terjadi penurunan tekanan arteri rcrata. Karcna itu
sebclum induksi dcngan propofol, volume intravaskuler hams dipulihkan
atau dipakai obat induksi yang lain. Infus kontinu propofol dapat
digunakan intraoperatif sebagai bagian dari teknik TIVA. Kombinasi
propofol dan narkotik (misalnya rcmifentanil) temtama digunakan bila
bila tidak dilakukan monitoring evok potensial. Propofol juga digunakan
sebagai sedasi pada awake craniotomi dan sebagai substitusi ancstctika
inhalasi pada akhir anestesi umum untuk mempercepat bangun dari
anestesi.
Autoregulasi dan respons terhadap CO2 tetap dipertahankan
selama pemberian propofol. Pada dinamika CSF tidak ada perubahan
pada Vt atau Ra dengan efck pada ICP yang tidak dapat di prediksi.
Propofol menurunkan ICP. Disebabkan karena menurunkan MAP,
efeknya pada CPP hams betul-bctul dipantau. Efek
propofol dalam menurunkan ICP menyebabkan propofol digunakan di
ICU untuk sedasi pasien dengan kenaikan ICP. Propofol mempunyai
kcuntungan pasien ccpat bangun sehingga niemungkinkan dilakukan
evaluasi neurologis. Di kamar bedah, sedasi sedang dengan propofol
tidak meningkatkan ICP dibandingkan dengan tanpa sedasi pada pasien

91
dengan biopsi stereotaktik untuk tumor otak. Selama kraniotomi untuk
reseksi tumor otak, ICP lebih rendah pada pasien yang menerima
propofol-fentanyl dibandingkan dengan pasien yang dianestesi dengan
isofluran-fentanyl atau sevofluran fentanyl. Efek anti nausea propofol
juga menguntungkan pada pasien bedah saraf sebab banyak diantaranya
yang diberikan dosis narkotik yang sedang sampai dosis besar, yang
dihubungkan dengan tingginya kejadian mual-muntah. Hal ini akan
berbahaya karena nausea menimbulkan retching dan muntah yang dapat
meningkatkan ICP.
Pengaruh pada metabolisme medula spinalis adalah menurunkan
metabolisme medula spinalis lokal pada substansia alba dan substansia
grisea seperti yang ditunjukkan dengan pengurangan pemakaian glukosa.
N a r ko t i k
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan secara akurat
karena laporan penelitian ckspcrimental yang bertentangan. Dosis kecil
narkotik mempunyai efek kecil pada CBF dan CMROi, sedangkan dosis
besar secara progresif menurunkan CBF dan CMRCE. Autorcgulasi dan
reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan.
Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF dan CMRO2,
tetapi opioid sintetis termasuk fentanyl, sufentanil dan alfentanil dapat
menyebabkan kenaikkan ICP pada pasen tumor otak dan cedera kepala.
Pengaruh pada dinamika C'SF terlihat pada tabel dibawah ini:

Pada dosis kecil. fentanyl, allentanil, dan sufentanil


92
menyebabkan tidak ada perubahan pada Vr dan ada penurunan pada Ra
dengan prediksi terjadi penurunan ICP. Pada dosis tinggi, Icntanyl
menurunkan Vr, tidak ada perubahan atau ada peningkatan dari R;,
dengan prediksi akan menurunkan ICP atau efeknya pada ICP tidak
menentu. Pada dosis besar, alfentanil lidak menimbulkan perubahan
pada Vf dan Ra dengan efek pada ICP yang tidak dapat diprediksi.
Dosis besar sufentanil tidak menimbulkan perubahan pada V, dan tidak
ada perubahan atau peningkatan pada R„. dan diprediksi pengaruhnya
pada ICP tidak berubah atau meningkat.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak menimbulkan
perubahan atau sedikit menurunkan ICP. Akan tetapi. pada keadaan
tertentu narkotik dapat meningkatkan ICP. misalnya pemberian bolus
sufentanil dapat menimbulkan peningkatan ICP yang selintas tapi
besar pada pasien dengan eedcra kepala berat. Dcmikian juga,
pemberian bolus sufentanil dan alfentanil meningkatan tekanan CSF
pada pasien dengan tumor supratentorial, hal ini karena autoregulasi
yang menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serebral akibat
penurunan MAP. Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien bedah saraf,
harus

93
diberikan dengan syarat jangan terjadi penurunan tekanan darah yang
tiba-tiba.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara titrasi,
mempunyai efek yang kecil pada CBF dan ICP. Bila diberikan dengan
dosis besar untiik mc-reverse efek narkotik, pemberian naloxon dapat
menimbulkan bipertensi, aritmia jantung, dan perdaralian intrakranial.
Kota mi n
Ketamin meningkatkan CBF dan CMROi. Mekanisme
peningkatan CBF adalah karena 1) depresi nafas dengan hiperkapnia
ringan pada pasien yang bernafas spontan, 2) neuroeksitasi regional
dengan peningkatan metabolisme otak, 3) vasodilatasi serebral direk
seperti yang ditunjukkan adanya peningkatan CBF pada pasien yang
normokapni dan tanpa adanya perubahan metabolisme otak. Ketamin
tidak mempengaruhi autoregulasi dan reaktivitas terhadap C02. Pada
dinamika CSF, ketamin meningkatkan R;„ tidak ada perubahan pada V(,
dan diprediksi meningkatkan ICP.
Selama nafas spontan, ketamin menimbulkan peningkatan I’aCOi
dan ICP baik ada peningkatan atau tidak ada peningkatan ICP
sebelumnya. Peningkatan ICP dapat terjadi pada normovcntilasi.
Yang menarik, ketamin adalah non-competitive NMDA
antagonis. Pada model hewan coba dengan iskemia serebral ineomplit,
ketamin menunjukkan pengurangan ukuran infark otak. Tapi, pada
praktek klinik, penggunaan ketamin dihindari pada pasien bedah saraf
terutama yang mempunyai lesi massa dan berpotensi meningkatkan ICP.
Benzodiazepin
Benzodiazepin, termasuk diazepam, midazolam, dan lorazepam
menyebabkan sedikit penurunan pada CBF dan CMRO: baik pada dosis
kecil atau besar. Ceiling efek terlihat pada parameter ini. Sama seperti
halnya barbiturat, penurunan CBF akibat benzodiazepin adalah akibat
sekunder dari penurunan CMROi. Benzodiazepin dikenal sebagai
antikonvulsant dan digunakan di klinik untuk tujuan ini. CBF dan
autoregulasi tetap tlipertahankan dcngan benzodiazepin. Midazolam
tidak mcniinbulkan perubahan pada Vt- pada dosis rcndah dan ponurubab
V, pada dosis besar. Ra tidak berubah atau meningkat. Sedikit pcngaruh
benzodiazepin pada ICP. tidak berubah atau sedikit menurunkan ICP.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada neuroanestesi,
dengan sedikit dosis titrasi mtravena, dan sebagai ajuvant. Hindari
pcmberian dengan dosis besar. disebabkan karena potensial sedasi yang
berkepanjangan. I umazenil suatu antagonis benzodiazepin mcningkatkan
94
C’BF dan ICP bila digunakan dalam dosis besar untuk melawan efek
sedasi midazolam. Flumazenil dapat mcmpresipitasi timbulnya kejang.
Anestetika Inhalasi
Umumnya bersifat vasodilator. Halotan menycbabkan serebral
vasodilatasi sccara konsisten dan scbaiknya dihindari pada pasien dengan
kenaikkan ICP. Sebaliknya, isofluran, tidak menaikkan ICP pada 1,0 dan
1,5 MAC, walaupun pada C'BV tidak jelas. Obat yang barn yaitu
sevofluran mempunyai efek yang sama seperti isofluran dengan
pcrbedaan sevofluran tidak menycbabkan takikardia.
Reaktivitas C()2 tetap dipertahankan dengan isofluran dan
sevofluran. Efek obat terhadap CBF dan ICP terlihat pada tabel dibawah
ini :
Xitroits Oxide (N20)
• 60% N20 mcningkatkan CBF + 100%, mcningkatkan
CMROi + 20%. Peningkatan CBF dapat dikurangi olch barbiturat
(Pcntotal), opioid dan hipokapni.
• Efek pada CBV dan ICP Icbili lernah dibandingkan dengan halotan
karena mudah dilawan dengan hipokarbi dan vasokonstriksi
(barbiturat).
• Hindari pemakainya bila ada aerocele atau sampai 5 hari setelah
pneumoencelo-phalografl. atau bila ada risiko emboli udara.
• Kejadian emesis oleh N20 bisa mencapai 90%.
Dengan alasan-alasan di atas penggunaan N20 harus betul-betul
diperhitungkan untung ruginya.
N2O menyebabkan peningkatan CBF. Tidak mempengaruhi reaktivitas
tcrhadap C02. N^O dapat meningkatkan ICP pada pasien yang
mcmpunyai Icssi massa intraserebral.

95
Halotan
• Paling sedikit menunmkan CMRO2
• CBF meningkat 3 kali Icbib besar daripada yang diakibatkan oleh
isofluran.
1 Bila halotan ditambah N2O, maka CBF meningkat 300%.
• Pada umumnya peningkatan ICP oleh anestetika inhalasi dapat
dikurangi dengan hipcrventilasi, tetapi dengan halotan peningkatan
ICP tetap terjadi walaupun sudah hipokarbi.

96
• Autoregulasi liilang pada > I MAC' dan menetap sampai periode
pascabcdah.
• Produksi CSF menurun, absorpsinya juga menurun, tetapi ini tidak
sebanding karena resistensi tcrhadap absorpsi meningkat sehingga
sebagai basil ahir jumlah CSF meningkat.
• Sawar darah otak dan Blood-CSF-Barriere rusak. Akan
meningkatkan air dalam otak, meningkatkan permeabilitas BBB dan
memperburuk edema.
• Pada konsentrasi halotan 2%, mitokhondria rusak. Halotan
mensensitasi miokardium tcrhadap aritmia oleh adanya katekholamin
padahal pada paseb trauma kadar katekholamin meningkat. Hal ini
merupakari salali satu alasan kenapa halotan kontra indikasi absolut
pada cedera kepala berat.
• Obat ini tidak dianjurkan pada bedah saraf.

I ntluran
• Dapat mcnimbulkan kejang REG pada dosis modcrat (1,5-2 MAC)
terutama bila ada hipokapnia, adanya kejang ini meningkatkan
CMRO2 beberapa ratus persen dan akan meningkatkan C’BF.
• CMRO2 menurun. Efek anestetika inhlasi untuk menurunkan
C'MROa adalah: halotan < cnfluran < isofluran/sevofluran.
• Produksi CSF meningkat sedangkan absorpsinya menurun, sehingga
untuk operasi yang lama jumlah CSF akan meningkat.
• Proteksi serebral iskemia tengah-tengah, lebih baik daripada halotan
tetapi lebih kurang dari isofluran.
• Autoregulasi hilang pada I MAC
• Obat ini tidak dianjurkan dalam bedah saraf.

Isofluran
• Dahulu isofluran merupakan obat anestetika inhalasi tcrbaik untuk
bedah saraf. Menurunkan CMR()2 sampai 50%, sehingga mempunyai
efek proteksi otak. Tetapi untuk iskemia regional lebih bagus
pentotal.
• Pada konsentrasi 0,5% CBF akan mcnurun dan baru meningkat pada
konsentrasi 0,95%, tctapi peningkatan ICP oleh isofluran 1% ini
mudah dilawan dengan hipokapnia atau barbiturat, maka selama
dilakukan hiperventilasi kenaikan ICP akan bisa dicegah.
Autoregulasi tetap baik sampai 1,5 MAC dan respons terhadap CO2
letap baik sampai 2,8 MAC. Produksi CSF tidak berubah, tetapi
97
absorpsinya meningkat, sehingga jumlah total CSF akan berkurang.
Peningkatan ICP karena isofluran akan berahir 30menit setelah obat
ancstcsi dihentikan, sedangkan akibat halotan atau enfluran akan
berakhir 3 jam setelah obat dihentikan.

Desfluran
Desfluran, walaupun mempunyai koefisien partisi yang lebih rendah,
yang berarti uptake dan eliminasi cepat, tetapi mempunyai banyak
keterbatasan. Desfluran tidak dianjurkan untuk induksi inhalasi, anak <
12 tahun. vvanita bamil serta kasus bedah saraf (kecuali di USA. dipakai
untuk bedali saraf, tetapi dosis <0,8 MAC).

Bagaimana Sevofluran untuk anestesi bedah saraf?


Sevofluran adalah suatu anestetika inhalasi derivat
methylisopropylethcr dengan koefisien partisi yang rendah (0,63).
Sevofluran mcmberikan induksi inhalasi yang cepat, lanear, tanpa iritasi
saluran nafas sehingga hampir tidak ada kejadian batuk, menaban nafas,
spasme laring pada saat induksi inhalasi dengan sevofluran konsentrasi
tinggi (8%). Dengan kelarutan yang rendah maka uptake dan eliminasi
cepat serta mudah mengatur kedalaman anestesi.
Sejak diperkenalkannya Sevofluran, telah diketahui bahwa
Sevofluran mempunyai gambaran yang menguntungkan untuk
neuroanestesi. Sebagai contohnya, lebih eepatnya pemulihan dari
Sevofluran dibandingkan dengan isofluran, akan mcmpereepat evaluasi
neurologis pascabedah. Sif'at ini menyebabkan sevolluran merupakan
obat terpilih untuk bedah saraf. Akan tetapi, semua anestetika inhalasi
bersifat vasodilatasi sercbral sehingga kemungkinan akan meningkatkan
CBF, CBV, dan ICP. Tetapi pada pcnelitian-penelitian terbukti cfek
vasodilator serebral sevofluran lebili kecil daripada isofluran dan halotan
sehingga sevofluran lebih dianjurkan untuk operasi bedah saraf.
Pcnelitian-penelitian menunjukan bahwa efek sevofluran pada sirkulasi
serebral adalah minimal dan lebih kecil daripada isofluran. Juga
sevofluran mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
T1VA.
Pcnelitian-penelitian tentang efek sevofluran pada pembuluh
darah serebral telah ditekankan pada cfeknya terhadap reaktivitas CO;,
autoregulasi serebral. diameter pembuluh darah, metabolisme serebral
dan alirdn darah otak. Kemampuan pembuluh darah otak untuk bereaksi
terhadap perubahan PaCO; penting untuk neuroanestesi yang aman.
Relleks terhadap CO; ini tetap dipertahankan pada dosis sevofluran

98
sampai 1,3 MAC.
Hal yang sama, autoregulasi selama anestesi dengan sevofluran
tetap dipertahankan sampai 1,5 MAC dengan metode yang menilai
dinamika autoregulasi. Sebaliknya. 1,5 MAC isofluran menghilangkan
autoregulasi serebral. Salah satu alasan penting untuk perbedaan ini
adalah penurunan efek dilatasi dari sevofluran (sedikitnya 75%)
dibandingkan dengan isofluran pada pembuluh darah serebral.
Efek keseluruhan sevofluran pada metabolisme dan aliran darah
serebral bergantung pada keseimbangan vasokontriksi yang sekunder
terhadap penurunan metabolisme dan efek vasodilatasi direk dari obat.
Kcbanyakan penelitian pada manusia menunjukkan suatu efek bersamaan
dari penurunan utilisasi oksigen serebral dan aliran darah sampai 40%
pada dosis I MAC. Sedikit. peningkatan ICP yang tidak signifikan
terlihat dengan sevofluran dan isofluran, tetapi C'PP dipertahankan lebih
baik dengan sevofluran.
Stabilitas CBF seeara empiris bernilai khusus jika kondisi
pembuluh darah otak tidak diketaluii. CBF stabil bila sevofluran
didahuiui dengan pemberian obat anestesi intravena. Sebaliknya.
destluran menyebabkan peningkatan CBF yang nyata, mungkin sekunder
terhadap suatu peningkatan tekanan darah sistemik dan vasodilatasi
serebral. Lagipula, CBF stabil selama induksi anestesi dengan
sevofluran. tetapi induksi intravena dengan

99
propofol dapat menurunkan CBF. Signifikansi pcnurunan CBF pada
pasien dcngan penyakit serebrovaskuler tidak jelas. Dapat dibuktikan
bahwa sirkidasi sistemik dan serebral. menjadi Icbih stabil pada induksi
inhalasi dengan sevofluran.
Suatu penelitian multisenter yang besar, yang membandingkan
sevofluran dengan propofol untuk anestesi pada radiologi, menunjukkan
bahwa pemulihan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan
propofol. Juga biaya jauh lebih murah dengan sevofluran daripada
dengan propofol.
Anestetika Intravena (Propofol) atau Anestetika Volatil
(Sevofluran)?
Bagaimana kalau sevofluran yang merupakan obat anestesi
inhalasi yang ideal untuk bedah saraf kita bandingkan dengan propofol ?
Secara invitro, propofol mempunyai efek dilatasi pembuluh darah
serebral, tetapi invivo propofol menyebabkan vasokontriksi serebral,
yang diperkirakan karena mengurangi C’MR maka akan mengurangi
CBF. Tetapi CBF menurun lebih kuat dari pada pcnurunan metabolisme
otak dan keadaan ini menyokong bahwa propofol mempunyai efek
vasokontriksi langsung. Selama anestesi dengan propofol, pembuluh
darah tetap reaktif terhadap perubahan CO2 dan perubahan pada tekanan
perfusi otak, tapi responnya kecil.
Umumnya anestetika volatil menyebabkan dilatasi pembuluh
darah serebral. Efek keseluruhan pada CBF bergantung dari
keseimbangan efek vasodilatasi langsung dan efek tidak langsung pada
penurunan metabolisme dan flow- metabolism yang menimbulkan
terjadinya vasokontriksi. Pada pasien tanpa penyakit intrakranial, respons
autoregulasi pada peningkatan tekanan arteri rerata dipertahankan intact
selama pemberian Sevofluran 0,5 dan 1,5 MAC. Peneinuan ini kontras
dengan gangguan autoregulasi dengan 1,5 MAC desfluran atau isofluran.
Perbedaan efek serebrovaskuler dari obat-obatan ini mungkin disebabkan
sevofluran kurang dalam hal efek direk serebral vasodilatasinya, dan
pembuluh darah serebral tetap mampu untuk menjawab terhadap
perubahan tekanan perfusi otak. Kecepatan respon CBF terhadap CO2
juga tetap
dipcrtahankan selama pcmbcrian sevofluran dengan konsentrasi end-
ekspirasi l%dan 1,5%.
Walaupun ef'ck ancstctika dihubungkan dengan efeknya pada
CBF, dalani kenyataannya volume darah serebral adalah suatu faktor
penting yang mempengaruhi tekanan intrakranil dan volume otak. Pada
tikus, perbedaan dalam volume darah otak oleh isofluran dibandingkan
dengan propofcjl atau pentobarbital tcmyata lebih sedikit daripada
100
perbedaannya dalam pengaruhnya terhadap CBF. CBF tidak adekuat
dalam memprediksi efek pada volume otak dan ICP, dan perbedaan
dalam perubahan CBF yang disebabkan karena obat ancstctika
mungkin hanya mempunyai relevansi yang terbatas pada anestesi
klinik.

l abel 5.7 Efek Proteksi Otak Anestetika


Agent Protects Delay Reduce I mprove Reduce
physiologic hypoxic Na+ in ATP Ca++ in
response depolarization
Pen total Ya Ya Ya Ya Ya
Midazolam Ya - - Ya Ya
Propofol Tidak Tidak Ya Ya Ya
Ftomidat Tidak -
Tidak Tidak -

Lidokuin Ya Ya Ya Ya Ya
N;() 50% Tidak - Tidak Tidak Tidak
I so II ura n Tidak Tidak Ya Ya Tidak
2%
Sevolluran Ya Ya Ya Ya Ya
4%
Desfluran
ya ya ya ya Ya
6%
Kelcrangan: - holum ada penclitiannya
Dikutip dan: Cottrell & Young Neuroanesthesia. 2010

Terapi Cairan
Tujuan pcmbcrian cairan pada pasien bedali saraf adalah
normovolemia, isoosmoler. normoglikemia. Penderita dengan cedera
kcpala biasanya mengalami trauma ganda sehingga banyak mengalami
perdarahan sebelum datang ke kamar bedali. Bila tidak ada trauma
jantung. tamponade jantung, disfungsi jantung, tension pneumothoraks,
hipotensi pada cedera kepala
umumnya karena hipovolemia, sehingga tindakannya adalah pemberian
cairan dcngan mempertiinbangkan pengaruh cairan pada hemodinamik
intrakranial dan ICP.
Cairan yang pertama kali dibcrikan adalah kristaloid isotonis
(NaCI 0,9%), hindari pemakaian RL yang bcrlcbihan karena RL bersifat
hipoosmoler (osmolaritas RL 273 mOsm/lt, sedangkan NaCI 308
mOsm/lt, osmolaritas serum normal 290 mOsm/lt). Untuk resusitasi
cairan yang ccpat dapat diberikan koloid atau darah. Bila terdapat
hipovolemia dan terdapat hipertensi intrakranial dan tidak tersedia
kristaloid yang banyak dapat diberi NaCL hipertonis. Koloid lebih efektif
101
dalam mempertahankan volume intravaskuler datipada kristaloid. Bila
diberikan I liter NaCI isotonis akan meningkatkan 200 ml volume
intravaskuler, 1 liter albumin 5% akan meningkatkan 500 ml volume
intravaskuler dan I liter hetastarch akan meningkatkan 750 ml volume
intravaskuler. Konsckwensinya untuk mencapai pcningkatan volume
yang sama, jumlah kristaloid diberikan 3 kali jumlah koloid. Hetastarch
dalam jumlah besar beretek buruk pada proses koagulasi dcngan
mempengaruhi fungsi faktor VIII, maka pemberiannya jangan mclcbihi
20 ml/kg/liari. Dextran mempengaruhi fungsi platelet.
Berapa banyak cairan diberikan? Pasien bedah saraf harus
dipertahankan dry untuk mencegah eksaserbasi edema serebri. Tetapi
mempertahan pasien dalam keadaan dry dapat mempcrbcsar kcrusakan
serebral bila CPP tidak adekuat. Otak sensitif terhadap sekundcr injuri
seperti hipotensi, hipoksemi dan iskemia. Tidak tepat menghindari
pemberian cairan karena takut akan memperburuk edema serebri, tetapi
jangan ada overhidrasi. Jadi targetnya adalah normovolemia.
Pengelolaan Anestesi
Sasaran utama pengelolaan anestesi adalah a) perfusi dan oksigenasi otak
yang optimal, b) hindari cedera sckunder, 3) berikan kondisi bedah yang
adekuat. Dianjurkan dcngan teknik anestesi umum untuk dapat
mengontrol fungsi respirasi dan sirkulasi.

102
a. Premedikasi:
Pasicn cedera kepala tidak memerlukan premedikasi untuk tujuan
scdasi. Tidak diinginkan adanya efek peningkatan PaC02, dan diperlukan
kontrol ventilasi bila dibcrikan obat yang berefek menekan respirasi.
Glyeopyrrolate ( 0,2 mg i.v. ) diberikan untuk anti sekresi, lebih disukai
daripada Sulfas Atropin karena kerjanya yang lebih lama dan sedikit
pengart^hnya pada jantung.

h. Monitoring
Monitoring standar termasuk denyut jantung, dan irama (EKG),
tekanan darah noninvasif dan invasif, pulse oksimetri, end-tidal CO?,
suhu tubuh. diuresis, C'VP, dan blokade neuromuskuler. Gas darah arteri,
hematokrit, elektrolit. glukosa, osmolaritas serum harus diperiksa secara
periodik.
Monitoring emboli udara dengan Dopier harus dipertimbangkan
untuk operasi didaerah diatas level jantung.
Monitoring otak dengan elektroencephalogram, evoked potensial,
SJ02. Transcranial dopier (TCD), brain tissue PO? (tbPO?) dan 1CP.
SJO? memberikan informasi kontinu tentang balans antara pasokan
oksigen otak global dengan kebutuhan. SJ02 < 50% lebih dari 15 mcnit
merupakan tanda dari prognosis yang buruk dan soring dihubungkan
dengan outcome neurologik yang buruk. Penurunan SJO? dapat
disebabkan karena hiperventilasi eksesif, penurunan C’PP, vasospasme
setebral. atau kombinasi. Pcnyebab utama dari penurunan SJO? dan
terapinya terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabcl 5.S Penyehah utama penurunan SJO> dan Terapinya
Pcnyebab Kondisi Klinis Terapi
Pat);! I lipoksemia Korcksi hipoksemia
Anemia Transfusi darah
CBF| I lipotensi Infos cairan. inotropik dan vasopresor
I lipcrventilasi Korcksi PaCO?
llipertensi intrakranial
Mannitol, furosemid, barbiturat, propofol
( vmo;t l lipcrtcmiia Dinginkan
Seizure Barbiturat. propofol
Flow velocity dari arteri basal is yang diuknr dcngan TC’D
menolong dalam mcnilai keadaan status sirkulasi serebral. Akan tctapi,
tidak memberikan nilai absolut untuk CBF. Nilai normal tinggi
menunjukkan hiperemia atau vasospasme. Gclombang TCD dapat
membedakan dua keadaan ini. Kerugian teknik ini adalah bahwa
pcmasangan probe Dopier tidak selalu memungkinkan dilakukan selama

103
tindakan pembedahan.
Nears- infrared spectroscopy (NIRS) baru-baru ini tersedia untuk
praktek klinis, memberikan inlormasi relatif tentang status perubahan
oxy dan deoxyhemoglobin dan sitokhrom oksidase redoks pada jaringan
otak.
Hubungan antara beratnya peningkatan ICP dan buruknya
outcome telah diketahui dengan baik. Monitoring ICP berguna bukan saja
untuk panduan terapi. tapi juga untuk menilai respons terhadap terapi dan
menentukan prognosis.
Probe untuk menentukan btPOi telah tersedia. btPCB < 10 mmHg
diperkirakan membawa risiko cedera hipoksia. Kerugian btPO: adalah
kenyataan bahwa a) hanya memberikan pemantauan fokal, b) tidak dapat
digunakan pada lapangan operasi selama pembedahan, 3) mempunyai
ambang kritis yang belum ditentukan.
c. Induksi Anestesi
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala berat telah diintubasi di
triase unit gawat darurat atau untuk pemeriksaan CT-scan. Pasien yang
datang ke kamar operasi tanpa intubasi diterapi dengan segera oksigenasi
dan jaminan jalan nafas bebas. Ah I i anestesi harus waspada bahwa
pasien ini dengan iambung penuh, penurunan volume intravaskuler, dan
kemungkinan cedera cervikal. Dianjurkan pcmasangan tekanan darah
invasil' dengan kanulasi arteri pada arteri rad ia I is atau dorsalis pedis.
Dianjurkan beberapa teknik induksi anestesi, akan tetapi, keadaan umum
pasien dan stabilitas hemodinamik akan menentukan pilihan kita.
Rapid sequence induction (RSI) mungkin desirable pada pasien
dengan hemodinamik stabil, walaupun cara ini akan menaikkan tekanan
darah dan ICP. Selama pemberian oksigen 100%, berikan dosis induksi
tiopental 3-4 mg/kg atau propofol 1- 2 mg/kg dan succinylcholin 1,5
mg/kg kemudian dilakukan intubasi. Etomidat 0.2-0,3 mg/kg diberikan
pada pasien yang status sirkulasi tidak stabil. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dosis obat induksi diturunkan atau even
omitted. Akan tetapi, depresi kardiovaskuler selalu menjadi
pertimbangan tcrutama pada pasien hipovolemik.
Suecinylcholin meningkatkan ICP. Pemberian dosis kceil non
depol dapat mencegah peningkatan ini, tapi tidak dapat diprediksi.
Suecinylcholin tetap mcrupaka pilihan yang baik untuk memfasilitasi
laringoskoipi yang eepat dan mejamin jalan nafas. Rocuronium 0,6-1
mg/kg merupakan alternatif yang baik disebabkan onsetnya yang eepat
dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan lambung tidak penuh, anestesi dapat
104
diinduksi dengan mentitrasi pemberian penlotal atau propofol untuk
meminimalkan ketidakstabilan sirkulasi. Dosis intubasi pelumpuh otot
non depol diberikan dengan atau tanpa priming untuk memfasiltasi
intubasi, misalnya dengan rocuronium 0.6-1 mg/kg, mengijinkan kondisi
intubasi dalam 60-90 detik. Fentanyl l-4ug/kg intravena diberikan untk
menumpulkan respons hemodinamik terhadap laringoskopi-intubasi.
Lidokain 1,5 mg/kg diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat
mencegah kenaikan ICP.
Pasang pipa oraogastrik yang besar setelah intubasi dan aspirasi isi
lambung kemudian biarkan mengalir secara pasif selama operasi. Jangan
dipasang pipa nasogastrik disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis
cranii.
Induksi anestesi yang ideal adalah menghindari kenaikan tekanan
darah atau kenaikan ICP. Pada waktu persiapan anestesi, semua tindakan
yang menimbulkan sakit harus dikurangi (misalnya: pengisapan pipa
endotrakhea, manipulasi daerah trauma). Batuk, mengejan (straining),
merejan (bucking), harus dihindari, karena dapat memperbesar keadaan
hypersympathetic dan menyebabkan kenaikan tekanan darah,
pembengkakan otak, kenaikan ICP dan menambah risiko terjadinya
herniasi.
Posisi kepala pada posisi supine netral dan menghindari setiap
posisi yang membatasi venous return (seperti flexi kepala yang ekstrim
atau rotasi kepala) menolong mencegah penurunan

105
CPP, sebab efck dari peninggian atau penurunan kepala tidak dapat
diperkirakan.
Sebelum induksi dimulai, beri O2 100% untuk mcncapai Saturasi
O2 100%. Pentotal merupakan obat induksi pilihan, karena mampu
menurunkan CBF dan ICP. Lidokain (1,5 mg/kg) diberikan 1-3 menit
sebelum intubasi untuk menccgah kenaikan tekanan darah dan ICP.
Narkotik bisa diberikan untuk mendapatkan intubasi yang lancar, dan
diberikan sebelum pemberian tiopental, sehingga kardiovaskuler stabil.
Fentanyl 1-4 p.g/kg diberikan 3-4 menit sebelum laringoskopi. Bila ada
kenaikan ICP, morfin, sufentanyl, alfentanyl kurang disukai daripada
fentanyl, sebab yang disebut lebih dahulu menyebabkan
cerebrovasodilatasi. Ketamine relatif kontra indikasi sebab ada tendensi
meningkatkan CBF dan ICP dan tidak dapat menurunkan CMR02.
Vecuronium dan rocuronium merupakan relaxant pilihan
disebabkan karena kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP minimal.
Kombinasi fentanyl dan vecuronium dapat menyebabkan bradikardi.
Dahulu digunakan pancuronium karena kemampuannya untuk
mempertahankan CPP, mcngimbangi efek deprcsant oleh tiopental, tetapi
pada pasien dengan kelainan intrakranial dan ada gangguan autoregulasi,
mungkin terjadi peningkatan CBF dan ICP yang besar mengikuti efek
hipertensi dari pancuronium. Obat-obat yang melcpaskan histamin
seperti curare, metoeurine, dan dosis besar atracurium bila mungkin
dihindari. Atracurium mempunyai metabolit yang disebut laudanosin,
yang menembus blood-brain barier dan dapat menimbulkan kejang-
kejang pada binatang percobaan.
Penggunaan succinylcholin masih kontroversial. Telah diketahui
bahvva succinylcholin menyebabkan peningkatan aktivitas muscle
spindle yang mengakibatkan adanya peningkatan input cerebral afferent.
Meninggikan CBF dan ICP. Juga telah dilaporkan adanya hiperkalemia
pada penggunaan Succinylcholin pada pasien cedera kepala maka
succinylcholine jangan diberikan pada cedera kepala 6-12 jam setelah
cedera.
c. Rumatan Anestesi
Tcknik anestesi yang ideal untuk pasien dengan trauma
multisistim hams mempunyai efek paling kecil terhadap autoregulasi
cerebral dan kemampuan merespons CO2, dan mempertahankan
kestabilan kardiovaskuler. Mampu menurunkan ICP sehingga akan
menaikkan CPP.
I lipotensi intraoneratif:

106
Hipotensi intraoperatif harus segera diterapi dengan pemberian
cairan. Pada saat yang sama, penyebab diluar otak hams dipikirkan.
Mungkin diperlukan vasopressor bila respon ccpat terhadap terapi cairan
tidak jelas.
Risiko penurunan tekanan darah yang tiba-tiba adalah segera
setelah pelepasan ICP dari SDH atari EDH.
I liperlensi Intraoneratif:
Hipertensi ringan sampai sedang tidak perlu diterapi tetapi bila
hipertensi berat (MAP > 130-140 mmHg) hams diterapi untuk mcneegah
bertambahnya edema otak.
Dosis rendah isofluranc dapat diberikan sebagai tatnbahan terhadap
anestesi intravena untuk mengendalikan respon tekanan darah terhadap
stimulasi bedah. Bila perlu dapat diberikan csmolol atau Labetalol.
Vasodilator seperti nitroprusside. dan nilroglyserin dapat meningkatkan
ICP dan jangan diberikan bila tidak ada ICP monitor.
Sering setelah kejadian cedcra kepala, mekanisme autoregulasi
cerebral terganggu, sehingga bila akibat stimulasi bedah terjadi kenaikan
tekanan darah, maka bisa terjadi cerebral edema dan hiperemia. Salah
satu sasaran anestesi adalah mengurangi respons ini. Teknik anestesi
tergantung dari tipe ccdera. Sebagai contoh, hiperventilasi pada pasen
dengan peningkatan ICP yang juga ada focal cerebral iskemia akibat
vasokonstriksi, mungkin tidak bijaksana.
Pengetaluian neurofisiologi dan ncurofarmakologi akan menolong
dalam menentukan teknik dan obat anestesi yang dipakai.

107
Figure 8-6 Simple algoritlun for the anesthetic management of an
acutely Head-injured patient.

Gambar 5.1 Hagan pcngclolaan anestesi pada Cedera Kepala

Obat ideal untuk pemeliharaan anestesi hams mengurangi ICP,


mempertahankan pasokan oksigen ke otak, dan mclindungi otak dari
cedera iskemik.
Tidak ada standar enias anestetika yang memenuhi keperlnan ini
untuk cedera kepala. Pcmilihan anestetika bergantung pada pertimbangan
patologi intrakranial dan kondisi sistemik seperti gangguan
kardiopulmonal dan adanya trauma multipel.
Anestetika intravena dapat dengan barbiturat, ctomidat, propofol,
benzodiazepin, narkotik. Tiopental dan pentobarbital menurunkan CBF,
CBV, dan ICP. Penurunan ICP dengan obat- obatan ini berhubungan
dengan penurunan CBF dan CBV bersamaan dengan penekanan
metabolisme. Obat-obatan ini juga mempunyai efek pada pasien dengan
gangguan reaktivitas CO2.

108
Tiopental dan pentobarbital pada hewan coba menunjukkan proteksi
melawan iskemia fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan sekuele
yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada cedera
kepala, tidak ada pcnelitian prospektif, randomized controlled trial
(RCT) yang telah menunjukkan perbaikan definitif setelah cedera kepala.
dan sebagai tambahan barbiturat dapat merusak pada pasien cedera
kepala disebabkan karena efck penekanan kardiovaskuler. Pemberian
barbiturat dalam jangka waktu lama menyebabkan lama kerjanya
meningkat.
Etomidat, seperti halnya barbiturat, menurunkan CBF. CMRO2,
dan ICP. Hipotensi sistemik lebili jarang dibandingkan dengan barbiturat.
Pemberian etomidat jangka panjang dapat menekan respons
adrenokortikal terhadap sties.
Propofol mempunyai efek serebral hemodinamik dan metabolik
yang sama seperti barbiturat. Propofol berguna pada pasien yang
mempunyai patologi intrakranial bila hipotensi dapat dieegah.
Disebabkan karena waktu paruhnya pendek. bangun dari anestesi cepat,
sekalipun setelah pemberian yang lama. Hal ini merupakan suatu
keuntungan bila dibandingkan dengan obat anestesi intravena lainnya
dalam ha! memberikan kemudahan evaluasi neurologis pascabedah.
Disebabkan karena propofol mempunyai efek depresi sirkulasi. tindakan
tertentu harus dilakukan untuk mempertahankan CPP yang adekuat
misalnya koreksi hipovolemia scbelum pemberian propofol. Pcnelitian
terbaru menunjukkan adanya penurunan SJO2 selama anestesi dengan
propofol. Propofol juga mengurangi C’RF lebili daripada CMRO2,
menimbulkan terjadinya iskemia. Karena itu. harus liati- liati melakukan
hiperventilasi pada anestesi dengan propofol.
Diazepam dan midazolam digunakan untuk sedasi atau induksi
anestesi disebabkan karena obat ini mempunyai efek minimal terhadap
hemodinamik dan kurang mengganggu sirkulasi serebral. Diazepam 0,1-
0,2 mg/kg dapat diberikan untuk induksi anestesi dan jika perlu dapat
diulangi sampai dosis total 0.3-0,6 mg/kg. Midazolam 0,2 mg/kg dapat
digunakan untuk induksi dan diulang jika diperlukan.
Narkotik pada dosis klinis memberikan efek menurunkan t'BF dan
CMRCF yang minimal sampai sedang. Bila vcntilasi dapat diperlahankan
adekuat, narkotika mempunyai efek minimal
terhadap ICP. Meskipun peningkatan ICP minimal, fentanyl memberikan
analgesia yang baik dan mengijinkan pemberian konsentrasi rendah
ancstetika inbalasi. Bcberapa penelitiaji mennnjukkan bahvva sufentanil
meningkatkan ICP pada pasien dengan eedera kepala berat. Hal ini
disebabkan karena respon autoregulasi (misalnya vasodilatasi serebral)
109
terhadap penurunan tiba-tiba dari tekanan darah sistemik. Bila obat ini
digunakan, tindakan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik
haras dilakukan.
Isofluran merupakan metabolik supresant kuat, kurang cfeknya
pada CBF dan ICP daripada halotan. Disebabkan karena isofluran
menekan metabolisme otak, isofluran mempunyai efck proteksi otak bila
insult iskemik tidak berat. Data kebaikan penggunaan isofluran lebih dari
halotan dan enfluran. Isofluran pada konsentrasi > 1 MAC hams
dihindari disebabkan dapat menyebabkan peningkatan ICP.
Sevofluran menunjukkan efek pada hemodinamik serebral sama
atau lebih ringan daripada isofluran. Kerugian sevofluran adalah
metabolit biodegradasi mungkin bersifat toksik pada konsentrasi tinggi.
Tidak ada bukti efek buruk pada konsentrasi klinis keeuali bila
sevofluran digunakan dalam jangka waktu lama pada low-Jlow anestesi.
Keuntungan sevofluran adalah karena bangun eepat schingga dapat
dilakukan evaluasi neurologis pascabedah dengan segera.
Desfluran pada konsentrasi tinggi meningkatkan ICP.
NjO menimbulkan dilatasi pembuluh darah otak, maka
meningkatkan ICP. Pasien yang mempunyai hipertensi intrakranial atau
penurunan komplians intrakranial jangan diberikan N2O. N2O liarus
dihindari pada pneumocephalus atau pneumothoraks karena berdifusi ke
ruangan yang berisi udara lebih eepat dari difusi nitrogen kcluar,
karenanya akan meningkatan volume ruangan yang berisi udara.
Infiltrasi lidokain 1% atau bupivakain 0,25% dengan atau tanpa
epinephrine pada tempat insisi kulit kepala dan tempat insersi pin
menolong mencegah kenaikan tekanan darah sistemik dan ICP dan
menghindari pendalaman anestesi yang tidak diperlukan.
Relaksasi otot yang adekuat mcmberikan fasilitas ventilasi
mekanis dan menurunkan 1CP. Batuk dan straining dihindari karcna
dapat dapat menimbulkan pembesaran pembuluh darah serebral.
Vecuronium mempunyai efek minimal atau tidak ada efeknya terhadap
IC'P. tckanan darah, denyut jantung dan efcktif pada pasicn ccdcra
kcpala. Vecuronium dibcrikan dengan dosis bolus 0,08-0,1 mg/kg
dilanjutkan dengan infus 1-1,7 ug/kg/menit. Pancuronium tidak
menimbulkan peningkatan ICP. tapi dapat mcnyebabkan hipcrtensi dan
takikardi disebabkan efek vagolitik, dengann cara demikian
meningkatkan risiko pasien. Atracurium tidak mempunyai efek pada ICP,
mempunyai onset yang cepat dan lama kerja singkat, dosis bolus 0,5-0,6
mg/kg diikuti dosis kontinyu 4-10 ug/kg/menit. Rocuronium berguna
untuk intubasi karena mula kerja yang cepat dan sedikit efeknya pada
dinamika intrakranial.
110
Pengelolaan Respirasi dan Sirkulasi Intraoperatif
Ventilasi mekanis untuk mempertahankan PaCOi sekitar35
mmHg. FiCE biasa untuk mempertahankan PaCE > 100 mmHg. Pasien
yang mempunyai kontusio paru, aspirasi, atau neurogenic pulmonary
edema (NPE) sentral. mungkin memerlukan PEEP untuk
mempertahankan oksigenasi adekuat. Eksesif PEEP harus dihindari
karena peningkatan tekanan intratorak dapat mengganggu drainase vena
serebral dan meningkatkan ICP.
CPP harus dipertahankan antara 50-70 mmHg. Transduser untuk
pemantauan langsung tekanan darah arteri dizero pada level mastoid
untuk merefleksikan sirkulasi serebral.
13ila hipotensi menetap walaupun oksigenasi, ventilasi, dan
penggantian cairan adekuat, mungkin diperlukan peningkatan tekanan
darah dengan hati-hati dengan infus inotrop atau vasopresor.
Phenilephrin 0,1-0,5 meg/kg/menit dan dopamin I- 10 meg/kg/menit
adalah obat yang tepat. Dosis bolus vasopresor harus digunakan secara
hati-hati disebabkan peningkatan tekanan darah yang kasar dapat
meningkatkan IC’P ke level berbahaya, terutama pada pasien dengan
gangguan autoregulasi.
Hipcrtensi diterapi secara hati-hati karena peningkatan tekanan
darah dapat merefleksikan kompensasi hiperaktivitas sistim saraf
simpatis sebagai respons terhadap peningkatan ICP

m
dan kompresi batang otak (Cushing’s rcflcks). Oksigenasi, ventilasi,
penggantian cairan, analgesia yang adekuat harus dinilai lebih dulu dan
dikoreksi. Bila diperlukan berikan obat antihipertcnsi seperti labetalol
atau esmolol yang mempunyai efck vasodilatasi screbral minimal. Bila
melakukan tcrapi hipertensi pemeliharaan CPP merupakan
pertimbangan utama.
Pengelolatm Peningkatcm ICP IntraoperatiJ
Posisi pasien sedikit head up 10-30". CPP mungkin tidak ada
perbaikan, tetapi, hal ini kalau tekanan darali sistemik menurun. Bila
dokter bedah mcnginginkan fleksi atau rotasi kepala dan leher, ahli
ancstesi harus tetap mempertahankan adekuatnya aliran darah balik
(venous return)
PaCO: dipertahankan sekitar 35 mmHg dan hindari
hiperventilasi bila tidak ada monitoring yang menjamin oksigenasi otak
yang adekuat. Hipotensi (sistolik < 90 mmHg) dan hipertensi (sistolik >
160 mmHg) harus dikoreksi.
Diuretik mannitol akan menurunkan volume otak dan
mengurangi ICP. Pada kasus yang berat dapat ditambahkan furosemid
atau furosemid diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi jantung
dan kemungkinan gagal jantung. Furosemid 0.1-0,2 mg/kg diberikan 15
menit sebelum mannitol diberikan. Bila diberikan mannitol bersatna-
sama furosemid harus dipantau volume intravaskuler dengan CVP atau
kalau perlu dengan kateter arteri pulmonalis.
Ventilasi, oksigenasi, kedalaman anestesi, dosis terakhir
pcntberian diuretika harus dinilai bila ada pembengkakan otak setelah
kraniotomi. Bila semuanya adekuat, diindikasikan penambahan
pentotal atau pentobarbital. Hiperventilasi yang lebih hebat juga suatu
opsi dengan pemantauan oksigenasi otak. Bila semua tindakan ini
gagal, maka lakukan kraniotomi dekompresif.
Drainase CSF dilakukan melalui kateter intraventrikuler.
Drainase CSF merupakan tindakan yang cfektif untuk mengurangi ICP.
d. Pengelolaan pascabedah
Spcsialis Anestesioiogi sering mencrima pesanan untuk
membangunkan pasicn scgera untuk dapat dilakukan evaluasi
ncurologis yang segera pada pcriode pascabedah. Pasien yang

112
memunyai level kesadaran normal sebclum operasi dan dilakukan
prosedure pembedahan sederhana dapat dibangunkan dan dilakukan
ckstubasi di kamar bedah. Emergens yang lanear dengan pengendalian
tekanan darah sistemik dan mcnghindari batuk diperlukan untuk
mencegah edema serebral dan pembentukan hematomaa.
Ekstubasi di kamar bedah sebaiknya dihindari untuk pasicn
dengan penurunan level kesadaran pada periode prabedah dan dengan
edema otak intraoperatif atau akan terjadi edema otak pascabedah.
Pasien dengan trauma multipel juga merupakan calon untuk dilakukan
ventilasi pascabedah. Pasien yang hipotermi saat emergens hams
dilakukan ventilasi mekanis pascabedah dan diekstubasi setelah
rewarming.
Umumnya bila pasicn bangun dan bernafas spontan maka pada
pcriode pascabedah, keadaannya harus sama dengan prabedah dan
ektubasi dilakukan di kamar operasi. Pada operasi- operasi dengan
trauma dada, fraktur muka. trauma leher, atau edema serebri hebat,
mungkin pascabedah pasicn masih diintubasi untuk dilakukan ventilasi
di ICU, mempertahankan jalan nafas dan proteksi jalan nafas.
Hipervcntilasi yang menetap dan sedasi pascabedah, mungkin tanda
pertama dari adanya rehleeding dan komplikasi lain yang serins. Bila
GC’S<8. sebaiknya dilakukan trakheostotni untuk memudahkan
pengelolaan jalan nafas.
Bila intubasi masih perlu dipertahankan untuk transportasi kc
ICU, maka dapat diberikan dosis kecil narkotik dan atau pentotal
supaya tidak terangsang oleh adanya tube endotrakheal. Kita harus
mcnghindari batuk atau mengejan karena terangsang oleh pipa
endotrakheal. Pemberian lidokain 1.5 mg/kg, mungkin dapat
metiolong. Pasien harus dipindahkan dengan posisi kepala flat atau
naik 0n-l 5", dengan tetap dimonitor dan diberi oksigen.
koniplikasi
a. Hipotermi
Penurunan temperatur tubuh sampai 33-35°C mcmpunyai efek
proteksi otak. Mekanismc protekasi termasuk penurunan kebutuhan
metabolisme, eksitotoksisitas, pembentukan radikal bebas, dan
pembentukan edema. Pada model hewan coba yang dibikin iskemia,
hipotermia ritigan sampai 34-36°C melemahkan eedera iskemik. Pada
praktek kl inis, kontroversi tentang efektivitas hipotermia pada eedera
kepala masih berlangsung. Penelitian multi institusi tentang hipotermia
pascabedah pada pasien eedera kepala telah dihentikan oleh Safety
Monitoring Board setelah dilakukan penelitian pada 392 pasien.

113
Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan pada mortalitas antara
pasien dengan hipotermia dan normotermi, dan pasien dengan
hipotermi mengalami lebih banyak komplikasi. Analisis subgrup
menunjukkan bahwa pasien yang lebih muda ( < 45 tahun) yang
hipotermi pada saat masuk ke rumahsakit dan diraneang untuk grup
hipotermi bertendensi untuk mempunyai outcome yang lebih baik
daripada yang diraneang untuk grup normotermi.
Bila induksi hipotermi dipilih, diperlukan penanganan yang hati-
hati untuk menghindari efek samping buruk seperti hipotensi, aritmia
jantung, koagulopati, dan infeksi. Rewarming harus dilakukan
perlahan-lahan. Pemantauan temperatur dianjurkan dilakukan pada dua
tempat atau lebih yaitu membran timpani, nasofaring, esophagus, dan
darah.
b. Komplikasi kardiovaskuler
Respon kardiovaskuler yang umum adalah hiperaktif simpatis
yang akan menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik,
curah jantung, konsumsi oksigen, resistensi pembuluh darah sistemik.
shunt intrapulmonal dan V/Q mismatch.
Kejadian aritmia terutama disebabkan karena hiperadrenergik
central; walaupun demikian penyebab metabolik dan kardiak harus
dipertimbangkan pula. Bolus lidokain (1-1,5 mg/kg i.v.) dan titrasi
lidokain (1-4 mg/menit) mungkin bisa menolong.

114
Selama pembedahan, pengobatan hipcrtcnsi dapat dengan
hidralazin. nitroprusid atau nitrogliserin intravena. Walaupun obat-obat
tersebut efektif dalam mcnurunkan tekanan darah tetapi juga bersifat
vasodilator serebral kuat yang menyebabkan obat- obatan tersebut tidak
dianjurkan untiik diberikan pada pasien eedera kcpala, lebih disukai
diberikan beta bloker seperti esmolol. propanolol atau labetalol.
c. Neurogenic Pulmonary Edema (NPF.)
Garnbaran karakteristik dari NPE adalah sebagai berikut: yang
dihubungkan dengan lesi hebat pada SSP. misalnya eedera kcpala,
subarachnoid hemorrhage (SAIT), tumor. Pada umumnya onsetnya
cepat, terjadi dalam beberapa detik atau menit sctelah eedera SSP, tapi
pada beberapa kasus bisa terjadi lebih lambat. Terjadi akibat pelepasan
adrenalin, sehingga dapat dieegah atau ditekan dengan obat blokade
adrenergik atau depresant SSP.
Terjadi peningkatan tekanan vena paru yang merupakan suatu
komponen dari peningkatan ptjrmeabi litas kapiler. Permeabilitas
endotel kapiler alveoli dipengaruhi oleh neural out flow otonom, dari
hipotalamus. Kcbocoran kapiler ini menyebabkan terjadinya edema
interstitial yang mcnimbulkan adanya shunting, penurunan komplien,
hilangnya volume paru. Onset NPE bisa eepat/segera, dan umumnya
dihubungkan dengan peningkatan ICP yang hebat. Gejala dan tanda
NPE yaitu dispnoe, sianosis, pueat, berkeringat, nadi yang cepat dan
lemah, juga garnbaran sputum yang merah muda dan frothy.
Terapinya adalah mengambil hematoma pada otak, dan obat-
obatan untuk mcnurunkan ICP, obat antiadrenergik. Terapi NPE
dengan dehidrasi, peningkatan FjO? untuk mempertahankan Pa(>2 70-
80 mmHg dieapai dengan optimal PEEP (paling minimal meningkatkan
ICP dengan minimal penurunan curah jantung) dan mempertahankan
PaCO? 25-30 mmHg.
d. Emboli Lemak
Karena salah satu tanda utama dari emboli lemak adalah
hilangnya kesadaran, tnaka sulit mendiagnosanya pada pasien eedera
kepala. Etiologinya adalah pelepasan sumsum tulang yang kaya lemak
ke dalam sirkulasi dari rusaknya tulang extrimitas
atau pelvis. Globul-globul ini akan diam di paru-paru dimana asam
letnak bebas dilcpaskan menyebabkan peningkatan kebocoran kapilcr
paru. Fluffy infdtrat sering terlihat pada foto thorak yang dihubungkan
dengan hipokseniia dan edema paru. Komplikasi edema serebral dan
DIC mungkin terjadi, umumnya 12-24 jam setelah eedera. Terapinya

115
hanya suportif, mungkin steroid mcnguntungkan, tetapi morbiditas dan
mortalitasnya sangat tinggi.
e. Emboli Udara
Emboli udara pada vena sering terjadi bila ada kerusakan sinus
nervous atau bila sinus tulang kontak dengan udara. Indikator untuk
emboli udara dengan adanya perubahan suara Doppler, perubahan end-
tidal Nitrogen, penurunan end-tidal CO2, peningkatan CVP, ahirnya
penurunan MAP dan PaCK

FIG. 32-1. Working hypothesis relative to pathophysiology of neutogenu pulmonarv edema

(iambar: Patoftsiologi NPH


Dikutip dari: Edwards N. Principles and practice of ncuroaneslhesia. London:
Chapman and Hall Medical. 1991
I rik-Trik Baru dalam Neuroanestesi
Dalam 10 tahun terakhir, telah diperkenalkan obat dan metoda
bam untuk pcmantauan serebral, yang akan mempengaruhi pilihan kita
dalam memberikan anestesi pada pasien. Untuk pcrtimbangan outcome
dari anestesi bcdah saraf, obat dan alat pantau yang dipakai menjadi
pcrtimbangan kita. Berdasarkan hal tcrsebut perlu melihat efek dari
obat dan teknik terhadap perfusi otak dan metabolisme otak, untuk
mempertimbangkan resiko terjadinya iskemia perioperatif.
Hipotensi (tekanan sistol i k<90 mmHg) atau hipoksia PaO2<60

116
mmHg, apnoc atau sianosis) harus betul-betul dihindari, dan scgcra
dikorcksi. Tekanan artcri rerata harus dipertahankan > 90 mmHg untuk
mempertahankan tekanan perfusi otak 50-70 mmHg.
Ilipertensi, hipotensi?
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan 60 mmllg.
CPP=MAP-1CP, sangat erat berhubungan dengan terjadinya iskemia
serebral. Berdasarkan penelitian scbelumnya, adanya dokumen bukti
nyata vasospasmc pascatrauma dan ini jelas menunjukkan bahwa
resistensi vaskuler berubah setelah trauma. Tekanan perfusi otak yang
rendah mungkin membahayakan otak dengan preexisting iskemi dan
memperbesar tekanan hidrostatik intravaskuler dengan meningkatkan
tekanan perfusi otak dapat menolong memperbaiki perfusi serebral.
Dalam kebanyakan kasus, tekanan perfusi otak mcnerima terhadap
manipulasi klinik dan menaikkan tekanan perfusi otak dapat menolong
mencegah terjadinya iskemia global dan regional.
Mengapa perlu menaikkan Tekanan perfusi otak ?
Adanya peningkatan jumlah bukti-bukti bahwa aliran darah otak
sangat rendah setelah cedera kepala dan pada banyak kasus hampir
mendekati ambang iskemia. Rendahnya aliran darah otak ini mungkin
disebabkan karena penekanan pembuluh darah serebral oleh massa
intrakranial, penurunan metabolisme serebral pada pasien yang kotna.
serta adanya vasospasme pascatrauma (40%). Outcome klinik lebih
buruk pada pasien yang mengalami episode hipotensi sistolik < 90
mmHg pada beberapa jam pertama

117
atau hari setelah ccdcra. Penuranan CPP<50 ramHg beresiko terjadinya
iskcmia serebral. Suatu hubungan yang bertcntangan adalah pada
keadaan hipotensi terjadi kenaikan tekanana intrakranial pada bagian
yang autoregulasinya masih baik. Ada suatu penelitian eksperimental
bahvva suatu penurunan tekanan darah bertanggung javvab terhadap
pcningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba, yang dapat dihilangkan
bila tekanan darah dinaikkan lagi. Juga ada bukti bahwa autoregulasi
vasodilatasi sebagai respons terhadap hipotensi adalah kira-kira 65%
dari diameter asal pembuluh darah.
Karena itu sebagai simpulannya. mempertahankan tekanan
pert'usi otak 50-70 mniHg adalah suatu opsi terapi yang dapat
menurunkan mortalitas dan memperbaiki kualitas pasien yang hidup
dan memperbesar perfusi pada regio yang iskemik setelah cedera otak
berat.
Bagaimana dengan Lund Therapy ?
Konsep dari Lund untuk terapi edema otak telah diperkenalkan
pada pada praktek klinis di Swedia. Pada pasien dengan cedera kepala
berat tidak ada terapi farmakologi untuk memperbaiki barier darah-otak
yang rusak atau memperbaiki autoregulasi yang terganggu. Terapi ini
berdasarkan pada perkiraan bahwa edema otak ektraseluler yang
disebabkan karena gangguan autoregulasi dan rusaknya barier darah-
otak, merupakan suatu komponen penting pada pembengkakan otak
pascatrauma dan lebih mudah dilakukan terapi daripada edema
intraseluler.
Tujuan terapi adalah untuk mempertahankam tekanan
intrakranial pada tingkatan yang aman sampai tcreapainya perbaikan
autoregulasi dan barier darah-otak untuk meneegah herniasi otak dan
untuk mengurangi iskemia akibat cedera sekunder. Walaupun
komponen Lund terapi adalah tindakan standar (menurunkan
metabolisme otak, pengaturan glukosa dan suhu, penurunan volume
darah otak dengan hiperventilasi atau barbiturat koma,
mempertahankan tekanan koloid osmotik) penggunaan teknik hipotensi
untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapilcr dengan tujuan untuk
menurunkan edema serebral merupakan hal yang berlawanan dengan
cara-cara konvensional dalam mempertahan tekanan perfusi otak.
Hiperventilasi /Hipokapnia atau Normokapnia ?
Hiperventilasi dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan
jalan vasokontriksi dan selanjutnya terjadi penurunan aliran darah otak.

118
Penelitian-penelitian yang dilakukan lebih dari 20 tahun lalu sccarajelas
telah menunjukkan bahvva aliran darah otak selama 24 jam setelah
cedera kcpala kurang dari setengahnya dan ada resiko terjadi iskcmia
serebral bila dilakukan hiperventilasi agresif. Penemuan-penemuan ini
dikuatkan dengan pengukuran SJO? dan AVDO2. Agresif hiperventilasi
(PaC()2 < 30 inmHg) akan mengurangi aliran darah otak tetapi tidak
secara konsisten juga akan menurunkan tekanan intrakranial dan dapat
menyebabkan hilangnya autoregulasi. Walaupun tingkatan aliran darah
otak yang menimbulkan iskemia ircversibel belum ditentukan dengan
pasti akan tetapi perubahan sel iskemik terlihat pada 90% pasien yang
meninggal akibat cedera kepala berat. Suatu penelitian prospektif
menunjukkan bahwa adanya perbaikan outcome pada 3 bulan dan 6
bulan pascatcrapi bila hiperventilasi profilaksis tidak digunakan
dibandingkan dengan yang menggunakan hiperventilasi profilaksis. J
ad i pembatasan penggunaan hiperventilasi pada pasien cedera kcpala
berat akan memperbaiki pemulihan neurologis setelah cedera atau
paling tidak meneegah iatrogenik iskemia serebral. Iliperventilasi
dilakukan hanya bila ada tanda- tanda herniasi atau pemburukan
neurologis yang cepat. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah
kapan hiperventilasi dilakukan? Jawabannya adalah bila ada tanda
herniasi otak dan memburuknya neurologis dengan cepat. Setting klinis
adalah: I) hiperventilasi bila ada tanda herniasi otak dan 2) beri
mannitol bila volume sirkulasi sudah adekuat.
Pengelolaan pasien codeia kepala berat yang direkomendasikan
adalah pengelolaan pasien cedera kepala berat sebelum dilakukan
pemasangan monitoring tekanan intrakranial adalah berdasarkan bukti
klinis adanya herniasi otak. Tanda herniasi otak adalah adanya dilatasi
pupil unilateral atau bilateral, reaktivitas pupil asimetris, motor
posturing atau bukti memburuknya neurologis.
Terapi hiperventilasi pertama kali untuk mencapai PaC02 30-35
mmHg, tetapi bila tekanan intrakranial masih tinggi hiperventilasi
dapat diperdalam untuk mencapai PaCO2<30 mmllg tetapi harus
dilakukan pemantauan SJO2 atau AVDO2 untuk melihat adanya
komplikasi iskemia otak.
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak
Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh
otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan
kcamanan selama transportasi. Agitasi. confus sering terdapat pada
pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pcmberian sedasi.
Pelumpuh otot mempunyai ketcrbatasan untuk evaluasi pupil serta
dalam pemeriksaan CT- scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien

119
tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak
eukLip untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien.
Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya
pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat mcnimbulkan hipovolemia.
Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan
normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak
Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif
dari membumknya neurologis yang bukan disebabkan akibat
ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif
peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada
sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat
menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial
maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila
belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.
Kapan dimulainya terapi kenaikan Tekanan intrakranial ?
Pemantauan tekanan intrakranial perlu dilakukan pada pasien
cedera kepala berat dengan kelainan CT-scan misalnya adanya
hematoma, kontusio, edema atau penekanan sistema basalis.
Pemantauan tekanan intrakranial juga perlu pada pasien cedera kepala
berat dengan CT-scan normal bila memenuhi 2

120
kritcria umur > 40 tahun, sistolik < 90 minHg atau unilateral atau
bilateral motor posturing.
Terapi kenaikan tekanan intrakranial hams dimulai bila
ambang atas tekanan 20-25 minHg akan tetapi herniasi bisa terjadi pada
tekanan intrakranial < 20-25 minHg dan terjadinya herniasi bergantung
dari lokasi massa intrakranial. Pada laporan Marshall disebutkan bahwa
pupil abnonnal dapat terjadi pada tekanan intrakranial 18 mmHg.
Tekanan perfusi otak yang adekuat seeara umum
dipertahankan pada tekanan intrakranial > 20-25 mmHg. Tekanan
intrakranial dimana pasien mulai menunjukkan adanya herniasi kadang-
kadang pada tekanan intrakranial > 20-25 mmHg, karena itu pada kasus
tertentu, tekanan intrakranial yang akseptabel adalah dimana tekanan
intrakranial masih dapat dipertahankan tekanan perfusi otak yang
adekuat.

Herniasi Otak
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai
akibat penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau eedera kepala.
Dari pasien eedera kcpala yang berkembang menjadi herniasi
transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan
sebagai good recovery atau moderate disability.
Patofisiologi herniasi otak menjadi lebih jelas dengan adanya
CT-scan dan MRI. Konsep klasik dari ketiga sindroma herniasi timbul
sebagai konsekwensi dari bukti basil otopsi. Tiga sindroma ini, lineal,
screbelar dan sentral merupakan perpindahan kebawah. Tingkatan
kesadaran pada sindroma herniasi paling berhubungan dengan
pergescran ke lateral dari glandula pinealis. Pada konteks ini,
pergerakan dari batang otak mcnimbulkan memburuknya kesadaran.
Tanpa memperhatikan herniasi disebabkan oleh perpindahan ke lateral
atau vertikal dari struktur otak, onset disfungsi batang otak bagian atas
(disfungsi pupil dan penurunan kesadaran) adalah tanda adanya
ancaman bahaya.
Seeara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi
transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor
posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa hemisperie.
Tanda pertama dan ketiga akan hilang hila pasien dianestesi dan yang
kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Tiga sindroma hcrniasi yang klasik adalah lineal, central dan
serebellar. Hcrniasi uncal diuraikan sebagai adanya pembesaran pupil
pada sisi massa yang disebabkan karena regangan atau penekanan

121
nerves tiga. Penekanan pada pedunkulus serebral yang berlawanan
kemudian menyebabkan hemiparesis. Kemudian berkembang
deserebrasi rigiditas dan akhirnya meninggal.
Hcrniasi sentral umumnya dimulai dengan penekanan kesadaran
disebabkan karena penekanan retikular activating system di talamus.
Pupil mula-mula kecil selanjutnya diikuti pernafasan periodik, refleks
babinski bilateral, decortikasi, pembesaran pupil dan akirnya paralisis
tlasid dengan pupil midpoint dan terfiksir.
Hcrniasi serebelar ditandai dengan adanya apnoe dan kematian
yang tiba-tiba akibat tenaga tekanan pada cerebelar tonsil melalui
foramen magnum. Gejala-gcjala ini kadang-kadang terjadi bersamaan.
Pengclolaan klinis sindroma hcrniasi adalah sama dengan
pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi
volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara: berikan
mannitol, hipcrventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan
adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik),
posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola
ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abscs
otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi.
pelumpuh otot dan terapi domain ( lakukan hipotermi ringan). Bila
tekanan darah naik, hams dikurangi secara hati-hati karena hipertensi
umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias
Cushing).
Simpulan
Sasaran utama dari pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera
kepala adalah untuk menccgah kerusakan sekunder. Tindakan
terapeutik berdasarkan pada panduan dan rckomendasi hams
dinstitusikan dan torus mencrus dilakukan kursus perioperatif.
Pemilihan anestetika dan pcngclolaan umum dari respirasi, sirkulasi,
melabolismc, cairan, dan temperatur adalah penting iintuk memperbaiki
outcome.

Daftar Pustaka
1. Avellino AM. Lam AM. Winn HR. Management of Acute
Head Injury. Dalatn: Albin MS.ed. Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience
Perspectives. New York: McGraw-Hill.Inc : 1997. I 137-75.
2. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with

122
severe head njury. Dalam: Cottrell .IE. Young WL, eds.
Cottrell and Young’s neuroanesthesia; 201 I. 317-25.
3. Bisri T. Surahman E. Himendra A. Neuroanestesi. Bandung:
Universitas Padjadjaran; 1977.21 -33
4. Bisri T. Pengelolaan perioperatif Cedera Kepala Akut.
Bandung: Bag Anestesi EK Unpad/RS Dr.Hasan Sadikin;
1999.
5. Bullock R. Chesnut RM, Clifton Ci, Ghajar .1, Marion DW.
Guidelines for the management of severe head injury. Journ of
Neurotrauma 1996; 13. 11,693-703.
6. Bullock MR, Povlishock JT. Journal of Neurotrauma 2007; vol
24,supp 1
7. Durieux ML. Anesthesia for head trauma. Dalam: Stone DJ,
Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BE, Yemen TA, eds. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis:Mosby ; 1996,385-414.
8. Edwards N. Principles and practice of neuroanesthesia.
London: Chapman and Hall Medical. 1991.
9. Gopinath SP, Robertson C'S. Management of severe head
injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
neurosurgery, 3"1 ed., St Louis: Mosby Year Book Inc;
1994,661-80.
10. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of acute head
injury. Dalam: Lam AM.ed. Anesthetic management of acute
head injury. New York: McGraw-Hill.Inc; 1995, 101-4.

123
11. Prough DS. Brain herniation.WCA 2000 Proceeding. Montreal,
Canada.
12. Sakabe T. Management of Head Trauma. Dalam: Ncwficld P,
Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia, 3rd ed.,
Philadelphia : Lipincott Williams & Wilkins : 1999,129-45.
13. Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic Management of Head
Trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, editor. Handbook of
neuroanesthesia, 4lh ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007:91-1 10.
14. Sakabe T, Matsumoto M. Effect of anesthetic agents and other
drugs on cerebral blood (low, metabolism, and intracranial
pressure. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and
Young’s Neuroanesthesia; 2010, 7S-94.

124
BAB 6
Pengelolaan Perioperatif Cedera Kepala
Pada Anak

Pediatrik neuroanestesi memerlukan pengetahuan dan


kcterampilan neuroanestesi dan pediatrik anestesi. Anak bukan bentuk
kecil dari orang dewasa, sehingga diperlukan adanya pemahaman
terhadap tlsiologi dan patologi anak, serta apa perbedaannya dengan
orang dewasa. Penanganan pediatrik neuroanestesi barns dilakukan
oleh mereka yang familier dengan penatalaksanaan anestesi pada bayi
dan anak. Anak mempunyai cadangan tisiologis yang terbatas dan
volume darah yang sedikit. Pcrkcmbangan susunan saraf pusat pada
bayi baru lahir bclum lengkap dan maturasi terjadi pada tahun pertama.
Perubahan anatomis dan tisiologis terus terjadi sampai anak menjadi
dewasa.
Di negara industri. trauma adalah penyebab umum kematian
untuk anak umur lebih dari satu tahun. Diantara populasi umur 1-19
tahun, 40-50% kematian disebabkan karena trauma. Dua penyebab
utama adalah jatuh dari ketinggian dan kecelakaan lalu lintas. Cedera
kepala scring terjadi pada anak dan merupakan penyebab utama dari
kematian dan cacat berat, 15% anak dari kelompok umur 5-15 tahun
meninggal karena cedera kepala.
Anatomi dan Fisiologi
Berat otak waktu lahir 300-400 gr (10-15% dari total BB).
Otak berkembang dengan cepat bukan saja dalam ukuran, akan tetapi
berkembang semakin komplcks dalam struktur, terjadi pertumbuhan
sel-sel glia, pembentukan dendrit dan sinaps, dan juga terjadi proses
mielinisasi. Berat otak dua kali berat waktu lahir tercapai dalam umur 6
bulan, dan mencapai 900 gr dalam umur satu tahun. Pcrkcmbangan
struktur menjadi sempurna pada umur dua tahun. Berat otak menjadi
sama dengan dewasa (1200 gr) tercapai pada umur 12 tahun.
Produksi dan sirkulasi cairan serebrospinalis dimulai pada
minggu ke-8 kehidupan intrauterin. Cairan serebrospinalis diproduksi
oleh fleksus khoroideus. Sewaktu lahir produksi
cairan serebrospinalis kurang Icbih 0,35 ml/menit. Produksi dan
absorpsi akan berlangsung seimbang, kecuali bila ada gangguan
penyakit. Absorpsi cairan serebrospinalis terjadi pada villi
arakhnoidales. Tekanan intrakranial sangat bergantung pada aliran
darah otak dan volume darah otak, bukan pada produksi cairan
serebrospinalis. Pengurangan produksi cairan serebrospinalis sampai
satupertiganya hanya akan menurunkan tekanan intrakranial 1 mmHg,
oleli karena itu obat yang menurunkan produksi cairan serebrospinalis
hanya berpengaruh minimal pada tekanan intrakranial.
Respons pembuluh darah serebral anak terhadap hipoksia kurang
begitu diketahui. Pada bayi yang sudah Icbih besar diketahui bahwa
aliran darah otak akan meningkat dengan cepat apabila PaCU menurun
dibawah 50 mmHg. Pemberian Oj 100% pada keadaan ini dapat
menurunkan aliran darah otak. Untuk mengetahui tingkat kecukupan
aliran darah otak, tekanan perfusi otak lebih penting daripada aliran
darah otak. Serebral vasoreaktif yang sekunder terhadap perubahan
PaOj dan PaCOi sama untuk umur 3 bulan keatas. Dari mulai lahir
sampai umur 3 bulan reaktivitas CO2 kurang pasti, dan vasokonstriksi
serebral terjadi pada PaCCb yang Icbih rendah.
Pada saat lahir aliran darah otak rendah, kemudian ada
peningkatan yang besar dari aliran darah otak selama periode infant
dan kemudian menurun secara progresif, serta mcncapai nilai dewasa
pada adolesen, seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 6.1 Aliran darah otak dan CMKO. pada anak dan dewasa
Umur Aliran darah otak CMROj ml Oi/I OOg/menit
ml/lOOg/menit
Neonatus 40-42 2,3(ancstcsi umum)
6-40 bulan 90 -

3-12 taliun 100 5,2


Dewasa 50 3.4
. ... r-. .ill , . . ----------------------------------------------- “
Dikulip dari: tiissinncltc U. 4"' European Congress of I’acdialric Anesthesia. 1497.

Dalam batas autoregulasi aliran darah otak tidak bergantung


pada tekanan perfusi misalnya pasokan oksigen serebral tetap konstan,
walaupun ada variasi yang lebar pada

126
tekanan arteri rerata. Pada dewasa, aliran darah otak tetap
konstan pada tekanan arteri rerata 60-150 mmHg dan pada anak-anak
daerah autoregulasi tersebut lebih sempit dan beralih ke arah bawah.
Batas autoregulasi pada bayi dan anak tidak begitu diketahui.
Model pada bayi binatang menunjukkan batas autoregulasi antara 40 -
90 mmHg. Distres berat pada bayi dapat nienyebabkan gangguan
autoregulasi, keadaan ini akan diperberat oleh hipoksia, vasodilator
atau anestetika volatil konsentrasi tinggi. Gangguan autoregulasi dapat
terjadi pada trauma, area inflamasi sekeliling tumor, abses serebri,
iskemia fokal atau karcna anestetika inhalasi. Hal ini yang
nienyebabkan pentingnya pemilihan anestetika inhalasi yang dipakai.

Crrrhml tiutorruuhitum

Gambar 6.1 atas: Atorcgulasi screbral pada anak


Gambar 6.1 bawah: Ht'ek PaO. dan PaC'O; pada C'BF
Dikutip dari: Bissinnelte B. 4"' I European Congress of
Paediatric Anesthesia. 1997.
Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh volume otak (70% dari
volume total intrakranial), volume darah otak (10% dari volume total
intrakranial), cairan ekstra seluler (10%), cairan serebrospinal (10%).
Tekanan intrakranial sangat rendah pada minggu pertama
kehidupan antara 0-6 mm I lg dengan rata-rata 7 mmHg sampai bulan
ke-tujuh. Tekanan intrakranial kemudian mcningkat secara progresif

127
bersamaan dengan pertumbuhan anak, dan mencapai nilai dewasa pada
adolesen. Peningkatan volume intrakranial mungkin disertai dengan
perubahan berlawanan diantara ruang intrakranial untuk
mempertabankan tekanan intrakranial yang konstan. Diluar batas
terscbut suatu peningkatan volume intrakranial akan meningkatkan
tekanan intrakranial. Tetapi tekanan perfusi otak adalah suatu fungsi
dari tekanan intrakranial karena Tekanan perfusi otak = Tekanan Arteri
Rerata - Tekanan intrakranial. Jadi suatu peningkatan tekanan
intrakranial dapat mcnyebabkan penurunan tekanan perfusi otak, dan
sebagai akibatnya bisa terjadi serebral iskemia. Nilai tekanan perfusi
otak bergantung pada umur. Tekanan perfusi otak kira-kira 25mmllg
pada neonatus, 40-50mmHg untuk anak-anak yang masih kecil, dan
70-90mmHg untuk dewasa.
CMROj berhubungan dengan aliran darah otak dalam hal
pasokan jumlah substrat yang adekuat pada otak. Umumnya aliran
darah otak meningkat bila CMRO2 mcningkat, dan hal yang sama
terjadi pada keadaan yang sebaliknya. CMRO2 sering berkurang setclah
cedera kepala dan hubungan antara aliran darah otak dan CMRCT
berubah lebih pada 50% kasus, karena itu kita dapat melihat adanya
situasi yang berbeda setelah cedera kepala. Rasio aliran darah
otak/CMRCT dapat tinggi (hiperemia), normal atau rendah (iskemia).
Kepala lebih besar dan proporsional pada anak-anak yang
lebih keeil/muda. Ruangan ekstraserebral dan ruangan arakhnoid lebih
besar dan memudahkan terjadinya cedera kepala/otak akibat
goneangan. Fenomena ini diperberat oleh rendahnya mielinisasi isi
serebral. Karena komplian serebral dari neonatus dan infant lebih
rendah bila dibandingkan dengan dewasa: suatu peningkatan volume
serebral akan diikuti oleh peningkatan tekanan intrakranial.
Kurvc tekanan volume yang klasik yang diuraikan oleh
Langfitt tidak terjadi pada kelompok ini. maka bayi mempunyai resiko
untuk terjadi pcningkatan tekanan intrakranial bila ada peningkatan
volume intrakranial. Kemampuan untuk mem-buffer penambahan yang
eksesif dari volume intrakranial dilakukan dengan menurunkan volume
likuor (drainase cairan serebrospinalis, dehidrasi interstitiel,
vasokonstriksi).
Ccdera otak primer terjadi pada saat trauma misalnya fraktur
tulang tengkorak, ccdera vaskuler. ccdera seluler dan tarikan atau
robekan akson dengan kombinasi ccdera jaringan akan menimbulkan
variasi yang lebar dari kcadaan patologi. Ccdera otak sekundcr adalah
basil dari respon otak terhadap trauma. Iskemi otak dapat terjadi akibat

128
dari hipotensi sistemis, hipoksia dan atau akibat dari proses intrakranial
(hipcrtensi intrakranial, edema scrcbral) yang menimbulkan rendahnya
tekanan perfusi otak. dibawah batas bawah autorcgulasi. Iskemia bisa
menyebabkan edema serebral dan sebaliknya edema serebral dapat
menyebabkan iskemia.

Pengelolaan Pasien
Preoperatif
Tahap pcrtama dari pengelolaan optimal pasien ccdera adalah
untuk mengorganisir perawatan emergensi pra-Rumah Sakit dengan
suatu sistem triage yang adekuat untuk transportasi pasien yang kritis
kepusat penanganan trauma. Bebcrapa cara skoring merupakan suatu
alat pcnting untuk melakukan suatu triage yang cffisicn. GCS dapat
mengevaluasi ccdera kepala dan digunakan dengan pengccualian anak
kecil dimana digunakan skala pcdiatrik. Anak-anak dengan ccdera
kepala berat GCS<8 harus dirujuk/dikirim ke pusat penanganan
trauma. PTS {Pediatric Trauma Score) dan RTS (Revised Trauma
Score) yang digunakan di tempat kejadian atau ruang emergensi iuga
relevan untuk kasus pediatri. Sistem skoring tersebut terlihat di bawah
ini.

129
l abel 6.2 P I S (Pediatric Trauma Score)
Item +2 +1 -1
Weight (kg) >20 10-20 <10
Airway Normal Maintained Not maintained
Systolic BP (mml Ig) >90 50-90 <50
Consciousness Awake Obtundcd Coma
Open wound None Moderate Major
Fracture None Closed Opened
PTS < 8 mcnandakan adanya trauma
Dikutip dari: Paul O, Camboulivcs .1 d"' European Congress of Paediatric Anesthesia. 1997.

label 6.3 CCS (Glasgow Coma Scale) Scale) dan PCS (Paediatric Coma

GCS PCS
Eye Spontaneous 4 Ditto
opening To verbal stimuli 3
To pain None 2
1
Verbal Oriented 5 Oriented 5
Confused 4 Words 4
Inappropriate words 3 Vocal sounds 3
Non specific sounds -y Cries 2
None i None i
Motor Follows commands 6 Ditto
Localises pain 5
Withdraws in response to pain 4
Flexion in response to pain 3
Extension in response to pain 2
None 1
Dikutip dari: Paul O. Camboulives J. 4,h European Congress of Paediatric Anesthesia, 1997.

130
l abel 6.4 Modiflkasi GSC untuk Pediatrik
Response Score Age
Eye response
Spontaneously 4
To speech 3
To pain 2

None
Best motor Response in Upper Limbs (Score Highest Appropriate
for age) 6 >2 years
Obey commands 5 6 months - 2 years
Localizes to pain 4 > 6 months
Normal flexion to pain 3 < 6 months
Spastic flexion to pain Best verbal Response (Score Highest

Appropriate for Age) 5 >5 years


Oriented to place 4 >I2 months
Words 3 > 6 months
Vocal sounds 2 < 6 months
Cries i
None
Tabel 6.5 RTS ( Revised Trauma Score)
Trauma score GCS Systolic BP Respiratory rate
revised (mmHg) (breaths/min)
4 13-15 >89 10-29
3 9-12 76-89 >29
6-8 50-75 6-9
I 4-5 1-49 1-5
(1 3 0 0
Nilai dari 0-4 diberikan pada liap parameter dari 3 parameter ((it'S. BP dan RR). .Imnlahnya
menjadi nilai RTS. RTS II inenandakan adanya eedera Herat.
Anak dengan PTS < X atau RTS < I I harus dirawat di pusat trauma uiv.uk pediatrik. Dikutip dari:
Paul O. C'amboulivcs .1. 4lh European Congress of Paediatric Anesthesia, 1997.

Pengelolaan pasien trauma dilakukan dalam dua tahap. Tahap


pertama adalah penilaian yang cepat dan resusitasi dengan tujuan untuk
mengstabilkan kondisi anak. Tahap kedua adalah evaluasi lengkap dari
ccdera dan rencana terapi deflnitif.
Hampir 50% kematian terjadi pada dua jam pertama setelah
kecelakaan. Perhatian harus ditujukan terutama pada
pencegahan terjadi kerusakan neurologi sekunder dengan pcmbcrian
resusitasi yang baik.
Pasien anak dengan cedera kepala sering mengalami gangguan
jalan nafas tctapi tindakan sederhana seperti pengisapan daerah faring,
131
pemasangan oropharyngeal airway, menarik angulus mandibula dapat
menjamin bebasnya jalan nafas. Oksigen hams diberikan. Intubasi
merupakan indikasi bila GC'S < 8 setelali dilakukan resusitasi, terdapat
respirasi distres, syok, trauma maksilo fasial dengan gangguan jalan
nafas.
Pasien trauma mempunyai risiko yang lebih besar untuk
terjadinya regurgitasi cairan lambung dan aspirasi paru, terutama bila
trauma terjadi kurang dari 2 jam setelali makan. Bila diperlukan
intubasi endotrakheal, mungkin diperlukan induksi yang eepat dan
Selliek manuver. Pada saat ini cervical spine control/ adalah
merupakan hal yang sangat penting. Pada kasus hipertensi intrakranial
yang biasa, untuk fasilitas intubasi dapat digunakan obat pelumpuh otot
non depolarisasi. Rokuronium bromida 0,6mg/kg memberikan fasilitas
intubasi kurang dari 1 menit. Preoksigenasi harus dilakukan.
Pencegahan hiperkarbia dan hipoksia merupakan suatu hal yang
sangat penting. Bila diperlukan ventilasi mekanis, tujuannya adalah
untuk mempertahankan PaCE yang normal, sebab bila PaOi turun di
bawah 50 mini Ig, aliran darah otak akan meningkat secara dramatis.
Bila ada hipoksemia penggunaan PREP tidak merupakan
kontraindikasi. Neurogenic pulmonary edema merupakan komplikasi
yang jarang pada cedera kepala berat dan pengclolaannya sulit.
Hiperkarbia merupakan komplikasi pasien koma yang sering terjadi
dan harus diterapi dengan segera.
Kolaps kardiovaskuler umumnya adalah akibat perdarahan atau
cedera medulla spinalis, akan tetapi pada anak kecil, cedera kepala
dengan luka pada sc lap dan atau hematotn intrakranial, dapat
membawa kearah hipovolemia atau syok hemoragik.
Respon tlsiologi dari anak terhadap hipovolemia sangat efektif.
Dengan adanya mekanisme vasokonstriksi hebat, tekanan darah dapat
dipertahankan sampai kehilangan darah 25-30 % dari perkiraan jumlah
darah anak tersebut. Kehilangan darah yang lebih lanjut dapat
membawa kepada aneaman kolaps kardiovaskuler, dan yang terburuk
terjadi henti jantung. Pada

132
keadaan insufisicnsi sirkulasi, pemberian cairan liarus dilakukan
dcngan memasang dua kanula vena yang besar pada vena perifer. atan
bila mungkin melalui vena jugularis ekstema atau vena femoralis. Bila
pemasangan kanula intravena tidak dapat dilakukan dengan cepat bisa
dilakukan infus intraosscus.
Cairan yang diberikan untuk pergantian volume dituntun dengan
tujuan untuk mempertahankan osmolalitas plasma yang normal. RL
adalah suatu larutan yang sedikit hipotonik, maka sebagai akibatnya
lebih disukai NaCI 0,9% atau koloid, misalnya hidroksi-etil-starch.
Akan tetapi hams diingat bahwa pemberian NaCI 0,9% dalam jumlah
banyak dan cepat dapat membawa kearah terjadinya hiperchloremik
asidosis. Umumnya diberikan bolus 15-20ml/kg cairan dalam waktu 10
menit. Hindari pemakaian lamtan dekstrosa sebab dapat menyebabkan
terjadinya hiperglikemia dan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
kcrusakan scl.
Pemeliharaan dari keadaan hemodinamik yang stabil adalah
penting untuk mcncegah kcrusakan iskemik dari otak dengan
mempertahankan tekanan perfusi otak. Pada trauma/cedera kepala berat
sering terjadi hilangnya autoregulasi serebal, pada keadaan ini tekanan
perfusi otak sesuai dengan tekanan arteri rerata. Terapi pertama adalah
pemberian cairan. Bila volume cairan sudah adckuat, akan tetapi
tekanan arteri rerata masih rendah, dapat diberikan vasopresor.
misalnya dopamin dan nor- epinefrin.
Prinsip pemberian cairan pada anak adalah untuk
mempertahankan isovolemik, isoosmoler, dan isoonkotik. Pemberian
cairan rumatan pada pasien pediatrik yaitu mcmakai rumus 4-2-1,
yaitu:
Berat badan < 10kg. : 4ml/kgBB/jam
Berat badan 10-20kg. : 40 ml + 2 ml/kgBB setiap kg kelebihan
dari 10 kg
Berat badan > 20 kg. : 60 ml + I ml /kgBB setiap kg kelebihan
dari 20 kg
Pada bayi prematur volume darah adalah 100 ml/kg BB, bayi baru lahir
normal 90 ml/kg BB dan pada anak 70 ml/kgBB.
Penggantian darah oleh kristaloid harus liga kali jumlah perdarahan,
bila penggantiannya mcmakai koloid, jumlahnya sama dengan jumlah

133
perdarahan.
Pencegahan dan pengcndalian krisis hipertcnsi intrakranial
bertujuan untuk mengurangi volume intrakranial, mengurangi tekanan
intrakranial dengan mengurangi volume eairan serebrospinalis, volume
vaskuler atau volume otak. Hiperventilasi dapat menyebabkan
hipokarbia yang menimbulkan vasokonstriksi artcri serebral.
Hiperventilasi sangat dianjurkan untuk pasien pcdiatrik dengan trauma
guna mengobati pembengkakan otak, tetapi telah ditunjukkan dengan
baik bahwa terapi ini dapat menyebabkan peningkatan yang hebat dari
serebral iskemia pada beberapa pasien. Hipokarbia yang hebat, PaCC>2
< 30 mmHg harus dicadangkan untuk pasien dengan hipercmia sebagai
suatu terapi untuk hipertcnsi intrakranial. Hipokarbia yang sedang,
yaitu PaC’Oi antara 30-35 mmHg sudah cukup untuk terapi hipertcnsi
intrakranial tanpa ketakutan adanya iskemia otak.
Dalarn kebanyakan kasus, mannitol 0,25-0,5 g/kg efcktif dalam
mengobati aneaman hemiasi otak. Mannitol tidak rutin diberikan.
NaC'l hipertonis (7,5%) sama efektifnya dengan mannitol untuk terapi
hipertcnsi intrakranial pada dewasa, tetapi sedikitnya penelitian pada
anak-anak, membatasi penggunaannya pada pcdiatrik.
Posisi kepala elevasi 30" mempunyai keuntungan untuk
mcnurunkan tekanan intrakranial keeuali untuk pasicn-pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, dimana posisi yang netral ini
merupakan posisi terbaik untuk mempertahankan tekanan perfusi otak.
Posisi kepala harus dipertahankan dalam posisi midline untuk drainase
vena jugularis yang baik.
Pencegahan kejang yang terjadi pada 10% kasus diperlukan
pada pasien cedera kepala dan diberikan penitoin.
Intraoperatif: Teknik dan Obat Anestesi
Monitoring
Monitoring pada anak meliputi pcmasangan prckordial
stetoskop, EKG, tekanan darah non invasif, teinperatur, pulse oksimetri
dan kapnomctri. Pada operasi yang lebih intensif dapat dipasang kateter
arteri (melalui artori radialis, femoralis, tibialis posterior atau dorsalis
pedis). Dipasang kateter urin, teiiebih bila diberikan diuretika.
Monitoring tekanan intrakranial mempunyai banyak indikasi,
temtama bila ada tanda koma (GCS < 8) dan gambaran hipertensi
intrakranial pada ST-Scan. Kejadian kompiikasi setelah peniasangan
alat-alat monitoring tekanan intrakranial kira-kira 5%, yang terutama

134
adalah disfungsi dan hematom.
E valuasi preoperatif
Yang paling penting diingat adalah adanya hipertensi
intrakranial dan defisit ncurologis. Gejala dan tanda-tanda kenaikkan
tekanan intrakranial berbeda-beda bergantung pada usia. Neonatus dan
infant dengan hipertensi intrakranial menunjukkan adanya peningkatan
iritabilitas, makan tidak baik, atau lctargi. Fontanel yang cembung,
pembesaran kepala, deformitas, atau defisit extrimitas inferior sering
merupakan tanda kenaikan tekanan intrakranial.
Premedikusi
Pcnggunaan scdasi pada pasien bedah saraf dengan kenaikkan
tekanan intrakranial harus dihindari, kecuali bila anesthesiologist ada
didekat pasien. Pasien yang tidak koma dapat diberikan premedikasi
midazolam dengan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB per oral.
Induksi Anestesi
Pediatric neuroanesthetist harus mengcnal teknik anestesi
anestesi untuk pasien dengan kenaikkan tekanan intrakranial. Induksi
anestesi pada pasien anak adalah bertujuan pengendalian jalan nafas
yang cepat dengan hipervcntilasi untuk mengurangi aliran darah otak,
menghindari hipertensi sistemik akibat intubasi dan menghindari
terjadinya aspirasi pada pasien dengan pengosongan lambung yang
lambat. Teknik kombinasi atropin dengan barbiturat. lidokain intravena
dengan dosis 0.5 mg/kg dan pelumpuh otot non depolarisasi diikuti
dengan hiperventilasi merupakan metode yang baik. Pada anak yang
lebih besar dapat diberikan narkotik.

135
Penteliharaan anestesi
Diberikan obat anestesi yang mampu untuk
mempertahankan autoregulasi, reaktivitas terhadap C02,
menurunkan tekanan intrakranial yang akan menaikan tekanan perfusi
otak.
A20:
Pcngaruh N2() terhadap sirkulasi serebral masih
kontroversial. N20 60-70% menyebabkan eksitasi dan stimulasi
metabolisme serebral dengan adanya peningkatan aliran darah otak.
Penelitian pada infant dan anak menunjukkan bahwa N20 70% dalam
oksigen dengan fentanil/diazepam/caudal epidural anesthesia
meningkatkan aliran darah otak secara nyata dibandingkan dengan
campuran oksigen dengan udara.
Peningkatan ini tidak dihubungkan dengan perubahan dalam tekanan
arteri rerata, denyut jantung atau resistensi pembuluh darah otak. Hal
ini menyokong bahwa N20 mungkin mempunyai efek pada aktivitas
metabolisme mitokhondria otak. Barbiturat, benzodiazepin, hipokapnia
dan morfin etktif dalam mengurangi efek N20 terhadap aliran adarah
otak. Walaupun N20 masih umum digunakan dalan neuroanestesi, akan
tetapi sebaikknya tidak dipakai bila ada tight brain.
Sevofluran:
Sejak diperkenalkannya Sevofluran, telah diketahui bahwa
Sevofluran mempunyai gambaran yang menguntungkan untuk
neuroanestesi. Sebagai contohnya, lebih cepatnya pemulihan dari
Sevofluran dibandingkan dengan isofluran, akan mempercepat evaluasi
neurologis pascabedah. Sifat ini menyebabkan sevofluran mcrupakan
obat terpilih untuk bedah saraf. Akan tetapi semua obat anestesi
inhalasi bersifat vasodilatasi serebral sehingga kemungkinan akan
meningkatkan aliran darah otak. volume darah otak, dan tekanan
itrakranial. Tetapi pada penelitian-penelitian terbukti efek vasodilator
serebral sevofluran lebih kecil daripada isofluran dan halotan sehingga
sevofluran lebih dianjurkan untuk operasi bedah saraf. Penelitian-
penelitian menunjukan bahwa efek sevofluran pada sirkulasi serebral
adalah minimal dan lebih kecil daripada isofluran.
Kemampuan pembuluh darah otak untuk bereaksi tcrhadap
perubahan PaC02 penting untuk ncuroanestesi yang aman. Rcflcks
tcrhadap CO: ini letap dipertahankan pada dosis Sevotluran sampai 1,3
MAC .
Hal yang sama, autoregulasi selama ancstcsi dengan sevotluran

136
tctap dipertahankan sampai 1,5 MAC dengan metode yang menilai
dinamika autoregulasi. Sebaliknya, 1,5 MAC isofluran menghilangkan
autoregulasi serebral. Salah satu alasan penting untuk perbedaan ini
adalah penurunan et'ek dilatasi dari sevotluran (sedikitnya 75%)
dibandingkan dengan isofluran pada pembuluh darah serebral.
Efek keseluruhan sevotluran pada mctabolisme dan aliran darah
serebral bergantung pada keseimbangan vasokonstriksi yang sekunder
tcrhadap penurunan metabolisme dan efek vasodilatasi dirck dari obat.
Kebanyakan pcnelitian pada manusia menunjukkan suatu efek
bersamaan dari penurunan utilisasi oksigen serebral dan aliran darah
sampai 40% pada dosis 1 MAC. Sedikit, peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak signifikan terlihat dengan sevotluran dan
isofluran, tetapi tekanan perfusi otak dipertahankan lebih baik dengan
sevotluran.
Stabilitas aliran darah otak secara cmpiris bernilai khusus jika
kondisi pembuluh darah otak tidak diketahui. Aliran darah otak stabil
bila sevotluran didahului dengan pemberian obat anestesi intravena.
Sebaliknya, deslluran menyebabkan peningkatan aliran darah otak yang
nyata. mungkin sekunder tcrhadap suatu peningkatan tekanan darah
sistemik dan vasodilatasi serebral. Lagipula, aliran darah otak stabil
selama induksi anestesi dengan sevotluran, tetapi induksi intravena
dengan propofol dapat menurunkan aliran darah otak. Signifikansi
penurunan aliran darah otak pada pasien dengan penyakit
sercbrovaskuler tidak jelas. Dapat dibuktikan bahwa sirkulasi sistemik
dan serebral. menjadi lebih stabil pada induksi inhalasi dengan
sevotluran.
Desfluran:
Lutz dkk. meneliti pengaruh desfluran pada anjing. Desfluran
menimbulkan pcnurunan CMROj bergantung pada dosisnya. Seperti
halnya obat anestesi inhalasi lainnya, desfluran bersifat vasodilator
serebral dan menyebabkan pcnurunan resistensi pcmbuluh darah otak
bergantung pada besarnya dosis yang diberikan.
Pada konscntrasi desfluran di atas I MAC (MAC desfluran 6,0),
aliran darah otak meningkat. Bila tekanan darah menurun dengan
besarnya dosis desfluran, tekanan perfusi otak akan turun dan bila
turun di bawah batas bawah otoregulasi, aliran darah otak akan turun.
Perubahan tekanan intrakranial terjadi minimal. Pcnurunan CMROi
terbatas sampai 20% mungkin akibat depresi mctabolik maksimal yang
dicapai pada konscntrasi > 2 MAC. Perubahan aliran darah dan

137
metabolisme otak akibat desfluran sebanding dengan yang diakibatkan
oleh isofluran.
Pada penelitian lain pada anjing, reaktivitas CO2 dipertahankan
pada 1-2 MAC desfluran. Desfluran mempunyai kelarutan yang sangat
rendah schingga uptake dan eliminasi terjadi sangat cepat. Baunya
sangat merangsang schingga bila dilakukan induksi inhalasi, kejadian
batuk, nahan nafas, dan spasme laring sangat tinggi. Patel & Goa dkk
mengatakan bahvva desfluran kontra indikasi pada anak umur < 12
tahun. Kejadian batuk dan mcnahan nafas ini menyebabkan desfluran
tidak merupakan pilihan pada induksi untuk anak.
Seperti halnya isofluran, desfluran meningkatkan denyut
jantung dan menekan kontraksi jantung, tetapi lebih ringan
dibandingkan dengan halotan. Seperti halnya isofluran juga, desfluran
mempertahankan curah jantung. Sensitivitas desfluran terhadap
katekholamin tidak meningkat. Pengaruhnya terhadap tekanan cairan
serebrospinalis masih kontroversial, ada yang mengatakan
meningkatkan, tapi ada yang mengatakan tidak ada pengaruhnya.
Pcningkatan tekanan cairan serebrospinalis ini mungkin terjadi akibat
pcningkatan produksi cairan serebrospinalis tanpa disertai perubahan
keccpatan absorpsi cairan serebrospinalis.

138
Algoritma Pengelolaan Kenaikan ICP
Dibawah ini adalah algoritma pengelolaan peningkatan ICP:

Dikutip dari: (iupta AK. Gelb AW. eds. Essentials of neuroanesthesia and neurontensivc care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008

139
Si mpulan
Pengelolaan anestcsi anak dcngan ccdcra kcpala berdasarkan
pada prinsip neuroanestesi pasicn dewasa, akan tetapi pasien anak
metnberikan gambaran yang unik terhadap ccdcra tcrmasuk kcadaan
hiperemia, disruption cervical spine, dan cedera ekstrakranial yang
spesifik. Untuk dapat nicngelola pasien anak dcngan cedera kcpala,
konsultan anesthesiologist harus mengerti tentang anatomi dan
fisiologi anak, mampu untuk menjamin jalan nafas yang bebas, akses
vena, resusitasi cairan dan mulai terapi hipertensi intrakranial
Daftar Pustaka

1. Bisri T. Pengelolaan Perioperatif Cedera Kcpala Akut.


Bandung: Fakultas Kedokteran Universilas Padjadjaran; 2000.
2. Bisri T. Ilimcndra A, Surahman E. Neuroancstesi, edisi 2,
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;
September 1997.
3. Bissonette B, Armstrong DC. Rutka JT. Pediatric
Neuroancsthesia. Dalam: Albin MS, ed. Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroascience
perspectives. New York: McGraw-Hill; 1997.
4. Bissonnette B. Neuroanesthesia and Intracranial pressure in
children: Basic principles of clinical management. Dalam:
Dalens B, Murat I. Bush G, eds. Advances in Paediatric
anesthesia. 4"' European Congress of Paediatric Anesthesia,
Paris; May 1997.
5. Gilder F, Turner .IM. Principles of Paediatric
Neuroanesthesia. Dalam: Matta BF. Menon DK, Turner .IM,
eds. Textbook of Neuroanesthesia and Critical Care. London:
Greenwich Medical Media; 2000.
6. Hamid RKA, Newfield P. Pediatric Neuroanesthesia. Dalam:
Newfiled, Cornell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3rd
ed, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 1999.
7. Harris MM. Anesthesia for Pediatric Head Injury. Dalam: Lam
AM.cd. Anesthetic Management of Acute Head Injury. McGraw

140
Hill: New York; I1)1)?.
8. Ncwfleld P, Hamid RKS. Anesthesia for Pediatric Neurosurgery.
Dalam: Cotrell JL. Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
4,h ed. St Louis: Mosby; 2001.
9. Paut O. Camboulives .1. Management of Severe head injury in
children. Dalam: Dalens B. Murat I. Bush G, eds. Advances in
Paediatric anesthesia. 4"' European Congress of Paediatric
Anesthesia. Paris; May 1997.
10. Patel SS, Goa K.L. Dcsflurane, A review of its
pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and its
efficacy in general anesthesia. Drugs 1995; 50(4):742-767.
11. Turner .IM. Anesthesia for Paediatric Neurosurgery. Dalam:
Gupta AK, Summors A. Notes in Neuroanesthesia and Critical
Care. London: Greenwich Medical Media; 2001.
12. Vavilala MS, Chesnut R. Anesthetic considerations for pediatric
neurotrauma. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of
neroanesthesia and neurontensive care. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008,
13. Yemen TA. Pediatric Neuroanesthesia. Dalam: Stone D.I. Sperry
RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. eds. The
Neuroanesthesia Handbook. St. Louis: Mosby; 1996.

141
BAB 7
Terapi Intensif Cedera Kepala

Ccdcra otak traumatika mcrupakan penyebab utama inorbiditas


dan mortalitas pada usia muda. Di USA 1,5 juta pasien cedera otak
traumatika setiap tahun dengan 50.000 pasien meninggal dan 70.000-
90.000 mengalami cacat permanen. Prinsip umuni pengelolaan
periopcratif pasien dengan cedera kepala difokuskan pada stabilisasi
pasien dan menghindari insult sistemik dan intrakranial yang
mcnyebabkan cedera otak sckunder. Insult sekunder ini, yang
kemungkinan dapat dicegali dan ditcrapi, dapat menyulitkan pengelolaan
pasien cedera kepala dan memperburuk outcome.
Neuroanestesiologist berperanan banyak pada pengelolaan pasien
periopcratif, di Unit Gawat Darurat, sclama pembedahan. dan
pascabedah terutama di IC’U. Pcngoptimalan kondisi pasien prabedah
mungkin memerlukan pengelolaan dan fasilitas ICU. Walaupun
pengelolaan selama pembedahan mcmenuhi standar ncuroanestesi, akan
tetapi, ketidaksinambungan terapi yang tepat pada periode pascabedah
akan memperburuk luaran (outcome). Terapi pascabedah pada
pengelolaan lekanan intrakranial, fungsi hemodinamik dan respirasi,
secara posit if akan memperbaiki hasil pengobatan pada pasien-pasien
bedah saraf yang kritis.
Cedera otak dapat dibagi kcdalam cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera otak primer terjadi pada saat terjadinya trauma dan
disebabkan karena trauma langsung pada tulang kepala dan isi
intrakranial. Cedera primer dapat berbentuk laserasi, kontusio, cedera
akson atau hematoma intrakranial. Ccdcra otak sekunder adalah suatu
akibat trauma yang membawa kearah terjadinya iskemi serebral, edema
serebral, peningkatan ICP, dan kematian. Kejadian kejadian ini dapat
terjadi setelah hipovolcmi berat dan hipotensi, hipoksia oleh sebab
apapun, intrakranial hematoma, efek merugikan dari eksitoksisitas, lipid
peroksidase, metabolit asam arachidonik, pelepasan radikal bebas,
intrakranial hematoma, kcgagalan energi, hilangnya homeostasis ion.
infeksi atau konvulsi.
Pasien cedera kepala yang mempunyai indikasi masuk ICt 1
adalali cedera kepala berat (GCS < 8), cedera kepala dengan

143
hipoksemia menetap. cedera kepala dengan hemodinamik tidak stabil,
hipotensi dan syok, cedera kepala dengan multipel trauma, Tujuan
utama pengelolaan ICU untuk pasien dengan cedera kepala adalali
untuk penilaian segera dan resusitasi cedera primer, deteksi dini dari
perubahan status neurologis misalnya GCS, mcncegah cedera
sekunder akibat hiponatremia, hipotensi dan hipovolemia,
hipoksemia, hiperkarbia dan peningkatan ICP serta untuk diagnosa
dan pengobatan dini dari problem bedali (misalnya peningkatan ICP,
massa intrakranial, edema serebral dan konvulsi). Hal itu dapat
dilakukan dengan oksigenasi yang baik, hemodinamik stabil,
perubahan metabolik minimal, diagnosis dan intervcnsi bedali yang
segera.
Pada cedera otak traumatika dapat terjadi cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera Otak Primer terjadi pada saat trauma,
merupakan efek biomekanis yang mengenai tulang tengkorak dan
otak, menimbulkan ct'ck klinis yang segera, manifest dalam waktu
milidetik, tidak dapat diobati, tapi dapat dicegah.
Cedera Otak Sekunder terjadi dalam mcnil, jam, hari setelah
cedera kepala primer dan menggambarkan proses penyulit yang
dimulai setelah cedera primer berupa iskemia, pembengkakan dan
edema, perdarahan intrakranial, hipertensi intrakranial. herniasi.
haktor penyebab cedera sekunder bisa sistemik dan intrakranial.
Penyebab sistemik adalali hipoksemia, hipotensi, anemia, hipokarbia,
hiperkarbia, pireksia, hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia.
Penyebab intrakranial adalali adanya hematoma, peningkatan ICP,
seizure, infeksi, vasospasme.
Hipertensi Intrakranial setelah cedera kepala berat (CKB)
terjadi pada 50-64% pasien yg koma akibat CKB. Setelah evakuasi
hematoma intrakranial masili terjadi pada 50-70% pasien. Kejadian
hipertensi intrakranial lebili besar setelah evakuasi intracerebral
hematoma (71%) dibandingkan dengan setelah evakuasi epidural
hematoma (39%). Hubungan antara beratnya hipertensi intrakranial
dengan outcome yg buruk adalali bila ICP < 15 mmHg 77% outcome
baik, bila ICP> 15 inmHg
hanya 43%. Bila ICP < 25 mmHg mortalitas 15%, dan bila ICP > 25
nimHg, mortalitas 69%. ICP 0-20 mortalitas 19%. ICP 21-40 mortalitas
28%, ICP 41-80 mortalitas 79%.
Pengelolaan Hipertensi Intrakranial
Berbagai manuvcr dan obat digunakan untuk menurunkan tckanan

144
intrakranial. Sebagai contoh, pembcrian diuretik, hiperventilasi.
pengendalian tckanan darah sistemik telah digunakan untuk mengurangi
edema serebral dan brain bulk, dengan demikian akan menurunkan
tekanan intrakranial.
Pasang monitor ICP
Pertahankan Tekanan Perfusi Otak 50-70 mmHg.
• First-tier terapi: drainase vcntrikel (bila tersedia), mannitol
0,25-1 g/kg (dapat diulang bila osmolaritas scrum <320 mOsm/L
dan pasien euvolemic, hiperventilasi untuk mencapai PaCCB 30-
35 mmHg
• Second-tier terapi: Hiperventilasi untuk mencapai PaCC>2 < 30
mmHg (dianjurkan dipasang SJO2, AVDO2, dan atau CBF),
dosis tinggi barbiturat, hipoterniia, hipertensif terapi,
dekompresif kraniektomi.
Dosis tinggi barbiturat:
• Eisenberg Pentobarbital Protocol: Loading dose
pentobarbital 10 mg dalam 10 mcnit atau 5 mg/kg/jam untuk 3
jam, dan dosis rumatan 1 mg/kg/jam.
• Thiopental: loading dose 10-20 mg/kg bolus perlahan- lahan
dilanjutkan dengan 3-5 mg/kg/jam.
• Thiopental: loading dose 5-11 mg/kg dilanjutkan dengan 4-6
mg/kg/jam.
• Pentobarbital dosis awal 10 mg/kg berikan dalam waktu 30
mcnit dilanjutkan dengan bolus 5 mg/kg/jam sclama 3 jam dan
kemudian infus 1-3 mg/kg/jam.
• Propofol: loading dose 1-2 mg/kg dilanjutkan dengan 2- 10
mg/kg/jam.
• Komplikasinya depresi miokardium dan hipotensi.

145
Diuretik
Penurunan tekanan intrakranial yang ccpal dapat dicapai dengan
pembcrian diuretik. Dua macam diuretik yang uinum digunakan yaitu
osmotik diuretik mannitol dan loop diuretik furosemid. Mannitol
diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25-1 gr/kg BB. Bekerja
dalam waktu 10-15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol
tidak menembus sawai darah-otak yang intact. Dengan peningkatan
osmolalitas darah relatif terhadap otak, mannitol menarik air dari
jaringan otak kedalam darah. Bila sawar darah-otak rusak, mannitol
dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan
intrakranial sebab ada suatu perbedaan osmotik yang terbalik dimana
osmolaritas jaringan otak lebih tinggi daripada plasma sehingga air akan
masuk kedalam jaringan otak. Akumulasi mannitol dalam otak terjadi
pada dosis besar dan pengulangan pemberian.
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung dari
besarnya dosis dan kecepatan pemberiannya. Vasodilatasi akibat
mannitol dapat menyebabkan peningkatan volume darah otak dan
tekanan intrakranial secara selintas yang simultan dengan penurunan
tekanan darah sistemik. Disebabkan karena mannitol pertama-tama dapat
meningkatkan tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara
pcrlahan (infus > 20 menit) dan dilakukan bersama dengan manuver
yang menurunkan volume intrakranial (misalnya hipervcntilasi).
Obat hipertonik harus diberikan secara hati-hati pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selintas
volume intravaskuler dapat mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid
mungkin obat yang lebih baik untuk mengurangi tekanan intrakranial
pada pasien ini. Penggunaan mannitol jangka panjang dapat
menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit,
hiperosmolalitas, dan gangguan fungsi ginjal. Hal ini tcrutama bila
serum osmolalitas meningkat diatas 320 mOsm/liter.
Furosemid mengurangi tekanan intrakranial dengan
mcnimbulkan diuresis, menurunkan produksi cairan
scrcbrospinal, dan memperbaiki edema serebral dengan
memperbaiki transport air seluler. Furosemid menurunkan
tekanan intrakranial tanpa meningkatkan volume darah otak atau
osmolalitas darah, akan tetapi, tidak seefektif mannitol dalam
menurunkan tekanan intrakranial. Furoscmid dapat diberikan tersendiri
dengan dosis 0,5-1 mg/kg atau dengan mannitol, dengan dosis yang lebih
rendah (0,15-0,3 mg/kg). Suatu kombinasi mannitol dengan furosemid
lebih efektif daripada mannitol saja dalam mengurangi brain bulk dan

146
tekanan intrakranial tapi lebih menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Bila dilakukan kombinasi terapi, diperlukan
pemantauan serum elektrolit dan osmolalitas dan mengganti kaliutn bila
ada indikasi.
NaCl hipertonik. lebih berguna pada pasien tertentu rnisal
hipertensi intrakranial refrakter atau yang memerlukan pemulihan cepat
dari volume intravaskuler dan penurunan tekanan intrakranial. Kerugian
utama dari NaCl hipertonik adalah terjadinya hipematremia. Pada suatu
penelitian pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor supratentorial,
volume yang sama mannitol 20% dan NaCl 7,5% dapat mengurangi
brain bulk dan tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na meningkat
selama pemberian NaCl hipertonik dan mcncapai puncak 150 meq/lt.
Steroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak.
Kortikosteroid memerlukan beberapa jam atau hari scbelum mengurangi
tekanan intrakranial. Pemberian kortikosteroid sebelum reseksi tumor
soring menimbulkan perbaikan neurologis mendahului pengurangan
tekanan intrakranial. Steroid dapat memperbaiki kerusakan barier darah-
otak. Postulat mekanisme steroid dapat mengurangi edema otak adalah
dehidrasi otak, perbaikan barier darah-otak, penccgahan aktivitas
lisosom, mempertinggi transport elektrolit serebral, merangsang ekresi
air dan elektrolit, dan menghambat aktivitas fosfolipase A\ Komplikasi
yang potensial dari pemberian steroid yang lama adalah hiperglikemia,
ulkus peptikum akut, peningkatan kejadian int'eksi. Walaupun pada
tahun 70-an dan permulaan tahun 80-an digunakan secara ektensif, untuk
terapi edema serebral pada cedera kepala akut. sekarang steroid tidak
digunakan pada protokol pcngelolaan cedera kepala.
Pengelolaan Ventilasi
Hiperventilasi telah dipakai untuk pengelolaan hipertensi
intrakranial akut dan subakut. CCT adalah screbro vasodilator kiinl dan
penurunan CO2 serebrovaskular dapat menurnnkan volume otak dengan
menurunkan aliran darah otak melalui efck vasokonstriksi serebral yang
eepat. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO>, aliran darah otak benibah 1-2
ml/lOOgir/menit Hiperventilasi efektil dalam menurunkan tekanan
intrakranial hanya untuk 4-6 jam, bergantung dari pH cairan
serebrospinal dan utuhnya reaktivitas pembuluh darah otak terhadap
CO2. Gangguan reaksi terhadap perubahan PaCTCT terjadi di daerah
vasoparalisis, yang dihubungkan dengan penyakit intrakranial luas
seperti iskemia, trauma, tumor, dan infeksi.

147
Hiperventilasi dapat berbahaya. Ada bukti bahwa agresil
hiperventilasi dan vasokonstriksi dapat menimbulkan iskemia, terutama
bila aliran darah otak rendah. Telah ditunjukkan bahwa aliran darah otak
setelah cedera kepala paling rendah pada hari pertama dan sceara
perlahan meningkat pada 3-6 hari kemudian, Telah diperlihatkan adanya
korclasi langsung dari hiperventilasi agresif (PaC02 < 25 mmHg) dan
outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala bcrat.
Bila hiperventilasi dimulai untuk pengendalian hipertensi
intrakranial, PaC02 haras dipertahankan dalam rentang 30-35 mmHg
untuk mencapai pengendalian tekanan intrakranial seraya mengurangi
risiko iskemia. Hiperventilasi untuk mencapai PaCOi kurang dari 30
mmllg harus dipertimbangkan hanya bila diperlukan terapi sekunder
untuk hipertensi intrakranial yang refrakter.
Pengukuran SJO2 kontinu digunakan dalam praktek klinik untuk
menentukan pasien mendapatkan Itasil y<mg menguntungkan atau
merugikan akibat hiperventilasi. Pada situasi cmergcnsi, harus dikontinu
melakukan hiperventilasi bila ada pcrtimbangan pasien dalam kedaan
hipertensi intrakranial. Akan tetapi, bila situasi klinik tidak memcrlukan
hiperventilasi lebih lama atau ada bukti adanya iskemia serebral, maka
harus dilakukan normoventilasi.

148
Pengelolaan Cairan dan Tekanan Arteri
Penelitian binatang dan survai klinik menyokong konscp bahwa
otak yang cedera sangat rcntan terhadap perubahan kccil hipoksia atau
hipotensi. Keterangannya adalah setclah cedera kepala. pada beberapa
pasien mcnunjukkan adanya daerah otak yang sangat rendah aliran
darahnya, dengan gangguan autorcgulasi. Bila autorcgulasi hilang, aliran
darah otak menjadi bergantung pada tekanan darah. Karena itu, pasien
cedera kepala dengan aliran darah otak rendah sangat rentan terhadap
hipotensi sislernik. Observasi ini mempunyai akibat dalam lebih
besarnya dukungan pada support tekanan darah yang agrcsif pada pasien
cedera kepala. Penelitian dengan SJOj dan TCD mcnunjukkan bahwa
tekanan perfusi otak yang adekuat mulai memburuk pada tekanan perfusi
otak rerata < 50 mmHg. The Brain Trauma Foundation dan American
Associaton of Neurologic Surgeon menganjurkan target tekanan perfusi
otak adalah 50-70 mmHg pada pasien cedera kepala. Tekanan perfusi
otak < 50 mmHg ada rcsiko terjadi iskemi otak dan tekanan perfusi otak
> 70 mmHg ada resiko terjadinya ARDS.
Restriksi cairan merupakan cara tradisional untuk terapi
dekompresi intrakranial tetapi sekarang jarang digunakan untuk terapi
menurunkan tekanan intrakranial. Restriksi cairan yang berat dalam
beberapa hari dapat menimbulkan hipovolemia, dan menyebabkan
hipotensi. penurunan aliran darah otak, dan hipoksia. Kekurangan
volume intravaskuler harus diperbaiki sebelum induksi anestesi untuk
mencegah hipotensi. Rcsusitasi dan rumatan cairan untuk pasien bedah
saraf adalah larutan kristaloid iso-osmolar yang bebas glukosa. Larutan
hipoosmolar misalnya NaCl 0,45% dan RL lebih meningkatkan air otak
daripada larutan isoosmoler NaCl 0,9%. Larutan yang mengandung
glukosa dihindari pada seinua pasien bedah saraf dengan metabolisme
glukosa yang normal, sebab larutan ini dapat mengeksaserbasi kerusakan
iskemik. Hiperglikemia memperberat kerusakan iskemik dengan
pempromosi produksi laktat neuron, yang memperberat cedera seluler.
Cairan intravena yang mengandung glukosa dan air (dektrosa 5% dalam
air atau dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl) juga memperberat edema
otak, sebab glukosa dimetabolisme dan air akan tetap tinggal ruangan
cairan intrakranial. Studi klinis menunjukkan suatu hubungan yang kuat
antara kadar glukosa plasma dan luaran neurologis sctelah stroke dan
cedcra otak. Karcna itu, glukosa hanya diberikan bila ada risiko
hipogliketnia dan kadar glukosa darah harus dipantau dan dipertahankan
pada rentang bawah dari nilai normal.
Selama resusitasi cairan pasicn cedera kepala, sasarannya adalah

149
untuk mempertahankan osmolalitas serum normal, menghindari
penurunan tekanan koloid osmotik yang besar, dan mengembalikan
sirkulasi darah yang normal. Terapi yang segera adalah langsung pada
mencegah hipotensi dan mempertahankan CPP 60 mmHg (50-70
mmHg). Bila ada indikasi, pasang monitor ICP untuk panduan resusitasi
cairan dan mencegah kenaikkan ICP. Kristaloid iso-osmolar, koloid atau
keduanya diberikan segera untuk mempertahankan volume sirkulasi.
Perdarahan yang banyak memerlukan transfusi darah. Hematokrit
minimal antara 30-33% dianjurkan untuk memaksimalkan transportasi
oksigen.
Larutan NaCI hipertonik mungkin sangat berguna untuk resusitasi
volume pada pasien cedera kepala karena mempertahankan volume
intravaskuler scraya menurunkan ICP dan memperbaiki aliran darah otak
regional. NaCI hipertonik menimbulkan suatu efek osmotik diuretik
sama seperti mannitol. Dengan penggunaan jangka panjang, ada
kemungkinan komplikasi dari peningkatan Na serum, penurunan
kesadaran dan kejang. Laporan penelitian pada 1000 pasien
menunjukkan bahwa luaran jangka panjang tidak perbedaan antara NaCI
hipertonik dengan normal saline.
Posisi
Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head up 15-
30° dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan
memperbaiki drainase vena screbral. Kepala fleksi, ekstensi, atau rotasi
dapat menimbulkan obstruksi drainase vena serebral. dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Penurunan posisi kepala (posisi
trendelenburg) menyebabkan gangguan drainase vena serebral, yang
secara ccpat meningkatkan brain hulk dan tekanan intrakranial.
Obat yang menimbulkan Vasokonstriksi Serebral
Pemberian obat yang meningkatkan rcsistensi pcmbuluh darah
serebral dapat secara eepat mengurangi tekanan intrakranial. Pcntotal
dan pentobarbital adalah obat yang paling banyak digunakan untuk
tujuan ini. Barbiturat menurunkan CMR dan aliran darah otak. Masalah
utania dengan barbiturat adalah adanya penurunan tekanan arteri rcrata,
yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menuninkan tekanan perfusi
otak. Pada dosis tinggi (10-55 mg/kg) pentotal dapat menimbulkan EF,G
isoelektrik dan menurunkan CMR sampai 50%. Metabolik efek pentotal
yang langsung adalah menyebabkan konstriksi pcmbuluh darah serebral,
yang menurunkan aliran darah otak dan karena itu menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial.

150
Pentobarbital digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial
apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lcbih dari 30
menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.
Level dalam darah sccara periodik diukur untuk mencegah overdosis dan
diatur kira-kira 3 mg/dl. Pasien memerlukan ventilasi mekanis, hidrasi,
pemantauan tekanan intrakranial, pemantauan tekanan arteri invasif dan
mungkin vasopresor. EEG digunakan untuk memantau pola burst supresi
sebagai bukti penekanan adekuat dari aktivitas serebral. Sasaran dari
barbiturat koma adalah pengcndalian ICP jangka panjang sampai faktor
yang memperburuk tekanan intrakranial dapat dihilangkan.
Barbiturat mungkin juga mcmbcrikan proteksi otak dengan
menurunkan mctabolisme otak. Beberapa dari pcrkiraan mekanisme
yang mana barbiturat mempunyai efek proteksi otak adalah
kcmampuannya untuk menurunkan mctabolisme otak, penurunan Ca
influks, blokade lerowongan Na, menghambat pembentukan radikal
bebas, memberbesar aktivitas GABA, dan menghambat transfer glukosa
mencmbus barier darah-otak. Semua dari mekanisme ini konsistcn
dengan laporan bahwa pentobarbital koma mengurangi laktat, glutamat
dan aspartat pada ruangan ekstraseluler pada pasien cedera kepala
dengan peningkatan tekanan intrakranial yang hebat. Penelitian invitro
menyokong bahwa tiopental juga mcmperlambat hilangnya

151
perbedaan elektrik transmembran yang disebabkan karena aplikasi
NMDA dan AMPA.
Penelitian binatang dan laporan pendahuluan penggunaan
indomethasin dalam pengclolaan bipertcnsi intrakranial adalah
indomethasine mcnyebabkan vasokonstriksi scrcbral dan pcnurunan
aliran darah otak tanpa mempengaruhi CMROi. Mungkin dapat
menurunkan tekanan intrakranial dengan cara menurunkan edema
serebral, menghambat produksi eairan serebrospinal dan mengendalikan
hipertermia.
Drainase eairan serebrospinal
Drainase eairan serebrospinal 10-20 ml dengan tusukan langsung
pada ventrikcl lateral atau dari kateter spinal lumbal dapat mengurangi
brain tension secara eepat. Drainase eairan serebrospinal lumbal hams
dilakukan secara hati-hati hanya bila duramater terbuka dan pasien
dilakukan hiperventilasi ringan untuk mencegah herniasi otak akut.
Drainase eairan serebrospinal dilakukan melalui kateter ventrikel untuk
pemasangan pemantauan tekanan intraranial.
Pengendalian teniperatur tubuh
Hipotermia ringan telah ditunjukkan untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan
metabolisme otak, aliran darah otak, volume darah otak dan produksi
eairan serebrospinal is. Obat yang menekan menggigil secara sentral,
pelumpuh otot, dan ventilasi mckanis diperlukan bila dilakukan teknik
hipotermi.
Teniperatur harus dikendalikan pada semua pasen, tapi menjadi
lebih khusus pada pasien-pasien pascabedah saraf. Peningkatan
teniperatur dihubungkan dengan peningkatan konsumsi oksigen tubuh
kira-kira 10-12% setiap derajat, yang akan menurunkan jumlah oksigen
yang tersedia untuk otak. Setiap usalia harus dilakukan untuk mencegah
kenaikan teniperatur tubuh, tapi bila telah terjadi hams segera diterapi
secara agresif.
Sebaliknya hipotermi menguntungkan untuk pasien bedah saraf.
Pcnurunan suhu tubuh akan menurunkan keperluan oksigen otak dan
akan melindungi otak. Hipotermi dan barbiturat telah
digunakan untuk mcngobati pasicn dengan ccdcra otak. Tctapi
hipotermia dapat menyebabkan menggigil, gangguan elektrolit.
perubahan kardiovaskuler, renal dan respirasi serta perubahan-
pcrubahan flsiologis lain. Selama pemulihan dari hipotermi harus

152
dibcrikan pcrhatian khusus pada sistim kardiovaskuler dan menggigil.
Pasicn mungkin memerlukan lebih banyak cairan untuk mengisi volume
intravaskuler akibat vasodilatasi sistemik pada perioda rewarming.
Mungkin pcrlu dibcrikan phenothiazine untuk mcncegah dan mengobati
menggigil, karena menggigil bisa mcningkatkan konsumsi oksigen
sampai 400%. Pcnurunan suhu tubuh hanya untuk mcncapai suhu 35°C,
jadi cukup dengan mengatur suhu ruangan saja. Tidak dianjurkan
melakukan hipotermi dalam dibawah 34°C.
Dalam dekade yang lain penelitian menunjukkan bahwa
hipotermi ringan secara nyata menurunkan cedera pada pasicn dengan
iskemia serebral, Ada resiko sistemik yang nyata dan faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan sebelum dilakukan teknik hipotermi. Hipotermi
ringan (sampai suhu 34°C) mempunyai efek proteksi otak.
Penurunan temperatur tubuh menurunkan kebutuhan oksigen 5-
7% untuk setiap derajat. Oleh karena itu. maka CMRO; dapat dikurangi
sampai 50% pada suhu 27° C. Hipotermi mempengaruhi semua proses
seluler maka hipotermi lebih efisien dan lebih kuat menekan
metabolisme daripada obat yang mempengaruhi CMROi melalui
penekanan aktivitas listrik. Bila aktivitas listrik tetap ada. barbiturat akan
memperkuat efek penekanan metabolisme dari hipotermi.
Terdapat sejumlah laporan penelitian model hewan coba pada
iskemi serebral global untuk melihat efek proteksi dengan penurunan
temperatur 1-4° C. Untuk penurunan 3° C, ada penurunan CMRO2
sebanyak 20%. Akan tetapi, efek proteksi otak dengan hipotermia ringan
bukan primer pada efeknya menurunkan CMRO2, tetapi juga pada
mediator cedera iskemik (misalnya dengan menurunkan pelepasan
Excitatory amino acids /EAA). Hipotermia ringan untuk beberapa hari
setelah k 1 iping aneurisma, SA1I atau cedera kepala secara nyata
mengurangi konsentrasi glutamat pada cairan scrcbrospinal. Hipotermia
ringan juga mempunyai keuntungan lain dengan bekerja pada
sintesa ubiqitin dan aktivasi protein C-kinase atau dengan stabilisasi
membran dan mengurangi konsentrasi Ca intraseluler.
Peningkatan suhu tubuli akan meningkatkan C'MROi yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan
oksigen. Bcberapa penelitian klinis hipolermia ringan selama 24- 48 jam
setelah cedera kepala berat metnperbaiki outcome neurologis. Beberapa
pusat pendidikan anestesi menggunakan teknik hipotermia ringan (33-
35° C) pada operasi dimana jelas ada risiko cedera iskemi susunan saraf
pusat. misal kliping aneurisma serebral.

153
Pcngendalian Kejang
Antikonvulsi yang sering digunakan adalah phenytoin (dilantin),
benzodiazepin, barbiturat dan lidokain. Phenytoin adalah suatu obat anti
kejang yang efektif. Dosis permulaan 5-20 mg/kg dengan kecepatan
maksimal pemberian 50 mg/menit untuk mencegah efek samping
kardiovaskuler seperti aritmia dan hipotensi sampai henti jantung.
Diazepam (valium) diberikan dengan dosis 5-10 mg intravena (0,3
mg/kg) pelan-pelan selama 1-2 menit. Obat ini efektif untuk 20-30
menit.
Barbiturat dapat digunakan untuk efek yang cepat dan terapi
jangka panjang. Tiopental dengan dosis 1-4 mg/kg akan eepat
menghentikan kejang. Hati-hati karena tiopental dapat menyebabkan
hipotensi dan depresi nafas.
Lidokain mempunyai efek anti kejang pada dosis 50-100 mg,
tetapi pada dosis besar bersifat cpileptogenik.
Bila masih terjadi konvulsi padahal pasen sedang dalam
pemberian obat pencegah konvulsi, dapat diberikan diazepam intravena
pcrlahan-lahan. Jadi bila sedang diberi hydantoin untuk mencegah
kejang, tapi timbul kejang, maka dapat diberi valium intravena. Sangat
penting untuk mencegah kejang pada periode paseabedah, sebab dapat
mempresipitasi komplikasi yang serius yaitu hipertensi dengan
pendarahan otak, hipoksia atau anoksia.
Terapi dan Protokol Pengelolaan
Metode Proteksi Otak/Resusitasi Otak adalah 1) Metode Dasar, 2)
Hipotermia normotermia rendah, dan 3) Farmakologik dengan anestetika
intravena, anestetika inhalasi, lidokain.

154
mannitol, magnesium, erythropoietin. alpha-2 agonists
dexmedetomidine, natrium laktat hipcrtonik.
Metode Dasar.
Teknik neuroanestesia sama persis dengan neuroresusitasi atau
pengelolaan di 1CU, yang disebut sebagai ABCDE neuroanestesi yaitu
Airway, Breathing, Circulation, Drugs, Environmnet. Airway adalah
membebaska jalan nafas. Breathing adalah oksigenasi adekuat. hindari
hipoksia, hiperkapnia (pertahankan normokapnia), hiperventilasi hanya
bila ada herniasi. Circulation adalah normovolemia, normotensi, iso-
osmoler dan normoglikemia. Pengendalian tekanan darah/tekanan
perfusi otak dengan target normotensi (tekanan perfusi otak antara 50-70
mniHg, jangan < 50 mmHg karena ada resiko iskemia otak tapi jangan >
70 mmHg karena ada resiko terjadinya ARDS). Kendalikan IC’P (CPP =
MAP ICP). Terapi bila ICP > 20 mmHg. Koreksi asidosis, gangguan
elektrolit. gula darah.
Pengaturan cairan untuk mempertahankan sirkulasi stabil, hindari
hipovolemia, hipcrvolemia, hipo-osmoler, hiperglikemia. Pilihannya
adalah NaCl 0,9% karena osmolaritasnya 308 mOsm/L, hindari RL
karena merupakan cairan hipoosmoler (273 mOstn/L), jangan diberikan
cairan yang mengandung dextrose. Dextrose hanya diberikan bila ada
hipoglikemia (glukosa darah < 60 mg%). Rumatan cairan 1-1,5
ml/kg/jam (30 mL/kg/hari).
Pengaturan suhu tuhuh:
Hipotcrmi untuk cedera kepala tramatika merupakan idc yang
bagus. akan tetapi, tidak efektif. Satu penclitian oleh Clifton dkk. yang
dimulai pada tahun 1994, akan tetapi pada Mei 1998, penelitian tersebut
dihentikan oleh the Patient Safety and Monitoring Board, setelah
dilakukan penclitian pada 392 pasien dari 500 pasien yang dircncanakan,
karena tidak efektif.
Clifton mendinginkan pasien dengan target suhu kandung kemih
33°C dalam 8 jam setelah cedera dan hipotermia dipertahankan sclama
48 jam.
Sekarang teknik hipotermia adalah target suhu inti di kamar
operasi 35” dan 36" atau normotermia di ICU. Hipotermia dapat
menurunkan metabolisme otak. pelepasan EAA, menurunkan
glutamat, stabilisasi membran, mempcrtahankan ATP,
menurunkan C'a influx. Hipotennia scdang (33°) mcmpunyai komplikasi
pneumonia dan selama rewarming dapat

155
meningkatkan T1K akibat serebral vasodilatasi. Hipertermia
meningkatkan intluks Ca, ATP habis, gangguan pemulihan.
Pcncegahan seizure
Dianjurkan selama minggu pertama setelah TB1, terutama bila
GCS < 10. Resiko seizure pascatrauma kira-kira 15% pada Cedera
Kepala Berat. Phenytoin mengurangi kejadian seizure selama minggu
pertama, diberikan 15 mg/kg intravena dengan kecepatan 25 mg/menit
(>20 menit) dilanjutkan 5-7 mg/kg/hari, dihentikan setelah 1 minggu.
Akan tetapi, pada panduan dari Brain Trauma Foundation 2007
profilaksis antikonvulsan tidak dapat mencegah seizure pascatrauma
kepala.
Phenytoin
Loading dose 10-20 mg /kg intravena, kecepatan pemberian
jangan melebihi 50 mg /menit disebabkan efek depresi jantung. Dosis
rumatan 4-6 mg/kg per hari intravena, dibagi dalam 2 atau lebih dosis.
Konsentrasi teurapeutik serum: 10-20 ug/mL. Selama dosis loading perlu
dipantau ECG, tekanan darali, fungsi respirasi.
Rekomendasi dari BTF untuk Pengelolaan Cedera Kepala Berat:
Standar berdasarkan Bukti Kelas I
• Bila tekanan intrakranial normal, hindari terapi hiperventilasi
yang lama (PaCO? < 25 mmHg).
• Tidak dianjurkan pemakaian steroid untuk memperbaiki
outcome atau penurunan ICP.
• Pemberian profilaksis antikonvulsan tidak bisa mencegah
terjadinya kejang pascatrauma
Standar berdasarkan Bukti Kelas 2
• Hindari atau segcra koreksi hipotensi (sistolik < 90 mmHg) dan
hipoksia (Sa02 < 90% atau Pa02 < 60 mmHg).
• Indikasi pemasangan monitoring ICP adalah GCS 3-8 dcngan
C'T-scan abnormal, atau adanya 2 atau lebili keadaan: umur >
40 tahun, motor posturing, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).
• Scgcra tcrapi bila ICP 20 mmHg atau lebih.
• Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg. Tcrapi agresif untuk
mempertahankan Tekanan Perfusi Otak > 70 mmHg hams
dihindari untuk menghindari risiko ARDS.
• llindari penggunaan protllaksis hiperventilasi (PaC’02 < 25
mmHg) selama 24 jam pertama setelah C'KB.

156
• Mannitol efcktit’ untuk mengendalikan pcningkatan ICP setelah
C'KB dengan rentang dosis 0,25-1 g/kg.
• Terapi dosis tinggi barbiturat dipertimbangkan pada pasien
dengan hemodinamik stabil, hipcrtcnsi intrakranial yang
refrakter terhadap terapi medikal dan bedah.
• Berikan dukungan nutrisi (140% dari resting energy
expenditure/REE pada pasien yang tidak paralisis dan 100%
REE pada pasien yang paralisis) dengan inenggunakan formula
enteral atau parenteral yang mengandung paling sedikit 15%
kalori adalah protein dalam 7 hari setelah cedcra.
Osmodiuretics
Mannitol menurunkan ICP, meningkatkan tekanan perfusi otak,
memperbaiki aliran darah otak pada penelitian hewan coba dan manusia.
Efek ini berhubungan dengan penambahan volume plasma dengan
penurunan lit, viskositas plasma, volume darah otak. Osmolaritas harus
dipantau dan jangan inelebihi 320 mOsm/l. Rebound effects hanya
relevant bila ada kerusakan sawar darah otak atau terapi yang inelebihi 4
hari.
Magnesium
Efek pada neuron adalah karena cfeknya memblokade kanal ion NMDA,
kanal Ca++ (mengurangi Ca++ influx), meningkatkan pcmulihan ATP.
Satu penelitian metaanalisis pada penclitian- penelitian stroke iskemi
akut mendukung adanya perbaikan outcome fungsional. Penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa

157
defisicnsi Mg mengeksasebasi ccdcra otak traumatika sedangkan
pemberian Mg mengurangi cedera. Dosisnya adalah 2 g berikan dalam
15 menit dan 8 g dalam 24 jam.
Lidokain
Mcmblokade influks Na, mengurangi cedera pasca nekrosis.
Memutuskan kerusakan iskcmik pada daerah penumbra dengan
mcmblokade jalur kematian sel secara apoptotik schingga disimpulkan
bahwa lidokain mempunyai efck proteksi otak.
EPO: Erythropoietin
Pertama kali sebagai faktor pertumbuhan eritrosit. Efek proteksi secara
langsung pada sel neuron selama iskemia serebral. Proteksi otak secara
lidak langsung dengan merangsang pertumbuhan pembuluh darah otak.
Memegang peranan dalam pertumbuhan, pemeliharaan. proteksi, dan
perbaikan sistem saraf. Berefek neuroproteksi sebagai anti apoptotik.
Mengstimulasi protein untuk perbaikan, mengurangi eksitotoksisitas
neuron, anti-oksidan, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis sel
neuron, stimulasi neurogenesis dan angiogenesis setelah cedera iskemik.
hipoksik, dan toksik.
Dcxmedetomidine
Kemampuan menghambat iskemia akibat pelepasan norepnephrin
mungkin dihubungkan dengan efek neuroproteksi. Dcxmedetomidine
meneegah kematian sel yang berlangsung lambat setelah iskemia fokal.
Mampu menurunkan volume total daerah iskemik sekitar 40°/)
dibandingkan dengan plasebo. Dcxmedetomidine meningkatkan
pembuangan glutamine dengan metabolisme oksidatif dalam sel astrosit.
Proteksi Otak
Konsep proteksi otak berdasarkan pada premis bahwa ukuran
peneegahan tertentu dapat dicampurtangani pada kejadian buruk yang
dipicu oleh cedera. Ada beberapa mekanisme yang bermanfaat dapat
dieapai I) mengurangi kebutuhan energi dan 2) menghambat mediator
cedera iskemik.
Mengurangi kebutuhan energi:
Konsep mengurangi kebutuhan energi teiah menjadi elemen dasar
untuk kebanyakan pcnelitian iskemi. Rata-rata pasokan O2 otak (cxtraksi
O2. CMRO2) adalah kira-kira 3,5 nil/100 gr/menit, yang lebih besar
daripada pasokan O2 kc organ lain kecuali niiokardium. CMR02 total
terdiri atas kebutuhan energi untuk pemeliharaan fungsi scl (40%) dan

158
untuk sokongan aktivitas elektrofisiologi (60%). Pemeliharaan fungsi sel
termasuk transpor membran, mempertahankan perbedaan listrik
transmembran, dan fungsi mitokhondria. Walaupun kebutuhan energi
tinggi, otak tidak mampu menimbun energi. Pada keadaan komplit
iskemi. eadangan energi otak lianya dapat menopang jaringan lianya
untuk bcberapa menit sebelum cedera ireversibel dimulai pada tingkatan
seluler. Namun, pada bcberapa penelitian, isketnia dapat ditoleransi
selama 17 menit.
Proteksi otak melalui pcngurangan CMROi hams dicapai dengan
mengurangi fungsi transmisi neuron (misalnya dengan barbiturat atau
obat lain yang mengurangi atau yang mcngeliminiasi aktivitas listrik
otak spontan) atau dengan perlambatan nonspesifik, misalnya hipotermi.
Inilali dasar alasan mengapa proteksi metabolisme melalui pcngurangan
fungsi listrik lianya efektif jika akibat cedera masili ada aktivitas EEG.
Jadi, tidak aneli bila barbiturat gagal untuk proteksi melawan komplit
global iskcmia eksperimental atau secara kltnis pada henti jantung.
Menghambat Mediator Cedera Iskemik:
Iskemi otak pada tingkatan seluler selalu membawa ke arah
habisnya posfat energi tinggi yang diperlukan untuk mempertahankan
perbedaan ion. K meninggalkan sel dan Na. Ca masuk kedalam sel.
Tingginya konsentrasi Ca intraseluler akan mengaktivasi fosfolipid, yang
membentuk asam lemak bebas dari membran lipid. Terjadi asidosis
intraseluler discbabkan olch metabolisme anaerob dan diperburuk
dengan diproduksinya asam lemak bebas yang nienyebabkan
pcningkatan metabolik toksik seperti tromboksan, leukotrin,
prostaglandin, dan laktat. Masuknya Ca ke dalam sel selama iskemi akan
melcpaskan jumlah besar EAAs (glutamat, aspartat) ke dalam ruangan
cktraseluler dimana menjadi neurotoksik. Selama iskemi, C'a yang
masuk ke dalam sel, juga mcngaktivasi proteinkinase (misalnya protease
yang menambah produksi xantin peroksidase). Selama iskemia dan
rcperfusi, xantin oksidase menghasilkan radikal bebas (misalnya
superoksida, hydroxyl, hidrogen peroksida, nitrik oksida) yang
mengubah hipoxantin menjadi xantin. Radikal bebas yang mempunyai
reaktivitas tinggi ini menyerang molekul dan menghasilkan radikal bebas
yang baru.
Proteksi otak dapat dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu
tindakan dasar (jalan napas yang bebas, oksigenasi yang adekuat, cegah
hiperkarbi, pengcndalian tekanan darah, pengendalian tekanan
intrakranial, mempertahankan tekanan perfusi otak, pengendalian

159
kejang), farmakologis, hipotermia, oksigen hiperbarik, dan kombinasi
hipotermi dengan barbiturat. Tanpa cara pengobatan yang mendasar ini,
metode yang canggih tidak akan berhasil dengan baik. Proteksi otak
dapat dilakukan secara fisiologis (tindakan dasar) atau dengan obat
anestesi saat melakukan anestesi umum sehingga prinsip anestesi pada
bedah saraf adalah memberikan proteksi otak selama tindakan
pembedahan pembedahan.
Fisiologi hipotermi, hipertensi, hcmodilusi, kontrol
glukosa.
Obat : barbiturat, isofluran, sevofluran, propofol,
anestesi etomidat, dexmedetomidin.
Fannakologi NMDA reseptor antagonis, a-amino-3-
hidroxy-5-mcthyl-4 isoxazole propionoic acid
(AMPA) antagonis, antioksidan, antagonis glisin,
pembersih radikal bcbas, gangliosid, y-
aniinohutyric acid (GABA) antagonis, steroid.
Barbiturat
Rasionalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi
melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan energi jaringan dengan
menekan fungsi aktivitas listrik sel. Pada saat pasokan nutrient pada titik
krisis, kebutuhan energi dikurangi sehingga jaringan dapat hidup berada
pada pasokan nutrient rendah. Efek

160
proteksi barbiturat adalah dengan pencegahan peroksidase lipid,
mengurangi edema sercbral. menyokong distribusi aliran darah otak
yang juga disebul sebagai “Robin Hood" atau "inverse steed' dan
menurunkan tekanan intrakranial.
Barbiturat menurunkan tekanan intrakranial dengan
mempengaruhi metabolisme serebral dan secara sekunder mempengaruhi
aliran darah otak dan volume darah otak. Karcna umumnya aktivitas
listrik masih ada pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial,
terapi barbiturat akan menurunkan CMROi, dan akan melindungi
jaringan otak dengan cara membatasi kebutuhan cnergi serta
memperbaiki tekanan perfusi otak melalui penurunan tekanan perfusi
otak. Pada terapi hipertensi intrakranial, dosis tinggi barbiturat umumnya
diberikan kepada pasien yang gagal dengan eara terapi yang lain
(misalnya hiperventilasi, diuretik, drainasc cairan sercbrospinal).
Barbiturat hanya efektif untuk proteksi otak bila iskemia
inkomplit (misalnya masih ada aktivitas EEG). Bukti cksperimental
sangat kuat dalam menunjukkan cfek proteksi barbiturat pada fokal
serebral iskemi. Pada fokal iskerni, aktivitas listrik sinaps sebagian
masih dipertahankan. Oleh karcna itu. terapi barbiturat akan menurunkan
CM RGB dan memperbaiki keseimbangan antara kebutuhan energi dan
pasokan. Perbaikan perfusi pada daerah iskemik fokal bergantung pada
sistim kolateral.
Pentotal suatu barbiturat yang bekeja cepat, sering diberikan bila
cfek yang diinginkan diperlukan sesegera mungkin (misal selama
operasi). Dalam konteks ini dosis 3-5 mg'kg intravena akan
menimbulkan penekanan selintas (kurang 10 menit) dan kadar pentotal
dalam darah antara 10-30 ug/ml. Bila diperlukan cfek proteksi otak yang
kontinu, infus kontinu harus segera dimulai. Dosis permulaan dapat
diberikan 10-15 mg/kg/jam dan segera diturunkan menjadi 2-5 mg/kg.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, barbiturat akan memberikan
beberapa keuntungan bila diberikan setelah terjadinya iskemi fokal. Jadi,
barbiturat mengurangi ukuran infark bila diberikan setelah iskemi fokal.
Pemantauan
Alat pantau yang dipakai untuk pasicn ICU adalah ECG, tekanan
darah arterial (MAP dan CPP), SpOi, ETCO2, ICP, gas darah arterial,
suhu inti (core temperature), parameter ventilasi, jugular venous oxygen
saturation (SJO2) untuk mendeteksi hiperemia atau iskemia screbral
global, and transcranial doppler (TCD).
Pemantauan serebral harus merupakan kombinasi pemantauan
sistemik dan serebral. Pemantauan sistemik adalah untuk mendeteksi

161
perubahan sistemik yang berperanan pada cedera otak sekunder seperti
hipoksia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi. Metode ini antara lain:
tekanan darah arterial, CVP, gas darah, temperatur, pulse oximetri,
capnographi.
Pemantauan serebral terdiri dari monitoring fungsi otak,
hemodinamik otak, dan metabolisme otak. Fungsi otak: EEG, Evoked
potential. Hemodinamik otak: ICP, CPP, TCD, rCBF, gCBF, fCBF.
Metabolisme otak: SJ()2, CEO:, AVD()2, NIRS, BtiOs. Indikasi untuk
pemasangan monitor ICP adalah: I) Abnormal CT-sean: adanya
hematoma atau kontusi, edema atau pembengkakan, penekanan sisterna
basalis, 2) Bila CT-scan normal dan ada dua atau lebih faktor resiko:
umur > 40 tahun, pergerakan motoris anormal, hipotensi (sistolik < 90
mmHg).
Nutrisi
Hiperglikemia akan memperburuk detisit ncurologis. Pada
keadaan adanya iskemia otak, kadar gula darah yang tinggi akan
meningkatkan metabolisme anaerob sehingga terjadi pembentukan laktat
yang berlebihan. Keadaan serebral asidosis laktik ini merangsang
pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.
Serebral asidosis juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia dan
menimbulkan edema serebral.
Pasien cedera kepala pada permulaannya hipermetabolik, tapi
proses ini berakhir dalam mingggu pertama. Pasien eedera kepala
mempunyai kebutuhan nutrisi yang besar dan pemberian makanan harus
diberikan sesegera mungkin (dalam 24 jam) dengan tujuan untuk
mengganti 140% resting metabolic expenditure (dengan 15% pasokan
kalori dari protein) sampai
hari ketujuh pascatrauma. Pemberian nutrisi sccara enteral mempunyai
keuntungan lebih kecilnya kejadian hiperglikemia dan mempunyai efek
protcksi melawan ulscrasi gaster yang kejadiannya meningkat pada
pasicn dengan cedera kepala. Gangguan pengosongan lambung, yang
sering terjadi pada pasien cedera kepala, dapat diterapi dengan obat
prokinetik seperti cisaprid dan metoclopramid. Bila tidak bisa diberikan
nutrisi enteral, pcrtimbangkan untuk memberikan nutrisi parenteral
dengan pengontrolan gula darah yang ketat.
Pada penelitian, menunjukkan bahwa pasien cedera kepala yang
paralisis dengan pankuroniuni atau barbiturat koma, metabolic
expenditure menurun dari rata-rata 160% ke 100- 120%. Penemuan ini
menunjukkan bahwa peranan utama dari meningkatnya metabolic

162
expenditure dihubungkan dengan tonus otot.
Undernutrisi berat selama periode 2 minggu setelah cedera
mempunyai konsekwensi meningkatnya mortalitas dibandingkati dengan
pasien yang diberikan nutrisi penuh selama 7 hari pascatrauma. Untuk
mendapatkan penggantian kalori selama 7 hari setelah trauma,
pemberian nutrisi umumnya dimulai tidak lebih lambat dari 72 jam
setelah cedera. Hal ini disebabkan 2-3 hari diperlukan untuk
meningkatkan feeding secara gradual sampai pemberian penuh melalui
rute jejunum atau gaster.
Nitrogen balans didefinisikan sebagai perbedaan antara intake
nitrogen dan ekresi nitrogen. Untuk setiap gram nitrogen dalam urin,
maka dikatabolisme 6.25 gr protein. Pada keadaan normal 10% atau
kurang dari kalori diambil dari protein. Setelah cedera kepala berat, tidak
hanya keperluan energi yang meningkat pesat tetapi juga ekresi nitrogen
meningkat. Kontribusi protein untuk kalori setelah cedera kepala
meningkat sampai 30%.
Bila BB hiking 30% akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
10 kali lipat pada pasien yang dilakukan operasi gaster. Karena itu
diasumsikan bahwa kehilangan BB sebanyak 10-15% akan mempunyai
sedikit konsekwensi tapi bila sampai 30% akan sangat berbahaya.
Kehilangan Nitrogen pada pasien cedera kepala yang puasa adalah 0,2
N/kg/hari. kira-kira dua atau tiga

163
kali kehilangan orang normal. Kehilangan N pada level ini akan
menurunkan lean mass 10% dalam waktu 1 minggu.
Keuntungan enteral feeding adalah kurangnya resiko
hiperglikemia dibandingkan dengan nutrisi parenteral, lebili rendahnya
kejadian infeksi, serta lebih murah. Penggunaan feeding enteral
mengurangi komplikasi septik akibat hilangnya integritas mukosa sel
serta menurunnya hipermetabolisme. Nutrisi parenteral memperberat
edema otak.
Data menunjukkan bahwa pasien cedera kepala akan kehilangan
BB sebesar 15% per minggu. Penclitian menunjukkan balivva mengganti
resting metabolic expenditure sebesar 100- 140% dengan nitrogen kalori
sebesar 15-20% akan mengurangi kehilangan nitrogen. Data pada pasien
bukan cedera kepala menunjukkan bahwa kehilangan berat badan
sebesar 30% akan meningkatkan mortalitas. Pasien cedera kepala yang
dipuasakan dalam minggu pertama akan meningkatkan mortalitas.
Nutrisi Enteral atau Parenteral ?
Nutrisi enteral merupakan pilihan pertama untuk nutrisi pasien
cedera kepala, penggantian 140% dari resting metabolic expenditure
pada pasien yang tidak paralisis dan 100% resting metabolic expenditure
pada pasien paralisis. 15% kalori diambil dari protein, jejunal feeding
melalui gastrojejenostomi merupakan pilihan terbaik.
Simpulan
Prinsip utama pengelolaan di IC’U adalah meneegah dan
mengobati cedera otak sekuder dengan melakukan pemantauan yang
tepat, dan melakukan terapi dengan cepat dan tepat. Mctode dasar,
hipotermia ringan, dan terapi obat-obatan adalah untuk mengobati dan
meneegah terjadinya cedera otak sekunder.

164
intensive care manngony>nl of severely heart-<n,orO(J aOnH

Ciambar: Algoritmc pcncgclolaan ICP/CPI’


Dikulip dan: Gupla AK. Gelb AW. Essential of neuroanesthesia and neurointensive care.
Philadelphia: Saunders F.lscvier;2008

Contoli algoritmc penanganan pcningkatan IC'P di Addenbrooke’c NCCU

165
Figure 34-1 Addeobrooke's NCCU ICP/CPP management algorithm CPP, cerebral perfusion pressure. C$F.
cerebrospinal fluid, CVP, central venous pressure. EEG, electroencephalogram. EVD. external ventricular dram. ICP.
intracranial pressure. LPR. lactate-pyruvate ratio. NCCU. neurosci- ences critical care unit. NG, nasogastric tube. PAC.
pulmonary artery catheter. Paco ?, arterial carbon dioxide partial pressure, Pao;, arterial oxygen partial pressure. Pto^. brain
tissue oxygen partial pressure. Rt. r*ght. Rx. therapy. Sjo^. jugular bulb oxygen saturation SOLs. space-occupying lesions;
THAM. trisfhydroxymethybaminomethane

166
Daftar P ustaka
1. Aarabi B. Eisenberg HM. Murphy K. Morrison C, Wcinmann
M. Traumatic brain injury: Management and complication.
Dalam: Layon AJ, Gabriel 1 i A. Friedman WA, eds. Textbook
of Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders; 2004:771-87.
2. Allen S.l, Parmley CL. Cardiovascular therapy. Dalam:
Ncwfield P. Cottrell JE, editor. Handbook of neuroanesthesia,
edisi-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2007:364-78.
3. Bcndo AA. Perioperative management of adult patients with
severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL. editor.
Cottrell and Young's Neuroanesthesia; 2010, 317-26.
4. Bcndo AA, Luba K. Recent Changes in the management of
Intracranial Hypertension. Dalam: Maceioli GA, ed.
International Anesthesiology Clinics-Current Issues in
Anesthesiology 2000: 38(4). Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
5. Bullock R, Chesnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW et al.
Nutritional support of Brain injured patients. Jour of
Neurotrauma 1996: 13(11).
6. Chang CWJ. Bleek TP. Neuroscience Intensive Care. Dalam:
Stone D.l, Sperry R.I, Johnson JO, Spiekermann BE, Yemen
TA, eds. The Neuroanesthesia Handbook. St. Louis: Mosby;
1966.
7. Charchaflieh JG, Worah SH. Complication in postanesthesia
care unit. Dalam: Ncwfield P. Cottrell JE, editor Handbook of
neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007:327-44.
8. Edward N. Principles and Practice of Neuroanesthesia. I '! ed,
London: Chapman and Hall Medical; 1991.
9. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic brain injury, stroke,
and brain death. Dalam: Ncwfield P. Cottrell JE, editor.
Handbook of neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins: 2007:414-40.

167
10. Moon DK, Matta BF. Intensive Care after Acute Head Injury.
Dalam: Matta BF. Menon DK, Turner JM.eds. Textbook of
Neuroanesthesia and Critical Care. I'1 ed. London: Greenwich
Med Media; 2000
11. Newcombe V, Menon DK. Intensive care management of acute
head injury. Dalam: Gupta AK, Gelb AW. Essential of
neuroanesthesia and neurointensive care. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008. 222-28.
12. Ott L, Young FT Metabolic and Nutritional management.
Dalam: Andrew BT.ed. Neurosurgical Intensive Care. New
York: McGraw-Hill; 1993.
13. Rozet I, Domino K. Respiratory care of the neurosurgical
patient. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, editor. Handbook of
neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007:345-64.
14. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and intensive care
including head injury and multi system sequelae. Dalam:
Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia: 2010, 400-15.
15. Tatang Bisri, A. Himendra. Eri Surahman. Neuroanestesi.
Bandung: Bagian Anestesiologi I K UNPAD/ RS Dr.Hasan
Sadikin; 1997.
16. Tatang Bisri. Pcnentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJCL)
dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO;-) sebagai indikator
utama proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi eedera
kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran, 2002.
17. Taylor JM, Liu L. Nutritional support in the critically ill patient.
Dalam: Newfield P, Cottrell JE, editor. Handbook of
neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007:396-413.
18. Tagliaferri F, Compagnone C, Gennarclli TA. Head trauma.
Dalam: Dalam : Torbey MT. cd. Neuro Critical Care. New
York: Cambridge University Press; 2010:209-219.
19. Tommasino C. Fluid management. Dalam: Cottrell JE, Young
WL. editor. Cottrell and Young's Neuroanesthesia; 2010, 379-
95.

168
BAB 8
Proteksi Otak

Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk


mencegah atau mengurangi kcrusakan sel-scl otak yang diakihatkan
oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan
hemodinamik yang akan mcnyehabkan penurunan aliran darah otak
sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kcrusakan otak yang
irevcrsibel.
Setelah terjadi cedera iskemik, kemampuan otak untuk melakukan
regencrasi sangat terbatas. Oleh karena itu, ilmu kcdokteran teiah
meneliti berbagai tnetode untuk memperbaiki iskemia screbral. Metode-
metodc ini termasuk hipotermia dan pemberian barbiturat. Proteksi otak
bekcrja pada setiap fase yang berbeda dari kaskade iskemik. Secara
sederhana proteksi dilakukan dengan meningkatkan pasokan oksigen,
mengurangi kebutuhan oksigen, atau memperbaiki proses patologis
yang dimulai bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada pasokan. Bila
diperhatikan dalam modalitas proteksi otak, lama dan tipe iskemi
mcrupakan faktor yang sangat penting. Kontrasnya, toleransi terhadap
fokal iskemia bergantung pada pasokan darah kolatcral. Dalam
peristiwa fokal iskemia permanen, obat protektif memperpanjang
toleransi terhadap iskemia, dari dua ke empat jam. Akan tetapi, pada
iskemia yang melebihi batas waktu 4 jam, tidak ada efek proteksi otak
yang diperoleh dari obat-obatan tersebut. Begitu pula, bila fokal iskemia
selintas, proteksi otak mungkin ada relevansinya dan sering ditujukan
pada “ischemic penumbra".
Proteksi otak hams dilihat dari pandangan pasokan dan
kebutuhan. Pasokan yang baik dipertahankan dengan tekanan darah
yang baik, tekanan intrakranial yang rendah, oksigen yang tinggi. dan
kimia darah yang berimbang. Kebutuhan dapat dikurangi dengan
menurunkan temperatur tubuh, atau pemberian obal-obat yang
menurunkan CMRO2, seperti barbiturat dan etomidat. Produk hasil
metabolisme sel hams dikeluarkan.

169
Bcrbagai cara dan obat-obatan telah dibcrikan untuk proteksi
otak. Secara garis besar protcksi otak dibagi atas hal yang mendasar,
yaitu pengendalian jalan napas, adekuat oksigenasi. pencegahan
hipcrkarbia, pengendalian tckanan darah, pengendalian tekanan
intrakranial, pemeliharaan tekanan perfusi otak, dan pengendalian
kejang. Proteksi otak dapat dilakukan secara farmakologik, yaitu dengan
obat-obat yang diperkirakan mempunyai efek proteksi otak. Cara lain
adalah dengan hipotennia dan kombinasi farmakologik dengan
hipotermia.
Serebral iskemia didcfinisikan sebagai gangguan perfusi yang
memberikan pasokan oksigen dan nutrient yang diperlukan untuk
mempertahankan integritas metabolisme neuron (40-45% dari total
CMRO2) dan fungsi neuron (55-60% dari CMRO2). Diperkirakan bahwa
gangguan iskemi terlihat bila fungsi neuron hilang sebelum hilangnya
integritas seluler. Integritas sel: Otak menggunakan glukosa sebagai
substrat primer untuk produksi energi. Pada keadaan tidak puasa,
glukosa dimetabolisme melalui oksidatif fosforilase menjadi ATP, yang
diperlukan untuk aktivitas seluler seperti homeostatis, sintesis protein,
mempertahankan perbedaan ion, stabilitas membran sel, aktivitas
mitokhondria, dan pengeluaran C02. Fungsi: Fungsi aktivitas neuron
normal adalah mcnimbulkan dan mengalirkan impuls saraf yang
direfleksikan dengan adanya EEG yang normal.
Mudah rusaknya otak akibat eedera iskemi bergantung pada
berat dan lamanya iskemia. Iskemia dapat temporer atau permanen,
global atau regional (fokal misalnya stroke), dan inkomplit (misalnya
syok, hipotensi) atau komplit (misalnya henti jantung). Komplit adalah
bila aliran darah berhenti sama sekali, sedangkan inkomplit bila aliran
darah menurun melebihi kebutuhan dasar.
Iskemi otak tcrjadi bila penyediaan nutrient jaringan dan pasokan
oksigen tidak mampu memenuhi kebutuhan sel untuk dapat
dilaksanakannya fungsi sel yang normal. Dalam keadaan terdapat
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen, pertama-
tama otak akan mengektraksi lebih banyak oksigen dari darah dan
menycbabkan lebih rcndahnya SJ02. Setelah itu, fungsi elektrik menurun
dan mungkin berhenti. Pada titik ini, sel mungkin masih dapat hidup dan
mungkin fungsinya
dapat pulih kembali bila aliran darali diperbaiki. Daerah otak yang iskemik
dalam kondisi tersebut discbut pen/ucida. Bila tcrjadi kehilangan O2, scl
beralih ke metabolisme anaerob dan terbentuk laktat. Akan tetapi, bila

170
iskemi menctap atau memburuk, tcrjadi kerusakan seluler yang irevcrsibel
karena pompa ion gagal dan produk toksik dari metabolisme anaerob
menyerang elemen strnktnr dari sel otak. Istilah penumbra dipakai untuk
daerah iskemik otak yang akan pulih bila aliran darali segera diperbaiki.
Oksigen otak dan cadangan senyawa yang mempunyai cnergi tinggi
(glukosa. glikogen, fosfokreatin, ATP) sudah habis terpakai dalam 5-7
menit pada kcadaan komplit iskemi serebral. Akibatnya pompa ion Na/K-
ATP-ase gagal. Tcrjadi depolarisasi membran dengan masuknya Na dan
air kc dalam sel dan K ke luar dari sel. Pada tingkatan tertentu dari
depolarisasi membran, kanal C'a terbuka. Selanjutnya, neurotransmiter
excitatory amino acid (HAA) dikeluarkan dan menyebabkan aktivitas dari
EAA reseptor patologis misalnya NMDA reseptor, yang menyebabkan
lebili banyaknya Ca dan air masuk ke dalam sel. Banyaknya Ca
intraseluler akan mcmicu reaksi kaskade yang mungkin membawa ke arah
kehilangan integritas sel neuron dan perubahan mikrosirkulasi yang buruk.
Setelah suatu iskemi otak yang temporer, akan terlihat periode
hiperemia selama 15-20 menit. Hiperemia reaktif ini mungkin disebabkan
oleh lebili rendahnya viskositas dan vasodilatasi aktif olcli produk
metabolisme anaerob. Hiperemia diikuti fase hipoperfusi pascaiskemik.
Aliran darali pada fase tersebut menurun sampai 50% dari normal. Namun,
sedikitnya pada beberapa area dari otak, metabolisme otak tidak menurun.
Kebanyakan kerusakan akliir neurologis terjadi selama fase ini. Kalsium
dan tromboksan A2 diperkirakan sebagai mediator terjadinya
vasokonstriksi prekapiler yang terlihat pada hipoperfusi pascaiskemik.
Konsep proteksi otak berdasarkan pada premis bahwa ukuran
pencegahan tertentu dapat dicampurtangani pada kejadian buruk yang
dipicu oleh cedera. Ada beberapa mekanisme yang bermanfaat dapat
dicapai I) mengurangi kebutuhan cnergi dan 2) menghambat mediator
cedera iskemik.
Simpulannya : harus dilakukan proteksi otak selama pcriodc
perioperatif (prabedah, selama pcmbedahan, dan pascabedah).

Metode Proteksi Otak


Proteksi otak dapat dilakukan dengan bcrbagai jalan, yaitu:
1. Basic Methods (Metode Dasar)
2. Farmakologik
3. Hipotermi
4. Kombinasi Hipotermi dan Farmakologik

171
Basic Methods
Dapat dilakukan dengan cara jalan napas yang bebas, oksigenasi
yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia, hiperventilasi
hanya bila ada herniasi otak dan bila PaCO? < 30 mmHg harus dipasang
alat pantau SJCA), pengendalian tekanan darah (harus normotensi, sistolik
jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan intrakranial (terapi bila tekanan
intrakranial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan
intrakranial <20-25 mmHg), mempertahankan tekanan perfusi otak
(tekanan perfusi otak harus 50-70 mmHg), pengendalian kejatig. Tanpa
cara pengobatan yang mendasar ini, metode yang canggih tidak akan
berhasil dengan baik. Proteksi otak dapat dilakukan secara fisiologis
(tindakan dasar) atau dengan obat anestesi saat melakukan anestesi umum
sehingga prinsip anestesi pada bedah saraf adalah memberikan proteksi
otak selama tindakan pembedahan.
Simpulannya: metode dasar ini yang hams dilakukan pertama kali
dalam melakukan proteksi otak.

Hipotermia
Dalam dekade yang lain penelitian menunjukkan bahwa hipotermi
ringan secara nyata menumnkan cedera pada pasien dengan iskemia
serebral. Ada resiko sistemik yang nyata dan faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan sebelum dilakukan teknik hipotermi. Hipotermi ringan
(sampai suhu 34°C) mempunyai efek proteksi otak.
Terdapat sejumlah laporan penelitian model hewan coba pada
iskemi serebral global untuk melihal efek proteksi dengan

172
penurunan lemperatur 1-4° C. Untuk penurunan 3° C, ada pcnurunan
CMRO2 sebanyak 20%. Akan tctapi, efek proteksi otak dengan hipotermia
ringan bukan primer pada efeknya mcnurunkan CMRO2, tetapi juga pada
mediator cedera iskemik (misalnya dengan menurunkan pelepasan EAA).
Hipotermia ringan untuk beberapa hari sctelali kliping aneurisma.
Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau cedera kepala secara nyata
mengurangi konsentrasi glutamat pada cairan serebrospinal. Hipotermia
ringan juga mempunyai keuntungan lain dengan bekerja pada sintesa
ubiqitin dan aktivasi protein C-kinase atau dengan stabi 1 isasi membran
dan mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan CMR02 yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan oksigcn.
Beberapa pcnclitian klinis hipotermia ringan selama 24- 48 jam setelah
cedera kepala berat memperbaiki outcome neurologis. Beberapa pusat
pendidikan anestesi menggunakan teknik hipotermia ringan (33-35°C)
pada operasi dimana jelas ada resiko cedera iskemi susunan saraf pusat,
inisal kliping aneurisma sercbral.
Pengaturan temperatur pasien yang dirawat di IC'U adalah konsep
"low normothermia" yaitu pasien dipertahankan dalam temperatur 36°C.
Pada penelitian invitro menunjukkan bahwa hipotermia akan mcmelihara
ATP, mengurangi Ca influks, memperbaiki pemulihan elektrofisiologis
dari hipoksia sedangkan hipertermi akan menghabiskan ATP,
meningkatkan Ca influks dan mengganggu pemulihan. Adanya dcniam
pada pasien neuro dan jantung akan memperburuk outcome, sebagai
contoh 90% pasien S A I I akan mengalami hipertemi selama perawatan di
IC’U dan dihubungkan dengan buruknya outcome.
Penelitian pada pasien yang diberikan modcrat hipotermi (33°C) I I
dari 24 pasien meninggal akibat herniasi yang disebabkan peningkatan ICP
sekunder setelah rewarming dan 10 dari 25 pasien (40%) mendcrita
pneumonia. Kalau keuntungan hipotermi ringan terbatas pada menccgah
hipertermi, keuntungan yang lebih baik adalah mempertahankan pasien
dalam low normothermia.
Terdapat bukti-bukti neuroproteksi dari profilaksis hipotermi ringan.
Data yang bam yang membandingkan norniotermi dengan hipotermi (35,5-
36,5 lawan 28-30”C) pasien bypass kardiopulmonal, gagal menunjukkan
kcuntungan dari hipotermi. Akan tetapi sampai bukti-bukti empiris ada,
dianjurkan untuk melakukan hipotermi ringan intraoperatif.
Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi adalah menurunkan
metabolisme otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik,
memelihara homeostasis ion. menurunkan excitatory neurotransmisi,
mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan
biokimia.
Simpulannya: di OK suhu pertahankan 34-35°C, pascabedah di
IC'U 36°C.
Metode t'armakologik
1) Tirilazad
Aplikasi klinis 21-amino steroid tirilazad menjanjikan hasil yang
baik akan tetapi penelitian di Amcrika Utara gagal menunjukkan
keuntungan yang seeara statistik nyata. Review penggunaan tirilazad pada
1757 pasien stroke menyimpulkan bahvva tirilazad mesilate meningkatkan
kematian dan morbiditas bila diberikan pada iskemia akut stroke.
2) Nimodipin
Penelitian klinis dan dua meta-analisis menyokong bahwa
nimodipin, nicardipin mengurangi kejadian vasospasme setelah SAH dan
rata-rata memperbaiki outcome. Apakah penurunan tekanan darah akibat
blokade Ca memperbaiki outcome yang relatif terhadap adanya hipertensi,
hipervolemi, hemodilusi masih kontroversial. Dua penelitian yang
memberikan nimodipin dalairt 24 jam stroke akut dan satu lagi dalam 6
jam stroke akut, gagal menunjukkan keuntungan pemberian nimodipin.
Ada penelitian yang berlawanan yaitu pemberian nimodipin akan
memperburuk keadaan pasien.
3) Magnesium
Magnesium mempunyai cfek proteksi otak yaitu mengurangi
influks Ca dan memperbaiki aliran darah otak. Suatu
penelitian meta-analisis pada pasien akut iskemik stroke menunjukkan
pemberian magnesium akan memperbaiki outcome. Penelitian Field
Administration of Stroke Treatment-Magnesium (FAST-MAG)
menunjukkan bahvva pemberian bolus 4 gr magnesium akan
menguntungkan dan tanpa komplikasi. Sayangnya, bukti
laboratorium nenunjukkan pemberian
magnesium lebih berefek proteksi bila diberikan pada keadaan pre-iskemik
daripada keadaan post-iskemik, tapi unlung pula masalah ini kini sedang
diteliti di Amerika dan penelitiannya masih sedang berjalan.
4) Barbiturat
Seperti halnya hipotermi. pengurangan metabolisme otak adalah

174
jatan utama untuk dilakukannya proteksi otak. Mekanisme barbiturat
dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan intluks Ca, blokade
kanal Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi aktivitas
GABAergic, menghambat transfer glukosa mclalui barier darah otak.
Semua mekanisme ini konsisten dengan penelitian Goodman dkk bahwa
koma karena pentobarbital akan secara jelas mengurangi laktat. glutamat,
dan aspartat pada ruangan ckstraseluler pasien cedera kcpala dengan
kenaikkan tekanan intrakranial yang berat. Suatu penelitian invitro juga
menunjukkan bahwa pentotal juga memperlambat hilangnya perbedaan
listrik transmembran akibat NMDA dan AM PA. Keadaan ini kontras
dengan efek propofol yang dapat memperberat cksotoksisitas glutamat dan
mcningkatkan kerusakan neuron.
Rasionalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi
melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan enctgi jaringan dengan
menckan fungsi aktivitas listrik sel. Pada saat pasokan nutrient pada titik
krisis. kebutuhan energi dikurangi sehingga jaringan dapat hidup pada
pasokan nutrient rendah. Efek proteksi barbiturat adalah dengan
pcnccgahan peroksidasc lipid, mengurangi edema serebral, menyokong
distribusi aliran darah otak yang juga disebut sebagai “Robin Hood' atau
"inverse steak' dan menurunkan tekanan intrakranial.
Barbiturat menurunkan tekanan intrakranial dengan mempengaruhi
metabolisme serebral dan secara sekunder

175
mempengaruhi aliran darah otak dan volume darah otak. Karena umumnya
aktivitas listrik masih ada pada pasien dengan peningkatan tekanan
inlrakranial, terapi barbiturat akan menurunkan CMRO2, dan akan
mclindungi jaringan otak dengan cara membatasi kebutuhan energi serta
memperbaiki tekanan perfusi otak melalui pcnurunan tekanan perfusi otak.
Pada terapi hipertensi intrakranial, dosis tinggi barbiturat umumnya
diberikan kepada pasien yang gagal dengan cara terapi yang lain (misalnya
hiperventilasi, diuretik, drainase cairan serebrospinal).
Barbiturat hanya efektif untuk protcksi otak bila iskemia inkomplit
(misalnya masih ada aktivitas EEG). Bukti eksperimental sangat kuat
dalam menunjukkan efek proteksi barbiturat pada fokal serebral iskemi.
Pada fokal iskerni, aktivitas listrik sinaps sebagian masih dipertahankan.
Oleh karena itu, terapi barbiturat akan menurunkan CMRO2 dan
memperbaiki keseimbangan antara kebutuhan energi dan pasokan.
Perbaikan perfusi pada daerah iskemik fokal bergantung pada sistim
kolateral.
Pentotal suatu barbiturat yang bekeja cepat, sering diberikan bila
efek yang diinginkan diperlukan sesegera mungkin (misal selama operasi).
Dalam konteks ini dosis 3-5 mg/kg intravena akan menimbulkan
penekanan sclintas (kurang 10 menit) dan kadar pentotal dalam darah
antara 10-30 ug/ml. Bila diperlukan efek proteksi otak yang kontinu, infus
kontinu harus segera dimulai. Dosis pcrmulaan dapat diberikan 10-15
mg/kg/jam dan segera diturunkan menjadi 2-5 mg/kg/jam.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, barbiturat akan memberikan
beberapa keuntungan bila diberikan setelah terjadinya iskemi fokal. Jadi,
barbiturat mengurangi ukuran infark bila diberikan setelah iskemi fokal.
Komplikasi terapi barbiturat antara lain penekanan eurah jantung
dan tekanan perfusi otak. Pada pasien hipovolemia atau fungsi
kardiovaskuler yang terbatas mungkin terjadi kolaps kardiovaskuler.
Sebelum terapi dengan barbiturat, hipovolemia harus diperbaiki. Mungkin
diperlukan pemberian inotrop. Efek depresi napas dapat diantisipasi
dengan napas buatan. Terapi barbiturat jangka lama (berhari-hari) dapat
menimbulkan terjadinya hipotermia, penekanan rcspons imun dan infeksi
paru. Evaluasi ncurologis pada pasien dengan barbiturat koma split
dilakukan. Penggunaan alat pantau tekanan intrakranial dan
elektrofisiologis (misalnya evok potensial) bcrsama-sama dengan CT-scan,
magnetic resonance imaging (MRI), angiografi dapat menolong
mengidentifikasi perkembangan pasien yang mcmburuk.
Pada saat pemberian anestesi proteksi otak dengan pentotal dapat

176
dilakukan dengan cara: induksi anestesi dengan pentotal 5 mg/kg BB,
sebelum intubasi diberikan setengah dosis induksi dan pemeliharaan 1-3
mg/kgBB/jam kontinu.
5) Anestetika Volatil
N2O
Pada penelitian dengan profilaksis dan terapi barbiturat pada post
iskemik, menunjukkan tidak adanya proteksi otak dengan N2O, bal ini
dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan metabolismc scrcbral
terhadap oksigen. Kombinasi N2O/O2 dan isofluran lebih buruk daripada
02/nitrogen dan isofluran pada pasien dengan iskemia inkomplit.
Pemberian isofluran/C>2 akan memperbaiki outcome daripada N2O/O2.
walaupun N2O/O2 + isofluran tidak memperburuk outcome bila pH dapat
dikendalikan.
Pada tahun 1938 C.D. Courville mempublikasikan “The
pathogenesis of necrosis of the cerebral gray matter following Nitrous
oxide anesthesia", suatu artikel yang menunjukan foto vacuola pada
neuron eortieal pada pasien yang meninggal setelah diberikan N^O. F.nam
puluh tahun kemudian, Jevtovic-Todorovic dan ko-autor mempublikasikan
bukti yang menunjukkan bahwa N20 menyebabkan vakuolisasi dari
endoplasmik retikulum dan mitokhondria neuron pada singulatc posterior
dan korteks retrospenial tikus. Apakah kita akan melakukan hal seperti
sekarang apabila laporan Courville mendapat perhatian yang lebih serius ?
Mekanisme kerja N2() adalah antagonis reseptor NMDA, dan
seperti halnya antagonis NMDA lainnya, N20 telah menunjukkan
mengurangi kerusakan akibat pelepasan glutamat yang banyak. Akan
tetapi, tidak beruntung, sebab NMDA juga
mengaktifkan neuron inhibisi, blokadc NMDA menyebabkan I inhibisi
pelepasan GABA, jadi ada disinhibisi menyeluruh. Hal ini mungkin suatu
komponen mekanisme yang mana N;0. seperti NMDA antagonis Iainnya
(ketamin, phencyclidine, dextrorphan, MK-801) dapat menyebabkan
kerusakan saraf.
Pada pasien dengan dctlsensi asam folat, pembcrian tunggal
NiO dapat menyebabkan degencrasi medulla spinalis. Pemberian N2O
menyebabkan peningkatan plasma homocystein, yang dapat
meningkatkan koagulasi, menurunkan flow-mediated vasodilatasi dan
meningkatkan miokardial iskcmia pascabedah, hal-hal itu semua dapat
menyebabkan masalah yang kompleks saat pemulihan di neuro 1CU.
Hyperhomocysteinemia yang lama merupakan suatu faktor resiko

177
terjadinya pcnyakit
serebrovaskuler.
Pertanyaan tentang efek N2O pada neuroproteksi sebagai obat
ancstesi utama telah dilakukan berbagai penelitian. Setelah Amfred
dan Secher menunjukkan bahwa pentotal mempunyai waktu survival
lebili dari dua kali pada tikus yang hipoksia sedangkan N2O akan
mengurangi survival, ditemukan bahwa penambahan N;()
sesungguhnya akan menghilangkan protektif efek dari pentotal pada
model yang sama. Dua tahun kemudian, Baughman dan ko-autor
mcnemukan bahwa 0,5 MAC N2O yang ditambahkan pada I MAC
atau 0,5 MAC isofluran akan menghilangkan efek proteksi otak
isofluran. Sugaya dan Kitani selanjutnya melaporkan bahwa NiO
mengurangi efek proteksi isofluran dalam memelihara protein
siloskeletal neuron yang sangat penting sclama iskcmia forebrain pada
otak. Lcbih baru lagi. Jevtovic Todorovic dan ko-autor mcnemukan
bahwa NiO menyebabkan dosis non toksik ketamin menjadi dosis
toksik pada tikus.
Bukti-bukti dari penemuan klinis dan laboratoris
menghasilkan adanya efek neurotoksik langsung dari N2O didukung
dengan penemuan yang mana N2O mempengaruhi pemulihan
elektrofisiologis dari hipoksia berat tanpa
mempengaruhi parameter biokimia seperti konscntrasi ATP, intluks C’a,
effluks K, dan influks Na.
Disamping neurotoksisitas langsung, N2() meningkatkan
metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial bila

178
digunakan sccara tersendiri. akan tetapi pengaruh ini bervariasi
bila N2O digunakan sebagan tambahan ancstctik, dengan atau lanpa
hipokapnia, dengan atau tanpa penekanan EEG.
Ada sejumlah penelitian, baik pada binatang maupun manusia,
yang mengkonfinnasikan bahwa N2O menimbulkan vasodilatasi
screbral sebagai ekses dari efek stimulasi pada metabolisme otak.
Suatu peningkatan pada metabolisme serebral telah ditunjukkan pada
tikus, kambing, dan anjing. Efek Vasodilatasi serebral ini terlihat pada
kelinei, kucing, tikus, anjing, babi. dan manusia.
Penelitian terhadap manusia dilakukan untuk menganalisis
aliran darah otak regional. Penelitian tersebut menemukan adanya
perubahan yang heterogen yang bertendensi meningkat di kortcks
bagian anterior dan menurun di korteks bagian posterior. Perubahan
antero-posterior ini berbeda dibandingkan dengan perubahan yang
ditimbulkan oleli vasodilator lain, seperti C02 yang menyebabkan
perubahan aliran darah otak yang seragam di semua bagian korteks.
Peningkatan aliran darah otak dengan N20 paling nyata terbukti
selama anestesi inhalasi. Tcrjadi peningkatan aliran darah otak bila
N20 ditambahkan pada anestesi dengan halotan. Secara tcoretis,
perubahan aliran darah otak dengan N20 bersifat sekunder terhadap
perubahan metabolisme otak atau akibat langsung pada pcmbuluh
darah serebral.
Peningkatan kcdalaman anestesi dari 0.5 ke 1 MAC isofluran
menyebabkan penurunan yang nyata pada CMRglu, sedangkan bila
ditambah 70% N20 (0,5 MAC) pada 0.5 MAC isofluran (1 MAC total)
CMRglu tidak berubah. Tidak adanya perubahan C'MR bila 0.5 MAC
N20 ditambah pada 0.5 MAC isofluran menunjukkan bahwa efek N20
pada aliran darah otak bersifat langsung dan juga oleh faktor lain,
selain karena perubahan metabolisme serebral.
Pada penelitian kelinei ternyata walaupun reaktivitas C'02 tetap
ada selama pemberian N20, hiperventilasi tidak mencegah vasodilatasi
bila N20 ditambahkan pada anestetika volatil. Walaupun N20 secara
jelas meningkatkan aliran darah otak dan metabolisme otak. efek ini
mungkin berbeda bila diberikan obat anestesi intravena. Pada
penelitian tentang pengaruh propofol
terhadap kcra, ditemukan bahwa penambahan udara dalam campuran
udara respirasi dengan 60% N2O tidak mempunyai pengaruh pada
aliran darah otak atau metabolisme otak. N2O adalah suatu vasodilator
yang lcbih kuat daripada isofluran pada manusia. Pengaruh N20 pada

179
tekanan cairan serebrospinal pada pasien tumor otak lcbih penting
daripada efck isofluran pada dosis yang equipoten. Pada tahun 1974
sudah dibuktikan bahwa N20 meningkatkan tekanan intrakranial pada
pasien yang mengalami penurunan komplians otak. Sebanyak 60%
N2O meningkatkan aliran darah otak ±100% dan meningkatkan
CMRO2 20%. Pemberian reserpin sebelum pemberian N20 tidak
mengubah efek N2O terhadap aliran darah otak dan CMRO2. Hal ini
menunjukkan bahwa efek N2O bukan karena hiperaktif simfatis. Pada
biri-biri, N2O meningkatkan aliran darah otak dan CMRO2 tanpa
adanya peningkatan kalckholamin plasma. Akan tetapi. peneliti lain
mengatakan N2O menyebabkan peningkatan aktivitas simfatis, dengan
menimbulkan konstriksi perifer dan peningkatan norepinefrin. NT)
menyebabkan muntah pada 90% pasien. Simpulannya: Selama anestesi
jangan diberikan N2O.
Isofluran
Isofluran, sesuai dengan dosisnya akan menekan metabolisme
dengan kuat sama seperti barbiturat. Tidak ada depresi metabolisme
lebih jauh lagi bila EEG sudah isoelektrik. Keadaan ini dapat terjadi
pada konsentrasi isofluran 3%. Gambarannya sama dengan bila
diberikan dosis besar barbiturat.
Walaupun ada laporan yang baik, ada juga yang negatif. Jadi,
keadaanya belum jelas. Perbedaan ini mungkin dihubungkan oleh
kenyataan bahwa isofluran tidak dapat digunakan untuk menurunkan
tekanan intrakranial, dapat terjadi steal phenomena, juga mengurangi
aliran darah pada iskemik penumbra. Keuntungan proteksi otak
isofluran dibandingkan dengan pentotal adalah lebih kecilnya efek
penekanan isofluran terhadap hemodinamik serta cepat pulihnya
isofluran. Tetapi peneliti lain mengatakan efek vasodilatasi dan
penekanan miokard akibat dosis tinggi pentotal kurang jika
dibandingkan dengan dosis 2 MAC isofluran yang membuat EEG
isoelektrik.
Berdasarkan laporan pertatna, isofluran menycbabkan
penurunan yang bcsar dari CMRO2 pada konsentrasi klinis. Oleh
karcna itu, dapat dipcrkirakan bahwa isofluran mcmpunyai efek
proteksi otak sclama pembedahan. Isofluran menghambat excitotoxicity
akibat akumulasi glutamat pada ruangan ckstraseluler sclama iskemia,
scbagai antagonis rescptor glutamat karena itu mengurangi masuknya
kalsium kc dalam sel, suatu GABA agonis, berdasarkan lial-hal

180
tersebut isofluran dapat mengurangi kematian sel.
Isofluran menekan aktivitas listrik otak pada titik isoclektrik
pada dosis klinis (<2 MAC). Cadangan energi otak dipelihara sesuai
tingkatan depresi metabolisme satna dengan barbiturat. Beberapa
penelitian menyokong efek proteksi otak isofluran, tetapi penelitian
yang lain gagal menunjukkan efek yang nyata atau tidak ada perbedaan
jika dibandingkan obat anestesi yang lain. Nclils dkk., menunjukkan
efek proteksi barbiturat. tetapi tidak dengan isofluran pada babon yang
dioklusi arteri serebri medianya. Sebaliknya, bila tekanan darali sama,
efek proteksi otak sama antara barbiturat dan isofluran.
Bukti-bukti klinis menyokong efek proteksi otak isofluran. Pada
pasien karotidendartectomi, aliran darali otak regional yang EEG-nya
menunjukkan iskemi (ischemic treshold), sccara nyata lebili rendah
dengan isofluran (8-10 ml/100 gr/menit dari pada yang ditunjukkan
halotan (18-20 ml/100 gr/menit).
Simpulannya: dapat diberikan Isofluran dengan konsentrasi I
vol%.
Sevofluran
Sejak diperkenalkannya Sevofluran, tclah diketahui bahwa
Sevofluran mempunyai gambaran yang menguntungkan untuk
ncuroanestesi. Sebagai contohnya. lebili eepatnya pcmulihan dari
Sevofluran dibandingkan dengan isofluran, akan mempercepat evaluasi
neurologis pascabedah. Sifat ini menyebabkan sevofluran merupakan
obat terpilili untuk bedali saraf. Akan tetapi semua obat anestesi
inlialasi bersifat vasodilatasi serebral sehingga kemungkinan akan
meningkatkan aliran darali otak.volume darali otak. dan tekanan
intrakranial. Tetapi pada penelitian-penelitian terbukti efek vasodilator
serebral sevofluran

181
lebih kccil daripada isofluran dan halotan (perbandingan vasodilatasi
sercbral sevofluran: isofluran : enfluran: halotan adalah 0.8 : 1 : 2 : 3)
sehingga sevofluran lebih dianjurkan untuk operasi bedah saraf.
Penelitian-pcnelitian menunjukan bahwa efek sevofluran pada sirkulasi
sercbral adalah minimal dan lebih kecil daripada isofluran. Juga
sevofluran mcmpunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
TIVA.
Penelitian-pcnelitian tentang efek sevofluran pada pembuluh
darah sercbral telah ditckankan pada efeknya terhadap reaktivitas CO?,
autoregulasi sercbral, diameter pembuluh darah, metabolismc sercbral
dan aliran darah otak. Kemampuan pembuluh darah otak untuk bercaksi
terhadap perubahan PaCO? penting untuk neuroanestesi yang aman.
Reflcks terhadap CO? ini tetap dipertahankan pada dosis Sevofluran
sampai 1,3 MAC.
Hal yang sama, autoregulasi selama anestesi dengan sevofluran
tetap dipertahankan sampai 1,5 MAC dengan metode yang menilai
dinamika autoregulasi. Sebaliknya, 1,5 MAC isofluran menghilangkan
autoregulasi sercbral. Salah satu alasan penting untuk perbedaan ini
adalah penurunan efek dilatasi dari sevofluran (sedikitnya 75%)
dibandingkan dengan isofluran pada pembuluh darah sercbral.
Efek keseluruhan sevofluran pada metabolismc dan aliran darah
sercbral bergantung pada keseimbangan vasokontriksi yang sekunder
terhadap penurunan metabolisme dan efek vasodilatasi direk dari obat.
Kebanyakan penelitian pada manusia menunjukkan suatu efek
bersamaan dari penurunan utilisasi oksigen serebral dan aliran darah
sampai 40% pada dosis I MAC. Sedikit. peningkatan tckanan
intrakranial yang tidak signifikan terlihat dengan sevolluran dan
isofluran, tetapi tckanan perfusi otak dipertahankan lebih baik dengan
sevofluran.
Stabilitas aliran darah otak seeara empiris bernilai khusus jika
kondisi pembuluh darah otak tidak diketahui. Aliran darah otak stabil
bila sevofluran didahului dengan pemberian obat anestesi intravena.
Sebaliknya, desfluran menyebabkan peningkatan aliran darah otak yang
nyata, mungkin sekunder terhadap suatu peningkatan tckanan darah
sistemik dan vasodilatasi serebral. Lagipula, aliran darah otak stabil
selama induksi anestesi dengan sevofluran, tctapi induksi intravena
dcngan propofol dapat mcnurunkan aliran darali otak.
Simpulannya: bi la ada sevofluran, lebih baik
menggunakan sevofluran daripada isofluran.
182
Simpu lan :
1. Proteksi otak barus dilakukan pada seluruh periodc perioperatif.
2. Metode dasar (jalan nafas bebas dan lancar, oksigenasi adekuat,
cegah hiperkarbia, pengendalian ICP, tekanan darah, CPP,
kejang) harus dilakukan.
3. Pemakaian obat anestesi yang tepat, harus yang mempunyai
efek proteksi otak (induksi dan pemeliharaan anestesi dengan
pentotal, anestetika inbalasi isofluran, sevofluran), hindari
pemakaian N2O, propofol, balotan, eniluran, nimodipin.
4. Pertimbangkan pemberian obat yang mempunyai efek proteksi
otak seperti barbiturat/pentotal, magnesium.
5. Hindari hipotermi modcrat (33°C), pertahankan pasien dalam
hipotermi ringan (34-35°C) selama operasi dan low
normothermia (36°C) pada periodc pascabedab.

Daftar Pustaka
1. Artru AA, Lam AM. Johnson JO, Sperry RJ Intracranial pressure,
midle cerebral artery flow velocity, and plasma inorganic fluoride
concentration in neurosurgical patients receiving sevoflurane or
isofluranc. Anesth Analg 1997; 85:587-92.
2. Avellino AM, Lam AM. Winn HR. Management of acute head
injury. Dalam: Albin MS. ed. Textbook of neuroanesthesia with
neurosurgical and neuroscience perspectives. New York:
McGraw-Hill; 1997.1137-75.
3. Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (S.IO2) dan
Cerebral Extraction of Oxygen (CEO:) sebagai indikator utama
proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi eedera kepala.
Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.

183
4. Bundgaard H. Von Ocltingen G, Larsen KM, Landsfeldt U,
Jensen KA, Nielsen F., Cold GE Effect of Sevoflurane in
intracranial pressure, cerebral blood flow and cerebral
metabolism. A dose response study in patients subjected to
craniotomy for cerebral tumors. Acta Anaesthesiol Scand 1998;
42:621-27.
5. Cole D. Cerebral ischemia-New Drugs, anaesthesia and
ischemia. WCA 2000 Proceeding, Montreal, Canada, 80-82.
6. Cottrell JE. What’s new and how it will affect your anesthetic
practice. WCA 2000 Proceeding, Montreal, Canada,83-85.
7. Cottrell JE. Brain protection in neurosurgcry-Dos and don’ts.
ASA Annual Meeting Refresher Course Lectures, New Orleans,
Louisiana; 2001.
8. Cottrell JE. Brain protection in neurosurgery-Dos and don’ts.
ASA Annual Meeting Refresher Course Lectures, Orlando,
Florida; 2002.
9. Dcutsch G, Samra SK. Effect of nitrous oxide on global and
regional blood flow. Stroke 1990; 21 : 1293-8.
10. Edwards N. Principles and practice of London: neuroanesthesia.
Chapman and Hall Medical, 1991.
I I. Gupta S, I Icath K, Matta BE Effect of incremental doses of
sevoflurane on cerebral pressure autoregulation in humans. Br
J.Anaesth 1997; 79:469-72.
12. Hall R, Murdoch J. Brain protection physiological and
pharmacological consideration, part 11: The pharmacology of
brain protection. Can .1 Anaesth 1990; 37 (7): 762-77.
13. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of Brain injury. Dalam:
Cottrell JE. Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery, 4'1' ed,
St Louis: Mosby; 2001.69-79.
14. Kass IS. Cottrell JE, Lei B. Brain metabolism, the
pathophysiology of brain injury, and potential bcbeficial agent
and technique. Dalam: Cottrell JE. Young WL, eds. Cottrell and
Young’s Neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier;2010,1-13.

184
15. Lam AM. Sloe TA, Cooper JO, Bachcnberg KL, Mathisen TL.
Nitrous oxide is a more potent cerebrovasodilator titan
isollurane in humans. Anesthesiology I991;75:AI68.
16. Matta BF. Heath KJ, Tipping K, Summors AC Direet cerebral
vasodilatory effects of sevoflurane and isollurane. Anesth
Analg 1999: 89: 364-69.
17. Mielck F, Stephan H, Weyland A. Sonnlag II Effect on one
minimum alveolar anesthetic concentration sevoflurane on
cerebral metabolism, blood How, and CO; reactivity in cardiac
patients. Anesth Analg 1999; 89:364-69.
18. Morales Ml, Pittman J, Cottrell .IE. Cerebral protection and
resuscitation. Dalam: Newficld P. Cottrell JE. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkin;2007, 55-72.
19. Nakajima Y. Morivvaki Ci, Ikeda K. Fujise Y The effect of
sevoflurane on recovery of brain energy metabolism after
cerebral ischemia in me rat: a comparison with isoflurane and
halothane. Anesth Analg 1997; 55: 593-99.
20. Nehls DG, Todd MM, Speltzer RF. A comparison of cerebral
protective effects of isoflurane and thiopental during temporary
focal ischemia in primates. Anesthesiology 1987; 69: 556-70.
21. Nathanson M Sevotlurane an ideal Neuroanesthetic? 12"’
WCA, Montreal. Canada; 2000.
22. Pittman J, Cottrell JE .Cerebral protection and resuscitation.
Dalam: Newlleld P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 3,a ed., Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins; 1999.
23. Reasoner I)K. Warner DS, Todd MM. Mac Allisler A. Effect
of nitrous oxide on cerebral metabolic rate and blood flow in
the goat. BrJ Anaesth 1990;65:210-15.
24. Schubert A. Brain protection. Dalam: Schubert,ed. Clinical
neuroanesthesia, Boston: Butterworth-lleinemann: 1997.
25. Sakabe T. Management of Head Trauma. Dalam: Newficld P,
Cottrell JE. eds. Handbook of neuroanesthesia, 3r<l ed.,
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins: 1999,129-145.
26. Summers AC, Gupta AK, Matta BF. Dynamic cerebral
autoregulation during sevotlurane anesthesia: a comparison

185
with isofluranc. Anesth Analg 1999; 88 : 341-45.
27. van Aken. Anesthetic agent: total intravenous and inhalational
anaesthesia. Dalam: van Aken. ed. Neuroanaesthetic practice.
London: BMJ; 1995, 91-121.
28. van Hemelrijck J, Fitch W, Mattheussen M, van Aken H, Piets
C, Lauwers T. The effect of propofol on the cerebral
circulation and autoregulation in the baboon. Anesth Analg
1991; 71: 49- 54.

186
BAB 9
Pengelolaan Hipertensi Intrakranial

Hipertensi intrakranial merupakan suatu gangguan yang fatal.


Mortalitas paling tinggi dari hipertensi intrakranial tcrlihat pada pasien
ccdera kcpala berat, dimana peningkatan tekanan intrakranial sangat
besar dan seringkali resistcn terhadap terapi. Pada tahun 80-an
pengelolaan hipertensi intrakranial difokuskan pada tekanan
intrakranial sendiri. Hipertensi intrakranial ditangani dcngan
melakukan hiperventilasi agrcsif, diuresis dan mempertahankan
tekanan darah yang normal atau lebih rendah. Duapuluh tahun
kemudian, mulai disadari tentang pentingnya tekanan perfusi otak yang
adekuat dan pencegahan cedera otak sekunder akibat dari iskemia pada
pasien dcngan peningkatan tekanan intrakranial.

Patoflsiologi Hipertensi Intrakranial


Otak ditutupi kranium schingga rongga kranium merupakan
suatu ruangan yang kaku dengan volume yang tetap kira-kira 1500 cm '
pada manusia dewasa. Isi intrakranial dapat dibagi atas tiga bagian:
jaringan otak (kira-kira 90% dari volume intrakranial), cairan
serebrospinal dan darah yang jumlahnya kira- kira 10-20%. Jumlah
cairan serebrospinal dan darah bervariasi dan dapat menurun
bergantung dari intervensi terapi. Secara umum, volume darah otak
berhubungan dengan aliran darah otak yang dipengaruhi oleh kontrol
mekanisme fisiologis.
Peningkatan tekanan intrakranial terlihat pada banyak proses
patologis yang menambah volume isi intrakranial. Hipertensi
intrakranial dapat berkembang dengan mekanisme sebagai berikut: 1)
peningkatan volume cairan serebrospinal sebagai akibat hambatan
sirkulasi atau absoipsi cairan serebrospinal, 2) peningkatan volume
darah akibat vasodilatasi, dan 3) space-occupying lesion misalnya
tumor, hematoma, atau edema.
Edema otak diklasifikasikan kcdalam sitotoksik atau vasogenik.
Sitotoksik disebabkan karena kerusakan neuron, yang akan
menyebabkan peningkatan sodium dan air dalam sel otak

187
dan keadaan itu akan meningkatkan volume intrascluler. Hipoksia dan
iskemia pada cedera kepala dan stroke dapat membawa kearah
terjadinya edema sitotoksik. Vasogcnik edema disebabkan karena
rusaknya barier darah-otak dan pergerakan protein dari dari darah
kedalam ruangan ckstraseluler otak. Air berpindah berdasarkan tekanan
osmotik protein, meningkatkan volume eairan dalam ruang
ckstraseluler otak. Vasogenik edema terlihat pada infeksi dan tumor
otak.
Tekanan intrakranial pada manusia umumnya kurang dari 10
mmHg. Dalam keadaan normal, sedikit peningkatan volume
intrakranial akan dikompensasi dengan elastanse komponen
intrakranial dan dengan translokasi eairan serebrospinal dan darah vena
kedalam ruangan eairan serebrospinal spinal dan vena ekstrakranial.
Setelah suatu titik tertentu, kapasitas dari sistim yang mengatur
peningkatan volume menjadi lelah dan sedikit penambahan volume
akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (gambar I).

Figure 1-6 Idealized intracranial pressure volume,


relationships. From: Shapiro, H.M. Intracranial
hypertension: Therapeutic and anaesthetic
considerations. Anesthesiology 43: 445-471. 1975.
Gambar 9.1 Hubungan ICP-volume
Dikutipdari: Edward N. Principles and Practice of Ncuroancsthcsia. 1991
Stone D.I. et al. The Ncuroancsthcsia Handbook, 1996

Suatu peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan dua


perubahan besar yaitu terjadinya iskemia serebral dan hemiasi (gambar
2). Tekanan perfusi otak ditentukan dengan
minus MAP (tekanan arteri rerata) tekanan intrakranial. Jika tckanan
intrakranial meningkat lebili besar dari tekanan arteri rerata, tekanan
perfusi otak akan menurun. Pada kasus berat, keadaan ini akan
membawa kearah iskemia, cedera neuron, dan kematian. Efek buruk
kedua dari peningkatan tekanan intrakranial adalah kemungkinan

188
terjadinya berniasi otak. Hemiasi ini dapat melalui meningen, masuk ke
kanalis spinalis atau melalui suatu kraniotomi. Herniasi dapat dengan
cepat membawa kearah memburuknya fungsi neurologis dan kematian.

Gambar9.2. Palofisiologi hipertensi intrakranial Dikutip dari: Hondo AA. I.uba K.


International Anesthesiology Clinics; 2000.

Indikator klinik adanya kenaikan tekanan intrakranial adalah


sakit kepala (khas dengan adanya postural headache pada pasien yang
bangun pada malam hari), mual dan muntah, pandangan kabur,
somnolen, edema papil, dan, dengan lebih tingginya hipertensi
intrakranial. terjadi penurunan kesadaran dan depresi nafas. Hipertensi
intrakranial yang tidak terkendali sering
digembar-gemborkan dengan terjadinya trias Cushing ( hipertensi
intrakranial, hipertensi arterial dan refleks bradikardi).
CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial
dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya
sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus
hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).

Patofisiologi Kerusakan Neuron sekunder terliadap Iskemia


Otak adalah organ paling sensitif bila pasokan darah terbatas.
Efek scntral yang mempresipitasi kerusakan adalah pengurangan
produksi energi disebabkan karena blokadc fosforilase oksidatif. Hal ini
akan mengurangi produksi ATP per molekul glukosa sampai 95%.
Jatuhnya konsentrasi ATP, akan menyebabkan hilangnya energi untuk
mekanisme homeostasis. Pompa ion yang kerjanya tergantung dari
ATP akan rusak dan Ca dan Na intraseluler akan meningkat, sedangkan
K intraseluler akan menurun. Perubahan ion ini akan menyebabkan
depolarisasi neuron dan melepaskan EAA seperti glutamat. Kadar
glutamat yang tinggi akan menyebabkan depolarisasi membran lebih
lanjut dan lebih banyak Ca masuk kedalam sel. Kadar Ca intraseluler
yang tinggi dipikirkan sebagai pemicu sejumlah kejadian yang akan
membawa membawa kcarah kerusakan anoksik atau iskemik. Hal itu
termasuk antara lain peningkatan aktivitas protease dan phospholipase.
Tingginya phopholipase akan mcningkatkan level asarn lemak bebas
(Free Fatty Acids/FFA) dan radikal bebas. Radikal bebas akan mcrusak
protein dan lipid, sedangkan FFA mempengaruhi fungsi membran.
Sebagai tambahan, ada peningkatan produksi laktat dan ion hidrogen.
Semua proses ini, bersama-sama dengan pengurangan kemampuan
untuk sintesa protein dan lipid mengakibatkan penurunan kadar ATP,
yang akan membawa kearah kerusakan ireversibel dengan iskemia.
Sebagai tambahan, aktivasi fosfolipase membawa kearah ekses
produksi asam arakhidonik, yang mana, pada reoksigenasi dapat
berbentuk eicosanoid (thromboksan, prostaglandin, dan leukotrin).
Thromboksan dapat menyebabkan vasokontriksi dan mengurangi aliran
darah pada

190
periode post iskemik, sedangkan leukotrin dapat meningkatkan
edema.
Trauma otak dapat secara langsung membawa kearah kerusakan
neuron secara fisik yang permanen. Kerusakan primer dapat juga
disebabkan oleh herniasi otak atau terputusnya pembuluh darah otak.
Kerusakan primer bcrsifat ireversibel, tetapi, kebanyakan cedera otak
pada pasien trauna bersifat cedera sekunder dan terjadi sctelah
kecelakaan pertama. Influks C'a akibat adanya trauma telah jelas
bekerja sebagai pemicu dari kerusakan otak. Adalab penting untuk
mcncegah iskemia sekunder yang mengikuti trauma otak dan mungkin
disebabkan pclcpasan substansi vasokontriksi selama reperfusi. Sebagai
tambahan, perdarahan mungkin meningkatkan tekanan intrakranial,
mengurangi tekanan perfusi otak. Darah intrakranial dapat merusak
mclalui efeknya mcrangsang pembentukan radikal bebas secara
langsung dengan menggunakan Fe dalam hemoglobin. Kerusakan
sekunder dapat dikurangi dengan monitoring dan pengobatan yang
tepat. Pengobatan termasuk pengurangan tekanan intrakranial,
mempertahankan aliran darah, mengurangi vasospasme, membuang
darah dari ruangan subarahnoid, dan menggunakan obat-obatan yang
memutuskan kaskadc yang menimbulkan kerusakan neuron.
Tumor otak secara nyata meningkatkan tekanan intrakranial dan
membawa kearah penurunan tekanan perfusi otak dan herniasi otak.
Sering, pembuluh darah yang memasok tumor mengalami kebocoran
sawar darah-otak yang dapat menimbulkan edema vasogenik.
Jadi. untuk beberapa kejadian patofisiologi pada otak, ketidak
seimbangan ion (terutama Ca intraseluler yang tinggi) mempunyai
implikasi sebagai suatu kemungkinan penyebab kerusakan otak.
Pemantauan
Sebagai tambahan terhadap pemantauan hemodinamik sistemik.
pemantauan otak termasuk tekanan intrakranial dan oksigenasi atau
metabolisme serebral menjadi penting dalam pcngelolaan hipertensi
intrakranial.
Pemantauan tekanan intrakranial: untuk panduan pengobatan
peningkatan tekanan intrakranial menjadi standar pada pasien yang
koma dan risiko tinggi untuk kenaikan tekanan intrakranial.
Kebanyakan centre di USA menggunakan ambang tekanan intrakranial
20 mmHg sebagai batas tertinggi sebelum mulai terapi.
Brain tissue oxygenation/Metabolism monitor, snatu sensor
multiparameter dipakai untuk mengukur brain tissue PO2, CO2, pi I dan

191
temperatur.
SJO2: dapat dilakukan seeara kontinu atau intennitent untuk
mengukur keseimbangan anatara pasokan dan kebutuhan oksigen otak.
Bila nilai SJO2 < 50% menunjukan peningkatan ekstraksi oksigen dan
menunjukkan suatu risiko eedcra isketnik.
Transcranial oxymetry: Near infrared spectroscopy (NIKS)
adalah suatu noninvasif optical method untuk mcmantau regional
serebral oksigenasi.
Pengelolaan Hipertensi Intrakranial
Telah dibicarakan bahwa perbedaan penyebab kenaikan ICP
akan mengakibatkan perbedaan terapinya. Tetapi tidak mungkin dalam
keadaan emergensi di UGD kita dapat menentukan dengan tepat apa
penyebab kenaikan ICP. Adanya kenaikan ICP ditentukan hanya dari
gejala klinis Pada pasen dengan CCS < 7, mutlak harus dipasang
monitor ICP. sebab pemeriksaan flsik tidak akan mampu memberikan
nilai aktual pada pasien-pasien yang koma. ICP sampai 20 mmHg
eukup baik. walaupun klinisi yang lain memberikan terapi lebih agresif
untuk meneapai ICP 15 mmHg.
Berbagai manuver dan obat digunakan untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Sebagai contoh, pemberian diuretik atau steroid,
hiperventilasi, pengendalian tekanan darah sistemik telah digunakan
untuk mengurangi edema serebral dan brain bulk, dengan demikian
akan menurunkan tekanan intrakranial.
Tabcl 9.1 Metodc nntuk mengcndalikan hipertcnsi intrakranial
Osmotik diuretik (mannitol, NaCI hipcrtonik), tubular (furosemid). Kortikosleroid :
deksametason (effektif untuk edema yang terlokalisir sekeliling tumor).
Ventilasi adekuat : PaOi > 100 mmUg, PaCO > 35 mmHg, hiperventilasi sesuai
kebutuhan.
Optimal hemodinamik (MAP. CVP, PCWP, HR), mempertahankan tekanan perfusi
otak.
Ilindari overhidrasi, sasarannya normovolemi.
Posisi untuk memperbaiki cerebral venous return (netral. head-up).
Obat yang menimbulkan vasokontriksi screbral (barbiturat, indometasin).
Pengendalian temperatur : hindari hipertermi, moderat intraoperatif hipotermi.
Drainase cairan screhrospinal. __________________________________________
MAP-mean arterial pressure: CVP "-central venous pressure;
PCWP-=pulmonary capillary wedge pressure; HR = heart rate _________________
Dikutip dari: Bendo AA. Luba K. International Anesthesiology C linics: 2000.

Diuretik:
Pcnurunan tekanan intrakranial yang ccpat dapat dieapai dengan

192
pemberian diuretik. Dua tnacam diuretik yang utnum digunakan yaitu
osmotik diuretik mannitol dan loop diuretik furosemid. Mannitol
diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25-1 gr/kg BB. Bekerja
dalam waktu 10-15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol
tidak menembus sawar darah otak yang intact. Dengan peningkatan
osmolalitas darah relatif terhadap otak, mannitol menarik air dari otak
kedalam darah. Bila sawar darah otak rusak, mannitol dapat memasuki
otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab
ada suaru reversal dari perbedaan osmotik. Akumulasi mannitol dalam
otak terjadi pada dosis besar dan pengulangan pemberian.
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung
dari besarnya dosis dan kccepatan pemberiannya. Vasodilatasi akibat
mannitol dapat menyebabkan peningkatan volume darah otak dan
tekanan intrakranial secara selintas yang simultan dengan penurunan
tekanan darah sistemik. Disebabkan karena mannitol pertama-tama
dapat meningkatkan tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara
perlahan (infus > 10

193
menit) dan dilakukan bersama dcngan manuver yang menurunkan
volume intrakranial (misalnya hiperventilasi).
Obat liipcrtonik misalnya hams diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan
selintas volume intravaskuler dapat memprcsipitasi gagal jantung kiri.
Furosemid mungkin obat yang lebih baik untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien ini. Pcnggunaan mannitol jangka panjang dapat
menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas, dan
gangguan fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum osmolalitas
meningkat diatas 320 mOsm/kg.
Furosemid mengurangi tekanan intrakranial dengan
menimbulkan diuresis, menumnkan produksi cairan serebrospinal, dan
memperbaiki edema serebral dengan mcmperbaiki transport air seluler.
Furosemid menurunkan tekanan intrakranial tanpa meningkatkan
volume darah otak atau osmolalitas darah, tetapi, tidak seefektif
mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Furosemid dapat
diberikan tersendiri dengan dosis 0,5-1 mg/kg atau dengan mannitol,
dengan dosis yang lebih rendah (0,15-0,3 mg/kg). Suatu kombinasi
mannitol dengan furosemid lebih efektif daripada mannitol saja dalam
mengurangi brain hulk dan tekanan intrakranial tapi lebih menimbulkan
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrol i t. Bila dilakukan
kombinasi terapi, diperlukan pemantauan serum elektrolit dan
osmolalitas dan mengganti kalium bila ada indikasi.
Nad hipertonik, lebih berguna pada pasien tertentu misal
refraktori hipertensi intrakranial atau yang memerlukan restorasi cepat
dari volume intravaskuler dan penurunan tekanan intrakranial.
Kerugian utama dari NaCl hipertonik adalah terjadinya hipematremia.
Pada suatu penelitian pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor
supratentorial, volume yang sama mannitol 20% dan NaCl 7,5% dapat
mengurangi brain bulk dan tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na
meningkat selama pemberian NaCl hipertonik dan mencapai puncak
150 meq/lt.
Diuretik merupakan jalan kedua dalam terapi kenaikan ICP
dengan memberikan mannitol dan atau furosemid. Lasix adalah suatu
loop diuretik yang bekerja di tubulus distal ginjal
untuk mengliambat reabsorpsi sodium (Na). Juga mcnghambat
karbonik anhydrase, maka akan mcnurunkan kecepatan produksi C'SF.
Dosis 0,5-0,1 mg/kg intravena, dan diberikan sebelum mannitol untuk
mencegah rebound peningkatan 1CP dan CBV.

194
Posisi
Penggunaan posisi head-up untuk mcnurunkan ICP harus hati- hati
karena MAP lebih menurun daripada ICP saat posisi head-up schingga
akan mcnurunkan CPP. Tetapi head-up 10-20% akan menguntungkan.
Steroid:
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak.
Kortikosteroid memerlukan beberapa jam atau hari sebelum
mengurangi tekanan intrakranial. Pemberian kortikosteroid sebelum
reseksi tumor sering menimbulkan perbaikan neurologis mendahului
pengurangan tekanan intrakranial. Steroid dapat memperbaiki
kerusakan barier darah-otak. Postuiat mekanisme steroid dapat
mengurangi edema otak adalah dehidrasi otak, perbaikan barier darah-
otak, pencegahan aktivitas lisosom, mempertinggi transport elektrolit
serebral, merangsang ekresi air dan elektrolit, dan mengliambat
aktivitas fosfolipasc A2. Komplikasi yang potensial dari pemberian
steroid yang lama adalah hiperglikemia, ulkus pcptikum akut,
peningkatan kejadian infcksi. Walaupun pada tahun 70-an dan
permulaan tahun 80-an digunakan secara ektensif, untuk terapi edema
serebral pada cedera kcpala akut, sekarang steroid jarang digunakan
pada protokol pengclolaan cedera kcpala.
Pengelolaan Vent iIasi:
llipokapnia yang bisa dicapai dengan hiperventilasi merupakan
standar terapi. Dengan terjadi vasokontriksi pembuluh darali cerebral,
maka volume darah intracranial akan menurun dan ICP akan menurun.
C’BF berubah kira-kira 4% (0,95-1.75 ml/lOOg/menit) setiap mmHg
perubahan PaC02 antara 25-80 mmHg Level optimal dari hipokapni
adalah 25-30mmHg. Bila < 25mmHg kentungkinan terjadi cerebral
iskemia.
Teknik hipokapnia adalah jalan tercepat untuk mcnurunkan ICP.
Efeknya transient, terapi, pH CSF kembali normal dalam 24jam (maka
teknik hipokapni untuk menurunkan CBF hanya sampai 24jam, setelah
itu pasien di normokapni).
Hiperventilasi telah dipakai untuk pengclolaan hipertensi
intrakranial acut dan subakut. CO? adalah serebrovasodilator kuat dan
penurunan CO? serebrovaskular menurunkan volume otak dengan
menurunkan aliran darah otak melalui vasokontriksi serebral yang
eepat. Setiap perubahan I mmllg PaCO?, aliran darah otak berubah 1-2
ml/lOOgr/menit. Hiperventilasi efektif dalam menurunkan tekanan

195
intrakranial hanya untuk 4-6 jam, bergantung dari pH cairan
screbrospinal dan utuhnya reaktivitas terhadap CO? pada pembuluh
darah otak. Gangguan rcaksi terhadap perubahan PaCO? terjadi di
daerah vasoparalisis, yang dihubungkan dengan penyakit intrakranial
luas seperti iskemia, trauma, tumor, dan infeksi.
Hiperventilasi dapat berbahaya. Ada bukti bahwa agresif
hiperventilasi dan vasokontriksi dapat menimbulkan iskemia, terutama
bila aliran darah otak rendah. Telah ditunjukkan bahwa aliran darah
otak setelah cedera kepala paling rendah pada hari pertama dan secara
perlahan meningkat pada 3-6 hari kemudian. Telah diperlihatkan
adanya korelasi langsung dari hiperventilasi agresif (PaC'O? < 25
mmllg) dan outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala berat.
Bila hiperventilasi dimulai untuk pengendalian hipertensi
intrakranial, PaCO? harus dipertahankan dalam rentang 30-35 mmHg
untuk mencapai pengendalian tekanan intrakranial seraya mengurangi
risiko iskemia. Hiperventilasi untuk mencapai PaCO? kurang dari 30
mmHg harus dipertimbangkan hanya bila dipcrlukan terapi sekunder
untuk hipertensi intrakranial yang refrakter.
Pengukuran SJO? kontinu digunakan dalam praktek klinik untuk
menentukan pasien mendapatkan hasil yang menguntungkan atau
merugikan akibat hiperventilasi. Pada situasi emergensi, harus
dikontinu melakukan hiperventilasi bila ada perlimbangan pasien dalam
kedaan hipetlensi intrakranial. Tetapi. bila situasi klini tidak
memerlukan hiperventilasi lebih

196
lama atau ada bukti adanya iskemia screbral, maka barns
dilakukan normoventiiasi.
Pengelolaan Cairan clan Tekanan Arteri:
Penelitian binatang dan survai klinik menyokong konscp bahwa
otak yang cedera sangat rentan terhadap perubahan kecil bipoksia atau
hipotensi. Keterangannya adalali setclah cedera kepala, pada beberapa
pasicn menunjukkan adanya daerah otak yang sangat rcndah aliran
darahnya, dengan gangguan otoregulasi. Bila otoregulasi hilang, aliran
darah otak menjadi tergantung dari tekanan darah. Karena itu, pasien
cedera kepala dengan aliran darah otak rendah sangat rentan terhadap
hipotensi sistemik. Observasi ini mcmpunyai akibat dalam lebih
bcsarnya dukungan pada support tekanan darah yang agresif pada
pasien cedera kepala. Penelitian dengan SJOi dan TC'D menunjukkan
bahwa tekanan perfusi otak yang adekuat mulai memburuk pada
tekanan perfusi otak rerata <50 mniHg. The Brain Trauma Foundation
dan American Associaton of Neurologic Surgeon menganjurkan target
tekanan perfusi otak adalali 50-70 mmHg pada pasien cedera kepala.
Restriksi intake cairan merupakan cara tradisional untuk tcrapi
dekompresi intrakranial tetapi sekarang jarang digunakan untuk terapi
menurunkan tekanan intrakranial. Restriksi cairan yang berat dalam
beberapa hari dapat menimbulkan hipoviolemia, dan menyebabkan
hipotensi, penurunan aliran darah otak, dan bipoksia. Kekurangan
volume intravaskulcr hams diperbailki sebclum induksi anestesi untuk
mcncegah hipotensi. Resusitasi dan rumatan cairan untuk pasien bcdah
saraf adalah larutan kristaloiud iso-osmolar yang bebas glokosa.
Larutan hipoosmolar misalnya NaCl 0.45% dan RL lebih meningkatkan
air otak daripada larutan isoosmoler NaCl 0,9%. Larutan yang
mengandung glukosa dihindari pada semua pasien bedah saraf dengan
metabolisme glukosa yang normal, sebab larutaini dapat
mcngeksascrbasi kcrusakan iskemik. Hiperglikemia memperberat
kerusakan iskemik dengan pempromosi produksi laktat neuron, yang
memperberat cedera seluler. Cairan intravena yang mengandung
glukosa dan air (dektrosa 5% dalam air atau dekstrosa 5% dalam 0,45%
NaCl) juga memperberat edema otak.
sebab glokusa dometabolis,e dan air akan tetap tinggal ruangan cairan
intrakranial. Studi klinis menunjukkan suatu hubungan yang kuat antara
kadar giukosa plasma dan outcome neurologis sctelah stroke dan cedera
otak. Karena itu, giukosa hanya diberikan bila ada risiko hipoglikemia
dan kadar giukosa darah haras dipantau dan dipetahankan pada rentang

197
bawah dar nilai normal.
Selama rcsusitasi cairan pasien cedera kepala, sasarannya adalah
untuk mempertahankan osmolality serum normal, menghindari
penurunan tekanan tekanan koloid osmotic yang bcsar, dan
mengembalikan sirkulasi darah yang normal. Terapi yang segera adalah
langsung pada mencegah hipotensi dan mempertahankan tekanan
perfusi otak 50-70 mmHg. Bila ada indikasi, pasang monitor tekanan
intrakranial untuk panduan resusitasi cairan dan mencegah kenaikkan
tekanan intrakranial. Kristaloid iso-osmolar, koloid atau kcduanya
diberikan segera untuk mempertahankan volume sirkulasi. Perdarahan
yang banyak memerlukan transfusi darah. Hematokrit minimal antara
30-33% dianjurkan untuk memaksimalkan transportasi oksigen.
Larutan Nad hipertonik mungkin sangat berguna untuk resusitasi
volume pada pasien cedera kepala karena mempertahankan volume
intravaskuler seraya menurunkan ICP dan memperbaiki aliran darah
otak regional. NaCI hipertonik menimbulkan suatu efek osmotic
diuretic sama seperti mannitol. Dcngan penggunaan jangka panjang,
ada kemungkinan kompliasi dari peningkatan Na serum, penurunan
kesadaran dan kejang.

Posisi:
Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head up 15-
30° dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dcngan jalan
memperbaiki drainase vena serebral. Kepala tleksi atau rotasi dapat
menimbulkan obstruksi drainase vena serebral, menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Penurunan posisi kepala
menyebabkan gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat
meningkatkan brain hulk dan tekanan intrakranial.
Ohat yang menimbulkan Vasokontriksi Serebral:
Pemberian obat yang mcningkatkan rcsistcnsi pembuluh darah
serebral dapat sccara cepat mcngurangi tckanan intrakranial. Barbiturat,
yaitu Pentotal dan pentobarbital adalah obat yang paling banyak
digunakan untuk tujuan ini. Barbiturat mcnurunkan metabolisme dan
aliran darah otak. Masalah utama dengan barbiturat adalah
mcnyebabkan pcnurunan tekanan arteri rerata, yang apabila tidak dapat
dikendalikan dapat mcnurunkan tekanan pcrfusi otak. Pada dosis tinggi
(10-55 mg/kg) pentotal dapat menimbulkan EEG isoclcktrik dan
mcnurunkan metabolisme otak sampai 50%. Metabolik efck pentotal
yang langsung adalah tnenyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral,
yang menurunkan aliran darah otak dan karena itu mcnurunkan
198
peningkatan tekanan intrakranial.
Pentobarbital digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial
apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg sclama lebih dari
30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan
koma. Level dalam darah secara periodik diukur untuk mencegah
overdosis dan adjusted kira-kira 3 mg/dl. Pasien mcmerlukan ventilasi
mekanis, hidrasi, pemantauan tekanan intrakranial, pemantauan tekanan
arteri invasif dan mungkin vasopresor. EEG digunakan untuk
mcmantau pola burst supresi sebagai bukti penekanan adekuat dari
aktivitas serebral. Sasaran dari barbiturat koma adalah pengendalian
tekanan intrakranial jangka panjang sampai faktor yang memperburuk
tekanan intrakranial dapat dihilangkan.
Barbiturat mungkin juga memberikan proteksi otak dengan
menurunkan metabolisme otak. Beberapa dari proximate mekanisme
yang mana barbiturat menurunkan metabolisme otak termasuk
pcnurunan Ca influks, blokade terovvongan Na, menghambat
pembentukan radikal bebas, memberbesar aktivitas GAF3A. dan
menghambat transfer glukosa menembus barier darah-otak. Semua dari
mekanisme ini konsisten dengan laopran Goodman dkk bahwa
pentobarbital koma mcngurangi laktat, glutamat dan aspartat pada
ruangan ekstraseluler pada pasien cedera kepala dengan peningkatan
tekanan intrakranial yang hebat. Pada penclitian invitro menyokong
bahwa tiopental juga memperlambat hilangnya perbedaan clektrik
transmembran yang

199
disebabkan karcna aplikasi NMDA dan AMPA. Sayangnya, lianya trial
klinis yang membcrikan bukti dari proteksi barbiturat.
Pcnclitian binalang dan laporan pendahulnan penggunaan
indomethasin dalam pengelolaan hipertensi intrakranial. lndomethasine
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan penurunan aliran darah otak
dcngan tanpa mcnpengaruhi CMR02. Mungkin menurunkan tekanan
intrakranial dcngan menurunkan edema serebral, menghambat produksi
cairan serebrospinal dan mengendalikan hipertermia.
Mekanisme penurunan aliran darah otak oleh indomethasine
tidak dimengerti dcngan jelas. Pcnclitian binatang menyokong bahwa
sintesa prostaglandin diperlukan untuk aliran darah otak yang normal
dan berperan dalam aliran darah otak-PaC02 coupling. Pembuluh darah
otak dipengaruhi efck vasodilasi dan vasokonstriksi
prostaglandin. Indomctasin, menghambat
C'OX/siklooksigcnasc, menccgah pembentukan prostaglandin dari
asanr arachidonik dan dapat mcrubah keseimbangan prostaglandin
dalam pembuluh darah otak dan yang menjadi dominan adalah efek
vasokonstriksinya.
Iskemia otak meningkatkan produksi asani arachidonik dan
COX, implicating prostaglandin dalam pembentukan edema sitotoksik.
Pretreatment dcngan indomctasin telah ditemukan ameliorate edema
sitotoksik dan vasogenik setelah cedera otak pada binatang pcrcobaan.
Indomctasin potentiates efek inhibisi dari endotclin pada
produksi cairan serebrospinal oleh fleksus choroideus. Indometasin
juga menurunkan tekanan intrakranial dcngan menurunkan temperatur
dan mungkin berefek proteksi otak melalui efeknya mencegah
hipertermia. Dua pcnclitian oleh Jensen dan Biestro dan satu laporan
kasus mendukung bahwa indomctasin dapat mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. Semua penelitian menggunakan
obat setelah metode konvensional (hipcrvcntalisi-barbiturat-diuretik
gagal mengendalikan
Pengencialian Temperatur.
Hipotermia ringan telah ditunjukkan untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan
mctabolisme otak, aliran darah otak, volume darah otak dan produksi
cairan serebrosponalis. Obat yang menekan menggigil secara sentral,
pelumpuh otot, dan ventilasi mckanis diperlukan bila dilakukan teknik
hipotermi.

200
Drainase cairan screbrospinal:
Drainase cairan screbrospinal 10-20 ml dengan tusukan langsung pada
ventrikel lateral atau dari katetcr spinal lumbal dapat mengurangi brain
tension secara cepat. Drainase cairan screbrospinal lumbal barns
dilakukan secara hati-hati hanya bila dura terbuka dan pasien dilakukan
bipcrvcntilasi tingan untuk mcncegah hernia otak akut.

Pengendalian Tekanan Intrakranial


Telah kita ketahui ada 3 komponen isi ruangan intrakranial
yaitu otak, darah dan CSF. Pada cedera kepala sering terjadi
penambahan lesi massa misalnya darah (EDH, SDH) atau bcnda asing.
Otak:
Edema sering berkembang dengan eepat setelah cedera kepala.
Untuk ini secara rutin diberikan Mannitol 20% dengan dosis 0,25-1
201
gram/kg. Keterangan klasik dari mekanismenya adalah osmotik
dehidrasi (osmolalitas mannitol 20% adalah 1098, sedangkan
osmolalitas normal serum adalah 290). Tetapi efek dehidrasi ini lambat,
sedangkan mannitol bekerja eepat. Penelitian baru-baru ini
menunjukkan balivva mannitol bekerja pada ketiga komponen isi
intracranial, yaitu otak. darah dan CSF.
Mannitol menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan screbral
sehingga terjadi hipotensi selintas dan kemudian diikuti hipertensi
akibat penambahan volume intravaskuler. Pasien dengan fungsi jantung
yang jelek bisa terjadi gagal jantung dan edema paru. Penggunaan
mannitol tekanan intrakranial yang meningkat adalah bila tekanan
intrakranial > 15 mmHg.
Loop diuretik seperti furosemid sering digunakan untuk operasi
elektif bedah saraf dan juga cedera kepala. Terdapat efek potensiasi
mannitol dan furosemid, tanpa adanya pcrubahan hemodinamik yang
nyata. Penggunaan osmotik diuretik dan loop diuretik dapat
menyebabkan electrolit imbalance dan pcmberian cairan harus dituntun
oleh pemeriksaan osmolality dan elektrolit. Bila pasien resisten
terhadap mannitol dapat diberikan NaCl hipertonis.
Volume darah’.
Hipoksia dan hiperkapnia dapat menyebabkan screbral
vasodilatasi dan meningkatkan volume darah otak. Hiperventilasi
adalah salah salu mekanisme paling efektif untuk mengcndalikan
volume darah serebral (CBV). Perubahan 1 mmHg PaC()2 akan
menurunkan 1% CBV dan 3% CBF.
Tetapi harus diingat balivva walaupun penurunan CBV terjadi
sebagai akibat peningkatan CVR, penurunan simultan dari

202
C'BF hams diperhatikan sebagai suatu efek samping yang tidak bisa
dicegah, lebih daripada sebagai suatu sasaran terapi primer. Ini penting
karena ischemia mempakan faktor yang berperan pada jeleknya
outcome pada pasicn cedera kepala.
Disamping bisa menyebabkan serebral iskemia, kerugian lain
dari hiperventilasi adalah:
—kurfe disosiasc Oxy-llb bergeser kekiri, jadi ada penurunan
pengcluaran oksigen kejaringan.
—CBF dan CBV kembali normal setelah hiperventilasi yang lama.
Tetapi hiperventilasi adalah tindakan cepat untuk mengurangi
CBV, merupakan life saving pada hipertensi intrakranial akut. Suatu
pendekatan rasional adalah hiperventilasi hanya untuk semenlara, tidak
definitif.
Bila tidak ada tekanan intrakranial monitor, PaCCC jangan <
25 mmHg. Monitoring saturasi oksigen dari v.jugularis dapat menolong
untuk mengurangi kejadian iskemia global akibat hiperventilasi. Baru-
baru ini, tromethamine (THAM) diketahui dapat mclawan asidosis
jaringan, dilaporkan mempunyai keuntungan efek pada tekanan
intrakranial. walaupun outcome keseluruhan tidak berubah.
CBV dapat dikurangi seeara farmakologis dengan mannitol.
Muizelar mengatakan bahwa autoregulasi diatur oleh viskositas, maka
pengurangan viskositas akan meningkatkan CBF, ahirnya terjadi
vasokontriksi untuk mempertahankan CBF konstan. Disebabkan
mannitol akan mengurangi viskositas dan meningkatkan CBF.
menyebabkan viskositas mediated maka akan mengurangi CBV.
Pcnelitian lain, menunjukkan bahwa pemberian mannitol
menyebabkan peningkatan blood flow dan blood volume seeara selintas
dan dapat menyebabkan kenaikkan tekanan intrakranial. Paradoksnya,
pada pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi, tekanan
intrakranial tidak meningkat setelah pemberian mannitol.
Obat vasokontriksi serebral termasuk obat anestesi intravena
seperti barbiturat (pcntotal) dan propofol semuanya menurunkan CBF
dan metabolisme, hal ini karena metabolisme turun maka C'BF akan
turun dan CBV akan turun. Tetapi karena
terjadi penurunan tekanan darah, maka pcnurunan CBF lebili bcsardari
metabolisme. Lidokain juga mengurangi CBF.
Ada bukti bahwa pasicn yang kehilangan reaktivitas terhadap
CO2, juga tidak bcrespon terhadap terapi barbiturat. Hal yang sama,
disebabkan vasokontriksi serebral sekunder terhasap penurunan
metabolisme. Pasicn dengan EEG negatif, tidak bcrespon terhadap

203
terapi barbiturat. Karena itu terapi barbiturat koma jaratig digunakan
lagi untuk terapi cedera kepala, alasan lain adalah meningkatnya risiko
infeksi nasochomial dan pneumonia, keuntungannnya sedikit dalam
memperbaiki outcome dan biaya perawatan di ICU mahal.
Hipotcrmi mengurangi CMRO2, menurunkan CBF dan CBV
krena itu akan menurunkan ICP. Tidak dianjurkan hipotermi dalam,
tetapi cukup hipotermi ringan sampai sedang (35°C) dimana
pengaturan suhu cukup dengan AC ruangan, secara nyata mengurangi
injuri neuron pada cedera kepala eksperimental, mungkin karena
mengurangi pelepasan glutamat.
Kebanyakan manuver klinis digunakan untuk mengurangi
CBV adalah melalui kompartment volume darah arteri dan kapiler
dengan mengubah CVR. Walaupun volume darah vena serebral
merupakan volume yang dominan (75%), tetapi bertendensi mengikuti
komponen arteri sccara pasif. Kegagalan menjamin drainase vena
serebral yang adekuat, akan menyebabkan pembengkakan vena dan
kenaikkan tekanan intrakranial yang tidak terkendalikan. Jadi, betul-
betul sangat penting untuk mempertahankan posisi head up untuk
memperbaiki drainase vena, untuk menjamin bahwa posisi Icher tidak
menyebabkan kinking atau kompresi vena jugularis interna (yang bisa
terjadi bila kepala lleksi atau ektensi ekstrim, terutama dikombinasi
dengan rotasi kepala) dan periksa semua hal yang menyebabkan
penekanan vena (collar, tracheal ties, tracheostomi ties).
Volume CSV :
Walau beberapa obat anestesi inhalasi seperti halothane dan enflurane
meninggikan volume CSF dengan jalan meningkatkan produksi dan
mengurangi absorpsi, hal ini tidak perlu difikirkan karena sekarang
untuk anestesi bedah saraf dipakai isotlurane atan sevoflurane yang
tidak menambah volume CSF malahan mengurangi volume C'SF.
Pemberian NaCl hipertonik dan mannitol akan mengurangi produksi
CSF.

Pada gambardi bawah ini terlihat patofisiologi dan 1CP.

204
Figure 8-2 Pathophysiology of uncontrolled intracranial hypertension. Cycle
elements potentially under the anaesthesiologist’s control are indicated by
asterisks. From: Shapiro, H.M. Intracranial hypcrtcasion: Therapeutic and
anaesthetic considerations. Anesthesiology 43: 445-471, 1975.

Ciambar: Patofisiologi hipertensi inlrakranial


Dikutip dari lid wards N. Principles and Practice of Neuroanesthesia. 1991

Tcrapi Adjuvant
Setelah intubasi dan vcnlilasi kendali, berikan fentanil 50-100 ug
atau benzodiazepin, misalnya midazolam 0.01-0,05 mg/kg untuk
menghilangkan sakit yang menyebabkan
hiperkatckholamine. juga untuk sedasi.
Kejang scring terjadi setelah cedera kepala, terutama akibat peluru,
dimana insidensinya dapat mencapai 40-60%. Adanya pada minggu
pertama setelah trauma dapat berarti timbulnya perdarahan
intrakranial, manifestasi dari cedera cerebral, hipoksia atau
gangguan elektrolit. Kejang sendiri dapat merubah dinamika
intrakranial dan berakibat kerusakan lebih lanjut, perdarahan, atau
hemiasi otak. Kejang dapat

205
menyebabkan laktik asidosis. Penyebab utama dari kematian
penderita yang masih dapat berbicara pada saat datang adalah
pcnanganan kejang yang tidak bctul, dan pencegahannya adalah
tnjuan utama dari resusitasi otak. Disebabkan karena kejang
dihubungkan dengan meningkatnya cerebral metabolisme dan ICP,
jadi rutin dibcrikan profilaksis phenytoin.
- Dosis phenytoin 10-15 mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dengan
keccpatan 50 mg/menit sebagai dosis tunggal, dan dosis selanjutnya
tergantung dari kadarnya dalam darah. Phenytoin mempunyai
keuntungan tainbahan dengan mengurangi CBV dan CMR. Bila
tcrjadi seizure kctika sedang diberi profilaksis, maka berikan
midazolam 0,01-0,05 mg/kg atau pentotal l-3mg/kg. Succinylcholin
1 mg/kg akan memblok aktivitas obat saat kejang dan menyebabkan
mudahnya ventilasi, tetapi tidak mempengaruhi aktivitas cerebral.
Bukti keefektifan steroid pada cedera kepala sangat lemah. Pada
kebanyakan center, steroid sudah tidak diberikan lagi. Pada
beberapa center lain, anak-anak dengan GCS < 6 dan dewasa
dengan GCS < 8 diberikan dosis tinggi dexamethason (1-1,5 mg/kg)
yang kemudian diturunkan seeara bertahap. Tetapi pada penelitian-
penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid ini tidak ada
keuntungannya. malahan ada komplikasi hiperglikemia, sehingga
sekarang steroid tidak dipakai lagi untuk cedera kepala.
Barbiturat (tiopcntal) untuk menurunkan ICP telah digunakan dengan
dosis 1-3 mg/kgBB. Pentotal berefck cerebral vasokon- striksi,
menurunkan C’BF, CBV dan ICP.
Hipertermi
Demam sering disebabkan karena ada infeksi sekunder,
thromboplebitis, kerusakan pada pusat sistim pengaturan suhu.
Hipertermi meningkatkan metabolisme otak. setiap perubahan l°C
maka CBF akan berubah 5%; Hipotermi akan menurunkan CMROi 7%
per 1°C, dan hipertenni juga akan meningkatkan CMRO2. Suhu di atas
42°C dapat menyebabkan kematian sel-sel neuron. Karena itu penting
untuk segera melakukan terapi bila ada demam dengan cara pemakaian
selitnut pendingin. suhu ruangan untuk mcncapai temperatur otak
sekilar 32-33°C.
Daftar Pustaka

1. Aarabi B, Hisenberg IIM, Murphy K, Morrison C. Wcinmann


M. Traumatic brain injury: Management and complication.
206
Dalam: L.ayon A.I, Gabriel 1 i A, Friedman WA, eds.
Textbook of Neurointensive Care. Philadelphia:
Saunders;2004:77l-87.
2. Avcllino AM. Lam AM, Winn HR. Management of acute head
injury. Dalam: Albin MS, ed. Textbook of neuroanesthesia
with neurosurgical and neuroscience perspectives. New York:
McGraw-Hill; 1997,1 137-75.
3. Bendo AA, Luba K. Recent Changes in the management of
intracranial hypertension. Dalam: Maccioli GA, ed.
International Anesthesiology Clinics-Current Issues in
Anesthesiology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2000, 38(4): 69-85.
4. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestcsi. Bandung:
Bagian Anestcsi FK. UNPAD/ RS Dr.Hasan Sadikin, 1997.
5. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestcsi. Bandung: Saga Olah Citra;
2008.
6. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestcsi. Bandung: Saga Olah Citra;
2012 .

7. Bullock R. Chcsnut RM, Clifton G, Ghajar .1, Marion DW.


Guidelines for the management of severe head injury. Journ of
Neurotrauma 1996: 13, 11,693-703.
8. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with
severe head njury. Dalam: Cottrell .IE, Young WL. eds.
Cottrell and Young's ncuroanesthesia; 2011,317-25.
9. Bullock MR, Povlishock .IT. Journal of Neurotrauma 2007;
vol 24,supp I
10. Durieux ME. Anesthesia for head trauma. Dalam: Stone DJ,
Sperry RJ, Johnson JO, Spiekcrmann BE, Yemen TA, eds.
The Ncuroanesthesia Handbook.St Louis: Mosby; 1996,385-
414.
1 I. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of Brain injury. Dalam:
Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery, 4th
ed, St Louis: Mosby;200l ,69-79.
12. Marion DW. Penrod LE, Kelsey SF. Treatment of traumatic
brain injury with moderate hypothermia. N Eng .1 Med 1997;

207
336 : 540-6.
13. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic brain injury, stroke,
and brain death. Dalam: Newfield P. Cottrell JE. ed.
Handbook of neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia:
Lippineott Williams & Wilkins; 2007:414-40.

14. Sakabe T. Management of Head Trauma. Dalam: Newfield P,


Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia, 3rd ed.,
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 1999,129-145.
15. Tagliaferri F. Compagnone C', Gennarelli TA. Head trauma.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York:
Cambridge University Press;2010:209-I9.

208
BAB 10
Resusitasi Cairan Pada Cedera Otak
_______________

Pengelolaan cairan periopcratif untuk pasien dengan hipertcnsi


intrakranial rnasih kontroversi. Untuk bebcrapa tahun lain, dogma
tentang pasien hams "dry" dipakai untuk mengurangi pembentukan
edema. Sayangnya sering terjadi restriksi cairan sampai ketingkat
hipovolemia dan pasien beresiko untuk terjadi hipotensi sistemik yang
menurunkan tekanan pcrfusi otak dan mengakibatkan tcrjadinya
iskemi screbral.
Ilipertensi intrakranial adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas setclah cedera kepala. Spesialis anestesi mungkin
mcnjumpai pasien dengan hipertensi intrakranial bukan saja untuk
operasi otak, akan tctapi juga untuk operasi lain diluar otak akan tetapi
pasien mengalami cedera otak. Bila mengelola pasien dengan
hipertensi intrakranial hams selalu diingat bahwa tidak ada untungnya
membiarkan pasien dalam keadaan "dry”. Dalam kenyataannya,
restriksi cairan sampai mencapai keadaan hipovolemia dapat
menimbulkan keadaan hipotensi dan iskemi otak scrta mcningkatnya
morbiditas dan mortalitas. Cairan harus diberikan untuk
mempertahankan cardiac filling pressure normal. Vasopresor hanya
diberikan bila tekanan darah tidak dapat dipertahankan walaupun
volume intravaskulcr sudah adekuat.
Pasien Bedah Saraf sering menerima diuretik (misalnya
mannitol atau furosemid) untuk mengobati edema serebral dan atau
menurunkan hipertensi intrakranial. Sebaliknya, juga mungkin
menerima sejumlah besar cairan atau darah sebagai bagian dari
resusitasi, pengobatan vasospasme, korcksi dehidrasi prabedah, atau
pemeliharaan untuk stabi litas hcmodinamik intraoperatif dan
pascaoperasi. oleh karena itu, pengelolaan cairan dan elektrolit yang
tepat untuk operasi otak memerlukan pengetahuan patofisiologi
penyakitnya. Prinsip umum pemberian cairan dan elektrolit sering
tidak melihat kearah efek cairan terhadap edema screbral, perfusi
serebral. tcrjadinya iskemia. serta homeostasis cairan dan elektrolit.
Ada dua intervensi yang masih merupakan konflik: bila diuretik

209
baik untuk pasien, sama rasionilnya bahwa cairan (dan
ckspansi volume) akan menyebabkan hal yang buruk, hal ini berasal
pada kepercayaan bahwa harus dilakukan restriksi cairan dan
mencegah pemberian cairan yang agresif. Infus jumlah besar cairan
akan menimbuikan eksaserbasi edema serebral dan hipertensi
intrakranial. Sebaliknya, restriksi cairan. bila berlebihan sehingga
terjadi hipovolemia akan menimbuikan episode hipotensi yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan menurunkan CPP dengan
konsekuensi terjadinya iskemia serebral atau infark serebral.

Gambaran Fisika Larutan


Salah satu kunci gambaran fisika larutan adalah osmolalitas.
Osmolalitas suatu larutan ditentukan oleh jumlah partikel dalam
larutan tersebut. Partikel ini dapat terionisasi atau tidak terionisasi
dan masing-masing berperanan dalam
osmolalitas total larutan. Jumlah total partikel dalam larutan dapat
dinyatakan dalam osmolalitas (jumlah partikel per kilogram pelarut)
atau osmolaritas ( jumlah partikel per liter larutan). Untuk larutan
yang dipakai dalam klinis nilai osmolalitas dan osmolaritas adalah
equivalcn. Osmolaritas diekpresikan dalam term mOsm/lt (miliosmol
per liter). Dalam kepentingan klinik dikatakan suatu larutan adalah
hipotonik bila osmolaritasnya < 290 mOsm/lt dan dikatakan
hipertonik bila osmolaritasnya > 290 mOsm/lt.
Tekanan hidrostatik beraksi untuk menyeimbangkan konsentrasi
air (HiO) pada kedua sisi membran yang impenneabel pada substrat
yang tidak larut dalam air. Air akan berpindah tergantung dari
perbedaan konsentrasi. Hal ini berarti bahwa bila suatu larutan
mengandung 10 mM Na dan 10 mMol Cl" ditempatkan pada satu sisi
membran yang semipermeabel dengan 1TO pada sisi lainnya, air akan
bergerak menuju larutan NaCl. NaC'l mempunyai konsentrasi 20
mosm/lt, dan tenaga mengendalikan airnya (force driving water) kira-
kira 19,3 mmHg per mOsmol atau 386 mmHg.

210
Cairan Tabel 10.1 Osmolaritas
Solute yangcairan intravena.
Osmolaritas T ekanan
berperan dalam Onkotik (mmHg)
osmolaritas
RL Na'.CT 273 0
D5-RL Gilt. Na’.CI 525 0
NaC'l 0,9% Na'.CI" 308 0
05 0,45% NaC'l Glu, Na'.CI 406 0
NaCI 0.45% Na'.CI 154 0
Mannitol 20% Mannitol 1098 0
HES 6% Na'.CT 310 312
Dextran 40 (10%) Na'.CT 300 169'
Dextran 70 (0%) Na'.CT 300 69’
Albumin (5%) Na .CT 290 19
Plasma Na XT 295 26
Dikutip dan: Zomow Mil Perioperative tluul management of patients with intracranial
hypcrtcnsion:2000 dan Cottrell JH. Young WL, eds. Cottreil and Young’s
neuroanesthesia: 2011.

Bila osmolaritas adalah penentu utama dari keseimbangan air


antara jaringan otak dan ruangan intravaskulcr, maka logis bila
pemberian cairan hipotonik (hipoosmolar) dalam jumlah besar akan
mengakibatkan peningkatan kandungan air otak dan edema otak.
Scbaliknya, pemberian cairan hipertonik akan menguntungkan sebab
diperkirakan akan mengurangi air jaringan otak. Teori ini telab diuji
pada berbagai penelitian eksperimental.
Apabila osmolaritas merupakan determinan utama untuk
perpindahan air melalui barier otak, maka restriksi cairan tidak
mempunyai efek langsung pada kandungan air otak. Simpulan ini
telah disokong oleh penelitian pada anjing yang tidak diberi air selama
72 jam, hasilnya menunjukkan adanya penurunan total body water 9%
sedangkan air otak hanya turun 1%. Jelas bahvva tidak nyata adanya
keuntungan dari restriksi cairan tapi potensial berbahaya bagi otak.
Suatu kegagalan pemberian cairan intravena untuk mengganti
perdarahan atau kehilangan cairan fisiologis dapat membawa kcarab
resiko terjadinya hipotensi. Pada pasien cedcra kepala akibat trauma,
penelitian retrospektif menunjukkan bahwa hipotensi mempunyai
korelasi dengan buruknya outcome.

211
l abel 10.2 Kehilangan cairan harian pada dewasa
Tipc/Lokasi Jumiah (mL/hari)
Insensibcl loss Kulit
350
Pant 350
Urine 1400
Keringat 100
Fescs 200
Total 2400
Dikutipdari: Cottrell JE. Young WL. eds. Cottrell and Young's neuroanesthesia.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011

Kristaloid versus Koloid


Tujuan petnberian cairan pada pasien bedah saraf adalah untuk
mempertahankan sirkulasi stabil. mencegah hipovolemia, hipervolemia,
hipo-osmoler, hiperglikemia.
Pemulihan tekanan sistemik adalah esensial pada pasien ccdcra
kepala. Pada pasien eedera kepala dengan multiple trauma, tidak ada
cairan resusitasi yang terbukti ideal. Savvar darah otak (Blood brain
barrier) disebabkan karena relatif impermeable terhadap sodium, akan
memperbesar pengaruh air otak dengan perubahan osmolalitas. Cairan
hipotonik (termasuk RL) lebih meningkatkan air otak daripada NaCl
0,9%, 6% hydroxyethyl starch dalam NaCl, 5% albumin dalam NaCl
yang semuanya mempunyai osmolalitas yang lebih tinggi. Pada
binatang pereobaan, resusitasi dengan NaCl hiperlonik 3-7,5% akan
lebih menurunkan 1CP daripada resusitasi dengan larutan isotonik atau
sedikit hipotonik.
Ada perdebatan yang lama apakah digunakan kristaloid atau
koloid untuk penggantian cairan pada pasien bedah saraf. Kontrovcrsi
itu berputar sekitar tekanan osmotik dan tekanan koloid osmotik pada
ruangan intravaskuler dan ekstravaskuler serta pengaruhnya pada
pembentukan edema serebral.
Bila barier darah-otak masih utuh, tight junction akan mencegah
pergerakan pasif dari elektrolit dan molekul yang lebih besar kcdalam
jaringan otak. Penurunan serum osmolaritas dengan pemberian free
water misalnya NaCl 0,45% atau dekstrosa 5%, akan menyebabkan
edema serebral, sebab air bergerak melalui barier darah-otak. Perubahan
kecil dalam
osmolaritas serum (<5%) akati meningkatkan edema otak,
meningkatkan tekanan intrakranial, dan menyebabkan penurunan
tekanan perfusi otak pada pasien dengan barier darali-otak yang normal
212
atau tcrganggu. Oleli karena itu penting sekali untuk menghindari
pemakaian cairan hipotonik dan salah satu sasaran pemberian cairan
pada pasien bedali saraf adalah menccgah setiap penurunan osmolaritas
serum.
Pemberian jumlah besar larutan kristaloid isotonik akan
merugikan pasien bcdah saraf dengan menurunkan tekanan koloid
onkotik. jadi memudahkan air menembus sawar darah- otak dan
menyebabkan edema otak. Tapi penelitian baru-baru ini menunjukkan
bahwa tekanan koloid onkotik mempunyai pengaruh yang lemali
dibandingkan pengaruh osmolaritas scrum, dalam hal membawa air
menembus sawar darah-otak. Penurunan tekanan koloid onkotik sebesar
50% (dari 20 mmHg ke 10 minHg) lebih sedikit menyebabkan
masuknya air melalui sawar darah-otak yang masih utuh (intact)
daripada penurunan osmolaritas sebanyak 1 mmol/L. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada bukti penambahan edema otak bila
tekanan koloid onkotik turun, sepanjang osmolaritasnya dalam batas
normal. Penelitian ini mengemukakan fakta bahwa RL yang digunakan
scbagai larutan hemodilusi, tidak betul-bctul isotonik (osmolaritasnya
273) dan dapat meningkatkan edema otak (osmolaritas tubuh 290).
NaCI 0,9% mempunyai osmolaritas 308. Oleh karena itu lebih disukai
NaCI 0,9% daripada RL.
Pada pasien yang tcrganggu sawar darah-otaknya, cairan koloid
dan kristaloid akan ekstravasasi kedalam jaringan otak dan
mempcrburuk edema otak. Tidak ada kesepakatan apakah koloid atau
kristaloid yang lebih baik untuk pcnggantian volume pada pasien
dengan gangguan barier darah-otak. Beberapa penelitian menyokong
bahwa koloid kurang menyebabkan edema otak, akan tetapi kebanyakan
penelitian menunjukkan tidak ada pcrbedaan antara koloid dan
kristaloid. Sayangnya semua penelitian difokuskan pada hasil resusitasi
volume hanya sampai 24 jam setelah cedera kepala, sedangkan efek
yang berlangsung lama belum diteliti. Tidak ada bukti bahwa pemberian
jumlah besar kristaloid isotonik (dengan efek sekunder penurunan
tekanan koloid onkotik) pada pasien dengan gangguan barier darah-otak

213
tidak akan memperbesar edema serebri. Karena itu sebaiknya
menghindari penurunan tekanan koloid onkotik selama penggantian
cairan pada pasien cedera kepala akut. Kalau sasaran pertama adalali
untuk mencapai kestabilan hemodinamik dan diperlukan volume
resusitasi yang cepat, koloid dan darah lebih disukai daripada kristaloid.
Koloid lebih efektif dalain mempertahankan volume intravaskuler
daripada kristaloid. Satu liter NaCI isotonik kira-kira ineningkatkan 200
ml volume intravaskuler, satu liter albumin 5% menyebabkan
peningkatan 500 ml volume intravaskuler, dan 1 liter hetastrarch
menyebabkan peningkatan 750 ml volume intravaskuler.
Konsekuensinya untuk mencapai peningkatan volume yang sama,
jumlah kristaloid diberikan 3 kali lipat jumlah koloid. Harus
diperhatikan osmolaritas koloid yang diberikan karena
osmolaritas koloid yang tersedia bervariasi dari 274 mOsm/L sampai
297 mOsm/L, tentu kita pi 1 ill yang osmolaritasnya lebih dari 290
mOsm/L.
Albumin 5% aman, bagus, akan tctapi mahal. Hetastareh lebih
murah, akan tctapi dalam dosis besar mempunyai cfek yang buruk pada
proses koagulasi dcngan mempengaruhi fungsi faktor VIII. Pemberian
hetastareh jangan lebih dari 20 ml/kg/hari. Dextran, mempengaruhi
fungsi platelet, karena itu tidak dianjurkan pada pasien dengan kelainan
intrakranial.
Ringerfundin adalah suatu balans solution dengan osmolaritas
304 mOsm/L. Perbedaan osmolaritas sangat penting dalam menarik air
dari jaringan otak kedalam pembuluh darah otak. Pemberian cairan
dalam bedah saraf dipilih NaCI 0,9% karena mempunyai osmolaritas
308 mOsm/L sehingga akan menarik air dari interstitial otak kedalam
pembuluh darah otak, akan tetapi pemberian NaCI 0,9% untuk
resusitasi cairan (bila > 30 mL/kg/jam) dapat menimbulkan
hiperkloremik asidosis. Pemberian RL dihindari karena osmolaritas RL
adalah 273 mOsm/L yang berarti hipoosmoler dibandingkan dengan
osmolaritas plasma ( 290 mOsm/L). Pemberian RL dalam jumlah
banyak akan menyebabkan bertambahnya edema otak dan peningkatan
1CP.
Ringerfundin mempunyai osmolaritas 304 mOsm/L sehingga
214
sedikit hiperosmoler dan akan menarik air dari

213
interstitial otak. Kadar natrium 140 mEq/L dan klorida 127
mEq/L, sehingga pemberian ringerfundin dalam bedah saraf dapat
memecahkan masalah akibat pemberian NaCl 0.9% dan RL.
Keuntungan ringerfundin adalah sedikit hiperosmoler sehingga akan
mengurangi edema otak dan 1CP serta tidak menimbulkan
hiperkloremik asidosis seperti halnya NaCl 0,9%.

Cairan hiperosmoler
Terapi hiperosmoler digunakan untuk terapi pasicn dengan
edema serebral dan hipertensi intrakranial. Larutan ini digunakan untuk
terapi hipertensi intrakranial melalui penambahan volume plasma
dengan optimalisasi hematokrit, viskositas darah, volume darah
serebral, dan adanya perbedaan osmolaritas dapat menarik air dari
jaringan otak kedalam pcmbuluh darah otak sehingga akan mengurangi
volume otak total.

Mannitol
Mannitol adalah cairan hipertonik dengan osmolaritas 1098
mOsm/L. Diuretik merupakan jalan kedua dalam terapi kenaikan
tekanan intrakranial dengan memberikan mannitol dan atau furosemid.
Efek utama mannitol mungkin dengan membuat suatu perbedaan
tekanan osmotik sehingga air kcluar dari intraseluler dan interstitiel dan
masuk ke intravaskuler. Mannitol bekerja lebih lambat untuk
menurunkan tekanan intrakranial jika dibandingkan dengan
hipervcntilasi. Mannitol dapat menurunkan tekanan intrakranial
sebanyak 26% atau lebih dalam waktu 5 menit dan permulaan
penurunan tekanan intrakranial tidak bergantung pada adanya diuresis.
Selama infus mannitol terjadi penurunan serum natrium, kalium,
klorida, bikarbonat, haemoglobin, hematokrit dan terjadi peningkatan
osmolaritas serum. Perubahan-perubahan ini terjadi lebih banyak sesuai
dengan besarnya dosis mannitol. Pada pemakaian singkat misalnya di
kamar operasi, perubahan perubahan ini sudah kembali normal begitu
pasien tiba di ruang pemulihan. Pada penggunaan yang lama, semua
jenis osmotik diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit.
Osmolaritas normal pada serum adalah 290 mOsm/L dan
perbedaan osmotik sawar darah otak yang normal adalah 3
mOsm/It. Pcrbedaan ini dipcrtahankan oleh sawar darah otak.
Peningkatan osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan
215
memindahkan air sebanyak 100-500 ml dari jaringan otak. Osmolaritas
serum harus dipcrtahankan antara 300-315 mOsm/L. Osmolaritas di
bawah 300 mOsm/L tidak akan efektif, tetapi diatas 320 mOsm/L akan
terjadi disfungsi renal dan neurologis. Bila osmolaritas serum
meningkat lebih dari 320 mOsm/lt, semua eairan hipeitonik harus
dihentikan dan bila perlu beri 2% dextrose-0,45% NaCI secara hati-hati
untuk menurunkan osmolaritas serum dan menurunkan komplikasi
hiperosmotik.
Bila furosemid (0,7 mg/kg) diberikan intravena 15 menit setelah
pemberian mannitol, akan terjadi elek potensiasi. Karena ada yang
menyebutkan bahwa mannitol bekerja pada sawar darah otak yang
intact, berarti osmotik diuretik ini hanya bekerja pada otak yang
normal. Namun pcnelitian baru-baru ini dengan menggunakan MR I,
menyokong bahwa mannitol akan menarik air dari otak yang edematus
dan bukan dari otak yang normal.
Khasiat mannitol yang lain yaitu mengurangi viskositas darah.
yang akan menimbulkan refleks vasokonstriksi dan menurunkan
tekanan intrakranial. Autoregulasi viskositas ini bergantung pada
autoregulasi. Juga, dengan mengurangi viskositas darah, darah menjadi
lebih encer dan pengeluaran CO2 dari jaringan otak akan lebih baik.
Demikian pula, osmotik diuretik akan mengurangi volume eairan
serebrospinal. Mannitol juga bekerja sebagai pembersih radikal bebas.
Hal ini tclah dipikirkan dalam menyebabkan ischemic brain swelling.
Pada daerah eedera otak, sawar darah otak menjadi rusak, mannitol
akan masuk sambil membawa air dan mcningkatkan edema otak. Efek
ini kemungkinan keeil terjadi, dan terjadinya lambat, tetapi akan
menjadi masalah pada pengulangan dosis mannitol.
Mannitol diberikan dalam konsentrasi 20%, dan dosis bervariasi
dari 0.25-1 gr/kgBB. Mannitol diberikan perlahan- lahan sclama 15-25
menit. Pada tekanan intrakranial yang menetap, mannitol dapat
diberikan dengan dosis 0,5 gr/kgBB, kemudian diulangi bila perlu
setiap 4 jam.
Masalah penggunaan Mannitol adalah:
1) Efeknya berkurang pada pcngulangan dosis:
Mannitol menembus sawar darah otak yang intact secara
lambat, dan pada sawar darah otak yang rusak akan lebih
mudah menembus. Oieli karena itu, perbedaan osmotik akan
berkurang. Selanjutnya. osmolaritas intraseluler akan
meningkat sebagai jawaban terhadap meningkatnya osmolaritas

217
ekstraseluler dan plasma. Dengan dcmikian, dibutuhkan
kenaikan plasma osmolaritas untuk
mempertahankan perbedaan tersebut.
2) Terjadi asidosis sistcmik dan gagal ginjal disebabkan
peningkatan osmolaritas plasma. Osmolaritas plasma
hams diperiksa secara reguler dan osmolaritas serum
dipertahankan di bawah 320 mOsm/L untuk menghindari
komplikasi ini. Umumnya, komplikasi gagal ginjal terjadi bila
osmolaritas 350-360 mOsm/L.
3) Rebound tekanan intrakranial bila mannitol dihentikan:
Fenomena ini sering didiskusikan, tetapi jarang
menimbulkan masalah klinik. Secara teori, bila pengobatan
mannitol dihentikan, pengurangan yang tiba- tiba dari
osmolaritas plasma dan adanya peningkatan osmolaritas pada
cairan di dalam jaringan otak akan menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial. Untuk
menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam dosis 0,25 gr/kg
secara perlahan-lahan.
Sawar darah-otak mempertahankan perbedaan tekanan osmotik 3
mOsm/L antara darah dan jaringan otak.
IS ad Hipertonik
Nad hipertonik 3% adalah larutan garam yang memiliki
osmolaritas 1026 mOsm/L dengan kandungan natrium 513 mEq/L dan
klorida 513 mEq/L. Larutan NaCI hipertonik mungkin lebih efektif
dalam menurunkan ICP dan mempunyai efek yang lebih lama daripada
mannitol. Pemakaian NaCI hipertonik (3-7,5%) seperti halnya
mannitol, mempunyai efek osmotik pada otak, dan akan menurunkan
tekanan intrakranial. NaCI hipertonik jiiga menurunkan produksi cairan
serebrospinal. akan tetapi adanya efek hipernatremia berefek buruk
pada miokardium, ginjal. dan fungsi tlsiologis lainnya.

216
Sebagai tambahan, NaCI hipertonik memberikan proteksi sawar
darah otak dan menguntungkan untuk melawan respons inflamasi
cedera otak. Sepcrti lialnya mannitol, NaCI hipertonik mempunyai cfek
menambah volume plasma tapi tidak berhubungan dengan efek sebagai
osmotik diuresis. Kerugian NaCI hipertonik adalah non-anion gap
metabolik asidosis, konsentrasi Na serum > 160 mmol/L akan
memperburuk outcome), dan belum diketahuinya dosis optimal (telah
digunakan NaCI 3%, 5%, 7,5% dan 23%).
Natrium Laktat Hipertonik ( N L H )
Natrium laktat hipertonik adalah larutan dengan kadar garam
seimbang yang mempunyai osmolaritas 1020 mOsm/L, pH ±7,0,
dengan kandungan natrium 504 mEq/L dan laktat 504 mEq/L. Larutan
natrium laktat hipertonik telah digunakan sebagai eairan postoperatif
sejak tahun 2002 dan saat ini telah banyak digunakan untuk
meningkatkan makro dan mikro sirkulasi pada beberapa jenis syok.
Penggunaan natrium laktat hipertonik pada pasien cedera kepala
ringan dengan dosis 1,5 mL/kg yang diberikan dalam waktu 20 mcnit,
mampu memperbaiki defisit fungsi kognitif lebih baik secara signifikan
dibandingkan dengan NaCI 3% (p<0,00l) pada 24 jam dan 30 hari
setelah pembedahan pada nilai orientasi, registrasi, perhatian,
mengingat dan bahasa.
Pemberian laktat dalam natrium laktat hipertonik pada kelompok
NLH sebesar 1,5 cc/kgBB selama lima belas menit, menyebabkan
kenaikan skor Mini Mental State Examination (MMSE) sckitar 4-6
setelah 24 jam pascabedah dibandingkan nilai MMSE prabedah, dan
mengalami kenaikan nilai MMSE sekitar 6-9 setelah 30 hari
pascabedah dibandingkan nilai MMSE prabedah.
Natrium Laktat Hipertonik telah diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan peningkatan IC'P dengan dosis 1,5 mL/kg dan
hasilnya adalah NLH efektip dalam terapi peningkatan ICP setelah
cedera kepala dan efeknya lebih kuat dan lama dibandingkan dengan
mannitol, juga Glasgow Outcome Score (GOS) lebih baik daripada
mannitol.
Pengelolaan Cairan pada Kcadaan Khusus
Hiperglikemia
Hiperglikemia scring tcrjadi pada cedera kepala. Pcningkatan
kadar glukosa darah dapat tcrjadi sebagai respons terhadap pcningkatan
katckholamin sirkulasi dan kadar kortisol yang tcrjadi sctclah ccdera

218
kepala. Pclcpasan insulin dikurangi dengan tingginya kadar
katckholamin dan steroid merangsang glukoncogenesis. Hiperglikemia
dapat mcreflcksikan luas dan beratnya cedcra kepala. Lebih berat
cedera kepala. Icbih besar pcningkatan serum katekolamin, dan ada
hubungan terbalik antara skala GCS dengan kadar katckholamin scrum.
Pada pasicn ccdera kepala berat dengan GCS < 8, pcningkatan
kadar gula darah > 200 mg% dihubungkan dengan buruknya outcome
yang nyata. Pemberian larutan yang mengandung glukosa akan
menimbulkan cksaserbasi beratnya ccdera kepala iskemik pada
binatang percobaan. Pasicn dengan hiperglikemia yang menetap
mempunyai outcome yang Icbih buruk daripada pasicn dengan kadar
glukosa darah yang normal. Adanya hiperglikemia juga berkorclasi
dengan outcome sctclah ccdera kepala, makin tinggi kadar gula darah
makin buruk outcome, maka gula darah jangan Icbih dari 150 mg%,
pemberian glukosa hanya bila ada hipoglikemia (gula darah < 60 mg%).
Glukosa adalah substrat utama untuk mendapatkan energi, baik
dalam keadaan aerob atau anacrob. Banyak penclitian yang
menunjukkan bahwa pcningkatan glukosa serum sebelum ischemia
insult akan memperburuk outcome neurologis. Walaupun
mckanismenya bclum jelas, akan tetapi ada beberapa hipotesa yaitu
dengan adanya iskemia, glukosa akan dimetabolisme sccara anacrob,
dan terjadi akumulasi laktat. Pcningkatan laktat ini akan menurunkan
pH intraseluler, mengganggu fungsi sel, dan akhirnya menyebabkan
kematian scl. Akan tetapi. beberapa penclitian akhir-akhir ini gagal
mengkorelasikan kadar laktat dalam serum dengan beratnya outcome
neurologis. Alternatif mekanisme yang lain adalah adanya penurunan
aliran darah otak yang menycluruh. Penclitian lain menyebutkan bahwa
hiperglikemia menurunkan kadar adenosin serebral. Adenosin adalah
inhibitor untuk pclcpasan
excitatory amino acid (L A A) yang memegang peranan penting dalam
kematian sel-sel iskemik. Jadi pemberian glukosa pada pasicn bedah
saraf hanyalah biia ada indikasi, misalnya tcrapi hipoglikemia bila gula
darah <60 mg%. Umumnya gula darah dipertahankan tidak bolch lebih
150 mg% (100-150 mg%). Hipoglikemia intraoperatif tidak terjadi pada
operasi yang kurang dari 4 jam pada pasicn yang tidak diabetes.
Hiperglikemi mempunyai cfek yang buruk pada homeostasis tubuh,
maka jika kadar gula darah > 200 mg%, berikan insulin.
Pada pemberian cairan harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

220
- Tidak boleh memberikan larutan dextrose karena akan menyebabkan
edema serebral dan laktik asidosis.
- Pergunakanlah insulin untuk mempertahankan gula darah <
200mg%.
- Usahakan produksi urine l-2ml/kgBB/jam.
Dapat diberikan larutan koloid, kristaloid atau darah untuk
mengganti volume yang hilang. Batasi penggunaan RL dan
berikan koloid serta larutan normal saline-ringer laktat untuk
resusitasi.
Pertahankan hematokrit antara 30-35%.
Targetnya adalah untuk mempertahankan sirkulasi stabil,
mencegah hipovolcmia, hipervolcmia, hipoosmoler,
hiperglikemia.
Syndroma of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SI ADH)
Berbagai patologik serebral (kebanyakan eedera otak) dapat
menyebabkan pengeluaran ADH yang berlebihan yang menyebabkan
ekresi natrium melalui ginjal secara tcrus menerus (>20 meq/L).
Hiponatremia dapat terjadi pada pasien dengan eedera kepala akut.
ADH dan aldosteron dilepaskan sebagai jawaban terhadap stres pada
eedera kepala. Hiponatremia dapat dihubungkan dengan 3 katagori dari
volume ekstraseluler yaitu berkurang, normal, atau berlebih. Volume
yang berkurang misalnya pada penggunaan diurctik, insutlsiensi
adrenal, natriuresis. Volume yang normal misalnya pada hipotiroidi,
dan SIADH. Volume yang berlebih misalnya pada Congestive Heart

219
Failure (CHF) dan gagal ginjal. Penurunan yang ccpal dari Na scrum
kurang dari 125-130 meq/liter dapat menyebabkan perubahan dari
mental dan kejang.
Hiponatremia yang disebabkan karena SIADH hampir umum
pada pasicn cedera kepala. Diagnose SIADH hanya dibuat setelah
menyingkirkan penyebab lain. Kebanyakan kasus SIADH diterapi
dengan restriksi cairan. Nad hipertonik hanya untuk mcngkorcksi
hiponatremia berat dan yang menunjukkan gcjala (serum Na <
120tneq/liter). Koreksi ccpat yang penuh
perhitungan dengan NaC'l hipertonik sampai ke keadaan hiponatremia
tingan (scrum Na 121-134 meq/liter) umumnya tidak berbahaya. Tetapi,
koreksi eepat hiponatremia ke kadar Na serum normal atau
hipematremia dapat menimbulkan lesi demielinisasi scrcbral dan
kematian.
Cedera kepala dan kelainan patologis otak lainnya dapat
membawa kcarah peningkatan sekresi ADH. Diagnosis dari SIADH
bergantung pada ditemukannya peningkatan Na urin (>20 meq/liter)
dengan akibat terjadi penurunan Na serum dan peningkatan cairan
tubuh total. Suatu penurunan serum Na akut sampai < 120 mcg/lt dapat
menimbulkan confus, ataksia, kejang, hiporefleksia atau hiperretleksia,
koma dan kerusakan otak yang irrevcrsibel.
Pengelolaan SIADH: restriksi cairan. Bila hiponatremi serum
berat (< 110-115 meq/lt) berikan NaCI hipertonik (3-5%), umumnya
bersama-sama dengan 10-20 mg furosemid. Altematif lain: dapat
diberikan sodium bikarbonat (larutan Na 6%) dengan dosis 2 mg/kg
diberikan pcrlahan-lahan selama 1-2 menit, akan meningkatkan
konsentrasi Na 6 meq/liter. Bila gcjala neurologis stabil, koreksi yang
eepat hams dihindari karena dapat terjadi fontin mielinolisis, maka
dianjurkan pemulihan serum sodium dengan kecepatan 2 mEq/L/jam.
Pemberian NaC’l hipertonik harus dengan monitor kardiovaskuler
karena dapat
mempresipitasi timbulnya edema paru dan perdarahan
intraserebral.
Cerebral Salt-Wasting Syndrome (CSVV)
Pada pasien bedah saraf, hiponatremia juga dapat dihubungkan
dengan berkurangnya volume intravaskuler akibat
pemberian diuretik atau hilangnya Na mclalui ginjal. Setelah suatu
subarachnoid hemorrhage (SAH), pasien mungkin menderita suatu

221
natriurcsis primer (CSW cerebral salt wasting), yang tidak seperti
halnya SIADH, dihubungkan dengan penurunan volume intravaskuler.
Pada SAH terjadi peningkatan faktor atrial natriuretik plasma dan
serebrospinal. yang mengatur volume intravaskuler dan
keseimbanganan Na, akan tetapi, hubungan antara faktor atrial
natriuretik dan hiponatremia masih tidak jelas. CSW dapat terjadi pada
cedera kepala. Berlawanan dengan SIADH, terapi cairan yang agresif,
lebih daripada restriksi cairan, dilakukan untuk mempertahankan
volume intravaskuler.
Sindrom ini di diagnosa bila ada trias hiponatremi, dehidrasi, Na
urine tinggi > 50 meq/litcr. Hal ini disebabkan karena pelepasan atrial
natriuretic factor dari otak. Walaupun kedua propil serum elektrolit
dalam kedua sindrom itu sarna, akan tetapi sangat penting untuk tidak
dikacaukan dengan SIADH. SIADH adalah suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan volume intravaskuler dan dilusi hiponatremi dan
diterapi dengan restriksi volume. CSW adalah suatu keadaan dimana
ada penurunan volume intravaskuler dan hiponatremia dan diterapi
dengan NaCI isotonik untuk mcncapai normovolemia.
Hipernutremia: Diabetes Insipidus ( D I )
Diabetes insipidus terjadi kira-kira 1% dari pasien cedera kepala.
Pasien dengan fraktur basis kranii, atau cedera kepala berat yang
mengenai hipotalamus, hipofise beresiko tinggi untuk terjadinya DI.
ADI I disintesa pada hipotalamus dan disekresi oleh hipofise pars
posterior. ADI1 mempertinggi permeabilitas air pada tubulus
convulatus distal dan collecting tubulus ginjal. Pasien dengan DI dapat
kehilangan jumlah besar (25 liter/hari) urine, dan menyebabkan
peningkatan dari Na serum dan osmolaritas plasma.
DI dapat dipertimbangkan dalam diagnosa banding poliuri pada
setiap pasien cedera kepala. Diagnosa banding poliuri intraoperatif
adalah 1) pemberian cairan yang berlebihan, 2) pemberian obat osmotik
(mannitol, hiperglikemia dengan kadar glukosa > 180 mg%), 3)
penggunaan diuretika, 4) diuresis paradoksikal misalnya pada tumor
olak, dan 5) DI nefrogenik atau scntral. Diagnosa L)I intraoperatif
adalah dcngan menghilangkan pcnyebab iatrogcnik, hiperglikemia, dan
menunjukkan adanya peningkatan yang nyata dari Na dan osmolaritas
serum serta rendahnya osmolaritas urin.
Pengobatan DI adalah penggantian cairan yang adekuat dengan
dengan NaCL 0,225% atari 0.45% dan pemberian ADH. Bila diuresis >

223
300 ml/jam selama 2 jam dapat diberikan vasopresin yang larut dalam
air dengan dosis 5-10 IU intramuskuler atau subkutan sctiap 6 jam atari
sceara intravena pelan-pelan 3U/jam untuk mengendalikan dengan
cepat DI intraoperatif atari postoperatif. Dosis besar vasopressin dapat
menimbulkan hipertensi.
Desmopressin asetat (DDAVP) 0,5-2 ug dapat diberikan seeara
intravena atari subkutan setiap 6-12 jam (X jam) atau inellau nasal
dengan dosis 10-20 ug. DDAVP dapat diberikan lebih seeing bila DI
sulit dikendalikan. DDAVP kurang berefek vasopressor dibandingkan
dengan vasopressin dan lebih disukai daripada vasopressin untuk pasien
dengan penyakit jantung koroner dan hipertensi.
DI sering terjadi pada operasi hipofise akan tetapi dapat juga
terjadi karena patologi intrakranial yang lain terutama eedera kepala.
Penyebab primernya adalah penurunan atau tidak adanya sekresi ADH,
menyebabkan terjadinya poliuri dan dehidrasi. Urine akan mempunyai
berat jenis dan osmolaritas yang rendah, dan serum akan mempunyai
osmolaritas yang tinggi dan hipematremia, jadi mcrupakan kebalikan
dari SIADH.
Walatipun pernah dilaporkan intraoperatif DI akan tetapi pada
timumnya manifest pada periodc pascabedah dan suspek pada setiap
pasien dengan poliuri. DI pada timumnya sembuh sendiri dalam
beberapa hari. Sekali diagnosa DI ditegakkan. sasaran terapi cairan
adalah untuk mempertahankan volume intravaskuler dan elektrolit yang
normal. Cara pemberian cairan yang sederhana adalah berikan rumatan
cairan setiap jam ditambah dengan ’A jumlah urine per jam. Cara lain
berdasarkan kadar serum Na dengan minus sebagai berikut:

222
Detlsit cairan = TBW normal - ABW (It)
ABW = serum Na normal/Actual Na serum x
normal TBW

Normal TBW 60% BW (kg)


TBW Total body water
ABW Actual body water
BW = Body weight

Pcmilihan cairan bergantung pada keadaan elektrolit pasien.


Disebabkan karcna pasien kehilangan cairan hipoosmoler, umumnya
diberikan NaCl 0.45% atau NaCI 0.225%. Tidak dianjurkan
memberikan dckstrose 5% sebab ada bahaya hiperglikemia. Terapi
farmakologik dcngan analog ADH sering digunakan bila diuresis > 300
ml/jam selama 2 jam. Dapat diberikan vasopressin subkutan 5-10 ml
setiap 4 jam.

____________ Tabel 10.3 Pengelolaan 1)1


Monitor diuresis setiap jam
Rumatan cairan + 75% jumlah urine sebelumnya aiau
Rumatan cairan + jumlah urine sebelumnya 50 ml
Kalau jumlah urine > 300 ml/jam: vasoprcsin atau desmopresin Dikutip dari:
Newficld P, Cottrell JF.. eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4lh ed: 2007

Hipokalemi
Pada pasien cedera kepala mungkin berkembang keadaan
hipokalemia sebagai respons terhadap stres dan trauma. Stimulasi beta
adrenergik dari epinefrin menyebabkan penurunan K serum dengan
masuknya K. kedalam sel. Sama halnya bila pH meningkat. yang sering
terjadi pada pasien cedera kepala yang dilakukan hiperventilasi untuk
menurunkan tekanan intrakranial, K akan masuk kedalam intraseluler.
Sekresi aldosteron akibat stres trauma dapat menyebabkan hipokalemia.
Penurunan K serum yang dihubungkan dengan hiperventilasi akut dan
stres tidak perlu diterapi sebab total kalium dalam tubuh tidak berubah.
Akan tetapi, kehilangan kalium akibat diuresis memerlukan terapi untuk
menccgah komplikasi karena kehilangan K. intraseluler

224
akut, misalnya adanya potensiasi dengan pclumpuh otot dan aritmia
jantung. Kadang-kadang pada pasien dengan ccdcra kcpala akut,
penyebab hipokalcmia disebabkan karena banyak faktor (tabel 2).

Tabcl. 10.4 Pcngaruh Cairan dan Elektroiit


Hipokalcmia : 1. Stress dan trauma (stimulasi beta adrenergik)
2 Stresss induce aldosteron secretion
3. 1 li percent i Iasi yang menurunkan PaCOi dan
mcningkatkan pH
4. Kchilangan mclalui renal akibat diurctik atau steroid

1 liponatremia : 1. Berkttrangnya volume (diurctik. insufisiensi adrenal,


SSP natriuretik)
9 Volume normal ( SIADH, hipotiroidi)
3. Volume bertambali ( CHF, gagal ginjal)
1 liperglikemia : -
1 lipematremia : 1. DI (diabetes insipidus)

Dikutip ilari: Lam AVI, Anesthetic management of acute head injury. New York: Me draw Hill:
1996

Vasospasme
Vasospasme adalali salah satu faktor utama terhadap morbiditas dan
mortal itas sctelah SAH (sub arachnoid

226
hemorrhage). Pengobatan dan profilaksis dari vasospasme tcrmasuk
penggunaan Calsium channel blocker, walaupun penggunaannya masih
kontroversi. Tcrapi yang lain adalah bila aneurisma telah di klip, dulu
dilakukan terapi 311 (hipertensi, hipervolemia, dan hemodilusi).
Sekarang terbukti tidak ada gunanya tcknik hemodilusi dan
hipervolemia, yang sekarang masih dilakukan adalah hipertensi.
Hipertensi dapat dicapai dengan pemberian volume atau vasopresor.
Hipervolemia dicapai dengan pemberian kristaloid atau dan koloid dan
produk darah. Hipervolemia akan menimbulkan hemodilusi, yang akan
menurunkan viskositas darah otak, meningkatkan perfusi otak, dan
memperbaiki oksigenasi jaringan otak. Disebabkan sulit untuk
mempertahankan keadaan hipervolemia pada pasien tanpa kelainan
jantung, maka beberapa pusat bedah saraf menganjurkan pemberian
desmopresin (DDAVP) sebagai kombinasi pemberian volume untuk
mengurangi diuresis. Pada beberapa keadaan, koloid lebih baik
daripada kristaloid dalam mempertahankan hipervolemia. Edema paru
merupakan komplikasi yang harus dipertimbangkan (dengan kejadian
7-17%) pada terapi 3H, sehingga disarankan memakai pemantauan
CVP atau PA kateter, terutama pada pasien yang mengidap penyakit
jantung.
Simpulan
1. Cegah penurunan dan peningkatan serum osmolaritas,
targetnya adalah isoosmoler.
2. Rumatan cairan adalah 30 ml/kg/hari.
3. Cegah hiperglikemia (gula darah jangan lebih 150 mg%) dan
pemberian giukosa hanya bila ada hipoglikemia (gula darah <
60 mg%).
4. Tujuan pemberian cairan pada pasien bedah saraf adalah
untuk mempertahankan sirkulasi stabil. mencegah
hipovolemia, hipervolemia, hipoosmoler, hiperglikemia.
Daftar Pustaka
I. Ayus JC, Krothapali RK, Aricff AI. Treatment of symptomatic
hyponatremia and its relation to brain damage. N Bngl .1 Med
1987; 317: I 190

225
2. Bisri T. Pengelolaan cairan perioperatif pada pasien
hipertcnsi intrakranial. MKB 2004; XXXVI ( I ) : 1-9.
3. Domino KB. Pathophysiology of head injury: secondary
systemic effect. Dalam: Lam AM. Anesthetic management of
acute head injury. New York: Me Graw Hill; 1996, 41-44.
4. Mears SL, Sperry RJ. Fluid management. Dalam: Sperry RJ,
Stirt JA, Stone DJ. eds. Manual of Ncuroanesthesia, Toronto:
B.C.Decker Inc, 101-106.
5. Mears SL, Sperry R.l. Fluid management. Dalam: Sperry RJ,
Stirt JA, Stone DJ, eds.. Manual of Neuroanesthesia. Toronto:
Be Dekker; 1989:101-106.
6. Plough DS. Cohen NH. Fluid management. Dalam: Newfield
P. Cottrell .IE. eds. 2mt ed. Boston: Little, Brown and Co,
1961
7. Rusa R. Zornow Mil. Fluid management during craniotomy.
Dalam: Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young's neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 201
I, 147-60.
8. Spickermann BF. Thompson SA. Fluid management. Dalam:
Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spickermann BF, Yemen
TA. The Ncuroanesthesia Handbook, St Louis: Mosby;
1996:113-26.
9. Tommasino C, Todd MM. Fluid management in
neurosurgical patients. Dalam: Van Aken II. Jones RM.
Aitkcnhead A, Foex P. Neuroanesthetic Practice. BMJ. 133-
49.
10. Tommasino C. Fluid management. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 3rd ed,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999, .368-84.
I I. Tomassino C. Fluid Management. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4lh ed,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2007:379-95.
12. Utomo BA, Fuadi I, Bisri T. Pengaruh pemberian laktat
dalam natrium laktat hipertonik terhadap fungsi kognitif pada
penderita cedera kepala ringan. Thesis, Universitas
Padjadjaran;2010

227
13. Zornow MH. Perioperative fluid management of patients with
intracranial hypertension. Dalarn: Spiss CK. Problem in
anesthesia. Philadelphia: L.ippincott Williams & Wilkins;
2000, l2(4).436-42.
14. Zornow MH, Scheller MS. Intraoperative lluid management
during craniotomy. Dalam: Cottrell JI-. Smith DS, eds.
Anesthesia and Neurosurgery. 4"' ed, St. Louis: Mosby; 2001,
237-49.
15. Zornow Mil. Crystalloids, Colloids, and the Brain: Intra
operative fluid therapy for neurosurgical patients. ASA:
Annual meeting Refresher Course Lectures. October 2001.
16. Zornow MH, Scheller MS. Intraoperative fluid management
during craniotomy. Dalam: Cottrell JR, Smith DS, eds.
Anesthesia and Neurosurgery. 3ld ed, St Louis: Mosby. 247-
59.
17. Zygun L). Fluid management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW,
eds. Essential of Neuroanesthesia and Ncurointensive Care.
Philadelhia: Saunders Elseviers;2008, 237-40.

229
BAB 11
Tempi Nutrisi Pada Pasien Cedera
Kepala Berat

Nutrisi merupakan komponen penting dalam pengobatan


pasien dcngan trauma dan infeksi. Sasaran utama dari tcrapi nutrisi
adalah memperkecil kchilangan protein dan cnergi karena penggantian
kehilangan nutrient umumnya tidak mungkin dilakukan pada fase akut
penyakitnya. Disfungsi gastrointestinal, hilangnya nafsu makan,
berkurangnya asupan makanan dan adanya peningkatan keperluan
nutrient merupakan masalah yang umum pada pasien setelah operasi
yang luas, infeksi berat, dan cedera. Dalam keadaan ini kekurangan
asupan nutrient dengan cepat akan mempengaruhi pemulihan dan
rehabilitasi.
Sekitar 50% pasien cedera kepala berat akan mengalami
peningkatan ICP. ICP yang normal atau dapat diterima antara 5- 20
mmHg. Pengendalian ICP akan memperbaiki outcome. Pengelolaan
peningkatan tekanan intrakranial adalah dcngan mengatur posisi kepala
untuk adekuatnya drainase vena serebral, pengukuran tekanan
intrakranial. sedasi, dan terapi obat-obatan. Obat-obatan untuk
mcnurunkan ICP adalah osmotik diuretik, loop diuretik, barbiturat.
Barbiturat dikctahui mcmpunyai efek proteksi otak dan mcnurunkan
ICP, menekan metabolismc otak. menghambat radikal bebas, akan
tetapi juga berefek menurunkan motilitas gaster.
Sebelum ditemukannya dexmedetomidine, propofol merupakan
obat sedatif populer yang dipakai di ICU untuk pengelolaan ICP
disebabkan onsetnya yang cepat dan pemulihan yang cepat. Propofol
adalah suatu hipnotik sedatif yang merupakan emulsi dalam soya bean
oil yang mcmpunyai 1,1 Kcal/ml. lsi larutan propofol yang mengandung
lipid akan menambah extrakalori schingga harus diperhitungkan untuk
mencegah terjadinya overfeeding. Bila diberikan nutrisi parenteral, total
infus lipid jangan melebihi I g/kg/hari. Bila diberikan nutrisi enteral,
formulasinya adalah rendah lemak. dan tinggi protein.

228
Hiperglikcmia dikcnal sebagai komponen dari respons stres
terhadap cedera, mempunyai cfck yang buruk pada neuron. Penelitian
eksperimcntal menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang lebih
besar dari 200 mg% bersifat ncurotoksik. Mekanisme toksisitas secara
invivo dari hiperglikcmia belum jelas. Mnngkin melalui jalur
exitotoksik atau sekunder terhadap asidosis jaringan atau peningkatan
laktat pada neurophil. Hiperglikcmia setelah cedera mungkin dipacu
oleh peningkatan katckholamin dan peningkatan glukosa cndogen yang
diproduksi olch hepar. Hasil akhimya adalah peningkatan kadar glukosa
di tuangpn ckstraseluler. Tingkatan hiperglikcmiaberkorelasi dcngan
bcratnya cedera.
Hiperglikcmia akan memperburuk deflsit ncurologis. Pada
keadaan adanya iskemia otak, kadar gula darah yang tinggi akan
meningkatkan metabolisme anaerob sehingga terjadi pembentukan
laktat yang bcrlcbihan. Keadaan laktik asidosis sercbral ini merangsang
pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.
Serebral asidosis juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia.
menimbulkan edema serebral, dan ahirnya kenaikkan tekanan
intrakranial.
Disamping itu, pasien cedera kepala berada dalam keadaan
hipermetabolik, sehingga early feeding sangat penting. Pasien dengan
cedera abdomen berat, komplikasi septik berkurang pada pasien dengan
early enteral feeding (<18 jam) dibandingkan dengan kclompok kontrol
yang dimulai dengan total parenteral nutrisi. Early jejunal feeding (<36
jam) menurunkan lama tinggal di rumah sakit sedangkan pemberian
makanan yang dimulai hari ke 4-5 setelah cedera kepala tidak
mengurangi frekuensi sepsis. Pada kedua penelitian ini menunjukkan
early enteral nutrisi secara nyata menurunkan komplikasi septik.
Ada beberapa teori mengapa early enteral nutrition
mempunyai keuntungan mengurangi komplikasi septik. Pada hewan
coba, enteral feeding akan mencegah atrofi saluran cema dan
mempertahankan gut harrier yang mencegah translokasi bakteri. Bila
translokasi bakteri tidak terjadi pada manusia, kerusakan gut barriere
dapat menimbulkan pelepasan sitokin dan komplement dan dimulainya
systemic inflammation response syndrome (SIRS). Enteral feeding juga
mempertahankan flora usus, merangsang pcristallik dan
mcmpertahankan produksi secretory IgA (slgA). Jadi enteral feeding
hams dimulai dalam 36-48 jam sctelah cedera.
Dipilih nutrisi enteral karena umumnya pada pasien eedera
kepala fungsi saluran cerna masih baik. Nutrisi enteral lebih
menguntungkan daripada parenteral, biaya lebih murah, dimulai
230
sesegera mungkin (36-48 jam pascatrauma), dan pipa nasogastrik
dipasang setelah pasien diintubasi. Keuntungan nutrisi enteral adalah
mengurangi komplikasi septik, mencegah atropi mukosa saluran cerna,
mempertahankan gut barriere, mempertahankan flora usus,
mengstimulasi peristaltik, mempertahankan produksi slgA.
Pasien cedera kepala pada pcrmulaannya dalam kcadaan
hipermetabolik, akan tetapi proses ini berakhir dalam mingggu pertama.
Pasien cedera kepala mempunyai kebutuhan nutrisi yang besar dan
pemberian makanan harus diberikan sesegera mungkin (dalam 24 jam)
dengan tujuan untuk mengganti 140% resting metabolic expenditure
(dengan 15% pasokan kalori dari protein) sampai hari ketujuh
pascatrauma. Pemberian nutrisi secara enteral mempunyai keuntungan
lebih kecilnya kejadian hiperglikemia dan mempunyai efek proteksi
melawan ulserasi gaster yang kejadiannya meningkat pada pasien
dengan cedera kepala. Gangguan pengosongan lambung, yang sering
terjadi pada pasien cedera kepala, dapat diterapi dengan obat prokinetik
seperti cisaprid dan metoclopramid. Bila tidak bisa diberikan nutrisi
enteral, pertimbangkan untuk memberikan nutrisi parenteral dengan
pcngontrolan gula darah yang ketat.
Penelitian menunjukkan bahvva pasien cedera kepala yang
paralisis dengan pankuronium atau barbiturat koma, metabolic
expenditure menurun dari rata-rata 160% ke 100-120%. Penemuan ini
menunjukkan bahvva peranan utama dari meningkatnya metabolic
expenditure dihubungkan dengan tonus otot.
Resting metabolic expenditure untuk laki-laki umur 25 tahun
dengan BB 70 kg adalah 1700 kcal/24 jam dan untuk wanita umur 50
tahun dengan BB 50 kg kira-kira 1200 kcal/24 jam.
Undemutrisi berat selama periode 2 minggu setelah cedera
mempunyai konsekwensi mcningkatnya mortalitas dibandingkan
dcngan pasicn yang dibcrikan nutrisi pcnuh selama 7 hari pascatrauma.
Untuk mendapatkan penggantian kalori selama 7 hari setelah trauma,
pemberian nutrisi umumnya dimulai tidak lebih lambat dari 72 jam
setelah cedera. Hal ini disebabkan karena diperlukan 2-3 hari untuk
meningkatkan asupan makanan melalui rute jejunum atau gaster secara
gradual sampai pemberian penuh tercapai.
Nitrogen balans didefmisikan sebagai perbedaan antara asupan
nitrogen dan ekskresi nitrogen. Untuk setiap gram nitrogen dalam urin,
maka dikatabolisme 6,25 gr protein. Pada keadaan normal 10% atau
kurang dari kalori diambil dari protein. Setelah cedera kepala berat,
tidak hanya keperluan energi yang meningkat pesat tetapi juga ckresi
nitrogen meningkat. Kontribusi protein untuk kalori setelah cedera
232
kepala meningkat sampai 30%.
Bila berat badan hilang 30% akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas 10 kali lipat pada pasien yang dilakukan operasi gaster.
Karena itu diasumsikan bahwa kehilangan berat badan sebanyak 10-
15% akan mempunyai sedikit konsekuensi tapi bila sampai 30% akan
sangat berbahaya. Kehilangan N pada pasien cedera kepala yang puasa
adalah 0,2 N/kg/hari, kira-kira dua atau tiga kali kehilangan orang
normal. Kehilangan N pada level ini akan menurunkan lean body mass
10% dalam waklu 1 minggu.
Kcuntungan enteral feeding adalah : kurangnya resiko
hiperglikemia dibandingkan dengan nutrisi parenteral, lebih rendahnya
kejadian infeksi, serta lebih rnurah. Penggunaan feeding enteral
mengurangi komplikasi septik akibat hilangnya integritas mukosa sel
serta menurunnya hipermetabolisme. Nutrisi parenteral memperberat
edema otak.
Data menunjukkan bahwa pasien cedera kepala akan
kehilangan BB sebesar 15% per minggu. Penelitian menunjukkan
bahwa mengganti resting metabolic expenditure sebesar 100- 140%
dengan nitrogen kalori sebesar 15-20% akan mengurangi kehilangan
nitrogen. Data pada pasien bukan cedera kepala menunjukkan bahwa
kehilangan berat badan sebesar 30% akan

231
meningkatkan mortal itas. Pasien cedcra kepala yang
dipuasakan dalam minggu pertama akan meningkatkan mortalitas.
Pasien cedera kepala memerlukan energi yang tinggi dan nutrisi
harus diberikan sedini mungkin (dalam 24 jam), bertujuan untuk
mengganti 140% dari resting metabolic expenditure dengan 15% dari
total kalori dari protein. Nutrisi enteral dihubungkan dengan lebili
rendahnya kejadian hiperglikemia dan mempunyai efek proteksi
melawan ulserasi gaster, kejadian yang meningkat pada pasien ini.
Gangguan pengosongan lambung, yang umum terjadi pada pasien
cedera kepala, dapat ditcrapi dengan obat prokinetik seperti cisaprid dan
metoclopramid. Pada kedaan dimana nutrisi enteral tidak dapat
dilakukan, nutrisi parenteral harus dipcrtimbangkan dengan
memperhatikan kadar gula darah.
Dimulai segera setelah cedera kepala dan memanjang sampai
beberapa minggu, respons fase akut terhadap stress menyebabkan
peningkatan produksi protein hepar fase akut seperti fibrinogen, alpha-
1-acid, glikoprotein, c-reactivc protein, dan ceruloplasmin. Dalam
penyelesaian hal itu. terjadi pcnurunan sintesa hepatic visceral protein
misalnya albumin, prealbumin. Penurunan yang nyata dari serum Zn
dan Fe, peningkatan copper, dan demam dihubungkan dengan keadaan
leukositosis. Demam yang tidak ada kaitannya dengan infeksi
bcrbanding terbalik dengan GCS.
Perubahan dari mikronutrient akan pulih dalam 3 minggu setelah
cedera. Tetapi level Zn sangat rcndah pada pasien cedera kepala dimana
berkorclasi dengan GCS. Rendahnya scrum Zn level dihubungkan
dengan peningkanan Zn level pada urine, yang puncaknya di hari kc-7
pasca cedera. Zn, seperti halnya Fe dan Cu exhibit peranan berbagai
dari fungsi itnunologis. Konscntrasi Zn plasma menurun setelah trauma,
infeksi, atau anafilaksis disebabkan karena respon fase akut. Penyebab
kehilangan Zn pasca injury belum dimengerti dengan jelas, tapi bila
diberikan Zn mcnunjukkan hasil yang baik. Suplemcn Zn (12 mg/hari)
dihubungkan dengan perbaikan serum protein dan memperbaiki
keeepatan pcmulihan neurologis.
GIT secara nyata dipengaruhi oleh cedera kepala. Stress
gastritis, gangguan motilitas gaster, dan disfungsi sphincter
gastroesophageal merupakan sekuelc umum setelah cedera kepala
tertutup. Beratnya disfungsi dan waktu untuk pemulihan bergantung
pada beratnya cedera kepala. Suatu keadaan yang abnormal, respons
bifasic, dimana permulaannya hipermotilitas lalu diikuti dcngan
pelambatan pengosongan lambung. Suatu korelasi exists antara
maksimal ICP harian dengan waktu toleransi feeding. Tidak ada

233
korelasi exsist antara kembalinya ke toleransi normal feeding dengan
kembalinya bising usus. Beratnya intoleransi gastric feeding berkorelasi
dengan mortalitas. Toleransi feeding normal tidak dapat dicapai pada
kiar-kira 2 minggu setelah cedera kepala bcrat. Pelambatan
pengosongan lambung dan gangguan moti litas mungkin berhubungan
dengan peningkatan tonus simphatis akibat cedera, hormon dan
hormonal releasing faktor effect, sitokin, atau transient vagal nerve
disfunction. Opioid atau non opioid sedation, yang umum digunakan
dalam pengelolaan cedera kepala bcrat, mungkin berperanan dalam
pelambatan pengosongan lambung.
Disfungsi sphincter gastroesophageal bawah terjadi pada pasien
cedera kepala. Hal ini potensial dapat beresiko emesis dan aspirasi bila
diberikan gastric feeding. Hal ini terutama pada kasus dimana seseorang
tidak mampu untuk proteksi jalan nafas dengan tidak adanya gag reflex
dan atau berkurangnya refleks batuk dan gastroparcsis. Pengurangan
gradient tekanan yang nyata antara gaster dan esophagus dapat
diidentifikasi pada minggu pertama pascacedera. Pasien dengan GCS
<12 menunjukkan penurunan tonus sphincter esophagus bawah,
kembalinya ke gradient tekanan yang normal > 20 mmHg terjadi bila
pasien pulih ke GCS 12.
Nutrisi Enteral atau Parenteral ?
Nutrisi parenteral mempunyai berbagai masalah antara lain:
Pasien cedera kepala berat mungkin dalam keadaan hiperglikemia dan
pemberian glukosa akan memperburuk pasien, cepatnya pemberian
glukosa akan meningkatkan produksi CO2, kebutuhan oksigen dan
energi expenditure. kick ini menyebabkan tambahan stress pernafasan,
dan mungkin mempresipitasi gaga! nafas pada pasien dengan cadangan
paru yang terbatas, atau memperlambat pcnyapihan dari vcntilasi
mekanis. Pcmberian nutrisi parenteral juga akan mcnyebabkan
pemberian volume yang banyak, dan adanya kateter vena sentral untuk
pcmberian nutrisi akan meningkatkan rcsiko infeksi.
Enteral feeding merupakan pilihan utama pemberian nutrisi
pada pasien bedah saraf. Kecepatan dan konsentrasi makanan yang
diberikan liarus secara pelahan dinaikkan dan posisi pasien dalam
keadaan head up.

Penilaian pasien
Pasien harus ditentukan apakah dalam keadaan malnutrisi atau
tidak. Ada 3 tipe malnutrisi yaitu marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus kwashiorkor. Marasmus adaiah malnutrisi kronis yang terjadi

235
akibat kekurangan asupan nutrisi dalam waktu lama. Kwashiorkor
adakah malnutrisi akut, misalnya akibat trauma dan pembedahan.
Marasmus kwashiorkor adaiah bentuk campuran, misalnya pasien yang
sedang mengalami malnutrisi lalu dilakukan pembedahan atau
mengalami cedera kepala.
Banyak parameter defisiensi nutrisi tidak dapat digunakan pada
pasien trauma karena adanya pergeseran cairan yang besar, misalnya
pengukuran berat badan, pengukuran antropometri (TST=triceps
skinfold thickness, W\AC=midarm circumference). Kadar albumin,
transferin, retinol-binding protein lebih merefleksikan stres daripada
status nutrisi.
Pada pasien trauma parameter yang lebih baik digunakan
adaiah dari anamnesa berat badan normal scbclum terjadi trauma yang
diperoleh dari pasiennya sendiri atau dari keluarganya, riwayat
kehilangan berat badan > 10% dalam 6 bulan terakhir, kondisi lain yang
menyertainya (cancer. COPD, AIDS, diabetes, penyakit liver, penyakit
ginjal, alkoholisme) juga penilaian visual dari otot thenar, temporal dan
prealbumin.
Tabel 1 1 .1 Prcalbumin (mg/dl)
Normal > 15
Mild depletion 10-1 5
Moderate depletion 7-10
Severe depletion <7

234
Early feeding melalui rute enteral menurunkan kejadiaan
komplikasi infeksi. Kelompok yang beresiko terjadinya komplikasi
infeksi adalah eedera kepala berat (GCS <8), Abdominal trauma index
(ATI > 15), Injury Severity Score (1SS > 20), luka bakar > 10%, sepsis,
yang memcrlukan ventilasi jangka lama (eedera kepala, eedera jalan
nafas, kontusio paru, ARDS), dan umur yang ekstrim.
Hams diketahui berapa lama pasien tidak mampu makan.
Kebanyakan trauma yang tidak komplikated, pasien dapat menerima
makanan per oral dalam waktu 4 sampai 5 hari setelah trauma. Pasien
yang tidak mampu makan untuk 5 sampai 7 hari akan membutuhkan
bantuan nutrisi. Pada pasien resiko tinggi, pemberian makanan dimulai
setelah pasien stabil dan mampu untuk mengtolcransi makanan.
Saluran cema lebih disukai sebagai rute pemberian nutrisi
disebabkan karena caranya mudah serta biayanya murah. Akan tetapi,
jangan memakai saluran cema bila pasien dalam keadaan hipoperfusi
atau dalam pemberian vasopressor sebab ada resiko massive small
bowel necrosis. Apabila saluran cerna baik, lebih disukai feeding
enteral melalui pipa oro atau nasogastrik.
Nutrisi parenteral digunakan bila enteral feeding merupakan
indikasi kontra misalnya akibat hemodinamik tidak stabil, dalam
keadaan resusitasi eairan, peritonitis, dosis besar vasopressor (kecuali
dosis renal dopamin), obstruksi bowel, fistula saluran cerna proximal
atau fistula dengan pengeluaran eairan yang banyak, dan iskemia bowel.
Kebutuhan kalori
Walaupun banyak rumusan tentang kebutuhan kalori total,
secara sederhana dan praktis kebutuhan kalori total adala 30 Kkal/kg
berat badan/hari. Cara penentuan kebutuhan kalori yang lain adalah:
I) Berdasarkan pada berat badan ideal (IBW ideal body weight).
Rumus IBW pada wanita adalah 45 kg/5 feet + 2,3 kg/inci. Pada laki-
laki 50 kg/5 feet + 2,3 kg/inci. Pada pasien obese (1,3 x IBW) 0.25
(actual bodv weight/ABW IBW) IBW.
2) Mctode Keal/kg/hari terlihat pada tabcl dibawah ini:
Tabcl 1 1.2 Kcperluan nutrisi
(Kcal/kg/hari)
Pcnieliharaam 20-25
Int'eksi ringan 25-30
Prasi besar, sepsis 35
l.uka bakar berat 40

3) Metode Harris-Benedict yaitu:


BEE (laki-laki) 66 + (13,7 x bcrat badan) + (5 x tinggi badan) (6,8

236
x urnur)
BEE (wanita) = 65,5 + (9,6 x berat badan) + (1,7 x tinggi badan)
(4,7 x umur)
Kalikan dengan faktor aktivitas dan faktor injury seperti terlihat
pada tabcl dibawah ini:
Tabel 11.3 Faktor Aktivitas/C'edera
Aktivitas 1.25
Operasi minor 1.05 1,15
Sepsis 1.2 1.4
C'edera kepala tertutup 1.3
Multipel trauma 1.4
SIRS 1.5
Luka bakar berat 2.0

4) Kaloriinetri indirck digunakan untuk mengukur konsumsi oksigen


dan produksi CO?. Ini adalah monitoring yang lebih baik untuk
memandu permulaan peniberian nutrisi.

Perkiraan kehutuhan Protein


Protein diperlukan untuk mengurangi katabolisme lean body
mass. Ekscs protein dapat dircfleksikan sebagai peningkatan blood urea
nitrogen (BUN). Ketidakcukupan pasokan protein akan menyebabkan
negatif balans nitrogen yang lama. Protein memberikan 4 Keal/gr.
Jumlah nitrogen (gram) dikalkulasikan dengan membagi jumlah protein
(gram) dengan 6,25. Jumlah protein dalam larutan total parenteral
nutrition (TPN) dapat dikalkulasikan dengan mengalikan % asam amino
dengan volume, sebagai contoh, 500 ml larutan asam amino 5% kira-
kira 0,05 x 500 ml 25 gram protein.
Tabcl I 1.4 Kebutuhan Protein (g/kg/liari)
Pemcliharaan 1,0
Sires sedang 1,2 1,5
Sires berat i ,5 2,0
Gagal ginjal < 1.0
Ratio kalori non protein tcrhadap Protein (.NPC : N ratio)
Pasien cedera bcrat umumnya membutuhkan lebih banyak protein
daripada pasien yang non trauma. Pasien dengan gagal
ginjal memerlukan kurang bila hcmodialisis
belum dimulai. protein, terutama 1
Tabcl
Pemcliharaan 1.5 Ratio NPC : N150 : 1
Stress 90 120 : 1
ARF tanpa dialisis 250 300 : 1
ART dengan dialisis 200 : 1

238
Karbohidrat
Minimal 75-100 gr/hari diperlukan untuk kebutuhan sel.
Umumnya, 50-80% kalori harian dipasok scbagai karbohidrat.
Karbohidrat inemberikan 3,4 Kcal/gram. Infus maksimal karbohidrat
adalah 5 mg/kg/menit atau 7,2 g/kg/hari. Pasokan karbohidrat yang
berlebihan dapat menimbulkan liver steatosis, peningkatan produksi
CO2, hiperosmolaritas. dan hiperglikemia. Jumlah glukosa dalam
larutan TPN dikalkulasikan dengan mengalikan % glukosa dengan
volume, sebagai eontoh, 500 ml □50 akan inemberikan 0.50 x 500 ml
250 gr glukosa. Kandungan kaiorinya adalah 250 gr x 3,4 Keal atau
850 keal.
Lipid
Kebutuhannya minimal kira-kira 1-1,5 g/kg/liari. Defisiensi
asam lemak dapat dihindari selama feeding parenteral dengan
inemberikan 500 ml emulsi lipid 20% dua atau tiga kali per minggu.
Kecepatan nutrisi parenteral 500 ml emulsi 20% selama 16-20 jam.
Lemak cukup adekuat pada sennia formula enteral. Lemak
inemberikan 9,0 kcal/gram. Jumlah kalori pada formula intravena
standar dapat dikalkulasi dengan mengalikan % lipid dengan volume,
sebagai eontoh, 500 ml intralipid 10% akan inemberikan 0,10 x 500
ml r 50 gr lipid. Kandungan kalori nya 50 x 9,0 kcal/gram atau 450
keal.

237
Elektrolit
Formula nutrisi parenteral memerlukan tambahan elektrolit.
Diperlukan pemantauan elektrolit serum selama pemberian nutris
parenteral.
Tabcl I 1.6 komposisi clektrolit standar pada TPN
Sodium (chloride atau asetat) 30-130 mEq/lt
Potassium (chloride atau asetat) 30-40 mEq/lt
Calcium 5 mEq/lt
Phosphate (sodium atau 15 mmol/lt
potassium)
Magnesium sulphat 8-12 mEq/lt

Multivitamin
Multivitamin sudah termasuk dalam sediaan fonnula enteral
tapi pada umumnya ditambahkan harian pada nutrisi parenteral. Jumlah
tambahan beberapa vitamin mungkin diperlukan pada keadaan stress
misalnya vitamin A (sistemik 10.000 U/hari), vitamin E 400-1000
U/hari, vitamin C (I g/hari). thiamin (5mg) dan riboflavin (10 mg/hari).
Trace element
Hants ditambahkan pada IPN secara harian. Bisa ditambahkan
Zn 10-30 mg, Cu 1-3 mg, Se 50-80 ug. C'r 50-150 ug, dan Mn 25-50
mg.
Perkiraan kebutuhan energi:
Dengan metode cepat kebutuhan kalori adalah 25-35 keal/kg
BB atau mcmakai ramus Haris Benedict yaitu:
l.aki-laki: 66.47 + (13,75 x BB) + (5,0 x tinggi badan) (6,67 x
urnur) x faktor stress x faktor aktivitas.
Wanita: 65,51 + (9,56 x OB) + (1.85 x tinggi badan) (4.68 x
_______________ umur) x faktor stress x faktor aktivitas __________________
BB dalam kg. tinggi badan dalam cm. umur dalam tahun.
Keterangan: I'aktor aktivitas: bila berbaring nilainya 1.2. bila berjalan
nilainya 1,3. Faktor Stress: Pascabedah lanpa komplikasi
nilainya 1.0. Patali tulang panjang 1.15 1.3. Multiple trauma
nilainya 1.2 1.4.
Kebutuhan protein:
Setelah penentuan kebutuhan kalori total, tahap selanjutnya
adalah menghitung kebutuhan protein, karena kita tahu kondisi pasien.
Nilai berubah tergantung derajat status hipermetabolik. Pada keadaan
normal kebutuhan protein adalah 0,6-1,0 gr/kg/hari, hipermetabolik
ringan 1,0-1,2 gr/kg/hari, hipermetabolik sedang 1,2-1,5,
hipermetabolik berat 1,5-2,0 gr/kg/hari. Ccdera kepala, stroke termasuk
hipennetabolik berat.
239
Kebutuhan lemak:
DaftarMinimum
P ustaka 10% dan maksimum 60% dari total kalori. Dosis
dikurangi bila trigliserida > 300 mg%. Bila hiperglikcmia, tingkatkan
dosis lemak dan turunkan karbohidrat.
Contoh kasus :
Seorang pasien dengan BB 50 kg, mcngalami koma karena eedera
kepala. Setting nutrisinya adalah :
Kebutuhan kalori total : 30 keal x 50 1500 kcal
Kebutuhan eairan
: 30 ml/kg, jadi 30 x 50 1500 ml per 24 jam.
Kebutuhan protein : 1.5 gr x 50 100 gr/24 jam, kira-kira 20%
dari total kalori (75 x 4/1500 x 100).

Kebutuhan Karbohidrat : 60% dari 1500 keal - 900 keal- 225 gr/24
jam.
Kebutuhan Lemak : 20% 300 kcal = 33 gr/24 jam.
Program nutrisi pasien tersebut : Kll 225 gr. Protein 75 gr. Lemak 33 gr.
dalam 24 jam dilarutkan dengan air mcnjadi 1500 ml.

Jadi:
1. Nutrisi enteral mcrupakan piIihan pertama untuk nutrisi pasien
eedera kepala.
2. Penggantian 140% dari resting metabolic expenditure pada
pasien yang tidak paralisis dan 100% resting metabolism
expenditure pada pasien paralisis.
3. 15% kalori diambil dari protein.
4. Jejunal feeding melalui gastrojejeonostomi merupakan pilihan
terbaik.

241
1. Bullock R. Chesnut RM. Clifton G, Ghajar J. Marion DW, ct
al. Nutritional support of Brain injured patients. Jour of
Neurotrauma 1996; 13(11).
2. Chang CWJ, Bleck TP. Neuroscience Intensive Care. Dalam:
Stone D.I. Sperry R.l. Johnson JO, Spiekcrmann BF, Yemen
TA eds. The Neuroanesthesia Handbook. St Louis:Mosby;
1966.
3. Edward N. Principles and Practice of Neuroanesthesia. ls! ed,
LondomChapman and Hall Medical; 1991.
4. Liu LL.Nutritional support. Dalam: Newfield P. Cotrell JE,
eds. Handbook of Neuroanesthesia. 3rd ed, Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 1999: 385-97.
5. Meon DK, Matta BF. Intensive Care after Acute Head Injury.
Dalam: Matta BF, Menon DK. Turner JM, eds. Textbook of
Neuroanesthesia and Critical Care. Is' cd, London: Greenwich
Medical Media: 2000.
6. Milner Q. Nutrition in the neurocritieal care unit. Dalam: Gupta
AK. Summons A, eds. Notes in neuroanesthesia and critical
care. London: Greenwich Medical Media; 2001:211-13.
Minard G. Nutrition/Metabolism in the trauma patient.
Dalam: Peitzman AB. Rhodes M. Schwab CW. Yealy DM,
Fabian TC. eds. The Trauma Manual. 2"<: cd,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins;2002:420-27.
8. Ott L. Young B. Metabolic and Nutritional management.
Dalam: Andrew BT.ed. Neurosurgical Intensive Care,
McGraw-Hill; 1993.
9. Takala .1, Pitkanen O. Nutrition support in trauma and sepsis.
Dalam: Painc-James ,1, Grimble G, Silk D, eds. Artificial
nutrition support in clinical practice. London: Edward Arnold:
1995:403-1 I.

240
10. TNT course versi 2000.
11. Vender JR. Cresci GA. Lee MR. Nutritional consideration in
severe brain injury. Dalam: Shikora SA, Martindale RE,
Schawailzbcrg SD. eds. Nutritional consideration in the
intensive care unit: Science, rationale, and practice. Aspen
2002. 259-67.

242
BAB 12
Sedasi dan Analgesia

Tujuan terapi di IC'U untuk pasien dcngan penyakit serebral


akut, adalah untuk membcrikan kondisi yang baik bagi pemulihan dari
penyakit otak primer, seraya mcncegah setiap kcrusakan otak sekunder
yang berhubungan dengan: I) peningkatan tckanan intrakranial, 2)
hipotensi atau hipertensi arterial sistemik, 3) hipoksemia dan
hiperkarbia, dan 4) setiap perubahan pada milieu intericur. Tckanan
perfusi otak adalah suatu parameter fisiologis yang sangat penting pada
pasien dengan gagal otak akut, dan dirumuskan scbagai MAP - ICP.
Pada pasien dengan eedera otak, tckanan perfusi otak telali
menunjukkan sebagai suatu faktor yang menentukan outcome.
Sesungguhnya, bila tckanan perfusi otak menurun dibawah batas
ambang kritis, akan terlihat gambaran iskemia serebral. Disebabkan
karena autoregulasi aliran darah otak umumnya terganggu pada pasien
dengan lesi otak, maka batas dari level kritis kadang-kadang meningkat
dari batas normal. Jadi iskemia dapat terjadi pada level tckanan perfusi
otak normal, misalnya 50-60 mmHg.
Masalah utama pada pasien dengan kenaikan tekanan
intrakranial adalah terjadinya iskemia dan atau herniasi otak. Tujuan
dari terapi pasien dengan kenaikan tckanan intrakranial ditujukan untuk
semua parameter hemodinamik dengan meningkatkan eurah jantung,
tekanan arteri rata-rata, transport oksigen, mengurangi efek buruk dari
hipokapnia, serta menurunkan CMROj. Adanya hipotensi akibat dari
pemberian sedatif akan menurunkan tekanan arteri rata-rata, yang
berarti menurunkan tekanan perfusi otak sehingga dapat inemperburuk
perfusi. Hams diingat balnva pada eedera kepala berat aliran darah otak
menurun hampir 50% pada 24 jam pertama. Dengan demikian harus
djeari sedatif yang tidak atau sedikit menurunkan tekanan darah tetapi
dapat mencapai level sedasi yang diinginkan. Pencegahan hipertensi
intrakranial di IC’U pada umumnya
dilakukan dcngan melakukan tindakan hipervcntilasi. drainasc cairan
serebrospinal, pemberian osmotik diuretik mannitol, pemberian obat

244
anestesi intravena (pentotal, propofol, midazolam).
Scdasi adalali suatu bagian penting dari terapi pasien dcngan
gagai otak, terutama yang memerlukan vcntilasi mekanis. Tiijnan utama
sedasi adalali sebagai berikut: 1) untuk fasilitasi pengobatan inlensif,
terutama ventilasi mekanis; 2) untuk menjamin kenyamanan pasien; 3)
mencegah peningkatan tekanan intrakranial, iskemia otak atau herniasi
otak.

Efek sistemik Sedasi


Beberapa macam obat tersedia untuk neurosedasi. Sebagai
tambahan cfek terhadap susunan saraf pusat, obat ini mcmpunyai cfek
sistemik terutama pada sistem kardiovaskuler. Semua obat yang
digunakan untuk sedatif dapat menurunkan tekanan arteri rata-rata,
sebagai konsekuensi dari penurunan aktivitas simpatoadrenal dan
sekunder terhadap efek depresan jantung dan pembuluh darah. Hal ini
dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak, yang hams dicegah
dan diterapi secara agresif tanpa terlambat pada pasien dcngan
gangguan autoregulasi dimana level tekanan perfusi otak kritis
(misalnya pasien cedera kepala. pasien SAH dcngan vasospasme).
Pada kebanyakan pasien, alat pantau invasif termasuk alat
pantau intra-arterial dan CVP, diharuskan dipasang untuk menjamin
loading volume serta pemberian inotropik dan vasopresor yang optimal.
Pada pasien yang membutuhkan sasaran terapi cardiac index
supranormal (misalnya SAH dcngan vasospasme) dibutuhkan alat
pantau katetcr arteri pulmonalis. Harus dieatat bahwa katekholamin
yang bersifat pressor, misalnya dopamin dan norepinefrin sering
diperlukan pada pasien gagai otak yang tidak stabil untuk
mempertahankan tekanan darah arteri sistemik dan tekanan perfusi otak
pada level yang diinginkan. Sebagai tambahan untuk efek
kardiovaskuler, kebanyakan sedatif menunjukkan efek petiekanan
respiratory drive. Jadi harus selalu diingat bahwa pada pasien dengan

243
hemodinamik scrcbral yang abnormal bahaya kcnaikan tekanan
intrakranial dapat disebabkan karena tcrapi.
Farmakokinetik obat bcrubah pada pasien yang sakit kritis. Ada
peningkatan volume distribusi yang dihubungkan dengan peningkatan
cairan tubuh total dan volume interstitial. Pengikatan obat oleh protein
menurun dan umumnya albumin serum menurun. Obat-obatan dengan
hepatic extraction yang tinggi, seperti midazolam, mempunyai waktu
paruh yang memanjang dan efek samping pada pasien dengan sindroma
curah jantung rendah atau bipotensi sistemik. Pada pasien dengan
sirosis, waktu paruh eliminasi obat, seperti diazepam, secara jelas
memanjang. Penurunan fungsi ginjal juga sering ditemukan pada pasien
sakit akut, menyebabkan terjadinya akumulasi obat seperti morfin dan
metabolitnya.

Clinical Neurological Monitoring


Standar emas pemantauan neurologis adalah level kesadaran.
Disebabkan secara definisi semua obat sedatif mempengaruhi parameter
ini. maka penggunaan sedatif liarus dibatasi pada pasien yang
memerlukan pemantauan fungsi neurologis sceara klinis. Gangguan
level kesadaran ringan sepeili drowsiness atau mental confusion,
mungkin menunjukkan ancaman komplikasi intrakranial, trial fungsi
serebral temporer paseabedah yang sekunder akibat retraksi otak atau
efek dari obat yang menekan SSP. Penelitian pada pasien yang pnlih
dari operasi intrakranial menunjukkan berbagai abnormalitas neurologis
(shivering, klonus, hiperefeksia, retleks plantar abnormal,
memburuknya defisit fokal atau hcmiparcsis, kelainan bicara) selama 2
jam paseabedah. Jadi, sedasi kontinyu pada pasien gagal otak
membutuhkan pemantauan kontinyu fungsi vital dan fungsi neurologis
di ICU atau intermediate care. Pasien dengan critical brain illness
dimana sedasi diperlukan untuk terapi intensif, sering diperlukan
tambahan alat pantau, seperti tekanan intrakranial, SJO2 kontinyu, EEG.
Pasien bedah saraf yang memerlukan ventilasi mekanis antara lain
meningioma dengan perdarahan masif, operasi fossa

245
posterior, cedcra kepala berat, cedcra kepala ringan atari sedang yang
disertai bipokscmia persisten, hemodinamik tidak stabil, hipotensi atau
syok serta yang disertai trauma multiped. Indikasi sedasi di ICU neuro
adalah untuk mengendalikana tekanan intrakranial, menurunkan
metabolisme otak, ventilasi mekanik, amnesia selama paralisis, tcrapi
status epileptikus, menghilangkan eemas, takut, sulit tidur serta untuk
stabilitas hemodinamik.

Fasilitas Terapi
Sedasi penting untuk pasicn agitasi yang memerlukan terapi
intensif yang kompleks. Dalam kondisi ini akan membantu ventilasi
mekanis dengan menolong sinkronisasi pasien dengan ventilator. Sedasi
juga diberikan untuk mencegah hipertensi krisis yang disebabkan
noksious stimuli, terutama akibat adanya pipa endotrakheal, nursing dan
fisioterapi dada. Stimuli yang kuat ini akan meningkatkan denyut
jantung, tekanan arteri rata- rata dan tekanan intrakranial.

Keadaan Hiperadrenergik
Ketidakstabilan sistem saraf otonom dapat diobservasi pada
pasien yang koma, terutama akibat cedera kepala berat. Stimuli ringan
dapat menimbulkan hipertensif krisis, hiperventilasi, demam, perspirasi
atau tanda lain dari hiperakti vitas vcgetatif. Lebih jauh,
peningkatan laju
metabolisme yang bcsar dapat di observasi selama episode ini yang
memegang peranan nyata dari keseluruhan
hipermetabolisme. Sedasi kontinyu tnungkin sangat berguna untuk
menurunkan atau menghapuskan efek trigcr dari noksious stimuli.
Pada pasien yang mengalami withdrawal syndrome, a- bloeker
atau ot-2 adrenergic agent (klonidin, dexmedetomidine) dapat
menurunkan badai adrenergik dan memperbaiki
keseluruhan stabilitas hemodinamik pada pasien bedah yang kritis.
Sedasi untuk Kenyamanan Pasien
ICU adalah suatu lingkungan yang pcnuh stress pada pasien
pascabedah yang dilakukan ventilasi, mereka mengalami ccmas, nyeri
dan sulit tidur. Sasaran utama supaya pasien lebih nyaman adalah
memberikan sedasi (seraya pasien tctap sadar dan kooperatif), analgesia
dan anxiolisis dengan pengaruh pada hcmodinamik dan sirkulasi yang
minimal.

246
Sedasi dan analgesia masih merupakan masalah umum pada
pasien yang dirawat di ICU. Undersedasi dengan akibat timbulnya
agitasi terjadi pada 57-71% pasien dewasa yang dirawat di ICU. Agitasi
hebat pernah dialami pada 43% pasien yang dirawat di ICU. Diantara
pasien yang pernah dirawat di ICU ditanyakan apakah mereka ingat saat
dirawat di ICU, tcrnyata hanya setengahnya mengalami amnesia.
Tetapi, diantara pasien ICU dengan recall, 90% melaporkan mengalami
memori yang tidak menyenangkan dan 1/3 pasien yang diterapi dengan
pelumpuh otot mengalami recall. Pasien ICU kadang-kadang mcncabut
pipa endotrakhcal, infus atau jalur arteri saat mereka mengalami agitasi.
Dalam usaha untuk mencegah terjadinya masalah akibat
undersedasi, banyak klinisi yang lebih liberal dalam memberikan sedasi
dan hal ini juga akan mempunyai masalah sendiri. Oversedasi akan
mcmerlukan lebih lamanya diberikan bantuan nafas, lebih lama tinggal
di ICU dan sulitnya evaluasi medis akibat pasien lama bangun,
mengurangi immunocompetence (karena morfin dan barbiturat),
meningkatkan kejadian thrombosis vena profunda, meningkatkan
infeksi paru. Studi observasi menunjukkan bahwa teknik infus kontinu
untuk sedasi mungkin memperpanjang lama tinggal di ICU, dan obat
sedasi merupakan obat yang paling banyak dibeli farmasi rumah sakit.
Kenyamanan pasien adalah suatu sasaran nyata dari sedasi
pada pasien dengan fungsi otak yang normal. Pada pasien dengan
penyakit otak. kenyamanan adalah suatu konsep yang lebih sulit untuk
dinilai disobabkan karena level kesadaran bervariasi dari
J

tidak responsif/koma sampai ke keadaan agitasi. Karena itu pada


kebanyakan pasien diperlukan suatu skala sedasi untuk
mengatur secara tcpat level kesadaran, variasi, dan sasaran terapinya.
Pada umumnya sering dipakai skala sedassi Ramsay.
Selama fase pcmulihan dari koma atau weaning dari ventilasi
mekanis, adalah penting Lintuk menjamin suasana sekcliling yang
tenang untuk perbaikan sleep-awake cycle dan untuk memberikan
jaminan kcmbali yang menolong untuk mendapatkan emergence yang
tenang dari sedatif kimia.

247
Pencegahan Hipertensi Intrakranial
Ada empat stratcgi utama (non bedah) untuk kenaikan tekanan
intrakranial yaitu hiperventilasi, drainase CSF, osmotik diuretik, dan
pemberian obat anestesi intravena. Berapapun level tekanan intrakranial
permulaan, yang terpenting adalah mempertahankan tekanan perfusi
otak antara 50-70 mmUg yang dibutuhkan untuk mempertahankan
perfusi otak. Sebelum melakukan salah satu strategi tcrapi diatas,
pasokan oksigen otak yang adekuat hams diukur (misalnya hubungan
antara pasokan dan konsumsi oksigen otak), untuk memutuskan tcrapi
yang paling baik. Untuk tujuan ini. dapat dilakukan pemantauan kontinu
saturasi oksigen (SJO2) dan konsentrasi laktat pada vena jugularis.
Suatu penurunan SJO2 dapat dihubungkan dengan penurunan pasokan
oksigen atau peningkatan konsumsi oksigen serebral. Hal ini
menunjukkan suatu tingkatan rclatif dari hipoperfusi serebral.
Pengobatan harus bertujuan untuk mengatur parameter
hemodinamik sistemik (meningkatkan curah jantung, tekanan arteri
rata-rata dan transport oksigen), mengurangi efek

248
merugikan dari hipokapnia berat pada aliran darah otak, menurunkan
C'MRfb. Pada situasi ini efek vasodilatasi obat sedatif pada sirkulasi
sistemik dapat memperburuk kcadaan hipoperfusi. Sebaliknya, bila
SJO? meningkat diatas harga normal 54-75%, ada keadan luxury
perfusion pada otak. Pada situasi ini obat sedatif intravena dengan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah scrcbral dan kemampuan obat
seperti pentotal atau propofol untuk menurunkan CMRO2 dapat
dipergunakan.

Proteksi Otak
Mekanisme efek proteksi otak dari obat sedatif melawan
iskemia serebral adalah secara indirck, terdiri dari mempertahankan
tekanan perfusi otak dan mencegah peningkatan konsumsi oksigen otak
dan scluruh tubuh yang disebabkan karena agitasi, stimuli nyeri,
vegetatif hipertoni atau epileptik krisis.

Pemilihan Obat
Obat sedatif ideal hams mampu menurunkan CMROi seraya
mcmclihara pasokan oksigen pada otak, menurunkan tekanan
intrakranial tanpa menurunkan tekanan perfusi otak, mempertahankan
autoregulasi serebral dan reaktivitas terhadap CO2, mula kerja yang
cepat dan mulus, dapat dengan rnudah mengendalikan kedalaman dan
lamanya efek sedasi, theurapeutie window memungkinkan untuk
evaluasi status neurologis dan mendeteksi adanya komplikasi
neurologis. Selanjutnya, harus bebas dari efek samping respiratori dan
kardiovaskuler yang tidak diinginkan dan harus mampu pemulihan yang
cepat tanpa adanya rebound sedation.
Obat sedatif yang dipakai saat ini pada umumnya adalah untuk
sedasi (propofol, pentotal, midazolam) dan untuk analgetik fentanil,
morfin. Masalah dengan obat tersebut adalah adanya depresi nafas, efek
gastrointestinal (misalnya konstipasi), efek hemodinamik (penurunan
curah jantung, tekanan darah), toleransi dan withdrawal yang membawa
kearah timbulnya agitasi. Pada saat weaning dari sedasi dan vcntilasi
dapat terjadi agitasi, sleep deprivation, takikardia, iskemia
kardiovaskuler, hipoksia, dan
pasien melakukan ekstubasi sendiri. Perbandingan antara ketiga macam
obat yaitu midazolam, propofol, opiat terlihat pada tabel dibawah ini.

249
Tabel 12.2 Perbandingan efek Midazolam, propofol, dan opiat
Midazolam Propofol Opiat
Prolong weaning X - X
Deprcsi nafas X X X
-
llipotcnsi berat X X
-
Toleransi X X
Konstipasi - - X
llilangnya orientasi dan X X X (dosis tinggi)
kooperatif
Kemungkinan adiksi X X X
F.fck obat pada henwdinamik serebral terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 12.3 Efek obat pada hemodinamik serebral
Obat ICP CMROi CBF Proteksi Waktu pulih
Otak
Opioids l i NE Scdang (jam)
Midazolam i i i +(?) Sedang (jam)
Barbiturat ++ Lama
'V'
Propofol i + (?) Cepat (menit)
Isofluran i NE Cepat (menit)
Keterangan : : tidak N li - no effect
berubah
Bcnzodiazepin
Setnua bcnzodiazepin mcningkatkan afinitas dari so-
aminobutiric acid, menyebabkan inhibisi influks neuronal. Efek
klinisnya adalah anxiolisis, scdasi, anterograde amnesia, dan
antikonvulsan. Bcnzodiazepin menurunkan CMRO2 dan aliran darah
otak kira-kira 30% tapi sedikit pengaruhnya pada tekanan intrakranial.
Hal ini disebabkan miorelaksasi dan beberapa cfck respirasi dan
kardiovaskuler. kccuali untuk penurunan aliran balik vena dan eurah
jantung.
Midazolam mempunyai mula kerja yang cepat (2-3 menit) dan
mempunyai tolerensi vena yang baik karena si fat larut dalam air.
Loading dose 0.003-0,3 mg/kg/20 menit dan kecepatan infus 0,003-0,2
mg/kg/jam.
Barbiturat-Tiopcntal
Dosis bolus 5-10 ing/kg umumnya dibcrikan dalam waktu 10
menit, diikuti dengan infus kontinu 2-4 mg/kg/jam, bergantung pada
level tekanan intrakranial. Barbiturat obat yang tcrbukti mempunyai
efek proteksi otak. Bila dibcrikan sebelum iskerni fokal. dapat
mengurangi ukuran infark. Sebaliknya, tidak mempunyai efek setelah
iskerni screbral global. Paling besar dalam menurunkan CBF, CMROi,
dan tekanan intrakranial pada pasien dengan cedera kepala berat.

250
Indikasi barbiturat koma adalah hipertensi intrakranial yang tidak dapat
dikendalikan terutama cedera kepala atau untuk status epilcptikus.
Pada terapi barbiturat dapat terjadi sistemik hipotcnsi. karena
itu tekanan perfusi otak harus dipertahankan dengan pcmberian cairan
atau vasopressor. Barbiturat juga menckan respirasi untuk jangka waktu
panjang, menghambat tcrmogencsis. Pada pcmberian jangka panjang
dibubungkan dengan peningkatan kejadian sepsis atau ARDS.

Propofol
Propofol bolus l-2mg/kg, dilanjutkan dengan 1-3 mg/kg/jam
mempunyai mula kerja yang cepat dan lama kerja yang singkat.
Pemulihan cepat (10-25 menit), juga setelah infus yang lama. Sedikit
kumulatif efek, dan gambaran fannakokinetik tidak berubah pada pasien
yang sakit kritis, juga pada pasien dengan hepatik atau renal
insufisiensi. Efek buruk yang utama adalah pada sistim kardiovaskuler,
propofol menurunkan tekanan arleri rata-rata melalui dua mekanisme:
penumnan aktivitas simpatoadrenal dan efek vasodilatasi direk.

Opioid Morfin
Morfin (I-10 mg/h/70kg) menembus barier otak secara lambat
disebabkan karena buruknya kelarutan dalam lemak, hal ini yang
menerangkan lambatnya mula kerja morfin. Mortin hams
dipeitimbangkan sebagai obat yang bersifat long-acting, terutama dalam
kasus syok yang mana waktu paruh dapat memanjang (dari 5,9 menjadi
13,2 jam) terutama disebabkan

251
karcna penurunan aliran darah hepar dan hcpatik klirens obat. Morfin
hanya 30% diikat oleh protein plasma, jadi gambaran
farmakodinamiknya scdikit dipengaruhi dengan hipoproteinemia relatif.
Metabolit utama morfin yaitu morphine-6-glucoronide dapat akumulasi
pada pasicn dengan insufisiensi renal, tidak menembus barier otak dan
tidak diketahui mcmpunyai efck pada SSP. Morfin dapat menurunkan
tekanan arteri rata-rata disebabkan efek venodilator dan umumnya
disebabkan karena pelepasan histamin.

a-2 agonist Dexmedetomidine


Delapan kali lebih spesifik untuk a^-adrenoceptor daripada
klonidin. Efek sedasi tergantung dari besarnya dosis tetapi dengan
dexmedetomidine pasien eepat menjadi kooperatif, ini yang berbeda
dengan obat sedatif yang ada sekarang ini.
Dexmedetomidine adalah suatu a-2 agonist yang sclektif dan
poten, secara klinis menunjukkan efek sedasi yang efektif,
menghilangkan atau mengurangi kebutuhan analgetik lain, pasien sadar
bila distimulasi, tidak terbukti adanya depresi nafas sehingga dapat
diberikan tanpa diintubasi dan diventilasi, perubahan hemodinamik
dapat diperkirakan.
Menurunkan aliran darah otak, reaktivtas terhadap CO?
dipertahankan, autorcgulasi tetap dipertahankan, vasokonstriksi
serebral, mengurangi volume darah otak, menurunkan tekanan
intrakranial, akan tetapi CMRQj tidak berubah.
Secara keseluruhan dexmedetomidine aman dan dapat ditolerir
dengan baik. Kejadian yang tidak diinginkan (>3%) yaitu hipotensi,
hipertensi, bradikardi, demam, mual, muntah, hipoksia, atrial fibriIasi.

Dosis dan Cara pemberian Dexmedetomidine


1. Dosis bolus 1 pg/kg diberikan > 10 menit. Dosis rumatan
0, 4 pg/kg /jam (0,2 0,7 ug/kg/jam).
2. Dapat diberikan sampai 14 hari (Papadakos, 12th
WPACCM,2002).
3. Hams dibcrikan melalui infus pump atau syringe pump.
4. Atur dosis untuk level sedasi yang diinginkan.
5. Penurunan dosis diperlukan untuk pasien detigan gangguan
fungsi hepar dan ginjal.
6. Infus diteruskan/kontinu pada pasien dengan ventilator pada

252
saat sebclum ekstubasi, sedang ckstubasi dan setelab ckstubasi.
7. Tidak diperlukan menghentikan infus sebelum ekstubasi.

Daftar Pustaka

1. Belleville JP, Ward DS, Bloor BC, Maze M. Effects of


intravenous dexmedetomidine in humans. Sedation, ventilation,
and metabolic rate. Anesthesiology 1992; 77(6); 1125-33.
2. Bhana N, Goa KL, Me C'lellan KJ. Dexmedetomidine. Drugs.
Adis International 2000; 59(2):263-268.
3. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze M. Effect of
intravenous dexmedetomidine in humans, hemodynamic
changes. Anesthesiology 1992; 77:1 134-42.
4. Borgeat A. Suter PM. Indications for Sedation and Analgesia in
the Critically III. Dalam: Park GR, Sladen RN, eds. Sedation
and Analgesia in the Critically III. Blackwell Science, 1995.
5. Chollet-Rivier M, Chiolcro R, Ravussin P. Sedation and
Analgesia for the brain-failure patient. Dalam: Park GR, Sladen
RN, eds. Sedation and Analgesia in the Critically III. Blackwel
Science. 1995.
6. Grounds RM. Dexmedetomidine’s Unique Features: A Clinical
Perspective. 12"' WCA, Montreal; Canada, June 2000.
7. Karlsson BR, Forsman M, Roald OK, lleiner MS, Steen PA.
Effect of dexmedetomidine, a selective and potent a:-agonist, on
cerebral blood Mow and oxygen consumption during halothanc
anesthesia in dogs. Anesth Analg. 1990:71:125-9.
8. McPherson RW, Koehler RC, Kirsch JR, Traystman RJ.
Intraventricular dcxmedetomidine decreases Cerebral Blood
Flow during normoxia and hypoxia in dogs. Anesth Analg
1997; 82; 139-47.
9. Ohata H, iida H, Dohi S. Watanabe Y. Intravenous
dcxmedetomidine inhibits cerebrovascular dilatation induced
by lsoflurane and sevoflurane in dogs. Anesth Analg 1999;
89:370-7.
10. Riker RR. Dcxmedetomidine: Use in longer stay IC’U patients.
12* WCA. Montreal; Canada. June 2000.
11. Sladen RN. Current Treatment Options: Where does

253
Dcxmedetomidine Fit? 12"' WCA, Montreal; Canada, June
2000.
12. Z.ornow M i l , Fleisher JE, Scheller MS, Nakakimura K,
Drummond JC. Dcxmedetomidine, an a2- adrenergic agonist,
decreases cerebral blood How in isoflurane-anesthctized dog.
Anesth Analg 1990;70:624-30.

254
Penanganan Neuroanestesia Dan Critical Care:
Cedera Otak Traumatik

Ringkasan
Pengelolaan pasien cedera kepala dengan tepat dan cepat untuk
mencegah terjadinya cedera sekunder akan menurunkan morbiditas dan
mortal itas.
Cedera sekunder bisa terjadi saat perawatan di rumah sakit,
prabcdah, selama pcmbedahan. dan pascabedah. sehingga diperlukan
monitoring dan tindakan yang agresif. Oleh karena itu, pengetahuan
mcngenai neurofisiologi. neurofarmakologi, dan patofisiologi cedera
kepala akan sangat mcnolong dalam pengelolaan penderita.
Cedera kepala berat sering disertasi hipoksia dan bipovolemia.
Hipotensi (sistolik < 90 mmHg) atau hipoksia (apnoca, sianosis atau
PatT < 60 mmHg dan SpO:<90%) harus dihindari dan terapi sesegera
mungkin.
Cedera kepala berat sering disertai fraktur cervical, sehingga
perlu hati-hati saat intubasi. Harus dihindari PaC'CT < 35 mmHg selama
24 jam pertama setelah cedera kepala, kecuali pada ICP yang tetap
linggi dapat dilakukan sampai < 30 mmHg dengan persyaratan harus
dipasang SJCB untuk memantau adanya iskcmia serebral. MAP harus
dipcrtahankan > 90 mmHg, terapi bila MAP > 130 mmHg. C'PP harus
dipcrtahankan 50-70 mmHg. CPP tidak boleh kurang dari 50 mmHg
karena rcsiko iskcmia serebral, tetapi tidak boleh > 70 mmHg karena
rcsiko ARDS.
ICP harus dimonitor pada semua pasien dengan cedera kepala
berat (TBI, GC’S 3-8 setelah resusitasi), CT-scan abnormal (hematoma,
kontusio, edema, herniasi, kompresi sistema basalis), atau CT-scan
normal tapi mempunyai 2 atau lebih kriteria tambahan yaitu umur > 40
tahun. unilateral atau bilateral motor posturing, sistolik < 90 mmHg.
Bila ICP > 20 mmHg, terapi kenaikan ICP harus segera dimulai.
Mannitol efektif untuk mengendalikan kenaikan ICP, dosis 0,25-
1 g/kg. bcrikan dalam waktu > 20 menit. Bolus intermitent lebih efektif
daripada kontinyu.
Dosis tinggi barbiturat bisa dipertimbangkan bila hemodinamik
stabil, pada ccdcra kepala berat dengan kenaikan ICP yang tidak bisa
diterapi dengan terapi mcdikai dan bedah yang maksimal. Tidak
dianjurkan pembcrian glukocortikoid.
Target terapi cairan: sirkulasi stabil, normovolemia, isoosmolcr,
normoglikemia. Jangan diberi intus dextrose, dextrose hanya diberikan
untuk terapi hipoglikemia (gula darah < 65 tng%). Gula darah jangan
lebih dari 150 mg%, bila gula darah > 200 mg% terapi dengan insulin,
target gula darah 110-150
mg%.
Profilaksis hipotermi tidak menunjukkan hubungan yang nyata
dengan penurunan mortalitas bila dibandingkan dengan kontrol yang
normotermia. Akan tetapi, penemuan pendahuluan mendukung bahwa
penurunan yang lebih besar pada resiko mortalitas terlihat bila
temperatur target dipertahankan lebih dari 48 jam. Proflaksis hipotermi
dihubungkan dengan lebih besarnya skor GOS secara nyata bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Penggunaan profilaksis fenitoin untuk profilaksis postraumatic
seizure (PTS) tidak dianjurkan. Antikonvulsan indikasi untuk
menurunkan kejadian early PTS (dalam 7 hari setelah cedera), tapi early
PTS tidak dihubungkan dengan lebih buruknya outcome.
Penggunaan steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki
outcome atau menurunkan ICP. Untuk pasien dengan cedera otak sedang
dan berat penggunaan metilprednisolon dosis tinggi dihubungkan
dengan meningkatnya mortalitas, karena itu metilprednisolon
merupakan kontraindikasi.
Tektiik neuroanestesia adalah dengan ABCDE neuroanestesi
yaitu dengan mengelola Airway. Breathing, Circulation, Drugs,
Environment. Jalan nafas hams bebas sepanjang waktu, normokapnia
rendah, adekuat oksigenasi, normotensi, normovolume, isoosmoler,
normoglikemia, berikan obat yang berefek proteksi otak, suhu
normotermia rendah (35°C).
Nutrisi hams diberikan 25-30 keal/kg BB, dengan protein
minimal 15% dari total kalori atau 1.5-2 g/kg/hari. Bila ada
gastroparesis berikan melalui nasojejunal feeding.
Riwayat Hidup Penulis

Dr. Tatang Bisri, adalah Professor dan


Doktor Anestesiologi serta Konsultan Neuroanestesi
di Universitas Padjadjaran. Dokter umum (1975),
Spesialis Anestesi (1987) diperoleh dari Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran. Kemudian
mengikuti pendidikan lanjutan dalam bidang
Neuroanestesi dan Neurocritical Care di
Academische Ziekenhuis Leiden Netherland, Royal
Adelaide Hospital Australia. Royal Melbourne
Hospital Australia, State University of New York (SUNY) di Amerika,
sebelum melanjutkan ke jenjang S3 (Doktor) di Universitas Padjadjaran
dengan disertasi tentang Neuroanestesi dan Brain protection, dan lulus
scbagai Doktor pada bulan Februari 2002. Konsultan Neuroanestesi
(KNA) diperoleh dari KARI (Kolegium Anestesiologi & Reanimasi
Indonesia) pada tahun 2002, dan pengangkatan sebagai Guru Besar
Tetap Universitas Padjadjaran tahun 2006.
Dr. Tatang, telah mcmpublikasi sejumlah buku tentang
Neuroanestesi antara lain; Dasar-dasar Neuroanestesi, Neuroanestesi,
dan Pengelolaan Perioperatif Cedera Kepala Akut. Sejumlah makalah
tentang Neuroanestesi dan Neurocritical care dipublikasikan di majalah
Anestesia & Critical Care. Hasil penelitian tentang neuroanestesi
dipresentasikan antara lain di pertemuan tahunan ESA (European
Society of Anesthesiologist). Buku lain yang telah dipublikasikan adalah
Patient Controlled Analgesia (PCA), Konsep VIMA dengan Sevofluran,
dan Obstetrik Anestesi. Pendalaman dalam bidang Obstetrik sangat
diperlukan karena Dr. Tatang juga bekerja di RS Ibu dan Anak “Melinda
Women Hospital” Bandung. Praktek sebagai klinisi dalam bidang
Neuroanestesi & Critical Care dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin, RS
Santo Borromeus Bandung, serta Santosa Bandung International
Hospital.
Menjadi Ketua Tim Promotor dan Anggota Tim Promotor untuk
mahasiswa S3 di Fakultas Kedokteran Unpad dan Fakultas Kedokteran
Unversitas Hasanudin Makassar dengan topik Neuroanestesi dan
Critical Care, Bedah Saraf, Anestesi Kardiovaskuler, dan Intensive Care.
Kandidat S3 (yang telah berhasil menjadi Doktor dalam bidang
Neuroanestesiologi, Intensive Care, Anestesi Kardiovaskuler, dan Bedah
Saraf adalah sebanyak 9 orang. Para pcscrta program Pendidikan
S3 yang sedang dibimbing dari semester I sampai yang telah
menyelcsaikan Usulan Penelitian sebanyak 8 orang.
Pernah menjadi Ketua Program Studi Anestesiologi, Ketua
Bidang Kajian Utama (BKU) Anestcsi pada Program Pascasarjana
Combined Degree (PPCD) (menjadi pejabat dalam bidang pendidikan di
Bagian Anestesiologi FK Unpad selama 24 tahun sejak tahun 1987 dan
berakhir September 2011), dan Ketua BKU Ncuroanestesi &
Neurocritical Care pada PPCD (S3+ Konsultan Neitroanestesi) di
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Selain itu pernah menjadi
Ketua Continuing Medical Education (CME). menjadi anggota Koniite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS
Dr. Hasan Sadikin Bandung, dan menjadi pengelola MKB (Majalah
Kedokteran Bandung) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Sekarang bekerja sebagai Guru Besar Tetap di Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Ketua Program Studi
Pendidikan Konsultan Neuroanestesia & Critical Care, menjadi editor- in-
chief majalah Jumal Neuroanestesia Indonesia (JNI), Indonesian Jurnal of
Anesthesia & Coexisting Diseases (InaJA), dan sebagai instruktur
kursus Total Nutritional Therapy (TNT).
Dalam organisasi profesi menjadi Ketua Komisi Program Studi
Sp: KATI, anggota: Ikatan Doktcr Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestcsi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin), Kolegium
Anestesiologi & Terapi Intensif Indonesia (KATI), Perhimpunan
Kedokteran Gavvat Darurat Indonesia (PKGDI), Indonesian Society of
Neuroanesthesia & Critical Care (INA-SNACC), Perhimpunan Dokter
Intensive Care Indonesia (PERDICI). Confederation ASEAN Society of
Anesthesiologist (CASA), Asian Society of Nenroanesthesia & Critical Care
(ASNACC), Society1 of Neuroanesthesia & Critical Care (SNAC'C) dan
European Society of Anesthesiologist (ESA). Pernah menjadi Ketua KARI serta
sebagai Ketua Dewan Majalah Anestesi & Critical Care IDS AI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Rcanimasi Indonesia-
sekarang namanya menjadi PERDATIN).
Indeks

A Intracranial Pressure (ICP). 2.10.11.39.59.79.


80.103.135.185-207.246
Adenosine I ri Phosphate (A I P). 3 i
Intracerebral Steal. 8.157
Autoregulasi. 4.3.123 Inverse Intracerebral Steal. 8
Ancstetika mhalasi. 14,15,91.<>2.104.105.132.1 33. | 75 Intubasi. 53
Ancstctika Intravena. 14.15,91.93,94.104.105.1 74. Intubasi. tehnik. 55
248.249 Intubasi. difficult airway. 56
AVI)()2. 32.65 A l-S I A 1.76
I LS. 37.38 ICU. 159.160
AHCDI' Neuroanestest. 85.86.151 AM PA. 156

B k
Kristaloid. 212 Koluiri. 212 Kalori. 234.235
Barbiturat. 60.173
Karbohidrat. 236
Brain Trauma Foundation (BTF). 152

c L
Luxury perfusion. 8.9
Cerebral Blood Flow (CUP). 1.2.3 ( crchral Perfusion Pressure Lund's Therapy. 113
(CPP). 2.3.1 12.1 13 Central Venous Pressure (CVP), 2 Lipid. 236
Cerebro Vascular Resistance (t \ R), 2 Cerebrospinal P’luid
(CSF). 10.12.13.15,16 Cerebral Metabolic Rate for Oxygen
(CMRG2). 13. 122.149 M
Cashing Irias. 25.87 ( edera Sckunder. 26-30 Ccdera Primer. Mean Arterial Pressure (MAP), 2 Magnesium, 15 t,
26 30 (1:02, 65 ( SW. 217 172 Mannitol, 22 I -223

i) N
Diffuse Axonal Injury |I)AI>. 20 DVT. 59 Ditirclik. 142.153 Ncuroiullamasi. 34 NIRS. 99
1)1. 217 Neurogenic Pulmonary I ilema <NP1 t. I ID-1 I I
Dcxmcdetomidine. 250 NMDA, 156
Nutrisi. 161.162.227-238 Nnnodipin. 172
Natrium l.aktat Hipcrtonik. 224
E
Pdcctroencephalgraphv il I•'(}). 1.2.3.63
LK02. 47
o
Opioid. 16.249
I voked Potential. 63
F.mholi. 110 I 11
FA A. 149 P
I lektrolit. 237 Penumbra. 4 Pcnlucida. 4 PaC()2. 5,8,9 Pa()2.6
Panisimpatis, 6
P I S (Post traumatic seizure). 60 Propofol. 60
F Positive and l-.xpiratory Pressure (PF.F.P), 24 Posisi,
First-lier. 135.142
146
Proteksi Otak, 167-181 Phenyloin, 152 Prcalbumin.
G 223 Protein. 225
<iCS. 42.43.44.46.47.126 CJCS. pediatric. 126 (iABA. 156
il

Hematokrit, 7 I lipokalemia. 219

Anda mungkin juga menyukai