Menimbang :
a. bahwa penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan seringkali tidak tepat
sehingga dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, peningkatan risiko
terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan;
b. bahwa untuk meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik dalam
pelayanan kesehatan perlu disusun pedoman umum penggunaan antibiotik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik;
Mengingat :
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KELIMA : Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan dan apabila ada
kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaiman
mestinya
Ditetapkan : Lumajang
Pada Tanggal : 24 MEI 2019
PT NUSANTARA SEBELAS MEDIKA
RUMAH SAKIT DJATIROTO
KEBIJAKAN UMUM
1. Karena penggunaan antibiotik oleh dokter terhadap pasien memiliki dampak pada
lingkungan rumah sakit, maka penggunaan antibiotik di Rumah Sakit Djatiroto diatur,
dikendalikan dan dievaluasi oleh Kepala Rumah Sakit Djatiroto melalui
operasionalisasi Komite Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antibiotik Rumah Sakit
Djatiroto secara lintas koordinasi dengan Instalasi Farmasi, Mikrobiologi, Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, Tim Keselamatan Pasien, dan Komite Farmasi- Terapi
Komite Medik Rumah Sakit Djatiroto .
2. Rumah sakit menetapkan Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) bagi pasien yang
dirawat yang meliputi pasien anak dan dewasa, serta mencakup antibiotik profilaksis dan
antibiotik untuk terapi empirik. PPAB direvisi secara berkala mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan peta medan kuman.
3. Keputusan untuk memulai pemberian antibiotik baik untuk profilaksis maupun untuk
terapi empirik pada seorang pasien harus dilakukan secara selektif, yaitu kepada
pasien yang berisiko tinggi akan mengalami infeksi bakterial atau pada pasien yang
terbukti atau sangat mungkin sedang menderita infeksi bakterial. Proses seleksi ini
dijabarkan lebih lanjut di dalam PPAB.
4. Setiap pemberian antibiotik untuk tujuan profilaksis harus mengacu pada PPAB.
Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis tidak boleh digunakan untuk kepentingan
terapeutik, dan sebaliknya antibiotik untuk terapeutik tidak digunakan untuk
profilaksis. Jenis antibiotik untuk profilaksis dan untuk terapi ditetapkan secara berkala
sejalan dengan penetapan PPAB dan formularium
5. Keputusan pemberian antibiotik untuk keperluan empirik harus didahului dengan
upaya diagnostik atau identifikasi untuk menentukan ada tidaknya indikasi pemberian
antibiotik (yaitu adanya infeksi bakterial atau kemungkinan kuat infeksi bakterial).
Algoritme penentuan ada tidaknya indikasi memberikan antibiotik merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari PPAB terapi empirik.
KEBIJAKAN KHUSUS
1. Pengobatan awal
a. Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri diberi
antibiotik empirik selama 48-72 jam (dapat diperpanjang 2 x 24 jam bila hasil
kultur belum ada)
b. Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi.
c. Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
d. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan peta kuman dan kepekaan antibiotik
setempat.
2. Apabila hasil kultur telah tersedia, dokter penanggung jawab pasien (DPJP) melakukan
Deescalasi atau streamlining antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Apabila hasil kultur tidak
dapat digunakan untuk melakukan streamlining, maka dilakukan konsultasi dengan
dokter spesialis Mikrobiologi Klinik.
3. Bilamana Hasil pemeriksaan kultur ditemukan bakteri yang sudah resisten dengan
antibiotic yang diujikan, pemilihan terapi dilakukan dengan dokter spesialis
mikrobiologi klinik dengan mempertimbangkan MIC (Minimum Inhibitory
concentracion) atau zona hambat minimum hasil pemeriksaan uji kepekaan
antibiotika.
4. Apabila ditemukan bakteri MDRO maka Ruangan berkoordinasi dengan Komite PPI untuk
pencegahan OUTBREAK termasuk aspek pengendalian lingkungan sekitar pasien.
5. Laboratorium Mikrobiologi Klinik melakukan pemeriksaan kultur dan antibiogram
menurut standar, dan melaporkan hasilnya serta melakukan verifikasi, Dokter spesialis
Mikrobiologi klinik memberikan rekomendasi pemilihan antibiotika dan bila perlu
melakukan visite bersama DPJP.
6. Laboratorium Mikrobiologi Klinik membuat peta kuman minimal setahun sekali, sebagi
acuan pertimbangan terapi empirik antibiotika, maupun secara aspek epidemologi,
dilaporkan kepada Kepala Rumah Sakit Djatiroto, Komite PPRA dan disosialisasikan kepada
Komite Medik.
7. Antibiotik berikut : Meropenem, Piperazillin tazobactam, Ceftazidim, Vancomycin,
Linezolid dibatasi (direstriksi) hanya untuk isolat multidrug resistant organism (MDRO)
seperti ESBL ( Extended Spectrum Beta Lactamase), dll dengan dibuktikan dengan hasil kultur.
Golongan Ceftazidim, untuk kasus infeksi Pseudomonas saja, Golongan
Vancomisin, linezolid untuk kasus infeksi bakteri MRSA. Golongan Cefazolin
dikhususkan untuk profilaksis pra-bedah.
8. Dalam hal penanganan Kasus infeksi berat pada ruangan Intensive care unit, maupaun pasien
dalam kondisi khusus, dilakukan pengecatan Gram langsung cito, sehingga hasilnya dapat
dilaporkan sebelum 2 jam, sebagai informasi penting dalam pemilihan spectrum terapi
antibiotika.
9. Kasus infeksi berat dan kompleks dilakukan penatalaksanaan secara team, melibatkan KPRA,
DPJP, Spesialis Mikrobiologi klinik, maupun bidang spesialis lain yang terkait, sehingga
penanganan lebih komprehensif
10. Pembuatan resep antibiotik berspektrum luas untuk bakteri multiresisten (MDRO)
hanya dilakukan oleh DPJP. Instalasi Farmasi dapat mengevaluasi kelayakan resep/
permintaan antibiotik berspektrum luas untuk bakteri patogen MDRO dengan
berkonsultasi kepada Tim PPRA atau Kepala Bidang Pelayanan Medik
11. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Djatiroto menerapkan automatic stop order apabila
permintaan antibiotik dari klinisi tidak sesuai dengan PPAB (mencakup lama
pemberian yang terlalu panjang tanpa disertai kultur = ±7 hari), dengan terlebih
dahulu melakukan komunikasi dengan DPJP sebagai upaya mengendalikan dan
mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak bijak.
12. Penggunaan Antibiotik di RS akan diaudit secara berkala, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
13. Audit penggunaan antibiotik akan direvew oleh REVIEWER yang sudah dilatih,
kemudian diakukan penilaian secara kualitatif.
14. Prinsip Penetapan Dosis, Interval, Rute, Waktu dan Lama Pemberian (rejimen dosis) obat
antibiotika
a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang regimen dosis
pemberian antibiotik, dan instruksi tersebut juga ditulis di rekam pemberian
antibiotik (RPA) (Formulir terlampir).
b. Dokter menulis resep antibiotik sesuai ketentuan yang berlaku, dan
farmasis/apoteker mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya.
c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatan di RPA dengan rekam medik
dan menulis informasi yang perlu disampaikan kepada dokter/perawat/tenaga
medis lain terkait penggunaan antibiotik tersebut dan memberi paraf pada RPA.
d. Apoteker menyiapkan antibiotik yang dibutuhkan secara unit dose dispensing (UDD)
ataupun secara aseptic dispensing (pencampuran sediaan parenteral secara aseptis) jika
SDM dan sarana tersedia. Obat yang sudah disiapkan oleh Instalasi Farmasi diserahkan
kepada perawatruangan.
e. Perawat yang memberikan antibiotik kepada pasien (sediaan
parenteral/nonparentral/oral) harus mencatat jam pemberian dan memberi paraf
pada RPA, sesuai jam pemberian antibiotik yang sudah ditentukan/disepakati.
f. Antibiotik parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-48 jam (NHS, 2009):
Kondisi klinis pasien membaik, Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah,
malabsorpsi, gangguan menelan, diare berat). Kesadaran baik dan Tidak demam , tanda
vital normal, dan leukosit dalam batas normal (tidak ada neutropeni).
15. Monitoring Efektivitas, Efek Samping Antibiotik