Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edema paru cardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edema paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia. Pada sebagian besar edem paru secara
klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi
gangguan permeabilitas tanpa adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.
Edema paru akut adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat
mortalitas yang masih tinggi.1
Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema
paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk
menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru.
Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di
Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil
dengan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah.
Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate
(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR
menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung
meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002);
dan 23,87 (tahun 2003).2
Penyebab tersering edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung.
Namun, akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa

1
alasan diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan.
Edema paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis
yang harus segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan
kondisi yang fatal, namun penanganan yang tepat untuk edema paru dan
kondisi yang mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi.
Terapi untuk edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang
mendasarinya, namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen
dan pengobatan medikametosa.3
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka penulis tertarik untuk
membahas mengenai “Edema Paru Akut”.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan
berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan
organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus,
terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran
pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di
kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di
kaudal. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus.
Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus
inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus
inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri
adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique.4
Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-
cabang dan ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang
dikelilingi kapiler yang berisi darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke
dalam darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi
dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru dan, setelah
dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena paru-paru.5

Gambar 1. Anatomi paru


3
Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa
dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri
daru dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel
simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2
atau biasanya disebut sebagai sel septal, merupakan sel epitel kuboid yang
berada diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai
tempat utama pertukaran gas. Sedangkan sel alveolar tipe 2 merupakan sel
yang permukaannya terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan
berfungsi untuk menjaga permukaan alveolus. Salah satu cairan alveolar
tersebut adalah surfaktan, yang terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein.
Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan cairan alveolus, yang menurunkan
tendensi alveolus untuk kolaps.6

Gambar 2. Anatomi Alveolus

Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga
sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit
atau membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu,

4
terdapat juga fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada
bagian luar permukaan alveolus, arteriole dan venula lobules menyatuu
menjadi pembuluh darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan
membrane basement. Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan
pembuluh darah melalui proses difusi melalui dinding alveolus dan endotel,
yang bersama disebut sebagai membrane pernafasan atau respiratory
membrane. Jika dimulai dari rongga udara alveolus menuju ke plasma darah,
membrane pernafasan terdiri dari empat lapisan. Lapisan pertama adalah
dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar tipe1, 2, dan alveolar makrofag;
lapisan kedua adalah epitel membrane basement yang berada di luar dinding
alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement kapiler; dan lapisan
terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari beberapa lapisan,
ketebalan lapisan ini hanya 0,5 µm sehingga difusi gas dapat terjadi.
Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli.6
Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan
anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement,
ruang interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1
pneumosit). Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang
yang mengandung jaringan ikat fibrosa, ikat elastic, fibroblast, dan makrofag.
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler
limfatik pertama muncul di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus
terminal, arteri, dan vena kecil.7
Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang
memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan
akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel
endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara
sel epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana
cairan interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus
mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru
merupakan terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan
peribronchial yang berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane

5
basement endotel dan epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif
dari distal ke proksimal.6,7
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler
limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus
dan arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial
alveolar ke saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan
karena tekanan ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan
brokus. Aliran cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan
tekanan negative, katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan
tersebut akhirnya diteruskan dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral.
Peningkatan tekanan vena sentral menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang
dapat menjadi faktor edema interstitial.7

2.2 Definisi
Edema paru akut adalah akumulas cairan di paru-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia.1
Tingkat oksigen darah yang rendah (hipoksia) dapat terdeteksi pada
pasien-pasien dengan edema paru. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru
dengan stethoscope, didapatkan suara-suara paru yang abnormal, seperti rales
atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus) yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas.8
Pada sebagian besar edem paru secara klinis mempunyai kedua aspek
tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas tanpa
adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian
penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua
mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. Edema paru akut adalah
suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi.1

6
2.3 Epidemiologi
Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema
paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk
menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru.
Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di
Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil
dengan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah.
Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate
(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR
menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung
meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002);
dan 23,87 (tahun 2003).2

2.4 Klasifikasi
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema
paru kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif
yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru.
Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi
yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi
tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema
neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah
karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab
peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema
neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.
Perbedaan antara kardiogenik dan non-kardiogenik sangat penting dilakukan
tidak hanya untuk terapi, tapi juga untuk alasan prognosis.9

7
Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru

2.4.1 Edema Paru Kardiogenik


Edema paru kardiogenik akut adalah salah satu tanda dari gagal jantung
berat akut yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru sampai lebih dari 18 mmHg yang disebabkan dari peningkatan
tekanan vena paru. Dari fisiologisnya sendiri, ruang intravascular dan
ekstravaskular dipisahkan oleh barier endotel. Tekanan yang berpengaruh
dalam barier ini adalah tekanan hidrostatik plasma dan tekanan onkotik
plasma. Tekanan hidrostatik plasma berfungsi untuk mendorong cairan ke
luar jaringan. Sedangkan tekanan onkotik plasma berfungsi untuk menjaga
atau menarik cairan ke dalam ruang vaskuler. Edema paru kardiogenik
merefleksikan akumulasi cairan yang berisi protein rendah di interstitium
dan alveolus paru.

8
Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik

1) Etiologi10
Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam
interstitium dan alveolus paru. Peningkatan tekanan atrium kiri,
peningkatan tekanan vena paru, dan tekanan mikrovaskular paru dapat
menyebabkan edema paru.
A. Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral,
atau dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium,
thrombosis pada katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di
atrium kiri (contohnya, cor triatrium). Stenosis mitral sering
disebabkan karena demam rematik, yang akhirnya dapat
bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya edem
paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah
penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh
takikardia dan aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi).
9
B. Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem
paru kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas
sel miokardium yang dapat menurunkan volume output jantung.
Penurunan output jantung menstimulasi aktivitas simpatik dan
meningkatkan volume darah dengan mengaktivasi sistem rennin-
angiotensin-aldosteron yang nantinya akan menyebabkan penurunan
waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler.
Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena
penyakit gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab
eksaserbasi akut penyakit ini meliputi, infark miokard akut (IMA),
pasien dengan ketidakpatuhan pembatasan diet garam, pasien dengan
ketidakpatuhan mengkonsumsi obat diuretic, anemia berat, sepsis,
thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial (alkohol, kokain, agen
kemoterapi), penyakit katup jantung kronis, stenosis aorta, regurgitasi
aorta, dan regurgitasi mitral.
C. Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi
diastolic ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama,
kontusio myocardial menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun
diastolic. Disfungsi diastolic merupakan pertana penurunan pada
distensisitas atau compliance diastolic ventrikel kiri. Karena
distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan diastolic
diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun
kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam
hubungannya dengan peningkatan tekanan akhir diastolic,
menyebabkan timbulnya edema paru hidrostatik. Abnormalitas
diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi pericarditis dan
tamponade jantung.

10
D. Disritmia
Disritmia merupakan gangguan irama jantung akibat perubahan
elketrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan
gangguan irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan
cepat dari fibrilasi atrium dan takikardia ventricular dapat
menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik.
E. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri
Hipertrofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan
ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolic, yang nantinya
akan menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler paru.
F. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri
Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-
kardiak. Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum
ventrikel, insufisiensi aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral
akut maupun kronik. Endokarditis, disseksi aorta, rupture trauma,
rupturnya fenestrasi katub kongenital, dan penyebab iatrogenic
merupakan etiologi penting terjadinya regurgitasi akut aorta yang
nantinya dapat menyebabkan edema paru.
Ruptur septum ventrikel, insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral
dapat menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri
dan peningkatan tekanan atrium kiri, dan dapat menjadi penyebab
terjadinya edema paru. Obstruksi aliran ventrikel kiri, seperti pada
kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan peningkatan tekanan
pengisian akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri, dan
akhirnya terdapat peningkatan tekanan kapiler paru.
Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada kasus disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada
penyakit ginjal primer, retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat
memainkan peran utama terjadinya edema paru. Edema paru
kardiogenik dapat pula terjadi pada pasien gagal ginjal yang
memerlukan hemodialysis.

11
G. Infark Miokardial
Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru
kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi
mekanis dari infark miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau
otot papilar. Komplikasi mekanis ini secara langsung akan
meningkatkan volume load pada serangan akut, yang nantinya akan
menimbulkan terjadinya edema paru.
H. Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri
Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru.
Namun, stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital,
kalsifikasi, disfungsi prostetik, atau penyakit rematik, biasanya
berlangsung secara kronis dan dapat menimbulkan adaptasi
hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini diantaranya
adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru
karena disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati
merupakan penyebab obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri.

2) Patofisiologis10
Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan
oleh membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan,
lapisan pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang
interstitial yang terdiri dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan
lapisan terakhir adalah epitel alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi
diantara vascular bed dan ruang interstitium. Edema paru terjadi saat
aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang interstitial meningkat
Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus
dan vascular bed. Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan
oleh persamaan:
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah
tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan
keluar; Pis adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung

12
untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang
menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah filtrasi protein;
Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang cenderung
menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid
dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler.
Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari
hukum Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan
terjadi karena gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi
ventrikel kiri. Pada edem paru yang terjadi karena peningkatan tekanan
kapiler paru, maka tekanan kapiler parunya harus lebih tinggi
dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma. Tekanan kapiler
paru normalnya 8 – 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya adalah 28
mmHg.
Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar
cairan di paru selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau
liquid dari ruang interstitial dengan kecepatan 10 – 20 mL/jam. Pada
peningkatan tekanan kapiler arteri paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat
meningkatkan filtrasi dari cairan ke dalam ruang interstitium, namun
kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut meningkat. Hal ini berbeda
dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis, dengan kecepatan
pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat
memproteksi paru dari edema paru.

3) Stadium
Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya.
A. Stadium pertama atau biasa disebut sebagai stage 1 adalah peningkatan
tekanan atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan
pembuluh paru kecil. Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak
terganggu.
B. Pada stadium kedua atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang
interstitium paru dari kapiler paru, namun peningkatan aliran limfa
dapat secara efisien membuang cairan tersebut. Berlanjutnya filtrasi

13
cairan yang terus-menerus dapat membuat kapasitas drainase limfatik
tidak dapat mengkompensasinya lagi. Akumulasi cairan di ruang
interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat
menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat
menstimulasi terjadinya takipneu. Takipneu dapat terjadi karena
stimulasi reseptor juxtapulmonary kapiler.
C. Pada stadium terakhir atau stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial
berlanjut yang akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut
(diperkirakan 500 mL cairan). Akhirnya cairan berpindah dari ruang
interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya memenuhi ruang alveolar.
Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat dilihat, kapasitas
vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan hipoksemia
menjadi lebih berat.

4) Manifestasi Klinis10
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala
klinis gagal jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang
tiba-tiba dan berat, rasa cemas, dan perasaan seperti tenggelam.
Manifestasi klinis dari edema paru kardiogenik akut mencerminkan bukti
adanya hipoksia dan peningkatan tonus simpatis. Pada pasien dengan
edema paru kardiogenik, keluhan paling sering adalah sesak nafas dan
diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien biasanya mengeluhkan
dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal dispneu. Batuk
adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal adanya
perburukan edema pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang
kronis. Sputum berwarna pink dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh
pasien dengan penyakit yang parah. Kadang disertai suara serak
dikarenakan gangguan di persarafan laring karena stenosis mitral atau
hipertensi pulmonal. Nyeri dada harus diwaspadai oleh dokter sebagai
kemungkinan untuk infark miokardial akut, atau diseksi aorta dengan
regurgitasi aorta.

14
5) Pemeriksaan Fisik
Temukan fisik pada pasien dengan edema paru kardiogenik
didapatkan takipneu dan takikardi. Pasien mungkin duduk secara tegak
untuk mendapatkan udara yang lebih. Selain itu pasien juga dapat menjadi
gelisah, cemas, bingung, dan mengeluarkan banyak keringat. Hipertensi
sering didapatkan karena adanya keadaan hiperadrenergik. Hipotensi
menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang parah yang dapat
merupakan kemungkinan adanya syok kardiogenik. Auskultasi paru-paru
biasanya menunjukkan hasil normal, tapi ronki atau wheezing mungkin
dapat terdengar. Pada auskultasi kardiovaskuler biasanya penting untuk
mendengarkan adanya S3 pada jantung, penemuan adanya murmur dapat
membantu dalam diagnosis gangguan katub akut. Stenosis aorta dikaitkan
dengan murmur sistolik yang keras yang dapat terdengar baik sternum atas
dan menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dapat
ditemukan murmur diastolic yang lembut.10
Regurgitasi mitral akut akan ditemukan murmur sistolik keras yang
terdengar baik di apeks atau di sternum bagian bawah. Stenosis mitral
biasanya menghasilkan S1 keras, dan gemuruh diastolik pada apeks
jantung. Gejala klinis lain adalah kulit yang pucat atau bintik-bintik yang
diakibatkan vasokonstriksi perifer. Pasien dengan gagal jantung ventrikel
kanan mungkin dapat ditemukan hepatomegali, hepatojugular reflux, dan
edema perifer. Edema paru kardiogenik parah mungkin terkait dengan
perubahan status mental, yang dapat disebabkan oleh hipoksia atau
hiperkapnia. Meskipun edema paru kardiogenik biasanya berhubungan
dengan hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat dilihat
pula pada pasien dengan edema paru kardiogenik parah atau penyakit
obstruktif kronik yang mendasari.10

6) Pemeriksaan Penunjang8,10
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien
dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut;

15
hitung darah lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu
dalam menilai apakah terdapat anemia berat, sepsis, atau infeksi yang
dapat dinilai dari hitung leukosit; hitung elektrolit, pasien dengan CHF
kronis sering mendapatkan terapi diuretic yang merupakan suatu
predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia dan
hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon
diuretic, pada disfungsi sistolik, penurunana BUN dan kreatinin
merupakan pertanda adanya hipoperfusi dari ginjal; Oksimetri,
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia,
pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien untuk
suplementasi oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan
untuk melihat secara akurat saturasi oksigen.
B. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan
ventrikel kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi
kronis ventrikel kiri. Elektrokardiogram juga dapat digunakan untuk
melihat takidisritmia akut atau bradidisritmia pada penyakit iskemia
atau infark miokardial akut sebagai salah satu penyebab dari edema
paru kardiogenik.
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-
tanda iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema
paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi
biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT
memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah
klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan
non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-
endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada

16
dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan
elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin.
C. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis
sangat penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk
mengetahui etiologi dari edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan
untuk mengetahui fungsi dari sistolik maupun diastolic ventrikel kiri,
gangguan fungsi katub, dan mengetahui penyakit pericardial. Selain
itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui beberapa
etiologi mekanis penyebab edema paru seperti, rupture akut otot
papilar, ventricular septal defect akut, tamponade jantung, rupture
ventrikel kiri, vegetasi katub yang akhirnya dapat menimbulkan
regurgitasi aorta.
D. Radiologi14
Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkatdisertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau
alveolar. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat
yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya
plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru
yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap
sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan edema paru mungkin menunjukan
lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang- bidang paru dari
pada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema
dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan
pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang- bidang
paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari edema paru, namun dapat memberikan informasi
yang minimal tentang penyababyang mungkin mendasarinya.

17
Gambaran Radiologi yang ditemukan:
 Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
 Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
 Kranialisasi vaskuler
 Hilus suram (batas tidak jelas)
 Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodulmilier)

Gambar 5. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B


(kepala panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah]
Peribronchial cuffing, pleural effusion.

Edema paru dapat diklasifikasikan menjadi edema peningkatan


tekanan hidrostatik, edema permeabilitas dengan kerusakan alveolus

18
difus, edema permeabilitas tanpa kerusakan alveolus difus, edema
campuran. Edema paru memiliki beberapa manifestasi radiologis yang
bermacam-macam.
Edema paru post-obstruktif memiliki gambaran khas pada radiologi
berupa septal line (Kerley B lines), peribronchial cuffing, dan pada
kasus yang lebih berat terdapat central alveolar edema (perivascular
hazzines). Edema paru dengan emboli kronis paru bermanifestasi
sebagai area dengan garis demarkasi yang tajam atau sharply
demarcated area dengan peningkatan ground-glass attenuation.
Edema paru dengan penyakit oklusi vena bermanifestasi dengan arteri
paru yang besar, edema interstitial difus dengan kerley lines,
peribronchial cuffing, dan dilatasi ventrikel.
Pada stadium 1 edema paru pada pasien yang hampir tenggelam
bermanifestasi dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan patchy,
konsolidari perihilar alveolus; sedangkan pada stadium 2 dan 3
manifestasi radiologisnya tidak spesifik. Edema paru pada ketinggian
bermanifestasi sebagai edema interstitial sentral yang berhubungan
dengan peribronchial cuffing, dan konsolidasi patchy rongga udara.
Pada edema paru neurogenik manifestasinya bilateral dengan
konsolidasi homogen ruang udara yang hampir ditemukan pada 50%
kasus. Reperfusi edema paru digambarkan dengan konsolidasi
heterogen ruang udara yang predominan pada bagian distal menuju
kanal pembuluh darah. Post reduksi edema paru digambarkan dengan
konsolidasi ipsilateral paru, sedangkan edema paru dikarenakan
emboli udara digambarkan dengan terstitial edema diikuti bilateral
opasitas pada alveolus yang predominan di basis paru.

19
Gambar 6. Bat wing edema paru.
Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian
sentral dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis
ini biasanya terdapat pada 10% kasus edema paru, dan secara
keseluruhan terjadi pada kasus perkembangan cepat gagal jantung
berat seperti pada insufisiensi katub mitral akut (yang berhubungan
dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan destruksi
katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal.
Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar
ataupun interstitial. Kondisi patologis ini berkembang secara cepat
yang ditandai secara radiologis dengan infiltrat alveolus, dan
gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.
Beberapa teori diungkapkan dalam patofisiologis bat wing edema.
Salah satu teorinya menyebutkan peningkatan konduktifitas hidraulik.
Hal ini menyebabkan mukopolisakarida mengisi ruang sitokeleton
perivaskular dan menghambat aliran cairan. Namun, dengan
meningkatnya hidrasi cairan, matrix ekstraseluler ini memberikan
jalan agar cairan dapat mengalir ke central. Penemuan lainnya
mengungkapkan efek pumping dari siklus pernafasan, yang lebih
besar berada di kortex paru, yang menyebabkan banyak cairan
dialirkan ke hilus. Penemuan lainnya mengungkapakn kontraktilitas

20
septum alveolus menjadi faktor pendukung untuk mengalirkan cairan
interstitial ke hilus.

7) Tatalaksana10
Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik
termasuk didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan
circulation). Oksigen seharusnya diberikan pada semua pasien untuk
menjaga saturasi oksigen lebih dari 90%. Penyakit yang mendasari seperti
aritmia atau infark miokard seharusnya diterapi dengan sesuai. Oksigen
diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan ventilasi mekanis dapat
dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis, sertia kesadaran
pasien.
Tujuan manajemen dari edema paru kardiogenik adalah, pertama
penurunan venous return paru (preload reduction), penurunan resistensi
vascular sistemik (afterload reduction), dan penggunaan obat inotropik.
Reduksi preload digunakan untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler
paru dan penurunan transudari cairan ke dalam ruang interstitium dan
alveolus paru. Reduksi afterload digunakan untuk meningkatkan cardiac
output dan meningkatkan perfusi ke ginjal, sehingga dieresis dapat
berjalan pada pasien dengan kelebihan cairan.
Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau pada penyakit katub
jantung, kemungkinan akan terjadi hipotensi. Pasien ini mungkin tidak
akan mengalami perbaikan dengan pengobatan yang menurunkan preload
dan afterload. Oleh karena itu, pengobatan inotropik diperlukan untuk
pasien ini untuk menjaga tekanan darah secara adekuat. Pasien yang masih
hipoksia memerlukan suplemen oksigen serta pada pasien dengan distress
pernafasan memerlukan bantuan ventilasi.
A. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi cairan merupakan prosedur membuang cairan yang sangat
berguna pada pasien dengan disfungsi ginjal dan pada pasien dengan
resistensi diuretic.

21
B. Intra-aortic Balloon Pumping
Intra-aortic balloon pumping dapat digunakan untuk menstabilasi
hemodinamik pada pasien sebelum dimulainya terapi definitive.
Fungsi dari intra-aortic balloon pumping ini adalah menurunkan
afterload, saat diatol balon ini gunakan untuk meningkatkan aliran
darah coroner.
C. Diet
Pasien dengan gagal jantung atau edema paru seharusnya diberikan
diet rendah garam untuk menurunkan retensi cairan. Selain itu,
keseimbangan cairan seharusnya juga dimonitor.

2.4.2 Edema Paru Non-Kardiogenik


Edema paru non-kardiogenik adalah edema yang disebabkan karena
perubahan permeabilitas dari membrane kapiler paru yang mengakibatkan
keadaan patologis baik secara langsung maupun tidak langsung. Edema
paru non-kardiogenik dapat disebut juga sebagai respiratory distress
syndrome. RDS yang ringan disebut sebagai acute lung injury, dan RDS
yang berat disebut sebagai acute respiratory distress syndrome. Edema
paru non-kardiogenik mempunyai karakteristik kerusakan alveolus difus
yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membrane kapiler
alveolus dan juga akumulasi cairan yang kaya protein di ruang alveolus.

1) Etiologi
Beberapa mekanisme telah diketahui sebagai penyebab terjadinya
edema paru non-kardiogenik. Sebagai contoh adalah tekanan alveolar yang
rendah, peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan tekanan
hidrostatik, dan kombinasi ketiganya. Beberapa penyebab edema paru
non-kardiogenik menurut patofisiologinya terjadi karena penurunan
tekanan alveolar (edema post obstruksi atau reekspansi edema), edema
neurogenik, vaskulitis, dan peningkatan edema paru. Sebagai contoh,
penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran
nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas

22
adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan
oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Penurunan tekanan
alveolus mungkin juga terjadi setelah pleurosentesis, pneumotorax,
obstruksi saluran nafas atas (sindroma brachycephalic, paralisis laring,
ataupun kolaps trakeal). Pada neurogenik edema, secara patofisiologi
terjadi karena peningkatan aktivasi simpato-andregenik di medulla
oblongata. Hal ini berpengaruh pada konstriksi vena paru yang membuat
darah mengalir lebih banyak dari sistemik ke sirkulasi pulmonal, hal ini
akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatis yang akhirnya dapat
menyebabkan edema. Peningkatan permeabilitas vaskuler menjadi
masalah besar penyebab edema paru non-kardiogenik. Hal ini diakibatkan
karena kerusakan berat dan difus pada parenkim paru, yang menyebabkan
permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga menyebabkan cairan
yang kaya akan protein keluar.9

Gambar 7. Etiologi Edema Paru Non-Kardiogenik

23
Menurut penyebabnya, edema paru non-kardiogenik dibagi menjadi
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dari
edema paru non-kardiogenik adalah aspirasi, injuri inhalasi, kontusio
pulmonal, infeksi difus paru. Sedangkan penyebab tidak langsung dari
edema paru non-kardiogenik ini adalah sepsis, syok sepsis, overdosis obat,
pancreatitis, uremia, dan koagulopati. Penyebab langsung berarti etiologi
tersebut menyebabkan kerusakan langsung pada epitel alveolus, sedangkan
penyebab tidak langsung berarti kerusakan epitel terjadi karena dampak
tidak langsung atau karena penyebaran mediator inflamasi secara
hematogen. Peneybab tersering terjadinya edema paru non-kardiogenik
adalah infeksi difus paru (direk) dan sepsis (indirek).11

Gambar 8. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik

Proses inflamasi yang terjadi pada alveolar dibagi menjadi tiga proses.
Proses pertama adalah inisiasi, yaitu persipitasi antigen oleh antigen
presenting cell, yang nantinya akan melepaskan mediator-mediator
inflamasi. Tahap kedua adalah tahap amplifikasi, yaitu aktifnya neutrofil
di organ target (paru). Tahap terakhir adalah injury, pada tahap ini sel yang
mengalami inflamasi akan melepaskan metabolit O2 reaktif yang akan
menimbulkan kerusakan sel. Kerusakan sel ini akan mengeakibatkan
24
permeabilitas vascular meningkat, yang menyebabkan akumulasi cairan
berisi protein di alveolus, dan akhirnya akan membentuk membrane hialin
yang berisi fibrin atau protein. Selain itu, kerusakan sel dapat
menimbulkan penurunan produksi surfaktan yang menyebabkan alveolus
dapat kolaps yang akhirnya akan menurunkan compliance paru yang
menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga timbul distress
respirasi.9,11

2) Manifestasi Klinis
Edema paru non-kardiogenik mempunyai berbagai derajat manifestasi
distress pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan kegagalan
pernafasan. Tanda klinis awal pada edema paru non-kardiogenik adalah
peningkatan usaha untuk bernafas yang ditandai dengan adanya takipneu
dan dispneu. Auskultasi paru sulit untuk membedakan antara edema paru
kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Beberapa manifestasi untuk
membedakan dengan penyebab kardiogenik diantaranya adalah tidak
adanya edema perifer, distensi vena jugularis, dan gallop ventrikel.11

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil abnormal sesuai
dengan penyebab dasar penyakit atau underlying disease-nya. Tidak ada
pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mengidentifiikasi edema
paru non-kardiogenik. Pemeriksaan serum protein mungkin dapat berguna
dalam membedakan antara edema paru kardiogenik dan edema paru
kardiogenik. Pasien dengan edema paru non-kardiogenik menunjukkan
hasil adanya hipoproteinemia yang reversible, hal ini menyarankan
bahawa hipoproteinemia dapat digunakan sebagai tanda adanya edema
paru non-kardiogenik. Pemeriksaan IL-8 juga dapat digunakan untuk
mengetahui adanya hipoksia yang cepat pada stadium awal dari ALI atau
acute lung injury sebelum menjadi acute respiratory distress syndrome.
Pemeriksaan saturasi O2 penting digunakan untuk melihat perkembangan

25
penyakit ini. Penurunan saturasi oksigen, dapat menjadi indikasi
dilakukannya pengukuran gas darah. Pemeriksaan radiografi biasanya
menunjukkan hasil yang normal, atau terdapat infiltrate difus bilateral,
ataupun infiltrate alveolus. Gambaran jantung biasanya normal.11

4) Tatalaksana
Pada awal terjadinya kerusakan, mungkin pasien tidak mengeluhkan
adanya gejala dan tanda gangguan pernafasan. Tanda awal adalah
terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan yang diikuti oleh dispneu.
Analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan untuk melihat tipe dan
derajat abnormalitas pertukaran darah. Pada pasien dengan hipoksemia
(PO2 <60 mmHg) tanpa hiperkapnia, dapat diberikan oksigen yang
diberikan melalui nasal prongs atau venture mask dengan reservoir. Jika
hiperkapnia terjadi maka tata laksananya adalah dengan ventilasi
mekanis.12
Ventilasi mekanis merupakan tatalaksana yang dibutuhkan untuk
pasien dengan edema paru non-kardiogenik. Jika hipoksemia tidak dapat
dikoreksi dengan menggunakan ventilasi mekanis, maka dapat digunakan
positive end-expiratory pressure atau PEEP. Pada kondisi ini PEEP yang
digunakan adalah 5 -10 cm H20. Fungsi dari PEEP adalah untuk
menghindari kolaps alveolus. PEEP juga dapat meningkatkan FRC dan
menghindari risiko dari kerusakan paru lanjutan. Walaupun penggunaan
PEEP efektif dalam meningkatkan oksigenasi pada pasien, namun risiko
komplikasi juga akan bertambah saat digunakan bersama dengan alat
mekanis lainnya. Penggunaan PEEP dengan tekanan yang sangat tinggi
mungkin dapat menyebabkan komplikasi berupa edema alveolar yang
bertambah, penurunan curah jantung, dan penurunan tekanan serta aliran
darah ke ginjal. Komplikasi lainnya penggunaan PEEP adalah barotrauma,
yang insidensinya 5-15% dan berupa pneumomediastinum, pneumothorax,
dan emfisema subkutaneus.12

26
2.5 Penegakan Diagnosis9,13
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non
Kardiak (EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang

Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
JVP Meningkat (-)
Ronki Basah Tak meningkat
Kering
Tanda penyakit
dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

2.6 Tatalaksana6,8
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera
penyebabnya. Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai
penyebab diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting.
Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar.
27
Yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan
oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila
ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg
tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi
hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85
– 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital (10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

28
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.

2.7 Komplikasi15
Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa edema paru akut
kardiogenik yang merupakan bentuk hipoksemia dari kegagalan pernafasan
akut. Masuknya cairan ekstravaskular ke dalam paru merupakan masalah
klinis yang penting. Ini merupakan manifestasi klinis dari penyakit penyerta
yang serius. Edema paru dapat di terapi, tetapi terapi yang efektif adalah
untuk menyelamatkan pasien dari gangguan yang mendasari keseimbangan cairan
paru. Penyebab gangguan sering dapat diketahui, dan dikoreksi. Karena terapi
yang efektif dan rasional bergantungpada prinsip dasar dari normal
dan tidaknya distribusi cairan di paru.
Ada beberapa klasifikasi lain gagal jantung akut yang bisanya dipakai
diperawatan intensif untuk menilai beratnya gagal jantung akut yaitu
klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks,
klasifikasi Forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik
hemodinamik. Klasifikasi ini cocok pada infark jantung akut. Klasifikasi yang
ketiga yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Forrester yang berdasarkan
sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion).

Gambar 9. Klasifikasi Klinis Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Forrester


(dikutip dari ESC, 2008)

29
2.8 Prognosis2
Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab atau
pencetus yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui mekanisme terjadinya edema paru nonkardiogenik akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan pengobatan, dan teknik
ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%.
Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya
dan disfungsi pada proses difusi gas atau udara. Sebagian pasien dapat pulih
kembali dengan cukup baik walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU
yang lama.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Edema paru akut adalah akumulas cairan di paru-paru yang terjadi secara
mendadak yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran kapiler dan gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.
2. Klasifikasi edema paru akut dibagi menjadi dua, yaitu: edema paru kardiak
dan edema paru non kardiak
3. Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera
penyebabnya. Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai
penyebab diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut. 2010. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal: 1651-3.
2. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB
XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
3. Mayo Clinic Staff. 2014. Pulmonary Edema.
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pulmonary-
edema/basics/definition/con-20022485. Diakses pada 12 Agustus 2019.
4. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and
Physiology. John Wilay & Sons, United States of America
5. Hall, Guyton. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Staub NC. 2013. Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811.
7. Churchill Livingstone. 2010. Pulmonary Microcirculation, Pulmonary
Interstitial Space, and Pulmonary Interstitial Fluid Kinetics (Pulmonary
Edema). http://web.squ.edu.om/med-
Lib/MED_CD/E_CDs/anesthesia/site/content/v02 /020519r00. htm. Diakses
pada 12 Agustus 2019.
8. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2011; 353:2788-96.
9. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd,
152:7, 311-317.
10. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical
Presentation. http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical. Diakses
pada 12 Agustus 2019.
11. Perina, Debra G., 2013. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Emrg Med Clin N
Am. 21;2003, 385-393
12. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med 2015; 359: 142-51.
13. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-
cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular
Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co.
544-60
14. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D.,
Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S., 2007. Clinical and
Radiologic Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-
1531
15. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388–
2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309

32

Anda mungkin juga menyukai