Anda di halaman 1dari 35

REFLEKSI KASUS

“MIGRAIN”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Saraf RSUD Kota Salatiga

Disusun Oleh:
Sinta Merlinda Yuni
1813020008

Pembimbing :
dr. Dony Ardianto, Sp.S.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU SARAF


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul
“MIGRAIN”

Disusun Oleh:
Sinta Merlinda Yuni
1813020008

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing:

dr. Dony Ardianto, Sp.S.


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn.G
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 30 tahun
Alamat : Jl. Merpati,09 Mangunsari
Status : Menikah
Masuk RS : 10 April 2019
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri kepala cenut cenutsebelah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri kepala cenut-
cenut sebelah kanan sejak jam 12.00 siang . Keluhan disertai mual dan
muntah 5 kali. Lalu pasien juga mengeluhkan kurang nyaman terhadap
cahaya yang terlalu terang. Pusing berputar (-), demam(-). Keluhan pasien
memberat saat aktifitas, menurun saat istirahat. Keluhan pasien berada di
angka 8. Pasien mengaku akhir-akhir ini sedang banyak tugas dan beban
kerjaan yang belum diselesain sehingga banyak yang difikirkan. Sebelumnya
pasien sudah minum asam mefenamat namun keluhan belum membaik. BAB
normal 2x/hari warna kuning konsistensi lunak. BAK normal, berwarna
kuning, volume cukup.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat kolesterol tinggi sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat tekanan darah
tinggi (+), kencing manis (-), asam urat (+), asma (-), penyakit jantung (-)
dan riwayat stroke (-).
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Penyakit tekanan
darah tinggi, asam urat, kecing manis, asma, penyakit jantung dan stroke di
keluarga disangkal.
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien memiliki asuransi BPJS kelas I. Sehari-hari pasien bekerja di RSUD
Salatiga. Pasien jarang berolahraga. Makan sehari 3x. Merokok (-), minum
alkohol (-), alergi obat (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
3. Tanda-tanda Vital (saat masuk IGD)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Laju napas : 20x/ menit
Suhu : 36o C
4. Saturasi O2 : 98%
5. Head to Toe
Kepala & Leher

Inspeksi Bentuk wajah simetris, conjungtiva anemis (-


/-), Sklera Ikterik (-/-), ptosis (-/-),
eksophtalmus (-/-),

Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), pembesaran tiroid


(-)

Thorax (Cor)

Inspeksi Pulsasi tidak terlihat

Palpasi Ictus cordis teraba pada SIC V linea mid


clavicula sinistra

Perkusi Cardiomegali (-)


Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular, Murmur (-
), Gallop (-)

Thorax (Pulmo)

Inspeksi Pelebaran vena (-), retraksi dinding dada (-),


barrel chest (-), ketertinggalan gerak (-)

Palpasi Vocal fremitus sama kuat pada kedua lapang


paru

Perkusi sonor pada kedua lapang paru


Auskultasi SDV (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi Datar

Auskultasi Peristaltik usus 10x/menit

Palpasi Nyeri tekan ulu hati (+), nyeri tekan lumbal


dextra et sinistra (+)

Perkusi Timpani (+)

Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)

Inspeksi Edema (-)

Palpasi pemeriksaan sensorik normal, pitting oedem (-


/- -/-), akral hangat (+/+ +/+), capillary refill
< 2 detik

6. Status neurologis
a. Pemeriksaan nervus cranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Dextra Sinistra
Olfaktorius (I)
 Subjektif Normal Normal
 Objektif Tidak Tidak
dilakuka dilakuka
n n
Optikus (II)
 Daya Penglihatan (Subjektif) Normal Normal
 Lapangan pandang
(Subjektif) Normal Normal
 Melihat warna
(+) (+)
Okulomotorius (III)
 Pergerakan mata kearah
superior, medial, inferior, (+) (+)
 Strabismus (-) (-)
 Nystagmus (-) (-)
 Exoptalmus (-) (-)
 Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
 Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata (ke bawah- (+) (+)
keluar)
Trigeminus (V)
 Membuka mulut (+) (+)
 Mengunyah (+) (+)
 Menggigit (+) (+)
 Sensibilitas muka (+) (+)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (+)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi (+) (+)
 Sudut bibir (+) (+)
 Gerakan involunter (mata) ( -) (-)
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsipendengaran (objektif (+) (+)
: arlojidansuaratangan)
Glossofaringeus (IX)
 Refleks muntah Tidak Tidak
dilakuka dilakuka
n n
Vagus (X)
 Bicara (+) (+)
 Menelan (+) (+)
Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu (+) (+)
 Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah (+) (+)
 Artikulasi (+) (+)

b. Reflek fisiologis
Reflek Dextra Sinistra
Bisep (N) (N)
Trisep (N) (N)
Brachioradialis (N) (N)
Ulnaris (N) (N)
Radialis (N) (N)
Patella (N) (N)
Achilles (N) (N)
Dinding perut (N)

c. Reflek patologis
Reflek Dextra Sinistra
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Rosolimo (-) (-)
Mendel-Bechterew (-) (-)
Gonda (-) (-)
Bing (-) (-)
d. Gerakan involunter

Gerakan Dextra Sinistra


Tremor (-) (-)
Chorea (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Tiks (-) (-)

e. Meningeal sign
Kernig Sign Negatif
KakuKuduk Negatif
Brudzinski 1 Negatif
Brudzinski 2 Negatif
Brudzinski 3 Negatif
Brudzinski 4 Negatif

f. Pemeriksaan sensorik : normal


g. Pemeriksaan khusus
Tes strain leg raising -/-
Tes lasegue -/-
Tes bragard -/-
Prone straight leg raising -/-
Tes patrick -/-
Tes kontra-patrick -/-
Tes valsava -/-
Tes naffziger -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (12-04-19)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 6,98 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 5,95 4,5 – 6,5 juta/ul
Hemoglobin 15,8 13 – 18 gr/dL
Hematokrit 47,3 40 – 54 vol%
MCV 79,5 80 – 100 Fl
MCH 26,6 28 – 31 Pg
MCHC 33,4 30 – 35 gr/dL
Trombosit 271 150 – 450 ribu/ul

Hitung Jenis
Eosinophil 4,9 2–4 %
Basophil 0,7 0–1 %
Limfosit 36,3 20 – 45 %
Monosit 4,3 2–8 %
Neutrofil 53,8 40 – 75 %

Kimia
GDP 107 <100
Ureum 18 10-50 mg/dl
Creatinin 1,0 0,6-1,1 mg/dl
SGOT 36 L: <37 W:<31 U/L
SGPT 33 L: <42 W:<32 U/L
Cholesterol total *351 < 200 mg/dl
Trigliserida *336 <150 mg/dl
HDL choleterol 38 > 45 mg/dl
LDL choleterol *264 <100 mg/dl
Asam urat 6,4 3,4-7,0 mg/dl

2. Pemeriksaan Trans Cranial Doppler (TCD)


Gambarr

E. ASSESTMENT
1. Hernia Nukleus Pulposus
- Diagnosis klinis :migren tanpa aura sebelah kanan
- Diagnosis topis :Fronto-temporal dextra
- Diagnosis etiologi: migren tanpa aura sebelah kanan

F. PENATALAKSANAAN
1. IGD RSUD Salatiga (10/04/19)
- Infus asering + drip ketorolac 1 amp 20 tetes/ menit
- Citicolin 250 mg injeksi per 12 jam
- Ondansetron 4 mg injeksi per 8 jam
- PO gabapentin 1x250 mg
2. Bangsal RSUD Salatiga (10/04/19)
Infus asering + drip ketorolac 1 amp 20 tetes/ menit
Citicolin 250 mg injeksi per 12 jam
Ondansetron 4 mg injeksi per 8 jam
PO gabapentin 1x250 mg
PO ericaf 1 tab
3. Bangsal RSUD Salatiga (11/04/19)
- Infus asering + drip ketorolac 1 amp 20 tetes/ menit
- Citicolin 250 mg injeksi per 12 jam
- Ondansetron 4 mg injeksi per 8 jam
- PO gabapentin 1x250 mg
- PO ericaf 2 mg 2x1
- Ketorolac 30mg injeksi 2x1
- Omeprazole 40 mg injeksi 2x1
- PO Depakot 250 mg 2x1
- PO Clopidogrel 75mg 1x1
- Neurobion 3x1
- Cek DLO, TCD
4. Obat Pulang (12/04/19)
- PO ericaf 2 mg 2x1
- PO omeprazole 20mg 2x1
- PO Depakot 250 mg 2x1
- PO Clopidogrel 75mg 1x1
- Neurobion 3x1
- PO Atorvastatin 20 mg tab 1x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. MIGREN
1. Anatomi
Cranium atau tulang tengkorak adalah sekumpulan tulang yang saling
berhubungan satu sama lain yang di dalamnya terdapat cavum cranii yang
berisi otak atau encephalon. Cranium dibagi menjadi neurocranium dan
viscero-cranium, yang melindungi otak adalah neurocranium dan yang
membentuk tulang wajah adalah viscerocranium. Disebelah profunda dari
cranium terdapat lembaran jaringan ikat yang juga berfungsi melindungi otak
disebut meninges yang terdiri dari atas 3 lapis yaitu duramater,
arachnoidmater, dan piamater. Selain itu kulit kepala, otot, tendon, dan
jaringan ikat atau fascia kepala yang letaknya lebih superficial juga ikut
berperan dalam melindungi otak.
Dari semua struktur cranium tersebut, ada yang memiliki reseptor peka
nyeri dan ada yang tidak memiliki reseptor nyeri. Yang memiliki reseptor
nyeri dibagi menjadi struktur peka nyeri ekstrakranial dan intrakranial.
Struktur peka nyeri ekstrakranial antara lain kulit kepala, otot kepala, tendon,
fascia, arteri ekstrakranial, periosteum, sinus paranasalis, rongga hidung,
rongga orbita, dan nervus cervicalis (C2 dan C3). Sedangkan struktur peka
nyeri intracranial antara lain sinus venosus (sinus sagitalis), duramater, arteri
meningea media, nervus cranialis (trigeminus, facialis, glossofaringeus, dan
vagus), dan arteri sirkulus Willisi. Sedangkan struktur kranial yang tidak
peka nyeri antara lain tulang kepala, parenkim otak, ventrikel, dan plexus
choroideus.
Gambar 1. Struktur Peka Nyeri Intrakranial

Apabila terjadi rangsangan yang melibatkan reseptor peka nyeri pada struktur
cranium maka akan menyebabkan nyeri kepala atau cephalgia. Jika nyeri kepala
melibatkan struktur di dua per tiga fossa cranium anterior (supratentorium) maka
nyeri akan diproyeksikan ke daerah frontalis, temporalis, dan parietalis yang
diperantarai oleh nervus trigeminal, dan jika nyeri kepala melibatkan struktur di
daerah fossa cranii posterior (infratentorial) maka nyeri akan diproyeksikan ke
daerah occipitalis, leher, dan belakang telinga yang diperantarai oleh nervus
cervicalis atas C1, C2, dan C3.(7, 8)
Nyeri kepala dipengaruhi oleh nukleus trigeminoservikalis yang merupakan
nosiseptif yang penting untuk kepala, tenggorokan dan leher bagian atas. Semua
aferen nosiseptif dari saraf trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan saraf
dari C1 ± 3 beramifikasi pada grey matter area ini. Nukleus trigeminoservikalis
terdiri dari tiga bagian yaitu pars oralis yang berhubungan dengan transmisi
sensasi taktil diskriminatif dari regio orofasial, pars interpolaris yang
berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif seperti sakit gigi, pars
kaudalis yang berhubungan dengan transmisi nosiseptif dan suhu.(7)
Terdapat over lapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti
aferendari C2 selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3. Selain
itu, aferen C3 juga akan beramifikasi ke C1 dan C2. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya nyeri alih dari pada kepala dan leher bagian atas.
Nyeri alih biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital darikepala
dan yang jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus maksiliaris
dan mandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak atau hanya
sedikit yang meluas ke arah kaudal. Lain halnya dengansaraf oftalmikus dari
trigeminus. Aferen saraf ini meluas ke pars kaudal.(1, 7)
Saraf trigeminus terdiri dari 3 yaitu V1, V2, dan V3. V1 , oftalmikus,
menginervasi daerah orbita dan mata, sinus frontalis, duramater dari fossa kranial
dan falx cerebri serta pembuluh darah yang berhubungan dengan bagian
duramater ini.(8)
V2, maksilaris, menginervasi daerah hidung, sinus paranasal, gigi bagian atas,
dan duramater bagian fossa kranial medial. V3, mandibularis, menginervasi
daerah duramater bagian fossa cranial medial, rahang bawah dan gigi, telinga,
sendi temporomandibular dan otot menguyah.(8)
Selain saraf trigeminus terdapat saraf kranial VII, IX, X yang innervasi
meatus auditorius eksterna dan membran timfani. Saraf kranial IX menginnervasi
rongga telinga tengah, selain itu saraf kranial IX dan X innervasi faring dan
laring.(8)

Gambar 2. Proyeksi Nyeri pada Supratentorium dan Infratentorium

Saraf servikalis yang terlibat dalam sakit kepala adalah C1, C2, dan C3.
Ramus dorsalis dari C1 menginnervasi otot suboccipital triangle - obliquus
superior, obliquus inferiorda n rectus capitis posterior majorda n minor. Ramus
dorsalis dari C2 memiliki cabang lateral yang masuk ke otot leher superfisial
posterior, longis simus capitisda n splenius sedangkan cabang besarnya bagian
medial menjadi greater occipital nerve. Saraf ini mengelilingi pinggiran bagian
bawah dari obliquus inferior, dan balik ke bagian atas serta ke bagian belakang
melalui semispinalis capitis, yang mana saraf ini di suplai dan masuk ke kulit
kepala melalui lengkungan yang dikelilingi oleh superior nuchal line dan the
aponeurosis of trapezius. Melalui oksiput, saraf ini akan bergabung dengan saraf
lesser occipital yang mana merupakan cabang dari pleksus servikalis dan
mencapai kulit kepala melalui pinggiran posterior dari sternokleidomastoid.
Ramus dorsalis dari C3 memberi cabang lateral ke longissimus capitisda n
splenius. Ramus ini membentuk 2 cabang medial. Cabang superfisial medial
adalah nervus oksipitalis ketiga yang mengelilingi sendi C2-
3 zygapophysial bagian lateral dan posterior. (1, 7)
Pada nyeri kepala migraine, walaupun patomekanisme defek anatomi belum
dapat ditentukan secara pasti, diyakini bahwa adanya perangsangan pada saraf
yang hiperaktif dan pembuluh darah yang berdilatasi di intracranial, memicu
pengeluaran sitokin proinflamasi yang merangsang reseptor nyeri intracranial dan
di perivaskular (nervus trigeminus), yang kemudian dipersepsikan sebagai nyeri
kepala unilateral daerah frontotemporal dengan kualitas yang berdenyut.
Pembahasan ini akan lebih detail pada bagian patomekanisme.

2. Definisi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah perpindahan dari nukleus
pulposus melalui membran luarnya (annulus fibrosus) ke arah postero-sentral
atau postero-lateral yang akan menekan medulla spinalis atau nervus spinalis
(Vialleet al., 2010).
3. Epidemiologi
Menurut Nuprin Pain Report sebanyak 73% nyeri pada kepala adalah
tipe nyeri yang paling sering dialami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lipton, Steward, dan Korff (1997) menyatakan bahwa migren mengenai
hampir 30 juta orang di Amerika Serikat dan menyebabkan kerugian
langsung dan tidak langsung lebih dari 13 milyar US$ per tahun.
Diperkirakan 14% dari populasi dunia menderita migren dan pada tahun
2010-2011 diperkirakan sekitar 8,3% dari 2,7 juta jiwa penduduk Kanada
dilaporkan terdiagnosis dengan migren.
Prevalensi migren di Kanada menunjukkan 23 hingga 26% dapat
terjadi pada wanita dan 7,8 hingga 10% pada pria.6 Rasio prevalensi
perempuan terhadap pria dengan migren sangat bervariasi sesuai usia, dimana
sebelum usia 12 tahun, migren lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan. Setelah pubertas, migren semakin
sering dijumpai pada perempuan dan pada usia 20 tahun, rasio perbandingan
perempuan terhadap laki-laki adalah sekitar 2:1.
Migren diperkirakan dua sampai tiga kali lebih sering pada perempuan
daripada laki-laki dan paling sering terjadi pada perempuan berusia kurang
dari 40 tahun, cenderung dijumpai dalam satu keluarga dan diperkirakan
memiliki dasar genetik. Sekitar 70% hingga 80% penderita migren memiliki
anggota keluarga dekat yang menderita nyeri kepala.(1) Di Indonesia maupun
negara berkembang lainnya, prevalensi penderita migren cukup sulit
diketahui secara pasti karena sebagian besar penderita tidak terdiagnosis dan
terobati dengan baik.

4. Klasifikasi
Klasifkasi migrain berdasarkan konsensus PERDOSSI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia) yang merupakan adaptasi International
Headache Society tahun 2013 :
 Migren tanpa aura
 Migren dengan aura
 Sindrom periodik pada anak yang pada umumnya menjadi prekursor
migraine
 Cyclical vomiting
 Migren Abdominal
 Vertigo paroksismal Benigna pada Anak
 Migren retinal
 Komplikasi migren
 Migren Kronik
 Status Migrenosus (serangan migren > 72 jam)
 Aura persisten tanpa infark
 Migrenous infark
 Migrene-Triggered Seizure
 Probable Migrain
5. Etiologi
Penyebab terjadinya migren masih belum diketahui secara pasti, namun
ada beberapa faktor atau pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya migren,
antara lain :
a. Riwayat anggota keluarga dengan riwayat nyeri kepala (faktor genetik
diyakini kuat berpengaruh terhadap munculnya migrain)
b. Perubahan hormon (esterogen dan progesterone) pada wanita,
khususnya pada fase luteal siklus menstruasi, kehamilan, menarke,
menopause, dan penggunaan kontrasepsi oral
c. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah dan natrium nitrat),
vasokonstriktor (keju dan coklat), serta zat tambahan pada makanan
(monosodium glutamat dan pemanis buatan sakarin)
d. Stres berlebih, dan faktor psikologis lainnya seperti
e. Faktor fisik dan siklus tidur tidak teratur,
f. Rangsang sensorik (cahaya silau/berkedip dan bau menyengat),
g. Alkohol dan merokok
6. Faktor resiko
a. Yang tidak dapat dirubah
- Usia : > 65 tahun
- Jenis kelamin : laki-laki > perempuan
- Riwayat cedera punggung atau HNP sebelumnya
b. Yang dapat dirubah
- Pekerjaan dan aktivitas : duduk yang terlalu lama dengan posisi yang
salah, mengangkat atau menarik barang-barang berat, sering
membungkuk atau gerakan memutar pada punggung, latihan fisik
yang berat dan paparan pada vibrasi yang konstan seperti supir.
- Olahraga : tidak teratur, mulai latihan setelah lama tidak berlatih,
latihan yang berat dalam jangka waktu yang lama.
- Merokok : Nikotin dan racun-racun lain dapat mengurangi aliran
darah pada vertebral dan merusak metabolisme diskus, sehingga
diskus lebih sensitif pada stress fisik.
- Obesitas : meningkatkan beban diskus intervertebralis
(Huang, 2016).

Mekanisme pasti terjadinya migrain belum sepenuhnya diketahui, dan sampai


saat ini masih terus berkembang. Hal ini diakibatkan banyaknya faktor genetik
dan lingkungan serta proses neurovaskular yang terjadi pada migrain turut
memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit. Prinsip utama yang dapat
dipahami disini bahwa, adanya perangsangan pada struktur peka nyeri intracranial
(seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya) oleh stimulasi mekanis,
kimia, dan gangguan autoregulasi neurovaskular menyebabkan terstimulasinya
nosiseptor yang ada di struktur peka nyeri. Asal nosiseptor tersebut terbagi dua
bagian, untuk struktur supratentorial berasal dari nervus trigeminus pars
ophtalmica, dan untuk infratentorial berasal dari nervus spinalis C1-C3. Belum
jelasnya mekanisme migraine membuat para pakar neurologi melakukan
penelitian yang berkesinambungan dan menghasilkan beberapa teori yang
menjelaskan terjadinya migrain. Berikut penjelasan dari teori-teori tersebut.

1. Teori Vaskular
Gambar 3. Teori Vaskular

Teori vaskular merupakan teori pertama yang berkembang pada sejarah


penelitian migrain. Teori ini dikembangkan oleh Wolf dkk tahun 1940-an
yang mengemukaan bahwa adanya gangguan kaliber pembuluh darah
menyebabkan terjadinya nyeri kepala migren. Disebutkan bahwa dengan
adanya faktor pencetus oleh mekanisme yang belum diketahui, menyebabkan
terjadinya vasokontriksi pembuluh darah serebral. Hal ini menjelaskan
timbulnya aura pada sebagian kasus di mana ambang untuk terjadinya aura
rendah. Setelah vasokonstriksi, diikuti dengan vasodilatasi pembuluh darah
yang menekan dan mengaktifkan nosiseptor perivaskular di intracranial, yang
mencetuskan terjadinya nyeri kepala. Nyeri kepala yang terjadi bersifat
unilateral dengan kualitas berdenyut, disebabkan oleh perangsangan saraf
nyeri di dinding pembuluh darah.(7, 9, 10)
Namun, teori ini masih belum dapat menjelaskan gejala prodromal dan
gejala lain yang terjadi sebelum serangan migrain. Selain itu, obat-obat yang
dapat meredakan nyeri kepala, tidak semuanya bekerja melalui vasokonstriksi
pembuluh darah, dan belakangan diketahui dengan penelitian menggunakan
teknik pencitraan mutakhir untuk melihat aliran darah otak, ditemukan bahwa
kejadian migrain tanpa aura memiliki aliran darah serebral yang konstan pada
sebagian besar pasien.(7, 9, 10)
Belakangan diteliti lebih lanjut oleh Schoonman dkk, disimpulkan bahwa
vasodilatasi pembuluh intrakranial tidak berperan dalam patogenesis migrain,
kemudian oleh Elkind dkk didapatkan bahwa mekanisme nyeri kepala sangat
ditentukan oleh diameter dinding pembuluh darah ekstrakranial. Dalam
penelitiannya (Elkind dkk) didapatkan aliran darah frontotemporal meningkat
pada subjek dengan nyeri kepala dibandingkan dengan kontrol (P<0,005), dan
nyeri kepala mereda setelah diberikan ergotamin tartrat disertai dengan
penurunan alirah darah frontotemporal, yang merupakan cabang dari arteri
karotis eksterna.(7, 9, 10)
2. Teori Neurovaskular/ Trigeminovaskular Sistem

Gambar 4. Teori Neurovaskular

Teori neurovaskular pada prinsipnya menjelaskan bahwa adanya migrain


disebabkan oleh mekanisme neurogenik yang kemudian menyebabkan
gangguan perfusi serebral.
Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan
merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga
melepaskan CGRP (calcitonin gene-related peptide). CGRP akan berikatan
pada reseptornya di sel mast meningens dan akan merangsang pengeluaran
mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi steril pada neuron.
CGRP juga bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah.(9,11)
Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order
neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls nyeri. Teori sistem saraf
simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi
peningkatan kadar epinefrin.
Selanjutnya, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal sehingga terjadi
peningkatan kadar serotonin. Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan
menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran
darah di otak. Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf
trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi aura.
Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan dilatasi
pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri
kepala pada migren.(9,11)
3. Teori Cortical Spreading Depression (CSD)(7,12,11)
Cortical Spreading Depression (CSD) merupakan teori yang pertama kali
dikemukakan oleh Leao (1944) yang menjelaskan mekanisme migrain dengan
aura. CSD adalah gelombang neuron eksitatorik pada substansia grisea
korteks dari daerah cetusan asal (biasanya dimulai di regio occipital) dengan
kecepatan rambat 2-6 mm/ menit, yang kemudian menyebabkan periode
refrakter pada area yang telah dilewari arus. Depolarisasi yang terjadi ini
menyebabkan terjadinya fase aura, yang kemudian mengaktifkan nervus
trigeminal, yang menyebabkan fase nyeri kepala. Mekanisme neurokimia
yang terjadi selama fase perambatan yaitu pengeluaran kalium ke ekstrasel,
atau pengeluaran glutamat (asam amino eksitatorik) dari jaringan saraf. Hal
ini menyebabkan terjadinya depolarisasi yang merambat dan merangsang
jaringan sekitarnya untuk mengeluarkan neurotrasnmitter eksitatorik juga,
sehingga terjadilah CSD. Pada pemeriksaan Positron Emission Tomography
(PET) terlihat bahwa aliran darah cenderung berkurang selama fase aura/CSD.
Fase ini juga menurunkan laju metabolisme sel. Walaupun selama CSD
terjadi perambatan impuls saraf disertai penurunan laju metabolisme yang
menyebabkan terjadinya aura, adakalanya oligemia yang terjadi tidak
mencapai ambang dalam mencetuskan aura seperti yang terjadi pada migrain
tanpa aura.

Gambar 5. Cortical Spreading Depression

Adanya perambatan CSD kemudian mengaktivasi sistem


trigeminovaskular, yang selanjutnya akan merangsang nosiseptor pada
pembuluh darah duramater untuk mengeluarkan zat pemicu nyeri, seperti
calcitonin-gene related peptide (CGRP), substansia P, vasoactive intestinal
peptide (VIP) dan neurokinin A, yang kemudian berperan dalam terjadinya
sterile inflammation dan mekanisme nyeri.
Sebagai tambahan, melalui beberapa jalur mekanisme, CSD meningkatkan
ekspresi gen pengkode siklooksigenase (COX-2), Tumor Necrosis Factor-α
(TNF-α), interleukin 1β, dan enzim metaloproteinase. Aktivasi
metaloproteinase menyebabkan kerusakan sawar darah otak, yang
menyebabkan pengeluraran kalium, nitrit oksida, adenosin, dan produk lain
yang dihasilkan akibat CSD mejangkau dan merangsang ujung sarafbebas
nervus trigeminal terutama pada perivaskular duramater.
7. Manifestasi klinik

Gambar 6. Perjalanan Penyakit Migrain

Migrain merupakan nyeri kepala primer dengan serangan yang sering


berulang. Seseorang menjadi vulnerabel/beresiko, apabila terdapat faktor gen
seperti ATP1A2 yang mengode subunit α2 pompa Na-K (kromosom 1), gen
yang mengode kanal kalsium tipe P/Q, dan gangguan ekspresi reseptor
dopamin, maka ambang seseorang untuk terjadinya serangan migrain itu
lebih besar, dan kemungkinan rekurensinya juga lebih besar.
Selain faktor genetik, seseorang dengan lingkungan yang penuh
dengan pencetus migrain (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) juga
membuat orang rentan terhadap migrain. Setelah kedua faktor itu terpenuhi,
maka terjadi serangan.
a. Fase prodromal terjadi beberapa hari hingga beberapa jam sebelum nyeri
kepala. Fase ini merupakan gejala-gejala non-spesifik yang biasanya
dialami penderita seperti lemas, terus mengantuk, rasa haus, anorexia,
sangat sensitif terhadap cahaya, aroma, dan suara, sering berkemih,
sangat menginginkan satu makanan tertentu, mudah marah, dsb.
b. Fase Aura yaitu fase yang dialami oleh penderita migrain dengan aura
(migrain klasik). Aura merupakan sekelompok manifestasi neurologi
fokal yang muncul maksimal selama 60 menit pada saat sebelum
serangan nyeri atau bersamaan dengan munculnya nyeri. Aspek neurologi
yang terkena itu visual, sensorik, dan berbahasa, baik itu bersifat positif
atau negatif, dan cenderung reversibel. Contoh gejalanya yaitu terdapat
skotoma multipel atau soliter, defek lapang pandang homonim
hemianopia, gangguan penglihatan total, gejala sensorik seperti parestesia
mulai dari tangan hingga kewajah yang dapat diikuti oleh rasa baal, serta
gejala gangguan berbahasa. Fase ini dapat tidak ada pada pasien dengan
migrain tanpa aura.
c. Fase nyeri kepala, berlangsung 4-72 jam dengan intensitas nyeri sedang-
berat, berdenyut, bersifat unilateral (kadang bilateral) dengan predileksi di
fronto-temporal, serta cenderung bertambah ketika aktivitas fisik
meningkat.
d. Fase postdromal merupakan gejala ikutan pasca serangan nyeri kepala,
dapat berlangsung hingga 24 jam, dengan karakteristik pasien merasa
lelah, mood tidak stabil, nyeri otot, dan kurang nafsu makan.(2,12)
8. Penegakan diagnosis
Diagnosis migraine, baik itu migraine tanpa aura (common migraine)
maupun migraine klasik (classic migraine) sepenuhnya berdasarkan gejala
klinik. Gejala yang paling utama adalah adanya keluhan nyeri kepala
unilateral di regio frontotemporal (meskipun nyeri bilateral juga terdapat
pada sebagian kecil kasus), yang terjadi secara tiba-tiba akibat faktor
pencetus dengan kualitas berdenyut berintensitas nyeri sedang-berat. Adapun
kriteria diagnosis untuk migraine tanpa aura adalah sebagai berikut :
A. Sedikitnya terdapat 5 kali serangan nyeri kepala, DAN memenuhi criteria
B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (belum diobati atau
sudah diobati namun belum berhasil)
C. Nyeri kepala disertai dua dari empat ciri-ciri berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang-berat
4. Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau aktivitas di luar kebiasaan
rutin (berjalan atau menaiki tangga)
D. Selama serangan nyeri kepala, minimal terdapat satu dari gejala berikut
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain
Selain migraine tanpa aura, dikenal juga migraine dengan aura (classic
migraine). Aura sendiri diartikan sebagai gejala disfungsi serebral fokal yang
pulih menyeluruh dalam jangka waktu < 60 menit yang dapat terjadi sebelum
serangan nyeri kepala (sebagian besar kasus), pada saat serangan atau setelah
serangan. Adapun kriteria diagnosis migraine dengan aura, yaitu(2, 3) :
A. Sedikitnya dua serangan nyeri kepala yang memenuhi criteria B dan C
B. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel berikut :
1. Visual
2. Sensorik
3. Bicara dan/atau bahasa
4. Motorik
5. Batang Otak
6. Retinal
C. Sedikitnya dua dari empat karakteristik berikut :
1. Sedikitnya satu gejala aura yang berkembang secara bertahap selama ≥
5 menit, dan/atau dua atau lebih gejala aura yang terjadi berurutan
2. Gejala aura berlangsung selama 5-60 menit
3. Sedikitnya satu gejala aura yang terjadi bersifat unilateral
4. Gejala aura bersamaan atau diikuti dengan gejala nyeri kepala sesuai
dengan criteria migrain tanpa aura
D. Tidak berkaitan dengan nyeri kepala akibat penyakit lain dan Transient
Ischemic Attack (TIA) telah disingkirkan.
9. Diagnosis Banding
Migrain termasuk nyeri kepala primer yang dimana penyebabnya
belum diketahui secara pasti. Untuk mendiagnosisnya pun menurut
PERDOSSI cukup dengan gejala klinis saja sesuai kriteria diagnosis yang
telah ditetapkan. Sehingga, butuh pengenalan lebih lanjut mengenai gejala
dan tanda khas dari migrain agar dapat membedakannya dengan nyeri kepala
tipe lain. Berikut adalah tabel perbandingan masing-masing nyeri kepala
yang dipertimbangkan sebagai diagnosis banding migrain.
Tabel 1. Diagnosis Banding Migrain

Tipe Lokasi Umur Gejala Klinik Faktor


Pencetus

Migrain Fronto- Dewasa Nyeri sedang- Cahaya,


tanpa aura temporal muda, kadang berat, suara,
(uni- anak-anak berdenyut alkohol,
bilateral) gangguantidur

Migrain Sama Sama dengan Sama dengan Sama dengan


dengan aura dengan atas atas atas + atas
gangguan
sensorik,
visual, otonom
Cluster Orbito- Dewasa muda Nyeri hebat, Tidak
Headache temporal dan laki-laki tidak diketahui
(Nyeri dewasa (90%) berdenyut, pasti, alkohol
kepala lakrimasi, pada beberapa
kluster) rinore, injeksio kasus
konjungtiva
Tension Fronto- Dewasa Tertekan, Kelelahan,
Headache ( Oksipital, muda, usia terikat tali, stress psikis
Nyeri menyeluruh pertengahan, tidak
kepala terkadang berdenyut,
ketegangan) anak-anak, berlangsung
wanita>pria berhari-hari,
bulan, tahunan
Temporal Unilater- Usia >50 Nyeri Tidak ada
Arteritis bilateral di tahun berdenyut,
(Giant-Cell regio kemudian
Arteritis temporalis persisten dan
terasa terbakar,
nyeri tekan
arteri
Neuralgia Unilateral, Usia Nyeri seperti Mengunyah,
Trigeminal mengikuti umumnya 60- tertusuk, berat, berbicara,
persarafan 70 tahun dan muncul menyikat gigi,
sensorik mendadak menyentuh
n.trigeminus area/lokasi
pada kepala nyeri

10. Penatalaksanaan
Secara umum, penanganan migrain terbagi dalam terapi farmakologis
dan non-farmakologis. Di mana untuk terapi non-farmakologis adalah dengan
menghindari faktor pencetus serangan, seperti perubahan pola tidur (kurang
tidur/ tidur berlebih), makanan yang merangsang, cahaya terlalu terang, stres,
kelelahan, perubahan cuaca, dsb.
Untuk terapi farmakologis, dibagi dalam dua bagian, yaitu terapi
abortif dan terapi profilaksis. Terapi abortif bertujuan untuk menangani
serangan nyeri akut. Terapi lini pertama adalah sebagai obat abortif
nonspesifik untuk serangan ringan sampai sedang atau serangan berat atau
berespons baik terhadap obat yang sama, dapat dipakai golongan analgesik
atau NSAID yang dijual bebas. Dosis obat lini 1 yang dapat diberikan yaitu:
 Paracetamol 100-600 mg/ 6-8 jam
 Aspirin 500-1000 mg/ 6-8 jam, maksimal 4 gram/ hari
 Ibuprofen 400-800 mg/ 6 jam, maksimal 2,4 gr/ hari
 Ketorolac 60 mg IM tiap 15-30 menit, maksimal 120 mg/hari, tidak boleh
lebih dari 5 hari
 Potasium diklofenak 50 mg-100 mg/hari, dosis tunggal
 Sodium naproksen 275 – 550 mg/ 2-6 jam, dosis maksimal 1,5 gr/ hari
 Steroid seperti dexametahson atau methylprednisolon dapat menjadi
pilihan pada pasien dengan status migrenosus (serangan migrain >72
jam)
Terapi lini kedua adalah sebagai obat abortif spesifik apabila tidak
responsif terhadap analgesik dan NSAID (obat abortif nonspesifik) seperti
golongan triptan dan dihidroergotamin (DHE). Golongan triptan digunakan
pada migren sedang sampai sedang atau migren ringan sampai sedang yang
tidak responsif terhadap analgesik atau NSAID. Sedangkan golongan
dehidroergotamin seperti alkaloid ergot (ergotamin tartat) walaupun
efikasinya tidak lebih baik dari triptan namun golongan tersebut memiliki
rekurensi yang lebih rendah pada beberapa pasien. Selain itu, alkaloid ergot
dapat menginduksi drug overuse headache sangat cepat pada dosis sangat
rendah sehingga penggunaannya dibatasi hanya sampai 10 hari per bulan dan
tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuer dan
cerebrovaskuler, hipertensi, gagal ginjal, kehamilan, dan masa laktasi. Obat
golongan triptan bekerja dengan cara agonisasi dari reseptor 5HTIB/ID seperti
sumatriptan 6 mg subkutan atau 50-100 mg per oral, atau derivat ergot
seperti ergotamin 1-2 mg yang dapat diberikan secara oral, subkutan ataupun
rektal.
Pemberian antiemetik diberikan pada serangan migren akut untuk
mengatasi nausea dan potensi emesis, diduga obat-obat antiemetik
meningkatkan resorpsi analgesik. Metoklopramid 20 mg direkomendasikan
untuk dewasa dan remaja sedangkan domperidon 10 mg untuk anak-anak.
Terapi profilaktik umumnya diindikasikan apabila pasien mengalami
lebih dari dua kali serangan migren per bulan atau yang aktivitas sehari-
harinya terganggu akibat nyeri kepala. Obat yang dapat digunakan antara lain
amitriptilin, propranolol, dan nadolol sebagai lini pertama. Untuk lini kedua
dapat digunakan topiramat, gabapentin, venlafaksin, kandesartan, lisinopril,
magnesium, dan riboflavin. Untuk lini ketiga, dapat dipakai
flunarizin,pizotifen, dan natrium divalproat. Beberapa pertimbangan khusus
sebelum dokter memberikan profilaktik meliputi ada tidaknya hipertensi atau
penyakit kardiovaskuler, gangguan mood, insomnia, kejang, obesitas,
kehamilan, dan toleransi rendah terhadap efek samping medikasi.
11. Prognosis dan Komplikasi
Pada umumnya migren dapat sembuh sempurna jika dapatmengurangi
paparan atau menghindari faktor pencetus,dan meminum obat yang teratur.
Tetapi berdasarkan penelitian dalam beberapa studi, terjadi peningkatan
resiko untuk menderita stroke pada pasien riwayat migren, terutama pada
perempuan. Namun, hingga saat ini masih kontroversial dan diperdebatkan.
Komplikasi dari migrain yaitu meningkatnya resiko untuk terserang
stroke. Didapatkan bahwa pasien migrain baik perempuan maupun laki-laki
beresiko 2-5 kali untuk mendapatkan stroke subklinis serebellum, terutama
yang mengalami migrain dengan aura. Selain itu, migrain juga dapat memicu
timbulnya komplikasi penyakit metabolik pada seseorang seperti diabetes
melitus dan hipertensi, dyslipidemia, dan penyakit jantung iskemik.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri kepala
cenut-cenut sebelah kanan sejak jam 12.00 siang . Keluhan disertai mual dan
muntah 5 kali. Lalu pasien juga mengeluhkan kurang nyaman terhadap cahaya
yang terlalu terang. Keluhan pasien memberat saat aktifitas, menurun saat
istirahat. Keluhan pasien berada di angka 8. Pusing berputar (-), demam(-).
Pasien mengaku akhir-akhir ini sedang banyak tugas dan beban kerjaan yang
belum diselesain sehingga banyak yang difikirkan. Sebelumnya pasien sudah
minum asam mefenamat namun keluhan belum membaik. BAB normal
2x/hari warna kuning konsistensi lunak. BAK normal, berwarna kuning,
volume cukup. Sebulan yang lalu pasien ada riwayat kolesterol tinggi.
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensorik, Reflek fisiologi normal,
reflek patologis dan nervus cranialis normaldalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan cholesterol total
meinngkat, trigliserida meningkat, dan LDL cholesterol meningkat..
Pemeriksaan TCD didapatkan L-ACA 1,77 menunjukan aliran vaskularisasi
intracranialnya terganggu
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis migrain tanpa aura, dimana gejala utama berupa
nyeri kepala berdenyut pada salah satu sisi kepala, Intensitas nyeri sedang-
berat, sedikitnya terdapat 5 kali serangan nyeri kepala, DAN memenuhi
criteria Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (belum diobati
atau sudah diobati namun belum berhasil), Selama serangan nyeri kepala,
minimal terdapat satu dari gejala (Mual dan/atau muntah, Fotofobia dan stress
fonofobia), Tidak berkaitan dengan penyakit lain. Etiologi dan faktor pencetus
migrain pada pasien ini yaitu stres akibat pikiran pada pekerjaannya.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah 1) infus asering 20 tpm, sebagai
terapi cairan kristaloid + vitamin yang baik untuk saraf; 2) ketorolak 30 mg
injeksi 3x1, merupakan obat golongan non steroid anti-inflamatory drugs
(NSID), berguna untuk meredakan nyeri; 3) ondansetron 4mg injeksi 3x1,
merupakan penghambat serotonin yang bereaksi pada reseptor 5HT3 sehingga
membuat menghambat mual dan berhenti muntah; 4) Citicolin 250 mg injeksi
per 12 jam, merupakan obat yang berfungsi mencegah kerusakan otak
(neuroproteksi) dan membantu pembentukan membran sel di otak
(neurorepair); 5) PO gabapentin 1x250 mg, merupakan obat anti konvulsan
dan obat untuk nyeri neuropatik; 6) PO ericaf 2 mg 2x1, merupakan obat yang
terdiri dari Ergotamin dan cafein dimana ergotamin bekerja untuk mengatasi
migrain bila diberikan pada awal serangan, berdasarkan efek vasokontriksi
pada arteri karotis eksterna yang terdilatasi, juga bekerja untuk menghambat
neuron serotonik sentral yang memperantarakan transmisi nyeri dan cafein
meningkatkan absorpsi dan efektivitas ergotamin pada penderita migrain;
7) omeprazol 40 mg injeksi 2x1, merupakan obat golongan proton
pump inhibitor (PPI), berguna untuk mengatasi nyeri perut karena asam
lambung; 8) PO Depakot 250 mg 2x1, berisi Divalproex sodium yang
merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan gangguan kejang,
gangguan bipolar, kecemasan, serta mencegah sakit kepala migrain. Obat ini
bekerja dengan mengembalikan keseimbangan zat alami tertentu
(neurotransmitter) di otak; 9) PO ericaf 2 mg 2x1, merupakan obat yang
terdiri dari Ergotamin dan cafein dimana ergotamin bekerja untuk mengatasi
migrain bila diberikan pada awal serangan, berdasarkan efek vasokontriksi
pada arteri karotis eksterna yang terdilatasi, juga bekerja untuk menghambat
neuron serotonik sentral yang memperantarakan transmisi nyeri dan cafein
meningkatkan absorpsi dan efektivitas ergotamin pada penderita migrain;
10) PO Clopidogrel 75mg 1x1, merupakan obat antiplatelet golongan
thienopyridine, obat yang membantu menjaga darah mengalir lancar di dalam
tubuh, yang menghambat secara selektif ikatan antara Adenosine Difosfat
(ADP) dengan platelet reseptor P2Y12, kemudian mengaktivasi glikoprotein
GPIIb / IIIa kompleks sehingga mengurangi agregasi trombosit; 11)
Neurobion 3x1, merupakan suplemen vitamin neurotropik yang mengandung
vitamin B kompleks dosis tinggi, termasuk B1, B6, dan B12. Ketiga vitamin
ini penting untuk metabolisme tubuh, terutama di sistem saraf perifer dan
pusat; 12) atorvastatin 20 mg tab 1x1 PO, merupakan obat dyslipidemic
agents golongan statin, berguna untuk menurunkan kadar kolesterol darah.
B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini didiagnosis
migrain dengan aura. Tatalaksana yang telah diberikan

DAFTAR PUSTAKA

Amin, R.J., Andrade, N.S., & Neuman. B.J. (2017). Lumbar disc herniation. Curr rev
musculoskeletal med. 10: 507-516.
Autio, R. (2006). MRI of Herniated Nucleus Pulpolsus. Oulu: Faculty of Medicine,
University of Oulu.

Devereaux, M.W. (2007). Anatomy and examination of the spine. Neurol Clin. 25:
331-351.

Galvez, M., Cordovez, J., Okuma, C., Montoya, C., & Asahi, A. (2017). Differential
diagnoses for disc herniation. Revista Radiologia. 23(2): 66-76.

Harsono. (2015). Buku Ajar Neurologi Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia: Yogyakarta.

Huang, W., Han, Z., Liu, J., Yu, L., & Yu, X.. (2016). Risk factors for recurrent
lumbar disc herniation. Medicine, 95(2), 1-6.

Kimm, S., Lee, S., Park, W., & Kim, E. (2017). Complications of lumbar disc
herniationsfollowing trans-sacral epiduroscopic lumbardecompression: a
single-center,retrospective study. Journal of Orthopaedic Surgery and
Reasearch. 12: 187.

Raj, P.P. (2008). Intervertebral disc: anatomy-physiology-pathophysiology-treatment.


World Institute of Pain. 8 (1): 18-44.

Ropper, A.H. & Brown, R.H. (2005). Principles of Neurology. 8th Edition. United
States of America: McGraw-Hill.

Vialle, L.R., Vialle, E.N., Heano, J.E.S., & Giraldo, G. (2010). Lumbar disc
herniation. Rev Bras Orto: 45 (1): 17-22.

Waxman, S.G. (2010). Clinical Neuroanatomy. Edisi 26. New Haven: McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai