Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

TUBERKULOSIS PARU BTA NEGATIF KASUS BARU DENGAN


KOMPLIKASI EFUSI PLEURA SINISTRA MASIF
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Pembimbing:
dr. Aprilludin, Sp.P

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA

2019

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
TUBERKULOSIS PARU BTA NEGATIF KASUS BARU DENGAN
KOMPLIKASI EFUSI PLEURA SINISTRA MASIF

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Senin/18 Maret 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Aprilludin, Sp.P

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS

Nama : Tn. N
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Dusun Krajan RT 04 RW 01, Duren, Tengaran.
Tanggal Masuk : 04 Maret 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan demam sudah
14 hari. Demam dirasakan naik turun. Riwayat mimisan, gusi berdarah dan
berpergian ke daerah endemik disangkal. Pasien juga mengeluh batuk
berdahak kurang lebih sudah satu bulan. Sudah diobati dengan obat yang
dibeli di warung tetapi tetap tidak membaik. Nafsu makan pasien menurun
kurang lebih sudah satu bulan ini. Mual, muntah, nyeri perut, nyeri dada dan
sesak nafas disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Satu hari setelah dirawat, pasien mengeluhkan sesak nafas secara
tiba-tiba, berlangsung terus menerus, dan tidak disertai suara ngik-ngik.
Keluhan sesak dirasakan berat saat bernafas dan tidak membaik dengan
perubahan posisi yang membuatnya sulit untuk melakukan aktifitas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung, asma,
dan diabetes melitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluarga pasien (istri) didiagnosis menderita tuberkulosis paru
kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sudah menjalani pengobatan selama 6

1
bulan dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit DM,
hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung pada keluarga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien merupakan seorah buruh tani. Sehari-hari bekerja di sawah
dari pagi hari sampai sore. Dirumah pasien tinggal bersama istri dan
anaknya. Rumah tempat tinggal pasien berada di perkampungan yang padat
penduduk. Sinar matahari tidak dapat masuk kedalam rumah, ventilasi
dirumahnya juga tidak terlalu baik.

C. PEMERIKSAAN FISIK
04 Maret 2019
Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6)
IGD Bangsal
Tekanan Darah : 105/75 Tekanan Darah : 140/80
Vital Signs /
mmhg mmhg
Tanda-Tanda
Nadi : 141x/menit Nadi : 90x/menit.
Vital
Respirasi : 26x/menit Respirasi : 25x/menit
Suhu :38,3 0C Suhu :39,20C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis
tengah, JVP 5±1
Thorax
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk, ginekomasti (-), spider navi (-)
Palpasi Terdapat ketertinggalan gerak di lapang paru sinistra.
Vokal fremitus lapang paru sisnistra menurun
sedangkan dextra normal.
Perkusi Redup, terutama dibagian basal paru sinistra

2
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ menurun dilapang
paru sinistra
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Ictus cordis teraba 2cm dari SIC V linea parasternalis
Palpasi
sinistra
Jantung tidak membesar, namun terdorong ke arah
dextra, dengan batas paru-jantung:

 Kanan atas: SIC II bergeser 2cm dari Linea Para


Perkusi Sternalis Dextra
 Kanan bawah: SIC IV bergeser 2cm dari Linea
Para Sternalis Dextra
 Kiri atas: SIC II Linea Sternalis
 Kiri bawah: SIC IV begeser 2cm dari Linea Medio
Clavicularis Sinistra
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
Auskultasi
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Asites (-), caput medusa (-), striae (-), sikatriks (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak tidak ada
pembesaran
Perkusi Timpani, batas paru-hepar dan paru-lien dalam batas
normal
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, WPK <2 detik
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan EKG

Gambar 1.1. Hasil EKG tanggal 04 Maret 2019

Kesimpulan:
Old miokard infark anterior

2. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (04 Maret 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 7,13 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,95 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 14,4 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 43,6 37 – 47 vol%
MCV 88,1 85 – 100 Fl
MCH 29,1 28 – 31 Pg
MCHC 33,0 30 – 35 gr/dL
Trombosit 265 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah B
Hitung Jenis

4
Eosinophil 0,2 1–6 %
Basophil 0,5 0–1 %
Limfosit 16,0 20 – 45 %
Monosit 3,3 2–8 %
Neutrofil 80,0 40 – 75 %
Urinalisa
Bau Khas
Warna Kuning Kuning
pH 6,0
Kejernihan keruh
Berat jenis >1,025 1,015-1,025 mg/dl
Reduksi Negatif mg/dl
Bilirubin Negatif <0,20
Urobilinogen Norm (0,1) 0,2-1,0 mg/dl
Keton Negatif <5 mg/dl
Nitrit Negatif Negatif
Blood Negatif <5 /mikro
Leukosit esterase Positif 2 (75) <10 /mikro
Protein-albumin Negatif Negatif mg/dl
Mikroskopis
Epitel 1-4 5-15 /LPK
Leukosit 4-6 1-4 /LPB
Erythrosit 0-1 0-1 /LPB
Kristal Negatif
Silinder Negatif
Bakteri Negatif Negatif /LPB
Benang Mucus Negatif /LPK
Lain-lain Negatif Negatif
Mikrobiologi
Mikroskopis
Sputum BTA Sewaktu Negatif Negatif
Sputum BTA Pagi Negatif Negatif
Sputum BTA Sewaktu Negatif Negatif

5
3. Pemeriksaan Radiologi

Gambar 1.2. Foto thorax (04 Maret 2019)


Hasil:
- Tampak opasitas homogen yang hampir memenuhi hemithorax sinistra, menutup
sinus costophrenicus dan diafragma sinistra
- Tampak perselubungan semiopaq inhomogen di apex pulmo dextra et sinistra
dengan air bronchogram (+)
- Diafragma dextra tampak licin
- Sinus costofrenicus dextra tampak lancip
- Cor, CTR tak valid dinilai o/k batas kanan-kiri tertutup opasitas di hemithorax
- Sisterna tulang yang tervisualisasi intak

6
Kesimpulan:
- Gambaran TB Paru aktif dengan pleural effusion sinistra masive
- Besar cor tak valid dinilai

E. ASSESSMENT
Tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru dengan komplikasi efusi pleura
masif sinistra dan penyulit penyakit jantung iskemik

F. PENATALAKSANAAN/PLANNING
IGD
Tatalaksana 04-03-2019
- Infus RL 20 tpm - Pemeriksaan
- O2 3 liter/menit laboratorium (Darah
- Injeksi ceftriaxone 2x1 rutin, Ureum, Kreatinin,
gram SGOT/SGPT, GDS dan
- Infus PCT jika suhu >39 Elektrolit
derajat
- Injeksi ranitidin 1 amp IV
- Tab PCT 3x500 jika suhu
>37 derajat

BANGSAL
Tatalaksana 04-03-2019
- Infus RL 30 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2x2
gram
- PCT tab 3x1
- Omeprazol 2x1
- Neurodex 1x1 tab
- Nitrocaf 2x1 tab

- EKG

7
Tatalaksana 05-03-2019
- Infus RL 30 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
- PCT tab 3x1
- Omeprazol 2x1
- Neurodex 1x1 tab
- Nitrocaf 2x1 tab
- Konsul dr. Aprilludin, Sp.P

Tatalaksana 06-03-2019
- Infus RL 30 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
- PCT tab 3x1
- Omeprazol 2x1
- Neurodex 1x1 tab
- Nitrocaf 2x1 tab
- WSD
- PO Lefofloxacin 1x750 mg
- Telah dilakukan pungsi, didapatkan 250 cc cairan berwarna keruh
- Injeksi ketorolac per 12 jam
- Foto ulang setelah WSD

Tatalaksana 07-03-2019
- Infus RL 30 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
- PCT tab 3x1
- Omeprazol 2x1
- Neurodex 1x1 tab
- Nitrocaf 2x1 tab
- PO Lefofloxacin 1x750 mg
- Injeksi ketorolac per 8 jam
- Tes ADA cairan pleura

1
Tatalaksana 08-03-2019
- Infus RL 30 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
- PCT tab 3x1
- Omeprazol 2x1
- Neurodex 1x1 tab
- Nitrocaf 2x1 tab
- PO Lefofloxacin 1x750 mg
- Injeksi ketorolac per 8 jam
- Tes ADA cairan pleura

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2011).
2. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya
akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN (Depkes RI, 2014).
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan
jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional
yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)(Depkes
RI, 2014).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam

3
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. (Depkes RI, 2011).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk.
Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman
TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Depkes RI, 2018).
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini. (Depkes RI, 2018).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi (TBCTA, 2006).

4
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (TBCTA, 2006).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (TBCTA, 2006).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus
reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain (TBCTA, 2006).
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita (TBCTA, 2006).

5
Gambar 2.1. Patogenesis Tuberkulosis Paru
3. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara
klinik (TBCTA, 2006).
a. Gejala Lokal
Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah dan sesak nafas. (Depkes RI,
2018)
b. Gejala Sistemik
Keluhan sistemik berupa badan terasa lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. (Depkes RI, 2018).

6
4. Klasifikasi Tuberkulosis paru
a. Klasifikasi berdasarkan lokal anatomi penyakit
1) TB Paru
- Tuberkulosis paru. Merupakan TB yang menyerang parenkim paru.
- Limfadenitis TB di rongga dada (kelenjar pada hilus dan atau mediastinum) dan
efusi pleura tanpa gambaran yang endukung radiologis TB pada paru
dinyatakan sebagai TB ekstra paru (Depkes RI, 2018)
2) TB Paru Ekstra Paru
- Tuberkulosis ekstra paru. Merupakan TB yang menyerang organ selain paru
(pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kemih dan alat kelamin)
- Gejala sesuai organ yang terkena.
- Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan yang terkena (Depkes RI, 2018).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
1) Mono resisten (TB MR)
Resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
2) Poli resisten (TB PR)
Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid dan
rifampisin secara bersamaan.
3) Multi drug resistan (TB MDR)
Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.
4) Extensive drug resistan (TB XDR)
Adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
5) Resistan rifampisin (TB RR)
Resistan terhadap rifampisin dngan atau tanpa resistan terhadap OAT lain yang
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional) (Depkes RI, 2018)

7
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1) Pasien kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (< dari 28 dosis).
2) Pasien pernah diobati TB
a) Pasien kambuh (Relaps)
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan
saat ini didiagnosa TB berdasar hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis.
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(sebelumnya dikenal sebagai pasien setelah putus berobat/default).
d) Lain-lain
Semua pasien TB yang pernah diobati namun hasil pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien dengan riwayat pengobatan yang tidak diketahui sebelumnya (Depkes
RI, 2018).
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (co-infeksi TB/HIV)
2) Pasien TB dengan HIV negatif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui yaitu
5. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
a. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
d. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
e. Rontgen dada (thorax photo).
f. Uji tuberkulin.

8
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain (Depkes RI, 2018).
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2018).
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis
langsung, biakan, atau tes diagnostik cepat yang direkomendasikan Kemenkes, misal
GeneXpert). Yang termasuk dalam kelompok ini yaitu:
 Pasien TB Paru BTA positif
 PAsien TB Paru hasil tes cepat M.Tb positif
 Psien TB Paru hasil biakan M.Tb positif
 Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, biak dengan BTA,
biakan, atau tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
 TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. (Depkes RI, 2018)
Pasien TB terdiagnosa secara klinis, adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria
diagnosis secara bakteriologis tapi didiagnosa sebagai TB aktif oleh dokter, dan
diputuskan diberiksan pengobatan TB. Yang termasuk dengan kelompok ini yaitu:
 Pasien TB paru BTA negatif dengan pemeriksaan foto thoraks mendukung TB
 Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
 TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.

9
Gambar 2.2. Alur diagnosis TB Paru
6. Tatalaksana
Prinsip pengobatan TB yaitu: (1) Diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi (2) Diberikan dalam
dosis yang tepat (3) Ditellan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
sampai pengobatan sebelasi (4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup
terbagi dalam tahap awal serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan. (Depkes RI,
2018).
Tahap pengobatan TB dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Tahap awal: pengobatan tiap
hari. Tujuan tahap ini untuk menurunkan jumlah kuman dalam tubuh dan meminimalisir

10
pengarug sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapat pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan
2 bulan. Pada umumnya daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu. (2) Tahap lanjutan: penting untuk membunuh sisa kuman yang masih
ada dalam tubuh terutama kuman yang persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. (Depkes RI, 2018).
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon
Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas:
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu:
a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
- Penderita baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Penderita TB paru terdiagnosis klinis
- TB ekstra paru (Depkes RI, 2018).
b. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan
ulang):
- Penderita kambuh.
- Penderita gagal pada pengobatan OAT kategori 1 sebelumnya.
- Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat (lost to follow up).
7. Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
b. Komplikasi pada stadium lanjut, seperti:
- Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik.
- Kolaps lobus akibat sumbatan duktus.

11
- Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
- Pneumotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah.
- Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan sebagainya
(Depkes RI, 2018).

12
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Pada kasus ini datang seorang laki laki berusia 45 tahun ke IGD RSUD Salatiga
dengan keluhan demam. Demam dirasakan naik turun sudah kurang lebih 14 hari. Riwayat
mimisan, gusi berdarah dan berpergian ke daerah endemik disangkal. Pasien juga
mengeluh batuk berdahak kurang lebih sudah satu bulan. Sudah diobati dengan obat yang
dibeli di warung tetapi tetap tidak membaik. Nafsu makan pasien menurun kurang lebih
sudah satu bulan ini. Mual, muntah, nyeri perut, nyeri dada dan sesak nafas disangkal. BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Satu hari setelah dirawat, pasien mengeluhkan sesak nafas
secara tiba-tiba, berlangsung terus menerus, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan
sesak dirasakan berat saat bernafas dan tidak membaik dengan perubahan posisi yang
membuatnya sulit untuk melakukan aktifitas.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, jantung dan
asma. Keluarga pasien (istri) didiagnosis menderita tuberkulosis paru kurang lebih 2 tahun
yang lalu, dan sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan dan sekarang sudah dinyatakan
sembuh. Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung pada keluarga
disangkal.
Pasien merupakan seorang buruh tani. Sehari-hari bekerja di sawah dari pagi hari
sampai sore. Dirumah pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Rumah tempat tinggal
pasien berada di perkampungan yang padat penduduk. Sinar matahari tidak dapat masuk
kedalam rumah, ventilasi dirumahnya juga tidak terlalu baik..
Dari pemeriksaan status generalisata pasien didapatkan hasil bahwa suhu awal saat
di IGD yaitu 38oC, namun pada saat sudah dipindahkan dibangsal suhu pasien mendadak
naik menjadi 39,2oC, nadi: 90x/menit dan pernafasan 25x/menit. Hasil pemeriksaan dari
kepala dan leher, tidak didapatkan adanya konjungtiva anemis. Saat dilakukan palpasi tidak
didapatkan pembesaran limfonodi, tidak ada deviasi trakea dan jugular venous pressure
(JVP) dalam batas normal, tidak ada peningkatan maupun penurunan. Pada pemeriksaan
thorax didapatkan hasil bahwa bentuk dadanya simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk. Palpasi thorax menunjukkan adanya ketertinggalan gerak terutama di lapang paru
sinistra serta terdapat penurunan vokal fremitus di lapang paru sinistra. Saat dilakukan
perkusi, suara yang dihasilkan redup terutama dibagian basal paru sinistra, ini menandakan

13
bahwa adanya cairan didalam rongga pleura. Pada auskultasi paru didapatkan suara dasar
vesikuler menurun di lapang paru sinistra, sedangkan pada lapang paru dextra dalam batas
normal, suara tambahan seperti ronki dan wheezing tidak ditemukan. Pada pemeriksaan
jantung tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis, perkusi jantung juga menunjukkan hasil
normal, tidak ada pembesaran jantung namun terdapat pergeseran jantung, kemungkinan
akibat efusi pleura masif pada paru sinistra, sehingga jantung sedikit bergeser kearah dextra.
Saat dilakukan asukultasi suara jantung juga normal tidak ada suara tambahan maupun
bising jantung. Pemeriksaan abdomen tidak menunjukan adanya pembesaran dinding
abdomen, bising usus dalam batas normal, tidak terdapat nyeri tekan, serta tidak terdapat
pembesaran hepar dan lien. Ekstremitas baik superior dan inferior tidak didapatkan adanya
edema piting pada kedua tangan dan kakinya.
Pasien kemudian dirawat inap dibangsal untuk mengevaluasi demam yang dirasakan
kurang lebih sudah 14 hari, pasien kemudian dilakukan usulan pemeriksaan laboratorium
berupa darah rutin, urin rutin, EKG dan foto rontgen thorax. Dari hasil pemeriksaan
hematologi tidak didapatkan adanya kelainan, semua masih dalam batas normal. Tidak ada
penurunan trombosit dan peningkatan hematokrit, sehingga diagnosis banding demam
dengue dapat disingkirkan. Hasil pemeriksaan urinalisa juga dalam batas normal, sehingga
diagnosis banding demam akibat infeksi saluran kemih dapat disingkirkan. Hasil dari
pemeriksaan rekam jantung menunjukkan adanya Q patologis di sadapan V1 dan V2, hal
ini menunjukkan bahwa ada old miokard infark (OMI), oleh karena itu pasien didiagnosis
menderita penyakit jantung iskemik. Namun dari hasil anamnesis pasien tidak pernah
mengeluhkan kelainan yang mengarah ke penyakit jantung iskemik seperti dada terasa berat
dan nyeri, sering cepat lelah serta sesak nafas.
Hasil dari pemeriksaan foto thorax pasien menunjukkan adanya opasitas homogen
yang hampir memenuhi hemithorax sinistra, menutup sinus costophrenicus dan diafragma
sinistra, selain itu juga tampak perselubungan semiopaq inhomogen di apex pulmo dextra
et sinistra dengan air bronchogram (+), diafragma dextra tampak licin, sinus costofrenicus
dextra tampak lancip, CTR tak valid dinilai oleh karena batas kanan-kiri tertutup opasitas
di hemithorax. Dari penjabaran foto thorak tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu terdapat
gambaran TB Paru aktif dengan pleural effusion sinistra masive. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa pasien mengeluhkan demam yang tak kunjung sembuh selama kurang lebih 14
hari.

14
Pasien ini kemungkinan terinfeksi dari istrinya yang sebelumnya sudah pernah
didiagnosis menderita tuberkulosis paru 2 tahun yang lalu. Istri pasien sudah mendapatkan
pengobatan rutin selama 6 bulan dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Sumber penularan
adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman
tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan
dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut.
Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Setelah mengetahui adanya gambaran tb paru dan efusi pleura sinistra masif, serta
adanya klinis pasien yang merasakan sesak nafas secara mendadak dan tidak membaik
dengan perubahan posisi, maka selanjutnya dilakukan tindakan untuk mengeluarkan cairan
pada pleural space paru sinistra dengan water sealed drainage (WSD). WSD merupakan
suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan
dari cavum pleura. Tindakan ini biasanya dilakukan pada keadaan efusi pleura masif.
Setelah dilakukan WSD, keluar cairan kurang lebih 250 cc yang berwarna agak kekuningan
keruh (serous-xantho-ctrone). WSD dialirkan sehari maksimal 1500 cc atau bila pasien
mengeluhkan sesak, selang WSD di klem. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak
melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-
ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock
(hipotensi) atau edema paru. Dokter kemudian menyarankan untuk dilakukan foto thorak
ulang.
Hari kedua pemasangan WSD, keluar cairan lagi kurang lebih 1000 cc yang
berwarna keruh. Dokter kemudian menyarakan untuk dilakukan pemeriksaan cairan pleura
berupa tes ADA. Selain itu, pasien juga diprogram untuk dilakukan cek sputum BTA dari
dahak. Pemeriksaan aktivitas adenosine deaminase (ADA) yang dikeluarkan dari aktivitas
limfosit sangat berguna dalam menentukan tuberkulosis sebagai penyebab efusi pleura.

15
Pada penelitian di Mexico menyebutkan bahwa pasien dengan efusi pleura oleh karena
tuberkulosis mempunyai aktivitas ADA pada cairan pleura lebih dari 70 IU/L, dengan
sensitivitas tuberkulosis pleura 98% dan spesifisitasnya sebesar 96%. Karena hasil dari
WSD didapatkan cairan yang berwarna keruh yang menandakan adanya infeksi bakteri,
maka pasien mendapatkan tambahan antibiotik berupa levofloxacin 1x750 mg.
Setelah dilakukan pemeriksaan BTA sputum, didapatkan hasil yang negatif dari
ketiga spesimen dahak sewaktu, pagi, sewaktu. Pada sebagian besar TB paru, diagnosis
terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan
foto toraks. Namun ada beberapa kondisi dimana foto thorak diperlukan untuk
mendiagnosis TB paru. Beberapa indikasi yang memerlukan pemeriksaan foto thorak antara
lain yaitu: (1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
(2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). (3) Pasien tersebut diduga mengalami
komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami
hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Pemeriksaan foto toraks dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif diantaranya yaitu: (1) Bayangan
berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus
bawah paru. (2) Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular. (3) Bayangan bercak milier. (4) Efusi Pleura.
Apabila dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang sudah dilakukan pada pasien ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien ini sudah
dapat didiagnosis tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru dengan efusi pleura masif
sinistra. Penjelasannya dapat dilihat pada gambar 3.1.

16
Gambar 3.1. Alur diagnosis Tuberkulosis Paru
Efusi pleura yang terbentuk pada pasien ini merupakan komplikasi dari infeksi
tuberkulosis tersebut. Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terdapat penumpukan
cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit melainkan
manifestasi dari berbagai macam penyakit. Dalam keadaan normal cairan masuk ke dalam
rongga pleura dari kapiler di pleura parietal dan diserap melalui pembuluh limfe yang
berada di pleura visceral. Cairan juga bisa masuk ke rongga pleura melalui rongga intersisial
paru melalui pleura viscera atau dari rongga periotneum melalui celah sempit yang ada di
diafragma.

17
Efusi pleura yang pada pasien TB terjadi akibat antigen TB memasuki rongga pleura
sehingga terjadi interaksi dengan limfosit yang akan menghasikan suatu reaksi
hipersensitivtas tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler pleura terhadap protein, sehingga akan terbentuk cairan
pleura.

18
B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
pada kasus ini didiagnosis tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru dengan efusi pelura
masif sinistra dan penyulit penyakit jantung iskemik Penatalaksanaan yang diberikan pada
pasien ini yaitu pemasangan WSD untuk mengatasi efusi pleura sinistra masifnya,
kemudian pasien diberikan antibiotik non OAT sebagai terapi lini pertamanya karena dari
hasil BTA didapatkan ketiga spesimen negatif, obat yang diberikan yaitu levofloxaxin
1x750 mg. Beberapa pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan untuk
mendiagnosis asites pada pasien ini tidak dilakukan karena berbagai alsan dan kondisi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Soeparman . Jilid
II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal. 715 - 727.
Depkes RI., 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas TB.
Edisi 2 hal. 4-6
Depkes RI., 2014. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas TB.
Edisi 2 hal. 10-11
Depkes RI., 2018. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas TB.
Edisi 2 hal. 7-8
International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public Health.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006

20

Anda mungkin juga menyukai