Anda di halaman 1dari 44

REFLEKSI KASUS

“ Diabetes Mellitus”

Disusun Oleh:
Sinta Merlinda Yuni
1413010015

Pembimbing:
dr. Widodo .,Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul
Diabetes Mellitus

Disusun Oleh:
Sinta Merlinda Yuni
1413010015

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Kamis, 31 Januari 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Widodo .,Sp.PD


BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. w

Usia : 56 tahun

Alamat : Cabean Wetan, RT.20/04 Karang Duren, Kec. Tanggeran, Semarang

Masuk RS: 18 Januari 2019

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah 10 kali 1 hari sebelum masuk

rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Salatiga tanggal 18 januari 2019 dengan

keluhan muntah 10 kali 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai

lemas, pusing berputar, hipertensi, dan luka di kaki kanan sejak 2 minggu yang

lalu. 1 minggu yang lalu pasien di rawat inap di RSUD Salatiga dengan

Diabetes mellitus.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

1
Satu minggu yang lalu, pasien mengeluh pusing dan luka di kaki kanan.

Setelah diperiksakan, pasien didiagnosis penyakit diabetes mellitus dan

hipertensi. Pasien mendapatkan obat untuk keluhannya dan keluhannya sudah

mendingan sehingga dipulangkan. Pasien mengaku ada benjolan dileher

kirinya sejak kecil, namun tidak diperiksakan karena tidak mengganggu

aktivitasnya. Riwayat penyakit jantung, asma, alergi obat, makanan, minuman

atau alergen lainnya disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang menderita atau pernah menderita penyakit

serupa sebelumnya. Riwayat penyakit keturunan pada keluarga pasien seperti

tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit gula (diabetes melitus), penyakit

jantung, stroke, asma disangkal.

5. Riwayat Personal Sosial

Pasien seorang pembuat gula jawa setiap harinya. BAB dan BAK pasien

teratur. Pasien mengaku sering makan dan minum yang manis manis sejak

kecil. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

C. Pemeriksaan Fisik

 Kesan Umum : Baik


 Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Vital Signs
 Tekanan Darah : 164/93mmHg
 Nadi : 107x/menit
 Frekuensi Napas : 20x/menit

2
 Suhu : 36,7oC
 Head to toe
Kepala & Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Palpasi Pembesaran imfonodi (-), benjolan pada lobus kiri,
benjolan kenyal, mobile, tidak nyeri, ukuran
4x4cm, JVP tidak meningkat, Deviasi trakea (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas.
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan.
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang
paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V midclavicularis
sinistras
Perkusi Cardiomegali (-)
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi tidak ada jejas.
Auskultasi Peristaltik usus (+)
Perkusi Suara tipani pada kesembilan regio
Palpasi Nyeri tekan epigastric (+)

3
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), luka di pedis dextra
Palpasi Pitting edema pada pedis dextra(+), gangren pedis
dextra,akral hangat, capillary refill normal <2s

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Hasil pemeriksaan Laboratorium 19 Januari 2019 (pukul 07.49)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Leukosit 8,32 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,15 3,8-5,8 juta/ul
Hemoglobin 10,9 11,5-16,5 gr/dL
Hematokrit 31,8 40-52 vol%
MCV 76,7 80-96 fl
MCH 26,3 28 – 33 pg
MCHC 34,2 33 – 36 gr/dL
Trombosit 568* 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah O
Hitung Jenis
Eosinophil 0,2 2-4 %
Basophil 0,3 0–1 %
Limfosit 13,2 25– 60 %
Monosit 2,3 2–8 %
Neutrofil 84,0 50– 70 %
Kimia
GDS 373* < 140 mg/dL

4
Ureum 57 10 – 50 mg/dL
Creatinin 0,9 0,6-1,1 mg/dL
SGOT 9 < 31 U/L
SGPT 13 < 32 U/L
Imuno/Serologi
HBs Ag (Rapid) Negative Negative

 Hasil pemeriksaan Laboratorium 20 Januari 2019 (pukul 09.26)

Nilai Satuan
Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Kimia
Gula Darah 20-01-2019 mg/dL
< 140
Sewaktu 06.00 : 210
mg/dL
Gula Darah 20-01-2019
<140
Sewaktu 02.00 : 134

Gula Darah 19-01-2019


<140
Sewaktu 21.00 : 362
Gula Darah 19-01-2019 mg/dL
<140
Sewaktu 17.00 : 383

 Hasil Pemeriksaan Laboratorium 21 Januari 2019 (pukul 16:23)

Nilai Satuan
Pemeriksaan Hasil
Rujukan

Kimia

5
Gula Darah mg/dL
164 < 140
Sewaktu

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 22 Januari 2019 (pukul 07:48)

Nilai Satuan
Pemeriksaan Hasil
Rujukan

Kimia

Gula Darah mg/dL


183 < 140
Sewaktu

Imuno/Serologi

Free T4 1,78

T3 0,74

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 23 Januari 2019 (pukul 08:11)

Nilai Satuan
Pemeriksaan Hasil
Rujukan

Kimia

Gula Darah mg/dL


150 < 140
Sewaktu

2. Elektrokardiografi (EKG)

Hasil : normal sinus rhythm

6
E. Diagnosis

 Diabetes mellitus type 2

 Struma

F. Penatalaksanaan

 Tatalaksana 18-01-2019

- Inf. RL 20 tpm

- Inj. Ranitidin 1 A/12 jam

- Inj. Ondansetron 1 A/8 jam

- Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Betahistine 3x1 tab

- Flunarizine 3x1 tab

- Amlodipin 10mg

- Metformin 3x500 mg

- Pemeriksaan GDS pagi dan sore

 Tatalaksana 19-01-2019

Inf. RL 20 tpm

Inj. Ranitidin 1 A/12 jam

Inj. Ondansetron 1 A/8 jam

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

7
Betahistine 3x1 tab

Flunarizine 3x1 tab

Amlodipin 10mg

Metformin 3x500 mg

Pemeriksaan GDS pagi dan sore

 Tatalaksana 20-01-2019

Inf. RL 20 tpm

Inj. Ranitidin 1 A/12 jam

Inj. Ondansetron 4mg

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

Betahistine 3x1 tab

Flunarizine 3x1 tab

Amlodipin 10mg

Metformin 3x500 mg

Pemeriksaan GDS pagi dan sore

 Tatalaksana 21-01-2019

8
Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Inj. Novomix 3ml

- Inj. Ondansetron 4mg

- Inj. Omeprazole 20mg

Gabapentine 300mg

Cilostazol 100mg

Pemeriksaan GDS pagi dan sore

Tatalaksana 22-01-2019

Gabapentine 300mg

Cilostazol 100mg

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

Inj. Novomix 3ml

Inj. Ondansetron 4mg

Inj. Omeprazole 20mg

Pemeriksaan GDS pagi dan sore

Tatalaksana 23-01-2019

Gabapentine 300mg

9
Cilostazol 100mg

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

Inj. Novomix 3ml

Inj. Ondansetron 4mg

Inj. Omeprazole 20mg

Pemeriksaan GDS pagi dan sore

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

Insulin yaitu hormon penurun glukosa darah, meningkat dalam waktu beberapa
menit setelah makan dan kembali turun ke nilai dasar dalam waktu 3 jam. Insulin
berperan penting dalam mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Price &
Lorraine, 2007). Diabetes melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron.
Etiologi
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor antara lain :
bertambahnya usia harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas, kurangnya
aktifitas fisik, diet tinggi gula, riwayat keluarga diabetes melitus, dislipidemia, riwayat
melahirkan bayi >4 kg dan riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan (Depkes
RI,2008). Banyak orang yang berpotensi terkena diabetes melitus tipe 2 menghabiskan
bertahun-tahun dalam keadaan pra diabetes, yaitu suatu kondisi dimana kadar glukosa
darah lebih tinggi dari biasanya tapi tidak cukup tinggi untuk dignosis diabetes melitus
tipe 2 (Sutanto,2010). Pada diabetes melitus tipe 2, pada awalnya kelainan terletak pada
jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan disfungsi sel beta
pankreas, defek pada fase pertama sekresi insulin, yaitu antara lain, sekresi insulin oleh
pankreas mungkin cukup atau kurang namun terdapat keterlambatan sekresi insulin,
jumlah reseptor di jaringan perifer kurang antara 20.000 sampai 30.000, kadang-kadang
jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptornya jelek sehingga kerja insulin tidak
efektif, terdapat kelainan di pasca reseptor menyebabkan proses glikolisis intraseluler
terganggu dan adanya kelainan campuran.

11
Patofisiologi
Ketika glukosa masuk ke dalam jaringan, keseimbangan antara produksi glukosa
endogen dan ambilan glukosa oleh jaringan pun menjadi tidak seimbang. Peningkatan
glukosa plasma merangsang pelepasan insulin oleh sel-sel beta, menyebabkan
hiperinsulinemia. Kedua keadaan ini, hiperglisemia dan hiperinsulinemia akan
merangsang ambilan glukosa oleh jaringan splanknik (saluran cerna dan hati) dan
jaringan perifer terutama otot lurik serta menekan produksi glukosa endogen. Sebagian
besar glukosa (80-85%) yang terambil oleh jaringan perifer akan terkonsentrasi pada otot
lurik. Toleransi glukosa akan tetap terjaga normal selama masih dapat dikompensasi oleh
peningkatan sekresi insulin. Jadi, sel beta pankreas yang masih berfungsi normal mampu
menduga keparahan resistensi insulin serta mengatur sekresi insulin untuk
mempertahankan kenormalan toleransi glukosa. Kelainan yang tergambar pada diabetes
melitus tipe 2 berupa resistensi insulin dan penurunan fungsi sekretorik sel-sel beta.
Ketidakpekaan insulin dalam merespon peningkatan gula darah menyebabkan
peningkatan produksi glukosa oleh hati serta penurunan ambilan glukosa oleh jaringan.
Peningkatan kadar glukosa plasma dalam keadaan puasa merupakan cerminan dari
pengurangan ambilan glukosa oleh jaringan atau peningkatan glukoneogenesis. Jika
kadar glukosa darah meningkat sedemikian tinggi, ginjal tidak mampu lagi menyerap
balik glukosa yang tersaring sehingga glukosa akan keluar ke dalam urin (glukosuria).

12
Ketidakpekaan insulin di sel-sel hati dan jaringan perifer, terutama otot rangka,
mengakibatkan produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terbendung, sementara ambilan
dan penggunaan glukosa berkurang. Mekanisme tersebut terjadi terkait dengan defek
pengikatan reseptor insulin atau penurunan kemampuan insulin post reseptor.
Ketidakpekaan insulin semakin diperberat oleh peningkatan kadar asam lemak bebas
dalam darah dan berdampak lebih buruk pada kinerja sel-sel beta dalam menyekresikan
insulin/ lipotoksisitas (Arisman,2010).
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini
(PERKENI, 2011).

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi (pada pria) serta pruritus vulva (pada wanita).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu


(GDS)>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP ) ≥126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO
(GD2PP) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan
standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa.

13
Table 3.2 Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis (mg/dl).

Tes Sampel Bukan DM Belum Pasti DM DM

(pre diabetes)

Kadar glukosa Plasma <100 100-199 ≥200


darah sewaktu vena
(mg/dL)
Darah <90 90-199 ≥200
kapiler

Kadar glukosa Plasma <100 100-125 ≥126


darah puasa vena
(mg/dL)
Darah <90 90-99 ≥100
kapiler

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO


didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).

GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa


plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dl.

14
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM (pre diabetes). Kedua keadaan tersebut
juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular
dikemudian hari.

Bagan 3.1 Langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa

Penatalaksanaan

15
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes.
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalianglukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitaspenyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus


Edukasi danperilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan
penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasiendalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yangkomprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tandadan gejala hipoglikemia
serta cara mengatasinya harus diberikankepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.
Terapi gizi medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dankeluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan

16
makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali) seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat
dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-
malasan.

Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan (insulin) (PERKENI,2011).

Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan yaitu:

Pemicu Sekresi Insulin


Sulfonilurea

17
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan
merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan
kepada pasiendengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjaldan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2011).

Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU) dibagi


menjadi generasi pertama dan generasi kedua.
Sulfonilurea generasi pertama adalah acetohexmide,
tolbutamid, tolazamid dan klorpropamid. Sulfonilurea
generasi kedua adalah glibenklamid, glimepirid,
glipizid, gliburid dan glikazid. Glibenklamid, ada dua
dosis, 2,5 mg dan 5 mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai
15 mg, obat ini memiliki efek hipoglikemik yang cukup
kuat. Lama kerjanya termasuk intermediate antara 5-8
jam yang diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari.
Tolbutamid, biasanya tersedia dalam dosis 500 mg satu
tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short –acting)
sekitar 4 jam yang diberikan 1-3 kali sehari, di pagi,
siang dan sore hari. Dosis sehari Tolbutamid antara 500-
2000 mg. Gliklazid, dosis yang tersedia adalah 80 mg.
Lama kerja obat ini intermediate. Karena itu obat ini
memiliki efek hipoglikemik sedang sehingga jarang
menimbulkan hipoglikemia, dosis sehari antara 80

18
sampai 320 mg. Klorpropamid, dosis pemeliharaan
rerata klorpropamid 200 mg/hari, yang diberikan sebagai
dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid sebanding
dengan klorpropamid, tetapi lama kerjanya lebih pendek,
jika dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis tersebut harus
dibagi dan diberikan dua kali sehari. Sulfoniluria
golongan kedua seperti glimepirid telah disetujui untuk
digunakan sekali sehari sebagai monoterapi, dengan
dosis sebesar 1 mg/hari dengan dosis maksimal 8 mg.
Gliburid, dosis awal yang biasa diberikan 2,5 mg/hari
atau lebih kecil dan dosis pemeliharaan rerata 5-10 mg/
hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi
hari. Glipizid, dosis awal yang dianjurkan adalah 5
mg/hari yang dapat dinaikkan sampai 15 mg/hari yang
diberikan sebagai dosis tunggal (Katzung, 2011).

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial
(PERKENI, 2011). Repaglinid, obat ini diberikan
dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan
dosis maksimum 16 mg/hari (Katzung, 2011).

19
Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidinedion berikatan pada
PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidinedion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati.Pada pasien yang menggunakan
Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala (PERKENI, 2011). Terdapat dua tiazolidinedion kini
tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon. Pioglitazion dapat
diberikan sekali sehari dengan dosis awal 15-30 mg.
Rosiglitazon diberikan sehari atau dua kali sehari dengan
dosis 4-8 mg (Katzung, 2011).

Penghambat glukoneogenesis (biguanida)

Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi


produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes yang obesitas. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut

20
(PERKEN, 2011). Dosis metformin yang diberikan setelah
makan sekali sehari berkisar dari 500 mg sampai maksimum
sebesar 2,25 g/hari (Katzung, 2011).

Penghambat Glukosidase Alfa (Akarbose)


Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan
miglitol, diberikan sekali sehari dengan dosis 25-100 mg
sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan (Katzung,
2011).Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa
diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI, 2011).

DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,secara cepat
GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga
upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk
aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe
2.Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4

21
(penghambat DPP-4) atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP-1 agonis) (PERKENI,
2011). Eksentid merupakan inkretin pertama yang tersedia
untuk mengobati diabetes. Eksentid sebagai suatu analog
sintetik polipeptida 1 yang menyerupai glikagon (GLP-1).
Obat ini disuntikkan secara subkutan dalam waktu 60 menit
sebelum makan, terapi dimulai pada dosis 5 mcg dua kali
sehari, dengan dosis maksimum 10 mcg dua kali sehari.
Sitagliptin adalah suatu inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-
4), obat ini diberikan dengan dosis sebesar 100 mg yang
diberikan per oral sekali sehari (Katzung, 2011).

Suntikan insulin
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat
meningkat akibat adanya, Penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres
berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan
dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (PERKENI,
2011).

Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi
menjadi empat jenis, yakni:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

22
Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed


insulin).

Dasar pemikiran terapi insulin


Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola
sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal,


insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan


koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan


glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila
sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial
adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek
(short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial
dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kaliinsulin basal + 1 kali

23
insulin prandial (basal plus), atau 1 kalibasal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kaliprandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus(acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Bagan 3.2 Memulai pemberian terapi insulin

24
Tabel 3.3 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja

25
Penilaian hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa,glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah
padawaktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-
12 minggu sebelumnya.Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan
setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

26
Bagan 3 Algoritme pengelolaan DM tanpa dekompensasi
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor
yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka panjang.

Komplikasi Metabolik Akut

KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )


Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai
dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan
anion gap.
Hiperosmolar non ketotik (HNK)

27
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat (330- 380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal
atau sedikit meningkat.

Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus
selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia
lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang
fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar-debar,
banyak keringat, gemetar, dan rasalapar) dan gejala neuro-glikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.
Bagi pasien dengan kesadaran yangmasih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori
atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena.Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan
pada pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang
tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu
sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya
kesadaran.

Komplikasi Metabolik Kronis


Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus

melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-

pembuluh sedang dan besar (makroangiopati).

Mikroangiopati

28
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetikum), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetikum), otot-otot serta
kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens
dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma atau pelebaran sakular yang kecil dari arteriola retina.
Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina
dapat mengakibatkan kebutaan. Neuropati disebabkan oleh gangguan
jalur poliol akibat defisiensi insulin. Terdapat penimbunan sorbitol
sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan dapat
mengakibatkan kebutaan.

Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena penimbunan sorbitol
dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia, kelainan pembekuan darah.
Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan
penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan
stroke. Jika yang terkena arteri koronaria dan aorta, maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokard.

KAKI DIABETES

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang
tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum
dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan
ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangrene,
yang pada penderita diabetes mellitus disebut dengan gangrene diabetik .

29
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit
karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan,
dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob.

Klasifikasi Kaki Diabetes

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh
Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi
wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan
oleh International Working Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan
kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, neuropatik, sehingga arah
pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik.

Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner

Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit

Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.

Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis

Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal

Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

Patogenesis Kaki Diabetes

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah
ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut
trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar
glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga

30
mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan
menjadi ulkus kaki diabetes.

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah
dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh
hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis
merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena penumpukan
lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi
otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa
tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang
akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes
mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes

Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh
darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yang
mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkendali akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya
reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi
darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh

31
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes mellitus biasanya kadar
kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan
akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan
merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding pembuluh darah,
akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL (highdensity-
lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu
hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis.

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga


kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang
terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada
infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid
intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat
adanya glukosa darah yang tinggi karena merupakan media pertumbuhan bakteri yang
subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik
Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob yaitu Clostridium
Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum

2. STRUMA

A. Pengertian

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-folikel
terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin
besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non
toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih
tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

32
B. Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor


penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:

Defisiensi iodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.

Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.

Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak,
kacang kedelai).

Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide,


sulfonylurea dan litium).

C. Klasifikasi

Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:

1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan

2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan

3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal

4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.

Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:

33
a. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.

b. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala
ditegakkan.

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek


fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :

1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti yang
ditemukan pada Grave’s disease.

b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu lobus,
seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.

2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter

b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid


D. Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon
tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan

34
ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid..

Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid
Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul yoditironin (T3).

Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating
Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan
hormon metabolik tidak aktif.

Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid
sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran
kelenjar tyroid.

Struma Nodosa Nontoksik

3.4.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul
satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini
sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang
mungkin ada.

35
3.4.3 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo-
atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya gejala toksik
yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya
pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan,
sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma
nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral.
Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan
yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspiratoar.

Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

3.4.4 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam


teknik operasinya antara lain :

36
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan seberat 3
gram

b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan sebagian
kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah kerusakan pada
kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus

Indikasi operasi pada struma adalah:

a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

c. struma dengan gangguan tekanan

d. kosmetik.

Kontraindikassi operasi pada struma:

a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

37
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum
terkontrol

c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe anaplastik
yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan
reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit
dilakukan eksisi yang baik.

d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase
luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan
akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan

Informasi yang didapat dari anamnesis pada pasien adalah Pasien datang

ke IGD dengan keluhan muntah 10 kali 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan disertai lemas, pusing berputar, hipertensi, dan luka di kaki kanan sejak

2 minggu yang lalu. 1 minggu yang lalu pasien di rawat inap di RSUD Salatiga

dengan Diabetes mellitus.

Satu minggu yang lalu, pasien mengeluh pusing dan luka di kaki kanan.

Setelah diperiksakan, pasien didiagnosis penyakit diabetes mellitus dan hipertensi.

38
Pasien mendapatkan obat untuk keluhannya dan keluhannya sudah berkurang

sehingga dipulangkan. Pasien mengaku ada benjolan dileher kirinya sejak kecil,

namun tidak diperiksakan karena tidak mengganggu aktivitasnya. Riwayat

penyakit jantung, asma, alergi obat, makanan, minuman atau alergen lainnya

disangkal.

Keluarga pasien tidak ada yang menderita atau pernah menderita penyakit

serupa sebelumnya. Riwayat penyakit keturunan pada keluarga pasien seperti

tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit gula (diabetes melitus), penyakit

jantung, stroke, asma disangkal. Pasien seorang pembuat gula jawa setiap harinya.

BAB dan BAK pasien teratur. Pasien mengaku sering makan dan minum yang

manis manis sejak kecil. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal

Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan kesan umum,

kesadaran, tanda-tanda vital seperti nadi, pernafasan, suhu dalam batas normal,

kecuali tekanan darah pasien tinggi yakni 164/93. Pada pemeriksaan inspeksi dan

palpasi leher kiri, benjolan kenyal, mobile, tidak nyeri, ukuran 4x4cm .

Pemeriksaan laboratorim hari pertama di rumah sakit, menyatakan GDS pasien

tinggi yakni 373 dari nilai normal GDS. Hingga pada hari ke 4 GDS pasien turun

yakni 164.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

pasien didiagnosis Diabetes milletus type II, struma nodusa non toksik.

B. Kesimpulan

39
1. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

2. Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : bertambahnya

usia harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas, kurangnya aktifitas fisik, diet

tinggi gula, riwayat keluarga diabetes melitus, dislipidemia, riwayat melahirkan bayi >4

kg dan riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan

3.Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang

tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah,

gangguan persyarafan dan infeksi.

4. Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-

folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh

semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma

nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul

satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

40
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2010. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes


Care; Vol 38

Bertram G.Katzung.Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10.Jakarta. EGC;2010

Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme : Buku Ajar
Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.

Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit Binarupa Aksara,
Jakarta, 1997 : 15-19.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes


Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2011

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes
Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2011 diunduh tanggal 6
november2016http://www.pdui-pusat.com/wp-content/uploads/2015/12/SATELIT-
SIMPOSIUM-6.1-DM-UPDATE-DAN-Hb1C-OLEH-DR.-Dr.-Fatimah-Eliana-SpPD-
KEMD.pdf

Price SA, Wilson LM.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC;
2006

Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku Dua, EGC,
Jakarta, 1995 : 1071-1078.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna publishing; 2009.

Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat R.Jong
WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.

World Health Organization, 2011. Diabetes Mellitus. Available from:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html

41
42

Anda mungkin juga menyukai