Anda di halaman 1dari 15

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR :

TENTANG

TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN


SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG SERTA LOKASI FASILITAS
PERPINDAHAN MODA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 68


Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata
Cara dan Kriteria Penetapan Simpul dan Lokasi Terminal
Penumpang;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu


Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5468);
4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);
5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 75);
7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 68 Tahun
2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 1113);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA
CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI
TERMINAL PENUMPANG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan adalah serangkaian simpul
dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
2. Ruang lalu lintas adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak
pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan dan
fasilitas pendukung.
3. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda
dan intermoda berupa terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut,
pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.
4. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor umum yang digunakan
untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan
menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda
angkutan.
5. Simpul terminal penumpang adalah tempat yang diperuntukkan bagi
pergantian antarmoda dan intermoda yaitu wilayah administrasi
Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi terminal penumpang dengan
fungsi utama melayani kendaraan umum untuk angkutan lintas batas
negara dan/atau angkutan antarkota antar provinsi dan dipadukan
dengan pelayanan angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan
perkotaan, angkutan perdesaan dan/atau angkutan orang dengan
kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
6. Lokasi terminal penumpang adalah letak bangunan terminal pada
simpul jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang diperuntukkan bagi
pergantian antar moda dan/atau intermoda pada suatu wilayah tertentu
yang dinotasikan dengan titik koordinat.
7. Fasilitas perpindahan moda angkutan umum adalah fasilitas yang
dipergunakan untuk keterpaduan antar moda angkutan dan
kemudahan akses pada simpul transportasi yang meliputi bandar
udara, pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan serta sebagai
pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan
dan di luar badan jalan.
8. Menteri adalah Menteri Perhubungan.
9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat.

Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. kriteria dan tata cara penetapan simpul terminal penumpang;
b. kriteria dan tata cara penetapan lokasi terminal penumpang; dan
c. kriteria dan tata cara penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan
umum.

BAB II
KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN SIMPUL TERMINAL PENUMPANG

Bagian Kesatu
Kriteria Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 3
(1) Simpul terminal Penumpang terdiri atas:
a. simpul terminal Penumpang Tipe A;
b. simpul terminal Penumpang Tipe B; dan
c. simpul terminal Penumpang Tipe C.
(2) Simpul Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagai perwujudan dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 4
(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan memperhatikan:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
b. Rencana Umum Jaringan Trayek;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
d. pengembangan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
dan
e. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda
transportasi/ terdapat perpindahan moda transportasi.
(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan kriteria:
a. berada pada jaringan trayek Angkutan Lintas Batas Negara dan/atau
Angkutan Antarkota Antarprovinsi; dan
b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan Lintas Batas Negara
dan/atau Antarkota Antarprovinsi.
c. dapat berada pada lintas penyeberangan yang menghubungkan
jaringan jalan nasional dan/atau jalur kereta api nasional atau
antarprovinsi sesuai dengan kebutuhan.
(3) Simpul terminal penumpang tipe A yang berada pada pada lintas
penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditentukan
berdasarkan kriteria:
a. kajian teknis;
b. rekomendasi dari penyelenggara pelabuhan;
c. rencana induk pelabuhan.

Pasal 5
(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi;
b. Rencana Umum Jaringan Trayek;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi.
(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan kriteria:
a. berada pada Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); dan
b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam
provinsi; dan
c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda
transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 6
(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan memperhatikan:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota;
b. Rencana Umum Jaringan Trayek;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Perkotaan dan/atau
Perdesaan.
(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan kriteria:
a. berada pada Pusat Kegiatan Lokal (PKL); dan
b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam
provinsi; dan
c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda
transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 7
Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A;
b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B;
c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan
d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang tipe C Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 8
(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a, ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan
masukan Gubernur.
(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf b, ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
masukan Bupati/Walikota.
(3) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf c, ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan
memperhatikan usulan/masukan dari SKPD yang bertanggungjawab di
bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 9
(1) Gubernur melaporkan kepada Direktur Jenderal atas penetapan Simpul
Terminal Penumpang Tipe B dan Simpul Terminal Penumpang Tipe C
yang berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal
penumpang.
(2) Bupati/Walikota melaporkan kepada Direktur Jenderal melalui
Gubernur atas penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C yang
berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal penumpang.

Pasal 10
(1) Simpul terminal penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf a merupakan bagian dari Simpul Nasional Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagai perwujudan dari Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
(2) Simpul terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan rangkaian yang saling terhubungkan dan membentuk
koridor Simpul Terminal Penumpang.
(3) Koridor Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas:
a. koridor simpul utara, koridor simpul tengah dan koridor simpul
selatan; dan
b. koridor simpul penghubung.
(4) Koridor Simpul Terminal Penumpang tipe A sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Tata Cara Perubahan Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 11
(1) Penetapan Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dapat dilakukan perubahan.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan evaluasi setiap 5 (lima) tahun sekali.
(3) Dalam hal terjadi perubahan Iingkungan strategis tertentu, evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sebelum jangka
waktu 5 (lima) tahun.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh:
a. Direktur Jenderal, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A;
b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B;
c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan
d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C pada Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 12
(1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(4), Menteri merekomendasikan kepada Gubernur dan/atau
Bupati/Walikota untuk menetapkan perubahan Simpul Terminal
Penumpang Tipe A menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe B
dan/atau Tipe C.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(4), Gubernur dan/atau Bupati/Walikota mengusulkan kepada Menteri
terhadap perubahan Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan/atau Tipe
C menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe A.

Pasal 13
(1) Perubahan terhadap Penetapan Simpul Terminal Penumpang tipe A
sebagai hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(2) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagai
hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
(3) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagai
hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota, kecuali Daerah Khusus Ibukota
Jakarta ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(4) Gubernur dan Bupati/Walikota melaporkan kepada Menteri atas
perubahan penetapan Simpul Terminal Penumpang paling lama 1 (satu)
bulan setelah ditetapkan.
BAB III
KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG

Bagian Kesatu
Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Penumpang

Pasal 14
Lokasi Terminal penumpang ditetapkan dengan memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota;
c. kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja
jaringan jalan dan jaringan trayek;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; dan
i. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 15
Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf a merupakan kemudahan untuk dijangkau dari
aspek waktu dan biaya yang memenuhi kriteria:
a. tersedia pelayanan angkutan umum yang memadai dan memenuhi
standar pelayanan minimal;
b. berada pada pusat kegiatan dan/atau pusat bangkitan perjalanan
angkutan orang; dan/atau
c. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda
transportasi.

Pasal 16
(1) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada
Lokasi Terminal Tipe A terletak pada lahan yang sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada
Lokasi Terminal Tipe B terletak pada lahan yang sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada
Lokasi Terminal Tipe C terletak pada lahan yang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 17
Kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja
jaringan jalan dan jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf c didasarkan atas kriteria:
a. untuk Lokasi Terminal Tipe A:
1. terhubung dengan jalan arteri atau rencana jalan arteri; dan
2. terletak dalam jaringan trayek antarkota antarprovinsi dan/atau
angkutan lintas batas negara atau rencana pengembangan jaringan
trayek antarkota antarprovinsi dan/atau angkutan lintas batas
Negara.
b. untuk Lokasi Terminal Tipe B:
1. terhubung dengan jalan arteri atau kolektor; dan
2. terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam provinsi.
c. untuk Lokasi Terminal Tipe C:
a. terhubung dengan jalan kolektor atau lokal; dan
b. terletak dalam jaringan trayek perkotaan/pedesaan.

Pasal 18
Kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d sebagai dasar rencana
pengembangan terminal yang utuh.

Pasal 19
Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf e dimaksudkan untuk menghindari dampak negatif
akibat pembangunan dan pengoperasian terminal.
Pasal 20
Permintaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f
didasarkan atas kebutuhan angkutan yang dimungkinkan mengakibatkan
bangkitan perjalanan, yang meliputi perkiraan jumlah:
a. penumpang; dan
b. trayek yang melayani.

Pasal 21
(1) Kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf g didasarkan atas kelangsungan operasional terminal.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai
berdasarkan:
a. topografi;
b. kondisi permukaan tanah, kelandaian permukaan tanah;
c. aliran air permukaan/sistem drainase;
d. status tanah;
e. daya dukung dan struktur tanah; dan
f. infrastrukur dan jaringan utilitas.
(3) Kelayakan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
analisa perhitungan keuntungan dan kerugian yang akan terjadi dari
investasi yang dilakukan dan jangka waktu pengembalian investasi
tersebut yang dihitung dengan:
a. Internal Rate of Return (IRR) yaitu tingkat bunga pengembalian suatu
kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang, yang
perhitungannya berdasarkan pada besaran Net Present Value (NPV)
sama dengan 0 (nol);
b. Net Present Value (NPV) merupakan nilai keuntungan bersih saat
sekarang, yang perhitungannya berdasarkan pada manfaat yang
diperoleh untuk proyek pembangunan Terminal Penumpang pada
suatu kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan besaran
tingkat bunga bank komersial;
c. Profitability Index (PI) atau Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan suatu
besaran yang membandingkan antara keuntungan yang diperoleh
dengan biaya yang dikeluarkan dalam kurun waktu penyelenggaraan
kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang.
(4) Kelayakan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kelayakan yang memberikan keuntungan secara ekonomis bagi
pengembangan wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung.
(5) Kajian kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan tim teknis Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat.
Pasal 22
Keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf h dalam penetapan lokasi terminal tidak
berada dalam daerah:
a. bencana alam;
b. konflik sosial; dan/atau
c. rawan/potensi kecelakaan lalu lintas.

Pasal 23
Kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf i yaitu terpeliharanya kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bidang lingkungan hidup.

Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan Lokasi Terminal Penumpang
Pasal 24
(1) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Simpul Terminal
yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terletak pada Simpul Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
diperuntukkan bagi pergantian antar moda dan/atau intermoda pada
suatu wilayah tertentu.

Pasal 25
Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk Terminal penumpang tipe A;
b. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe B;
c. Bupati/Walikota, untuk Terminal penumpang tipe C; dan
d. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe C di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Pasal 26
(1) Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
diajukan oleh penyelenggara terminal penumpang kepada Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat
geografis yang digambarkan dalam peta; dan
b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria
penetapan lokasi Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan
penetapan lokasi Terminal Penumpang paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan,
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada
pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.
(6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal
sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV
KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN FASILITAS PERPINDAHAN MODA
ANGKUTAN UMUM

Bagian Kesatu
Kriteria Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum

Pasal 27
(1) Dalam rangka integrasi pelayanan untuk keterpaduan antar moda
angkutan dan kemudahan akses pada simpul transportasi ditetapkan
lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum pada bandar udara,
pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan.
(2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan:
a. rencana induk pelabuhan, stasiun, dan bandara;
b. rencana tata ruang; dan
c. rencana jaringan pelayanan angkutan.
(3) Fasilitas perpindahan moda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan kriteria:
a. berada pada pusat kegiatan;
b. berada pada pelabuhan, stasiun, bandara;
c. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan;
d. kemudahan akses pengguna jasa angkutan;
e. permintaan angkutan.

Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum

Pasal 28
(1) Lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk yang terletak pada lokasi bandar udara, pelabuhan,
dan stasiun kereta api;
b. Gubernur/Bupati/Walikota, untuk yang terletak pada pusat kegiatan
sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pusat kegiatan/
pelabuhan/bandar udara/stasiun kereta api.
(3) Penyelenggaraan fasilitas perpindahan moda angkutan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Permohonan penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diajukan oleh
penyelenggara fasilitas perpindahan moda angkutan umum kepada
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat
geografis yang digambarkan dalam peta; dan
b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria
penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan
penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum paling
lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara
lengkap.
(4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan,
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada
pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.
(6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal
sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA,

IGNASIUS JONAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR
Diperiksa oleh: Kasubbag Peraturan Perundang – undangan :
Terlebih dahulu:
1. Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama :
2. Kasubdit Jaringan Transportasi Jalan :
3. Direktur LLAJ :
4. Direktur LLASDP :
5. Direktur BSTP :
6. Direktur KTD :
7. Sesditjen Hubdat :

Anda mungkin juga menyukai