BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan suatu hal yang penting dan mendapat perhatian yang besar. Karena pembagian
warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang di tinggal mati
pewarisnya. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti
rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian
warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut
Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa
tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris
tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan. Naluriah manusia yang
menyukai harta benda (QS. Ali Imran:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan
berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta
peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga
sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri menunjukkan fenomena ini.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di
gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diuraikan rumusan masalah menjadi sebagai
berikut:
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini mengenai Kewarisan Berdasarkan
Testament sebagai berikut:
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini mengenai Kewarisan
Berdasarkan Testament sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
Ahli waris ialah orang-orang yang bisa memperoleh warisan dari seseorang yang memperoleh warisan
dari seseorang yang meninggal dunia.
Berdasarkan sebab-sebab menerima warisan, maka ahli waris dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya hubungan darah;
2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya perkawinan yang sah
dan atau karena memerdekakan hamba (hamba sahaya).
Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris, maka ahli waris dalam hukum waris
Islam dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut.
1. Ashabul furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
atau 1/8.
Para ahli fara’id membedakan ashchabul-furudh ke dalam dua macam yaitu ashchabul-furudh is-
sababiyyah (golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris), yang
termasuk dala golongan ini adalah janda (laki-laki atau perempuan). Dan ashchabul-furudh in-nasabiyyah
(golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris), yang termasuk dalam
golongan ini adalah sebagai berikut.
c. Keturunan perempuan, yaitu anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki.
d. Saudara seibu, yaitu saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
2. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi mendapatkan ushubah
(sisa) dari ashabul-furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashabul furudh.
Para ahli fara’id membedakan asabah ke dalam tiga macam yaitu, ashabah binnafsih, ashabah bil-ghair
dan ashabah ma’al ghair.
a. Ashabah binnafsihi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan Pewaris tanpa diselingi oleh
orang perempuan, yaitu sebagai berikut:
b. Ashabah bil-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain Untuk menjadi ashabah
dan untuk bersama-sama menerima ushubah, yaitu:
c. Ashabah ma’al-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi
ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah, yaitu saudara perempuan
sekandung dan saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu
perempuan.
3. Dawil arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk dalam golongan ashabul furudh dan
ashabah. Kerabat golongan ini baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan di
atas.
Selain itu, penggolongan ahli waris dalam hukum Islam juga diterbagi atas ahli waris dari golongan laki-
laki dan ahli waris dari golongan perempuan (Abu Umar Basyir, 2006: 75). Ahli waris dari kaum laki- laki
ada 15 (lima belas) yaitu:
a. anak laki-laki;
c. bapak;
d. kakek (dari pihak bapak) dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki saja;
n. suami; dan
Kalau seandainya seluruh pihak yang akan mewariskan dari golongan lelaki ini berkumpul semua dalam
satu kasus, maka yang berhak menerima warisan hanya tiga, yaitu:
a. anak lelaki;
b. ayah; dan
c. suami.
a. anak perempuan;
b. ibu;
i. istri; dan
Kalau kesemua wanita itu berkumpul dalam satu kasus kematian pewaris, maka yang akan menerima
warisan hanya lima, yaitu:
a. ibu;
b. anak perempuan;
d. istri; dan
e. saudari sekandung.
Apabila dalam suatu kasus seluruh pihak yang akan mewariskan itu baik laki-laki maupun perempuan
berkumpul semua, maka yang menerima warisan hanya lima saja, yaitu:
a. ayah;
b. anak laki-laki;
d. ibu; dan
e. anak perempuan.
C. Pembagian Ahli Waris
a. Anak laki-laki
· Mendapatkan semua harta warisan, apabila tidak ada anak perempuan , ibu bapak, suami/istri
· Sebagai ashabah binafsih, setelah diambil bagian dzawil furudh. Dan akan memperoleh seluruh sisa
jika tidak ada anak perempuan. Bila ada anak perempuan, maka bagiannya adalah dua kali bagian
perempuan.
· Jika tidak terhijab, ia sebagai ashabah binafsih; bisa memperoleh seluruh warisan, jika tak ada cucu
perempuan dari anak laki-laki; jika ada cucu perempuan (dari laki-laki), bagiannya dua kali bagian cucu
perempuan.
c. Bapak
· 1/6 bagian, jika ada ahli waris anak atau cucu laki-laki
· 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan
· ’ashabah, jika tidak ada atau cucu baik laki-laki maupun perempuan
· 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak atau cucu perempuan
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki atau bapak
· 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara baik laki-laki maupun perempuan
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki
sekandung atau saudara perempuan sekandung.
· ashabah binafsih.
· 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara sebapak baik laki-laki maupun perempuan
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan dari
anak laki-laki, bapak, kakek dari pihak bapak.
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara sebapak, paman kandung,
paman sebapak, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman sebapak.
i. Suami
· Tidak dapat terhijab1/2 bagian jika hanya seorang dan tidak ada laki-laki
· 2/3 bagian jika lebih dari satu orang dan tidak ada anak laki-laki
· Dapat terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, dua anak perempuan atau lebih
· 1/2 bagian, jika hanya seorang, tidak ada cucu laki-laki, atau seorang anak peerempuan.
· 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau seorang anak perempuan.
· 1/6 bagian, jika ada anak perempuan tapi tidak ada cucu laki-laki.
l. Ibu
· Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih
· 1/3 bagian, jika tidak ada anak, cucu, atau dua orang saudara atau lebih
· 1/3 dari sisa, jika termasuk gharawain. Gharawain adalah jika ahli waris terdiri dari suami, ibu dan
bapak, atau istri, ibuk dan bapak.
· 1/6 bagian jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih
m. Nenek
Kemungkinan memperoleh :
· 1/6 bagian ( untuk seorang atau dua orang nenek, jika tidak ada anak, ibu atau bapak )
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki dari anak laki – laki, bapak
· 1/2 bagian, jika hanya seorang atau tidak ada anak, cucu perempuan atau saudara laki – laki
sekandung
· 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak cucu perempuan atau saudara laki – laki
sekandung
· Bisa ‘ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki kandung, tapi ada ahli waris anak
perempuan atau cucu perempuan atau anak dan cucu perempuan
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki, bapak, dua orang atau lebih saudara
perempuan kandung bersama anak/cucu perempuan.
· 1/2 bagian, jika seorang dan tidak ada saudara laki – laki, bapak anak, cucu perempuan atau
saudara perempuan sekandung.
· 2/3 bagian, jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris anak, saudara laki – laki
sebapak atau saudara perempuan kandung.
· 1/6 bagian, jika ada seorang saudara perempuan kandung tetapi tidak ada anak, cucu perempuan
atau saudara laki – laki sebapak.
· Ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki sebapak, saudara perempuan kandung. Tapi
ada ahli waris anak perempuan atau cucu perempuan.
· Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki atau perempuan, cucu laki – laki dari anak laki – laki,
cucu perempuan dari anak laki – laki, bapak atau kakek dari pihak bapak.
q. Istri
· 1/4 bagian, jika ada anak atau cucu, baik laki – laki maupum perempuan
· 1/8 bagian jika ada anak atau cucu baik laki – laki maupun perempuan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengemukakan simpulan bahwa ahli waris adalah orang yang
bisa memperoleh warisan dari seseorang yang memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal
dunia. Adapun penggolongan ahli waris ada bermacam-macam, yaitu ada yang berdasarkan sebab-sebab
menerima warisan, besarnya hak yang akan diterima ahli waris, dan penggolongan ahli waris laki-laki dan
ahli waris perempuan. Sedang pembagian hak masing-masing ahli waris telah ditentukan berdasarkan
ketetapan syari’at Islam.
B. Saran
Bertitik tolak pada simpulan diatas, maka penulis mengemukakan saran bahwa mempelajari ilmu waris
sangat penting bagi umat Islam. Dijelaskan dalam hadits bahwa sesungguhnya ilmu yang akan pertama
dicabut Alloh SWT. dari muka bumi ini adalah ilmu faroid mempelajari ilmu waris sama halnya telah
menguasai 1/2 ilmu yang ada di muka bumi. Tentunya kita sebagai umat Islam harus mengetahui ilmu
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)