Anda di halaman 1dari 25

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Fraktur merupakan cidera traumatik yang dapat menimbulkan perubahan

yang signifikan pada kualitas hidup seseorang. Pengertian fraktur sendiri adalah

terputusnya suatu kontinuitas jaringan tulang, yang umumnya disebabkan oleh

rudapaksa atau tekanan eksternal yang datang lebih besar yang dapat diserap

oleh tulang (Indonesia, 2016). Pengertian lain dari fraktur adalah suatu gangguan

dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang (Black & Hawks, 2014).

Jenis – jenis fraktur (Brunner dan Suddart, 2011)

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan

cruris dst).

2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:

a. Fraktur komplit adalah patahan pada seluruh garis tengah tulang dan

biasanya mengalami pergeseran

b. fraktur inkomplit adalah patahan hanya terjadi sebagian dari tengah

tulang.
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan

saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak pada tulang yang sama

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi

kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang

yang juga disebut lokasi fragmen

5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih

(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada

klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak

sekitar trauma, yaitu:

1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera

jaringan lunak sekitarnya.

2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan

jaringan subkutan.

3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan

lunak bagian dalam dan pembengkakan.


4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang

nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka ( fraktur komplikata / kompleks ) merupakan

fraktur dengan luka pada kulit, menbran mukosa sampai kepatahan

tulang yang dibagi menjadi 3 grade :

1) Grade I dengan luka bersih ( 1 cm Panjangnya )

2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif

3) Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami

kerusakan jaringan lunak. Yang ekstensif.

FRAKTUR DISTAL RADIUS

Fraktur distal radius merupakan salah satu fraktur yang paling sering

ditemui dalam kasus ortophedi. Angka kejadiannya 8%-15% pada seluruh

kejadian fraktur pada orang dewasa. Abraham Colles merupakan orang yang

pertama kali mendiskripsikan tentang fraktur distal radius. Dia mengatakan

bahwa fraktus distal radius merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi

pada distal dan radius (Colles’ Fracture). Colles’ Fracture secara khusus
diartikan sebagai cidera pada metapisis atau persimpangan cortico-cancellous

(kedalaman 2-3 cm dari permukaan articular ) dari radius distal yang mempunyai

karakteristik yaitu dorsal tilt ( kemiringan pada bagian dorsal), pergeseran

dorsal, radial tilt, pergeseran radial, supinasi dan impaksi (Meena, Sharma,

Sambharia, & Dawar, 2014).

Anatomi Radius Distal

Terdapat banyak sistem klasifikasi untuk fraktur distal radius, diantaranya

kalsifikasi Melone dan Frkyman.

1. Klasifikasi Melone (Melone, 1984)

 Tipe I : Tidak terdapat pergeseran empat komponen ( shaft radial,

styloid radial, medial dorsal dan medial volar . Fraktur ini hanya sedikit

kominutif dan stabil setelah reduksi tertutup.

 Tipe II : Pergeseran signifikan kompleks medial dengan kominutif

pada metafisis radial. Fraktur tidak stabil ( fraktur die punch ).

 Tipe III : Serupa dengan tipe II tetapi disertai dengan fragmen

menonjol pada komponen shaft radial seringkali proyeksi ke

kompartement fleksor ( spike fracture ).


 Tipe IV : Disrupsi berat permukaan articular radial. Tampak

perpisahan yang lebar atau rotasi fragmen medial dorsal dari volar.

Terdapat cidera saraf dari kerusakan jaringan lunak sekitar fraktur yang

cukup luas ( split fracture ).

 Tipe V : Fraktur disebabkan oleh trauma energi tinggi yang berupa

kompresi. Fraktur kominutif luas bahkan sering kali melibatkan

permukaan articular hingga diafisis.

2. Klasifikasi Frykman (Frykman, 1967)

B. Etilogi

1. Trauma atau benturan langsung pada tulang : kecelakaan lalu lintas/ jatuh

2. Trauma tidak langsung : kelemahan/kerapuhan struktur tulang akibat faktor

usia

C. Manifestasi Klinik

1. Nyeri hebat pada daerah fraktur

2. Hematoma pada pergelangan tangan

3. Deformitas, dapat berupa dinner fork atau garden space

4. Gejala sindrom karpal tunnel

5. Krepitasi jika digerakkan

6. Peningkatan tekanan kompartemen


7. Keterbatasan dalam melakukan pergerakkan.

D. Komplikasi

Komplikasi awal ( Pre Operasi ):

1. Atritis post trauma, akan memburuk dari waktu ke waktu (Lameijer &

Dusseldorp, 2017)

2. Robekan tendon

3. Cidera neurologis (Meena et al., 2014).

4. Syok hipovolemik

5. Sindrom kompartement

Komplikasi lanjut ( Post Operasi ) :

1. Malunion dengan deformitas intra articular dan ekstra articular

2. Non union atau kegagalan penyembuhan tulang yang bersifat permanen

(Meena et al., 2014)

3. Delayed union.
E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi

keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu

AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari

karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas

dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai

dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:


a. Bayangan jaringan lunak.

b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi.

c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya

seperti:

a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang

lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan

kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja

tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh

darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat

trauma.

c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena

rudapaksa.

d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara

transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang

rusak.

e. Magnetic Resonancing Image (MRI)

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan

tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan

kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),

Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada

tahap penyembuhan tulang.

3. Pemeriksaan lain-lain

a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi.

b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan

pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan

fraktur.

d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena

trauma yang berlebihan.

e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada

tulang

F. Penatalaksanaan

a) Nonoperatif atau Konvensional

Indikasi tatalaksana non operatif : fraktur yang stabil serta pasien usia

lanjut dengan risiko tinggi untuk tindakan operatif. Tindakan nonnoperatif

dilakukan dengan metode closed reduction, kemudian dilanjutkan dengan

pemasangan cast.
1. Imobilisasi cast/ gips

Berbagai teknik pemasangan cast telah dikenal sebelumnya. Pada

prinsipnya cast di pasang tidak boleh melebihi atau melewati sendi

metacarpophalangeal, dimana jari-jari harus dalam posisi bisa bergerak.

Imobilasasi yang dapat digunakan adalah gips ataupun functional brace,

yang dapat dipasang di atas ataupun di bawah siku.

2. Operasi

Indikasi dilakukan tindakan operasi adalah

 Cedera energi tinggi

 Kehilangan reduksi

 Artikular kominutif, step-off, atau gap

 Metaphyseal kominutif atau adanya bone loss (bagian fragmen tulang

yang hilang)

 Kehilangan dinding penopang bagian volar disertai pergeseran

(displaced)

 Terganggunya posisi DRUJ (Distal Radial Ulnar Joint).

 ORIF ( FIKSASI INTERNAL )

Fiksasi dengan plate adalah tindakan primer untuk fraktur yang tidak

stabil dari volar dan medial kolum dari distal radius. Distal radius plate

dikategorikan berdasarkan lokasi dan tipe dari plate. Lokasinya bisa

dorsal medial, volar medial dan radial styloid. Prinsip dari penanganan

radius distal adalah mengembalikan fungsi dari sendi pergelangan

tangan (wrist joint). Plate yang konvensional dapat digunakan buttress

ataupun neutralization plate, plate dengan locking screw juga kini


sering digunakan, umumnya untuk tulang yang sudah mengalami

pengeroposan (osteoporosis

 PINNING PERCUTANEUS

 Pinning secara perkutan : ini terutama digunakan untuk fraktur

ekstraartikular atau dua bagian fraktur intraartikular.

 Ini dapat dicapai dengan menggunakan dua atau tiga buah

Kirschner wire ditempatkan pada lokasi fraktur, umumnya dari

styloid radial, diarahkan proksimal dan dari sisi dorsoulnar dari

fragmen radial distal diarahkan proksimal.

 Pinning perkutan umumnya digunakan untuk melengkapi short

arm cast atau fiksasi eksternal. Pin dapat dicabut 3 sampai 4

minggu setelah operasi, dengan tambahan gyps dipertahankan 2

sampai 3 minggu.

 OREF ( FIKSASI EKSTERNAL )

 Penggunaannya telah berkembang dalam popularitas didasarkan

pada studi yang menghasilkan tingkat komplikasi yang relatif

rendah.
 Spanning fiksasi eksternal

Ligamentotaxis digunakan untuk mengembalikan panjang radial

dan kecenderunganradial, tapi jarang mengembalikan palmar tilt.

 Fiksasi eksternal saja mungkin tidak cukup stabil untuk

mencegah beberapa derajat kolaps dan hilangnya palmar tilt

selama penyembuhan.

 Overdistraksi harus dihindari karena dapat menyebabkan jari

kaku dan dapat diakui oleh peningkatan jarak interkarpal pada

fluoroskopi intraoperatif.

 Pin dapat di remove pada 3 sampai 4 minggu, meskipun sebagian

besar merekomendasikan 6 sampai 8 minggu fiksasi eksternal.


BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien

sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan

proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Anamnesa

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,

status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.

register, tanggal MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

DS ( Data Subjektif ) : Pasien mengeluh rasa nyeri pada bagian yang

mengalami fraktur ( femur , humerus , tibia , fibula , dll ). Untuk

memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi

faktor presipitasi nyeri.

b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit

menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.


d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan

klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa

jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk

pada malam hari atau siang hari.

DO ( Data Objektif ) : Pasien tampak meringis kesakitan , pasien tampak

memegangi bagian yang mengalami fraktur , pasien tampak menangis ,

pasien tampak lemas, dan lain-lain.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,

yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.

Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya

bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.

Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa

diketahui luka kecelakaan yang lain.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan

memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan

penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit

untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki

sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga

diabetes menghambat proses penyembuhan tulang


5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan

salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,

osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker

tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya

dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam

masyarakat.

7) Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan

pada struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat

keperawatan yang perlu dikaji adalah:

a) Aktivitas istirahat

Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian terkena

mungkin segera setelah fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder

dari pembengkakan jaringan nyeri.

b) Sirkulasi

Tanda : HT (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri /

ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), Takikardia (respon stress,

hivopolemia)
c) Neurosensori

Gejala : Hilang gerakan atau sensasi , spasme otot, kesemutan

Tanda : Deformitas lokal : agulasi abnormal, pemendekan, rotasi

krepitasi.

d) Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera mungkin terlokalisasi

pada area jaringan / kerusakan tulang dapat berkurang pada imobilisasi.

Tak ada nyeri akibat kerusakan saraf spasme atau kram otot (setelah

imobilisasi)

e) Keamanan

Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna,

pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)

f) Penyuluhan

Gejala : Lingkungan tidak mendukung (menimbulkan cedera)

pengetahuan terbatas.

B. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko tinggi terhadap trauma / cedera tambahan

b. Nyeri akut berhubungan dengan refleksi spasme otot, gerakan fragmen tulang

yang patah, oedema jaringan, dan cedera pad jaringan lunak.

c. Risiko terhadap disfungsi neuromuskuler perifer.

d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah

perubahan membran kapiler.

e. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera atau trauma

jaringan, imobilisasi
f. Risiko infeksi

g. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan ketahanan

sekunder akibat fraktur.

h. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang terpadannya terhadap

informasi

i. Kesiapan meningkatkan perawatan diri

C. Rencana/ Intervensi Keperawatan

a. Risiko terhadap trauma / cedera

Tujuan : Pasien mampu mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur

Kriteria evaluasi : menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan

stabilitas pada sisi fraktur, menunjukkan

pembentukan kalus.

Intervensi :

1) Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat

tidur ortopedik.

R : Agar pasien merasa lebih nyaman.

2) Pertahankan tirah baring sesuai indikasi

R : Mencegah terjadinya pergeseran tulang yang semakin parah

3) Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantalan

R : Imobilisasi Pasien

4) Kaji integritas alat fiksasi eksternal.

R : Untuk menjaga kestabilan kondisi pasien

b. Nyeri akut berhubungan dengan refleksi spasme otot, gerakan fragmen tulang

yang patah, oedema jaringan, dan cedera pada jaringan lunak.


Tujuan : Nyeri terkontrol

Kriteria evaluasi : Pasien rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas

istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan

aktivitas terapiutik sesuai indikasi.

Intervensi :

1) Tinggikan ekstremitas yang terkena, pertahankan mobilitas bagian yang

sakit dengan tirah baring,gips, pemberat, traksi.

R : Menjaga imobilisasi pasien.

2) Perhatikan lokasi, karakteristik, intensitas dari kekuatan nyeri,

ketidaknyamanan, petunjuk nyeri non verbal.

R : Memantau perkembangan kondisi pasien.

3) Jelaskan prosedur sebelum memulai

R : Sebagai informed consent untuk mendapat persetujuan dari pasien.

4) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak aktif dan pasif

R : Fase ini dilakukan jika sudah terjadi pembentukan kallus.

5) Lakukan kompres dingin 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan.

R : Mencegah rasa nyeri yang dialami oleh klien.

6) Beri alternatif tindakan kenyamanan seperti relaksasi dan distraksi.

R ; Membantu klien untuk mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan.

7) Delegatif pemberian obat analgetik sesuai indikasi.

R : Membantu mempercepat proses penyembuhan.

c. Risiko disfungsi neuromuskuler perifer.

Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan

Kriteria evaluasi : Nadi teraba, kulit hangat / kering,tanda-tanda vital stabil.


Intervensi :

1) Lepaskan perhiasan pada ekstremitas yang sakit

R : Agar tidak menghambat peredaran darah.

2) Kaji kwalitas nadi perifer, distal, aliran kapiler, warna kulit pada fraktur.

R : Untuk memantau kondisi perkembangan vaskuler klien.

3) Perhatikan perubahan fungsi motorik dan sensorik

R : Untuk memantau kondisi perkembangan vaskuler klien.

4) Observasi nyeri tekan, pembengkakan pada dorsofleksi kaki.

R : Mencegah agar tidak terjadi eudema.

d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah

perubahan membran kapiler.

Tujuan : Mempertahankan fungsi pernafasan , adekuat

Kriteria evaluasi ; Tidak ada dipsnea/ apnea, RR dan GDA dalam batas normal

Intervensi :

1) Awasi frekwensi pernafasan

R : Untuk memantau adekuatnya nafas klien.

2) Auskultasi bunyi pernafasan

R : Untuk memantau suara nafas tambahan.

3) Bantu latihan nafas dalam dan batuk

R : Untuk mencegah terjadinya penumpukan secret .

4) Beri O2 bila diindikasikan

5) Observasi sputum

6) Awasi lab. Seperti GDA, Hb, Trombosit dan lain-lain


e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan ketahanan

sekunder akibat fraktur.

Tujuan : Mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi,

mempertahankan posisi fungsional

Kriteria evaluasi : Menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas.

Intervensi :

1) Bantu rentang gerak aktif , pasif

R : Membantu perkembangan tingkat gerak klien.

2) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera

R : Untuk kajian status klien.

3) Bantu mobilisasi dengan alat bantu

R : Membantu mempercepat mobilisasi pasien.

4) Bantu perawatan diri

R : Untuk memberikan rasa nyaman pada pasien.

5) Bantu posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk / latihan nafas

dalam.

6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dan rehabilitasi.

R : Memberikan rasa aman dan nyaman bagi klien.

f. Risiko infeksi.

Tujuan : Menyatakan rasa ketidaknyamanan hilang

Kriteria Evaluasi : Menunjukkan adanya tanda-tanda penyembuhan luka

sesuai dengan waktu


Intervensi :

1) Kaji kulit apabila ada luka terbuka , benda asing, kemerahan, perdarahan

serta perubahan warna

R : Untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya infeksi.

2) Ubah posisi sesering mungkin

R : Mencegah terjadinya dekubitus pada klien.

3) Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air

R : Menjaga kelembaban terhadap kulit klien.

4) Masase kulit dan penonjolan tulang

R : Menjaga kulit agar tetap lembab.

5) Latakkan bantalan pelindung dibawah kaki dan dibawah tonjolan tulang.

R ; Mencegah terjadinya iritasi jika tidak menggunakan bantalan pelindung.

g. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera atau trauma jaringan,

imobilisasi

Tujuan : Agar tidak ada tanda-tanda yang mengubah diagnosa menjadi aktual

Kriteria evaluasi : Dapat mencapai penyembuhan luka sesuai waktu bebas

drainase purulen/eritema serta demam

Intervensi :

1) Infeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi / robekan kontinuitas

R : Mengetahui adanta iritasi atau robekan pada kulit.

2) Observasi luka, mengetahui adanya pembentukan bula , danya drainase

serta perubahan warna kulit.

R : Mengetahui status perkembangan luka klien.


3) Observasi nyeri yang datang secara tiba-tiba serta keterbatasan gerakan

dengan edema lokal / eritema ekstremitas cedera

R : Untuk memberikan rasa nyaman terhadap pasien.

4) Kaji tonus otot reflek tendon serta kemampuan untuk bicara.

R :Untuk mengkaji alat gerak klien.

5) Delegatif dalam pemberian antibiotika

R : Mempercepat proses penyembuhan.

h. Defesiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang paparan terhadap

informasi

Tujuan : Agar pengetahuan bertambah dan adanya perubahan prilaku

Kriteria evaluasi : Dapat menyatakan pemahaman tentang kondisi dan dapat

berperan aktif dalam proses pengobatan serta perawatan

Intervensi :

1) Identifikasi tentang adanya tempat pelayanan di masyarakat

R : Untuk memberikan pelayanan yang optimal pada klien.

2) Kaji ulang tentang prognosis, patologi serta harapan masa mendatang

R : Untuk mengetahui motivasi yang dimiliki oleh klien.

3) Beri informasi yang penting dan benar kepada pasien tentang terapi sesuai

intruksi

R : Agar pasien mengerti tentang prosedur terapi yang diberikan,

4) Sarankan pada pasien untuk melanjutkan latihan yang aktif.

R ; Mempercepat mobilisasi pasien.


i. Kesiapan meningkatkan perawatan diri.

Tujuan : Agar pasien mampu melakukan pemenuhan kebutuhannya sehari-hari

secara mandiri

Kriteria evaluasi : Pasein dapat berpartisipasi secara langsung baik fisik/

verbal dalam melakukan aktivitas seperti makan, mandi.

Intervensi :

1) Kaji kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam melaksanakan setiap

aktivitas perawatannya.

R : Untuk mengetahui sebagaimana kemampuan pasien dalam melaksanakan

perawatan diri / personal hygiene

2) Tingkatkan partisipasi pasien secara optimal

R : Melatih pasien agar lebih mandiri,

3) Berikan pilihan serta penawaran yang lebih disukai selama aktivitas

perawatan diri.

R : Memotivasi pasien untuk melakukan perawatan diri.


BAB III

WEB OF CAUTION

Trauma
(Cidera / Benturan ) Patologis

Kekuatan daya trauma lebih besar daripada


kemampuan dgn menahan tulang

FRAKTUR

Fraktur tertutup Fraktur Terbuka Kerusakan Pembedahan


Fragmen tulang
Luka Operasi Trauma
Keterbatasan Perdarahan
Cedera jaringan
pergerakan fisik > 1000 cc
Port de entry Pelepasan
kuman mediator nyeri
Kesiapan Resiko Pembuluh darah
meningkatkan Perdarahan terputus
Resiko Infeksi Nyeri Akut
perawatan diri

Perdarahan Hb
Diskontuinitas General
fragmen tulang Fragmen Anastesi
Hematoma Hipoksemia
tulang
Lepasnya Lipid melukai Penurunan
Nyeri Akut v Aliran darah ke daerah
pd sumsum jaringan G3 Perfusi kesadaran
distal berkurang
tulang kulit Jaringan
cerebral
Kerusakan Resiko
Terabsorbsi Jaringan neuromuskular trauma
masuk ke aliran kulit tidak
darah utuh
Risiko terhadap Peningkatan
G3 Perfusi peristaltic
Emboli disfungsi Jaringan usus
Kerusakan neuromuskuler perifer
Oklusi arteri paru Integritas
Jaringan Kembung
Hambatan Mobilitas
fisik Anoreksia
Nekrosis Jaringan
paru
Luka terbuka 
Resiko Infeksi Nutrisi Kurang
port de entry
kuman dari kebutuhan
Luas permukaan G3 pertukaran
Penurunan laju tubuh
paru menurun gas
difusi
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. (A. Suslia &
P. P. Lestari, Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.
Frykman, G. (1967). Fracture of the distal radius including sequelae--shoulder-
hand-finger syndrome, disturbance in the distal radio-ulnar joint and
impairment of nerve function. A clinical and experimental study.
Indonesia, D. K. M. B. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
(D. Yasmara, Nursiswati, & R. Arafat, Eds.). EGC.
Lameijer, C. M. H. J., & Dusseldorp, D. I. Van. (2017). Prevalence of
posttraumatic arthritis and the association with outcome measures following
distal radius fractures in non ‑ osteoporotic patients : a systematic review.
Archives of Orthopaedic and Trauma Surgery.
https://doi.org/10.1007/s00402-017-2765-0
Meena, S., Sharma, P., Sambharia, A. K., & Dawar, A. (2014). Family Practice
Fractures of Distal Radius : An Overview, 3(4). https://doi.org/10.4103/2249-
4863.148101
Melone, C. J. (1984). Articular Fractures of The Distal Radius.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. (A. Suslia &
P. P. Lestari, Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.
Frykman, G. (1967). Fracture of the distal radius including sequelae--shoulder-
hand-finger syndrome, disturbance in the distal radio-ulnar joint and
impairment of nerve function. A clinical and experimental study.
Indonesia, D. K. M. B. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
(D. Yasmara, Nursiswati, & R. Arafat, Eds.). EGC.
Lameijer, C. M. H. J., & Dusseldorp, D. I. Van. (2017). Prevalence of
posttraumatic arthritis and the association with outcome measures following
distal radius fractures in non ‑ osteoporotic patients : a systematic review.
Archives of Orthopaedic and Trauma Surgery.
https://doi.org/10.1007/s00402-017-2765-0
Meena, S., Sharma, P., Sambharia, A. K., & Dawar, A. (2014). Family Practice
Fractures of Distal Radius : An Overview, 3(4). https://doi.org/10.4103/2249-
4863.148101
Melone, C. J. (1984). Articular Fractures of The Distal Radius.

Anda mungkin juga menyukai