TEMPO PeristiwaMadiun PDF
TEMPO PeristiwaMadiun PDF
"SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam
politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan
Saya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front
Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak
Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca
situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.
Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro
dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di
Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin
Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka.
"Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa
bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno
dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.
+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?
- Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk
mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada
saya, mencurigai saya.
+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya
Pak Musso masih menginginkan persatuan?
- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan,
saya akan melawan.
Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai
Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata
Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun
tangan mendamaikan kedua belah pihak.
Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti. Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze,
mobil penjemput hari itu adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi
Partoredjo. Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de
linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu dipilih karena
kondisi keempat bannya yang masih baik.
Tak lama berbasa-basi, rombongan segera melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo,
Jawa Tengah. Di sana, Gubernur Militer Wikana-seorang tokoh Partai Komunis
Indonesia terpandang-sudah bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.
Tak banyak yang sadar bahwa kedatangan dua orang dari Praha ini akan membawa
konsekuensi politik yang amat besar untuk perjalanan sejarah Republik Indonesia
muda, beberapa pekan berikutnya.
Pria setengah baya yang mengaku sebagai "sekretaris" itu sebenarnya adalah Musso,
50 tahun, tokoh legendaris PKI yang ikut mencetuskan pemberontakan para buruh pada
1926. Setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia, pada medio 1948 itu dia
memutuskan sudah saatnya kembali ke Indonesia.
MOSKOW, Januari 1948, delapan bulan sebelum kepulangan Musso. Perjanjian Renville
baru saja ditandatangani di Indonesia. Pemimpin Partai Komunis Uni Soviet bergegas
meminta sebuah laporan dibuat mengenai kondisi terakhir gerakan komunis di
Nusantara.
Analisis itu dinilai penting karena, setahun sebelumnya, Moskow baru merilis garis
perjuangan baru yang lazim dikenal sebagai doktrin Andrei Zhdanov. Berdasarkan teori
ini, kaum komunis dianjurkan "mulai mengambil jarak dari kubu imperialis yang dimotori
Amerika Serikat". Tindakan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin-pemimpin koalisi
sayap kiri di kabinet Indonesia, yang menandatangani pakta Renville di atas kapal
Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok-menimbulkan tanda tanya di Moskow.
Musso segera menyusun laporan. Namun minimnya informasi tangan pertama membuat
analisisnya tidak akurat. Kepada pemimpin Partai Komunis Uni Soviet, Musso membela
tindakan Amir dan kameradnya di Indonesia. Dia menyebutnya sebagai "taktik saja,
untuk tidak menarik perhatian kaum antikomunis". Musso bahkan menjamin posisi
kelompok kiri dalam militer Indonesia masih cukup kuat.
Dalam hitungan hari, analisis Musso terbantah habis. Pada 23 Januari 1948, sepekan
setelah Renville ditandatangani, Amir Sjarifoeddin dipaksa mundur dari kursi perdana
menteri. Posisi politik dua rival blok kiri, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia, juga
menguat.
Kesalahan laporan Musso segera dikritik hebat. Sejarawan Rusia, Larissa Efimova,
mengutip laporan dua analis Rusia, Kogan dan Luhlov, menuding Musso "berkhayal" dan
"membenarkan sebuah strategi yang membawa malapetaka".
Kepala Divisi Asia Tenggara di Departemen Kebijakan Luar Negeri Komisi Sentral
Partai Komunis di Uni Soviet, Plishevsky, mengirim surat ke Politbiro dan menegaskan
bahwa "taktik keliru PKI telah menyebabkan berpindahnya kekuasaan di Indonesia
kepada partai-partai kanan".
Meski tak pernah ada dokumen yang menegaskan adanya tugas resmi dari Moskow
kepada Musso, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun?, Larissa menyebut Musso
"merenungkan cukup lama kritik Partai Komunis Uni Soviet atas taktik lama PKI"
sebelum akhirnya menetapkan diri untuk mengambil peran sentral meluruskan garis
perjuangan partainya.
Pada April 1948, Musso meninggalkan Moskow, menuju Praha, Cekoslovakia. Di sana, dia
mengaku bernama Musin Makar Ivanovich, dan menyamar menjadi sekretaris pribadi
Soeripno, pejabat Indonesia setingkat duta besar yang ditempatkan Menteri Luar
Negeri Agus Salim di sana sejak medio 1947.
Pada pekan ketiga Mei 1948, Soeripno berhasil membuka hubungan diplomatik dengan
Uni Soviet. Keberhasilan Soeripno ini disambut pro-kontra-sebagian menilai hubungan
diplomatik resmi dengan Soviet bisa mendorong Republik jauh ke kiri. Tak sampai
sepekan kemudian, sebuah kawat resmi dikirim ke Praha: Soeripno dipanggil pulang ke
Yogyakarta. Sekretaris pribadinya, Musin Ivanovich alias Musso, ikut pulang ke
Indonesia.
Selama enam minggu di perjalanan-dari Praha, lewat Kairo, New Delhi, berhenti
sebentar di Bangkok lalu Bukittinggi-Musso terus merahasiakan identitasnya. Menurut
catatan Harry Poeze, dia bahkan berkeras tidak mau difoto. "Setiap kali ada kamera
mengarah kepadanya, Musso selalu memalingkan muka, atau menyembunyikan wajah di
balik koran atau buku."
Namun di Solo, kedatangan tokoh sekaliber Musso tak bisa lagi disembunyikan.
Sambutan Wikana yang demikian hangat kepada "Soeparto" membangkitkan
kecurigaan.
Pada 12 Agustus, dua hari setelah kedatangannya, berita pertama soal kepulangan
Musso muncul di harian Merdeka, Solo. Pada berita berjudul "Soeparto al Musso"
dijelaskan bahwa "ada kemungkinan, tokoh kawakan Musso yang sangat terkenal itu
telah kembali".
Berita kecil itu segera disusul kabar-kabar selanjutnya di media lain. Dua media
prokomunis, Suara Ibukota dan majalah Revolusioner-keduanya terbit di
Yogyakarta-bahkan mempublikasikan wawancara panjang dengan Musso, selama tiga
hari berturut-turut. Salah satu redaktur koran Suara Ibukota adalah Wikana.
DISKUSI tiga tokoh komunis itu berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret
1948, Paul de Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot
merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama terakhir
tokoh komunis Indonesia.
Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan strategi baru gerakan komunis Indonesia. De
Groot, dalam pertemuan itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat
yang lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin komunis
Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan rekannya dari Belanda
itu, yang dinilai terlalu "lembek".
Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar arah pergerakan kaum komunis
Indonesia. Ditandatangani wakil Indonesia, Belanda, dan Cekoslovakia, dokumen itu
lantas dikirim ke Moskow untuk mendapat persetujuan. Haluan baru inilah yang kemudian
dibawa Musso dan Soeripno, yang saat itu menjabat Duta Besar RI di Cekoslovakia, ke
Tanah Air pada Agustus 1948. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum
Angkatan Bersenjata RI, dalam bukunya Rebut Kembali Madiun, haluan ini dipengaruhi
"garis Zhdanov".
Musso menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia, yang
memakan waktu seminggu. Rumusan itu ia sebut "Jalan Baru untuk Republik Indonesia".
Jalan Baru inilah yang kelak mengubah politik komunis di Indonesia. "Saya harap
kawan-kawan di Indonesia akan mengerti dan bersedia mengikuti," demikian tulis Musso
seperti dikutip sejarawan Belanda, Harry Poeze, dari tulisan Soeripno.
Musso menyebut "Jalan Baru" karena gagasannya itu berbeda dengan haluan komunis
sebelumnya. Sejak 1935, komunis Indonesia, kata Himawan, menganut garis Dimitrov.
Georgi Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dimitrov
menganjurkan komunis bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis demi menghadang
ancaman fasisme dan Naziisme. Garis Dimitrov bersifat lunak dan kooperatif.
Komunis Indonesia pun kemudian menempuh garis lunak: berunding dan berkompromi
dengan Belanda, yang pemerintahannya dikuasai partai kiri. Demikian pula saat
menghadapi penjajahan Jepang yang fasis. Meski bergerak di bawah tanah, kaum
komunis masih bekerja sama dengan Belanda.
Namun, setelah Amerika mulai membendung laju komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni
Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran
Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan
Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau
(Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi
Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India.
Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: kapitalis imperialis yang
dimotori Amerika Serikat dan blok anti-imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti
doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri
Jalan, kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai
komunis harus mengambil garis keras. Musso dalam rumusan "Jalan Baru untuk Republik
Indonesia" menyatakan, "Karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, Indonesia satu
garis dengan Rusia."
Meniti Jalan Radikal (2)
http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page04.php
Pulang ke Indonesia, Musso, yang saat itu memakai nama samaran Soeparto untuk
mengelabui Belanda, menghubungi dua koleganya, Maroeto Daroesman dan Setiadjid,
untuk bertukar pikiran. Saat itu dua tokoh komunis ini juga baru kembali dari Belanda
bersama rombongan Menteri Kehakiman Mr Soewandi, yang baru berunding dengan
Belanda.
Musso pertama kali menjabarkan gagasan Jalan Barunya pada pertemuan Politbiro,
13-14 Agustus 1948, di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, Musso mengkritik sejumlah
kelemahan dan kesalahan perjalanan organisasi komunis di Indonesia setelah
kepergiannya ke Moskow. "Menurut Musso, revolusi di Indonesia bukan revolusi
proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpin
orang-orang proletariat," ujar Hersri Setiawan, penulis Negara Madiun: Kesaksian
Soemarsono Pelaku Perjuangan.
Sesuai dengan doktrin organisasi, Musso meminta para pemimpin organisasi melakukan
otokritik. Salah satu buah otokritik itu, belakangan, adalah terungkapnya pengakuan
Amir Sjarifoeddin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas, petinggi Belanda
yang juga Gubernur Jawa Timur di era Republik Indonesia Serikat. Musso juga
mengkritik tindakan Amir yang membubarkan kabinetnya. Menurut Musso, melepaskan
sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar.
Kebijakan komunis yang juga dipersalahkan Musso adalah perkembangan partai komunis
ilegal yang dibentuknya pada 1935 untuk melawan fasisme Jepang. Setelah Proklamasi,
di mata Musso, partai ini tidak segera mengubah diri mengikuti perkembangan politik
yang terjadi.
Menurut Musso, adanya tiga partai yang sama-sama berorientasi pada buruh, yakni "PKI
legal", Partai Buruh Indonesia (PBI), serta Partai Sosialis yang dikendalikan oleh PKI
ilegal, dan sama-sama berdasarkan Leninisme dan Marxisme, telah membuat keruwetan
organisasi. Ini justru menghalangi perkembangan organisasi kelas buruh. Lantaran
banyak kelemahan itulah Politbiro memutuskan melakukan perubahan radikal.
Tujuannya: mengembalikan secepatnya PKI sebagai pelopor kelas buruh.
Untuk menyebarkan gagasan revolusi Jalan Barunya, bersama pimpinan PKI, pada
September 1948, Musso melakukan safari ke sejumlah daerah, antara lain Solo, Madiun,
Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
KABAR itu tiba di Yogyakarta menjelang petang pada 18 September 1948. Isinya gawat:
Partai Komunis Indonesia, dipimpin Musso, melancarkan aksi pemberontakan di Madiun,
Jawa Timur. Menjelang magrib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo
dan Residen Surakarta Sudiro menemui Kepala Staf Operatif Markas Besar Angkatan
Perang Republik Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution di rumahnya. "Presiden
memanggil saya," kata Nasution, seperti dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.
Isi rancangan keputusan presiden itu adalah perintah kepada Angkatan Perang Republik
Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan
menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya
atau simpatisannya. Nasution cemas, Front Demokrasi Rakyat, sayap oposisi kelompok
kiri yang dipimpin Amir Sjarifoeddin dan Musso, melancarkan aksi serupa di Yogyakarta.
Apalagi, satu hari sebelumnya, terjadi kontak senjata antara batalion Siliwangi dan
pasukan Front Demokrasi di Solo.
Menurut Poeze, semua yang hadir di sidang kabinet sepakat menyimpulkan Peristiwa
Madiun sebagai pemberontakan. Tragedi Madiun tercuplik dalam buku Poeze berjudul
Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie,
1945-1949. Dalam bab De PKI in actie, opstand of affaire?, Poeze melukiskan, sidang
kabinet cuma butuh beberapa menit buat merestui rencana Nasution. Sudirman
mendapat wewenang melaksanakan keputusan tadi.
Atas dukungan itu, Nasution melaporkan persiapan operasi kepada Sudirman. Panglima
Besar menyetujuinya. Ia meminta Nasution dan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan
Brigade X, melaporkan perkembangan keesokan paginya. Lewat tengah malam, Nasution
bergerak. Kekuatan bersenjata Front Demokrasi Rakyat di Yogyakarta dilucuti. Tokoh
yang menghadiri konferensi Serikat Buruh Kereta Api ditahan. Hampir 200 simpatisan
serta tokoh PKI ditangkap. Di antaranya Alimin, Djoko Sudjono, Abdoelmadjid, Tan Ling
Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.
Semua pers yang berafiliasi ke Front Demokrasi Rakyat, seperti Buruh, Revolusioner,
Suara Ibu Kota, Patriot, dan Bintang Merah, dilarang terbit. Percetakannya disegel.
Wartawannya ditangkap. Poster dan spanduk Front Demokrasi dibersihkan. Sebagai
gantinya, ditempel plakat yang berbunyi: "Kita hanya mengakui pemerintah
Sukarno-Hatta." Menjelang fajar, operasi itu kelar.
Nasution melaporkan hasilnya kepada Sudirman. Keesokan harinya digelar sidang Dewan
Siasat Militer. Panglima Besar Sudirman lalu mengambil keputusan. Dia mengangkat
Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II
Siliwangi, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun.
Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut
Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus. Malam harinya, keputusan itu disiarkan Sudirman
lewat Radio Republik Indonesia di Yogyakarta.
Di mata Poeze, penangkapan itu bukti bahwa gerakan di Madiun tidak dipersiapkan
dengan matang. "Tidak ada petunjuk agar tokoh PKI di Yogyakarta pergi meninggalkan
kota itu," katanya. Para tokoh yang ditangkap itu juga mengaku tidak tahu-menahu ihwal
aksi di Madiun. "Saya tidak tahu apa yang dituduhkan kepada kami," kata Gondopratomo,
sekretaris pertama Serikat Buruh Kereta Api, seperti dikutip dalam makalahnya
berjudul "Kejadian-kejadian Penting Menjelang Peristiwa Madiun dan Jatuhnya Republik
Indonesia ke Dalam Jebakan Neokolim".
Makalah tadi disampaikan Gondo dalam sarasehan Peristiwa Madiun 1948 di Amsterdam,
Belanda, delapan tahun lalu. Gondo mengaku ditangkap pada 18 September pagi, sebelum
sidang kabinet digelar. "Pukul dua pagi kami ditangkap, lalu dibawa ke Benteng
Vredenburg," katanya. Paginya, ia dibawa ke gedung Normaal School. Dua hari kemudian,
ia baru tahu bahwa ia dikenai tuduhan hendak mendirikan Negara Soviet di Madiun.
Tuduhan itu dinilai Gondo tidak masuk akal. "Kalau akan diadakan pemberontakan,
kenapa pengurus Serikat Buruh Kereta Api Madiun datang ke Yogyakarta?" katanya. Di
kota itu, Serikat Buruh Kereta Api tengah menyelenggarakan konferensi membahas
"Jalan Baru untuk Republik Indonesia". Delegasi Serikat Buruh dari berbagai daerah
datang ke sana.
Menurut Gondo, penangkapan itu cuma akal-akalan pemerintahan Hatta, yang ketika itu
menempati posisi wakil presiden, perdana menteri, sekaligus menteri pertahanan.
"Mereka sudah lama mempersiapkan penangkapan," katanya. Kelompok kiri menuduh
penangkapan dilakukan buat merebut simpati Amerika Serikat, agar negara itu menekan
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan
Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota
Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke
sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor
pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.
Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap
tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun.
"Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak," katanya dalam
perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.
Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir
Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat
laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, "Bertindak! Lucuti saja pasukan yang
menculik itu."
Menjelang siang, Madiun bergerak pulih. Seluruh kota telah berada dalam penguasaan
pemuda PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di
Yogyakarta. Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi
perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. "Semua saling lempar," kata
Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di Madiun, sedang ke luar kota dan
wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.
Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel Sumantri juga menolak. Dia malah meminta
Soemarsono yang mengirimkan laporan ke Yogyakarta. "Saya bukan orang pemerintah,"
Soemarsono menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo,
mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo juga
sedang terbaring sakit.
Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup
mengirimkan laporan itu. "Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial," katanya,
seperti diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telah
menyatakan mendukung PKI.
Hari itu juga Supardi mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata
batalion Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan
Madiun aman terkendali. "Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan
pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut." Demikian laporan
Supardi, yang menyebut dirinya wakil Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.
Hingga menjelang petang, tak ada balasan dari Yogya. Esoknya, menjelang malam,
"jawaban" itu akhirnya datang juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio
Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno menyampaikan
pidato menanggapi peristiwa di Madiun.
Sukarno mengatakan telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua
pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. "Negara kita mau
dihancurkan. Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu," Sukarno berseru.
Hanya berselang tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato
Sukarno. Musso menyatakan Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis
Amerika. "Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan
diri dari budak-budak imperialis itu," katanya.
FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo,
Ngawi, dan Pacitan. Hari itu bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas
dengan bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.
Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu
sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. "Kemudian
mendirikan pemerintahan Soviet," katanya. Sejarawan Harry A. Poeze memberikan
penilaian yang sama. "Itu upaya mereka menjadikan Musso sebagai presiden," katanya.
SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas. Pada akhir September 1948, lewat Radio
Gelora Pemuda, PKI membantah tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya
perdamaian dengan pemerintah Sukarno-Hatta. "Karena pemerintahan lokal di Madiun
merupakan bagian dari Republik Indonesia," kata Supardi, seperti dikutip dalam buku
Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.
Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk
mengambil langkah tegas guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara
pemerintah menyerbu Madiun. Kota yang dikelilingi pegunungan itu dikepung dari
berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28 September, Musso, Amir Sjarifoeddin,
dan Soemarsono hengkang meninggalkan Madiun. "Kami terjepit," kata Soemarsono.
Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak
menggalang massa buruh dan tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain.
Musso menilai cara itu tak efektif.
Dalam gagasan barunya, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia", Musso menganggap PKI
tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat
disusupkan ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek karena
tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI ketika itu lebih banyak
berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Didirikan di Solo pada 26 Februari 1948 sebagai akibat jatuhnya kabinet Amir
Sjarifoeddin, FDR menampung partai dan ormas sayap kiri. Selain PKI ilegal, anggota
front itu adalah Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo), Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia. Amir sendiri
didapuk menjadi Ketua Front.
Menurut sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, FDR dibentuk setelah Amir dan Sutan
Sjahrir pecah kongsi dalam Partai Sosialis. Amir menghendaki partai memihak Soviet
dan menentang kapitalisme pimpinan Amerika Serikat. Sjahrir berpendirian partai harus
menempuh politik luar negeri bebas aktif.
Jatuhnya kabinet Amir memperparah perseteruan itu. Sjahrir akhirnya keluar dari
Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia. Adapun Partai Sosialis Amir
melebur ke FDR.
Dalam dokumen FDR, "Menginjak Tingkatan Perjuangan Militer Baru", disebutkan bahwa
aliansi itu dibentuk untuk menggulingkan kabinet Hatta yang tengah berkuasa.
Penggulingan itu akan dilakukan melalui parlemen, bahkan jika perlu membentuk
pemerintahan baru melalui pemberontakan.
Amir menyambut gagasan Musso. Dalam rapat Majelis Lengkap FDR, Agustus 1948, ia
berujar, "Kedatangan Oude Heer (Pak Tua) Musso bisa mempercepat proses yang selama
ini kita jalankan." Dalam bukunya, Madiun dalam Republik ke Republik (2006), mantan
Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Himawan Soetanto
menyatakan kembalinya Musso membawa haluan baru yang menekankan perlawanan
terhadap fasisme secara radikal.
Musso tidak mau menyia-nyiakan waktu. Di panggung rapat Politbiro PKI, ia meminta
partai itu bersalin rupa. Menurut mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat DI
Yogyakarta Hersri Setiawan, di mata Musso PKI ilegal melakukan beberapa kesalahan, di
antaranya partai tidak berani melakukan perjuangan bersenjata dan lebih memilih politik
kompromi. Partai juga dianggap tidak mengedepankan ideologi komunis. "Musso menuntut
gerakan PKI direvisi," kata Hersri.
Rapat itu akhirnya memutuskan hanya perlu satu partai kiri yang legal untuk menyatukan
gerakan buruh dan kaum miskin. Pada rapat FDR, 21 Agustus 1948, Politbiro PKI
mengusulkan agar ketiga partai di FDR melebur menjadi satu dan menyandang nama
Partai Komunis Indonesia.
Dalam korespondensinya dengan ahli politik Ben Anderson, mantan Ketua Bidang
Pertahanan Pesindo Soerjono menyatakan usulan itu ditolak pemimpin Partai Buruh,
seperti Asrarudin dan S.K. Trimurti. Mereka meminta Front menggelar kongres sebelum
melebur menjadi PKI.
Sejumlah kader partai di FDR memang meragukan kemampuan Musso, tokoh lama yang
tiba-tiba ingin mengambil alih kepemimpinan partai kiri. Sejumlah kader Pesindo dan
Barisan Tani Indonesia yang semula pro-Sjahrir memilih hengkang. "Kerikil ini
menyebabkan PKI baru tidak solid," kata sejarawan Rushdy Hussein.
Namun upaya penyatuan itu tak terhindarkan. Umumnya pemimpin partai kiri
mempercayai Musso. Pada Kongres PKI, 27 Agustus 1948, penyatuan itu disahkan. Awal
September dibentuklah kepengurusan PKI legal dengan Musso sebagai pemimpin.
Kepengurusan itu menandai masuknya PKI ke kancah politik terbuka. Belum genap
sebulan muncul ke permukaan, meletuslah pemberontakan Madiun yang dilakukan organ
PKI pimpinan Musso. Setelah peristiwa itu, PKI kembali remuk redam.
Suatu Malam di Proklamasi 56
http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page08.php
LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari
pada Januari 1948, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia
mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah
Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.
Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis
kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol
kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir
Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa"
meletakkan jabatan.
"Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu.
Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari
jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy,"
katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken
Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala
pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia
setelah perundingan itu.
Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas
kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika
Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang
Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat
pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh
di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian
menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan
Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia),
dan Paul van Zeeland (Belgia).
Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali
Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada
11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri
untuk Masyumi.
Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak
usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal
gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia
yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis
demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda
menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang
disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu.
Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan
kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya
kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah
Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali
ke Yogyakarta.
Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer.
Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap
ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham
sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu
Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia
tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya
mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal
Renville, Amir meneken persetujuan itu.
Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka
mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri
para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya
serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno.
Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno
kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk
kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir,
kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta.
Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti
terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini,"
katanya mengutip keluhan Amir.
Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan,
dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai
perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri
untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu
saja," katanya.
Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk
Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis
saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan
negara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah,"
katanya.
Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh
bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai
larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah
terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke
Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati."
Laga Pengalih Sebelum Madiun
http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page09.php
BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo.
Malam itu, 2 Juli 1948, komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas
pulang begitu menerima kabar ibunya sakit keras.
Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang
membawanya dari markas, bekas Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut
tembakan dari kegelapan. Dor... dor.... Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang
tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.
Insiden itu memicu beragam kecurigaan. Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya
adalah panglima sebuah kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah
Surakarta.
Muncul spekulasi baru. Sutarto sengaja ditembak karena dianggap melawan Program
Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara yang digulirkan kabinet Hatta. Sutarto
menganggap program ini tak transparan dan mengancam posisi pasukannya.
Front Demokrasi Rakyat/PKI yakin pembunuhan Sutarto adalah teror politik gaya Hatta.
"Ini rasionalisasi dalam bentuk lain. Kami yakin Hatta sendiri yang langsung turun tangan
karena dia Menteri Pertahanan saat itu," kata Soemarsono, mantan Gubernur Militer
Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun.
Spekulasi ini menguat karena insiden penembakan Sutarto terjadi selang 40 hari setelah
ia memimpin parade pasukan di Solo, 20 Mei 1948. Di depan Presiden Sukarno dan
Panglima Besar Sudirman, Sutarto menggelar lima resimen tempurnya, termasuk enam
resimen laskar rakyat, seperti pasukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Tentara
Laut Republik Indonesia, yang dikenal kiri.
Program kabinet Hatta so-al Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara yang
ditentang Sutarto menyorongkan konsep penataan postur angkatan perang yang lebih
ramping dan efisien. Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah Indonesia
yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti
dikutip dalam otobiografinya, merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu
anggota laskar yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.
Perampingan itu dimulai dengan penataan struktur garis dan wilayah komando. Besaran
divisi dan kesatuan komando teritori juga diciutkan. Jawa, misalnya, dari tujuh divisi
menjadi empat divisi. "Semuanya disesuaikan dengan fungsi pertahanan menghadapi
agresi Belanda," kata Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia.
Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, Program
Re-Ra justru bermasalah saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit
personel sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks Peta dan
eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi
pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL naik pangkat dua tingkat.
Menurut Soemarsono, sejatinya FDR/PKI adalah kelompok yang paling dirugikan dengan
Re-Ra. Barisan laskar yang dibangun FDR, seperti Pesindo, biro perjuangan, perwira
politik, dan TNI Masyarakat, akan dilikuidasi karena dianggap bukan TNI. "Sebenarnya
kamilah sasaran tembak utama kabinet Hatta," kata Soemarsono dalam bukunya,
Revolusi Agustus.
Soemarsono sendiri dipecat dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Pangkat
terakhirnya mayor jenderal. Pada bulan yang sama, dipecat pula Wikana, eks Gubernur
Militer Surakarta. Wikana adalah tokoh FDR dan Pesindo. Menyusul kemudian
pembubaran TNI Masyarakat yang dirintis Joko Suyono dan Sakirman.
Menurut Himawan, FDR berang karena penataan sistem komando TNI bisa
menghancurkan upaya FDR membangun kekuatan sejak 1945. Setidaknya 35 persen dari
TNI pada masa itu sudah dipengaruhi "kelompok kiri". Beberapa di antaranya bahkan
panglima kesatuan tempur. "Wajar kalau penolakan para perwira terhadap Re-Ra
kemudian dimanfaatkan tokoh-tokoh kiri," kata Himawan.
Himawan merujuk sikap keras Divisi VI Narotama, Jawa Timur, dan Divisi IV
Panembahan Senopati. Sutarto sendiri dicap "kiri " karena kedekatannya dengan
tokoh-tokoh Front Demokrasi Rakyat/PKI.
Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong penolakan perwira daerah
terhadap Re-Ra, yakni sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan
Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta, pasca-Renville, dan
Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai
wakil Panglima Sudirman. Sosok Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawa
Sudirman sebagai panutan mereka.
Sebagai kota terbesar kedua di Republik setelah Yogyakarta, Solo pada 1948 sudah
padat dengan aneka pendatang dan pengungsi, antara lain Brigade II Siliwangi pimpinan
Sadikin. Buat pasukan setempat, kehadiran Siliwangi dianggap sebagai "intruders" atau
orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga mereka.
Kontak senjata terbuka antara KPPS dan Siliwangi bisa dicegah berkat langkah bijak
Komandan Komando Militer Kota Solo Mayor Achmadi. Belakangan terbukti Sutarto
dibunuh Pirono atas suruhan tokoh PKI, Alimin.
Ketegangan makin memuncak ketika perwira ALRI-Gajah Mada yang juga tokoh FDR,
Mayor Esmara Sugeng, dan enam perwira KPPS lainnya "dibawa" ke Siliwangi. Para
perwira itu dikabarkan ditawan di asrama kompi Siliwangi yang dipimpin Kapten Oking di
Srambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan.
Ketegangan itu membuat Sudirman turun tangan. Namun sejumlah perundingan yang
digelar tak banyak menyelesaikan masalah. Letnan Kolonel Sadikin tetap emoh melepas
para perwira KPPS dengan alasan tidak tahu ada penculikan-meski belakangan akhirnya
enam perwira itu diketahui ditahan di penjara Wirogunan, Yogya.
Gencatan senjata yang digariskan Sudirman dalam perundingan di Balai Kota Solo toh tak
ditaati. Esok harinya, 16 September, giliran Markas Pesindo di Jalan Singosaren diserbu.
Selain pasukan Siliwangi, ikut juga Barisan Banteng dan GRR. Ketegangan menjalar ke
seluruh penjuru Solo.
Presiden Sukarno menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer. Keputusan
itu, menurut Nasution, diambil bersama Sudirman. Mereka bertiga akhirnya bertemu
dengan Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta sekitar pukul 23.00 WIB.
Di Solo, 18 September 1948, Gubernur Militer Solo Gatot Subroto meminta aksi tembak
dihentikan. Gatot juga menyatakan batalion Ahmad Jadau, Soejoto, dan Dahlan
dinyatakan liar.
Clash antarkesatuan di Solo ternyata dipantau penuh oleh Belanda. Pusat Dinas Intelijen
Militer Belanda, Centrale Militaire Inlichtingen Dienst, pada 23 September 1948,
seperti dikutip Himawan, menyebut Solo memang akan dijadikan "Wild West" oleh
kelompok Musso sebagai pengalih perhatian dari gerakan yang terjadi di Madiun.
Disebutkan pula, sesungguhnya pertikaian bersenjata itu adalah antara dua pasukan yang
sama-sama berhaluan komunis, yaitu Divisi IV Panembahan Senopati-di bawah pengaruh
Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin-dan Satuan Divisi Siliwangi di bawah pengaruh
pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Dr Muwardi.
Infiltrasi ke Siliwangi, kata dokumen itu, dilakukan sejak 1947 oleh satuan eks Brigade
Tjitarum, pasukan Tan Malaka. "Mereka sama-sama mau merebut kekuasaan komunis,
tapi beda kiblat," kata sejarawan Rushdy Hussein.
Karena itu, menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman
Adam, pertempuran ala "koboi" di Solo seperti lingkaran. "Hanya berputar-putar antara
Musso dan Tan Malaka. Dua-duanya siap meledak."
DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan
kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya.
Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan
panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa
Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga
puluh hektare ini.
Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi,
pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar
bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.
Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri.
Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara
dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun:
The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa
Madiun oleh Amerika.
Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga
tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan
pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini
ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI.
Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili
Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad
Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala
Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat
Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins.
Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika
memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan
Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin
Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan
Peristiwa Madiun.
Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI
memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia
dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi
Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan
Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan
Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan
Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi.
Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan
setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan
dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui
pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat
Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno
menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak
pada Hatta," kata Soemarsono.
Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan
politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah
mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen
kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan
(proposal) itu mengada-ada," katanya.
Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya,
setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke
Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan
binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya
gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai
mitos," ujar Rushdy.
Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap
pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia
pada 9 Agustus 1948," tulis Swift.
Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi
komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar
Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin
menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet
Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan
dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak
kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan.
Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan
kesepakatan dengan Belanda.
Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk
pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer
kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata.
Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari
Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah
menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan
untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.
Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab
upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika
kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan,
saat berbicara dengan Cochran setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan
membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan
ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta.
Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun
akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa
Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis".
Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada
pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta
warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan
sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya,
Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel
Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno.
Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk
apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi
Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive
Proposal.
Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah
kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua
Badan Kongres Pemuda Madiun.
Rumah itu pula yang pada pekan ketiga September 1948 berkali-kali didatangi orang
berseragam militer. Tamu yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda
Sosialis yang masuk jadi tentara di Brigade 29.
Soemarsono memang sudah tak lagi bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri
Mohammad Hatta dari Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya
juga dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu pentolan
Pesindo.
Saban kali bekas anak buahnya datang, yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. "Mereka
melaporkan ada pasukan dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas
mereka," kata Soemarsono.
Lain waktu mereka melaporkan hilangnya tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh
Daerah Autonom. Penculiknya ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata
yang sama juga dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.
Nugroho, tukang gambar poster Badan Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi
Madiun memang panas. "Ada tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering
bentrok," ujarnya. Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan
logo tengkorak di seragamnya.
Rentetan masalah itu mengingatkan Soemarsono akan cerita tiga perwira-Letnan Kolonel
Suwardi, Komandan Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan
Kolonel Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini
menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di daerah mereka.
Soemarsono yakin hanya dalam hitungan hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun.
Apalagi intelijennya di Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari
pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29 juga akan
dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.
Ia makin yakin saat didatangi kawan lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan
kabar senada. Moestopo, yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi,
bahkan mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. "Tangkap saja. Tapi
apa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!" Soemarsono balik menghardik.
"Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam
begitu?" kata Soemarsono menirukan ucapan Sungkono. "Hadapi saja Siliwangi itu, kami
sepenuhnya di belakang Madiun."
Madiun sendiri jadi basis massa yang solid buat gerakan ini karena kota itu punya
bengkel kereta api dan banyak pabrik gula. "Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik
dan serikat buruh kereta api," kata mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar di
Madiun, Yusuf Musdi.
Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16 September berangkat meminta restu kepada
Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan
kekhawatiran adanya penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front
Demokrasi Rakyat-organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.
Namun peneliti sejarah dari Universitas Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut.
Menurut dia, petinggi Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift
merujuk pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang menyebut
para aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak tahu-menahu rencana
Soemarsono yang disebut "agak terburu-buru" itu.
Himawan Soetanto sependapat dengan Swift. Himawan melihat petinggi Front belum
menghendaki gerakan bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah,
Musso dan Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang dukungan.
Himawan yang ikut operasi Siliwangi menyerang Madiun juga menilai perhitungan
Soemarsono meleset. Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah
berbalik menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.
Pada 17 September malam, suasana Pabrik Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang
tinggal di Asrama Rejoagung diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. "Kami diminta
tenang dan jangan keluar," katanya.
Lewat tengah malam terdengar letusan pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi
buta itu menandai bergeraknya serdadu Brigade 29.
Kalah dalam jumlah, lawan di markas Polisi Militer dan "pasukan tengkorak" dengan
cepat ditekuk pasukan Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dari
Rejoagung terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas polisi
itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. "Suara tembakan baru berhenti sekitar
pukul empat pagi," ujarnya.
Nugroho bercerita, semua aktivis Badan Kongres baru berani keluar asrama saat hari
sudah terang dan melihat barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. "Panjang
sekali, saya lihat ada yang belum berpakaian," ucapnya. "Semua digiring entah ke mana."
Penyerangan rupanya meluas sampai ke tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di
perbatasan Madiun dan Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya
menyerah karena kehabisan peluru.
Menurut Soemarsono, cuma dua anak buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka,
Soemarsono berseru lantang, "Van Madiun begint de victorie!" Dari Madiun kemenangan
dimulai.
KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan tegas, jelas, sesekali meledak-ledak.
Ingatannya terjaga baik, ia bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah,
tubuhnya yang terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar tentang
sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi pemutarbalikan sejarah, dan itu
tak adil baginya.
Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga bekas
pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah
bagian penting dari sejarah hidupnya.
Dia berperan penting mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan
ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam
beberapa jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan
polisi militer di barak-barak mereka sendiri.
Sebagian besar anggota Brigade 29 memang eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama
pasukan ini bertarung hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris,
pada 10 November 1945. "Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya besar,"
kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.
Ditemui dua kali pada September lalu di rumah putrinya di Jakarta, Soemarsono, yang
kini bermukim di Sydney, Australia, menceritakan kembali apa yang terjadi di Madiun
dan sekitarnya pada akhir 1948. Ia tetap keras menolak peristiwa itu disebut sebagai
pemberontakan.
Saya menolak istilah pemberontakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Madiun
itu. Kami tidak berinisiatif untuk terlibat dalam bentrokan. Kami hanya membela diri.
Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal
September 1948. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan di kantor
wali kota. Setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang, diculik tentara.
Reaksi Anda?
Saya tentu bertanya kepada komandan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Madiun,
Letkol Sumantri. Dia mengaku tidak tahu siapa yang menculik. Lho kok bisa, padahal
kami mendapat informasi dari anak-anak Brigade 29 bahwa ketiga aktivis buruh itu
ditahan di markas Siliwangi. Saya berkesimpulan, para penculik adalah tentara gelap
yang tidak melapor saat masuk Madiun. Kami putuskan bergerak untuk membebaskan
pemimpin buruh yang diculik.
Saya akan ditangkap. Dokter Moestopo, kawan seperjuangan saya dari Surabaya, datang
menemui saya di Pabrik Gula Rejoagung. Dia kolonel pasukan Siliwangi. Begitu bertemu,
dia memeluk saya dan menangis. Saya bertanya, ada apa. Dia mengaku mendapat
perintah untuk menangkap saya. Tentu saya marah. Saya berkata padanya, tangkap saja,
tapi apa mungkin menangkap saya tanpa ada perlawanan.
Lalu?
Setelah itu, datanglah Kepala Korps Polisi Militer Madiun, Kapten Sunardi, ke tempat
saya. Dia juga memberikan informasi bahwa saya akan ditangkap. Saya bertanya: soal
apa. "Bung dianggap melawan pemerintah," kata Sunardi. Staf intelijen Pesindo
menyampaikan kabar serupa. Sejak itu saya lebih berhati-hati.
Suatu hari, seseorang menembak saya di pekarangan rumah. Tapi tembakannya meleset,
dan peluru kena pohon. Sejak itu, saya bersiap-siap. Pasti ada yang menteror. Saya
siapkan pistol di mobil, meskipun saya pergi ke mana saja tanpa sopir. Mobil saya waktu
itu Chevrolet tahun 1942.
Banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo
sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan
melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam.
Mengapa Anda merasa terdesak? Bukankah Madiun ketika itu basis PKI?
Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Kabinet
Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang
kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Kami, yang tidak pernah
bersekolah formal, tidak akan pernah menjadi perwira. Pendidikan tentara Divisi
Senopati, misalnya, paling tinggi ongko loro (kelas dua SD). Kami semua akan diganti
dengan tentara sekolahan. Siliwangi yang akan paling diuntungkan.
Anda menuding Hatta ikut melakukan provokasi sampai terjadi Peristiwa Madiun?
Hatta jelas melakukan provokasi. Dia yakin, jika masih ada orang PKI di aparatur
pemerintah, Barat tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dia juga membebaskan
Tan Malaka. Padahal semua orang tahu Tan Malaka musuh orang-orang PKI.
Itu jelas. Proposal itu terkait dengan proses pengakuan de jure masyarakat
internasional atas Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat meminta agar
orang-orang kiri di pemerintahan disingkirkan dulu. Jika itu dilakukan, baru Indonesia
akan mendapat pengakuan.
Saya yang bertindak duluan, pada dinihari 18 September. Tepat pukul dua pagi, kami
melucuti pasukan Brimob, polisi militer, dan Siliwangi. Waktu itu jatuh korban tewas
lima orang. Tiga orang dari mereka dan dua orang Brigade 29.
Jadi tidak benar bahwa di Madiun ketika itu semua bendera Merah Putih diganti
bendera merah palu-arit, dan ada ribuan muslim dimasukkan ke penjara. Setelah
pelucutan pasukan, situasi Madiun biasa-biasa saja.
Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu.
Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada
pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta, melaporkan situasi di Madiun.
Supardi, Wakil Wali Kota Madiun. Semula saya minta komandan teritorial, Letkol
Sumantri, yang melapor. Dia tidak berani. Residen Madiun, Samadikun, tidak ada di
tempat. Wali Kota Madiun juga tidak berani. Ya sudah, saya tunjuk Supardi. Saya bilang,
kamu sebagai wakil wali kota lapor saja, minta instruksi dari pemerintah Hatta di Yogya,
apa yang harus dilakukan.
Itu bukan proklamasi pemerintahan baru. Kami hanya bersiap-siap, karena ada informasi
bahwa kami akan diserang. Saat itu semua wakil partai juga diajak berembuk bersama di
Balai Kota Madiun. Namun, setelah Sukarno berpidato di radio menuduh kami berontak,
situasinya berubah. Pak Musso marah sekali. Pidato balasannya itu tanpa teks.
(Rosihan Anwar dalam sebuah tulisan pernah menuliskan keadaan ini. "Malam tanggal 19
September 1948 Presiden Sukarno bicara di depan RRI-Yogya dan meminta rakyat
memilih antara Muso-PKI dengan Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di
depan radio Madiun dan mengatakan 'rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa
Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus
mati'." Red.)
Saya disalahkan oleh pemimpin PKI yang baru di bawah D.N. Aidit. Saya di-black out
oleh partai. Semua peran saya dihapus. Saya diminta tidak disiarkan sebagai orang yang
terlibat peristiwa Surabaya 10 November, misalnya. Saya diminta menyingkir karena
partai mau membangun kembali basisnya. Saya lalu pergi ke Pematang Siantar,
Sumatera Utara, dan menjadi guru di sana. Tapi, begitu pecah peristiwa 1965, saya
ditangkap lagi oleh Orde Baru.