Anda di halaman 1dari 24

Refarat

April 2019

ILEUS OBSTRUKSI

Disusun Oleh:
Muh. Rifaldi Taslim
N 111 17 148

Pembimbing Klinik:
dr. Ahmadi Alwi, Sp.B, M.kes

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ileus obstruksi merupakan salah satu kasus yang dapat menimbulkan
komplikasi serius sehingga sangat memerlukan penangangan dini dan adekuat. Ileus
obstruksi yang disebabkan karena adanya sumbatan dapat terjadi pada usus halus
maupun usus besar dan terdiri dari 2 tipe yaitu obstruksi yang terjadi secara mekanik
maupun non mekanik. Obstruksi mekanik terjadi karena usus terblok secara fisik
sehingga isi dari usus tersebut tidak bisa melewati tempat obstruksi. Hal ini bisa
disebabkan oleh banyak faktor salah satunya seperti volvulus (usus terpuntir) yang
dapat terjadi karena hernia, pertumbuhan jaringan abnormal, dan adanya benda asing
dalam usus (Manaf, 2010).
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh
gangguan peristaltis. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik. Penyumbatan
dapat terjadi dimana saja di sepanjang usus. Pada obstruksi usus harus dibedakan lagi
obstruksi sederhana dan obstruksi strangulata. Obstruksi usus yang disebabkan oleh
hernia, invaginasi, adhesi dan volvulus mungkin sekali disertai strangulasi, sedangkan
obstruksi oleh tumor atau askariasis adalah obstruksi sederhana yang jarang
menyebabkan strangulasi. istilah obstruksi digunakan untuk suatu kemacetan
mekanik yang timbul akibat suatu kelainan struktural yang menyebabkan suatu
penghalang fisik untuk majunya isi usus. Istilah ileus dimaksudkan untuk suatu
paralitik atau variasi obstruksi fungsional (Mansjoer, 2000)
Obstruksi pada intestinal juga dapat menimbulkan berbagai macam
komplikasi seperti peritonitis dan terganggunya keseimbangan cairan dan elektrolit
yang dapat menimbulkan gagal ginjal akut. Kedua kondisi tersebut merupakan
kondisi serius sehingga memerlukan penanganan cepat dan tepat sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortilitas akibat ileus obstruksi (Scanlon, Valerie.,
2007).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus
Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh
sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke
distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam
lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan
vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus
tersebut (Sjamsuhidajat, 2003).
Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus
obstruksi mekanik dan non mekanik. Ileus obstruksi mekanik terjadi karena
penyumbatan fisik langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau
hernia sedangkan ileus obstruksi non mekanik terjadi karena penghentian
gerakan peristaltic (Manaf , 2010).

B. Epidemiologi
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan
darurat, dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal
dan diagnosis yang tepat. Apabila tidak diatasi maka obstruksi usus halus dapat
menyebabkan kematian pada 100% pasien (Manaf. 2010).
Hampir seluruh obstruksi pada usus besar atau kolon memerlukan
intervensi pembedahan. Mortalitas dan morbiditas sangat berhubungan dengan
penyakit yang mendasari dan prosedur pembedahan yang digunakan. Obstruksi
kolon sering terjadi pada usia lanjut karena tingginya insiden neoplasma dan
penyakit lainnya pada populasi ini. Pada neonatus, obstruksi kolon bisa
disebabkan karena adanya kelainan anatomi seperti anus imperforata yang secara
sekunder dapat menyebabkan mekonium ileus (Sloane, 2003).

3
C. Etiologi
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :
a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit
usus.
b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn.
c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
d. Neoplasma.
e. Intususepsi.
f. Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris
h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik.
i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma (Mansjoer, 2000).
Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat terjadi
di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah :
a. Karsinoma.
b. Volvulus.
c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit Hirschsprung
d. Inflamasi.
e. Tumor jinak.
f. Impaksi fekal (Mansjoer, 2000).

D. Anatomi
1. Duodenum
Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan usus yang
berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan
jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum
merupakan bagian terminal/muara dari system apparatus biliaris dari
hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan
batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna dipisahkan

4
menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya ligamentum Treitz
(m. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura duodenojejunales
yang merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen
duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yg disebut dengan plica
sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio
epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yg
disebut dengan mesoduodenum. Duodenum terdiri atas beberapa bagian
yaitu:
a) Duodenum pars Superior
b) Duodenum pars Descendens
c) Duodenum pars Horizontal
d) Duodenum pars Ascendens (Scanlon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Usus Halus


2. Jejunum dan Ileum
Jejunum dan ileum juga sering disebut dengan usus halus/usus
penyerapan membentang dari flexura duodenojejunales sampai ke
juncture ileocacaecalis. Jejunum dan ileum ini merupakan organ
intraperitoneal. Jejunum dan ileum memiliki penggantung yang disebut
dengan mesenterium yang memiliki proyeksi ke dinding posterior

5
abdomen dan disebut dengan radix mesenterii. Pada bagian akhir dari
ileum akan terdapat sebuah katup yang disebut dengan valvulla ileocaecal
(valvulla bauhini) yang merupakan suatu batas yang memisahkan antara
intestinum tenue dengan intestinum crassum. Selain itu, juga berfungsi
untuk mencegah terjadinya refluks fekalit maupun flora normal dalam
intestinum crassum kembali ke intestinum tenue, dan juga untuk mengatur
pengeluara zat sisa penyerapan nutrisi. Berikut adalah perbedaan antara
jejunum dan duodenum (Scanlon, 2007).

Gambar 2. Bagan Perbedaan Jejunum dan Ileum

6
Gambar 3. Perbedaan Jejunum dan Ileum
Usus besar besar lebih panjang dan lebih besar diameternya dari pada
usus halus. Panjang usus besar mencapai 1,5 m dengan diameter rata-rata
6,5 cm. Semakin mendekati anus diameter semakin mengecil. Usus besar
dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup
ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum (Sherwood,
2001).
Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens,
dan sigmoid. Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan
inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dextra. Setelah mencapai
hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra
(fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio
umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon
transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah,
membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian
menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul.
Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke
bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid

7
bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian
posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid
dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan
menembus dasar pelvis. Di sisi rektum melanjutkan diri sebagai anus
dalan perineum (Scanlon, 2007).

E. Fisiologi
Pada duodenum pars superior secara histologis terdapat adanya sel
liberkeuhn yang berfungsi untuk memproduksi sejumlah basa. Basa ini
berfungsi untuk menaikkan pH dari chymus yang masuk ke duodenum dari
gaster, sehingga permukaan duodenum tidak teriritasi dengan adanya
chymus yang asam tadi (Sherwood, 2001).
Selain itu, pada duodenum terjadi proses pencernaan karbohidrat
secara enzymatic yang telah berbentuk disakarida. Duodenum merupakan
muara dari ductus pancreaticus, dimana pada pancreas diproduksi enzyme
maltase, lactase dan sukrase. Dimana enzyme maltase akan berfungsi untuk
memecah 1 gugus gula maltose menjadi 2 gugus gula glukosa. Sedangkan
lactase akan merubah 1 gugus gula laktosa menjadi 1 gugus glukosa dan 1
gugus galaktosa. Sementara itu, enzyme sukrase akan memecah 1 gugus
sukrosa menjadi 1 gugus fruktosa dan 1 gugus glukosa (Sherwood, 2001).
Sementara itu,di dalam duodenum juga terjadi pencernaan lipid
secara enzymatic. Dimana lipid dalam bentuk diasilgliserol akan teremulsi
oleh adanya getah empedu yang dialirkan melalui ductus choledocus dari
vesica fellea dan hepar. Setelah itu, emulsi lemak tersebut akan diubah oleh
enzyme lipase pancreas menjadi asam lemak dan 2 diasilgliserol (Sherwood,
2001).
Dilihat secara histologik, jejunum dan ileum memiliki vili vhorialis.
Dimana vili chorialis ini berfungsi utk menyerap zat2 gizi hasil akhir dr
proses pencernaan spt glukosa, fruktosa, galaktosa, peptide, asam lemak dan
2 asilgliserol (Sherwood, 2001).

8
Gambar 4. Traktus Digestifus

F. Patofisiologi
Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi
akibat adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus,
pankreas, dan sekresi biliary. Cairan yang terperangkap di dalam usus halus
ditarik oleh sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang
dimuntahkan keluar sehingga akan memperburuk keadaan pasien akibat
kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. Jika terjadi hipovolemia
mungkin akan berakibat fatal (J.Corwin, 2001).
Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi
pembuluh darah vena, dan segmen usus yang terpengaruh akan menjadi
edema, anoksia dan iskemia pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis,
perforasi yang akan mengarah ke peritonitis, dan kematian. Septikemia
mungkin dapat terjadi pada pasien sebagai akibat dari perkembangbiakan
kuman anaerob dan aerob di dalam lumen. Usus yang terletak di bawah
obstruksi mungkin akan mengalami kolaps dan kosong (Schrock, 1993).

9
Gambar 5. Gangguan pada usus
Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak
tinggi/obstruksi usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat
munculnya muntah. Dan sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak
rendah (obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin
dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab
diperlukan banyak waktu untuk mengisi semua lumen usus. Kolik abdomen
mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal. Hipotensi dan takikardi
merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta leukositosis
merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi usus pada
umumnya keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk
mengalahkan obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam, mungkin
menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan tanda akhir
suatu obstruksi (J.Corwin, 2001).

G. Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:
1. Kecepatan timbul (speed of onset)
a. Akut, kronik, kronik dengan serangan akut

10
2. Letak sumbatan
a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum
terminal)
b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal
sampai anus)
3. Sifat sumbatan
a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah
b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah
sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi
4. Etiologi
a. Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus
(Price, S.A. 1994).

H. Gejala Klinis
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen,
mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual
muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di
bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi
abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus
menjadi sangat dilatasi (Sjamsuhidajat, 2003).
Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut
sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu
obstruksi sederhana yang tidak melibatkan pembuluh darah, sakit cenderung
menjadi kolik yang pada awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin
meningkat, baik dalam frekuensi atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin
akan berlanjut atau hilang timbul. Pasien sering berposisi knee-chest, atau
berguling-guling. Pasien dengan peritonitis cenderung kesakitan apabila
bergerak (Mansjoer, 2000).
Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang –
kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya

11
mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus
halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan
distensi abdomen. Muntah adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak
tinggi atau proksimal. Bagaimanapun, jika obstruksi berada di distal usus
halus, muntah mungkin akan tertunda. Pada awalnya muntah berisi semua
yang berasal dari lambung, yang mana segera diikuti oleh cairan empedu,
dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang sudah basi.
Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya
muncul gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau
kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau
letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal) maka
nyeri bersifat konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm
steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik
berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi
metalik (klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus
berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada palpasi tidak terdapat
nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis (Himawan,
1996).
Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan
cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis
takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang –
kadang dapat meningkat. Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat
terjadi dengan cepat kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui
pembuluh darah (intravena). Derajat tingkat dan distribusi distensi
abdominal dapat mencerminkan tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak
tinggi, distensi mungkin minimal. Sebaliknya, distensi pusat abdominal
cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak rendah (Sjamsuhidajat,
2003).

12
Tidak ada tanda pasti yang membedakan suatu obstruksi dengan
strangulasi dari suatu obstruksi sederhana: bagaimanapun, beberapa keadaan
klinis tertentu dan gambaran laboratorium dapat mengarahkan kepada tanda-
tanda strangulasi (Badash, 2005)
a. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi,
artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di
dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah.
Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai
kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala
muntah yang banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun
obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri
abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian
atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin
fekulen (Himawan, 1996).
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan
dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa
normal sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau
tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di
daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat
didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal
(Andari, 1994).
b. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan
disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya
skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi
berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan
tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk
mencegah terjadinya nekrosis usus (Himawan, 1996).

13
Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri
akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan
terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis.
Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi
atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih
sering terjadi pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian
dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila
akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak
gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada
keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering
mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan
dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan
distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien
yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi. Nyeri
yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi
(Andari, 1994).

I. Diagnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab
misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat
hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit.
Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus,
hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik
tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus
dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas
sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi.
Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya
nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal (Khan, 2012).

14
Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan
buang air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai
kolik pada perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut
yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran setempat karena peristaltis
yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada
dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian
proksimal karena bagian ini mudah membesar (Mansjoer, 2000).
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi
hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan
radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus
menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi
dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya
obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan
lupa untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan
colok dubur dan barium in loop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula
kemungkinan terjadi hernia (Khan, 2012).
Diagnosis Banding
Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan
difus, dan terjadi distensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak
terdengar dan tidak terjadi ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan
oleh proses inflamasi akut, akan ada tanda dan gejala dari penyebab primer
tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga
dapat menyerupai obstruksi usus sederhana (Schrock, 1993).
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya
dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil
laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase
sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau
strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi

15
dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang
meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya
gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis
metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda
shock, dehidrasi dan ketosis (Himawan, 1996).
Radiologis
Posisi supine (terlentang): tampak herring bone appearance. Posisi
setengah duduk atau LLD: tampak step ladder appearance atau cascade.
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid
level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu
obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada
obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon
(Andari, 1994).
a. Foto polos abdomen 3 posisi
1. Ileus obstruktif letak tinggi
Tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan paling
distal di iliocaecal junction) dan kolaps usus di distal sumbatan.
Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan
gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus
yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan
muskulus yang sirkuler menyerupai kosta. Tampak air fluid level
pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step ladder
appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang
terdistensi (Andari, 1994).

16
Gambar5. Gambaran Herring bone appearance
2. Ileus obstruktif letak rendah
Tampak dilatasi usus halus di proksimal sumbatan (sumbatan di
kolon) dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan dinding usus
halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran herring bone
appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan
menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang
sirkuler menyerupai kosta. Gambaran penebalan usus besar yang
juga distensi tampak di tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid
level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step
ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus
halus yang terdistensi dan air fluid level panjang-panjang di kolon
(Andari, 1994).

17
Gambar 6. Gambaran air fluid level
b. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam
pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan
lokasi dari obstruksi.
c. USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab
dari obstruksi.
d. MRI. Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan
kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini
digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
e. Angiografi. Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk
mendiagnosis adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus,
malrotation, dan adhesi (Andari, 1994).

J. Komplikasi
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian
akibat obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang
mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus
yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan

18
menggeluarkan materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Pada obstruksi
kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan
perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat
peritonitis umum. Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri
dapat melintasi usus yang permeabel tersebut dan masuk ke dalam sirkulasi
tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan shock septic (Badash,
2005).

K. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang
mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya
selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua.
Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita
penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit (Schrock, 2003).
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan
elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal
(Andari, 1994).
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda –
tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi
mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu
diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat
dilihat dengan memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar.
Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric
tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah
aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen (Schrock,
1993).

19
Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah (Mansjoer, 2000).
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik
untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil
eksplorasi selama laparotomi (Mansjoer, 2000).
a. Persiapan Operasi
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah
aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien
dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit
untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai
barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau
karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif (Schrock,
1993).
b. Operasi
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil
eksplorasi selama laparotomi. Operasi dapat dilakukan bila sudah
tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan.
Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera
mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila terjadi:
1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter) (Sjamsuhidajat,
2003).

20
c. Pasca Operasi
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan
kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih
dalam keadaan paralitik. Tujuan pengobatan yang paling utama adalah
dekompresi kolon yang mengalami obstruksi sehingga kolon tidak
perforasi, tujuan kedua adalah pemotongan bagian yang mengalami
obstruksi (Sjamsuhidajat, 2003).
Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada obstruksi usus
halus, operasi terdiri atas proses sesostomi dekompresi atau hanya
kolostomi transversal pada pasien yang sudah lanjut usia. Perawatan
sesudah operasi ditujukan untuk mempersiapkan pasien untuk menjalani
reseksi elektif kalau lesi obstruksi pada awalnya memang tidak dibuang
(Schrock, 1993).

L. Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti
umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat
muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan
operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas.
Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus
halus (Khan, 2012).
Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi
mempunyai angka kematian 5 %. Kebanyakan pasien yang meninggal
adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang mengalami
strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan
dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala-gejala, dan 25 % jika
operasi diundurkan lebih dari 36 jam. Pada obstruksi usus besar, biasanya
angka kematian berkisar antara 15–30 %. Perforasi sekum merupakan
penyebab utama kematian yang masih dapat dihindarkan (Khan, 2012).

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.
2. Etiologi ileus obtruktif adalah adhesi, hernia inkaserata, neoplasma, volvulus,
cacing askaris, radang usus.
3. Gejala yang sering ditemukan pada ileus adalah nyeri kolik, mual, muntah, perut
distensi, obstipasi.
4. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipotensi, takikardi, adanya distensi abdomen,
hiperperistaltik, borborigmus, methallic sound.
5. Pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan adanya dilatasi pada proksimal
sumbatan, herring bone appearance, air fluid level.
6. Penanganan pada ileus adalah koreksi keseimbangan cairan dan menghilangkan
obstruksi dengan laparotomi.
7. Komplikasinya adalah strangulasi, perforasi, shock septic.
8. Prognosis ileus jika > dari 36 jam tidak segera ditangani 25 % menyebabkan
kematian.

22
DAFTAR PUSTAKA

Andari, K. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah Sakit
Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya

Badash, Michelle. 2005. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel


Obstruction). EBSCO Publishing.

Doherty Gerard. Small Intestine. In Current Diagnosis & Treatment: Surgery. United
States of America: Mc Graw Hill’s. 2005

Himawan S. Gannguan Mekanik Usus (Obstruksi). Dalam: Patologi. Penerbit Staf


Pengajar bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 1996; 204 – 6.

J.Corwin, Elizabeth.,2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta

Khan AN., Howat J. Small-Bowel Obstruction. Last Updated: june4, 2012. In:
Http://www.yahoo.com/search/cache?/ileus_obstructif/Article:By:eMedicine.c
om

Manaf M, Niko dan Kartadinata, H. Obstruksi Ileus. 1983. Accessed June 2, 2010

Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif. Dalam:


Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000; 318 – 20.

Price, S.A. 1994. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price,
S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC

Scanlon, Valerie., 2007. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Schrock TR. Obstruksi Usus. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery). Alih
Bahasa: Adji Dharma, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1993;
239 – 42.

23
Sherwood, Lauralee., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi II. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Simeone Diane. Anatomy and Physiology of the Small Intestine. In Greenfield’s


Surgery: Scientific Principles and Practice. Baltymore: Lippincott Williams
and Wilkins. 2006

Sjamsuhidajat r, De Jong W. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Sloane, Ethel., 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai