Anda di halaman 1dari 27

1

2.1.1 Jenis-jenis Down Syndrome

Terdapat 3 variasi genetik yang menjadi penyebab down syndrome

(Selikowitz, 2001), yaitu :

1. Trisomi 21

Keadaan ini disebabkan oleh adanya ekstra kromosom 21 dalam

semua sel individu. Hal seperti itu terjadi karena salah satu dari

orangtua memberikan dua kromosom 21 baik melalui sel telur

maupun melalui sperma, bukannya satu seperti biasanya. Ini

merupakan bentuk yang paling banyak terjadi (95%) pada anak-anak

down syndrome yang lahir dari ibu dengan bermacam-macam usia.

2. Translokasi

Pada tipe ini, sebagian dari kromosom lain tersangkut pada

kromosom 21. Hal itu terjadi ketika bagian atas yang kecil dari

kromosom 21 dan sebuah kromosom lain pecah, lalu kedua bagian

yang tersisa saling melekat satu sama lain pada bagian ujungnya.
2

Proses saling melekat tersebut dinamakan translokasi. Kromosom

yang terlibat hanya tertentu saja, yaitu kromosom yang memiliki

ujung-ujung kecil yang secara genetik tidak aktif, yang dapat putus

dan hilang tanpa menimbulkan efek buruk seperti kromosom 13, 14,

15, 22 atau kromosom 21 lainnya. Kasus seperti ini terjadi hanya 3-

4% pada anak-anak penyandang down syndrom.

Jenis Translokasi ini bisa terjadi apabila salah satu orangtua

merupakan pembawa. Yang dimaksud dengan pembawa adalah

orang yang normal yang memiliki 23 pasang kromosom namun salah

salah satu dari kromosom 21 melekat dengan kromosom lainnya.

Maka masalah yang akan timbul adalah pada saat memproduksi

sperma atau sel telur adalah sulitnya untuk membagi jumlah

kromosom dengan merata, karena kedua kromosom tersebut sudah

saling melekat satu sama lain.

3. Mosaik

Pada keadaan ini, hanya sebagian sel yang mengandung ekstra

kromosom sedangkan sel yang lain normal. Individu-individu ini

dikatakan menunjukkan gambaran mosaik karena sel-sel tubuh

mereka seperti mosaik yang tersusun dari potongan-potongan yang

berbeda, sebagian normal dan sebagian dengan kromosom

tambahan. Kasus ini adalah kasus yang paling jarang terjadi pada

anak down syndrome, jumlahnya hanya 1% saja.

Penyandang jenis ini seringkali memiliki ciri-ciri fisik down syndrome

yang kurang menonjol dan berkembang lebih mendekati normal.

Meskipun sangat jarang terjadi, penyandang dengan bentuk seperti

ini dapat memiliki intelektualitas yang normal.


3

2.1.2 Karakteristik Down Syndrome

Beberapa ciri-ciri penyandang down syndrome meliputi karakteristik fisik,

kognitif, dan kepribadian.

a. Karakteristik Fisik

Anak down syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang khas dan

menonjol sehingga mudah bagi mereka untuk dikenali. Hal tersebut

yang kemudian membedakan mereka dengan anak-anak yang normal.

Selikowitz (2001) menyebutkan ciri-ciri yang penting dalam mengenali

kelainan down syndrome, yaitu :

a. Wajah

Ketika mereka dilihat dari depan, anak penyandang down syndrome

biasanya mempunyai karakteristik wajah yang bulat. Dari samping,

bentuk wajah mereka cenderung datar.

b. Kepala

Sebagian besar penyandang down syndrome memiliki bagian

belakang kepala yang sedikit rata. Ini dikenal dengan istilah

brachycephaly.

c. Mata

Hampir semua penyandang down syndrome memiliki mata yang

sedikit miring ke atas. Selain itu, seringkali ada lipatan kecil pada

kulit secara vertikal antara sudut dalam mata dan jembatan hidung.

Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau epicanthus.

Hal tersebut memberikan kesan mata terlihat juling. Mata

mempunyai bintik putih atau kuning terang di sekitar pinggir selaput

pelangi (bagian berwarna dari mata). Bintik itu disebut dengan


4

brushfield, yang dinamai sesuai dengan nama penemunya yaitu

Thomas Brushfield.

d. Rambut

Penyandang down syndrome biasanya memiliki rambut yang lemas

dan lurus.

e. Leher

Bayi-bayi yang baru lahir dengan mengidap down syndrome

memiliki kulit berlebih pada bagian belakang leher namun hal ini

biasanya berkurang seraya usia mereka bertambah. Anak-anak

yang lebih besar dan dewasa cenderung memiliki leher yang

pendek dan lebar.

f. Mulut

Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari

ukuran anak pada umumnya. Kombinasi ini membuat sebagian

anak mempunyai kebiasaan menjulurkan lidahnya.

g. Tangan

Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek. Jari

kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi, bukan dua

seperti biasanya. Jari kelingking mungkin juga sedikit melengkung

ke arah jari-jari lain. Keadaan ini disebut dengan istilah klinodaktili.

Telapak tangan hanya memiliki satu alur yang melintang dan

apabila ada dua garis, keduanya memanjang melintasi tangan.

h. Kaki

Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang

lebar antara ibu jari dengan telunjuk. Hal itu disertai dengan suatu
5

alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari celah antar jari lalu

ke belakang sepanjang beberapa sentimeter.

i. Tonus

Tungkai dan leher penyandang down syndrome yang masih kecil

seringkali terkulai. Lembeknya otot (Hipotonia) berarti mempunyai

tonus rendah. Tonus adalah tahanan yang diberikan oleh otot

terhadap tekanan pada waktu otot dalam relaksasi. Tonus ini selalu

paling rendah pada tahun-tahun awal dan kembali secara spontan

sewaktu anak tersebut bertambah besar. Tonus berbeda dengan

kekuatan otot yang membutuhkan kontraksi otot yang aktif.

Kekuatan otot-otot biasanya normal. Otot-otot mereka mungkin

lembek, namun mereka tidak lemah.

j. Ukuran tubuh

Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang

daripada berat rata-rata. Panjang tubuhnya sewaktu lahir juga lebih

pendek. Semasa kanak-kanak, mereka tumbuh dengan lancar

tetapi lambat. Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih

pendek dari anggota keluarga yang lainnya. Tinggi mereka berkisar

sekitar dibawah tinggi rata-rata orang normal.

b. Karakteristik Kognitif

Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan

keluhan utama pada orangtua adalah retardasi mental atau

keterbelakangan mental. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa

kaum profesional mengklasifikasikan anak down syndrome berdasarkan

tingkat keparahan masalahnya. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat

kecerdasan atau skor IQ, yaitu :


6

1. Mild mental retardation (ringan) (IQ 55-70)

Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk yang bisa dididik,

mereka masih bisa dididik di sekolah umum, meskipun hasilnya lebih

rendah daripada anak-anak normal pada umumnya karena rentang

perhatian mereka pendek sehingga sulit berkonsentrasi dalam

jangka waktu yang lama. Mereka juga tidak memperlihatkan kelainan

fisik yang mencolok sekalipun perkembangan fisiknya lebih lambat

dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Tinggi dan

berat badannya tidak berbeda dengan anak-anak normal pada

umumnya namun berdasarkan hasil observasi mereka kurang dalam

hal kekuatan, kecepatan, dan koordinasi, serta sering memiliki

masalah kesehatan. Terkadang sering merasa frustasi saat diminta

berfungsi secara sosial atau akademis yang sesuai dengan usia

mereka sehingga tingkah laku mereka menjadi tidak baik, misalnya

ketika diminta untuk acting out atau menolak untuk melakukan tugas

didalam kelas. Sikap yang ditunjukkan adalah malu dan diam.

Namun hal-hal tersebut dapat berubah bila mereka banyak

dilibatkan untuk berinteraksi dengan anak-anak lainnya.

Di luar pendidikan, mereka dapat melakukan beberapa ketrampilan

sendiri seperti makan, mandi, berpakaian, dan sebagainya. Pada

mereka yang IQ-nya lebih tinggi mampu menikah dan berkeluarga.

2. Moderate mental retardation (IQ 40-55)

Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa ketrampilan tertentu.

Meski sering berespon lama terhadap pendidikan dan pelatihan, jika

diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai maka mereka dapat

dididik untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan-


7

kemampuan tertentu. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya

sendiri dan dilatih untuk membaca dan menulis sederhana. Mereka

memiliki kekurangan dalam kemampuan mengingat bahasa,

konseptual, perseptual, dan kreativitas, sehingga perlu diberikan

tugas yang lebih simpel, singkat, relevan, berurutan.

Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan gejala

bawaan, namun gejala fisik itu tidak seberat yang dialami anak-anak

pada kategori severe dan profound. Mereka memiliki koordinasi fisik

yang buruk dan mengalami masalah di banyak situasi sosial. Selain

itu mereka juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicara

mereka.

3. Severe mental retardation (IQ 25-40)

Pada tingkatan ini memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan

meskipun mereka sudah disekolahkan pada sekolah khusus. Oleh

karena itu mereka membutuhkan perlindungan hidup dan

pengawasan yang lebih teliti, pelayanan dan pemeliharaan yang

terus menerus karena mereka tidak dapat mengurus diri mereka

sendiri tanpa bantuan dari orang lain meskipun menghadapi tugas-

tugas yang sederhana. Mereka jarang sekali dipekerjakan dan

sedikit sekali dalam berinteraksi sosial.

Mereka juga mengalami gangguan bicara, mereka hanya bisa

berkomunikasi secara vokal setelah pelatihan intensif. Tanda-tanda

kelainan fisik lainnya ialah lidah yang seringkali terjulur keluar

bersamaan dengan keluarnya air liur, ukuran kepala lebih besar dari

biasanya. Kondisi fisik mereka lemah sehingga mereka hanya bisa


8

dilatih ketrampilan khusus selama kondisi fisik mereka

memungkinkan.

4. Profound mental retardation (IQ di bawah 25).

Pada tingkatan ini mereka mempunyai problem yang serius, baik itu

menyangkut fisik, inteligensi serta program pendidikan yang tepat

bagi mereka. Pada umumnya mereka memperlihatkan kerusakan

pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus,

mongolism, dan sebagainya. Mereka dapat makan dan berjalan

sendiri namun, kemampuan berbicara dan berbahasa mereka

sangat rendah begitupun dengan interaksi sosial mereka sangat

terbatas. Kelainan fisik lain yang dimiliki mereka dilihat dari kepala

yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Mereka juga sangat

kurang dalam hal penyesuaian diri sendiri seperti sewaktu mereka

berdiri, mereka tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang

lain dan mereka membutuhkan bantuan pelayanan medis yang baik

dan intensif (Mangunsong, 2009).

Meskipun demikian, Mangunsong (2009) menyatakan bahwa biasanya

anak down syndrome memiliki IQ yang berkisar antara mild dan

moderate mental retardation.

Keterbelakangan mental ini menyebabkan penyandang down

syndrome mengalami defisiensi dalam berbagai ketrampilan adaptif

seperti ketrampilan komunikasi dan bahasa, sosial, akademik, merawat

diri, dan hidup berumah tangga, mengatur atau mengarahkan diri, serta

ketrampilan bekerja (Davidson dan Neale, 1998). Keterbatasan tersebut

menjadi keluhan utama bagi orangtua karena dengan keterbatasan

intelektual, anak menjadi tidak dapat mandiri sepenuhnya dan akan


9

selalu membutuhkan dukungan yang berkepanjangan dan terus

menerus dari keluarga dan institusi-institusi tertentu (Hoffnung, 1997).

Namun demikian, melalui pendidikan yang tepat, penyandang down

syndrome dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal

(Selikowitz, 2001). Hall dan Hill (1996) menyebutkan bahwa faktor

lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan anak penyandang

down syndrome.

c. Karakteristik Kepribadian

Dari aspek kepribadian, stereotipe dari anak down syndrome

adalah bersahabat, suka bergaul, dan terbuka. Hal itu memaksudkan

bahwa mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungan secara baik

meskipun keterbelakangan mental membatasi ketrampilan sosialnya.

Hasil dari penelitian lain menunjukkan adanya variasi pada stereotipe

kepribadian dari anak-anak penyandang down syndrome sehubungan

dengan adanya perbedaan pada usia dan jenis kelamin (Wenar, 1994).

Seperti halnya dengan perilaku dan emosinya yang juga bervariasi

sangat luas, seorang anak penyandang down syndrome dapat lemah

dan tidak aktif, sedangkan yang lainnya agresif dan hiperaktif. Sehingga

gambaran stereotipe dimasa lalu tentang anak down syndrome yang

pendek, gemuk, tak menarik dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah

yang terjulur keluar, serta retardasi mental yang berat adalah deskripsi

yang tidak sepenuhnya benar (Soetjiningsih, 1995).

2.1.3 Masalah kesehatan

Kebanyakan dari anak dengan down syndrome mempunyai kesehatan

yang baik. Bila mereka sakit, biasanya penyakit yang disandang adalah

penyakit anak-anak normal pada umumnya yang tidak ada hubungannya


10

sama sekali dengan down syndrome sehingga tidak perlu ditangani dengan

berbeda (Selikowitz, 2001). Namun demikian, Selikowitz (2001) menyebutkan

beberapa keadaan yang lebih sering terjadi pada anak down syndrome adalah

seperti gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, gangguan

penglihatan, gangguan pencernaan, disfungsi pada tiroid, gangguan pada

gigi, penyakit kulit, leukimia, dan kelainan jantung. Hoffnung (1997)

menyebutkan bahwa sebagian besar anak-anak dengan down syndrome

hanya dapat bertahan hidup hingga dewasa muda (middle Adulthood) tetapi

sekitar 14% meninggal pada usia satu tahun dan 21% meninggal pada usia

sepuluh tahun.

Pada awal abad ke 20, individu dengan down syndrome ditakdirkan

hidup di lembaga-lembaga perawatan dan jarang yang dapat bertahan hidup

hingga melewati usia 9 tahun. Namun belakangan peningkatan dalam

intervensi terapeutik dan pendidikan, seperti treatmen medis yang lebih baik

dan penyatuan anak-anak ke sekolah dan komunitas, telah berkontribusi

meningkatkan harapan hidup mereka. Saat ini sebagian besar individu

dengan down syndrome dapat hidup hingga usia sekitar 50 tahun. Akan tetapi

kesehatan mereka yang hidup hingga usia tersebut biasanya buruk, dan

hampir semuanya mengalami perubahan otak hampir sama dengan penderita

Alzheimer (Halgin & Krauss, 2011).

2.1.4 Masalah Perilaku

Ada dua pendapat yang bertolak belakang mengenai perilaku anak-anak

dan otang dewasa penyandang down syndrome. Yang pertama adalah bahwa

mereka adalah individu-individu yang tenang dan mudah diatur. Pendapat

lainnya adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang keras kepala dan

sulit dikontrol. Hal tersebut mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya


11

bahwa perilaku penyandang down syndrome adalah bervariasi (Selikowitz,

2001).

Menurut Selikowitz (2001), tidak ada masalah perilaku yang unik pada

anak-anak down syndrome. Jikapun ada masalah yang muncul, pada

umumnya masalah ini serupa dengan yang ditemukan pada anak-anak

normal yang berusia lebih muda. Hal tersebut dikarenakan anak-anak dengan

down syndrome lebih lambat dalam pencapaian tingkatan perkembangan

daripada anak-anak normal pada umumnya, sehingga mereka secara fisik

terlihat lebih tua dan lebih besar daripada anak-anak normal ketika mereka

berada pada tingkatan usia yang sama. Seperti contohnya tantrum yang

biasanya pada anak-anak normal muncul di usia dua tahun, sedangkan pada

anak down syndrome mungkin baru akan muncul pada usia empat tahun.

Pada saat itu kelakuannya mungkin akan lebih menggangu karena anak lebih

besar.

Beberapa perilaku spesifik yang seringkali muncul pada anak-anak

down syndrome (Selikowitz, 2001), adalah :

1. Menjulurkan lidah, hal ini disebabkan oleh kombinasi lidah yang

berukuran lebih besar daripada ukuran rata-rata dan mulut yang

berukuran lebih kecil.

2. Mencucurkan air liur, karena tonus pada anak-anak down syndrome

rendah sehingga cendrerung membiarkan mulutnya terbuka dan

mencucurkan air liur selama masa kanak-kanak dini.

3. Hiperaktif, kesulitan dalam menyalurkan perhatian kepada satu

aktivitas untuk satu periode.


12

4. Menghilang secara diam-diam, hal ini dikarenakan sulit bagi anak-

anak dengan down syndrome untuk tetap berada disamping orang

dewasa.

5. Tantrum, biasanya muncul pada saat anak sedang frustasi atau

keinginannya dihalangi.

6. Memukul serta menggigit anak-anak lainnya, hal ini seringkali

dimulai sebagai suatu usaha dari seorang anak dengan ketrampilan

bahasa yang lemah untuk berkomunikasi dengan anak yang lain.

7. Perilaku destruktif, biasanya pada mainan dan benda-benda lainnya.

Perilaku-perilaku di atas dapat diperbaiki dengan metode yang

sederhana serta bisa melalui modifikasi perilaku.

Dari karakteristik-karakteristik diatas dari mulai fisik, kognitif, dan

kepribadian, keterbatasan yang dimiliki oleh anak down syndrome disesuaikan

dengan ibu, serta bila kita amati dan lihat dari masalah-masalah yang muncul

pada mereka, maka hal tersebut dapat berpotensi stres pada orang tua (ibu)

dari anak penyandang down syndrome.

2.2 Stres, Coping, dan STAI

2.2.1 Definisi Stres

Stres bukanlah suatu yang mudah didefinisikan. Pada awalnya, istilah

stress diambil begitu saja dalam ilmu fisika. Pada saat itu manusia

diumpamakan serupa dengan logam yang mampu menahan kekuatan dari

luar namun pada satu titik akan kehilangan kekuatannya bila dihadapkan pada

satu tekanan yang lebih besar (Santrock, 1996).

Menurut Selye (dalam Santrock, 1996) stres sebenarnya adalah

kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan


13

padanya. Berapapun kejadian dari lingkungan atau stimulus akan

menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Menurut Spielberger

(dalam Irving dan Edward, 2010) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-

tuntutan yang mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan

atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa

diartikan sebagai tekanan, ketegangan, atau gangguan yang tidak

menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah

respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor),

yang mengancam dan menggangu kemampuan seseorang untuk

menanganinya (coping) (Santrock,1996).

2.2.2 Sumber Stres

Sarafino (1998) mengatakan bahwa sumber stres terdiri dari 3 macam,

yaitu :

a. Stres dari dalam diri sendiri (Sources within the person)

Tingkat stres tergantung seberapa besar suatu aktifitas memerlukan

kekuatan fisik, sumber stres lain berasal dari dalam diri adalah

adanya konflik yang timbul pada diri seseorang karena adanya

kepentingan yang berlawanan. Misalnya: kelemahan atau

ketidaksiapan secara fisik.

b. Stres dari dalam keluarga (Sources in the family)

Keluarga Merupakan salah satu sumber stres. Kecemasan

terhadap keadaan keluarga dirumah dan rasa rindu pada keluarga

bisa menimbulkan stres. Misalnya : perasaan kangen terhadap

keluarga yang berada dikampung halaman.

c. Stres dari lingkungan dan pekerjaan (Sources in the community


14

and society)

Stres yang berhubungan dengan lingkungan dan pekerjaan yang

dialami oleh orang dewasa. Pada faktor lingkungan yang

melibatkan tuntutan tugas dan tanggung jawab terhadap

kehidupan menyangkut keselamatan seseorang.

Jadi stresor dapat disimpulkan sebagai kondisi fisik dan lingkungan

sebagai mengancam merusak, membahayakan yang menghasilkan perasaan

tertekan (Sarafino, 1998).

2.2.3 Gejala Stres

Menurut Wijoyo (2011) ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya

terkena stres padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya para penderita stress

justru tidak menyadari keadaannya. Menurut Donald (dalam Wijoyo, 2011)

menunjukkan bahwa gejala seseorang mengalami stres pada dasarnya dapat

dibagi dalam tiga kategori yaitu berdasarkan fisik, psikologis, dan perilaku.

1. Gejala stres pada fisik

a. Mudah lelah, sesak napas, napas terengah-engah, nyeri

kepala, nyeri rahang, pandangan tertekan, berkeringat

meskipun suhu normal, mulut kering, rambut kusut, wajah

pucat.

b. Otot tegang di leher, bahu, pundak, lengan, dan kaki.

Tangan terasa atau teraba dingin.

c. Jantung berdebar, detak tak teratur. Rasa sesak atau

kencang di dada dan didaerah jantung. Tangan gemetar

(Tremor). Tekanan darah tinggi, gula darah dan zat

pembeku darah naik.


15

d. Nyeri perut, mual atau muntah, perut kembung dan banyak

gas, gangguan pencernaan, mencret, dan sering buang air

besar berlendir atau sebaliknya sembelit, sering buang air

kecil lebih banyak dari biasanya, asam lambung bertambah

(nyeri, sakit atau pana pada bagian ulu hati).

e. Tubuh mudah diserang berbagai penyakit seperti alergi

dan infeksi karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

f. Nyeri pinggang, sakit punggung bawah, nyeri atau radang

sendi.

g. Pada wanita, siklus haid akan terganggu.

2. Gejala stres pada jiwa

a. Sedih, menangis, merasa seperti tidak berdaya.

b. Perasaan yang berubah-ubah

c. Sulit berkonsentrasi, proses berpikir dan ingatan

terganggu.

d. Kehilangan selera humor, minat dan tidak tertarik pada

orang lain dan pada penampilannya sendiri. Kehilangan

selera terhadap kesenangan dan seks.

e. Menarik diri dari pergaulan dan orang lain.

f. Merasa negatif pada diri sendiri, segala sesuatunya tidak

berguna, merasa terjepit, dan menyalahkan diri sendiri.

3. Gejala stres pada perilaku

a. Aktivitas berkurang, tidak ada tenaga, atau aktivitas

berlebih dan tidak bisa istirahat.

b. Banyak minum alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan

terlarang seperti narkoba.


16

c. Sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung, dan marah-marah,

berbicara tanpa sadar dengan nada yang tinggi.

d. Mudah kecewa, resah, gelisah, cemas, panik, dan menjadi

pelupa.

e. Sulit tidur atau insomnia tidur terlalu sedikit karena selalu

memikirkan masalah yang ada. Tidur tidak tenang dan

mudah terganggu.

2.2.4 Konflik Utama Stres

Berbagai stimulus bukan hanya menjadi beban yang berat, namun bisa

juga menjadi sumber konflik. Konflik ini sering terjadi ketika individu tersebut

harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok.

Tiga konflik utama tersebut menurut Santrock (1996) adalah:

1. Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict)

Hal ini terjadi apabila individu harus memilih antara dua stimulus

atau dua keadaan yang sama-sama menarik. Konflik mendekat-

mendekat ini adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah

dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya

memberikan hasil yang positif.

2. Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict)

Hal ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus

yang sama-sama tidak menarik yang sebenarnya individu tersebut

ingin menghindari keduanya, namun pada kenyataannya mereka

harus menentukan atau membuat pilihan salah satu dari

keduanya. Konflik ini lebih menyebabkan stres daripada memiliki

keleluasaan memilih dua situasi yang menyenangkan seperti pada

konflik yang sudah dibahas sebelumnya yaitu konflik mendekat-


17

mendekat. Pada akhirnya banyak yang memilih untuk menunda

mengambil keputusan dalam konflik menghindar-mengindar

sampai saat terakhir.

3. Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict)

Hal ini terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun

memiliki karakteristik yang positif juga negatif. Konflik ini juga

dapat menyebabkan stres. Dalam posisi seperti ini individu

tersebut seringkali merasa bimbang sebelum mengambil

keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan yang

semakin dekat, kecendrungan menghindar biasanya semakin

mendominasi (Miller dalam Santrock, 1996).

2.2.5 Primary Appraisal dan Secondary Appraisal

Lazarus (1984) mengatakan dalam menilai sesuatu sebagai stres, terjadi

proses dalam diri individu meliputi Primary Appraisal dan Secondary

Appraisal. Dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus

dilalui, yaitu :

1. Primary appraisal

Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu

peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat

dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa

yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm,

threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya

yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian

mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari

peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan


18

kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari

peristiwa yang terjadi.

Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang

dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang

terjadi dengan tujuan personalnya.

2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu

pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan

individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak,

dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan

personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut

sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut

memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.

3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada

berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen

seseorang.

2. Secondary appraisal

Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan

individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya,

dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan

challenge dalam peristiwa yang terjadi.

Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung

jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.


19

2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat

mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen

pribadinya.

3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan

tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi

lebih baik atau buruk.

Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara

primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup

besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres

yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan

coping besar, stres dapat diminimalkan (Lazarus, 1984).

2.2.6 Definisi Coping

Menurut Wong (2002) Coping adalah tahapan khusus dari reaksi individu

terhadap stresor, khususnya terhadap stresor yang menghapus, mengurangi,

atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai penuh stres.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) Pengelolaan stres yang disebut

dengan istilah coping adalah proses mengelola tuntutan (internal ataupun

eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan individu.

Definisi pengelolaan stres yang dikemukakan oleh Lazarus lebih menekankan

pada proses, karena berhubungan dengan sesuatu yang secara aktual dipikirkan

atau dilakukan individu dalam situasi khusus, disertai perubahan pikiran dan

tindakan terhadap suatu peristiwa.

Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan untuk

mengelola seperti menuntaskan, ketabahan, mengurangi, atau meminimalkan

tuntutan internal dan eksternal serta konflik diantaranya.


20

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpukan bahwa coping stres atau

pengelolaan stres merupakan suatu upaya mengelola tuntutan internal ataupun

eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan diluar kemampuan diri individu

sebagai penyebab munculnya stres.

2.2.7 Fungsi dan strategi Coping

Lazarus (1984) menyatakan bahwa fungsi dari strategi pengelolaam stres

atau strategi coping dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah (Problem

Focused Forms of Coping)

Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan

strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi

diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab

stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk

memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan

pada mendefinisikan masalah (defining the problem),

menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions),

pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih antara

cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus cara ini

lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada masalah,

daripada memecahkan masalahnya sendiri.

Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar

pemecahan masalah yang menganalisa secara objektif yang

difokuskan pada lingkungan, akan tetapi strategi ini merupakan


21

proses analisa objektif yang difokuskan pada masalah dan

diarahkan kedalam diri individu sendiri.

2. Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi (Emotion

Focused forms of Coping)

Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk

mengatur respon emosional terhadap masalah, yang terdiri atas

proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosi

negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan.

Seperti menghindari (avoidance), meminimalisasi (minimization),

memberi jarak (distancing), selective attention, perbandingan

positif (positive comparisons), dan mengambil nilai positif dari

suatu kejadian negatif. Banyak dari strategi ini berasal dari teori

dan penelitian mengenai proses defensif dan digunakan dalam

hampir setiap menghadapi stres. Dalam penelitian pada kelompok

yang lebih kecil dari strategi kognitif, justru diarahkan untuk

meningkatkan tekanan emosional. Beberapa individu perlu merasa

buruk sebelum mereka dapat merasa lebih baik; dalam rangka

untuk dapat meringankan mereka pertama kali harus mengalami

penderitaan yang akut dan dalam menyalahkan diri sendiri atau

bentuk lain dari menghukum diri sendiri. Dalam kasus lain, individu

sengaja meningkatkan tekanan emosional mereka untuk

memobilitasi diri untuk bertindak. Strategi yang berpusat pada

emosi ini hampir sama dengan penilaian kembali (reappraisal),

namun tidak semua penilaian kembali dimaksudkan untuk

mengatur emosi.
22

2.2.8 Definisi STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

State-Trait Anxiety Inventory (STAI) adalah instrumen untuk mengukur

kecemasan definitif pada orang dewasa. STAI dengan jelas membedakan

antara kondisi sementara "state anxiety" dan kualitas yang lebih umum dan

lama dari "trait anxiety." Hal yang dievaluasi oleh skala STAIS-Anxiety adalah

perasaan ketakutan, gugup ketegangan, dan perasaan khawatir. Skor pada

skala STAIS-Anxiety adalah melihat peningkatan respon terhadap bahaya fisik

dan stres psikologis, dan penurunan sebagai hasil dari training relaksasi.

Pada skala STAIT-Anxiety, konsisten dengan konstruk trait anxiety pasien

sakit jiwa dan depresi pada umumnya memiliki nilai yang tinggi (Mindgarden,

2010).

2.2.9 Pengukuran STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

Kecemasan didefinisikan oleh Freud sebagai "sesuatu yang dirasakan,"

sebuah keadaan emosi yang mencakup perasaan ketakutan, gugup

ketegangan, dan khawatir disertai dengan gairah fisiologis. Konsisten dengan

perspektif evolusi Darwin, Freud mengamati bahwa kecemasan adalah adaptif

dalam memotivasi perilaku yang membantu individu mengatasi situasi yang

mengancam dan kecemasan intens itu lazim di sebagian besar gangguan

kejiwaan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dikembangkan untuk membuktikan

sesuatu yang dapat dipercaya, relatif singkat, skala laporan diri untuk menilai

tingkatan (state) dan trait anxiety dalam praktek penelitian dan klinis

Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Tes STAI terdiri dari dua 20

item skala untuk mengukur intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional

(S-Anxiety) dan perbedaan individu dalam wilayah yang rawan kecemasan

sebagai ciri kepribadian (T-Anxiety). Dalam menanggapi item S-Anxiety,


23

subjek melaporkan perasaan intensitas kecemasan mereka "sekarang atau

saat ini" dengan memberikan penilaian pada diri sendiri berdasarkan skala 4

poin berikut: (1) Tidak sama sekali, (2) Agak, (3) cukup atau sedang, (4) amat.

Dalam menanggapi item T-Anxiety dibutuhkan subyek untuk menunjukkan

bagaimana perasaan mereka pada umumnya dengan melaporkan seberapa

sering mereka telah mengalami kecemasan yang berhubungan dengan

perasaan dan kognisi pada skala 4 poin: (1) Hampir tidak pernah, (2) Kadang-

kadang, (3) Sering , dan (4) Hampir selalu.

Item yang dipilih untuk STAI (Formulir X) atas dasar korelasi yang sangat

signifikan dengan langkah yang paling banyak digunakan dari kecemasan

Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Dalam penelitian berikutnya,

korelasi kuat dari skala STAI dengan langkah-langkah depresi memberikan

kontribusi untuk mengenali bahwa isi dari beberapa item diadaptasi dari

tindakan kecemasan lain lebih terkait erat dengan depresi daripada

kecemasan (misalnya, "Aku menangis dengan mudah"; "Saya merasa sedih"

). Dalam mengembangkan STAI direvisi (Formulir Y), definisi konseptual state

dan kecemasan yang lebih diperjelas, dan item dengan konten depresif

diganti (Spielberger dalam Irving dan Edward, 2010). Lebih dari 10.000 remaja

dan orang dewasa diuji dalam pembangunan dan validasi dari STAI (Y

Formulir), termasuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang

bekerja, personil militer, dan psikiatris, medis, dan pasien gigi Spielberger

(dalam Irving dan Edward, 2010). STAI yang memiliki sifat psikometri sangat

baik untuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang bekerja,

dan orang tua. Data normatif luas dilaporkan di manual tes. Bukti kuat dari

validitas konstruk tercermin dalam skor tinggi pasien neuropsikiatri untuk


24

kecemasan adalah gejala utama dan untuk pasien medis dengan komplikasi

kejiwaan.

Penelitian dengan STAI telah sangat berkontribusi dalam pentingnya

membedakan antara intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional fana

dan perbedaan individu dalam kecemasan sebagai ciri kepribadian yang relatif

stabil. Sejak pertama kali diperkenalkan lebih dari 40 tahun lalu, STAI telah

diterjemahkan dan diadaptasi ke 70 bahasa dan dialek, dan digunakan secara

ekstensif dalam penelitian seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di lebih dari

16.000 publikasi arsip Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

2.3 Rentang Usia Ibu

2.3.1 Dewasa Muda

Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan

kehidupan manusia. Ketika memasuki usia dewasa muda biasanya individu

telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang

matang. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, definisi dewasa muda

adalah mereka yang telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri atau telah

menentukan pilihan karirnya, telah membentuk significant relationship atau

sudah membentuk suatu keluarga (Papalia et.al., 2005).

2.3.1.1 Rentang Usia Dewasa Muda (20-40 tahun)

Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa muda

mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia dua

puluh tahun hingga empat puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang

dihadapi pada dewasa muda adalah intimacy and solidarity versus isolation.

Dalam menjalin hubungan intim, individu akan membentuk ikatan yang kuat
25

dalam persahabatan yang ada, yang bersifat saling menguntungkan,

berempati dan adanya hubungan timbal balik (Papalia et.al., 2005).

Pada umumnya, individu dewasa muda akan membentuk hubungan

kedekatan dengan solidaritas dengan orang lain, bila mereka merasa takut

akan kehilangan identitas dirinya bila berada dalam suatu kebersamaan

artinya mereka tidak dapat melebur identitasnya dengan orang lain. Oleh

karena itu, jika usaha intimasi mereka gagal maka mereka akan melakukan

isolasi dari hubungan sosialnya.

2.3.2 Dewasa Madya

Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa madya

mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia empat

puluh sampai umur enam puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang dihadapi

pada dewasa madya adalah generativity vs stagnation. Pada tahapan ini

individu dalam kehidupannya mulai berfokus pada dirinya sendiri dalam

menghadapi usia tua (Papalia et.al., 2005).

Pada umumnya, individu dewasa madya memikirkan keberlanjutan suatu

hal yang sudah dicapai pada masa mudanya, misalnya seperti suasana dalam

keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial, dan hubungan dengan pasangan.

Apabila hal tersebut tidak berlanjut, maka individu tersebut akan mengalami

suatu tahapan yang disebut dengan tahap stagnation.

2.3.2.1 Rentang Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)

Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa ini antara lain

(Papalia et.al., 2005):

a) Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat dari

seluruh kehidupan manusia.


26

b) Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan

wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya

dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri

jasmani dan perilaku yang baru.

c) Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson,

selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau

sebaliknya mereka berhenti (stagnasi).

d) Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih besar

dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat

dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi

dan sosial.

2.4 Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ibu yang
memiliki anak
penyandang
Down syndrome Problem Focused
Coping
Stres Coping
Emotions
Anak down Focused Coping
syndrome

Mild Moderate Severe Profound

Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian stres dan coping pada ibu yang memiliki anak
penyandang down syndrome

Ibu yang mempunyai anak penyandang down syndrome dalam

menghadapi anak mereka mengalami stres. Down syndrome sendiri memiliki

empat karakteristik kognisi yang terdiri dari mild mental retardation (ringan)
27

dengan IQ 55-70, moderate mental retardation dengan IQ 40-55, severe

mental retardation dengan IQ 25-40, dan profound mental retardation dengan

IQ dibawah 25. Dari keempat karakteristik kognisi tersebut akan melihat

perbedaan tingkat stres-nya.

Dikarenakan ibu tersebut telah mengalami stres maka penulis juga akan

melihat gambaran strategi coping yang digunakan oleh ibu tersebut, apakah

ibu itu menggunakan problem focused coping atau Emotions focused coping.

Problem focused coping yaitu strategi pengelolaan yang berpusat pada

masalah sama dengan strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan

masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah

penyebab stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

lingkungan. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

dilakukan terhadap situasi yang dinilai dapat berubah, dapat berupa tindakan-

tindakan yang merumuskan masalah, membuat alternatif-alternatif jalan

keluar, mempertimbangkan segala kemungkinan yang berhubungan dengan

alternatif yang akan diambil, membuat alternatif yang terbaik sehingga

akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak.

Emotions focused coping strategi pengelolaan yang berpusat pada

emosi berfungsi untuk mengatur respon emosional terhadap masalah, yang

terdiri atas proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan

emosional dan termasuk strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan

aktivitas, membuat jarak, perhatian yang selektif, perbandingan yang positif.

Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Lazarus,

1984).

Anda mungkin juga menyukai