Anda di halaman 1dari 16

1

2.1 Stres, Coping, dan STAI

2.1.1 Definisi Stres

Stres bukanlah suatu yang mudah didefinisikan. Pada awalnya, istilah

stress diambil begitu saja dalam ilmu fisika. Pada saat itu manusia

diumpamakan serupa dengan logam yang mampu menahan kekuatan dari

luar namun pada satu titik akan kehilangan kekuatannya bila dihadapkan

pada satu tekanan yang lebih besar (Santrock, 1996).

Menurut Selye (dalam Santrock, 1996) stres sebenarnya adalah

kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan


padanya. Berapapun kejadian dari lingkungan atau stimulus akan

menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Menurut Spielberger

(dalam Irving dan Edward, 2010) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-

tuntutan yang mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan

atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa

diartikan sebagai tekanan, ketegangan, atau gangguan yang tidak

menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres

adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres

(stresor), yang mengancam dan menggangu kemampuan seseorang untuk

menanganinya (coping) (Santrock,1996).

2.1.2 Sumber Stres

Sarafino (1998) mengatakan bahwa sumber stres terdiri dari 3

macam, yaitu :

a. Stres dari dalam diri sendiri (Sources within the person)

Tingkat stres tergantung seberapa besar suatu aktifitas

memerlukan kekuatan fisik, sumber stres lain berasal dari dalam

diri adalah adanya konflik yang timbul pada diri seseorang karena

adanya kepentingan yang berlawanan. Misalnya: kelemahan atau

ketidaksiapan secara fisik.

b. Stres dari dalam keluarga (Sources in the family)

Keluarga Merupakan salah satu sumber stres. Kecemasan

terhadap keadaan keluarga dirumah dan rasa rindu pada

keluarga bisa menimbulkan stres. Misalnya : perasaan kangen

terhadap keluarga yang berada dikampung halaman.

c. Stres dari lingkungan dan pekerjaan (Sources in the community


and society)

Stres yang berhubungan dengan lingkungan dan pekerjaan yang

dialami oleh orang dewasa. Pada faktor lingkungan yang

melibatkan tuntutan tugas dan tanggung jawab terhadap

kehidupan menyangkut keselamatan seseorang.

Jadi stresor dapat disimpulkan sebagai kondisi fisik dan lingkungan

sebagai mengancam merusak, membahayakan yang menghasilkan

perasaan tertekan (Sarafino, 1998).

2.1.3 Gejala Stres

Menurut Wijoyo (2011) ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya

terkena stres padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya para penderita stress

justru tidak menyadari keadaannya. Menurut Donald (dalam Wijoyo, 2011)

menunjukkan bahwa gejala seseorang mengalami stres pada dasarnya

dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu berdasarkan fisik, psikologis, dan

perilaku.

1. Gejala stres pada fisik

a. Mudah lelah, sesak napas, napas terengah-engah, nyeri

kepala, nyeri rahang, pandangan tertekan, berkeringat

meskipun suhu normal, mulut kering, rambut kusut, wajah

pucat.

b. Otot tegang di leher, bahu, pundak, lengan, dan kaki.

Tangan terasa atau teraba dingin.

c. Jantung berdebar, detak tak teratur. Rasa sesak atau

kencang di dada dan didaerah jantung. Tangan gemetar

(Tremor). Tekanan darah tinggi, gula darah dan zat

pembeku darah naik.


d. Nyeri perut, mual atau muntah, perut kembung dan

banyak gas, gangguan pencernaan, mencret, dan sering

buang air besar berlendir atau sebaliknya sembelit, sering

buang air kecil lebih banyak dari biasanya, asam lambung

bertambah (nyeri, sakit atau pana pada bagian ulu hati).

e. Tubuh mudah diserang berbagai penyakit seperti alergi

dan infeksi karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

f. Nyeri pinggang, sakit punggung bawah, nyeri atau radang

sendi.

g. Pada wanita, siklus haid akan terganggu.

2. Gejala stres pada jiwa

a. Sedih, menangis, merasa seperti tidak berdaya.

b. Perasaan yang berubah-ubah

c. Sulit berkonsentrasi, proses berpikir dan ingatan

terganggu.

d. Kehilangan selera humor, minat dan tidak tertarik pada

orang lain dan pada penampilannya sendiri. Kehilangan

selera terhadap kesenangan dan seks.

e. Menarik diri dari pergaulan dan orang lain.

f. Merasa negatif pada diri sendiri, segala sesuatunya tidak

berguna, merasa terjepit, dan menyalahkan diri sendiri.

3. Gejala stres pada perilaku

a. Aktivitas berkurang, tidak ada tenaga, atau aktivitas

berlebih dan tidak bisa istirahat.

b. Banyak minum alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan

terlarang seperti narkoba.


c. Sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung, dan marah-

marah, berbicara tanpa sadar dengan nada yang tinggi.

d. Mudah kecewa, resah, gelisah, cemas, panik, dan menjadi

pelupa.

e. Sulit tidur atau insomnia tidur terlalu sedikit karena selalu

memikirkan masalah yang ada. Tidur tidak tenang dan

mudah terganggu.

2.1.4 Konflik Utama Stres

Berbagai stimulus bukan hanya menjadi beban yang berat, namun bisa

juga menjadi sumber konflik. Konflik ini sering terjadi ketika individu tersebut

harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok.

Tiga konflik utama tersebut menurut Santrock (1996) adalah:

1. Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict)

Hal ini terjadi apabila individu harus memilih antara dua stimulus

atau dua keadaan yang sama-sama menarik. Konflik mendekat-

mendekat ini adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah

dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya

memberikan hasil yang positif.

2. Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict)

Hal ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus

yang sama-sama tidak menarik yang sebenarnya individu

tersebut ingin menghindari keduanya, namun pada kenyataannya

mereka harus menentukan atau membuat pilihan salah satu dari

keduanya. Konflik ini lebih menyebabkan stres daripada memiliki

keleluasaan memilih dua situasi yang menyenangkan seperti

pada konflik yang sudah dibahas sebelumnya yaitu konflik

mendekat-
mendekat. Pada akhirnya banyak yang memilih untuk menunda

mengambil keputusan dalam konflik menghindar-mengindar

sampai saat terakhir.

3. Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict)

Hal ini terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun

memiliki karakteristik yang positif juga negatif. Konflik ini juga

dapat menyebabkan stres. Dalam posisi seperti ini individu

tersebut seringkali merasa bimbang sebelum mengambil

keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan yang

semakin dekat, kecendrungan menghindar biasanya semakin

mendominasi (Miller dalam Santrock, 1996).

2.1.5 Primary Appraisal dan Secondary Appraisal

Lazarus (1984) mengatakan dalam menilai sesuatu sebagai stres, terjadi

proses dalam diri individu meliputi Primary Appraisal dan Secondary

Appraisal. Dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus

dilalui, yaitu :

1. Primary appraisal

Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari

suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat

dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa

yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm,

threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya

yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian

mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari

peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan


kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan

dari peristiwa yang terjadi.

Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang

dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang

terjadi dengan tujuan personalnya.

2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu

pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan

individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak,

dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan

personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut

sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut

memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.

3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada

berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen

seseorang.

2. Secondary appraisal

Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan

individu melakukan coping, beserta sumber daya yang

dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi

harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.

Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung

jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.


2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat

mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen

pribadinya.

3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan

tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk

menjadi lebih baik atau buruk.

Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara

primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup

besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai,

stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika

kemampuan coping besar, stres dapat diminimalkan (Lazarus, 1984).

2.1.6 Definisi Coping

Menurut Wong (2002) Coping adalah tahapan khusus dari reaksi

individu terhadap stresor, khususnya terhadap stresor yang menghapus,

mengurangi, atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai

penuh stres.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) Pengelolaan stres yang disebut

dengan istilah coping adalah proses mengelola tuntutan (internal ataupun

eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan individu.

Definisi pengelolaan stres yang dikemukakan oleh Lazarus lebih menekankan

pada proses, karena berhubungan dengan sesuatu yang secara aktual

dipikirkan atau dilakukan individu dalam situasi khusus, disertai perubahan

pikiran dan tindakan terhadap suatu peristiwa.

Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan untuk

mengelola seperti menuntaskan, ketabahan, mengurangi, atau meminimalkan

tuntutan internal dan eksternal serta konflik diantaranya.


Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpukan bahwa coping stres

atau pengelolaan stres merupakan suatu upaya mengelola tuntutan internal

ataupun eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan diluar kemampuan

diri individu sebagai penyebab munculnya stres.

2.1.7 Fungsi dan strategi Coping

Lazarus (1984) menyatakan bahwa fungsi dari strategi pengelolaam

stres atau strategi coping dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah

(Problem Focused Forms of Coping)

Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan

strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi

diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab

stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk

memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan

pada mendefinisikan masalah (defining the problem),

menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions),

pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih

antara cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus

cara ini lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada

masalah, daripada memecahkan masalahnya sendiri.

Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar

pemecahan masalah yang menganalisa secara objektif yang

difokuskan pada lingkungan, akan tetapi strategi ini merupakan


proses analisa objektif yang difokuskan pada masalah dan

diarahkan kedalam diri individu sendiri.

2. Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi

(Emotion Focused forms of Coping)

Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk

mengatur respon emosional terhadap masalah, yang terdiri atas

proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosi

negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan.

Seperti menghindari (avoidance), meminimalisasi (minimization),

memberi jarak (distancing), selective attention, perbandingan

positif (positive comparisons), dan mengambil nilai positif dari

suatu kejadian negatif. Banyak dari strategi ini berasal dari teori

dan penelitian mengenai proses defensif dan digunakan dalam

hampir setiap menghadapi stres. Dalam penelitian pada

kelompok yang lebih kecil dari strategi kognitif, justru diarahkan

untuk meningkatkan tekanan emosional. Beberapa individu perlu

merasa buruk sebelum mereka dapat merasa lebih baik; dalam

rangka untuk dapat meringankan mereka pertama kali harus

mengalami penderitaan yang akut dan dalam menyalahkan diri

sendiri atau bentuk lain dari menghukum diri sendiri. Dalam kasus

lain, individu sengaja meningkatkan tekanan emosional mereka

untuk memobilitasi diri untuk bertindak. Strategi yang berpusat

pada emosi ini hampir sama dengan penilaian kembali

(reappraisal), namun tidak semua penilaian kembali dimaksudkan

untuk mengatur emosi.


2.1.8 Definisi STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

State-Trait Anxiety Inventory (STAI) adalah instrumen untuk mengukur

kecemasan definitif pada orang dewasa. STAI dengan jelas membedakan

antara kondisi sementara "state anxiety" dan kualitas yang lebih umum dan

lama dari "trait anxiety." Hal yang dievaluasi oleh skala STAIS-Anxiety adalah

perasaan ketakutan, gugup ketegangan, dan perasaan khawatir. Skor pada

skala STAIS-Anxiety adalah melihat peningkatan respon terhadap bahaya

fisik dan stres psikologis, dan penurunan sebagai hasil dari training relaksasi.

Pada skala STAIT-Anxiety, konsisten dengan konstruk trait anxiety pasien

sakit jiwa dan depresi pada umumnya memiliki nilai yang tinggi (Mindgarden,

2010).

2.1.9 Pengukuran STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

Kecemasan didefinisikan oleh Freud sebagai "sesuatu yang dirasakan,"

sebuah keadaan emosi yang mencakup perasaan ketakutan, gugup

ketegangan, dan khawatir disertai dengan gairah fisiologis. Konsisten dengan

perspektif evolusi Darwin, Freud mengamati bahwa kecemasan adalah

adaptif dalam memotivasi perilaku yang membantu individu mengatasi situasi

yang mengancam dan kecemasan intens itu lazim di sebagian besar

gangguan kejiwaan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dikembangkan untuk membuktikan

sesuatu yang dapat dipercaya, relatif singkat, skala laporan diri untuk menilai

tingkatan (state) dan trait anxiety dalam praktek penelitian dan klinis

Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Tes STAI terdiri dari dua 20

item skala untuk mengukur intensitas kecemasan sebagai keadaan

emosional (S-Anxiety) dan perbedaan individu dalam wilayah yang rawan

kecemasan sebagai ciri kepribadian (T-Anxiety). Dalam menanggapi item S-

Anxiety,
subjek melaporkan perasaan intensitas kecemasan mereka "sekarang atau

saat ini" dengan memberikan penilaian pada diri sendiri berdasarkan skala 4

poin berikut: (1) Tidak sama sekali, (2) Agak, (3) cukup atau sedang, (4)

amat. Dalam menanggapi item T-Anxiety dibutuhkan subyek untuk

menunjukkan bagaimana perasaan mereka pada umumnya dengan

melaporkan seberapa sering mereka telah mengalami kecemasan yang

berhubungan dengan perasaan dan kognisi pada skala 4 poin: (1) Hampir

tidak pernah, (2) Kadang- kadang, (3) Sering , dan (4) Hampir selalu.

Item yang dipilih untuk STAI (Formulir X) atas dasar korelasi yang

sangat signifikan dengan langkah yang paling banyak digunakan dari

kecemasan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Dalam penelitian

berikutnya, korelasi kuat dari skala STAI dengan langkah-langkah depresi

memberikan kontribusi untuk mengenali bahwa isi dari beberapa item

diadaptasi dari tindakan kecemasan lain lebih terkait erat dengan depresi

daripada kecemasan (misalnya, "Aku menangis dengan mudah"; "Saya

merasa sedih"

). Dalam mengembangkan STAI direvisi (Formulir Y), definisi konseptual

state dan kecemasan yang lebih diperjelas, dan item dengan konten depresif

diganti (Spielberger dalam Irving dan Edward, 2010). Lebih dari 10.000

remaja dan orang dewasa diuji dalam pembangunan dan validasi dari STAI

(Y Formulir), termasuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa

yang bekerja, personil militer, dan psikiatris, medis, dan pasien gigi

Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). STAI yang memiliki sifat

psikometri sangat baik untuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang

dewasa yang bekerja, dan orang tua. Data normatif luas dilaporkan di

manual tes. Bukti kuat dari validitas konstruk tercermin dalam skor tinggi

pasien neuropsikiatri untuk


kecemasan adalah gejala utama dan untuk pasien medis dengan komplikasi

kejiwaan.

Penelitian dengan STAI telah sangat berkontribusi dalam pentingnya

membedakan antara intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional fana

dan perbedaan individu dalam kecemasan sebagai ciri kepribadian yang

relatif stabil. Sejak pertama kali diperkenalkan lebih dari 40 tahun lalu, STAI

telah diterjemahkan dan diadaptasi ke 70 bahasa dan dialek, dan digunakan

secara ekstensif dalam penelitian seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di

lebih dari

16.000 publikasi arsip Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).

2.2 Rentang Usia Ibu

2.2.1 Dewasa Muda

Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan

kehidupan manusia. Ketika memasuki usia dewasa muda biasanya individu

telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang

matang. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, definisi dewasa muda

adalah mereka yang telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri atau telah

menentukan pilihan karirnya, telah membentuk significant relationship atau

sudah membentuk suatu keluarga (Papalia et.al., 2005).

2.3.1.1 Rentang Usia Dewasa Muda (20-40 tahun)

Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa muda

mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia dua

puluh tahun hingga empat puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang

dihadapi pada dewasa muda adalah intimacy and solidarity versus

isolation. Dalam menjalin hubungan intim, individu akan membentuk ikatan

yang kuat
dalam persahabatan yang ada, yang bersifat saling menguntungkan,

berempati dan adanya hubungan timbal balik (Papalia et.al., 2005).

Pada umumnya, individu dewasa muda akan membentuk hubungan

kedekatan dengan solidaritas dengan orang lain, bila mereka merasa takut

akan kehilangan identitas dirinya bila berada dalam suatu kebersamaan

artinya mereka tidak dapat melebur identitasnya dengan orang lain. Oleh

karena itu, jika usaha intimasi mereka gagal maka mereka akan melakukan

isolasi dari hubungan sosialnya.

2.2.2 Dewasa Madya

Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa madya

mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia

empat puluh sampai umur enam puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang

dihadapi pada dewasa madya adalah generativity vs stagnation. Pada

tahapan ini individu dalam kehidupannya mulai berfokus pada dirinya sendiri

dalam menghadapi usia tua (Papalia et.al., 2005).

Pada umumnya, individu dewasa madya memikirkan keberlanjutan suatu

hal yang sudah dicapai pada masa mudanya, misalnya seperti suasana

dalam keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial, dan hubungan dengan

pasangan. Apabila hal tersebut tidak berlanjut, maka individu tersebut akan

mengalami suatu tahapan yang disebut dengan tahap stagnation.

2.3.2.1 Rentang Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)

Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa ini antara lain

(Papalia et.al., 2005):

a) Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat

dari seluruh kehidupan manusia.


b) Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan

wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya

dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri

jasmani dan perilaku yang baru.

c) Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson,

selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau

sebaliknya mereka berhenti (stagnasi).

d) Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih

besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang

minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan

pribadi dan sosial.

2.3 Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ibu yang memiliki anak penyandang Down syndrome

Problem Focused Coping

StresCoping
Emotions Focused Coping
Anak down
syndrome

MildModerate SevereProfound

Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian stres dan coping pada ibu yang memiliki anak
penyandang down syndrome

Ibu yang mempunyai anak penyandang down syndrome dalam

menghadapi anak mereka mengalami stres. Down syndrome sendiri memiliki

empat karakteristik kognisi yang terdiri dari mild mental retardation (ringan)
dengan IQ 55-70, moderate mental retardation dengan IQ 40-55, severe

mental retardation dengan IQ 25-40, dan profound mental retardation dengan

IQ dibawah 25. Dari keempat karakteristik kognisi tersebut akan melihat

perbedaan tingkat stres-nya.

Dikarenakan ibu tersebut telah mengalami stres maka penulis juga

akan melihat gambaran strategi coping yang digunakan oleh ibu tersebut,

apakah ibu itu menggunakan problem focused coping atau Emotions focused

coping. Problem focused coping yaitu strategi pengelolaan yang berpusat

pada masalah sama dengan strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan

masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah

penyebab stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan

lingkungan. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya

dilakukan terhadap situasi yang dinilai dapat berubah, dapat berupa

tindakan- tindakan yang merumuskan masalah, membuat alternatif-alternatif

jalan keluar, mempertimbangkan segala kemungkinan yang berhubungan

dengan alternatif yang akan diambil, membuat alternatif yang terbaik

sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak.

Emotions focused coping strategi pengelolaan yang berpusat pada

emosi berfungsi untuk mengatur respon emosional terhadap masalah, yang

terdiri atas proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan

emosional dan termasuk strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan

aktivitas, membuat jarak, perhatian yang selektif, perbandingan yang positif.

Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Lazarus,

1984).

Anda mungkin juga menyukai