Anda di halaman 1dari 5

RESENSI BUKU

“HUKUM LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN


PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI INDONESIA”

Oleh :

TAUFAN

NPM : 1822210020

JURUSAN AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU AKUNTANSI
MULTI DATA PALEMBANG
2019
BAB I
IDENTITAS BUKU

I. Data Buku :

a. Judul Buku : HUKUM LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN


PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI INDONESIA.
b. Pengarang : 1. Drs. Suhasril, SH., MH.
2. Prof. Mohammad Taufik Makarao, SH, MH.
c. Penerbit : GHALIA INDONESIA
d. Terbit Thn. : Juli 2010 (Cetakan Pertama)
e. Tebal Buku : x + 291 halaman.
f. ISBN : 978-979-450-586-1
g. Harga : Rp. 75.000,-

BAB II
ISI RESENSI

Di sampul belakang buku ini tertulis kesimpulan singkat, bahwa setiap pelaku usaha
hendaknya berada dalam kondisi persaingan usaha yang sehat dan wajar, sehingga tidak
menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan
tujuan agar dapat mendorong pertumbuhan dan bekerjanya ekonomi pasar secara wajar.
Dalam pembangunan ekonomi yang seiring timbulnya kecenderungan globalisasi
perekonomian, maka bersamaan dengan itu semakin banyak pula tantang yang dihadapi
dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau perdagangan yang menjurus kepada
persaingan produk / komoditi dan tarif, sebab perekonomian sekarang merupakan
perdagangan globalisasi antar negara.
2
Kesimpulan diatas merupakan esensi dari isi buku yang dibidani oleh Drs. Suhasril,
SH,MH dan Prof. Mohammad Taufik Makarao, SH, MH. Namun, pada sampul depan
sepertinya perlu mendapat sentuhan apresiatif lagi guna memberi ilustrasi yang lebih
kongkrit, tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Sehinga, gambar pada
sampul depan buku ini, bisa berbicara banyak tentang apa saja yang menjadi esensi buku ini
diterbitkan.

Pembahasan buku ini dibagi beberapa hal yang dianggap oleh penulis sebagai inti dari
hukum persaingan usaha, yaitu larangan perjanjian horisontal (horisontal restraint of trade),
perjanjian vertikal (vertikal restraint of trade), posisi dominan dan penyalahgunaannya
(abuse of dominant position) serta mengatur mengenai penggabungan dan pengambilalihan
saham perusahaan. Setiap pembahasan diatas disertai contoh kasus nyata yang porsinya
lumayan banyak.

Dalam pembahasan tentang larangan perjanjian horisontal didominasi kasus


persengkongkolan dalam proses pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Masuknya
KPPU mengawasi proses tender sangat tepat sebab saat itu (bahkan masih ada sampai
sekarang) proses tender hanya formalitas saja. Di antara peserta tender tersebut melakukan
semacam kartel dalam bentuk arisan atau perjanjian diantara peserta tender, siapapun
pemenangnya akan membayar fee tertentu kepada peserta lain sebagai perusahaan
pendamping. Menurut buku ini kemenangan keputusan KPPU dalam kasus penjualan dua
buah kapal tanker Pertamina adalah kemenangan terbesar yang dapat menjadi shock therapy
bagi instansi/BUMN lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.

Hal yang menarik lain adalah pendapat penulis buku yang tidak setuju terhadap ketentuan
larangan mini market dan supermarket menjual barang yang sama lebih murah dengan yang
ada di warung atau toko sekitarnya. Ketentuan ini ada dalam Perda No. 2 tahun 2002 tentang
Perpasaran Swasta yang dikeluarkan Pemprov Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, khususnya
Menurut penulis buku ini ketentuan ini tidak sesuai dengan konsep Undang-Undang
Antimonopoli. Alasannya minimarket atau supermarket memasok barangnya dalam jumlah
yang lebih banyak sehingga mendapatkan harga yang lebih murah.

Dengan demikian minimarket atau supermarket bebas menjual harga yang diinginkannya.
Apakah alasan ini dapat dibenarkan? Menurut saya tidak benar. Kalau kita lihat kata
persaingan yang sehat tidak hanya menunjuk pada kesempatan yang sama kepada setiap
pelaku usaha untuk menjual barang/jasanya tetapi juga harus fair. Persaingan harus terjadi di
antara para pelaku yang sama besar kemampuannya. Jangan pernah dihadapkan warung kecil
yang modalnya seadanya dengan minimarket/supermarket. Bagi saya keberadaan minimarket
terjadi karena para pengusaha ritel kita kalah bersaing dengan peritel asing. Dengan demikian
mereka tidak mau berhadapan langsung (head to head) dengan peritel asing sehingga akhir
memilih “turun kelas” membentuk minimarket. Ibarat pertandingan tinju, seorang petinju
kelas berat setelah kalah dengan petinju kelas berat lainnya akhirnya turun kelas melawan
kelas menengah atau ringan. Apa ini pernah terjadi? Tidak pernah! Justru yang terjadi petinju
kelas ringan naik ke kelas menengah atau berat. Seharusnya demikian juga dalam persaingan
bisnis ritel.

Para peritel nasional harus bersaing sekuat tenaga melawan peritel asing. Apalagi dalam
bisnis ritel bukan bisnis yang canggih/sophisticated, bekalnya hanya pelayanan, penampilan
yang menarik dan distribusi barang yang lancar. Terbukti di beberapa negara di Asia, peritel
3
besar macam Carrefour harus menutup gerainya. Mengapa di Indonesia tidak bisa?. Bahkan
sebaliknya, tidak lama lagi Carrefour akan main juga di kelas yang bawah dengan
mengakuisisi Alfa untuk mengantisipasi Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 mengenai
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

BAB III
KELEBIHAN BUKU

Buku ini sangat lengkap, mulai dari sisi akademis sampai dengan hal-hal yang bersifat
prkatis. Contoh-contoh kasus yang ditangani oleh KPPU juga menjadi perbincangan dalam
buku ini.

Dalam buku ini, para pembaca dapat memahami bagaimana perusahaan yang penguasaan
pasarnya di atas 50% belum tentu dianggap melakukan praktek monopoli, atau sebaliknya
jika perusahaan hanya memiliki 30 % pangsa pasar tidak dapat menyalahgunaan posisi
dominan. Hal ini, ternyata, KPPU yang mempunyai wewenang memutuskan tidak hanya
memakai pendekatan per-se saja tetapi juga memakai pendekatan rule of reason.

Kehadiran buku ini patut diberikan apresiasi, apalagi untuk hal-hal yang termasuk baru
dan barang langka karena selama ini didominasi buku-buku asing/import yang cukup mahal
harganya. Apalagi penulisnya adalah orang memang ahli dalam permasalahan hukum
persaingan usaha.

Terakhir, buku ini terasa padat, sehingga bagi para pembaca yang pernah mendalami topik
persaingan usaha tidak akan menemui kesukaran untuk memahami kasus-kasus di dalam
buku ini. Namun, bagi pembaca yang masih awam disarankan membaca dulu UU No. 5/1999
dan buku lainnya yang porsi penjelasan teorinya lebih banyak.

BAB IV
KEKURANGAN BUKU

Mungkin buku ini perlu lebih terbuka lagi dalam memberikan solusi bagi para
Pengusaha kecil. Seperti misalnya, agar para pedagang kecil berani membentuk kartel
pembelian bersama (oligopsoni) guna mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah,
atau tips-tips untuk menghindari larangan praktek-praktek usaha yang tidak sehat.

BAB V
KESIMPULAN

Buku ini juga menyoroti masalah penggabungan perusahaan baik melalui merger atau
akuisisi. Di negara-negara maju pengawasan merger dan akuisi adalah pre-merger control.
Artinya sebelum merger atau akuisisi suatu perusahaan terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan dari lembaga pengawas persaiangan. Hal ini berbeda di Indonesia, UU No.5/1999
tentang antimonopoli dan persaingan tidak sehat pasal 28 dan 29 mengatur sistem
pengawasan kemudian/post merger control. Namun aturan pelaksanaannya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah tentang Merger Guideline belum ada. Kelemahan post merger control
adalah apabila terjadi pembatalan padahal proses merger dan akuisi sudah selesai dilakukan.
4
Ini tidak hanya merugikan perusahaan yang bersangkutan dan kepastian iklim investasi di
Indonesia, tetapi juga pada akhirnya konsumen ikut dirugikan. Sebagai contoh dalam kasus
kepemilikan saham Indosat dan Telkom oleh perusahaan yang tergabung dalam Temasek
Group. Apabila nanti pengadilan memenangkan KPPU bahwa kepemilikan silang Temasuk di
Telkom dan Indosat mengakibatkan price leadership dalam penentuan tarif berarti konsumen
telah dirugikan karena tarif yang kemahalan. Hal ini dapat dihindari jika merger dan akuisisi
diawasi dalam sistem pre-merger control.

Selanjutnya, buku ini juga mengungkapkan kelemahan lain UU No. 5/1999. UU ini
tidak membedakan mana hal yang termasuk persaingan tidak sehat dan mana yang persaingan
yang curang/tidak jujur. Ini menyulitkan tindak lanjut pelaksanaan di lapangan karena tidak
ada ketentuan yang mengatur persaingan yang curang/tidak jujur. Misal sebuah perusahaan
baru (new entran) meluncurkan produk X. Ternyata pesaingnya memborong semua produk X
tersebut dan menyimpannya dalam suatu gudang. Ketika produk X kadaluarsa, pesaingnya itu
melempar kembali ke pasar. Akibatnya konsumen tidak mau membeli dan image perusahaan
produk X tersebut hancur karena menjual barang kadaluarsa.

Hukum semacam ini penting untuk memberikan aturan main kepada pelaku usaha
dalam menjalankan bisnis. Setidaknya ada tiga acuan pokok menegakkan hukum
antimonopoli tersebut, yakni (i) menjamin persaingan di pasar yang inherent dengan
pencapaian efisiensi ekonomi di semua bidang kegiatan perdagangan; (ii) menjamin
kesejahteraan konsumen serta melindungi kepentingan konsumen; dan (iii) membuka peluang
pasar yang seluas-luasnya dan menjaga agar tidak terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada
kelompok masyarakat tertentu.

Anda mungkin juga menyukai