INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Penyunting:
Nastiti Kaswandani
Fatima Safira Alatas
Bernie Endyarni Medise
Dina Muktiarti
Murti Andriastuti
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ISBN 978-979-8271-57-1
ISBN 978-979-8271-57-1
9 789798 271571
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
Aryono Hendarto
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII
Assalamualaikum wr.wb.
Simposium kali ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan dokter spesialis anak dalam menghadapi masalah yang sering
dijumpai pada praktik sehari-hari, sehingga dapat memberikan pelayanan
berbasis bukti terkini dalam menangani berbagai kasus pediatri, mulai dari
neonatus sampai remaja.
Topik-topik ilmiah yang menjadi materi pada simposium kali ini dipilih
berdasarkan hal praktis yang perlu terus diperbaharui karena perkembangan
ilmu kedokteran. Kasus kontroversi dalam bidang emergensi, yaitu mati batang
otak akan dibahas dari segi medis, etik, dan keselamatan pasien. Prosedur
diagnostik invasif dalam bidang respirologi, yaitu bronkoskopi, akan dibahas
oleh para pakar, demikian pula kemajuan transplantasi dalam bidang hepatologi
dan nefrologi. Perkembangan dalam cedera otak neonatus akan dibahas
mendalam dari aspek perinatologi, pencitraan, dan neurologi. Peran nutrisi
akan membahas mengenai nutrisi pada awal kehidupan dan defisiensi besi,
yang masih menjadi masalah di Indonesia. Kesulitan dalam diagnosis dan tata
laksana penyakit infeksi akan didiskusikan dalam satu sesi dari aspek alergi,
gastroenterologi, dan infeksi. Remaja, populasi yang juga menjadi tanggung
jawab dokter anak, akan dibahas dalam sesi yang menyatukan aspek endokrin
dan tumbuh kembang.
Akhir kata kami menguapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
seluruh penulis yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan
naskah dalam buku ini. Kami berharap bahwa buku ini dapat memberikan
sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak di
Indonesia dan pada akhirnya meningkatkan kualitas anak Indonesia.
Terimakasih
Wassalamualaikum wr.wb
v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting
Assalaamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
berkah dan rahmatNya lah Buku Prosiding Simposium Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM yang berjudul Masalah Pediatrik: Neonatus
sampai Remaja dapat diterbitkan.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo senantiasa berkomitmen
untuk meningkatkan dan mengembangkan keilmuan maupun ketrampilan
dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dengan secara rutin menyelenggarakan
simposium bagi dokter spesialis anak maupun dokter lainnya di Indonesia.
Acara simposium ini merupakan acara ke LXXIII yang telah berhasil
dilaksanakan, pada kesempatan kali ini akan mengangkat tema meliputi
masalah pediatrik yang sering ditemukan oleh dokter di ruang praktek, ruang
rawat inap maupun ruang rawat intensif dan gawat darurat. Masalah kesehatan
yang dibahas mulai dari masa neonatus sebagai pijakan awal kehidupan sampai
masalah kesehatan remaja yang seringkali terabaikan.
Topik menarik yang tersaji dalam artikel pada Buku Prosiding ini antara
lain masalah kesehatan pada awal kehidupan misalnya sindrom rubella
kongenital, asfiksia neonatus, cooling therapy hingga masalah remaja seperti
pubertas dan remaja merokok. Aspek klinis yang ditulis dalam artikel dapat
mencakup aspek diagnosis misalnya penyakit jantung dan paru, sampai tata
laksana mutakhir pada kondisi gagal organ yang memerlukan transplantasi.
Artikel yang terkini adalah konsensus terbaru tata laksana status epileptikus.
Aspek etika juga dibahas terutama pada kondisi sakit berat sampai mati batang
otak, serta artikel menarik lainnya.
Semoga dengan membaca naskah ini maka bisa memberikan manfaatnya
bagi praktik klinis yang pada akhirnya dapat meningkatkan profesionalisme
dokter dalam menangani masalah kesehatan anak.
Wassalam,
Jakarta, 9 Oktober 2017
Tim Penyunting
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
xii
Daftar isi
xiii
Bronkoskopi fleksibel: Kapan dilakukan pada anak?.................................. 60
Darmawan B Setyanto
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan................................ 74
Najib Advani
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah
mikronutrien.............................................................................................. 86
Aryono Hendarto
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan
anak........................................................................................................... 99
Murti Andriastuti
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus......................... 106
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal.............................. 118
Rinawati Rohsiswatmo, Albert
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya
terhadap perkembangan........................................................................... 132
Setyo Handryastuti
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari............................................... 146
Jose RL Batubara
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja............................... 157
Soedjatmiko, Henny Wahyu Tri Yuniati, Resita Sehati
Status epileptikus konvulsivus pada anak: Rekomendasi tata laksana UKK
Neurologi IDAI........................................................................................ 174
Irawan Mangunatmadja
xiv
Mati batang otak pada anak:
Bagaimana selanjutnya?
Rismala Dewi
Tujuan:
1. Mampu menjelaskan definisi mati batang otak pada anak
2. Mampu menjelaskan kriteria mati batang otak pada anak
3. Mengetahui cara menentukan mati batang otak pada anak
Kemajuan teknologi dalam hal tata laksana medis dan unit perawatan intensif
yang semakin modern terbukti dapat menyelamatkan hidup dan memperbaiki
luaran pasien anak dengan sakit kritis. Ventilasi mekanik, alat penunjang
kardiovaskular, obat sedasi dan anestesi merupakan hal yang rutin digunakan
untuk menunjang fungsi organ, tetapi dapat mengaburkan aspek penilaian
neurologis, kardiovaskular dan respirasi dalam menentukan kematian.1 Aspek
medis dan hukum dalam menentukan mati batang otak telah berevolusi
selama 3 dekade terakhir. Kebutuhan akan kriteria khusus untuk menentukan
kematian otak pada bayi dan anak-anak sudah diperkenalkan sejak tahun 1967,
ketika komite di Amerika Serikat pertama kali bertemu untuk membentuk
sebuah konsensus. Pada tahun 1987, pedoman penentuan kematian otak pada
anak diterbitkan oleh multi-society task force yang menekankan pentingnya
riwayat medis dan pemeriksaan klinis untuk menghilangkan kondisi reversibel.
Pedoman ini dibuat karena pedoman sebelumnya gagal untuk menentukan
kriteria mati batang otak secara adekuat. Sistem saraf pusat anak yang lebih
tahan terhadap bentuk cedera tertentu, harus menjadi pertimbangan saat
melakukan diagnosis dan mengkonfirmasi mati batang otak pada bayi dan
anak.2-4
Definisi
Definisi kematian otak berkembang melalui opini, informasi dan konsensus
berdasarkan studi retrospektif dan laporan kasus. Definisi kematian dalam
Black’s Law Dictionary tahun 1950 adalah ‘penghentian hidup’ atau yang
didefinisikan oleh dokter sebagai penghentian total sirkulasi darah, fungsi
1
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?
vital seperti respirasi, pulsasi. Hal ini mendorong profesional medis dan hukum
untuk menentukan definisi berdasarkan kondisi otak atau batang otak. Pada
tahun 1995, American Academy of Neurology mengeluarkan definisi kematian
otak sebagai penghentian fungsi otak yang ireversibel, termasuk batang otak.
Dua temuan klinis diperlukan untuk mengkonfirmasi kondisi otak yang tidak
dapat diperbaiki ini, yaitu koma yang diketahui penyebabnya dan tidak adanya
refleks batang otak.5 Definisi lain adalah kondisi fisiologis hilangnya fungsi otak
permanen dan ireversibel atau hilangnya secara simultan dan ireversibel semua
fungsi kortikal, subkortikal, dan batang otak.6,7 Sebuah paradoks fundamental
tentang definisi kematian menyatakan bahwa berhentinya fungsi otak adalah
kejadian terakhir dari tiga bentuk kematian yaitu jantung, pernafasan dan
otak sendiri.8
Diagnosis
Diagnosis mati batang otak pada dasarnya berdasarkan pemeriksaan klinis,
2
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
dan tidak didapatkan faktor perancu, dengan tiga komponen penting yaitu
koma ireversibel atau tidak responsif, tidak ditemukan refleks batang otak, dan
apnea. Ketiga komponen ini harus dikonfirmasikan kembali setelah dilakukan
observasi dalam periode tertentu. Durasi pengamatan biasanya lebih lama pada
anak-anak dibandingkan dewasa, hal ini menjadi salah satu perbedaan utama
dalam menetapkan diagnosis mati batang otak pada anak.1,6,11
Di luar definisi dan pertimbangan medis, penerimaan kematian secara
budaya dan regional bervariasi dan harus disesuaikan, misalnya, beberapa
budaya dan agama tidak menerima kematian sampai semua fungsi vital tubuh
telah berhenti. Terlepas dari budaya atau agama, terdapat kesulitan untuk
menerima kematian pada saat paru-paru dan jantung tampaknya masih
hidup, meskipun hanya didukung oleh bantuan mekanis dan farmakologis.
Beberapa negara menghentikan tunjangan kardiorespirasi pada saat sudah
ditentukan mati batang otak walaupun menjadi hal yang sulit bagi keluarga,
sedangkan beberapa negara lain mengambil langkah yang berbeda. Klinisi
bertanggungjawab untuk menentukan dan mengkomunikasikan prosesnya
kepada mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan pasien.12-14
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menentukan
mati batang otak pada seorang anak, di antaranya:5,11
yy Penyebab terjadinya koma dapat menjelaskan berhentinya fungsi otak
secara ireversibel. Selain koma, harus didapatkan juga apnea untuk
menyatakan kematian otak.
yy Penyebab koma yang berpotensi reversibel harus disingkirkan seperti
hipotermia, hipotensi yang tidak terkontrol, obat sedasi dan agen
penghambat neuromuskular serta kelainan metabolik berat.
yy Pasien anak yang baru dilakukan resusitasi kardiopulmoner atau cedera
otak akut, sehingga evaluasi kematian otak harus ditunda hingga 24 jam.
Kriteria klinis
Penentuan mati batang otak memerlukan keahlian khusus yang pada
prinsipnya bisa dilakukan oleh seorang dokter, tetapi dengan adanya evaluasi
yang kompleks dan melibatkan pasien sakit kritis maka harus dilakukan oleh
orang yang tepat. Dalam hal ini tidak dibenarkan untuk membuat kesalahan
atau interpretasi yang tidak tepat saat menentukan kondisi mati batang otak,
sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan
tersebut. Pengalaman seorang dokter menjadi satu hal yang penting, walaupun
belum ada sertifikasi kompetensi yang legal. American Academy of Neurology
menyatakan bahwa semua dokter yang membuat keputusan mati batang
otak harus memahami kriteria kematian otak dan memiliki kompetensi yang
handal. Pemeriksaan harus dilakukan oleh intensivis pediatrik dan neonatal,
3
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?
ahli neurologi anak, bedah saraf dan anestesi pediatrik dengan pelatihan
perawatan anak sakit kritis.15
Pemeriksaan neurologis merupakan pemeriksaan yang paling mendasar
dalam menentukan mati batang otak yang disesuaikan dengan spektrum usia
pasien anak (tabel 1.) .1,3,15
Tes Apnea6,9,16
Tes apnea yang dilakukan pada pasien koma merupakan komponen penting
dalam pemeriksaan mati batang otak. Tahun 2011 dikeluarkan pedoman
untuk melakukan tes apnea sebanyak dua kali sebagai bagian dari pemeriksaan
klinis, kecuali didapatkan kontraindikasi medis. Prasyarat yang sama berlaku
seperti halnya melakukan tes klinis yaitu pasien tidak boleh mengalami
hipotermia, hipotensi atau mengalami gangguan metabolik atau endokrin
yang serius. Kontra indikasi tambahan meliputi cedera sumsum tulang
servikal atau kebutuhan oksigenasi dan ventilasi yang sangat tinggi yang akan
mengakibatkan cedera lebih lanjut. Jika tes apnea tidak dapat dilakukan dengan
aman, maka tes tambahan harus dilakukan untuk menentukan kematian otak.
Cara melakukan tes apnea dijelaskan sebagai berikut:
1. Pra-oksigenasi pasien selama 5 menit dengan oksigen 100%.
2. Dokter yang terlibat dalam sertifikasi kematian otak harus hadir secara
fisik di samping tempat tidur selama tes untuk membuktikan adanya
apnea.
3. Ventilator dimanipulasi untuk membiarkan PaCO2 naik menjadi > 40
mmHg. Data dasar CO2 arterial harus dikonfirmasi dengan analisis gas
darah atau end tidal CO2.
4. Pantau pasien selama tes dilakukan (elektrokardiografi, tekanan darah
4
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
dan SpO2) dan tes dihentikan jika ada hipotensi, desaturasi atau aritmia
jantung yang signifikan.
5. Lepaskan pasien dari ventilator mekanis dan masukkan kateter oksigen
berukuran tepat ke dalam tabung endotrakea. Berikan aliran oksigen 2-6
L/menit untuk menghasilkan oksigen 100%.
6. Setelah masa apnea antara 5-10 menit (tergantung PaCO2 pada awal),
lakukan pemeriksaan analisis gas darah arterial. PaCO2 harus ≥ 60 mmHg
dan ≥ 20 mmHg lebih tinggi dari data awal. Jika PaCO2 tidak memenuhi
parameter ini, tes dapat dilanjutkan dan diulang setelah 5 menit, asalkan
pasien stabil.
7. Amati pasien terus menerus untuk mengetahui adanya upaya pernafasan.
Jika ada upaya pernafasan maka tes dihentikan, tetapi bila tetap apnea
lakukan pencatatan durasi apnea dan PaCO2 di akhir tes.
8. Sambungkan kembali pasien ke ventilator mekanis.
Respons: pada pasien yang mati batang otak, tidak ada upaya pernafasan
yang terlihat selama periode apnea.
Tes tambahan
Tes tambahan tidak secara rutin diperlukan untuk menentukan mati batang
otak dan bukan merupakan pengganti pemeriksaan klinis. Tes tambahan ini
dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti tes apnea tidak bisa dilakukan
dengan aman, tidak didapatkan kepastian mengenai hasil pemeriksaan
neurologis, pemakaian obat yang mengaburkan hasil pemeriksaan dan
mengurangi periode observasi di antara dua pemeriksaan.1,11 Beberapa tes
tambahan yang dapat dilakukan untuk menentukan mati batang otak adalah
elektro-ensefalografi (EEG) dan penilaian aliran darah otak. Pemeriksaan EEG
harus dilakukan oleh teknisi yang memiliki pengalaman dalam melakukan
EEG untuk tujuan menentukan kematian otak. Gambaran EEG harus
menunjukkan berkurangnya reaktivitas terhadap stimulasi somatosensori
dan audiovisual yang intens. Tes penilaian aliran darah otak dilakukan untuk
menunjukkan tidak adanya aliran di pembuluh darah intraserebral, karena
oklusi vaskular oleh edema serebral. Berbagai teknik yang dapat digunakan
untuk menilai aliran darah intrakranial meliputi angiografi serebral, pencitraan
radionuklir, angiografi computed tomography, angiografi resonansi magnetik
dan ultrasonografi trans cranial doppler. Teknik angiografi serebral dianggap
sebagai baku emas dengan injeksi medium kontras langsung ke arteri karotid
dan arteri vertebralis. Pemeriksaan EEG adalah pemeriksaan yang paling
mudah didapat.17-19
5
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?
Simpulan
Diagnosis mati batang otak adalah proses yang kompleks. Pengetahuan
tentang neurofisiologi dan pemahaman tentang etiologinya harus digunakan
untuk memastikan adanya kematian otak yang ireversibel. Kata kunci dalam
mati batang otak adalah tidak responsif, dan tidak adanya refleks batang otak
dalam kondisi cedera neurologis berat. Rekomendasi sesuai konsensus yang
ada digabungkan dengan serangkaian tes konfirmasi, dan tes tambahan lainnya
dipakai sebagai pedoman untuk menentukan mati batang otak pada anak.
Daftar pustaka
1. Nakagawa TA, Mathur M. The determination of brain death. Dalam: Nichols
DG, Shaffner DH, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi
ke-5. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016. h. 1066-76.
2. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML. Guidelines for the
determination of brain death in infants and children: an update of the 1987 task
force recommendations. Pediatrics. 2011;128:e720-40.
3. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML. Guidelines for the
determination of brain death in infants and children: an update of the 1987 task
force recommendations. Crit Care. 2011;39:2139-55.
4. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML, Bruce D, Conway E, dkk.
Guidelines for the determination of brain death in infants and children: an
update of the 1987 task force recommendations. Ann Neurol. 2012;71:571-83.
6
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
5. Rady MY, Verheijde JL. American Academy of Neurology Guidelines and the
neurologic determination of death. JAMA Neurol. 2016;73:760-1.
6. Bilan N, Ghalehgolab-Behbahan A, Shiva S. Apnea testing: a simple prognostic
test for diagnosis of brain-death. Anal Res Clin Med. 2014;2:53-6.
7. Gündüz RC, Şahin Ş, Uysal-Yazıcı M, Ayar G, Yakut Hİ, Akman AÖ, dkk. Brain
death and organ donation of children. Turk J Pediatr. 2014;56:597-603.
8. Filho EMR, Junges JR. Brain death: a finished discussion?. Rev Bioét.
2015;23:483-92.
9. Scott JB, Gentile MA, Bennett SN, Couture MA, MacIntyre NR. Apnea testing
during brain death assessment:
a review of clinical practice and published
literature. Respir Care 2013;58:532–8.
10. Nair-Collins M, Northrup J, Olcese J. Hypothalamic–Pituitary function in brain
death: a review. J Intensive Care Med. 2016;31:41-50.
11. Ramachandran B, Chugh K, Singhi S, Khilnani P, Viswanathan V, Mathew J, dkk.
Pediatric brain death guidelines. J Pediatr Crit Care. 2014;1:302-5.
12. Miller AC, Ziad-Miller A, Elamin EM. Brain death and Islam
the interface of
religion, culture, history, law, and modern medicine. Chest. 2014;21:2203-11.
13. Araki T, Yokota H, Fuse A. Brain death in pediatric patients in Japan: diagnosis
and unresolved issues. Neurol Med Chir. 2016;56:1–8.
14. Jan MM. The decision of “do not resuscitate” in pediatric practice. Saudi Med
J. 2011;32:122-32.
15. Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM. Evidence-based guideline
update: determining brain death in adults. Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2010;74:1911-
8.
16. Wijdicks EF. Pitfalls and slip-ups in brain death determination. Neurol Res.
2013;35:169-73.
17. Lee SY, Kim YJ, Kim JM, Kim J, Park S. Electroencephalography for the diagnosis
of brain death. Ann Clin Neurophysiol. 2017;18:118-24.
18. Mathur M, Ashwal S. Pediatric brain death determination. Semin Neurol.
2015;35:116-24.
19. Moskopp Dag. Brain death: past, present and future. J Intensive Crit Care.
2017;3:32-6.
7
Aspek etika pengambilan keputusan pada
anak dengan mati batang otak
Ade Firmansyah Sugiharto
Tujuan:
1. Memahami definisi mati batang otak
2. Mengetahui cara penentuan mati batang otak
3. Mengetahui cara pengambilan keputusan penghentian terapi
bantuan hidup
8
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
9
Aspek etika pengambilan keputusan pada anak dengan mati batang otak
anestesi dan dokter spesialis saraf.6 Ketiga dokter yang memeriksa kondisi
mati batang otak harus melakukan pemeriksaan secara terpisah dalam rentang
waktu 24 jam.6 Ketiga dokter yang menentukan mati batang otak bukanlah
dokter yang terlibat dalam transplantasi organ.6
Pada PMK tersebut telah dijelaskan pula bahwasanya mati batang otak
merupakan bentuk kematian sehingga aspek hukum bagi seseorang yang telah
mengalami mati batang otak menjadi jelas.6 Apabila seorang individu yang
telah mengalami mati batang otak adalah donor transplantasi organ, maka
terapi bantuan hidup masih dapat diteruskan hingga organ yang dibutuhkan
diambil.6 Apabila individu tersebut bukanlah donor organ, maka segera setelah
ditetapkan terjadinya mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup
harus segera dihentikan.6
Perkembangan teknologi kedokteran dewasa ini mampu menopang kerja
jantung dan paru melalui alat bantu hidup. Pemberian obat-obatan inotropik
mampu menyebabkan otot-otot jantung tetap bekerja hingga jantung tetap
dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Ventilator mampu memompakan
oksigen ke dalam paru hingga fungsi pernapasan dan oksigenasi jaringan tetap
terjaga. Apabila kedua alat bantu tersebut dihentikan, maka pada saat itu
juga jantung dan paru akan berhenti bekerja. Batang otak memegang peranan
penting pada koordinasi kerja autonom jantung dan paru. Pada kondisi telah
terjadi mati batang otak, maka fungsi koordinasi autonom tidak lagi dapat
berkerja dan jantung dan paru tidak lagi dapat bekerja, sehingga seseorang
tersebut dinyatakan mati.
10
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Pada kondisi telah terjadi kematian batang otak, terapi bantuan hidup
menjadi sia-sia. Dokter tidak memiliki kewajiban untuk memberikan terapi
yang sia-sia dan bertujuan bukan untuk mempertahankan kehidupan, namun
memperpanjang kematian. Kesia-siaan dari tindakan kedokteran didefinisikan
sebagai apabila tindakan kedokteran tidak mampu memenuhi tujuan dari
tindakan tersebut. Pada keadaan telah terjadi kematian, maka terapi bantuan
hidup tidak seharusnya diberikan.
11
Aspek etika pengambilan keputusan pada anak dengan mati batang otak
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, tanggung jawab dokter terkait mati batang otak
adalah sebagai berikut:
yy Diagnosis mati batang otak harus dilakukan di ruang rawat intensif (ICU)
rumah sakit oleh tim dokter yang terdiri dari tiga orang dokter, yang dua
diantaranya adalah dokter spesialis anestesi dan dokter spesialis saraf.
yy Mati batang otak adalah suatu bentuk kematian sehingga dapat dilakukan
penghentian terapi bantuan hidup. Memberikan terapi bantuan hidup
pada seseorang yang telah mati merupakan suatu bentuk kesia-siaan
medis (medical futility).
yy Sebelum melakukan penghentian terapi bantuan hidup, dokter wajib
memberikan penjelasan kepada keluarga atau yang mewakili pasien serta
mendapatkan persetujuan tertulis.
yy Pada keadaan dimana keluarga atau yang mewakili pasien menolak
penghentian terapi bantuan hidup serta meminta dokter untuk tetap
memberikan terapi bantuan hidup pada pasien yang telah mengalami
mati batang otak, maka dokter dan rumah sakit memiliki kewajiban untuk
menolak keinginan yang bertentangan dengan standar profesi dan etika
serta peraturan perundang-undangan.
12
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Daftar pustaka
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
4. Bedau MA. The Nature of Life. In: Luper S, editor. The Cambridge Companion
to Life and Death. United States of America. Cambridge University Press; 2014.
5. Bouch DC. Thompson JP. Severity Scoring Systems in The Critically Ill.
Continuing Education in Anaesthesia, Crit Care & Pain. 2008; 8(5): 181−5.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor.
7. Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/
III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 tahun 2014 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
10. Ethics Team, Clinical Policy Unit, Centre for Healthcare Improvement,
Queensland Government. Implementation Guidelines. End-of-Life Care:
Decision-Making for Withholding and Withdrawing Life-Sustaining Measures
from Adult Patients. Part 2. Ethical and Special Considerations [internet]. [cited
2015 September 14]. Available from: https://www.health.qld.gov.au/ qhpolicy/
docs/gdl/qh-gdl-005-1-2.pdf.
11. Jensen HI, Ammentorp J, Ording H. Guidelines for Withholding and Withdrawing
Therapy in the ICU: Impact on Decision-Making Process and Interdisciplinary
Collaboration. Heart, Lung Vessel. 2013; 5(3): 158−67.
13
Transplatasi hati anak: dari prolonged
jaundice sampai transplantasi hati
Hanifah Oswari, Andi A. Wijaya, Antonius Pudjiadi,
Toar J.M. Lalisang, Sastiono
Tujuan:
1. Mengetahui perkembangan transplantasi hati di RSCM-FKUI
2. Mengetahui cara merujuk pasien transplantasi hati ke RSCM-FKUI
3. Mengetahui kualitas transplantasi hati di RSCM-FKUI
Bayi dengan prolonged jaundice umumnya mengalami kolestasis. Pada bayi ini
terjadi gangguan aliran empedu dan/atau ekskresinya. Kolestasis pada bayi
terjadi pada 1:2500 bayi.1 Walaupun penyebab kolestasis neonatal bermacam-
macam, tetapi yang perlu cepat didiagnosis adalah atresia bilier. Atresia bilier
(AB) adalah suatu penyakit yang disebabkan kerusakan progresif saluran
empedu ekstrahepatik dan akhirnya juga intrahepatik yang dalam waktu 3
bulan telah dapat menyebabkan sirosis hati yang kemudian akan menimbulkan
gagal hati, dan kematian bila tidak diterapi secara adekuat. Insidens atresia
bilier lebih tinggi di Asia (1:6.750)2 dibandingkan di Eropa (1:17.000-19.000),3,4
sehingga kemungkinan dokter anak untuk menemukan kolestasis akibat
atresia bilier cukup tinggi. Keberhasilan penanganan AB tergantung kecepatan
dilakukannya operasi Kasai. Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana kolestasis
terutama atresia bilier dapat berakibat terjadinya sirosis hati, hipertensi portal,
dan gagal hati yang hanya dapat ditolong dengan transplantasi hati.
Di Jakarta, sebelum tahun 2010, atresia bilier yang melanjut mengalami
sirosis hati dan hipertensi portal akhirnya akan meninggal pada usia sekitar
1,5-2 tahun. Dengan berkembangnya kemampuan untuk dilakukannya
transplantasi hati di Indonesia, pasien anak dengan penyakit hati tahap akhir
(end-state liver disease) masih mempunyai harapan untuk terus hidup dengan
transplantasi hati.
Di dunia, transplantasi hati ortotopik pertama kali dilakukan oleh Dr.
Thomas E. Starzl pada anak dengan atresia bilier pada tahun 1963.5 Pada
mulanya anak yang ditransplantasi hanya bertahan hidup kurang dari 1 tahun.
Saat ini, angka harapan hidup setelah ditransplantasi hati sudah jauh lebih
14
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
baik. Angka harapan hidup untuk pasien dan graft (hati yang ditransplantasi)
meningkat pesat. Transplantasi hati dari donor hidup pertama kali berhasil
dilakukan pada anak dilakukan oleh Dr. Russel Strong di Brisbane, Australia.6
Transplantasi hati anak di RSCM-FKUI, Jakarta dilakukan pertama kali
pada tanggal 15-12-2010, saat itu Tim RSCM-FKUI bekerjasama dengan tim
transplantasi hati dari The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina.
Walaupun transplantasi hati pada anak di RSCM-FKUI, Jakarta bukan yang
pertama kali dilakukan di Indonesia, tetapi saat ini hanya RSCM-FKUI yang
masih secara teratur melakukan operasi transplantasi hati anak. Transplantasi
hati anak di RSCM-FKUI pada mulanya dimotori oleh Dr. Sastiono, Sp.BA(K)
(Bedah Anak), DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) dan Dr, Antonius Pujiadi,
Sp.A(K) (Ilmu Kesehatan Anak), dan Dr Andi Ade, Sp.An(K) (Anestesi).
Saat ini, pasien transplantasi hati tidak hanya terbatas untuk pasien dengan
kolestasis, tetapi juga mencakup pasien tanpa kolestasis tanpa ikterus yang
memerlukan hati baru untuk mempertahankan kehidupannya. Selanjutnya
akan dibahas perkembangan transplantasi hati anak di RSCM-FKUI, cara
merujuk pasien, dan biaya transplantasi hati anak.
15
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati
16
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
17
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati
CARE PROCESS Pemeriksaan
Konsultasi ke Pasien pulang dan
Kandidat lanjutan (screening)
dokter Follow up pasca pulang
hepatologi potensial
tim
transplantasi
hati Tim Transplantasi Hati
Monitoring pasca
akan memutuskan dan
trasplantasi hati di ruang
membuat prioritas,
rawat intensif dan ruang
Rujukan penjelasan lengkap pre
rawat inap
Internal : sampai post operasi
Pengumpulan
Poliklinik dokumen
hepatologi anak
dan dewasa Bukan kandidat
Poliklinik Transplantasi Hati
Kencana Komite Etik dan Hukum RSCM
Ekternal:
Rujukan RS Lain
Diberikan Dikembaliikan Persiapan perioperative
penjelasan Tidak setuju Setuju
kepada perujuk
mengenai
transplantasi
hati Pasien diedukasi dan
Jadwal operasi memberikan persetujuan
Menemui Masuk ruang rawat dan
koordinator tim discharge planning
transplantasi hati
18
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
yang akan dirujuk bila masih ada waktu dapat dilengkapi imunisasi yang
masih kurang. Bayi dengan kolestasis tidak menghambat pemberian imunisasi.
Selain imunisasi, perhatikan status gizi. Usahakan memperbaiki status nutrisi
sebelum pasien dirujuk ke RSCM. Status gizi berpengaruh untuk keberhasilan
transplatasi hati.
CARE PROCESS Masuk ruang rawat
Pasien dan discharge
Stop dijadwalkan planning
Calon Diterima oleh
donor Koordinator Tim
yang Transplantasi Tidak dapat Dapat menjadi Donor diedukasi dan
dibawa Hati, cek menjadi donor donor memberikan
oleh golongan darah persetujuan
pasien dan fungsi
organ terkait Komite Etik dan Hukum RSCM
Persiapan
Penilaian Tim Transplantasi
Tim Hati memberikan Transplantasi Hati
keputusan dan
penjelasan lengkap
pre sampai post
Monitoring pasca
Tidak operasi
trasplantasi hati di
direkomendasikan Direkomendasikan
ruang rawat intensif
dan ruang rawat inap
Pemeriksaan awal
Stop Pendaftaran (Screening)
Donor pulang dan
follow up setelah
pulang
19
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati
psikologis, Tahap III. Pemeriksaan lanjutan resipien dan donor bila disetujui
tim advokasi, dan Tahap IV. Pesiapan operasi.
Sebelum transplantasi hati dilakukan, pasien transplantasi hati anak
perlu dipersiapkan untuk mendapat vaksinasi selengkap mungkin dalam waktu
yang tersisa sebelum transplantasi hati dilakukan. Vaksin hidup merupakan
kontraindikasi diberikan setelah transplantasi karena adanya risiko diseminasi
sekunder akibat pemakaian imunosupresan. Ada jadwal imunisasi khusus
yang dipercepat untuk anak yang akan menjalani transplantasi hati.15 Setelah
transplantasi hati pemberian vaksinasi yang optimal belum jelas, tetapi banyak
senter transplantasi memberikan setelah 3-6 bulan transplantasi ketika level
imunosupresan yang diinginkan dicapai.15
Selain imunisasi, pasien perlu mendapat tata laksana untuk komplikasi
penyakit gagal hati yang dialami seperti penanganan perdarahan varises
berulang, sepsis termasuk kolangitis asendens, peritonitis bakterial spontan,
dan penanganan asites.
Pemberian tunjangan nutrisi untuk pasien transplantasi juga penting
karena status nutrisi merupakan faktor prognostik yang penting untuk pasien
hidup setelah transplantasi hati. Divisi Nutrisi Metabolik IKA FKUI-RSCM
ikut serta dalam tim transplantasi hati RSCM-FKUI untuk memantau pasien
pre dan post-transplantasi hati. Pasien pre-transplantasi hati umumnya
mendapat asupan nutrisi menggunakan nasogastric tube (NGT) dan bila perlu
dirawat inap untuk menaikkan status nutrisi pasien sebelum transplantasi hati.
Persiapan psikologis merupakan hal yang penting dilakukan untuk
anak dan orangtua sebelum transplantasi hati dilakukan.13 Di RSCM-FKUI,
konseling psikologis melibatkan tim psikiater anak dilakukan sebelum
transplatasi hati. Tim Psikiater anak termasuk dalam tim transplantasi hati
RSCM-FKUI.
Kontraindikasi
Berat badan pasien calon transplantasi hati saat dilakukan transplantasi hati
menentukan prognosis. Sebelum tahun 2015, di RSCM-FKUI dan sampai
20
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
saat ini di banyak negara di luar negeri, anak berusia < 1 tahun dan berat
badan < 10 kg masih menjadi kontraindikasi untuk transplantasi hati. Sejak
tahun 2015, dengan bantuan Profesor Mureo Kasahara - Adjuct Professor
Universitas Indonesia, hal ini tidak menjadi masalah lagi. Bayi dengan berat
badan 6-7 kg telah dilakukan transplantasi hati di RSCM-FKUI. Di Jepang,
Prof Kasahara dikenal dapat melakukan transplantasi hati dengan teknik
mono-segmen (1 segmen dari donor saja yang diambil, bukan 2 segmen seperti
pada umumnya).16,17 Dengan teknik ini bayi dengan berat badan 2,4 kg telah
pernah dilakukan transplantasi hati dan berhasil baik.
Kontraindikasi transplantasi hati yang berlaku saat ini di RSCM adalah:
Sepsis berat, tumor ganas hati dengan metastasis di luar hati, infeksi HIV, infeksi
TB, Penyakit di luar hati yang berat yang tidak reversible dengan transplantasi
hati, gagal multiorgan.
21
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati
Komplikasi awal
Rejeksi selular akut 7
Komplikasi bilier 1
Infeksi 16
Komplikasi lain 12
Komplikasi lambat
Infeksi bakteri 10
Infeksi CMV 9
Infeksi EBV 4
Efek samping imunosupresan 11
Striktur bilier lambat 0
Trombosis arteri hepatica 0
Trombosis vena porta 0
Rejeksi kronis 4
Post-transplant lymphoproliferative Disease (PTLD) 0
22
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
23
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati
Kesimpulan
Prolonged jaundice karena atresia bilier merupakan indikasi terbanyak
transplantasi hati di RSCM-FKUI. Sampai saat ini di RSCM-FKUI telah
dilakukan transplantasi hati berjumlah 32 anak, baik dengan kolestasis
maupun penyebab lainnya. Angka keberhasilan hidup pasien 1 tahun
setelah transplantasi untuk tahun 2016 adalah 79%. Selain di RSCM-FKUI,
transplantasi hati anak telah dilakukan di pelbagai tempat di Indonesia, tetapi
karena satu dan lain hal, terutama pembiayaan pasien transplantasi hati, maka
saat ini hanya RSCM-FKUI yang masih teratur melakukannya.
Daftar pustaka
1. Danks DM, Smith AL. Hepatitis syndrome in infancy--an epidemiological survey
with 10 year follow up. Arch Dis Child. 1985;60:1204.
2. Hsiao CH, Chang MH, Chen HL, et al. Universal screening for biliary atresia
using an infant stool color card in Taiwan. Hepatology. 2008;47:1233-40.
3. Chardot C, Carton M, Spire-Bendelac N, et al. Epidemiology of biliary atresia in
France: a national study 1986-96. J Hepatol. 1999;31:1006-13.
4. McKiernan PJ, Baker AJ, Kelly DA. The frequency and outcome of biliary atresia
in the UK and Ireland. Lancet. 2000;355:25-9.
5. Starzl TE, Marchioro TL, Vonkaulla KN, et al. Homotransplantation of the Liver
in Humans. Surg Gynecol Obstet. 1963;117:659-76.
6. Strong RW, Lynch SV, Ong TH, et al. Successful liver transplantation from a
living donor to her son. N Engl J Med. 1990;322:1505-7.
7. Marcos A, Fisher RA, Ham JM, et al. Liver regeneration and function in donor
and recipient after right lobe adult to adult living donor liver transplantation.
Transplantation. 2000;69:1375-9.
8. Malago M, Rogiers X, Broelsch CE. Liver splitting and living donor techniques.
Br Med Bull. 1997;53:860-7.
9. Berg CL, Gillespie BW, Merion RM, et al. Improvement in survival associated with
adult-to-adult living donor liver transplantation. Gastroenterology. 2007;133:1806-
13.
10. Emond JC, Whitington PF, Broelsch CE. Overview of reduced-size liver
transplantation. Clin Transplant. 1991;5:168-73.
11. Kasahara M, Umeshita K, Inomata Y, et al. Long-term outcomes of pediatric living
donor liver transplantation in Japan: an analysis of more than 2200 cases listed
in the registry of the Japanese Liver Transplantation Society. Am J Transplant.
2013;13:1830-9.
12. Oh SH, Kim KM, Kim DY, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor
liver transplantation at a single institution. Pediatr Transplant. 2010;14:870-8.
24
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
13. Kelly D. Liver Transplant. In: Walker WA, Goulet O, Kelinman RE, et al., editors.
Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology-Diagnosis-Management. 4 ed.
Ontario: BC Decker; 2004. p. 1532-50.
14. Sundaram SS, Mack CL, Feldman AG, Sokol RJ. Biliary atresia: Indications
and timing of liver transplantation and optimization of pretransplant care. Liver
Transpl. 2017;23:96-109.
15. Danziger-Isakov L, Kumar D, Practice ASTIDCo. Vaccination in solid organ
transplantation. Am J Transplant. 2013;13 Suppl 4:311-7.
16. Kasahara M, Kaihara S, Oike F, et al. Living-donor liver transplantation with
monosegments. Transplantation. 2003;76:694-6.
17. Ogawa K, Kasahara M, Sakamoto S, et al. Living donor liver transplantation
with reduced monosegments for neonates and small infants. Transplantation.
2007;83:1337-40.
18. Drews D, Sturm E, Latta A, et al. Complications following living-related and
cadaveric liver transplantation in 100 children. Transplant Proc. 1997;29:421-3.
19. Egawa H, Uemoto S, Inomata Y, et al. Biliary complications in pediatric living
related liver transplantation. Surgery. 1998;124:901-10.
20. Inomoto T, Nishizawa F, Sasaki H, et al. Experiences of 120 microsurgical
reconstructions of hepatic artery in living related liver transplantation. Surgery.
1996;119:20-6.
21. Rela M, Muiesan P, Bhatnagar V, et al. Hepatic artery thrombosis after liver
transplantation in children under 5 years of age. Transplantation. 1996;61:1355-7.
25
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu
transplantasi
Eka Laksmi Hidayati
Tujuan:
1. Memahami indikasi transplantasi ginjal
2. Memahami kontraindikasi transplantasi ginjal
26
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Epidemiologi
Laporan berbagai negara menunjukkan bahwa insiden dan prevalens GGT
27
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi
sangat bervariasi. Sekitar 80% anak yang menjalani terapi pengganti ginjal di
seluruh dunia berasal dari Eropa, Jepang dan Amerika Utara, yaitu negara-
negara dimana semua anak GGT memiliki akses yang baik untuk terapi.3 Di
lain pihak, ada negara yang tidak dapat melakukan terapi pengganti ginjal
pada anak karena keterbatasan sarana, fasilitas dan tenaga ahli.
Data tahun 2008 menunjukkan rerata insidens pada usia kurang dari 20
tahun berkisar 9 anak per 1 juta populasi sesuai usia, Jepang memiliki angka
yang terendah dalam kelompok negara maju, sementara Amerika Serikat tinggi,
yaitu 4,3 dan 15,5 anak per 1 juta populasi sesuai usia. Sebagai perbandingan
insidens pada dewasa, di Eropa angkanya sama dengan Australia yaitu 100-150
orang per 1 juta populasi sesuai usia, sedangkan Jepang dan Amerika Serikat
300-350 orang per 1 juta populasi sesuai usia.2
The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di
Amerika Serikat mendapatkan data sebanyak 10,8% dari seluruh populasi,
atau setara dengan sekitar 19,2 juta orang berada dalam kondisi PGK stadium
1-5.4 Data epidemiologi khusus anak paling lengkap adalah yang berasal Italkid
Project, yaitu registri berbasis populasi yang dilakukan prospektif terhadap
pasien anak dan dewasa muda usia kurang dari 20 tahun dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 75 mL/menit/1,73m2. Pada studi ini 57,6% kasus
penyebabnya adalah hipoplasia dan displasia dengan atau tanpa malformasi
urologik.5 Data Indonesia yang berasal dari RSCM mendapatkan etiologi
tersering PGK anak adalah glomerulonephritis (49,3%), diikuti oleh kelainan
anatomis ginjal dan saluran kemih (32,4%).6
28
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
dan penurunan performa sekolah. Selain gejala uremia, indikasi klinis lain
adalah hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat, kelebihan cairan dan
gangguan metabolik berat misalnya hiperkalemia, asidosis metabolik, atau
ureum >200 mg/dL.7
Angka kematian anak yang sedang menjalani terapi pengganti ginjal
sangat tinggi, yaitu 30 kali lipat dibanding anak sehat seusianya, terutama
pada kelompok dialisis. Dibandingkan dengan pasien dalam dialisis, anak yang
menjalani transplantasi memiliki angka kematian 3 sampai 4 kali lebih rendah.9
Selain itu transplantasi juga memiliki kelebihan berupa diet yang normal, angka
partisipasi sekolah dan aktivitas yang lebih tinggi, serta perbaikan kulitas hidup
secara keseluruhan.
Kontraindikasi Transplantasi
Tidak ada kesepakatan yang jelas mengenai kontraindikasi transplantasi pada
anak, namun secara umum dalam praktiknya dikenal kontraindikasi absolut
dan relatif, seperti yang tercantum pada table 2.
Pada populasi anak ada kondisi khusus yang berhubungan dengan masalah
teknis operasi yaitu ukuran pasien, dalam hal ini batasannya adalah umur dan
berat badan. Batasan ini sifatnya relatif, tergantung kemampuan ahli bedah
29
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi
dalam tim transplan, umumnya umur minimal pasien adalah 6-12 bulan dengan
berat badan minimal 6,5-10 kg. Anak dengan kelainan kongenital ginjal dan
saluran kemih seringkali harus menjalani operasi untuk koreksi kelainan
anatomisnya sebelum melangkah untuk transplantasi ginjal.7
Pasien HIV dapat menjalani transplantasi bila infeksinya terkontrol,
dengan kondisi hitung sel T CD4>200/m3 dan RNA HIV di plasma tidak
terdeteksi.
Donor Ginjal
Pemilihan donor merupakan bagian yang penting dari proses transplantasi.
Secara garis besar ada 2 jenis donor yaitu donor kadaver dan donor hidup.
Transplantasi ginjal pada anak lebih banyak berasal dari donor hidup, dengan
angka kesintasan fungsi ginjal 2 kali lebih panjang dibanding donor kadaver.
Donor hidup memiliki kesintasan lebih baik karena waktu tunggu yang lebih
pendek, pemeriksaan untuk persiapan transplan yang lebih lengkap dan
ischemic time yang lebih pendek. Ischemic time adalah periode saat ginjal donor
tidak mendapat aliran darah, yaitu sejak diputus aliran darahnya dari tubuh
donor sampai tersambung kembali ke pembuluh darah resipien.
Hal penting yang harus selalu dipertimbangkan untuk donor hidup adalah
individu pendonor tidak boleh mendapat risiko fisik, psikis dan emosional,
sebagai akibat tindakan mulianya untuk memberi manfaat pada pasien GGT.
Untuk alasan inilah syarat umur donor hidup minimal 18 tahun. Donor hidup
dapat merupakan keluarga sedarah maupun tidak sedarah, misal suami/istri
atau teman, dan kesintasannya sebanding antara kedua kelompok donor
hidup ini.10
Evaluasi donor terutama ditujukan untuk keselamatan dirinya untuk
dapat hidup normal dengan 1 ginjal dan mencegah transmisi infeksi kronik
pada resipien. Donor akan dieksklusi bila ada hipertensi, diabetes, dan riwayat
keganasan, sedangkan untuk infeksi kronik yang tidak diperbolehkan sebagai
donor adalah HIV, Hepatitis B dan C. Infeksi CMV, HPV dan EBV juga dapat
ditransmisikan dari donor kepada resipien, namun tidak termasuk kriteria
eksklusi.7
Kesintasan
Data memperlihatkan bahwa pasien anak yang menjalani transplantasi ginjal
mengalami perbaikan kesintasan dari waktu ke waktu. Angka dari Eropa untuk
risiko kematian sesudah transplan pertama turun sebanyak 42% pada kurun
waktu 1995-2000 dibandingkan dengan 1980-1984.12 Sementara di Amerika
30
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
31
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi
Pasien PGK yang onsetnya di masa anak, saat dewasa tetap memiliki
risiko kematian yang lebih tiggi dari dewasa normal. Angka harapan hidup
kelompok ini berkurang 40-50 tahun untuk pasien dialisis dan 20-30 tahun
untuk pasien yang telah menjani transplantasi. Penyebab kematian terbanyak
adalah infeksi, disusul oleh masalah kardiovaskular, keganasan dan masalah
kesehatan terkait dialisis.
Komplikasi
Komplikasi transplantasi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan waktu kejadiannya,
yaitu komplikasi segera dan jangka panjang. Komplikasi segera misalnya fungsi
ginjal transplan terlambat (delayed graft function/DGF) yaitu kondisi tidak
berfungsinya ginjal transplan dalam 2-3 hari, yang ditandai dengan tidak
turunnya kreatinin ke nilai normal. Sebagian institusi memakai definisi DGF
adalah resipien yang memerlukan HD segera setelah transplan. Gejala yang
sama dapat ditemukan pada rejeksi akut, dan untuk membedakan kedua harus
dilakukan biopsi ginjal.7 Angka kejadian rejeksi akut menurun seiring dengan
makin baiknya pemeriksaan imunologi pra transplantasi.
Komplikasi segera lainnya adalah thrombosis pada ginjal transplan.
Dugaan thrombosis harus dipertimbangkan pada pasien yang semula ginjal
transplan telah berfungsi kemudian diikuti periode oligo-anuria.7
Rejeksi dapat pula terjadi di waktu yang jauh di kemudian hari pasca
transplan dengan batasan waktu di atas 1 tahun, disebut sebagai rejeksi kronik
Komplikasi jangka panjang lain adalah penyakit dasar penyebab GGT yang
timbul kembali, misal glomerulosklerosis fokal segmental, sindrom hemolitik-
uremik atipikal, glomerulonefritis membrano proliferatif, nefritis lupus.7
Penggunaan obat imunosupresan pasca tranplan menempatkan pasien
pada risiko untuk terkena infeksi. Risiko untuk infeksi tertentu, terutama
virus, lebih tinggi bila anak belum pernah terpapar saat masih dalam kondisi
imunokompeten. Infeksi primer pada pejamu yang imunokompromais
cenderung lebih berat dibandingkan bila terjadi rekurensi pada pejamu yang
pernah terpapar. Berbagai infeksi yang dapat terjadi misalnya infeksi bakteri
pada saluran kemih, infeksi parasit dan jamur, serta infeksi virus, yaitu CMV,
EBV, varicella dan BK.18
Terdapat komplikasi terkait virus EBV yang penting yaitu Post-
transplant Limphoproliferative Disease (PTLD), merupakan spektrum kelainan
limfoproliferatif, dari infeksi mononukleosis dan hyperplasia limfoid sampai
limfoma yang invasive dan ganas. Hipertensi, yang dimulai sejak sebelum
transplan, sering ditemukan menetap pada pasien pasca transplan, ada sebagian
kecil yang mengalami perbaikan sampai tidak diperlukan antihipertensi sama
32
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
sekali. Kelainan homeostasis glukosa dapat timbul pasca transplan, ini disebut
New Onset Diabetes After Transplantation (NODAT). Dasarnya adalah resistensi
insulin, peningkatan metabolism insulin, atau penurunan sekresi insulin.18
Aspek Sosial
Penyakit kronik di masa anak akan berdampak pada defisit fungsi neurokognitif,
termasuk gangguan pemusatan perhatian dan pengendalian diri. Transplantasi
organ secara dramatis meningkatkan seluruh aspek fisik, emosional dan
fungsi sosial, meskipun ada efek penyakit kronis atau efek obat yang tak
terelakkan, misalnya postur tubuh yang pendek dan obes. Selain itu kejadian
hipertensi, masalah ortopedik dan katarak juga didapatkan cukup tinggi.
Pengamatan jangka panjang menunjukan bahwa 3 tahun setelah transplan,
90% pasien bersekolah atau bekerja, kemudian setelah 10 tahun sebagian besar
pasien merasa kondisi kesehatan mereka baik, juga dalam kehidupan sosial,
pendidikan dan aktivitas seksual.19
Kelompok remaja pasca tranplantasi perlu mendapat perhatian khusus
karena mereka memiliki angka ketidakpatuhan terhadap terapi yang tinggi.
Ketidakpatuhan ini menjadi penyebab kegagalan ginjal donor pada sekitar
25% dari seluruh kasus. Konseling, edukasi berulang, alarm di telepon genggam
sebagai pengingat minum obat serta kunjungan yang lebih sering ke poliklinik
merupakan beberapa strategi untuk meningkatkan kepatuhan.11
Simpulan
Transplantasi ginjal dapat dianggap titik balik yang dramatik karena membuat
perubahan besar dari kondisi sakit kronik yang berat pada keadaan hampir
normal dalam waktu relatif singkat. Perbaikan dapat dirasakan dalam
pertumbuhan, fungsi neurokognitif, dan kualitas hidup. Kesintasan pasien pasca
transplantasi ginjal mengalami perbaikan, terutama dalam jangka pendek dan
kelompok anak 6-12 tahun. Pada kelompok remaja kesintasan lebih rendah
karena angka ketidakpatuhan terhadap terapi yang masih tinggi. Perkembangan
transplantasi ginjal pada anak di Indonesia memberikan harapan untuk
meingkatkan kualitas hidup anak dengan PGK stadium 5, meskipun masih
perlu perbaikan berkesinambungan untuk penyempurnaan program ini.
33
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi
Daftar pustaka
1. Dharnidharka VR, Fiorina P, Harmon WE. Kidney transplantation in children.
N Engl J Med. 2014;371:549–58.
2. Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J, Balk E, Lau J,
Levin A, Kausz AT, Eknoyan G, Levey AS, (2003) National Kidney Foundation’s
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative clinical practice guidelines for
chronic kidney disease in children and adolescents: evaluation, lassification, and
stratification. Pediatrics. 2003;111:1416–21.
3. Harambat J, Van Stralen KJ, Kim JJ, Tizard EJ. Epidemiology of chronic kidney
disease in children. Pediatr Nephrol. 2012;27:363-73.
4. Coresh J, Selvin E, Stevens LA. Prevalence of chronic kidney disease in the
United States. JAMA. 2007;29:2038-47.
5. Ardissino G, Daccò V, Testa S, Bonaudo R, Claris-Appiani A, Taioli E, Marra
G, Edefonti A, Sereni F; ItalKid Project Epidemiology of chronic renal failure in
children: data from the ItalKid project. Pediatrics. 2003; 111:e382–7
6. Hidayati EL, Trihono PP. Admission characteristics of pediatric chronic kidney
disease. Paediatrica Indonesiana. 2011;51:192-7.
7. Rodig NM, Vakili K, Harmon WE. Pediatric renal transplantation. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,Emma F, Goldstein FL, penyunting.
Pediatr Nephrology. Edisi ke-7. Berlin: Springer-Verlag.2016.h.2501-52.
8. Kasiske BL, Snyder JJ, Matas AJ. Preemptive kidney transplantation: the
advantage and the advantaged. J am Soc Nephrol. 2002;13:1358-64.
9. McDonald SP, Craig JC. Long-term survival of children with end-stage renal
disease. N Engl J Med. 2004;350:2654-62
10. Gheith O, Sabry A, El-Baset SA, Hassan N, Sheashaa H, Bahgat S, El-Shahawy
E-M, Study of the effect of donor source on graft and patient survival in pediatric
renal transplant recipients. Pediatr Nephrol. 2008;23:2075–9.
11. Moudgil A, Jordan SC. Renal transplantation. Dalam: Kher KK, Schnaper HW,
Greenbaum LA, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Boca
Raton: Taylor and Francis Group. 2017.h.743-76.
12. an der Heijden BJ, van Dijk PCW, Verrier-Jones K, Jager KJ, Briggs JD. Renal
replacement therapy in children: Data from 12 registries in Europe. Pediatr
Nephrol 2004;19:213–19
13. askin BL, Mitsnefes MM, Dahhou M, Zhang X, Foster BJ. The mortality risk with
graft function has decreased among children receiving a first kidney transplant
in the United States. Kidney Int 2014;87:1–9.
14. Chesnaye NC, van Stralen KJ, Bonthuis M, Harambat J, Groothoff
JW. Jager KJ. Survival in children requiring chronic renal replacement
therapy. Pediatr Nephrol. Diunduh dari https://link.springer.com/content/
pdf/10.1007%2Fs00467-017-3681-9.pdf
15. NAPRTCS Collaborative Studies NAPRTCS (2014) Annual transplant report.
Available at www.naprtcs.org
16. Miller MEY, Williams JA. Chronic renal failure in Jamaican children – An update
(2001 – 2006). West Indian Med 2009;J58:231-4.
34
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
17. Mong Hiep TT, Janssen F, Ismaili K, Khai Minh D, Vuong Kiet D, Robert A
(2008) Etiology and outcome of chronic renal failure in hospitalized children in
ho chi Minh City, Vietnam. Pediatr Nephrol 23:965-970.
18. Dharnidharka VR, Araya CE. Complications of Pediatric Renal Transplantation.
Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,Emma F,
Goldstein FL, penyunting. Pediatr Nephrology. Edisi ke-7. Berlin: Springer-
Verlag.2016.h.2573-604.
19. Bartosh S, Leverson G, Robilard D. Long-term outcomes in pediatric renal
transplant recipients who survive into adulthood. Transplantation. 2003;76:1195-
200.
35
Infeksi berulang pada anak
normal, alergi, atau defisiensi imun?
Zakiudin Munasir
Tujuan :
1. Mengenal berbagai etiologi infeksi berulang pada anak
2. Melakukan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan
diagnosis etiologi infeksi berulang pada anak
3. Melekukan tatalaksana yang tepat secara komprehensif infeksi
berulang pada anak
Definisi
Hingga saat ini, tidak ada definisi infeksi berulang yang pasti. Otitis media
kronik/berulang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun, dengan frekuensi
yang semakin berkurang dengan seiring bertambahnya usia1,2.
Anak-anak usia lebih dari 2 tahun dengan frekuensi otitis media
meningkat dan sering disertai mastoiditis, infeksi organ lain atau gagal tumbuh
harus dievaluasi lebih lanjut (Tabel 1).
Setiap makhluk yang lahir dibekali suatu ea ra imun oleh Sang Pencipta,
baik dari makhluk yang sangat sederhana, yaitu binatang bersel satu seperti
amuba, sampai makhluk yang paling sempurna seperti manusia. Tingkat ea
ra imun juga bervariasi: dari yang sangat sederhana, sampai bentuk kekebalan
yang kompleks, seperti pada manusia.
36
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tabel 1. Panduan untuk mengidentifikasi anak dengan kecenderungan untuk mengalami infeksi
Frekuensi
Pneumonia >1 episode setiap satu dekade kehidupan
Otitis media >6 kali pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun
Otitis media dan keluarnya cairan dari telinga yang tidak kunjung sembuh meskipun sudah dilakukan
pemasangan pipa timpanostomi
Sinusitis yang tidak kunjung sembuh meskipun telah mendapat terapi medis dan bedah
Derajat penyakit
Pneumonia dengan empiema
Meningitis bakteri, artritis, atau osteomielitis Sepsis
Mastoiditis
Infeksi patogen oportunis
Pneumonia Pneumocystis jirovecii Kandidiasis mukokutan
Infeksi jamur invasif Poliomielitis akibat vaksin
Infeksi basil Calmette-Guerin setelah vaksinasi
Infeksi di lokasi anatomis multipel
Tidak ada penyebab epidemiologis yang jelas (misalnya penitipan anak, terpapar asap rokok, alergi terhadap
lingkungan)
Karakteristik anatomis atau fisiologis yang mengarah ke sebuah kompleks sindrom
Gagal tumbuh
(diadaptasi dari: Lederman HM. Approach to the child with recurrent infections including molecular diagnostics.
In: Leung DYM, Szefler SJ, Akdis CA, Sampson H,Bonilla FA (editors). Pediatric allergy: principles and practice. Edisi
ketiga. Philadelphia: Elsevier; 2016 Pembagian Sistem Imun Manusia
Secara garis besar, 2ea ra imun manusia dibagi menjadi dua jenis yaitu3 :
1. Respons imun yang tidak spesifik
Disebut tidak spesifik karena respons imun ini ditujukan untuk menangkal
masuknya segala macam antigen dari luar yang asing bagi tubuh,
yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh/ penyakit, seperti berbagai
macam bakteri, virus, parasit, atau zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Yang termasuk ke dalam respons imun yang tidak spesifik ini misalnya
di antaranya pertahanan fisik (kulit, selaput lendir, kimiawi (enzim,
keasaman lambung), mekanik (gerakan usus, rambut getar selaput
lendir), fagositosis, serta komplemen yang berfungsi pada berbagai proses
pemusnahan kuman/zat asing.
Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya
kuman/zat asing ke dalam tubuh. Misalnya kulit yang luka, gangguan
keasaman lambung, gangguan gerakan usus, atau gangguan proses
penelanan kuman/ zat asing oleh sel darah putih (sel leukosit).
2. Kekebalan tubuh spesifik
Bila masuknya kuman/zat asing tidak dapat ditangkal oleh daya tahan
tubuh yang tidak spesifik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
diperlukan sistem kekebalan tubuh dengan tingkat yang lebih tinggi atau
spesifik untuk mencegah masuknya kuman- kuman tertentu yang lolos
37
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?
dari pertahanan tubuh yang tidak spesifik. Ada dua jenis kekebalan tubuh
yang berperan pada kekebalan yang spesifik ini, yaitu kekebalan selular
dan kekebalan humoral. Kekebalan ini hanya berperan pada kuman/
zat asing yang sudah dikenal, artinya bila jenis kuman/zat asing tersebut
sudah lebih dari satu kali masuk ke dalam tubuh manusia.
38
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tabel 3. Sepuluh tanda atau gejala yang dicurigai defisiensi imun primer8
1. ≥8 infeksi telinga dalam waktu 1 tahun
2. ≥2 infeksi sinus serius dalam 1 tahun
3. ≥2 bulan memakai antibiotik dengan efek sedikit
4. ≥2 pneumonia dalam waktu 1 tahun
5. Gagal tumbuh
6. Sering timbul abses pada kulit atau organ yang memerlukan antibiotik intravena untuk mengatasi
infeksi
7. Infeksi persisten di mulut atau di tempat lain pada kulit setelah usia 12 bulan
8. Mengalami ≥2 infeksi berat, seperti meningitis, osteomielitis, selulitis, atau sepsis
9. Riwayat keluarga menderita defisiensi imun primer
10. Infeksi umum yang disebabkan oleh kuman komensal
39
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?
(Diadaptasi dari: Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious disease. In: Rudolph AM, Kamei RK, Overby KJ (editors).
Rudolphs fundamentals of pediatrics. 3rd ed. United States: McGraw-Hill; 2002)
40
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
41
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?
Simpulan
Infeksi berulang pada anak usia dini biasanya normal dan berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh yang relatif belum matang.
Alergi sering berhubungan dengan gejala infeksi berulang atau menjadi
faktor predisposisi untuk terjadinya infeksi berulang. Oleh karena itu, semua
anak dengan infeksi berulang harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan ke
arah penyakit alergi.
Defisiensi imun primer jarang terjadi, tetapi harus dipertimbangkan pada
semua pasien yang mengalami infeksi berulang, terutama jika infeksinya parah,
sulit diobati, atau disebabkan oleh kuman oportunis. Walaupun defisiensi
imun primer jarang terjadi, penting untuk segera didiagnosis untuk mencegah
terjadinya kerusakan organ dan infeksi yang mengancam jiwa. Anamnesis
yang saksama, pemeriksaan fisik, dan terkadang tes darah sederhana sering
kali merupakan semua hal yang diperlukan untuk menyingkirkan defisiensi
imun yang mendasarinya.
Daftar kepustakaan
1. James F. Jones, MD, Vincent A. Fulginiti, MD. Recurrent bacterial infections in
children. Pediatr Rev. 1979;1:99 –108.
2. Lederman HM, Gelfand EW. Approach to the child with recurrent infections
including molecular diagnostics. Dalam: Leung DYM, Szefler SJ, Akdis CA,
Sampson H, Bonilla FA (penyunting). Pediatric allergy: principles and practice.
Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2016: h.81-7.
3. Male D, Introduction to the immune system. Dalam: Roitt I, Brostoff J, Male D
(editors). Immunology. Edisi ke-6. Edinburgh: Mosby; 2001: 1-13
4. Al-Herz, Bousfiha A, Casanove JL, Chatila T, Conley ME, Cunningham-Rundles
C, dkk. Primary immunodeficiency diseases: an update on the classification
from the International Union of Immunological Societies Expert Committee for
Primary Immunodeficiency. Front Immunol. 2014;5:162.
5. Bousfiha A, Picard C, Boisson-Dupuis S, Zhang SY, Bustamante J, Puel A, dkk.
Primary infections. Clin Immunol. 2010, 135: 204-9.
6. Notarangelo LD. Primary immunodeficiencies. J Allergy Clin Immunol. 2010,
125 (2 Suppl 2): S182-94.
7. Boyle JM, Buckley RH: Population prevalence of diagnosed primary
immunodeficiency diseases in the United States. J Clin Immunol. 2007;27: 497-
502. Medical Advisory Board of Jeffery Modell Foundation. Diunduh dari: http://
immunodeficiency.ca/healthcare-providers/diagnositic-tools-documents/ [Diakses
pada 8 September 2017].
8. Crump WSA. Recurrent Infections: normal, allergic, or immunodeficiency?
Diunduh dari: http://www.allergyclinic.co.nz/recurrent_infections.aspx. [Diakses
pada 8 September 2017].
42
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
9. Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious disease. Dalam: Rudolph AM, Kamei
RK, Overby KJ (penyunting). Rudolphs fundamentals of pediatrics. Edisi ke-
3. United States: McGraw-Hill; 2002.11. Custovic A1, Murray C, Simpson
A. Allergy and infection: understanding their relationship. Allergy. 2005;60
(Suppl 79):10-13
10. Fireman P. Virus-provoked rhinitis in patients who have allergies. Allergy
Asthma Proc. 2002;23: 99–102.
11. Johnston SL, Pattemore PK, Sanderson G, Smith S, Lampe F, Josephs L, dkk.
Community study of role of viral infections in exacerbations of asthma in 9–11
year old children. BMJ. 1995;310: 1225–9.
12. Johnston SL, Pattemore PK, Sanderson G, Smith S, Lampe F, Josephs L, dkk.
The relationship between upper respiratory infections and hospital admissions
for asthma: a time-trend analysis. Am J Respir Crit Care Med. 1996;154: 654–60.
43
Diare kronik pada anak
Muzal Kadim
Tujuan:
1. Mengetahui definisi dan patofisiologi diare kronik
2. Mengetahui beberapa etiologi tersering diare kronik
3. Mengetahui pertimbangan pemberian antibiotik pada diare
kronik
Definisi
Diare kronik didefinisikan sebagai volume tinja lebih dari 10 gram/kgBB/hari
pada atau 200 gram/hari pada anak besar (umumnya diare cair lebih dari 3
kali/hari) yang berlangsung selama 14 hari atau lebih. Di negara berkembang,
umumnya diare kronik merupakan kelanjutan dari infeksi saluran cerna.1 Di
Indonesia secara khusus, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari disebut
diare persisten dan/atau diare kronik. Diare persisten umumnya dihubungkan
dengan penyebab infeksi, sementara diare kronik umumnya memiliki dasar
etiologi non-infeksi.2
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare pada diare kronik dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu diare sekretorikdan diare osmotik.
yy Diare Sekretorik
Pada diare sekretorikterjadi sekresi aktif elektrolit dan air ke lumen usus
yang disebabkan oleh adanya hambatan pada absorpi Na dan Cl pada sel
vili usus dan peningkatan sekresi Cl pada sel kripta. Sekresi ini terjadi
sebagai akibat dari peningkatan cAMP, cGMP, atau Ca sebagai respons
terhadap rangsangan seperti enterotoksin mikroba, atau pengaruh
endogen seperti sitokin inflamasi.1-3
yy Diare Osmotik
Pada diare osmotik, terjadi peningkatan sekresi air ke lumen usus & retensi
air yang disebabkan oleh adanya gradien osmotik dikarenakan nutrien yang
tidak terabsorpsi. Penyebabnya di antaranya (1) kerusakan sel usus akibat
44
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
infeksi, (2) penurunan luas area absorpsi, seperti pada penyakit Coeliac,
(3) berkurangnya enzim pencernaan, seperti pada defisiensi enzim laktase,
(4) penurunan waktu transit usus, seperti pada diare fungsional, dan (5)
pemberian nutrisi berlebih, melebihi kapasitas saluran cerna, misalnya
pemberian berlebihan fruktosa atau sorbitol.1
Etiologi
Zella GC, et al. membagi etiologi diare kronik menjadi dua kelompok besar,
yaitu diare kronik tanpa gagal tumbuh, dan diare kronik dengan kegagalan
pertumbuhan/ failure to thrive.4
45
Diare kronik pada anak
46
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
47
Diare kronik pada anak
Diagnosis
Anamesis dan pemeriksaan fisis memegang peranan penting dalam evaluasi
diagnostik diare kronik. Pada anamnesis perlu ditelusuri frekuensi buang
air besar, volume dan karakteristik tinja, adanya darah ataupun lendir, dan
pengaruhnya terhadap intake nutrisi. Selain itu diperlukan juga anamnesis
terkait gejala penyerta lainnya seperti nyeri abdomen, penurunan berat badan,
bercak kemerahan pada kulit, muntah, ulkus oral dan nyeri sendi. Adanya
demam dapat mengarahkan penyebab diare kronik ke arah infeksi atau
inflamasi. Riwayat keluarga juga penting untuk ditanyakan. Pemeriksaan fisis
mencakup pengukuran status gizi, dan tanda gejala defisiensi nutrisi. Adanya
distensi abdomen dapat mencerminkan sindrom malabsorpsi atau SBBO.4,5
Pemeriksaan penunjang yang umumnya pertama kali dilakukan yaitu
pemeriksaan mikroskopik dan kultur tinja. Diare kronik akibat infeksi seperti
pada infeksi Escherichia coli, Salmonella, Yersinia dapat nampak pada kultur
tinja. Deteksi parasit seperti Giardia dan Cryptosporodium pada pemeriksaan
tinja juga dapat menunjang diare kronik yang dicurigai akibat kolitis infeksi.4
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat menunjang diagnosis di
antaranya analisa osmolaritas tinja untuk menentukan apakah diare bersifat
sekretorik atau osmotik, inspeksi leukosit pada tinja untuk menentukan adanya
inflamasi mukosa usus, pemeriksaan lemak tinja, pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan antibodi TTG IgA untuk diagnosa penyakit Coeliac.4
Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosis etiologi diare kronik
diantaranya pemeriksaan hydrogen breath test untuk menentukan adanya
malabsorpsi karbohidrat, endoskopi serta biopsi.4
Pemberian Antibiotik
Di negara berkembang seperti Indonesia, diare kronik umumnya disebabkan
oleh faktor infeksi.5 Oleh sebab itu, salah satu penatalaksanaan yang penting
untuk diperhatikan adalah dari segi pemberian antibiotik. Namun, apakah
pemberian antibiotik selalu diperlukan, khususnya pada kasus diare akut
dengan kultur positif?
Penelitian oleh Abba K, et al menilai efektivitas pemberian antimikroba
pada kasus diare kronik anak usia < 6 tahun dibandingkan dengan plasebo.
Didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaaan bermakna antara pemberian
antibiotik dengan plasebo terhadap perbaikan diare.7 Bahkan, penelitian
48
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
49
Diare kronik pada anak
Kesimpulan
Di negara berkembang seperti Indonesia, diare kronik umumnya disebabkan
oleh infeksi usus. Oleh sebab itu, pemeriksaan mikroskopik & kultur tinja
secara umum dikerjakan pada pasien anak dengan diare kronik. Akan
tetapi pemberian antibiotik tidak rutin diberikan pada kasus diare kronik,
dikarenakan pemberian antibiotik tanpa indikasi dapat memengaruhi flora
normal usus dan dapat memperberat diare. Tatalaksana antibiotik diberikan
pada kasus diare kronik kultur positif Salmonella (usia < 6 tahun, atau pada
anak dengan imunodefisiensi), Shigella, Vibrio Cholerae, dan Clostridium difficile.
Tatalaksana antiparasitik juga diberikan pada kasus parasit Cryptosporodium,
Entamoeba Histolytica, dan Giardiasis yang ditemukan melalui pemeriksaan
mikroskopik tinja. Bila ditemukan kultur positif untuk bakteri Campylobacter
dan Yersinia, antibiotik tidak rutin diberikan. Terhadap kasus kultur positif
Clostridium difficile dan E.coli terdapat berbagai pertimbangan diperlukan
atau tidak pemberian antibiotik. Sebagai kesimpulan, dalam menentukan
50
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
perlunya pemberian terapi antibiotik pada kasus diare kronis dengan kultur
positif, penilaian dan pertimbangan klinis dokter adalah hal yang terpenting,
didukung dengan pemeriksaan laboratorium.
Kepustakaan
1. Guarino A, Branski D,Winter HS. Chronic diarrhea. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF(editor): Nelson Textbook of Pediatrics,
20th ed. Philadelphia: Gurgaon/Elsevier 2016: 1875-1887.
2. Soenarto Y. Diare Kronis dan Diare Persisten. Dalam: Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2010: 39-47.
3. Binder HJ. Causes of chronic diarrhea. N Engl J Med. 2006;355(3):236–239.
4. Zella GC, Israel EJ. chronic diarrhea in children. Pediatr Rev. 2012;33:207.
5. Guarino A, Vecchio AL, Canani RB. chronic diarrhoea in children. Best Practice
& Research Clinical Gastroenterology. 2012;26:649–661.
6. Hourigan SK, Sears CL, Oliva-Hemker M. Clostridium difficile infection in
pediatric inflammatory bowel disease. Inflamm Bowel Dis. 2016;22:1020–1025.
7. Abba K, Sinfield R, Hart CA, Garner P. Antimicrobial drugs for persistent
diarrhoea of unknown or non-specific cause in children under six in low and
middle income countries: systematic review of randomized controlled trials. BMC
Infect Dis. 2009;9: 24.
8. Mahfuz M, Alam MA, Islam SB, Naila NN, Christi MJ, Alam NH, dkk. Treatment
outcome of children with persistent diarrhea admitted to an Urban Hospital,
Dhaka during 2012–2013. BMC Pediatrics. 2017:17(142).
9. Putra IS, Firmansyah A, Hegar B, Boediarso AD, Kadim M, Alatas FS. Faktor
Risiko Diare Persisten pada Pasien yang Dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri, 2008; 10:1.
10. Pawlowski SW, Warren CA, Guerrant R. Diagnosis and treatment of acute or
persistent diarrhea. Gastroenterology. 2009;136(6):1874–86.
11. Welsh A [Ed]. Diarrhoea and vomiting caused by gastroenteritis: diagnosis,
assessment and management in children younger than 5 years. National
Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. 2009:h.90-103.
12. Casburn-Jones AC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut.
2004;53:296–305.
13. Behiry IK, Abada EA, Ahmed EA, Labeeb RS. Enteropathogenic Escherichia coli
associated with diarrhea in children in Cairo, Egypt. TSWJ. 2011;11:2613–2619.
14. Ochoa TJ, Contreras CA. Enteropathogenic E. coli (EPEC) infection in children.
Curr Opin Infect Dis. 2011;24(5):478–483.
15. Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, Bergh K. Association of atypical
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) with prolonged diarrhoea. JMM.
2004;53:1137–44.
16. McConnie R, Kastl A. Clostridium difficile, colitis, and colonoscopy: Pediatric
Perspective. Curr Gastroenterol Rep. 2017;19:34.
51
Diare kronik pada anak
17. Crews JD, Anderson LR, Waller DK, Swartz MD, DuPont HL, Starke JR. Risk
factors for community-associated clostridium difficile associated diarrhea in
children. Pediatr Infect Dis J. 2015;34(9):919–923.
18. Sammons JS, Toltzis P, Zaoutis TE. Clostridium difficile infection in children.
JAMA PEDIATR. 2013;167(6).
19. Marra F, Ng K. Controversies around epidemiology, diagnosis and treatment of
Clostridium difficile infection. Drugs. 2015; 75(10):1095-118.
52
Sindrom Rubella Kongenital:
Surveilans dan Pencegahan
Nina Dwi Putri, Hindra Irawan Satari
Tujuan:
1. Mengetahui kriteria diagnosis sindrom Rubella kongenital (SRK)
di Indonesia
2. Mengetahui alur surveilans SRK di Indonesia
3. Mengetahui program pencegahan dan pengendalian SRK di
dunia dan Indonesia
53
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
dan SRK pada tahun 2020.8 Proses pengontrolan SRK dengan pemberian
vaksin MR ini memerlukan surveilans yang baik serta keterlibatan semua
stakeholder terkait.
54
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
aktif sejak tahun 2015. Surveilans ini melibatkan 13 rumah sakit sentinel di
Indonesia dan melibatakan multidisiplin ilmu seperti subspesialisasi Infeksi
Anak, Jantung Anak,. Neurologi Anak, Tumbuh Kembang Anak, Neonatologi,
Mata dan THT. Surveilans ini bertujuan untuk mengidentifikasi besarnya
masalah SRK di Indonesia.10
Surveilans SRK seyogyanya dimulai dengan dua kategori yaitu bayi
dengan kelainan kongenital dan ibu hamil yang dicurigai terinfeksi Rubella.
Surveilans SRK di Indonesia masih ditujukan untuk bayi berusia kurang dari
12 bulan. Klasifikasi kasus SRK dibedakan menjadi (1) Suspek SRK; (2) SRK
klinis; (3) SRK pasti; (4) SRK infeksi. Diagnosis SRK ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis yang dibagi menjadi kelompok A dan kelompok B.10
Kelompok A Kelompok B
Gangguan pendengaran Purpura
Penyakit jantung bawaan Splenomegali
Katarak atau glaukoma kongenital Mikrosefali
Retinopati pigmentari Retardasi mental
Meningoensefalitis
Kelainan “radiolucent bone”
Ikterik dalam waktu 24 jam pertama lahir
Pada surveilans ini, untuk dapat memfasilitasi semua rumah sakit dengan
fasilitas yang berbeda-beda, maka pemeriksaan gangguan pendengaran boleh
menggunakan pemeriksaan otoacustic emission (OAE). Jika pemeriksaan OAE,
refer maka dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi Rubella. Akan tetapi, pada
fasilitas yang lebih lengkap dapat menggunakan ABR atau BERA.10
Penyakit jantung bawaan yang termasuk dalam suspek SRK adalah
patent ductus arteriosus (PDA). Khusus untuk PDA pada bayi prematur, dapat
dikategorikan dalam suspek SRK jika tidak menutup spontan sampai bayi
berusia 2 bulan. Selain PDA, pulmonary stenosis (PS), arterial septal defect
(ASD), ventricular septal defect (VSD) menjadi salah satu kriteria suspek SRK.10
Suspek SRK didefinisikan sebagai bayi berusia <1 tahun yang memiliki
minimal salah satu manifestasi klinis dari kelompok A. Klasifikasi SRK klinis
ditegakkan jika ditemukan dua manifestasi klinis dari kelompok A atau satu
manifestasi klinis dari kelompok A dan satu manifestasi klinis dari kelompok
B pada bayi <1 tahun yang tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kasus
suspek SRK yang memenuhi kriteria laboratorium yaitu IgM Rubella positif
pada bayi <6 bulan atau IgM dan IgG Rubella positif atau IgG positif pada
dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu 1 bulan) dikategorikan sebagai
SRK pasti.10
55
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
Gambar 1. Alur penentuan kasus SRK pada bayi <6 bulan10
Gambar 2. Alur penentuan kasus SRK pada bayi usia 6 bulan-1 tahun10
56
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
57
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
Gambar 3. Ekskresi virus Rubella10
58
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
juga sangat penting karena sebagian besar bayi SRK masih mengandung dan
mengekskresi virus sampai usia 1 tahun (Gambar 3.).10
Daftar pustaka
1. Plotkin SA. The history of rubella and rubella vaccination leading to elimination.
Clin Infect Dis. 2006;43:S164–8.
2. Rubella vaccines: WHO position paper. World health organization: weekly
epidemiological record; 2011. h 301–16.
3. Gao Z, Wood JG, Burgess MA, Menzies RI, McIntyre PB, MacIntyre R. Models
of strategies for control of rubella and congenital rubella syndrome—a 40 year
experience from Australia. Vaccine. 2013;31:691–7.
4. Grant GB, Reef SE, Dabbagh A, Dobo MF, Strebel PM. Global progress Toward
Rubella and Congenital Rubella syndrome control and elimination — 2000–2014.
MMWR. 2015;64:1052–5.
5. Global measles and rubella strategic plan: 2012–2020. World Health Organization.
Switzerland: 2012.
6. Cutts FT, Robertson SE, Diaz Ortega, Samel Rl. Control of rubella and congenital
rubella syndrome (CRS) in developing countries, Part 1: Burden of disease from
CRS. Bull World Health Organization 1997;75:55–68.
7. Miyakawa M, Yoshino Y, Yoshida LM, Vynnycky E, Matpmura, H, Tho LH, et al.
Seroprevalence of rubella in the cord blood of pregnant women and congenital
rubella incidence in Nha Trang, Vietnam. Vaccine 2014;32:1192–8.
8. Resolution SEA/RC66/R5: measles elimination and rubella/congenital rubella
syndrome control. New Delhi, India: World Health Organization: 2013.
9. Kartasasmita C, Purbadi IMY, Tandy G, Sundoro J, Anisiska D, Syafriyal, Hakimi,
et al. Petunjuk teknis kampanye imunisasi measles rubella (MR). Kementrian
Kesehatan RI: 2017. h1-79.
10. Komite ahli erdikasi Campak Rubella. Pedoman Surveilans CRS di Indonesia.
Kementrian Kesehatan 2017. h1-20.
11. McIntosh ED, Menser MA. A fifty-year follow-up of congenital rubella. Lancet
1992; 340:414.
12. Forrest JM, Turnbull FM, Sholler GF, et al. Gregg’s congenital rubella patients
60 years later. Med J Aust 2002; 177:664.
59
Bronkoskopi fleksibel:
Kapan dilakukan pada anak?
Darmawan B Setyanto
Tujuan:
1. Mengenal alat bronkoskopi dan sejarah singkatnya
2. Memahami ruang lingkup indikasi tindakan bronkoskopi pada
anak
3. Mengetahui prosedur yang dijalankan dalam tindakan
bronkoskopi
4. Mengetahui bahwa bronkoskopi merupakan tindakan invasif
yang relatif aman
Sistem organ respiratori dari aspek anatomi dikaitkan dengan fungsinya dapat
dibagi menjadi dua, zona konduksi dan zona respiratori. Zona konduksi adalah
organ yang menjalankan fungsi penyaluran udara napas maka disebut sebagai
saluran napas (airway). Zona konduksi mulai dari hidung, faring, laring, trakea,
bronkus hingga percabangan bronkus terkecil yaitu bronkiolus terminalis. Di
zona konduksi tidak terjadi pertukaran gas. Zona respiratori adalah organ
yang menjalankan fungsi pertukaran gas (difusi) yang terdiri dari bronkiolus
respiratori dan alveoli dengan kapiler yang melingkupinya, yang disebut juga
parenkim paru.
Dalam menilai masalah medis di sistem respiratori, selain anamnesis
menyeluruh utuh, pemeriksaan fisis cermat, juga diperlukan pemeriksaan
penunjang. Untuk menilai anatomi dan patologi sistem respiratori lazim
dilakukan pemeriksaan pencitraan (imaging diagnostic) mulai dari foto
radiologi polos, ultrasonografi, CT-scan, hingga magnetic resonance imaging
(MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat menilai struktur anatomik dan kelainan
sistem organ respiratori serta organ di sekitarnya, namun untuk menilai zona
konduksi intraluminal, pemeriksaan pencitraan tidak dapat sepenuhnya
membantu. Untuk itu diperlukan modalitas pemeriksaan penunjang lain
yaitu pemeriksaan endoskopi respiratori berupa rinofaringolaringoskopi
dan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi dapat langsung menunjukkan
visualisasi zona konduksi dari sisi intralumen, menilai patensi jalan napas,
dinamikanya, keadaan mukosa, sekresi, dan adanya benda asing.
60
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Sejarah
Gustav Killian seorang dokter THT Jerman melakukan bronkoskopi pertama
pada tahun 1897 menggunakan bronkoskopi rigid untuk mengeluarkan tulang
babi yang teraspirasi. Killian dianggap sebagai bapak bronkoskopi. Sejak itu
tindakan bronkoskopi utamanya untuk mengeluarkan benda asing yang
teraspirasi menjadi berkembang. Pada tahun 1920 seorang dokter Amerika
Chevalier Jackson menghaluskan bronkoskopi rigid dan menggunakannya
untuk visualisasi trakea dan bronkus utama. Selanjutnya Victor Negus seorang
dokter Inggris yang bekerja bersama Jackson memperbaiki desain bronkoskopi
rigid.5
61
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
62
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Jenis
Ada dua jenis bronkoskopi, rigid dan fleksibel, dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Bronkoskopi rigid berbentuk pipa logam lurus.
Bronkoskopi jenis ini yang pertama kali ditemukan.
Gambar 4. Bronkoskopi rigid
Gambar 6. Potongan sagital pipa bronkoskop.
63
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
Peralatan
Rangkaian lengkap peralatan bronkoskopi dimulai dengan (1) sumber cahaya
(light source), (2) skop, (3) pemroses citra (image processor) dan (4) layar tayang
untuk menunjukkan gambar yang tertangkap oleh kamera. Peralatan dapat
ditambah komputer dengan papan tombol (keyboard) untuk menyusun laporan
dan printer untuk mencetak laporan hasil tindakan.
Indikasi
Bronkoskopi terindikasi pada setiap masalah respiratori yang melibatkan
saluran trakeobronkial secara langsung maupun tidak langsung. Sejalan
dengan berlalunya waktu, penggunaan bronkoskopi fleksibel pada anak makin
berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi alat bronkoskopi. Penggunaan
64
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
65
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
Kontra-indikasi
Tentang kontra-indikasi bronkoskopi tidak ada kesepakatan penuh bersama.
Sebenarnya tidak ada kontra-indikasi mutlak untuk bronkoskopi. Menurut
Robert E Wood satu-satunya kontra-indikasi mutlak adalah tidak adanya
indikasi rasional.4,11 Sedangkan menurut American Thoracic Society (ATS)
kontra-indikasi mutlak adalah ketidak-sediaan orangtua menandatangani
informed consent.12
Artikel lain tentang bronkoskopi anak menyatakan, kontra-indikasi mutlak:9,11
yy Hipoksemia berat refrakter
yy Hemodinamik tidak stabil
yy Diatesis hemoragik
66
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
67
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
68
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
yy Foto toraks perlu dilakukan 1 jam setelah tindakan bila dilakukan biopsi
transbronkial
Bronkoskopi di PICU-NICU
yy Diameter internal ETT harus dipertimbangkan dengan diameter eksternal
bronkoskop
yy Pasien PICU-NICU dianggap sebagai pasien risiko tinggi untuk mengalami
komplikasi
yy Monitoring multi-modal dilakukan selama dan setelah tindakan
yy Perlu pemahaman tentang penggunaan obat sedasi dan anestesi
Prosedur
Shigeto Ikeda sebagai perancang dan pembuat bronkoskopi fleksibel merupakan
seorang kidal, sehingga bronkoskop dirancang untuk orang kidal. Namun
bronkoskop juga dapat dioperasikan dengan tangan kanan. Operator berada
di arah kepala pasien, dengan tempat tidur pasien pada posisi rendah agar
bronkosopi tidak tertekuk. Tekukan paksa pada skop akan merusak serat
fiberoptik dan akan menyulitkan dalam pengoperasiannya. Jika skop masuk
lewat oral, perlu dipasang bite block untuk melindungi skop dari gigitan pasien.
Ujung skop dilumasi dengan gel.9
Jika skop masuk lewat hidung, anatomi serta fungsi faring dan laring
(kelenjar sublingual, tonsil, aritenoid, epiglotis dan pita suara) dipelajari. Bila
laring tidak dapat terlihat (flasid, hipersekresi), sambungkan aliran udara atau
oksigen 1-2L/menit yang menghasilkan tekanan positif untuk membersihkan
dan membuka area.9
Melewati celah translaringeal dilakukan dengan ujung skop menyusur
sudut depan pita suara memasukinya saat pasien inspirasi lalu menekuk sedikit
ujung skop ke posterior. Untuk mempermudah proses ini dan mencegah spasme
laring dapat disemprotkan lidokain 1% melalui saluran kerja. Setelah mencapai
area subglotik, lidokain dapat disemprotkan lagi. Setiap kali memasukkan
cairan melalui saluran kerja, susulkan dengan sejumlah kecil udara untuk
mendorong cairan yang masih ada di saluran kerja.9
Selama tindakan perlu mengamati aksis trakea dan gerakannya saat pasien
bernapas, adanya kartilago, pars membranasea, karina, kemungkinan adanya
tekanan dari luar lumen atau dislokasi, daerah yang berpulsasi dan sebagainya.
Eksplorasi percabangan bronkus harus sistematik, lengkap dan berurutan.
Pada neonatus dengan BB >2,5kg, praktis semua segmen dapat diperiksa,
kecuali lobus atas. Perlu diperiksa adanya anomali anatomis, sambil mengamati
penampakan mukosa (pucat, eritematous, tipis atau tebal, karakteristik sekresi
69
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
Komplikasi
Kita harus selalu mempertimbangkan manfaat dan mudarat dari semua
tindakan medis termasuk bronkoskopi yang merupakan tindakan inavasif
dan tidak bebas dari kemungkinan komplikasi. Potensi komplikasi yang dapat
terjadi: 4,9,11
yy Trauma nasal, epistaksis
yy Desaturasi, hipoksemia
yy Hiperkarbia
yy Batuk
yy Laringospasme, bronkospasme
yy Bradikardi
yy Perdarahan
yy Trauma dan obstruksi jalan napas
yy Atelektasis
yy Demam, infeksi
yy Pneumotoraks
yy Pneumomediastinum
yy Emfisema
70
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
71
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?
atau Neonatal ICU. Hipoksemia ringan cukup sering terjadi, namun segera
membaik dengan menghentikan sementara tindakan bronkoskopi. Sejauh ini
belum pernah terjadi komplikasi yang serius.
Simpulan
Bronkoskopi merupakan modalitas pemeriksaan penunjang diagnosis maupun
terapetik yang sangat penting pada kasus respiratori anak. Indikasi bronkoskopi
sangat luas dan beragam, sehingga untuk saat ini dan seterusnya, bronkoskopi
merupakan modalitas diagnostik maupun terapetik yang sangat diperlukan di
bidang pediatri. Mengingat potensi komplikasi tindakan yang invasif, maka
perlu analisis cermat atas indikasi dan keadaan klinis pasien, pemantaun ketat
selama tindakan dan pengamatan pasca-tindakan. Ketrampilan pelaksana akan
mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Dengan demikian pelatihan
sangat penting dilaksanakan untuk setiap operator bronkoskopi.
Daftar pustaka
1. American Association for Respiratory Care CPG Steering committee.
Bronchoscopy assisting. Respir Care. 2007;52:74-80.
2. Terkawi RS, Altirkawi KA, Terkawi AS, Mukhtar G, Al-Shamrani A. Flexible
bronchoscopy in children: utility & complications. Intern J Pediatr Adolesc Med
2016; 3:18-27.
3. The Thoracic Society of Australia and New Zealand. A position paper. Paediatric
flexible bronchoscopy. J Paed Child Health 2003. 38; 555-9.
4. Sias SMA, Domingues ACB, Mannarino RV. Pediatric bronchoscopy. Dalam:
Haranath SP, Razvi S, penyunting. Global perspectives on bronchoscopy. InTech,
2012. h.177-200.
5. Panchabai TS, Mehta AC. Historical perspective of bronchoscopy. Ann Am
Thorac Soc. 2015; 12:631-41.
6. Wood RE, Fink RJ. Applications of flexible fiberoptic bronchoscopes in infants
and children. Chest. 1978; 73:737–740.
7. Soong WJ, Tsao PC, Lee YS, Yang CF. Therapeutic flexible airway endoscopy of
small children in a tertiary referral center – 11 year’s experience. PLoS ONE.
2017;12: e0183078.
8. Nicolai T. Pediatric bronchoscopy. Pediatr Pulmonol. 2001; 31:150-64.
9. Perez-Frias J, Galdo AM, Ruiz EP, De Aguero MIBG, Montaner AE, Aguilera
PC. Pediatric bronchoscopy guidelines. Arch Bronconeumol. 2011;47:350–60.
10. Midulla F, deBlic J, Barbato A, Bush A, Eber E, Kotecha, dkk. Flexible endoscopy
of paediatric airways. Eur Respir J. 2003: 22:698-708.
11. Sharma S. Bronchoscopy in children. Indian J Clin Pract. 2014: 24:1081-3.
12. Faro A, Wood RE, Schecter MS, Leong AB, Wittkugel E, Abode K, dkk. Official
American Thoracic Society Technical Standards: Flexible airway endoscopy in
children. Am J Respir Crit Care Med. 2015; 191:1066-80.
72
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
13. Peng YY, Soong WJ, Lee YS, Tsao PC, Yang CF, Jeng MY. Flexible bronchoscopy
as a valuable diagnostic and therapeutic tool in pediatric ICU. Pediatr Pulmonol.
2011; 46:1031-7.
14. Woodhull S, Neo AGE, Lin JTP, Chang OM. Pediatric flexible bronchoscopy
in Singapore. A 10-year experience. J Bronchol Intervent Pulmonol. 2010;
17:136-41.
15. de Blic J, Marchac V, Scheinmann P. Complications of flexible bronchoscopy in
children: prospective study of 1,328 procedures. Eur Respir J. 2002; 20:1271-6.
16. Honeybourne D, Babb J, Bowie P, Brewin A, Fraise A, Garrard C, dkk. British
Thoracic Society guidelines on diagnostic flexible bronchoscopy. Thorax.
2001;56:i1–21.
73
Kiat menegakkan diagnosis penyakit
jantung bawaan
Najib Advani
Objektif
1. Memahami pentingnya diagnosis dini pada penyakit jantung
bawaan
2. Memahami alur pendekatan diagnostik pada penyakit jantung
bawaan
3. Memahami aspek rujukan pasien dengan penyakit jantung
bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan atau cacat bawaan yang
paling sering ditemukan. Angka kejadian PJB berkisar 1% dari kelahiran
hidup. Keterlambatan diagnosis PJB, terutama jenis PJB kritis pada neonatus
dapat berakibat fatal. Sedangkan pada anak dengan PJB yang non kritis, pada
sebagian kasus keterlambatan juga dapat mengakibatkan berbagai dampak
negatif misalnya gangguan tumbuh kembang, abses otak (PJB sianotik), gagal
jantung dan hipertensi pulmonal (pirau kiri ke kanan yang besar). Mengenali
PJB secara dini merupakan suatu keharusan bagi dokter anak baik saat rawat
jalan maupun rawat inap. Pada makalah ini akan dibicarakan garis besar
pendekatan ke arah diagnostik PJB secara umum.
Klasifikasi PJB
Klasifikasi PJB dapat digolongkan atas beberapa cara. Untuk keperluan klinis
dan alur diagnostik, terbagi menjadi PJB sianotik dan non sianotik. Untuk
golongan non sianotik, dibedakan pirau kiri ke kanan dan obstrukstif sehingga
PJB dibagi atas 3 kelompok besar yaitu PJB dengan pirau kiri ke kanan, PJB
obstruktif dan PJB sianotik. 1PJB dengan pirau kiri ke kanan
Pirau dapat terjadi pada tingkat atrium (defek septum atrium), ventrikel
(defek septum ventrikel) atau arteri pulmonalis (duktus arteriosus persisten).
Terjadi volume berlebih di jantung maupun paru. Peningkatan aliran
darah ke paru atau kongesti pasif di paru misalnya akibat gagal jantung
atau stenosis mitral mengakibatkan cairan interstitial di paru berlebihan
74
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
PJB obstruktif
Penyakit jantung obstruktif terjadi akibat obstruksi aliran darah di jalan
keluar ventrikel (ouflow tract) mengalami peningkatan tekanan di proksimal
obstruksi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hipertrofi tanpa pembesaran
ruang jantung misalnya hipertrofi ventrikel kanan pada stenosis pulmonal
yang signifikan.
Tanda dan gejala:
yy Tidak ada sianosis
yy Bising ejeksi yang dapat teraba sebagai thrill (getaran bising)
yy Pada foto toraks ukuran jantung dan corakan paru normal
yy Pada EKG dapat tampak hipertrofi
yy Tidak disertai gangguan pertumbuhan yang mencolok. PJB sianotik
Adanya sianosis berarti darah yang tidak teroksigenasi masuk ke sirkulasi
sistemik tanpa melewati paru. Tanda dan gejala:
yy Sianosis
yy Jari tabuh
yy Polisitemia
75
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
Anamnesis
Anamnesis merupakan hal yang penting atau pembuka jalan sebelum kita
sampai ke pemeriksaan fisis. Seperti telah disebutkan keluhan seperti mudah
lelah atau bertambah biru saat aktivitas , riwayat infeksi saluran napas berulang
dapat merupakan gejala dari PJB. Keluhan biru dapat merupakan ciri PJB
sianotik atau non sianotik yang sudah terjadi pirau kanan ke kiri (Eisenmenger).
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis merupakan hal penting, pada PJB sianotik, sianosis terutama
tampak di bibir dan kuku selain itu juga dapat ditemukan jari tabuh .
Perlu diperhatikan dan dicariapakah terdapat kelainan sistemik, misalnya
wajah dismorfik atau kelainan fisis lain seperti pada beberapa sindrom sering
disertai dengan PJB misalnya sindrom Down, sindrom Turner, sindrom Noonan,
sindrom Marfan dsb. Pemeriksaan ada tidaknya bising jantung sangat penting
untuk......?
76
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
sungkup. Bunyi ini terdengar bersamaan dengan perabaan denyut pada iktus
kordis dan arteri karotis.
77
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
Gambar 1. Kontur dan fase bising. (a) bising pansistolik; (b) bising sistolik dini; (c) bising ejeksi sistolik;
(d) bising sistolik akhir; (e) bising diastolik dini; (f) bising mid-diastolik; (g) bising diastolik akhir; (h) bising
kontinu; (i) bising to and fro.3
78
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
79
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
2. Bising inosen
Merupakan bising yang bukan disebabkan oleh kelainan anatomis jantung
dan disebut sebagai bising fisiologis atau bising non patologis. Umumnya
bising inosen berderajat rendah (<3), terjadi pada fase sistolik (kecuali
venous hum atau bising vena) dan penjalarannya tidak jelas (kecuali
bising dari cabang a. pulmonalis )(lihat tabel 2)
80
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
ke kanan baru dapat terjadi saat resistensi vaskular paru menurun sehingga
tekanan di ventrikel kanan juga turun. Bising regurgitan juga dapat timbul
pada saat ini jika terdapat dilatasi ventrikel.
2. EKG
Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan yang sederhana ,mudah
dikerjakan dan bermanfaat dalam diagnosis dan tata laksana penyakit
jantung pada anak. EKG dapat membantu diagnosis klinis dengan
menunjukkan adanya hipertrofi jantung. Pada defek septum ventrikel
misalnya akan tampak hipertrofi ventrikel kiri sedangkan pada defek
septum atrium tampak hipertrofi ventrikel kanan. Penentuan aksis
jantung pada EKG juga dapat membantu diagnosis misalnya aksis QRS
deviasi kekanan (RAD, right axis deviation) pada tetralogi Fallot atau
deviasi aksis ke kiri (LAD, left axis deviation) pada atresia trikuspid.
81
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
3. Puls oksimetri
Pulse oksimetri dapat mendeteksi hipoksemia sebelum terjadi sianosis..
Pada neonatus dengan PJB sianotik bahkan yang kritis gejala dan tanda
mungkin belum muncul pada hari pertama setelah lahir sehingga pasien
dipulangkan dengan diagnosis bayi sehat padahal ada kemungkinan bayi
menderita PJB sianotik yang kritis terutama PJB dengan duct dependent.
Setelah dipulangkan bayi dapat mengalami perburukan dan terlambat
ditangani. Untuk mencegah hal itu saat ini dianjurkan pemeriksaan
puls oksimetri sebagai alat skrining untuk mendeteksi secara dini bayi
dengan PJB sianotik 2,8. Puls oksimetri mudah dilakukan, murah serta
tidak memerlukan keterampilan khusus seperti halnya ekokardiografi.
Manfaat skrining puls oksimetri neonatus dapat mendeteksi
hipoksia misalnya pada kasus tetralogi Fallot, atresia pulmonal, atresia
trikuspid, transposisi arteri besar, koarktasio aorta danhipoplasia /atresia
aorta. Sebagian dari kelainan tersebut bergantung pada duktus arteriosus.
Jika duktus arteriosus menutup, maka akan terjadi gagal jantung yang
dapat berakibat fatal 2.
Pemeriksaan puls oksimetri dilakukan pada usia 24 - 48 jam. Caranya
diletakkan di tangan kanan (preductal, sebelum aliran ke duktus arteriosus)
dan kaki kanan atau kiri. (post ductal, setelah aliran ke duktus arteriosus).
Pemeriksaan dilakukan pada saat bayi terjaga, tenang dan hangat. Hindari
pemeriksaan saat bayi menangis, dingin atau tidur terlelap (deep sleep).
Hasil dinyatakan normal jika saturasi 95%-100% pada tangan kanan dan
kaki. Jika saturasi di bawah 90% harus segera dilakukan ekokardiografi.2,8
82
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
83
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
8. Kateterisasi jantung
Sejak tahun 1950 kateterisasi jantung sudah dilakukan untuk mengetahui
fisiologi penyakit jantung bawaan. Pada era tahun 80- an, ekokardiografi
mulai digunakan dan pada tahun 90- an ekokardiografi trans-esofageal,
MRI dan selanjutnya CT scan mulai banyak digunakan 9. Berbagai
pemeriksaan ini telah mengurangi peran kateterisasi sebagai modalitas
diagnostik. Hal ini karena kateterisasi jantung membutuhkan biaya
yang mahal, invasif, tidak portabel dan memiliki efek radiasi. Keunggulan
kateterisasi jantung adalah dapat memberikan data yang lengkap tentang
anatomi dan fisiologi jantung. Saat ini penggunaan kateterisasi jantung
mulai bergeser dari diagnostik ke arah terapeutik misalnya penutupan
defek dengan alat seperti pada duktus arteriosus persisten, defek septum
atrium, defek septum ventrikel serta septostomi dan valvuloplasti balon.
Simpulan
Kemampuan mendeteksi secara dini adanya PJB merupakan suatu keterampilan
yang harus dimiliki oleh dokter anak. . Semua tanda dan gejala yang menjurus
ke arah suatu kelainan jantung bawaan harus dicermati dengan teliti. Untuk
itu diperlukan anamnesis serta pemeriksaan fisis yang lengkap. Jika dicurigai
terdapat kelainan jantung maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
awal sebelum merujuk . Saat merujuk ke dokter spesialis jantung anak perlu
komunikasi yang baik dengan orangtua agar tidak menimbulkan dampak
psikologis yang berat karena belum terbukti pasien menderita kelainan jantung.
Daftar pustaka
1. Tandon P. Bedside approach in the diagnosis of congenital heart disease. Edisi ke-2
New Delhi:Sitaram Bhartia Institute of Science and Research. 2011. h.12-123.
84
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
85
Pencegahan malnutrisi pada awal
kehidupan: penekanan pada masalah
mikronutrien
Aryono Hendarto
Tujuan
1. Mengetahui pentingnya nutrisi adekuat pada awal kehidupan
2. Mengetahui dampak malnutrisi termasuk defisiensi mikronutrien
bagi tumbuh kembang
3. Mengetahui cara mencegah terjadinya malnutrisi terutama
mikronutrien pada praktik klinis
86
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
tersebut dapat dijadikan landasan utama dalam pemberian makan yang benar
untuk bayi dan anak.1
Indonesia sebagai negara berkembang tak lepas dari masalah gizi dan
nutrisi untuk bayi dan anak. Estimasi dari UNICEF menyebutkan bahwa
Indonesia masih miliki 30-40% bayi atau anak dengan masalah malnutrisi.
Di Indonesia sendiri, jenis malnutrisi terbanyak pada balita di Indonesia
adalah perawakan pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted).
Perlu diketahui bahwa berbagai penelitian telah menghubungkan retardasi
pertumbuhan linear dengan defisiensi energi, protein dan mikronutrien antara
lain seng, kalium, natrium, dan tiamin. Ini secara tidak langsung menunjukan
bahwa masih adanya kekurangan perhatian terhadap kecukupan gizi dan nutrisi
bagi bayi atau anak di Indonesia.2
Masalah ini penting adanya dan dapat mengganggu masa depan individu
dan negara ini secara keseluruhan, oleh sebab itu perlu ditingkatkan kesadaran
pada tenaga kesehatan, terutama dokter untuk lebih memperhatikan nutrisi
dan asupan gizi yang baik dan benar bagi bayi dan anak. Penekanan-penenakan
perlu dilakukan untuk terus mengingatkan masyarakat akan pentingnya ASI
eksklusif, pentingnya pemberian MPASI yang tepat waktu, aman, adekuat dan
benar metode pemberiannya.
ASI adalah makanan ideal untuk bayi, beberapa langkah untuk
meningkatkan produksi ASI agar memenuhi kebutuhan ASI eksklusif meliputi:
yy Inisiasi menyusui dini
yy Posisi dan perlekatan yang benar, serta bayi mengisap secara efektif
(mengisap kuat, perlahan, dalam, disertai jeda di antara beberapa isapan).
yy Menilai kecukupan ASI melalui frekuensi buang air kecil 6-8 kali sehari,
durasi menyusu 10-30 menit untuk satu payudara, dan kenaikan berat
badan yang adekuat.
87
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
saat ASI eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi;
adekuat, yaitu MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien
memenuhi kebutuhan bayi sesuai usianya; aman, yaitu MPASI disiapkan dan
disimpan dengan cara cara yang higienis, diberikan menggunakan tangan dan
peralatan makan yang bersih, dan MPASI diberikan dengan cara yang benar
(properly fed), memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bayi dengan ASI eksklusif yang
memiliki tanda risk of failure to thrive (namun belun memiliki kesiapan
motorik untuk menerima MPASI dan tidak memiliki donor ASI) dapat
diberikan susu formula. WHO pada tahun 2009 menyebutkan bahwa indikasi
penggunaan susu formula meliputi susu formula bayi diberikan atas indikasi
medis berdasarkan Rekomendasi WHO tahun 2009: bayi menderita penyakit
metabolik, bayi dengan keadaan khusus (berat rendah, prematur, dll), ibu
dengan HIV, ibu dengan penyakit berat (sepsis), dan ibu yang mengkonsumsi
obat-obatan tertentu.
Malnutrisi
Satu dari empat anak di dunia menderita kekurangan gizi kronis, juga
diketahui sebagai stunting. Anak-anak ini belum mendapatkan nutrisi penting
yang mereka butuhkan untuk memastikan tubuh dan otak mereka dapat
berkembang dengan baik.
Kerusakan seringnya terjadi sebelum seorang anak lahir, ketika ibu
yang kurang gizi tidak dapat memberikan nutrisi yang cukup kepada bayi di
rahimnya. Ibu itu kemudian melahirkan bayi dengan berat badan kurang. Jika
dia miskin, terlalu banyak bekerja, kurang berpendidikan atau kesehatannya
buruk, dia mungkin berisiko lebih besar untuk tidak dapat memberi makan
bayinya secukupnya. Anak dapat mengalami infeksi yang lebih sering, yang
juga akan menjadikan deplesi dari beberapa nutrisi penting. Anak-anak di
bawah usia 2 tahun sangat rentan, dan efek negatif dari malnutrisi pada usia
ini sebagian besar bersifat permanen.
Masalah kekurangan gizi kronis, yang tentunya berbeda dengan malnutrisi
akut (seperti yang terjadi di Horn of Africa beberapa tahun lalu) jarang menjadi
berita utama, namun secara perlahan menghancurkan potensi dari jutaan
anak-anak. Secara global, 171 juta anak-anak mengalami kekurangan gizi
kronis, yang menyebabkan sebagian besar anak-anak di dunia tidak hanya
lebih pendek dari pada yang seharusnya, tetapi juga menghadapi gangguan
kognitif yang berlangsung seumur hidup.3
Lebih dari 80 negara berkembang memiliki tingkat stunting anak sebesar
20% atau lebih. Tiga puluh dari negara-negara ini memiliki tingkat stunting
“sangat tinggi” sebesar 40% atau lebih.4 Empat negara (Afghanistan, Burundi,
88
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Setiap tahun 7,6 juta anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun,
kebanyakan dari penyakit yang dapat dicegah atau diobati dan hampir
semuanya terjadi di negara-negara berkembang. Malnutrisi adalah penyebab
yang mendasari lebih dari sepertiga kematian ini. Anak yang mengalami gizi
buruk 10 kali lebih tinggi risiko meninggal karena penyakit yang mudah dicegah
atau dapat diobati dibandingkan gizi baik. Anak dengan gizi buruk kronis juga
ditemukan lebih rentan terhadap kekurangan gizi akut selama kekurangan
pangan, krisis ekonomi dan keadaan darurat lainnya.
Sayangnya, banyak negara belum meletakan kekurangan gizi dan
mortalitas anak sebagai prioritas utama. Sebagai contoh, sebuah analisis
oleh Organisasi Kesehatan Dunia menemukan bahwa hanya 67% dari 121
89
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
90
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
91
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
92
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
93
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
94
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Ringkasan
Untuk menghasilkan anak yang berkualitas prima maka dukungan nutrisi
yang adekuat harus sudah dimulai sejak periode awal kehidupan yaitu sejak
masa intra uterin. Penelitian menunjukkan defisiensi makronutrien dan
95
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
Daftar pustaka
1. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva: World Health
Organization; 2003.
2. Branca M, Ferrari M. Impact of micronutrient deficiencies on growth: The
Stunting Syndrome. Ann Nutr Metab. 2002;46(suppl 1):8–17.
3. De Onis M, Blössner M, Borghi E. Prevalence and trends of stunting among pre-
school children, 1990–2020. Public Health Nutr. 2012;15(1):142-8.
4. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva: World Health
Organization; 2003.
5. Provo A, Atwood S, Sullivan EB, Mbuya NV. Malnutrition in Timor-Leste: a
review of the burden, drivers, and potential response. Washington DC: World
Bank Group; 2017.
6. Eckhardt CL. Micronutrient malnutrition, obesity, and chronic disease in
countries undergoing the nutrition transition: potential links and program/policy
implications. International food policy research institute (IFPRI). Washington
DC: Food consumption and nutrition division (FCND) International Food Policy
Research Institute; 2006.
7. Nordin SM, Boyle M, Kemmer TM. Position of the Academy of Nutrition and
Dietetics: Nutrition security in developing nations: sustainable food, water, and
health. J Acad Nutr Dietet. 2013;113:581-95.
8. Darnton-Hill I, Webb P, Harvey PW, Hunt JM, Dalmiya N, Chopra M, dkk.
Micronutrient deficiencies and gender: social and economic costs. Am J Clin
Nutr. 2005;81(5):1198S-205S.
9. Gibson RS, Thompson B, Amoroso L. Strategies for preventing multi-micro
nutrient deficiencies: a review of experiences with food-based approaches
in developing countries. Combating micronutrient deficiencies: Food-based
approaches. 2011:7-27.
10. Jáuregui-Lobera I. Iron deficiency and cognitive functions. Neuropsychiatr Dis
Treat. 2014;10:2087.
11. Imdad A, Bhutta ZA. Routine iron/folate supplementation during pregnancy:
effect on maternal anaemia and birth outcomes. Paediatr Perinat Epidemiol.
2012;26(S1):168-77.
12. Vucic V, Berti C, Vollhardt C, Fekete K, Cetin I, Koletzko B, Gurinovic M,
van’t Veer P. Effect of iron intervention on growth during gestation, infancy,
childhood, and adolescence: a systematic review with meta-analysis. Nutr Rev.
2013;71(6):386-401.
96
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
13. Fonseca-Nunes A, Jakszyn P, Agudo A. Iron and cancer risk—a systematic review
and meta-analysis of the epidemiological evidence. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2014;23(1):12-31.
14. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Murray CJ. Comparative quantification of health
risks: global and regional burden of disease attributable to selected major risk
factors. OMS; 2004; 1:39-257.
15. Ramakrishnan U, Aburto N, McCabe G, Martorell R. Multimicronutrient
interventions but not vitamin A or iron interventions alone improve child growth:
results of 3 meta-analyses. J Nutr. 2004;134(10):2592-602.
16. Hetzel B. Iodine deficiency disorders (IDD) and their eradication. The Lancet.
1983;322:1126-9.
17. Alleyne G, Claeson M, Evans DB, Jha P, Mills A, Musgrove P. Disease control
priorities in developing countries. 2006; 1-1401.
18. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and immune function: the biological basis of altered
resistance to infection. Am J Clin Nutr. 1998;68(2):447S-63S.
19. Bhutta ZA, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Gore S, Hidayat A, Khatun
F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME, Rosado JL. Prevention of diarrhea and
pneumonia by zinc supplementation in children in developing countries: pooled
analysis of randomized controlled trials. J Pediatr. 1999;135(6):689-97.
20. Caulfield LE, Richard SA, Black RE. Undernutrition as an underlying cause of
malaria morbidity and mortality in children less than five years old. Am J Trop
Med Hyg. 2004;71:55-63.
21. Brown KH, Peerson JM, Rivera J, Allen LH. Effect of supplemental zinc on the
growth and serum zinc concentrations of prepubertal children: a meta-analysis
of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. 2002;75(6):1062-71.
22. Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA, Musgrove P, Black RE. Stunting, wasting,
and micronutrient deficiency disorders. Dalam: Jamison DT, Breman JG,
Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, dkk (penyunting). Diseases
control priorities in developing countries. Edisi ke-2. Washington DC: World
Bank; 2006; 28: 551-68.
23. Chotai J, Serretti A, Lattuada E, Lorenzi C, Lilli R. Gene–environment interaction
in psychiatric disorders as indicated by season of birth variations in tryptophan
hydroxylase (TPH), serotonin transporter (5-HTTLPR) and dopamine receptor
(DRD4) gene polymorphisms. Psychiatry Res. 2003;119(1):99-111.
24. Zhang X, Beaulieu JM, Sotnikova TD, Gainetdinov RR, Caron MG. Tryptophan
hydroxylase-2 controls brain serotonin synthesis. Science. 2004;305(5681):217.
25. McGurn B, Deary IJ, Starr JM. Childhood cognitive ability and risk of late-onset
Alzheimer and vascular dementia. Neurology. 2008;71(14):1051-6.
26. Anstey KJ, Cherbuin N, Budge M, Young J. Body mass index in midlife and late-
life as a risk factor for dementia: a meta-analysis of prospective studies. Obes
Rev. 2011;12(5):426-37
27. Stewart R, Masaki K, Xue QL, Peila R, Petrovitch H, White LR, Launer LJ. A
32-year prospective study of change in body weight and incident dementia: the
Honolulu-Asia Aging Study. Arch Neurol. 2005;62(1):55-60.
97
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien
28. Loef M, Walach H. Midlife obesity and dementia: Meta-analysis and adjusted
forecast of dementia prevalence in the united states and china. Obesity.
2013;21(1):E51-5.
29. Walker SP, Wachs TD, Grantham-McGregor S, Black MM, Nelson CA, Huffman
SL, Baker-Henningham H, Chang SM, Hamadani JD, Lozoff B, Gardner
JM. Inequality in early childhood: risk and protective factors for early child
development. Lancet. 2011;378(9799):1325-38.
30. Fall CH, Fisher DJ, Osmond C, Margetts BM. Multiple micronutrient
supplementation during pregnancy in low-income countries: a meta-analysis of
effects on birth size and length of gestation. Food Nutr Bull. 2009;30(4):S533-46.
31. Kotecha PV, Lahariya C. Micronutrient supplementation and child survival in
India. Indian J Pediatr. 2010;77(4):419-24.
32. Zerfu TA, Ayele HT. Micronutrients and pregnancy; effect of supplementation on
pregnancy and pregnancy outcomes: a systematic review. Nutr J. 2013;12(1):20.
33. Combet E, Buckton C. Micronutrient deficiencies, vitamin pills and nutritional
supplements. Medicine. 2015;43(2):66-72.
34. Kramer MS, Aboud F, Mironova E, Vanilovich I, Platt RW, Matush L, Igumnov
S, Fombonne E, Bogdanovich N, Ducruet T, Collet JP. Breastfeeding and child
cognitive development: new evidence from a large randomized trial. Arch Gen
Psychiatry. 2008;65(5):578-84.
35. Mullany LC, Katz J, Li YM, Khatry SK, LeClerq SC, Darmstadt GL, Tielsch JM.
Breast-feeding patterns, time to initiation, and mortality risk among newborns
in southern Nepal. J Nutr. 2008;138(3):599-603.
36. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, De Onis M, Ezzati M, Mathers C,
Rivera J, Maternal and Child Undernutrition Study Group. Maternal and child
undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet.
2008;371(9608):243-60.
37. Dewey KG, Adu-Afarwuah S. Systematic review of the efficacy and effectiveness
of complementary feeding interventions in developing countries. Matern Child
Nutr. 2008;4(s1):24-85.
98
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi
suplementasi besi untuk bayi dan anak
Murti Andriastuti
Tujuan:
1. Mengetahui permasalahan dan dampak jangka panjang anemia
defisiensi besi
2. Mengetahui pentingnya rekomendasi suplementasi besi untuk
anak dan remaja di Indonesia
3. Memahami kendala pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi
suplementasi besi untuk bayi dan anak Satgas ADB-PP IDAI
tahun 2011
99
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak
100
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
panjang oleh Andraca, dkk16 mendapatkan anak usia 6 tahun yang di masa
bayi mengalami ADB ternyata memiliki kadar IQ yang lebih rendah serta
kemampuan psiko-edukasi, integrasi motor, visual dan kemampuan bahasa
yang lebih rendah. Terjadinya gangguan perkembangan dan penurunan
fungsi kognitif berkaitan dengan fungsi besi dalam metabolisme dopamin dan
norepinefrin yang merupakan neurotransmiter yang berperan penting dalam
kontrol motorik, proses belajar dan memori.9,17
Pada anak usia sekolah dasar dan remaja dampak terjadinya defisiensi
besi dapat memengaruhi kemampuan belajar dan prestasi di sekolah. Khusus
pada remaja, kelompok ini rentan terhadap terjadinya defisiensi besi karena
mengalami proses percepatan pertumbuhan yang harus diimbangi kebutuhan
nutrisi cukup termasuk besi. Pada remaja puteri lebih rentan karena mulai
terjadinya menstruasi.18
Tabel 1. Rekomendasi IDAI untuk suplementasi besi pada bayi dan anak20
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi BBLR (<2.500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan-2 tahun
Cukup bulan* 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan-2 tahun
2-5 1 mg/kgBB/hari 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
>5-12 1 mg/kgBB/hari 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12-18 60 mg/hari** 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
* Dosis maksimal untuk bayi 15mg/hari dosis tunggal
**Khusus remaja perempuan ditambah 400ug asam folat
101
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak
102
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tabel 2. Rekomendasi WHO mengenai suplementasi besi pada anak usia 6-23 bulan yang tinggal di daerah
dengan prevalens anemia tinggi
Daftar pustaka
1. WHO. Micronutrient deficiencies Diunduh dari: http://www.who.int/nutrition/
topics/ida/en/ [Diakses pada tanggal 20 September 2017]
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar. Jakarta : 2013
3. Sandjaja S, Budiman B, Harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Widodo Y. Food
consumption and nutritional and biochemical status of 0.5-12 year old Indonesian
children : the SEANUTS study. BJN. 2013;110:11-20.
4. Nawangwulan SA, Andriastuti M, Devaera Y, Dewi R. Status besi siswa sekolah
dasar negeri di Jakarta : hubungan dengan status gizi dan asupan diet, studi kasus
di SD Negeri Pegangsaan 01 Jakarta Pusat [tesis]. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016.
5. Andriastuti M, Medyatama MF, Triasmoro T, Palupi SR. Prevalence anemia and
iron deficiency among scavengers in slum area. unpublished
6. Lozoff B, Beard J, Connor J, Felt B, Georgieff M, Schallert T. Long-lasting neural
and behavioural effects of iron deficiency in infancy. Nutr Rev. 2006;64:34-43.
7. Abbaspour N, Hurrell R, Kelishadi R. Review on iron and its importance for
human health. J Res Med Sci. 2014;19:164-74.
8. McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between
iron deficieny during development and deficits in cognitive or behavioral function.
Am J Clin Nutr. 2007;85:931-45.
103
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak
104
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
25. Oregon Evidence-Based Practice Center. Screening for iron deficiency anemia
in childhood and pregnancy: update of the 1996 U.S. Preventive Services Task
Force Review. AHRQ Publication No. 06-0590-EF-1. Evidence Synthesis No.
40. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2006.
26. Baker RD, Greer FR. Diagnosis and prevention of iron deficiency and
iron deficiency anemia in infant and young children (0-3 years of age).
Pediatrics.2010;126:1040-50.
27. Wu AC, Chen A, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency.
Pediatr Rev.2002;23:171-7.
28. Bakr AF, Sarette G. Measurement of reticulocyte hemoglobin content to diagnose
iron deficiency in Saudi children. Eur J Pediatr.2006;165:442-5.
105
Peran pencitraan pada deteksi dini
cedera otak neonatus
Evita Karianni Bermanshah Ifran
TUJUAN
1. Mengetahui berbagai macam alat pencitraan untuk mendeteksi
cedera otak pada neonatus
2. Mengetahu keuntungan dan kerugian masing-masing alat
pencitraan
3. Mengetahui cedera otak yang dapat dideteksi dengan alat
pencitraan
4. Mengetahui peran pencitraan dalam deteksi dini cedera otak
akibat ensefalopati pada neonatus dan menentukan prognosis
jangka panjang
106
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Epidemiologi
Ensefalopati neonatal (EN) terjadi pada 2,3 - 26,5 per seribu kelahiran hidup
di negara berkembang.4,5 Bukti menunjukkan ensefalopati neonatal pada 30%
negara maju dan 60% negara berkembang didapatkan riwayat hipocix ischemic
intrapartum.6 Prognosis pada bayi prematur lebih buruk daripada bayi cukup
bulan. Mendeteksi bayi yang memiliki risiko megalami HIE sangat penting
agar dapat diberikan terapi suportif yang adekuat. Cooling therapy saat ini
merupakan pilihan untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan
dikemudian hari pada bayi dengan cedera otak. Terapi ini dapat menurunkan
kelainan neurologis sebesar 15% dan menurunkan kejadian palsi serebral
pada 12%.7 Terapi ini harus segera dilakukan pada keadaan HIE. Penelitian
menunjukkan bila terapi ini dilakukan setelah 6 jam tidak akan memberikan
perlindungan terhadap persyarafan.8
Cedera otak
Sarnat dan Sarnat (1976) membagi Hipoxia Ischemic Encephalopathy (HIE) atas
derajat 1 (ringan) , 2 (sedang) dan 3 (berat) (Tabel 1).914 Mereka menyatakan
bila HIE derajat 2 berlangsung lebih dari 7 hari atau EEG tidak berubah menjadi
normal, akan berdampak kelainan neurologis dikemudian hari atau kematian.
Genedi, dkk (2016) pada penelitiannya mendapatkan sensitifitas dan
spesifisitas USG kepala dibandingkan MRI dalam mendeteksi cedera otak
pada NE atau HIE adalah 81,8% dan 60%, dengan akurasi diagnostik 78,9%.
Mereka menyimpulkan USG kepala masih merupakan modalitras pencitraan
yang bernilai dalam mengevaluasi cedera kepala, namun MRI dini memberikan
informasi yang penting adanya serta luasnya cedera otak.
107
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus
USG kepala memiliki sensitivitas yang lebih baik dalam mendeteksi lesi di
talamus, basal ganglia, dan periventricular whiter matter, masing-masing 88.2%,
81.2% dan 80% daripada lesi di korpus kalosum, batang otak, cerebellar white
matter, korteks serebri, dan subcortical white matter, yaitu masing-masing 37,5%,
33,3%, 33,3%, 28,6%, dan 50%. Namun USG mempunyai spesifisitas yang
tinggi pada sebagian besar lesi (100%), lebih rendah pada lesi di perventrikel
dan subcortical white matter dan lesi kortikal, masing-masing 94%, 94,4%, dan
96,8% (Table 2).10
Tabel 2. Perbandingan gambaran pencitraan yang ditemukan dengan menggunakan MRI dan USG10
108
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Patofisiologi11
Hipoksia adalah kekurang okigen pada jaringan. Iskemia adalah berkurangnya
aliran darah. Dari kedua keadaan ini Iskemia lebih penting. Iskemia dapat
menyebabkan kekurangan oksigen, sebaliknya kekurangan oksigen dapat
menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia luas menyeluruh lebih berbahaya
daripada hipoksia karena dapat menyebabkan kegagalan energi seluler dan
terbentuk asam laktat dan toksin-toksin lain yang akan menyebabkan cedera
otak melalui berbagai mekanisme yang akan lebih mempersulit uptake oksigen
oleh sel.
Pada otak terdapat bagian tertentu yang lebih rentan terhadap hipoksia
dan iskemia dibandingkan bagian lainnya. Bagian otak yang memiliki
metabolisme yang tingggi, seperti talamus dan basal ganglia paling rentan
terhadap perubahan yang tiba-tiba, berat dan berlangsung selama 30 menit
atau kurang. Korteks serebri rentan terhadap hipoksia yang berlangsung lama
dan tidak terlalu berat. Daerah yang tidak mendapat suplai darah arteri secara
langsung seperti watershed region juga rentan karena aliran darah di daerah ini
lemah. Lama dan beratnya keadaan ini serta kondisi bayi sendiri menentukan
lokasi dan luasnya cedera otak. Informasi diproses dan ditransmisi oleh sel
neurons melalui sinyal kimia dan listrik, yang berhubugan satu sama lain
membentuk inti sistem saraf. Keadaan hipoksia iskemia dapat mempengaruhi
sel-sel otak dan sel neuron yang paling dipengaruhi.
Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan memiliki peranan penting dalam mendeteksi cedera
otak pada bayi dengan HIE. Pemeriksaan ini membantu dalam menentukan
waktu yang tepat untuk melakukan intervensi sehingga dapat dicegah
terjadinya kerusakan otak lebih lanjut, dapat ditentukan beratnya kerusakan
yang diakibatkannya, memantau perubahan kerusakan pada otak, serta dapat
memperkirakan prognosis dikemudian hari.
Ultrasongrafi
Pemeriksaan USG memiliki kelebihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
di sisi tempat tidur bayi, sehingga dapat dilakukan pada masa akut atau pada
bayi prematur yang belum stabil atau masih memerlukan alat bantu pernapasan.
Pemeriksaan USG mudah, cepat, dapat diulang serta tidak memberikan radiasi
disamping lebih murah dibandingkan MRI. Pemeriksaan ini baik untuk skrining
dan untuk pemantauan selanjutnya.
USG mempunyai sensivitas tinggi untuk melihat perdarahan, ukuran
ventrikel, kerusakan white matter yang berat, dan lesi kistik yang menonjol.
109
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus
110
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
111
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus
Gangguan neurosensori sedang dan berat pada bayi yang sangat prematur
secara bermakna lebih tinggi pada bayi dengan IVH grade 1-2 daripada tanpa
IVH (masing-masing 22 dan 12 %). Temuan ini sesuai dengan penelitian
lainnya.16 Bolisetti, dkk.(2014) pada penelitiannya mendapatkan IVH grade
1-2 pada bayi sangat prematur walaupun tidak ditemukan cedera white matter
atau kelainan pada pemeriksaan USG selanjutnya, berhubungan dengan
gangguan perkembangan neurologis di masa yang akan datang.17
Walaupun dampak jangkan panjang IVH grade 1-2 kecil, penting untuk
menjelaskan dan mengingatkan keluarga untuk melakukan pemantauan jangka
panjang dan melakukan skrining berkala terhadap gangguan neurodevelopmen
di masa yang akan datang.
112
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
dianjurakan pada bayi dengan HIE. Kista dapat baru terbentuk beberapa
minggu kemudian. Pemeriksaan USG saat usia koreksi 40 minggu atau sebelum
pulang harus dilakukan. Bila pada USG telah terlihat PVL kistik, gambaran
yang terlihat pada MRI tidak berbeda (gambar 2). Sering kelainan pada white
113
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus
matter sulit dilihat dengan USG. Pada riwayat HIE dengan kecurigaan cedera
otak, harus dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI.
3. Ventriculomegali
Terdapat berbagai cara pengukuran ventrikel lateralis. Lavene Index digunakan
untuk pengukuran ventrikel lateralis pada bayi dengan usia gestasi < 40
minggu (Gambar 3).18 Pada usia gestasi > 40 minggu digunakan pengukuran
dengan Ventricle Index (Gambar 4). Kelemahan pengukuran ventricle Index
kurang menggambarkan pelebaran ventrikel lateralis secara menyeluruh.
Biasanya pelebaran ventrikel lateralis dimulai dengan membulatnya kornu
anterior (balloning). Lakukan juga pengukuran diagonal ventrikel lateralis
yang melebar (Gambar 5).
4. Edema serebri
Gambar 6. Edema cerebri. Ventrikel tidak terlihat atau terlihat berupa garis
tipis. Gambaran sulkus dan girus menghilang, fisura interhemisfer terlihat
rapat, parenkim terlihat ekogenik.
Gambar 3. Lavene Index. Pengukuran ventrikel lateralis pada baru usia gestasi < 40 minggu.18
Gambar 4. Ventrikel Index. pengukuran ventrikel lateralis pada bayi usia gestasi > 40 minggu.
114
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Kesimpulan
yy Diagnosis HIE dan deteksi dini cedera pada otak pada bayi sangat penting
sehingga dapat dilakukan intervensi dini yang dapat meminimalkan
kelainan neurologis akibat HIE dikemudian hari.
yy Walaupun USG tidak dapat mendeteksi kelainan pada otak sebaik MRI,
USG merupakan alat pencitraan yang sangat bermanfaat untuk skrining
neonatus dengan ensefalopati, khususnya pada keadaan akut dan kritis,
dimana mobilisasi tidak dimungkinkan, serta dapat dipergunakan untuk
pemantauan lebih lanjut.
yy MRI merupakan modalitas pencitraan yang terbukti dapat mendeteksi
dengan baik saat terjadinya, beratnya, dan luasnya cedera otak pada
neonatus dan berperan dalam memprediksi kelainan neurologis di masa
yang akan datang.
yy MRI dini memberikan informasi yang penting ada dan luasnya cedera
otak, serta menentukan waktu yang tepat untuk melakukan intervensi.
yy Pada neonatus dengan ensefalopati, kedua modalitas pencitraan baik USG
maupun MRI harus dilakukan bersama-sama pada masa akut maupun
pemantaun jangka panjang
yy Pemeriksaan USG kepala dan MRI harus dimasukkasn ke dalam protokol
neonatus dengan ensefalopati.
115
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus
Daftar pustaka
1. Badawi N, Kurinczuk JJ, et al. Antepartum risk factors for newborn encephalopathy:
the Western Australian case-control study. BMJ 1998;317(7172):1549–53.
2. Badawi N, Kurinczuk JJ, et al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy:
the Western Australian case-control study. BMJ 1998;317(7172):1554–8.
3. Ferriero DM. Neonatal brain injury. N Engl J Med 2004;351:1985–95.
4. Horn AR, Swingler GH, Myer L, et al. Defining hypoxic ischemic encephalopathy
in newborn infants: benchmarking in a South African population. J Perinat Med
2013;41(2):211–7.
5. Tagin MA, Woolcott CG, Vincer MJ, et al. Hypothermia for neonatal hypoxic
ischemic encephalopathy: an updated system- atic review and meta-analysis.
Arch Pediatr Adolesc Med 2012;166(6):558–66.
6. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal
encephalopathy and hypoxic–ischaemic encephalopathy. Early Hum Dev 2010
Jun;86(6):329–38.
7. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, et al. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic
encephalopathy. Cochrane Database Syst Rev 2013;1:CD003311. 8
8. Thoresen M, Whitelaw A. Therapeutic hypothermia for hypoxic- ischaemic
encephalopathy in the newborn infant. Curr Opin Neurol 2005;18:111–6.
9. Sarnat HB, Sarnat MS. Arch Neurol 1976;33(10):696–705
10. Genedi EASh, Osman NM, El-deep MT. Magnetic resonance imaging versus
trascranial ultrasound in early identification of cerebral injuries in neonatal
encephalopathy. The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine
2016; 47: 297-304
11. https://www.abclawcenters.com/practice-areas/diagnostic-tests/hypoxic-
ischemic-encephalopathy-and-brain-imaging/
12. Kudreviciene A, Algidas Basevicius A, Lukosevicius S, Laurynaitiene J, Marmiene
V, Nedzelskiene I, Buinauskiene J, Stoniene D, Tameliene R. The value of
ultrasonography and Doppler sonography in prognosticating long-term outcomes
among full-term newborns with perinatal asphyxia. Medicina 2014; 50: 100-110
13. Ment LR, Bada HS, Barnes P, Grant PE, Hirtz D, Papile LA, et al. Practice
parameter: Neuroimaging of the neonate: Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice
Committee of the Child Neurology Society. Neurology 2002;58(12):1726-1738.
14. Cheong J, Coleman L, Hunt RW, et al. Prognostic utility of magnetic resonance
imaging in neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy: substudy of a randomized
trial. Arch Pediatr Adolesc Med. 2012;166(7):634-40.
15. Rutherford M, Ramenghi LA, Edwards AD, et al. Assessment of brain tissue injury
after moderate hypothermia in neonates with hypoxic-ischaemic encephalopathy:
a nested substudy of a randomised controlled trial. Lancet Neurol. 2010 ;9(1):39-
45.
16. Woodward LJ, Anderson PJ, Austin NC, Howard K, Inder TE. Neonatal MRI
to Predict Neurodevelopmental Outcomes in Preterm Infants. N Engl J Med
2006;355(7):685-694.
116
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
117
Cooling therapy: terapi terkini
Pada asfiksia neonatal
Rinawati Rohsiswatmo, Albert
Tujuan:
1. Mengetahui diagnosis asfiksia neonatal
2. Mengetahui prinsip terapi hipotermia pada bayi afiksia
3. Mengetahui metode penelitian (cooling) pada terapi hipotermia
118
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
berat yang diterapi hipotermi ringan, akan berkurang 1 bayi yang meninggal
dan mengalami gangguan perkembangan saraf signifikan. Oleh karena itu,
akan dibahas terapi hipotermia dari sisi fasilitas terbatas.
Definisi asfiksia
Asfiksia perinatal adalah kondisi yang ditandai dengan gangguan pertukaran
udara respirasi (oksigen dan karbondioksida) yang mengakibatkan hipoksemia
dan hiperkapnia, disertai asisdosis metabolik. Gangguan aliran oksigen dari
plasenta ke janin terjadi saat kehamilan, persalinan, ataupun segera setelah
lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.7,8 Kondisi hipoksik akut terjadi
akibat perubahan dan redistribusi aliran darah akibat penurunan resistensi
vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi
vaskular perifer.9 Aliran darah cenderung difokuskan ke organ vital seperti
batang otak dan jantung, dibanding serebrum, pleksus koroid, substansia alba,
kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks
dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.9-12
Gangguan sistemik secara berurutan dari yang terbanyak adalah
melibatkan sistem hepatik, respirasi, renal, kardiovaskular.13 Pada 62%
kasus, gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa
gangguan neurologik, dan 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. 13
Gangguan fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai
dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure).14 Hipoksia
yang tidak membaik akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik.
119
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
b. WHO
WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila
nilai Apgar 0-3 pada menit pertama ditandai dengan:
1. Laju denyut jantung (LDJ) menurun atau menetap (<100 kali/menit)
saat lahir,
2. tidak bernapas atau megap-megap, dan
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.
Tabel 1. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas di tingkat
pelayanan kesehatan
120
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
121
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
122
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
123
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari dan diplot dalam grafik
seperti pada grafik 1.
Skor Thompson
12
10
Skor Thompson
8
6
4
2
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke‐ )
124
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Nilai Thompson > 6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5
jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal EEG pada usia 6
jam atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan
terapi hipotermia
Gambar 1. Phase changing material (PCM)
terbuat dari garam hydride, asam lemak, ester atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan yang
berdekatan. Matras dengan material PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di India untuk active
cooling di fasilitas terbatas
125
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
a b
Gambar 4. Whole body cooling di fasilitas terbatas dengan sarung tangan berisi air dingin
Terapi hipotermia menggunakan sarung tangan yang diisi dengan air dingin.
a. Posisi sarung tangan, b. Sarung tangan berisi air dingin harus dilapisi kalin/linen sebelum diletakkan di
atas badan bayi agar tidak mengembun.
Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo
126
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Pemantauan
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan HIE berat
mengalami komplikasi disabilitas berat. Sisanya 10-20% mengalami komplikasi
disabilitas sedang, dan 10% normal. Bayi HIE sedang memiliki kemungkinan
30-50% menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10-20% sisanya
127
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
Daftar pustaka
1. World Bank Group. Mortality rate, neonatal (per 1000 live births) [online] 2017
[diakses tanggal 30 Agustus 2017]. Didapat dari: https://data.worldbank.org/
indicator/SH.DYN.NMRT?locations=ID&view=chart
2. World Health Organization. Cause of child mortality, 2000-2012 [online] 2014
[diakses tanggal 18 September 2014]. Didapat dari: http://www.who.int/gho/
child_health/mortality/mortality_causes_region_text/en/
3. World Health Organization. World health statistic 2013 [online] 2013 [diakses
tanggal 20 Juni 2014]. Didapat dari: http://www.who.int/gho/publications/
world_health_statistics/EN_WHS2013_full.pdf.
4. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When? Where?
Why?. The Lancets. 2005;365;891-900.Antonucci R, Porcella A, Pilloni MD.
Perinatal asphyxia in the term newborn. J Pediatr Neonat Individual Med.
2014;3(2):e030269. doi: 10.7363/030269.
5. De Haan M, Wyatt JS, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin M. Brain
and cognitive-behavioural development after asphyxia at term birth. Dev Sci.
2006;9:350-8.
6. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Gleason CA
dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. United
Stated of America: Elsevier Inc; 2012.h.331.
7. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N Am. 2004;51:
619-37.
8. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal
asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
9. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol. 1989;16:595-
611.
10. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood flow and
oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J Dev Physiol. 1987;
9:337-46.
11. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood flow velocities in
the anterior cerebral artery and basilar artery in asphyxiated infants. J Ultrasound
Med. 2008; 27:955-60.
12. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects. Dalam: Fletcher
J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008.
13. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in infants
with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed. 2004; 89(2):F152-5.
128
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
129
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal
130
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
42. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during neonatal
resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83– 98.
43. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation management
of asphyxia. Indian J Pediatr. 2008;75(2):175-80.
131
Kelainan neurologis pada ensefalopati
hipoksik-iskemik dan pengaruhnya
terhadap perkembangan
Setyo Handryastuti
Tujuan:
1. Peserta memahami pengertian ensefalopati hipoksik-iskemik
neonatus
2. Peserta memahami patogenesis ensefalopati hipoksik-iskemik
3. Peserta dapat menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik-
iskemik dengan tepat
4. Peserta memahami korelasi kelainan anatomi dengan gejala
klinis akibat ensefalopati hipoksik-iskemik
5. Peserta memahami prognosis ensefalopati hipoksik-iskemik
132
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
133
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
(detak jantung janin yang abnormal, mekonium hijau) (2) depresi saat proses
persalinan, dan (3) adanya sindrom neurologi neonatus pada jam-jam pertama
sampai hari-hari pertama kehidupan.1
Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologis yang cermat diperlukan karena dapat menentukan
lokasi lesi, derajat ensefalopati dan juga prognosis.
Kejadian hipoksik-iskemik pada saat atau sesaat sebelum proses persalinan
menentukan gejala sisa jangka panjang, neonatus akan memperlihatkan
gejala neurologis segera setelah lahir, bahkan dalam hitungan jam. Sebaliknya
tidak adanya tanda dan gejala ensefalopati neonatal selama masa neonatus
menandakan tidak adanya kejadian hipoksik-iskemik selama proses persalinan.5
Kelainan neurologis karena hipoksik-iskemik menyebabkan penurunan
kesadaran dan respons, kelainan tonus otot dan kejang. Terdapat korelasi antara
derajat dan lamanya kondisi hipoksik-iskemik dengan derajat ensefalopati.5
Kriteria derajat ensefalopati dikembangkan untuk mengelompokkan EHI.
Parameter yang dipakai adalah derajat kesadaran, saraf kranial, tonus otot,
refleks fisiologis, refleks neonatal, aktfitas motorik spontan, dan fungsi otonom.
Derajat EHI dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat.
Evaluasi laboratorium
Perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah tali pusat, arteri dan pH,
kadar elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), glukosa, blood
urea nitrogen, kreatinin, enzim hati. Kadar laktat cairan serebrospinal dan
katekolamin serum untuk melihat derajat EHI. Pemeriksaan laboratorium
134
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) bermakna untuk menilai fungsi
serebral dan dapat dikerjakan bedside. Pemeriksaan EEG dapat melengkapi
pemeriksaan neurologi untuk menentukan derajat EHI dan prognosis.
Diagnosis kejang pada neonatus kadang sulit dengan pemeriksaan klinis saja
karena perilaku abnormal yang dianggap kejang tidak selalu berkorelasi dengan
aktifitas epileptiform pada pemeriksaan EEG. Sebaliknya manifestasi kejang
secara klinis dapat subtle, tersamarkan oleh obat anti konvulsan dan hanya
terdeteksi dengan pemeriksaan EEG. Pemeriksaan EEG juga bermanfaat untuk
menentukan keparahan gangguan fungsi otak dan prognosis. Severely depressed
backgrounds seperti suppression-burst dan isoelectric menunjukkan disfungsi otak
yang berat dan mempunyai prognosis buruk. Gambaran status epileptikus pada
EEG juga menunjukkan prognosis buruk.9,10 Prognosis yang baik ditunjukkan
dengan timbulnya background pattern yang normal setelah usia 1 minggu. Saat
ini pemeriksaan continuous amplitude-EEG (aEEG) dipakai untuk memonitor
neonatus dengan EHI. Pemeriksaan ini merupakan penyederhanaan EEG dan
dapat dipakai untuk menentukan kejang dan prognosis.11
135
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
Gambar 1. Gambaran EEG neonatus aterm normal12
136
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Gambar 3. Gambaran burst-suppression13
Gambar 4. Gambaran kejang pada pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) 14
Pencitraan
Pencitraan berperan penting dalam EHI, untuk menentukan perjalanan
hipoksik-iskemik, tingkat keparahan dan luasnya kerusakan otak akibat EHI.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala terbukti bermanfaat
untuk mendiagnosis perdarahan intraventrikular (PIV) dan leukomalasia
periventrikular (LPV) terutama pada bayi prematur. Meskipun demikian
pemeriksaan ini mungkin tidak terlalu bermanfaat pada bayi aterm dengan
hipoksik-iskemik.5
137
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
138
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Gambar 5. Homonkulus korteks motor dan lesi parasagittal cerebral injury (segitiga hitam bilateral).
Ekstremitas proksimal, atas lebih terkena daripada ekstremitas bawah.1
139
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
Leg Leg
Trunk Trunk
Arm Arm
Face Face
Mouth Mouth
Gambar 6. Diagram skematik jaras kortikospinal dari korteks motor ke area periventrikel dan kapsula
interna. Area periventrikel yang terkena (kotak hitam) yang terkena adalah jaras ke ekstremitas bawah,
jaras sisi lateral adalah jaras ke ekstremitas atas dan wajah.1
Tabel 5. Manifestasi klinis pada lesi focal and multifocal ischemic brain necrosis1
Topografi kerusakan otak Manifestasi neurologi
Neonatus Sekuele jangka panjang
Korteks serebri dan nekrosis white Kejang fokal Hemiparesis spastik dan kuadriparesis
matter subkorteks, unilateral, distri- Hemiparesis, kuadriparesis jika jika bilateral, gangguan kognitif dan
busi vaskular lesi bilateral kejang
140
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Leg
Trunk
Arm
Face
Mouth
Gambar 7. Diagram skematik jaras kortikospinal desenden dari korteks motor sesuai distribusi arteri
serebri media. Wajah dan ekstremitas atas lebih terkena dampak dibandingkan ektremitas bawah.1
Problem neuromotor
Cerebral palsy
Cerebral palsy dan disabilitas berat terjadi pada 13% sampai 36% penyintas
EHI, dan berkitan erat dengan derajat ensefalopati, terutama ensfalopati berat.
Suatu peneltian menunjukkan 42% anak dengan ensefalopati berat terdiagnosis
CP pada usia 7 tahun.Cerebral palsy tipe kuadriplegia adalah bentuk terberat,
selain atetoid dan hemiplegia. Komorbiditas lain dapat menyertai seperti
gangguan saraf pendengaran, buta kortikal dan kesulitan belajar.18,19
141
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
Problem neurosensori
Penglihatan
Gangguan penglihatan dalam bentuk cortical visual impairment akibat kerusakan
pada jaras visual posterior, termasuk korteks visual primer atau kerusakan pada
struktur radiasi optika, lapang pandang atau stereopsis. Gangguan penglihatan
berat atau kebutaan terjadi pada 11-25% anak dengan ensefalopati sedang atau
berat, disertai gangguan neurologi. Gangguan penglihatan ini dapat dideteksi
pada tahun pertama kehidupan dan dapat berlanjut sampai usia sekolah.18,20
Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat berkaitan denagn problem neurologi meskipun
tidak selalu. Mekanismenya diduga karena kerusakan selektif pada batang
otak, dorsal cochlear nuclei. Gangguan pendengaran akibat EHI tidak berkaitan
dengan pemberian gentamisin atau riwayat keluarga. Bayi dengan ensefalopati
sedang berisiko tinggi mengalami gangguan pendengaran.18,21
Epilepsi
Epilepsi terjadi pada 20%-50% penyintas dengan ensefalopati sedang atau
berat. Kejadian epilepsi pasca natal berkaitan erat dengan diagnosis CP dan
keterlambatan perkembangan.22
Kemampuan kognitif
Secara keseluruhan anak dapat mengalami gangguaan kognitif tanpa adanya
CP. Sebanyak 30%-50% anak dengan EHI derajat 2 mengalami problem kognitif
pada saat pemantauan jangka panjang. Anak deaagn ensefalopati sedang
lebih banyak mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja dan aritmatika
dibandingkan anak dengan ensefalopati ringan atau kelompok kontrol.
Tampaknya proporsi anak dengan gangguan kognitif ini makin meningkat
seiring usia, sesuai tuntutan akademis dan intelektual.23
142
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Bahasa
Perkembangan bahasa dapat terganggu pasca EHI. Anak pasca EHI sedang
dilaporkan mengalami problem bicara, listening, membaca dan mengeja
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan EHI ringan.25
Perilaku
Anak pasca EHI tanpa adanya problem motorik berisiko tinggi mempunyai
problem perilaku seperti hiperaktif dan emosi seperti agresif, pasif dan
kecemasan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa problem ini berbeda pada
EHI ringan dan sedang. Pada EHI ringan problem perilaku tidak terdeteksi
sampai usia 8 tahun, sedangkan pada EHI sedang problem perilaku dapat
berlanjut sampai dewasa.18
Penutup
Ensefalopati hipoksik-iskemik merupakan kasus yang sudah jarang, akan
tetapi menimbulkan dampak jangka panjang yang berat. Pencegahan agar
neonatus tidak mengalami hipoksik-iskemik perinatal serta deteksi dini bayi
risiko tinggi mengalami EHI merupakan yang ideal. Penentuan golden period
untuk tata laksana hipotermia pada neonatus dengan EHI diperlukan untuk
mencegah kerusakan otak yang luas. Ketika kerusakan otak telah terjadi yang
dapat kita lakukan adalah mendeteksi sedini mungkin kelainan perkembangan
yang diakibatkan.
Daftar Pustaka
1. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic encephalopathy. Neurology of the newborn. Edisi
ke-5. 2008. Philadelphia:Saunders Elsevier.h.400-80.
2. Kasdorf E, Perlman JM. General supportive management of the term infant with
143
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan
144
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
20. Mercuri E, Anker S, Guzetta A. Visual function at school age in children with
neonatal encephalopathy and low Apgar Score. Arch dis Child Fetal Neonatal.
2004;89:F258-62.
21. Lindstrom K, Lagerros P, Gillberg C. Teenage outcome after being born at term
with moderate neonatal encephalopathy. PediatrNeurol.2006;35:268-74.
22. Brunquell PJ, Glennon CM, DiMario FJ. Predicition of outcome based on clinical
seizure type in newborn infants. J Pediatr.2002;140:707-12.
23. Dilenge ME, Majnemer A, Shevell MI.Long-term developmental outcome of
asphyxiated term neonates. J Child Neurol.2001;16:781-92.
24. Robertson CM, Finer NN. Long-term follow-up term neonates with perinatal
asphyxia. Clin Perinatol.1993;20:483-500.
25. Marlow N, Rose AS, rands CE. Neuropsychological and educational problems
at school age associated with neonatal encephalopathy. Arch dis Child fetal
neonatal. 2005;90:F380-7.
145
Masalah pubertas
pada praktik sehari-hari
Jose RL Batubara
Tujuan:
1. Mengetahui kelainan pubertas yang sering ditemui sehari-hari
2. Mengetahui pendekatan klinis untuk masing-masing kelainan
3. Mengetahui tata laksana masing-masing kelainan
Pubertas prekoks
Pubertas prekoks terjadi bila tanda-tanda seks sekunder timbul sebelum usia 8
146
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
tahun pada anak perempuan dan sebelum 9 tahun pada anak laki-laki. Keadaan
ini terkadang segera diikuti dengan timbulnya pacu tumbuh dan peningkatan
usia tulang yang akan berakhir dengan pendek pada dewasanya.
Tanda awal pada anak perempuan terlihat dengan pembesaran payudara
(Tanner stage 2), hal lain yang dapat terjadi adalah timbul menarke lebih
cepat. Pada anak laki-laki tampak adanya pembesaran testis (>3 ml) dan penis
serta terkadang diikuti oleh perubahan suara dan tumbuhnya rambut wajah.
Berikutnya, pada anak laki-laki maupun perempuan bisa didapatkan adanya
pertumbuhan rambut pubis, rambut aksila dan bau badan, serta jerawat. 5,6
Pubertas prekoks dibagi menjadi pubertas prekoks sentral dan pubertas
perifer atau dikenal juga sebagai gonadotropin dependent precocious puberty
dan non-gonadotropin dependent precocious puberty. Hampir semua anak
perempuan dan separuh anak laki-laki dengan pubertas prekoks, mengalami
pubertas prekoks sentral.7,8
Sekresi hormon gonadotropin dini yang menandai adanya pubertas
prekoks akan merangsang pengeluaran testosteron dari sel Leydig dan estrogen
dari ovarium serta diikuti oleh tanda-tanda pubertas lainnya. Sedangkan
pubertas prekoks perifer disebabkan oleh karena adanya sumber lain yang
menghasilkan gonadotropin atau seks hormon seperti adrenal atau tumor yang
menghasilkan seks hormon. Penyebab lain yang memacu terjadinya pubertas
adalah kista dan tumor ovarium pada perempuan serta terdapatnya tumor
penghasil testosteron pada laki-laki.7
Pada pubertas prekoks sentral terdapat peningkatan hormonal di seluruh
jaras Hipotalamus-Hipofisis-Gonad (HHG), seperti GnRH, LH, FSH, dan
estradiol atau testosteron, sedangkan pada pubertas prekoks perifer tidak
terjadi aktivitas di jaras HHG. Biasanya terdapat peningkatan gonadotropin,
testosteron atau estradiol yang dihasilkan oleh organ lain seperti adrenal,
hipofisis, atau tumor lainnya. Jadi, evaluasi pertama yang harus dilakukan bila
menghadapi pasien pubertas prekoks adalah membedakan apakah keadaan
pubertas ini bersifat sentral atau perifer dengan memeriksa hormon di jaras
HHG seperti gonadotropin; FSH dan LH serta seks hormon; testosteron pada
laki-laki dan estrogen pada wanita baru diikuti oleh pemeriksaan lainnya seperti
USG genitalia interna, usia tulang, dan pemeriksaan lainnya.7,8,9
Tata laksana pubertas prekoks tergantung etiologi. Pada pubertas prekoks
sentral, pilihan utama adalah GnRH agonist. GnRH agonist merupakan
senyawa menyerupai GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus tetapi senyawa
ini selanjutnya akan menghentikan produksi hormon seks dari gonad. GnRH
agonist diberikan tiap 4 minggu secara injeksi intramuskular dan akan
berikatan dengan reseptor di hipofisis. Di Jepang, dosis yang diberikan 30 mcg/
147
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari
Pada pubertas prekoks perifer, bila disebabkan oleh tumor, dapat dilakukan
terapi bedah. Bila penyebabnya HAK, terapi pemberian kortisol dengan
hidrokortison. Pada pubertas prekoks perifer juga dapat diberikan obat-obat
anti-androgen anti-gonadotropin. Selama terapi, evaluasi perlu dilakukan
untuk melihat perkembangan pubertas secara klinis dan laboratorium seperti
berhentinya progresifitas pubertas, kecepatan pertumbuhan, bone age, kadar
LH, FSH, dan estradiol.11
Terapi dihentikan setelah diskusi dengan pasien dan keluarganya serta
sangat bersifat individual. Harus diperhatikan kecepatan tumbuh, maturasi
psikologis, usia kronologis, usia tulang telah mencapai 12 tahun atau lebih,
dan keinginan pasien serta keluarga.11
Pubertas terlambat
Pubertas terlambat terjadi bila pada usia 13 tahun belum timbul tanda-tanda
seks sekunder pada anak perempuan atau usia 14 tahun pada anak laki-laki.
Bila disertai dengan riwayat keterlambatan pubertas pada keluarga maka
keadaan ini disebut sebagai constitutional delayed of growth and puberty
(CDGP).12 Pubertas terlambat dibagi menjadi:
yy Constitutional delayed of growth and puberty (CDGP)
yy Hipogonadotropik Hipoganadisme
yy Hipergonadotropik Hipogonadisme
148
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Ginekomastia
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mammae pada anak laki-laki.
Hal ini sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada fase pubertas. Ginekomastia
terjadi akibat pengaruh estrogen terhadap payudara ataupun akibat sensitivitas
yang meningkat karena perubahan kadar estradiol dibanding androgen.
Ginekomastia dibagi menjadi ginekomastia fisiologis yaitu ginekomastia
neonatal dan ginekomastia pubertal serta ginekomastia patologis yang
disebabkan efek samping obat atau penyakit yang mendasari.
Pada ginekomastia neonatal, dilakukan observasi secara berkala
dan apabila menetap dilakukan pemeriksaan hormonal untuk mencari
penyebabnya. Pada ginekomastia pubertal, bila diameter kelenjar mammae
kurang dari 4 cm, tidak memerlukan terapi yang spesifik dan sekitar 90% bisa
menghilang dalam 3 tahun. Bila ukuran lebih besar, dapat dikoreksi dengan
obat-obatan seperti golongan tamoksifen, klomifen sitrat, atau anti-estrogen
lainnya. Bila dengan terapi medikamentosa tidak berhasil, dapat dilakukan
terapi koreksi dengan pembedahan.17
149
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari
Telarke Prematur
Telarke prematur merupakan pembesaran payudara pada anak perempuan
tanpa disertai adanya tanda-tanda pubertas lainnya dan tanpa peningkatan
hormon gonadotropin atau estrogen pada aksis HHG. Telarke prematur
diperkirakan disebabkan sensitivitas yang berlebihan jaringan payudara
terhadap asupan estrogen, ataupun dikarenakan produksi estrogen berlebihan
dari folikel ovarium dan adrenal. Tidak didapatkan perkembangan seksual
lainnya seperti pembesaran uterus, akselerasi pertumbuhan, usia tulang tidak
maju, dan pada pemeriksaan hormonal nilainya masih dalam rentang kadar
prepubertal. Pemantauan diperlukan untuk membedakan dengan pubertas
prekoks sentral yang memerlukan terapi khusus.18
Adrenarke Prematur
Adrenarke prematur adalah timbulnya rambut pubis sebelum usia 8 tahun
pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak laki-laki tanpa disertai adanya
tanda-tanda pubertas lainnya. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh aktivitas
zona retikularis korteks adrenal yang meningkatkan produksi androgen. Pada
Adrenarke premature, terjadi peningkatan DHEAS sedangkan testosteron
masih dalam fase prepubertas. Adrenarke prematur tidak memerlukan
pengobatan hanya perlu pemantauan untuk melihat ada tidaknya progresivitas
dan membedakan dengan kelainan lain seperti hiperplasia adrenal kongenital.19
Acne Vulgaris
Acne vulgaris merupakan kondisi yang sering dijumpai pada anak dan remaja
dalam berbagai rentang usia serta dapat berhubungan dengan kondisi patologis
tertentu.20,21 Berdasarkan usia, acne pada anak dibagi menjadi:22
150
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Menstruasi Ireguler
Menstruasi merupakan tahap akhir pubertas pada perempuan. Umumnya
menstruasi pertama (menarke) terjadi dalam 2-3 tahun pascatelarke
(pertumbuhan payudara) yaitu saat mencapai tahap 4 perkembangan payudara
berdasarkan Tanner.23 Rentang usia terjadinya menarke adalah 10-16 tahun
dengan rerata usia 12,8 tahun.24 Di Amerika, pada usia 15 tahun, 98%
perempuan telah mengalami menarke. Oleh karena itu, secara tradisional,
bila tidak terjadi menarke sampai usia 16 tahun disebut dengan amenorea.
Evaluasi amenorea primer perlu dipertimbangkan pada setiap remaja yang
belum mendapat menarke pada usia 15 tahun atau 3 tahun pascatelarke.
Evaluasi juga perlu dilakukan bila tidak adanya pertumbuhan payudara sampai
usia 13 tahun.25
Menstruasi adalah siklus perdarahan uterus sebagai respons interaksi aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium. Diperkirakan imaturitas aksis hipotalamus-
hipofisis-ovarium pada dua tahun pertama pascamenarke adalah hal yang
umum dijumpai. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya menstruasi
ireguler. 23,24 Data terbaru di Amerika menunjukkan bahwa pada tahun pertama
pascamenarke, dapat dijumpai amenorea sampai lebih dari tiga bulan pada
remaja sehat. Kondisi tersebut perlu dievalusi bila terdapat gelaja lainnya atau
masih berlangsung setelah tahun kedua. American academy of pediatrics
dan American college of obstetrician and gynecologist merumuskan siklus
menstruasi normal pada remaja perempuan/ wanita muda sebagai berikut:23
151
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari
• Kehamilan
• Penyebab Endokrin
- Diabetes melitus tidak terkontrol
- Polycytic ovary syndrome (PCOS)
- Penyakit Addison
- Sindrom Cushing
- Disfungsi tiroid
- Premature ovarian failure
- Hiperplasia adrenal kongenital onset lambat (late-onset)
• Kondisi didapat
− Stres terkait disfungsi hipotalamus
− Obat-obatan, penggunaan obat kontrasepsi
− Amenorea dipicu latihan (exercise-induced amenorrhea)
− Gangguan makan (anorexia dan bulimia)
• Tumor
− Tumor ovarium
− Tumor adrenal
− Prolactinoma
152
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
153
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari
Kesimpulan
Berbagai kelainan pubertas dapat ditemukan dalam praktik sehari-hari.
Kelainan ini bisa bersifat ringan atau memerlukan pemantauan bahkan terapi
segera. Kelainan yang sering ditemukan adalah pubertas prekoks, pubertas
terlambat, varian pubertas, acne, menstruasi yang tidak teratur, sampai PCOS.
Perlu diketahui pendekatan klinis untuk masing-masing kelainan tersebut dan
tata laksananya.
Daftar Pustaka
1. Herman-Giddens MF Slora EJ, Wasserman RC, et al. Secondary sexual
characteristics and menses in young girls seen in office practice: a study from
the Pediatric Research in Office settings network. Pediatrics.1997;99:505-12.
2. Rosenfeld RL, Lipton RB, Drum ML. Thelarche, Pubarche and Menarche attainmen
with normal and elevated body mass index in children. Pediatric.2009;123:84-88.
3. Biro FM, Greenspan LC, Galvez MP, et al. Onset of breast developmentin
longitudinal cohort. Pediatrics.2013;132:1019-27.
4. Aksglaede I, Sorensen K, Petersen JH, Skakkabaek NE, Juul A. Recent
decline in age at breast development: the Copenhagen Puberty Study.
Pediatrics.2009;123:e923-39.
5. Muir A. Precocious puberty. Pediatr Rev. 2006;27:373.
154
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
155
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari
156
Upaya pencegahan dan penghentian
perokok remaja
Soedjatmiko, Henny Wahyu Tri Yuniati, Resita Sehati
Tujuan
1. Mengetahui epidemiologi perokok remaja di Indonesia
2. Mengetahui upaya pencegahan berbasis sekolah, keluarga
dan media
3. Mengetahui upaya berhenti merokok farmakologik dan non
farmakologik
4. Mengetahui peran pemerintah dalam upaya pencegahan dan
penghentian merokok
157
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
158
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
159
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
160
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
161
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
162
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Fitur yang paling menarik untuk remaja adalah multimedia yang interaktif. 9
Brinker dkk (2016)10 melakukan penelitian pencegahan merokok melalui
telepon genggam atau tablet dengah aplikasi foto (“Smokerface”) pada 125
murid 3 SMP di Jerman berumur rerata 12,75 tahun. Siswa diminta membuat
foto diri pada telepon genggam atau tablet masing-masing. Kemudian dengan
aplikasi Smoker face mereka memilih menjadi perokok atau bukan perokok
selanjutnya menekan tombol menjadi perokok 1, 3, 6 , 9, 12, 15 tahun, maka
wajah mereka akan berubah. Kalau menjadi perokok maka semakin lama
merokok penampakan wajah tampak lebih tua, dengan kulit keriput, kotor,
berjeraeat dll. Sebagian besar siswa mendapat manfaat kalau tidak merokok
(64,8%), memotivasi tidak merokok (63,2%) dan cara ini menyenangkan
(61,6%). 10
163
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
164
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tabel 3. Keberhasilan menurunkan angka prokok remaja setelah implementasi larangan menjual rokok pada
remaja
Negara Prevalens perokok remaja sebelum implementasi Prevalens perokok remaja setelah
larangan menjual rokok implementasi larangan menjual rokok
Amerika 27,5% (1997) 15,7% (2013)
Kanada 45% (1994) 13% (2013)
Australia 23% (1999) 8,5% (2011)
165
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
166
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Gambar 1. Algoritma penghentian merokokModifikasi dari Hughes 27
167
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
Bagi pasien yang tidak siap berhenti merokok, berikan motivasi singkat
dengan pendekatan 5R yaitu:22, 28
yy Relevance = kaitkan dengan dampak negatif terhadap kesehatan, manfaat,
ekonomi, dan kehidupan orang di sekitar.
yy Risk = pasien menjabarkan sendiri bahaya akibat merokok, risiko akut,
jangka panjang dan terhadap lingkungan
yy Reward = manfaat yang dapat diperoleh dari berhenti merokok.
yy Roadblocks = kemungkinan hambatan yang dapat muncul dari upaya
berhenti merokok.
yy Repetition = dukungan secara terus-menerus (berulang) untuk memberikan
motivasi dan memberitahu hal-hal yang harus dilakukan agar berhasil.
Terapi farmakologis
Panduan dari United States Public Health Service (USPHS) merekomendasikan
pemberian terapi farmakologis setelah perokok mempunyai komitmen
untuk berhenti merokok.29 Beberapa obat yang dapat digunakan untuk
membantu seseorang berhenti merokok yang dapat dilihat pada lampiran
terapi farmakologis untuk berhenti merokok terdiri dari tiga obat lini pertama
yaitu terapi pengganti nikotin/nicotine replacement therapy (NRT), varenicline
dan bupropion. Ketiga obat ini paling sering digunakan dan disetujui sebagai
obat berhenti merokok lini pertama di Australia, Uni Eropa, Amerika Utara
serta direkomendasikan pada berbagai panduan nasional termasuk panduan
Indonesia. 22, 29
168
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tablet varenicline
Merupakan obat generasi baru yang khusus dikembangkan untuk obat berhenti
169
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
Tablet bupropion
Merupakan obat anti depresan. Obat ini dulu tidak terdapat di pasaran
Indonesia.
Ringkasan
yy Berdasarkan Riskesdas 2013 remaja Indonesia yang setiap hari merokok
berumur 10 – 14 tahun sekitar 0,5 %, umur 15 – 19 tahun sebanyak 11,2
%, mereka mengkonsumsi rokok 7,7 – 9,6 batang perhari, dan bervariasi
di setiap provinsi.
yy Faktor yang berpengaruh antara lain: adanya rasa ingin tahu (32%),
menjadi rileks ketika stress (39,4%), mencontoh dari teman (81,4%), ayah
(64,7%) saudara laki-laki (54,3%), dan teman dekat (52,5%). Faktor lain
adalah guru merokok di sekitar sekolah (70,7%) mudah membeli rokok
di sekitar sekolah (74,1%), dan adanya warung yang tidak melarang siswa
membeli rokok (89,9%).
yy Upaya pencegahan merokok berbasis sekolah umumnya menunjukkan
hasil lebih baik (RR sekitar 0,6) daripada berbasis keluarga (0,7 – 0,8).
Upaya pencegahan kombinasi keluarga dan sekolah hasilnya bervariasi
lebar antara 0,6 – 0,85 hampir sama dengan upaya di sekolah saja atau
di keluarga saja.
yy Sekitar 70% perokok mempunyai keinginan untuk berhenti merokok
namun hanya 3-5% yang berhasil berhenti merokok sebagian besar
dikarenakan pengaruh adiksi nikotin dan berbagai kendala.
170
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Daftar rujukan
1. Bigwanto M, Mongkolcharti A, Peltzer K and Orapin Laosee. Determinants of
cigarette smoking among school adolescents on the island of Java, Indonesia. Int
J Adolesc Med Health, 2015; 1-8.
2. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013; 133-6.
3. Dahlui M, Jahan NK, Majid HA, Jalaludin MY, Murray L, Cantwell M. Risk and
Protective Factors for Cigarette Use in Young Adolescents in a School Setting:
What Could Be Done Better? PLoS ONE, 2015: 10(6): e0129628. https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0129628
4. Aditama TY, Pradono J, Khalilul R, Charles W, Nathan JR, Asma S, dkk. Linking
global youth tobacco survey (GYTS) data to the WHO framework convention
on tobacco control: The case for Indonesia. J Prev Med 2008;47:S11-S4.
5. Thomas RE, McLellan J, Perera R.Effectiveness of school-based smoking
prevention curricula: systematic review and metaanalysis. BMJ Open 2015;5:
e006976. doi:10.1136/bmjopen-2014-006976
6. Tahlil T, Woodman RJ, Coveney J, Ward P. The impact of education programs
on smoking prevention: a randomized controlled trial among 11 to 14 year olds
in Aceh, Indonesia. BMC Publ Health 2013, 13:367, http://www.biomedcentral.
com/1471-2458/13/367.
7. Brown N, Luckett T, Davidson PM, DiGiacomo M. Family-focussed interventions
to reduce harm from smoking in primary school-aged children: A systematic
review of evaluative studies. Preventive Medicine 101 (2017) 117–125.
8. Thomas RE, Baker PRA, Thomas BC, Lorenzetti DL. Family-based programmes
for preventing smoking by children and adolescents. Cochrane Database of
171
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja
172
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
25. U.S. Department of Health and Human S ervices. Reducing Tobacco Use: A
Report of the Surgeon General-Executive Summary. Atlanta, Georgia: U.S.
Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control
and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health
Promotion, Office on Smoking and Health, 2000.
26. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Fakta
Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk Strategi Nasional Penanggulangan
Masalah Tembakau. Jakarta: Depkes, 2004.
27. Hughes JR. An updated algorithm for choosing among smoking cessation
treatments.
J Subst Abuse Treat. 2013;45:215-21.
28. Black JH, Cambria RP. Evidence base and strategies for successful smoking
cessation. J Vasc Surg 2010;51:1529-37.
29. Beard E, Shahab L, Cummings DM, Michie S, West R. New pharmacological
agents to aid smoking cessation and tobacco harm reduction: what has been
investigated, and what is in the pipeline. CNS Drugs. 2016;30(10):951-83.
173
Status epileptikus konvulsivus pada anak:
Rekomendasi tatalaksana
UKK Neurologi IDAI
Irawan Mangunatmadja
Tujuan:
1. Peserta memahami definisi dan gejala klinis status epiletikus
konsulsivus
2. Peserta memahami tata laksana status epilepticus konsulsivus
sesuai rekomendasi UKK Neurologi IDAI
Status epileptikus (SE) adalah satu dari kedaruratan neurologi pada anak
dan berhubungan dengan kematian, gangguan perkembangan neurologis dan
menurunnya kualitas hidup anak.1,2 Angka kejadian berkisar antara 17 sampai
23 dari 100.000 anak yang mempunyai pengalaman status epileptikus setiap
tahun dengan angka kejadian tertinggi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
Di Inggris angka kejadian status epileptikus pada anak di bawah usia 1 tahun
sebesar 51 dari 100.000 (95% CI 19-35) dan menurun secara progresif menjadi
2 per 100.000 (95% CI 0,75-3,5) pada usia 10 sampai 15 tahun.1
Dalam makalah ini akan dibahas definisi status epileptikus, patofisiologi,
penyebab, tata laksana dan aplikasi klinis algoritma status epileptikus
rekomendasi Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI).
Definisi
The ILAE Task Force on Classsification of Epilepticus mengajukan definisi SE
sebagai berikut:. Time point1, keadaan baik berupa kegagalan mekanisme
yang berperan dalam penghentian kejang atau mekanisme yang menginisiasi
terjadinya kejang abnormal yang berkepanjangan. Time point 2 adalah waktu
yang menyebabkan konsekuensi jangka panjang berupa kerusakan neuron,
terganggunya hantaran neuron tergantung durasi dan tipe kejangnya. Definisi
baru ini mengambarkan betapa pentingnya waktu dalam menjelaskan dua
point tersebut.1.
174
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Patofisiologi
Mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan peningkatan
aliran darah ke otak gunanya adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
otak. Status epileptikus yang berlangsung lama menyebabkan: hipoksemia,
hiperkarbia, hipotensi dan hipertermia, dengan penurunan tekanan oksigen
otak, kemudian terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
glukosa tinggi dengan penurunan aliran darah ke otak dan penurunan glukosa
dan oksigen otak.3,4 Kejang berulang menyebabkan hipoventilasi dan yang
menyebabkan aliran darah ke orak menurun. Keadaan ini menyebabkan
tekanan darah meningkat sehingga dapat terjadi perdarahan intrakranial yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak. Kompensasi otak membutuhkan aliran
udara, napas, sirkulasi dan aliran darah otak yang cukup dan kompensasi ini
terjadi pada stadium awal. Kematian dan kesakitan yang ada akibat gagalnya
mekanisme kompensasi.2
Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur yang berlebihan,
sekresi trakeobronkial dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia disertai
kejang yang lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun,
menurunkan curah jantung, hipotensi, yang mengganggu fungsi sel jaringan
dan neuron. Keadaan asidosis metabolik dan respiratorik sering terjadi.3,5 Saat
SE dikeluarkan hormon katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan tekanan vena
sentral. Edema otak yang terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, hipotensi,
dapat menyebabkan herniasi.2,4,5
175
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI
Penyebab
Penyebab SE sangat menentukan mortalitas dan morbiditas pasien. Penyebab
spesifik harus dicari dan diobati untuk mencegah terjadinya kerusakan neuron
dan kejang dapat terkontrol. Penyebab tersering adalah epilepsi simtomatik
(33%) dan kejang demam lama (32%).3 Penyebab SE pada anak dapat di
lihat dalam Tabel 1. di bawah ini.
Setelah status epileptikus teratasi dan kejang berhenti, menentukan
penyebab status sangatlah penting. Tanpa tata laksana etiologi status ada
kemungkinan status epileptikus akan berulang. Keadaan ini akan menyebabkan
kerusakan jaringan otak pasien dan prognosis pasien menjadi lebih buruk.
Klasifikasi
Setiap tipe kejang yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi
SE. Klasifikasi SE ditegakkan berdasarkan observasi klinis dan gambaran
elektroensefalografi bila memungkinkan. Untuk tata laksana pasien, yang
terpenting adalah membedakan apakah status pasien konvulsivus atau
bukan. Klasifikasi ini menentukan tata laksana dan intervensi selanjutnya.3,5
Klasifikasi SE dapat dibagi atas konvulsivus dan bukan konvulsivus. Klasifikasi
176
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Tata laksana
Status epileptikus konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang mengancam
jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung dari
penyebab dan lamanya kejang berlangsung. Makin lama kejang berlangsung,
makin sulit untuk menghentikannya. Oleh karenanya, tata laksana kejang
tonik-klonik umum lebih dari 5 menit, adalah menghentikan kejang dan
mencegah terjadinya status epileptikus.3
Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:1,3,5,8
Pre Hospital: 0-5 menit
yy Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah
dari tungkai unutk mencegah aspirasi bila pasien muntah
yy Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, bila ada berikan oksigen.
177
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI
yy Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat
badan < 10 kg = 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg)
dosis maksimal adalah 10mg / dosis.
yy Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
yy Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.
178
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Obat-obatan
Beberapa macam obat yang sering digunakan dalam mengatasi status
konvulsivus dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang 3,7-9
Diazepam Fenitoin Phenobarbital Midazolam
Dosis insial 0,3-0,5 mg/kgbb 20mg/kgbb 20 mg/kgb 0,2 mg/kgbb bolus
0,02- 0,1mg/kgbb drip
Maksimum dosis awal 10 mg 1000 mg 1000 mg -
Dosis ulangan 5 menit dapat Bila kejang Bila kejang 10 – 15 menit
diulang satu kali berhenti kejang berhenti kejang
kembali kembali
10 mg/kgbb 10 mg/kgbb
Lama kerja 15 menit – 4 jam sampai 24 jam sampai 24 jam 1- 6 jam
Pemberian iv, rektal iv perlahan kec. iv atau im iv perlahan 0,2 mcg/min
50 mg/menit dan titrasi dengan infus
diencerkan dengan 0,4-0,6mcg /kg/menit
NaCl 0,9%
Catatan dilanjutkan Hindarkan Monitor tanda
dengan Fenitoin pengulangan vital
atau AED. sebelum 48 jam
Efek samping somnolen, ataxia, bingung, depresi hipotensi, depresi hipotensi, depresi
depresi napas napas napas, aritmia napas
179
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI
180
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Prognosis
Prognosis pasien dengan SE tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang. dan
tata laksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang memegang peranan
penting dalam mencegah kejang berulang setelah kejang teratasi. Kemungkinan
teratasinya SE konvulsivus dapat menjadi SE bukan konvulsivus.5 Gejala sisa
yang sering terjadi pada SE konvulsivus adalah gangguan intelektual, defisit
neurologi atau epilepsi. Angka kematian berkisar 16 - 32%.2.
Simpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil untuk tata laksana SE adalah: 1) Kejang
yang berlangsung lebih dari 5 menit atau berulang 2 kali atau lebih tanpa
perbaikan kesadaran; 2) Pemberian obat-obatan yang tepat dapat dilakukan
dengan agresif; 3) Tata laksana penyebab SE untuk mencegah berulangnya
kejang.; 4) Perlunya pemantauan jangka panjang untuk memantau adanya
komplikasi SE.
Daftar pustaka
1. Fernandez IS, Abend SN, Loddenkemper T. Status epilepticus. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferreiro DM, Schor NF, Finkel RS, Gropman AL, Pearl PL, Shevell,
penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principle and practice. Edisi ke 6.
Edenburg: Elsevier. 2017. h. 543-61.
2. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH,
Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill
Medical, 2013. h. 288-96.
3. Seinfeld S, Leszczyszyn DJ, Pellock JM. Status epilepticus and acute seizures.
Dalam : Pellock’s Pedatric epilepsy: Diagnosis and therapy. Pellock JM, Nordli
DR, Sankar R, Wheless JW, penyunting.Edisi ke 4. New York : Demosmedical.
2017. h.567-83.
4. Costello DJ, Cole AJ. Treatment of acute seizures and status epilepticus. J Inten
Care Medic. 2006; 20:1-29..
5. Goodkin HP, Rivielo Jr JJ. Status epilepticus.Wyllie’s Treatment of epilepsy :
Principles and practice. Wyllie E, Gidal BE, Goodkin HP, Loddenkemper T,
Sirven JI, penyunting.Edisi ke 6. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015. h. 474-91.
6. Riviello JJ, Ashwal SD, Glauser T, Ballaban-Gil K, Kelley K, Morton LD,
Phillips S, Sloan E, Shinnar S. Practice parameter: diagnostic assessment of the
child with status epilepticus (an evidence best review). Report of the Quality
Standard Subcommittee of the American Academy of Neurology and the practice
181
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI
182
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
Lampiran 1.
Monitor
Tanda vital, EKG,
saturasi, gula darah,
elektrolit, Analisa Gas
darah
183
Notes
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
Notes
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
Notes
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................