Anda di halaman 1dari 200

UNIVERSITAS

INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

FAKULTAS

KEDOKTERAN

Prosiding Simposium LXXIII


Masalah Kesehatan
Neonatus sampai Remaja

Penyunting:
Nastiti Kaswandani
Fatima Safira Alatas
Bernie Endyarni Medise
Dina Muktiarti
Murti Andriastuti

Hotel Sheraton Gandaria City


Jakarta, 22-23 Oktober 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Judul Prosiding Simposium LXXIII
Tema Masalah Kesehatan Neonatus sampai Remaja
Penanggung Jawab DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
Reviewer DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)
Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)
Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH
Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)
Editor DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)
Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)
Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH
Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2017

ISBN 978-979-8271-57-1
ISBN 978-979-8271-57-1

9 789798 271571

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Yth Teman Sejawat Dokter Spesialis Anak


Ass Wr Wb, salam sejahtera untuk kita semua

Seperti kita ketahui telah ditetapkan bahwa kompetensi Dokter Spesialis


Anak di Indonesia adalah menangani semua maslah kesehatan anak mulai
saat lahir sampai usia 18 tahun. Namun demikian ternyata tidak semua
fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan kesahatan anak melaksanakan
ketentuan ini. Masih terdapat fasilitas kesehatan anak yang membatasi dokter
spesialis anak hanya menangani pasien beberapa tahun sebelum usia 18 tahun.
Agar pelayanan kesehatan anak sampai dengan usia 18 tahun dipahami oleh
berbagai pihak terkait, maka di pengujung tahun 2017 ini Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM kembali mengadakan simposium yang bertema
: Masalah Pediatrik: Neonatus sampai Remaja.
Topik ini sengaja dipilih untuk memberikan impresi bahwa pelayanan
kesehatan anak bersifat komprehensif yaitu sejak awal kehidupan sampai
dengan menjelang dewasa. Seperti halnya seminar-semiar Departemen IKA
sebalumnya maka para pakar keseahatan anak Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM akan mengupas tuntas topik-topik yang sangat relevan
dengan pelayanan kesehatan anak sehari-hari. Namun diskusi yang disajikan
juga berimbang selain topik-topik yang berhubungan relevan dengan pelayanan
kesehatan anak sehari-hari, kami juga menyajikan perkembangan keilmuan
kesehatan anak terkini yang berbasis bukti ilmiah.
Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-
persatu atas dukungan sehingga seminar ini dapat terlaksana. Ucapan terima
kasih juga saya sampaikan kepada panitia pelaksana yang telah bekerja keras
untuk terwujudnya acara ini.
Semoga seminar ini mampu berkontribusi terhadap pemenuhan dan
mempertahankan kompetensi dokter spesialis anak, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak

Aryono Hendarto
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM

iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII

Assalamualaikum wr.wb.
Simposium kali ini dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan dokter spesialis anak dalam menghadapi masalah yang sering
dijumpai pada praktik sehari-hari, sehingga dapat memberikan pelayanan
berbasis bukti terkini dalam menangani berbagai kasus pediatri, mulai dari
neonatus sampai remaja.
Topik-topik ilmiah yang menjadi materi pada simposium kali ini dipilih
berdasarkan hal praktis yang perlu terus diperbaharui karena perkembangan
ilmu kedokteran. Kasus kontroversi dalam bidang emergensi, yaitu mati batang
otak akan dibahas dari segi medis, etik, dan keselamatan pasien. Prosedur
diagnostik invasif dalam bidang respirologi, yaitu bronkoskopi, akan dibahas
oleh para pakar, demikian pula kemajuan transplantasi dalam bidang hepatologi
dan nefrologi. Perkembangan dalam cedera otak neonatus akan dibahas
mendalam dari aspek perinatologi, pencitraan, dan neurologi. Peran nutrisi
akan membahas mengenai nutrisi pada awal kehidupan dan defisiensi besi,
yang masih menjadi masalah di Indonesia. Kesulitan dalam diagnosis dan tata
laksana penyakit infeksi akan didiskusikan dalam satu sesi dari aspek alergi,
gastroenterologi, dan infeksi. Remaja, populasi yang juga menjadi tanggung
jawab dokter anak, akan dibahas dalam sesi yang menyatukan aspek endokrin
dan tumbuh kembang.
Akhir kata kami menguapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
seluruh penulis yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan
naskah dalam buku ini. Kami berharap bahwa buku ini dapat memberikan
sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak di
Indonesia dan pada akhirnya meningkatkan kualitas anak Indonesia.

Terimakasih

Wassalamualaikum wr.wb

DR. Dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed


Ketua Panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalaamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
berkah dan rahmatNya lah Buku Prosiding Simposium Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM yang berjudul Masalah Pediatrik: Neonatus
sampai Remaja dapat diterbitkan.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo senantiasa berkomitmen
untuk meningkatkan dan mengembangkan keilmuan maupun ketrampilan
dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dengan secara rutin menyelenggarakan
simposium bagi dokter spesialis anak maupun dokter lainnya di Indonesia.
Acara simposium ini merupakan acara ke LXXIII yang telah berhasil
dilaksanakan, pada kesempatan kali ini akan mengangkat tema meliputi
masalah pediatrik yang sering ditemukan oleh dokter di ruang praktek, ruang
rawat inap maupun ruang rawat intensif dan gawat darurat. Masalah kesehatan
yang dibahas mulai dari masa neonatus sebagai pijakan awal kehidupan sampai
masalah kesehatan remaja yang seringkali terabaikan.
Topik menarik yang tersaji dalam artikel pada Buku Prosiding ini antara
lain masalah kesehatan pada awal kehidupan misalnya sindrom rubella
kongenital, asfiksia neonatus, cooling therapy hingga masalah remaja seperti
pubertas dan remaja merokok. Aspek klinis yang ditulis dalam artikel dapat
mencakup aspek diagnosis misalnya penyakit jantung dan paru, sampai tata
laksana mutakhir pada kondisi gagal organ yang memerlukan transplantasi.
Artikel yang terkini adalah konsensus terbaru tata laksana status epileptikus.
Aspek etika juga dibahas terutama pada kondisi sakit berat sampai mati batang
otak, serta artikel menarik lainnya.
Semoga dengan membaca naskah ini maka bisa memberikan manfaatnya
bagi praktik klinis yang pada akhirnya dapat meningkatkan profesionalisme
dokter dalam menangani masalah kesehatan anak.

Wassalam,
Jakarta, 9 Oktober 2017

Tim Penyunting

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua DR. DR. Hindra I. Satari, Sp.A(K), MTropPaed


Wakil Ketua DR. Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Rosalina D. Roeslani, Sp.A(K)
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Prof. Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah DR. Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)
Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)
Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH
Dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)
Seksi Perlengkapan, Dr. Yogi Prawira, Sp.A
Dokumentasi & Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, Sp.A
Pameran
Seksi Sidang Dr. Amanda Soebadi, Sp.A
Dr. Henny Andriani Puspitasari, Sp.A
Dr. Madeleine Ramdhani Jasin, Sp.A
Seksi Konsumsi DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)
Dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A

x
Daftar Penulis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo –


Fakultas Kedokteran UI
DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K) Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) Divisi Gastro – Hepatologi
Dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K) Divisi Nefrologi
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi
Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K) Divisi Gastro – Hepatologi
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K) Divisi Respirologi
DR. Dr. Najib Advani, Sp.A(K), MMed Divisi Kardiologi
(Paed)
DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi
Dr. Evita B. Ifran, Sp.A(K) Divisi Pencitraan
DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K) Divisi Neonatologi
DR. Dr. RA. Setyo Handryastuti, Sp.A(K) Divisi Neurologi
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K) Divisi Endokrinologi
DR. Dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), MSi Divisi Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial
DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) Divisi Neurologi

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran UI
DR. Dr. Ade Firmansyah, Sp.F(K)







xi
xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM.............................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII.. v
Kata Pengantar Tim Penyunting................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM............................................................................... ix
Susunan Panitia........................................................................................... x
Daftar Penulis............................................................................................. xi
Daftar isi................................................................................................... xiii

Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?.................................. 1


Rismala Dewi
Aspek etika pengambilan keputusan pada anak dengan mati batang otak.... 8
Ade Firmansyah Sugiharto
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati.. 14
Hanifah Oswari, Andi A. Wijaya, Antonius Pudjiadi,
Toar J.M. Lalisang, Sastiono
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi....................................... 26
Eka Laksmi Hidayati
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?............... 36
Zakiudin Munasir
Diare kronik pada anak.............................................................................. 44
Muzal Kadim
Sindrom Rubella Kongenital: Surveilans dan Pencegahan.......................... 53
Nina Dwi Putri, Hindra Irawan Satari

xiii
Bronkoskopi fleksibel: Kapan dilakukan pada anak?.................................. 60
Darmawan B Setyanto
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan................................ 74
Najib Advani
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah
mikronutrien.............................................................................................. 86
Aryono Hendarto
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan
anak........................................................................................................... 99
Murti Andriastuti
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus......................... 106
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal.............................. 118
Rinawati Rohsiswatmo, Albert
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya
terhadap perkembangan........................................................................... 132
Setyo Handryastuti
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari............................................... 146
Jose RL Batubara
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja............................... 157
Soedjatmiko, Henny Wahyu Tri Yuniati, Resita Sehati
Status epileptikus konvulsivus pada anak: Rekomendasi tata laksana UKK
Neurologi IDAI........................................................................................ 174
Irawan Mangunatmadja

xiv
Mati batang otak pada anak:
Bagaimana selanjutnya?
Rismala Dewi

Tujuan:
1. Mampu menjelaskan definisi mati batang otak pada anak
2. Mampu menjelaskan kriteria mati batang otak pada anak
3. Mengetahui cara menentukan mati batang otak pada anak

Kemajuan teknologi dalam hal tata laksana medis dan unit perawatan intensif
yang semakin modern terbukti dapat menyelamatkan hidup dan memperbaiki
luaran pasien anak dengan sakit kritis. Ventilasi mekanik, alat penunjang
kardiovaskular, obat sedasi dan anestesi merupakan hal yang rutin digunakan
untuk menunjang fungsi organ, tetapi dapat mengaburkan aspek penilaian
neurologis, kardiovaskular dan respirasi dalam menentukan kematian.1 Aspek
medis dan hukum dalam menentukan mati batang otak telah berevolusi
selama 3 dekade terakhir. Kebutuhan akan kriteria khusus untuk menentukan
kematian otak pada bayi dan anak-anak sudah diperkenalkan sejak tahun 1967,
ketika komite di Amerika Serikat pertama kali bertemu untuk membentuk
sebuah konsensus. Pada tahun 1987, pedoman penentuan kematian otak pada
anak diterbitkan oleh multi-society task force yang menekankan pentingnya
riwayat medis dan pemeriksaan klinis untuk menghilangkan kondisi reversibel.
Pedoman ini dibuat karena pedoman sebelumnya gagal untuk menentukan
kriteria mati batang otak secara adekuat. Sistem saraf pusat anak yang lebih
tahan terhadap bentuk cedera tertentu, harus menjadi pertimbangan saat
melakukan diagnosis dan mengkonfirmasi mati batang otak pada bayi dan
anak.2-4

Definisi
Definisi kematian otak berkembang melalui opini, informasi dan konsensus
berdasarkan studi retrospektif dan laporan kasus. Definisi kematian dalam
Black’s Law Dictionary tahun 1950 adalah ‘penghentian hidup’ atau yang
didefinisikan oleh dokter sebagai penghentian total sirkulasi darah, fungsi

1
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?

vital seperti respirasi, pulsasi. Hal ini mendorong profesional medis dan hukum
untuk menentukan definisi berdasarkan kondisi otak atau batang otak. Pada
tahun 1995, American Academy of Neurology mengeluarkan definisi kematian
otak sebagai penghentian fungsi otak yang ireversibel, termasuk batang otak.
Dua temuan klinis diperlukan untuk mengkonfirmasi kondisi otak yang tidak
dapat diperbaiki ini, yaitu koma yang diketahui penyebabnya dan tidak adanya
refleks batang otak.5 Definisi lain adalah kondisi fisiologis hilangnya fungsi otak
permanen dan ireversibel atau hilangnya secara simultan dan ireversibel semua
fungsi kortikal, subkortikal, dan batang otak.6,7 Sebuah paradoks fundamental
tentang definisi kematian menyatakan bahwa berhentinya fungsi otak adalah
kejadian terakhir dari tiga bentuk kematian yaitu jantung, pernafasan dan
otak sendiri.8

Fisiologi kematian otak


Penyebab kematian otak sangat bervariasi, dapat disebabkan oleh infeksi
atau kondisi medis lainnya seperti perdarahan subarakhnoid, aneurisma,
perdarahan intraserebral atau infark, dan cedera kepala. Kematian
jaringan otak dapat terjadi oleh penyebab langsung pada jaringan
otak, selain itu terjadi akibat anoksia otak oleh beberapa mekanisme
di antaranya hipoksemia berat yang mengakibatkan berkurangnya
kandungan nutrisi dan oksigen dalam darah, gangguan perfusi yang berat
seperti pada edema luas, peningkatan tekanan intrakranial, penghentian
aliran darah ke otak dan batang otak atau cedera neuron toksik.9,10
Aliran darah di otak sangat penting pada saat menentukan kematian otak.
Penurunan aliran darah ke otak biasanya terjadi saat tekanan intrakranial lebih
besar dibandingkan rata-rata tekanan arterial, sehingga tekanan perfusi otak
menurun sampai pada satu titik aliran darah ke otak berhenti. Berkurangnya
aliran darah ke otak ini menyebabkan anoksia sel yang luas dan berakhir dengan
kematian. Mekanisme fisiologis ini dianggap paling sering menjadi penyebab
mati batang otak, walaupun didapatkan mekanisme lain yang ditandai dengan
aliran darah otak yang adekuat, tetapi terjadi kegagalan intrinsik pada
tingkat sel, yang mencegah ekstraksi atau pemanfaatan oksigen dan nutrisi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi selular dan metabolisme.
Contohnya pada kasus ini adalah keracunan sianida dan gangguan metabolik
berat lainnya.10

Diagnosis
Diagnosis mati batang otak pada dasarnya berdasarkan pemeriksaan klinis,

2
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

dan tidak didapatkan faktor perancu, dengan tiga komponen penting yaitu
koma ireversibel atau tidak responsif, tidak ditemukan refleks batang otak, dan
apnea. Ketiga komponen ini harus dikonfirmasikan kembali setelah dilakukan
observasi dalam periode tertentu. Durasi pengamatan biasanya lebih lama pada
anak-anak dibandingkan dewasa, hal ini menjadi salah satu perbedaan utama
dalam menetapkan diagnosis mati batang otak pada anak.1,6,11
Di luar definisi dan pertimbangan medis, penerimaan kematian secara
budaya dan regional bervariasi dan harus disesuaikan, misalnya, beberapa
budaya dan agama tidak menerima kematian sampai semua fungsi vital tubuh
telah berhenti. Terlepas dari budaya atau agama, terdapat kesulitan untuk
menerima kematian pada saat paru-paru dan jantung tampaknya masih
hidup, meskipun hanya didukung oleh bantuan mekanis dan farmakologis.
Beberapa negara menghentikan tunjangan kardiorespirasi pada saat sudah
ditentukan mati batang otak walaupun menjadi hal yang sulit bagi keluarga,
sedangkan beberapa negara lain mengambil langkah yang berbeda. Klinisi
bertanggungjawab untuk menentukan dan mengkomunikasikan prosesnya
kepada mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan pasien.12-14
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menentukan
mati batang otak pada seorang anak, di antaranya:5,11
yy Penyebab terjadinya koma dapat menjelaskan berhentinya fungsi otak
secara ireversibel. Selain koma, harus didapatkan juga apnea untuk
menyatakan kematian otak.
yy Penyebab koma yang berpotensi reversibel harus disingkirkan seperti
hipotermia, hipotensi yang tidak terkontrol, obat sedasi dan agen
penghambat neuromuskular serta kelainan metabolik berat.
yy Pasien anak yang baru dilakukan resusitasi kardiopulmoner atau cedera
otak akut, sehingga evaluasi kematian otak harus ditunda hingga 24 jam.

Kriteria klinis
Penentuan mati batang otak memerlukan keahlian khusus yang pada
prinsipnya bisa dilakukan oleh seorang dokter, tetapi dengan adanya evaluasi
yang kompleks dan melibatkan pasien sakit kritis maka harus dilakukan oleh
orang yang tepat. Dalam hal ini tidak dibenarkan untuk membuat kesalahan
atau interpretasi yang tidak tepat saat menentukan kondisi mati batang otak,
sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penentuan
tersebut. Pengalaman seorang dokter menjadi satu hal yang penting, walaupun
belum ada sertifikasi kompetensi yang legal. American Academy of Neurology
menyatakan bahwa semua dokter yang membuat keputusan mati batang
otak harus memahami kriteria kematian otak dan memiliki kompetensi yang
handal. Pemeriksaan harus dilakukan oleh intensivis pediatrik dan neonatal,

3
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?

ahli neurologi anak, bedah saraf dan anestesi pediatrik dengan pelatihan
perawatan anak sakit kritis.15
Pemeriksaan neurologis merupakan pemeriksaan yang paling mendasar
dalam menentukan mati batang otak yang disesuaikan dengan spektrum usia
pasien anak (tabel 1.) .1,3,15

Tabel 1. Kriteria pemeriksaan neurologis untuk mati batang otak


No. Pemeriksaan neurologis Keterangan
1. Koma Pasien harus menunjukkan hilangnya kesadaran secara penuh, vokalisasi,
dan aktivitas sesuai kehendak
2. Apnea Tidak adanya upaya pernafasan yang terdokumentasi (jika
memungkinkan) dengan tes apnea formal yang menunjukkan kenaikan
Paco2 ≥ 60 mmHg dan ≥20 mmHg peningkatan di atas data dasar
3. Hilangnya refleks batang otak Midposisi atau pupil yang melebar sepenuhnya dan tidak merespons
terhadap cahaya
Tidak adanya gerakan otot bulbar termasuk otot wajah dan orofaring
Tidak didapatkan refleks muntah, batuk, mengisap, dan rooting reflex
Refleks kornea tidak ada
Refleks oculovestibular tidak ada
4. Flasid atau tidak ada gerakan ekslusi gangguan spinal cord seperti withdrawl reflex atau mioklonus
spontan tulang belakang

Tes Apnea6,9,16
Tes apnea yang dilakukan pada pasien koma merupakan komponen penting
dalam pemeriksaan mati batang otak. Tahun 2011 dikeluarkan pedoman
untuk melakukan tes apnea sebanyak dua kali sebagai bagian dari pemeriksaan
klinis, kecuali didapatkan kontraindikasi medis. Prasyarat yang sama berlaku
seperti halnya melakukan tes klinis yaitu pasien tidak boleh mengalami
hipotermia, hipotensi atau mengalami gangguan metabolik atau endokrin
yang serius. Kontra indikasi tambahan meliputi cedera sumsum tulang
servikal atau kebutuhan oksigenasi dan ventilasi yang sangat tinggi yang akan
mengakibatkan cedera lebih lanjut. Jika tes apnea tidak dapat dilakukan dengan
aman, maka tes tambahan harus dilakukan untuk menentukan kematian otak.
Cara melakukan tes apnea dijelaskan sebagai berikut:
1. Pra-oksigenasi pasien selama 5 menit dengan oksigen 100%.
2. Dokter yang terlibat dalam sertifikasi kematian otak harus hadir secara
fisik di samping tempat tidur selama tes untuk membuktikan adanya
apnea.
3. Ventilator dimanipulasi untuk membiarkan PaCO2 naik menjadi > 40
mmHg. Data dasar CO2 arterial harus dikonfirmasi dengan analisis gas
darah atau end tidal CO2.
4. Pantau pasien selama tes dilakukan (elektrokardiografi, tekanan darah

4
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

dan SpO2) dan tes dihentikan jika ada hipotensi, desaturasi atau aritmia
jantung yang signifikan.
5. Lepaskan pasien dari ventilator mekanis dan masukkan kateter oksigen
berukuran tepat ke dalam tabung endotrakea. Berikan aliran oksigen 2-6
L/menit untuk menghasilkan oksigen 100%.
6. Setelah masa apnea antara 5-10 menit (tergantung PaCO2 pada awal),
lakukan pemeriksaan analisis gas darah arterial. PaCO2 harus ≥ 60 mmHg
dan ≥ 20 mmHg lebih tinggi dari data awal. Jika PaCO2 tidak memenuhi
parameter ini, tes dapat dilanjutkan dan diulang setelah 5 menit, asalkan
pasien stabil.
7. Amati pasien terus menerus untuk mengetahui adanya upaya pernafasan.
Jika ada upaya pernafasan maka tes dihentikan, tetapi bila tetap apnea
lakukan pencatatan durasi apnea dan PaCO2 di akhir tes.
8. Sambungkan kembali pasien ke ventilator mekanis.
Respons: pada pasien yang mati batang otak, tidak ada upaya pernafasan
yang terlihat selama periode apnea.

Tes tambahan
Tes tambahan tidak secara rutin diperlukan untuk menentukan mati batang
otak dan bukan merupakan pengganti pemeriksaan klinis. Tes tambahan ini
dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti tes apnea tidak bisa dilakukan
dengan aman, tidak didapatkan kepastian mengenai hasil pemeriksaan
neurologis, pemakaian obat yang mengaburkan hasil pemeriksaan dan
mengurangi periode observasi di antara dua pemeriksaan.1,11 Beberapa tes
tambahan yang dapat dilakukan untuk menentukan mati batang otak adalah
elektro-ensefalografi (EEG) dan penilaian aliran darah otak. Pemeriksaan EEG
harus dilakukan oleh teknisi yang memiliki pengalaman dalam melakukan
EEG untuk tujuan menentukan kematian otak. Gambaran EEG harus
menunjukkan berkurangnya reaktivitas terhadap stimulasi somatosensori
dan audiovisual yang intens. Tes penilaian aliran darah otak dilakukan untuk
menunjukkan tidak adanya aliran di pembuluh darah intraserebral, karena
oklusi vaskular oleh edema serebral. Berbagai teknik yang dapat digunakan
untuk menilai aliran darah intrakranial meliputi angiografi serebral, pencitraan
radionuklir, angiografi computed tomography, angiografi resonansi magnetik
dan ultrasonografi trans cranial doppler. Teknik angiografi serebral dianggap
sebagai baku emas dengan injeksi medium kontras langsung ke arteri karotid
dan arteri vertebralis. Pemeriksaan EEG adalah pemeriksaan yang paling
mudah didapat.17-19

5
Mati batang otak pada anak: Bagaimana selanjutnya?

Periode tes mati batang otak


Periode tes yang dilakukan untuk menentukan mati batang otak harus
memenuhi kriteria tertentu yaitu t.es klinis dilakukan dua kali, setiap kali
oleh dokter yang berbeda. Tes apnea dilakukan dua kali dan dapat dilakukan
oleh dokter yang sama. Mati batang otak dinyatakan pada saat pemeriksaan
neurologis dan apnea kedua mengkonfirmasi hasil tes pertama tidak ada
perubahan. Jika tes tambahan yang dilakukan setelah tes klinis dan apnea
pertama sesuai dengan mati batang otak, pengujian klinis dan apnea kedua
dapat dilakukan kapan saja.17-19 Pertimbangan khusus untuk menetapkan mati
batang otak pada bayi dan anak dapat dilihat pada tabel 2 berikut.18

Tabel 2. Periode observasi sesuai usia


Usia Waktu observasi Rekomendasi EEG
7 hari – 2 bulan 48 jam 2 kali
2 bulan – 1 tahun 24 jam 2 kali
> 1 tahun 12 jam Tidak perlu

Simpulan
Diagnosis mati batang otak adalah proses yang kompleks. Pengetahuan
tentang neurofisiologi dan pemahaman tentang etiologinya harus digunakan
untuk memastikan adanya kematian otak yang ireversibel. Kata kunci dalam
mati batang otak adalah tidak responsif, dan tidak adanya refleks batang otak
dalam kondisi cedera neurologis berat. Rekomendasi sesuai konsensus yang
ada digabungkan dengan serangkaian tes konfirmasi, dan tes tambahan lainnya
dipakai sebagai pedoman untuk menentukan mati batang otak pada anak.

Daftar pustaka
1. Nakagawa TA, Mathur M. The determination of brain death. Dalam: Nichols
DG, Shaffner DH, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi
ke-5. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016. h. 1066-76.
2. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML. Guidelines for the
determination of brain death in infants and children: an update of the 1987 task
force recommendations. Pediatrics. 2011;128:e720-40.
3. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML. Guidelines for the
determination of brain death in infants and children: an update of the 1987 task
force recommendations. Crit Care. 2011;39:2139-55.
4. Nakagawa TA, Ashwal S, Mathur M, Mysore ML, Bruce D, Conway E, dkk.
Guidelines for the determination of brain death in infants and children: an
update of the 1987 task force recommendations. Ann Neurol. 2012;71:571-83.

6
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

5. Rady MY, Verheijde JL. American Academy of Neurology Guidelines and the
neurologic determination of death. JAMA Neurol. 2016;73:760-1.
6. Bilan N, Ghalehgolab-Behbahan A, Shiva S. Apnea testing: a simple prognostic
test for diagnosis of brain-death. Anal Res Clin Med. 2014;2:53-6.
7. Gündüz RC, Şahin Ş, Uysal-Yazıcı M, Ayar G, Yakut Hİ, Akman AÖ, dkk. Brain
death and organ donation of children. Turk J Pediatr. 2014;56:597-603.
8. Filho EMR, Junges JR. Brain death: a finished discussion?. Rev Bioét.
2015;23:483-92.
9. Scott JB, Gentile MA, Bennett SN, Couture MA, MacIntyre NR. Apnea testing
during brain death assessment:
a review of clinical practice and published
literature. Respir Care 2013;58:532–8.
10. Nair-Collins M, Northrup J, Olcese J. Hypothalamic–Pituitary function in brain
death: a review. J Intensive Care Med. 2016;31:41-50.
11. Ramachandran B, Chugh K, Singhi S, Khilnani P, Viswanathan V, Mathew J, dkk.
Pediatric brain death guidelines. J Pediatr Crit Care. 2014;1:302-5.
12. Miller AC, Ziad-Miller A, Elamin EM. Brain death and Islam
the interface of
religion, culture, history, law, and modern medicine. Chest. 2014;21:2203-11.
13. Araki T, Yokota H, Fuse A. Brain death in pediatric patients in Japan: diagnosis
and unresolved issues. Neurol Med Chir. 2016;56:1–8.
14. Jan MM. The decision of “do not resuscitate” in pediatric practice. Saudi Med
J. 2011;32:122-32.
15. Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM. Evidence-based guideline
update: determining brain death in adults. Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2010;74:1911-
8.
16. Wijdicks EF. Pitfalls and slip-ups in brain death determination. Neurol Res.
2013;35:169-73.
17. Lee SY, Kim YJ, Kim JM, Kim J, Park S. Electroencephalography for the diagnosis
of brain death. Ann Clin Neurophysiol. 2017;18:118-24.
18. Mathur M, Ashwal S. Pediatric brain death determination. Semin Neurol.
2015;35:116-24.
19. Moskopp Dag. Brain death: past, present and future. J Intensive Crit Care.
2017;3:32-6.

7
Aspek etika pengambilan keputusan pada
anak dengan mati batang otak
Ade Firmansyah Sugiharto

Tujuan:
1. Memahami definisi mati batang otak
2. Mengetahui cara penentuan mati batang otak
3. Mengetahui cara pengambilan keputusan penghentian terapi
bantuan hidup

Peraturan perundang-undangan telah menyebutkan bahwa setiap orang yang


berusia di bawah 18 tahun dikategorikan sebagai anak.1 Hal ini menunjukkan
rentang luas mulai dari seseorang yang baru lahir hingga mencapai usia 18 tahun
disebut sebagai anak. Ilmu kedokteran dan psikologi telah mengelompokkan
anak menjadi beberapa kategori istilah yang diantaranya adalah periode
neonatus, perinatal, balita, remaja, dan lain sebagainya. Kesemua tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut dilindungi dan dijamin oleh
negara agar setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental, maupun spiritual.1
Pada suatu tahapan dalam kehidupan seorang anak dapat mengalami
gangguan kesehatan yang kritis hingga mengakibatkan keadaan mati batang
otak. Sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, seseorang dinyatakan mati apabila fungsi jantung dan pernapasan
berhenti atau bila mati batang otak telah dapat dibuktikan.2 Menurut definisi
tersebut, apabila seorang individu mengalami mati batang otak, maka individu
tersebut akan dinyatakan mati.
Pendefinisian tentang mati ternyata tidak memudahkan dokter mengambil
keputusan apabila pasien yang mengalami mati batang otak berada pada
pelayanan intensif yang membutuhkan alat bantu hidup, seperti ventilator,
obat-obatan inotropik jantung, cairan infus dan lainnya. Dokter memiliki
dilema ketika telah menyatakan pasien mati namun di sisi lain keluarga
mengharapkan fungsi jantung dan paru tetap dipertahankan menggunakan
alat bantu hidup tersebut.

8
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Telaah bioetika hidup dan mati


Menelaah masalah hidup dan mati dapat memberikan implikasi yang sangat
besar. Ketika seseorang dinyatakan mati, maka sebagian hak-hak yang
dimilikinya akan hilang namun juga menimbulkan hak-hak yang lain. Hak
asasi merupakan nilai intrinsik manusia yang dimiliki sejak lahir tidak akan
hilang sekalipun individu tersebut telah mati.3 Salah satu hak asasi yang dimiliki
adalah hak sipil.3 Aplikasi hak sipil tersebut adalah pernyataan bahwa individu
tersebut telah mati dengan suatu penyebab kematian tertentu yang dituliskan
dalam surat keterangan kematian.
Bilamana seseorang dinyatakan hidup atau mati merupakan sebuah
pertanyaan yang perlu mendapatkan telaah secara etik. Kehidupan ditandai
dengan adanya interaksi antara kehidupan tersebut dengan alam.4 Interaksi
merupakan hubungan timbal balik atau aksi dan reaksi antara kehidupan
dengan alam. Ciri-ciri interaksi antara seorang individu dengan alam dapat
dilihat dari adanya metabolisme dan mekanisme adaptasi.4 Ketika seorang
individu merasa lapar, individu tersebut akan berinteraksi dengan alam dan
mengambil suatu makanan untuk dimakannya. Ketika alam menjadi keras
dan tidak bersahabat, maka individu akan bertahan dan beradaptasi hingga
dapat tetap hidup. Hubungan timbal balik inilah yang menjadi ciri khas suatu
kehidupan.
Ilmu kedokteran berusaha mengkuantifikasi prognosis tentang hidup
(probability of survival) dan mati (probability of mortality) melalui beberapa
metode skoring prognosis.5 Semua metode skoring tentunya bukanlah suatu
alat penentu apakah suatu kematian pasti terjadi maupun apakah seorang
pasien pasti akan sembuh dan hidup kembali. Pemahaman mengenai metode-
metode tersebut setidaknya dapat memberikan suatu cara bagi dokter untuk
menyampaikan bagaimana tingkat keparahan suatu penyakit dan akibatnya
terhadap kehidupan pasien tersebut. Tidak ada seorang dokter pun yang
dapat menjamin pengobatan pasiennya akan berhasil sehingga pasien akan
mengalami kesembuhan dan menjadi hidup. Di lain pihak juga tidak ada
seorang dokter pun yang dapat menjamin bahwa ketika kondisi pasien sudah
sedemikian parahnya, tingkat kemungkinan timbulnya kematian (probability
of mortality) tinggi, hingga pasti akan meninggal.

Mati batang otak


Penentuan mati batang otak harus dilakukan oleh dokter di ruang rawat
intensif (ICU). Hal ini telah dinyatakan dengan jelas oleh Peraturan Menteri
Kesehatan (PMK) nomor 37 tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan
Pemanfaatan Organ Donor.6 Dokter yang mendiagnosis mati batang otak
haruslah tiga orang dokter, yang dua diantaranya adalah dokter spesialis

9
Aspek etika pengambilan keputusan pada anak dengan mati batang otak

anestesi dan dokter spesialis saraf.6 Ketiga dokter yang memeriksa kondisi
mati batang otak harus melakukan pemeriksaan secara terpisah dalam rentang
waktu 24 jam.6 Ketiga dokter yang menentukan mati batang otak bukanlah
dokter yang terlibat dalam transplantasi organ.6
Pada PMK tersebut telah dijelaskan pula bahwasanya mati batang otak
merupakan bentuk kematian sehingga aspek hukum bagi seseorang yang telah
mengalami mati batang otak menjadi jelas.6 Apabila seorang individu yang
telah mengalami mati batang otak adalah donor transplantasi organ, maka
terapi bantuan hidup masih dapat diteruskan hingga organ yang dibutuhkan
diambil.6 Apabila individu tersebut bukanlah donor organ, maka segera setelah
ditetapkan terjadinya mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup
harus segera dihentikan.6
Perkembangan teknologi kedokteran dewasa ini mampu menopang kerja
jantung dan paru melalui alat bantu hidup. Pemberian obat-obatan inotropik
mampu menyebabkan otot-otot jantung tetap bekerja hingga jantung tetap
dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Ventilator mampu memompakan
oksigen ke dalam paru hingga fungsi pernapasan dan oksigenasi jaringan tetap
terjaga. Apabila kedua alat bantu tersebut dihentikan, maka pada saat itu
juga jantung dan paru akan berhenti bekerja. Batang otak memegang peranan
penting pada koordinasi kerja autonom jantung dan paru. Pada kondisi telah
terjadi mati batang otak, maka fungsi koordinasi autonom tidak lagi dapat
berkerja dan jantung dan paru tidak lagi dapat bekerja, sehingga seseorang
tersebut dinyatakan mati.

Kesia-siaan medis (medical futility)


Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien memiliki tujuan,
baik itu promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif.2 Pada saat kondisi
pasien mengalami perburukan dan berada pada kondisi terminal, maka tidak
mungkin lagi memenuhi tujuan kuratif. Beberapa dokter menggunakan metode
penapisan pasien paliatif untuk menstandarisasi pengambilan keputusan pada
kondisi klinis pasien yang sudah terminal. Terapi paliatif dapat memberikan
kesempatan bagi pasien untuk mati secara bermartabat. Pasien yang telah
berada pada kondisi terminal membutuhkan dukungan moral dan spiritual
dari keluarga untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian.
Setiap tindakan kedokteran harus sesuai dengan tujuan tindakan
kedokteran itu sendiri. Tujuan yang paling utama dari tindakan kedokteran
adalah untuk mempertahankan kehidupan. Hal ini tampak pada Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan sumpah dokter bahwasanya setiap dokter wajib
menghormati hak hidup setiap orang.7

10
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Pada kondisi telah terjadi kematian batang otak, terapi bantuan hidup
menjadi sia-sia. Dokter tidak memiliki kewajiban untuk memberikan terapi
yang sia-sia dan bertujuan bukan untuk mempertahankan kehidupan, namun
memperpanjang kematian. Kesia-siaan dari tindakan kedokteran didefinisikan
sebagai apabila tindakan kedokteran tidak mampu memenuhi tujuan dari
tindakan tersebut. Pada keadaan telah terjadi kematian, maka terapi bantuan
hidup tidak seharusnya diberikan.

Pengambilan keputusan penghentian bantuan hidup


Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran menunjukkan bahwa setiap tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.8 Apabila tindakan
tersebut bersifat invasif dan berpotensi mengakibatkan cacat atau kematian
(risiko tinggi), harus dilakukan secara tertulis.8 Pada kondisi yang lain, PMK
tersebut juga menjelaskan bahwa tindakan penghentian (withdrawing) atau
penundaan (withholding) bantuan hidup membutuhkan persetujuan tertulis
dari keluarga.8 Hal inilah yang menyebabkan dokter merasa bahwa kebebasan
profesionalnya untuk menghentikan alat bantu hidup pada kondisi pasien yang
mengalami mati batang otak menjadi sedikit terhambat. Sekalipun dokter telah
memutuskan bahwasanya telah terjadi mati batang otak, namun keputusan
akhir tetap berada pada tangan keluarga pasien, apakah mereka menyetujui
tindakan tersebut atau tidak. Hal ini juga ditegaskan kembali pada PMK nomor
37 tahun 2014 pada pasal 14 ayat 4 yang dinyatakan bahwa rencana tindakan
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus diinformasikan
dan memperoleh persetujuan secara tertulis dari keluarga pasien atau yang
mewakili pasien.6
Dilema etik timbul apabila keluarga pasien atau yang mewakili keluarga
pasien tidak memberikan persetujuan terhadap rencana penghentian alat
bantu hidup, sekalipun tim dokter yang menangani pasien telah menetapkan
adanya mati batang otak. Sesuai dengan PMK nomor 37 tahun 2014, kondisi
mati batang otak adalah merupakan suatu bentuk kematian.6 Memberikan
terapi bantuan hidup pada seseorang yang telah meninggal merupakan suatu
tindakan yang sia-sia sehingga dokter tidak memiliki kewajiban untuk tetap
memberikan terapi bantuan hidup tersebut. Pada PMK nomor 69 tahun 2014,
dinyatakan bahwa rumah sakit memiliki kewajiban untuk menolak keinginan
pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan
perundang-undangan.9
Kedua peraturan perundang-undangan tersebut seakan-akan
bertentangan. Pada PMK nomor 290 tahun 2008 dan PMK nomor 37 tahun
2014 dinyatakan bahwa penghentian bantuan hidup merupakan keputusan

11
Aspek etika pengambilan keputusan pada anak dengan mati batang otak

tim dokter di rumah sakit serta membutuhkan pemberian penjelasan serta


persetujuan dari keluarga pasien atau yang mewakilinya.6,8 Apabila keluarga
atau yang mewakili pasien tidak setuju dengan penghentian terapi bantuan
hidup, maka sesuai amanat PMK nomor 69 tahun 2014, rumah sakit wajib
untuk menolak keinginan pasien tersebut karena bertentangan dengan etika
dan standar disiplin kedokteran.9
Tindakan penghentian bantuan hidup pada pasien yang telah mengalami
mati batang otak merupakan tindakan invasif yang harus diperlakukan secara
hati-hati. Diagnosis mati batang otak sebagai penentu hak hukum seorang
individu juga harus diperoleh secara hati-hati. Pasien dan keluarga pasien
memberikan keleluasaan kepada dokter untuk melakukan praktek kedokteran
secara profesional dan bermartabat, termasuk adalah mendiagnosis mati batang
otak. Apabila diagnosis ini ditegakkan atau ditentukan oleh dokter yang tidak
berkompeten, maka dapat terjadi euthanasia yang merupakan pelanggaran
etik dan hukum karena pada prinsipnya telah membunuh seorang individu.
Pemberian informasi yang jelas serta persetujuan tertulis dari keluarga atau
yang mewakili pasien serta metode penegakan diagnosis mati batang otak
yang ketat akan mencegah timbulnya kesalahan maupun kelalaian yang dapat
berakibat pada matinya seseorang.6,8,10,11

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, tanggung jawab dokter terkait mati batang otak
adalah sebagai berikut:
yy Diagnosis mati batang otak harus dilakukan di ruang rawat intensif (ICU)
rumah sakit oleh tim dokter yang terdiri dari tiga orang dokter, yang dua
diantaranya adalah dokter spesialis anestesi dan dokter spesialis saraf.
yy Mati batang otak adalah suatu bentuk kematian sehingga dapat dilakukan
penghentian terapi bantuan hidup. Memberikan terapi bantuan hidup
pada seseorang yang telah mati merupakan suatu bentuk kesia-siaan
medis (medical futility).
yy Sebelum melakukan penghentian terapi bantuan hidup, dokter wajib
memberikan penjelasan kepada keluarga atau yang mewakili pasien serta
mendapatkan persetujuan tertulis.
yy Pada keadaan dimana keluarga atau yang mewakili pasien menolak
penghentian terapi bantuan hidup serta meminta dokter untuk tetap
memberikan terapi bantuan hidup pada pasien yang telah mengalami
mati batang otak, maka dokter dan rumah sakit memiliki kewajiban untuk
menolak keinginan yang bertentangan dengan standar profesi dan etika
serta peraturan perundang-undangan.

12
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Daftar pustaka
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
4. Bedau MA. The Nature of Life. In: Luper S, editor. The Cambridge Companion
to Life and Death. United States of America. Cambridge University Press; 2014.
5. Bouch DC. Thompson JP. Severity Scoring Systems in The Critically Ill.
Continuing Education in Anaesthesia, Crit Care & Pain. 2008; 8(5): 181−5.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor.
7. Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/
III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 tahun 2014 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
10. Ethics Team, Clinical Policy Unit, Centre for Healthcare Improvement,
Queensland Government. Implementation Guidelines. End-of-Life Care:
Decision-Making for Withholding and Withdrawing Life-Sustaining Measures
from Adult Patients. Part 2. Ethical and Special Considerations [internet]. [cited
2015 September 14]. Available from: https://www.health.qld.gov.au/ qhpolicy/
docs/gdl/qh-gdl-005-1-2.pdf.
11. Jensen HI, Ammentorp J, Ording H. Guidelines for Withholding and Withdrawing
Therapy in the ICU: Impact on Decision-Making Process and Interdisciplinary
Collaboration. Heart, Lung Vessel. 2013; 5(3): 158−67.

13
Transplatasi hati anak: dari prolonged
jaundice sampai transplantasi hati
Hanifah Oswari, Andi A. Wijaya, Antonius Pudjiadi,
Toar J.M. Lalisang, Sastiono

Tujuan:
1. Mengetahui perkembangan transplantasi hati di RSCM-FKUI
2. Mengetahui cara merujuk pasien transplantasi hati ke RSCM-FKUI
3. Mengetahui kualitas transplantasi hati di RSCM-FKUI

Bayi dengan prolonged jaundice umumnya mengalami kolestasis. Pada bayi ini
terjadi gangguan aliran empedu dan/atau ekskresinya. Kolestasis pada bayi
terjadi pada 1:2500 bayi.1 Walaupun penyebab kolestasis neonatal bermacam-
macam, tetapi yang perlu cepat didiagnosis adalah atresia bilier. Atresia bilier
(AB) adalah suatu penyakit yang disebabkan kerusakan progresif saluran
empedu ekstrahepatik dan akhirnya juga intrahepatik yang dalam waktu 3
bulan telah dapat menyebabkan sirosis hati yang kemudian akan menimbulkan
gagal hati, dan kematian bila tidak diterapi secara adekuat. Insidens atresia
bilier lebih tinggi di Asia (1:6.750)2 dibandingkan di Eropa (1:17.000-19.000),3,4
sehingga kemungkinan dokter anak untuk menemukan kolestasis akibat
atresia bilier cukup tinggi. Keberhasilan penanganan AB tergantung kecepatan
dilakukannya operasi Kasai. Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana kolestasis
terutama atresia bilier dapat berakibat terjadinya sirosis hati, hipertensi portal,
dan gagal hati yang hanya dapat ditolong dengan transplantasi hati.
Di Jakarta, sebelum tahun 2010, atresia bilier yang melanjut mengalami
sirosis hati dan hipertensi portal akhirnya akan meninggal pada usia sekitar
1,5-2 tahun. Dengan berkembangnya kemampuan untuk dilakukannya
transplantasi hati di Indonesia, pasien anak dengan penyakit hati tahap akhir
(end-state liver disease) masih mempunyai harapan untuk terus hidup dengan
transplantasi hati.
Di dunia, transplantasi hati ortotopik pertama kali dilakukan oleh Dr.
Thomas E. Starzl pada anak dengan atresia bilier pada tahun 1963.5 Pada
mulanya anak yang ditransplantasi hanya bertahan hidup kurang dari 1 tahun.
Saat ini, angka harapan hidup setelah ditransplantasi hati sudah jauh lebih

14
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

baik. Angka harapan hidup untuk pasien dan graft (hati yang ditransplantasi)
meningkat pesat. Transplantasi hati dari donor hidup pertama kali berhasil
dilakukan pada anak dilakukan oleh Dr. Russel Strong di Brisbane, Australia.6
Transplantasi hati anak di RSCM-FKUI, Jakarta dilakukan pertama kali
pada tanggal 15-12-2010, saat itu Tim RSCM-FKUI bekerjasama dengan tim
transplantasi hati dari The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina.
Walaupun transplantasi hati pada anak di RSCM-FKUI, Jakarta bukan yang
pertama kali dilakukan di Indonesia, tetapi saat ini hanya RSCM-FKUI yang
masih secara teratur melakukan operasi transplantasi hati anak. Transplantasi
hati anak di RSCM-FKUI pada mulanya dimotori oleh Dr. Sastiono, Sp.BA(K)
(Bedah Anak), DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) dan Dr, Antonius Pujiadi,
Sp.A(K) (Ilmu Kesehatan Anak), dan Dr Andi Ade, Sp.An(K) (Anestesi).
Saat ini, pasien transplantasi hati tidak hanya terbatas untuk pasien dengan
kolestasis, tetapi juga mencakup pasien tanpa kolestasis tanpa ikterus yang
memerlukan hati baru untuk mempertahankan kehidupannya. Selanjutnya
akan dibahas perkembangan transplantasi hati anak di RSCM-FKUI, cara
merujuk pasien, dan biaya transplantasi hati anak.

Kemajuan Transplantasi hati anak


Operasi transplantasi hati pada anak di RSCM-FKUI, dimulai pada Desember
tahun 2010. Pada awalnya operasi transplantasi hati dilakukan bekerjasama
dengan tim dari The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina.
Sayangnya setelah tahun 2010 operasi transplantasi hati mengalami gangguan
dan sempat terhenti tahun 2011. Transplantasi hati mulai kembali dilakukan
pada 2012, tetapi kali ini bekerja sama dengan Tim transplantasi hati yang
diketuai oleh Prof Prabakarant dari National University Hospital (NUH),
Singapore. Kerjasama ini berlangsung dari tahun 2012 sampai tahun 2014.
Percepatan transplantasi hati terjadi sejak April tahun 2015, saat itu Tim
transplantasi hati RSCM-FKUI bekerjasama dengan tim Transplantasi hati
dari National Center for Child Health and Development (NCCHD) Jepang
yang dimotori oleh Prof Mureo Kasahara. Pada tahun 2016 telah dilakukan 12
operasi transplantasi hati anak dan tahun ini sampai dengan bulan September
2017 telah berlangsung 11 operasi transplantasi anak (lihat Tabel 1). Sebagai
perbandingan, di NUH, tahun 2015 terdapat 12 pasien anak dan 2016 terdapat
6 pasien anak di transplantasi hati. Di Filipina, transplantasi hati berlangsung
pada rata-rata 8-9 pasien pertahun, 3-4 pasien diantaranya adalah anak.

Jenis transplantasi hati anak


Dilihat dari donor, transplantasi hati dapat berasal dari donor jenazah

15
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati

Tabel 1. Jumlah Operasi Transplantasi hati di RSCM-FKUI


Tahun RSCM-FKUI*
Dewasa Anak Total
2010 1 1 2
2011 1 0 1
2012 0 1 1
2013 0 1 1
2014 0 1 1
2015 3 5 8
2016 0 12 12
2017* 0 11 11
Total 5 32 37
Data sampai September 2017

(orthotopic liver transplantation/OLT atau disebut juga deceased donor liver


transplantation/DDLT) atau bila donor berasal dari donor hidup disebut living
donor liver transplantation (LDLT). Untuk LDLT bila donor berasal dari keluarga
disebut juga living related liver transplantation (LRLT). Pada LDLT penting untuk
dinilai ukuran graft yang adekuat untuk resipien dengan hati yang ditinggalkan
juga cukup untuk donor. Setelah LDLT, graft dan hati donor akan melakukan
regenerasi ke ukuran normalnya dalam waktu 4 minggu.7
Kelebihan transplantasi hati menggunakan LDLT adalah skrining donor
dapat secara mendalam, saat operasi dapat diatur optimal, dan minimal cold
ischemia time.8Cold ischemia time adalah interval dari mulai preservasi dingin
organ sampai pengangkatan graft hati dari penyimpanan 4oC. Cold ischemia
time berhubungan dengan prognosis pasien transplantasi hati. Selain itu LDLT
berhubungan dengan lebih rendahnya kematian resipien saat menunggu
transplantasi dibandingkan dengan DDLT.9 Umumnya operasi LDLT pada
anak menggunakan segmen lateral kiri atau lobus kiri hati.10 Transplantasi hati
LDLT yang dilakukan tim bedah yang berpengalaman dapat berhasil baik.11,12
Operasi transplantasi hati pada anak di RSCM-FKUI seluruhnya adalah LDLT
yang juga LRLT, lobus kiri hati pada segmen 2 dan 3 diambil dari donor.

Transplantasi hati dan prosedur transplantasi


Transplantasi hati di RSCM-FKUI dilakukan oleh Pokja Transplantasi Hati.
Anggota transplantasi hati RSCM-FKUI terdiri dari: dokter spesialis dan sub
spesialis, perawat, dietisien, fisioterapis, farmasis, tim PPIRS (Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit), tenaga penunjang non-medis, dan
pekerja sosial (social worker).
Pokja Transplantasi hati RSCM-FKUI berada dibawah koordinasi
Tim Transplantasi Organ dan Jaringan. Tim ini selain membawahi Pokja

16
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Transplantasi Hati, juga membawahi Pokja Transplantasi Ginjal, Pokja


Transplantasi Kornea, dan Pokja Transplantasi Sumsum Tulang. Seluruh
kegiatan Tim transplantasi hati diatur oleh 2 orang Koordinator Transplantasi
Hati dan satu orang Koordinator Transplantasi Organdan Jaringan. Koordinator
transplantasi hati ini mengatur seluruh kegiatan pokja transplantasi hati,
termasuk mengurus resipien dan donor transplantasi hati.
Setiap pasien yang didaftarkan sebagai kandidat transplantasi hati,
baik pasien dari RSCM ataupun rujukan dari luar harus melalui koordinator
transplantasi RSCM-FKUI terlebih dahulu, selanjutnya tim akan menilai
apakah pasien merupakan kandidat transplantasi atau bukan. Sebelum operasi
transplantasi dilakukan pasien harus mendapat persetujuan dari Komite Etik
dan Hukum untuk dapat dilanjutkan operasinya (lihat Gambar 1 untuk
alur resipien dan Gambar 2 untuk donor). Khusus untuk calon donor akan
dikirim ke tim advokasi donor RSCM dan dinilai kelayakan sebagai donor.
Tim advokasi adalah tim independen diluar tim transplantasi hati RSCM-
FKUI. Bila telah lolos dari tim advokasi, donor akan menjalani skrining untuk
donor selanjutnya. Setelah lolos dari tim transplantasi hati, sebelum dilakukan
operasi, donor dan resipien harus dinilai oleh Komite Etik dan Hukum untuk
menentukan apakah transplantasi hati dapat dilakukan.

Indikasi transplantasi hati


Transplantasi hati merupakan terapi untuk gagal hati akut dan kronik.
Pada gagal hati kronis dapat dilakukan transplantasi hati untuk penyakit
hati kolestasis (atresia bilier, hepatitis neonatal idiopatik, sindrom Alagille,
Progressive familial intrahepatic cholestasis (PFIC), Nonsyndromic biliary
hypoplasia), Penyakit metabolik hati (Wilson’s disease, Glycogen storage tipe IV,
Tirosinemia), dan Hepatitis kronis (autoimmune, hepatitis B dan C, Primary
immunodeficiency) dan Budd Chiary. Sedang indikasi pada gagal hati akut
dapat dilakukan pada fulminant hepatitis (autoimmune hepatitis, acetaminophen
poisoning, hepatitis virus A,B,C atau Non A-G), penyakit metabolic (fatty
acid oxidation defect, Neonatal haemachromatosis, tyrosinemia tipe I, Wilson’s
disease), Inborn error of metabolism (Sindrom Criggler Najjar tipe I, Familial
hypercholesterolemia, Organic aciduria, Urea cycle defect), Tumor hati (tumor
jinak, tumor ganas hati yang tidak dapat direseksi).13
Saat ini di RSCM-FKUI hanya melakukan transplantasi untuk gagal
hati kronik, belum melakukan transplantasi untuk gagal hati akut, mengingat
persiapan untuk gagal hati akut memerlukan kecepatan yang lebih tinggi.
Diagnosis gagal hati kronik anak yang ditransplantasi di RSCM-FKUI dapat
dilihat pada Tabel 2.

17
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati

CARE PROCESS Pemeriksaan 
Konsultasi ke  Pasien pulang dan 
Kandidat  lanjutan (screening)
dokter  Follow up pasca pulang
hepatologi  potensial
tim 
transplantasi 
hati Tim Transplantasi Hati 
Monitoring pasca 
akan memutuskan dan 
trasplantasi hati di ruang 
membuat prioritas, 
rawat intensif dan ruang 
Rujukan penjelasan lengkap pre 
rawat inap
Internal : sampai post operasi
Pengumpulan 
Poliklinik  dokumen 
hepatologi anak 
dan dewasa Bukan kandidat
Poliklinik  Transplantasi Hati
Kencana Komite Etik dan Hukum RSCM
Ekternal:
Rujukan RS Lain
Diberikan  Dikembaliikan  Persiapan perioperative
penjelasan  Tidak setuju Setuju
kepada perujuk
mengenai 
transplantasi 
hati Pasien diedukasi dan 
Jadwal operasi memberikan persetujuan

Menemui  Masuk ruang rawat dan 
koordinator tim  discharge planning
transplantasi hati

Gambar 1. Alur Resipien Transplantasi hati di RSCM-FKUI

Kapan kelainan hati tahap akhir perlu dirujuk untuk


transplantasi hati?
Pasien dengan kelainan hati tahap akhir (end stage liver disease) dapat dirujuk
ke RSCM. Untuk atresia bilier, indikasi transplantasi hati adalah gagal operasi
portoenterostomi Kasai, malnutrisi yang signifikan, kolangitis yang berulang-
ulang, manifestasi hipertensi portal yang progresif. Selain itu komplikasi
ekstrahepatik seperti adanya sindrom hepatopulmonal, dan hipertensi
portopulmonal juga terindikasi untuk dilakukan transplantasi hati.14 Pasien
perlu dirujuk sebelum keadaannya benar-benar buruk.

Persiapan pasien yang akan dirujuk untuk tranplantasi


hati
Pasien yang direncanakan transplatasi hati perlu memiliki calon donor. Calon
donor untuk transplantasi hati di RSCM-FKUI harus mempunyai hubungan
keluarga dengan resipien. Umumnya, donor untuk transplantasi hati anak
adalah salah satu orangtua. Golongan darah calon donor diusahakan sama
dengan golongan darah resipien. Bila resipien belum berusia 18 bulan, donor
transplantasi hati dari salah satu orangtua tidak harus sama dengan resipien
dan dapat dilakukan tanpa penambahan obat-obat imunosupresan. Pasien

18
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

yang akan dirujuk bila masih ada waktu dapat dilengkapi imunisasi yang
masih kurang. Bayi dengan kolestasis tidak menghambat pemberian imunisasi.
Selain imunisasi, perhatikan status gizi. Usahakan memperbaiki status nutrisi
sebelum pasien dirujuk ke RSCM. Status gizi berpengaruh untuk keberhasilan
transplatasi hati.

Evaluasi Pretransplantasi dan Persiapan Transplantasi


hati
Pasien yang terindikasi untuk menjalani transplantasi hati di RSCM-FKUI,
pasien perlu dievaluasi sebelum ditentukan dapat dilakukan transplantasi hati.
Evaluasi pasien pre-transplantasi hati untuk resipien meliputi:13
yy Penilaian beratnya penyakit hati dan kemungkinan penanganan medis.
yy Penilaian kemampu-laksana teknik operasi
yy Penilaian ada tidaknya kontraindikasi
yy Persiapan psikologis keluarga dan anak.

Tahap evaluasi di atas telah dilakukan di RSCM-FKUI. Untuk penilaian


beratnya penyakit pre-transplantasi di RSCM-FKUI dibagi menjadi 4 tahapan
yaitu tahap I-IV yaitu Tahap I. Pemeriksaan awal untuk resipien dan donor,
donor kemudian dikirim ke tim advokasi RS, pada tahap II. Pemeriksaan

CARE PROCESS Masuk ruang rawat 
Pasien   dan discharge 
Stop dijadwalkan  planning
Calon  Diterima oleh 
donor  Koordinator Tim 
yang  Transplantasi  Tidak dapat  Dapat menjadi  Donor diedukasi dan 
dibawa  Hati, cek  menjadi donor donor memberikan 
oleh   golongan darah  persetujuan
pasien dan fungsi 
organ terkait Komite Etik dan Hukum RSCM

Persiapan 

Penilaian  Tim Transplantasi 
Tim  Hati memberikan  Transplantasi Hati
keputusan dan 
penjelasan lengkap 
pre sampai post 
Monitoring pasca 
Tidak  operasi
trasplantasi hati di 
direkomendasikan Direkomendasikan
ruang rawat intensif 
dan ruang rawat inap
Pemeriksaan awal
Stop Pendaftaran (Screening)
Donor pulang dan 
follow up setelah 
pulang

Gambar 2. Alur Donor Transplantasi hati di RSCM-FKUI

19
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati

Tabel 2. Diagnosis Pasien Transplantasi hati anak di RSCM


Diagnosis Jumlah pasien (%)
Atresia bilier 26 (81.3%)
Sindrom Alagille 2 (6.3%)
Caroli disease 1 (3.1%)
Neonatal hepatitis 1 (3.1%)
Auto immune hepatitis 1 (3.1%)
Budd Chiary 1 (3.1%)

psikologis, Tahap III. Pemeriksaan lanjutan resipien dan donor bila disetujui
tim advokasi, dan Tahap IV. Pesiapan operasi.
Sebelum transplantasi hati dilakukan, pasien transplantasi hati anak
perlu dipersiapkan untuk mendapat vaksinasi selengkap mungkin dalam waktu
yang tersisa sebelum transplantasi hati dilakukan. Vaksin hidup merupakan
kontraindikasi diberikan setelah transplantasi karena adanya risiko diseminasi
sekunder akibat pemakaian imunosupresan. Ada jadwal imunisasi khusus
yang dipercepat untuk anak yang akan menjalani transplantasi hati.15 Setelah
transplantasi hati pemberian vaksinasi yang optimal belum jelas, tetapi banyak
senter transplantasi memberikan setelah 3-6 bulan transplantasi ketika level
imunosupresan yang diinginkan dicapai.15
Selain imunisasi, pasien perlu mendapat tata laksana untuk komplikasi
penyakit gagal hati yang dialami seperti penanganan perdarahan varises
berulang, sepsis termasuk kolangitis asendens, peritonitis bakterial spontan,
dan penanganan asites.
Pemberian tunjangan nutrisi untuk pasien transplantasi juga penting
karena status nutrisi merupakan faktor prognostik yang penting untuk pasien
hidup setelah transplantasi hati. Divisi Nutrisi Metabolik IKA FKUI-RSCM
ikut serta dalam tim transplantasi hati RSCM-FKUI untuk memantau pasien
pre dan post-transplantasi hati. Pasien pre-transplantasi hati umumnya
mendapat asupan nutrisi menggunakan nasogastric tube (NGT) dan bila perlu
dirawat inap untuk menaikkan status nutrisi pasien sebelum transplantasi hati.
Persiapan psikologis merupakan hal yang penting dilakukan untuk
anak dan orangtua sebelum transplantasi hati dilakukan.13 Di RSCM-FKUI,
konseling psikologis melibatkan tim psikiater anak dilakukan sebelum
transplatasi hati. Tim Psikiater anak termasuk dalam tim transplantasi hati
RSCM-FKUI.

Kontraindikasi
Berat badan pasien calon transplantasi hati saat dilakukan transplantasi hati
menentukan prognosis. Sebelum tahun 2015, di RSCM-FKUI dan sampai

20
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

saat ini di banyak negara di luar negeri, anak berusia < 1 tahun dan berat
badan < 10 kg masih menjadi kontraindikasi untuk transplantasi hati. Sejak
tahun 2015, dengan bantuan Profesor Mureo Kasahara - Adjuct Professor
Universitas Indonesia, hal ini tidak menjadi masalah lagi. Bayi dengan berat
badan 6-7 kg telah dilakukan transplantasi hati di RSCM-FKUI. Di Jepang,
Prof Kasahara dikenal dapat melakukan transplantasi hati dengan teknik
mono-segmen (1 segmen dari donor saja yang diambil, bukan 2 segmen seperti
pada umumnya).16,17 Dengan teknik ini bayi dengan berat badan 2,4 kg telah
pernah dilakukan transplantasi hati dan berhasil baik.
Kontraindikasi transplantasi hati yang berlaku saat ini di RSCM adalah:
Sepsis berat, tumor ganas hati dengan metastasis di luar hati, infeksi HIV, infeksi
TB, Penyakit di luar hati yang berat yang tidak reversible dengan transplantasi
hati, gagal multiorgan.

Komplikasi transplantasi hati anak


Komplikasi segera setelah operasi (early postoperative complication) adalah
primary graft non-functioning, komplikasi bedah (misalnya perdarahan intra-
abdomen), thrombosis vaskular, dan obstruksi jalan keluar vena (venous
outflow obstruction)
Komplikasi transplantasi hati pada anak yang sering adalah infeksi,
thrombosis arteri hepatika, dan striktur bilier.18-21 Thrombosis arteri hepatika
setelah transplantasi hati di luar negeri dilaporkan 10%, dan menurun setelah
adanya reduksi hepatektomi atau pada LDRT. Adanya rekonstruksi arteri
hepatika dengan operasi mikro makin menurunkan komplikasi trombosis arteri
hepatika. Di RSCM-FKUI, penyambungan arteri hepatika dilakukan dengan
cara operasi mikro menggunakan mikroskopi. Sampai saat ini komplikasi
trombosis arteri hepatika dapat dicegah di RSCM-FKUI (lihat Tabel 3).
Pada hari ke 7-10 setelah transplantasi hati dapat terjadi rejeksi selular
akut. Insidens rejeksi selular akut pada bayi sekitar 20%, meningkat menjadi
50-60% pada anak besar dan dewasa. Gejalanya adalah demam, iritabilitas, rasa
tidak nyaman di perut, dan kadang-kadang asites. Terjadi peningkatan kadar
bilirubin, fosfatase alkali, dan gamma glutamyll transpeptidase, ALT dan AST.
Penting dilakukan biopsi hati untuk memastikan terjadinya rejeksi selular akut.
Komplikasi post-transplantasi hati anak di RSCM-FKUI dapat dilihat
pada Tabel 3. Tidak terdapat kematian donor transplantasi hati anak di
RSCM-FKUI. Komplikasi donor pada operasi transplantasi hati anak di RSCM
sampai saat ini tidak ditemukan.

21
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati

Tabel 3. Komplikasi Post-transplantasi Hati Anak di RSCM-FKUI


Komplikasi post-transplantasi hati anak Jumlah pasien(N= 32 orang)
Komplikasi segera setelah operasi
Primary graft non-functioning 0
Komplikasi bedah 7
Obstruksi jalan keluar vena 1

Komplikasi awal
Rejeksi selular akut 7
Komplikasi bilier 1
Infeksi 16
Komplikasi lain 12

Komplikasi lambat
Infeksi bakteri 10
Infeksi CMV 9
Infeksi EBV 4
Efek samping imunosupresan 11
Striktur bilier lambat 0
Trombosis arteri hepatica 0
Trombosis vena porta 0
Rejeksi kronis 4
Post-transplant lymphoproliferative Disease (PTLD) 0

Asal pasien transplantasi hati (rujukan)


Pasien transplantasi hati anak di RSCM-FKUI berasal dari pelbagai kota di
Indonesia. Rujukan pasien dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Asal Pasien Transplantasi Hati Anak RSCM-FKUI


Asal rujukan Jumlah
Jakarta 10
Banten 1
Jawa Barat 7
Jawa Tengah 3
Jawa Timur 1
Lampung 2
Aceh 2
Sumatera Utara 2
Kalimantan Tengah 1
Kalimantan Timur 1
Gorontalo 1
Sulawesi Tengah 1
Total 32

22
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Biaya transplantasi hati


Banyak pertanyaan mengenai biaya transplantasi hati. Biaya tranplantasi hati
anak di RSCM-FKUI dapat dilihat pada Tabel 5. Dibandingkan dengan biaya
di luar negeri, biaya di RSCM-FKUI tergolong cukup murah. Walau cukup
murah, biaya ini masih sangat memberatkan keluarga muda yang anaknya
memerlukan operasi transplantasi hati. Sebagian dana umumnya ditanggung
oleh BPJS. Sisa biaya umumnya ditanggung perusahaan, asuransi lain, atau
RSCM.

Tabel 5. Biaya Transplantasi hati Anak di RSCM


Total BPJS
Screening tahap I-IV
Resipien + Rp. 25 juta/orang Ditanggung penuh
Donor + Rp. 25 juta/orang Tidak dibiayai
Sebelum-Saat-Sesudah Transplantasi
Resipien tanpa hepatitis Rp. 600 juta Maksimal
Resipien dengan hepatitis Rp. 900 juta Rp. 269 juta
Donor Rp. 150 juta
Kontrol Setelah Transplantasi Hati
Resipien Rp. 5-10 juta/bulan Ditanggung penuh
Donor Rp. 1 juta/bulan Ditanggung penuh

Angka harapan hidup


Di RSCM-FKUI, angka harapan hidup 1 tahun pasien transplatasi hati anak
dengan LDLT adalah 89% pada tahun 2015 dan 79% pada tahun 2016. Sebagai
perbandingan, di Jepang, dari 2224 anak yang menjalani LDLT, angka harapan
hidup 1 tahun adalah 88.3%.11
Pada mulanya tahun 2015 angka harapan hidup 1 tahun di RSCM-FKUI
sebanding dengan angka harapan hidup di Jepang. Sayangnya pada tahun
2016 terjadi penurunan cukup besar pada angka harapan hidup karena terjadi
3 kematian resipien yang semuanya akibat infeksi (sepsis). Selain itu, pada
tahun 2015 tersebut terjadi lonjakan pasien yang dioperasi transplantasi dari
1 pasien anak setahun pada tahun 2014 menjadi 5 setahun.
Untuk meningkatkan angka harapan hidup post-transplantasi hati,
berbagai usaha telah dilakukan, yaitu: perbaikan perawatan pasien post-
transplantasi hati. Ruang tunggu dan ruang periksa pasien transplantasi hati di
rawat jalan dipisahkan dari pasien lain yang infeksius. Ruang rawat inap juga
dibuat terpisah. Untuk pengawasan infeksi, tim tranplantasi hati mengajak
Divisi Infeksi Tropik IKA untuk bergabung. Syukurlah sejak saat itu sampai
Oktober 2017 belum ada lagi pasien yang meninggal karena infeksi. Diharapkan
di akhir 2017 ini angka harapan hidup 1 tahun pasien transplantasi hati di

23
Transplatasi hati anak: dari prolonged jaundice sampai transplantasi hati

RSCM dapat meningkat menyamai angka harapan hidup 1 tahun seperti di


Jepang kembali.

Kesimpulan
Prolonged jaundice karena atresia bilier merupakan indikasi terbanyak
transplantasi hati di RSCM-FKUI. Sampai saat ini di RSCM-FKUI telah
dilakukan transplantasi hati berjumlah 32 anak, baik dengan kolestasis
maupun penyebab lainnya. Angka keberhasilan hidup pasien 1 tahun
setelah transplantasi untuk tahun 2016 adalah 79%. Selain di RSCM-FKUI,
transplantasi hati anak telah dilakukan di pelbagai tempat di Indonesia, tetapi
karena satu dan lain hal, terutama pembiayaan pasien transplantasi hati, maka
saat ini hanya RSCM-FKUI yang masih teratur melakukannya.

Daftar pustaka
1. Danks DM, Smith AL. Hepatitis syndrome in infancy--an epidemiological survey
with 10 year follow up. Arch Dis Child. 1985;60:1204.
2. Hsiao CH, Chang MH, Chen HL, et al. Universal screening for biliary atresia
using an infant stool color card in Taiwan. Hepatology. 2008;47:1233-40.
3. Chardot C, Carton M, Spire-Bendelac N, et al. Epidemiology of biliary atresia in
France: a national study 1986-96. J Hepatol. 1999;31:1006-13.
4. McKiernan PJ, Baker AJ, Kelly DA. The frequency and outcome of biliary atresia
in the UK and Ireland. Lancet. 2000;355:25-9.
5. Starzl TE, Marchioro TL, Vonkaulla KN, et al. Homotransplantation of the Liver
in Humans. Surg Gynecol Obstet. 1963;117:659-76.
6. Strong RW, Lynch SV, Ong TH, et al. Successful liver transplantation from a
living donor to her son. N Engl J Med. 1990;322:1505-7.
7. Marcos A, Fisher RA, Ham JM, et al. Liver regeneration and function in donor
and recipient after right lobe adult to adult living donor liver transplantation.
Transplantation. 2000;69:1375-9.
8. Malago M, Rogiers X, Broelsch CE. Liver splitting and living donor techniques.
Br Med Bull. 1997;53:860-7.
9. Berg CL, Gillespie BW, Merion RM, et al. Improvement in survival associated with
adult-to-adult living donor liver transplantation. Gastroenterology. 2007;133:1806-
13.
10. Emond JC, Whitington PF, Broelsch CE. Overview of reduced-size liver
transplantation. Clin Transplant. 1991;5:168-73.
11. Kasahara M, Umeshita K, Inomata Y, et al. Long-term outcomes of pediatric living
donor liver transplantation in Japan: an analysis of more than 2200 cases listed
in the registry of the Japanese Liver Transplantation Society. Am J Transplant.
2013;13:1830-9.
12. Oh SH, Kim KM, Kim DY, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor
liver transplantation at a single institution. Pediatr Transplant. 2010;14:870-8.

24
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

13. Kelly D. Liver Transplant. In: Walker WA, Goulet O, Kelinman RE, et al., editors.
Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology-Diagnosis-Management. 4 ed.
Ontario: BC Decker; 2004. p. 1532-50.
14. Sundaram SS, Mack CL, Feldman AG, Sokol RJ. Biliary atresia: Indications
and timing of liver transplantation and optimization of pretransplant care. Liver
Transpl. 2017;23:96-109.
15. Danziger-Isakov L, Kumar D, Practice ASTIDCo. Vaccination in solid organ
transplantation. Am J Transplant. 2013;13 Suppl 4:311-7.
16. Kasahara M, Kaihara S, Oike F, et al. Living-donor liver transplantation with
monosegments. Transplantation. 2003;76:694-6.
17. Ogawa K, Kasahara M, Sakamoto S, et al. Living donor liver transplantation
with reduced monosegments for neonates and small infants. Transplantation.
2007;83:1337-40.
18. Drews D, Sturm E, Latta A, et al. Complications following living-related and
cadaveric liver transplantation in 100 children. Transplant Proc. 1997;29:421-3.
19. Egawa H, Uemoto S, Inomata Y, et al. Biliary complications in pediatric living
related liver transplantation. Surgery. 1998;124:901-10.
20. Inomoto T, Nishizawa F, Sasaki H, et al. Experiences of 120 microsurgical
reconstructions of hepatic artery in living related liver transplantation. Surgery.
1996;119:20-6.
21. Rela M, Muiesan P, Bhatnagar V, et al. Hepatic artery thrombosis after liver
transplantation in children under 5 years of age. Transplantation. 1996;61:1355-7.

25
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu
transplantasi
Eka Laksmi Hidayati

Tujuan:
1. Memahami indikasi transplantasi ginjal
2. Memahami kontraindikasi transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama modalitas terapi pengganti


ginjal dalam tata laksana gagal ginjal terminal (GGT/end-stage renal disease)
atau penyakit ginjal kronik stadium 5 pada anak dan remaja. Saat ini terapi
dialisis jangka panjang memang memungkinkan, namun demikian transplantasi
menjanjikan harapan hidup yang lebih baik, angka rawat di rumah sakit yang
lebih kecil, serta pertumbuhan dan kualitas hidup yang juga baik. Fakta penting
lain adalah transplantasi ginjal pada populasi anak usia 6-12 tahun memiliki
angka keberhasilan tertinggi di antara seluruh kelompok umur, sehingga
merupakan bukti manfaat yang bermakna dalam tata laksana GGT.1
Transplantasi ginjal pada anak di Indonesia dimulai pada 2013,
perkembangannya relatif tertinggal dibandingkan dengan dewasa yang telah
mencoba tindakan transplantasi pada 1977, meskipun selanjutnya baru dimulai
kembali dengan program yang baik sejak 2001. Seluruh transplantasi ginjal di
Indonesia berasal dari donor hidup, dan sejak 2013 tersebut hingga sekarang
telah dilakukan pada 12 anak (11 di Jakarta dan 1 di Malang), dengan angka
kesintasan 1 tahun sebesar 92%. (data belum dipublikasi)
Gagal ginjal terminal merupakan salah satu kondisi kesehatan yang
menjadi masalah utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Hal ini
disebabkan angka kejadiannya yang meningkat, serta besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk tata laksana terapi pengganti ginjal, ditambah lagi
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang masih tinggi.1 Pada populasi
anak meskipun angka kejadiannya tidak besar, namun dampaknya terhadap
pasien dan keluarga sangat besar, dan berbagai masalah yang disebutkan di atas
juga terjadi, bahkan umumnya lebih sulit diatasi karena keterbatasan fasilitas
dan sumber daya. Makalah ini akan membahas kondisi PGK yang terindikasi
untuk transplantasi ginjal.

26
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Definisi penyakit ginjal kronik


Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan kondisi berkesinambungan yang
diawali oleh suatu trauma pada ginjal, yang kemudian berlanjut terus secara
lambat dengan proses kerusakan yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal
sampai pada kondisi gagal ginjal terminal (GGT) atau PGK stadium 5.
Penyebab awal PGK sangat bervariasi, namun selanjutnya apapun etiologinya,
mekanisme yang terlibat adalah rangkaian proses serupa yang berkontribusi
terhadap hilangnya massa nefron fungsional, mekanisme ini dapat berupa
gangguan pada fisiologi normal di ginjal dan dapat pula terjadi kerusakan
struktural yang tidak dapat kembali normal.2
Berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) definisi
PGK adalah:2
1. Kerusakan ginjal baik struktural maupun fungsional selama 3 bulan
atau lebih, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
ditandai dengan salah satu dari kondisi sebagai berikut:
a. Abnormalitas laboratorium baik urin maupun darah yang
berhubungan dengan kerja ginjal
b. Abnormalitas pada pemeriksaan pencitraan ginjal dan saluran kemih
c. Abnormalitas pada histologi ginjal
Atau
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit/1,73m2 menetap ≥ 3 bulan
Definisi ini berlaku untuk anak dan dewasa, namun untuk populasi anak
ada pengecualian dalam 2 hal, yaitu: (1) kriteria 3 bulan tidak berlaku untuk
bayi usia < 3 bulan dengan kelainan kongenital ginjal dan saluran kemih, dan
(2) kriteria LFG < 60 mL/menit/1,73m2 tidak dapat diterapkan pada anak
usia < 2 tahun. Selanjutnya PGK dibagi dalam 5 stadium berdasarkan nilai
LFG (Tabel 1).

Tabel 1. Stadium PGK2

Stadium Deskripsi Laju Filtrasi Glomerulus (mL/menit/1,73m2


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat > 90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60-89
3 Penurunan LFG sedang 30-59
4 Penurunan LFG berat 15-29
5 Gagal ginjal terminal <15 atau dialisis

Epidemiologi
Laporan berbagai negara menunjukkan bahwa insiden dan prevalens GGT

27
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi

sangat bervariasi. Sekitar 80% anak yang menjalani terapi pengganti ginjal di
seluruh dunia berasal dari Eropa, Jepang dan Amerika Utara, yaitu negara-
negara dimana semua anak GGT memiliki akses yang baik untuk terapi.3 Di
lain pihak, ada negara yang tidak dapat melakukan terapi pengganti ginjal
pada anak karena keterbatasan sarana, fasilitas dan tenaga ahli.
Data tahun 2008 menunjukkan rerata insidens pada usia kurang dari 20
tahun berkisar 9 anak per 1 juta populasi sesuai usia, Jepang memiliki angka
yang terendah dalam kelompok negara maju, sementara Amerika Serikat tinggi,
yaitu 4,3 dan 15,5 anak per 1 juta populasi sesuai usia. Sebagai perbandingan
insidens pada dewasa, di Eropa angkanya sama dengan Australia yaitu 100-150
orang per 1 juta populasi sesuai usia, sedangkan Jepang dan Amerika Serikat
300-350 orang per 1 juta populasi sesuai usia.2
The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di
Amerika Serikat mendapatkan data sebanyak 10,8% dari seluruh populasi,
atau setara dengan sekitar 19,2 juta orang berada dalam kondisi PGK stadium
1-5.4 Data epidemiologi khusus anak paling lengkap adalah yang berasal Italkid
Project, yaitu registri berbasis populasi yang dilakukan prospektif terhadap
pasien anak dan dewasa muda usia kurang dari 20 tahun dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 75 mL/menit/1,73m2. Pada studi ini 57,6% kasus
penyebabnya adalah hipoplasia dan displasia dengan atau tanpa malformasi
urologik.5 Data Indonesia yang berasal dari RSCM mendapatkan etiologi
tersering PGK anak adalah glomerulonephritis (49,3%), diikuti oleh kelainan
anatomis ginjal dan saluran kemih (32,4%).6

Indikasi transplantasi ginjal


Semua pasien anak dengan GGT, terindikasi untuk menjalani transplantasi
sebagai pilihan utama terapi pengganti ginjal, sementara dialisis idealnya hanya
sebagai terapi perantara dalam masa menunggu transplantasi. Pasien PGK dan
keluarganya harus dipersiapkan untuk menghadapi penurunan fungsi ginjal
yang terus berlangsung dan akan mencapai kondisi GGT. Rencana dan pilihan
terapi pengganti ginjal mulai didiskusikan saat pasien dalam PGK stadium
4, termasuk penentuan inisiasi dialisis atau akan langsung mempersiapkan
transplantasi (preemptive transplant).7 Ada bukti bahwa preemptive transplant
lebih baik dalam hal kesintasan fungsi ginjalnya, namun tidak jelas berdampak
dalam meningkatkan umur harapan hidup.8
Waktu yang optimal untuk memulai terapi pengganti ginjal ditentukan
oleh berbagai faktor, baik dari segi medis berupa kondisi klinis dan laboratoris,
maupun non medis antara lain kesiapan keluarga dalam mental dan pembiayaan,
serta ketersediaan fasilitas. Pemantauan klinis dilakukan untuk mendeteksi
gejala uremia, seperti mudah lelah, penurunan nafsu makan, kesulitan tidur,

28
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

dan penurunan performa sekolah. Selain gejala uremia, indikasi klinis lain
adalah hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat, kelebihan cairan dan
gangguan metabolik berat misalnya hiperkalemia, asidosis metabolik, atau
ureum >200 mg/dL.7
Angka kematian anak yang sedang menjalani terapi pengganti ginjal
sangat tinggi, yaitu 30 kali lipat dibanding anak sehat seusianya, terutama
pada kelompok dialisis. Dibandingkan dengan pasien dalam dialisis, anak yang
menjalani transplantasi memiliki angka kematian 3 sampai 4 kali lebih rendah.9
Selain itu transplantasi juga memiliki kelebihan berupa diet yang normal, angka
partisipasi sekolah dan aktivitas yang lebih tinggi, serta perbaikan kulitas hidup
secara keseluruhan.

Kontraindikasi Transplantasi
Tidak ada kesepakatan yang jelas mengenai kontraindikasi transplantasi pada
anak, namun secara umum dalam praktiknya dikenal kontraindikasi absolut
dan relatif, seperti yang tercantum pada table 2.

Tabel 2. Kontraindikasi transplantasi ginjal11


Kontraindikasi absolut
• Infeksi akut
• Keganasan yang tidak tertangani
• Oxalosis dan sindrom genetik yang terapinya harus kombinasi transplan hati dan ginjal
• Penyakit berat pada organ vital lain atau mengancam jiwa, yang tidak ada terapinya atau merupakan kondisi
yang menetap, yaitu pada jantung, paru, neurologis
• Kegagalan multiorgan
• Kelainan neurologis progresif
• Kehamilan
Kontraindikasi relatif
• Infeksi HIV tak terkontrol
• Infeksi Hepatitis C yang tidak diterapi
• Infeksi Hepatitis B yang tidak diterapi
• Infeksi MAI dan virus BK
• Riwayat transplan yang gagal karena FSGS yang timbul kembali
• Glomerulonefritis terkait kelainan imunologis yang masih aktif (LES, Sindrom Good-Pasteur, GN ANCA
• Obesitas atau malnutrisi sangat berat
• Masalah psikososial, termasuk kepatuhan buruk terhadap pengobatan
• Kondisi ketergantungan pada ventilator*
• Kondisi vegetatif permanen*
* Beberapa institusi memasukkan dalam kontraindikasi absolut.
Singkatan: ANCA, antineutrophil cytoplasmic antibody; FSGS, focal segmental glomerulosclerosis; GN,
glomerulonephritis; HIV, human immunodeficiency virus; LES, lupus erithematosus sistemik; MAI, Mycobacterium
avium-intracellulare.

Pada populasi anak ada kondisi khusus yang berhubungan dengan masalah
teknis operasi yaitu ukuran pasien, dalam hal ini batasannya adalah umur dan
berat badan. Batasan ini sifatnya relatif, tergantung kemampuan ahli bedah

29
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi

dalam tim transplan, umumnya umur minimal pasien adalah 6-12 bulan dengan
berat badan minimal 6,5-10 kg. Anak dengan kelainan kongenital ginjal dan
saluran kemih seringkali harus menjalani operasi untuk koreksi kelainan
anatomisnya sebelum melangkah untuk transplantasi ginjal.7
Pasien HIV dapat menjalani transplantasi bila infeksinya terkontrol,
dengan kondisi hitung sel T CD4>200/m3 dan RNA HIV di plasma tidak
terdeteksi.

Donor Ginjal
Pemilihan donor merupakan bagian yang penting dari proses transplantasi.
Secara garis besar ada 2 jenis donor yaitu donor kadaver dan donor hidup.
Transplantasi ginjal pada anak lebih banyak berasal dari donor hidup, dengan
angka kesintasan fungsi ginjal 2 kali lebih panjang dibanding donor kadaver.
Donor hidup memiliki kesintasan lebih baik karena waktu tunggu yang lebih
pendek, pemeriksaan untuk persiapan transplan yang lebih lengkap dan
ischemic time yang lebih pendek. Ischemic time adalah periode saat ginjal donor
tidak mendapat aliran darah, yaitu sejak diputus aliran darahnya dari tubuh
donor sampai tersambung kembali ke pembuluh darah resipien.
Hal penting yang harus selalu dipertimbangkan untuk donor hidup adalah
individu pendonor tidak boleh mendapat risiko fisik, psikis dan emosional,
sebagai akibat tindakan mulianya untuk memberi manfaat pada pasien GGT.
Untuk alasan inilah syarat umur donor hidup minimal 18 tahun. Donor hidup
dapat merupakan keluarga sedarah maupun tidak sedarah, misal suami/istri
atau teman, dan kesintasannya sebanding antara kedua kelompok donor
hidup ini.10
Evaluasi donor terutama ditujukan untuk keselamatan dirinya untuk
dapat hidup normal dengan 1 ginjal dan mencegah transmisi infeksi kronik
pada resipien. Donor akan dieksklusi bila ada hipertensi, diabetes, dan riwayat
keganasan, sedangkan untuk infeksi kronik yang tidak diperbolehkan sebagai
donor adalah HIV, Hepatitis B dan C. Infeksi CMV, HPV dan EBV juga dapat
ditransmisikan dari donor kepada resipien, namun tidak termasuk kriteria
eksklusi.7

Kesintasan
Data memperlihatkan bahwa pasien anak yang menjalani transplantasi ginjal
mengalami perbaikan kesintasan dari waktu ke waktu. Angka dari Eropa untuk
risiko kematian sesudah transplan pertama turun sebanyak 42% pada kurun
waktu 1995-2000 dibandingkan dengan 1980-1984.12 Sementara di Amerika

30
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

serikat antara 1990-2010 terjadi penurunan risiko kematian sebesar 3% tiap


tahunnya, dan 5% untuk kelompok usia <5 tahun, dengan perbaikan paling
nyata terjadi pada kesintasan tahun pertama.13
Rerata kesintasan 5 tahun pada anak yang menjalani terapi pengganti
ginjal dari negara berpendapatan tinggi berkisar 90%. Perbandingan kesintasan
antar kelompok umur dan modalitas terapi pengganti ginjal di Eropa dapat
dilihat pada table 3.14 Laporan tahunan pada 2014 dari North American
Pediatric Renal Trial and Collaborative Studies (NAPRTCS) menunjukkan
kesintasan yang lebih tinggi pada modalitas transplantasi dari donor hidup
dibandingkan donor kadaver, angkanya 97,1% dan 96,4%.15
Tabel 3. Kesintasan anak yang mulai terapi pengganti ginjal antara
1990-2014 berdasarkan umur dan modalitas terapi (data European Renal
Association-European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA),
data dari Austria, Belanda, Bosnia dan Herzegovina, Denmark, Finlandia,
Perancis, Yunani, Islandia, Norwegia, Romania, Serbia, Spanyol, Swedia dan
Skotlandia)14

5 tahun 10 tahun 15 tahun 20 tahun


Rerata total 94% 90% 87% 83%
Age
0-1 85% 82% 79% 76%
2-5 92% 88% 83% 81%
6-12 95% 93% 90% 85%
13-18 95% 92% 88% 85%
Modalitas
HD 94% 90% 86% 82%
PD 92% 88% 85% 82%
Transplantasi 97% 96% 93% 89%

Kesintasan pasien GGT dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi dan


tingkat kesejahteraan sebuah negara, karena hal ini memengaruhi status
kesehatan dan akses penduduk pada pelayanan kesehatan. Akses untuk
terapi pengganti ginjal pada anak di negara berkembang umumnya terkendala
kompleksitas dan biaya terapi yang mahal, terbatasnya fasilitas dan sumber daya
manusia, serta prioritas masalah kesehatan yang berbeda. Kemungkinan kurang
dari 10% saja anak yang butuh terapi pengganti ginjal di negara berkembang
mendapatkan akses terapi. Artinya sebagian besar meninggal karena ketiadaan
fasilitas terapi pengganti ginjal.14
Antara tahun 2001-2006 di Jamaica, pada pasien GGT usia kurang dari
12 tahun, 62,5% anak meninggal karena tidak dilakukan terapi pengganti
ginjal.16 Laporan dari 2 Rumah Sakit Tersier di Vietnam antara tahun 2001-
2005 memperlihatkan hanya 27% anak GGT menjalani terapi pengganti ginjal,
sementara sisanya diterapi konservatif.17

31
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi

Pasien PGK yang onsetnya di masa anak, saat dewasa tetap memiliki
risiko kematian yang lebih tiggi dari dewasa normal. Angka harapan hidup
kelompok ini berkurang 40-50 tahun untuk pasien dialisis dan 20-30 tahun
untuk pasien yang telah menjani transplantasi. Penyebab kematian terbanyak
adalah infeksi, disusul oleh masalah kardiovaskular, keganasan dan masalah
kesehatan terkait dialisis.

Komplikasi
Komplikasi transplantasi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan waktu kejadiannya,
yaitu komplikasi segera dan jangka panjang. Komplikasi segera misalnya fungsi
ginjal transplan terlambat (delayed graft function/DGF) yaitu kondisi tidak
berfungsinya ginjal transplan dalam 2-3 hari, yang ditandai dengan tidak
turunnya kreatinin ke nilai normal. Sebagian institusi memakai definisi DGF
adalah resipien yang memerlukan HD segera setelah transplan. Gejala yang
sama dapat ditemukan pada rejeksi akut, dan untuk membedakan kedua harus
dilakukan biopsi ginjal.7 Angka kejadian rejeksi akut menurun seiring dengan
makin baiknya pemeriksaan imunologi pra transplantasi.
Komplikasi segera lainnya adalah thrombosis pada ginjal transplan.
Dugaan thrombosis harus dipertimbangkan pada pasien yang semula ginjal
transplan telah berfungsi kemudian diikuti periode oligo-anuria.7
Rejeksi dapat pula terjadi di waktu yang jauh di kemudian hari pasca
transplan dengan batasan waktu di atas 1 tahun, disebut sebagai rejeksi kronik
Komplikasi jangka panjang lain adalah penyakit dasar penyebab GGT yang
timbul kembali, misal glomerulosklerosis fokal segmental, sindrom hemolitik-
uremik atipikal, glomerulonefritis membrano proliferatif, nefritis lupus.7
Penggunaan obat imunosupresan pasca tranplan menempatkan pasien
pada risiko untuk terkena infeksi. Risiko untuk infeksi tertentu, terutama
virus, lebih tinggi bila anak belum pernah terpapar saat masih dalam kondisi
imunokompeten. Infeksi primer pada pejamu yang imunokompromais
cenderung lebih berat dibandingkan bila terjadi rekurensi pada pejamu yang
pernah terpapar. Berbagai infeksi yang dapat terjadi misalnya infeksi bakteri
pada saluran kemih, infeksi parasit dan jamur, serta infeksi virus, yaitu CMV,
EBV, varicella dan BK.18
Terdapat komplikasi terkait virus EBV yang penting yaitu Post-
transplant Limphoproliferative Disease (PTLD), merupakan spektrum kelainan
limfoproliferatif, dari infeksi mononukleosis dan hyperplasia limfoid sampai
limfoma yang invasive dan ganas. Hipertensi, yang dimulai sejak sebelum
transplan, sering ditemukan menetap pada pasien pasca transplan, ada sebagian
kecil yang mengalami perbaikan sampai tidak diperlukan antihipertensi sama

32
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

sekali. Kelainan homeostasis glukosa dapat timbul pasca transplan, ini disebut
New Onset Diabetes After Transplantation (NODAT). Dasarnya adalah resistensi
insulin, peningkatan metabolism insulin, atau penurunan sekresi insulin.18

Aspek Sosial
Penyakit kronik di masa anak akan berdampak pada defisit fungsi neurokognitif,
termasuk gangguan pemusatan perhatian dan pengendalian diri. Transplantasi
organ secara dramatis meningkatkan seluruh aspek fisik, emosional dan
fungsi sosial, meskipun ada efek penyakit kronis atau efek obat yang tak
terelakkan, misalnya postur tubuh yang pendek dan obes. Selain itu kejadian
hipertensi, masalah ortopedik dan katarak juga didapatkan cukup tinggi.
Pengamatan jangka panjang menunjukan bahwa 3 tahun setelah transplan,
90% pasien bersekolah atau bekerja, kemudian setelah 10 tahun sebagian besar
pasien merasa kondisi kesehatan mereka baik, juga dalam kehidupan sosial,
pendidikan dan aktivitas seksual.19
Kelompok remaja pasca tranplantasi perlu mendapat perhatian khusus
karena mereka memiliki angka ketidakpatuhan terhadap terapi yang tinggi.
Ketidakpatuhan ini menjadi penyebab kegagalan ginjal donor pada sekitar
25% dari seluruh kasus. Konseling, edukasi berulang, alarm di telepon genggam
sebagai pengingat minum obat serta kunjungan yang lebih sering ke poliklinik
merupakan beberapa strategi untuk meningkatkan kepatuhan.11

Simpulan
Transplantasi ginjal dapat dianggap titik balik yang dramatik karena membuat
perubahan besar dari kondisi sakit kronik yang berat pada keadaan hampir
normal dalam waktu relatif singkat. Perbaikan dapat dirasakan dalam
pertumbuhan, fungsi neurokognitif, dan kualitas hidup. Kesintasan pasien pasca
transplantasi ginjal mengalami perbaikan, terutama dalam jangka pendek dan
kelompok anak 6-12 tahun. Pada kelompok remaja kesintasan lebih rendah
karena angka ketidakpatuhan terhadap terapi yang masih tinggi. Perkembangan
transplantasi ginjal pada anak di Indonesia memberikan harapan untuk
meingkatkan kualitas hidup anak dengan PGK stadium 5, meskipun masih
perlu perbaikan berkesinambungan untuk penyempurnaan program ini.

33
Penyakit ginjal kronik: kapan perlu transplantasi

Daftar pustaka
1. Dharnidharka VR, Fiorina P, Harmon WE. Kidney transplantation in children.
N Engl J Med. 2014;371:549–58.
2. Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J, Balk E, Lau J,
Levin A, Kausz AT, Eknoyan G, Levey AS, (2003) National Kidney Foundation’s
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative clinical practice guidelines for
chronic kidney disease in children and adolescents: evaluation, lassification, and
stratification. Pediatrics. 2003;111:1416–21.
3. Harambat J, Van Stralen KJ, Kim JJ, Tizard EJ. Epidemiology of chronic kidney
disease in children. Pediatr Nephrol. 2012;27:363-73.
4. Coresh J, Selvin E, Stevens LA. Prevalence of chronic kidney disease in the
United States. JAMA. 2007;29:2038-47.
5. Ardissino G, Daccò V, Testa S, Bonaudo R, Claris-Appiani A, Taioli E, Marra
G, Edefonti A, Sereni F; ItalKid Project Epidemiology of chronic renal failure in
children: data from the ItalKid project. Pediatrics. 2003; 111:e382–7
6. Hidayati EL, Trihono PP. Admission characteristics of pediatric chronic kidney
disease. Paediatrica Indonesiana. 2011;51:192-7.
7. Rodig NM, Vakili K, Harmon WE. Pediatric renal transplantation. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,Emma F, Goldstein FL, penyunting.
Pediatr Nephrology. Edisi ke-7. Berlin: Springer-Verlag.2016.h.2501-52.
8. Kasiske BL, Snyder JJ, Matas AJ. Preemptive kidney transplantation: the
advantage and the advantaged. J am Soc Nephrol. 2002;13:1358-64.
9. McDonald SP, Craig JC. Long-term survival of children with end-stage renal
disease. N Engl J Med. 2004;350:2654-62
10. Gheith O, Sabry A, El-Baset SA, Hassan N, Sheashaa H, Bahgat S, El-Shahawy
E-M, Study of the effect of donor source on graft and patient survival in pediatric
renal transplant recipients. Pediatr Nephrol. 2008;23:2075–9.
11. Moudgil A, Jordan SC. Renal transplantation. Dalam: Kher KK, Schnaper HW,
Greenbaum LA, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Boca
Raton: Taylor and Francis Group. 2017.h.743-76.
12. an der Heijden BJ, van Dijk PCW, Verrier-Jones K, Jager KJ, Briggs JD. Renal
replacement therapy in children: Data from 12 registries in Europe. Pediatr
Nephrol 2004;19:213–19
13. askin BL, Mitsnefes MM, Dahhou M, Zhang X, Foster BJ. The mortality risk with
graft function has decreased among children receiving a first kidney transplant
in the United States. Kidney Int 2014;87:1–9.
14. Chesnaye NC, van Stralen KJ, Bonthuis M, Harambat J, Groothoff
JW. Jager KJ. Survival in children requiring chronic renal replacement
therapy. Pediatr Nephrol. Diunduh dari https://link.springer.com/content/
pdf/10.1007%2Fs00467-017-3681-9.pdf
15. NAPRTCS Collaborative Studies NAPRTCS (2014) Annual transplant report.
Available at www.naprtcs.org
16. Miller MEY, Williams JA. Chronic renal failure in Jamaican children – An update
(2001 – 2006). West Indian Med 2009;J58:231-4.

34
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

17. Mong Hiep TT, Janssen F, Ismaili K, Khai Minh D, Vuong Kiet D, Robert A
(2008) Etiology and outcome of chronic renal failure in hospitalized children in
ho chi Minh City, Vietnam. Pediatr Nephrol 23:965-970.
18. Dharnidharka VR, Araya CE. Complications of Pediatric Renal Transplantation.
Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,Emma F,
Goldstein FL, penyunting. Pediatr Nephrology. Edisi ke-7. Berlin: Springer-
Verlag.2016.h.2573-604.
19. Bartosh S, Leverson G, Robilard D. Long-term outcomes in pediatric renal
transplant recipients who survive into adulthood. Transplantation. 2003;76:1195-
200.

35
Infeksi berulang pada anak
normal, alergi, atau defisiensi imun?
Zakiudin Munasir

Tujuan :
1. Mengenal berbagai etiologi infeksi berulang pada anak
2. Melakukan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan
diagnosis etiologi infeksi berulang pada anak
3. Melekukan tatalaksana yang tepat secara komprehensif infeksi
berulang pada anak

Sistem kekebalan tubuh manusia adalah sistem pertahanan yang kompleks,


terdiri dari sel dan protein yang bekerja bersama untuk melawan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit. Setiap saat kita terpajan agen
infeksius dan setiap orang pernah mengalami infeksi. Namun, di antaranya,
beberapa orang mengalami infeksi berulang. Ada beberapa penyebab, mengapa
yang menjadi alasan orang- orang ini mengalami peningkatan kerentanan
terhadap infeksi.

Definisi
Hingga saat ini, tidak ada definisi infeksi berulang yang pasti. Otitis media
kronik/berulang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun, dengan frekuensi
yang semakin berkurang dengan seiring bertambahnya usia1,2.
Anak-anak usia lebih dari 2 tahun dengan frekuensi otitis media
meningkat dan sering disertai mastoiditis, infeksi organ lain atau gagal tumbuh
harus dievaluasi lebih lanjut (Tabel 1).
Setiap makhluk yang lahir dibekali suatu ea ra imun oleh Sang Pencipta,
baik dari makhluk yang sangat sederhana, yaitu binatang bersel satu seperti
amuba, sampai makhluk yang paling sempurna seperti manusia. Tingkat ea
ra imun juga bervariasi: dari yang sangat sederhana, sampai bentuk kekebalan
yang kompleks, seperti pada manusia.

36
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 1. Panduan untuk mengidentifikasi anak dengan kecenderungan untuk mengalami infeksi
Frekuensi
Pneumonia >1 episode setiap satu dekade kehidupan
Otitis media >6 kali pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun
Otitis media dan keluarnya cairan dari telinga yang tidak kunjung sembuh meskipun sudah dilakukan
pemasangan pipa timpanostomi
Sinusitis yang tidak kunjung sembuh meskipun telah mendapat terapi medis dan bedah
Derajat penyakit
Pneumonia dengan empiema
Meningitis bakteri, artritis, atau osteomielitis Sepsis
Mastoiditis
Infeksi patogen oportunis
Pneumonia Pneumocystis jirovecii Kandidiasis mukokutan
Infeksi jamur invasif Poliomielitis akibat vaksin
Infeksi basil Calmette-Guerin setelah vaksinasi
Infeksi di lokasi anatomis multipel
Tidak ada penyebab epidemiologis yang jelas (misalnya penitipan anak, terpapar asap rokok, alergi terhadap
lingkungan)
Karakteristik anatomis atau fisiologis yang mengarah ke sebuah kompleks sindrom
Gagal tumbuh

(diadaptasi dari: Lederman HM. Approach to the child with recurrent infections including molecular diagnostics.
In: Leung DYM, Szefler SJ, Akdis CA, Sampson H,Bonilla FA (editors). Pediatric allergy: principles and practice. Edisi
ketiga. Philadelphia: Elsevier; 2016 Pembagian Sistem Imun Manusia

Secara garis besar, 2ea ra imun manusia dibagi menjadi dua jenis yaitu3 :
1. Respons imun yang tidak spesifik
Disebut tidak spesifik karena respons imun ini ditujukan untuk menangkal
masuknya segala macam antigen dari luar yang asing bagi tubuh,
yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh/ penyakit, seperti berbagai
macam bakteri, virus, parasit, atau zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Yang termasuk ke dalam respons imun yang tidak spesifik ini misalnya
di antaranya pertahanan fisik (kulit, selaput lendir, kimiawi (enzim,
keasaman lambung), mekanik (gerakan usus, rambut getar selaput
lendir), fagositosis, serta komplemen yang berfungsi pada berbagai proses
pemusnahan kuman/zat asing.
Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya
kuman/zat asing ke dalam tubuh. Misalnya kulit yang luka, gangguan
keasaman lambung, gangguan gerakan usus, atau gangguan proses
penelanan kuman/ zat asing oleh sel darah putih (sel leukosit).
2. Kekebalan tubuh spesifik
Bila masuknya kuman/zat asing tidak dapat ditangkal oleh daya tahan
tubuh yang tidak spesifik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
diperlukan sistem kekebalan tubuh dengan tingkat yang lebih tinggi atau
spesifik untuk mencegah masuknya kuman- kuman tertentu yang lolos

37
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?

dari pertahanan tubuh yang tidak spesifik. Ada dua jenis kekebalan tubuh
yang berperan pada kekebalan yang spesifik ini, yaitu kekebalan selular
dan kekebalan humoral. Kekebalan ini hanya berperan pada kuman/
zat asing yang sudah dikenal, artinya bila jenis kuman/zat asing tersebut
sudah lebih dari satu kali masuk ke dalam tubuh manusia.

Gangguan sistem kekebalan tubuh dibagi dua, yaitu :


1. Gangguan kekebalan tubuh primer (defisiensi imun primer).
Penyebabnya adalah kelainan genetik dan gejala infeksi berulang dapat
terjadi pada usia dini.
2. Gangguan kekebalan tubuh sekunder (defisiensi imun sekunder)
Disebabkan oleh faktor lain, misalnya infeksi (AIDS, campak, dan lain-
lain), gizi buruk, serta penyakit ganas (misalnya kanker dan, leukemia) ,
dan obat-obatan ( misalnya obat yang mengandung kortikosteroid , obat
untuk kanker dan lain-lain).

Defisiensi imun primer4-7


Defisiensi imun primer terjadi ketika terjadi defek gen pada sistem kekebalan
tubuh. Keadaan ini adalah gangguan fungsi kekebalan tubuh yang bukan
akibat infeksi (misalnya AIDS) atau manipulasi ekstrinsik. Sel yang terkena
meliputi sel T, sel B, sel fagositik, atau sistem komplemen. Penyakit ini tidak
selalu terlihat saat lahir. Ada sekitar 300 jenis kelainan genetik terkait penyakit
defisiensi imun bawaan yang sudah dikenali. Beberapa contoh defisiensi imun
primer dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2. Contoh defisiensi imun primer


Kelompok penyakit imunodefisiensi Contoh kelainan
Imunodefisiensi kombinasi Imunodefisiensi kombinasi berat (severe combined
immunodeficiency /SCID)
Imunodefisinesi kombinasi yang berhubungan Sindrom Wiskott– Aldrich
dengan gambaran sindrom Ataxia– telangiectasia
Anomali DiGeorge
Sindrom hiper-IgE (sindrom Job)
Defisiensi antibodi BTK (Bruton tyrosine kinase) deficiency (X-linked
agammaglobulinemia)
Common variable immunodeficiency disorders (CVID)
Defisiensi IgA selektif
Hipogamaglobulinemia transien masa bayi
Penyakit disregulasi imun Autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS)
Defek kongenital jumlah dan/atau fungsi fagosit Neutropenia kongenital berat
Defisiensi adhesi lekosit (leukocyte adhesion deficiency/LAD)
Penyakit granulomatosa kronik (chronic granulomatous
disease/CGD)

38
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Kelompok penyakit imunodefisiensi Contoh kelainan


Defek pada imunitas non spesifik (innate Chronic mucocutaneous candidiasis
immunity)
Penyakit autoinflamasi Familial Mediterranean fever
Neonatal onset inflammatory disease
(NOMID) atau chronic
infantile neurologic cutaneous and articular syndrome (CINCA)
Sindrom Blau
Defisiensi komplemen Defisiensi C1q
Defisiensi C3
Defisiensi inhibitor C1
Phenocopies of PID Imunodefisiensi dengan autoantibodi

Walaupun defisiensi imun primer jarang terjadi, kelainan ini sangat


penting untuk segera didiagnosis demi mencegah kerusakan pada organ,
seperti paru dan telinga, sekaligus juga mencegah infeksi yang mengancam
jiwa. Anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik; dan terkadang perlu tes
darah sederhana, sering kali merupakan semua hal yang diperlukan untuk
menyingkirkan defisiensi imun yang mendasarinya.

Tabel 3. Sepuluh tanda atau gejala yang dicurigai defisiensi imun primer8
1. ≥8 infeksi telinga dalam waktu 1 tahun
2. ≥2 infeksi sinus serius dalam 1 tahun
3. ≥2 bulan memakai antibiotik dengan efek sedikit
4. ≥2 pneumonia dalam waktu 1 tahun
5. Gagal tumbuh
6. Sering timbul abses pada kulit atau organ yang memerlukan antibiotik intravena untuk mengatasi
infeksi
7. Infeksi persisten di mulut atau di tempat lain pada kulit setelah usia 12 bulan
8. Mengalami ≥2 infeksi berat, seperti meningitis, osteomielitis, selulitis, atau sepsis
9. Riwayat keluarga menderita defisiensi imun primer
10. Infeksi umum yang disebabkan oleh kuman komensal

(Disusun oleh: Medical Advisory Board of Jeffery Modell Foundation)

Sebuah studi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an menunjukkan


bahwa infeksi telinga tengah berulang di antara anak prasekolah meningkat
tajam antara tahun 1981 dan 1988, sebagian karena lebih banyak anak
yang berada di pusat penitipan anak daripada dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya9.
Infeksi yang paling umum adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus
(flu biasa). Umumnya, anak muda bisa terkena 12 kali pilek setahun. Biasanya,
gejala flu berlangsung 5 sampai 10 hari. Pilek yang sering ini biasanya tidak
dikhawatirkan, karena pilek ini adalah hasil kontak erat anak usia muda dengan
sistem kekebalan tubuh yang relatif belum matang. Sebanyak 23 anggota rumah
tangga di 18 rumah tangga dilaporkan memiliki diagnosis khusus untuk PID
(CVID, IgA, IgG, XLA, SCID, CGD), sedangkan kasus tambahan dilaporkan

39
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?

sebagai PID tanpa diagnosis konfirmasi. Temuan ini menunjukkan prevalens


populasi PID yang terdiagnosis di Amerika Serikat sekitar 1 dari 1.200 orang9.

Defisiensi imun sekunder


Defisiensi imun sekunder merupakan gangguan imunitas yang disebabkan oleh
faktor dari luar, seperti pascainfeksi campak atau HIV, pengaruh obat-obatan
imunosupresan, faktor malnutrisi, penyakit keganasan, dan lain- lain.

Tabel 4. Diagnosis akhir pada fever of unknown origin (FUO)10


Diagnosis Jumlah %
Total 786 100
Infeksi 411 52,3
Infeksi saluran pernapasan 114 14,5
Infeksi saluran kemih 31 3,9
Meningitis bakteri 14 1,8
Tuberkulosis 15 1,9
Kolagen-vaskular/inflamasi 90 1,.5
Artritis reumatoid juvenil 40 5,1
Systemic lupus erythematosus 11 1,4
Crohn disease 12 1,5
Keganasan 39 5,0
Leukemia 19 2,4
Limfoma 8 1,0
Tidak terdiagnosis 171 21,8

(Diadaptasi dari: Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious disease. In: Rudolph AM, Kamei RK, Overby KJ (editors).
Rudolphs fundamentals of pediatrics. 3rd ed. United States: McGraw-Hill; 2002)

Alergi dan infeksi berulang


Pada individu yang mengalami alergi, terdapat reaksi imun yang berlebihan
dan kehilangan kontrol. Sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat yang
sangat tidak berbahaya, seperti serbuk sari rumput, bulu kucing, kacang tanah,
atau penisilin. Hasil akhir yang berbahaya dari serangan ini disebut reaksi
hipersensitivitas atau reaksi alergi.
Garis pertahanan pertama melawan infeksi terletak di bagian tubuh
yang berkontak dengan lingkungan. Pada dermatitis atopik, barier kulit sering
cedera akibat goresan. Keadaan ini memudahkan organisme memasuki kulit
dan menyebabkan infeksi. Demikian pula peradangan (iritasi, pembengkakan,
dan cedera) pada selaput lendir yang melapisi hidung, sinus, dan paru-paru
memberikan lingkungan yang mendukung untuk terjadinya infeksi sekunder.
Pada pasien yang memiliki alergi sepanjang tahun terhadap debu rumah, serbuk
sari, dan jamur, sering terdapat luka pada selaput lendir, yang meningkatkan
kerentanannya terhadap infeksi.

40
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Penyumbatan hidung akibat rinitis alergi juga diperkirakan menyebabkan


sekresi dan penyumbatan tuba Eustachius yang meningkatkan terjadinya infeksi
telinga.
Sering kali sulit membedakan antara rinitis alergi persisten (karena tungau
debu rumah atau alergi bulu kucing) dengan gejala pilek atau sinusitis yang
berkepanjangan. Sebab, gejala hidung yang tersumbat, gatal, dan meler pada
keduanya mirip. Oleh karena itu, penting bagi semua pasien dengan gejala pilek
atau sinusitis berkepanjangan untuk menjalani uji tusuk kulit atau pemeriksaan
imunoglobulin E (IgE) spesifik untuk alergen inhalan.
Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa individu yang atopik (alergi)
memiliki fungsi sel B dan sel bawaan yang abnormal, yang berkontribusi
terhadap peningkatan risiko (dan perpanjangan) infeksi.
Perubahan struktural (anatomis) saluran napas juga dapat menyebabkan
timbulnya infeksi berulang. Perubahan struktural pada sinus atau tuba
Eustachius merupakan penyebab infeksi berulang pada masa kanak-kanak.
Istilah “perubahan struktural” mengacu pada perbedaan bagian tulang
tengkorak, sinus, dan telinga. Perbedaan ini sering diturunkan. Perbedaan
dalam struktur tubuh ini memudahkan orang tersebut terkena infeksi
karena drainase normal tuba Eustachius di telinga atau sinus di dalam hidung
tersumbat. Variasi anatomis umum (kelainan) lainnya adalah septum nasal
yang menyimpang (deviasi septum). Kondisi ini berhubungan dengan drainase
sinus yang tidak tepat di sisi yang lebih sempit, terutama bila ada penyumbatan
hidung akibat penyebab apa pun, umumnya rinitis alergi.11
Memburuknya asma yang terkontrol juga terkait dengan infeksi virus,
khususnya infeksi rinovirus. Masing-masing faktor ini terpisah yang tidak
mungkin memiliki efek utama pada gejala. Namun, kombinasi infeksi virus
pernafasan, sensitisasi alergen dan keterpajanan yang tinggi bersamaan dengan
alergen secara nyata dapat meningkatkan risiko rawat inap.
Penelitian lebih lanjut mengenai sinergisme ini dapat membantu
memahami mekanisme eksaserbasi asma dan mengarah pada pengembangan
strategi pencegahan. Interaksi antara infeksi dan alergi telah dibuktikan : anak
dengan rinitis alergi menderita lebih banyak dan lebih lama terinfeksi virus
flu virus12. Kebanyakan eksaserbasi asma akut mulai di hidung dengan virus
dingin13,11. Pada anak-anak asma alergi yang terpapar alergen yang relevan
dan yang kemudian terkena flu, rasio odds untuk masuk ke rumah sakit untuk
asma adalah 1914

41
Infeksi berulang pada anak normal, alergi, atau defisiensi imun?

Simpulan
Infeksi berulang pada anak usia dini biasanya normal dan berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh yang relatif belum matang.
Alergi sering berhubungan dengan gejala infeksi berulang atau menjadi
faktor predisposisi untuk terjadinya infeksi berulang. Oleh karena itu, semua
anak dengan infeksi berulang harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan ke
arah penyakit alergi.
Defisiensi imun primer jarang terjadi, tetapi harus dipertimbangkan pada
semua pasien yang mengalami infeksi berulang, terutama jika infeksinya parah,
sulit diobati, atau disebabkan oleh kuman oportunis. Walaupun defisiensi
imun primer jarang terjadi, penting untuk segera didiagnosis untuk mencegah
terjadinya kerusakan organ dan infeksi yang mengancam jiwa. Anamnesis
yang saksama, pemeriksaan fisik, dan terkadang tes darah sederhana sering
kali merupakan semua hal yang diperlukan untuk menyingkirkan defisiensi
imun yang mendasarinya.

Daftar kepustakaan
1. James F. Jones, MD, Vincent A. Fulginiti, MD. Recurrent bacterial infections in
children. Pediatr Rev. 1979;1:99 –108.
2. Lederman HM, Gelfand EW. Approach to the child with recurrent infections
including molecular diagnostics. Dalam: Leung DYM, Szefler SJ, Akdis CA,
Sampson H, Bonilla FA (penyunting). Pediatric allergy: principles and practice.
Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2016: h.81-7.
3. Male D, Introduction to the immune system. Dalam: Roitt I, Brostoff J, Male D
(editors). Immunology. Edisi ke-6. Edinburgh: Mosby; 2001: 1-13
4. Al-Herz, Bousfiha A, Casanove JL, Chatila T, Conley ME, Cunningham-Rundles
C, dkk. Primary immunodeficiency diseases: an update on the classification
from the International Union of Immunological Societies Expert Committee for
Primary Immunodeficiency. Front Immunol. 2014;5:162.
5. Bousfiha A, Picard C, Boisson-Dupuis S, Zhang SY, Bustamante J, Puel A, dkk.
Primary infections. Clin Immunol. 2010, 135: 204-9.
6. Notarangelo LD. Primary immunodeficiencies. J Allergy Clin Immunol. 2010,
125 (2 Suppl 2): S182-94.
7. Boyle JM, Buckley RH: Population prevalence of diagnosed primary
immunodeficiency diseases in the United States. J Clin Immunol. 2007;27: 497-
502. Medical Advisory Board of Jeffery Modell Foundation. Diunduh dari: http://
immunodeficiency.ca/healthcare-providers/diagnositic-tools-documents/ [Diakses
pada 8 September 2017].
8. Crump WSA. Recurrent Infections: normal, allergic, or immunodeficiency?
Diunduh dari: http://www.allergyclinic.co.nz/recurrent_infections.aspx. [Diakses
pada 8 September 2017].

42
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

9. Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious disease. Dalam: Rudolph AM, Kamei
RK, Overby KJ (penyunting). Rudolphs fundamentals of pediatrics. Edisi ke-
3. United States: McGraw-Hill; 2002.11. Custovic A1, Murray C, Simpson
A. Allergy and infection: understanding their relationship. Allergy. 2005;60
(Suppl 79):10-13
10. Fireman P. Virus-provoked rhinitis in patients who have allergies. Allergy
Asthma Proc. 2002;23: 99–102.
11. Johnston SL, Pattemore PK, Sanderson G, Smith S, Lampe F, Josephs L, dkk.
Community study of role of viral infections in exacerbations of asthma in 9–11
year old children. BMJ. 1995;310: 1225–9.
12. Johnston SL, Pattemore PK, Sanderson G, Smith S, Lampe F, Josephs L, dkk.
The relationship between upper respiratory infections and hospital admissions
for asthma: a time-trend analysis. Am J Respir Crit Care Med. 1996;154: 654–60.

43
Diare kronik pada anak
Muzal Kadim

Tujuan:
1. Mengetahui definisi dan patofisiologi diare kronik
2. Mengetahui beberapa etiologi tersering diare kronik
3. Mengetahui pertimbangan pemberian antibiotik pada diare
kronik

Definisi
Diare kronik didefinisikan sebagai volume tinja lebih dari 10 gram/kgBB/hari
pada atau 200 gram/hari pada anak besar (umumnya diare cair lebih dari 3
kali/hari) yang berlangsung selama 14 hari atau lebih. Di negara berkembang,
umumnya diare kronik merupakan kelanjutan dari infeksi saluran cerna.1 Di
Indonesia secara khusus, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari disebut
diare persisten dan/atau diare kronik. Diare persisten umumnya dihubungkan
dengan penyebab infeksi, sementara diare kronik umumnya memiliki dasar
etiologi non-infeksi.2

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare pada diare kronik dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu diare sekretorikdan diare osmotik.
yy Diare Sekretorik
Pada diare sekretorikterjadi sekresi aktif elektrolit dan air ke lumen usus
yang disebabkan oleh adanya hambatan pada absorpi Na dan Cl pada sel
vili usus dan peningkatan sekresi Cl pada sel kripta. Sekresi ini terjadi
sebagai akibat dari peningkatan cAMP, cGMP, atau Ca sebagai respons
terhadap rangsangan seperti enterotoksin mikroba, atau pengaruh
endogen seperti sitokin inflamasi.1-3
yy Diare Osmotik
Pada diare osmotik, terjadi peningkatan sekresi air ke lumen usus & retensi
air yang disebabkan oleh adanya gradien osmotik dikarenakan nutrien yang
tidak terabsorpsi. Penyebabnya di antaranya (1) kerusakan sel usus akibat

44
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

infeksi, (2) penurunan luas area absorpsi, seperti pada penyakit Coeliac,
(3) berkurangnya enzim pencernaan, seperti pada defisiensi enzim laktase,
(4) penurunan waktu transit usus, seperti pada diare fungsional, dan (5)
pemberian nutrisi berlebih, melebihi kapasitas saluran cerna, misalnya
pemberian berlebihan fruktosa atau sorbitol.1

Etiologi
Zella GC, et al. membagi etiologi diare kronik menjadi dua kelompok besar,
yaitu diare kronik tanpa gagal tumbuh, dan diare kronik dengan kegagalan
pertumbuhan/ failure to thrive.4

Tabel 1. Etiologi Diare Kronik 4


Penyebab Diare Kronik Gejala Klinis Pemeriksaan Penunjang
Diare kronik tanpa gagal tumbuh
Chronic non specific Diare tidak berdarah, tidak berlendir. Normal
diarrhea (CNSD) Umumnya muncul pada usia < 5 tahun.
Kolitis infeksi Diare dapat berlendir dan/atau berdarah. Kultur tinja positif.
Demam dan/atau nyeri abdomen dapat Pemeriksaan tinja dapat ditemukan
terjadi. parasit.
Muncul pada berbagai usia. Tes antigen pada tinja positif.
Terinfeksi dari daging yang tidak matang atau
air yang terkontaminasi
Malabsorpsi laktosa Nyeri abdomen, kembung, flatulens. Hydrogen Breath Test: peningkatan
Diare tidak berdarah. hidrogen setelah konsumsi laktosa.
Muncul setelah usia balita.
Small bowel bacterial Nyeri abdomen. Hydrogen Breath Test: peningkatan
overgrowth (SBBO) Peningkatan risiko jika katup ileocecal hidrogen awal dan akhir (bifasik)
diangkat. setelah konsumsi laktulosa
Muncul pada berbagai usia.
Irritable bowel syn- Konstipasi dan diare bergantian. Normal
drome (IBS) Nyeri abdomen perbaikan setelah defekasi.
Tidak ada penurunan berat badan, diare
berdarah, demam, maupun anemia.
Diagnosis umumnya setelah usia remaja
Diare kronik dengan gagal tumbuh
Intractable diarrhea of Tidak ada kolitis infeksi. Histopatologi menunjukkan enter-
infancy (IDI) Peningkatan risiko pada pasien imunodefisien- opati.
si atau malnutrisi.
Enteropati alergika Diakibatkan oleh alergi tehadap susu sapi atau Dapat terjadi hipoalbuminemia &
susu soya. anemia.
Gagal tumbuh lebih signifikan dibandingkan Serum IgE dapat meningkat.
anak dengan kolitis alergik.
Penyakit Coeliac Enteropati terkait imum terhadap gluten. Peningkatan TTG IgA, antibodi antien-
Trias gejala: gagal tumbuh, diare, distensi domysial IgA
abdomen

45
Diare kronik pada anak

Penyebab Diare Kronik Gejala Klinis Pemeriksaan Penunjang


Inflammatory bowel Diare berdarah pada kolitis. Anemia defisiensi besi.
disease (IBD) Diare tidak berdarah pada enteritis. Hipoalbuminemia.
Imunodefisiensi Infeksi berulang Limfositopenia
Congenital secretory Chronic chloride diarrhea (CCD) CCD: HipoCL & alkalosis metabolik
diarrhea Chronic sodium diarrhea (CSD) CSD: HipoNa & asidosis metabolik
Diare sekretorik berat sejak lahir.
Dehidrasi berat.
Cystic fibrosis (CF) Malabsorpsi karbohidrat/ lemak/ protein Penurunan kadar elastase feses.
karena insufisiensi pankreas.

Chronic non specific diarrhea (CNSD) merupakan penyebab diare kronik


tersering pada anak usia < 3 tahun. Pada CNSD, pertumbuhan anak baik, tidak
ada gejala nyeri abdomen berat, dan nafsu makan anak baik. CNSD dicurigai
merupakan diare dengan tipe osmotik yang disebabkan oleh pemberian jus
buah dengan kadar sorbitol atau fruktosa yang tinggi, secara berlebihan pada
anak. Tidak ada terapi spesifik pada keadaan CNSD.4,5
Sebagian besar kasus kolitis akibat infeksi bersifat akut. Patogen tertentu
dapat menyebabkan diare kronik, yang tersering yaitu Salmonella, Escherichia
coli, Campylobacter. Penyebab utama diare kronik di negara berkembang yaitu
infeksi Entero-pathogenic Escherichia coli (EPEC), dengan gejala klinis berupa
nyeri abdomen, demam, dan muntah. Pemberian antibiotik pada infeksi EPEC
terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas pada diare kronik. Pada kasus
nyeri abdomen dan diare berdarah, maka kecurigaan mengarahkan pada infeksi
Entero-hemorrhagic Escherichia coli (EHEC). EHEC harus ditangani sesegera
mungkin untuk mencegah komplikasi sindroma hemolitik uremik. Lain
halnya dengan kolitis akibat Eschericia coli, pada kolitis yang disebabkan oleh
Aeromonas maupun Campylobacter, pemberian antibiotik tidak memberikan
efek yang baik terhadap morbiditas maupun mortalitas anak.4
Kolitis akibat protozoa seperti Giardia intestinalis dan Cryptosporodium
dapat menyerang anak imunokompeten maupun imunodefisiensi. Gejala yang
ditimbulkan merupakan kombinasi dari diare osmotik dan sekretorik. Giardiasis,
baik pada anak imunokompeten maupun imunodefisiensi harus ditatalaksana
dengan obat berupa metronidazol, tinidazol, atau nitazoxanide. Sementara itu,
infeksi Cryptosoporium hanya diobati pada anak yang imunokompeten, yakni
dengan pemberian nitazoxanide.4
Malabsorpsi Laktosa dapat bersifat primer, maupun sekunder akibat
kerusakan mukosa usus sehingga terjadi defisiensi enzim laktase dari vili usus,
contohnya pada infeksi Rotavirus, infeksi parasit, penyakit Celiac, Crohn’s
Disease, dan enteropati lainnya. Kondisi intoleransi laktosa primer ini jarang
terjadi pada anak usia < 5 tahun. Laktosa yang tidak tercerna pada intoleransi
laktosa akan mencapai kolon dan difermentasi oleh mikroba pada kolon
menghasilkan gas, sehingga timbul gejala flatulens dan kembung. Laktosa yang

46
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

tidak tercerna tersebut kemudian meningkatkan gradien osmotik sehingga


menyebebkan diare osmotik. Tatalaksana pada malabsorpsi laktosa yaitu
meminimalisir konsumsi makanan yang mengandung laktosa, atau dengan
pemberian enzim laktase buatan.4
Pada kasus Small bowel bacterial overgrowth (SBBO), terjadi pertumbuhan
berlebihan mikroba pada usus halus, menyebabkan konjugasi asam empedu,
dan hidroksilase asam lemak oleh bakteri yang berlebihan pada usus halus,
Keadaan ini menyebabkan terjadinya diare osmotik. Tatalaksana pada
kasus SBBO yaitu dengan pemberian antibiotik metronidazol atau dengan
rifaximin.4,5
Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan suatu keadaan diare fungsional.
Kriteria diagnosis IBS berdasarkan kriteria Rome III yaitu nyeri abdomen
setidaknya 3 hari/bulan selama 3 bulan dengan setidaknya 2 gejala berikut:
perbaikan gejala setelah defekasi, onset nyeri berkaitan dengan frekuensi
defekasi, dan onset berkaitan dengan perubahan konsistensi tinja. Tatalaksana
IBS di antaranya pemberian antispasmodik, antidepresan trisiklik. Antibiotik
tidak rutin diberikan pada keadaan IBS.4
Intractable diarrhea of infancy (IDI) merupakan diare persisten setelah diare
akut/ postgastroenteritis diarrhea/ postenteritis enteropathy. Pada IDI didapatkan
gagal tumbuh. IDI merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak
di negara berkembang. Anak dengan malnutrisi, atau anak dengan penurunan
sistem imun memiliki risiko lebih besar mengalami IDI. IDI harus dicurigai
pada diare persisten/kronik setelah diare akut. Biopsi pada IDI menunjukkan
atrofi vili usus dan adanya infiltrat inflamasi pada lapisan epitel & lamina propia
usus. Untuk mencegah IDI, diperlukan tatalaksana diare akut yang adekuat,
yakni early feeding. Untuk tatalaksana IDI sendiri selain rehidrasi, diperlukan
diet tinggi protein dan tinggi lemak.4
Pada enteropati alergika, terjadi kerusakan mukosa usus halus, umumnya
akibat susu sapi maupun susu soya, menyebabkan malabsorpsi protein,
lemak, dan karbohidrat. Gejalanya berupa gagal tumbuh, diare dan muntah.
Tatalaksananya yaitu dengan restriksi protein terkait. Penyakit Coeliac
merupakan enteropati terkait imun terhadap gluten, menyebabkan atrofi vili
usus sehingga area absorpsi pada usus berkurang. Penyakit Celiac memiliki
gejala berupa gagal tumbuh, diare, dan distensi abdomen. Tatatalaksananya
berupa diet bebas protein gluten.4,5
Pada anak yang lebih besar dan remaja, penyebab utama dari diare kronik
yaitu inflammatory bowel disease (IBD), meliputi Crohn’s Disease dan kolitis
ulseratif. Pada IBD, dapat terjadi infeksi oportunistik Clostridium difficile yang
bersifat. Diare akibat C.difficile pada IBD ditatalaksana dengan pemberian
metronidazol atau vancomycin.6 Selain itu, diare kronik juga dapat merupakan

47
Diare kronik pada anak

manifestasi dari maldigesti akibat kekurangan enzim pankreas, seperti pada


kasus cystic fibrosis.4,5

Diagnosis
Anamesis dan pemeriksaan fisis memegang peranan penting dalam evaluasi
diagnostik diare kronik. Pada anamnesis perlu ditelusuri frekuensi buang
air besar, volume dan karakteristik tinja, adanya darah ataupun lendir, dan
pengaruhnya terhadap intake nutrisi. Selain itu diperlukan juga anamnesis
terkait gejala penyerta lainnya seperti nyeri abdomen, penurunan berat badan,
bercak kemerahan pada kulit, muntah, ulkus oral dan nyeri sendi. Adanya
demam dapat mengarahkan penyebab diare kronik ke arah infeksi atau
inflamasi. Riwayat keluarga juga penting untuk ditanyakan. Pemeriksaan fisis
mencakup pengukuran status gizi, dan tanda gejala defisiensi nutrisi. Adanya
distensi abdomen dapat mencerminkan sindrom malabsorpsi atau SBBO.4,5
Pemeriksaan penunjang yang umumnya pertama kali dilakukan yaitu
pemeriksaan mikroskopik dan kultur tinja. Diare kronik akibat infeksi seperti
pada infeksi Escherichia coli, Salmonella, Yersinia dapat nampak pada kultur
tinja. Deteksi parasit seperti Giardia dan Cryptosporodium pada pemeriksaan
tinja juga dapat menunjang diare kronik yang dicurigai akibat kolitis infeksi.4
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat menunjang diagnosis di
antaranya analisa osmolaritas tinja untuk menentukan apakah diare bersifat
sekretorik atau osmotik, inspeksi leukosit pada tinja untuk menentukan adanya
inflamasi mukosa usus, pemeriksaan lemak tinja, pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan antibodi TTG IgA untuk diagnosa penyakit Coeliac.4
Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosis etiologi diare kronik
diantaranya pemeriksaan hydrogen breath test untuk menentukan adanya
malabsorpsi karbohidrat, endoskopi serta biopsi.4

Pemberian Antibiotik
Di negara berkembang seperti Indonesia, diare kronik umumnya disebabkan
oleh faktor infeksi.5 Oleh sebab itu, salah satu penatalaksanaan yang penting
untuk diperhatikan adalah dari segi pemberian antibiotik. Namun, apakah
pemberian antibiotik selalu diperlukan, khususnya pada kasus diare akut
dengan kultur positif?
Penelitian oleh Abba K, et al menilai efektivitas pemberian antimikroba
pada kasus diare kronik anak usia < 6 tahun dibandingkan dengan plasebo.
Didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaaan bermakna antara pemberian
antibiotik dengan plasebo terhadap perbaikan diare.7 Bahkan, penelitian

48
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

lainnya oleh Mahfuz M, et al menunjukkan bahwa pemberian antibiotik secara


bermakna menurunkan kecepatan penyembuhan diare persisten/kronik pada
anak usia > 6 bulan di rumah sakit.8
Studi menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang tidak ada indikasi
dapat menganggu flora normal usus dan berpotensi memperberat diare.
Penelitian oleh Putra IS, et al. menunjukkan bahwa pemberian antibiotik
merupakan salah satu risiko berkembangnya diare akut menjadi diare persisten.9
Studi oleh Mahfuz M, et al menunjukkan pada 426 anak berusia di bawah
5 tahun dengan diare kronik (diare > 14 hari) didapatkan 10.8% dengan
kultur feses positif. Mikroba terbanyak yang terdeteksi yakni Campylobacter,
disusul oleh Salmonella, Shigella, Plesiomonas shigelloides, Aeromonas, dan Vibrio
cholarae (Catatan: kultur terhadap E.coli tidak dilakukan pada penellitian ini).8
Pemeriksaan kultur feses merupakan pemeriksaan yang penting dalam
menentukan penyebab infeksi dan sensitivitas mikroba terhadap antibiotik.
Medium/agar tertentu dapat menentukan spesies Salmonella, Shigella, Vibrio,
Yersinia, dan Campylobacter. Pada beberapa patogen tertentu seperti Vibrio
(subtipe enterotoksigenik), dan E.coli, termasuk di antaranya Shiga Toxin-
producing E.coli (STEC), lebih signifikan untuk mengidentifikasi keberadaan
toksin, dibandingkan mikroba itu sendiri. Hal ini dikarenakan, sebagian besar
E.coli dan C.difficile tidak memproduksi toksin sehingga bukan merupakan
patogen.10
Terapi antibiotik tidak direkomendasikan secara rutin pada diare kronik
karena tidak terbukti efektif. Tatalaksana disesuaikan dengan etiologi diare
kronik. Antibiotik spesifik diindikasikan apabila terdeteksi mikroba patogen
yang mendasarinya. Terapi antibiotika empiris hanya diberikan pada pasien
anak dengan small bowel bacterial overgrowth/ SBBO atau apabila dicurigai
kuat diare akibat infeksi.1,5
Pada kasus diare akibat Salmonella, pemberian antibiotik tidak
memperpendek durasi diare maupun mengurangi gejala pada pasien. Pemberian
antibiotik pada kultur positif Salmonella hanya dianjurkan pada anak usia <
6 tahun dan pada anak dengan imunodefisiensi dan malnutrisi. Penelitian
juga menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada kasus diare akibat
Campylobacter dan Yersinia tidak memberikan perbaikan klinis yang bermakna.11
Terhadap kasus infeksi Cryptosporodium, sebuah penelitian terhadap
pasien anak malnutrisi yang imunokompeten menunjukkan terdapat
perbaikian klinis dan penurunan morbiditas dengan pemberian antimikroba
nitazoxanide.11 Studi lain juga menunjukkan hasil yang sama, dikatakan
bahwa Cryptosrorodium parvum cenderung sulit untuk ditatalaksana. Beberapa
obat yang menunjukkan efektivitas terhadap mikroba tersebut diantaranya
paramomycin dan nitazoxanide.12

49
Diare kronik pada anak

Pada kasus lainnya seperti kolitis pseudomembranosa akibat Clostridium


difficile, giardiasis, disentri akibat shigella maupun amuba, atau pada infeksi
kolera, antimikroba juga dianjurkan untuk diberikan.11,12
Merupakan suatu tantangan apabila menemukan kultur positif terhadap
Clostridium difficile maupun E.coli untuk kasus diare kronik pada anak. Hal
ini disebabkan karena tidak semua C.difficile dan E.coli bersifat patogen.
Tipe E.coli yang menyebabkan diare/ Diarrheagenic E. coli (DEC) antara lain
enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive
E. coli (EIEC), Shiga toxin-producing E. coli (STEC), diffusely adherent E. coli,
dan enteroaggregative E. coli. Dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan sero-grup dari E.coli tersebut. Tipe EPEC adalah sero-grup
yang paling sering ditemukan pada kasus diare kronik, khususnya di negara
berkembang.13,14 Akan tetapi, berbagai penelitian bahwa tidak semua EPEC
bersifat enteropatogen, terdapat serotipe tertentu dari EPEC yang berperan
dalam menyebabkan diare pada balita (atypical EPEC).14,15 EPEC yang bersifat
enteropatogen sekalipun biasanya bersifat self-limiting, sehingga pemberian
antibiotik tidak selalu diperlukan.13
Pada beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan angka diare yang
disebabkan oleh Clostridrium difficile. Penelitian menunjukkan hubungan
pemberian antibiotik dengan diare kronik akibat C.difficile. Dikarenakan tidak
semua C.difficile bersifat enteropatogen, pemberian tatalaksana antibiotik
terhadap C.difficile disarankan hanya ditujukan pada pasien dengan infeksi
positif C. difficile yang bersifat toksigenik. Sehingga diperlukan kultur toksigenik
C.difficile ataupun pemeriksaan lanjutan lainnya.16-19

Kesimpulan
Di negara berkembang seperti Indonesia, diare kronik umumnya disebabkan
oleh infeksi usus. Oleh sebab itu, pemeriksaan mikroskopik & kultur tinja
secara umum dikerjakan pada pasien anak dengan diare kronik. Akan
tetapi pemberian antibiotik tidak rutin diberikan pada kasus diare kronik,
dikarenakan pemberian antibiotik tanpa indikasi dapat memengaruhi flora
normal usus dan dapat memperberat diare. Tatalaksana antibiotik diberikan
pada kasus diare kronik kultur positif Salmonella (usia < 6 tahun, atau pada
anak dengan imunodefisiensi), Shigella, Vibrio Cholerae, dan Clostridium difficile.
Tatalaksana antiparasitik juga diberikan pada kasus parasit Cryptosporodium,
Entamoeba Histolytica, dan Giardiasis yang ditemukan melalui pemeriksaan
mikroskopik tinja. Bila ditemukan kultur positif untuk bakteri Campylobacter
dan Yersinia, antibiotik tidak rutin diberikan. Terhadap kasus kultur positif
Clostridium difficile dan E.coli terdapat berbagai pertimbangan diperlukan
atau tidak pemberian antibiotik. Sebagai kesimpulan, dalam menentukan

50
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

perlunya pemberian terapi antibiotik pada kasus diare kronis dengan kultur
positif, penilaian dan pertimbangan klinis dokter adalah hal yang terpenting,
didukung dengan pemeriksaan laboratorium.

Kepustakaan
1. Guarino A, Branski D,Winter HS. Chronic diarrhea. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF(editor): Nelson Textbook of Pediatrics,
20th ed. Philadelphia: Gurgaon/Elsevier 2016: 1875-1887.
2. Soenarto Y. Diare Kronis dan Diare Persisten. Dalam: Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2010: 39-47.
3. Binder HJ. Causes of chronic diarrhea. N Engl J Med. 2006;355(3):236–239.
4. Zella GC, Israel EJ. chronic diarrhea in children. Pediatr Rev. 2012;33:207.
5. Guarino A, Vecchio AL, Canani RB. chronic diarrhoea in children. Best Practice
& Research Clinical Gastroenterology. 2012;26:649–661.
6. Hourigan SK, Sears CL, Oliva-Hemker M. Clostridium difficile infection in
pediatric inflammatory bowel disease. Inflamm Bowel Dis. 2016;22:1020–1025.
7. Abba K, Sinfield R, Hart CA, Garner P. Antimicrobial drugs for persistent
diarrhoea of unknown or non-specific cause in children under six in low and
middle income countries: systematic review of randomized controlled trials. BMC
Infect Dis. 2009;9: 24.
8. Mahfuz M, Alam MA, Islam SB, Naila NN, Christi MJ, Alam NH, dkk. Treatment
outcome of children with persistent diarrhea admitted to an Urban Hospital,
Dhaka during 2012–2013. BMC Pediatrics. 2017:17(142).
9. Putra IS, Firmansyah A, Hegar B, Boediarso AD, Kadim M, Alatas FS. Faktor
Risiko Diare Persisten pada Pasien yang Dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri, 2008; 10:1.
10. Pawlowski SW, Warren CA, Guerrant R. Diagnosis and treatment of acute or
persistent diarrhea. Gastroenterology. 2009;136(6):1874–86.
11. Welsh A [Ed]. Diarrhoea and vomiting caused by gastroenteritis: diagnosis,
assessment and management in children younger than 5 years. National
Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. 2009:h.90-103.
12. Casburn-Jones AC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut.
2004;53:296–305.
13. Behiry IK, Abada EA, Ahmed EA, Labeeb RS. Enteropathogenic Escherichia coli
associated with diarrhea in children in Cairo, Egypt. TSWJ. 2011;11:2613–2619.
14. Ochoa TJ, Contreras CA. Enteropathogenic E. coli (EPEC) infection in children.
Curr Opin Infect Dis. 2011;24(5):478–483.
15. Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, Bergh K. Association of atypical
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) with prolonged diarrhoea. JMM.
2004;53:1137–44.
16. McConnie R, Kastl A. Clostridium difficile, colitis, and colonoscopy: Pediatric
Perspective. Curr Gastroenterol Rep. 2017;19:34.

51
Diare kronik pada anak

17. Crews JD, Anderson LR, Waller DK, Swartz MD, DuPont HL, Starke JR. Risk
factors for community-associated clostridium difficile associated diarrhea in
children. Pediatr Infect Dis J. 2015;34(9):919–923.
18. Sammons JS, Toltzis P, Zaoutis TE. Clostridium difficile infection in children.
JAMA PEDIATR. 2013;167(6).
19. Marra F, Ng K. Controversies around epidemiology, diagnosis and treatment of
Clostridium difficile infection. Drugs. 2015; 75(10):1095-118.

52
Sindrom Rubella Kongenital:
Surveilans dan Pencegahan
Nina Dwi Putri, Hindra Irawan Satari

Tujuan:
1. Mengetahui kriteria diagnosis sindrom Rubella kongenital (SRK)
di Indonesia
2. Mengetahui alur surveilans SRK di Indonesia
3. Mengetahui program pencegahan dan pengendalian SRK di
dunia dan Indonesia

Sindrom Rubella kongenital (SRK) merupakan suatu kumpulan gejala kelainan


bawaan yang disebabkan oleh infeksi virus Rubella selama kehamilan. Secara
umum infeksi yang disebabkan oleh virus Rubella memiliki gejala yang ringan
dan seringkali tidak terdeteksi. Akan tetapi, infeksi virus ini dapat menyebabkan
infeksi yang serius jika terjadi terutama pada awal masa kehamilan. Infeksi
virus Rubella pada awal masa kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian
dan kelainan kongenital seperti sensory neural hearing loss (SNHL), kelainan
mata, kelainan jantung, disabilitas intelektual yang menyebabkan morbiditas
dan kerugian financial yag tidak sedikit.1,2
Rubella merupakan salah satu penyakit penyebab kelainan kongenital
yang dapat dicegah dengan imunisasi dan dampak pemberian imunisasi Rubella
ini sangat cost effective dan bermakna. Di Negara maju, kasus Rubella dan
SRK sudah jarang ditemukan sejak dilaksanakan program imunisasi Rubella.
Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat lebih kurang 110.000 kelahiran
bayi per tahun yang mengalami SRK di dunia dan sekitar separuhnya berasal
dari Asia Tenggara.1,3,4 Tiga dari enam daerah regional WHO yang telah
mencanangkan target kontrol dan eliminasi Rubella. Salah satu Negara yang
telah berhasil mengeliminasi SRK yaitu Amerika Serikat. Di Negara yang
belum mengimplementasikan program imunisasi Rubella secara nasional akan
berisiko terjadinya epidemi SRK secara terus menerus.6,7 Indonesia merupakan
salah satu anggota WHO regional Asia Tenggara yang sebelumnya belum
mengimplementasikan vaksin Rubella kedalam program imunisasi nasional.
Baru-baru ini, Indonesia mulai melakukan kampanye dan introduksi vaksin
MR (Measles-Rubella) dengan target ingin mencapai kontrol penyakit Rubella

53
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

dan SRK pada tahun 2020.8 Proses pengontrolan SRK dengan pemberian
vaksin MR ini memerlukan surveilans yang baik serta keterlibatan semua
stakeholder terkait.

Situasi Rubella di Indonesia


Surveilans Rubella di Indonesia diintegrasikan dengan surveilans campak.
Setiap tahunnya, didapatkan 12-39% kasus campak yang terkonfirmasi
pemeriksaan laboratorium, sedangkan dari surveilans ini ditemukan kasus
Rubella terkonfirmasi serologi sebanyak 16-43%. Hal ini menandakan
besar masalah Rubella di Indonesia cukup besar dan seringkali terdiagnosis
sebagai campak. Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164
kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Laporan kasus ini mungkin tidak
menggambarkan jumlah kasus secara keseluruhan, karena laporan ini tidak
mencakup laporan kasus dari pelayanan kesehatan swasta.9
Pada tahun 2015-2016, Surveilans SRK dilakukan di 13 rumah sakit
sentinel. Pada surveilans ini ditemukan 226 kasu SRK yang terdiri dari
SRK pasti sebanyak 83 kasus, SRK klinis sebanyak 143 kasus. Dari 83 kasus
SRK, sebanyak 77% mengalami kelainan jantung, 67,5% mengalami katarak
kongenital dan 47% mengalami gangguan pendengaran.9
Koesen pada tahun 2015 melakukan studi cost benefit analysis mengenai
estimasi cost effectiveness introduksi vaksis Rubella (vaksin MR) ke dalam
program imunisasi nasional. Diperkirakan insidens SRK per tahunnya adalah
0,2 per 1000 kelahiran bayi hidup pada tahun 2015 sehingga kemungkinan
terdapat 979 kasus SRK baru dari 4,89 juta kelahiran hidup. Kerugian makro
ekonomi yang disebabkan oleh SRK diperkirakan 1,09 triliun rupiah. Cost
per DALY imunisasi MR dibandingkan dengan tidak imunisasi sekitar 26,5
juta rupiah sehingga vaksinasi MR sangat cost effective (kurang dari 1 GDP
per kapita).9
Data surveilans retrospektif di RS Dr Cipto Mangunkusumo, pada
tahun 2011-2014 terdapat 18 (7%) dari 245 kasus SRK terkonfirmasi dengan
pemeriksaan serologi (SRK pasti). Di tahun 2015-2016, surveilans aktif
terhadap kasus SRK ditemukan 9 kasus yang terkonfirmasi dengan serologi
(SRK pasti). Data surveilans retrospektif di RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ditemukan SRK pasti 7 (14%) kasus dari 181 kasus suspek SRK. Sedangkan di
RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, pada surveilans retrospektif ditemukan 20 kasus
SRK pasti dari 461 kasus suspek SRK.10

Surveilans SRK di Indonesia


Surveilans SRK di Indonesia diinisiasi sejak tahun 2014, dan berjalan secara

54
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

aktif sejak tahun 2015. Surveilans ini melibatkan 13 rumah sakit sentinel di
Indonesia dan melibatakan multidisiplin ilmu seperti subspesialisasi Infeksi
Anak, Jantung Anak,. Neurologi Anak, Tumbuh Kembang Anak, Neonatologi,
Mata dan THT. Surveilans ini bertujuan untuk mengidentifikasi besarnya
masalah SRK di Indonesia.10
Surveilans SRK seyogyanya dimulai dengan dua kategori yaitu bayi
dengan kelainan kongenital dan ibu hamil yang dicurigai terinfeksi Rubella.
Surveilans SRK di Indonesia masih ditujukan untuk bayi berusia kurang dari
12 bulan. Klasifikasi kasus SRK dibedakan menjadi (1) Suspek SRK; (2) SRK
klinis; (3) SRK pasti; (4) SRK infeksi. Diagnosis SRK ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis yang dibagi menjadi kelompok A dan kelompok B.10

Kelompok A Kelompok B
Gangguan pendengaran Purpura
Penyakit jantung bawaan Splenomegali
Katarak atau glaukoma kongenital Mikrosefali
Retinopati pigmentari Retardasi mental
Meningoensefalitis
Kelainan “radiolucent bone”
Ikterik dalam waktu 24 jam pertama lahir


Pada surveilans ini, untuk dapat memfasilitasi semua rumah sakit dengan
fasilitas yang berbeda-beda, maka pemeriksaan gangguan pendengaran boleh
menggunakan pemeriksaan otoacustic emission (OAE). Jika pemeriksaan OAE,
refer maka dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi Rubella. Akan tetapi, pada
fasilitas yang lebih lengkap dapat menggunakan ABR atau BERA.10
Penyakit jantung bawaan yang termasuk dalam suspek SRK adalah
patent ductus arteriosus (PDA). Khusus untuk PDA pada bayi prematur, dapat
dikategorikan dalam suspek SRK jika tidak menutup spontan sampai bayi
berusia 2 bulan. Selain PDA, pulmonary stenosis (PS), arterial septal defect
(ASD), ventricular septal defect (VSD) menjadi salah satu kriteria suspek SRK.10
Suspek SRK didefinisikan sebagai bayi berusia <1 tahun yang memiliki
minimal salah satu manifestasi klinis dari kelompok A. Klasifikasi SRK klinis
ditegakkan jika ditemukan dua manifestasi klinis dari kelompok A atau satu
manifestasi klinis dari kelompok A dan satu manifestasi klinis dari kelompok
B pada bayi <1 tahun yang tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kasus
suspek SRK yang memenuhi kriteria laboratorium yaitu IgM Rubella positif
pada bayi <6 bulan atau IgM dan IgG Rubella positif atau IgG positif pada
dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu 1 bulan) dikategorikan sebagai
SRK pasti.10

55
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

 
Gambar 1. Alur penentuan kasus SRK pada bayi <6 bulan10

Gambar 2. Alur penentuan kasus SRK pada bayi usia 6 bulan-1 tahun10

56
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Bukan SRK atau discarded CRS (Congenital Rubella Syndrome) adalah


suspek SRK yang tidak memenuhi kriteria SRK klinis dan SRK pasti. Jika
ditemukan bayi <1 tahun tanpa gejala klinis SRK namun dalam pemeriksaan
laboratorium ditemukan IgM Rubella positif maka bayi dikategorikan sebagai
SRK klinis. Selanjutnya bayi dipantau sampai 1 tahun, untuk mendeteksi
apakah didapatkan gejala klinis SRK.10
Bayi suspek SRK berusia <1 bulan dapat terjadi false negative hasil
pemeriksaan serologi, karena sebanyak 20% bayi yang terinfeksi belum dapat
membentuk antibodi di awal-awal kehidupan, sehingga pemeriksaan serologi
harus diulang kembali.10

Tata Laksana SRK


Sampai saat ini, SRK tidak dapat diobati dengan anti-virus. Tata laksana SRK
meliputi tata laksana suportif yang bersifat multidisiplin untuk menangani
komplikasi yang sudah terjadi. Tata laksana ini meliputi penanganan
komprehsensif dari dokter spesialis anak, THT dan mata. Selain itu, bayi-bayi
dengan SRK memerlukan pemantauan jangka panjang mengingat bayi-bayi
ini berisiko terhadap kecacatan permanen di kemudian hari. Dari sebuah
penelitian kohort di Australia, pada pengamatan jangka panjang bayi SRK di
usia 25 tahun didapatkan 48 dari 50 pasien mengalami ketulian, 43 dari 48
pasien mengalami ketulian bilateral yang berat. Gangguan pendengaran ini
sudah terdeteksi semuanya di usia 7 tahun, sebagian besar terdeteksi di usia 3
tahun namun hanya 5 pasien yang terdeteksi pada usia 1 tahun. Selain itu, 11
pasien mengalami kelainan jantung bawaan, hanya 2 pasien yang terdeteksi pada
tahun pertama kehidupan. Pada usia 60 tahun, 21 dari 32 pasien mengalami
sklerosis katup aorta ringan dan 12 orangnya mendapatkan terapi hipertensi.
Pasien-pasien yang mengalami kelainan pada mata di usia 25 tahun sebanyak
26 dari 50 pasien mengalami katarak atau korioretinopati. Pada usia 60 tahun,
32 pasien mengalami kelainan pada mata. Tidak hanya kelainan-kelainan ini,
pada usia 50 tahun juga ditemukan kelainan endokrin dan metabolik seperti
diabetes melitus, tiroid, menopause dini dan osteoporosis yang prevalensinya
lebih tinggi dibandingkan populasi Australia kebanyakan.11,12

Pencegahan SRK melalui Vaksinasi Rubella, Surveilans


Kasus dan Pencegahan Transmisi
Indonesia berkomitmen untuk mencapai eliminasi campak dan pengendalian
Rubella/SRK pada tahun 2020. Hal ini sejalan dengan Global Vaccine Action Plan
WHO 2012-2020 yang memiliki strategi untuk memberikan dua dosis vaksin
MR pada imunisasi rutin serta mencapai cakupan imunisasi yang tinggi (>95%).9

57
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

Saat ini Indonesia telah melakukan pelaksanaan kampanye vaksin


MR pada anak usia 9 bulan hingga 15 tahun secara bertahap dalam dua
fase yaitu fase 1 pada bulan Agustus-September 2017 di seluruh pulau Jawa,
dilanjutkan dengan fase 2 pada bulan Agustus-September 2018 di seluruh
pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua. Setelah melakukan kampanye vaksin MR ini, maka akan dilanjutkan
dengan introduksi vaksin MR ke dalam program imunisai rutin pada bulan
Oktober 2017 dan 2018.9
Vaksin Rubella tersedia dalam bentuk monovalent dan kombinasi dengan
vaksin virus lain seperti vaksin campak (Measles Rubella (MR)) atau dengan
campak dan mumps yaitu MMR. Saat ini vaksin yang digunakan di Indonesia
adalah vaksin MR yang merupakan vaksin hidup yang mengandung 1000
CCID50 virus campak dan Rubella per dosisnya. Vaksin ini dipilih dengan
mempertimbangkan cost effectiveness untuk program imunisasi nasional. Dalam
satu kemasan vaksin terdiri atas 10 dosis per vialnya. Vaksin MR ini merupakan
vaksin hidup yang dilemahkan dan diberikan secara subkutan. Vaksin MR ini
akan menjadi imunisasi rutin pada program nasional yang akan diberikan pada
usia 9 bulan, 18 bulan dan kelas 1 SD.9
Pemberian vaksin ini dikontraindikasikan pada individu yang sedang
mendapatkan terapi imunosupresan dan radioterapi, wanita hamil, leukemia,
anemia berat dan kelainan darah lainnya, kelainan fungsi ginjal berat,
decompensation cordis, setelah pemberian gammaglobulin atau tranfusi darah
dan terdapat riwayat alergi terhadap komponen vaksin terutama neomycin.9
Pemberian vaksin MR ini perlu juga didukung dengan penguatan
surveilans Campak Rubella berbasis kasus individu, surveilans sentinel SRK
serta investigasi penuh kejadian luar biasa campak. Pencegahan transmisi

Virus bisa ditemukan di sekret nasofaring :


• Usia 1 bln : 84%
• Usia 1 – 4 bln : 62 %
• Usia 5 – 8 bln : 33 %
• Usia 9 – 12 bln : 11 %
• Usia > 12 bln : 3%
(Cooper 1967)
.

 
Gambar 3. Ekskresi virus Rubella10

58
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

juga sangat penting karena sebagian besar bayi SRK masih mengandung dan
mengekskresi virus sampai usia 1 tahun (Gambar 3.).10

Daftar pustaka
1. Plotkin SA. The history of rubella and rubella vaccination leading to elimination.
Clin Infect Dis. 2006;43:S164–8.
2. Rubella vaccines: WHO position paper. World health organization: weekly
epidemiological record; 2011. h 301–16. 

3. Gao Z, Wood JG, Burgess MA, Menzies RI, McIntyre PB, MacIntyre R. Models
of strategies for control of rubella and congenital rubella syndrome—a 40 year
experience from Australia. Vaccine. 2013;31:691–7. 

4. Grant GB, Reef SE, Dabbagh A, Dobo MF, Strebel PM. Global progress Toward
Rubella and Congenital Rubella syndrome control and elimination — 2000–2014.
MMWR. 2015;64:1052–5. 

5. Global measles and rubella strategic plan: 2012–2020. World Health Organization.
Switzerland: 2012. 

6. Cutts FT, Robertson SE, Diaz Ortega, Samel Rl. Control of rubella and congenital
rubella syndrome (CRS) in developing countries, Part 1: Burden of disease from
CRS. Bull World Health Organization 1997;75:55–68. 

7. Miyakawa M, Yoshino Y, Yoshida LM, Vynnycky E, Matpmura, H, Tho LH, et al.
Seroprevalence of rubella in the cord blood of pregnant women and congenital
rubella incidence in Nha Trang, Vietnam. Vaccine 2014;32:1192–8. 

8. Resolution SEA/RC66/R5: measles elimination and rubella/congenital rubella
syndrome control. New Delhi, India: World Health Organization: 2013. 

9. Kartasasmita C, Purbadi IMY, Tandy G, Sundoro J, Anisiska D, Syafriyal, Hakimi,
et al. Petunjuk teknis kampanye imunisasi measles rubella (MR). Kementrian
Kesehatan RI: 2017. h1-79.
10. Komite ahli erdikasi Campak Rubella. Pedoman Surveilans CRS di Indonesia.
Kementrian Kesehatan 2017. h1-20.
11. McIntosh ED, Menser MA. A fifty-year follow-up of congenital rubella. Lancet
1992; 340:414.
12. Forrest JM, Turnbull FM, Sholler GF, et al. Gregg’s congenital rubella patients
60 years later. Med J Aust 2002; 177:664.

59
Bronkoskopi fleksibel:
Kapan dilakukan pada anak?
Darmawan B Setyanto

Tujuan:
1. Mengenal alat bronkoskopi dan sejarah singkatnya
2. Memahami ruang lingkup indikasi tindakan bronkoskopi pada
anak
3. Mengetahui prosedur yang dijalankan dalam tindakan
bronkoskopi
4. Mengetahui bahwa bronkoskopi merupakan tindakan invasif
yang relatif aman

Sistem organ respiratori dari aspek anatomi dikaitkan dengan fungsinya dapat
dibagi menjadi dua, zona konduksi dan zona respiratori. Zona konduksi adalah
organ yang menjalankan fungsi penyaluran udara napas maka disebut sebagai
saluran napas (airway). Zona konduksi mulai dari hidung, faring, laring, trakea,
bronkus hingga percabangan bronkus terkecil yaitu bronkiolus terminalis. Di
zona konduksi tidak terjadi pertukaran gas. Zona respiratori adalah organ
yang menjalankan fungsi pertukaran gas (difusi) yang terdiri dari bronkiolus
respiratori dan alveoli dengan kapiler yang melingkupinya, yang disebut juga
parenkim paru.
Dalam menilai masalah medis di sistem respiratori, selain anamnesis
menyeluruh utuh, pemeriksaan fisis cermat, juga diperlukan pemeriksaan
penunjang. Untuk menilai anatomi dan patologi sistem respiratori lazim
dilakukan pemeriksaan pencitraan (imaging diagnostic) mulai dari foto
radiologi polos, ultrasonografi, CT-scan, hingga magnetic resonance imaging
(MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat menilai struktur anatomik dan kelainan
sistem organ respiratori serta organ di sekitarnya, namun untuk menilai zona
konduksi intraluminal, pemeriksaan pencitraan tidak dapat sepenuhnya
membantu. Untuk itu diperlukan modalitas pemeriksaan penunjang lain
yaitu pemeriksaan endoskopi respiratori berupa rinofaringolaringoskopi
dan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi dapat langsung menunjukkan
visualisasi zona konduksi dari sisi intralumen, menilai patensi jalan napas,
dinamikanya, keadaan mukosa, sekresi, dan adanya benda asing.

60
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Bronkoskopi (rigid atau fleksibel) adalah suatu prosedur invasif untuk


visualisasi saluran respiratori atas dan bawah untuk diagnosis dan tatalaksana
spektrum penyakit inflamasi, infeksi, dan malignansi dari saluran respiratori
dan paru.1 Dalam aspek diagnostik, bronkoskopi berfungsi mengkonfirmasi,
menyingkirkan, atau menunjukkan diagnosis yang tidak diduga sebelumnya.2
Saluran respiratori pediatri dibanding pasien dewasa mempunyai banyak
perbedaan dalam anatomi dan patologi, sehingga memerlukan pemahaman
dan ketrampilan tersendiri yang berbeda. Ukuran saluran respiratori anak
yang kecil, perbedaan anatomi laring, perbedaan patologi sesuai kelompok
umur adalah sangat khas, sehingga pemeriksaan endoskopi pada anak sangat
berbeda dengan dewasa.3,4

Gambar 1. Perbedaan anatomi saluran respiratori atas anak dan dewasa

Sejarah
Gustav Killian seorang dokter THT Jerman melakukan bronkoskopi pertama
pada tahun 1897 menggunakan bronkoskopi rigid untuk mengeluarkan tulang
babi yang teraspirasi. Killian dianggap sebagai bapak bronkoskopi. Sejak itu
tindakan bronkoskopi utamanya untuk mengeluarkan benda asing yang
teraspirasi menjadi berkembang. Pada tahun 1920 seorang dokter Amerika
Chevalier Jackson menghaluskan bronkoskopi rigid dan menggunakannya
untuk visualisasi trakea dan bronkus utama. Selanjutnya Victor Negus seorang
dokter Inggris yang bekerja bersama Jackson memperbaiki desain bronkoskopi
rigid.5

61
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

Gambar 2. Gustav Killian dan Shigeto Ikeda

Shigeto Ikeda seorang dokter Jepang membuat dan mengembangkan


bronkoskopi fleksibel untuk pertama kalinya pada tahun 1969. Ini merupakan
temuan yang revolusioner. Bronkoskop fleksibel berupa pipa panjang yang
fleksibel dan mempunyai kemampuan untuk menekuk pada ujungnya hingga
180° ke depan dan 120° ke belakang. Dengan kemampuan tersebut, alat ini
dapat lebih jauh masuk ke saluran respiratori yang lebih kecil.5
Robert E Wood seorang dokter paru anak dari rumah sakit anak
Cincinnati Amerika Serikat, saat ini dianggap sebagai pakar terkemuka di
bidang bronkoskopi anak. Dia menyelenggarakan pelatihan bronkoskopi anak
secara berkala sejak tahun 1981. Dia yang pertama kali melaporkan tindakan
bronkoskopi fleksibel pada anak.6 Di wilayah timur, Wen Jue Soong seorang
dokter anak dari Taiwan melakukan banyak terobosan dalam bronkoskopi
anak, dengan mengembangkan berbagai teknik yang tidak konvensional.7

Gambar 3. Robert E Wood dan Wen-Jue Soong


62
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Jenis
Ada dua jenis bronkoskopi, rigid dan fleksibel, dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Bronkoskopi rigid berbentuk pipa logam lurus.
Bronkoskopi jenis ini yang pertama kali ditemukan.

 
Gambar 4. Bronkoskopi rigid

Jenis kedua, bronkoskopi fleksibel berupa pipa lentur panjang yang


bagian tengahnya fleksibel dan ujungnya dapat menekuk tajam ke depan dan
ke belakang.

Gambar 5. Bronkoskopi fleksibel


 

Pipa lentur tersebut berisi kawat untuk mengendalikan gerakan, saluran


kerja (working channel), dan serat fiberoptik yang dapat meneruskan cahaya
dan gambar yang ditangkap oleh kamera yang berada di ujung skop, yang
kemudian dapat ditayangkan di layar monitor.

 
Gambar 6. Potongan sagital pipa bronkoskop.

63
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

Serat fiberoptik mempunyai kelemahan, yaitu bila rusak karena terlipat


misalnya, maka gambar yang muncul akan mengalami titik hitam sesuai
dengan banyaknya serat yang rusak. Saat ini telah dikembangkan bronkoskopi
fleksibel menggunakan videoskop dengan chip yang ditanam di ujung kamera.
Videoskop ini memberi kualitas gambar yang lebih baik.

Berikut tabel perbandingan kedua jenis bronkoskopi dari berbagai aspek.

Tabel 1. Keunggulan dan kekurangan kedua jenis bronkoskopi.8


Aspek Fleksibel Rigid
Invasi minimal ++
Evaluasi fungsi laring ++ -
Lavase bronko-alveolar ++ +
Biopsi transbronkial ++ +
Visualisasi patologi subglotis +/- ++
Visualisasi fistula, sumbing +/- ++
Penilaian pra-operasi + ++
Intervensi (benda asing, laser) +/- ++

Saat ini penggunaan bronkoskopi fleksibel dengan berbagai keunggulannya


lebih populer dan lebih berkembang karena kemajuan teknologi instrumentasi,
optik, fiberoptik, sumber cahaya, elektronik video, teknik anestesi untuk
menyebut beberapa di antaranya.9 Bronkoskopi rigid masih punya peran
penting, dan penggunaannya secara bersama dengan bronkoskopi fleksibel
dapat meningkatkan kemampuan diagnostik maupun terapetik. Dalam
makalah ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah bronkoskopi fleksibel.

Peralatan
Rangkaian lengkap peralatan bronkoskopi dimulai dengan (1) sumber cahaya
(light source), (2) skop, (3) pemroses citra (image processor) dan (4) layar tayang
untuk menunjukkan gambar yang tertangkap oleh kamera. Peralatan dapat
ditambah komputer dengan papan tombol (keyboard) untuk menyusun laporan
dan printer untuk mencetak laporan hasil tindakan.

Indikasi
Bronkoskopi terindikasi pada setiap masalah respiratori yang melibatkan
saluran trakeobronkial secara langsung maupun tidak langsung. Sejalan
dengan berlalunya waktu, penggunaan bronkoskopi fleksibel pada anak makin
berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi alat bronkoskopi. Penggunaan

64
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

bronkoskopi yang awalnya sebagai alat diagnosis visualisasi lesi anatomik


dan dinamik saluran respiratori atas dan bawah, berkembang menjadi alat
intervensi, terapi dan suportif seperti bilasan bronko-alveolar pemeriksaan
sitologi, virologi dan bakteriologi serta imunologi. Indikasinya berkembang
untuk menjawab adanya gejala atau kelainan radiologi yang tidak dapat
dilakukan dengan pemeriksaan non-invasif. Bronkoskopi juga dapat memandu
pada kasus intubasi yang sulit, kateterisasi fistula, asisten intra-operasi jantung
dan respiratori, pengambilan benda asing distal yang tidak dapat dijangkau
dengan bronkoskopi rigid, serta dapat melakukan biopsi transbronkial.3,4,9
Keputusan untuk melakukan bronkoskopi pada anak harus selalu
dipertimbangkan secara individual berdasarkan pertimbangan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan hasil berbagai pemeriksaan penunjang yang ada.10 Secara
umum indikasi bronkoskopi sangat luas, yang dikombinasikan dari berbagai
rujukan pustaka dapat dilihat sebagai berikut:2,4,8-14
yy Sesak atau stridor persisten
yy Wheezing atau batuk persisten tanpa penyebab jelas
yy Inhalasi benda asing (kombinasi dengan bronkoskopi rigid)
yy Mendengkur, Obstructive sleep apnea
yy Suara serak, tangisan lemah
yy Kesulitan makan, muntah hebat, tersedak berulang
yy Sianosis tanpa penyebab jelas
yy Tersangka fistula esofagus trakeobronkial
yy Tersangka anomali kongenital respiratori
yy Masalah terkait jalan napas artifisial: kesulitan in/ekstubasi, trakeostomi
yy Penyakit paru kronik
yy Oxygen dependent
yy CPAP dependent
yy Trakeobronkial stenosis
yy Atelektasis persisten atau berulang
yy Pneumonia berulang
yy Pneumonia pada pasien imunokompromais
yy Pneumonia intersisial kronik
yy Abses paru, kavitas
yy Asma, bronkiektasis, fibrosis kistik
yy Hiperlusensi fokal, gambaran radiologi abnormal persisten
yy Hemoptisis
yy Aspirasi sekresi endobronkial atau mucous plug
yy Lavase bronkoalveolar diagnostik
yy Inhalasi termal atau kimiawi
yy Tumor mediastinum
yy Sampel biopsi
yy Intubasi sulit

65
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

yy Evaluasi rekonstruksi respiratori


yy Trauma toraks

Di sebuah RS di Paris, dalam suatu studi prospektif, para dokter


melakukan 1328 kali bronkoskopi pada anak dalam 4 tahun. Indikasi tersering
pneumonia berulang sebanyak 294 kasus (22,1%).15

Tabel 2. Indikasi bronkoskopi dan kekerapannya.


Indications n %
Recurrent or persistent pneumonia 294 22.1
Recurrent wheezy bronchitis 204 15.4
Persistent productive cough 120 9.0
Interstitial pneumonitis 93 7.0
Persistent atelectasis 74 5.6
Bronchiectasis 68 5.1
Checking findings after treatment 65 4.9
Adenopathy 51 3.8
Acute pneumonia 48 3.6
Localised hyperlucent lung area 46 3.5
Difficult to treat asthma 41 3.1
Cough (persistent & unresponsive to therapy) 35 2.6
Stridor 33 2.5
Haemoptysis 27 2.0
Persistent wheezing 26 2.0
Suspected foreign body 11 0.8
Miscellaneous 92 7.0
Total 1328 100

Kontra-indikasi
Tentang kontra-indikasi bronkoskopi tidak ada kesepakatan penuh bersama.
Sebenarnya tidak ada kontra-indikasi mutlak untuk bronkoskopi. Menurut
Robert E Wood satu-satunya kontra-indikasi mutlak adalah tidak adanya
indikasi rasional.4,11 Sedangkan menurut American Thoracic Society (ATS)
kontra-indikasi mutlak adalah ketidak-sediaan orangtua menandatangani
informed consent.12
Artikel lain tentang bronkoskopi anak menyatakan, kontra-indikasi mutlak:9,11
yy Hipoksemia berat refrakter
yy Hemodinamik tidak stabil
yy Diatesis hemoragik

66
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Kontra-indikasi relatif: 9,11


yy Neonatus premature dini
yy Hipoksemia berat dan distress napas
yy Hipertensi pulmoner berat
yy Kardiomiopati kongenital sianotik

Alternatif insersi skop


Ada beberapa pintu masuk untuk melakukan bronkoskopi: (1) nasal, (2)
oral, (3) laryngeal mask airway (LMA), (4) endotracheal tube (ETT), (5)
trakeostomi. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya.9,12

Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan pilihan pintu masuk bronkoskopi


Pintu masuk Kelebihan Kekurangan
Alamiah • Inspeksi seluruh sal respiratori • Lebih sulit memantau ventilasi dan
(nasal, oral) • Menilai dinamik, malasia patensi jalan napas
• Ukuran skop masuk lebih besar • Laringospasme
• Gas anestesi terbuang ke sekitar
LMA • Mudah dipasang • Tidak dapat menilai jalan napas atas
• Jalan napas relatif aman • Tidak dapat menilai gerakan pita suara
• Ventilasi dapat dibantu dgn tekanan positif • Membatasi ukuran skop yang masuk
• Perlu sedasi lebih dalam
ETT, • Akses ke saluran distal lebih mudah, cepat • Tidak dapat menilai jalan napas atas
trakeostomi dan stabil • Tidak dapat menilai gerakan pita suara
• Jalan napas lebih terjamin, sekalipun dengan • Tidak dapat menilai dinamika, malasia
sedasi dalam • Membatasi ukuran skop yang masuk
• Lebih mudah untuk re-insersi skop • Perlu sedasi lebih dalam
• Memungkinkan ventilasi tekanan positif
selama tindakan
• Mengurangi risiko kontaminasi area distal

Tahapan tindakan 9,16


Bronkoskopi merupakan tindakan invasif yang berpotensi terjadinya komplikasi.
Oleh karena itu setiap tindakan memerlukan persiapan yang matang, tindakan
yang cermat sebelum, selama dan setelah prosedur dilakukan. Langkah paling
awal adalah penentuan indikasi yang tepat, dan penilaian kelayakan pasien
untuk menjalani tindakan dan tidak ada kontra-indikasi yang menghalangi.
Riwayat penyakit penyerta perlu digali seperti hiperresponsif bronkial, OSAS,
alergi, atau kelainan pembekuan darah.

67
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

Persiapan Sebelum tindakan 9,16


yy Informed consent dari orangtua pasien
yy Evaluasi ulang hasil foto dan/atau CT-scan toraks dan penunjang lain
yy Jika memungkinkan pasien diberi sedasi ringan (conscious sedation) agar
dapat menjalani pemeriksaan dengan tenang, namun pasien masih dapat
bernapas spontan
yy Antibiotik profilaksis perlu diberikan kepada pasien asplenia, atau riwayat
endokarditis
yy Pasien asma perlu dinebulisasi dengan bronkodilator sebelum tindakan
yy Jumlah trombosit, prothrombin time dan partial thromboplastin time perlu
diperiksa bila akan melakukan biopsi transbronkial
yy Makanan padat terakhir 4-6 jam sebelum dan minuman 2-4 jam sebelum
tindakan
yy Akses intravena tersedia
yy Atropin tidak perlu rutin diberikan

Selama tindakan 9,16


yy Saturasi dipantau dengan oksimetri, bila tersedia kapnometri pantau
kadar CO2
yy Terapi oksigen diberikan untuk mencapai saturasi minimal 90%
yy Jika masuk lewat nasal atau oral gel lignokain 2% lebih baik dibanding
lignokain spray
yy Jika menggunakan sedatif, naikkan dosis bertahap untuk mencapai sedasi
dan amnesia yang adekuat
yy Minimal ada dua asisten, salah satunya perawat terlatih
yy Alat resusitasi harus tersedia

Setelah tindakan 9,11,16


yy Perlu dilakukan pengamatan singkat pasca-tindakan.
yy Tempatkan pasien di lokasi yang nyaman.
yy Pemberian oksigen pasca-tindakan mungkin diperlukan pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi paru atau yang masih dalam pengaruh sedasi.
yy Observasi dilakukan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi, dan
hingga keadaan pasien stabil
yy Bila terjadi komplikasi, umumnya akan langsung terlihat saat tindakan
atau tidak lama setelah tindakan selesai.
yy Untuk pasien tanpa ventilator, pemulihan kesadaran dan toleransi oral
perlu dipastikan sebelum memulangkan atau mengembalikan pasien ke
ruang rawat. Pasien tidak boleh diberi makan minum hingga sadar, dan
reflex menelan sudah pulih, yang biasanya 2 jam setelah penghentian
sedasi.

68
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

yy Foto toraks perlu dilakukan 1 jam setelah tindakan bila dilakukan biopsi
transbronkial

Bronkoskopi di PICU-NICU
yy Diameter internal ETT harus dipertimbangkan dengan diameter eksternal
bronkoskop
yy Pasien PICU-NICU dianggap sebagai pasien risiko tinggi untuk mengalami
komplikasi
yy Monitoring multi-modal dilakukan selama dan setelah tindakan
yy Perlu pemahaman tentang penggunaan obat sedasi dan anestesi

Prosedur
Shigeto Ikeda sebagai perancang dan pembuat bronkoskopi fleksibel merupakan
seorang kidal, sehingga bronkoskop dirancang untuk orang kidal. Namun
bronkoskop juga dapat dioperasikan dengan tangan kanan. Operator berada
di arah kepala pasien, dengan tempat tidur pasien pada posisi rendah agar
bronkosopi tidak tertekuk. Tekukan paksa pada skop akan merusak serat
fiberoptik dan akan menyulitkan dalam pengoperasiannya. Jika skop masuk
lewat oral, perlu dipasang bite block untuk melindungi skop dari gigitan pasien.
Ujung skop dilumasi dengan gel.9
Jika skop masuk lewat hidung, anatomi serta fungsi faring dan laring
(kelenjar sublingual, tonsil, aritenoid, epiglotis dan pita suara) dipelajari. Bila
laring tidak dapat terlihat (flasid, hipersekresi), sambungkan aliran udara atau
oksigen 1-2L/menit yang menghasilkan tekanan positif untuk membersihkan
dan membuka area.9
Melewati celah translaringeal dilakukan dengan ujung skop menyusur
sudut depan pita suara memasukinya saat pasien inspirasi lalu menekuk sedikit
ujung skop ke posterior. Untuk mempermudah proses ini dan mencegah spasme
laring dapat disemprotkan lidokain 1% melalui saluran kerja. Setelah mencapai
area subglotik, lidokain dapat disemprotkan lagi. Setiap kali memasukkan
cairan melalui saluran kerja, susulkan dengan sejumlah kecil udara untuk
mendorong cairan yang masih ada di saluran kerja.9
Selama tindakan perlu mengamati aksis trakea dan gerakannya saat pasien
bernapas, adanya kartilago, pars membranasea, karina, kemungkinan adanya
tekanan dari luar lumen atau dislokasi, daerah yang berpulsasi dan sebagainya.
Eksplorasi percabangan bronkus harus sistematik, lengkap dan berurutan.
Pada neonatus dengan BB >2,5kg, praktis semua segmen dapat diperiksa,
kecuali lobus atas. Perlu diperiksa adanya anomali anatomis, sambil mengamati
penampakan mukosa (pucat, eritematous, tipis atau tebal, karakteristik sekresi

69
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

(sedikit, sedang, atau hipersekresi; terlokalisasi atau difus; mucous, purulent,


atau hemoragik), dilanjutkan dengan pengambilan sampel.9

Komplikasi
Kita harus selalu mempertimbangkan manfaat dan mudarat dari semua
tindakan medis termasuk bronkoskopi yang merupakan tindakan inavasif
dan tidak bebas dari kemungkinan komplikasi. Potensi komplikasi yang dapat
terjadi: 4,9,11
yy Trauma nasal, epistaksis
yy Desaturasi, hipoksemia
yy Hiperkarbia
yy Batuk
yy Laringospasme, bronkospasme
yy Bradikardi
yy Perdarahan
yy Trauma dan obstruksi jalan napas
yy Atelektasis
yy Demam, infeksi
yy Pneumotoraks
yy Pneumomediastinum
yy Emfisema

Hipoksemia merupakan komplikasi yang sering terjadi, namun biasanya


bersifat sementara. Saturasi akan kembali normal bila tindakan dihentikan
untuk sementara. Ada beberapa hal yang berperan dalam terjadinya
hipoksemia. Skop bronkoskopi sendiri akan menempati lumen jalan napas
sehingga mengurangi arus udara yang masuk. Pengisapan (suctioning) yang
berlebihan akan menghisap udara termasuk oksigen, hingga menginduksi
atelektasis. Bahkan dengan ventilasi bantuan (assisted ventilation) hiperkarbia
yang berlanjut menjadi asidosis respiratorik dapat terjadi, karena tekanan
ekspiratori rekoil pasif toraks tidak cukup kuat.11
Walaupun merupakan tindakan yang invasif, bronkoskopi pada anak
sejauh ini merupakan tindakan yang aman. Jarang terjadi komplikasi yang
berat. Komplikasi yang terjadi umumnya ringan dan dapat pulih tanpa sisa atau
cedera. Studi dari satu pusat layanan bronkoskopi anak di Paris selama 4 tahun
menunjukkan seluruh komplikasi yang terjadi < 7% dengan komplikasi mayor
<2%. Sebagian besar pasien yang mengalami komplikasi mayor, mempunyai
penyakit dasar (underlying disease).15

70
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 4. Komplikasi bronkoskopi dan kekerapannya.15


Indications Conscious sedation Deep sedation Total
Subjects n 1233 (92.9) 95 (7.1) 1328 (100)
None 1149 (93.2) 88 (92) 1237 (93.1)
At least one complication 84 (6.8) 7 (7.3) 91 (6.9)
Minor complications 63 (5.1) 6 (6.3) 69 (5.2)
Isolated excessive coughing 22 (1.8) 0 22 (1.7)
Excessive nausea + coughing 20 (1.6) 0 20 (1.5)
Isolated desaturation# 9 (0.7) 6 (6.3)*** 15 (1.1)
Epistaxis 6 (0.5) 0 6 (0.5)
Transient laryngospasm} 6 (0.5) 0 6 (0.5)
Major complications 21 (1.7) 1 (1.0) 22 (1.7)
Important desaturation 20 (1.6) 1 (1.0) 21 (1.6)
Isolated 9 (0.7) 1 (1.0) 10 (0.8)
with laryngospasm 6 (0.5) 0 6 (0.5)
with coughing 4 (0.3) 0 4 (0.3)
with bronchospasm 1 (0.1) 0 1 (0.1)
Pneumothorax 1 (0.1) 0 1 (0.1)
Data are presented as n (%). #: arterial oxygen saturation (Sa,O2)o90%; }: without desaturation;z: Sa,O2v90%. ***:
p<0.001, conscious VS deep sedation.

Laporan dari sebuah senter di Taiwan yang melakukan 725 prosedur


dalam 5 tahun, tidak mendapatkan komplikasi jangka panjang atau kematian.13
Laporan dari Singapura, dalam 10 tahun mereka melakukan 216 bronkoskopi.
Hipoksemia merupakan komplikasi yang sering terjadi, 1 kasus aritmia dan 4
kasus spasme laring, namun tidak ada satupun yang fatal.14 Terkawi dkk dari
Arab Saudi yang melakukan bronkoskopi pada 149 anak dalam kurun waktu
9 tahun (2006-2015) juga tidak menemukan komplikasi serius. Komplikasi
terbanyak berupa hipoksemia selintas, batuk, perdarahan ringan dan spasme
jalan napas.2

Bronkoskopi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/


RSCM
Setelah sempat tidak dapat mengerjakan bronkoskopi karena ketiadaan
alat, Departemen Ilmu Kesehatan Anak (DIKA) FKUI-RSCM mulai aktif
kembali memberikan pelayanan bronkoskopi sejak tahun 2015. Ada 2 skop
yang dioperasikan di DIKA, 1 skop pediatrik dengan diameter luar 3,5mm
dan skop Ultrathin dengan diameter luar 2,8mm, yang keduanya mempunyai
saluran kerja. Sejak pertengahan 2015 hingga Oktober 2017, DIKA FKUI/
RSCM telah dilakukan sebanyak 112 kali bronkoskopi. Usia pasien terbanyak
di bawah 1 tahun yaitu 60 kali, indikasi tersering adalah atelektasis paru 34
kasus, dan sebagian besar (43 kasus) tindakan dilakukan di Pediatric ICU

71
Bronkoskopi fleksibel:Kapan dilakukan pada anak?

atau Neonatal ICU. Hipoksemia ringan cukup sering terjadi, namun segera
membaik dengan menghentikan sementara tindakan bronkoskopi. Sejauh ini
belum pernah terjadi komplikasi yang serius.

Simpulan
Bronkoskopi merupakan modalitas pemeriksaan penunjang diagnosis maupun
terapetik yang sangat penting pada kasus respiratori anak. Indikasi bronkoskopi
sangat luas dan beragam, sehingga untuk saat ini dan seterusnya, bronkoskopi
merupakan modalitas diagnostik maupun terapetik yang sangat diperlukan di
bidang pediatri. Mengingat potensi komplikasi tindakan yang invasif, maka
perlu analisis cermat atas indikasi dan keadaan klinis pasien, pemantaun ketat
selama tindakan dan pengamatan pasca-tindakan. Ketrampilan pelaksana akan
mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Dengan demikian pelatihan
sangat penting dilaksanakan untuk setiap operator bronkoskopi.

Daftar pustaka
1. American Association for Respiratory Care CPG Steering committee.
Bronchoscopy assisting. Respir Care. 2007;52:74-80.
2. Terkawi RS, Altirkawi KA, Terkawi AS, Mukhtar G, Al-Shamrani A. Flexible
bronchoscopy in children: utility & complications. Intern J Pediatr Adolesc Med
2016; 3:18-27.
3. The Thoracic Society of Australia and New Zealand. A position paper. Paediatric
flexible bronchoscopy. J Paed Child Health 2003. 38; 555-9.
4. Sias SMA, Domingues ACB, Mannarino RV. Pediatric bronchoscopy. Dalam:
Haranath SP, Razvi S, penyunting. Global perspectives on bronchoscopy. InTech,
2012. h.177-200.
5. Panchabai TS, Mehta AC. Historical perspective of bronchoscopy. Ann Am
Thorac Soc. 2015; 12:631-41.
6. Wood RE, Fink RJ. Applications of flexible fiberoptic bronchoscopes in infants
and children. Chest. 1978; 73:737–740.
7. Soong WJ, Tsao PC, Lee YS, Yang CF. Therapeutic flexible airway endoscopy of
small children in a tertiary referral center – 11 year’s experience. PLoS ONE.
2017;12: e0183078.
8. Nicolai T. Pediatric bronchoscopy. Pediatr Pulmonol. 2001; 31:150-64.
9. Perez-Frias J, Galdo AM, Ruiz EP, De Aguero MIBG, Montaner AE, Aguilera
PC. Pediatric bronchoscopy guidelines. Arch Bronconeumol. 2011;47:350–60.
10. Midulla F, deBlic J, Barbato A, Bush A, Eber E, Kotecha, dkk. Flexible endoscopy
of paediatric airways. Eur Respir J. 2003: 22:698-708.
11. Sharma S. Bronchoscopy in children. Indian J Clin Pract. 2014: 24:1081-3.
12. Faro A, Wood RE, Schecter MS, Leong AB, Wittkugel E, Abode K, dkk. Official
American Thoracic Society Technical Standards: Flexible airway endoscopy in
children. Am J Respir Crit Care Med. 2015; 191:1066-80.

72
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

13. Peng YY, Soong WJ, Lee YS, Tsao PC, Yang CF, Jeng MY. Flexible bronchoscopy
as a valuable diagnostic and therapeutic tool in pediatric ICU. Pediatr Pulmonol.
2011; 46:1031-7.
14. Woodhull S, Neo AGE, Lin JTP, Chang OM. Pediatric flexible bronchoscopy
in Singapore. A 10-year experience. J Bronchol Intervent Pulmonol. 2010;
17:136-41.
15. de Blic J, Marchac V, Scheinmann P. Complications of flexible bronchoscopy in
children: prospective study of 1,328 procedures. Eur Respir J. 2002; 20:1271-6.
16. Honeybourne D, Babb J, Bowie P, Brewin A, Fraise A, Garrard C, dkk. British
Thoracic Society guidelines on diagnostic flexible bronchoscopy. Thorax.
2001;56:i1–21.

73
Kiat menegakkan diagnosis penyakit
jantung bawaan
Najib Advani

Objektif
1. Memahami pentingnya diagnosis dini pada penyakit jantung
bawaan
2. Memahami alur pendekatan diagnostik pada penyakit jantung
bawaan
3. Memahami aspek rujukan pasien dengan penyakit jantung
bawaan

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan atau cacat bawaan yang
paling sering ditemukan. Angka kejadian PJB berkisar 1% dari kelahiran
hidup. Keterlambatan diagnosis PJB, terutama jenis PJB kritis pada neonatus
dapat berakibat fatal. Sedangkan pada anak dengan PJB yang non kritis, pada
sebagian kasus keterlambatan juga dapat mengakibatkan berbagai dampak
negatif misalnya gangguan tumbuh kembang, abses otak (PJB sianotik), gagal
jantung dan hipertensi pulmonal (pirau kiri ke kanan yang besar). Mengenali
PJB secara dini merupakan suatu keharusan bagi dokter anak baik saat rawat
jalan maupun rawat inap. Pada makalah ini akan dibicarakan garis besar
pendekatan ke arah diagnostik PJB secara umum.

Klasifikasi PJB
Klasifikasi PJB dapat digolongkan atas beberapa cara. Untuk keperluan klinis
dan alur diagnostik, terbagi menjadi PJB sianotik dan non sianotik. Untuk
golongan non sianotik, dibedakan pirau kiri ke kanan dan obstrukstif sehingga
PJB dibagi atas 3 kelompok besar yaitu PJB dengan pirau kiri ke kanan, PJB
obstruktif dan PJB sianotik. 1PJB dengan pirau kiri ke kanan
Pirau dapat terjadi pada tingkat atrium (defek septum atrium), ventrikel
(defek septum ventrikel) atau arteri pulmonalis (duktus arteriosus persisten).
Terjadi volume berlebih di jantung maupun paru. Peningkatan aliran
darah ke paru atau kongesti pasif di paru misalnya akibat gagal jantung
atau stenosis mitral mengakibatkan cairan interstitial di paru berlebihan

74
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

sehingga memudahkan terjadinya perkembang- biakan bakteri. Keadaan ini


menyebabkan pasien dengan pirau kiri ke kanan akan mudah terkena infeksi
saluran napas dan proses penyembuhan juga lebih lambat.Volume berlebih di
jantung akan mengakibatkan kardiomegali dan jika kondisi memberat dapat
terjadi gagal jantung. Akibat aliran ke paru yang bertambah menyebabkan
segmen pulmonal membesar dan vaskular paru meningkat. Pada kasus yang
berat dapat terjadi gagal jantung serta gangguan pertumbuhan. Bising yang
terjadi berupa bising aliran (flow murmur) misalnya pansistolik pada defek
septum ventrikel. Pada pemeriksaan EKG jika masih ringan tidak dijumpai
kelainan yang mencolok tetapi jika sudah terjadi defek septum atrium atau
defek septum ventrikel yang besar dapat dijumpai gambaran hipertrofi ventrikel
kanan atau kiri. Tanda dan gejalayang terjadi:
yy Tidak ada sianosis
yy Sering mengalami infeksi saluran napas
yy Berkeringat
yy Gagal tumbuh
yy Cenderung terjadi gagal jantung
yy Iktus kordis yang menonjol
yy Kardiomegali dan corakan paru meningkat pada foto toraks
yy Bising aliran (flow murmur)

PJB obstruktif
Penyakit jantung obstruktif terjadi akibat obstruksi aliran darah di jalan
keluar ventrikel (ouflow tract) mengalami peningkatan tekanan di proksimal
obstruksi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya hipertrofi tanpa pembesaran
ruang jantung misalnya hipertrofi ventrikel kanan pada stenosis pulmonal
yang signifikan.
Tanda dan gejala:
yy Tidak ada sianosis
yy Bising ejeksi yang dapat teraba sebagai thrill (getaran bising)
yy Pada foto toraks ukuran jantung dan corakan paru normal
yy Pada EKG dapat tampak hipertrofi
yy Tidak disertai gangguan pertumbuhan yang mencolok. PJB sianotik
Adanya sianosis berarti darah yang tidak teroksigenasi masuk ke sirkulasi
sistemik tanpa melewati paru. Tanda dan gejala:
yy Sianosis
yy Jari tabuh
yy Polisitemia

75
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan

Pendekatan cara lain sebagai langkah awal menentukan diagnosis kerja


pasien dengan kecurigaan PJB mencakup pendekatan sistematik dengan 3
hal sebagai berikut2 :
1. PJB dapat dibagi atas 2 kelompok besar berdasarkan ada atau tidaknya
sianosis yang dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisis atau
oksimetri.
2. Kelompok ini dapat dibagi berdasarkan gambaran foto toraks dengan
melihat corakan vaskular paru yaitu adakah peningkatan, penurunan atau
normal.
3. Penilaian berdasarkan hasil pemeriksaan EKG apakah terdapat a hipertrofi
ventrikel dan atau atrium.
Dengan mengikuti alur ini secara mengerucut diagnosis kerja dapat
ditegakkan dan selanjutnya diagnosis definitif ditentukan berdasarkan hasil
pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi, CT scan, MRI atau
kateterisasi jantung.

Anamnesis
Anamnesis merupakan hal yang penting atau pembuka jalan sebelum kita
sampai ke pemeriksaan fisis. Seperti telah disebutkan keluhan seperti mudah
lelah atau bertambah biru saat aktivitas , riwayat infeksi saluran napas berulang
dapat merupakan gejala dari PJB. Keluhan biru dapat merupakan ciri PJB
sianotik atau non sianotik yang sudah terjadi pirau kanan ke kiri (Eisenmenger).

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis merupakan hal penting, pada PJB sianotik, sianosis terutama
tampak di bibir dan kuku selain itu juga dapat ditemukan jari tabuh .
Perlu diperhatikan dan dicariapakah terdapat kelainan sistemik, misalnya
wajah dismorfik atau kelainan fisis lain seperti pada beberapa sindrom sering
disertai dengan PJB misalnya sindrom Down, sindrom Turner, sindrom Noonan,
sindrom Marfan dsb. Pemeriksaan ada tidaknya bising jantung sangat penting
untuk......?

Bunyi dan bising jantung


Bunyi jantung 1 (S1)
Timbul akibat penutupan katup mitral dan trikuspid. Bunyi ini menandai awal
dari fase sistolik dan bersamaan dengan gelombang q pada EKG. Bunyi dengan
nada rendah ini jelas terdengar di apeks dengan menggunakan stetoskop

76
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

sungkup. Bunyi ini terdengar bersamaan dengan perabaan denyut pada iktus
kordis dan arteri karotis.

Bunyi jantung 2 (S2)


Bunyi jantung 2 terjadi karena penutupan katup aorta dan pulmonal. Bunyi
ini jelas terdengar bila menggunakan stetoskop membran di basis jantung.
Pada anak biasanya bunyi terpecah (split) pada saat inspirasi

Bunyi jantung 3 (S3)


Bunyi ini terdengar akibat pengisian yang cepat dari ventrikel kiri. Terdengar
pada awal fase diastolik, lebih jelas dengan menggunakan stetoskop sungkup.
Bunyi jantung 3normal terdengar pada anak dan dewasa muda.

Bunyi jantung 4 (S4)


Bunyi jantung 4 timbul akibat kontraksi atrium dan hampir selalu patologis
misalnya pada gagal jantung. Bunyi ini terdengar sebelum fase sistolik
(presistolik)
Irama gallop (irama derap) terdiri dari komponen S1, S2, dengan S3
yang keras dengan atau tanpa S4 dan disertai takikardia. Biasanya dijumpai
pada keadaan patologis seperti gagal jantung kongestif. Pada irama derap
sumasi (summation gallop) terdapat takikardia dengan S3 dan S4 menyatu
(superimposed)
Dengan mengenal dan dapat membedakan bunyi jantung S1 dan S2,
maka kita dapat menentukan fase sistolik (antara S1 dan S2) dan fase diastolik
(antara S2 dan S1). Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik. Dengan
mengetahui fase sistolik dan diastolik dapat ditentukan fase dari bising jantung
misalnya pansistolik atau diastolik dini dsb (lihat gambar 1)3 Beberapa hal
yang perlu dinilai dalam pemeriksaan suatu bising jantung adalah3:
1. Intensitas bising, dibagi atas 6 derajat:
Derajat 1 : bising lemah dan tidak mudah terdengar
Derajat 2 : bising dapat terdengar dengan mudah, tetapi tidak keras.
Derajat 3 : bising terdengar cukup keras tetapi tanpa getaran bising (thrill)
Derajat 4 : bising yang keras dan disertai dengan getaran bising
Derajat 5 : bising terdengar jelas meskipun hanya sebagian stetoskop
menempel di dada
Derajat 6 : bising terdengar jelas meskipun stetoskop tidak menempel di
dada

77
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan

2. Fase dan kontur (lihat gambar1)


a. Bising sistolik :
ŠŠ bising pansistolik/holositolik : mulai bersamaan dengan S1, datar
dan berakhir bersamaan dengan S2, mengisi seluruh fase sistolik
ŠŠ bising ejeksi sistolik: terdapat interval dengan S1, bersifat
kresendo (mengeras), kemudian melemah (dekresendo)
ŠŠ bising sistolik dini : pada awal fase sistolik, berbarengan dengan
S1, dekresendo
ŠŠ bising sistolik akhir : pada akhir fase sistolik sampai S2, kresendo
b. Bising diastolik:
ŠŠ bising diastolik dini : pada awal fase diastolik, bersamaan dengan
S2, dekresendo
ŠŠ bising mid diastolik : pada pertengahan fase diastolik, kresendo-
dekresendo
ŠŠ bising diastolik akhir : pada akhir fase diastolik, sampai ke S1,
kresendo

Gambar 1. Kontur dan fase bising. (a) bising pansistolik; (b) bising sistolik dini; (c) bising ejeksi sistolik;
(d) bising sistolik akhir; (e) bising diastolik dini; (f) bising mid-diastolik; (g) bising diastolik akhir; (h) bising
kontinu; (i) bising to and fro.3

78
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

c. Bising sistolik dan diastolik


ŠŠ bising kontinu :mulai pada fase awal sistolik dan berlanjut
terus melewati S2 sampai ke fase diastolik bersifat kresendo-
dekresendo.
ŠŠ bising to and fro sebenarnya merupakan kombinasi dari bising
ejeksi sistolik dengan diastolik dini.
3. Pungtum maksimum ialah bising yang terdengar paling keras
4. Penjalaran : ditentukan ke arah mana bising tersebut dapat diikuti dengan
jelas hingga suara bising melemah.

Berdasarkan ada/tidaknya kelainan anatomis, bising jantung dibagi atas


2 kelompok 4 :
1. Bising patologisBising ini terjadi akibat adanya suatu kelainan anatomis
pada jantung. Perlu diingat bahwa tidak semua PJB menimbulkan suara
bising jantung misalnya pada PJB yang kompleks. Begitupun sebaliknya
tidak semua bising jantung menunjukkan adanya kelainan jantung,
misalnya bising inosenTabel 1. Bising patologi pada berbagai penyakit
jantung 3,4

Jenis PJB Bunyi/bising jantung


Lokasi : daerah pulmonal (sela iga 2 parasternal kiri)
Defek septum atrium S2 split lebar dan menetap, bising ejeksi sistolik
Stenosis katup pulmonal S2 mungkin terpecah , ejeksi sistolik
Stenosis katup aorta ejeksi sistolik
Tetralogi Fallot ejeksi sistolik panjang
Koarktasio aorta ejeksi sistolik
Duktus arteriosus persisten bising kontinu, daerah infraklavikular
Anomali total drainase v. pumonalis ejeksi sistolik, mungkin ada split S2
Anomali partial drainase v. pulmonalis ejeksi sistolik
Lokasi : daerah aorta ( parasternal kanan atas)
Stenosis katup aorta S2 mungkin tunggal, ejeksi sistolik
Stenosis subaortik ejeksi sistolik
Stenosis aorta supravalvular ejeksi sistolik
Lokasi : daerah trikuspid (4 parasternal kiri atas)
Defek septum ventrikel pansistolik, P2 dapat mengeras
Defek septum atrioventrikular komplit pansistolik, middiastolik
Regurgitasi/insufisiensi trikuspid pansistolik
Tetralogi Fallot ejeksi sistolik, lebih jelas di daerah pulmonal
Lokasi : daerah apeks (iktus kordis)
Regurgitasi/insufisiensi mitral pansistolik, menjalar ke lateral/aksila kiri
Prolaps katup mitral sistolik akhir
Stenosis katup aorta ejeksi sistolik, kadang lebih jelas di apeks diband-
ingkan di daerah aorta
S2 : bunyi jantung 2. P2 : komponen pulmonal pada bunyi jantung 2

79
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan

2. Bising inosen
Merupakan bising yang bukan disebabkan oleh kelainan anatomis jantung
dan disebut sebagai bising fisiologis atau bising non patologis. Umumnya
bising inosen berderajat rendah (<3), terjadi pada fase sistolik (kecuali
venous hum atau bising vena) dan penjalarannya tidak jelas (kecuali
bising dari cabang a. pulmonalis )(lihat tabel 2)

Tabel 2. Bising inosen yang sering ditemukan pada anak 4,5


Nama bising Jenis bising Lokasi bising
Bising Still ejeksi sistolik, bergetar parasternal kiri bawah, dekat apeks
Bising pulmonal sistolik ejeksi sistolik sela iga 2 parasternal kiri
Bising cabang a. pulmonalis ejeksi sistolik sela iga 2 parasternal kiri/kanan.
Dengung/bising vena kontinu leher ,supraklavikular kiri/ kanan
Bising karotid ejeksi sistolik supraklavikular/karotis terutama kanan

Kadang pada pemeriksaan fisis timbul keraguan antara bising inosen


dan patologis. Jika pemeriksa adalah ahli jantung anak yang berpengalaman,
maka tingkat ketepatannya dalam memastikan jenis bising tinggi, sehingga
sering tidak dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks atau
ekokardiografi jika ditemukan bising inosen 5,6 Jika merujuk pasien dengan
bising inosen harus berhati-hati agar orangtua tidak cemas karena berpikir
anaknya menderita kelainan jantung padahal belum tentu demikian.. JIka
setelah dirujuk terbukti bising inosen orangtua harus diyakinkan supaya tidak
timbul persepsi yang salah yang dapat menjadi beban pikiran.7

Suatu bising adalah bukan bising inosen jika ditemukan: 4


1. Adanya gejala klinis misalnya cepat lelah, palpitasi, nyeri dada dsb
2. Sianosis
3. Bising diastolik
4. Bising sistolik yang keras (derajat 3/>) dan penjalaran bising jelas.
5. Denyut nadi yang sangat kuat atau sangat lemah
6. Adanya bunyi jantung yang tidak normal
7. Foto torak yang abnormal
8. EKG yang abnormal
Adanya bising jantung saat lahir menunjukkan lesi obstruktif (misalnya
stenosis pulmonal atau stenosis aorta) atau lesi regurgitan misalnya regurgitasi
trikuspid ( pada hipertensi pulmonal) atau regurgitasi mitral. Bising jantung
yang baru timbul beberapa hari setelah lahir biasanya menunjukkan lesi dengan
pirau kiri ke kanan misalnya defek septum ventrikel. Hal ini karena pirau kiri

80
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

ke kanan baru dapat terjadi saat resistensi vaskular paru menurun sehingga
tekanan di ventrikel kanan juga turun. Bising regurgitan juga dapat timbul
pada saat ini jika terdapat dilatasi ventrikel.

Pemeriksaan penunjang pada PJB


1. Foto toraksSebelum era ekokardiografi, foto toraks merupakan bagian
utama dalam evaluasi kardiologi. Pemeriksaan ini juga tetap bermanfaat
sebagai pemeriksaan pendahuluan. Foto toraks juga dapat memberi
informasi tambahan yang tidak dapat diberikan oleh ekokardiografi
misalnya gambaran parenkim paru, saluran napas dan struktur vaskular
yang berhubungan dengan jantung serta tulang 4.
Pemeriksaan ini dapat melihat perubahan pada vaskularisasi paru
akibat kelainan jantung misalnya vaskularisasi paru yang meningkat pada
pirau kiri ke kanan (defek septum atrium, defek septum ventrikel, duktus
arteriosus persisten) atau vaskularisasi paru berkurang misalnya pada
atresia pulmonal. Pada beberapa jenis PJB, siluet pada foto anteroposterior
dapat membantu menegakkan diagnosis misalnya jantung bentuk sepatu
pada tetralogi Fallot atau atresia trikuspid; bentuk telur pada transposisi
arteri besar; gambaran manusia salju pada anomali total drainase vena
pulmonalis tipe suprakardiak.
Tepi kanan jantung dibatasi oleh atrium kanan yang jika membesar
akan tampak sebagai pembesaran jantung ke arah kanan. Pembesaran
ventrikel kiri (misalnya pada defek septum ventrikel, duktus arteriosus
persisten, koarktasio aorta) akan tampak sebagai apeks yang landai
sedangkan pembesaran ventrikel kanan (misalnya pada defek septum
atrium, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot) sebagai apeks yang terangkat.

2. EKG
Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan yang sederhana ,mudah
dikerjakan dan bermanfaat dalam diagnosis dan tata laksana penyakit
jantung pada anak. EKG dapat membantu diagnosis klinis dengan
menunjukkan adanya hipertrofi jantung. Pada defek septum ventrikel
misalnya akan tampak hipertrofi ventrikel kiri sedangkan pada defek
septum atrium tampak hipertrofi ventrikel kanan. Penentuan aksis
jantung pada EKG juga dapat membantu diagnosis misalnya aksis QRS
deviasi kekanan (RAD, right axis deviation) pada tetralogi Fallot atau
deviasi aksis ke kiri (LAD, left axis deviation) pada atresia trikuspid.

81
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan

3. Puls oksimetri
Pulse oksimetri dapat mendeteksi hipoksemia sebelum terjadi sianosis..
Pada neonatus dengan PJB sianotik bahkan yang kritis gejala dan tanda
mungkin belum muncul pada hari pertama setelah lahir sehingga pasien
dipulangkan dengan diagnosis bayi sehat padahal ada kemungkinan bayi
menderita PJB sianotik yang kritis terutama PJB dengan duct dependent.
Setelah dipulangkan bayi dapat mengalami perburukan dan terlambat
ditangani. Untuk mencegah hal itu saat ini dianjurkan pemeriksaan
puls oksimetri sebagai alat skrining untuk mendeteksi secara dini bayi
dengan PJB sianotik 2,8. Puls oksimetri mudah dilakukan, murah serta
tidak memerlukan keterampilan khusus seperti halnya ekokardiografi.
Manfaat skrining puls oksimetri neonatus dapat mendeteksi
hipoksia misalnya pada kasus tetralogi Fallot, atresia pulmonal, atresia
trikuspid, transposisi arteri besar, koarktasio aorta danhipoplasia /atresia
aorta. Sebagian dari kelainan tersebut bergantung pada duktus arteriosus.
Jika duktus arteriosus menutup, maka akan terjadi gagal jantung yang
dapat berakibat fatal 2.
Pemeriksaan puls oksimetri dilakukan pada usia 24 - 48 jam. Caranya
diletakkan di tangan kanan (preductal, sebelum aliran ke duktus arteriosus)
dan kaki kanan atau kiri. (post ductal, setelah aliran ke duktus arteriosus).
Pemeriksaan dilakukan pada saat bayi terjaga, tenang dan hangat. Hindari
pemeriksaan saat bayi menangis, dingin atau tidur terlelap (deep sleep).
Hasil dinyatakan normal jika saturasi 95%-100% pada tangan kanan dan
kaki. Jika saturasi di bawah 90% harus segera dilakukan ekokardiografi.2,8

4. Ekokardiografi trans-torakal (trans- thoracal echocardiography, TTE)


Pada mayoritas pasien diagnosis PJB dapat ditegakkan cukup dengan TTE
atau biasa disebut ekokardiografi saja. Pemeriksaan ini mempunyai banyak
keunggulan non-invasif, portabel, tanpa radiasi dan relatif mudah didapat
dengan biaya yang tidak terlalu mahal serta dapat memberi informasi yang
rinci tentang morfologi dan fungsi jantung. Pada mayoritas pasien, TTE
dapat memberi gambaran evaluasi anatomi jantung (misalnya orientasi
serta koneksi veno-atrial, antrioventrikular dan ventrikulo arterial),
morfologi struktur jantung, fungsi ventrikel dan katup, adanya pirau dan
fungsi hemodinamik (misalnya derajat regurgitasi, evaluasi pirau dan
kecepatan pada lokasi obstruksi).
Pemeriksaan ini sangat bermanfaat terutama pada bayi dan anak
karena selain non invasif juga memberikan gambaran yang jelas. Meskipun
demikian, pada anak besar dan jika terdapat kelainan paru, terdapat
keterbatasan jendela akustik yang menghalangi penetrasi ke jantung

82
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

sehingga resolusi menjadi kurang baik. Kelemahan TTE dalam hal


mendeteksi arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya serta aorta bagian
distal dan arteri koroner distal.9

5. Ekokardiografi trans-esofageal (trans-esophageal echocardiography,


TEE)
Kadang pemeriksaan ekokardiografi (TTE) tidak dapat memberi gambaran
yang memuaskan misalnya pada anak yang gemuk atau secara anatomi
memang sulit seperti defek septum atrium pada anak besar atau
untuk menilai hasil operasi perbaikan katup jantung. Pada kasusseperti
ini, pemeriksaan ekokardiografi trans-esofageal sangat bermanfaat.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan transduser ke dalam
esofagus sehingga bersifat semi invasif.

6. Magnetic resonance imaging (MRI)


Pemeriksaan dengan MRI jantung (cardiac MRI) dapat memberi gambaran
pencitraan yang diperlukan untuk evaluasi struktural dan fungsional tanpa
hambatan akibat ukuran tubuh maupun jendela akustik yang buruk. Tetapi
alat ini mahal sehingga hanya beberapa RS besar yang mempunyai fasilitas
pemeriksaan dengan MRI jantung. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini
dapat menggantikan peran pemeriksaan invasif seperti angiografi dan
bebas dari radiasi sehingga lebih unggul dari CT scan. Kelemahannya
adalah tidak dapat digunakan pada pasien dengan alat pacu jantung
dan aritmia karena dapat mengurangi kualitas gambar MRI 10. Selain
itu pemeriksaan MRI memerlukan waktu relatif lama (berkisar 45-60
menit) karena untuk mengurangi artefak akibat gerakan sehingga menjadi
hambatan pada pasien anak karena memerlukan sedasi atau anestesi yang
lama juga 9.

7. Computerized tomography (CT)


Pemeriksaan dengan CT scan memberikan resolusi spasial yang sangat baik
serta akses yang tak terbatas dalam waktu pemeriksaan yang lebih singkat
dibanding pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan ini menjadi pemeriksaan
alternatif terhadap MRI pada pasien dengan alat pacu jantung maupun
yang menggunakan implantable cardioverter-defibrillator. Kelemahan
utama dari CT adalah tingkat radiasi ionisasi yang dihubungkan dengan
risiko terjadinya kanker. Selain itu jika dibandingkan dengan MRI
adalah kontras jaringan yang kurang serta kurangnya kemampuan untuk
mengevaluasi fungsi kardiovaskular 9.

83
Kiat menegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan

8. Kateterisasi jantung
Sejak tahun 1950 kateterisasi jantung sudah dilakukan untuk mengetahui
fisiologi penyakit jantung bawaan. Pada era tahun 80- an, ekokardiografi
mulai digunakan dan pada tahun 90- an ekokardiografi trans-esofageal,
MRI dan selanjutnya CT scan mulai banyak digunakan 9. Berbagai
pemeriksaan ini telah mengurangi peran kateterisasi sebagai modalitas
diagnostik. Hal ini karena kateterisasi jantung membutuhkan biaya
yang mahal, invasif, tidak portabel dan memiliki efek radiasi. Keunggulan
kateterisasi jantung adalah dapat memberikan data yang lengkap tentang
anatomi dan fisiologi jantung. Saat ini penggunaan kateterisasi jantung
mulai bergeser dari diagnostik ke arah terapeutik misalnya penutupan
defek dengan alat seperti pada duktus arteriosus persisten, defek septum
atrium, defek septum ventrikel serta septostomi dan valvuloplasti balon.

Tata laksana PJB


Jika seorang anak dicurigai menderita PJB, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang awal yang dapat menyokong diagnosis yaitu misalnya foto toraks,
EKG dan puls oksimetri. Jika keadaan umum kurang baik perlu stabilisasi
dan pertolongan pertama untuk memperbaiki keadaan umum. Jika terdapat
gagal jantung harus segera ditangani sebelum dirujuk. Rujukan sebaiknya
dilakukan dengan cermat dan hati- hati, komunikasi yang baik dengan
orangtua pasien untuk menghindari kesalah- pahaman..Transportasi pasien
juga perlu dipersiapkan dengan baik agar pasien dapat tiba dengan selamat
ke rumah sakit yang dituju.

Simpulan
Kemampuan mendeteksi secara dini adanya PJB merupakan suatu keterampilan
yang harus dimiliki oleh dokter anak. . Semua tanda dan gejala yang menjurus
ke arah suatu kelainan jantung bawaan harus dicermati dengan teliti. Untuk
itu diperlukan anamnesis serta pemeriksaan fisis yang lengkap. Jika dicurigai
terdapat kelainan jantung maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
awal sebelum merujuk . Saat merujuk ke dokter spesialis jantung anak perlu
komunikasi yang baik dengan orangtua agar tidak menimbulkan dampak
psikologis yang berat karena belum terbukti pasien menderita kelainan jantung.

Daftar pustaka
1. Tandon P. Bedside approach in the diagnosis of congenital heart disease. Edisi ke-2
New Delhi:Sitaram Bhartia Institute of Science and Research. 2011. h.12-123.

84
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

2. Bernstein D. Evaluation and screening of the infant or child with congenital


heart disease. Dalam Kliegman, Stanton, St Geme, Schor, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-20Philadelphia:Elsevier.2016.h.2187-8.
3. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S,. Diagnosis fisis pada anak. Edisi
ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2000.h75-94.
4. Park, MK. Pediatric cardiology for practitioners.Edisi ke-6 Philadelphia: Elsevier
- Saunders. 2014.h.9-40.
5. Advani N. Parents’ and children’s perception of innocent murmurs(Thesis).
Melbourne: Department of Cardiology, Royal Children’s Hospital-University of
Melbourne; 1998.
6. Advani N, Menahem S, Wilkinson JL. The diagnosis of innocent murmurs in
childhood. Cardiol Young. 2000;10:340-342.
7. Advani N, Menahem S, Wilkinson JL. Innocent murmurs : the perception of the
parents versus that of the child. Cardiol Young. 2002; 12:587-588.
8. Mahle MT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk.
Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a
cientific tatement from the AHA and AAP.Circulation.2009;120:447-58
9. Prakash A, Powell AJ, Geva T. Multimodality noninvasive imaging for assessment
of congenital heart disease. Circ Cardiovasc Imaging. 2010;3:112-25.
10. Greenberg SB. Magnetic resonance imaging. Dalam : Koenig P, Hijazi ZM,
Zimmerman F, Penyunting.. Essential pediatric cardiology. Edisi ke-1. New York:
McGraw-Hill. 2004.h.351-7.

85
Pencegahan malnutrisi pada awal
kehidupan: penekanan pada masalah
mikronutrien
Aryono Hendarto

Tujuan
1. Mengetahui pentingnya nutrisi adekuat pada awal kehidupan
2. Mengetahui dampak malnutrisi termasuk defisiensi mikronutrien
bagi tumbuh kembang
3. Mengetahui cara mencegah terjadinya malnutrisi terutama
mikronutrien pada praktik klinis

Nutrisi yang memadai diperlukan untuk perkembangan tubuh yang normal.


Nutrisi sangat penting selama masa kehamilan dan masa kanak-kanak saat
terjadi pembentukan dan perkembangan otak yang signifikan; meletakkan
dasar untuk pengembangan keterampilan kognitif, motor, dan sosio-emosional
sepanjang masa kehidupan. Dengan demikian, kekurangan gizi selama
kehamilan dan bayi dapat sangat mempengaruhi kognisi, perilaku, dan
produktivitas selama tahun-tahun sekolah dan masa dewasa. Berfokus pada
periode awal ini untuk pencegahan kekurangan nutrisi memiliki manfaat
jangka panjang dan luas bagi individu dan masyarakat.

Nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan


Masa 1000 hari pertama merupakan masa yang sangat vital dalam pertumbuhan
manusia, perhatian terhadap asupan nutrisi dan mikronutrien tentunya
memiliki peran yang sangat penting. Pemberian asupan yang benar untuk
bayi dan anak dapat didasarkan pada rekomendasi dari WHO tahun 2003
yang menyebutkan bahwa ASI sebaiknya diberikan sesegera mungkin setelah
melahirkan (< 1 jam) dan secara eksklusif selama 6 bulan. Rekomendasi itu
dilanjutkan dengan berikan makanan pendamping ASI (MPASI) pada usia
genap 6 bulan sambil melanjutkan ASI sampai 24 bulan. MPASI yang baik
adalah yang memenuhi persyaratan tepat waktu, bergizi lengkap, cukup dan
seimbang, aman dan diberikan dengan cara yang benar. Rekomendasi singkat

86
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

tersebut dapat dijadikan landasan utama dalam pemberian makan yang benar
untuk bayi dan anak.1
Indonesia sebagai negara berkembang tak lepas dari masalah gizi dan
nutrisi untuk bayi dan anak. Estimasi dari UNICEF menyebutkan bahwa
Indonesia masih miliki 30-40% bayi atau anak dengan masalah malnutrisi.
Di Indonesia sendiri, jenis malnutrisi terbanyak pada balita di Indonesia
adalah perawakan pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted).
Perlu diketahui bahwa berbagai penelitian telah menghubungkan retardasi
pertumbuhan linear dengan defisiensi energi, protein dan mikronutrien antara
lain seng, kalium, natrium, dan tiamin. Ini secara tidak langsung menunjukan
bahwa masih adanya kekurangan perhatian terhadap kecukupan gizi dan nutrisi
bagi bayi atau anak di Indonesia.2
Masalah ini penting adanya dan dapat mengganggu masa depan individu
dan negara ini secara keseluruhan, oleh sebab itu perlu ditingkatkan kesadaran
pada tenaga kesehatan, terutama dokter untuk lebih memperhatikan nutrisi
dan asupan gizi yang baik dan benar bagi bayi dan anak. Penekanan-penenakan
perlu dilakukan untuk terus mengingatkan masyarakat akan pentingnya ASI
eksklusif, pentingnya pemberian MPASI yang tepat waktu, aman, adekuat dan
benar metode pemberiannya.
ASI adalah makanan ideal untuk bayi, beberapa langkah untuk
meningkatkan produksi ASI agar memenuhi kebutuhan ASI eksklusif meliputi:
yy Inisiasi menyusui dini
yy Posisi dan perlekatan yang benar, serta bayi mengisap secara efektif
(mengisap kuat, perlahan, dalam, disertai jeda di antara beberapa isapan).
yy Menilai kecukupan ASI melalui frekuensi buang air kecil 6-8 kali sehari,
durasi menyusu 10-30 menit untuk satu payudara, dan kenaikan berat
badan yang adekuat.

Catatan penting yang perlu diingat mengenai pemberian asi meliputi:


pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dengan memantau kecukupannya.
Bila ASI eksklusif sudah diberikan dengan cara yang benar namun bayi
menunjukkan at risk of failure to thrive jangan langsung memberikan MPASI,
nilailah kesiapan bayi untuk menerima MPASI. Bila ASI eksklusif sudah
diberikan dengan cara yang benar namun bayi menunjukkan at risk of failure
to thrive dan belum memiliki kesiapan motorik untuk menerima MPASI, maka
dapat dipertimbangkan pemberian ASI donor yang memenuhi persyaratan.
Bila ASI donor tidak tersedia maka diberikan susu formula bayi.
Dalam hal pemberian MPASI, WHO Global Strategy for Feeding Infant and
Young Children 2013 memberikan 4 rekomendasi yang sepatutnya dipenuhi.
Rekomendasi tersebut meliputi: Tepat waktu (timely), yaitu MPASI diberikan

87
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

saat ASI eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi;
adekuat, yaitu MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien
memenuhi kebutuhan bayi sesuai usianya; aman, yaitu MPASI disiapkan dan
disimpan dengan cara cara yang higienis, diberikan menggunakan tangan dan
peralatan makan yang bersih, dan MPASI diberikan dengan cara yang benar
(properly fed), memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bayi dengan ASI eksklusif yang
memiliki tanda risk of failure to thrive (namun belun memiliki kesiapan
motorik untuk menerima MPASI dan tidak memiliki donor ASI) dapat
diberikan susu formula. WHO pada tahun 2009 menyebutkan bahwa indikasi
penggunaan susu formula meliputi susu formula bayi diberikan atas indikasi
medis berdasarkan Rekomendasi WHO tahun 2009: bayi menderita penyakit
metabolik, bayi dengan keadaan khusus (berat rendah, prematur, dll), ibu
dengan HIV, ibu dengan penyakit berat (sepsis), dan ibu yang mengkonsumsi
obat-obatan tertentu.

Malnutrisi
Satu dari empat anak di dunia menderita kekurangan gizi kronis, juga
diketahui sebagai stunting. Anak-anak ini belum mendapatkan nutrisi penting
yang mereka butuhkan untuk memastikan tubuh dan otak mereka dapat
berkembang dengan baik.
Kerusakan seringnya terjadi sebelum seorang anak lahir, ketika ibu
yang kurang gizi tidak dapat memberikan nutrisi yang cukup kepada bayi di
rahimnya. Ibu itu kemudian melahirkan bayi dengan berat badan kurang. Jika
dia miskin, terlalu banyak bekerja, kurang berpendidikan atau kesehatannya
buruk, dia mungkin berisiko lebih besar untuk tidak dapat memberi makan
bayinya secukupnya. Anak dapat mengalami infeksi yang lebih sering, yang
juga akan menjadikan deplesi dari beberapa nutrisi penting. Anak-anak di
bawah usia 2 tahun sangat rentan, dan efek negatif dari malnutrisi pada usia
ini sebagian besar bersifat permanen.
Masalah kekurangan gizi kronis, yang tentunya berbeda dengan malnutrisi
akut (seperti yang terjadi di Horn of Africa beberapa tahun lalu) jarang menjadi
berita utama, namun secara perlahan menghancurkan potensi dari jutaan
anak-anak. Secara global, 171 juta anak-anak mengalami kekurangan gizi
kronis, yang menyebabkan sebagian besar anak-anak di dunia tidak hanya
lebih pendek dari pada yang seharusnya, tetapi juga menghadapi gangguan
kognitif yang berlangsung seumur hidup.3
Lebih dari 80 negara berkembang memiliki tingkat stunting anak sebesar
20% atau lebih. Tiga puluh dari negara-negara ini memiliki tingkat stunting
“sangat tinggi” sebesar 40% atau lebih.4 Empat negara (Afghanistan, Burundi,

88
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Timor-Leste dan Yaman) memiliki tingkat stunting mendekati 60%.5 Sebanyak


sepertiga anak-anak di Asia mengalami stunting (100 juta dari total jumlah
global). Di Afrika, hampir 2 dari 5 anak-anak stunted - sebanyak 60 juta anak-
anak. Krisis gizi adalah malapetaka yang akan merampas kesehatan orang
dewasa besok, mengikis fondasi ekonomi global, dan mengancam stabilitas
global.
Secara garis besar malnutrisi sendiri dapat dibagi menjadi empat katagori
besar:
yy Stunting – Anak terlalu pendek untuk usia mereka. Hal ini disebabkan oleh
pola makan yang buruk dan seringnya infeksi. Stunting umumnya terjadi
sebelum usia 2 tahun, dan efeknya sebagian besar tidak dapat diubah. Ini
termasuk pengembangan motor tertunda, gangguan fungsi kognitif dan
kinerja sekolah yang buruk.
yy Wasting – Berat badan anak terlalu rendah untuk tinggi badan mereka.
Hal ini disebabkan oleh malnutrisi akut. Wasting adalah prediktor kuat
kematian di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun. Biasanya disebabkan
oleh kekurangan makanan atau penyakit yang parah.
yy Underweight – Berat badan anak terlalu rendah untuk usia mereka.
Seorang anak bisa kurus karena dia stunting, wasting atau keduanya. Berat
adalah indikator sensitif kekurangan gizi jangka pendek. Defisit tinggi
badan (stunting) sulit untuk dikoreksi, defisit berat badan (underweight)
dapat diatasi jika nutrisi dan kesehatan diperbaiki dan diperhatikan dengan
baik. Kurang berat badan dikaitkan dengan 19 persen kematian anak.
yy Defisiensi mikronutrien - Anak kekurangan vitamin atau mineral
penting. Ini termasuk vitamin A, besi dan seng. Kekurangan mikronutrien
disebabkan oleh kekurangan makanan bergizi dalam jangka panjang atau
oleh infeksi seperti cacingan. Kekurangan mikronutrien dikaitkan dengan
10 persen kematian anak-anak, atau sekitar sepertiga dari semua kematian
anak karena kekurangan gizi.

Setiap tahun 7,6 juta anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun,
kebanyakan dari penyakit yang dapat dicegah atau diobati dan hampir
semuanya terjadi di negara-negara berkembang. Malnutrisi adalah penyebab
yang mendasari lebih dari sepertiga kematian ini. Anak yang mengalami gizi
buruk 10 kali lebih tinggi risiko meninggal karena penyakit yang mudah dicegah
atau dapat diobati dibandingkan gizi baik. Anak dengan gizi buruk kronis juga
ditemukan lebih rentan terhadap kekurangan gizi akut selama kekurangan
pangan, krisis ekonomi dan keadaan darurat lainnya.
Sayangnya, banyak negara belum meletakan kekurangan gizi dan
mortalitas anak sebagai prioritas utama. Sebagai contoh, sebuah analisis
oleh Organisasi Kesehatan Dunia menemukan bahwa hanya 67% dari 121

89
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memiliki kebijakan untuk


mempromosikan pemberian ASI. Pemberian makanan tambahan dan suplemen
zat besi dan asam folat hanya disertakan dalam kurang dari separuh semua
dokumen kebijakan nasional. Suplemen vitamin A dan zinc untuk anak-anak
(untuk pengobatan diare) hanya menjadi kebijakan nasional di 37% dari 121
negara tersebut. Walaupun nutrisi akhir-akhir ini semakin mendapat komitmen
lebih tinggi, masih banyak kekurangan yang harus diatasi.

Dampak kekurangan mikronutrien


Kekurangan mikronutrien, juga dikenal sebagai kelaparan tersembunyi,
mengurangi kemampuan belajar dan kognitif; merusak pertumbuhan;
mengurangi imunitas; mengurangi kapasitas kerja; menyebabkan beberapa
komplikasi kehamilan, kebutaan, dan gondok; dan meningkatkan risiko
kematian. Populasi yang paling berisiko mengalami kekurangan tersebut adalah
bayi dan anak-anak, wanita usia subur, wanita hamil, dan orang tua. Pada
anak-anak, telah ditemukan juga bahwa kekurangan mikronutrien adalah
penyebab stunting dan mungkin disertai dengan adaptasi metabolik yang
meningkatkan risiko obesitas dan penyakit terkait.6 Kurangnya keragaman
makanan, ketersediaan hayati mineral yang buruk pada makanan nabati,
kejadian penyakit dan penyakit, dan peningkatan kebutuhan fisiologis
merupakan kontributor utama kekurangan mikronutrien. Kekhawatiran global
saat ini adalah kekurangan zat besi, vitamin A, seng, folat, dan yodium.7,8
Strategi yang paling konvensional dan banyak dipraktikkan yang
digunakan untuk mengatasi gizi buruk mikronutrien adalah suplementasi dan
fortifikasi makanan. Namun, strategi ini tidak menyelesaikan penyebab utama
status mikronutrien yang buruk yaitu asupan makanan yang tidak memadai
karena kerawanan pangan. Suplementasi dan fortifikasi makanan mungkin juga
bukan strategi yang paling dapat diterima, mudah diakses, atau tepat untuk
rumah tangga pedesaan dan/atau sangat miskin. Strategi pelengkap diperlukan
dalam konteks ini yang mendukung modifikasi diet yang sesuai budaya dan
intervensi berbasis masyarakat dan pertanian, dengan upaya simultan untuk
meningkatkan kapasitas dan jangkauan suplementasi dan fortifikasi.9
Kekurangan mikronutrien, terutama yang berkaitan dengan yodium
dan besi, berhubungan erat dengan berbagai macam gangguan kognitif, serta
perubahan perilaku jangka panjang. Salah satu dari mikronutrien yang sering
mengalami defisiensi adalah besi. Beberapa gangguan kognitif yang paling
sering diasosiasikan oleh kekurangan zat besi meliputi gangguan pada rentang
perhatian, kecerdasan, dan fungsi persepsi sensorik. Anemia defisiensi besi
sendiri sangat sering diasosiasikan langsung dengan gangguan emosi dan
perilaku.

90
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Ada konsensus mengenai fakta bahwa defisiensi besi memiliki dampak


negatif pada kognisi, perilaku, dan keterampilan motorik. Sehubungan
dengan dampak negatif ini, hubungan kausal dengan defiesinsi mungkin
dikacaukan oleh variabel eksternal seperti status sosial ekonomi. Meskipun
ada kemungkinan varibel pembaur lainnya, defisiensi besi jelas terkait dengan
perubahan fisik pada area seperti hippokampus, kerusakan mitokondria, alterasi
metabolisme dopamin otak, dan mielinasi.10
Telah ditemukan banyak bukti kuat bahwa konsumi suplemen zat besi tiap
hari pada ibu hamil memperbaiki konsentrasi hemoglobin dan penyimpanan
zat besi, dan mengurangi risiko anemia, defisiensi zat besi, dan kejadian anemia
defisiensi besi selama kehamilan. Suplementasi zat besi rutin sering dilakukan
selama kehamilan, namun potensi efek berbahaya kebiasaan ini (misalnya,
kenaikan angka kelahiran pada usia kehamilan kecil-untuk-usia gestasional,
gangguan hipertensi, prevalensi diabetes mellitus gestasional) pada wanita
dengan zat besi cukup diperdebatkan karena hasil yang bertentangan yang
biasanya berkaitan dengan titik akhir klinis, dan efek samping, terutama
diare; yag dapat terjadi pada dosis harian lebih atau sama dengan 60 mg besi
elemental. Sebuah meta-analisis terhadap 30 percobaan membuktikan bahwa
suplementasi zat besi selama kehamilan memiliki manfaat yang signifikan dalam
mengurangi kejadian BBLR rendah, namun tidak dalam mengurangi kejadian
kelahiran prematur atau kelahiran kecil-untuk-usia gestasional.11 Tidak ada
efek menguntungkan yang signifikan pada berat lahir dan lama kehamilan
dengan suplementasi besi yang didokumentasikan dalam meta-analisis oleh
Vucic dkk.12
Secara global, berdasarkan tinjauan sistematis dan hasil meta-analisis,
asupan zat besi yang lebih tinggi telah menunjukkan kecenderungan hubungan
positif dengan risiko kanker. Bukti akan tingginya biomarker penyimpanan besi
dalam tubuh (kebanyakan dengan feritin serum) menunjukkan efek negatif
terhadap risiko kanker. Studi prospektif yang menggabungkan penelitian
tentang asupan zat besi makanan, biomarker besi, kerentanan genetik, dan
faktor lain yang terkait perlu dilakukan untuk mengklarifikasi temuan ini dan
lebih memahami peran besi dalam pengembangan kanker.13
Kekurangan vitamin A adalah penyebab umum kebutaan yang dapat
dicegah dan merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan tingkat
keparahan dan mortalitas penyakit menular.14 Salah satu gejala pertama
kekurangan vitamin A marginal adalah rabun senja. Jika kekurangan vitamin A
memburuk, gejala tambahan seperti xerophthalmia akan timbul, yang akhirnya
berakibat kebutaan. Seorang anak yang menjadi buta dari defisiensi vitamin
A hanya memiliki kesempatan 50 persen untuk bertahan dalam setahun.
Bahkan jika anak-anak bertahan, kebutaan sangat mengurangi potensi
ekonomi mereka. Defisiensi Vitamin A ditemukan dapat menyebabkan anemia

91
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

di beberapa daerah, namun hubungannya dengan gangguan pertumbuhan


anak-anak belum jelas.15
Kekurangan vitamin A disebabkan oleh asupan vitamin A yang tidak
memadai karena asupan makanan hewani rendah; asupan sumber karotenoid
non-hewani yang dikonversi menjadi vitamin A tidak memadai; dan asupan
lemak (yang memudahkan penyerapan karotenoid) tidak memadai. Sumber
makanan yang mengandung vitamin A preformed meliputi hati, susu, dan
kuning telur. Sayuran berdaun hijau gelap seperti bayam, serta buah berwarna
kuning dan oranye (mangga, aprikot, pepaya) dan sayuran (labu, wortel),
adalah sumber karotenoid umum (prekursor vitamin A), yang umumnya
memiliki biovailabilitas lebih rendah daripada preformed vitamin A namun
cenderung lebih terjangkau.
Yodium diperlukan untuk hormon tiroid yang mengatur pertumbuhan,
perkembangan, dan metabolisme dan sangat penting untuk mencegah gondok
dan kretinisme. Asupan yang tidak memadai dapat mengakibatkan gangguan
perkembangan intelektual dan pertumbuhan fisik. Berbagai gangguan akibat
defisiensi yodium disebut sebagai iodine deficiency disorder (IDD) yang mencakup
kehilangan janin, lahir mati (intra-uterine fetal death), anomali kongenital, dan
gangguan pendengaran.16 Sebagian besar individu yang kekurangan mengalami
keterbelakangan mental ringan. Penurunan kemampuan mental dan kapasitas
kerja ini memiliki konsekuensi ekonomi yang signifikan. Kekurangan yodium
belum dikaitkan dengan kejadian atau tingkat keparahan penyakit menular, dan
studi yang mengimplikasikan kekurangan yodium sebagai penyebab kematian
masih sangat terbatas. Karena ini, sedikit kematian anak dapat dikaitkan
dengan kekurangan yodium, namun kerugian dalam disability-adjusted life year
(DALY) yang diakibatkan secara langsung tetap besar.17
Konsekuensi kesehatan dari kekurangan seng berat telah dijelaskan
selama 40 tahun terakhir, sedangkan risiko kesehatan dari defisiensi ringan
sampai sedang sudah dapat dijelaskan baru-baru ini. Gambaran klinis defisiensi
berat meliputi retardasi pertumbuhan, gangguan fungsi kekebalan tubuh,
kelainan kulit, hipogonadisme, anoreksia, dan disfungsi kognitif. Kekurangan
ringan sampai sedang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, dan manfaat
suplementasi seng pada sistem kekebalan tubuh didokumentasikan dengan
baik.18 Zinc dapat mencegah dan meredakan diare dan pneumonia dan juga
dapat mengurangi morbiditas malaria pada anak kecil.19,20 Seng juga ditemukan
dapat membantu pertumbuhan anak, yang dapat bekerja secara langsung atau
tidak langsung melalui peningkatan fungsi kekebalan tubuh dan penurunan
penyakit menular.21 Defisiensi zinc diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar
800.000 kematian per tahun akibat diare, pneumonia, dan malaria pada anak
balita. Afrika Sub-Sahara, Mediterania Timur, dan Asia Selatan menanggung

92
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

beban pneumonia dan diare yang terberat.22


Mungkin ada interaksi yang sangat penting antara genetika dan hormon
vitamin D yang dapat berperan dalam memodulasi tingkat keparahan penyakit
jiwa. Individu dengan polimorfisme pada gen terkait serotonin sudah cenderung
mengalami disregulasi dalam sintesis atau metabolisme serotonin; dengan
demikian, setiap penurunan tambahan dalam sintesis serotonin karena kadar
vitamin D yang tidak memadai dapat memperburuk cacat pada fungsi eksekutif,
gating sensorik, dan perilaku impulsif.
Interaksi antara defisiensi vitamin D dan cacat pada gen terkait serotonin
juga telah ditunjukkan pada tikus. Tikus dengan sintesis serotonin berkurang
yang disebabkan oleh polimorfisme pada gen TPH2 sangat sensitif terhadap
defisiensi vitamin D pada masa dewasa dan akibatnya memiliki kekurangan
fungsi kognitif dan perilaku saat vitamin D dibatasi.23 Sepertinya, tikus ini
memiliki defek perilaku yang lebih menonjol karena peredaman sintesis
serotonin yang lebih parah sebagai konsekuensi dari kekurangan vitamin D.24
Studi-studi yang disebutkan sebelumnya ini menyoroti peran yang dimainkan
hormon vitamin D dalam memodulasi keparahan disfungsi otak dalam
kombinasi dengan faktor genetik yang mempengaruhi tingkat serotonin otak.
Telah ditemukan bahwa kecerdasan masa kecil memprediksi kinerja
kognitif di kemudian hari dan kemungkian terjadinya demensia. Otak yang
berkembang dengan baik mungkin menganugerahkan ‘cadangan kognitif’,
sebuah kapasitas cadangan yang mengurangi dampak neurodegenerasi pada
aktivitas sehari-hari, sehingga menunda atau mencegah timbulnya demensia.25
Kekurangan gizi janin juga relevan karena bayi kecil berdasarkan masa gestasi
cenderung tumbuh menjadi orang dewasa dengan obesitas, diabetes tipe II
dan penyakit kardiovaskular. Meta-analisis menunjukkan bahwa obesitas di
usia paruh baya memprediksi terjadinya demensia pada akhir hayat.26 Namun
ketika massa tubuh diukur pada orang lanjut usia, tidak ada hubungan antara
onset demensia di antara orang tua yang obesitas27. Penjelasan untuk fenomena
tersebut tampaknya adalah penurunan berat badan lebih cepat pada mereka
yang mengalami demensia, seringkali terjadi beberapa dekade sebelum onset
demensia. Perubahan metabolisme tubuh, jaringan adiposa dan massa otot
dapat menjadi predisposisi penurunan kognitif, dan sebaliknya. Saat ini obesitas
merupakan masalah global, jka hubungan antara obesitas setengah baya dan
demensia adalah hubungan kausal, maka perkiraan jumlah penderita demensia
di masa depan mungkin saat ini sangat diremehkan.28

Upaya pencegahan (intrauterine – 2 tahun)


Status gizi sebelum dan selama kehamilan mempengaruhi hasil ibu dan anak.
Perkembangan anak yang optimal membutuhkan asupan gizi yang cukup,

93
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

penyediaan suplemen sesuai kebutuhan dan pencegahan penyakit. Hal ini


juga membutuhkan perlindungan dari faktor stres seperti asap rokok, zat
narkotika, polutan lingkungan dan tekanan psikologis.29 Malnutrisi maternal
menyebabkan pertumbuhan janin yang buruk dan berat lahir rendah.
Intervensi untuk memperbaiki asupan nutrisi ibu meliputi suplementasi
dengan zat besi, asam folat atau beberapa mikronutrien dan pemberian
makanan dan suplemen lainnya jika diperlukan. Dibandingkan dengan
suplemen zat besi-folic saja, suplementasi dengan beberapa mikronutrien
selama kehamilan telah ditemukan untuk mengurangi berat lahir rendah
sekitar 10 persen di negara-negara berpenghasilan rendah.30 Asupan asam
folat dan yodium yang memadai seputar masa konsepsi dan zat besi dan
yodium selama kehamilan sangat penting, terutama untuk pengembangan
sistem saraf bayi. Walaupun mungkin ada perdebatan mengenai peran
beberapa mikronutrien dalam mengurangi angka kematian pada anak, tidak
diragukan lagi bahwa nutrisi mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah cukup
untuk keseluruhan perkembangan anak. Nutrisi mikronutrien ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, berkontribusi terhadap kelangsungan hidup
anak dan harus menjangkau setiap anak di negara tersebut dan strategi tersebut
terbukti hemat biaya.31
Systematic review oleh Zerfu dan Ayele mengungkapkan suplementasi
multi-mikronutrien lebih bermanfaat bagi ibu, bayi baru lahir dan bahkan
sampai masa kanak-kanak dibandingkan suplementasi asam folat besi biasa.
Meskipun demikian, masih ada beberapa temuan samar-samar yang berkaitan
dengan efek suplementasi multi-mikronutrien terhadap risiko kelahiran
prematur, bayi dengan usia kehamilan kecil dan kematian bayi baru lahir.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut tentang berbagai kombinasi dan dosis
suplemen mikronutrien terutama di daerah di mana prevalensi malnutrisi
tinggi sangat dianjurkan.32
Combet dan Buckton menyarankan penggunaan pil mikronutrien dan
suplemen nutrisi lainnya hanya dalam tiga situasi33:
yy Untuk memperbaiki kekurangan karena asupan makanan yang tidak
memadai (misalnya anemia defisiensi besi).
yy Di negara-negara penyakit dimana persyaratan ditingkatkan (misalnya
pasien yang sakit kritis) atau penyerapan yang dikompromikan (misalnya
penyakit Crohn).
yy Mempromosikan kesehatan dan kinerja, dan melindungi terhadap
penyakit kronis di masa depan pada individu sehat.

Praktik pemberian makanan bayi dan anak yang optimal termasuk


memulai menyusui dalam waktu satu jam sejak lahir, menyusui eksklusif
selama enam bulan pertama kehidupan dan terus menyusui sampai usia

94
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

2 tahun ke atas, bersamaan dengan pemberian makanan padat, makanan


semi-padat dan lunak mulai usia 6 bulan. Dua praktik bersama (memastikan
menyusui secara optimal di tahun pertama dan praktik pemberian makanan
tambahan) dapat mencegah hampir seperlima kematian anak di bawah usia 5
tahun. Studi menunjukkan bahwa menyusui yang optimal akan meningkatkan
perkembangan otak. Menyusui juga dapat melindungi terhadap faktor
risiko kardiovaskular, walaupun belum jelas apakah ini kasus di lingkungan
berpenghasilan rendah dan menengah.34
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa inisiasi menyusui dini
mengurangi risiko kematian neonatal. Kolostrum, susu kaya gizi yang diproduksi
oleh ibu selama beberapa hari pertama setelah melahirkan memberikan
nutrisi penting sekaligus antibodi untuk meningkatkan sistem kekebalan bayi,
sehingga mengurangi kemungkinan kematian pada masa neonatal. Selain
menyelamatkan nyawa, inisiasi menyusui dini meningkatkan kontraksi rahim
yang lebih kuat, mengurangi kemungkinan pendarahan rahim. Hal ini juga
mengurangi risiko hipotermia, meningkatkan ikatan antara ibu dan anak dan
meningkatkan produksi susu awal.35
ASI eksklusif dalam enam bulan pertama kehidupan dapat menyelamatkan
nyawa. Selama periode ini, bayi yang tidak disusui lebih dari 14 kali lebih
mungkin meninggal karena berbagai penyebab daripada bayi yang disusui secara
eksklusif.36 Bayi yang disusui secara eksklusif lebih jarang meninggal karena
diare dan pneumonia, dua pembunuh utama anak-anak di bawah 5 tahun.
Selain itu, banyak manfaat lain terkait dengan pemberian ASI eksklusif untuk
ibu dan bayi, termasuk pencegahan dari gangguan pertumbuhan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa memberi MPASI yang sesuai,
memadai dan aman mulai usia 6 bulan dan seterusnya dapat menghasilkan
kesehatan dan hasil pertumbuhan lebih baik. ASI tetap menjadi sumber gizi
penting, dan dianjurkan menyusui terus sampai anak mencapai usia 2 tahun.
Pada populasi rentan terutama, praktik pemberian makanan pelengkap yang
baik telah terbukti mengurangi stunting dengan efektif dan cepat. Namun,
seringnya anak-anak mungkin tidak menerima makanan pelengkap yang aman
dan sesuai pada usia yang tepat, tidak diberi makan pada frekuensi yang tepat
atau mungkin menerima makanan yang tidak memadai. Masalah kualitas
makanan komplementer yang buruk telah ditekankan dalam pemrograman
nutrisi untuk beberapa saat dan masih terus butuh diperhatikan lebih lanjut.37

Ringkasan
Untuk menghasilkan anak yang berkualitas prima maka dukungan nutrisi
yang adekuat harus sudah dimulai sejak periode awal kehidupan yaitu sejak
masa intra uterin. Penelitian menunjukkan defisiensi makronutrien dan

95
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

mikronutrien dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak


bahkan pada beberapa keadaan bersifat permanen. Beberapa mikronutrien
tertentu berperan khusus dalam tumbuh kembang anak oleh karena itu
pencegahan terhadap defisiensi mikronutrien tersebut harus dilakukan sejak
awal kehidupan. Beberapa penelitian menunjukkan multi mikronutrien
suplementasi memberikan hasil yang positif dalam menanggulangi defisiensi
mikronutrien tertentu.

Daftar pustaka
1. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva: World Health
Organization; 2003.
2. Branca M, Ferrari M. Impact of micronutrient deficiencies on growth: The
Stunting Syndrome. Ann Nutr Metab. 2002;46(suppl 1):8–17.
3. De Onis M, Blössner M, Borghi E. Prevalence and trends of stunting among pre-
school children, 1990–2020. Public Health Nutr. 2012;15(1):142-8.
4. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva: World Health
Organization; 2003.
5. Provo A, Atwood S, Sullivan EB, Mbuya NV. Malnutrition in Timor-Leste: a
review of the burden, drivers, and potential response. Washington DC: World
Bank Group; 2017.
6. Eckhardt CL. Micronutrient malnutrition, obesity, and chronic disease in
countries undergoing the nutrition transition: potential links and program/policy
implications. International food policy research institute (IFPRI). Washington
DC: Food consumption and nutrition division (FCND) International Food Policy
Research Institute; 2006.
7. Nordin SM, Boyle M, Kemmer TM. Position of the Academy of Nutrition and
Dietetics: Nutrition security in developing nations: sustainable food, water, and
health. J Acad Nutr Dietet. 2013;113:581-95.
8. Darnton-Hill I, Webb P, Harvey PW, Hunt JM, Dalmiya N, Chopra M, dkk.
Micronutrient deficiencies and gender: social and economic costs. Am J Clin
Nutr. 2005;81(5):1198S-205S.
9. Gibson RS, Thompson B, Amoroso L. Strategies for preventing multi-micro
nutrient deficiencies: a review of experiences with food-based approaches
in developing countries. Combating micronutrient deficiencies: Food-based
approaches. 2011:7-27.
10. Jáuregui-Lobera I. Iron deficiency and cognitive functions. Neuropsychiatr Dis
Treat. 2014;10:2087.
11. Imdad A, Bhutta ZA. Routine iron/folate supplementation during pregnancy:
effect on maternal anaemia and birth outcomes. Paediatr Perinat Epidemiol.
2012;26(S1):168-77.
12. Vucic V, Berti C, Vollhardt C, Fekete K, Cetin I, Koletzko B, Gurinovic M,
van’t Veer P. Effect of iron intervention on growth during gestation, infancy,
childhood, and adolescence: a systematic review with meta-analysis. Nutr Rev.
2013;71(6):386-401.

96
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

13. Fonseca-Nunes A, Jakszyn P, Agudo A. Iron and cancer risk—a systematic review
and meta-analysis of the epidemiological evidence. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2014;23(1):12-31.
14. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Murray CJ. Comparative quantification of health
risks: global and regional burden of disease attributable to selected major risk
factors. OMS; 2004; 1:39-257.
15. Ramakrishnan U, Aburto N, McCabe G, Martorell R. Multimicronutrient
interventions but not vitamin A or iron interventions alone improve child growth:
results of 3 meta-analyses. J Nutr. 2004;134(10):2592-602.
16. Hetzel B. Iodine deficiency disorders (IDD) and their eradication. The Lancet.
1983;322:1126-9.
17. Alleyne G, Claeson M, Evans DB, Jha P, Mills A, Musgrove P. Disease control
priorities in developing countries. 2006; 1-1401.
18. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and immune function: the biological basis of altered
resistance to infection. Am J Clin Nutr. 1998;68(2):447S-63S.
19. Bhutta ZA, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Gore S, Hidayat A, Khatun
F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME, Rosado JL. Prevention of diarrhea and
pneumonia by zinc supplementation in children in developing countries: pooled
analysis of randomized controlled trials. J Pediatr. 1999;135(6):689-97.
20. Caulfield LE, Richard SA, Black RE. Undernutrition as an underlying cause of
malaria morbidity and mortality in children less than five years old. Am J Trop
Med Hyg. 2004;71:55-63.
21. Brown KH, Peerson JM, Rivera J, Allen LH. Effect of supplemental zinc on the
growth and serum zinc concentrations of prepubertal children: a meta-analysis
of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. 2002;75(6):1062-71.
22. Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA, Musgrove P, Black RE. Stunting, wasting,
and micronutrient deficiency disorders. Dalam: Jamison DT, Breman JG,
Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, dkk (penyunting). Diseases
control priorities in developing countries. Edisi ke-2. Washington DC: World
Bank; 2006; 28: 551-68.
23. Chotai J, Serretti A, Lattuada E, Lorenzi C, Lilli R. Gene–environment interaction
in psychiatric disorders as indicated by season of birth variations in tryptophan
hydroxylase (TPH), serotonin transporter (5-HTTLPR) and dopamine receptor
(DRD4) gene polymorphisms. Psychiatry Res. 2003;119(1):99-111.
24. Zhang X, Beaulieu JM, Sotnikova TD, Gainetdinov RR, Caron MG. Tryptophan
hydroxylase-2 controls brain serotonin synthesis. Science. 2004;305(5681):217.
25. McGurn B, Deary IJ, Starr JM. Childhood cognitive ability and risk of late-onset
Alzheimer and vascular dementia. Neurology. 2008;71(14):1051-6.
26. Anstey KJ, Cherbuin N, Budge M, Young J. Body mass index in midlife and late-
life as a risk factor for dementia: a meta-analysis of prospective studies. Obes
Rev. 2011;12(5):426-37
27. Stewart R, Masaki K, Xue QL, Peila R, Petrovitch H, White LR, Launer LJ. A
32-year prospective study of change in body weight and incident dementia: the
Honolulu-Asia Aging Study. Arch Neurol. 2005;62(1):55-60.

97
Pencegahan malnutrisi pada awal kehidupan: penekanan pada masalah mikronutrien

28. Loef M, Walach H. Midlife obesity and dementia: Meta-analysis and adjusted
forecast of dementia prevalence in the united states and china. Obesity.
2013;21(1):E51-5.
29. Walker SP, Wachs TD, Grantham-McGregor S, Black MM, Nelson CA, Huffman
SL, Baker-Henningham H, Chang SM, Hamadani JD, Lozoff B, Gardner
JM. Inequality in early childhood: risk and protective factors for early child
development. Lancet. 2011;378(9799):1325-38.
30. Fall CH, Fisher DJ, Osmond C, Margetts BM. Multiple micronutrient
supplementation during pregnancy in low-income countries: a meta-analysis of
effects on birth size and length of gestation. Food Nutr Bull. 2009;30(4):S533-46.
31. Kotecha PV, Lahariya C. Micronutrient supplementation and child survival in
India. Indian J Pediatr. 2010;77(4):419-24.
32. Zerfu TA, Ayele HT. Micronutrients and pregnancy; effect of supplementation on
pregnancy and pregnancy outcomes: a systematic review. Nutr J. 2013;12(1):20.
33. Combet E, Buckton C. Micronutrient deficiencies, vitamin pills and nutritional
supplements. Medicine. 2015;43(2):66-72.
34. Kramer MS, Aboud F, Mironova E, Vanilovich I, Platt RW, Matush L, Igumnov
S, Fombonne E, Bogdanovich N, Ducruet T, Collet JP. Breastfeeding and child
cognitive development: new evidence from a large randomized trial. Arch Gen
Psychiatry. 2008;65(5):578-84.
35. Mullany LC, Katz J, Li YM, Khatry SK, LeClerq SC, Darmstadt GL, Tielsch JM.
Breast-feeding patterns, time to initiation, and mortality risk among newborns
in southern Nepal. J Nutr. 2008;138(3):599-603.
36. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, De Onis M, Ezzati M, Mathers C,
Rivera J, Maternal and Child Undernutrition Study Group. Maternal and child
undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet.
2008;371(9608):243-60.
37. Dewey KG, Adu-Afarwuah S. Systematic review of the efficacy and effectiveness
of complementary feeding interventions in developing countries. Matern Child
Nutr. 2008;4(s1):24-85.

98
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi
suplementasi besi untuk bayi dan anak
Murti Andriastuti

Tujuan:
1. Mengetahui permasalahan dan dampak jangka panjang anemia
defisiensi besi
2. Mengetahui pentingnya rekomendasi suplementasi besi untuk
anak dan remaja di Indonesia
3. Memahami kendala pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi
suplementasi besi untuk bayi dan anak Satgas ADB-PP IDAI
tahun 2011

Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi masalah kesehatan di dunia.


Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO)1, diperkirakan seperempat
penduduk dunia mengalami ADB, dengan kelompok umur terbanyak pada
balita dan wanita usia subur. Sebanyak 40% anak usia pra-sekolah di negara
berkembang menderita anemia dan 50% penyebab anemia adalah ADB selain
malaria, infeksi cacing tambang, skistosomiasis, dan faktor infeksi lain seperti
tuberkulosis.1 Data terbaru berdasarkan Riskesdas 20132, proporsi anemia
pada penduduk usia > 1 tahun adalah 21,7% dan pada balita usia 12-59 bulan
adalah 28,1%. Sedangkan prevalens anemia pada remaja putri usia 13-18
tahun adalah 22,7%. Hasil penelitan SEANUTS3 pada tahun 2013, didapatkan
prevalens anemia pada anak usia 6-21 bulan adalah 55%, dan pada anak usia
2-12 tahun sebesar 10,6-15,5%.
Penelitian terakhir di sekolah dasar negeri di Jakarta pada anak usia 6-12
tahun mengenai status besi didapatkan prevalens anemia sebanyak 14%, 4,3%
termasuk fase deplesi, 14,8% defisiensi besi dan 1,7% anemia defisiensi besi.4
Penelitian pada remaja pemulung mengenai prevalens anemia didapatkan 10%
menderita anemia, separuhnya disebabkan ADB dan semua yang menderita
ADB adalah remaja puteri, 2% termasuk fase deplesi dan 20% fase defisiensi.5
Berdasarkan data tersebut prevalens anemia masih tinggi untuk kelompok usia
<2 tahun sedangkan pada kelompok usia yang lebih besar walaupun prevalens
anemia berkisar 10-15% tetapi prevalens deplesi ditambah defisiensi besi tanpa
anemia mencapai 20%. Untuk itu penting pemahaman mengenai pemberian
suplementasi besi untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.

99
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak

Efek jangka panjang anemia defisiensi besi


Besi termasuk mikronutrien yang penting untuk tercapainya tumbuh kembang
seorang anak secara optimal. Besi berperan dalam berbagai proses metabolik,
termasuk transpor oksigen, sintesis DNA, dan transpor elektron. Asupan besi
dalam diet sehari-hari diperlukan untuk mencukupi kebutuhan besi tubuh.6,7
Jika tubuh kekurangan besi secara bertahap akan terjadi deplesi besi, defisiensi
besi tanpa anemia dan anemia defisiensi besi (ADB). Keadaan defisiensi besi
dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada
usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, termasuk gangguan
imunitas dan perkembangan otak yang berhubungan dengan kualitas sumber
daya manusia di masa yang akan datang dan bersifat ireversibel.7
Efek jangka panjang yang dapat terjadi selain gangguan perkembangan
adalah penurunan fungsi kognitif dengan derajat keparahan berbanding lurus
dengan beratnya anemia.8 Anemia defisiensi besi dapat disembuhkan, namun
penurunan fungsi kognitif yang menyertainya tidak dapat diperbaiki.9 Selain
itu ADB dapat menurunkan kapasitas kerja dari seorang individu yang dapat
memengaruhi seluruh populasi10 dan berdampak buruk terhadap ekonomi yang
akhirnya akan menghambat perkembangan suatu negara.4
Pada masa bayi, kebutuhan besi meningkat akibat pertumbuhan
yang cepat.11 Diperlukan kadar besi yang cukup pada masa ini karena besi
berperan dalam perkembangan susunan saraf pusat yang sangat berkorelasi
dengan perkembangan dan perilaku bayi. Pada sebuah studi kasus-kontrol
yang membandingkan bayi berusia 6-24 bulan dengan ADB dan tidak ADB
ternyata didapatkan bahwa skor perkembangan mental pada kelompok bayi
ADB lebih rendah 6-15 poin dibandingkan kelompok yang sehat.6 Penelitian
di Chile, membuktikan pada bayi yang tidak mendapatkan suplementasi besi
memiliki memori pengenalan visual yang lebih rendah dan memroses informasi
lebih lambat. Selain itu bayi ADB memiliki perkembangan motorik yang lebih
rendah sekitar 6-17 poin dibandingkan bayi sehat. Lebih lanjut, kelompok
yang tidak mendapatkan suplementasi besi, tidak menunjukkan interaksi
sosial yang baik, tidak ada afek positif, dan sulit untuk ditenangkan dengan
kata-kata maupun benda.12
Sebuah studi di Inggris mendapatkan bahwa Hb < 9,5 mg/dL pada usia 8
bulan dapat memprediksi terjadinya gangguan perkembangan lokomotor pada
usia 18 bulan.13 Penelitian lain di beberapa negara membuktikan kadar Hb pada
usia 9 bulan berhubungan dengan skor IQ pada usia 5 tahun.14 Selain itu anak
dengan defisiensi besi memiliki kemampuan matematika 2 kali lebih rendah
dibandingkan anak tanpa defisiensi besi.14 Defisiensi besi juga memengaruhi
performa verbal, pengolahan informasi, dan juga pemahaman. Penelitian ini
juga mendapatkan hasil bahwa IQ pada usia 4 tahun berhubungan dengan
kadar Hb pada usia 9 dan 36 bulan.15 Sebuah penelitian kohort jangka

100
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

panjang oleh Andraca, dkk16 mendapatkan anak usia 6 tahun yang di masa
bayi mengalami ADB ternyata memiliki kadar IQ yang lebih rendah serta
kemampuan psiko-edukasi, integrasi motor, visual dan kemampuan bahasa
yang lebih rendah. Terjadinya gangguan perkembangan dan penurunan
fungsi kognitif berkaitan dengan fungsi besi dalam metabolisme dopamin dan
norepinefrin yang merupakan neurotransmiter yang berperan penting dalam
kontrol motorik, proses belajar dan memori.9,17
Pada anak usia sekolah dasar dan remaja dampak terjadinya defisiensi
besi dapat memengaruhi kemampuan belajar dan prestasi di sekolah. Khusus
pada remaja, kelompok ini rentan terhadap terjadinya defisiensi besi karena
mengalami proses percepatan pertumbuhan yang harus diimbangi kebutuhan
nutrisi cukup termasuk besi. Pada remaja puteri lebih rentan karena mulai
terjadinya menstruasi.18

Pencegahan melalui rekomendasi pemberian suplementasi


besi
Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan pemberian suplementasi
besi tanpa skrining bila prevalens anemia di suatu negara lebih dari 40%,
dan dilanjutkan sampai usia 24 bulan.19 Berdasarkan data prevalens anemia
dari beberapa penelitian di Indonesia sebelum tahun 2011 masih lebih dari
40% maka Satgas ADB-PP IDAI pada tahun 201120 membuat rekomendasi
pemberian suplementasi besi untuk anak tanpa skrining (Tabel 1).

Tabel 1. Rekomendasi IDAI untuk suplementasi besi pada bayi dan anak20
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi BBLR (<2.500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan-2 tahun
Cukup bulan* 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan-2 tahun
2-5 1 mg/kgBB/hari 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
>5-12 1 mg/kgBB/hari 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12-18 60 mg/hari** 2 kali/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
* Dosis maksimal untuk bayi 15mg/hari dosis tunggal
**Khusus remaja perempuan ditambah 400ug asam folat

Sejak dikeluarkannya rekomendasi tersebut beberapa hal yang perlu


diperbaiki dan menjadi perdebatan antara lain pemberian suplementasi
besi pada bayi setiap hari selama 2 tahun, usia saat dimulainya pemberian
suplementasi besi pada bayi dan frekuensi pemberian. Selain itu karena
prevalens anemia dan ADB sangat bervariasi antar daerah perlu

101
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak

dibedakan mengenai rekomendasi suplementasi besi pada daerah dengan


prevalens anemia > 40 % atau < 40%. Bila prevalens anemia < 40 %
maka suplementasi besi dapat diberikan intermiten.21
Organsasi kesehatan dunia yang lain yaitu The American Academy
of Pediatrics (AAP) merekomendasikan skrining anemia bagi semua anak
pada usia 12 bulan.22 The Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) merekomendasikan skrining pada anak yang berisiko anemia
pada usia 9-12 bulan dan 6 bulan kemudian.22 Populasi yang berisiko
anemia antara lain adalah bayi dengan kondisi prematur, berat lahir
rendah, anak dengan riwayat pedarahan, infeksi kronis, mendapat susu
sapi segar pada usia dini, dan faktor risiko sosial lain.22
Rekomendasi dari US Preventive Services Task Force (UPSTF) perlu adanya
skrining ADB pada anak berusia 6 -24 bulan.18 Dalam rekomendasi tersebut,
dikatakan bahwa skrining utama adalah dengan pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit. Pemeriksaan hemoglobin sensitif namun tidak spesifik dalam
medeteksi ADB. Nilai duga positif kadar hemoglobin rendah untuk ADB
berkisar 10 – 40%.19 Sensitivitas dan spesifisitas uji diagnostik lain (ferritin
serum, saturasi transferrin, photoporphyrin eritrosit) sebagai alat skrining
utama ADB belum banyak digunakan.18 Terlebih lagi feritin karena merupakan
protein fase akut sehingga harus diperiksa dalam keadaan anak sehat, tidak
terdapat infeksi maupun inflamasi.20 Pencegahan terbaik seharusnya dapat
mendeteksi anak dalam fase deplesi dan defisiensi besi sebelum terjadi anemia.
Mengenai skrining pencegahan ADB, American Academy of Pediatrics
(AAP) menyatakan pemeriksaan reticulocyte hemoglobin content (Ret He)
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi defisiensi
besi.26 Pemeriksaan ini murah karena hasilnya dapat terlihat bersamaan dengan
hasil pemeriksaan darah perifer lengkap. Hal ini dapat mengurangi volume
darah yang diperlukan, frekuensi kunjungan, biaya dibandingkan dengan
pemeriksaan seperti SI/TIBC dan feritin untuk memastikan diagnosis ADB.
Pemeriksaan feritin juga dipengaruhi oleh infeksi dan inflamasi sehingga perlu
pemeriksaan lain (CRP) untuk menyingkirkan adanya infeksi.. Kelemahan
pemeriksaan Ret He adalah belum adanya keseragaman dalam menentukan
titik potong nilai yang dipakai untuk mendeteksi defisiensi besi pada anak.28

Rekomendasi pemberian suplementasi besi WHO 2016


Badan kesehatan dunia (WHO) merilis rekomendasi terbaru mengenai
suplementasi besi pada anak usia 6-23 bulan yang tinggal di daerah dengan
prevalens anemia tinggi (Tabel 2). 21

102
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 2. Rekomendasi WHO mengenai suplementasi besi pada anak usia 6-23 bulan yang tinggal di daerah
dengan prevalens anemia tinggi

Kelompok target 6-23 bulan 24-59 bulan 5-12 thn


(usia)
Komposisi suplemen 10-12.5 mg besi elemental 30 mg besi elemental 30-60 mg besi elemental
Bentuk suplemen Drop/sirup Drop/sirup/tablet Tablet
Frekuensi pemberian 1x sehari 1x sehari 1 x sehari
Durasi 3 bulan berturut-turut 3 bulan berturut-turut 3 bulan berturut -turut
Kondisi Prevalens anemia pada bayi Prevalens anemia pada Prevalens anemia pada bayi
dan anak > 40% bayi dan anak > 40% dan anak > 40%

Simpulan
Prevalens anemia pada kelompok usia < 2 tahun di Indonesia masih tinggi
yaitu 55%. Pada kelompok usia > 2 tahun walaupun prevalens anemia berkisar
10-15% tetapi sekitar 20% sudah termasuk fase deplesi dan defisiensi besi
tanpa anemia. Dampak negatif defisiensi besi sudah terjadi walaupun belum
sampai terjadi anemia sehingga suplementasi perlu diberikan kepada semua
anak terutama kelompok usia yang rentan terhadap terjadinya ADB yaitu bayi,
remaja terutama remaja puteri. Perlu segera merevisi rekomendasi suplementasi
besi berdasarkan data penelitian terbaru dan memperbaiki hal yang menjadi
dalam pelaksanaan rekomendasi suplementasi sebelumnya.

Daftar pustaka
1. WHO. Micronutrient deficiencies Diunduh dari: http://www.who.int/nutrition/
topics/ida/en/ [Diakses pada tanggal 20 September 2017]
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar. Jakarta : 2013
3. Sandjaja S, Budiman B, Harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Widodo Y. Food
consumption and nutritional and biochemical status of 0.5-12 year old Indonesian
children : the SEANUTS study. BJN. 2013;110:11-20.
4. Nawangwulan SA, Andriastuti M, Devaera Y, Dewi R. Status besi siswa sekolah
dasar negeri di Jakarta : hubungan dengan status gizi dan asupan diet, studi kasus
di SD Negeri Pegangsaan 01 Jakarta Pusat [tesis]. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016.
5. Andriastuti M, Medyatama MF, Triasmoro T, Palupi SR. Prevalence anemia and
iron deficiency among scavengers in slum area. unpublished
6. Lozoff B, Beard J, Connor J, Felt B, Georgieff M, Schallert T. Long-lasting neural
and behavioural effects of iron deficiency in infancy. Nutr Rev. 2006;64:34-43.
7. Abbaspour N, Hurrell R, Kelishadi R. Review on iron and its importance for
human health. J Res Med Sci. 2014;19:164-74.
8. McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between
iron deficieny during development and deficits in cognitive or behavioral function.
Am J Clin Nutr. 2007;85:931-45.

103
Pelaksanaan dan evaluasi rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan anak

9. Walter T, De Andraca I, Chadud P, Perales CG. Iron deficiency anemia : adverse


effects on infant psychomotor development. Pediatrics.1989;84:7-17.
10. Oski FA, Honig AS, Helu B, Howanitz P. Effect of iron therapy on behavior
performance in nonanemic, iron deficient infants. Pediatrics.1983;71:877-80.
11. Baker RD, Greer FR, The Committee of Nutrition. Clinical reports – diagnosis
and prevention of iron deficiency and iron-deficiency anemia in infants and
young children (0-3 years of age). Pediatrics.2010;126:1040-50.
12. Lozoff B, De Andraca I, Castillo M, et al. Behavioral and developmental
effects of preventing iron- deficiency anemia in healthy full-term
infants. Pediatrics.2003;112:846–854.
13. Sherriff A, Emond A, Bell JC, et al. Should infants be screened for anaemia? A
prospective study investigating the relation between haemoglobin at 8, 12, and
18 months and development at 18 months. Arch Dis Child.2001;84:480–485.
14. Sachdev H, Gera T, Nestel P. Effect of iron supplementation on mental and motor
development in children: systematic review of randomised controlled trials. Pub
Health Nutr. 2005;8:117–132.
15. Madan N, Rusia U, Sikka M, Sharma S, Shankar N. Developmental and
neurophysiologic deficits in iron deficiency in children. Indian J Pediatr.
2011;78:58-64.
16. De Andraca I, Walter T, Castillo M. Iron deficiency anemia and its effects upon
psychological development at preschool age: a longitudinal study. Nestle Foundation
Nutrition annual report (1990).Vevey, Switzerland: Nestec Ltd; 1991;53–62.
17. Beard JL. Why iron deficiency is important in development. Presented as part
of the symposium “Infant and Young Child Iron Deficiency and Iron Deficiency
Anemia in Developing Countries: The Critical Role of Research to Guide Policy
and Programs” given at the 2008 Experimental Biology meeting on April 7, 2008,
in California.
18. Soekarjo DD, Pee SD, Bloem MW, Tjiong R, Yip R, Schreurs WHP, Muhilal.
Socio-economic status and puberty are the main factors determining anaemia in
adolescent girls and boys in East Java, Indonesia. Eur J Clin Nutr.2001;55:932-9.
19. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention and
control. A guide for program managers. Geneva: WHO; 2001
20. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi suplementasi besi untuk bayi dan
anak. Jakarta : 2011.
21. World Health Organization. Daily iron supplementation in infants and children.
Geneva: WHO; 2016
22. McDonagh M, Blazina I, Dana T, Cantor A, Bougatsos C. Routine iron
supplementation and screening for iron deficiency anemia in children ages 6
to 24 months: a systematic review to update the U.S. Preventive Services Task
Force Recommendation. Evidence Synthesis No. 122. AHRQ Publication No. 13
05187-EF- 1. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2015.
23. US Preventive Services Task Force. Recommendation statement: screening
for iron deficiency anemia—including iron supplementation for children and
pregnant women. Rockville, MD: US Preventive Services Task Force; 2006
24. Siu AL. Screening for iron deficiency anemia in young children: USPSTF
recommendation statement. Pediatrics.2015;136:746-52.

104
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

25. Oregon Evidence-Based Practice Center. Screening for iron deficiency anemia
in childhood and pregnancy: update of the 1996 U.S. Preventive Services Task
Force Review. AHRQ Publication No. 06-0590-EF-1. Evidence Synthesis No.
40. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2006.
26. Baker RD, Greer FR. Diagnosis and prevention of iron deficiency and
iron deficiency anemia in infant and young children (0-3 years of age).
Pediatrics.2010;126:1040-50.
27. Wu AC, Chen A, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency.
Pediatr Rev.2002;23:171-7.
28. Bakr AF, Sarette G. Measurement of reticulocyte hemoglobin content to diagnose
iron deficiency in Saudi children. Eur J Pediatr.2006;165:442-5.

105
Peran pencitraan pada deteksi dini
cedera otak neonatus
Evita Karianni Bermanshah Ifran

TUJUAN
1. Mengetahui berbagai macam alat pencitraan untuk mendeteksi
cedera otak pada neonatus
2. Mengetahu keuntungan dan kerugian masing-masing alat
pencitraan
3. Mengetahui cedera otak yang dapat dideteksi dengan alat
pencitraan
4. Mengetahui peran pencitraan dalam deteksi dini cedera otak
akibat ensefalopati pada neonatus dan menentukan prognosis
jangka panjang

Perinatal asfiksia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas


pada neonatus di sebagian besar negara. Umumnya ensefalopati neonatal (EN)
terjadi akibat asfiksia selama proses kelahiran. Penyebab EN sangat bervariasi,
sering tidak dapat dijelaskan, terbanyak disebabkan oleh hipoxic ischemic
ensephalopathy (HIE) yang disebabkan hipoksia dan iskemik pada otak. Pada
studi prosepektif dengan menggunakan MRI, lebih 75% NE disebabkan HIE
pada saat lahir atau sesaat sebelum lahir (intrapartum). Penyebab lain EN
antara lain kelainan metabolik, infeksi neonatal, drug exposure, trauma lahir,
neonatal stroke, kelainan bawaan sistem syaraf.1,2 Kematian dapat terjadi pada
20% kasus, dan 25% mengalami defisit neurologis di masa yang akan datang.3
Deteksi sedini mungkin NE dan HIE sangat penting karena intervensi
dini akan mencegah kematian dan terjadinya palsy cerebral. Berbagai
pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan untuk mendeteksi cedera otak
pada neonatus serta untuk menentukan prognosis dikemudian hari, seperti
pemeriksaan ultrasonogtrafi (USG), Computed Tommograpgy (CT) scan, dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Cedera otak yang terjadi selama atau sesaat sebelum proses kelahiran
merupakan penyebab terbanyak kelainan neurologis jangka panjang.
Pemeriksaan pencitraan harus dilakukan dalam 12-24 jam pertama bila dicurigai
terdapat cedera otak. Perlu diingat cedera pada otak merupakan proses,

106
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

kelainan yang diakibatkannya dapat timbul kapan saja dalam perjalanannya.


Kelainan dapat timbul dalam beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa
tahun kemudian, oleh karena itu pemantaun harus terus dilakukan, salah
satunya dengan menggunakan alat pencitraan. Pemeriksaan Ultrasonografi
(USG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas pencitraan
yang paling sering digunakan untuk melihat adanya cedera pada otak dan
akibatnya. Makalah ini akan membahas peranan pencitran dalam mendeteksi
cedera otak dan risiko gangguan neurologis dimasa yang akan datang akibat
HIE serta kelebihan dan kekurangan masing-masing alat pecitraan tersebut.
Diharapkan dengan membaca makalah ini akan memberikan tambahan
pengetahuan, manfaat, dan kegunaan alat pencitraan, serta dapat diaplikasikan
dalam tatalaksana bayi dengan HIE agar dapat menurunkan angka kematian
dan kecacatan dikemudian hari.

Epidemiologi
Ensefalopati neonatal (EN) terjadi pada 2,3 - 26,5 per seribu kelahiran hidup
di negara berkembang.4,5 Bukti menunjukkan ensefalopati neonatal pada 30%
negara maju dan 60% negara berkembang didapatkan riwayat hipocix ischemic
intrapartum.6 Prognosis pada bayi prematur lebih buruk daripada bayi cukup
bulan. Mendeteksi bayi yang memiliki risiko megalami HIE sangat penting
agar dapat diberikan terapi suportif yang adekuat. Cooling therapy saat ini
merupakan pilihan untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan
dikemudian hari pada bayi dengan cedera otak. Terapi ini dapat menurunkan
kelainan neurologis sebesar 15% dan menurunkan kejadian palsi serebral
pada 12%.7 Terapi ini harus segera dilakukan pada keadaan HIE. Penelitian
menunjukkan bila terapi ini dilakukan setelah 6 jam tidak akan memberikan
perlindungan terhadap persyarafan.8

Cedera otak
Sarnat dan Sarnat (1976) membagi Hipoxia Ischemic Encephalopathy (HIE) atas
derajat 1 (ringan) , 2 (sedang) dan 3 (berat) (Tabel 1).914 Mereka menyatakan
bila HIE derajat 2 berlangsung lebih dari 7 hari atau EEG tidak berubah menjadi
normal, akan berdampak kelainan neurologis dikemudian hari atau kematian.
Genedi, dkk (2016) pada penelitiannya mendapatkan sensitifitas dan
spesifisitas USG kepala dibandingkan MRI dalam mendeteksi cedera otak
pada NE atau HIE adalah 81,8% dan 60%, dengan akurasi diagnostik 78,9%.
Mereka menyimpulkan USG kepala masih merupakan modalitras pencitraan
yang bernilai dalam mengevaluasi cedera kepala, namun MRI dini memberikan
informasi yang penting adanya serta luasnya cedera otak.

107
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus

Tabel 1. Klasifikasi HIE Sarnat & Sarnat.9


Staging 1 Staging 2 Staging 3
Consciousness Hyperalert Lethargic of obtunded Stupor or coma
Activity Normal Decreased Absent
Neuromuscular control
Muscle tone Normal Mild hypotonia Flaccid
Posture Mild distal flexion Strong distal flexion Intermiten decerebration
Stretch reflexes Overactive Overactive Decreased or absent
Primitive reflexes
Suck Weak Weak or absent Absent
Moro Strong Weak incomplete Absent
Tonic neck Slight Strong Absent
Autonomic function
Pupils Normal Miosis Mydriase or variable, unequal
Heart rate Tachycardia Bradicardia Variable
Seizures None Common Uncommon
Stage 0 = normal

USG kepala memiliki sensitivitas yang lebih baik dalam mendeteksi lesi di
talamus, basal ganglia, dan periventricular whiter matter, masing-masing 88.2%,
81.2% dan 80% daripada lesi di korpus kalosum, batang otak, cerebellar white
matter, korteks serebri, dan subcortical white matter, yaitu masing-masing 37,5%,
33,3%, 33,3%, 28,6%, dan 50%. Namun USG mempunyai spesifisitas yang
tinggi pada sebagian besar lesi (100%), lebih rendah pada lesi di perventrikel
dan subcortical white matter dan lesi kortikal, masing-masing 94%, 94,4%, dan
96,8% (Table 2).10

Tabel 2. Perbandingan gambaran pencitraan yang ditemukan dengan menggunakan MRI dan USG10

Imaging findings of brain lesions No of No of No. by TCUS Sensitivity Specigi-


+ve -ve True False False True city
MRI MRI +ve +ve -ve -ve
Altered parenchym signal/echogenicity
a. Central
- Basal ganglia 16 22 13 0 3 22 81.2 100
- Thalamus 17 21 15 0 2 21 88.2 100
- Perivetricular white matter 5 33 4 2 1 31 80.0 94
- Corpus callosum 8 30 5 0 3 30 37.5 100
- Brain stem 9 36 3 0 6 29 33.3 100
- Cerebellar white matter 6 32 2 0 4 32 33.3 100
b. Peripheral:
- Cortec 7 31 2 1 5 30 28.6 96.8
- Subcortical white matter 3 35 1 2 1 34 50 94.4
2. Germinal matrix hemorrhage 2 36 2 0 0 36 100 100
3. Congenital brain anomaly 3 35 3 0 0 35 100 100
4. Venous sinus thrombosis 1 37 1 0 0 37 100 100

108
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Patofisiologi11
Hipoksia adalah kekurang okigen pada jaringan. Iskemia adalah berkurangnya
aliran darah. Dari kedua keadaan ini Iskemia lebih penting. Iskemia dapat
menyebabkan kekurangan oksigen, sebaliknya kekurangan oksigen dapat
menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia luas menyeluruh lebih berbahaya
daripada hipoksia karena dapat menyebabkan kegagalan energi seluler dan
terbentuk asam laktat dan toksin-toksin lain yang akan menyebabkan cedera
otak melalui berbagai mekanisme yang akan lebih mempersulit uptake oksigen
oleh sel.
Pada otak terdapat bagian tertentu yang lebih rentan terhadap hipoksia
dan iskemia dibandingkan bagian lainnya. Bagian otak yang memiliki
metabolisme yang tingggi, seperti talamus dan basal ganglia paling rentan
terhadap perubahan yang tiba-tiba, berat dan berlangsung selama 30 menit
atau kurang. Korteks serebri rentan terhadap hipoksia yang berlangsung lama
dan tidak terlalu berat. Daerah yang tidak mendapat suplai darah arteri secara
langsung seperti watershed region juga rentan karena aliran darah di daerah ini
lemah. Lama dan beratnya keadaan ini serta kondisi bayi sendiri menentukan
lokasi dan luasnya cedera otak. Informasi diproses dan ditransmisi oleh sel
neurons melalui sinyal kimia dan listrik, yang berhubugan satu sama lain
membentuk inti sistem saraf. Keadaan hipoksia iskemia dapat mempengaruhi
sel-sel otak dan sel neuron yang paling dipengaruhi.

Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan memiliki peranan penting dalam mendeteksi cedera
otak pada bayi dengan HIE. Pemeriksaan ini membantu dalam menentukan
waktu yang tepat untuk melakukan intervensi sehingga dapat dicegah
terjadinya kerusakan otak lebih lanjut, dapat ditentukan beratnya kerusakan
yang diakibatkannya, memantau perubahan kerusakan pada otak, serta dapat
memperkirakan prognosis dikemudian hari.

Ultrasongrafi
Pemeriksaan USG memiliki kelebihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
di sisi tempat tidur bayi, sehingga dapat dilakukan pada masa akut atau pada
bayi prematur yang belum stabil atau masih memerlukan alat bantu pernapasan.
Pemeriksaan USG mudah, cepat, dapat diulang serta tidak memberikan radiasi
disamping lebih murah dibandingkan MRI. Pemeriksaan ini baik untuk skrining
dan untuk pemantauan selanjutnya.
USG mempunyai sensivitas tinggi untuk melihat perdarahan, ukuran
ventrikel, kerusakan white matter yang berat, dan lesi kistik yang menonjol.

109
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus

USG dapat menderteksi adanya edema dalam 24 jam setelah terjadinya


hipoksik-iskemik, adanya obliterasi sistem ventrikel dan daerah yang
ekogenik disebabkan nekrosis yang terlihat setelah beberapa hari kemudian.
Kelemahannya USG tidak dapat melihat dengan baik bagian luar korteks
serebri atau kelainan white matter ringan. Kekurangan lain pemeriksaan ini
sangat operator dependent, untuk itu diperlukan kompetensi melalui pelatihan.
Prognostik jangka panjang merupakan salah satu tujuan pemeriksaan
USG dan doppler pada neonatus dengan asfiksia. Sangat penting untuk
melakukan periksaan USG pada neonatus dengan asfiksia dan membuat
rencana pemantauan selanjutnya pada neonatus tersebut. Kudreviciene,
dkk (2014) menyatakan pemeriksaan USG dan doppler yang dilakukan pada
tiga hari pertama setelah lahir membantu menentukan prognostik kelainan
neurologis di masa yang akan datang dan mendapatkan hubungan bermakna
antara mean end diastolic velocity (EDV) yang tinggi dan mean resistive index (RI)
yang rendah dengan terjadinya kuadriparesis (P<0,05)12 Ditemukannya edema
otak dan cedera talamus dan/atau basal ganglia pada USG menunjukkan nilai
prognostik dengan akurasi yang tinggi terjadinya kuadriparesis dan gangguan
perkembangan neurologis pada usia 1 tahun (sesitivitas 100% dan spesifisitas
92-100%).

Computed tommography scan


Pemeriksaan CT scan merupakan modalitas pencitraan yang kurang sensitif
dalam mengevaluasi HIE dikarenakan kurang kontrasnya resolusi CT scan
untuk melihat parenkim otak. Disamping itu pemeriksaan CT scan tidak
disukai karena memberikan radiasi kepada bayi. Walaupun demikian CT scan
dapat merupakan pilihat utama pada keadaan tertentu seperti untuk melihat
adanya perdarahan intrakranial akut seperti perdarahan subdural, subarahnoid
atau di fossa posterior yang dicurigai berdasarkan adanya midline shift pada
temuan USG.

Magnetic resonance imaging


Pemeriksaan MRI dapat mendiferensiasikan parenkim otak, memperlihatkan
fungsi dan struktur otak lebih rinci, serta lokasi dan luasnya cedera otak. MRI
lebih baik dibandingkan dengan USG. Kekurangannya bayi harus dibawa
ketempat pemeriksaan. Pada masa akut tidak mungkin dilakukan transpotasi
pada bayi dengan sakit berat dan belum stabil. Waktu yang tepat dan optimal
untuk melakukan pemeriksaan MRI pada neonatus bervariasi tergantung
penyakit dan kelainan yang dicari. MRI dapat dilakukan pada 12-24 jam
pertama setelah lahir. Dengan MRI edema dan cedera otak dapat terlihat
dalam 24 jam pertama setelah lahir. Pada MRI daerah yang menunjukkan sinyal

110
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

tinggi menandakan abnormal. Pada kerusakan otak akan terbentuk jaringan


parut dan akan terlihat sebagai sinyal yang tinggi (hiperinten) pada MRI.
Protokol pemeriksaan MRI tergantung dari fasilitas yang tersedia.
Pemeriksaan pada bayi cukup bulan dengan HIE sedang dan berat bertujuan
untuk menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Untuk tujuan
prognostik pada bayi cukup bulan pemeriksaan MRI dilakukan pada hari 3-14
kehidupan (rekomendasi pada hari 4-10 kehidupan), untuk tujuan penangan
bayi secara lansung dilakukan pada 3 hari pertama kehidupan.13-15 Keadan ini
disesuaikan dengan fasilitas dan kondisi setempat. Gambaran yang terlihat pada
bayi prematur tergantung usia gestasinya. Waktu terbaik untuk menentukan
prognosis dengan MRI pada bayi prematur adalah pada saat usia koreksi cukup
bulan (term corrected age). Pemeriksaan yang lebih dini tergantung kebutuhan.
Gambaran pencitraan
Gambaran yang sering dijumpai :

1. Intraventricular hemorrhage (IVH)


Kalsifikasi IVH (Gambar 1)
Derajat I : Terbatas pada matriks subependimal

Gambar 1. IVH grade I-IV.

111
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus

Derajat II : Perdarahan masuk ke dalam ventrikel mengisi < 50% ventrikel


lateralis, tidak terdapat ventrikulomegali akut
Derajat III : Perdarahan masuk dan mengisi > 50% satu atau kedua ventrikel
lateralis dan menyebabkan ventrikulomegali akut
Derajat IV : Perdarahan derajat 1,2,dan 3 dengan perdarahan pada parenkim
periventrikel

Gangguan neurosensori sedang dan berat pada bayi yang sangat prematur
secara bermakna lebih tinggi pada bayi dengan IVH grade 1-2 daripada tanpa
IVH (masing-masing 22 dan 12 %). Temuan ini sesuai dengan penelitian
lainnya.16 Bolisetti, dkk.(2014) pada penelitiannya mendapatkan IVH grade
1-2 pada bayi sangat prematur walaupun tidak ditemukan cedera white matter
atau kelainan pada pemeriksaan USG selanjutnya, berhubungan dengan
gangguan perkembangan neurologis di masa yang akan datang.17
Walaupun dampak jangkan panjang IVH grade 1-2 kecil, penting untuk
menjelaskan dan mengingatkan keluarga untuk melakukan pemantauan jangka
panjang dan melakukan skrining berkala terhadap gangguan neurodevelopmen
di masa yang akan datang.

2. Periventricular Leucomalacia (PVL)


PVL dikenal juga sebagai HIE pada prematur. Merupakan kelainan white matter
yang mengenai daerah periventrikel yang akan terlihat sebagai peningkatan
periventrikuler ekogenisiti pada USG. Menemukan PVL sangat penting
karena bayi prematur yang berhasil hidup, secara bermakna mempelihatkan
palsi serebral, gangguan intelektual dan gangguan visual. Lebih dari 50% bayi
dengan PVL dan perdarahan grade 3 menderita palsi serebral dikemudian hari.

Klasifikasi PVL (Gambar 2)


Deajat I : Periventrikular ekogenisiti menetap lebih dari 1 minggu
Derajat II : Berkembang menjadi kista kecil periventrikel
Derajat III : Berkembang menjadi kista ekstensif periventrikel, frontoparietal,
dan oksipital
Derajat IV : Berkembang menjadi kista di white matter dalam sampai menjadi
kista ekstensif subkortikal

Gambaran periventrikuler ekogenisiti tidak spesifik, gambaran ini harus


dibedakan dengan gambaran normal periventrikel halo atau periventrikel
‘blush’ posterosuperior daerah periventrikel. Pemeriksaan USG secara regular

112
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Gambar 2. PVL grade 1-4.

dianjurakan pada bayi dengan HIE. Kista dapat baru terbentuk beberapa
minggu kemudian. Pemeriksaan USG saat usia koreksi 40 minggu atau sebelum
pulang harus dilakukan. Bila pada USG telah terlihat PVL kistik, gambaran
yang terlihat pada MRI tidak berbeda (gambar 2). Sering kelainan pada white

113
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus

matter sulit dilihat dengan USG. Pada riwayat HIE dengan kecurigaan cedera
otak, harus dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI.

3. Ventriculomegali
Terdapat berbagai cara pengukuran ventrikel lateralis. Lavene Index digunakan
untuk pengukuran ventrikel lateralis pada bayi dengan usia gestasi < 40
minggu (Gambar 3).18 Pada usia gestasi > 40 minggu digunakan pengukuran
dengan Ventricle Index (Gambar 4). Kelemahan pengukuran ventricle Index
kurang menggambarkan pelebaran ventrikel lateralis secara menyeluruh.
Biasanya pelebaran ventrikel lateralis dimulai dengan membulatnya kornu
anterior (balloning). Lakukan juga pengukuran diagonal ventrikel lateralis
yang melebar (Gambar 5).

4. Edema serebri
Gambar 6. Edema cerebri. Ventrikel tidak terlihat atau terlihat berupa garis
tipis. Gambaran sulkus dan girus menghilang, fisura interhemisfer terlihat
rapat, parenkim terlihat ekogenik.

Gambar 3. Lavene Index. Pengukuran ventrikel lateralis pada baru usia gestasi < 40 minggu.18

Gambar 4. Ventrikel Index. pengukuran ventrikel lateralis pada bayi usia gestasi > 40 minggu.

114
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Gambar 5. Pengukuran volume ventrikel lateralis. Balloning ventrikel lateralis.

Kesimpulan
yy Diagnosis HIE dan deteksi dini cedera pada otak pada bayi sangat penting
sehingga dapat dilakukan intervensi dini yang dapat meminimalkan
kelainan neurologis akibat HIE dikemudian hari.
yy Walaupun USG tidak dapat mendeteksi kelainan pada otak sebaik MRI,
USG merupakan alat pencitraan yang sangat bermanfaat untuk skrining
neonatus dengan ensefalopati, khususnya pada keadaan akut dan kritis,
dimana mobilisasi tidak dimungkinkan, serta dapat dipergunakan untuk
pemantauan lebih lanjut.
yy MRI merupakan modalitas pencitraan yang terbukti dapat mendeteksi
dengan baik saat terjadinya, beratnya, dan luasnya cedera otak pada
neonatus dan berperan dalam memprediksi kelainan neurologis di masa
yang akan datang.
yy MRI dini memberikan informasi yang penting ada dan luasnya cedera
otak, serta menentukan waktu yang tepat untuk melakukan intervensi.
yy Pada neonatus dengan ensefalopati, kedua modalitas pencitraan baik USG
maupun MRI harus dilakukan bersama-sama pada masa akut maupun
pemantaun jangka panjang
yy Pemeriksaan USG kepala dan MRI harus dimasukkasn ke dalam protokol
neonatus dengan ensefalopati.

115
Peran pencitraan pada deteksi dini cedera otak neonatus

Daftar pustaka
1. Badawi N, Kurinczuk JJ, et al. Antepartum risk factors for newborn encephalopathy:
the Western Australian case-control study. BMJ 1998;317(7172):1549–53.
2. Badawi N, Kurinczuk JJ, et al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy:
the Western Australian case-control study. BMJ 1998;317(7172):1554–8.
3. Ferriero DM. Neonatal brain injury. N Engl J Med 2004;351:1985–95.
4. Horn AR, Swingler GH, Myer L, et al. Defining hypoxic ischemic encephalopathy
in newborn infants: benchmarking in a South African population. J Perinat Med
2013;41(2):211–7.
5. Tagin MA, Woolcott CG, Vincer MJ, et al. Hypothermia for neonatal hypoxic
ischemic encephalopathy: an updated system- atic review and meta-analysis.
Arch Pediatr Adolesc Med 2012;166(6):558–66.
6. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal
encephalopathy and hypoxic–ischaemic encephalopathy. Early Hum Dev 2010
Jun;86(6):329–38.
7. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, et al. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic
encephalopathy. Cochrane Database Syst Rev 2013;1:CD003311. 8
8. Thoresen M, Whitelaw A. Therapeutic hypothermia for hypoxic- ischaemic
encephalopathy in the newborn infant. Curr Opin Neurol 2005;18:111–6.
9. Sarnat HB, Sarnat MS. Arch Neurol 1976;33(10):696–705
10. Genedi EASh, Osman NM, El-deep MT. Magnetic resonance imaging versus
trascranial ultrasound in early identification of cerebral injuries in neonatal
encephalopathy. The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine
2016; 47: 297-304
11. https://www.abclawcenters.com/practice-areas/diagnostic-tests/hypoxic-
ischemic-encephalopathy-and-brain-imaging/
12. Kudreviciene A, Algidas Basevicius A, Lukosevicius S, Laurynaitiene J, Marmiene
V, Nedzelskiene I, Buinauskiene J, Stoniene D, Tameliene R. The value of
ultrasonography and Doppler sonography in prognosticating long-term outcomes
among full-term newborns with perinatal asphyxia. Medicina 2014; 50: 100-110
13. Ment LR, Bada HS, Barnes P, Grant PE, Hirtz D, Papile LA, et al. Practice
parameter: Neuroimaging of the neonate: Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice
Committee of the Child Neurology Society. Neurology 2002;58(12):1726-1738.
14. Cheong J, Coleman L, Hunt RW, et al. Prognostic utility of magnetic resonance
imaging in neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy: substudy of a randomized
trial. Arch Pediatr Adolesc Med. 2012;166(7):634-40.
15. Rutherford M, Ramenghi LA, Edwards AD, et al. Assessment of brain tissue injury
after moderate hypothermia in neonates with hypoxic-ischaemic encephalopathy:
a nested substudy of a randomised controlled trial. Lancet Neurol. 2010 ;9(1):39-
45.
16. Woodward LJ, Anderson PJ, Austin NC, Howard K, Inder TE. Neonatal MRI
to Predict Neurodevelopmental Outcomes in Preterm Infants. N Engl J Med
2006;355(7):685-694.

116
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

17. Bolisetty S, Dhawan A, Abdel-Latif M, Bajuk B, Stack J, Lui K. Intraventricular


Hemorrhage and Neurodevelopmental Outcomes in Extreme Preterm Infants.
Pediatric 2014; 133: 55-62
18. Levene M. Measurement of the growth of the lateral ventricles in preterm infants
with real-time ultraso

117
Cooling therapy: terapi terkini
Pada asfiksia neonatal
Rinawati Rohsiswatmo, Albert

Tujuan:
1. Mengetahui diagnosis asfiksia neonatal
2. Mengetahui prinsip terapi hipotermia pada bayi afiksia
3. Mengetahui metode penelitian (cooling) pada terapi hipotermia

Berdasarkan data Worldbank, angka kematian neonatus di Indonesia adalah


14 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015.1 Angka kematian neonatus di
Indonesia adalah ke-4 tertinggi di Negara ASEAN setelah Laos, Myanmar,
dan Cambodia. Asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%)
di Asia Tenggara, setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas/ bayi berat
lahir rendah (BBLR) (27%).2,3 World Health Organization (WHO) melaporkan
asfiksia sebagai komplikasi intrapartum berkontribusi sebagai 11% penyebab
kematian balita di seluruh dunia dan penyebab kematian neonatus tertinggi
kedua (23,9%) setelah prematuritas.4 Angka kejadian asfiksia perinatal
adalah 1-6 dari 1000 kelahiran hidup bayi cukup bulan.5,6 Banyak faktor
risiko prekonsepsi, antepartum, dan intrapartum menjadi penyebab asfiksia
perinatal. Perawatan perinatal telah sangat berkembang dalam beberapa dekade
terakhir, namun asfiksia tetap menjadi penyebab signifikan angka mortalitas
dan morbiditas.
Asfiksia yang berdampak pada kematian, kecacatan, dan peningkatan
biaya kesehatan sebenarnya dapat dihindari bila dilakukan penanganan
yang cepat dan baik.5 Asfiksia dapat dicegah progresivitasnya, dimulai dari
pencegahan primer berupa pengenalan faktor risiko asfiksia, pencegahan
sekunder dengan tata laksana dini dengan resusitasi-pasca resusitasi di kamar
bersalin dan ruang perawatan, serta pencegahan tersier yaitu komplikasi lanjut
dengan terapi hipotermia (cooling therapy).
Terapi hipotermia disebut sebagai salah satu alternatif pertolongan dan
telah terbukti menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan peningkatan
disabilitas pada bayi yang selamat. Penelitian meta analisis menunjukkan bahwa
pada tiap 6 atau 7 bayi dengan hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) sedang-

118
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

berat yang diterapi hipotermi ringan, akan berkurang 1 bayi yang meninggal
dan mengalami gangguan perkembangan saraf signifikan. Oleh karena itu,
akan dibahas terapi hipotermia dari sisi fasilitas terbatas.

Definisi asfiksia
Asfiksia perinatal adalah kondisi yang ditandai dengan gangguan pertukaran
udara respirasi (oksigen dan karbondioksida) yang mengakibatkan hipoksemia
dan hiperkapnia, disertai asisdosis metabolik. Gangguan aliran oksigen dari
plasenta ke janin terjadi saat kehamilan, persalinan, ataupun segera setelah
lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.7,8 Kondisi hipoksik akut terjadi
akibat perubahan dan redistribusi aliran darah akibat penurunan resistensi
vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi
vaskular perifer.9 Aliran darah cenderung difokuskan ke organ vital seperti
batang otak dan jantung, dibanding serebrum, pleksus koroid, substansia alba,
kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks
dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.9-12
Gangguan sistemik secara berurutan dari yang terbanyak adalah
melibatkan sistem hepatik, respirasi, renal, kardiovaskular.13 Pada 62%
kasus, gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa
gangguan neurologik, dan 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. 13
Gangguan fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai
dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure).14 Hipoksia
yang tidak membaik akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik.

Diagnosis asfiksia pada bayi baru lahir


Terdapat beberapa kriteria diagnosis asfiksia yang sering digunakan di
berbagai negara. Berikut ini merupakan kriteria diagnosis asfiksia yang banyak
digunakan.

a. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan American


Academy of Paediatics (AAP)
ACOG dan AAP menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum, sebagai berikut:15-19
1. bukti asidosis metabolik atau campuran (pH<7.0) pada pemeriksaan
darah tali pusat;
2. nilai Apgar 0-3 pada menit ke-5;

119
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

3. manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma


(ensefalopati neonatus); dan
4. disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal,
hematologi, respirasi, atau renal.
Diagnosis asfiksia neonatorum dapat ditegakkan apabila keempat kriteria
ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada kondisi berbasis
komunitas dan fasilitas terbatas.20

b. WHO
WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila
nilai Apgar 0-3 pada menit pertama ditandai dengan:
1. Laju denyut jantung (LDJ) menurun atau menetap (<100 kali/menit)
saat lahir,
2. tidak bernapas atau megap-megap, dan
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.

Kriteria ini diketahui memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian


serta kerusakan neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali overdiagnosis)
bila dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu,
WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat pelayanan
kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP pada Tabel 1.18

Tabel 1. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas di tingkat
pelayanan kesehatan

No Kriteria Standar baku emas di tingkat pelayanan kesehatan


1. Bukti asidemia metabolik atau campuran Analisis gas darah dengan pH<7,0 dan defisit basa 12
(pH<7,0) dari darah tali pusat mmol/L dalam 60 menit pertama
2. Nilai Apgar 0-3 menit kelima Penilaian Apgar menit kelima
3. Manifestasi neurologis (ensefalopati neonatus)
Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif,
refleks batang otak, kejang, laju pernapasan
4. Disfungsi multiorgan • Sistem saraf: ensefalopati neonatus, kelainan gamba-
ran ultrasonografi
• Sistem kardiovaskular: kelainan LDJ dan tekanan
darah (gangguan sirkulasi)
• Sistem pernapasan: apnea atau takipnea, kebutuhan
suplementasi oksigen, bantuan napas tekanan positif
atau ventilator mekanik
• Sistem urogenital: hematuria, oliguria, anuria, pen-
ingkatan kreatinin serum
• Fungsi hepar: Peningkatan SGOT/SGPT
• Sistem hematologi: trombositopenia, peningkatan
jumlah retikulosit
Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol overview; 2007. (dengan
modifikasi)

120
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 2. Kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia


No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas
*keempat kriteria harus terpenuhi *kedua kriteria harus terpenuhi dengan ketidak-
tersediaan pemeriksaan analisis gas darah
1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH<7.0) Bukti riwayat episode hipoksik perinatal
pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama
2. Nilai Apgar < 5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar < 5 pada menit ke-10, atau
• Bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
> 10 menit
3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia
atau koma (ensefalopati neonatus);
4. Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardio-
vaskular, gastrointestinal, hematologi, respirasi,
atau renal.

Di Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus bervariasi


dari fasilitas terbatas di daerah terpencil sampai fasilitas ideal di kota-kota
besar. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum yang digunakan di Indonesia
yang disusun dari berbagai kepustakaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Ada studi yang melaporkan bahwa hitung sel darah merah berinti
(nucleated red blood cell/nRBC) dapat dijadikan penanda terjadinya asfiksia
sebelum persalinan dan selama proses kelahiran.21-23 Asfiksia perinatal
perlu dipertimbangkan bila ditemukan hitung nRBC/100 hitung sel darah
putih (white blood cell/WBC).21

Terapi hipotermia pada bayi asfiksia


Terapi hipotermi adalah upaya menurunkan suhu inti tubuh pada bayi dengan
HIE menjadi 32-34 oC dengan tujuan untuk mencegah kerusakan neuron otak
akibat asfiksia perinatal.24 Terapi ini memberikan mekanisme neuroprotektif
dengan menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat, mencegah
kejang, stabilisasi blood brain barrier, produksi oksida nitrit, produksi leukotrien,
serta meningkatkan antioksidan endogen dan sintesis protein sehingga kejadian
edema serebral dan apoptosis neuron pada bayi dengan HIE menurun.25 Terapi
hipotermi mencegah kerusakan sel yang sedang berlangsung dan yang akan
terjadi dengan cara memperlambat kaskade kerusakan otak yang sedang
berjalan, namun tidak mempengaruhi sel yang sudah mengalami kerusakan
ireversibel.5,26-28
Terapi hipotermi dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase
maintenance, dan fase rewarming. Fase induksi/inisiasi merupakan fase awal
terapi hipotermia. Pada fase ini suhu tubuh bayi diturunkan dengan kecepatan

121
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

3oC/jam hingga mencapai 32-34oC. Diharapkan target suhu akan tercapai


dalam waktu kurang lebih 60-90 menit. Pada fase maintenance target suhu ini
dipertahankan selama 72 jam dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1-0,5oC.
Pada fase rewarming, tubuh bayi dihangatkan kembali dengan peningkatan
suhu tubuh tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak
terjadi efek samping hingga mencapai suhu normal (36,5-37,5oC).29 Pada fase
maintenance, suhu yang melebihi suhu target akan meningkatkan metabolisme
dan menginduksi kaskade sitotoksik serta kejang, sedangkan suhu di bawah
suhu target meningkatkan risiko efek samping misalnya koagulopati, bradikardi,
atau hipotensi. Fluktuasi suhu harus dihindari agar mencegah komplikasi. 29

Metode pendinginan (cooling) pada terapi hipotermia


Terapi hipotermi dilakukan dengan 2 metode yaitu pendinginan kepala secara
selektif (Selective Head Cooling/ SHC) dan pendinginan seluruh tubuh (Whole
Body Cooling/ WBC). SHC dilakukan dengan menggunakan Cool cap® dan
WBC menggunakan matras pendingin (Blanketrol®) pada fasilitas ideal.
Pada fasilitas terbatas WBC dapat dilakukan dengan sarung tangan yang diisi
dengan air dingin atau gel/cool pack.30 Metode SHC dilakukan dengan cara
mendinginkan otak secara langsung karena otak bayi memproduksi 70% dari
total panas tubuh. Namun pada beberapa studi, SHC cenderung mendinginkan
otak perifer dibandingkan sentral (thalamus, kapsula interna, ganglia basalis).
Pada cedera hipoksik-iskemik, otak sentral lebih rentan mengalami kerusakan.
Terapi WBC memberikan efek pendinginan yang lebih homogen ke
seluruh struktur otak, termasuk bagian perifer dan sentral otak, sehingga
memungkinkan derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai struktur otak
internal. Beberapa penelitian retrospektif memperlihatkan kesan potensi
yang lebih unggul pada WBC dibanding SHC.126 Kedua metode hipotermi
ini menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen. Tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar marker inflamasi, mortalitas,
dan tumbuh kembang pada usia 12 bulan.31-32

Indikasi dan kontraindikasi terapi hipotermia


Terapi hipotermia diindikasikan pada bayi dengan:
1. Usia gestasi > 35 minggu. 33-34
2. Dimulai sebelum bayi berusia 6 jam. 33-34
3. HIE derajat sedang atau berat*
a. Tanda dan gejala sesuai dengan HIE derajat sedang atau berat, dan/
atau

122
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

b. Tanda ensefalopati pada aEEG


4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu: 30,33-38
• Nilai Apgar < 5 pada menit ke-10, ATAU
• Bayi masih membutuhkan ventilasi mekanik (balon/T-piece resuscitator
dengan sungkup atau intubasi endotrakeal) atau resusitasi pada menit
ke-10
• pH darah tali pusat < 7,0 atau pH arteri < 7,0 atau defisit basa >
16 dalam 60 menit pertama setelah lahir
Pada analisis gas darah dengan defisit basa > 16, bukti ilmiah
menunjukkan efek protektif terapi hipotermia pada HIE sedang dan berat.
Ini merupakan kriteria yang banyak dipakai di negara maju. Namun sebagian
kecil pusat perawatan neonatal masih menggunakan defisit basa > 12.30,37
Kontraindikasi terapi hipotermia meliputi:33-34,38
1. Jika hipotermia terapeutik tidak dapat dimulai pada usia < 6 jam
2. Berat lahir 1800-2000 gram (tergantung kemajuan dan kesiapan masing-
masing pusat kesehatan)
3. Kebutuhan FiO2 > 80%
4. Kelainan kongenital mayor
5. Koagulopati berat secara klinis
6. Ancaman kematian tampaknya tidak dapat dihindari
7. Atresia ani (dapat dipertimbangkan pemasangan probe suhu di esofagus)
Terdapat dua sistem skoring standar mengenai status neurologis bayi
yang dapat digunakan untuk menentukan derajat HIE yaitu Sarnat staging
(Tabel 4) dan nilai Thompson (Tabel 5). Berbagai studi melaporkan bahwa
Sarnat staging memiliki korelasi signifikan dengan cedera hipoksik-iskemik
otak serta luaran neurologik yang buruk pada kasus HIE sedang atau berat.39-40
Nilai Thompson merupakan penanda sensitif akan terjadinya HIE berat atau
sedang dalam waktu 72 jam. Suatu studi (sensitivitas 100%, spesifisitas 67%)

Tabel 4. Sarnat staging


HIE derajat sedang HIE derajat berat
Kesadaran Letargik Koma/ tidak sadar
Aktivitas Menurun Menghilang
Postur Fleksi distal Deserebrasi
(ekstensi menyeluruh)
Tonus Hipotonik Flaksid
Refleks primitif Reflek hisap,gag & Moro melemah Refleks hisap, gag & Moro menghilang
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi
Frekuensi jantung Bradikardia Bervariasi
Pernapasan Periodik Apneu
Keterangan: diagnosis dengan Sarnat staging ditegakkan jika terdapat minimal 3 tanda

123
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

menunjukkan bahwa nilai Thompson > 6 berkaitan dengan abnormalitas


aEEG dalam 6 jam pertama kehidupan dan merupakan patokan untuk memulai
terapi hipotermia pada bayi dengan HIE.41 Pemeriksaan yang lebih akurat
seperti aEEG dan radiologi sangat dianjurkan jika memungkinkan. Derajat
HIE dapat mengalami perburukan pada jam-jam pertama kehidupan. Sarnat
staging dan nilai Thompson sebaiknya dievaluasi ulang pada jam ke-6 setelah
lahir sebelum memulai terapi hipotermia.

Tabel 5. Nilai Thompson


Tanda Nilai Thompson
0 1 2 3
Tonus normal Hiper hipo flaksid
Tingkat kesadaran normal hyperalert, memandangi letargik koma
Kejang tidak ada < 3x/hari > 2x/hari
Postur normal menggengam, gerakan seperti fleksi kuat di distal deserebrasi
mengayuh sepeda
Refleks Moro normal Parsial tidak ada
Grasp reflex normal Buruk tidak ada
Sucking reflex normal Buruk tidak ada ± menggigit
Respirasi normal hiperventilasi apnea sesaat apnea atau dalam
IPPV
Ubun-ubun normal datar, tidak tegang tegang
Nilai total
*IPPV= intermittent positive pressure ventilation; nilai ≤10 = EHI ringan, 11-14 = EHI sedang, ≥ 15 = EHI berat.
Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic encephalopathy score in predicting neu-
rodevelopmental outcomes among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National Hospital, Dar-es Salaam
Tanzania; 2008.42

Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari dan diplot dalam grafik
seperti pada grafik 1.


Skor Thompson
12
10
Skor Thompson

8
6
4
2
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke‐ )

Grafik 1. Pemantauan nilai Thompson harian

124
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Nilai Thompson > 6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5
jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal EEG pada usia 6
jam atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan
terapi hipotermia

Prosedur terapi hipotermia pada fasilitas terbatas


Bila prosedur terapi hipotermi tidak memungkinkan dilakukan pada suatu
fasilitas kesehatan, bayi perlu segera dirujuk ke rumah sakit dengan unit
perawatan neonatus level 3 tanpa menunda passive cooling.38
Beberapa metode cooling lain yang pernah dilaporkan di fasilitas terbatas
yaitu dengan penggunaan phase changing material (PCM) (Gambar 1) dan botol
berisi air dingin.43-44


Gambar 1. Phase changing material (PCM)
terbuat dari garam hydride, asam lemak, ester atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan yang
berdekatan. Matras dengan material PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di India untuk active
cooling di fasilitas terbatas

Gambar 2. Penggunaan botol berisi air dingin


Botol diisi air dingin bersuhu 25oC dan diletakkan di samping bayi

125
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

Berbagai langkah terapi hipotermia yang perlu dilakukan di sarana


pelayanan kesehatan terbatas:
1. Memulai passive cooling dengan cara mematikan radiant warmer dan
memaparkan bayi ke suhu ruangan dengan air conditioner (AC). Bayi
sedapat mungkin dalam keadaan telanjang.
2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack (Gambar 3) atau
sarung tangan berisi air dengan suhu ~100C (jika tidak memiliki cool
pack) (Gambar 4), yang telah didinginkan di lemari pendingin (BUKAN
dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau sarung tangan berisi air
dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher, dan di bawah bahu bayi
(Tabel 6)

Gambar 3. Whole body cooling dengan cool pack


Sumber: https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patient-care/perinatal-
reproductive/neonatal-ehandbook/procedures/initiation-hypothermia-scn

a b
Gambar 4. Whole body cooling di fasilitas terbatas dengan sarung tangan berisi air dingin
Terapi hipotermia menggunakan sarung tangan yang diisi dengan air dingin.
a. Posisi sarung tangan, b. Sarung tangan berisi air dingin harus dilapisi kalin/linen sebelum diletakkan di
atas badan bayi agar tidak mengembun.
Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo

126
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 6. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs


Indikator Suhu (0C) Jumlah cool packs yang dibutuhkan Area tubuh
>37,0 4 Kepala, bahu, leher, badan
36,1-37,0 3 Bahu, leher, badan
35,1-36,0 2 Bahu, badan
34,1-35,0 1 Badan
33,0-34,0 0 Tidak ada
Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic encephalopathy clinical guidelines.
2014 [accessed on October 8th 2016]. Available at: http://www.kemh.health.wa.gov

3. Pantau suhu rektal menggunakan termometer yang mampu mengukur


suhu hingga 32oC dan pertahankan target suhu antara 33-34oC selama
72 jam. Jika suhu rektal lebih rendah dari 33,5oC, jauhkan cool pack dari
tubuh bayi, nyalakan radiant warmer and atur tingkat kehangatan secara
manual untuk mencapai target suhu. Setelah suhu rektal mencapai 34oC,
matikan radiant warmer dan letakkan kembali cool pack pada tubuh bayi
sesuai kebutuhan.
4. Rewarming dilakukan dengan menempatkan bayi di bawah radiant warmer
atau di dalam inkubator dengan servo-controlled. Target suhu rektal
dinaikkan 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit ∼36,50C dan suhu
rektal ∼37oC. Waktu yang diperlukan untuk rewarming adalah 6-12 jam.
5. Awasi dampak rewarming yang mungkin terjadi (hipotensi, hipoglikemia,
kejang, gangguan elektrolit, dan peningkatan kebutuhan oksigen).
Rewarming tidak boleh dilakukan terlalu cepat untuk mencegah efek yang
merugikan. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap dilakukan hingga
12 jam setelah rewarming.

Penghentian terapi hipotermia


Terapi hipotermia dihentikan bila dijumpai persistent pulmonary hypertension
of the newborn (PPHN) perburukan atau berat, koagulopati berat, aritmia
yang memerlukan terapi (bukan sinus bradikardi), keluarga dan tim medis
memutuskan penghentian life support. Penghentian terapi ini harus terlebih
dahulu didiskusikan dengan tim/ konsultan neonatologi.

Pemantauan
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan HIE berat
mengalami komplikasi disabilitas berat. Sisanya 10-20% mengalami komplikasi
disabilitas sedang, dan 10% normal. Bayi HIE sedang memiliki kemungkinan
30-50% menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10-20% sisanya

127
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, pemantauan


dan intervensi jangka panjang sebaiknya dilakukan pada bayi asfiksia dengan
HIE sedang-berat. Penilaian psikometrik dapat dilakukan pada bayi sejak usia
18 bulan.45 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat dianjurkan untuk
pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.

Daftar pustaka
1. World Bank Group. Mortality rate, neonatal (per 1000 live births) [online] 2017
[diakses tanggal 30 Agustus 2017]. Didapat dari: https://data.worldbank.org/
indicator/SH.DYN.NMRT?locations=ID&view=chart
2. World Health Organization. Cause of child mortality, 2000-2012 [online] 2014
[diakses tanggal 18 September 2014]. Didapat dari: http://www.who.int/gho/
child_health/mortality/mortality_causes_region_text/en/
3. World Health Organization. World health statistic 2013 [online] 2013 [diakses
tanggal 20 Juni 2014]. Didapat dari: http://www.who.int/gho/publications/
world_health_statistics/EN_WHS2013_full.pdf.
4. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When? Where?
Why?. The Lancets. 2005;365;891-900.Antonucci R, Porcella A, Pilloni MD.
Perinatal asphyxia in the term newborn. J Pediatr Neonat Individual Med.
2014;3(2):e030269. doi: 10.7363/030269.
5. De Haan M, Wyatt JS, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin M. Brain
and cognitive-behavioural development after asphyxia at term birth. Dev Sci.
2006;9:350-8.
6. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Gleason CA
dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. United
Stated of America: Elsevier Inc; 2012.h.331.
7. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N Am. 2004;51:
619-37.
8. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal
asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
9. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol. 1989;16:595-
611.
10. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood flow and
oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J Dev Physiol. 1987;
9:337-46.
11. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood flow velocities in
the anterior cerebral artery and basilar artery in asphyxiated infants. J Ultrasound
Med. 2008; 27:955-60.
12. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects. Dalam: Fletcher
J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008.
13. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in infants
with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed. 2004; 89(2):F152-5.

128
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

14. American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and


Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam: Gilstrap LC, Oh W, penyunting.
Guidelines for perinatal care. Elk Grove Village (IL): American Academy of
Pediatrics; 2002: 196-7.
15. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, Neira-Pella T, Gutierrez-Hernandez
MA, Allendre-Castro C, dkk. Pathophysiology of perinatal asphyxia: can we
predict and improve individual outcomes? EPMA Journal. 2011; 2:211-30.
16. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of asphyxia. Pediatr
Cln N Am 51. 2004; 737-45.
17. Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview [online] 2007 [diakses tanggal 15 Desember 2014]. Didapat dari:
http://www.curoservice.com/health_professionals/news/pdf/10-09-2007_birth_
asphyxia02.pdf
18. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial management and
current cooling guidelines. Neoreview. 2016; 17(8):e463-70.
19. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, Katz J, Khatry SK, LeClerq SC, dkk. Risk
factors for neonatal mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A
prospective community-based cohort study. Pediatrics. 2008; 121;e1381.
20. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, Ghayour-Mobarhan M, Heidarze M,
Shakeri MT, dkk. Early diagnosis of perinatal asphyxia by nucleated red blood cell
count: A case-control study. Achives of Iranian Medicine. 2010; 13(4): 275-80.
21. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated red blood
cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome. Int J Clin Pediatr.
2014;3(3):79-85.
22. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN. Umbilical cord
nucleated red blood cell counts: normal values and the effect of labor. J Perinatol.
2006; 26:89-92.
23. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic
ensephalopathy [online] 2010 [diakses tanggal 14 Agustus 2014]. Didapat dari:
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/
24. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics.
2004;114(2):361-6.Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns
with hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-83
25. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. 9th ed. Philadelphia:
Saunders/Elsevier, 2012
26. Brown T. Hypothermia therapy helps infants with birth asphyxia. Medscape 2012
Okt 19. [diakses tanggal 28 agustus 2017]. Didapat dari: http://www.medscape.
com/viewarticle/772964#vp_3
27. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic hypothermia
during transport and in hospital for perinatal asphyxial encephalopathy. Semin
Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
28. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, Tyson JE, McDonald SA,
Donovan EF, dkk. Whole body hypotermic for neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy. N Engl J Med. 2005; 353:15.

129
Cooling therapy: terapi terkini pada asfiksia neonatal

29. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA, Akbayir S. The


effects of selective head cooling versus whole-body cooling on some neural and
inflammatory biomarkers: a randomized controlled pilot study. Italian J Pediatr.
2015; 41:79
30. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature and
cerebral blood flow during selective head versus whole-body cooling. Pediatrics.
2001; 108;1103.
31. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35 weeks with
moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) clinical guideline [online]
2010 [diakses tanggal 14 Agustus 2014]. Didapat dari: www.northerntrust.hscni.net
32. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic
hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic
encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service: Clinician’s
handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
33. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling for
newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311. DOI: 10.1002/14651858.
CD003311.pub2.
34. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling for
neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy-are we there
yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
35. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.: CD003311. DOI: 10.1002/14651858.
CD003311.pub3.
36. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Queensland
maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-ischaemic enchephalopathy.
Queensland: State of Queensland (Queensland Health); 2016.
37. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, Bainbridge A, Kurien J, Sivasamy N, et al. Neonatal
encephalopathic cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic
resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental outcome. PLoS
ONE 2014;9:e87874.
38. Van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn assessment
and long-term adverse outcome: a systematic review. Am J Obstet Gynecol
1999;180:1024-9).
39. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y. Early clinical
signs in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy predict an abnormal
amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52.
Doi: 10.1186/1471-2431-13-152.
40. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic encephalopathy
score in predicting neurodevelopmental outcomes among infants with birth
asphyxia at the Muhimbili National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical
Pediatr. 2008; 55(1): 8-14
41. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating the evidence
and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.

130
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

42. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during neonatal
resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83– 98.
43. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation management
of asphyxia. Indian J Pediatr. 2008;75(2):175-80.

131
Kelainan neurologis pada ensefalopati
hipoksik-iskemik dan pengaruhnya
terhadap perkembangan
Setyo Handryastuti

Tujuan:
1. Peserta memahami pengertian ensefalopati hipoksik-iskemik
neonatus
2. Peserta memahami patogenesis ensefalopati hipoksik-iskemik
3. Peserta dapat menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik-
iskemik dengan tepat
4. Peserta memahami korelasi kelainan anatomi dengan gejala
klinis akibat ensefalopati hipoksik-iskemik
5. Peserta memahami prognosis ensefalopati hipoksik-iskemik

Insidens ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI) kurang dari 1:1000 kelahiran


hidup di negara maju. Gangguan neurologi jangka panjang yang sering
diakibatkan oleh EHI adalah palsi serebral (PS) dan disabilitas intelektual.
Palsi serebral seperti kita ketahui bersama adalah gangguan gerak dan postur
yang bersifat statis, non progresif dengan berbagai komplikasi dan komorbiditas.
Anak dengan PS akan menjadi masalah kesehatan dan beban bagi keluarga
dan masyarakat. Oleh karena itu pencegahan asfiksia, identifikasi dini bayi
risiko tinggi terjadinya EHI, diagnosis serta tata laksana EHI yang tepat
diperlukan untuk menekan angka kejadian PS dan gangguan neurokognitif
lain. Pemahaman mengenai patogenesis terhadap kerusakan otak (brain injury)
serta kelainan neurologi dan perkembangan yang diakibatkan juga penting
agar dokter dapat memberikan tatalaksana secara komprehensif dalam praktek
sehari-hari.

Patogenesis ensefalopati hipoksik-iskemik


Ensefalopati hipoksik-iskemik neonatus secara klinis didominasi adanya proses
iskemia (berkurangnya aliran darah ke otak), biasanya didahului atau disertai
hipoksemia (berkurangnya oksigen di aliran darah). Hipoksemia menyebabkan

132
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

kerusakan jaringan otak akibat gangguan jantung dan hilangnya autoregulasi


serebrovaskular dengan iskemia sebagai konsekuensinya.1
Selama proses akut hipoksia, terdapat kegagalan autoregulasi untuk
mempertahankan cerebral blood flow (CBF). Pada kondisi ini CBF sepenuhnya
bergantung kepada tekanan darah sistemik yang disebut sebagai kondisi a
pressure-passive cerebral circulation. Jika hipoksemia-iskemia berlanjut, CBF
makin turun, terjadi gangguan mekanisme selular. Terjadi penggantian
proses fosforilase oksidatif dengan mekanisme anaerob, menurunnya produksi
adenosine triphosphate (ATP), terjadi asidosis intaselular, dan akumulasi kalsium.
Efek yang paling buruk adalah pelepasan neurotransmiter eksitasi glutamat,
radikal bebas dari proses peroksidase asam lemak, pelepasan zat neurotoksik
nitric oxide yang semuanya akan menyebabkan kematian sel.2,3
Setelah proses resusitasi dan stabilisasi CBF serta oksigenasi, kegagalan
produksi energi tahap kedua terjadi. Fase-fase ini terjadi dalam waktu 6 sampai
48 jam setelah kejadian asfiksia dan dianggap berkaitan dengan proses patologis
yang mendahuluinya, yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan
mitokondria.4
Selama proses asfiksia, tidak saja otak tetapi organ vital lain juga berisiko
terjadi kerusakan. Oleh karena itu manajemen pasca resusitasi juga ditujukan
pada organ sistemik yang mungkin terkena. Gangguan sistemik yang berkaitan
dengan iskemia kerap menyertai sindrom neurologi neonatus. Beberapa studi
asfiksia pada bayi aterm memperlihatkan 22% tidak terdapat kerusakan organ,
16% kerusakan SSP saja, 46% kerusakan SSP dan 1 atau lebih organ lain, 16%
kerusakan organ lain tanpa kerusakan SSP.1
Penyebab utama hipoksemia pada masa perinatal: (1) asfiksia dengan
gangguan pertukaran gas melewati plasenta pada masa intrauterin disertai
gagal nafas saat bayi lahir, (2) insufisiensi napas pascanatal akibat sindrom
distres pernapasan berat atau apneu berulang, (3) pirau kanan ke kiri akibat
gangguan jantung atau sirkulasi.1
Penyebab utama iskemia adalah (1) asfiksia intrauterin (hipoksemia,
hiperkarbia, asidosis) dengan insufisiensi jantung serta hilangnya autoregulasi
serebrovaskular pada saat intrauterin maupun pada saat persalinan, (2)
insufisiensi jantung pascanatal akibat apneu berulang yang berat, patent ductus
arteriosus (PDA) yang besar atau PJB berat, (3) insufisiensi sirkulasi pasca
kardiak akibat PDA atau kolaps vaskular pada sepsis.1
Sindrom neurologi yang menyertai asfiksia intrauterin adalah khas
untuk ensefalopati hipoksik-iskemik. Adanya sindrom neurologi neonatus
adalah syarat mutlak untuk terjadinya kerusakan jaringan otak akibat trauma
intrapartum. Terdapat 3 syarat untuk menyatakan kejadian intrapartum
sebagai penyebab kerusakan jaringan otak: (1) bukti adanya distress janin

133
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan

(detak jantung janin yang abnormal, mekonium hijau) (2) depresi saat proses
persalinan, dan (3) adanya sindrom neurologi neonatus pada jam-jam pertama
sampai hari-hari pertama kehidupan.1

Diagnosis ensefalopati hipoksik-iskemik


Evaluasi umum
Identifikasi dini bayi dengan risiko tinggi hipoksik-iskemik diperlukan untuk
mengantisipasi therapeutic window yang sangat singkat, yaitu interval antara
kejadian hipoksik-iskemik dengan intervensi yang dapat mengurangi keparahan
kerusakan otak, yang diperkirakan hanya sekitar 6 jam. Identifikasi dini dapat
diketahui dari riwayat sebelum persalinan seperti adakah korioamnionitis,
bradikardi pada janin, janin mengalami depresi, kebutuhan resusitasi dengan
intubasi dan ventilasi tekanan positif di ruang persalinan atau terdapat bukti
adanya asidemia pada janin. Pemeriksaan kondisi plasenta juga diperlukan.2
Pemeriksaan fisis umum dilakukan untuk menilai usia gestasi neonatus,
status kardiopulmonar, anomali kongenital, dan parameter pertumbuhan.5

Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologis yang cermat diperlukan karena dapat menentukan
lokasi lesi, derajat ensefalopati dan juga prognosis.
Kejadian hipoksik-iskemik pada saat atau sesaat sebelum proses persalinan
menentukan gejala sisa jangka panjang, neonatus akan memperlihatkan
gejala neurologis segera setelah lahir, bahkan dalam hitungan jam. Sebaliknya
tidak adanya tanda dan gejala ensefalopati neonatal selama masa neonatus
menandakan tidak adanya kejadian hipoksik-iskemik selama proses persalinan.5
Kelainan neurologis karena hipoksik-iskemik menyebabkan penurunan
kesadaran dan respons, kelainan tonus otot dan kejang. Terdapat korelasi antara
derajat dan lamanya kondisi hipoksik-iskemik dengan derajat ensefalopati.5
Kriteria derajat ensefalopati dikembangkan untuk mengelompokkan EHI.
Parameter yang dipakai adalah derajat kesadaran, saraf kranial, tonus otot,
refleks fisiologis, refleks neonatal, aktfitas motorik spontan, dan fungsi otonom.
Derajat EHI dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat.

Evaluasi laboratorium
Perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah tali pusat, arteri dan pH,
kadar elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), glukosa, blood
urea nitrogen, kreatinin, enzim hati. Kadar laktat cairan serebrospinal dan
katekolamin serum untuk melihat derajat EHI. Pemeriksaan laboratorium

134
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 1. Derajat manifestasi klinis dan luaran EHI6-8


Derajat Ensefalopati Ringan Sedang Berat
Kesadaran Alert/hyperalert Letargi Stupor-Koma
Tonus otot Normal/meningkat Hipotonia (fokal/umum) Flasid
Refleks primitf
Hisap Lemah Lemah/(-) (-)
Moro Meningkat Inkomplit (-)
Fungsi otonom
Pupil Dilatasi Miosis Deviasi/(-)
Jantung Takikardia Bradikardia Bervariasi
Respirasi Normal Periodik apneu Apneu
Lain-lain Iritabel, jitteriness Disfungsi batang otak Peningkatan tekanan intrakra-
nial (TIK)
Kejang (-) (+/-) (+), refrakter
EEG Normal Voltase rendah,periodik/ Periodik/
paroksismal isoelektrik
Luaran Normal 20%-40% abnormal Meninggal/100% abnormal

yang abnormal menandakan derajat keparahan asfiksia, bukan keparahan


kerusakan otak. Pungsi lumbal dengan pengukuran opening pressure, hitung
sel, protein dan glukosa perlu dilakukan. Untuk melihat kerusakan neuron
dapat diperiksa peningkatan creatine kinase brain isoenzyme (CK-BB) di cairan
serebrospinal dan neuron-specific enolase.5

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) bermakna untuk menilai fungsi
serebral dan dapat dikerjakan bedside. Pemeriksaan EEG dapat melengkapi
pemeriksaan neurologi untuk menentukan derajat EHI dan prognosis.
Diagnosis kejang pada neonatus kadang sulit dengan pemeriksaan klinis saja
karena perilaku abnormal yang dianggap kejang tidak selalu berkorelasi dengan
aktifitas epileptiform pada pemeriksaan EEG. Sebaliknya manifestasi kejang
secara klinis dapat subtle, tersamarkan oleh obat anti konvulsan dan hanya
terdeteksi dengan pemeriksaan EEG. Pemeriksaan EEG juga bermanfaat untuk
menentukan keparahan gangguan fungsi otak dan prognosis. Severely depressed
backgrounds seperti suppression-burst dan isoelectric menunjukkan disfungsi otak
yang berat dan mempunyai prognosis buruk. Gambaran status epileptikus pada
EEG juga menunjukkan prognosis buruk.9,10 Prognosis yang baik ditunjukkan
dengan timbulnya background pattern yang normal setelah usia 1 minggu. Saat
ini pemeriksaan continuous amplitude-EEG (aEEG) dipakai untuk memonitor
neonatus dengan EHI. Pemeriksaan ini merupakan penyederhanaan EEG dan
dapat dipakai untuk menentukan kejang dan prognosis.11

135
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan


Gambar 1. Gambaran EEG neonatus aterm normal12

Gambar 2. Gambaran irama dasar very low-voltage13

136
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja


Gambar 3. Gambaran burst-suppression13


Gambar 4. Gambaran kejang pada pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) 14

Pencitraan
Pencitraan berperan penting dalam EHI, untuk menentukan perjalanan
hipoksik-iskemik, tingkat keparahan dan luasnya kerusakan otak akibat EHI.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala terbukti bermanfaat
untuk mendiagnosis perdarahan intraventrikular (PIV) dan leukomalasia
periventrikular (LPV) terutama pada bayi prematur. Meskipun demikian
pemeriksaan ini mungkin tidak terlalu bermanfaat pada bayi aterm dengan
hipoksik-iskemik.5

137
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan

Pemeriksaan CT-scan dipakai secara luas untuk menentukan perjalanan


proses hipoksik-iskemik dan luasnya kerusakan otak, terutatama pada bayi
aterm. Pemeriksaan ini lebih bermanfaat untuk melihat kerusakan jaringan
otak dan perdarahan, dapat dikerjakan dengan waktu pemeriksaan yang
singkat, tanpa sedasi. Gambaran CT-scan pada bayi asfiksia memperlihatkan
hipodensitas fokal atau multifokal di substansia alba dan grisea. Hal ini dapat
disebabkan oleh iskemia atau edema otak. Edema otak luas digambarkan
sebagai hilangnya diferensiasi substansia alba dan grisea, hilangnya sulkus dan
girus otak serta ventrikel yang menyempit.5
Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala merupakan
pencitraan pilihan untuk menilai otak neonatus. Pemeriksaan MRI dapat
memperlihatkan kerusakan jaringan otak akibat hipoksik-iskemik seperti lesi di
daerah ganglia basal, parasagital, LPV, lesi iskemik fokal dan selective neuronal
necrosis. Pemeriksaan diffusion-weighted MRI dan Magnetic resonance Spectroscopy
dapat juga dipakai untuk menentukan luasnya kerusakan otak dan prognosis.
Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah waktu pemeriksaan yang lama dan
perlunya monitoring ketat pada neonatus dalam kondisi tidak stabil.5

Korelasi klinikopatologi asfiksia neonatus


Diagnosis di bidang neurologi terbagi menjadi diagnosis etiologi, anatomi
dan fisiologi. Demikian juga dengan EHI, gambaran klinis mencerminkan lesi
patologis. Kelainan neuropatologi ditentukan oleh: (1) waktu kejadian, (2)
derajat hipoksemia dan iskemia, (3) usia gestasi.1
Korelasi klinis jangka panjang lebih banyak ditemukan dibandingkan
korelasi klinis pada masa neonatus. Terdapat empat lesi patologis yang
mendasar, yang terkadang juga ditemukan saling tumpang tindih. Pemeriksaan
MRI kepala yang baik saat ini dapat membedakan masing-masing lesi patologis
tersebut dengan akurat. Empat lesi mayor yang dapat ditemukan adalah sebagai
berikut :1

1. Selective Neuronal Necrosis


Lesi ini berkaitan dengan kondisi klinis yang berat dan sekuele yang
berkepanjangan, hampir semua jaras saraf terkena. Terdapat penurunan
kesadaran karena keterlibatan kedua hemisfer atau ascending reticular activating
system di bagian atas batang otak dan diensefalon termasuk ganglia basal dan
talamus.1,15
Berikut ini adalah gambaran klinis yang dihubungkan dengan lesi
patologis kerusakan otak.

138
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 2. Manifestasi klinis pada lesi selective neuronal necrosis1

Topografi kerusakan otak Manifestasi neurologi


Neonatus Sekuele jangka panjang
Korteks serebil, ganglia basal, tala- Stupor sampai koma kejang, hipo- Gangguan kognitif, CP spatis-
mus; formasio retikularis; nukleus tonia, hipertonia-distonia gang- kuadriparesis CP Koreoatetosis,
batang otak termasuk kolikulus guan gerak bola mata, menghisap CP Distonia, kejang, bulbar ataksia
inferior, saraf kranial, serebelum; dan menelan serta gerakan lidah dan pseudobulbar palsy
kornu anterior medulla spinalis

2. Parasagittal Cerebral Injury


Manifestasi klinis yang jelas pada masa neonatus termasuk kelemahan
ekstremitas proksimal, ekstremitas atas lebih jelas dibandingkan ekstremitas
bawah. 1,16

Tabel. 3. Manifestasi klinis pada lesi parasagittal cerebral injury1


Topografi kerusakan otak Manifestasi neurologi
Neonatus Sekuele jangka panjang
CP spastis-kuadriparesis
Korteks serebri dan subcortical white Kelemahan ekstremitas proksimal, eks-
Gangguan kognitif spesifik
matter, superomedial (parasagit- tremitas atas lebih terkena dari bawah
tal) convexities, posterior > anterior
cerebrum


Gambar 5. Homonkulus korteks motor dan lesi parasagittal cerebral injury (segitiga hitam bilateral).
Ekstremitas proksimal, atas lebih terkena daripada ekstremitas bawah.1

3. Periventricular Leukomalacia (PVL)


Manifestasi klinis PVL baik lesi kistik/nekrotik maupun bentuk non kistik pada
masa neonatus sulit ditentukan karena sulit melakukan pemeriksaan neurologi
pada neonatus sakit, labil, prematur dan kondisi terkait kerusakan saraf dan
perdarahan. Ditemukan korelasi antara kelemahan pada ekstremitas bawah
dengan kerusakan fokal substansia alba di daerah periventrikel. Secara umum

139
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan

kelemahan ekstremitas tidak nampak pada masa neonatus, meski ditemukan


lesi kistik yang besar. Terdapat gangguan persepsi visual dan lapang pandang
yang konsisten dengan lesi pada radiasi optik.1,17

Tabel 4. Manifestasi klinis pada lesi periventricular leukomalacia1


Topografi kerusakan otak Manifestasi neurologi
Neonatus Sekuele jangka panjang
Periventricular white matter, termasuk Kelemahan ekstremitas bawah CP spastik diplegia, gangguan motorik
jaras motorik desenden , radiasi optik, (tanpa CP), gangguan kognitif, gang-
jaras asosiasi menuju korteks, ganglia guan visual, problem perilaku dan
basal, thalamus dan serebelum atensi

Leg Leg
Trunk Trunk
Arm Arm

Face Face

Mouth Mouth

Gambar 6. Diagram skematik jaras kortikospinal dari korteks motor ke area periventrikel dan kapsula

interna. Area periventrikel yang terkena (kotak hitam) yang terkena adalah jaras ke ekstremitas bawah,
jaras sisi lateral adalah jaras ke ekstremitas atas dan wajah.1

4. Focal and Multifocal Ischemic Brain Necrosis: Stroke


Manifestasi klinis yang berkorelasi adalah kejang. Neonatus dengan infark
serebral unilateral pada pemeriksaan CT scan atau MRI kepala, 80% sampai
90% mengalami kejang fokal, kontralateral dari lesi. Awitan kejang biasanya
pada hari pertama kehidupan. Gejala neurologis lain selain kejang tidak terlalu
tampak dibandingkan lesi selective neuronal necrosis.1

Tabel 5. Manifestasi klinis pada lesi focal and multifocal ischemic brain necrosis1
Topografi kerusakan otak Manifestasi neurologi
Neonatus Sekuele jangka panjang
Korteks serebri dan nekrosis white Kejang fokal Hemiparesis spastik dan kuadriparesis
matter subkorteks, unilateral, distri- Hemiparesis, kuadriparesis jika jika bilateral, gangguan kognitif dan
busi vaskular lesi bilateral kejang

140
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Leg

Trunk

Arm

Face

Mouth


Gambar 7. Diagram skematik jaras kortikospinal desenden dari korteks motor sesuai distribusi arteri
serebri media. Wajah dan ekstremitas atas lebih terkena dampak dibandingkan ektremitas bawah.1

Pengaruh ensefalopati hipoksik-iskemik pada


perkembangan neurokognitif.
Masalah neurokognitif akibat EHI merupakan masalah serius yang sering
mneyebabkan disabilitas jangka panjnag yang memengaruhi kehidupan
anak, keluarga dan masyarakat. Meskipun gejala sisa neurokognitif tersebut
ringan, tetapi dapat memnegaruhi pencapaian akademik dan kualitas hidup.
Luaran neurokognitif akibat EHI bervariasi meliputi gangguan neuromotor,
neurosensori dan fungsi kognitif.18

Problem neuromotor
Cerebral palsy
Cerebral palsy dan disabilitas berat terjadi pada 13% sampai 36% penyintas
EHI, dan berkitan erat dengan derajat ensefalopati, terutama ensfalopati berat.
Suatu peneltian menunjukkan 42% anak dengan ensefalopati berat terdiagnosis
CP pada usia 7 tahun.Cerebral palsy tipe kuadriplegia adalah bentuk terberat,
selain atetoid dan hemiplegia. Komorbiditas lain dapat menyertai seperti
gangguan saraf pendengaran, buta kortikal dan kesulitan belajar.18,19

141
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan

Gangguan fungsi motor tanpa adanya gejala CP


Kondisi ini terjadi pada anak dengan ensefalopati ringan dan sedang, yaitu
terdapat gangguan motor halus pada saat usia sekolah dan developmental
coordination disorders (DCD).18

Problem neurosensori
Penglihatan
Gangguan penglihatan dalam bentuk cortical visual impairment akibat kerusakan
pada jaras visual posterior, termasuk korteks visual primer atau kerusakan pada
struktur radiasi optika, lapang pandang atau stereopsis. Gangguan penglihatan
berat atau kebutaan terjadi pada 11-25% anak dengan ensefalopati sedang atau
berat, disertai gangguan neurologi. Gangguan penglihatan ini dapat dideteksi
pada tahun pertama kehidupan dan dapat berlanjut sampai usia sekolah.18,20

Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat berkaitan denagn problem neurologi meskipun
tidak selalu. Mekanismenya diduga karena kerusakan selektif pada batang
otak, dorsal cochlear nuclei. Gangguan pendengaran akibat EHI tidak berkaitan
dengan pemberian gentamisin atau riwayat keluarga. Bayi dengan ensefalopati
sedang berisiko tinggi mengalami gangguan pendengaran.18,21

Epilepsi
Epilepsi terjadi pada 20%-50% penyintas dengan ensefalopati sedang atau
berat. Kejadian epilepsi pasca natal berkaitan erat dengan diagnosis CP dan
keterlambatan perkembangan.22

Kemampuan kognitif
Secara keseluruhan anak dapat mengalami gangguaan kognitif tanpa adanya
CP. Sebanyak 30%-50% anak dengan EHI derajat 2 mengalami problem kognitif
pada saat pemantauan jangka panjang. Anak deaagn ensefalopati sedang
lebih banyak mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja dan aritmatika
dibandingkan anak dengan ensefalopati ringan atau kelompok kontrol.
Tampaknya proporsi anak dengan gangguan kognitif ini makin meningkat
seiring usia, sesuai tuntutan akademis dan intelektual.23

Fungsi eksekutif dan memori


Problem memori jangka pendek dan jangka panjang kerap ditemukan pada

142
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

neonatus dengan riwayat EHI sedang dan berat. Lindstrom memperoleh


data 64% orangtua melaporkan problem memori jangka pendek dan persepsi
waktu pada anak-anak mereka yang mengalami EHI sedang dan menganggu
aktifitas sehari-hari.21 Robertson dan Finer juga melaporkan adanya problem
memori auditori, atensi dan memori jangka pendek pasca EHI sedang, serta
menurunnya atensi terhadap obyek dan huruf pada anak-anak dengan EHI
ringan. Skor IQ anak-anak dengan riwayat EHI sedang secara keseluruhan
normal dibandingkan dengan kelompok kontrol, hanya ditemukan gangguan
kognitif spesifik seperti memori bahasa dan auditori (memori narasi dan repetisi
kalimat).18,24

Bahasa
Perkembangan bahasa dapat terganggu pasca EHI. Anak pasca EHI sedang
dilaporkan mengalami problem bicara, listening, membaca dan mengeja
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan EHI ringan.25

Perilaku
Anak pasca EHI tanpa adanya problem motorik berisiko tinggi mempunyai
problem perilaku seperti hiperaktif dan emosi seperti agresif, pasif dan
kecemasan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa problem ini berbeda pada
EHI ringan dan sedang. Pada EHI ringan problem perilaku tidak terdeteksi
sampai usia 8 tahun, sedangkan pada EHI sedang problem perilaku dapat
berlanjut sampai dewasa.18

Penutup
Ensefalopati hipoksik-iskemik merupakan kasus yang sudah jarang, akan
tetapi menimbulkan dampak jangka panjang yang berat. Pencegahan agar
neonatus tidak mengalami hipoksik-iskemik perinatal serta deteksi dini bayi
risiko tinggi mengalami EHI merupakan yang ideal. Penentuan golden period
untuk tata laksana hipotermia pada neonatus dengan EHI diperlukan untuk
mencegah kerusakan otak yang luas. Ketika kerusakan otak telah terjadi yang
dapat kita lakukan adalah mendeteksi sedini mungkin kelainan perkembangan
yang diakibatkan.

Daftar Pustaka
1. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic encephalopathy. Neurology of the newborn. Edisi
ke-5. 2008. Philadelphia:Saunders Elsevier.h.400-80.
2. Kasdorf E, Perlman JM. General supportive management of the term infant with

143
Kelainan neurologis pada ensefalopati hipoksik-iskemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan

neonatal encephalopathy following intrapartum hypoxia-ischemia. Perlman JM,


Polin RA, penyunting. Neurology Neonatology Questions and controversies. Edisi
ke-2. 2012. Philadelphia: Elsevier Saunders. hal. 77-90.
3. Perlman JM.Summary proceedings from the neurology group on hypoxic-ischemic
encephalopathy.Pediatrics.2006;117:S28-33.
4. Stola A, Perlman J. Post-resuscitation strategies to avoid onging injury following
intrapartum hypoxia-ischemia. Semin fetal Neonatal Med. 2008;13:424-31.
5. Hahn JS. Diagnosis of the infant with brain injury. Clinical manifestations of
hypoxic-ischemic encephalopathy. Stevenson DK, Benitz WE, Sunshine P,
Hintz SR, Druzin ML, penyunting. Fetal and neonatal brain injury. Edisi ke-4.
Cambridge:Cambridge University Press.2009.h. 187-95.
6. Roland EH, Hill A. Clinical aspect of perinatal hypoxic-ischemic brain injury.
Semin Pediatr Neurol. 1995;2:57-71.
7. Sharnat HB, sarnat MS. Neonatal encephalopathy following fetal distress:a
clinical and electroencephalographic study. Arch Neurol.1976;33:696-705.
8. Shankaran S, laptook AR, Ehrenkanz RA. Whole-body hypothermia for neonates
with hypoxic-ischemic encephalopathy. N Eng J Med.2005;353:1574-84.
9. Takeuchi T, Watanabe K. The EEG evolution and neurological prognosis of
neonates with perinatal hypoxia. Brain dev.1989;11:115-20.
10. Scher MS, painter MJ, Bergman I. EEG diagnosis of neonatal seizures:clinical
correlation and outcome. Pediatr Neurol. 1989;5:17-24.
11. Toet MC, Hellstrom-Westas l, Groenendaal, De Vries L. Amplitude integrated
EEG 3 and 6 hours after birth in full etrm neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal.1999;81:F19-23.
12. Mizrahi EM, Hrachovy RA. Atlas of neonatal electroencephalography. Edisi ke-4.
New York:Demos medical.2016.h. 71-124.
13. Olson DM, Davis AS. The use of EEG in assessing acute and chronic brain damage
in the newborn. Stevenson DK, Benitz WE, Sunshine P, Hintz SR, Druzin ML,
penyunting. Fetal and neonatal brain injury. Edisi ke-4. Cambridge:Cambridge
University Press.2009.h. 196-208.
14. Hellstrom-Westass L, De Vries L, Rosen I. Atlas of amplitude-integrated EEGs
in the newborn. Edisi ke-2. London:Informa Healthcare. 2008.h.79-108.
15. Pasternak JF, Gorey MT. The syndrome of acute near-total intrauterine asphyxia
in the term infant.Pediatr Neurol.1998;18:391-8.
16. Triulzi F, Parazzini C, Righini A.Patterns of damage in the mature neonatal brain.
Pediatr Radiol.2006;36:608-20.
17. Fawer CL, Caalme A, Perentes E. periventricular leukomalacia: a
correlation study between real time ultrasound and autopsy findings.
Neuroradiology.1985;27:292-300.
18. Miller SP, Latal B. Neurocognitive outcomes of term infants with perinatal
asphyxia. Stevenson DK, Benitz WE, Sunshine P, Hintz SR, Druzin ML,
penyunting. Fetal and neonatal brain injury. Edisi ke-4. Cambridge:Cambridge
University Press.2009.h. 575-84.
19. Dixon G, Badawi N, Kurinczuk JJ. Early developmental outcomes after newborn
encephalopathy. Pediatrics. 2002;109:26-33.

144
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

20. Mercuri E, Anker S, Guzetta A. Visual function at school age in children with
neonatal encephalopathy and low Apgar Score. Arch dis Child Fetal Neonatal.
2004;89:F258-62.
21. Lindstrom K, Lagerros P, Gillberg C. Teenage outcome after being born at term
with moderate neonatal encephalopathy. PediatrNeurol.2006;35:268-74.
22. Brunquell PJ, Glennon CM, DiMario FJ. Predicition of outcome based on clinical
seizure type in newborn infants. J Pediatr.2002;140:707-12.
23. Dilenge ME, Majnemer A, Shevell MI.Long-term developmental outcome of
asphyxiated term neonates. J Child Neurol.2001;16:781-92.
24. Robertson CM, Finer NN. Long-term follow-up term neonates with perinatal
asphyxia. Clin Perinatol.1993;20:483-500.
25. Marlow N, Rose AS, rands CE. Neuropsychological and educational problems
at school age associated with neonatal encephalopathy. Arch dis Child fetal
neonatal. 2005;90:F380-7.

145
Masalah pubertas
pada praktik sehari-hari
Jose RL Batubara

Tujuan:
1. Mengetahui kelainan pubertas yang sering ditemui sehari-hari
2. Mengetahui pendekatan klinis untuk masing-masing kelainan
3. Mengetahui tata laksana masing-masing kelainan

Pubertas merupakan suatu tahapan proses transisi perpindahan seorang anak


menjadi dewasa. Pada periode ini terdapat perubahan hormonal, fisik, dan
kejiwaan seorang anak. Pubertas ditandai dengan peningkatan hormon seks
dengan timbulnya tanda-tanda seks sekunder dan diakhiri dengan tercapainya
tinggi akhir serta kematangan fungsi seksual. Usia awal pubertas sangat
bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik, sosioekonomi,
nutrisi dan lingkungan.1
Di Amerika, perkembangan payudara dan rambut pubis dianggap
prematur bila terjadi sebelum usia 8 tahun dan pembesaran testis terjadi
sebelum usia 9 tahun. Dari beberapa penelitian, 98% anak laki-laki telah
mengalami pembesaran testis pada usia 13,5 tahun, sedangkan 98% anak
perempuan telah mengalami telarke pada usia 12 tahun.2,3
Perubahan usia pubertas dari abad ke-19 menuju abad ke-20 yang
menurun menjadi lebih awal, terjadi pada anak perempuan dan dihubungkan
dengan perbaikan sosioekonomi masyarakat. Percepatan usia pubertas
ini berhenti dengan terjadinya stabilitas sosioekonomi, status nutrisi, dan
kebersihan lingkungan.4
Beberapa kejadian kelainan pubertas dapat ditemukan dalam praktik
sehari-hari seperti pubertas prekoks, pubertas terlambat, ginekomastia, telarke
prematur, adrenarke prematur, gangguan haid, dll.

Pubertas prekoks
Pubertas prekoks terjadi bila tanda-tanda seks sekunder timbul sebelum usia 8

146
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

tahun pada anak perempuan dan sebelum 9 tahun pada anak laki-laki. Keadaan
ini terkadang segera diikuti dengan timbulnya pacu tumbuh dan peningkatan
usia tulang yang akan berakhir dengan pendek pada dewasanya.
Tanda awal pada anak perempuan terlihat dengan pembesaran payudara
(Tanner stage 2), hal lain yang dapat terjadi adalah timbul menarke lebih
cepat. Pada anak laki-laki tampak adanya pembesaran testis (>3 ml) dan penis
serta terkadang diikuti oleh perubahan suara dan tumbuhnya rambut wajah.
Berikutnya, pada anak laki-laki maupun perempuan bisa didapatkan adanya
pertumbuhan rambut pubis, rambut aksila dan bau badan, serta jerawat. 5,6
Pubertas prekoks dibagi menjadi pubertas prekoks sentral dan pubertas
perifer atau dikenal juga sebagai gonadotropin dependent precocious puberty
dan non-gonadotropin dependent precocious puberty. Hampir semua anak
perempuan dan separuh anak laki-laki dengan pubertas prekoks, mengalami
pubertas prekoks sentral.7,8
Sekresi hormon gonadotropin dini yang menandai adanya pubertas
prekoks akan merangsang pengeluaran testosteron dari sel Leydig dan estrogen
dari ovarium serta diikuti oleh tanda-tanda pubertas lainnya. Sedangkan
pubertas prekoks perifer disebabkan oleh karena adanya sumber lain yang
menghasilkan gonadotropin atau seks hormon seperti adrenal atau tumor yang
menghasilkan seks hormon. Penyebab lain yang memacu terjadinya pubertas
adalah kista dan tumor ovarium pada perempuan serta terdapatnya tumor
penghasil testosteron pada laki-laki.7
Pada pubertas prekoks sentral terdapat peningkatan hormonal di seluruh
jaras Hipotalamus-Hipofisis-Gonad (HHG), seperti GnRH, LH, FSH, dan
estradiol atau testosteron, sedangkan pada pubertas prekoks perifer tidak
terjadi aktivitas di jaras HHG. Biasanya terdapat peningkatan gonadotropin,
testosteron atau estradiol yang dihasilkan oleh organ lain seperti adrenal,
hipofisis, atau tumor lainnya. Jadi, evaluasi pertama yang harus dilakukan bila
menghadapi pasien pubertas prekoks adalah membedakan apakah keadaan
pubertas ini bersifat sentral atau perifer dengan memeriksa hormon di jaras
HHG seperti gonadotropin; FSH dan LH serta seks hormon; testosteron pada
laki-laki dan estrogen pada wanita baru diikuti oleh pemeriksaan lainnya seperti
USG genitalia interna, usia tulang, dan pemeriksaan lainnya.7,8,9
Tata laksana pubertas prekoks tergantung etiologi. Pada pubertas prekoks
sentral, pilihan utama adalah GnRH agonist. GnRH agonist merupakan
senyawa menyerupai GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus tetapi senyawa
ini selanjutnya akan menghentikan produksi hormon seks dari gonad. GnRH
agonist diberikan tiap 4 minggu secara injeksi intramuskular dan akan
berikatan dengan reseptor di hipofisis. Di Jepang, dosis yang diberikan 30 mcg/

147
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari

kgBB efektif untuk mensupresi kadar LH ke kadar prepubertal, sedangkan di


Amerika digunakan 300 mcg/kgBB dan di Eropa, dosis yang diberikan adalah
3,75 mcg/28hari untuk BB >20 kg.10 Persyaratan terapi pubertas prekoks
adalah sebagai berikut:
yy Kadar LH sesuai kadar pubertas
yy Akselerasi pertumbuhan progresif
yy Akselerasi bone age
yy Perkembangan seks sekunder progresif

Pada pubertas prekoks perifer, bila disebabkan oleh tumor, dapat dilakukan
terapi bedah. Bila penyebabnya HAK, terapi pemberian kortisol dengan
hidrokortison. Pada pubertas prekoks perifer juga dapat diberikan obat-obat
anti-androgen anti-gonadotropin. Selama terapi, evaluasi perlu dilakukan
untuk melihat perkembangan pubertas secara klinis dan laboratorium seperti
berhentinya progresifitas pubertas, kecepatan pertumbuhan, bone age, kadar
LH, FSH, dan estradiol.11
Terapi dihentikan setelah diskusi dengan pasien dan keluarganya serta
sangat bersifat individual. Harus diperhatikan kecepatan tumbuh, maturasi
psikologis, usia kronologis, usia tulang telah mencapai 12 tahun atau lebih,
dan keinginan pasien serta keluarga.11

Pubertas terlambat
Pubertas terlambat terjadi bila pada usia 13 tahun belum timbul tanda-tanda
seks sekunder pada anak perempuan atau usia 14 tahun pada anak laki-laki.
Bila disertai dengan riwayat keterlambatan pubertas pada keluarga maka
keadaan ini disebut sebagai constitutional delayed of growth and puberty
(CDGP).12 Pubertas terlambat dibagi menjadi:
yy Constitutional delayed of growth and puberty (CDGP)
yy Hipogonadotropik Hipoganadisme
yy Hipergonadotropik Hipogonadisme

Penyebab terbanyak dari pubertas terlambat adalah CDGP, tetapi


keadaan ini masih sulit dibedakan dengan hipogonadotropik hipogonadism
idiopatik/ permanen/ kongenital. Penyebab lainnya adalah penyakit kronis
(misalnya diabetes melitus, fibrosis kistik, asma, atau penyakit ginjal kronis)
karena penyakit kronis menghambat proses perkembangan pubertas, anak
yang mengalami malnutrisi karena intake makanan yang tidak adekuat
atau gangguan proses makan, serta aktivitas fisik yang berlebihan pada anak
perempuan sehingga tidak terdapat cukup lemak untuk memulai proses
pubertas.13

148
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Anak yang mengalami CDGP akan mengalami gangguan pertumbuhan


sehingga lebih pendek dari teman sebaya, pubertas dan bone age terlambat,
serta terdapat riwayat keluarga dengan pubertas terlambat. CDGP lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki, umumnya keluhan utama saat datang ke klinik
adalah karena perwakan pendek bukan karena keterlambatan pubertas. Pasien
CDGP memerlukan follow-up secara berkala untuk membedakan dengan
hipogonadotropik hipogonadism idiopatik. Pemantauan juga diperlukan untuk
penentuan waktu memulai terapi.14
Pubertas terlambat pada anak dengan hipergonadotropik hipogonadism
disebabkan tidak adanya gonad atau terdapat kerusakan fungsi gonad. Etiologi
tersering adalah sindrom Turner pada anak perempuan, bilateral undescended
testes dengan kerusakan fungsi testis, hipopituitarisme, sindrom Klinefelter,
serta sindrom Kallman.15
Pengobatan pubertas terlambat tergantung etiologi. Anak dengan CDGP
perlu pemantauan dan bila timbul keluhan, dapat dipertimbangkan pemberian
growth hormone, testosteron, oksandrolon, atau LHRH. Terapi sulih hormon
dapat diberikan pada anak dengan penyebab lainnya. Anak perempuan
diberikan etinil estradiol secara bertahap untuk merangsang pertumbuhan
seks sekunder, dilanjutkan dengan kombinasi etinil estradiol dan progesteron
untuk menimbulkan menstruasi. Pada anak laki-laki diberikan testosteron
untuk merangsang perkembangan seks sekunder.16

Ginekomastia
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mammae pada anak laki-laki.
Hal ini sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada fase pubertas. Ginekomastia
terjadi akibat pengaruh estrogen terhadap payudara ataupun akibat sensitivitas
yang meningkat karena perubahan kadar estradiol dibanding androgen.
Ginekomastia dibagi menjadi ginekomastia fisiologis yaitu ginekomastia
neonatal dan ginekomastia pubertal serta ginekomastia patologis yang
disebabkan efek samping obat atau penyakit yang mendasari.
Pada ginekomastia neonatal, dilakukan observasi secara berkala
dan apabila menetap dilakukan pemeriksaan hormonal untuk mencari
penyebabnya. Pada ginekomastia pubertal, bila diameter kelenjar mammae
kurang dari 4 cm, tidak memerlukan terapi yang spesifik dan sekitar 90% bisa
menghilang dalam 3 tahun. Bila ukuran lebih besar, dapat dikoreksi dengan
obat-obatan seperti golongan tamoksifen, klomifen sitrat, atau anti-estrogen
lainnya. Bila dengan terapi medikamentosa tidak berhasil, dapat dilakukan
terapi koreksi dengan pembedahan.17

149
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari

Telarke Prematur
Telarke prematur merupakan pembesaran payudara pada anak perempuan
tanpa disertai adanya tanda-tanda pubertas lainnya dan tanpa peningkatan
hormon gonadotropin atau estrogen pada aksis HHG. Telarke prematur
diperkirakan disebabkan sensitivitas yang berlebihan jaringan payudara
terhadap asupan estrogen, ataupun dikarenakan produksi estrogen berlebihan
dari folikel ovarium dan adrenal. Tidak didapatkan perkembangan seksual
lainnya seperti pembesaran uterus, akselerasi pertumbuhan, usia tulang tidak
maju, dan pada pemeriksaan hormonal nilainya masih dalam rentang kadar
prepubertal. Pemantauan diperlukan untuk membedakan dengan pubertas
prekoks sentral yang memerlukan terapi khusus.18

Adrenarke Prematur
Adrenarke prematur adalah timbulnya rambut pubis sebelum usia 8 tahun
pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak laki-laki tanpa disertai adanya
tanda-tanda pubertas lainnya. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh aktivitas
zona retikularis korteks adrenal yang meningkatkan produksi androgen. Pada
Adrenarke premature, terjadi peningkatan DHEAS sedangkan testosteron
masih dalam fase prepubertas. Adrenarke prematur tidak memerlukan
pengobatan hanya perlu pemantauan untuk melihat ada tidaknya progresivitas
dan membedakan dengan kelainan lain seperti hiperplasia adrenal kongenital.19

Acne Vulgaris
Acne vulgaris merupakan kondisi yang sering dijumpai pada anak dan remaja
dalam berbagai rentang usia serta dapat berhubungan dengan kondisi patologis
tertentu.20,21 Berdasarkan usia, acne pada anak dibagi menjadi:22

Tipe acne Onset acne


Neonatus Lahir sampai ≤6 minggu
Bayi 6 minggu sampai ≤1 tahun
Pertengahan masa anak-anak 1 sampai <7 tahun
Praremaja ≥7 sampai ≤12 tahun atau menarke pada anak perempuan
Remaja ≥12 sampai ≤19 tahun atau pascamenarke pada anak perempuan

Patogenesis terjadinya acne vulgaris melibatkan peran dari 4 faktor yaitu


(1) Hiperproliferasi folikel epidermal dengan konsekuensi penyumbatan folikel;
(2) Peningkatan produksi sebum akibat hiperplasia kelenjar sebasea yang
dipengaruhi oleh peningkatan kadar androgen (3) Kolonisasi bakteri komensal
Propionnibacterium acnes pada folikel; (4) Inflamasi dan respons imun.20,22

150
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Secara klinis, acne dikategorikan berdasarkan morfologi yang dominan


yaitu komedo (komedo terbuka/ blackheads dan komedo tertutup/
whiteheads), inflamasi dengan papul eritematous, nodul, atau lesi nodular
seperti kista, atau gabungan keduanya. Berat ringannya acne diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang, dan berat berdasarkan jumlah dan tipe lesi serta luas
kulit yang terlibat.22
Acne praremaja ditandai dengan timbulnya komedo pada daerah dahi
dan “zona T” pada wajah dengan beberapa lesi inflamasi. Kondisi tersebut
umumnya terjadi akibat peningkatan sekresis sebum karena peningkatan
sekresi androgen. Namun demikian, kemungkinan polycystic ovary syndrome
(PCOS) atau kelainan endokrin dapat dipertimbangkan pada acne vulgaris
berat yang disertai tanda peningkatan androgen berlebih atau tidak respons
terhadap terapi. 22

Menstruasi Ireguler
Menstruasi merupakan tahap akhir pubertas pada perempuan. Umumnya
menstruasi pertama (menarke) terjadi dalam 2-3 tahun pascatelarke
(pertumbuhan payudara) yaitu saat mencapai tahap 4 perkembangan payudara
berdasarkan Tanner.23 Rentang usia terjadinya menarke adalah 10-16 tahun
dengan rerata usia 12,8 tahun.24 Di Amerika, pada usia 15 tahun, 98%
perempuan telah mengalami menarke. Oleh karena itu, secara tradisional,
bila tidak terjadi menarke sampai usia 16 tahun disebut dengan amenorea.
Evaluasi amenorea primer perlu dipertimbangkan pada setiap remaja yang
belum mendapat menarke pada usia 15 tahun atau 3 tahun pascatelarke.
Evaluasi juga perlu dilakukan bila tidak adanya pertumbuhan payudara sampai
usia 13 tahun.25
Menstruasi adalah siklus perdarahan uterus sebagai respons interaksi aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium. Diperkirakan imaturitas aksis hipotalamus-
hipofisis-ovarium pada dua tahun pertama pascamenarke adalah hal yang
umum dijumpai. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya menstruasi
ireguler. 23,24 Data terbaru di Amerika menunjukkan bahwa pada tahun pertama
pascamenarke, dapat dijumpai amenorea sampai lebih dari tiga bulan pada
remaja sehat. Kondisi tersebut perlu dievalusi bila terdapat gelaja lainnya atau
masih berlangsung setelah tahun kedua. American academy of pediatrics
dan American college of obstetrician and gynecologist merumuskan siklus
menstruasi normal pada remaja perempuan/ wanita muda sebagai berikut:23

yy Menarke (usia median) : 12,43 tahun


yy Rerata interval siklus : 32,2 hari pada tahun pertama pascamenarke
yy Interval siklus menstruasi : Umumnya 21-45 hari

151
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari

yy Lama menstruasi : ≤7 hari


yy Penggunaan pembalut : 3-6 pembalut/ tampon per hari

World Health Organization melakukan penelitian multisenter pada 3073


anak perempuan. Didapatkan median interval siklus pertama pascamenarke
adalah 34 hari, dengan 38% interval siklus lebih dari 40 hari yaitu 10% anak
memiliki interval siklus menstruasi lebih dari 60 hari antara menarke dan
menstruasi kedua.26
Menarke merupakan capaian yang penting dalam pertumbuhan fisik
seorang anak sehingga evaluasi siklus menstruasi perlu dimasukkan dalam
assessment remaja perempuan yang telah mengalami menarke untuk
mendapatkan status kesehatan remaja yang komprehensif. Beberapa kondisi
medis dapat menyebakan menstruasi ireguler pada remaja. Meskipun amenore
sekunder didefinisikan sebagai tidak terjadinya menstruasi selama 6 bulan,
secara statistik, tidak umum bila remaja mengalami amenore selama lebih dari
3 bulan atau 90 hari sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan
penyebab menstruasi ireguler sebagai berikut:23,26

• Kehamilan
• Penyebab Endokrin
- Diabetes melitus tidak terkontrol
- Polycytic ovary syndrome (PCOS)
- Penyakit Addison
- Sindrom Cushing
- Disfungsi tiroid
- Premature ovarian failure
- Hiperplasia adrenal kongenital onset lambat (late-onset)
• Kondisi didapat
− Stres terkait disfungsi hipotalamus
− Obat-obatan, penggunaan obat kontrasepsi
− Amenorea dipicu latihan (exercise-induced amenorrhea)
− Gangguan makan (anorexia dan bulimia)
• Tumor
− Tumor ovarium
− Tumor adrenal
− Prolactinoma

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)


Polycystic ovary syndrome (PCOS) merupakan kelainan endokrin yang sering
terjadi pada perempuan usia produktif, termasuk remaja. Kelainan endokrin
yang terjadi pada PCOS melibatkan berbagai sistem organ dengan gejala dan
tanda yang bervariasi sehingga PCOS sering kali merupakan diagnosis eksklusi.
Namun demikian, terdapat tiga karakteristik utama yang perlu dievaluasi dalam
mendiagnosis PCOS yaitu hiperandrogenisme, gangguan ovulasi atau anovulasi
kronis, dan morfologi ovarium polikistik berdasarkan ultrasonografi.28,29,30

152
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Hiperandrogenisme dapat ditegakkan melalui pemeriksaan klinis maupun


biokimia. Secara klinis, hiperandrogenisme pada remaja ditandai dengan
hirsutisme. Hirsutime didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut kasar
secara berlebihan pada daerah yang bergantung androgen seperti dagu, bibir
atas, dada, perut, lengan, paha, serta punggung. Pada pemeriksaan hirsutime
perlu mempertimbangkan ras dan etnis serta perlu membedakannya dengan
hipertrikosis yaitu pertumbuhan rambut halus dengan predileksi pada daerah
yang tidak bergantung androgen, terutama pada lengan dan tungkai bawah.
Manifestasi lainnya yang dapat timbul adalah inflammatory acne vulgaris
moderat hingga berat misalnya yang tidak respons dengan terapi. Pemeriksaan
biokimia yang dapat mendukung hiperandrogenisme meliputi kadar testosteron
total dan bebas, indeks androgen bebas, serta 17-hidroksiprogesteron untuk
menyingkirkan diagnosis hiperplasia adrenal kongenital.29,31
Gangguan ovulasi terjadi akibat hiperandrogenisme yang memicu
percepatan perkembangan folikel sehingga muncul folikel-folikel kecil berlebih
yang meningkatkan kadar AMH dan menurunkan respons folikel terhadap
FSH. Respons FSH yang menurun serta luteinisasi prematur sel-sel granulosa
akibat hiperinsulinemia mengganggu proses seleksi folikel dominan sehingga
menghasilkan follicular arrest dan tidak terjadi ovulasi.28
Oligomenorea didefinisikan sebagai menstruasi kurang dari 8 kali per
tahun atau siklus menstruasi lebih panjang dari 45 hari, sedangkan amenorea
didefinisikan sebagai tidak menstruasi lebih dari 3 bulan tanpa adanya
kehamilan. Namun demikian, siklus regular tidak mengeksklusi anovulasi
kronis tanpa adanya pemeriksaan kadar progesteron serum saat fase luteal
dari siklus menstruasi yang konsisten dengan ovulasi terakhir.
Bila terjadi anovulasi kronis, perlu dilakukan pemeriksaan prolaktin dan
LH serum untuk mengekslusi kelainan pada hipotalamus dan hipofisis seperti
hiperprolaktinemia (prolaktin >20-30 mcg/L), defisiensi gonadotropin (LH
<2 IU/L) atau keduanya.
Anovulasi kronis dapat pula disebabkan oleh amenorea hipotalamus
fungsional akibat restriksi kalori berlebihan atau latihan (exercise). Pada
kondisi tersebut, amenorea berhubungan dengan rendahnya estrogen
plasma, tidak responsif terhadap penghentian pemberian progestogen untuk
menginduksi terjadinya menstruasi, serta kadar gonadotropin yang normal
atau rendah.
Pada remaja, menstruasi ireguler yang masih berlangsung setelah dua
tahun pascamenarke yang disertai hiperandrogenisme merupakan dasar
diagnosis PCOS dengan catatan penyebab hiperandrogenisme lainnya telah
disingkirkan.28,30

153
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari

Penggunaan ultrasonografi (USG) transabdominal lebih dipilih dalam


membantu penegakan diagnosis PCOS pada remaja. Morfologi ovarium
polikistik hanya berdasarkan pada volume ovarium >12.0 cm3. Penghitungan
jumlah folikel tidak dapat diandalkan bila menggunakan USG transabdominal,
terutama pada remaja obes.29,30
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan untuk membantu
penegakkan diagnosis adalah uji resistensi insulin, pemeriksaan kadar TSH
untuk menyingkirkan gangguan tiroid serta pemeriksaan sindrom metabolik
dengan komorbiditasnya sesuai indikasi seperti pemeriksaan profil lipid, fungsi
hati, polisomnografi untuk mendeteksi ada tidaknya obstructive sleep apnea,
atau pemeriksaan gula darah puasa, gula darah 2 jam post prandinal, serta
HbA1c untuk diabetes melitus.29
Pendekatan multidisiplin diperlukan dalam tata laksana PCOS pada
remaja untuk meningkatkan self-esteem dan memperbaiki kualitas hidupnya.
Perubahan gaya hidup merupakan hal utama dalam tata laksana PCOS.
Tata laksana lain bersifat simptomatis dan individual, umumnya ditujukan
pada gangguan menstruasi, manifestasi kulit akibat hiperandrogenisme, serta
komorbiditas yang menyertai.28,31

Kesimpulan
Berbagai kelainan pubertas dapat ditemukan dalam praktik sehari-hari.
Kelainan ini bisa bersifat ringan atau memerlukan pemantauan bahkan terapi
segera. Kelainan yang sering ditemukan adalah pubertas prekoks, pubertas
terlambat, varian pubertas, acne, menstruasi yang tidak teratur, sampai PCOS.
Perlu diketahui pendekatan klinis untuk masing-masing kelainan tersebut dan
tata laksananya.

Daftar Pustaka
1. Herman-Giddens MF Slora EJ, Wasserman RC, et al. Secondary sexual
characteristics and menses in young girls seen in office practice: a study from
the Pediatric Research in Office settings network. Pediatrics.1997;99:505-12.
2. Rosenfeld RL, Lipton RB, Drum ML. Thelarche, Pubarche and Menarche attainmen
with normal and elevated body mass index in children. Pediatric.2009;123:84-88.
3. Biro FM, Greenspan LC, Galvez MP, et al. Onset of breast developmentin
longitudinal cohort. Pediatrics.2013;132:1019-27.
4. Aksglaede I, Sorensen K, Petersen JH, Skakkabaek NE, Juul A. Recent
decline in age at breast development: the Copenhagen Puberty Study.
Pediatrics.2009;123:e923-39.
5. Muir A. Precocious puberty. Pediatr Rev. 2006;27:373.

154
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

6. Bordini B, Rosenfeld RL. Pubertal development. Part I. The endocrine basis of


Puberty. Pediatr Rev. 2011:32:223-80.
7. Bordini B, Rosenfeld RL. Pubertal development. Part II. Clinical aspect of Puberty.
Pediatr Rev. 2011:32:281-92.
8. Merih B. Puberty: definition,etiology, diagnosis and current treatment. J Clin
Res Ped Endo.2009;I:164-74.
9. Dattani MT, Hindmarsh PC, Tziafer V. Evaluation of disorder of puberty. in Brook
CGD, Clayton PE, Brown RS editor. Brook’s clinical pediatric endocrinology 6th
ed, UK Wiley-Blackwell. 2009.h.213-38.
10. Root AW. Precocious puberty. Pediatr Rev. 2000;21:10-9.
11. Berberoglou M. Precoccious Puberty and normal variant puberty: definition,
etiology, diagnosis and current management. J Clin Res Ped Endo.2009;1:164-74
12. Rosen DS, Foster C. Delayed puberty. Pediatr rev. 2001;22:309-15.
13. Wei C, Crowne EC. Recent advances in the understanding and management of
delayed puberty. Arch Dis Child. 2016;101:481-88.
14. Harrington J, Palmert MR. Distinguishing constitutional delay of growth and
puberty from isolated hypogonadotropic hypogonadism: critical appraisal of
available diagnostic tests. J Clin Endocrinol Metab. 2012;97:3056-67.
15. Varimo T, Miettinen PJ, Kansakoski J, Raivio T, Hero M. Congenital
hypogonadotropic hypogonadism or constitutional delay of growth and Puberty
? An analysis of a large patient series from a single tertiary center. Hum
Reprod.2017;32:147-53.
16. Soliman AT, Khadir MM, Asfour M. Testosterone treatment in adolescent boys
with constitutional delay of growth and development. Metabolism. 1995;44:1013-
5.
17. Abaci A, Buykgebitz A. Gynecomastia: review. Pediatr Endocrinol Rev.2007;
5:489.
18. Diamantopoulus S, Bao Y. Gynecomastia and premature thelarche Pediatr
Rev.2007:28;57-68.
19. Charkalik ML, Trivin C. Premature pubarche as an indicator of how body weight
influences the onset of adrenarche. Eur J Pediatr.2004; 163:347-53.
20. Eichenfield LF, Krakowski AC, Piggott C, Del Rosso J, Baldwin H, Friedlander SF.
Evidence-based recommendations for the diagnosis and treatment of pediatric
acne. Pediatrics. 2013;131:S163-86.
21. Dawson AL, Dellavalle RP. Acne vulgaris. BMJ. 2013;346:f2634.
22. Thiboutot D, Gollnick H, Bettoli V, Dreno B, Kang S, Leyden JJ, dkk. New
insights into the management of acne: an update comes in acne group. J Am
Acad Dermatol. 2009;60:S1-50
23. Pulungan A. Pubertas normal dalam Batubara JRB, Tridjaja B, Pulungan A
penyunting. Buku Ajar endocrinology Anak. Edisi ke-2. Jakarta; Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia;2017 (inpress).
24. Hillard PJA. Menstruation in adolescents: what’s normal? Medscape J Med.
2008;10:295.
25. Gray SH. Menstrual disorders. Pediatr Rev. 2013;34:36.
26. World Health Organization Task Force on Adolescent Reproductive Health.
World Health Organization multicenter study on menstrual and ovulatory

155
Masalah pubertas pada praktik sehari-hari

patterns in adolescent girls. II. Longitudinal study of menstrual patterns in the


early postmenarcheal period, duration of bleeding episodes and menstrual cycles.
J Adolesc Health Care. 1986;7:236–44.
27. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetrician and
Gynecologist, Diaz A, Laufer MR, Breech LL. Menstruation in girls and
adolescents: using the menstrual cycle as a vital sign. Pediatrics. 2006;118:2245-
50.
28. Trijaja B. Polycystic ovary syndrome (PCOS). Dalam: Batubara JRB, Tridjaja
B, Pulungan A, penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017 (inpress).
29. Witchel SF, Oberfield S, Rosenfield RL, Codner E, Bonny A, Ibáñez L, dkk. The
diagnosis of polycystic ovary syndrome during adolescence. Horm Res Paediatr.
2015;83:376-89.
30. Norman RJ, Dewailly D. Legro RS, Hickey TE. Polycystic ovary syndrome. Lancet.
2007;370:685-97.
31. Rosenfiel RL. The diagnosis of polycystic ovary syndrome in adolescents.
Pediatrics. 2015;136:1154-65.

156
Upaya pencegahan dan penghentian
perokok remaja
Soedjatmiko, Henny Wahyu Tri Yuniati, Resita Sehati

Tujuan
1. Mengetahui epidemiologi perokok remaja di Indonesia
2. Mengetahui upaya pencegahan berbasis sekolah, keluarga
dan media
3. Mengetahui upaya berhenti merokok farmakologik dan non
farmakologik
4. Mengetahui peran pemerintah dalam upaya pencegahan dan
penghentian merokok

Situasi perokok remaja di Indonesia


Merokok dapat menimbulkan dampak negatif jangka pendek dan jangka
panjang secara ekonomi, kesehatan, dan sosial pada perokok maupun
lingkungannya. Remaja belum mampu untuk berpikir dan membuat keputusan
secara rasional ketika memulai merokok. Bigwanto dkk (2015) melaporkan
dari 698 siswa di 8 SMA Banten berumur 15 – 17 tahun 29,6% adalah perokok1.
Riskesdas 2013 melaporkan bahwa umur pertama kali anak Indonesia
merokok pada umur 5 – 9 tahun (1,6 %), remaja berumur 10 – 14 tahun yang
merokok setiap hari 0,5 %, dan kadang-kadang 0,9 %. Pada umur 15 – 19
tahun perokok setiap hari 11,2 %, kadang-kadang 7,1 %. Remaja umur 10 – 19
tahun perokok setiap hari 11,7 %, perokok kadang-kadang 8 %. Situasi remaja
perokok di perkotaan dan pedesaan sama besarnya.
Remaja perokok setiap hari yang berumur 10 -14 tahun rata-rata
menghabiskan 7,7 batang perhari, perokok kadang-kadang 4,9 batang per
minggu. Perokok setiap hari yang berumur 15 – 19 tahun rata-rata 9,6 batang
perhari, perokok kadang-kadang menghabiskan 8,6 batang per minggu.2
Pengeluaran perkapita untuk rokok di perkotaan 5,45 % (rokok kretek 61,8%,
putih 48,6%, linting 4,7%), pedesaan 8,91 % (kretek 70,7 %, putih 38,1 %,
linting 16,7 %).

157
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

Tabel 1. Situasi perokok remaja di Indonesia


Usia 5 – 9 tahun 10 – 14 tahun 15 – 19 tahun
Setiap Kadang- Setiap hari Kadang- Setiap hari Kadang-
hari kadang kadang kadang
Jumlah perokok (%) 0,5 % 0,9 % 11,2 % 7,1 %
Konsumsi rokok 7,7/hari 4,9 /minggu 9,6/hari 8,6 /
(batang) minggu
Umur mulai merokok 1,6 % 18 % 55,4 %
0,7 % 0,9% 9,5 % 8,5% 50,3 % 5,1%
Jenis rokok Kretek 55,9 % Kretek 53,8%
Putih 55,8% Putih 59,7%
Linting 7,3% Linting 3,1 %
Merokok di dalam Ya : 47,5 % Ya : 66.6 %
rumah
Merokok di dalam Ya : 58 % Ya : 73 %
gedung
Sumber : Riskesdas 20132

Faktor risiko yang menyebabkan remaja merokok


Remaja berumur 12- 13 tahun di Malaysia
Dahlui dkk (2015)3 meneliti 1342 remaja berumur 12 – 13 tahun siswa SMP
di 15 sekolah negeri urban dan rural di Malaysia. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan:
yy Prevalensi pelajar perokok adalah 7,45%. Sekitar 90% pelajar pernah
mencoba merokok. Mayoritas perokok adalah pelajar laki-laki (69%),
dan mulai merokok sejak usia kurang dari 11 tahun (62%),
yy Faktor yang berpengaruh: 77% pelajar merokok karena memiliki teman
yang merokok, dan 59% karena memiliki orangtua yang merokok.
yy Besar risiko:
–– Memiliki teman yang merokok meningkatkan risiko siswa untuk
merokok 8,32 kali lebih tinggi dibandingkan dengan teman yang tidak
merokok
–– Jika siswa merasa tidak puas dengan kehidupan mereka memiliki risiko
3,32 kali lipat lebih tinggi untuk menjadi perokok dibandingkan pelajar
yang puas dengan kehidupan mereka
–– Siswa yang tidak sadar akan dampak akibat merokok memiliki 1,85
kali risiko lebih tinggi menjadi perokok.

Remaja berumur umur 15 – 18 tahun di Indonesia


Bigwanto dkk (2015)1, meneliti 698 siswa yang dipilih acak dari kelas 10 -12
di 8 SMA di Banten berusia sekitar 15 – 18 tahun, di 4 kabupaten (Lebak,
Pandeglang, Serang, Tangerang) dan 4 kota (Cilegon, Tangerang, Serang, dan

158
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tangerang Selatan) dengan kuesioner Global Tobacco Youth Survey (GTYS).


Hasil penelitian tersebut adalah :
yy Prevalensi pelajar perokok saat ini 29,6% (Riskesdas 2013: 18,3%), mantan
perokok 19,3%, pelajar pernah mencoba rokok 48,8 %, pertama merokok
pada usia 7-14 tahun sebesar 56,4%.
yy Alasan utama merokok: rasa ingin tahu (32%), merasa rileks ketika
stress (39,4%).
yy Faktor yang berpengaruh: memiliki teman perokok (81,4%), ayah perokok
(64,7%) saudara laki-laki perokok (54,3%) dan teman dekat perokok
(52,5%). Guru yang merokok di halaman sekolah atau kantor dilaporkan
oleh 70,7% siswa. Sebanyak 25% siswa sering merokok di rumah teman,
dan mereka membeli rokok disekitar sekolah (74,1%). Sebanyak 89,9%
siswa menyatakan bahwa warung tidak melarang siswa membeli rokok.
yy Besar risiko :
–– Umur 18 – 19 tahun 2,16 kali lebih cenderung merokok dibanding
umur lebih muda.
–– Siswa yang memiliki barang promosi rokok adalah 3,7 kali lebih banyak
risiko merokok dibandingkan mereka yang tidak memiliki.
–– Siswa yang di rumah dan sekolahnya tidak memiliki peraturan dan
tidak pernah membahas bahaya rokok 4,9 kali berisiko menjadi
perokok.
–– Kemudahan mendapatkan rokok meningkatkan risiko 7,6 kali menjadi
perokok.

Aditama dkk (2008) melaporkan sekitar 3 dari 5 pelajar Indonesia


pernah melihat tayangan merokok di televisi, video atau film dalam
30 hari terakhir. Sedangkan 9 dari 10 pelajar melihat iklan rokok di
billboard, dan lebih dari 8 dari 10 pelajar melihat iklan rokok di koran
atau majalah dalam beberapa bulan terakhir. 4

Upaya pencegahan perokok remaja


Pencegahan berbasis sekolah
Umumnya penelitian pencegahan merokok berbasis sekolah menunjukkan hasil
lebih baik (risiko relatif 0,6) daripada berbasis keluarga (risiko relatif 0,7 – 0,8).
Thomas dkk (2015)5 melakukan telaah sistematik dan meta analisis
terhadap 50 randomized controlled trials (RCT) mengenai pencegahan
berbasis sekolah dengan subjek 143.495 anak umur 5 – 18 tahun yang belum
pernah merokok, dan menyimpulkan bahwa sekolah yang memiliki program

159
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

pencegahan merokok lebih efektif mencegah perilaku merokok di kalangan


pelajar dibandingkan dengan sekolah tanpa program / kurikulum serupa
(OR 0,88). Jenis kurikulum yang efektif adalah kompetensi sosial (OR 0,65)
dan kombinasi kompetensi sosial dan pengaruh sosial (OR 0,6). Penerapan
program disertai pemantauan lebih dari 1 tahun menurunkan kejadian merokok
sebanyak 12% di kalangan pelajar (OR 0,88). Pemantauan kurang dari 1 tahun
belum menunjukkan hasil yang nyata.5

Tabel 2. Kurikulum sekolah untuk pencegahan merokok


Jenis kurikulum Keterangan
Penyediaan informasi Memperbaiki persepsi yang salah tentang merokok dan menentang kepercayaan
bahwa merokok diterima di kalangan remaja
Kompetensi sosial Membantu remaja untuk menolak tawaran merokok dengan memperbaiki
kompetensi sosial serta pola pikir untuk melawan pengaruh media ataupun diri
sendiri terkait merokok, meningkatkan pengendalian diri dan kepercayaan diri,
serta strategi untuk mengatasi stres dan bersikap asertif.
Pengaruh sosial Meningkatkan kesadaran sosial untuk menolak tawaran merokok, dan mengatasi
tekanan antar teman serta meghindari risiko terjadinya inisiasi merokok.
Kombinasi kompetensi dan Kombinasi kurikulum kompetensi sosial dan pengaruh sosial
pengaruh sosial
Program multimodal Pendekatan di dalam dan luar lingkungan sekolah, pembuatan program untuk
orangtua, sekolah, atau komunitas. merubah peraturan sekolah tenang merokok,
atau peraturan negara terkait perpajakan, penjualan, penyediaan dan penggunaan
produk tembakau di suatu area.
Sumber : Thomas (2015)5

Program yang disampaikan oleh dewasa lebih efektif dibandingkan oleh


remaja sebaya (OR 0,87) dengan syarat program dilakukan dengan pemantauan
>1 tahun. Program dengan pemantauan <1 tahun yang dibawakan oleh
orang dewasa juga efektif dengan kurikulum kombinasi kompetensi sosial
dan pengaruh sosial (OR 0,58); 95%CI 0,40 – 0,85). Penguatan dengan
kurikulum kombinasi dengan pemantauan <1 tahun (OR=0,50) dan >1
tahun (OR=0,56) menunjukkan dampak yang positif terhadap pencegahan
merokok.5
Tahlil dkk (2013)6 di Aceh melakukan studi kualitatif untuk pencegahan
rokok pada 477 siswa kelas 7 – 8 berumur 11 – 14 tahun dengan 3 program:
program berbasis kesehatan, penerapan ajaran Islam dan kombinasi, dilakukan
selama jam sekolah 2 jam dalam seminggu selama 8 minggu. Pengajar yang
terlibat adalahguru sekolah, profesi kesehatan dan tokoh agama dengan metode
ceramah, dan diskusi kelompok.
Program berbasis kesehatan membahas tentang bahaya merokok,
prevalensi dan insidens merokok di Indonesia, efek samping merokok, hukum
penggunaan tembakau di Indonesia, dan teknik menolak perilaku merokok
termasuk penanganan stres. Program berbasis Islam meliputi konsep dasar

160
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Islam, konsep kesehatan dalam Islam, perilaku merokok di masyarakat Islam,


hukum Islam terkait merokok, efek samping merokok, dan cara hidup sehat
tanpa merokok dalam Islam. Kelompok kontrol tidak mendapat program
pencegahan merokok namun diuji menggunakan instrumen serupa dengan
grup intervensi di awal dan akhir studi.
Program intervensi ini signifikan meningkatkan pengetahuan dan sikap
terhadap merokok tetapi kurang signifikan terhadap perubahan niat untuk
tidak mulai merokok6.

Pencegahan berbasis keluarga


Umumnya penelitian pencegahan merokok berbasis keluarga memberikan
manfaat yang nyata.
Brown dkk (2017)7 melakukan telaah sistematis pada 19 penelitian
pencegahan merokok berbasis keluarga untuk anak sekolah dasar berumur 5
– 12 tahun. Setelah 3 tahun intervensi, anak dalam keluarga tanpa intervensi
berisiko 2,16 kali mulai merokok dibanding anak dalam keluarga dengan
intervensi
Thomas dkk (2015)8 melakukan telaah sistematis dan meta analisis pada
27 RCT pencegahan merokok remaja 11-14 anak berbasis keluarga yaitu
23 di Amerika , 2 di Eropa, 1 di Australia dan 1 di India. Dari 9 penelitian
berbasis keluarga (4810 subjek) dapat menurunkan kejadian remaja mulai
merokok (OR 0,76).
Pencegahan berbasis keluarga dapat menurunkan kemungkinan perokok
baru antara 16-32% dan memperlambat onset mulai merokok 4 – 25 %.8
Thomas dkk (2015) mengelompokkan 2 tipe program intervensi berbasis
keluarga yaitu: pelatihan untuk orangtua selama 9 minggu oleh guru sekolah,
psikologis sekolah atau pekerja sosial, dan pengiriman modul lewat surat
untuk keluarga melakukan kegiatan selama 4 minggu. Tujuan program ini
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi orangtua tentang merokok dan
pentingnya menghindari perilaku merokok pada anak. 8
Intervensi intensif dengan pelatihan untuk orangtua, dilakukan
sebanyak 9 sesi oleh guru sekolah, psikolog dan pekerja sosial untuk
membentuk partnership dan komunikasi efektif antara orangtua dan guru
sekolah, pembelajaran dan perubahan perilaku anak, dengan metode diskusi
kelompok, video dan diingatkan melalui voice mail. 8
Intervensi medium dengan mengirim 4 booklet secara berkala. Setiap
booklet berisi instruksi aktivitas yang harus diselesaikan dalam waktu 2
minggu oleh keluarga dan remaja (usia 12-14 tahun). Pelaksanaan isi booklet
dievaluasi oleh pengajar via telfon. Perkiraan biaya untuk melakukan ulang
dan pelaksanaan program adalah $140,42 / peserta.8

161
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

Intervensi rendah dengan mengirim 5 modul dikirim melalui surat setiap


1 bulan dengan target pengembangan aktivitas dan komunikasi orangtua-anak.
Orangtua menerima petunjuk tertulis pelaksanaan modul dan tips komunikasi,
serta pesan-pesan untuk menjaga komitmen orangtua mengikuti program ini.8
Dengan intervensi intensif didapatkan risiko relatif 0,71, intervensi
medium didapatkan risiko relatif 0,84, intervensi rendah didapatkan risiko
relatif 0,77. Pola asuh autoritatif (demokratik) lebih efektif untuk menurunkan
risiko merokok dibanding pola asuh otoriter atau kurang peduli. Secara
keseluruhan, program intervensi berbasis orangtua/keluarga memberikan
dampak positif terhadap pencegahan merokok pada remaja (RR 0,76)

Pencegahan berbasis sekolah dan keluarga


Upaya pencegahan kombinasi berbasis sekolah dan keluarga (0,6 – 0,85)
hampir sama dengan upaya di sekolah saja atau di keluarga saja.
Thomas dkk (2015) 5 ,8 melakukan telaah sistematik 2 uji klinik acak
terhadap 2301 remaja yang belum pernah merokok dengan intervensi
kombinasi di keluarga dan sekolah didapat risiko relatif 0,85. Studi dengan
1096 subjek campuran (belum dan pernah merokok) dengan pencegahan di
sekolah dan di rumah menunjukkan manfaat dengan RR 0,6. Sedangkan
upaya pencegahan pada remaja yang pernah merokok (2 studi dengan 4487
subjek) tidak menunjukan manfaat (risiko relatif 1,04). 5, 8

Pencegahan berbasis media


Park dkk (2015)9 melakukan review sistematik 12 penelitian penggunaan
internet untuk pencegahan merokok pada remaja. Komponen yang efektif
untuk remaja adalah multimedia, pendekatan sesuai kebutuhan (tailored
approach) dan fitur interaktif.
Multimedia menyediakan video dengan cerita yang menarik remaja.
Komponen interaktif menyediakan forum diskusi, quiz tanya jawab, dan
self-journaling . Virtual reality program dengan fitur avatar membantu remaja
menyelsaikan masalah dan mengambil keputusan melalui online role playing
dengan isu merokok.9
Pada kelompok intervensi terlihat dampak positif dan bermakna pada
penurunan niat untuk merokok. Penolakan merokok meningkat di kelompok
intervensi dibandingkan kelompok kontrol walaupun secara statistik tidak
bermakna. Persepsi dan sikap terhadap merokok berubah bermakna.9
Namun, review ini belum dapat menyimpulkan program berbasis internet
lebih efektif dibandingkan program lainnya. Program berbasis internet
berpotensi memberikan dampak positif bila dikombinasi dengan program lain.

162
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Fitur yang paling menarik untuk remaja adalah multimedia yang interaktif. 9
Brinker dkk (2016)10 melakukan penelitian pencegahan merokok melalui
telepon genggam atau tablet dengah aplikasi foto (“Smokerface”) pada 125
murid 3 SMP di Jerman berumur rerata 12,75 tahun. Siswa diminta membuat
foto diri pada telepon genggam atau tablet masing-masing. Kemudian dengan
aplikasi Smoker face mereka memilih menjadi perokok atau bukan perokok
selanjutnya menekan tombol menjadi perokok 1, 3, 6 , 9, 12, 15 tahun, maka
wajah mereka akan berubah. Kalau menjadi perokok maka semakin lama
merokok penampakan wajah tampak lebih tua, dengan kulit keriput, kotor,
berjeraeat dll. Sebagian besar siswa mendapat manfaat kalau tidak merokok
(64,8%), memotivasi tidak merokok (63,2%) dan cara ini menyenangkan
(61,6%). 10

Pencegahan merokok dengan kebijakan pemerintah


Nurwidya dkk (2014)11 setelah mengkaji berbagai penelitian dan pengalaman
di banyak negara menyimpulkan bahwa peran pemerintah sangat penting
untuk mencegah perokok remaja.

Undang-undang anti rokok yang komprehensif


Kalau tersedia UU anti rokok yang komprehensif maka berarti ada dasar
hukum yang kuat untuk melakukan berbagai kegiatan antara lain kampanye
anti rokok, melarang iklan rokok, membatasi peredaran rokok di dalam negeri,
membatasi penjual rokok, melarang remaja membeli rokok, informed consent,
melarang merokok di rumah, di sekolah, di kendaraan, di tempat umum,
meningkatkan program berhenti merokok, menyediakan layanan dan obat
gratis untuk program berhenti merokok, membina petani, pembuat dan penjual
rokok untuk beralih ke produk lain, dll. Di Turki setelah adanya UU anti rokok
terjadi perubahan perilaku masyarakat dan peningkatan berhenti merokok.12

Kampanye anti merokok


Tujuan kampanye anti-merokok adalah untuk memperbaiki pengertian remaja,
orangtua, dan masyarakat tentang dampak buruk dari merokok bagi diri sendiri
dan sekitarnya termasuk bahaya kecanduan zat adiktif di dalam rokok dan
bahaya bagi perokok pasif disekitarnya.11
Iklan rokok seharusnya disertai peringatan bahaya merokok, gambar
penderita kanker, cacat lahir, kemoterapi, radioterapi, operasi akibat merokok,
bukan menampilkan pencarian jati diri atau acara hiburan. Hanya artis yang
memiliki penyakit akibat rokok diizinkan berpartisipasi dalam iklan rokok.

163
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

Peringatan kesehatan pada bungkus rokok di Singapura secara bermakna


mengurangi jumlah perokok di sana. Peringatan semacam itu menimbulkan
niat untuk berhenti merokok. 13, 14 Masalah lain, seringkali iklan dan program
Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan rokok membuat remaja
berpikir bahwa merokok adalah suatu hal yang normatif dan tidak buruk.11

Pemanfaatan sebagian pajak rokok untuk kampanye anti rokok


Pajak rokok sebagian digunakan untuk kampanye anti rokok, iklan anti rokok,
mendukung layanan berhenti merokok. Otomatis selama ada penjulan rokok
maka selalu tersedia dana untuk kegiatan anti rokok.11

Informed consent ketika membeli rokok


Menanda tangani pernyataan yang menyatakan mengerti semua konsekuensi
merokok bahwa penyediaan makanan, pakaian, dan pendidikan keluarga
tidak terganggu karena membeli rokok, tidak akan menuntut karena penyakit
atau gangguan kesejahteraan material dan immaterial karena merokok,
tidak akan menggunakan perawatan kesehatan jaminan yang diberikan oleh
pemerintah dll. 11

Larangan merokok di ruang publik


Mengurangi jumlah penjual rokok15, orangtua dilarang merokok di dalam
mobil16, di rumah17, dan di sekolah18 akan menurunkan perokok remaja.

Peningkatan harga rokok


Peningkatan harga rokok yang sulit terjangkau remaja juga dapat menurunkan
angka perokok remaja. Saat ini 1 bungkus rokok di Indonesia adalah seharga
Rp. 25.000 (USD 1,92) dibandingkan dengan USD 9,53 di Singapura dan
USD 13 di New York, USA. Harga rokok naik sekitar 10% akan mengurangi
permintaan rokok sekitar 3-5% di negara maju dan sekitar 6-10% di negara
sedang berkembang. 19 Untuk mencegah perokok beralih ke rokok yang lebih
murah maka variasi harga tembakau tidak berbeda jauh.20

Larangan penjualan rokok pada remaja


Peraturan yang melarang penjualan dan pembelian rokok oleh remaja dengan
sanksi dalam bentuk denda uang kepada penjual akan effektif mencegah
remaja merokok. 11

164
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 3. Keberhasilan menurunkan angka prokok remaja setelah implementasi larangan menjual rokok pada
remaja
Negara Prevalens perokok remaja sebelum implementasi Prevalens perokok remaja setelah
larangan menjual rokok implementasi larangan menjual rokok
Amerika 27,5% (1997) 15,7% (2013)
Kanada 45% (1994) 13% (2013)
Australia 23% (1999) 8,5% (2011)

Syarat tidak merokok pada iklan lowongan kerja, rekruitmen dan


promosi pegawai
Hal ini akan membentuk pola pikir baru bahwa tidak merokok merupakan
prestasi positif. Kriteria ini bisa menjadi dorongan moral bagi pencari kerja
yang rela berhenti merokok. 11

Penurunan kadar nikotin


Penurunan kadar nikotin sebagai zat adiktif dalam tembakau dapat mengurangi
risiko kecanduan merokok. Kecanduan nikotin menghambat niat berhenti
merokok. Kadar nikotin yang rendah (0,05 mg nikotin per batang rokok)
dapat menurunkan risiko gejala withdrawal dan juga mencegah perokok pemula
kecanduan, sehingga mencegah menjadi perokok aktif. 11

Dukungan berhenti merokok


Pengobatan berhenti merokok dimasukkan dalam skema asuransi kesehatan
nasional. Jumlah klinik berhenti merokok diperbanyak. Obat-obat berhenti
merokok disediakan dalam jumlah cukup di klinik berhenti merokok. 21
Di Korea, Quitline Service pada tahun 2006 melakukan program konseling
gratis, obat gratis dan dukungan bagi orang untuk berhenti merokok,
bekerjasama dengan ratusan klinik berhenti merokok di seluruh wilayah.21

Petani, pembuat dan penjual rokok dialihkan ke usaha produk lain


Petani tembakau, ppmbuat dan penjual rokok diarahkan untuk beralih ke
usaha atau produk lain, dengan dukungan pemerintah dan bank. 11

Upaya menghentikan merokok


Program berhenti merokok di Indonesia belum dilakukan secara nasional
hanya dilakukan secara sporadis oleh beberapa institusi. Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan BP4 mengadakan pelatihan
bagi petugas Puskesmas dan penyelenggaraan layanan klinik berhenti
merokok dengan pendekatan konseling. Tahun 2008 IDI Cabang Makassar

165
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

menyelenggarakan pelatihan program berhenti merokok untuk 750 dokter


umum se-Sulawesi. Sejak tahun 2008 RSUP Persahabatan merintis klinik
”Berhenti Merokok” dengan menggunakan intervensi farmakoterapi.22
Sekitar 70% perokok mempunyai keinginan untuk berhenti merokok
namun sebagian besar tanpa bantuan pihak lain sehingga hanya 3-5% yang
berhasil berhenti merokok.23 Faktor yang berperan terhadap kegagalan berhenti
merokok adalah gejala ketergantungan nikotin, karena bersifat sangat adiktif.
Bahkan orang yang cukup berpendidikan dan sangat ingin berhenti, masih
mengalami kesulitan untuk berhenti merokok.23
Pada saat tidak merokok jumlah nikotin di reseptor di otak menurun
sehingga terjadi penurunan pelepasan dopamin dan neurotransmitter lainnya
sehingga terjadi gejala putus nikotin.3 Gejala putus nikotin termasuk depresi
atau suasana hati yang murung, mudah tersinggung, frustrasi, marah, cemas,
sulit berkonsentrasi, gangguan tidur, gelisah dan peningkatan nafsu makan.22-24
Gejala putus nikotin/nicotine withdrawal menimbulkan perasaan tidak nyaman
dan menyebabkan pasien kembali merokok setelah berhenti merokok, bahkan
kehilangan kontrol terhadap jumlah rokok yang dihisap dan durasi merokok.23,24
Surgeon General Report melaporkan intervensi farmakologis yang
dikombinasikan dengan konseling memungkinkan 20-25% perokok untuk
tetap berhenti merokok selama 1 tahun setelah pengobatan. 25 Persentase
keberhasilan tersebut sedikit lebih tinggi dari hasil studi Universitas Gajah
Mada tahun 2001 pada perokok kelas menengah ke bawah di beberapa desa
di Jawa Tengah, dimana terapi kombinasi menghasilkan tingkat keberhasilan
berhenti merokok selama 12 bulan sebesar 15%. Walaupun angka ini masih
lebih tinggi daripada intervensi dengan nikotin saja (keberhasilan 12 bulan
adalah 7%) tetapi lebih rendah dari keberhasilan dengan metode konseling
saja (17%). 26

Algoritma penghentian merokok PDPI


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menganjurkan kombinasi terapi
nonfarmakologi dan farmakologi karena angka keberhasilan lebih tinggi.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah menyusun algoritma berhenti
merokok yang dapat dilihat pada Lampiran 1. 22, 27
Dalam melakukan konseling berhenti merokok bagi yang siap untuk
berhenti merokok, dilakukan intervensi singkat dengan menggunakan
pendekatan 5A yaitu: 22, 28
yy Ask = identifikasi status dan situasi merokok
yy Advise = pesan yang jelas dan tegas sesuai situasi
yy Assess = nilai kesiapan berhenti merokok.
yy Assist = bantu berhenti merokok

166
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

 
Gambar 1. Algoritma penghentian merokokModifikasi dari Hughes 27

167
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

–– Tidak siap berhenti : berikan motivasi singkat dengan pendekatan 5R.


–– Siap berhenti : siapkan program.
–– Sedang dalam proses berhenti : mencegah relaps.
yy Arrange = menyusun strategi tindak lanjut yaitu jadwal konseling
berikutnya (follow up).

Bagi pasien yang tidak siap berhenti merokok, berikan motivasi singkat
dengan pendekatan 5R yaitu:22, 28
yy Relevance = kaitkan dengan dampak negatif terhadap kesehatan, manfaat,
ekonomi, dan kehidupan orang di sekitar.
yy Risk = pasien menjabarkan sendiri bahaya akibat merokok, risiko akut,
jangka panjang dan terhadap lingkungan
yy Reward = manfaat yang dapat diperoleh dari berhenti merokok.
yy Roadblocks = kemungkinan hambatan yang dapat muncul dari upaya
berhenti merokok.
yy Repetition = dukungan secara terus-menerus (berulang) untuk memberikan
motivasi dan memberitahu hal-hal yang harus dilakukan agar berhasil.

Terapi farmakologis
Panduan dari United States Public Health Service (USPHS) merekomendasikan
pemberian terapi farmakologis setelah perokok mempunyai komitmen
untuk berhenti merokok.29 Beberapa obat yang dapat digunakan untuk
membantu seseorang berhenti merokok yang dapat dilihat pada lampiran
terapi farmakologis untuk berhenti merokok terdiri dari tiga obat lini pertama
yaitu terapi pengganti nikotin/nicotine replacement therapy (NRT), varenicline
dan bupropion. Ketiga obat ini paling sering digunakan dan disetujui sebagai
obat berhenti merokok lini pertama di Australia, Uni Eropa, Amerika Utara
serta direkomendasikan pada berbagai panduan nasional termasuk panduan
Indonesia. 22, 29

168
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Tabel 4. Terapi farmakologis pada berhenti merokok.


Obat Dosis Cara Pemberian
Terapi lini pertama
Nicotine polacrilex gum 2 mg/hari jika 25 batang/ hari
4 1 buah setiap 1-2 jam selama 6 minggu
mg/hari jika > 25 batang/hari kemudian 1 buah setiap 2-4 jam selama 2
minggu kemudian 1 buah setiap 4-8 jam
selama 2 minggu, maksimal 24 buah/hari
Nikotin transdermal 21 mg/24 jam, 14 mg/24 jam dan Jika > 10 batang perhari, 21 mg selama 6
7 mg/24 jam minggu, kemudian 14 mg selama 2 minggu
kemudian 7 mg selama 2 minggu. Jika <
10 batang/hari, 14 mg selama 6 minggu
kemudian 7 mg selama 2 minggu
Nicotine lozenge 2 mg/buah jika 25 batang/hari, 4 1 buah setiap 1-2 jam selama 6 minggu
mg jika > 25 batang per hari kemudian 1 buah setiap 4 jam selama 2
minggu dan 1 buah setiap 4-8 minggu selama
2 minggu maksimal 24 buah per hari
Nikotin semprot hidung 0,5 mg dan 1 mg. Dosis = 1 1-2 dosis per jam dengan maksimal 40 dosis/
semprotan di setiap nostril hari dan maksimal 3 bulan

Inhaler nikotin 6 sampai 16 cartridge 80 puff setara dengan 1 mg nikotin, dihirup


selama 20 menit yang setara dengan 1
cartridge. Dosis awal 6-16 cartridge/hari 12
minggu kemudian diturunkan 4-6 minggu
kemudian.
Varenicline 0,5 mg – 1 mg 0,5 mg 1x/hari selama 1-3 hari, 0,5 mg 3x/
hari selama 4-7 hari, 1 mg 2x/hari dari hari 8
sampai akhir pengobatan 12 minggu
Bupropion hidroklorida SR 150 mg 150 mg/hari selama 3 hari kemudian 150
mg 2x/hari selama 7-12 minggu (hari
berhenti merokok 1-2 minggu setelah mulai
pengobatan). Maksimal 300 mg/hari.
Terapi lini kedua
Klonidin 0,15 – 0,75 mg/hari 0,1 mg, 0,2 mg dan 0,3 mg tablet

Nortriptyline 75 – 100 mg/hari 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 75 mg tablet

Terapi pengganti nikotin (plester, permen karet, spray dan


inhaler)
Di Indonesia pada akhir tahun 2003 beredar obat NiQuitin® plester (7 mg,
14 mg dan 21 mg). Untuk perokok sedang dan berat, pengobatan diberikan
selama 10 minggu dengan pengurangan dosis bertahap. Harga 1 paket tanpa
biaya konsultasi adalah Rp 1.478.400, dan untuk perokok ringan, pengobatan
diberikan selama 8 minggu, harga 1 paket pengobatan tanpa penghitungan
biaya konsultasi adalah Rp 1.062.600.-

Tablet varenicline
Merupakan obat generasi baru yang khusus dikembangkan untuk obat berhenti

169
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

merokok (Champix®) yang tidak mengandung nikotin sama sekali. Berfungsi


agonis parsial yaitu mengikat reseptor nikotin di otak; nikotin di blok sehingga
pelepasan dopamin dikurangi secara parsial. Efek ini mengurangi gejala
”craving” (keinginan yang kuat untuk merokok)” dan ”sakau”. Kurangnya
dopamin juga mengakibatkan kurangnya kepuasan sesaat yang ditimbulkan
rokok (disebut efek antagonis).
Pengobatan selama 12 minggu (starter pack 1-2 minggu, maintenance 3-12
minggu). Harga Champix® masih cukup mahal, per 2 boks untuk 2 minggu
adalah Rp 756.663, sehingga untuk 1 paket pengobatan dibutuhkan biaya 6
x Rp 756,663 = lebih dari Rp 4,5 juta.

Tablet bupropion
Merupakan obat anti depresan. Obat ini dulu tidak terdapat di pasaran
Indonesia.

Terapi alternatif lain


Antara lain akupuntur, accupressure dan hipnoterapi, publikasi hasil terapi
sangat terbatas dengan hasil yang sangat bervariasi.

Ringkasan
yy Berdasarkan Riskesdas 2013 remaja Indonesia yang setiap hari merokok
berumur 10 – 14 tahun sekitar 0,5 %, umur 15 – 19 tahun sebanyak 11,2
%, mereka mengkonsumsi rokok 7,7 – 9,6 batang perhari, dan bervariasi
di setiap provinsi.
yy Faktor yang berpengaruh antara lain: adanya rasa ingin tahu (32%),
menjadi rileks ketika stress (39,4%), mencontoh dari teman (81,4%), ayah
(64,7%) saudara laki-laki (54,3%), dan teman dekat (52,5%). Faktor lain
adalah guru merokok di sekitar sekolah (70,7%) mudah membeli rokok
di sekitar sekolah (74,1%), dan adanya warung yang tidak melarang siswa
membeli rokok (89,9%).
yy Upaya pencegahan merokok berbasis sekolah umumnya menunjukkan
hasil lebih baik (RR sekitar 0,6) daripada berbasis keluarga (0,7 – 0,8).
Upaya pencegahan kombinasi keluarga dan sekolah hasilnya bervariasi
lebar antara 0,6 – 0,85 hampir sama dengan upaya di sekolah saja atau
di keluarga saja.
yy Sekitar 70% perokok mempunyai keinginan untuk berhenti merokok
namun hanya 3-5% yang berhasil berhenti merokok sebagian besar
dikarenakan pengaruh adiksi nikotin dan berbagai kendala.

170
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

yy Program berhenti merokok di Indonesia di pelopori oleh Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia (PDPI) tetapi belum dilakukan secara luas dan
intensif. Klinik berhenti merokok belum tersedia merata. 
Intervensi
farmakologis yang dikombinasikan dengan konseling menghasilkan
keberhasilan berhenti merokok lebih tinggi dibandingkan dengan terapi
farmakologis saja atau konseling saja.
yy Pemerintah mempunyai peran terbesar dalam upaya pencegahan dan
penghentian remaja merokok dengan UU anti rokok. Dengan UU anti
rokok maka ada dasar hukum yang kuat untuk melakukan berbagai
kegiatan antara lain: kampanye anti rokok, melarang iklan rokok,
membatasi peredaran rokok di dalam negeri, membatasi penjual rokok,
menaikkan harga rokok, melarang remaja membeli rokok, informed consent,
melarang merokok di rumah, disekolah, di kendaraan, di tempat-tempat
umum, meningkatkan program berhenti merokok, menyediakan layanan
dan obat gratis untuk program berhenti merokok, membina petani,
pembuat dan penjual rokok untuk beralih ke produk lain dll.

Daftar rujukan
1. Bigwanto M, Mongkolcharti A, Peltzer K and Orapin Laosee. Determinants of
cigarette smoking among school adolescents on the island of Java, Indonesia. Int
J Adolesc Med Health, 2015; 1-8.
2. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013; 133-6.
3. Dahlui M, Jahan NK, Majid HA, Jalaludin MY, Murray L, Cantwell M. Risk and
Protective Factors for Cigarette Use in Young Adolescents in a School Setting:
What Could Be Done Better? PLoS ONE, 2015: 10(6): e0129628. https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0129628
4. Aditama TY, Pradono J, Khalilul R, Charles W, Nathan JR, Asma S, dkk. Linking
global youth tobacco survey (GYTS) data to the WHO framework convention
on tobacco control: The case for Indonesia. J Prev Med 2008;47:S11-S4.
5. Thomas RE, McLellan J, Perera R.Effectiveness of school-based smoking
prevention curricula: systematic review and metaanalysis. BMJ Open 2015;5:
e006976. doi:10.1136/bmjopen-2014-006976
6. Tahlil T, Woodman RJ, Coveney J, Ward P. The impact of education programs
on smoking prevention: a randomized controlled trial among 11 to 14 year olds
in Aceh, Indonesia. BMC Publ Health 2013, 13:367, http://www.biomedcentral.
com/1471-2458/13/367.
7. Brown N, Luckett T, Davidson PM, DiGiacomo M. Family-focussed interventions
to reduce harm from smoking in primary school-aged children: A systematic
review of evaluative studies. Preventive Medicine 101 (2017) 117–125.
8. Thomas RE, Baker PRA, Thomas BC, Lorenzetti DL. Family-based programmes
for preventing smoking by children and adolescents. Cochrane Database of

171
Upaya pencegahan dan penghentian perokok remaja

Systematic Reviews 2015, Issue 2. Art.No.: CD004493. DOI: 10.1002/14651858.


CD004493.pub3.
9. Park E, Drake E. Systematic Review: Internet-Based Program for Youth Smoking
Prevention and Cessation. J Nurs Scholar, 2015; 47:1, 43–50.
10. Brinker TJ; Seeger W, Buslaff F. Photoaging Mobile Apps in School-Based Tobacco
Prevention: The Mirroring Approach. J Med Internet Res 2016;18(7):e183)
doi:10.2196/jmir.6016.
11. Nurwidya F, Takahashi F, Baskoro H, Hidayat M, Yunus F, Takahashi K. Strategies
for an effective tobacco harm reduction policy in Indonesia. Epid and Health.
2014;36:e2014035. doi:10.4178/epih/e2014035.
12. Atilla N, Köksal N, Özer A, Kahraman H, Ekerbiçer H. The approach of smokers
to the new tobacco law and the change in their behaviour. Tuberk Toraks
2012;60:350-354.
13. Volchan E, David IA, Tavares G, Nascimento BM, Oliveira JM, Gleiser S, et
al. Implicit motivational impact of pictorial health warning on cigarette packs.
PLoS One 2013;8:e72117.
14. Bittencourt L, Person SD, Cruz RC, Scarinci IC. Pictorial health warnings on
cigarette packs and the impact on women. Rev Saude Publica 2013;47:1123-1129.
15. Shortt NK, Tisch C, Pearce J, Richardson EA, Mitchell R. The density of
tobacco retailers in home and school environments and relationship with
adolescent smoking behaviours in Scotland. Tob Control 2014. doi: 10.1136/
tobaccocontrol-2013-051473
16. Kegler MC, Escoffery C, Butler S. A qualitative study on establish¬ing and
enforcing smoking rules in family cars. Nicotine Tob Res 2008;10:493-497.
17. Mumford EA, Levy DT, Romano EO. Home smoking restrictions. Problems in
classification. Am J Prev Med 2004;27:126-131.
18. Barnett TA, Gauvin L, Lambert M, O’Loughlin J, Paradis G, Mc¬Grath JJ. The
influence of school smoking policies on student tobac¬co use. Arch Pediatr
Adolesc Med 2007;161:842-848.
19. Levy DT, Chaloupka F, Gitchell J. The effects of tobacco control pol¬icies
on smoking rates: a tobacco control scorecard. J Public Health Manag Pract
2004;10:338-353.
20. Liber AC, Ross H, Ratanachena S, Dorotheo EU, Foong K. Cigarette price level
and variation in five Southeast Asian countries. Tob Con¬trol 2014. doi: 0.1136/
tobaccocontrol-2013-051184.
21. Yoo KY. Cancer control activities in the Republic of Korea. Jpn J Clin Oncol
2008;38:327-333.
22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Berhenti merokok. Pedoman
penatalaksanaan untuk dokter di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2011.p.1-39. 

23. Rose JSDLC, Donny E. Nicotine dependence symptoms among recent onset
adolescent smokers. Drug Alcohol Depend. 2010;106(2):1-15.
24. DiFranza JR, Rigotti NA, McNeill AD, Ockene JK, Savageau JA, Cyr DS,
et al. Initial 
symptoms of nicotine dependence in adolescents. Tob Control.
2000;9(3):313-9.

172
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

25. U.S. Department of Health and Human S ervices. Reducing Tobacco Use: A
Report of the Surgeon General-Executive Summary. Atlanta, Georgia: U.S.
Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control
and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health
Promotion, Office on Smoking and Health, 2000.
26. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Fakta
Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk Strategi Nasional Penanggulangan
Masalah Tembakau. Jakarta: Depkes, 2004.
27. Hughes JR. An updated algorithm for choosing among smoking cessation
treatments. 
J Subst Abuse Treat. 2013;45:215-21. 

28. Black JH, Cambria RP. Evidence base and strategies for successful smoking
cessation. J Vasc Surg 2010;51:1529-37.
29. Beard E, Shahab L, Cummings DM, Michie S, West R. New pharmacological
agents to aid smoking cessation and tobacco harm reduction: what has been
investigated, and what is in the pipeline. CNS Drugs. 2016;30(10):951-83.

173
Status epileptikus konvulsivus pada anak:
Rekomendasi tatalaksana
UKK Neurologi IDAI
Irawan Mangunatmadja

Tujuan:
1. Peserta memahami definisi dan gejala klinis status epiletikus
konsulsivus
2. Peserta memahami tata laksana status epilepticus konsulsivus
sesuai rekomendasi UKK Neurologi IDAI

Status epileptikus (SE) adalah satu dari kedaruratan neurologi pada anak
dan berhubungan dengan kematian, gangguan perkembangan neurologis dan
menurunnya kualitas hidup anak.1,2 Angka kejadian berkisar antara 17 sampai
23 dari 100.000 anak yang mempunyai pengalaman status epileptikus setiap
tahun dengan angka kejadian tertinggi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
Di Inggris angka kejadian status epileptikus pada anak di bawah usia 1 tahun
sebesar 51 dari 100.000 (95% CI 19-35) dan menurun secara progresif menjadi
2 per 100.000 (95% CI 0,75-3,5) pada usia 10 sampai 15 tahun.1
Dalam makalah ini akan dibahas definisi status epileptikus, patofisiologi,
penyebab, tata laksana dan aplikasi klinis algoritma status epileptikus
rekomendasi Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI).

Definisi
The ILAE Task Force on Classsification of Epilepticus mengajukan definisi SE
sebagai berikut:. Time point1, keadaan baik berupa kegagalan mekanisme
yang berperan dalam penghentian kejang atau mekanisme yang menginisiasi
terjadinya kejang abnormal yang berkepanjangan. Time point 2 adalah waktu
yang menyebabkan konsekuensi jangka panjang berupa kerusakan neuron,
terganggunya hantaran neuron tergantung durasi dan tipe kejangnya. Definisi
baru ini mengambarkan betapa pentingnya waktu dalam menjelaskan dua
point tersebut.1.

174
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Adapun definisi lama SE adalah kejang yang berlangsung terus atau


berulang tanpa pulihnya kesadaran selama 30 menit atau lebih.1-3 Klasifikasi
SE berdasarkan semiologi dibagi atas: SE konvulsivus (parsial / fokal motorik
dan tonik-klonik umum) dan SE bukan konvulsivus (absens dan parsial
kompleks).1-3 Status epileptikus konvulsivus terdiri dari kejang tonik atau klonik
yang berlangsung terus, mungkin asimetri, subtle, atau gerakan bilateral yang
kadangkala asimetri.2
Umumnya kejang akan berlangsung sebentar dan berhenti sendiri.
Oleh karena itu definisi “operasional” yang digunakan untuk pengobatan
status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit atau
berlangsung 15 menit pada kejang fokal atau kejang berulang tanpa pulihnya
kesadaran.1,2 Adapun kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit yang tidak
dapat dihentikan secara spontan akan memicu terjadinya SE. Tata laksana
pada keadaan tersebut berguna untuk mencegah terjadinya kerusakan neuron
otak akibat dari kejang yang lamanya 30 menit.

Patofisiologi
Mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan peningkatan
aliran darah ke otak gunanya adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
otak. Status epileptikus yang berlangsung lama menyebabkan: hipoksemia,
hiperkarbia, hipotensi dan hipertermia, dengan penurunan tekanan oksigen
otak, kemudian terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
glukosa tinggi dengan penurunan aliran darah ke otak dan penurunan glukosa
dan oksigen otak.3,4 Kejang berulang menyebabkan hipoventilasi dan yang
menyebabkan aliran darah ke orak menurun. Keadaan ini menyebabkan
tekanan darah meningkat sehingga dapat terjadi perdarahan intrakranial yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak. Kompensasi otak membutuhkan aliran
udara, napas, sirkulasi dan aliran darah otak yang cukup dan kompensasi ini
terjadi pada stadium awal. Kematian dan kesakitan yang ada akibat gagalnya
mekanisme kompensasi.2
Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur yang berlebihan,
sekresi trakeobronkial dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia disertai
kejang yang lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun,
menurunkan curah jantung, hipotensi, yang mengganggu fungsi sel jaringan
dan neuron. Keadaan asidosis metabolik dan respiratorik sering terjadi.3,5 Saat
SE dikeluarkan hormon katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan tekanan vena
sentral. Edema otak yang terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, hipotensi,
dapat menyebabkan herniasi.2,4,5

175
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI

Kejang konvulsif yang berlangsung lama menyebabkan kerusakan neuron


sitotoksik. Glutamat, neurotransmiter eksitatori asam amino, berikatan dengan
beberapa reseptor neuron, termasuk reseptor NMDA yamg diaktifasi oleh
depolarisasi.3 Keadaan ini dapat menyebabkan hiperpireksia, mioglobinuria
dan peningkatan kreatinin fosfokinase akibat rabdomiolisis.4 Komplikasi
tersering adalah hipoksia, asidosis laktat, hiperkalemia, hipoglikemia, syok,
hiperpireksia, gagal ginjal dan gagal napas.4,5 Hilangnya inhibisi reseptor
GABA dan perubahan fungsi reseptor GABA terjadi pada status epileptikus
yang berlangsung lama.3 Adanya kerusakan jaringan organ, dan kematian
disebabkan gagalnya mekanisme kompensasi.

Penyebab
Penyebab SE sangat menentukan mortalitas dan morbiditas pasien. Penyebab
spesifik harus dicari dan diobati untuk mencegah terjadinya kerusakan neuron
dan kejang dapat terkontrol. Penyebab tersering adalah epilepsi simtomatik
(33%) dan kejang demam lama (32%).3 Penyebab SE pada anak dapat di
lihat dalam Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Penyebab status epileptikus pada anak5,6


Etiologi Persentase
Epilepsi simtomatik 33%
Kejang demam lama 32%
Kejang simtomatik 26%
Demam 22%
Tidak diketahui penyebab 15%
Infeksi susunan saraf pusat 13%
Kelainan metabolik akut 6%


Setelah status epileptikus teratasi dan kejang berhenti, menentukan
penyebab status sangatlah penting. Tanpa tata laksana etiologi status ada
kemungkinan status epileptikus akan berulang. Keadaan ini akan menyebabkan
kerusakan jaringan otak pasien dan prognosis pasien menjadi lebih buruk.

Klasifikasi
Setiap tipe kejang yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi
SE. Klasifikasi SE ditegakkan berdasarkan observasi klinis dan gambaran
elektroensefalografi bila memungkinkan. Untuk tata laksana pasien, yang
terpenting adalah membedakan apakah status pasien konvulsivus atau
bukan. Klasifikasi ini menentukan tata laksana dan intervensi selanjutnya.3,5
Klasifikasi SE dapat dibagi atas konvulsivus dan bukan konvulsivus. Klasifikasi

176
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

SE konvulsivus terbagi atas parsial dan umum. Pembagian klasifikasi SE


konvulsivus dapat dilihat dalam Tabel 2. di bawah ini.

Tata laksana
Status epileptikus konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang mengancam
jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung dari
penyebab dan lamanya kejang berlangsung. Makin lama kejang berlangsung,
makin sulit untuk menghentikannya. Oleh karenanya, tata laksana kejang
tonik-klonik umum lebih dari 5 menit, adalah menghentikan kejang dan
mencegah terjadinya status epileptikus.3

Tabel 2. Klasifikasi status epileptikus konvulsivus.3


Proposed classification of status epilepticus
Partial
Convulsive
Tonic Hemiclonic status epilepticus
Clonic Grandmal
Nonconvulsive
Simple Focal motor status
Complex partial Temporal lobe status epilepticus, prolong epileptic stupor
Generalized
Convulsive
Tonic-clonic convulsive Grand mal, epilepticus
Tonic
Clonic
Myoclonic - Spike and wave stupor, minor status epilepticus
Nonconvulsive
Absence
Undetermined
Subtle - Epileptic coma
Neonatal - Eratic status epilepticus

Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit,


10 – 30 menit dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan
yang dilakukan, pemberian obat-obatan dan menilai apakah pasien sudah
masuk ke dalam SE atau bahkan sudah menjadi SE refrakter.3,5.

Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:1,3,5,8
Pre Hospital: 0-5 menit
yy Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah
dari tungkai unutk mencegah aspirasi bila pasien muntah
yy Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, bila ada berikan oksigen.

177
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI

yy Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat
badan < 10 kg = 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg)
dosis maksimal adalah 10mg / dosis.
yy Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
yy Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.

Impending SE: 5-10 menit


yy Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan
diazepam rektal 1 kali dengan dosis yang sama.
yy Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk
pemeriksaan: darah rutin, glukosa dan elektrolit
yy Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena
(kecepatan 5 mg/menit).
yy Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 ml/kg berat badan.

Status epileptikus: 10 – 30 menit


yy Cenderung menjadi status konvulsivus
yy Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10
mg fenitoin diencerkan dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan
kecepatan 50 mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
yy Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus
perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang
diberikan adalah 1000 mg fenobarbital.
yy Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan
bolus perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang
diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa
3 ml midazolam diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml
larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1 mg/jam.

Refrakter SE: 30 -60 menit


yy Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan
timbul kejang kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg
intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah
5 – 7 mg/kg intravena dengan penegnceran diberikan 12 jam kemudian.
yy Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul
kejang kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg
intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7
mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian
yy Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan

178
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

fenobarbital tetap diberikan.


yy Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan analisa gas darah, elektrolit,
gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi
pernapasan.

Obat-obatan
Beberapa macam obat yang sering digunakan dalam mengatasi status
konvulsivus dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang 3,7-9
Diazepam Fenitoin Phenobarbital Midazolam
Dosis insial 0,3-0,5 mg/kgbb 20mg/kgbb 20 mg/kgb 0,2 mg/kgbb bolus
0,02- 0,1mg/kgbb drip
Maksimum dosis awal 10 mg 1000 mg 1000 mg -
Dosis ulangan 5 menit dapat Bila kejang Bila kejang 10 – 15 menit
diulang satu kali berhenti kejang berhenti kejang
kembali kembali
10 mg/kgbb 10 mg/kgbb
Lama kerja 15 menit – 4 jam sampai 24 jam sampai 24 jam 1- 6 jam
Pemberian iv, rektal iv perlahan kec. iv atau im iv perlahan 0,2 mcg/min
50 mg/menit dan titrasi dengan infus
diencerkan dengan 0,4-0,6mcg /kg/menit
NaCl 0,9%
Catatan dilanjutkan Hindarkan Monitor tanda
dengan Fenitoin pengulangan vital
atau AED. sebelum 48 jam
Efek samping somnolen, ataxia, bingung, depresi hipotensi, depresi hipotensi, depresi
depresi napas napas napas, aritmia napas

Status Epileptikus Refrakter


SE refrakter terjadi bila kejang terus berlangsung walaupun telah diberikan
pengobatan yang adekwat. Saat itu jalan napas dipertahankan lancar, ventilasi
terkontrol dengan intubasi, sirkulasi terpasang dan pemindahan pasien ke ruang
perawatan intensif. Umumnya kejang masih berlangsung dalam 30 – 60 menit
pengobatan. Obat yang sering digunakan adalah profopol dan pentobarbital.1,5,8
Propofol diberikan 3–5 mg/kg secara bolus perlahan dilanjutkan dengan
pemberian secara perdrip dengan pompa infusion 1 – 15 mg/kg/jam. Cairan
obat dibuat dengan propofol 200 mg dalam 20 ml larutan. Ini berarti larutan
propofol tiap 1 ml =10 mg. Obat diberikan secara infus dengan kecepatan
1 ml per jam. Bila kejang masih berlangsung dapat diberikan pentobarbital
2–10 mg/kg secara bolus sampai 20 mg/kg dan dilanjutkan dengen pemberian

179
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI

perdrip 0.5–5 mg/kg/jam.1,5


Adapun algoritma tata laksana penghentian kejang sesuai di atas dapat
terlihat pada skema tata laksana penghentian kejang (Lampiran 1d).1,8 Tata
laksana selanjutnya setelah kejang teratasi adalah menilai skala koma Glasgow,
Doll’s eye movement, pola napas dan reaksi pupil. Hasil kumpulan pemeriksaan
ini akan menentukan tingkat gangguan penurunan kesadaran apakah di tingkat
korteks serebri, midbrain atau batang otak. Keadaan ini sangat menentukan
prognosis pasien. Adanya edema otak dapat ditatalaksana dengan pemberian
manitol karena edema yang ada adalah edema sitotoksik.

Aplikasi klinis
Aplikasi klinis Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus yang
dikeluarkan Unit Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia pada tahun
2016,10 perlu memperhatikan beberapa hal:

A. Tahapan kedaruratan tata laksana status epileptikus1,3


1. Yakinkan oksigenisasi ke otak dan fungsi kardiorespirasi baik
2. Hentikan kejang klinis dan elektrik secepatnya
3. Cegah kejang berulang
4. Indentifikasi faktor pencetus seperti hipoglikrmi, gangguan elektrolit,
infeksi dan demam
5. Koreksi gangguan metabolik
6. Cegah komplikasi sistemik
7. Evaluasi dan tata laksana penyebab status epileptikus

B. Kejang konvulsi yang berlangsung di atas 5 menit mempunyai


kecenderungan menjadi status epileptikus, dalam Rekomendasi
disepakati:10
1. Obat fenobarbital IV dipilih untuk pasien dengan kejang demam,
sedangkan fenitoin IV dipilih untuk pasien epilepsi
2. Bila kejang berlangsung di atas 5 menit atau berulang 2 kali atau
lebih, harus diberikan fenobarbital / fenitoin IV : 10 mg/kgbb
3. Bila pasien kejang dan mempunyai riwayat status epileptikus,
sebaiknya diberikan fenobarbital / fenitoin 10 mg/kgbb IV.

Diharapkan dengan tata laksana di atas pasien dapat dicegah untuk

180
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

menjadi status epileptikus yang berkepanjangan sehingga menimbulkan


kerusakan jaringan otak.

Prognosis
Prognosis pasien dengan SE tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang. dan
tata laksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang memegang peranan
penting dalam mencegah kejang berulang setelah kejang teratasi. Kemungkinan
teratasinya SE konvulsivus dapat menjadi SE bukan konvulsivus.5 Gejala sisa
yang sering terjadi pada SE konvulsivus adalah gangguan intelektual, defisit
neurologi atau epilepsi. Angka kematian berkisar 16 - 32%.2.

Simpulan
Adapun simpulan yang dapat diambil untuk tata laksana SE adalah: 1) Kejang
yang berlangsung lebih dari 5 menit atau berulang 2 kali atau lebih tanpa
perbaikan kesadaran; 2) Pemberian obat-obatan yang tepat dapat dilakukan
dengan agresif; 3) Tata laksana penyebab SE untuk mencegah berulangnya
kejang.; 4) Perlunya pemantauan jangka panjang untuk memantau adanya
komplikasi SE.

Daftar pustaka
1. Fernandez IS, Abend SN, Loddenkemper T. Status epilepticus. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferreiro DM, Schor NF, Finkel RS, Gropman AL, Pearl PL, Shevell,
penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principle and practice. Edisi ke 6.
Edenburg: Elsevier. 2017. h. 543-61.
2. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross JH,
Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill
Medical, 2013. h. 288-96.
3. Seinfeld S, Leszczyszyn DJ, Pellock JM. Status epilepticus and acute seizures.
Dalam : Pellock’s Pedatric epilepsy: Diagnosis and therapy. Pellock JM, Nordli
DR, Sankar R, Wheless JW, penyunting.Edisi ke 4. New York : Demosmedical.
2017. h.567-83.
4. Costello DJ, Cole AJ. Treatment of acute seizures and status epilepticus. J Inten
Care Medic. 2006; 20:1-29..
5. Goodkin HP, Rivielo Jr JJ. Status epilepticus.Wyllie’s Treatment of epilepsy :
Principles and practice. Wyllie E, Gidal BE, Goodkin HP, Loddenkemper T,
Sirven JI, penyunting.Edisi ke 6. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015. h. 474-91.
6. Riviello JJ, Ashwal SD, Glauser T, Ballaban-Gil K, Kelley K, Morton LD,
Phillips S, Sloan E, Shinnar S. Practice parameter: diagnostic assessment of the
child with status epilepticus (an evidence best review). Report of the Quality
Standard Subcommittee of the American Academy of Neurology and the practice

181
Status epileptikus konvulsivus pada anak:Rekomendasi tatalaksana - UKK Neurologi IDAI

committee of the Child NeurologySociety. Neurology. 2006;67:1542-50.


7. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, dkk. Guidelines
for the Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocrit Care. 2012;
5:768-89.
8. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge A, Arya R, Bainbridge J, dkk. Evidence-
based guideline: treatment of convulsive status epilepticus in children and adults:
Report of the guideline committee of the American EpilepsySociety.. Epilepsy
Currents. 2016; 16 : 48-61.
9. Bashiri FA, Hamad MH, Amer YS, Abouelkheir MM, Mohamed S, Kentab
AY, dkk.. Management of convulsive status epilepticus in children: an adapted
clinical practice guideline for pediatricians in Saudi Arabia. Neurosciences.
2017; 22: 146-55.
10. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Ismael S, Pusponegoro HD,
Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S, penyunting. Jakarta; Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.2016.

182
Prosiding Simposium lXXIII Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja

Lampiran 1.

Monitor
Tanda vital, EKG,
saturasi, gula darah,
elektrolit, Analisa Gas
darah

Gambar 1. Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus10

183
Notes

..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
Notes

..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
Notes

..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai