TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahasa
Bahasa dan bicara merupakan dua hal berbeda yang sering tertukar penggunaannya dalam
berkomunikasi oleh banyak orang. Bahasa (language) yang berasal dari istilah latin lingua yang
berarti lidah merupakan suatu alat, sedangkan bicara (speech) merupakan suatu tindakan aktif
untuk menyampaikan isi pikirannya menggunakan alat yang disebut sebagai bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi
yang arbriter, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri. Bahasa juga bisa dikatakan sebagai suatu sistem yang digunakan
secara sukarela dan secara sosial disetujui bersama, dengan menggunakan symbol-simbol tertentu
untuk menyampaikan dan menerima pesan dari satu orang ke orang lain (Soejiningsih).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk., 1998:114) dinyatakan bahwa
berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa, melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan
sebagainya atau berunding. Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud
(ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga
maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (Depdikbud, 1984:3/1985:7). Pengertiannya
secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar. Henry Guntur Tarigan (2008:16),
Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk
sang pendengar atau penyimak. Soejiningsih menyebutkan bicara merupakan bentuk bahasa yang
menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan suatu maksud, bicara
merupakan ourput oral dari suatu bahasa. Bicara merupakan suatu keterampilan mental-motorik,
karena bicara tidak hanya koordinasi kumpulan otot yang membentuk suara, tetapi juga memiliki
aspek mental intelektual agar mampu mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan. Dari
beberapa pengertian tersebut, terlihat bahwa bahasa dan bicara memiliki pengertian yang berbeda
tetapi keduanya memang diperlukan untuk terjadinya komunikasi antar masyarakat, dengan bicara
berarti menginformasikan, menyampaikan sesuatu dengan menggunakan alat berupa bahasa yang
telah disepakati oleh pihak yang saling berkomunikasi sehingga terciptakal komunikasi yang
efektif.
kemampuan bahasa reseptif yaitu kemampuan untuk mengerti atau memahami simbol-simbol
tertentu. Otak manusia memiliki 3 area khusus yang bertanggung jawab terhadap terhadap
kemampuan berbahasa, yang berpusat pada hemisfer kiri di 94% orang dewasa yang tidak kidal
dan lebih dari 75% orang dewasa yang kidal. Ketiga area utama pada hemisfer kiri anak yang
khusus untuk berbahasa adalah area Broca dan korteks motoric di bagian anterior, dan area
Wernicke di bagian posterior. Informasi yang didapat dari korteks pendengaran primer dan
sekunder akan diteruskan ke bagian kortek temporoparietal posterior (area wernike) yang akan
dioleh dengan ikatan sudah disimpan sebelumnya, kemudian jawaban atau timbal balik dari
informasi tersebut akan disalurkan oleh fasciculus arcuatus ke bagian anterior otak untuk
koordinasi jawaban motorik. Kerusakan pada area Wernicke akan mengakibatkan kelainan bahasa
dan motorik kasar, keterampilan mengeluarkan bunyi yang memiliki arti juga memiliki urutan
perkembangan yang mengikuti pola tertentu. Menurut M.F Berry dan Eisension tahap
1. Reflective vocalization
Pada bayi baru lahir sampai dengan usia 6 minggu, bayi akan “berbicara” dengan caranya
sendiri. Pada tahap ini bicara dan bahasa yang keluar dari mulut bayi merupakan aktifitas
yang bersifat reflex, tangisan dan suara yang diproduksi tidak disadari oleh bayi, tanpa
kehendak, bayi masih belum mampu membedakan berbagai macam stimuli dari luar serta
belum bereaksi secara spesifik terhadap stimuli yang berbeda-beda, sehingga bayi hanya
bisa menangis terhadap semua stimuli yang diterimanya. Vokalisasi terjadi akibat udara
yang secara refleks keluar dari paru lewat pita suara sehingga terbentuk suara. Suara yang
terbentuk tidak mempunyai arti sama sekali. Awalnya tangisan bayi terdengar sama, hal
ini disebabkan karena belum matangnya sistem refleks saraf pusat, yang kemudian suara
mirip seperti bunyi vokal, sehingga dinamakan tahap reflective vocalization. Pada akhir
minggu kedua atau ketiga, pengamat/ibu yang jeli sudah dapat membedakan arti tangisan
bayi. Bayi sudah mulai bisa memberikan reaksi yang berbeda terhadap stimuli yang
diterimanya, sudah ada rasa tertarik terhadap wajah dan orang sekitarnya, karena sudah
2. Babbling
Pada umur 6 minggu, bayi sudah mulai menunjukkan reaksi terhadap suara yang
dibuatnya. Bayi menyukai suara yang dibuatnya dan sering menghibur dirinya dengan
suara. Tahap ini sering debut sebagai ”masa bayi mengoceh”. Cooi, gurgle, dan
permainan suara umum lainnya akan diikuti oleh perkembangan bicara baru yang disebut
babbling pada umur sekitar 4-9 bulan. Suara yang ditimbulkan bermacam-macam, mulai
dari vokal lalu konsonan, dan kombinasi keduanya. Vokal seperti “a” akan diulang-ulang
nada dan kekerasannya yang berbeda. Kemudian, muncul suara konsonan labial “p” dan
“b” (guttural), “g” (dental), dan terakhir nasal “n, bunyi-bunyi konsonan ini tentunya
dan en-en-en atau na-na-na. Suara ocehan pada tahap babbling dapat dikatakan ocehan
pendengaran dan bahasa masih sama pada bayi yang tuli dengan bayi yang tidak tuli.
Karena masih bersifat reflektif dan merupakan respons terhadap stimuli internal, babbling
terjadi baik pada anak yang tuli maupun tidak tuli. Pada bayi yang tidak tuli, diumur 6
bulan, bayi pun sudah memberikan reaksi kalau dipanggil namanya atau menoleh ke arah
sumber suara.
3. Lalling
Setelah tahapan babbling, akan terjadi perbedaan perkembangan bahasa antara anak yang
tuli dan tidak tuli. Mulai dari tahapan lalling, pendengaran mempunyai peran penting.
Tahap lalling juga disebut sebagai tahap mengoceh atau tahap jargon dengan cara meniru
suara yang dimengerti anak dan suara yang sering didengar anak. Ocehan yang diucapkan
bayi sudah dalam bentuk kombinasi konsonan yang juga terdapat dalam tahap babbling.
Akan tetapi pada tahap Lalling adalah terjadi pengulangan (repetition) suara atau
kombinasi suara yang didengar seperti “mam-mam-mam” ketika bayi lapar, atau “ma-
ma” ketika ingin memanggil ibunya. Hal ini menunjukan terdapat hubungan yang
bermakna antara produksi suara dan pendengaran. Tahap ini juga merupakan tahap
latihan untuk beranjak kepengucapan bentuk kata. Pada tahap lalling menunjukan
kemampuan yang lebih tinggi pada koordinasi neuromuskuler dari traktus vokalis, yaitu
ocehan dalam bentuk KVK (konsonan vokal konsonan) Lalling biasanya mulai pada
4. Echolalia
Sekitar umur 9-12 bulan, anak sudah bisa meniru (imitation) suara yang dibuat oleh orang
lain dan suara yang sering didengarnya. Pada saat ini, anak sudah siap untuk menirukan
segala macam suara. Mereka akan memilih suara mana yang mudah untuk ditiru dan yang
tidak mudah ditiru (suara yang membingungkan). Dalam usahanya meniru sering diiringi
dengan gesture atau isyarat gerakan tangan. Seringnya pengulangan terhadap apa yang
didengar dari lingkungan belum diiringi dengan pemahaman bahasa tentang makna yang
terkandung dalam ucapannya. Perlu diwaspadai pada bayi yang mengalami gangguan
5. True speech
Pada sekitar umur 12-18 bulan, rata-rata anak sudah mulai bisa berbicara, dalam arti
pemahamannya, namun mungkin artikulasinya belum tepat. Tahap ini mengawali tahap
perkembangan bahasa yang benar, anak akan menangis atau marah apabila ucapan yang
dimaksudkan diartikan berbeda oleh orang lain. Ada anak yang lambat dan ada anak yang
cepat bisa berbicara. Yang dimaksud “berbicara” adalah anak dengan zincaja
situasi tertentu dari lingkungannya. Sebelum anak bisa bicara, anak harus mengerti dulu
apa yang dikatakan orang lain (verbal understanding). Keadaan ini menunjukkan bahwa
anak telah merespons baik secara mental maupun motorik terhadap kata-kata yang
diucapkan orang lain. Kalau anak mampu mengerti (verbal understanding), mereka akan
lebih cepat untuk bisa berbicara. Anak pada usia ini mampu mengucapkan rangkaian dua
Pada anak umur 18-24 bulan, kadang-kadang kosa katanya telah mencapai 30-60 kata
dan kecepatan anak dalam mempelajari bahasa meningkat dramatis. Anak memiliki
kemampuan belajar rata-rata 3-4 kata per hari, dan mulai mengkombinasikan kata ke
dalam suatu frase yang terdiri dari 2 kata. Ketika kalimat panjang bertambah, anak mulai
menguasai elemen struktur bahasa yang lebih spesifik, termasuk kata ganti, kata tanya,
dan kata kerja. Pada umur 3 tahun, pemahamannya sudah sangat baik, yaitu anak sudah
dapat membuat kalimat terdiri dari 3 atau beberapa suku kata, anak mulai bertanya dengan
menggunakan kata tanya “apa”, kemudian menggunakan kata tanya “mengapa”, dan
akhirnya anak dapat terlibat dalam percakapan singkat. Pada umur 4-5 tahun, anak dapat
menyusun kalimat yang kompleks, berpartisipasi dalam percakapan yang lebih bermakna,
dan menuturkan cerita singkat. Selanjutnya kemajuan perkembangan bahasa anak sulit
dibedakan oleh pendengar yang kurang terlatih, dan hanya akan terlihat pada saat
Setelah proses perkembangan bahasa awal yang kurang spesifik, Steinberg 1982 menjelaskan
mengenai empat proses kemampuan perkembangan bahasa verbal dan tulisan, yaitu fonologi yaitu
kemampuan memproduksi dan membedakan bunyi yang spesifik pada bahasa tertentu, semantika
yaitu kemampuan memahami arti kata termasuk tentang perbendaharaan kata dan jumlah kata
yang diketahui anak, pragmatika yaitu kemampuan anak menggunakan bahasanya untuk
berinteraksi dengan orang lain, serta tata bahasa yaitu kemampuan memahami aturan pada bahasa
tertentu yang akan berkembang seiring dengan semakin seringnya anak belajar mendengar dan
berbicara. Perkembangan fonologi akan berhenti pada usia 7-10 tahun sedangkan perkembangan
semantika, pragmatika dan tata bahasa akan semakin meningkat apabila selalu digunakan dan
distimulasi.
Perkembangan bahasa dan bicara yang normal dapat dilihat di tabel 2.1. Sangat penting
bagi kita untuk mengetahui milestones perkembangan bahasa dan bicara agar dapat menentukan
keterlambatan perkembangan pada anak tersebut adalah keterlambatan bahasa atau keterlambatan
bicara. Normalnya proses bicara seperti disebutkan di atas meliputi proses cooing, babbling,
kemudiaan diikuti dengan kata dan kombinasi kata-kata. Sedangkan perkembangan bahasa yang
normal meliputi stase mengerti dan mengekspresikan yang lebih kompleks dan memerlukan
Tabel 2.1. Milestone perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak normal
(Bulan)
hidup
terhadap pembicara
4 Memberi tanggapan yang berbeda Jawaban vokal terhadap
marah/senang
namanya
mama”
namanya dipanggil
dilarang
tinggi
gerakan tubuhnya
namanya keinginannya
kata
Setelah mengetahui milestone perkembangan bahasa yang normal, kita dapat menilai dan
memberikan tanda red flag terhadap anak-anak yang perkembangan bahasa dan bicaranya tidak
sesuai dengan umurnya. Pada umumnya proposi kata-kata yang dapat dimengerti oleh orang lain
akan meningkat sesuai dengan umurnya, untuk memudahkannya perkembangan bahasa dapat
diingat dengan “kaidah empat” yaitu usia anak dakam tahun dibagi empat maka hasilnya sama
dengan jumlag kata yang dapat dimengerti. Maka anak-anak yang berusia satu tahun setidaknya
25% suara yang dibunyikan dapat dimengerti, anak usia 2 tahun setidaknya 50% kata dan kalimat
yang dikeluarkan dapat dimengerti, dan pada anak usai empat tahun 100% kata dan kalimat yang
perkembangan bicara anak secara signifikan di bawah standar untuk anak normal dengan usia yang
Menurut Hurlock (1997), seorang anak dikatakan terlambat bicara apabila tingkat
perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya
sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Apabila pada saat teman sebaya
mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus menggunakan isyarat
dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak
bermain.
Milestones perkembangan bahasa dan bicara memiliki kisaran umur yang cukup luas, hal
tersebut cukup menyulitkan bagi klinisi untuk menentukan apakah anak tersebut mengalami
keterlambatan perkembangan atau belum. Sedangkan keterlambatan bahasa dan bicara memiliki
pengaruh yang besar bagi hubungun sosial anak tersebut. Identifikasi tatalaksana sedini mungkin
dapat meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara anak secara substansial dan akan mengurangi
pada anak, maka diperlukan pengetahuan mengenai milestone perkembangan bahasa yang normal,
sehingga apabila anak tersebut tidak dapat mencapai perkembangan milestones tersebut maka kita
sebagai klinisi dapat memberikan rambu-rambu/red flag pada orang tua untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan pemberian stimulasi. Red flag perkembangan bahasa dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 . Red flag perkembangan bahasa
Baru lahir Respon terhadap suara Segera setelah lahir Tidak ada respon
terhadap suara
Baru lahir Ketertarikan sosial Segera setelah lahir Tidak tertarik untuk
orang orang
untuk berkomunikasi
kemampuan untuk
babbling
tidak responsive
seperti dada
9-12 bulan Menunjuk 15 bulan Sekali-kali dapat
menunjuk untuk
menyatakan
keinginannya, tetapi
perhatiannya
menambah kata-kata
telah didapat.
sederhana
yang terbatas
bulan
perbendaharaan kata
>50 kata
dikatakan orang
bertanya “mengapa”
umur 4 bulan
d, t, p, k, m, n, l, r, w,
kombinasi huruf
Sumber: Feldman HM. “Language Disorders”. Dalam: Berman S. penyunting. Pediatric Decision
Making.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby, 2003. H. 94-97
Beberapa studi yang meneliti mengenai faktor-faktor risiko untuk keterlambatan bicara dan
bahasa menunjukkan hasil yang tidak konsisten, sehingga The US Preventive Services Task Force
tidak dapat mengembangkan daftar faktor risiko tertentu untuk memandu dokter perawatan primer
dalam menyaring anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara secara lebih selektif. Faktor
risiko yang paling konsisten dilaporkan adalah riwayat keluarga bicara dan keterlambatan bahasa,
jenis kelamin laki-laki, bayi kurang bulan, dan bayi berat lahir rendah. Sedangkan faktor risiko
lain yang berkaitan dengan terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa yang sedang dipelajari
adalah asfiksia, fungsi keluarga, bilingualisme, pengasuh utama, penggunaan alat permainan
edukatif, dan screen time (Leung & Kao, 1999; McLaughlin, 2011; Soetjiningsih, 2013; AAP,
2017).
Keterlambatan bahasa lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan pada perempuan
(Leung dkk, 1999;Hidajati, 2009, Hertanto dkk., 2011) hal ini secara teori dikatakan bahwa level
tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri
(Hidajati, 2009).
Riwayat bayi lahir kurang bulan sering terdapat pada anak yang mengalami keterlambatan
bahasa, hal ini berhubungan dengan berat badan lahir yang rendah. Pada beberapa penelitian
dikatakan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir rendah terdapat abnormalitas white
matter pada otaknya. Abnormalitas white matter ini selanjutnya berhubungan dengan rendahnya
skor penguasaan bahasa pada anak (Rechia dkk., 2006, NICOLA 2018). Selain itu berat badan
lahir rendah merupakan indikasi bahwa nutrisi yang didapatkan belum maksimal sehingga
perkembangan beberapa bagian terutama organ otak menjadi tidak optimal, sehingga dalam
perkembangannya mengalami keterlambatan (Amin dkk., 2009). Bayi kurang bulan yang
dilakukan uji provokasi dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) didapatkan hasil
yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan (Rischie dkk., 2006).
Asfiksia neonatorum atau asfiksia perinatal merupakan kondisi dimana bayi baru lahir
tidak langsung bernafas, sehingga terjadi gangguan pada pertukaran gas respirasi (oksigen dan
karbondioksida) yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia, yang dapat disertai dengan
asidosis metabolik. Asfiksia neonatorum merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga pada bayi
baru lahir setelah prematuritas dan sepsis. Asfiksia menyebabkan hiperpolarisasi jaras-jaras sel
saraf dalam otak yang mengakibatkan penurunan jumlah neurotransmiter yang dilepaskan
sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf. Selain itu, asfiksia juga dapat mengakibatkan
peningkatan glutamat dan gangguan proses apoptosis. Apabila gangguan ini terjadi pada saraf
Malnutrisi juga merupakan faktor resiko terjadinya gangguan bahasa dan bicara. Malnutrisi
didefinisikan sebagai keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup, dan dapat
juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi
untuk mempertahankan kesehatan (Oxford, 2007), merupakan salah satu faktor risiko mayor yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan pada sisi kognitif, motorik, sosial dan perilaku,
permasalahan pada proses perkembangan otak yang berlangsung dengan pesat, yang terjadi pada
tahun pertama kelahiran, sejalan dengan efek samping jangka panjang terhadap struktur otak dan
kapasitas fungsional (Jimoh dkk., 2017). Berdasarkan penelitian sebelumnya pengaruh dari
pendengaran sentral dan perifer. Defisiensi nutrisi bahkan dalam bentuk akut, menghambat fungsi
normal dari telinga tengah, dengan konsekuensi terjadi pengaruh negatif pada keseluruhan sistem
pendengaran. Anak dengan gangguan sistem pendengaran selanjutnya berisiko terhadap terjadinya
Jumlah anak dan urutan anak dalam suatu keluarga merupakan salah satu faktor resiko
terjadi pada anak pertama dan anak yang memiliki jumlah saudara yang banyak. Pada anak
pertama hal ini disebabkan karena pola asuh yang kurang tepat, dan pada anak yang memiliki
saudara banyak insiden keterlambatan bahasa karena berhubungan dengan komunikasi antara
Faktor resiko lainnya berupa pendidikan ibu yang rendah di bawah SMA menyebabkan ibu
kurang perhatian terhadap perkembangan anak dan kosakata yang dimiliki ibu juga kurang
sehingga tidak mampu melatih anaknya untuk bicara (Hartanto dkk, 2009).
Penggunaan dua bahasa atau lebih di rumah dapat memperlambat kemampuan anak
menguasai kedua bahasa tersebut. Anak dari orang tua yang menggunakan dua bahasa (bilingual)
dalam komunikasi sehari-sehari, dapat menunjukkan keterlambatan bicara dan bahasa minor pada
fase awal. Anak yang tumbuh pada lingkungan bilingual memiliki beberapa tipe dalam
(McLaughlin, 2011).
Sebagian besar anak mulai berbicara pada usia 10 sampai 18 bulan, namun kemampuan
pengertian anak terhadap kata-kata dimulai sejak sebelum usia tersebut. Hal ini bergantung pada
lingkungan anak tersebut untuk memberikan stimulasi pada otak anak untuk berkembang, semakin
sering anak-anak mendengarkan suara ataupun bunyi-bunyian maka akan menstimulasi otak anak
sehingga mereka mampu untuk mengingat dan mengulang bunyi tersebut. Anak juga akan mulai
mengerti irama dan pola bicara dengan semakin sering anak tersebut mendengarkan. Setelah anak
mendengar, menonton dan berpartisipasi pada rangsangan di sekitar mereka, anak mulai
menguasai bahasa. Salah satu jenis stimulasi adalah melalui Alat Permainan Edukasional (APE),
alat ini dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya, dan tingkat
perkembangannya, serta berguna untuk perkembangan fisik-motorik (motorik kasar dan motorik
halus), bahasa, kognitif dan sosial (Soetjiningsih, 2015). Menurut Badru Zaman (2010) APE
memiliki beberapa fungsi seperti menciptakan situasi bermain (belajar) yang menyenangkan bagi
anak, menumbuhkan rasa percaya diri dan membentuk citra diri anak yang positif, memberikan
kesempatan anak bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya. Dengan bermain
menggunakan APE maka akan merangsang semua aspek perkembangan untuk besosialisasi dan
berkomunikasi dengan teman sebaya. Beberapa bentuk APE diantaranya balok, boneka, puzzle,
kotak alfabet, kartu lambang bilangan, alat mewarnai, buku, dan majalah.
Anak-anak masih bergantung pada perhatian yang diterima dari orang lain, umumnya
perhatian didapatkan dari sosok lekat sang anak, pengasuh anak yang dapat berupa orang tua
kandung, kakek atau nenek, atau babysitter. Pengasuh yang sensitif dan responsif diperlukan untuk
suatu kewaspadaan pada anak dan perilaku anak dan vokalisasi sebagai bentuk sinyal komunikasi
yang menandakan suatu kebutuhan dan keinginan. Responsif merupakan kemampuan dari
pengasuh untuk memberi respon secara kontingen dan sesuai dengan sinyal yang diberikan anak.
Untuk memastikan terpenuhinya kesehatan dan perkembangan anak, pengasuh harus sensitif
terhadap kondisi fisis anak dan mampu menentukan apakah anak merasa lapar, lelah, keinginan
berkemih, atau nyeri. Pengasuh yang responsif mampu membuat keputusan karena pengasuh
memonitor pergerakan, ekspresi, warna, temperatur, dan hal yang disukai anak. Dengan
memperhatikan respon anak secara terus menerus, pengasuh mampu menyesuaikan respon mereka
untuk mencapai luaran yang optimal, seperti memberikan rasa nyaman pada anak, menidurkan
anak, dan mendorong anak untuk makan saat sakit (WHO, 2004). Berdasarkan studi yang ada saat
ini mengindikasikan hubungan antara anak dengan pengasuh memiliki peran vital dalam
perkembangan anak yang meliputi kemampuan kontrol diri anak, perkembangan kognitif,
penguasaan bahasa, dan penyesuaian sosioemosional. Terdapat berbagai studi yang menunjukkan
kualitas hubungan antara anak dengan pengasuh sebagai faktor yang berperan besar dalam
perkembangan psikologis dan kepribadian anak (WHO, 2004). Clarke-Stewart dkk., (1979)
mengemukakan terdapat interkorelasi dan asosiasi positif pada perilaku stimulasi interaktif dari
ibu dengan kemampuan kognitif, bahasa dan sosial anak. Studi ini menemukan tidak ditemukan
adanya hubungan antara status ekonomi dengan tingkat pendidikan ibu. Carlson (1998)
melaporkan kualitas pengasuhan anak dan interaksi sejak dini berhubungan dengan fungsi
Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan
perkembangan bahasa pada anak. Hal ini disebabkan karena orangtua yang tidak mampu secara
ekonomi akan lebih fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya dan mengabaikan
perkembangan anaknya, disamping itu pada keluarga yang memiliki sosial ekonomi rendah juga
rawan untuk terjangkit penyakit infeksi yang memungkinkan terjadinya gangguan saraf dan
Screen time merupakan waktu yang dihabiskan di depan layar, termasuk telepon genggam,
tablet, televisi, video games, komputer, maupun teknologi yang dapat digunakan (Canadian
Pediatrics Association, 2017). Barber dkk., 2017 mengestimasi 75% anak usia 12 bulan dengan
peningkatan durasi menonton televisi (<1 jam per hari pada usia 14 bulan menjadi >2 jam per hari
pada usia 30 bulan). Beberapa studi longitudinal yang dilakukan terhadap pengaruh menonton
televisi, menunjukkan durasi menonton televisi setiap hari pada anak usia 1 dan 3 tahun
berhubungan dengan masalah pemusatan perhatian pada usia 7 tahun. (Christakis dkk, 2004), dan
menonton televisi sebelum usia 3 tahun berhubungan dengan penurunan kemampuan membaca,
pemahaman membaca, dan daya ingat terhadap angka pada usia 6 sampai 7 tahun. (Zimmerman
Penyebab keterlambatan bahasa dan bicara sangat banyak dan bervariasi. Gangguan
tersebut ada yang ringan sampai yang berat. Penyebab keterlambatan bicara bisa terjadi gangguan
mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otot atau organ pembuat suara.
Menurut Leung gambaran diagnosis perkembangan pada anak pra sekolah dengan
gangguan bicara didapatkan DLD (56%), learning disability (26%), retardasi mental (24%),
hearing loss (9%), autisme (5%), kejang (4%). Global delay pada penelitian ini didapatkan adanya
keterlambatan dari 4 sektor perkembangan pada tiga anak dengan penyakit kronik yakni PJB
Keterlambatan bahasa dan bicara dapat merupakan manifestasi klinis beberapa penyakit
dasar. Menurut Leung 1999, gangguan perkembangan bahasa pada anak pra sekolah dikarenakan
adanyanya penyakit dasar seperti seperti Development Language Disorder (DLD) (56%),
gangguan belajar (26%), retardasi mental (24%), ketulian (9%), autisme (5%), kejang (4%). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Maddeppungeng, 2006 keterlambatan bahasa juga dapat terjadi
pada anak-anak yang memiliki penyakit kronik seperti PJB sianotik, kardiomiopati dengan gagal
tumbuh dan anemia kronik, serta pada anak dengan serebral palsi, hipotiroid kongenital, sindrom
bicara reseptif, gangguan bicara ekspresif, kelainan organ bicara. Pada anak yang terdiagnosis
dengan gangguan psikiatri, ditemukan prevalens kejadian gangguan bicara-bahasa berkisar 40%
hingga 80%. (ELS) Atau merupakan manifestasi klinis primer tanpa adanya penyakit dasar yang
Etiologi seorang anak menjadi terlambat bicara dan bahasa dapat dikelompokkan menjadi
dan bicara pada anak yang memiliki intelegensi normal, tidak memiliki gangguan psikiatri, dengan
indra pendengaran yang normal dan organ artikulasi yang baik.(vurginia) Gangguan bahasa yang
terjadi pada kelainan primer umumnya berupa keterlambatan bahasa dan bicara, keterlambatan
bahasa ekspresif dan keterlambatan bahasa reseptif akibat kurangnya stimulasi, sehingga dengan
tatalaksana yang efektif akan memiliki prognosis yang baik apabila tindakan intervensi dilakukan
Gangguan perkembangan bahasa sekunder terjadi karena anak tersebut memiliki penyakit
dasar yang mempengaruhi kemampuan anak tersebut untuk berbahasa, seperti kelainan genetic
beberapa kromosom tertentu, kecacatan fisis organ-organ yang berperan dalam proses berbahasa
dan berbicara seperti organ pendengaran dan organ artikulasi, malformasi neurologis yang
Gangguan bahasa dan bicara karena kerusakan kromosom 1,3,6,7, dan 15. Kerusakan pada
kromosom ini berhubungan dengan gangguan membaca karena kromosom tersebut membawa gen
yang memengaruhi perkembangan sel saraf saat prenatal (Korbin, 2008). Anak dengan sindrom
down yang memiliki kelainan pada kromosom 21 juga menunjukkan gambaran kemampuan verbal
di bawah kemampuan yang diharapkan. Anak dengan sindrom Klinefelter dan Fragile X juga dapat
menunjukkan gejala keterlambatan bahasa tanpa memiliki gambaran fisis yang khas.
Cacat fisis yang berhubungan dengan gangguan bahasa dan bicara adalah adanya kondisi
fisik yang menyebabkan gangguan penghantaran suara, adanya gangguan pada sistem pernafasan,
laring dan struktur oral dapat menyebabkan gangguan bicara. Disamping itu adanya cacat pada
telinga dan bagian pendengaran juga menyebabkan anak mengalami gangguan perkembangan
bahasa dan bicara karena stimulasi menjadi berkurang. Gangguan pada pendengaran dapat
ditemukan pada anak dengan mikrotia. Gangguan yang lain adalah yang memengaruhi artikulasi
seperti abnormalitas bentuk lidah, frenulum yang pendek, atau adanya celah di langit-langit mulut
(Perna, 2013). Selain itu kemampuan bicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai
jika input sensoris (auditoris) dan motorik dalam keadaan normal (Suwento, 2014). Gangguan
pada pendengaran dapat pula disebabkan karena gangguan perifer ataupun sentral. Gangguan
perifer dapat diakibatkan oleh gangguan pendengaran konduktif (Conductive Hearing Loss/CHL)
dan sensorineural (Sensorineural Hearing Loss/SNHL). CHL biasanya terjadi karena abnormalitas
perkembangan atau fungsi strukur telinga tengah dan luar sebagai akibat dari sekuensi sindrom
Pierre Robin, mikrotia, eksposur terhadap teratogen (contohnya Thalidomide) pada masa
kehamilan, otitis media kronis, disfungsi tuba eustachius, dan fraktur pada tulang tengkorak.
SNHL diakibatkan oleh abnormalitas struktur atau fungsi dari koklea atau persarafan koklear.
Penyebab SNHL secara genetik ditemui pada sindrom Alport, Pendered, Stickler, Usher tipe 1-3,
Waardenburg tipe 1-4, Perrault, dan Connexin. Penyebab yang didapat diantaranya oleh karena
vesibular. Gangguan pendengaran tipe sentral sering diakibatkan oleh sindrom Landau-Kleffner
untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki, yang disebabkan oleh
adanya lesi (defek) dari otak yang terjadi pada periode awal pertumbuhan otak. Penyebab
gangguan dapat terjadi pada masa pranatal, perinatal maupun pascanatal. Pada kondisi ini, riwayat
kehamilan dan persalinan harus ditelusurin, termasuk adanya infeksi TORCH (toxoplasmosis,
rubella, cytomegalovirus, and herpes simplex) pada masa kehamilan, serta obat-obatan yang
dikonsumsi oleh ibu disaat kehamilannya (Nicola woles). Keterlambatan bicara dan bahasa juga
merupakan gambaran penyakit neurologis. Anak dengan palsi serebral berat memiliki masalah
dengan bahasa atau produksi dan koordinasi bicara. Epilepsi yang melibatkan hemisfer kiri, seperti
sindrom Landau-Kleffner dapat memengaruhi perkembangan dan penggunaan bahasa. Anak laki-
laki dengan Duchenne muscular dystrophy dapat menunjukkan keterlambatan bicara dan bahasa
sejak usia dini sebelum atau sejalan dengan timbulnya gejala kelemahan otot. (Purwadi, 2007).
Perkembangan bahasa seorang anak dapat dihitung dengan membagi usia pencapaian
perkembangan bahasa dengan umur kronologisnya, contohnya anak usia 24 bulang dengan tingkat
perkembangan bahasa sesuai anak usia 18 bulan, maka tingkat perkembangan bahasanya dikatakan
75%. Secara umum anak dengan tingkat perkembangan bahasa yang kurang dari 75% dari yang
seharusnya, maka anak tersebut mengalami keterlambatan bahasa secara klinis dan memerlukan
Identifikasi awal dari keterlambatan bicara harus mencakup dua masalah dasar. Yang
pertama adalah cara memperoleh informasi yang valid pada anak dengan usia dini yang kadang
tidak mematuhi instruksi saat diperiksa, terutama anak dengan kemampuan komunikasi yang
terbatas sebagai fokus utama. Selanjutnya, alat yang digunakan untuk memeriksa keterlambatan
bicara harus bersifat murah, tidak menghabiskan waktu, dan dapat diaplikasikan secara luas pada
berbagai tingkatan sosial dan latar belakang bahasa yang berbeda, termasuk pada kelompok
bilingual. Analisis dan sampling bahasa memerlukan waktu yang substansial dan kemampuan
perkembangan pada setiap kontrol anak sehat dan melakukan skrining perkembangan pada anak
yang kontrol pada usia 9, 18, dan 30 bulan atau pada anak-anak yang dicurigai memiliki
keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat surveilans perkembangan) (AAP,
2017).
Capute scales merupakan alat skrining dan diagnosis yang dapat menilai secara akurat aspek
perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-motor yang digunakan secara
universal. Capute scales merupakan salah satu alat skrining dan diagnosis yang dapat mengukur
secara cepat dan mudah dari aspek bahasa dan visual-motor sejak masa bayi dan kanak usia dini
sehingga dapat dilakukan intervensi sehingga memberikan hasil yang terbaik (Accardo & Capute,
2005).
Capute Scales
metode Capute Scales (cognitive adaptive test/clinical linguistic auditory milestone scale-
CAT/CLAMS). Uji skrining spesifik metode Capute Scales (CAT/CLAMS) dapat digunakan
untuk mendiagnosis adanya gangguan perkembangan bahasa dan fungsi kognitif pada usia 0-36
bulan. Metode uji tapis CAT/CLAMS dipilih karena dapat menilai kuantifikasi developmental
1. Pemeriksaan gugus tugas dimulai dari 2 tingkatan usia lebih rendah dari perkiraan usia
2. Lanjutkan sampai tercapai tingkatan usia kemampuan bahasa yang tertinggi (usia ceiling).
a. “lulus” bila anak mampu/dilaporkan oleh orang tua mampu melakukan gugus tugas dengan
benar
b. “gagal” bila anak tidak mampu/dilaporkan oleh orang tua tidak mampu melakukan gugus
5. Jumlahkan nilai gugus tugas yang mampu (lulus) dilakukan anak di antara usia basal dan
ceiling.
6. Hitung Developmental Quotient (DQ) = usia ekuivalen dibagi usia kronologis, kemudian
dikalikan 100.
Lakukan pemeriksaan gugus tugas mulai dari usia perkiraan ke arah tingkatan usia yang lebih
muda sampai ditemukan 2 tingkatan usia di mana anak mampu (lulus) melakukan semua gugus
tugas.
Lakukan pemeriksaan semua gugus tugas yang berada di atas tingkatan usia basal, sampai
ditemukan tingkatan usia di mana anak tidak mampu (gagal) melakukan semua gugus tugas di
suatu tingkatan.
1. Normal: jika DQ pada kemampuan bahasa dan visual-motornya >85, dengan demikian Full
2. Suspek: jika DQ pada satu atau kedua aspek <85 tetapi >75 (DQ: 75-85).
3. Retardasi mental: jika kedua aspek (bahasa dan visual-motor) menghasilkan DQ <75.
4. Gangguan komunikasi: jika aspek bahasa terlambat (delayed), tetapi aspek visual-motor dalam
batas normal (DQ >85), disosiasi di antara 2 aspek kognitif dari perkembangan ini sangat khas
Studi menunjukkan terapi wicara dan bahasa efektif pada anak dengan masalah phonologi atau
kosa kata, namun studi pada anak dengan masalah gangguan bahasa reseptif masih sangat sedikit.
Hasil yang berbeda juga ditemukan terkait efektivitas dari intervensi penyampaian bahasa
ekspresif. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara terapi yang diberikan oleh paramedis dengan
yang dilakukan oleh orang tua yang sudah terlatih, dan tidak ada perbedaan antara intervensi yang
diberikan secara kelompok maupun individual. Penggunaan bahasa sehari-hari dengan teman
sebaya saat terapi menunjukkan hasil yang positif terhadap luaran terapi (Law, Garret dan Nye,
2016)
2.2 Zinc
Zinc merupakan salah satu trace elemen yang sangat diperlukan oleh manusia. Awalnya
zinc ditemukan pada tahun 1986 pada tanaman, Todd dkk (1934) pertama kali menemukan zat
gizi mikro zinc sebagai zat gizi mikro esensial bagi pertumbuhan tikus, dan baru pada tahun
1961 Prasad dkk menemukan peranan zinc yang sangat esensial bagi kesehatan manusia. Saat
itu di Iran ditemukan banyak anak laki-laki berusia 10-21 tahun mengalami pertumbuhan yang
terhambat, anemia, hati dan limpa membengkak, alat-alat kelamin mengecil, kulit kering dan
gangguan mental. Ternyata riwayat dietnya mengandung zat gizi yang menghambat absorbsi
Zinc termasuk dalam kelompok gizi mikro yang mutlak dibutuhkan, meskipun dalam
jumlah yang sangat kecil, untuk memelihara kehidupan yang optimal. Tubuh manusia
mengandung kurang lebih 2-3 gram zinc. Sebagian besar zinc berada di otot skeletal (60%), tulang
(30%), hati dan kulit (5%) serta jaringan lain seperti mata, kelenjar prostat, kulit, rambut dan kuku
yang mengandung zinc sebanyak 2-3% dari jumlah zinc total dalam tubuh (Kambe dkk., 2015).
Zinc juga terdapat di dalam serum, namun hanya sekitar 0,1% dari total zinc di dalam tubuh, dan
memiliki masa pergantian yang lebi cepat dibandingkan zinc yang tersimpan di dalam jaringan.
Peranan zinc bagi manusia diantaranya adalah sebagai kofaktor lebih dari 300 enzim serta
menstabilisasi struktur protein termasuk berfungsi sebagai enzim yang menghantarkan signal pada
proses transduksi dan transkripsi. Sumber zinc terdapat dalam makanan maupun dalam bentuk
suplemen. Sumber makanan penghasil zinc terbaik adalah makanan laut, daging dan biji-bijian
Penyerapan zinc pada permukaan sel di saluran pencernaan umumnya lebih baik pada
kondisi cair. Sebagian besar penyerapan zinc terjadi di usus kecil yaitu pada duoneum dan
jejunum, akan tetapi mungkin saja penyerapan zinc dapat terjadi di seluruh saluran cerna, karena
penelitian sebelumnya mengatakan bahwa protein transporter zinc ternyata diproduksi di epitel-
Absorbsi zinc bergantung pada kadar zinc di dalam darah, jika kadar zinc di dalam darah
rendah maka zinc akan lebih banyak diserap. Namun, jika kadar zinc tinggi dan kadar zinc yang
diserap tinggi, maka mukosa dinding usus halus akan membentuk protein metalotionein yang akan
mengikat zinc dan masuk ke aliran darah. Zinc yang diserap akan dibawa oleh albumin dan
transferin ke hati. Kelebihan zinc tersebut akan disimpan di hati dalam bentuk metalotionein, di
pankreas dan di jaringan tubuh lainnya. Di dalam pankreas, zinc digunakan untuk membuat enzim
pencernaan yang akan dikeluarkan ke dalam saluran cerna pada waktu makan. Sirkulasi zinc di
dalam tubuh yang berasal dari pankreas dan kembali ke pankreas disebut sirkulasi
enteropankreatik. Jadi dapat disimpulkan bahwa saluran cerna menerima zinc dari dua sumber
yaitu, makanan dan pankreas. (Agustian dkk., 2009; Kambe dkk., 2015).
Terdapat 2 kelompok transporter zinc yaitu: ZincT dengan 10 anggota dan ZIP dengan 14 anggota
[3]. Keluarga protein ZincT bertugas menurunkan konsentrasi zinc intraseluler sementara protein
ZIP bertindak untuk meningkatkan kadar zinc intraseluler. Lebih dari separuh protein ini
diekspresikan dalam enterosit atau garis sel mirip-enterosit; contohnya HT-29 dan Caco-2. Sebuah
ulasan muncul yang mengintegrasikan lokasi dan fungsi yang jelas dari transporter ini dengan
kejadian yang terkait dengan proses absorpsi. Untuk tujuan laporan ini, pergerakan zinc diet ke
dalam sirkulasi sistemik akan dibagi menjadi langkah uptake, transelular, dan langkah efluks
dengan perhatian juga diberikan terhadap fungsi zinc di dalam sel-sel usus.
Pada gangguan malabsorpsi zinc, seperti pada acrodermatitis enteropathica, diproduksi berbagai
mutasi pada protein zinc yaitu hZip4, Karena defek pada Zip4 menghasilkan protein ZIP4 yang
mengurangi efisiensi transportasi, maka pada kondisi ini relevan bahwa kondisi tersebut dapat
diatasi dengan suplemen zinc. Menimbang bahwa hZip4 memiliki beberapa polimorfisme,
kemungkinan bahwa ini menghasilkan perubahan aktivitas transpor ZIP4. Perbedaan tersebut
dapat mengubah struktur dan fungsi ZIP4 sebagai molekul transporter zinc. Ketergantungan
afinitas transporter dapat mempengaruhi efek bioavailabilitas pada penyerapan zinc. Polimorfisme
ini belum diselidiki. Studi imunofluoresensi telah mendokumentasikan bahwa ZIP4 terletak di
membran apikal enterosit [5, 6]. Kelebihan protein meningkat dengan defisiensi zinc [5 - 7].
Kapasitas ZIP4 untuk mengangkut zinc dibuktikan pada sel transfected tetapi tidak secara
langsung di sel epitel usus. Dalam sistem model ini, transportasi yang dimediasi ZIP4
menghasilkan penyerapan zinc yang jenuh [5, 8]. Zip4 diekspresikan di perut, usus kecil, dan kolon
[5 - 7] dan baru-baru ini ditemukan diekspresikan dalam sekum (Maki dan Cousins, hasil yang
tidak dipublikasikan). Peran penting yang dimainkan ZIP4 dalam transportasi zinc ditunjukkan
melalui embrionik letal pada model tikus knockout Zip4 [7].
Mekanisme untuk menjelaskan Zip4 up-regulasi pada pembatasan zinc pada tikus atau kultur sel
mungkin melibatkan banyak proses. Telah ditunjukkan bahwa pembatasan zinc mempengaruhi
stabilitas mRNA Zip4 [8]. Selanjutnya, transkripsi Zip4 ditingkatkan terkait dengan pembatasan
zinc telah dikaitkan dengan up-regulasi faktor transkripsi (TF) Kruppel-like factor 4 (KLF4) [9].
TF ini diekspresikan dalam saluran cerna dan dikenal untuk mengatur ekspresi enzim dan protein
intestinal yang penting; e. g., alkali fosfatase usus (IAP), yang memiliki fungsi pelindung mukosa
usus [10]. Promotor Zip4 memiliki beberapa situs pengikatan KLF4. Ketika ekspresi KLF4
dihambat oleh siRNA atau situs KLF4 dari Zip4 bermutasi, aktivitas promoter Zip4 tidak responsif
terhadap pembatasan zinc dan transportasi 65Zinc oleh sel usus tikus menurun [9]. Untuk
mendukung peran KLF4, dalam sel usus (HT-29) berasal dari kolon, chelation zinc yang
dihasilkan oleh molekul antikanker juga mengatur KLF4 [11]. Seperti yang baru-baru ini
ditunjukkan pada absorpsi zat besi, TF memainkan peran dalam mengatur protein yang terlibat
dalam homeostasis besi [12]. Kemungkinan ekspresi Zip4 pada tingkat mRNA diatur oleh
transkripsi dan degradasi yang bertindak bersama untuk respon adaptif terhadap ketersediaan zinc
usus. Protein ZIP4 juga responsif terhadap zinc seluler dengan perubahan endositosis pada
membran plasma dan ubiquitinasi dan degradasi [13, 14].
ZincT5 (varian B) juga telah dilokalisasi ke membran plasma apikal usus manusia dan sel Caco-
2. Transportasi dimediasi oleh ZincT5 pada Xenopus oocytes menunjukkan transportasi dua arah
[15, 16]. Ini adalah transporter pertama yang disarankan dengan sifat dua arah. Mungkin aktivitas
semacam itu bisa berfungsi sebagai penyangga. Tikus knockout ZincT5 memiliki fenotipe yang
diubah [17], tetapi pengaruh pada penyerapan usus belum dilaporkan dalam model ini.
Zip11 mRNA diekspresikan pada sepanjang saluran gastrointestinal dari lambung ke usus besar
(Maki dan Cousins, data yang tidak dipublikasikan). Di semua area yang diperiksa, Zip11
diregulasi dengan pembatasan zinc. Ekspresi Zip4 di perut merespon sama dengan Zip11,
menunjukkan ZIP11 memiliki lokalisasi apikal, tetapi ini belum ditunjukkan. Zip14 diekspresikan
pada usus tikus [18] ke tingkat yang lebih besar daripada hepar di mana berperan sebagai fungsi
utama dalam respon fase akut [19]. Yang menarik adalah bahwa Zip14 usus sangat responsif
terhadap pengobatan endotoksin pada tikus. Selanjutnya, ZIP14 terlokalisasi baik ke membran
apikal dan basolateral dari enterosit. Hasil fenotipik fungsi usus ZIP14 tidak diketahui, tetapi
mungkin berhubungan dengan respon usus terhadap infeksi.
ZincT2 dan ZincTs 4 - 7 semuanya telah dilokalisasi ke struktur intraseluler di enterocytes [20].
Mereka menunjukkan lokalisasi ke vesikel dan / atau aparat Golgi, yang mewakili berbagai fase
pertukaran pada membran. Karena fungsi protein ZincT adalah untuk menurunkan tingkat zinc
intraseluler, protein ini berfungsi baik untuk meningkatkan efluks zinc atau untuk memindahkan
zinc ke dalam vesikel, sekresi granul, dan endosom ke dalam kompleks Golgi. Kami telah
mengajukan jauh sebelumnya bahwa ZincT1 dilokalisasi ke membran basolateral dari enterosit
[21] tetapi juga untuk endosom yang berdekatan (vesikel), meskipun ini belum dipelajari secara
luas.
Mekanisme pertukaran transelular zinc yang paling jelas adalah yang ditunjukkan ZincT7, yang
dilokalkan ke kompleks Golgi [22, 23]. Tikus KO ZincT7 menunjukkan perubahan fenotipik yang
tidak khas dari defisiensi zinc, seperti alopesia atau dermatitis. Hal ini meskipun penyerapan zinc
berkurang ke banyak organ termasuk hati, tulang, dan ginjal pada tikus mutan. Komposisi tubuh
berubah pada tikus ini. Yang paling menonjol adalah penurunan lemak tubuh. Ini menunjukkan
bahwa ZincT7 memiliki fungsi yang tidak dikenal yang menjelaskan fenotip yang dihasilkan pada
tikus ZincT7 - / -. ZincT7 telah menunjukkan untuk mengaktifkan salah satu alkalin fosfat, enzim
tersebut membutuhkan zinc untuk fungsi katalitiknya [24]. Dalam konteks penyerapan zinc, tikus
ZincT7 - / - menunjukkan malabsorpsi zinc dengan akumulasi jaringan berkurang dari 65Zinc yang
diberikan secara oral. Sebuah mode vesikuler dari gerakan zinc transeluler telah diusulkan, yang
merupakan penjelasan untuk kalsium [25].
Transporter utama yang mengontrol efluks selular zinc adalah ZincT1 [1]. Ini adalah transporter
zinc pertama yang mendapat perhatian utama sebagai protein yang bertanggung jawab untuk
efluks zinc dari enterosit [21]. Transporter menunjukkan penumpukan pada ujung villus sel.
Distribusi terutama pada membran basolateral. Seperti disebutkan di atas, ZincT1 yang
terlokalisasi vesikular kemungkinan besar merupakan manifestasi hubungan dengan endosom
awal atau vesikel sekretorik. Hubungan ini belum diselidiki.
Mekanisme regulasi ZincT1 berada di bawah kendali faktor transkripsi MTF-1, yang responsif-
zinc [26, 27]. ZincT1 tidak dipengaruhi secara dramatis oleh pembatasan zinc seperti gen-gen yang
diatur MTF-1 lainnya. Ini kebetulan, karena penurunan ekspresi ZincT1 dalam enterosit akan
membatasi transfer zinc ke sirkulasi sistemik. Sifat refraktori MTF-1 yang dimediasi regulasi gen
ZincT1 selama restriksi zinc belum dieksplorasi. ZIP5 juga terlokalisasi ke membran basolateral
enterosit [5, 7]. Perannya dalam homeostasis zinc belum diselidiki. Ekspresi mRNA Zip5 tidak
responsif-zinc terhadap deplesi zinc, tetapi responsif terhadap pemberian zinc akut. ZIP5
diinternalisasi dan terdegradasi dengan deplesi zinc. Lokalisasi dan daya tanggapnya terhadap zinc
menunjukkan bahwa ZIP5 dapat berfungsi sebagai monitor status zinc tubuh [7]. Transpor zinc
oleh usus dalam serosal ke arah mukosa telah dibuktikan [2]. Oleh karena itu, aktivitas ZIP5 dapat
memantau zinc tubuh dan dengan stimulus yang tepat, mengaktifkan MTF-1 dalam enterosit.
Pankreas sebagai rute ekskretoris utama untuk zinc telah dipelajari selama beberapa dekade [6,
28]. Jelas pankreas adalah saluran untuk zinc endogen. Sel-sel asinar menghasilkan butiran
zymogen, di mana zinc metalloenzymes dikemas dengan ion zinc di lingkungan asam dari granul.
Banyak penelitian yang lebih tua tidak mendukung peran pankreas dalam ekskresi zinc [27].
Namun demikian, penelitian tersebut mendahului pengetahuan tentang spesifisitas jaringan
transporter zinc. Sebagai contoh, ligasi duktus pankreas akan menghasilkan peningkatan transien
pada zinc sistemik, sehingga menghasilkan aktivasi gen MTF-1 yang dimediasi termasuk ZincT1,
ZincT2, dan metallothionein (MT). Ini tentu akan mengganggu mekanisme penyerapan zinc.
Pankreas memiliki potensi untuk bertindak sebagai komponen kunci homeostasis zinc. Sel-sel
asinar mengekspresikan ZIP5, yang melokalisasi membran basolateral dari sel-sel yang
terpolarisasi [7] dan dapat bertindak sebagai pembawa zinc pasif yang ditujukan untuk sekresi.
Sel-sel asinar juga menghasilkan ZincT1 dan ZincT2 melalui proses mediasi MTF-1 [28]. Ini
berpartisipasi dalam pelepasan zinc pada membran plasma dan sekretor granul zymogen, masing-
masing. Tentu saja pankreas memiliki peran dalam homeostasis zinc, tetapi semua komponen
mungkin tidak teridentifikasi.
Rute potensial lain untuk pelepasan zinc endogen ke dalam saluran pencernaan adalah serosal ke
transportasi mukosa dari zinc, dengan akhirnya dilepaskan ke lumen usus. Transfer zinc ke arah
ini telah ditunjukkan pada tikus [2]. Studi pelacak isotop dengan manusia juga mendukung
pelepasan sejumlah besar endogen zinc yang disekresikan ke dalam usus [29]. Hal ini tidak
mungkin dilakukan dengan studi pelacak apakah zinc diangkut keluar dari sel usus atau sel asinar
pankreas.
Sementara asal-usul dari zinc usus endogen tidak pasti, itu tetap menyediakan sumber zinc untuk
reutilisasi oleh host atau untuk dimasukkan ke mikrobiota residen.
Telah ditunjukkan bahwa peradangan sistemik bersamaan, seperti yang ditunjukkan oleh
peningkatan penanda fase akut, mencegah peningkatan zinc plasma sebagai respons terhadap
suplemen mikronutrien yang mengandung 15 mg zinc / hari [30]. Ini bisa terjadi akibat
berkurangnya asupan zinc usus, peningkatan kehilangan zinc endogen melalui sekresi usus atau
pankreas, atau peningkatan akumulasi zinc hati. Baru-baru ini diamati bahwa alkohol menciptakan
kondisi pro-oksidan di usus, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan spesies oksigen reaktif
yang bersamaan dengan penurunan konsentrasi zinc usus dan peningkatan endotoksin darah [31].
Endotoksin dikenal untuk meningkatkan penyerapan dan / atau retensi pemberian oral 65 Zinc [32,
33]. Ini telah diinterpretasikan untuk merepresentasikan pengaruh sitokin proinflamasi pada
penyerapan zinc. Sesungguhnya, gen transporter Zip14 diinduksi oleh endotoksin sepanjang
seluruh saluran pencernaan (Guthrie dan Cousins, observasi yang tidak dipublikasikan) seperti
pada hati [19, 34]. Tantangan di bidang ini adalah untuk mengidentifikasi sistem kultur yang
meniru usus selama respon imun pada tingkat kultur sel. Yang terakhir diperlukan untuk
menggambarkan efek yang berada pada tingkat enterosit dari yang dihasilkan oleh pengolahan
zinc hati atau ginjal.
Fungsi fisiologi tubuh yang bergantung pada zinc ialah pertumbuhan dan pembelahan
sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler dan humoral, adaptasi gelap,
pengecapan serta nafsu makan, sedangkan peranan biokimia zinc sebagai komponen dari
dan stabilitas membran sel, zinc berperan untuk katalitik, pengaturan struktural dan non-
katalitik. Hal ini menunjukkan peranan zinc untuk mempertahankan kelangsungan berbagai
proses metabolisme tubuh, menstabilkan struktur membran sel dan mengaktifkan hormon
pertumbuhan. Zinc terutama dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, bukan saja
disebabkan oleh karena adanya efek replikasi sel dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga
sebagai mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan, hal tersebut terlihat pada penelitian
mengenai pertumbuhan mencit yang diberikan diet zinc yang tidak adekuat akan terhenti dalam
Berikut peranan esensial zinc dalam banyak fungsi tubuh: (saripediatri peran zinc, prof adi
dan larisa))
1. Bagian integral dari enzim dan sebagai kofaktor enzim. Zinc berperan sebagai bagian dari 70
sampai 200 enzim, yang sebagian besar termasuk kelompok metalloenzymes. kofaktor enzim
DNA polimerase dan RNA polimerase, yang diperlukan dalam sintesis DNA, RNA, dan
protein. Peran zinc dalam pertumbuhan jaringan terutama berhubungan dengan fungsi dalam
pengaturan sintesis protein. Metaloenzim DNA dan RNA polimerase dan deoksitimidin kinase
sangat penting dalam sintesis asam nukleat, yang dibutuhkan untuk penyimpanan timin pada
DNA.16 Katabolisme RNA diatur oleh zinc dengan mempengaruhi kerja ribonuklease. Enzim
membutuhkan zinc untuk kerja. Zinc juga dibutuhkan dalam proses transkripsi DNA.
2. Bagian dari enzim kolagenase, untuk sintesis dan degradasi kolagen, sehingga zinc diperlukan
4. Memobilisasi vitamin A dari hati untuk menjaga konsentrasi yang normal dalam sirkulasi
darah. Zinc berperan penting untuk sintesis retinol-binding protein yang mengangkut vitamin
A dalam darah.
5. Berperan dalam fungsi imunitas, zinc diperlukan untuk fungsi sel T dan pembentukan antibodi
oleh sel B. Hubungan antara zinc dengan imunitas tubuh ini telah banyak diketahui, Shankar
dan Prasad mengatakan bahwa zinc berperan dalam aktifasi limfosit T, produksi Th-1, dan
fungsi limfosit B. Fraker dkk di Amerika Serikat memperoleh hasil terdapatnya rangkaian yang
6. Peran Zinc pada fungsi indera pengecapan, terlihat pada penelitian status zinc terhadap
pertumbuhan dan nafsu makan berhubungan erat, sehingga dampak terhadap pertumbuhan dan
nafsu makan dapat diperbaiki secara bersamaan dengan meningkatkan asupan Zinc dalam
makanan.
7. Sebagai antioksidan yang berguna untuk menghancurkan radikal bebas, zinc merupakan unsur
intrinsik yang sangat penting dari enzim superoksid dismutase (penghancur utama radikal
8. Faktor esensial dalam stabilisasi struktur membran sel, fungsi testikular dan spermatogenesis.
9. Dan meskipun mekanismenya belum jelas, dari beberapa penelitian terdahulu diketahui bahwa
zinc merupakan mikronutrien yang berperan dalam perkembangan sistem saraf pusat melalui
Dari sekian banyak peran zinc, maka dapat dipastikan bahwa zinc bukan saja esensial bagi
tubuh, tetapi juga yang paling rentan untuk mengalami defisiensi karena kebutuhan tubuh
yang tinggi untuk berbagai proses penting dalam tubuh. Hal ini berarti zinc harus tersedia
dalam jumlah yang cukup dalam diet sehari- hari, karena konsekuensinya apabila terdapat
defisiensi zinc maka gejala-gejala dan kelainan yang dijumpai akan sangat ekstensif.
Sheline, dkk tahun 1943 adalah yang pertama melaporkan terdapatnya zinc di otak
anjing dan tikus. Pada tahun 1955 Maske, secara kebetulan menemukan dengan pengecatan
pada hipokampus, bagian dari system limbic yang berperan pada kegiatan mengingat (memori)
dan navigasi ruangan, menjadi sangat intens. Selanjutnya, Hu dan Friede (1968) mengukur Zinc
pada 24 area otak manusia dengan spektroskopi serapan atom,dan menemukan konsentrasi Zinc
di hipokampus adalah yang tertinggi, pada korteks serebri di area grey matter yang terdiri dari cell
body, dendrit dan akson terminal dari neuron atau sinaps, konsentrasi zinc hampir sama banyaknya
dan area white matter yang terdiri dari akson-akson memiliki konsentrasi zinc yang paling rendah.
Konsentrasi zinc dalam otak bayi yang baru lahir lebih rendah daripada pada orang dewasa.
Zeigler dkk, 1964 mengukur efek defisiensi zinc pada kinetika zinc pada otak, dan
diketahui ternyata apabila terjadi defisiensi zinc akan meningkatkan serapan zinc di otak tetapi
Frederickson dkk. (1982 dan 1983), spektrometri massa pengenceran stabil-isotop, menemukan
bahwa 8% dari Zinc di hippocampus berada dalam vesikel, hal ini terlihat dengan menggunakan
spektrometri massa pengenceran stabil-isotop dan zinc dilepaskan dari terminal akson selama fase
aktivitas elektrofisiologi. Howell dkk. (1984) menunjukkan bahwa stimulasi listrik in vitro
menyebabkan peningkatan zinc tracer pada presynaptic terminal akson serat-mossy, dan yang
sebelumnya memiliki zinc dilepaskan. Assaf dan Chung (1984) melaporkan temuan serupa
berdasarkan analisis kimia superfusate poststimulation, dan Sloviter (1985) yang ditunjukkan
dengan mikroskop elektron dan pengecatan perak yang dimodifikasi (Timm 1958) bahwa stimulasi
listrik menurunkan vesikel Zinc di terminal akson serat-mossy. Pada waktu yang hampir
bersamaan Perez-Clausell dan Danscher (1985) menunjukkan dengan mikroskop elektron dan
pengecatan perak yang dimodifikasi (Timm 1958) bahwa ditemukan Zinc; 10% dari vesikula bulat
yang jelas dari Boutons sinaptik Gray's Tipe I (eksitasi). Para penulis ini kemudian menunjukkan
(Perez-Clausell dan Danscher 1986) dengan pengikatan sulfida in vivo bahwa Zinc yang
dilepaskan dari vesikel dapat bergerak dari celah sinaptik ke ruang ekstraseluler.
Peters dkk. (1987) dan Westbrook dkk. (1987) menunjukkan bahwa vesikel Zinc yang
D-aspartate (NMDA) 4-spesifik untuk glutamat secara cepat, tergantung dosis dan dapat
dibalikkan. Konsisten dengan Zinc yang memiliki peran modulator, Fukahori dkk. (1988)
menemukan konsentrasi Zinc yang lebih rendah di daerah dentate dari hippocampus dari strain
tikus dengan kecenderungan tinggi untuk kejang. Defisiensi Zinc menurunkan Hippocampal Zinc
dan peningkatan kejang, sedangkan asupan tinggi Zinc meningkatkan hippocampal Zinc dan
penurunan kejang (Fukahori dan Itoh 1990). Mitchell dkk. (1990) menegaskan bahwa status Zinc
dapat mempengaruhi kerentanan kejang. In vivo chelation Zinc dengan dithizone meningkatkan
sensitivitas tikus terhadap asam kainik yang menginduksi kejang. Morton dkk. (1990) juga
menemukan bahwa status Zinc mempengaruhi ambang kejang. Pemberian Zinc secara subkutan
mengurangi kejang yang diinduksi kebisingan pada tikus DBA/2J, tetapi tidak berpengaruh pada
Temuan Frederickson dkk, 1990 konsisten dengan vesikel Zinc mempengaruhi kognisi.
Kelasi reversibel zinc in vivo menghasilkan gangguan waktu yang selektif dari memori spasial
yang bergantung pada hipokampus. Selanjutnya, Browning dkk, 1994 menemukan pada babi
bahwa defisiensi Zinc akan menurunkan konsentrasi kanal natrium postsynaptic NMDA-spesific
Palmiter (1996a dan 1996b) dan Palmiter dan Findley (1995) melaporkan protein
membran Zinc-transporter (Zinc-T) spesifik. ZincT-1 memfasilitasi efluk Zinc dari sel; ZincT-2
memfasilitasi uptake Zinc oleh vesikel endosomal; dan ZincT-3 dalam memfasilitasi uptake Zinc
oleh vesikula yang mengandung Zinc pada terminal akson neuron glutaminergik.
Perluasan penelitian in vitro, yang dikutip di atas, dari oksidasi MT oleh GSSG (Maret
1994) mengungkapkan bahwa senyawa selenium tertentu juga melepaskan Zinc dari MT (Jacob et
al. 1999). Glutathione (GSH) (Jiang et al. 1998b) dan ATP (Jiang et al. 1998a) juga memfasilitasi
pengeluaran Zinc oleh GSSG. Selain itu, oksidasi ligan Zinc-binding tertentu oleh GSH
Churchich dkk. (1989) melaporkan bahwa Zinc-ATP diperlukan oleh pyridoxal (PL)
kinase untuk pembentukan pyridoxal-5- fosfat (PLP). Selanjutnya, Yamada dkk. (1990) dan
Nakano dan McCormick (1991) menemukan bahwa Zinc-ATP juga diperlukan oleh flavokinase
untuk sintesis flavin mononukleotida (FMN), prekursor FAD. PLP dan FAD adalah koenzim untuk
sintesis biogenik-amina (Dakshinamurti et al. 1990) dan metabolisme monoamine oxidase (MAO)
(Hsu et al. 1988). Kerentanan proses ini terhadap defisiensi Zinc tidak diketahui.
Hurley dan Swenerton (1966) pertama kali melaporkan bahwa kekurangan Zinc berat
pada tikus selama organogenesis menyebabkan malformasi otak, mereka juga menemukan
penurunan sintesis DNA dalam jaringan otak embrio. McKenzie dkk, 1975 menunjukkan bahwa
kekurangan Zinc ibu selama sepertiga terakhir kehamilan menurun DNA otak, Buell dkk,1977
menunjukkan bahwa defisiensi Zinc menurunkan pertumbuhan otak, DNA, RNA dan konsentrasi
protein pada anak-anak, usia 21 hari. Selain itu, pembagian dan migrasi sel-sel granular eksternal
dari cerebellum juga berkurang. Dvergsten (Dvergsten 1984, Dvergsten et al. 1983, 1984a dan
1984b) menggambarkan efek histologis defisiensi Zinc berat pada cerebellum tikus, usia 21 hari.
Jumlah sel granul relatif terhadap sel Purkinje berkurang, 60%. Pertumbuhan acak Purkinje, sel
basket dan sel-sel stellata menurun dan ketinggian sel Purkinje dendrit arbor dan percabangannya
sangat menurun. Konsisten dengan imaturitas, ribosom dikelompokkan dalam sitoplasma basal sel
Purkinje. Selain itu, sinapsis asimetris antara serat paralel (akson sel granula) dan dendrit dari
Caldwell dkk. (1970) menemukan bahwa tikus dengan defisien Zinc lebih ragu-ragu dan
membuat lebih banyak kesalahan pada labirin air sederhana dibandingkan tikus kontrol dengan
pair-fed. Selanjutnya, Gordon dkk. (1982) menunjukkan bahwa defisiensi Zinc yang berat
menyebabkan kurangnya aktivitas dan perawatan pada tikus tua (300 hari); Massaro (1982)
melaporkan bahwa kekurangan Zinc sedang berkembang kompleks; dan Valdes dkk. (1982)
menemukan hubungan antara lateralisasi Zinc di otak dan preferensi spasial pada tikus.
Golub et al. (1994 dan 1996) mengukur efek kekurangan Zinc"moderat" pada perilaku
primata non-manusia prepubertal dan remaja. Selama lima belas minggu kekurangan Zinc pada
hewan pra-pubertas menurunkan plasma Zinc tetapi tidak memiliki efek nyata pada pertumbuhan.
“Aktivitas motorik spontan lebih rendah dan kinerja fungsi visual-perhatian dan fungsi memori
Pada manusia kekurangan zinc karena diet yang tidak adekuat pertama kali dijelaskan di
antara anak laki-laki petani miskin Iran oleh Prasad et al. (1961). Selanjutnya, kondisi ini
diidentifikasi di antara anak-anak petani Mesir yang miskin yang menampilkan dwarfisme,
hipogonadisme, defisiensi zat besi, cacing tambang dan schistosomiasis. Pasien-pasien ini mirip
dalam penampilan dengan mereka dengan penyakit akibat cacing tambang yang parah yang
dijelaskan pada dekade pertama abad ini oleh Dock dan Bass (1910). Perilaku abnormal terjadi
pada beberapa orang. Pada dekade kedua abad ini, Badan Kesehatan Internasional Yayasan
Rockefeller (1919) melaporkan hubungan antara infeksi cacing tambang dan kinerja kognitif
rendah dalam perekrutan Angkatan Darat AS dan anak-anak dari kota-kota penggilingan di Timur-
Selatan. Tahun yang sama Waite dan Nelson (1919) menemukan hubungan langsung antara tingkat
keparahan infeksi cacing tambang dan gangguan perkembangan mental pada anak-anak dari North
Queensland, Australia. Dan terdapat dugaan bahwa defisiensi Zinc berkontribusi pada kelainan
Dua puluh lima tahun yang lalu Henkin dkk. (1975) menemukan bahwa defisiensi Zinc
yang parah merusak kinerja neuromotor dan kognitif orang dewasa. Dia menginduksi defisiensi
Zinc melalui pemberian dosis besar histidin, yang menyebabkan ekskresi tinggi pada Zinc. Semua
subjek berkembang memiliki indera perasa dan penciuman yang abnormal. Sebagian menjadi
ataksia, sebagian depresi, sebagian berhalusinasi dan beberapa paranoia juga berkembang. Segera
setelah laporan Hen-kin, Moynahan (1976) menjelaskan perilaku abnormal pada pasien dengan
acrodermatitis enteropathica, dan Kay et al. (1976) menemukan perilaku abnormal pada pasien
dengan defisiensi Zinc sebagai akibat dari pemberian parenteral yang tidak adekuat.
Goldenberg dkk. (1995) menemukan berat badan lahir yang lebih tinggi dan ukuran kepala yang
lebih besar di antara bayi dari ibu berpenghasilan rendah yang kelebihan Zinc. Kirksey dkk. (1991
dan 1994) pertama melaporkan hubungan antara diet ibu selama kehamilan dan perilaku setelah
melahirkan bayi. Pasangan ibu-bayi dipelajari di desa Mesir. Konsumsi makanan yang berasal dari
hewan yang kaya dengan Zinc secara positif dikaitkan dengan skor perhatian neonatal yang lebih
tinggi pada Brazelton Neonatal Development Assessment Scale. Pada usia 6 bulan, skor kinerja
motorik pada Bayley Scales of Infant Development berbanding terbalik dengan asupan Zinc ibu
Efek nutrisi Zinc postnatal pada perkembangan bayi dilaporkan oleh Friel et al. (1993).
Pertumbuhan linear dan perkembangan motorik lebih tinggi pada bayi baru lahir, 1500 g yang
diberi 11 mg Zinc / L dari formula sejak lahir hingga 6 bulan dibandingkan dengan bayi yang
diberikan 6,7 mg Zinc / L. Belakangan, Sazawal dkk. (1996) melaporkan bahwa jawaban dengan
10 mg Zinc/hari secara bersamaan dengan vitamin yang membatasi potensi peningkatan aktivitas
dan pengeluaran energi anak-anak India berpenghasilan rendah, usia 12-23 bulan. Demikian pula,
Bentley et al. (1997) menemukan bahwa bayi Guatemala diberikan 10 mg Zinc/hari selama 7 bulan
duduk dan bermain lebih baik dari bayi yang diberikan plasebo. Ashworth dkk. (1998) juga
menemukan bahwa peningkatan Zinc meningkatkan peringkat perilaku. Subyeknya adalah bayi
Brasil berat badan lahir rendah, berusia 12 bulan, yang diberi 5 mg Zinc/hari 6 hari/minggu selama
Pada anak-anak Thatcher et al. (1984) menemukan hubungan langsung antara indeks status Zinc
(konsentrasi Zinc rambut) dan kinerja membaca pada tes standar. Selain itu, koherensi lobus
frontal EEG terkait langsung dengan konsentrasi Zinc pada rambut. Konsisten dengan Thatcher,
Wachs dkk. (1995) menemukan bahwa perilaku pra-remaja tertentu dari anak-anak Mesir
dikaitkan dengan konsumsi makanan yang berasal dari hewan dan kaya akan Zinc.
2.3 Hubungan antara Keterlambatan Bicara dan Bahasa dengan Screen Time