Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahasa

Bahasa dan bicara merupakan dua hal berbeda yang sering tertukar penggunaannya dalam

berkomunikasi oleh banyak orang. Bahasa (language) yang berasal dari istilah latin lingua yang

berarti lidah merupakan suatu alat, sedangkan bicara (speech) merupakan suatu tindakan aktif

untuk menyampaikan isi pikirannya menggunakan alat yang disebut sebagai bahasa.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi

yang arbriter, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,

dan mengidentifikasikan diri. Bahasa juga bisa dikatakan sebagai suatu sistem yang digunakan

secara sukarela dan secara sosial disetujui bersama, dengan menggunakan symbol-simbol tertentu

untuk menyampaikan dan menerima pesan dari satu orang ke orang lain (Soejiningsih).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk., 1998:114) dinyatakan bahwa

berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa, melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan

sebagainya atau berunding. Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud

(ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga

maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (Depdikbud, 1984:3/1985:7). Pengertiannya

secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar. Henry Guntur Tarigan (2008:16),

mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata

untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.

Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk

mengkomunikasikan gagasan-gagasan serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

sang pendengar atau penyimak. Soejiningsih menyebutkan bicara merupakan bentuk bahasa yang
menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan suatu maksud, bicara

merupakan ourput oral dari suatu bahasa. Bicara merupakan suatu keterampilan mental-motorik,

karena bicara tidak hanya koordinasi kumpulan otot yang membentuk suara, tetapi juga memiliki

aspek mental intelektual agar mampu mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan. Dari

beberapa pengertian tersebut, terlihat bahwa bahasa dan bicara memiliki pengertian yang berbeda

tetapi keduanya memang diperlukan untuk terjadinya komunikasi antar masyarakat, dengan bicara

berarti menginformasikan, menyampaikan sesuatu dengan menggunakan alat berupa bahasa yang

telah disepakati oleh pihak yang saling berkomunikasi sehingga terciptakal komunikasi yang

efektif.

2.1.1. Perkembangan Bahasa Normal


Kemampuan bahasa anak dibagi menjadi kemampuan bahasa ekspresif yaitu kemampuan

memproduksi symbol komunikasi dengan berbicara, menulis ataupun menggambar, dan

kemampuan bahasa reseptif yaitu kemampuan untuk mengerti atau memahami simbol-simbol

tertentu. Otak manusia memiliki 3 area khusus yang bertanggung jawab terhadap terhadap

kemampuan berbahasa, yang berpusat pada hemisfer kiri di 94% orang dewasa yang tidak kidal

dan lebih dari 75% orang dewasa yang kidal. Ketiga area utama pada hemisfer kiri anak yang

khusus untuk berbahasa adalah area Broca dan korteks motoric di bagian anterior, dan area

Wernicke di bagian posterior. Informasi yang didapat dari korteks pendengaran primer dan

sekunder akan diteruskan ke bagian kortek temporoparietal posterior (area wernike) yang akan

dioleh dengan ikatan sudah disimpan sebelumnya, kemudian jawaban atau timbal balik dari

informasi tersebut akan disalurkan oleh fasciculus arcuatus ke bagian anterior otak untuk

koordinasi jawaban motorik. Kerusakan pada area Wernicke akan mengakibatkan kelainan bahasa

reseptif dan kerusakan area Broca mengakibatkan kelainan bahasa ekspresif.


Perkembangan bahasa seorang anak memiliki urutan seperti perkembangan motorik halus

dan motorik kasar, keterampilan mengeluarkan bunyi yang memiliki arti juga memiliki urutan

perkembangan yang mengikuti pola tertentu. Menurut M.F Berry dan Eisension tahap

perkembangan bahasa dan bicara anak adalah sebagai berikut:

1. Reflective vocalization

Pada bayi baru lahir sampai dengan usia 6 minggu, bayi akan “berbicara” dengan caranya

sendiri. Pada tahap ini bicara dan bahasa yang keluar dari mulut bayi merupakan aktifitas

yang bersifat reflex, tangisan dan suara yang diproduksi tidak disadari oleh bayi, tanpa

kehendak, bayi masih belum mampu membedakan berbagai macam stimuli dari luar serta

belum bereaksi secara spesifik terhadap stimuli yang berbeda-beda, sehingga bayi hanya

bisa menangis terhadap semua stimuli yang diterimanya. Vokalisasi terjadi akibat udara

yang secara refleks keluar dari paru lewat pita suara sehingga terbentuk suara. Suara yang

terbentuk tidak mempunyai arti sama sekali. Awalnya tangisan bayi terdengar sama, hal

ini disebabkan karena belum matangnya sistem refleks saraf pusat, yang kemudian suara

tangisannya akan terdengar berbeda, seperti misalnya bunyi “ooeeeee……oaaaaaaaa….”,

mirip seperti bunyi vokal, sehingga dinamakan tahap reflective vocalization. Pada akhir

minggu kedua atau ketiga, pengamat/ibu yang jeli sudah dapat membedakan arti tangisan

bayi. Bayi sudah mulai bisa memberikan reaksi yang berbeda terhadap stimuli yang

diterimanya, sudah ada rasa tertarik terhadap wajah dan orang sekitarnya, karena sudah

mulai terjadi maturasi baik fisik maupun mental.

2. Babbling

Pada umur 6 minggu, bayi sudah mulai menunjukkan reaksi terhadap suara yang

dibuatnya. Bayi menyukai suara yang dibuatnya dan sering menghibur dirinya dengan
suara. Tahap ini sering debut sebagai ”masa bayi mengoceh”. Cooi, gurgle, dan

permainan suara umum lainnya akan diikuti oleh perkembangan bicara baru yang disebut

babbling pada umur sekitar 4-9 bulan. Suara yang ditimbulkan bermacam-macam, mulai

dari vokal lalu konsonan, dan kombinasi keduanya. Vokal seperti “a” akan diulang-ulang

nada dan kekerasannya yang berbeda. Kemudian, muncul suara konsonan labial “p” dan

“b” (guttural), “g” (dental), dan terakhir nasal “n, bunyi-bunyi konsonan ini tentunya

akan dikombinasikan dengan bunyi-bunyi vokal, misalnya pa-pa-pa, ba-ba-ba, ga-ga-ga

dan en-en-en atau na-na-na. Suara ocehan pada tahap babbling dapat dikatakan ocehan

dalam bentuk KV (konsonan vokal). Sampai dengan tahapan babbling, perkembangan

pendengaran dan bahasa masih sama pada bayi yang tuli dengan bayi yang tidak tuli.

Karena masih bersifat reflektif dan merupakan respons terhadap stimuli internal, babbling

terjadi baik pada anak yang tuli maupun tidak tuli. Pada bayi yang tidak tuli, diumur 6

bulan, bayi pun sudah memberikan reaksi kalau dipanggil namanya atau menoleh ke arah

sumber suara.

3. Lalling

Setelah tahapan babbling, akan terjadi perbedaan perkembangan bahasa antara anak yang

tuli dan tidak tuli. Mulai dari tahapan lalling, pendengaran mempunyai peran penting.

Tahap lalling juga disebut sebagai tahap mengoceh atau tahap jargon dengan cara meniru

suara yang dimengerti anak dan suara yang sering didengar anak. Ocehan yang diucapkan

bayi sudah dalam bentuk kombinasi konsonan yang juga terdapat dalam tahap babbling.

Akan tetapi pada tahap Lalling adalah terjadi pengulangan (repetition) suara atau

kombinasi suara yang didengar seperti “mam-mam-mam” ketika bayi lapar, atau “ma-

ma” ketika ingin memanggil ibunya. Hal ini menunjukan terdapat hubungan yang
bermakna antara produksi suara dan pendengaran. Tahap ini juga merupakan tahap

latihan untuk beranjak kepengucapan bentuk kata. Pada tahap lalling menunjukan

kemampuan yang lebih tinggi pada koordinasi neuromuskuler dari traktus vokalis, yaitu

ocehan dalam bentuk KVK (konsonan vokal konsonan) Lalling biasanya mulai pada

sekitar umur 6 bulan.

4. Echolalia

Sekitar umur 9-12 bulan, anak sudah bisa meniru (imitation) suara yang dibuat oleh orang

lain dan suara yang sering didengarnya. Pada saat ini, anak sudah siap untuk menirukan

segala macam suara. Mereka akan memilih suara mana yang mudah untuk ditiru dan yang

tidak mudah ditiru (suara yang membingungkan). Dalam usahanya meniru sering diiringi

dengan gesture atau isyarat gerakan tangan. Seringnya pengulangan terhadap apa yang

didengar dari lingkungan belum diiringi dengan pemahaman bahasa tentang makna yang

terkandung dalam ucapannya. Perlu diwaspadai pada bayi yang mengalami gangguan

pendengaran, tahap echolalia tidak akan terjadi.

5. True speech

Pada sekitar umur 12-18 bulan, rata-rata anak sudah mulai bisa berbicara, dalam arti

pemahamannya, namun mungkin artikulasinya belum tepat. Tahap ini mengawali tahap

perkembangan bahasa yang benar, anak akan menangis atau marah apabila ucapan yang

dimaksudkan diartikan berbeda oleh orang lain. Ada anak yang lambat dan ada anak yang

cepat bisa berbicara. Yang dimaksud “berbicara” adalah anak dengan zincaja

menggunakan pola bunyi konvensional (kata-kata), yang merupakan respons terhadap

situasi tertentu dari lingkungannya. Sebelum anak bisa bicara, anak harus mengerti dulu

apa yang dikatakan orang lain (verbal understanding). Keadaan ini menunjukkan bahwa
anak telah merespons baik secara mental maupun motorik terhadap kata-kata yang

diucapkan orang lain. Kalau anak mampu mengerti (verbal understanding), mereka akan

lebih cepat untuk bisa berbicara. Anak pada usia ini mampu mengucapkan rangkaian dua

sampai tiga kata.

Pada anak umur 18-24 bulan, kadang-kadang kosa katanya telah mencapai 30-60 kata

dan kecepatan anak dalam mempelajari bahasa meningkat dramatis. Anak memiliki

kemampuan belajar rata-rata 3-4 kata per hari, dan mulai mengkombinasikan kata ke

dalam suatu frase yang terdiri dari 2 kata. Ketika kalimat panjang bertambah, anak mulai

menguasai elemen struktur bahasa yang lebih spesifik, termasuk kata ganti, kata tanya,

dan kata kerja. Pada umur 3 tahun, pemahamannya sudah sangat baik, yaitu anak sudah

dapat membuat kalimat terdiri dari 3 atau beberapa suku kata, anak mulai bertanya dengan

menggunakan kata tanya “apa”, kemudian menggunakan kata tanya “mengapa”, dan

akhirnya anak dapat terlibat dalam percakapan singkat. Pada umur 4-5 tahun, anak dapat

menyusun kalimat yang kompleks, berpartisipasi dalam percakapan yang lebih bermakna,

dan menuturkan cerita singkat. Selanjutnya kemajuan perkembangan bahasa anak sulit

dibedakan oleh pendengar yang kurang terlatih, dan hanya akan terlihat pada saat

dilakukan tes yang formal.

Setelah proses perkembangan bahasa awal yang kurang spesifik, Steinberg 1982 menjelaskan

mengenai empat proses kemampuan perkembangan bahasa verbal dan tulisan, yaitu fonologi yaitu

kemampuan memproduksi dan membedakan bunyi yang spesifik pada bahasa tertentu, semantika

yaitu kemampuan memahami arti kata termasuk tentang perbendaharaan kata dan jumlah kata

yang diketahui anak, pragmatika yaitu kemampuan anak menggunakan bahasanya untuk

berinteraksi dengan orang lain, serta tata bahasa yaitu kemampuan memahami aturan pada bahasa
tertentu yang akan berkembang seiring dengan semakin seringnya anak belajar mendengar dan

berbicara. Perkembangan fonologi akan berhenti pada usia 7-10 tahun sedangkan perkembangan

semantika, pragmatika dan tata bahasa akan semakin meningkat apabila selalu digunakan dan

distimulasi.

Perkembangan bahasa dan bicara yang normal dapat dilihat di tabel 2.1. Sangat penting

bagi kita untuk mengetahui milestones perkembangan bahasa dan bicara agar dapat menentukan

keterlambatan perkembangan pada anak tersebut adalah keterlambatan bahasa atau keterlambatan

bicara. Normalnya proses bicara seperti disebutkan di atas meliputi proses cooing, babbling,

kemudiaan diikuti dengan kata dan kombinasi kata-kata. Sedangkan perkembangan bahasa yang

normal meliputi stase mengerti dan mengekspresikan yang lebih kompleks dan memerlukan

stimulasi yang terus menerus.

Tabel 2.1. Milestone perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak normal

Umur Bahasa Reseptif Bahasa Ekspresif

(Bulan)

1 Kegiatan anak terhenti akibat suara Vokalisasi yang masih

sembarangan, terutama huruf

hidup

2 Tampak mendengarkan ucapan Tanda-tanda vokal yang

pembicara menunjukan perasaan senang

3 Melihat ke arah pembicara Tersenyum sebagai jawaban

terhadap pembicara
4 Memberi tanggapan yang berbeda Jawaban vokal terhadap

terhadap suara bernada rangsang sosial

marah/senang

5 Bereaksi terhadap panggilan Mulai meniru suara

namanya

6 Mulai mengenal kata “dada, papam Protes vokal seperti berteriak

mama”

7 Berekasi terhadap kata-kata yang Mulai mengeluarkan suara mirip

familiar, seperti “sini, makan” kata-kata kacau

8 Menghentikan aktivitas bila Menirukan rangkaian suara

namanya dipanggil

9 Menghentikan aktifitas ketika Menirukan rangkaian suara

dilarang

10 Secara tepat menirukan variasi suara Kata-kata pertama mulai muncul

tinggi

11 Bereaksi atas pertanyaan sederhana Kata-kata kacau mulai dapat

dengan melihat atau menoleh dimengerti dengan baik

12 Reaksi dengan menggunakan Mengungkapkan kesadaran

gerakan tehadao pertanyaan verbal tentang objek yang telah akrab

dan menyebut namanya

13 Mengetahui dan mengenali nama- Kata-kata yang benar mulai

nama bagian tubuh terdengar diantara kata-kata


yang kacau, sering disertai

gerakan tubuhnya

14 Dapat mengetahui, mengenali dan Lebih banyak menggunakan

menunjuk gambar-gambar objek kata-kata daripada gerakan

yang sudah akrab bila disebutkan untuk mengungkapkan

namanya keinginannya

15 Mengikuti petunjuk yang berurutan Mulai mengombinasikan kata-

kata

16 Mengetahui lebih banyak kalimat Menyebutkan nama sendiri

yang lebih rumit

Setelah mengetahui milestone perkembangan bahasa yang normal, kita dapat menilai dan

memberikan tanda red flag terhadap anak-anak yang perkembangan bahasa dan bicaranya tidak

sesuai dengan umurnya. Pada umumnya proposi kata-kata yang dapat dimengerti oleh orang lain

akan meningkat sesuai dengan umurnya, untuk memudahkannya perkembangan bahasa dapat

diingat dengan “kaidah empat” yaitu usia anak dakam tahun dibagi empat maka hasilnya sama

dengan jumlag kata yang dapat dimengerti. Maka anak-anak yang berusia satu tahun setidaknya

25% suara yang dibunyikan dapat dimengerti, anak usia 2 tahun setidaknya 50% kata dan kalimat

yang dikeluarkan dapat dimengerti, dan pada anak usai empat tahun 100% kata dan kalimat yang

dihasilkan dapat dimengerti oleh orang lain.

2.1.2 Keterlambatan Bahasa dan Bicara


Menurut Leung, Kao 1999, secara umum seorang anak dikatakan terlambat bicara jika

perkembangan bicara anak secara signifikan di bawah standar untuk anak normal dengan usia yang

sama berdasarkan milestones.

Menurut Hurlock (1997), seorang anak dikatakan terlambat bicara apabila tingkat

perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya

sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Apabila pada saat teman sebaya

mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus menggunakan isyarat

dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak

bermain.

Milestones perkembangan bahasa dan bicara memiliki kisaran umur yang cukup luas, hal

tersebut cukup menyulitkan bagi klinisi untuk menentukan apakah anak tersebut mengalami

keterlambatan perkembangan atau belum. Sedangkan keterlambatan bahasa dan bicara memiliki

pengaruh yang besar bagi hubungun sosial anak tersebut. Identifikasi tatalaksana sedini mungkin

dapat meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara anak secara substansial dan akan mengurangi

dampak dari gangguan persisten.

Untuk menghindari keterlambatan identifikasi gangguan perkembangan bahasa dan bicara

pada anak, maka diperlukan pengetahuan mengenai milestone perkembangan bahasa yang normal,

sehingga apabila anak tersebut tidak dapat mencapai perkembangan milestones tersebut maka kita

sebagai klinisi dapat memberikan rambu-rambu/red flag pada orang tua untuk pemeriksaan lebih

lanjut dan pemberian stimulasi. Red flag perkembangan bahasa dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 . Red flag perkembangan bahasa

Umur Keterampilan Umur dikatakan Red flag

(Bulan) bahasa terlambat

Baru lahir Respon terhadap suara Segera setelah lahir Tidak ada respon

terhadap suara

Baru lahir Ketertarikan sosial Segera setelah lahir Tidak tertarik untuk

terhadap wajah dan berinteraksi dengan

orang orang

2-4 bulan Cooing, menoleh 4 bulan Tidak ada respon

kearah suara terhadap setiap usaha

untuk berkomunikasi

setelah umur 4 bulan

4-9 bulan Babbling 9 bulan Kehilangan

kemampuan untuk

babbling

6 bulan Respon terhadap suara 9 bulan Lokalisasi terhadap

arah suara lemah dan

tidak responsive

9-12 bulan Memahami perintah 15 bulan Pemahaman yang

verbal lemah terhadap

perintah verbal rutin

seperti dada
9-12 bulan Menunjuk 15 bulan Sekali-kali dapat

menunjuk untuk

menyatakan

keinginannya, tetapi

tidak bisa menunjuk

benda yang menarik

perhatiannya

10-16 Memproduksi kata- 18 bulan Gagal menggunakan

bulan kata tunggal kata-kata, gagal

menambah kata-kata

baru, kehilangan kata-

kata yang sebelumnya

telah didapat.

10-16 Menunjuk bagian- 18 bulan Tidak bisa menunjuk

bulan bagian tubuh dan bagian-bagian tubuh

memahami kata-kata atau tidak bisa

tunggal mengikuti perintah

sederhana

18-24 Memahami kalimat 24 bulan Pemahaman minimal

bulan sederhana dan bermain simbol

yang terbatas

18-24 Perbendaharaan kata 30 bulan Kurang dari 30 kata-

bulan meningkat pesat kata pada umur 24


bulan atau kurang dari

50 kata pada umur 30

bulan

18-24 Mengucapkan kalimat 30 bulan Gagal membuat

bulan yang terdiri dari 2 kalimat yang terdiri

kata-kata/lebih dari 2 kata, ketika

perbendaharaan kata

>50 kata

30- 36 Pengertiannya bagus 36 bulan Lebih setengah dari

bulan terhadap percakapan percakapan keluarga

yang sudah familiar yang dimengerti,

pada keluarga setelah anak umur

lebih dari 2 tahun

30-36 Percakapan melalui 36 bulan Sering menirukan

bulan tanya jawab terhadap apa yang

dikatakan orang

30-42 Mampu bercerita 42 bulan Tidak sepenuhnya bisa

bulan pendek atau mampu menceritakan kembali

bertanya “mengapa”

36-48 Pengertiannya bagus 48 bulan Lebih dari seperempat

bulan terhadap kata-kata kata-katanya tidak

yang belum familiar bisa dimengerti oleh


orang lain setelah

umur 4 bulan

36-48 Mampu membuat 48 bulan Hanya mampu

bulan kalimat yang menggunakan kalimat

sempurna pendek dan sederhana

5 tahun Mampu memproduksi 5 tahun Salah melafalkan

semua bunyi konsonan seperti b,p,

d, t, p, k, m, n, l, r, w,

7 tahun Mampu memproduksi 7 tahun Kurang mampu

semua bunyi mengucapkan

kombinasi huruf

seperti st, sh, sp

Sumber: Feldman HM. “Language Disorders”. Dalam: Berman S. penyunting. Pediatric Decision
Making.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby, 2003. H. 94-97

2.1.2.1 Faktor Resiko Keterlambatan Bahasa

Beberapa studi yang meneliti mengenai faktor-faktor risiko untuk keterlambatan bicara dan

bahasa menunjukkan hasil yang tidak konsisten, sehingga The US Preventive Services Task Force

tidak dapat mengembangkan daftar faktor risiko tertentu untuk memandu dokter perawatan primer

dalam menyaring anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara secara lebih selektif. Faktor

risiko yang paling konsisten dilaporkan adalah riwayat keluarga bicara dan keterlambatan bahasa,

jenis kelamin laki-laki, bayi kurang bulan, dan bayi berat lahir rendah. Sedangkan faktor risiko
lain yang berkaitan dengan terjadinya keterlambatan bicara dan bahasa yang sedang dipelajari

adalah asfiksia, fungsi keluarga, bilingualisme, pengasuh utama, penggunaan alat permainan

edukatif, dan screen time (Leung & Kao, 1999; McLaughlin, 2011; Soetjiningsih, 2013; AAP,

2017).

Keterlambatan bahasa lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan pada perempuan

(Leung dkk, 1999;Hidajati, 2009, Hertanto dkk., 2011) hal ini secara teori dikatakan bahwa level

tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri

(Hidajati, 2009).

Riwayat bayi lahir kurang bulan sering terdapat pada anak yang mengalami keterlambatan

bahasa, hal ini berhubungan dengan berat badan lahir yang rendah. Pada beberapa penelitian

dikatakan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir rendah terdapat abnormalitas white

matter pada otaknya. Abnormalitas white matter ini selanjutnya berhubungan dengan rendahnya

skor penguasaan bahasa pada anak (Rechia dkk., 2006, NICOLA 2018). Selain itu berat badan

lahir rendah merupakan indikasi bahwa nutrisi yang didapatkan belum maksimal sehingga

perkembangan beberapa bagian terutama organ otak menjadi tidak optimal, sehingga dalam

perkembangannya mengalami keterlambatan (Amin dkk., 2009). Bayi kurang bulan yang

dilakukan uji provokasi dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) didapatkan hasil

yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan (Rischie dkk., 2006).

Asfiksia neonatorum atau asfiksia perinatal merupakan kondisi dimana bayi baru lahir

tidak langsung bernafas, sehingga terjadi gangguan pada pertukaran gas respirasi (oksigen dan

karbondioksida) yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia, yang dapat disertai dengan

asidosis metabolik. Asfiksia neonatorum merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga pada bayi

baru lahir setelah prematuritas dan sepsis. Asfiksia menyebabkan hiperpolarisasi jaras-jaras sel
saraf dalam otak yang mengakibatkan penurunan jumlah neurotransmiter yang dilepaskan

sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf. Selain itu, asfiksia juga dapat mengakibatkan

peningkatan glutamat dan gangguan proses apoptosis. Apabila gangguan ini terjadi pada saraf

pendengaran, maka dapat mengakibatkan gangguan pendengaran (Antonucci, 2014).

Malnutrisi juga merupakan faktor resiko terjadinya gangguan bahasa dan bicara. Malnutrisi

didefinisikan sebagai keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup, dan dapat

juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi

untuk mempertahankan kesehatan (Oxford, 2007), merupakan salah satu faktor risiko mayor yang

berhubungan dengan keterlambatan perkembangan pada sisi kognitif, motorik, sosial dan perilaku,

prestasi sekolah, dan perkembangan psikomotor. Keadaan ini berpotensi menimbulkan

permasalahan pada proses perkembangan otak yang berlangsung dengan pesat, yang terjadi pada

tahun pertama kelahiran, sejalan dengan efek samping jangka panjang terhadap struktur otak dan

kapasitas fungsional (Jimoh dkk., 2017). Berdasarkan penelitian sebelumnya pengaruh dari

malnutrisi dengan kemampuan pendengaran dan bahasa ditemukan bahwa malnutrisi

menyebabkan hambatan dalam pematangan jalur pendengaran dan memengaruhi sistem

pendengaran sentral dan perifer. Defisiensi nutrisi bahkan dalam bentuk akut, menghambat fungsi

normal dari telinga tengah, dengan konsekuensi terjadi pengaruh negatif pada keseluruhan sistem

pendengaran. Anak dengan gangguan sistem pendengaran selanjutnya berisiko terhadap terjadinya

keterlambatan bicara dan bahasa

Jumlah anak dan urutan anak dalam suatu keluarga merupakan salah satu faktor resiko

yang ditemukan dalam beberapa penelitian, keterlambatan perkembangan bahasa umumnya

terjadi pada anak pertama dan anak yang memiliki jumlah saudara yang banyak. Pada anak

pertama hal ini disebabkan karena pola asuh yang kurang tepat, dan pada anak yang memiliki
saudara banyak insiden keterlambatan bahasa karena berhubungan dengan komunikasi antara

orangtua dan anak yang kurang intesitasnya. (Hartanto dkk., 2009).

Faktor resiko lainnya berupa pendidikan ibu yang rendah di bawah SMA menyebabkan ibu

kurang perhatian terhadap perkembangan anak dan kosakata yang dimiliki ibu juga kurang

sehingga tidak mampu melatih anaknya untuk bicara (Hartanto dkk, 2009).

Penggunaan dua bahasa atau lebih di rumah dapat memperlambat kemampuan anak

menguasai kedua bahasa tersebut. Anak dari orang tua yang menggunakan dua bahasa (bilingual)

dalam komunikasi sehari-sehari, dapat menunjukkan keterlambatan bicara dan bahasa minor pada

fase awal. Anak yang tumbuh pada lingkungan bilingual memiliki beberapa tipe dalam

mencampurkan beberapa bahasa yang mengurangi kecepatan dalam perkembangan bahasa

(McLaughlin, 2011).

Sebagian besar anak mulai berbicara pada usia 10 sampai 18 bulan, namun kemampuan

pengertian anak terhadap kata-kata dimulai sejak sebelum usia tersebut. Hal ini bergantung pada

lingkungan anak tersebut untuk memberikan stimulasi pada otak anak untuk berkembang, semakin

sering anak-anak mendengarkan suara ataupun bunyi-bunyian maka akan menstimulasi otak anak

sehingga mereka mampu untuk mengingat dan mengulang bunyi tersebut. Anak juga akan mulai

mengerti irama dan pola bicara dengan semakin sering anak tersebut mendengarkan. Setelah anak

mendengar, menonton dan berpartisipasi pada rangsangan di sekitar mereka, anak mulai

menguasai bahasa. Salah satu jenis stimulasi adalah melalui Alat Permainan Edukasional (APE),

alat ini dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya, dan tingkat

perkembangannya, serta berguna untuk perkembangan fisik-motorik (motorik kasar dan motorik

halus), bahasa, kognitif dan sosial (Soetjiningsih, 2015). Menurut Badru Zaman (2010) APE

memiliki beberapa fungsi seperti menciptakan situasi bermain (belajar) yang menyenangkan bagi
anak, menumbuhkan rasa percaya diri dan membentuk citra diri anak yang positif, memberikan

stimulasi dalam pembentukan prilaku dan pengembangan kemampuan dasar, memberikan

kesempatan anak bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya. Dengan bermain

menggunakan APE maka akan merangsang semua aspek perkembangan untuk besosialisasi dan

berkomunikasi dengan teman sebaya. Beberapa bentuk APE diantaranya balok, boneka, puzzle,

kotak alfabet, kartu lambang bilangan, alat mewarnai, buku, dan majalah.

Anak-anak masih bergantung pada perhatian yang diterima dari orang lain, umumnya

perhatian didapatkan dari sosok lekat sang anak, pengasuh anak yang dapat berupa orang tua

kandung, kakek atau nenek, atau babysitter. Pengasuh yang sensitif dan responsif diperlukan untuk

memperoleh perkembangan neuropsikologikal, fisis dan psikologis anak. Sensitif merupakan

suatu kewaspadaan pada anak dan perilaku anak dan vokalisasi sebagai bentuk sinyal komunikasi

yang menandakan suatu kebutuhan dan keinginan. Responsif merupakan kemampuan dari

pengasuh untuk memberi respon secara kontingen dan sesuai dengan sinyal yang diberikan anak.

Untuk memastikan terpenuhinya kesehatan dan perkembangan anak, pengasuh harus sensitif

terhadap kondisi fisis anak dan mampu menentukan apakah anak merasa lapar, lelah, keinginan

berkemih, atau nyeri. Pengasuh yang responsif mampu membuat keputusan karena pengasuh

memonitor pergerakan, ekspresi, warna, temperatur, dan hal yang disukai anak. Dengan

memperhatikan respon anak secara terus menerus, pengasuh mampu menyesuaikan respon mereka

untuk mencapai luaran yang optimal, seperti memberikan rasa nyaman pada anak, menidurkan

anak, dan mendorong anak untuk makan saat sakit (WHO, 2004). Berdasarkan studi yang ada saat

ini mengindikasikan hubungan antara anak dengan pengasuh memiliki peran vital dalam

perkembangan anak yang meliputi kemampuan kontrol diri anak, perkembangan kognitif,

penguasaan bahasa, dan penyesuaian sosioemosional. Terdapat berbagai studi yang menunjukkan
kualitas hubungan antara anak dengan pengasuh sebagai faktor yang berperan besar dalam

perkembangan psikologis dan kepribadian anak (WHO, 2004). Clarke-Stewart dkk., (1979)

mengemukakan terdapat interkorelasi dan asosiasi positif pada perilaku stimulasi interaktif dari

ibu dengan kemampuan kognitif, bahasa dan sosial anak. Studi ini menemukan tidak ditemukan

adanya hubungan antara status ekonomi dengan tingkat pendidikan ibu. Carlson (1998)

melaporkan kualitas pengasuhan anak dan interaksi sejak dini berhubungan dengan fungsi

sosioemosional dan perilaku pada berbagai usia.

Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan

perkembangan bahasa pada anak. Hal ini disebabkan karena orangtua yang tidak mampu secara

ekonomi akan lebih fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya dan mengabaikan

perkembangan anaknya, disamping itu pada keluarga yang memiliki sosial ekonomi rendah juga

rawan untuk terjangkit penyakit infeksi yang memungkinkan terjadinya gangguan saraf dan

kecacatan (Perna, 2013).

Screen time merupakan waktu yang dihabiskan di depan layar, termasuk telepon genggam,

tablet, televisi, video games, komputer, maupun teknologi yang dapat digunakan (Canadian

Pediatrics Association, 2017). Barber dkk., 2017 mengestimasi 75% anak usia 12 bulan dengan

peningkatan durasi menonton televisi (<1 jam per hari pada usia 14 bulan menjadi >2 jam per hari

pada usia 30 bulan). Beberapa studi longitudinal yang dilakukan terhadap pengaruh menonton

televisi, menunjukkan durasi menonton televisi setiap hari pada anak usia 1 dan 3 tahun

berhubungan dengan masalah pemusatan perhatian pada usia 7 tahun. (Christakis dkk, 2004), dan

menonton televisi sebelum usia 3 tahun berhubungan dengan penurunan kemampuan membaca,

pemahaman membaca, dan daya ingat terhadap angka pada usia 6 sampai 7 tahun. (Zimmerman

& Christakis, 2005).


2.1.2.1 Etiologi Keterlambatan bicara

Penyebab keterlambatan bahasa dan bicara sangat banyak dan bervariasi. Gangguan

tersebut ada yang ringan sampai yang berat. Penyebab keterlambatan bicara bisa terjadi gangguan

mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otot atau organ pembuat suara.

Menurut Leung gambaran diagnosis perkembangan pada anak pra sekolah dengan

gangguan bicara didapatkan DLD (56%), learning disability (26%), retardasi mental (24%),

hearing loss (9%), autisme (5%), kejang (4%). Global delay pada penelitian ini didapatkan adanya

keterlambatan dari 4 sektor perkembangan pada tiga anak dengan penyakit kronik yakni PJB

sianotik, kardiomopati dengan gagal tumbuh dan anemia kronik.

Keterlambatan bahasa dan bicara dapat merupakan manifestasi klinis beberapa penyakit

dasar. Menurut Leung 1999, gangguan perkembangan bahasa pada anak pra sekolah dikarenakan

adanyanya penyakit dasar seperti seperti Development Language Disorder (DLD) (56%),

gangguan belajar (26%), retardasi mental (24%), ketulian (9%), autisme (5%), kejang (4%). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Maddeppungeng, 2006 keterlambatan bahasa juga dapat terjadi

pada anak-anak yang memiliki penyakit kronik seperti PJB sianotik, kardiomiopati dengan gagal

tumbuh dan anemia kronik, serta pada anak dengan serebral palsi, hipotiroid kongenital, sindrom

down, attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Selain itu Mutisme selective, gangguan

bicara reseptif, gangguan bicara ekspresif, kelainan organ bicara. Pada anak yang terdiagnosis

dengan gangguan psikiatri, ditemukan prevalens kejadian gangguan bicara-bahasa berkisar 40%

hingga 80%. (ELS) Atau merupakan manifestasi klinis primer tanpa adanya penyakit dasar yang

menyebabkan gangguan perkembangan bahasa seperti keterlambatan maturasi, deprivasi


lingkungan, dua bahasa dalam lingkungan, status ekonomi sosial, teknik pengajaran salah, sikap

orangtua (Campbell, 2013).

Etiologi seorang anak menjadi terlambat bicara dan bahasa dapat dikelompokkan menjadi

dua bagian yaitu gangguan perkembangan bahasa primer dan sekunder.

Pada gangguan perkembangan bahasa primer terjadi keterlambatan kemampuan bahasa

dan bicara pada anak yang memiliki intelegensi normal, tidak memiliki gangguan psikiatri, dengan

indra pendengaran yang normal dan organ artikulasi yang baik.(vurginia) Gangguan bahasa yang

terjadi pada kelainan primer umumnya berupa keterlambatan bahasa dan bicara, keterlambatan

bahasa ekspresif dan keterlambatan bahasa reseptif akibat kurangnya stimulasi, sehingga dengan

tatalaksana yang efektif akan memiliki prognosis yang baik apabila tindakan intervensi dilakukan

sedini mungkin. (Virginia)

Gangguan perkembangan bahasa sekunder terjadi karena anak tersebut memiliki penyakit

dasar yang mempengaruhi kemampuan anak tersebut untuk berbahasa, seperti kelainan genetic

beberapa kromosom tertentu, kecacatan fisis organ-organ yang berperan dalam proses berbahasa

dan berbicara seperti organ pendengaran dan organ artikulasi, malformasi neurologis yang

mempengaruhi fungsi otak sehingga kemampuan perkembangan bahasa menjadi terhambat.

Gangguan bahasa dan bicara karena kerusakan kromosom 1,3,6,7, dan 15. Kerusakan pada

kromosom ini berhubungan dengan gangguan membaca karena kromosom tersebut membawa gen

yang memengaruhi perkembangan sel saraf saat prenatal (Korbin, 2008). Anak dengan sindrom

down yang memiliki kelainan pada kromosom 21 juga menunjukkan gambaran kemampuan verbal

di bawah kemampuan yang diharapkan. Anak dengan sindrom Klinefelter dan Fragile X juga dapat

menunjukkan gejala keterlambatan bahasa tanpa memiliki gambaran fisis yang khas.
Cacat fisis yang berhubungan dengan gangguan bahasa dan bicara adalah adanya kondisi

fisik yang menyebabkan gangguan penghantaran suara, adanya gangguan pada sistem pernafasan,

laring dan struktur oral dapat menyebabkan gangguan bicara. Disamping itu adanya cacat pada

telinga dan bagian pendengaran juga menyebabkan anak mengalami gangguan perkembangan

bahasa dan bicara karena stimulasi menjadi berkurang. Gangguan pada pendengaran dapat

ditemukan pada anak dengan mikrotia. Gangguan yang lain adalah yang memengaruhi artikulasi

seperti abnormalitas bentuk lidah, frenulum yang pendek, atau adanya celah di langit-langit mulut

(Perna, 2013). Selain itu kemampuan bicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai

jika input sensoris (auditoris) dan motorik dalam keadaan normal (Suwento, 2014). Gangguan

pada pendengaran dapat pula disebabkan karena gangguan perifer ataupun sentral. Gangguan

perifer dapat diakibatkan oleh gangguan pendengaran konduktif (Conductive Hearing Loss/CHL)

dan sensorineural (Sensorineural Hearing Loss/SNHL). CHL biasanya terjadi karena abnormalitas

perkembangan atau fungsi strukur telinga tengah dan luar sebagai akibat dari sekuensi sindrom

Pierre Robin, mikrotia, eksposur terhadap teratogen (contohnya Thalidomide) pada masa

kehamilan, otitis media kronis, disfungsi tuba eustachius, dan fraktur pada tulang tengkorak.

SNHL diakibatkan oleh abnormalitas struktur atau fungsi dari koklea atau persarafan koklear.

Penyebab SNHL secara genetik ditemui pada sindrom Alport, Pendered, Stickler, Usher tipe 1-3,

Waardenburg tipe 1-4, Perrault, dan Connexin. Penyebab yang didapat diantaranya oleh karena

iskemia hipoksik, infeksi kongenital oleh karena toxoplasmosis, sitomegalovirus,

hiperbilirubinemia, sepsis neonatal atau meningitis neonatal, meduloblastoma dan schwanoma

vesibular. Gangguan pendengaran tipe sentral sering diakibatkan oleh sindrom Landau-Kleffner

dan hiperbilirubinemia (Rosenbaum dan Simon, 2016).


Malformasi neurologi mencakup gangguan perkembangan neurologis, yaitu kegagalan

untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki, yang disebabkan oleh

adanya lesi (defek) dari otak yang terjadi pada periode awal pertumbuhan otak. Penyebab

gangguan dapat terjadi pada masa pranatal, perinatal maupun pascanatal. Pada kondisi ini, riwayat

kehamilan dan persalinan harus ditelusurin, termasuk adanya infeksi TORCH (toxoplasmosis,

rubella, cytomegalovirus, and herpes simplex) pada masa kehamilan, serta obat-obatan yang

dikonsumsi oleh ibu disaat kehamilannya (Nicola woles). Keterlambatan bicara dan bahasa juga

merupakan gambaran penyakit neurologis. Anak dengan palsi serebral berat memiliki masalah

dengan bahasa atau produksi dan koordinasi bicara. Epilepsi yang melibatkan hemisfer kiri, seperti

sindrom Landau-Kleffner dapat memengaruhi perkembangan dan penggunaan bahasa. Anak laki-

laki dengan Duchenne muscular dystrophy dapat menunjukkan keterlambatan bicara dan bahasa

sejak usia dini sebelum atau sejalan dengan timbulnya gejala kelemahan otot. (Purwadi, 2007).

2.1.3 Deteksi Gangguan Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa seorang anak dapat dihitung dengan membagi usia pencapaian

perkembangan bahasa dengan umur kronologisnya, contohnya anak usia 24 bulang dengan tingkat

perkembangan bahasa sesuai anak usia 18 bulan, maka tingkat perkembangan bahasanya dikatakan

75%. Secara umum anak dengan tingkat perkembangan bahasa yang kurang dari 75% dari yang

seharusnya, maka anak tersebut mengalami keterlambatan bahasa secara klinis dan memerlukan

evaluasi lebih lanjut.

Identifikasi awal dari keterlambatan bicara harus mencakup dua masalah dasar. Yang

pertama adalah cara memperoleh informasi yang valid pada anak dengan usia dini yang kadang

tidak mematuhi instruksi saat diperiksa, terutama anak dengan kemampuan komunikasi yang
terbatas sebagai fokus utama. Selanjutnya, alat yang digunakan untuk memeriksa keterlambatan

bicara harus bersifat murah, tidak menghabiskan waktu, dan dapat diaplikasikan secara luas pada

berbagai tingkatan sosial dan latar belakang bahasa yang berbeda, termasuk pada kelompok

bilingual. Analisis dan sampling bahasa memerlukan waktu yang substansial dan kemampuan

ekspertise profesional (Dale & Patterson, 2017).

American Academy of Pediatrics merekomendasikan agar melakukan surveilans

perkembangan pada setiap kontrol anak sehat dan melakukan skrining perkembangan pada anak

yang kontrol pada usia 9, 18, dan 30 bulan atau pada anak-anak yang dicurigai memiliki

keterlambatan atau kelainan perkembangan (yang ditemui saat surveilans perkembangan) (AAP,

2017).

Capute scales merupakan alat skrining dan diagnosis yang dapat menilai secara akurat aspek

perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-motor yang digunakan secara

universal. Capute scales merupakan salah satu alat skrining dan diagnosis yang dapat mengukur

secara cepat dan mudah dari aspek bahasa dan visual-motor sejak masa bayi dan kanak usia dini

sehingga dapat dilakukan intervensi sehingga memberikan hasil yang terbaik (Accardo & Capute,

2005).

Capute Scales

Gangguan perkembangan khususnya keterlambatan bicara dapat diskrining dengan menggunakan

metode Capute Scales (cognitive adaptive test/clinical linguistic auditory milestone scale-

CAT/CLAMS). Uji skrining spesifik metode Capute Scales (CAT/CLAMS) dapat digunakan

untuk mendiagnosis adanya gangguan perkembangan bahasa dan fungsi kognitif pada usia 0-36

bulan. Metode uji tapis CAT/CLAMS dipilih karena dapat menilai kuantifikasi developmental

quotient (DQ) yang memberikan diagnosis banding gangguan perkembangan anak.


Prosedur pemeriksaan CAT/CLAMS:

1. Pemeriksaan gugus tugas dimulai dari 2 tingkatan usia lebih rendah dari perkiraan usia

perkembangan bahasa anak tersebut (usia basal).

2. Lanjutkan sampai tercapai tingkatan usia kemampuan bahasa yang tertinggi (usia ceiling).

3. Seluruh respons terhadap penilaian dicatat dalam lembar penilaian sebagai:

a. “lulus” bila anak mampu/dilaporkan oleh orang tua mampu melakukan gugus tugas dengan

benar

b. “gagal” bila anak tidak mampu/dilaporkan oleh orang tua tidak mampu melakukan gugus

tugas dengan benar

4. Setiap gugus tugas mempunyai bobot nilai tertentu.

5. Jumlahkan nilai gugus tugas yang mampu (lulus) dilakukan anak di antara usia basal dan

ceiling.

6. Hitung Developmental Quotient (DQ) = usia ekuivalen dibagi usia kronologis, kemudian

dikalikan 100.

Cara menentukan usia basal:

Lakukan pemeriksaan gugus tugas mulai dari usia perkiraan ke arah tingkatan usia yang lebih

muda sampai ditemukan 2 tingkatan usia di mana anak mampu (lulus) melakukan semua gugus

tugas.

Cara menentukan usia ceiling:

Lakukan pemeriksaan semua gugus tugas yang berada di atas tingkatan usia basal, sampai

ditemukan tingkatan usia di mana anak tidak mampu (gagal) melakukan semua gugus tugas di

suatu tingkatan.

Cara menghitung usia ekuivalen:


Usia basal ditambah total bobot nilai desimal dari gugus tugas di atas usia basal yang mampu

(lulus) dilakukan oleh anak.

Interpretasi nilai DQ:

1. Normal: jika DQ pada kemampuan bahasa dan visual-motornya >85, dengan demikian Full

Scale Developmental Quotient (FSDQ) juga >85.

2. Suspek: jika DQ pada satu atau kedua aspek <85 tetapi >75 (DQ: 75-85).

3. Retardasi mental: jika kedua aspek (bahasa dan visual-motor) menghasilkan DQ <75.

4. Gangguan komunikasi: jika aspek bahasa terlambat (delayed), tetapi aspek visual-motor dalam

batas normal (DQ >85), disosiasi di antara 2 aspek kognitif dari perkembangan ini sangat khas

pada berbagai gangguan komunikasi.

2.1.4 Penatalaksanaan Keterlambatan Bahasa

Studi menunjukkan terapi wicara dan bahasa efektif pada anak dengan masalah phonologi atau

kosa kata, namun studi pada anak dengan masalah gangguan bahasa reseptif masih sangat sedikit.

Hasil yang berbeda juga ditemukan terkait efektivitas dari intervensi penyampaian bahasa

ekspresif. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara terapi yang diberikan oleh paramedis dengan

yang dilakukan oleh orang tua yang sudah terlatih, dan tidak ada perbedaan antara intervensi yang

diberikan secara kelompok maupun individual. Penggunaan bahasa sehari-hari dengan teman

sebaya saat terapi menunjukkan hasil yang positif terhadap luaran terapi (Law, Garret dan Nye,

2016)

2.2 Zinc
Zinc merupakan salah satu trace elemen yang sangat diperlukan oleh manusia. Awalnya

zinc ditemukan pada tahun 1986 pada tanaman, Todd dkk (1934) pertama kali menemukan zat

gizi mikro zinc sebagai zat gizi mikro esensial bagi pertumbuhan tikus, dan baru pada tahun

1961 Prasad dkk menemukan peranan zinc yang sangat esensial bagi kesehatan manusia. Saat

itu di Iran ditemukan banyak anak laki-laki berusia 10-21 tahun mengalami pertumbuhan yang

terhambat, anemia, hati dan limpa membengkak, alat-alat kelamin mengecil, kulit kering dan

gangguan mental. Ternyata riwayat dietnya mengandung zat gizi yang menghambat absorbsi

mikro zinc yang sangat tinggi. (JMRS 2013 dan dr nugroho)

Zinc termasuk dalam kelompok gizi mikro yang mutlak dibutuhkan, meskipun dalam

jumlah yang sangat kecil, untuk memelihara kehidupan yang optimal. Tubuh manusia

mengandung kurang lebih 2-3 gram zinc. Sebagian besar zinc berada di otot skeletal (60%), tulang

(30%), hati dan kulit (5%) serta jaringan lain seperti mata, kelenjar prostat, kulit, rambut dan kuku

yang mengandung zinc sebanyak 2-3% dari jumlah zinc total dalam tubuh (Kambe dkk., 2015).

Zinc juga terdapat di dalam serum, namun hanya sekitar 0,1% dari total zinc di dalam tubuh, dan

memiliki masa pergantian yang lebi cepat dibandingkan zinc yang tersimpan di dalam jaringan.

Peranan zinc bagi manusia diantaranya adalah sebagai kofaktor lebih dari 300 enzim serta

menstabilisasi struktur protein termasuk berfungsi sebagai enzim yang menghantarkan signal pada

proses transduksi dan transkripsi. Sumber zinc terdapat dalam makanan maupun dalam bentuk

suplemen. Sumber makanan penghasil zinc terbaik adalah makanan laut, daging dan biji-bijian

(Chasapis dkk., 2012).


2.2.1 Homeostasis Zinc

Penyerapan zinc pada permukaan sel di saluran pencernaan umumnya lebih baik pada

kondisi cair. Sebagian besar penyerapan zinc terjadi di usus kecil yaitu pada duoneum dan

jejunum, akan tetapi mungkin saja penyerapan zinc dapat terjadi di seluruh saluran cerna, karena

penelitian sebelumnya mengatakan bahwa protein transporter zinc ternyata diproduksi di epitel-

epitel yang melapisi seluruh saluran pencernaan.

Absorbsi zinc bergantung pada kadar zinc di dalam darah, jika kadar zinc di dalam darah

rendah maka zinc akan lebih banyak diserap. Namun, jika kadar zinc tinggi dan kadar zinc yang

diserap tinggi, maka mukosa dinding usus halus akan membentuk protein metalotionein yang akan

mengikat zinc dan masuk ke aliran darah. Zinc yang diserap akan dibawa oleh albumin dan

transferin ke hati. Kelebihan zinc tersebut akan disimpan di hati dalam bentuk metalotionein, di

pankreas dan di jaringan tubuh lainnya. Di dalam pankreas, zinc digunakan untuk membuat enzim

pencernaan yang akan dikeluarkan ke dalam saluran cerna pada waktu makan. Sirkulasi zinc di

dalam tubuh yang berasal dari pankreas dan kembali ke pankreas disebut sirkulasi

enteropankreatik. Jadi dapat disimpulkan bahwa saluran cerna menerima zinc dari dua sumber

yaitu, makanan dan pankreas. (Agustian dkk., 2009; Kambe dkk., 2015).
Terdapat 2 kelompok transporter zinc yaitu: ZincT dengan 10 anggota dan ZIP dengan 14 anggota
[3]. Keluarga protein ZincT bertugas menurunkan konsentrasi zinc intraseluler sementara protein
ZIP bertindak untuk meningkatkan kadar zinc intraseluler. Lebih dari separuh protein ini
diekspresikan dalam enterosit atau garis sel mirip-enterosit; contohnya HT-29 dan Caco-2. Sebuah
ulasan muncul yang mengintegrasikan lokasi dan fungsi yang jelas dari transporter ini dengan
kejadian yang terkait dengan proses absorpsi. Untuk tujuan laporan ini, pergerakan zinc diet ke
dalam sirkulasi sistemik akan dibagi menjadi langkah uptake, transelular, dan langkah efluks
dengan perhatian juga diberikan terhadap fungsi zinc di dalam sel-sel usus.

Transport Apikal Zinc oleh Enterosit

Pada gangguan malabsorpsi zinc, seperti pada acrodermatitis enteropathica, diproduksi berbagai
mutasi pada protein zinc yaitu hZip4, Karena defek pada Zip4 menghasilkan protein ZIP4 yang
mengurangi efisiensi transportasi, maka pada kondisi ini relevan bahwa kondisi tersebut dapat
diatasi dengan suplemen zinc. Menimbang bahwa hZip4 memiliki beberapa polimorfisme,
kemungkinan bahwa ini menghasilkan perubahan aktivitas transpor ZIP4. Perbedaan tersebut
dapat mengubah struktur dan fungsi ZIP4 sebagai molekul transporter zinc. Ketergantungan
afinitas transporter dapat mempengaruhi efek bioavailabilitas pada penyerapan zinc. Polimorfisme
ini belum diselidiki. Studi imunofluoresensi telah mendokumentasikan bahwa ZIP4 terletak di
membran apikal enterosit [5, 6]. Kelebihan protein meningkat dengan defisiensi zinc [5 - 7].
Kapasitas ZIP4 untuk mengangkut zinc dibuktikan pada sel transfected tetapi tidak secara
langsung di sel epitel usus. Dalam sistem model ini, transportasi yang dimediasi ZIP4
menghasilkan penyerapan zinc yang jenuh [5, 8]. Zip4 diekspresikan di perut, usus kecil, dan kolon
[5 - 7] dan baru-baru ini ditemukan diekspresikan dalam sekum (Maki dan Cousins, hasil yang
tidak dipublikasikan). Peran penting yang dimainkan ZIP4 dalam transportasi zinc ditunjukkan
melalui embrionik letal pada model tikus knockout Zip4 [7].

Mekanisme untuk menjelaskan Zip4 up-regulasi pada pembatasan zinc pada tikus atau kultur sel
mungkin melibatkan banyak proses. Telah ditunjukkan bahwa pembatasan zinc mempengaruhi
stabilitas mRNA Zip4 [8]. Selanjutnya, transkripsi Zip4 ditingkatkan terkait dengan pembatasan
zinc telah dikaitkan dengan up-regulasi faktor transkripsi (TF) Kruppel-like factor 4 (KLF4) [9].
TF ini diekspresikan dalam saluran cerna dan dikenal untuk mengatur ekspresi enzim dan protein
intestinal yang penting; e. g., alkali fosfatase usus (IAP), yang memiliki fungsi pelindung mukosa
usus [10]. Promotor Zip4 memiliki beberapa situs pengikatan KLF4. Ketika ekspresi KLF4
dihambat oleh siRNA atau situs KLF4 dari Zip4 bermutasi, aktivitas promoter Zip4 tidak responsif
terhadap pembatasan zinc dan transportasi 65Zinc oleh sel usus tikus menurun [9]. Untuk
mendukung peran KLF4, dalam sel usus (HT-29) berasal dari kolon, chelation zinc yang
dihasilkan oleh molekul antikanker juga mengatur KLF4 [11]. Seperti yang baru-baru ini
ditunjukkan pada absorpsi zat besi, TF memainkan peran dalam mengatur protein yang terlibat
dalam homeostasis besi [12]. Kemungkinan ekspresi Zip4 pada tingkat mRNA diatur oleh
transkripsi dan degradasi yang bertindak bersama untuk respon adaptif terhadap ketersediaan zinc
usus. Protein ZIP4 juga responsif terhadap zinc seluler dengan perubahan endositosis pada
membran plasma dan ubiquitinasi dan degradasi [13, 14].

ZincT5 (varian B) juga telah dilokalisasi ke membran plasma apikal usus manusia dan sel Caco-
2. Transportasi dimediasi oleh ZincT5 pada Xenopus oocytes menunjukkan transportasi dua arah
[15, 16]. Ini adalah transporter pertama yang disarankan dengan sifat dua arah. Mungkin aktivitas
semacam itu bisa berfungsi sebagai penyangga. Tikus knockout ZincT5 memiliki fenotipe yang
diubah [17], tetapi pengaruh pada penyerapan usus belum dilaporkan dalam model ini.

Zip11 mRNA diekspresikan pada sepanjang saluran gastrointestinal dari lambung ke usus besar
(Maki dan Cousins, data yang tidak dipublikasikan). Di semua area yang diperiksa, Zip11
diregulasi dengan pembatasan zinc. Ekspresi Zip4 di perut merespon sama dengan Zip11,
menunjukkan ZIP11 memiliki lokalisasi apikal, tetapi ini belum ditunjukkan. Zip14 diekspresikan
pada usus tikus [18] ke tingkat yang lebih besar daripada hepar di mana berperan sebagai fungsi
utama dalam respon fase akut [19]. Yang menarik adalah bahwa Zip14 usus sangat responsif
terhadap pengobatan endotoksin pada tikus. Selanjutnya, ZIP14 terlokalisasi baik ke membran
apikal dan basolateral dari enterosit. Hasil fenotipik fungsi usus ZIP14 tidak diketahui, tetapi
mungkin berhubungan dengan respon usus terhadap infeksi.

Pergerakan Zinc Transelular pada Entrosit

ZincT2 dan ZincTs 4 - 7 semuanya telah dilokalisasi ke struktur intraseluler di enterocytes [20].
Mereka menunjukkan lokalisasi ke vesikel dan / atau aparat Golgi, yang mewakili berbagai fase
pertukaran pada membran. Karena fungsi protein ZincT adalah untuk menurunkan tingkat zinc
intraseluler, protein ini berfungsi baik untuk meningkatkan efluks zinc atau untuk memindahkan
zinc ke dalam vesikel, sekresi granul, dan endosom ke dalam kompleks Golgi. Kami telah
mengajukan jauh sebelumnya bahwa ZincT1 dilokalisasi ke membran basolateral dari enterosit
[21] tetapi juga untuk endosom yang berdekatan (vesikel), meskipun ini belum dipelajari secara
luas.

Mekanisme pertukaran transelular zinc yang paling jelas adalah yang ditunjukkan ZincT7, yang
dilokalkan ke kompleks Golgi [22, 23]. Tikus KO ZincT7 menunjukkan perubahan fenotipik yang
tidak khas dari defisiensi zinc, seperti alopesia atau dermatitis. Hal ini meskipun penyerapan zinc
berkurang ke banyak organ termasuk hati, tulang, dan ginjal pada tikus mutan. Komposisi tubuh
berubah pada tikus ini. Yang paling menonjol adalah penurunan lemak tubuh. Ini menunjukkan
bahwa ZincT7 memiliki fungsi yang tidak dikenal yang menjelaskan fenotip yang dihasilkan pada
tikus ZincT7 - / -. ZincT7 telah menunjukkan untuk mengaktifkan salah satu alkalin fosfat, enzim
tersebut membutuhkan zinc untuk fungsi katalitiknya [24]. Dalam konteks penyerapan zinc, tikus
ZincT7 - / - menunjukkan malabsorpsi zinc dengan akumulasi jaringan berkurang dari 65Zinc yang
diberikan secara oral. Sebuah mode vesikuler dari gerakan zinc transeluler telah diusulkan, yang
merupakan penjelasan untuk kalsium [25].

Transportasi Zinc dari Entrosit ke Plasma

Transporter utama yang mengontrol efluks selular zinc adalah ZincT1 [1]. Ini adalah transporter
zinc pertama yang mendapat perhatian utama sebagai protein yang bertanggung jawab untuk
efluks zinc dari enterosit [21]. Transporter menunjukkan penumpukan pada ujung villus sel.
Distribusi terutama pada membran basolateral. Seperti disebutkan di atas, ZincT1 yang
terlokalisasi vesikular kemungkinan besar merupakan manifestasi hubungan dengan endosom
awal atau vesikel sekretorik. Hubungan ini belum diselidiki.

Mekanisme regulasi ZincT1 berada di bawah kendali faktor transkripsi MTF-1, yang responsif-
zinc [26, 27]. ZincT1 tidak dipengaruhi secara dramatis oleh pembatasan zinc seperti gen-gen yang
diatur MTF-1 lainnya. Ini kebetulan, karena penurunan ekspresi ZincT1 dalam enterosit akan
membatasi transfer zinc ke sirkulasi sistemik. Sifat refraktori MTF-1 yang dimediasi regulasi gen
ZincT1 selama restriksi zinc belum dieksplorasi. ZIP5 juga terlokalisasi ke membran basolateral
enterosit [5, 7]. Perannya dalam homeostasis zinc belum diselidiki. Ekspresi mRNA Zip5 tidak
responsif-zinc terhadap deplesi zinc, tetapi responsif terhadap pemberian zinc akut. ZIP5
diinternalisasi dan terdegradasi dengan deplesi zinc. Lokalisasi dan daya tanggapnya terhadap zinc
menunjukkan bahwa ZIP5 dapat berfungsi sebagai monitor status zinc tubuh [7]. Transpor zinc
oleh usus dalam serosal ke arah mukosa telah dibuktikan [2]. Oleh karena itu, aktivitas ZIP5 dapat
memantau zinc tubuh dan dengan stimulus yang tepat, mengaktifkan MTF-1 dalam enterosit.

Ekskresi Zinc Endogen dan Reutilization

Pankreas sebagai rute ekskretoris utama untuk zinc telah dipelajari selama beberapa dekade [6,
28]. Jelas pankreas adalah saluran untuk zinc endogen. Sel-sel asinar menghasilkan butiran
zymogen, di mana zinc metalloenzymes dikemas dengan ion zinc di lingkungan asam dari granul.
Banyak penelitian yang lebih tua tidak mendukung peran pankreas dalam ekskresi zinc [27].
Namun demikian, penelitian tersebut mendahului pengetahuan tentang spesifisitas jaringan
transporter zinc. Sebagai contoh, ligasi duktus pankreas akan menghasilkan peningkatan transien
pada zinc sistemik, sehingga menghasilkan aktivasi gen MTF-1 yang dimediasi termasuk ZincT1,
ZincT2, dan metallothionein (MT). Ini tentu akan mengganggu mekanisme penyerapan zinc.
Pankreas memiliki potensi untuk bertindak sebagai komponen kunci homeostasis zinc. Sel-sel
asinar mengekspresikan ZIP5, yang melokalisasi membran basolateral dari sel-sel yang
terpolarisasi [7] dan dapat bertindak sebagai pembawa zinc pasif yang ditujukan untuk sekresi.
Sel-sel asinar juga menghasilkan ZincT1 dan ZincT2 melalui proses mediasi MTF-1 [28]. Ini
berpartisipasi dalam pelepasan zinc pada membran plasma dan sekretor granul zymogen, masing-
masing. Tentu saja pankreas memiliki peran dalam homeostasis zinc, tetapi semua komponen
mungkin tidak teridentifikasi.

Rute potensial lain untuk pelepasan zinc endogen ke dalam saluran pencernaan adalah serosal ke
transportasi mukosa dari zinc, dengan akhirnya dilepaskan ke lumen usus. Transfer zinc ke arah
ini telah ditunjukkan pada tikus [2]. Studi pelacak isotop dengan manusia juga mendukung
pelepasan sejumlah besar endogen zinc yang disekresikan ke dalam usus [29]. Hal ini tidak
mungkin dilakukan dengan studi pelacak apakah zinc diangkut keluar dari sel usus atau sel asinar
pankreas.

Sementara asal-usul dari zinc usus endogen tidak pasti, itu tetap menyediakan sumber zinc untuk
reutilisasi oleh host atau untuk dimasukkan ke mikrobiota residen.

Respon Imun dan Transport Zinc

Telah ditunjukkan bahwa peradangan sistemik bersamaan, seperti yang ditunjukkan oleh
peningkatan penanda fase akut, mencegah peningkatan zinc plasma sebagai respons terhadap
suplemen mikronutrien yang mengandung 15 mg zinc / hari [30]. Ini bisa terjadi akibat
berkurangnya asupan zinc usus, peningkatan kehilangan zinc endogen melalui sekresi usus atau
pankreas, atau peningkatan akumulasi zinc hati. Baru-baru ini diamati bahwa alkohol menciptakan
kondisi pro-oksidan di usus, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan spesies oksigen reaktif
yang bersamaan dengan penurunan konsentrasi zinc usus dan peningkatan endotoksin darah [31].
Endotoksin dikenal untuk meningkatkan penyerapan dan / atau retensi pemberian oral 65 Zinc [32,
33]. Ini telah diinterpretasikan untuk merepresentasikan pengaruh sitokin proinflamasi pada
penyerapan zinc. Sesungguhnya, gen transporter Zip14 diinduksi oleh endotoksin sepanjang
seluruh saluran pencernaan (Guthrie dan Cousins, observasi yang tidak dipublikasikan) seperti
pada hati [19, 34]. Tantangan di bidang ini adalah untuk mengidentifikasi sistem kultur yang
meniru usus selama respon imun pada tingkat kultur sel. Yang terakhir diperlukan untuk
menggambarkan efek yang berada pada tingkat enterosit dari yang dihasilkan oleh pengolahan
zinc hati atau ginjal.

2.2.2 Fungsi Zinc

Fungsi fisiologi tubuh yang bergantung pada zinc ialah pertumbuhan dan pembelahan

sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler dan humoral, adaptasi gelap,

pengecapan serta nafsu makan, sedangkan peranan biokimia zinc sebagai komponen dari

metalloenzymes adalah untuk mempertahankan kelangsungan berbagai proses metabolisme

dan stabilitas membran sel, zinc berperan untuk katalitik, pengaturan struktural dan non-

katalitik. Hal ini menunjukkan peranan zinc untuk mempertahankan kelangsungan berbagai

proses metabolisme tubuh, menstabilkan struktur membran sel dan mengaktifkan hormon

pertumbuhan. Zinc terutama dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, bukan saja

disebabkan oleh karena adanya efek replikasi sel dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga
sebagai mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan, hal tersebut terlihat pada penelitian

mengenai pertumbuhan mencit yang diberikan diet zinc yang tidak adekuat akan terhenti dalam

24 jam sebagai akibat menurunnya aktifitas hormon pertumbuhan.

Berikut peranan esensial zinc dalam banyak fungsi tubuh: (saripediatri peran zinc, prof adi

dan larisa))

1. Bagian integral dari enzim dan sebagai kofaktor enzim. Zinc berperan sebagai bagian dari 70

sampai 200 enzim, yang sebagian besar termasuk kelompok metalloenzymes. kofaktor enzim

DNA polimerase dan RNA polimerase, yang diperlukan dalam sintesis DNA, RNA, dan

protein. Peran zinc dalam pertumbuhan jaringan terutama berhubungan dengan fungsi dalam

pengaturan sintesis protein. Metaloenzim DNA dan RNA polimerase dan deoksitimidin kinase

sangat penting dalam sintesis asam nukleat, yang dibutuhkan untuk penyimpanan timin pada

DNA.16 Katabolisme RNA diatur oleh zinc dengan mempengaruhi kerja ribonuklease. Enzim

deoksinukleotil-transferase, nukleosid-fosforilase, dan reverse-transkriptase juga

membutuhkan zinc untuk kerja. Zinc juga dibutuhkan dalam proses transkripsi DNA.

2. Bagian dari enzim kolagenase, untuk sintesis dan degradasi kolagen, sehingga zinc diperlukan

dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat, dan penyembuhan luka.

3. Berperan dalam produksi hormon pertumbuhan (Growth Hormon/GH), berguna untuk

mengaktifkan dan memulai sintesis hormon pertumbuhan.

4. Memobilisasi vitamin A dari hati untuk menjaga konsentrasi yang normal dalam sirkulasi

darah. Zinc berperan penting untuk sintesis retinol-binding protein yang mengangkut vitamin

A dalam darah.

5. Berperan dalam fungsi imunitas, zinc diperlukan untuk fungsi sel T dan pembentukan antibodi

oleh sel B. Hubungan antara zinc dengan imunitas tubuh ini telah banyak diketahui, Shankar
dan Prasad mengatakan bahwa zinc berperan dalam aktifasi limfosit T, produksi Th-1, dan

fungsi limfosit B. Fraker dkk di Amerika Serikat memperoleh hasil terdapatnya rangkaian yang

dinamis antara status imunitas dengan status Zinc.

6. Peran Zinc pada fungsi indera pengecapan, terlihat pada penelitian status zinc terhadap

pertumbuhan dan nafsu makan berhubungan erat, sehingga dampak terhadap pertumbuhan dan

nafsu makan dapat diperbaiki secara bersamaan dengan meningkatkan asupan Zinc dalam

makanan.

7. Sebagai antioksidan yang berguna untuk menghancurkan radikal bebas, zinc merupakan unsur

intrinsik yang sangat penting dari enzim superoksid dismutase (penghancur utama radikal

bebas), yang terdapat pada berbagai jenis sel dan di ekstraselular.

8. Faktor esensial dalam stabilisasi struktur membran sel, fungsi testikular dan spermatogenesis.

9. Dan meskipun mekanismenya belum jelas, dari beberapa penelitian terdahulu diketahui bahwa

zinc merupakan mikronutrien yang berperan dalam perkembangan sistem saraf pusat melalui

beberapa hal di bawah ini;

 Zinc-dependent enzim yang terlibat dalam perkembangan otak

 Zinc-finger protein yang membentuk struktur otak dan neutransmiter didalamnya

 Neurotransmitter yang zinc-dependent yang terlibat dalam fungsi memori

 Zinc diperlukan sebagai precursor neurotransmitter

 Metallothionein-III adalah protein yang mengikat zinc di neuron

Dari sekian banyak peran zinc, maka dapat dipastikan bahwa zinc bukan saja esensial bagi

tubuh, tetapi juga yang paling rentan untuk mengalami defisiensi karena kebutuhan tubuh

yang tinggi untuk berbagai proses penting dalam tubuh. Hal ini berarti zinc harus tersedia
dalam jumlah yang cukup dalam diet sehari- hari, karena konsekuensinya apabila terdapat

defisiensi zinc maka gejala-gejala dan kelainan yang dijumpai akan sangat ekstensif.

2.2.3 Peranan Zinc dan Perkembangan otak

Sheline, dkk tahun 1943 adalah yang pertama melaporkan terdapatnya zinc di otak

anjing dan tikus. Pada tahun 1955 Maske, secara kebetulan menemukan dengan pengecatan

diphenylthiocarbizone (Dithizone) zinc secara mencolok terlokalisasi. Pewarnaan serat mossy

pada hipokampus, bagian dari system limbic yang berperan pada kegiatan mengingat (memori)

dan navigasi ruangan, menjadi sangat intens. Selanjutnya, Hu dan Friede (1968) mengukur Zinc

pada 24 area otak manusia dengan spektroskopi serapan atom,dan menemukan konsentrasi Zinc

di hipokampus adalah yang tertinggi, pada korteks serebri di area grey matter yang terdiri dari cell

body, dendrit dan akson terminal dari neuron atau sinaps, konsentrasi zinc hampir sama banyaknya

dan area white matter yang terdiri dari akson-akson memiliki konsentrasi zinc yang paling rendah.

Konsentrasi zinc dalam otak bayi yang baru lahir lebih rendah daripada pada orang dewasa.

Zeigler dkk, 1964 mengukur efek defisiensi zinc pada kinetika zinc pada otak, dan

diketahui ternyata apabila terjadi defisiensi zinc akan meningkatkan serapan zinc di otak tetapi

pada konsentrasi zinc yang stabil serapan zinc tidak meningkat..

Frederickson dkk. (1982 dan 1983), spektrometri massa pengenceran stabil-isotop, menemukan

bahwa 8% dari Zinc di hippocampus berada dalam vesikel, hal ini terlihat dengan menggunakan

spektrometri massa pengenceran stabil-isotop dan zinc dilepaskan dari terminal akson selama fase

aktivitas elektrofisiologi. Howell dkk. (1984) menunjukkan bahwa stimulasi listrik in vitro

menyebabkan peningkatan zinc tracer pada presynaptic terminal akson serat-mossy, dan yang

sebelumnya memiliki zinc dilepaskan. Assaf dan Chung (1984) melaporkan temuan serupa
berdasarkan analisis kimia superfusate poststimulation, dan Sloviter (1985) yang ditunjukkan

dengan mikroskop elektron dan pengecatan perak yang dimodifikasi (Timm 1958) bahwa stimulasi

listrik menurunkan vesikel Zinc di terminal akson serat-mossy. Pada waktu yang hampir

bersamaan Perez-Clausell dan Danscher (1985) menunjukkan dengan mikroskop elektron dan

pengecatan perak yang dimodifikasi (Timm 1958) bahwa ditemukan Zinc; 10% dari vesikula bulat

yang jelas dari Boutons sinaptik Gray's Tipe I (eksitasi). Para penulis ini kemudian menunjukkan

(Perez-Clausell dan Danscher 1986) dengan pengikatan sulfida in vivo bahwa Zinc yang

dilepaskan dari vesikel dapat bergerak dari celah sinaptik ke ruang ekstraseluler.

Peters dkk. (1987) dan Westbrook dkk. (1987) menunjukkan bahwa vesikel Zinc yang

dilepaskan ke celah sinaptik selama neuro-transmisi memodulasi reseptor postsynaptic N-methyl-

D-aspartate (NMDA) 4-spesifik untuk glutamat secara cepat, tergantung dosis dan dapat

dibalikkan. Konsisten dengan Zinc yang memiliki peran modulator, Fukahori dkk. (1988)

menemukan konsentrasi Zinc yang lebih rendah di daerah dentate dari hippocampus dari strain

tikus dengan kecenderungan tinggi untuk kejang. Defisiensi Zinc menurunkan Hippocampal Zinc

dan peningkatan kejang, sedangkan asupan tinggi Zinc meningkatkan hippocampal Zinc dan

penurunan kejang (Fukahori dan Itoh 1990). Mitchell dkk. (1990) menegaskan bahwa status Zinc

dapat mempengaruhi kerentanan kejang. In vivo chelation Zinc dengan dithizone meningkatkan

sensitivitas tikus terhadap asam kainik yang menginduksi kejang. Morton dkk. (1990) juga

menemukan bahwa status Zinc mempengaruhi ambang kejang. Pemberian Zinc secara subkutan

mengurangi kejang yang diinduksi kebisingan pada tikus DBA/2J, tetapi tidak berpengaruh pada

kejang yang disebabkan oleh asam kainik.

Temuan Frederickson dkk, 1990 konsisten dengan vesikel Zinc mempengaruhi kognisi.

Kelasi reversibel zinc in vivo menghasilkan gangguan waktu yang selektif dari memori spasial
yang bergantung pada hipokampus. Selanjutnya, Browning dkk, 1994 menemukan pada babi

bahwa defisiensi Zinc akan menurunkan konsentrasi kanal natrium postsynaptic NMDA-spesific

glutamate-mediated di sinaptosom kortikal.

Palmiter (1996a dan 1996b) dan Palmiter dan Findley (1995) melaporkan protein

membran Zinc-transporter (Zinc-T) spesifik. ZincT-1 memfasilitasi efluk Zinc dari sel; ZincT-2

memfasilitasi uptake Zinc oleh vesikel endosomal; dan ZincT-3 dalam memfasilitasi uptake Zinc

oleh vesikula yang mengandung Zinc pada terminal akson neuron glutaminergik.

Perluasan penelitian in vitro, yang dikutip di atas, dari oksidasi MT oleh GSSG (Maret

1994) mengungkapkan bahwa senyawa selenium tertentu juga melepaskan Zinc dari MT (Jacob et

al. 1999). Glutathione (GSH) (Jiang et al. 1998b) dan ATP (Jiang et al. 1998a) juga memfasilitasi

pengeluaran Zinc oleh GSSG. Selain itu, oksidasi ligan Zinc-binding tertentu oleh GSH

melepaskan Zinc ke thionein (Maret et al. 1999).

Churchich dkk. (1989) melaporkan bahwa Zinc-ATP diperlukan oleh pyridoxal (PL)

kinase untuk pembentukan pyridoxal-5- fosfat (PLP). Selanjutnya, Yamada dkk. (1990) dan

Nakano dan McCormick (1991) menemukan bahwa Zinc-ATP juga diperlukan oleh flavokinase

untuk sintesis flavin mononukleotida (FMN), prekursor FAD. PLP dan FAD adalah koenzim untuk

sintesis biogenik-amina (Dakshinamurti et al. 1990) dan metabolisme monoamine oxidase (MAO)

(Hsu et al. 1988). Kerentanan proses ini terhadap defisiensi Zinc tidak diketahui.

Hurley dan Swenerton (1966) pertama kali melaporkan bahwa kekurangan Zinc berat

pada tikus selama organogenesis menyebabkan malformasi otak, mereka juga menemukan

penurunan sintesis DNA dalam jaringan otak embrio. McKenzie dkk, 1975 menunjukkan bahwa

kekurangan Zinc ibu selama sepertiga terakhir kehamilan menurun DNA otak, Buell dkk,1977
menunjukkan bahwa defisiensi Zinc menurunkan pertumbuhan otak, DNA, RNA dan konsentrasi

protein pada anak-anak, usia 21 hari. Selain itu, pembagian dan migrasi sel-sel granular eksternal

dari cerebellum juga berkurang. Dvergsten (Dvergsten 1984, Dvergsten et al. 1983, 1984a dan

1984b) menggambarkan efek histologis defisiensi Zinc berat pada cerebellum tikus, usia 21 hari.

Jumlah sel granul relatif terhadap sel Purkinje berkurang, 60%. Pertumbuhan acak Purkinje, sel

basket dan sel-sel stellata menurun dan ketinggian sel Purkinje dendrit arbor dan percabangannya

sangat menurun. Konsisten dengan imaturitas, ribosom dikelompokkan dalam sitoplasma basal sel

Purkinje. Selain itu, sinapsis asimetris antara serat paralel (akson sel granula) dan dendrit dari

Purkinje, sel basket dan sel stellata menurun, 40%.

Caldwell dkk. (1970) menemukan bahwa tikus dengan defisien Zinc lebih ragu-ragu dan

membuat lebih banyak kesalahan pada labirin air sederhana dibandingkan tikus kontrol dengan

pair-fed. Selanjutnya, Gordon dkk. (1982) menunjukkan bahwa defisiensi Zinc yang berat

menyebabkan kurangnya aktivitas dan perawatan pada tikus tua (300 hari); Massaro (1982)

melaporkan bahwa kekurangan Zinc sedang berkembang kompleks; dan Valdes dkk. (1982)

menemukan hubungan antara lateralisasi Zinc di otak dan preferensi spasial pada tikus.

Golub et al. (1994 dan 1996) mengukur efek kekurangan Zinc"moderat" pada perilaku

primata non-manusia prepubertal dan remaja. Selama lima belas minggu kekurangan Zinc pada

hewan pra-pubertas menurunkan plasma Zinc tetapi tidak memiliki efek nyata pada pertumbuhan.

“Aktivitas motorik spontan lebih rendah dan kinerja fungsi visual-perhatian dan fungsi memori

jangka pendek terganggu.”

Pada manusia kekurangan zinc karena diet yang tidak adekuat pertama kali dijelaskan di

antara anak laki-laki petani miskin Iran oleh Prasad et al. (1961). Selanjutnya, kondisi ini
diidentifikasi di antara anak-anak petani Mesir yang miskin yang menampilkan dwarfisme,

hipogonadisme, defisiensi zat besi, cacing tambang dan schistosomiasis. Pasien-pasien ini mirip

dalam penampilan dengan mereka dengan penyakit akibat cacing tambang yang parah yang

dijelaskan pada dekade pertama abad ini oleh Dock dan Bass (1910). Perilaku abnormal terjadi

pada beberapa orang. Pada dekade kedua abad ini, Badan Kesehatan Internasional Yayasan

Rockefeller (1919) melaporkan hubungan antara infeksi cacing tambang dan kinerja kognitif

rendah dalam perekrutan Angkatan Darat AS dan anak-anak dari kota-kota penggilingan di Timur-

Selatan. Tahun yang sama Waite dan Nelson (1919) menemukan hubungan langsung antara tingkat

keparahan infeksi cacing tambang dan gangguan perkembangan mental pada anak-anak dari North

Queensland, Australia. Dan terdapat dugaan bahwa defisiensi Zinc berkontribusi pada kelainan

kognitif yang dijelaskan.

Dua puluh lima tahun yang lalu Henkin dkk. (1975) menemukan bahwa defisiensi Zinc

yang parah merusak kinerja neuromotor dan kognitif orang dewasa. Dia menginduksi defisiensi

Zinc melalui pemberian dosis besar histidin, yang menyebabkan ekskresi tinggi pada Zinc. Semua

subjek berkembang memiliki indera perasa dan penciuman yang abnormal. Sebagian menjadi

ataksia, sebagian depresi, sebagian berhalusinasi dan beberapa paranoia juga berkembang. Segera

setelah laporan Hen-kin, Moynahan (1976) menjelaskan perilaku abnormal pada pasien dengan

acrodermatitis enteropathica, dan Kay et al. (1976) menemukan perilaku abnormal pada pasien

dengan defisiensi Zinc sebagai akibat dari pemberian parenteral yang tidak adekuat.

Goldenberg dkk. (1995) menemukan berat badan lahir yang lebih tinggi dan ukuran kepala yang

lebih besar di antara bayi dari ibu berpenghasilan rendah yang kelebihan Zinc. Kirksey dkk. (1991

dan 1994) pertama melaporkan hubungan antara diet ibu selama kehamilan dan perilaku setelah

melahirkan bayi. Pasangan ibu-bayi dipelajari di desa Mesir. Konsumsi makanan yang berasal dari
hewan yang kaya dengan Zinc secara positif dikaitkan dengan skor perhatian neonatal yang lebih

tinggi pada Brazelton Neonatal Development Assessment Scale. Pada usia 6 bulan, skor kinerja

motorik pada Bayley Scales of Infant Development berbanding terbalik dengan asupan Zinc ibu

dari tanaman, diet phytate dan serat selama kehamilan.

Efek nutrisi Zinc postnatal pada perkembangan bayi dilaporkan oleh Friel et al. (1993).

Pertumbuhan linear dan perkembangan motorik lebih tinggi pada bayi baru lahir, 1500 g yang

diberi 11 mg Zinc / L dari formula sejak lahir hingga 6 bulan dibandingkan dengan bayi yang

diberikan 6,7 mg Zinc / L. Belakangan, Sazawal dkk. (1996) melaporkan bahwa jawaban dengan

10 mg Zinc/hari secara bersamaan dengan vitamin yang membatasi potensi peningkatan aktivitas

dan pengeluaran energi anak-anak India berpenghasilan rendah, usia 12-23 bulan. Demikian pula,

Bentley et al. (1997) menemukan bahwa bayi Guatemala diberikan 10 mg Zinc/hari selama 7 bulan

duduk dan bermain lebih baik dari bayi yang diberikan plasebo. Ashworth dkk. (1998) juga

menemukan bahwa peningkatan Zinc meningkatkan peringkat perilaku. Subyeknya adalah bayi

Brasil berat badan lahir rendah, berusia 12 bulan, yang diberi 5 mg Zinc/hari 6 hari/minggu selama

8 minggu pertama pascakelahiran. Kontrol yang diberikan 1 mg Zinc/hari tertinggal di belakang.

Pada anak-anak Thatcher et al. (1984) menemukan hubungan langsung antara indeks status Zinc

(konsentrasi Zinc rambut) dan kinerja membaca pada tes standar. Selain itu, koherensi lobus

frontal EEG terkait langsung dengan konsentrasi Zinc pada rambut. Konsisten dengan Thatcher,

Wachs dkk. (1995) menemukan bahwa perilaku pra-remaja tertentu dari anak-anak Mesir

dikaitkan dengan konsumsi makanan yang berasal dari hewan dan kaya akan Zinc.

2.1.3 Defisiensi Zinc (Zinc)


Defisiensi Zinc sering terjadi pada bayi dan anak, karena sedang terjadi pertumbuhan yang cepat.
Penyebab defisiensi Zinc pada bayi dan anak adalah asupan dan ketersediaan yang tidak adekuat,
malabsorbsi, meningkatnya kehilangan Zinc dari dalam tubuh, seperti pada diare yang merupakan
penyebab terpenting kehilangan Zinc melalui saluran cerna. 12 Tanda–tanda dari defisiensi Zinc
pada anak adalah retardasi pertumbuhan, kematangan seksual terlambat, kelainan kulit dan rambut
menjadi tipis, abnormalitas pada tulang dan sistem imunitas, serta mudah mengalami diare.2,12
Defisiensi Zinc selalu dihubungkan dengan berkurangnya pertumbuhan pada bayi dan anak di
negara berkembang.25 Retardasi pertumbuhan mempunyai prevalensi yang tinggi pada anak.
Lebih kurang 43% anak usia di bawah 5 tahun di dunia (±230 juta anak) adalah pendek.26
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa defisiensi Zinc dapat menyebabkan cereberal berfungsi
abnormal dan akan mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang. Hasil tes daya ingat juga
memberikan hasil yang kurang baik pada anak yang mengalami defisiensi Zinc.
Parameter yang banyak digunakan untuk menetapkan status zinc ialah 1) konsentrasi zinc
plasma atau serum, 2) konsentrasi zinc eritrosit, 3) konsentrasi zinc lekosit dan netrofil, 4)
konsentrasi zinc rambut, 5) konsentrasi zinc urine, 6) konsentrasi zinc air liur, 7) uji ketajaman
pengecapan, 8) keseimbangan metabolisme zinc, 9) studi isotop, 10) respons pertum- buhan dan
perkembangan seksual terhadap suple-mentasi zinc, 11) enzim yang tergantung pada zinc,
misalnya aktifitas alkali fosfatase (6). Konsentrasi zinc dalam serum/plasma yang paling sering
digunakan sebagai parameter untuk menetapkan status zinc seseorang karena mudah dilakukan
dan cukup akurat. Namun demikian indeks tersebut mempunyai beberapa keterbatasan.
Parameter tersebut hanya dapat digunakan bila serum tidak mengalami hemolisa atau
terkontaminasi serta tidak adanya infeksi. Parasitemia seringkali dijumpai di negara
berkembang dan keadaan ini merupakan faktor pengganggu dalam menginterpretasikan
konsentrasi zinc dalam plasma. Bahkan dalam keadaan defisiensi zinc yang berat.

2.2.3 Kadar Zinc pada Rambut


Rambut merupakan spesimen terbaik untuk evaluasi ketidakseimbangan mineral di dalam
tubuh. Keuntungan spesimen rambut yaitu murah, sifatnya tidak invasif dan menggambarkan kadar
nutrisi dalam jangka waktu yang lama. Pertumbuhan rambut sepanjang 1 cm setiap bulannya
menggambarkan kadar mineral dalam tubuh 2-4 bulan terakhir. Analisa spesimen rambut lebih
stabil dibandingkan dengan analisis darah. Konsentrasi zinc selalu konstan di jaringan terutama di
rambut, kulit, jantung dan otot skeletal sedangkan di darah, hati, tulang dan testis berfluktuasi
(Beinner dkk., 2010).
Komposisi kimia pada rambut mengandung elemen yang tersimpan diantara jalinan keratin,
yaitu protein menyusun 95% jaringan rambut. Komposisi ini akan tetap melekat pada keratin
selama kehidupan, sehingga mempermudah dalam penilaian status elemen, salah satunya zinc.
Pertumbuhan folikel rambut disuplai oleh pembuluh darah, yang menjadi media transportasi yang
baik untuk elemen esensial. Rambut adalah produk akhir metabolit yang mengandung elemen di
dalam struktur ketika bertumbuh, sehingga rambut berbeda dengan jaringan lain di dalam tubuh.
Ketika rambut mencapai permukaan kulit maka akan mengalami proses keratinisasi dan elemen-
elemen terakumulasi didalamnya. Selama pertumbuhan folikel terpapar suplai darah, konsentrasi
elemen pada rambut merefleksikan konsentrasi pada jaringan lain (Beinner dkk., 2010).

2.3 hubungan zinc dengan keterlambatan bicara


Pertumbuhan dan perkembangan otak sangat membutuhkan beberapa jenis mikronutrien. Zinc
merupakan modulator sinyal neuron intraselular dan interselular yang ditemukan dalam
jumlah banyak di otak terutama di hippocampus, area otak yang berperan untuk proses belajar
dan memori, dan di striatum amigdala dan neocortec. Zinc berperan pada banyak
metalloenzim, sintesis RNA dan DNA, pertumbuhan sel serta diferensiasi dan metabolisme
sel.
Mekanisme Zinc dalam fungsi kognitif pada manusia masih belum bisa dijelaskan dengan
pasti. Bukti mengenai peranan Zinc terhadap perkembangan sistem saraf pusat lebih banyak
didapatkan pada penelitian yang menggunakan hewan percobaan, yang mana didapatkan
pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa defisiensi Zinc akan menyebabkan penurunan
fungsi kognitif seperti aktifitas motorik yang berkurang, daya ingat dan daya konsentrasi yang
rendah. Pada penelitian menggunakan tikus hamil trimester terakhir dan tikus menyusui yang
di retriksi pemberian Zinc-nya akan didapatkan gangguan aktifitas motorik dan gangguan
belajar serta daya ingat.
Kebutuhan Zinc yang paling besar terutama pada masa perkembangan otak yang paling cepat
yaitu pada usia gestasi 24-40 minggu, yang mana struktur otak berkembang sangat cepat, pada
masa ini sebenarnya sangat sensitive terhadap defisiensi Zinc karena akan banyak enzim dan
proses neurochemical seperti transmisi sinap dan pelepasan neurotransmiternya yang
memerlukan Zinc.

Keterlambatan Bicara dan Bahasa

2.3 Hubungan antara Keterlambatan Bicara dan Bahasa dengan Screen Time

Baca dari Hair zinc level and corelative micronutrien pghi

2.3 hubungan defisiensi zinc dengan gangguan bicara

Micronutrient during pregnancy


And child psicomotor development
2.3 Fungsi Zinc dalam Sistem Imun

Anda mungkin juga menyukai