Anda di halaman 1dari 30

1.

Aries (21 Maret - 19 April)

Inilah zodiak paling pertama dalam daftar 12 lambang zodiak yaitu Aries yang dilambangkan
dengan domba jantan. Asal mula dari zodiak Aries ini sendiri berasal dari tokoh mitologi
domba jantan berbulu emas yang dapat terbang, yakni Chrysomallus. Chrysomallus sendiri
dikirimkan oleh Peri Awan, Nephele, untuk menyelamatkan kedua anaknya yang akan
dikurbankan ke para Dewa yakni Phrixus dan Helle.

Singkat cerita, Chrysomallus berhasil membawa kabur kedua anak Nephele namun
sayangnya Helle jatuh dan meninggal. Chrysomallus kemudian mengantarkan Phrixus ke
Colchis, yakni sebuah wilayah di Kaukasia Selatan. Sebagai ganti atas perbuatannya
menyelamatkan Phrixus dan Helle, maka Chysomallus meminta Phrixus untuk
menggantungkan bulu emasnya di hutan belukar Dewa Perang Ares dan Chrysomallus
terbang ke Surga untuk mengurbankan dirinya bagi para Dewa, atas tindakannya yang
mengunggah ini Zeus kemudian memberikan Aries sebuah tempat di para bintang sebagai
konstelasi Aries. Itulah kisah dari domba jantan berbulu emas, Chrysomallus.

2. Taurus (20 April - 20 Mei)

Merupakan salah satu dari 12 zodiak yang sejarah keberadaannya tidak dapat dibilang baik
yakni dari kisah perselingkuhan Zeus dan aksinya pemerkosaannya.

Dalam satu kisah asal mula zodiak Taurus. Suatu ketika Zeus sangat tertarik dengan
putri Phoenicia yang bernama Europa. Phoenicia sendiri adalah sebutan untuk
sebuah wilayah kuno di Timur Tengah. Ia kemudian muncul di hadapan Europa
dalam bentuk sebuah banteng putih yang mengagumkan. Europa yang tertarik
kemudian mengelus dan menaiki banteng tersebut, ia kemudian dibawa melintasi
Samudra ke sebuah wilayah Yunani kuno, Crete. Di tempat itu Zeus kemudian
mengubah dirinya lagi dalam sebuah bentuk menyerupai elang dan memperkosa
Europa. Sebagai peringatan atas tindakan dan perselingkuhan tersebut, Zeus
kemudian meletakkan lambang banteng di antara para bintang yang adalah Taurus.

3. Gemini (21 Mei - 20 Juni)

Jika kebanyakan kisah asal mula mitologi dari berbagai zodiak sering menjadi perdebatan,
maka sejarah keberadaan lambang rasi bintang Gemini sangatlah jelas. Berasal dari tokoh
mitologi Yunani, Castor dan Pollux. Castor dan Pollux adalah kakak beradik kembar yang
mempunyai ibu yang sama yaitu Leda namun ayah yang berbeda. Castor dengan ayahnya
Raja dari Sparta, Tyndarus, dan merupakan suami resmi dari Leda. Sedangkan Pollux adalah
anak dari Mahadewa Zeus dengan Leda. Pollux yang merupakan anak dewa adalah abadi
sedangkan Castor tidak.

Kedua anak kambar ini tumbuh tampan dan memiliki sifat bertualang serta memiliki
hubungan yang sangat erat. Castor tumbuh dikenal sebagai penunggang kuda yang ternama,
sedangkan di sisi lain Pollux tumbuh dikenal sebagai seseorang yang memiliki kekuatan luar
biasa. Sayangnya Castor meninggal dalam sebuah perperangan. Pollux yang abadi berada
dalam keputusasaan yang sangat besar, ia tidak ingin hidup tanpa saudara kembarnya. Ia
kemudian meminta ayahnya, Zeus, untuk mencabut keabadiannya dan membiarkan ia
meninggal.

Zeus yang tidak ingin Pollux meninggal lebih baik membuat Castor menjadi abadi dengan
membuat keduanya bersama selamanya sebagai kontelasi zodiak kembar, Gemini.

4. Cancer (21 Juni - 22 Juli)

Cerita keberadaan dari Cancer yang berlambangkan kepiting ini berasal dari tugas kedua
pahlawan ternama Hercules atau terkadang dikenal juga sebagai Heracles. Di tugasnya
tersebut ia diminta untuk membunuh seekor Lernaean Hydra, yakni seekor ular air dengan
ratusan kepala.
Dalam cerita tersebut, Hercules mengalami kesulitan dalam melawan Lernaean Hydra.
Melihat hal tersebut, Dewi Hera sebagai salah satu musuh Hercules memerintahkan seekor
kepiting raksasa untuk membantu Hydra tersebut. Kepiting itu kemudian menusukkan
capitnya ke kaki sang pahlawan. Merasakan rasa sakit yang luar biasa, Hercules dengan
marahnya menghancurkan kepiting tersebut hanya dengan kakinya sebelum ia mengalahkan
Lernaean Hydra. hera yang merasa bangga dengan perbuatan si kepiting, menempatkan
kepiting tersebut di kalangan bintang sebagai rasi bintang Cancer.

5. Leo (23 Juli - 22 Agustus)

Banyak sekali kisah asal mula keberadaan zodiak Leo, namun yang paling terkenal adalah
kisah Singa Nemean dalam 12 Rintangan Hercules. Dalam rintangan paling pertamanya,
Hercules harus melawan seekor singa Nemean. Singa Nemean ini sendiri adalah seekor singa
yang bulunya berwarna emas dan memiliki kulit yang tidak dapat ditembus dengan senjata
apapun. Dalam salah satu kisah perlawanan Hercules dengan Singa Nemean ini, dikisahkan
bahwa Hercules berhasil membunuh Singa tersebut dengan mencekiknya hingga mati.

Hercules kemudian menggunakan cakar dari Singa Nemean itu sendiri untuk merobek
kulitnya dan menggunakan bulu singa tersebut di pakaiannya. Atas pertarungan megahnya
itu, Zeus kemudian memberikan Singa Nemean itu sebuah tempat di rasi bintang sebagai
konstelasi Leo. Dalam kisah lain mengatakan bahwa Hera-lah yang menempatkan Singa
Nemean di kalangan bintang karena jika ditelusuri Hera-lah yang mengirim singa tersebut
dan ia jugalah yang membesarkan singa tersebut.

6. Virgo (23 Agustus - 22 September)

Inilah salah satu dari beberapa zodiak yang tidak dilambangkan dengan binatang melainkan
seorang wanita perawan. Namun yang dimaksud dengan wanita perawan ini sendiri bukan
dalam hal fisikal namun dalam hal kepribadian yakni kesucian, kepolosan, dan kemurnian.
Kesucian, kepolosan, dan kemurnian itu sendiri dilambangkam oleh seorang Dewi yang
bernama Astraea. Namun asal mula dari zodiak Virgo dimulai dari kisah Pandora. Pandora
yang membuka kotak terlarang menyebabkan semua kejahatan terliris ke dunia termasuk
kematian, oleh karena itu semua Dewa yang ada di bumi kabur dan kembali ke Surga
terhindar dari semua kejahatan di bumi. Sayangnya, Astraea adalah yang paling terakhir
kembali ke Surga. Sebagai bentuk peringatan dari hilangnya perlambangan kesucian,
kepolosan, dan kemurnian itu Astraea diletakkan di kalangan rasi bintang sebagai zodiak
Virgo.

7. Libra (23 September - 22 Oktober)

Tidak diketahui secara jelas dari mana asal muasal keberadaan zodiak Libra dalam mitologi,
namun beberapa kepercayaan mengatakan bahwa sesuai dengan lambang timbangannya,
Libra melambangkan kebenaran dan keadilan yakni dimana dilambangkan oleh Dewi
Keadilan yakni Themis. Hal ini sangatlah menarik karena Astraea yang melambangkan Virgo
adalah anak dari Themis dan Virgo serta Libra terletak berdampingan dalam konstelasi
bintang.

Beberapa mengatakan bahwa alasan mengapa timbangan dapat termasuk dalam rasi bintang
zodiak adalah karena para Dewa melihat bahwa keadilan dan kebenaran adalah bagian yang
sangat penting dalam kehidupan dan tidak boleh terlupakan.

8. Scorpio (23 Oktober - 21 November)

Keberadaan dari lambang zodiak Scorpio dapat dilihat dari kisah mitologi Orion yakni anak
dari Poseidon dan adalah seorang pria yang disebut-sebut sebagai pria tertampan serta
tertinggi yang pernah ada di dunia dengan hobi berburu. Bahkan ia sangat disenangi oleh
Dewi perburuan, Artemis. Melihat kesombongan Orion yang mengatakan bahwa dirinya
dapat mengalahkan semua mahluk di bumi, Gaia si Dewi Bumi mengirimkan kalajengking
untuk mengalahkan Orion.
Kalajengking itu langsung menyengat Orion dan racun mematikannya langsung mengirim
Orion ke kematiannya. Melihat kemenangan kalajengking itu, Gaia kemudian menempatkan
kalajengking tersebut di langit sebagi rasi bintang Scorpio atau zodiak Scorpio. Di sisi lain,
Dewi Perburuan Artemis yang sangat menyukai Orion juga menempatkan Orion di
langit sebagai konstelasi tersendiri. Ia ditempatkan di langit bersama dengan
anjingnya yakni Sirius yang disebut-sebut adalah bintang paling bersinar di Surga
para Dewa.

Kisah lain menceritakan bahwa Orion jatuh cinta dengan 7 wanita cantik dan mulai
mengejar mereka. Wanita-wanite tersebut tidak menyukai hal itu dan meminta Zeus
menyelamatkan mereka. Agar Orion tidak dapat mengejar mereka, Zeus kemudian
mengubah mereka menjadi 7 bintang yang sekarang dikenal sebagai Peliades.
Tidak hanya itu saja, sebagai hukuman Zeus mengirimkan kalajengking untuk
menyengat Orion dan mengubah Orion serta kalajengking itu sebagai rasi bintang.
Hal itu adalah sebagai hukuman agar Orion selalu mengejar Peliades namun tidak
akan dapat mendapatkannya dan selalu dikejar oleh kalajengking yakni zodiak
Scorpio.

9. Sagitarius (22 November - 21 Desember)

Lambang dari zodiak Sagitarius adalah Centaur, yaitu sebuah mahluk dengan kepala, tangan,
dan dada manusia namun berbadankan kuda. Sedangkan kisah mitologi dari asal mula zodiak
Sagitarius ini berasal dari tokoh mitologi Chiron yang adalah centaur ternama yang
merupakan anak Poseidon dengan kebijakan yang diajarkan oleh Apollo dan Artemis. Chiron
juga adalah teman dari berbagai tokoh ternama mitologi seperti Hercules dan Achilles.

Sayangnya dalam sebuah perkelahian, Hercules yang melindungi dirinya dari serangan panah
beracun lawan membuat panah beracun tersebut mengenai kaki Chiron. Chiron yang
memiliki keabadian tidak dapat mati dan harus merasakan rasa sakit yang luar biasa. Hercules
kemudian berjanji untuk membantu Chrion, dalam pengelanaan mereka Hercules bertemu
dengan Prometheus, pencipta umat manusia yang terkurung.

Satu-satunya cara Prometheus dapat terbebas adalah agar seseorang menggantikan dirinya
untuk terkurunng. Walaupun sedang kesakitan, Chiron kemudian bersedia menggantikan
Prometheus. Melihat tindakan pahlawan tersebut, Zeus kemudian memperbolehkan Chiron
untuk memberikan keabadiannya ke Prometheus dan kemudian menempatkan Chiron di rasi
bintang sebagai zodiak Sagitarius.

10. Capricorn (22 Desember - 19 Januari)


Lambang dari Zodiak Capricorn adalah seaneh lambang zodiak Sagitarius yaitu memiliki
tubuh setengah kambing namun dengan ekor ikan. Asal mula dari zodiak Capricorn sendiri
berasal dari kisah kelahiran Zeus, Raja para Dewa. Pada saat kelahirannya, ibu Zeus, Rhea
takut suaminya Kronos memakan anaknya, ia kemudian secara diam-diam membawa Zeus ke
Crete dan memberikannya ke Amaltheia, Si Peri Kambing.

Amaltheia mengasuh Zeus dengan cinta dan pengabdian terbesar, memberikan susunya
sendiri dan menyembunyikan Zeus dari Kronos dengan menggantungkannya tinggi-tinggi di
sebuah pohon agar Kronos tidak dapat menemukannya baik di Surga, Bumi, ataupun Laut.
Singkat cerita, Zeus kemudian menjadi raja dari para dewa, ia juga tidak melupakan jasa dari
Amaltheia. Zeus mengubah salah satu tanduk Amaltheia menjadi tanduk berkelimpahan yang
dapat memberikan segalanya, serta Zeus juga menempatkan penggambaran Amaltheia di
antara para bintang sebagai zodiak Capricorn.

11. Aquarius (20 Januari - 18 Februari)

Zodiak Aquarius memiliki perlambangan akan seseorang yang menuangkan air dari kendinya
dan dipercaya bahwa itu adalah perlembangan dari kisah Ganymede, pangeran dan orang
tertampan di Troy. Zeus, sebagai dewa yang sangat suka dengan manusia cantik dan tampan
juga tertarik dengan Ganymedes. Ia kemudian mengubah dirinya menjadi elang raksasa da
membawa Ganymedes ke Olympus.

Di sana Ganymedes ditugaskan Zeus untuk menjabat sebagai juru minum pribadinya.
Walaupun itu adalah sebuah jabatan yang cukup tinggi namun suatu Ganymedes yang diculik
dari kerajaan dan keluarganya merasakan bahwa ia sudah muak akan hal itu. Ia kemudian
menuangkan semua air, ambrosia, dan anggur yang ada dan menyebabkan hujan tiada henti
di Bumi yang akhirnya mengarah ke banjir raksasa (air bah).
Pada awalnya Zeus ingin menghukum Ganymedes, namun menyadari tindakannya yang
memang cukup jahat ke Ganymedes, ia memberikan Ganymedes sebuah tempat di rasi
bintang sebagai konstelasi Aquarius.

12. Pisces (19 Febuari - 20 Maret)

Kedua ikan yang berenang dalam arah yang berbeda adalah perlambangan dari zodiak Pisces
dan juga adalah bentuk yang menyelamatkan Aprhodite dan anaknya. Mitologi tersebut
dimulai sesudah Zeus mengalahkan ayahnya Kronos dan anak-anak Gaia. Gaia kemudian
ingin membalas dendam dan menciptakan sebuah monster mengerikan bernama Typhon yang
disebut-sebut adalah monster terbesar dan paling mengerikan yang pernah dilahirkan.

Typhon kemudian mendeklarasikan perperangan ke semua Dewa Olympus dan para dewa
berusaha menyembunyikan mereka dengan menyamar. Zeus mengambil bentuk domba jantan
, Hera menjadi sapi putih, Artemis menjadi kucing, Ares menjadi babi hutan liar dan
seterusnya. Yang terakhir adalah Dewi Cinta dan Kecantikan, Aphrodite, dan anaknya, Eros.
Mereka menyelam ke kedalaman laut dan mengambil bentuk 2 ekor ikan.

Sesudah Typhon berhasil dikalahkan, semua dewa kembali ke bentuk asalnya. Aphrodite
yang merasa berterima kasih atas ikan yang sudah meminjamkan bentuk mereka meletakkan
penggambaran mereka di langit malam. Itulah bagaimana Pisces mendapatkan tempatnya di
rasi binang dan menjadi zodiak terakhir dalam mitologi Zodiak Yunani.

Sastra

Kiri: Sampul depan Iliad edisi bahasa Katala (1879),


diterjemahkan oleh Conrad Roure. Kanan: Sampul
depan Iliad edisi bahasa Indonesia (2011),
diterjemahkan oleh Asep Rachmatullah. Iliad karya
Homeros merupakan salah satu naskah kuno
mengenai mitologi Yunani yang paling terkenal.

Narasi mitis memainkan peranan penting dalam hampir setiap genre sastra Yunani. Meskipun
demikian, satu-satunya buku pedoman mitografi umum yang masih bertahan dari masa
antikuitas Yunani hanyalah Bibliotheke buatan Pseudo-Apollodoros. Karya itu berusaha
mendamaikan kisah-kisah kontradiktif dari para penyair serta menyediakan ikhtisar lengkap
mengenai legenda kepahlawanan dan mitologi Yunani tradisional.[5] Apollodoros hidup pada
tahun 180–120 SM dan banyak menulis mengenai topik tersebut. Tulisan-tulisannya
kemungkinan membentuk dasar bagi karya-karya selanjutnya. Akan tetapi Bibliotheke
menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi lama setelah Apollodoros meninggal, karena
itulah pembuatnya dinamai Pseudo-Apollodoros.

Di antara sumber-sumber sastra terawal adalah dua wiracarita karya Homeros, yaitu Iliad dan
Odisseia. Para penyair lainnya ikut membuat wiracarita yang melengkapi Siklus Epik, namun
sajak-sajak ini hampir keseluruhannya telah hilang. Ada pula kumpulan sajak yang dinamai
Himne Homeros. Akan tetapi, terlepas dari namanya, Himne Homeros tidak punya kaitan
langsung dengan Homeros. Sajak-sajak dalam Himne Homeros adalah himne-himne paduan
suara yang berasal dari bagian yang lebih awal dari apa yang disebut sebagai Zaman Lira.[6]
Hesiodos, yang diperkirakan hidup sezaman dengan Homeros, menulis karya berjudul
Theogonia ("Asal-usul Para Dewa). Wiracarita tersebut merupakan salah satu naskah
terlengkap mengenai mitos Yunani awal dan menceritakan tentang penciptaan dunia; asal
muasal para dewa, Titan, dan Gigant; selain juga menguraikan silsilah, folklor, dan mitos
etiologi. Karya Hesiodos lainnya, yaitu Erga kai Hemerai, merupakan puisi didaktik yang
bercerita mengenai kehidupan bertani, selain juga meliputi mitos Prometheus, Pandora, serta
Lima Zaman Manusia. Hesiodos juga memberi nasehat bagaimana cara supaya dapat berhasil
dalam menjalani hidup di dunia yang berbahaya ini, yang oleh para dewa dibuat menjadi
lebih berbahaya.[2]

Para penyair lira sering mengambil tema-tema dari mitologi dan memasukkannya ke dalam
sajak-sajak mereka. Namun mereka menyampaikannya dengan cara yang kurang naratif dan
cenderung lebih alusif. Para penyair lira Yunani di antaranya adalah Pindaros, Bakkhylides,
Simonides dan penyair pedesaan semacam Theokritos atau Bion. Masing-masing
mengisahkan insiden-insiden mitologi secara individual.[7] Selain digunakan dalam sajak lira,
tema-tema dalam mitologi Yunani juga sangat sentral bagi drama-drama Athena. Penulis
drama tragedi seperti Aiskhilos, Sofokles, dan Euripides mengambil sebagian besar plot
cerita mereka dari mitos-mitos mengenai zaman kepahlawanan dan Perang Troya. Banyak
cerita tragedi (misalnya cerita Agamemnon dan anak-anaknya, Oidipus, Iason, Medeia, dll)
yang bentuk klasiknya muncul dalam drama-drama tragedi itu. Penulis drama Aristofanes
juga menggunakan mitos Yunani dalam dramanya, di antaranya dalam drama yang berjudul
Ornithes ("Burung") dan Batrakhoi ("Katak").[8]

Sejarawan Herodotos dan Diodoros Sikolos, serta geografer Pausanias dan Strabo, melakukan
perjalanan keliling dunia Yunani dan mencatat cerita-cerita yang mereka dengar. Sebagai
hasil dari perjalanannya, mereka berhasil menjabarkan banyak sekali legenda dan mitos lokal
dalam tulisan-tulisan mereka, kadang mereka memberikan versi alternatif yang kurang
dikenal.[7] Herodotos secara khusus mempelajari berbagai tradisi yang dia kenal dan
menyimpulkan bahwa banyak kisah mitologis yang sebenarnya memiliki asal usul historis
dari perseturuan antara Yunani dan Dunia Timur.[9][10] Herodotos berupaya untuk
mempertemukan asal usul dan pencampuran konsep budaya yang berbeda itu.

Sajak-sajak dari zaman Hellenistik dan Romawi kuno kebanyakan disusun untuk tujuan
sastra ketimbang untuk kultus pemujaan. Meskipun demikian, semua itu mengandung banyak
rincian penting yang mungkin saja dapat hilang. Dalam kategori ini, terdapat karya-karya
dari :
1. Para penyair Romawi, contohnya Ovidius, Statius, Valerius Flaccus, Seneca, dan Virgilus
dengan uraian dari Servius.
2. Para penyair Yunani dari periode Antik Akhir, yaitu Nonnos, Antoninos Liberalis, dan Kointos
Smyrnaios.
3. Para penyair Yunani dari periode Hellenistik, antara lain Apollonios dari Rodos, Kallimakhos,
Pseudo-Eratosthenes, dand Parthenios.
4. Para penulis novel dari Yunani dan Romawi, di antaranya adalah Apuleius, Petronius,
Lollianus, dan Heliodoros.

Naskah kuno Fabulae dan Astronomica buatan penulis Romawi, Pseudo-Hyginus, adalah dua
kompendium mitos non-puitis yang sangat penting. Eikones buatan Filostratos Tua dan
Filostratos Muda serta Ekhpraseis buatan Kallistratos adalah dua sumber sastra lainnya yang
juga mengambil tema dari mitologi.

Amphora di Museum Arkeologi Nasional Athena yang menggambarkan dewi Athena.

Pada akhirnya, Arnobius dan sejumlah penulis Yunani Bizantium menyediakan rincian
penting mitos, kebanyakan diambil dari karya-karya Yunani lebih awal yang kini telah
hilang. Naskah kuno yang memelihhara mitos itu di antaranya adalah leksikon buatan
Hesikhios, Suda, dan risalah-risalah buatan Yohanes Tzetzes dan Eustathios. Pandangan
moral Kristen terhadap mitologi Yunani terangkum dalam perkataan, ἐν παντὶ μύθῳ καὶ
τὸ Δαιδάλου μύσος / en panti muthōi kai to Daidalou musos ("Dalam setiap mitos ada
pencemaran Daidalos"). Dalam gaya ini, Suda yang ensiklopedis menceritakan peran
Daidalos dalam rangka memuaskan "nafsu berahi" Pasifae yang "tak wajar" kepada banteng
kiriman Poseidon: "Karena asal mula dan kesalahan dialamatkan kepada Daidalos dan dia
dibenci untuk itu, dia pun menjadi subyek pepatah itu."[11]

Arkeologi

Penemuan Peradaban Mykenai oleh arkeolog amatir Jerman, Heinrich Schliemann, pada abad
kesembilan belas, serta penemuan Peradaban Minoa di Kreta oleh arkeolog Britania, Sir
Arthur Evans, pada abad kedua puluh, banyak membantu dalam menjelaskan beragam
pertanyaan tentang epik Homeros dan menyediakan bukti-bukti arkeologis bagi banyak
rincian mitologis mengenai para dewa dan pahlawan Yunani. Sayangnya, bukti tentang mitos
dan ritual di situs-situs arkeologi Mykenai seluruhnya bersifat monumental, seperti misalnya
naskah Linear B yang digunakan terutama untuk mencatat invantaris, meskipun pada naskah
tersebut ditemukan juga nama-nama dewa dan pahlawan. Linear B sendiri merupakan suatu
bentuk tulisan Yunani yang sangat kuno yang ditemukan di Kreta dan di Yunani daratan.[2]
Desain geometris pada tembikar dan gerabah dari abad kedelapan SM menggambakan
adegan-adegan dari siklus Troya, selain juga petualangan Herakles.[2] Penggambaran mitos
secara visual menjadi penting karena dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa banyak mitos
Yunani yang diceritakan melalui vas lebih dulu daripada melalui karya sastra; dari dua belas
tugas Herakles, misalnya, hanya tugas menangkap Kerberos saja yang diceritakan dalam
karya sastra kontemporer.[12] Alasan lainnya adalah bahwa sumber-sumber visual seringkali
menggambarkan adegan mitos dan mitis yang tidak dikisahkan dalam sumber sastra
manapun. Dalam beberapa kasus, penggambaran awal mitos dalam seni geometris lebih dulu
muncul daripada penggambarannya pada sajak arkais akhir, dan perbedaan waktunya bisa
mencapai beberapa abad.[4] Pada periode Arkais (750–500 SM), Klasik (480–323 SM), dan
Hellenistik (323–146 SM), banyak bermunculan penggambaran pada tembikar yang
memperlihatkan adegan-adegan dari karya Homeros dan adegan-adegan mitologis lainnya,
yang ikut melengkapi bukti sastra yang sudah ada.[2]

Sejarah
Mitologi Yunani telah berkembang seiring waktu demi menyesuaikan dengan perkembangan
budaya Yunani itu sendiri, yang mana mitologi, baik secara terang-terangan maupun dalam
asumsi-asumsi tak terucapkan, merupakan suatu indeks perubahan. Dalam bentuk sastra
mitologi Yunani yang masih tersisa, seperti dapat ditemukan kebanyakan pada akhir
perubahan yang progresif, pada dasarnya bersifat politik, seperti yang dikemukakan oleh
Gilbert Cuthbertson.[13]

Penghuni Semenanjung Balkan yang lebih awal merupakan masyarakat agraris yang
menganut Animisme dan mempercayai keberadaan roh pada setiap unsur alam. Dalam
perkembangan selanjutnya, roh-roh yang samar-samar itu diberikan wujud manusia dan
terlibat dalam mitologi lokal sebagai dewa.[14] Kemudian muncul suku-suku dari sebelah
utara semenanjung Balkan yang datang menyerang. Dalam invasinya, mereka membawa serta
kepercayaan baru yang di dalamnya terdapat pantheon dewa-dewa baru, yang didasarkan
pada penaklukan, keberanian dalam perang, dan kepahlawanan yang kejam. Dewa-dewa yang
telah lebih dulu ada kemudian menyatu dengan dewa sembahan para penyerang yang lebih
kuat. Semantara dewa-dewa yang tidak terasimilasi akhirnya menghilang dan tak lagi
dianggap penting.[15]

Zeus Mencium Ganimede (1758-59) oleh Anton Raphael Mengs. Kisah Zeus dan Ganimede adalah
salah satu contoh hubungan antarlelaki dalam mitologi Yunani.

Setelah pertengahan periode Arkais, mitos mengenai hubungan cinta dan seksual antara dewa
pria dengan manusia pria muncul lebih sering, mengindikasikan adanya perkembangan yang
paralel dengan pejantanan pedagogis (Eros paidikos, παιδικός ἔρως), yang dpercaya telah
diperkenalkan sekitar tahun 630 SM. Pada akhir abad kelima SM, para penyair telah
memberikan setidaknya satu eromenos (pemuda remaja yang menjadi pasangan untuk
hubungan seksual) untuk setiap dewa yang penting kecuali dewa Ares. Kekasih pria juga
dimiliki oleh para tokoh-tokoh manusia yang legendaris.[16] Mitos yang telah ada
sebelumnya, seperti misalnya hubungan persahabatan antara Akhilles dan Patroklos, juga
dijadikan hubungan cinta sesama jenis.[17] Fenomena ini dimulai oleh para penyair
Iskandariyah, dan kemudian dilakukan juga oleh para mitografer yang lebih umum di
Kekaisaran Romawi awal. Mereka sering mengadaptasi ulang cerita-cerita mitologi Yunani
dengan gaya itu.

Pencapaian dibuatnya wiracarita adalah untuk menciptakan siklus cerita dan, sebagai
akibatnya, untuk mengembangkan pemahaman baru mengenai kronologi mitologis. Jadi
mitologi Yunani terungkap sebagai fase dalam perkembangan dunia dan manusia.[18]
Sementara kontradiksi-diri dalam cerita-ceritanya menjadikan tidak mungkin untuk adanya
garis waktu yang mutlak, namun suatu kronologi yang mendekati itu dapat dilihat. "Sejarah
dunia" mitologi yang dihasilkan kemudian, dapat dibagi menjadi tiga atau empat periode
yang cakupannya cukup luas, yaitu:

1. Mitos asal usul atau zaman para dewa (Theogonia, "kelahiran para dewa"): mitos tentang
asal mula dunia, para dewa, dan umat manusa.
2. Zaman ketika dewa dan manusia hidup bersama-sama: kisah-kisah mengenai interaksi awal
antara para dewa, setengah dewa, dan manusia.
3. Zaman para pahlawan (zaman kepahlawanan), ketika intervensi para dewa mulai
berkurang. Kisah yang terakhir dan terhebat dari legenda kepahlawanan adalah cerita
Perang Troya dan kisah-kisah setelahnya, yang oleh beberapa sejarawan dipisahkan menjadi
periode keempat yang terpisah.[19]

Walaupun zaman para dewa banyak menarik minat para para pelajar kontemporer untuk
mempelajari mitologi Yunani, namun para penulis Yunani Kuno pada masa Arkais dan
Klasik jelas-jelas lebih menyukai zaman kepahlawanan. Mereka juga membuat suatu
kronologi dan catatan pencapaian manusia setelah pertanyaan mengenai bagaimana dunia ini
berwujud, terjelaskan. Sebagai contoh, Iliad dan Odisseia yang heroik jauh lebih panjang dan
terkenal daripada Theogonia dan Himne Homeros, yang lebih berfokus pada kisah para dewa.
Di bawah pengaruh Homeros, "pemujaan pahlawan" berujung pada penataan ulang
kehidupan spiritual, yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan ranah kekuasaan para dewa
dari ranah kekuasaan para pahlawan yang telah meninggal, serta pemisahan ranah Khthonik
dari ranah Olimpus.[20]

Dalam Erga kai hemerai. Hesiodos menggunakan skema Empat Zaman (atau Ras) Manusia.
Keempat zaman yang disebutkan olehnya yaitu Zaman Emas, Zaman Perak, Zaman
Perunggu, dan Zaman Besi. Semua zaman atau ras tersebut merupaan ciptaan dewa yang
berbeda-beda, Zaman Emas berlangsung selama kekuasaan Kronos, sedangkan Zaman Perak
terjadi di bawah pemerintahan Zeus. Hesiodos kemudian menambahkan Zaman (atau Ras)
Pahlawan tepat setelah Zaman Perunggu. Zaman terakhir adalah Zaman Besi, yang
merupakan periode kontemporer dimana Hesiodos hidup. Hesiodos menceritakan bahwa
Zaman Besi adalah masa yang terburuk. Kejahatan yang ada di dunia dijelaskan melalui
mitos Pandora, ketika semua hal buruk, seperti misalnya penyakit, kejahatan, kesengsaraan,
dll, yang tersimpan dalam Kotak Pandora berhasil keluar dan menjangkiti umat manusia.
Namun di dalam kotak tersebut masih tersisa satu benda yang sulit untuk keluar, yakni
harapan.[21] Sementara itu dalam karyanya, Metamorphoses, Ovidius juga mengikuti konsep
Hesiodos dan mengisahkan empat zaman yang dialami oleh umat manusia.[22]

Menurut Edith Hamilton, karakteristik mitologi Yunani adalah adanya upaya orang Yunanii
kuno untuk mengurangi tingkat kebiadaban dalam mitologi mereka. Selain itu mitologi
Yunani tidak banyak berisi hal-hal supranatural; tidak ada penyihir pria dan hanya ada dua
orang penyihir wanita, juga tidak ada cerita mengenai hantu yang menakutkan atau astrologi
yang mempengaruhi nasib manusia.[23]
Mitologi
Zaman para dewa

Pengebirian Uranus: lukisan dinding oleh Vasari & Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala di Cosimo I,
Palazzo Vecchio, Firenze).

Kosmogoni dan kosmologi


Lihat pula: Dewa awal Yunani dan Silsilah Dewa-Dewi Yunani

"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam
semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.[24] Versi
yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah filosofis
mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia.
Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini
muncullah Gaia atau Gê (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di
antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks
(Malam). Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera
(Siang).[25] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan Uranus (dewa langit) dan Pontos (dewa
laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan
pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan
Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis.
Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus memutuskan bahwa tidak ada Titan lagi yang boleh
lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata
satu) dan Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan,
para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.[26] Gaia marah atas tindakan Uranus
dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang
"paling cerdik, muda, dan mengerikan",[25] melaksanakan perintah Gaia dan dia pun
memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa
dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan
yang lain menjadi anak buahnya.
Kronos Menelan Anaknya, menggambarkan Kronos yang sedang memakan bayi Poseidon. Lukisan
oleh Peter Paul Rubens.

Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi
oleh putranya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati
ayahnya, dia takut bahwa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea
melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya
dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung
menyembunyikannya dan memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang
langsung saja menelannya. Setelah dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk
meminum suatu ramuan yang mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang
pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut
kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire
(yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh
tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh kemenangan. Sementara itu Kronos dan
para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[27] Atlas sendiri memperoleh hukuman
khusus, yakni dia mesti memikul langit.

Amphora berfigur hitam yang menggambarkan dewi Athena sedang "lahir" dari kepala Zeus, yang
sudah menelan Metis, sementara itu dewi kelahiran, Eileithiia, berada di bagian kanan, 550–525 SM
(Museum Louvre, Paris).

Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahwa putra
dari istri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun
menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus
mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi Athena
yang sudah mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai
alasan mengapa Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus
tetap tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahwa ketika kisah ini
muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah
berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu kemudian
berubah menjadi pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa
konflik.

Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahwa theogonia (cerita
kelahiran para dewa) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikal—dan
menghubungkan banyak kekuasaan di dalamnya. Orfeus, seorang penyair arketipal, juga
merupakan seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios,
dikisahkan bahwa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan
dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para dewa dunia bawah dalam
perjalanannya ke dunia bawah. Dalam Himne Homeros untuk Hermes, ketika Hermes
menciptakan lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para
dewa.[28] Theogonia buatan Hesiodos bukan hanya naskah yang masih bertahan yang
menceritakan mengenai para dewa, namun juga naskah terlengkap yang masih ada yang
menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang
ditujukan untuk para Mousai. Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang
hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus, Mousaios, Epimenides,
Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini pernah
digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada indikasi bahwa Plato
tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[29] Namun, informasi mengenai
kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak
akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang
dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang
masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang
muncul pada aspek-aspek yang cukup umum.

Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih
mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bagian dari karya-karya
ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan baru-baru ini
terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah Papirus Derveni, yang kini
membuktikan bahwa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-
kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan Theogonia buatan Hesiodos.
Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi
malam) sebagai perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan
Zeus.[30] Disebutkan pula bahwa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.

Para kosmolog filsafat dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun
pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa
waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak
Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang
terapung di samudra luas yang disebut Okeanos dan di bagian atasnya ada langit hemisferikal
yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang. Matahari (Helios) mengarungi langit dengan
kereta perangnya pada siang hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam
hari. Matahari, bumi, langit, sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil
untuk mengawasi sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai
jalan masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin
oleh dewa Hades.[31] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke
Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.

Pantheon Yunani
Lihat pula: Agama di Yunani Kuno dan Dewa Olimpus
Patung Poseidon di Museum Arkeologi Nasional Athena. Poseidon merupakan salah dewa Olimpus.

Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa
dan dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para
dewa Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus.
Gagasan yang membatasi bahwa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa
modern.[32] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa
pedesaan, misalnya dewa-satir Pan dan para nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan
banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa
pohon), dan Nereid (nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya
para Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan
kejahatan terhadap keluarga sendiri.[33] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para
penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para dewa).[34] Gregory Nagy
menganggap bahwa "Himne Homeros adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan
dengan Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-
beda'.[35]

Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh
jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri
penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan
bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[36] Menurut Edith Hamilton,
penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa
yang ideal berasal dari penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah
diketahui oleh orang Yunani kuno.[23] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para
dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting
adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui
keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah
karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet
muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan
mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terus-menerus diperbaharui.[37]
Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap menjadikan para dewa itu
memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut
lebih mulia daripada dewa.[23]

Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,


keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa
muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang
lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka
disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan
perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah
Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan
juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-
kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.

Patung Dionisos dan satir. Dibuat dari marmer. Salinan Romawi (abad ke-2 M) dari patung asli
Yunani. Dionisos adalah dewa anggur dan merupakan salah satu dewa yang memiliki karakteristik
yang kompleks.

Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh
jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri
penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan
bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[36] Terlepas dari bentuk yang mendasari
mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang
paling penting adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka
melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian
adalah karakteristik paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet
muda, dihasilkan dari konsumis nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan
mengonsumsi itu, darah di pembuluh para dewa terus-menerus diperbaharui.[37]

Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,


keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi penggambaran para dewa muncul
dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya.
Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan
gabungan nama serta julukannya, yang mengidentifikasikan mereka berdasarkan perbedaan-
perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo
Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga
dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang
julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.

Sebagian besar dewa diasosiasikan dengan apek tertentu dalam kehidupan manusia.
Contohnya, Afrodit adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa
orang mati, dan Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[38] Beberapa dewa, misalnya
Apollo dan Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan kepribadian yang kompleks,
sedangkan yang lainnya, seperti Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios
(secara harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi. kuil-kuil yang
paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja, yaitu dewa-dewa
yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim
pula bahwa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-
dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para
dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan
mereka dan tidak diketahui di daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan
pahlawan (atau setengah dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.

Zaman para dewa dan manusia

Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur
tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada
masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah
masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas
daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam
Metamorphoses karya Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita
tematik, yaitu cerita cinta, dan cerita hukuman.[39]

Seorang Mainad yang sedang marah, membawa sebuah thirsos dan sekor macan tutul, dengan
seekor ular membelit di kepalanya. Tondo dari Kylix Attika Yunani Kuno berlatar putih, 490-480 SM.

Kisah cinta seringkali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan
yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa
dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut pahlawan. Kisah-kisah
yang ada secara umum menunjukkan bahwa hubungan antara dewa dan manusia adalah
sesuatu yang perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir
bahagia.[40] Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia
pria, seperti misalnya dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahwa dewi
Afrodit berhubungan seksual dengan Ankhises dan melahirkan Aineias.[41]

Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman, yaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau
penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus
mencuri api dari para dewa, ketika Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan
Zeus dan memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan
rahasia para dewa, ketika Prometheus atau Likaon menciptakan ritual kurban, ketika Demeter
mengajarkan pertanian dan Misteri kepada Triptolemos, atau ketika Marsias menciptakan
aulos dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahwa kisah
Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".[42] Suatu
fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman
dari Dionisos kepada raja Thrakia, Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahwa Dionisos
adalah seorang dewa. Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai
berujung kematian.[43] Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya
sendiri di Thrakia, juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.[44] Dalam drama tragedi
lainnya, yaitu Bakkhai gubahan Euripides, dikisahkan bahwa raja Thebes, Pentheus, dihukum
oleh Dionisos karena dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para Mainad,
sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[45]
Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[46] serta mengulangi tema
yang sama, dikisahkan bahwa Demeter berusaha mencari putrinya, Persefone. Dalam
pencariannya, Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan
menerima perlakukan yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai balasan atas
kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai
dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi
Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya karena ibu sang anak, Metaneira, melihat
Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah.
Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.[47]

Zaman Pahlawan

Lukisan dinding di Pompeii yang menggambarkan Perseus dan Andromeda. Perseus adalah pahlawan
Yunani dari generasi awal.

Periode ketika para pahlawan hidup disebut dengan istilah Zaman Pahlawan.[48] Sajak-sajak
epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa
tertentu, serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda;
ceita-cerita itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek
saga: kita dapat mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling
berurutan".[18]

Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan
disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga
disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[20] Berlawanan
dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan
tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, namun
pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus
pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahwa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok
lokal.[20]

Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir


dari Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar, yaitu
ekspedisi para Argonaut, Siklus Thebes dan Perang Troya.[49]

Herakles dan para Heraklid


Lihat pula: Herakles dan Heraklid

Beberapa sejarawan percaya[50] bahwa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin
terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos.
Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahwa kisah Herakles adalah alegori untuk
perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[51] Sementara yang
lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan
menunjukkan bahwa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang
sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putra dari Zeus dan Alkmene,
cucu perempuan Perseus.[52] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga
banyaknya tema cerita rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai
Herakles untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan
disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering
diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang tragis
banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou, drama Herakles
gubahan Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama
Euripides lainnya".[53] Dalam sastra dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat
kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering
membawa gada. Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno, pertarungannya
dengan Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahwa dia
adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[54]

Herakles dan Kuda-kuda betina Diomedes. Patung kecil buatan J. M. Félix Magdalena.

Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai
Herkules, dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya
"Herakleis" untuk orang Yunani.[54] Di Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan
pedagang, meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib
baik, serta penyelamatan dari marabahaya.[52]

Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur
resmi para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria
untuk bermigrasi ke Peloponnesos. Hillos, pahlawan eponim dari satu phyle Doria, menjadi
putra Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid. Heraklid sendiri
merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos.
Para Heraklid di antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos, dan Telefos.
Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta
dan Argos. Menurut legenda, mereka mengklaim bahwa merke punya hak untuk berkuasa
dari leluhur mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai
"Invasi Doria". Para raja Lydia, dan kelak Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat
yang sama, juga termasuk golongan para Heraklid.[55]

Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya
Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerofon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan
Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan
sendirian. Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas dongeng, karena mereka
menghadapi monster-monster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur. Petualangan
Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan
Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha
untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam
kisah Perseus dan Bellerofon.[56]

Argonaut
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Argonaut.

Satu-satunya wiracarita hellenistik yang masih bertahan, yaitu Argonautika buatan


Apollonios dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan
Iskandariyah), menceritakan tentang pelayaran Iason dan para Argonaut untuk memperoleh
Bulu Domba Emas dari tanah Kolkhis yang mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh
raja Pelias di istana sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai
petualangannya. Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama
Iason dalan kapal Argo untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal
yang termasuk dalam rombongan Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan
membunuh Minotaur; Atalanta, sang pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki
siklus epik tersendiri menyaingi Iliad dan Odisseia. Pindaros, Apollonios dan Apollodoros
berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok
perjalanan Argonaut.[57]

Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut
terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Odisseia
dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan Odisseus mungkin didasarkan
pada cerita Argonaut).[58] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah,
sebuah insiden dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut
Hitam.[59] Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan
dengan sejumlah legenda lokal. Cerita Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai
penyair tragedi .[60]

Wangsa Atreus

Oidipus dan sphinx, tondo dari kylix Attika berfigur merah, 480–470 SM. Oidipus merupakan salah
satu pahlawan yang muncul dalam Siklus Thebes.

Pada periode antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang
cukup dikenal karena kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan
Atreus dan Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu
dari dua dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos) terdapat suatu
masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan
menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka
memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan
di Mykenai.[61]

Siklus Thebes
Lihat pula: Siklus Thebes dan Tujuh Melawan Thebes
Siklus Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan
Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatan-
perbuatan Laios dan Oidipus di Thebes. Jadi, Siklus Thebes adalah serangkaian cerita yang
berujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan
para Epigoni.[62]

Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal.
Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal nampaknya mengisahkan bahwa dia
melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahwa Iokaste adalah
ibunya, dan kemudian menikahi istri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian
kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-
drama tragedi, misalnya Oidipus Sang Raja gubahan Sofokles serta naskah-naskah mitologi
selanjutnya.[63]

Perang Troya
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Troya

Lihat pula: Siklus Epik

Mitologi Yunani berpuncak pada Perang Troya serta peristiwa-peristwia setelahnya. Perang
Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troya di Asia Kecil. Dalam karya-
karya Homeros, misalnya Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi,
sedangkan tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani.
Perang Troya juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi karena
adanya kisah mengenai Aineias, seorang pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri
ketika Troya dihancurkan. Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota
yang kemudian menjadi kota Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus.
Buku satu dalam Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troya.[64]
Sumber lainnya mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang
ditulis atas nama Diktis Kretensis dan Dares Phrygios.[65]

Lukisan dinding di istana Achilleion yang menggambarkan Akhilles sedang menyeret jenazah Hektor
menggunakan kereta perangnya. Konflik antara Akhilles dan Hektor merupakan bagian penting dari
Iliad, yang menceritakan tentang Perang Troya.

Siklus Perang Troya, suatu kumpulan wiracarita mengena Perang Troya, dimulai dengan
sejumlah peristiwa yang kemudian berujung pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris
dan apel emas Kallistinya, Keputusan Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di
Aulis. Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-
besaran di bawah komando saudara Menelaos, yakni Agamemnon, raja Argos atau Mykenai.
Namun pihak Troya tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus
menggunakan cara-cara kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang
Troya, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan Akhilles, yang merupakan salah
satu prajurit Yunani terhebat. Iliad juga menceritakan kematian Patroklos, sahabat dan
kekasih pria Akhilles, yang mengabaikan nasehat Akhilles sehingga pada akhirnya Patroklos
dibunuh oleh Hektor, putra sulung Priamos. Akhilles marah besar dan balas membunuh
Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan, yaitu
Penthesileia, ratu suku Amazon, dan Memnon, raja Ethiopia dan putra Eos, dewi fajar.[66]
Akhilles membunuh keduanya, namun kemudian Paris berhasil membunuh Akhilles dengan
cara memanahnya di bagian tumitnya. Tumit Akhilles adalah satu-satunya bagian tubuhnya
yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat menaklukan Troya, pasukan
Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium (patung kayu Athena) dari kuil di Troya.
Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena, pasukan Yunani membuat sebuah kuda
kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya. Sebenarnya Kassandra, putri Priamos, sudah
memperingatkan bahwa kuda itu berbahaya, akan tetapi rakyat Troya dipengaruhi oleh Sinon,
orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troya
pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai persembahan untuk dewi Athena.
Laokoon, seorang pendeta mencoba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan
oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troya,
sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang
Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos dan semua putranya
dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual ke berbagai kota di
Yunani.

Dua wiracarita kuno, yaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia karya Homeros,
menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troya (termasuk
pengembaraan Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias
diceritakan dalam wiracarita Aeneid.[67] Siklus Perang Troya juga meliputi kisah-kisah
petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya Orestes
dan Telemakhos.[66]

Perang Troya memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para
seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah
metope di kuil Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini,
yang mengambil tema dari Siklus Troya, mengindikasikan bahwa ksiah itu sangat penting
bagi peradaban Yunani Kuno.[67] Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan
sastra Eropa posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropa Abad
Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah
kepahlawanan dan cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke
dalamnya mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai
kesatria, kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benoît de Sainte-Maure
(Roman de Troie [Roman Troya, 1154–60]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano
[Mengenai Perang Troya, 1183]) menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis
kembali versi standar yang mereka temukan dari naskah kuno karya Diktis dan Dares.
Dengan demikian mereka telah mengikuti nasehat-nasehat Horatius dan contoh-contoh
Virgilus, yaitu mereka menulis kembali sajak Troya dan bukannya menulis sesuatu yang
benar-benar baru.[68]

Konsepsi
Mitologi merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.[69] Orang
Yunani Kuno memandang mitologi sebagai bagian dari sejarah mereka. Mereka
menggunakan mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya,
permusuhan dan persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita dipercaya
sebagai keturunan dewa atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno yang meragukan
kebenaran di balik kisah Perang Troya dalam Iliad dan Odisseia. Menurut Victor Davis
Hanson, seorang ahli sejarah militer, kolomnis, penulis esai politik dan mantan profesor
Klasika, serta John Heath, profesor Klasika di Santa Clara University, pengetahuan yang
mendalam yang terdapat pada epos Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai
basis akulturasi mereka. Homeros merupakan "pendidikan Yunani" (Ἑλλάδος παίδευσις), dan
sajak-sajaknya merupakan "buku".[70]
Filsafat

Plato dalam lukisan dinding Mazhab Athena karya Raphael (kemungkinan disesuaikan dengan wajah
Leonardo da Vinci). Plato adalah filsuf yang membuang studi Homeros, serta kisah-kisah tragedi dan
tradisi mitologi terkait, dalam utopia Republiknya.

Setelah kebangkitan filsafat, sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib
mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah
yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh
Thukydides.[71] Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para
sejarawan dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.[6]

Beberapa filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan
bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6
SM. Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa
manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu
sama lain".[72]

Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and
Hukum. Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik.
Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian,
dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato
memandang mitos sebagai "obrolan istri-istri tua".[73] Plato juga menolak peran sentral para
dewa dalam sastra.[6] Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi
Homeros.[70]

Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan


menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang
tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada
gnanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis;
sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka,
kita harus memerika mereka secara saksama".[71]

Namun, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh
mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan
Homeros tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates,
gurunya:[74]

Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu,


“ Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini berada
dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban
yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang
manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus mempertimbangkan bahaya ”
kehidupan atau kematian, dan bukannya berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah
yang dia lakukan benar atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat.
Karena berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di
Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus
menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata
padanya, ketika dia begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,

Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh


Hektor, maka kau juga akan segera meninggal; karena segera, setelah Hektor,
kematian akan mengampirimu. (Homeros, Iliad, 18.96)

Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan
lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan
dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,

Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan pembalasan pada yang
jahat, maka mungkin aku tidak mungkin berada di sini, mencemooh di samping
kapal yang melengkung, sebuah beban untuk bumi.

Hanson dan Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak
banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[70] Mito-mitos lama dijaga untuk
tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap
menjadi tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.[71]

Lebih sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali bermain-main dengan
tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia
menyisipkan sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-
tema dramanya diambil, tanpa kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis
sebagai jawaban untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides
terutama meragukan mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-
keberatan yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Xenokrates, yaitu bahwa para dewa,
seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno, secara kasar terlalu antropomorfis.[72]

Rasionalisme Hellenistik

Selama periode Hellenistik, mitologi menjadi pengetahuan yang elit dan penuh dengan
prestise dan menunjukkan bahwa pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu.
Pada waktu yang sama, rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih
disebarluaskan.[75] Mitografer Yunani Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar
historis yang aktual untuk makhluk dan peristiwa mitologi.[76] Meskipun karya aslinya, Kitab
Keramat, sudah hilang, namun banyak dari isinya yang kita ketahui karena telah dicatat oleh
Diodoros dan Lactantius.[77]
Rasionalisme Romawi

Patung kepala Cicero di Kopenhagen. Cicero melihat dirinya sebagai pembela tatanan yang teratur,
terlepas dari skeptisisme pribadinya terhadap mitos dan kecenderungannya yang lebih menyukai
konsepsi para dewa yang lebih bersifat filosofis.

Merasionalisasi hermeneutika mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa Kekaisaran
Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari filsafat Stoik dan Epikurean. Orang-
orang Stoik memberikan penjelasan bahwa para dewa dan pahlawan adalah fenomena fisika,
sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan rasional bahwa tokoh-tokoh
mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada saat yang sama, orang-orang Stoik dan
Neoplatonis mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologis, kadang
didasarkan pada etimologi Yunani.[78] Melalui pesan Epikureannya, Lucretius berusaha
membuang ketakutan takhayul dari pikiran warga Romawi.[79]

Livius juga skeptis terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahwa dia tidak berniat
membuat keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).[80] Tantangan untuk bangsa
Romawi yang memiliki rasa yang kuat dan apologetis terhadap radisi keagamaan adalah
untuk mempertahankan tradisi itu sambil mengakui bahwa itu seringkali menjadi asal mula
lahirnya takhayul. Sejarawan Varro, yang menganggap bahwa agama merupakan suatu
institusi manusia dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal baik dalam
msyarakat, melakukan studi yang teliti dan mempelajari asal muasal kultus keagamaan.
Dalam karyanya Antiquitates Rerum Divinarum (yang sudah hilang namun pendekatan
umumnya dapat kita perkirakan dari karya Augustinus, Kota Tuhan) Varro berpendapat
bahwa sementara orang yang percaya takhayul takut terhadap dewa, namun orang yang
beragama menganggap para dewa sebagai orang tua mereka.[79] Dalam karyanya, dia
membedakan para dewa menjad tiga jenis:

1. Dewa alam: personifikasi fenomena alam, misalnya hujan, api, musim.


2. Dewa para penyair: diciptakan oleh para penyair yang tidak bermoral untuk membangkitkan
hawa nafsu.
3. Dewa perkotaan: diciptakan oleh para legislator yang bijaksana untuk menenangkan dan
mencerahkan rakyat.

Akademisi Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia
menyatakan secara tegas bahwa mitos tak punya tempat dalam filsafat.[81] Cicero juga
umumnya meremehkan mitos, namun, seperti Varro, dia berempati karena dia mendukung
agama negara dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelas
sosial yang dipengaruhi oleh rasionalisme ini.[80] Cicero menegaskan bahwa tidak seorangpun
(bahkan orang lanjut usia dan anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk
mempercayai teror Hades atau keberadaan Skilla, kentaur, atau berbagai makhluk campuran
lainnya,[82] namun, di sisi lain, Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh
mengenai karakter orang-orang yang mudah percaya pada takhayul.[83] De Natura Deorum
adalah ikhtisar paling komprehensif mengenai jalan pikiran Cicero.[84]

Penggabungan
Lihat pula: Mitologi Romawi

Apollo Belvedere, patung marmer buatan Romawi (antara 130–140 M), tiruan dari patung perunggu
Yunani (antara 330–320 SM). Dalam agama Romawi kuno, pemujaan dewa Apollo, yang berasal dari
Yunani, digabungkan dengan kultus pemujaan Sol Invictus. Bangsa Romawi menyembah Sol Invictus
sebagai pelindung spesial kaisar, dan Sol Invitus menjadi dewa utama di Kekasairan Romawi sampai
akhirnya digantikan oleh agama Kristen.

Pada masa Romawi kuno, lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi
(penggabungan atau pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal
ini terjadi karena bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan
tradisi mitologi Yunani kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi mengadopsi
ciri-ciri dewa Yunani yang menjadi padanan mereka.[80] Dewa Zeus dan Yupiter merupakan
salah satu contoh tumpang tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan
dua tradisi mitologi, bangsa Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah
Timur. Hal ini yang semakin memperkuat proses sinkretisasi.[85] Sebagai contohnya, kultus
pemujaan matahari diperkenalkan di Romawi setelah kaisar Aurelianus sukses melaksanakan
kampanye militer di Suriah. Dewa dari Asia, yakni Mithras (yang dapat disebut sebagai
personifikasi matahari) dan Ba'al dipadukan dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu
dewa tunggal yang disebut Sol Invictus, yang memiliki banyak atribut campuran dan dipuja
dengan ritus gabungan.[86] Apollo kemungkinan semakin sering diidentikkan dalam agama
dengan Helios atau bahkan Dionisos, namun naskah-naskah mengenainya jarang
memperlihatkan perkembangan semacam ini. Ini barangkali menunjukkan bahwa mitologi
dalam sastra semakin lama semakin tidak berkaitan dengan kegiataan keagamaan yang
sesungguhnya.

Kumpulan sajak Saturnalia karya Macrobius dan Himne Orfik yang tersisa pada masa
sekarang juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme dan tren sinkretisasi. Himne
Orfik merupakan seperengkat komposisi puitis pra-Klasik yang diatribusikan atas nama
Orfeus. Orfeus sendiri merupakan tokoh dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya,
meskipun dihubungan dengan Orfeus, namun sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh
beberapa penyair berbeda, dan mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropa
prasejarah.[87] Sementara itu tujuan dari dibuatnya Saturnalia adalah untuk menyampaikan
kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh oleh Macrobius dari hasil studinya, meskipun
banyak penggambaran para dewa telah dipengaruhi oleh teologi dan mitologi Mesir dan
Afrika Utara (yang juga mempengaruhi penafsiran Virgilus). Dalam Saturnalia, kembali
bermunculan komentar-komentar mitologi yang dipengaruhi oleh orang-orang Euhemeris,
Stoik, dan Neoplatonis.[78]

Pemahaman modern
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Pemahaman modern mitologi Yunani.

Munculnya pemahaman modern mengenai mitologi Yunani dianggap oleh para sejarawan
sebagai reaksi ganda pada akhir abad kedelapan belas melawan "sikap tradisional rasa
permusuhan Kristen", yang mana sikap agama Kristen, yang mengganggap bahwa mitos
merupakan suatu "kebohongan" atau fabel, telah dipertahankan.[88] Di Jerman, sekitar tahun
1795, berkembang rasa ketertarikan terhadap Homeros dan mitologi Yunani. Di Göttingen,
Johann Matthias Gesner mulai membangkitkan kembali studi mitologi Yunani, sedangkan
penerusnya, Christian Gottlob Heyne, bekerja dengan Johann Joachim Winckelmann, dan
mendirikan dasar bagi riset mitologi baik di Jerman maupun di tempat-tempat lainnya.[89]

Bagi Karl Kerényi mitologi adalah "sekummpulan materi yang terkandung dalam kisah-kisah tentang
makhluk mirip dewa, pertempuran pahlawan dan perjalanan ke Dunia bawah—mythologem adalah
kata Yunani yang terbaik untuk itu—kisah-kisahnya sudah banyak dikenal namun tidak dapat
menerima pembentukan ulang".[90]

Pendekatan psikoanalitis dan komparatif


Lihat pula: Mitologi perbandingan

Perkembangan filologi perbandingan pada abad ke-19, bersama dengan penemuan etologis
pada abad ke-20, menjadikan munculnya ilmu mitos. Sejak masa Romantik, semua studi
mitos telah menjadi ilmu perbandingan. Wilhelm Mannhardt, Sir James Frazer, dan Stith
Thompson menggunakan pendekatan perbandingan untuk mengumpulkan dan
mengklasifikasikan tema-tema folklor dan mitologi.[91] Pada tahun 1871 Edward Burnett
Tylor menerbitkan karyanya, Primitive Culture, yang di dalamnya dia menerapkan metode
perbandingan serta berusaha untuk menjelaskan asal mula dan perkembangan agama.[92]
Prosedur Tylor yang secara bersama-sama menarik materi kebudayaan, ritual, dan mitos dari
kebudayaan yang berbeda-beda berpengaruh pada Carl Jung dan Joseph Campbell. Max
Müller menerapkan ilmu baru mitologi perbandingan dalam studi mitos, yang mana dia
menemukan sisa-sisa yang terdistorsi dari pemujaan alam bangsa Arya. Bronisław
Malinowski menekankan cara mitos memenuhi fungsi-fungsi sosial yang umum. Sementara
Claude Lévi-Strauss dan para strukturalis lainnya membandingkan hubungan formal dan
pola-pola pada mitos di seluruh dunia.[91]
Sigmund Freud memperkenalkan konsepsi biologis dan transhistoris mengenai manusia serta
pendangan terhadap mitos sebagai suatu ekpsresi dari gagasan yang ditekan. Tafsir mimpi
merupakan dasar dari interpretasi mitos Freud dan konsep Freud mengenai cara kerja mimpi
mengenali pentingnya hubungan kontekstual untuk menafsirkan unsur individual apapun
dalam sebuah mimpi. Menurut Freud, teorinya ini akan menemukan poin yang penting dalam
penyesuaian antara pendekatan strukturalis dan psikoanalitis terhadap mitos.[93] Carl Jung
memperluas pendekatan psikologis dan transhistoris itu dengan teorinya mengenai "alam
bawah sadar kolektif" dan arketipe (pola-pola "arkais" yang diturunkan), seringkali diulang-
ulang dalam mitos, yang muncul dari itu.[2] Menurut Jung, "unsur struktural pembentuk mitos
pasti ada di alam bawah sadar".[94] Membandingkan metodologi Jung dengan teori Joseph
Campbell, Robert A. Segal menyimpulkan bahwa "untuk menafsirkan mitos, Campbell
secara sederhana mengidentifikasi arketipe di dalamnya. Interpretasi terhadap Odisseia,
misalnya, dapat menunjukkan bagaimana kehidupan Odisseus menyesuaikan diri dengan pola
kepahlawanan. Berlawanan dengan Jung, yang berpendapat bahwa identifikasi arketipe hanya
semata-mata langkah pertama dalam menfasirkan mitos".[95] Karl Kerényi, salah satu pendiri
studi modern mengenai mitologi Yunani, meninggalkan pandangan awalnya tentang mitos,
supaya dapat menerapkan teori Jung pada mitologi Yunani.[96]

Teori asal usul


Lihat pula: Kemiripan antara mitologi Etruska, Yunani, dan Romawi

Max Müller dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu perbandingan mitologi. Dalam karyanya
Mitologi Perbandingan (1867) Müller menganalisa kemiripan yang "mengganggu" antara mitologi-
mitologi dari "ras biadab" dengan mitologi milik bangsa Eropa awal.

Ada beragam teori modern mengenai asal usul mitologi Yunani. Menurut Teori Kitab, semua
legenda mitologi berasal dari cerita-cerita dalam naskah kuno, meskipun fakta nyata telah
disamarkan dan dimodifikasi.[97] Menurut Teori Sejarah semua orang yang disebutkan dalam
mitologi dulunya merupakan manusia nyata, dan legenda mengenai mereka merupakan
tembahan pada masa selanjutnya. Jadi cerita Aiolos muncul dari fakta nyata bahwa Aiolos
merupakan penguasa beberapa pulau di Laut Tyrrhenia.[98] Teori Alegori menyatakan bahwa
semua mitos kuno bersifat simbolis dan merupakan alegori atau kiasan. Sementara Teori
Fisik menyebutkan gagasan bahwa unsur-unsur semacam udara, api, dan air, pada awalnya
merupakan obejk pemujaan relijius, sehingga dewa-dewa utama merupakan personifikasi dari
kekuatan alam tersebut.[99] Max Müller berupaya untuk memahami bentuk keagamaan India-
Eropa dengan cara melacaknya kembali pada banga Arya, perwujudan "asli"nya. Pada tahun
1891, dia menyebutkan bahwa "penemuan terpenting yang pernah dibuat pada abad
kesembilan belas dengan rasa hormat pada sejarah kuno umat manusia ... adalah persamaan
sederhana ini: Dyaus-pitar Sansakerta = Zeus Yunani = Yupiter Latin = Tyr Nordik Kuno".

Dalam kasus lainnya, kedekatan dalam hal karakter dan fungsi mengindikasikan adanya
pewarisan umum, namun kurangnya bukti linguistik menjadikannya sulit untuk dibuktikan,
seperti dalam perbandingan antara Uranus (Yunani) dengan Varuna (Sansakerta) atau Moirai
(Yunani) dengan Norn (Nordik).[100] [101]

Di pihak lain, arkeologi dan mitografi telah mengungkapkan bahwa bangsa Yunani terilhami
oleh beberapa peradaban di Asia Kecil dan Timur Dekat. Adonis nampaknya merupakan
padanan versi Yunani dari "dewa yang mati" dari daerah Timur Dekat, yang lebih jelas dalam
kultus daripada dalam mitos. Dewi Kibele berakar dari kebudayaan Anatolia, yang juga
merupakan tempat munculnya ikonografi Afrodit dari dewi-dewi Semit. Ada juga
kemungkinan kesetaraan antara generasi dewa terawal (Khaos dan anak-anaknya) dengan
Tiamat dalam Enuma Elish.[102] Menurut Meyer Reinhold, "konsep kedewaan Timur, yang
melibatkan pergantian kekuasaan melalui kekerasan dan konflik antargenerasi demi
kekuasaan, menemukan jalan mereka ... ke dalam mitologi Yunani".[103]

Selain berasal dari India-Eropa dan Timur Dekat, beberapa sejarawan juga mengajukan
pendapat bahwa mitologi Yunani dipengaruhi pula oleh peradaban pra-Hellenik, di antaranya
peradaban di Kreta, Mykenai, Pylos, Thebes dan Orkhomenos.[104] Para sejarawan agama
terkagum-kagum oleh sejumlah konfigurasi kuno mengenai mitos yang berkaitan dengan
Kreta (Zeus dan Europe, Banteng Kreta, Minos, Daidalos dan Ikaros, Minotaur, dll.).
Profesor Martin P. Nilsson menyimpulkan bahwa semua mitos besar Yunani Klasik terikat
pada pusat-pusat peradaban Mykenai dan berasal dari masa prasejarah.[105] Namun, menurut
Burkert, ikonografi dari Periode Istana Kreta hanya memberikan sedikit informasi yang dapat
mendukung teori ini.[106]

Dalam sastra dan seni


Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Mitologi Yunani dalam sastra dan seni Barat.

Lihat pula: Daftar film yang berdasarkan mitologi Yunani-Romawi

Agama Kristen yang menyebar secara luas tidak menghentikan kepopuleran mitologi Yunani.
Dengan ditemukannya kembali antikuitas klasik pada Abad Renaisans, sajak-sajak Ovidius
memberi banyak pengaruh terhadap para penyair, penulis drama, musikus, dan seniman
barat.[107] Sejak tahun-tahun awal Renaisans, para seniman semacam Leonardo da Vinci,
Michaelangelo Buonarroti, dan Raffaello Sanzio, banyak menggambarkan tema-tema Pagan
mitologi Yunani bersama dengan tema-tema Kristen, yang lebih konvensional.[107] Melalui
bahasa Latin dan karya-karya Ovidius, mitologi Yunani mempengaruhi para penyair Abad
Pertengahan dan Renaisans, misalnya Petrarca, Giovanni Boccaccio, dan Dante Alighieri di
Italia.[2]

Personifikasi hari dalam mitologi Yunani. Dari kiri ke kanan: Apollo/Helios - personifikasi siang hari,
Hesperos - personifikasi petang hari, dan Artemis/Selene - personifikasi malam hari. Lukisan karya
Anton Raphael Mengs di Istana Moncloa, Madrid, Spanyol.

Di Eropa Utara, mitologi Yunani tidak memberi pengaruh dalam seni visual sebesar di daerah
Eropa lainnya. Pengaruh mitologi Yunani di Eropa Utara lebih terlihat dalam sastra. Di
Inggris, mitologi Yunani dalam sastra dipelopori oleh Geoffrey Chaucer dan John Milton,
dan terus berlanjut melalui William Shakespeare sampai Robert Bridges pada abad ke-20.
Jean Racine di Perancis dan Johann Wolfgang von Goethe di Jerman membangkitkan
kembali drama Yunani, dan mengerjakan ulang mitos-mitos kuno.[107] Meskipun pada Zaman
Pencerahan pada abad ke-18 muncul reaksi melawan mitologi Yunani yang menyebar di
seluruh Eropa, mitologi Yunani terus menjadi sumber materi untuk para penulis drama,
termasuk mereka yang menulis libretto untuk banyak opera buatan George Frideric Handel
dan Wolfgang Amadeus Mozart.[108]

Pada akhir abad ke-18, romantisisme memicu gerakan antusiasme terhadap segala hal tentang
Yunani Kuno, termasuk mitologi Yunani. Di Britania, terjemahan baru drama tragedi Yunani
serta karya-karya Homeros telah mengilhami penyair kontemporer, seperti Alfred Lord
Tennyson, John Keats, Byron dan Percy Bysshe Shelley, juga para pelukis, misalnya Lord
Leighton dan Lawrence Alma-Tadema.[109] Christoph Willibald Gluck, Richard Strauss,
Jacques Offenbach dan banyak lainnya memasukkan tema-tema mitologi Yunani ke dalam
musik.[2] Penulis Amerika pada abad ke-19, di antaranya Thomas Bulfinch dan Nathaniel
Hawthorne, berpendapat bahwa pembelajaran mitos klasik adalah penting bagi pemahaman
sastra Inggris dan Amerika.[110] Pada masa yang lebih modern, tema-tema mitologi Yunani
juga digunakan oleh para penulis drama seperti Jean Anouilh, Jean Cocteau, dan Jean
Giraudoux di Prancis, Eugene O'Neill di Amerika, serta T. S. Eliot di Britania dan oleh para
novelis seperti James Joyce dan André Gide.[2]

Anda mungkin juga menyukai