1
1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Subdural Hematoma / Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 15
jam SMRS setelah kecelakaan. Pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran: Sopor, GCS: E2M4V1, TD: 114/72, HR:
90x/menit, RR : 17 x/mnt, T :36.6, BB=50 kg. Terdapat hematom pada mata kanan dan luka-luka di kepala bagian
kanan, bahu kanan dan kaki kanan. Pada pemeriksaan penunjang CT Scan didapatkan kesan perdarahan subdural
frontotemporal dextra.
2. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat penyakit bawaan (-), Alergi (-), Hipertensi (-), Kencing manis (-)
3. Riwayat Keluarga : Tidak ada yang memiliki kelainan bawaan. Riwayat Hipertensi (-), Kencing manis (-)
4. Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja sebagai karyawan di bengkel.
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Tidak ada yang berhubungan.
Daftar pustaka:
1. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Edisi 5. Jakarta: PT Gramedia; 2014, h.311-44.
2. Price SA; Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. 2005.
h.1175-6.
3. Sjamsuhidajat R de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Ed 3. Jakarta: EGC ; 2010.
4. Doherty GM. Current: Diagnosis & Treatment Surgery. Lange. 13th Edition. New York: Mc Graw-Hill Medical;
2009.
Hasil pembelajaran:
1. Penegakan diagnosis Subdural Hematoma.
2. Penanganan awal dan manajemen kegawatdaruratan pada Subdural Hematoma.
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai Subdural Hematoma dan penanganannya.
1. Subjektif : (Alloanamnesis)
• Keluhan Utama: Penurunan kesadaran sejak 15 jam SMRS.
2
• Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dibawa oleh keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 15 jam SMRS.
Kecelakaan terjadi karena pasien tiba-tiba terjatuh sendiri dari motor. Saat terjatuh, kepala bagian kanan, bahu
kanan, dan kaki kanan pasien membentur aspal jalan dan kemudian pasien tidak sadar. Pasien dibawa ke IGD RS
Yadika oleh temannya. Sebelum sampai di IGD RS Yadika, saat dibonceng oleh temannya pasien terjatuh
kembali karena tertabrak motor. Di IGD RS Yadika, dilakukan penjahitan luka di kepala. Kemudian pasien
dirujuk ke RSUD Kota Bekasi. Di IGD RSUD Kota Bekasi, pasien terlihat gelisah. Menurut keluarga pasien,
pasien tidak kejang, tidak ada muntah, demam atau keluar cairan dari telinga.
2. Objektif :
Status Present
KU : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor
GCS : E2M4V1
Tekanan Darah : 114/72 mmHg
HR : 90x/menit, Regular (+)
Respirasi : 17 x/menit
Suhu : 36,6 0C
BB : 50 kg
TB : 170 cm
3
Status Generalis
Kepala : Normocephali, simetris, hecting (+) di regio frontal dextra
Mata : Hematom palpebra dextra, pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik.
Leher : Pembesaran KGB (-), Trakea ditengah.
Thoraks
o Paru
Inspeksi : Simetris pada kedua lapang paru pada saat statis dan dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), taktil fremitus normal
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Ronki (-/-), wheezing (-/-)
o Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (-), Tidak teraba massa
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
4
Ekstremitas : Edema -/-, sianosis -/-, Capillary Refill time < 3 detik. VE di regio deltoid dextra, antebrachii
dextra, dan dorsum pedis dextra.
Laboratorium:
- Tanggal 29 September 2018 (Lab RSUD Kota Bekasi)
- Darah Rutin
Nama Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 11,7 13-17,5 gr/dl
Hematokrit 34,3 40-54%
Leukosit 16600 5000-10000/ul
Trombosit 164000 150000-400000/ul
- Kimia Klinik
Nama Pemeriksaan Hasil Rujukan
Ureum 42 20 – 40 mg/dL
Kreatinin 1,14 0,5 – 1,5 mg/dL
eGFR 85 90 – 120 mL/mnt/1,73
GDS 127 90 – 120 mg/dl
Natrium 142 135-145 mmol/l
Kalium 4,4 3,5-5 mmol/l
Clorida 105 94-111 mmol/l
5
CT Scan Brain Non Kontras
Tanggal 30 September 2018
- Perifer kortikal sulci dan gyri baik
- Sistem ventrikel dan sisterna normal
- Tak tampak pergeseran struktur garis tengah.
- Tampak perselubungan hiperdens berbentuk
cekung di parietal dextra dan frontal dextra
- Tampak swelling jaringan lunak parietal dextra
- Tampak diskontinuitas os maksilaris dextra
- Pons, cerebellum dan sudut cerebeloportin tak
tampak lesi
- Parasella dan suparasella tak tampak formasi
tumor
- Sinus maksilaris dextra tampak hiperdens
- Tampak bayangan hipodens di jaringan lunak
parietal dextra
Kesan:
Perdarahan subdural parietal dextra dengan
hematosinus maksilaris dextra
Fraktur sinus maksilaris dextra dengan
pembengkakan jaringan lunak parietal dextra
6
3. Assesment (penalaran klinis)
Subdural hematoma merupakan pendarahan yang terjadi pada rongga subdural diantara duramater dan
subarakhnoid disebabkan oleh robeknya bridging vein yang terdapat di antara duramater dengan ruang arakhnoid
ditandai dengan penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual muntah, kejang. Berdasarkan onset dan hasil pemeriksaan
CT Scan, subdural hematoma dapat dikelompokan menjadi akut, subakut dan kronis. Dengan insidens kejadian yang
tinggi dan karena sifatnya yang mengancam nyawa maka diperlukan tindakan yang cepat dan tepat dalam penanganan
kasus ini.1
Gejala SDH
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 – 72 jam setelah cedera dan berkaitan erat dengan
trauma otak berat. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
7
terhadap rangsangan verbal maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang
otak.
Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak: Penurunan kesadaran,
penglihatan kabur, susah bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar cairan darah dari hidung atau telinga, tampak luka yang
dalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pusing, berkeringat, pucat, pupil anisokor (pupil ipsilateral menjadi melebar).2
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada
perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif.
8
Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.3
Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan penilaian status neurologis dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Pemeriksaan neurologis awal memberikan dasar penting yang harus digunakan untuk
mengikuti kursus klinis pasien. Ketika direkam dalam bentuk skor GCS, juga memberikan informasi prognostik penting.4
Penatalaksanaan
Di dalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan
medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.
9
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek massa (mass effect) tetapi pada
SDH kasusnya hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan
merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral. Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang
negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosis yang buruk dan bukan indikasi untuk operasi.
Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala yang progresif, maka jelas
diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABC). Tindakan operasi
ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
10
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini
sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan
kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume
hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif. Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh
luasnya hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di dapatkan
hematoma dalam jumlah banyak, duramater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara
menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibuka lebar dan
hematoma dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah keruang
subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical patties disedot (suction). Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar,
sisa hematoma akan melekat pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan kateter
kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural,
duramater dijahit rapat. Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosis akhir SDH dengan maksud untuk mengeluarkan
seluruh hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema serebral pasca operasi.
Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah
kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini. Penggunaan
teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.1,4
11
Prognosis
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran
yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa
kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak. 1
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus
pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas
menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm), prognosanya baik. Sebuah
penelitian menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)
mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple
SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.
Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio
atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi
50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling
penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.
Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect)
terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun
demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidak selalu berakhir dengan kematian. Pada kebanyakan
kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome)
daripada akumulasi hematoma ekstra axial di ruang subdural.4
- Plan :
12
DIAGNOSIS KERJA
Subdural Hematoma
Edema cerebri
4. TERAPI
Farmakologis
- O2 3 lpm
- Ringer Asering 20 tpm
- Manitol drip 4 x 125 cc
- Ceftizoxime inj 3 x 1 gr
- Ketorolac inj 3 x 30 mg
- Citicolin inj 3 x 500 mg
- Ranitidin inj 2 x 1 amp
- Neurobion 5000 inj 1 x 1 amp
Nonfarmakologis
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Tirah Baring
- Posisi head up 30o (Semi fowler)
5. Follow up
Tanggal 2 Oktober 2018
S:-
13
O : KU : TSB N : 86x/mnt
Kes : Apatis R : 26 x/mnt
GCS: E2M5V3 S :37,1 C
TD : 120/82 mmHg
Kepala : CA -/- , SI -/-
Thorax : BJ murni regular, murmur (-), gallop (-)
Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
Abdomen : BU (+)
Extremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : Subdural Hematoma
Edema cerebri
P:
- Pindah ruangan
- Terapi lanjut
14
Thorax : BJ murni regular, murmur (-), gallop (-)
Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
Abdomen : BU (+)
Extremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : Subdural Hematoma
Edema cerebri
P : Terapi lanjut
15