Anda di halaman 1dari 8

Pembuatan Digital Terrain Model Surface Bendungan Jlantah

dengan Metode Reality Modelling - Fotogametri


Ihsan Ash Shiddiqi1, Nur Rokhman Budi2, Edi widodo3
PT Waskita Karya (Persero) TBK , Proyek Bendungan Jlantah

Abstrak
Pembangunan Bendungan Jlantah merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan
daerah Kabupaten Karanganyar yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya air,
guna memenuhi berbagai keperluan masyarakat, seperti mengatasi kekurangan air,
penyediaan air irigasi, penyediaan air baku, serta sumber pembangkit listrik. Waktu efektif
pelaksanaan pembangunan berkurang dari 1440 hari menjadi 1265 hari kalender. Oleh
karena itu, diperlukan metode yang cepat dan tepat dalam survey dan pelaksanaan, salah
satunya dengan metode survey Fotogametri dan Reality modelling dalam pembuatan DTM
surface Bendungan Jlantah.
Kata Kunci: Survey, Bendungan, Fotogametri, Reality Modelling

Pendahuluan
Pembangunan Bendungan Jlantah merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan
daerah Kabupaten Karanganyar yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya air,
guna memenuhi berbagai keperluan masyarakat, seperti mengatasi kekurangan air,
penyediaan air irigasi, penyediaan air baku, serta sumber pembangkit listrik. Bendungan
Jlantah direncanakan memiliki tampungan dengan volume 10.9 juta m3 dan diperkirakan
mampu mencukupi kebutuhan air agi 1493 hektare lahan pertanian di sekitar Kecamatan
Jatiyoso.
Pembangunan Bendungan Jlantah direncanakan akan berlangsung pada akhir tahun
2018-2022. Sementara SPMK dan BASTL baru disahkan pada tanggal 26 Juli 2019
sehingga waktu efektif pelaksanaan berkurang dari 1440 hari menjadi 1265 hari kalender.
Oleh karena itu, diperlukan metode yang cepat dan tepat dalam survey dan pelaksanaan
konstruksi untuk mengoptimalkan waktu pelaksanaan yang tersedia.
Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi
yang dapat dipercaya tentang suatu objek fisik dan keadaan di sekitarnya melalui proses
perekaman, pengamatan atau pengukuran dan interpretasi citra fotografis atau rekaman
gambar gelombang elektromagnetik. (Santoso, B, 2001), Definisi fotogrametri di atas
mencakup dua bidang kajian, yaitu :

1
1. Fotogrametri metrik. Fotogrametri metrik mempelajari pengukuran cermat
berdasarkan foto dan sumber informasi lain yang pada umumnya digunakan untuk
menentukan lokasi relatif titik-titik sehingga dapat diperoleh ukuran jarak, sudut,
luas, volume, elevasi, ukuran, dan bentuk objek. Fotogrametri metric banyak
digunakan dalam pembuatan peta planimetrik, peta topografi, peta geologi,
kehutanan, pertanian, pertanahan, dan lainnya.
2. Fotogrametri interpretatif. Fotogrametri interpretatif digunakan untuk
mengidentifikasi dan menganalisa objek tersebut dengan cermat sesuai dengan
kegunaannya.
Reality Modelling adalah proses merekam kondisi existing lapangan dengan menggunakan
fotografi dan point cloud untuk membuat referensi dan model 3D dengan tingkat ketelitian
yang tinggi. Reality Modelling dilakukan dengan cara mengambil foto udara dengan
menggunakan UAV Mapping Drone, dan menyesuaikan koordinat masing-masing foto
udara tersebut dengan titik GCP atau Ground Control Point. Foto udara yang didapat,
diolah dengan menggunakan software hingga didapat model digital yang dapat mewakili
kondisi real lapangan.
Dengan menggunakan metode tersebut, diharapkan didapat data Digital Terrain Model
secara cepat dan akurat yang selanjutnya dapat diexport menjadi surface dan dimanfaatkan
untuk pengukuran volume cut and fill maupun perencanaan pelaksanaan lainnya.

Metode
Kegiatan survei dan pemetaan udara menggunakan UAV Mapping Drone dibagi dalam
tiga tahap, yaitu persiapan dan perencanaan, akuisisi data, dan pengolahan data. Adapun
penjelasan dari setiap tahapan tersebut, antara lain:
1. Persiapan dan Perencanaan
Persiapan perangkat meliputi UAV Mapping Drone, patok GCP, GPS Geodetik, Software
Agisoft Metashape Pro, software DAT/EM Summit Evolution, serta monitor (3D vision dan
pendukung), receiver, kacamata 3D, dan mouse 3D untuk proses editing akhir.
Perencanaan meliputi penentuan cakupan area, persebaran GCP, desain Premark, metode
pengukuran GCP, dan rencana jalur terbang.
2. Akuisisi Data
Akuisisi data adalah proses pengambilan data, yang meliputi pemasangan Premark pada
GCP, pengukuran GCP, dan pengambilan foto udara menggunakan UAV Mapping Drone.

2
3. Pengolahan Data
Pengolahan data terdiri dari post processing GCP, pengolahan foto menjadi DSM di
Agisoft Methashape Pro, dan Editing DSM menjadi DTM menggunakan DAT/EM Summit
Evolution.
Berikut adalah diagram alir kegiatan survei dan pemetaan udara menggunakan UAV
Mapping Drone:
Mulai

Persiapan
PERSIAPAN &
Penentuan Lokasi Bendungan PERENCANAAN

Desain dan Pemasangan Pembuatan


Pre mark (GCP) Jalur Terbang

Pengambilan Foto dengan


Pengukuran
Flight Mission using
GCP
UAV Mapping Drone AKUISISI DATA

GCP Foto Udara Format Kecil

Olah Foto di Agisoft Metashape Pro:


Align Phothos

Bundle Adjustment
with Self-Calibration PENGOLAHAN
DATA
Build Dense Cloud

Build Mesh

Build Texture

Orthophoto Export Camera (*.smtxml) Dense Cloud

Editing di DAT/EM Summit Evolution:

Editing Dense Cloud to


Ground

Create Contour

Selesai Contour (DTM)

Gambar 1 Bagan Alir Kegiatan survei dan pemetaan udara menggunakan UAV Mapping Drone

3
GCP digunakan sebagai referensi pada saat pengolahan foto. Jumlah dan persebaran titik
GCP harus merata, mudah terlihat, dan direncanakan sesuai dengan tingkat ketelitian yang
ingin dicapai serta dengan bentuk jalur terbang pesawatnya. Posisi GCP ditandai dengan
premark berupa persegi 1x1 meter seperti papan catur dengan warna orange hitam. GCP
diukur menggunakan GPS Geodetik dengan metode Statik Radial yang diikatkan pada dua
titik BM. Dengan demikian hasil post processing GCP sesuai dengan koordinat
sebenarnya.
Koordinat GCP yang dihasilkan dari post processing GCP digunakan sebagai referensi
pada pengolahan foto di Agisoft. Dengan demikian, hasil pengolahan foto menjadi DSM
sudah tergeorefensi dengan koordinat sebenarnya.

Hasil dan Pembahasan


Dari hasil survey fotogametri menggunakan UAV Mapping Drone, didapat koordinat titik
GCP sebagai berikut:
Tabel 1 Koordinat Titik GCP
GCP Y X Z
1 9146901.266 508468.348 662.110
2 9147775.555 508303.543 703.810
3 9147676.509 508868.141 721.230
4 9148088.589 508887.399 755.054
5 9148318.398 509739.593 750.389
6 9148317.842 510568.033 774.727
7 9147996.914 509890.326 810.444
8 9147061.062 510337.928 768.399
9 9147797.672 509205.077 699.323
10 9146930.988 509268.586 744.303
11 9147224.318 508952.147 724.909

Jumlah titik yang terukur sebanyak 11 titik, dengan dua diantaranya sebagai titik ikat yaitu
GCP 3 dan 8. GCP digunakan dalam pendefinisian koordinat tanah agar diperoleh
orthophoto yang lebih tepat.
Sementara jumlah foto udara yang diperoleh dari pengambilan foto dengan tiga kali
terbang adalah 3000 foto. Dengan dilakukan seleksi pada foto-foto yang hasilnya kurang
jelas, maka diperoleh 2177 foto yang dapat digunakan. Foto-foto udara tersebut kemudian
diolah dengan melakukan geotagging pada setiap foto dengan menggunakan Software
Agisoft. Geotagging adalah proses pemberian informasi posisi pada setiap foto yang
meliputi koordinat longitude (easting), latitude (northing), dan height/ elevasi.

4
Gambar 2 Foto Udara dengan UAV Mapping Drone

Output akhir yang dihasilkan dari pengolahan foto di Agisoft adalah Digital Surface Model
(DSM) dan orthophoto dengan resolusi masing-masing 23 cm/pix dan 5.75 cm/pix. DSM
merupakan data digital dalam format raster/ grid yang menunjukkan ketinggian permukaan
penutup lahan, seperti: atap bangunan, pohon, jembatan, dan objek lainnya. Orthophoto
menjadikan seluruh permukaan diproyeksikan secara orthogonal, sehingga diperoleh foto
tegak yang merepresentasikan kondisi lapangan.

Gambar 3 Output berupa DSM (Digital Surface Model)

5
Gambar 4 Output berupa Orthophoto

DTM merupakan representasi numerik yang menunjukkan ketinggian permukaan tanah


tanpa objek-objek penutup lahan. DTM dihasilkan dari draping data dense cloud DSM
pada objek-objek penutup lahan ke tanah melalui 3D view perspective dengan software
DAT/EM Summit Evolution. DTM kemudian diubah menjadi kontur menggunakan
Software Global Mapper dan diimpor ke Software Civil 3D untuk membetuk Surface OGL
(Original Ground Level).

Gambar 5 Output berupa DTM (Digital Terrain Model)

6
Gambar 6 Output berupa kontur

Penerapan fotogametri menggunakan UAV mapping drone masih terbilang cukup baru
dalam konstruksi terutama di pembangunan bendungan, maka perlu dilakukan pengecekan
antara surface yang dihasilkan UAV mapping drone terhadap surface yang dihasilkan dari
pengukuran secara manual. Berikut perbandingan antara elevasi hasil pengukuran dengan
elevasi hasil UAV mapping drone dengan mengambil sampel pada batas pembebasan lahan.
Hasil survey manual disimbolkan dengan garis putus-putus biru, sementara hasil UAV
mapping drone disimbolkan dengan garis putus-putus hijau.

Gambar 7 Perbandingan antara survey manual dengan survey Fotogametri

7
Gambar 8 Perbandingan antara survey manual dengan survey Fotogametri

Gambar 9 Perbandingan antara survey manual dengan survey Fotogametri

Dari ketiga gambar di atas, dapat dilihat bahwa masih terdapat selisih elevasi pada
beberapa titik yang mencapai kurang lebih 2 meter. Akan tetapi hasil yang diperlihatkan
oleh survey fotogametri lebih mendetail. Hal tersebut terlihat dari beberapa garis cembung
yang ada di antara 2 titik pada hasil survey fotogametri. Sementara garis di antara 2 titik
survey manual, hanya berupa garis lurus interpolasi antara 2 titik.

Kesimpulan
1. Pembuatan surface dengan menggunakan survey fotogametri UAV mapping drone
memerlukan waktu yang lebih singkat, akan tetapi memerlukan resource dan biaya
yang relatif lebih tinggi.
2. Surface yang dihasilkan metode fotogametri UAV perlu diuji lebih lanjut, terlebih jika
akan digunakan dalam perencanaan pelaksanaan maupun penagihan ke owner.
3. Surface yang dihasilkanmetode fotogametri UAV mapping drone lebih detail jika
dibandingkan dengan hasil survey manual.

Anda mungkin juga menyukai