PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
A. Etiologi
TAHAP PROGNOSIS
Tahap I Syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap respons
kompensatorik, dapat dapat menstabilkan sirkulasi,
mencegah kemunduran lebih lanjut.
Tahap II Tahap progresif, ditandai dengan manifestasi sistemik
dari hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ.
Tahap III Refrakter (ireversibel), tahap dimana kerusakan sel yang
hebat tidak dapat lagi dihindari yang pada akhirnya
menuju kematian.
Kerusakan miokardium, baik iskemia maupun infark pada miokardium
mengakibatkan perubahan metabolism dan terjadi asidosi metabolik pada
miokardium yang berlanjut pada gangguan pada kontraktilitas miokardium. Hal
ini berakibat pada penurunan isi sekuncup yang dikeluarkan oleh ventrikel.
Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya curah
jantung dan hipotensi arteri. Akibat menurunnya perfusi koroner yang lebih
lanjut, akan meningkatkan hipoksia miokardium yang bersiklus ulang pada
iskemia dan kerusakan miokardium ulang. Dari siklus ini dapat ditelusuri bahwa
siklus syok kardiogenik ini harus diputuskan sedini mungkin untuk
menyelamatkan miokardium ventrikel kiri dan mencegah perkembangan menuju
tahap ireversibel dimana perkembangannya akan menuju pada aritmia dan
kematian.
Infark
miokardial
akut
Iskemia menimbulkan
kerusakanpada
miokard
Perubahan
Peningkatan metabolisme
hipoksia pada
miokardium miokardium
Gangguan
Penurunan tekanan
kontraktilitas
perfusi arteri koroner
miokardium
dan terjadi aliran darah
kolateral
Kelainan ini terjadi sebagai akibat reptur otot sebagai papilaris yang
nekrotik. Hal ini mengakibatkan sejumlah besar darah mengalir kebelakang atau
regurgitasi ke dalam atrium dan sirkuit paru-oaru yang juga mengakibatkan
penurunan aliran darah ke depan atau curah jantung.
Bila terjadi rupture pada muskulus papilaris ventrikel kiri, hal ini
mengakibatkan fatal. Diagnosis dapat dibuat jika terdapat holosistolik murmur,
ekokardiografi, dan dapat pula dengan Swan Ganz kateter. Disfungsi ventrikel
kanan dapat dilihat dari meningginya CVP. Sedangkan disfungsi ventrikel kiri
ditandai dengan edema paru, peninggian PCWP, ekokardiografi. Syok akan
terjadi bila 40% dari ventrikel kiri mengalami difungsi.
Robeknya dinding ventrikel terjadi 3-6 hari sesudah infark. Hal ini diikuti
dengan terjadinya tamponade dan syok, peninggian CVP, serta tekanan baji
(wedge pressure) pada arteri pulmonalis. Diagnosis dibuat dari perikardiosintetis
dan ekokardiografi. Prognosis bergantung pada cepatnya operasi koreksi. Ruptur
intraventricular septum lebih sering terjadi pada miokardium infark anterior
daripada inferior.
3. Aneurisme Ventrikel
C. Pemeiksaan Fisik
B1 (Breathing)
B2 (Blood)
Hematologi
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
D. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemantauan enzim dan ekg
Enzim –enzim jantung di ukur dengan ekg 12-lead yang di lakukan setiap
hari untuk mengkaji tingkat kerusakan miokardium.
2. Pemantauan hemodinamik
Pemantauan hemodinamik akan di lakukan untuk mengaji secara akurat
respons klien terhadap pengobatan . Pada banyak institusi, keadaan ini
akan mengharuskan klien untuk di pindahkan ke unit perawatan intensif.
Jalur arterial akan di pasang untuk pemantuan tekanan darah secara akurat
dan kontinu, juga memberikan akses untuk mendapatkan sampel darah
yang sering tanpa harus melakukan fungsi vena secara berulang, kateter
arteri pulmonal multilumen akan di pasang untuk mengukur tekanan
arteri pulmonal dan curah jantung klien.
G. Rencana intervensi
Namun, sering kali syok kardiogenik tidak dapat dicegah. Pada keadaan
ini, penatalaksanaan keperawatan mencakup bekerja dengan tim menajemen lain
untuk mencegah syok lebih memburuk dan untuk memulihkan fungsi jantung dan
perfusi jaringan yang adekuat.
Sekitar 90% penyebab hipertensi belu diketahui dengan pasti yang disebut
dengan hipertensi primer atau esensial. Sedangkn 7% disebabkan oleh kelainan
ginjal atau hipertensi renalis dan 3% disebabkan oleh kelainan hormonal atau
hipertensi hormonal serta penyebab lain.
B. Patofisiologi
C. Pengkajian
Anamnesis
D. Pemeriksaan Fisik
E. Pemeriksaan Diagnostik
G. Terapi Farmakologis
a) Diuretik
b) Menekan simpatetik (simpatolitik)
c) Vasodilator arteriol langsung
d) Antagonis angiotensin
e) Penghambat saluran kalsium
Diuretik
Obat diuretic yang biasa digunakan sebagai antihipertensi terdiri atas
hidrokortiazid dan penghambat beta.
1. Hidroklorotiazid
Hidroklorotiazid adalah diuretic yang paling sering diresepkan
untuk mengobati hipertensi ringan.
2. Penghambat Beta
Penghambat adrenergic beta sering kali disebut penghambat beta.
Digunakan sebagai obat antihipertensi tahap I atau dikombinasikan
dengan diuretic dalam pendekatan tahap II untuk mengobati hipertensi.
Penghambat beta juga dapat digunakan sebagai antiangina dan
antidisritmia. Penghambat beta cenderung lebih efektif untuk menurunkan
tekanan darah pada klien yang memiliki peningkatan kadar serum.
3. Farmakokinetik
Propanolol dan metrprolol diarbsorbsi dengan baik oleh saluran
cerna. Waktu paruhnya pendek, dapat diberikan beberapa kali sehari.
4. Farmakodinamik
Penghambat adrenegik beta menghambat perangsangan
simpatetik, sehingga menurunnya denyut jantung dan tekanan darah.
Penghambat beta tidak selektif menghambat reseptor beta 2 yang bisa
menyebabkan penyempitan bronkial.
Simpatolitik
Penghambat adrenergic bekerja di sentral simpatolitik. Penghambat
adrenergik alfa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai
penekan simpatetik atau simpatolitik.
1. Simpatolitik bekerja di pusat
Simpatolitik yang bekerja di pusat menurunkan respon simpatetik
dari batang otak ke pembuluh darah perifer.
2. Penghambat adrenergic alfa
Golongan obat ini memblok reseptor adrenergic alfa 1 sehingga
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
Penghambat beta juga menurunkan lipoprotein berdensitas sangat
rendah dan lipoprotein berdensitas rendah yang bertanggung jawab dalam
penimbunan lemak di arteri. Penghambat alfa yang lebih kuat yaitu
fentolamin, fenoksibenzamin, dan tolazolin. Terutama digunakan untuk
krisis hipertensi dan hipertensi berat yang disebabkan oleh tumor medulla
adrenal.
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja
dengan merelaksasikan otot-otot polos dari pembuluh darah terutama arteri,
sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan
darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer.
Diuretic dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung
untuk mengurangi edema. Reflex takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan
menurunnya tekanan darah.
Efek Samping. Efek samping hidralazin cukup banyak, antara lain: takikardia,
palpitasi, edema, kongesti hidung, sakit kepala, pusing, pendarahan saluran cerna,
gejala-gejala seperti lupus, dan gejala-gejala neurologis (kesemutan, baal).
Minoksidil memiliki efek samping yang serupa, yaitu: takikardia, edema, dan
pertumbuhan rambut yang berlebihan. Dapat menyebabkan serangan angina.
Nitroprusid dan diazoksid dapat menyebabkan reflex takikardia, palpitasi,
kegelisahan, agitasi, ,mual, dan bingung. Hiperglikemia dapat timbul dengan
diazoksid karena obat ini menghambat pelepasan insulin dari sel-sel beta
pancreas.
Labetalol menghambat reseptor alfa dan beta. Efeknya pada resptor alfa
lebih kuat dari pada efeknya pada resptor beta. Oleh karena itu, obat ini
menurunkan tekanan darah dan cukup untuk menurunkan denyut jantung. Efek
sampingnya meliputi hipotensi ortostatik, gangguan saluran cerna, gugup, mulut
kering, dan letih. Obat ini baru dan belum diklasifikasikan dalam tahapan-tahapan
pengobatan hipertensi.
Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) yang
nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan
menghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan
ekskresi kalium. Jika aldosteron dihambat, natrium diekskresikan bersama-sama
dengan air. Katopril, enalapril, dan lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin.
Obat-obat ini digunakan pada klien yang mempunyai kadar renin serum yang
tinggi.
Efek Samping. Efek samping dari obat-obat ini adalah mual, muntah, diare, sakit
kepala, pusing, letih, insomnia, kalim serum yang berlebihan (hiperkalemia), dan
takikardia. Akibat adanya risiko hiperkalemia obat-obat ini tidak boleh digunakan
bersama-sama diuretic hemat kalium.
H. Diagnosis Keperawatan
I. Rencana Intervensi
Resiko kekambuhan/ketidak patuhan program perawatan diri yang berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan program pengobatan, aturan penanganan,dan
kontrol proses penyakit.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pengetahuan program pengobatan, dan kontrol
penyakit dapat terpenuhi.
Intervensi:
4. Diskusikan dengan klien menenai makanan rendah garam dan rendah lemak
7. Jelaskan kepada klien bila berat badan meningkat dan terdapat edema
ekstremitas agar segera memeriksakan diri
Penyakit buerger adalah suatu keadaan dimana arteri dan vena ukuran sedang
dan kecil mengalami inflamasi berulang (rekuen), terutama pada bagian
ekstremitas bawah dan atau juga mengakibatkan pembentukan trombus serta
penyumbatan pembuluh darah.
A. Etiologi
B. Patofisiologi
Peradangan pada arteri perifer akan menyebabkan suatu oklusi arteri.
Respons peradangan hampir sama sperti peradangan di tempat lain dengan
manifestasi akhir adalah terjadi penyembuhan dengan disertai lesi trombosis yang
menyebabkan obstruksi vaskular.
C. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan kram pada kaki atau tungkai
sehabis latihan yang dapat dihilangkan dengan istrirahat. Terkadang nyeri
semakin parah akibat gangguan emosi dan merokok.
Nyeri adalah gejala utama pada penyakit burger. Keluhan nyeri pada saat
istirahat, perasaan terbakar, atau sensitif terhadap dingin adalah gejala awal.
Nyeri pada istirahat terjadi terus menerus dan sifat nyerinya tidak berubah. Pada
pengkajian fisik klien yang sudah kronis sering didapatkan adanya kerusakan
integritas kulit seperti ulkus dan luka gangren yang bersifat lokal.
D. Pemeriksaan Diagnostik
F. Diagnosis keperawatan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan nyeri dan kram pada kaki
G. Rencana Intervensi
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam terdapat penurunan respon nyeri ekstremitas.
Kriteria: secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri, secara objektif
didapatkan TTV dalam batas normal dan wajah rileks.
Intervensi:
1. Isrrahatkan klien
Intervensi:
a. Kaji kerusakan jaringan lunak yang terjai pada klien. Lakukan perawatan
luka. Yaitu:
2. Kaji keadaan luka dengan teknik menuka balutan mengurangi stimulus nyeri,
bila melekat kuat perban diguyur dengan NaCl
3. Lakukan pembersihan luka dengan dari dalam keluar dengan cairan NaCl
4. Tutup luka dengan kasa steril atau dikompres dengan NaCl dicampus dengan
antibiotik
6. Rawat luka setiap hari atau setiap kali pembalut basah atau kotor
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan nyeri dank ram pada kaki.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam aktivitas klien mengalami peningkatan.
Kriteria: klien tidak mengeluh pusing, alat dan sarana untuk memenuhi
aktivitas tersedia dan mudah klien jangkau, TTV dalam batas normal, CRT <
3 detik, urin > 600 ml/hari.
Intervensi Rasional
Catat frekuensi dan irama jantung serta Respon klien terhadap
perubahan tekanan darah selama sesudah aktivitas dapat
aktivitas. mengindikasikan respon nyeri
yang parah.
Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas dan Menurunkan kerja kebutuhan
berikan aktivitas senggang yang tidak berat. oksigen jaringan.
Jelaskan pola penigkatan bertahap dari Aktivitas yang maju
tingkat aktivitas, contoh: bangun dari kursi memberikan control jantung,
roda bila tak ada nyeri, ambulasi dan istirahat meningkatkan regangan dan
selama 1 jam setelah makan. mencegah aktivitas berlebihan.
Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien berkurang
Intervensi Rasional
Bantu klien mengekpresikan perasan marah, Cemas berkelanjutan
kehilangan dan takut. memberikan dampak serangan
jantung selanjutnya.
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, Reaksi verbal/non verbal dapat
damping klien dan lakukan tindakan bila menunjukan rasa agitasi,
kliden menunjukan periaku merusak. marah dan gelisah.
Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat
meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat
penyembuhan.
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi Mengurangi rangsangan
kecemasan, beri lingkungan yang tenang dan eksternal yang tidak perlu.
suasana penuh istirahat.
Tingkatkan control sensasi klien. Control sensasi klien (dalam
menurunkan ketakutan)
dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan
klien, ,enekankan pada
penghargaan terhadap sumber
koping (pertahanan diri) yang
positif, membantu latihan
relaksasi, dan teknik
pengalihan, serta memberikan
respons balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan
dan aktivitas yang diharapkan. kecemasan.
Beri kesempatan pada klien untuk Dapat menghilangkan
mengungkapkan ansietasnya. ketegagan terhadap
kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
Beri privasi untuk klien dan orang terdekat. Member waktu untuk
mengekspresikan perasaan,
menghilangkan cemas, dan
perilaku adaptasi. Adanya
keluarga dan teman-teman
yang dipilih klien melayani
aktivitas dan pengalihan
(misalnya, membaca) akan
menurunkan perasaan
terisolasi.
Kolaborasi: berikan anticemas sesuai Meningkatkan relaksasi dan
indikasi, contoh diazepam. menurunkan kecemasan.
Varises adalah suatu keadaa ketika terjadi dilatasi abnormal pada vena
superficial dengan manifestasi vena menjadi panjang dan berkelok-kelok yang
disebabkan oleh katup vena yang tidak kompeten. Biasanya kondisi ini terjadi
pada eketremitas bawah dan vena safena atau badan bawah, namun sebenarnya
dapat terjadi dimana pun.
A. Etiologi
B. Patofisiologi
C. Anamnesis
D. Pemeriksaan diagnostik
1. Uji brodie-tredelenburg
Uji ini memperlihtakan aliran balik darah melalui katup inkompeten vena
superficial dan cabang-cabang yang berhubungan dengan vena dalam
tungkai. Klien diminta berbaring, tungkai yang terkena ditinggikan untuk
mengosongkan vena. Pasang torniket karet lunak di sekeliling tungkai atas
untuk menyumbat vena dank lien diminta berdiri. Apabila katup vena
komunikans inkompeten, maka darah akan mengalir dari vena dalam ke
vena superficial. Apabila saat torniket dilepas darah mengalir dengan
cepat dari atas ke vena superficial, artinya bahwa katup vena superficial
juga inkompeten. Uji ini dilakukan untuk menentukan jenis penanganan
yang direkomendasikan untuk varises.
2. Uji perthes
Suatu prosedur diagnostic yang dengan mudah menunjukan apakah
system vena dalan dan vena komunikasns semuanya kompeten. Sebuah
torniket dipasang tepat di bawah lutut, kliedn diminta untuk berjalan-
jalan. Apabila varises menghilang, artinya system vena dalam dan
pembuluh komunikans kompeten. Apabila pembuluh darah tidak mampu
mengosongkan diri, namun justru mengalami distensi saat berjalan,
artinya terjadi inkompetensi atau obstruksi.
Uji diagnostic tambahan untuk mengetahui adanya varises adalah Doppler
flow meter, venografi, dan pletismografi. Doppler flow meter dappat
mendeteksi adanya aliran balik di vena superficial dengan inkompetensi
katup setelah penekanan tungkai. Venografi meliputi penguntikan media
kontras radiografi ke dalam vena tungkai sehingga anatomi vena dapat
ditampilkan melalui penelitian sinar X oada berbagai gerakan tungkai.
Pletismografi mengukur perbahan dalam volune darah vena.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan