Anda di halaman 1dari 4

Hukum Puasa Saat Sakit dan Cara Menggantinya Sesuai Alquran

Hukum puasa saat sakit sudah dijelaskan dalam Al-Quran Surat Al Baqarah Ayat 185,
yang artinya:
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah:
185).
Jadi hukum puasa saat sakit boleh dibatalkan, namun wajib diganti [ada hari lainnya
setelah bulan Ramadan sebanyak hari yang ditinggalkan. Namun kamu juga perlu tahu, sakit
seperti apa yang memang dibolehkan untuk tidak melanjutkan puas, jangan asal-asalan sakit
saja hanya karena tidak kuat menahan lapar dan haus. Agama Islam adalah agama yang
manusiawi dan selalu mementingkan keadaan manusia. Tidak ada amalan yang memberatkan
umat islam, dan selalu ada kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman
Allah SWT:
“Allah Tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Jadi semua amalan yang diwajibkan kepada umat islam adalah amalan yang sesuai
dengan kemampuannya. Begitu juga berlaku dalam hukum puasa saat sakit. Amalan yang
dilakukan bukanlah untuk memberatkan manusia, tapi tetap memudahkan. Seperti firman Allah
SWT:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Hukum puasa saat sakit dibagi lagi berdasarkan seberapa parah sakit yang dialami oleh
seseorang. Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan penyakit penyakit serupa tidak boleh
berbuka karenanya. Namun bila penyakit penyakit tersebut dapat menunda kesembuhan dan
membuat seseorang malah bertambah parah sakitnya, maka hukum puasa saat sakit menjadi
tidak wajib lagi, namun tetap harus diganti di hari lain setelah bulan Ramadan. Orang ini bisa
melaksanakan buka puasa saat itu juga.

 Sakit yang Membuat Pingsan

Sakit yang membuat seseorang menjadi pingsan boleh bagi orang tersebut untuk
berbuka puasa, dan menggantinya di hari lain setelah bulan Ramadan. Bila orang tersebut
pingsan di siang hari, lalu sadar sebelum matahari terbenam pada sore hari, maka puasanya
sah. Namun kalau sesorang pingsan sebelum fajar sampai matahari terbenam, maka puasanya
tidak sah. Mengganti puasa bagi orang yang pingsan, sekalipun pingsannya berhari-hari,
hukum puasa saat sakit ini adalah wajib. Jadi bila orang yang pingsan sudah sembuh, dia wajib
mengganti puasanya setelah bulan Ramadan.

 Sakit karena Pekerjaan Berat


Bagi orang yang sakit karena pekerjaan berat, hukum puasa saat sakit bagi mereka
adalah tetap wajib. Kecuali bila pekerjaan tersebut ditinggalkan akan menyebabkan kesulitan
yang besar baik bagi dirinya maupun orang lain, maka mereka boleh berbuka sekadarnya.
Namun mereka tetap diwajibkan mengganti puasa tersebut setelah bulan Ramadan. Bila tidak
memungkinkan dalam mengambil liburan atau cuti, maka orang tersebut dianjurkan untuk
mencari pekerjaan lain agar bisa menjalankan ibadah puasa dengan baik tanpa halangan lagi.
Allah SWT akan senantiasa membantu orang orang yang bertaqwa kepada-Nya dan memberi
rizki dari arah yang tidak pernah diduga-duga.

Untuk orang sakit ada tiga kondisi:

 Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap
berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut
keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
 Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama
sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk
kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
 Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,

َ ُ‫أ َ ْنف‬
‫س ُك ْم ت َ ْقتُلُوا َوال‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

Mengganti Puasa Bagi Orang yang Sakit


Mengganti puasa di hari lain setelah bulan Ramadan wajib hukumnya bagi orang orang
yang membatalkan puasa karena hal-hal yang dibolehkan seperti disebutkan sebelumnya.
Setelah sembuh dari penyakitnya, maka orang tersebut wajib menggantinya. Sedangkan orang
yang penyakitnya tidak dapat diharapkan kesembuhannya lagi, atau orang yang sudah berumur,
cukup membayar fidyah, atau memberi makan kepada seorang fakir miskin selama bulan
puasa. Fidyah ini berupa makan pokok sebanyak kurang lebih 1,5 kg beras. Pembayaran fidyah
ini boleh dilakukan di akhir bulan Ramadan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula
idberikan kepada seorang miskin setiap hari. Pemberian fidyah ini bisa diwakilkan kepada
seseorang atau lembaga yang terpercaya, dan wajib ditunaikan berupa makanan, bukan dengan
uang. Namun orang yang sakit, dan menunggu kesembuhannya dari penyakit yang masih bisa
diharapkan sembuh, tetapi orang tersebut meninggal dunia, maka ia tidak diwajibkan
mengganti atau membayar fidyah, begitu pula dengan wali atau ahli warisnya.

Hal yang terpenting dari hukum puasa saat sakit adalah keselamatan dan kesehatan diri
seorang manusia. Bila seseorang sudah tak berdaya menahan lapar dan haus dan dikhawatirkan
bisa membahayakan dirinya dan indranya, maka boleh berbuka dengan kewajiban mengganti
puasa tersebut di hari lain setelah bulan Ramadan.
 Puasa Saat Saat Sedang Haid dan Nifas

Wanita yang sedang mengalami (mendapatkan) haid dan nifas haram hukumnya untuk
berpuasa. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

“Bukankah jika seorang wanita itu sedang mendapatkan haidh dan nifa. Maka ia tidak
shalat dan tidak juga berpuasa? Demikian itulah di antara kekurangan agama seorang
wanita.” (HR. Ath-Thabrani)

 Puasa dalam Keadaan Sakit, yang Bisa Menyebabkan Kematian


Haramnya berpuasa bagi orang yang sedang dalam keadaan sakit, yang dikhawatirkan ia
akan mati jika memaksakan diri untuk berpuasa, adalah didasarkan pada firman Allah
SWT.
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Q.S An-nisa : 29)
Juga didasarkan pada firman Allah SWT : “Dan jangan lah kamu menjatuhkan dirimu
sendri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah : 195)

 Bolehkan disuntik saat berpuasa?


Jika orang yang sedang berpuasa di bulan suci Ramadhan menderita suatu penyakit
yang memerlukan pengobatan, termasuk dengan suntikan, maka orang yang bersangkutan
harus berobat dan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan wajib menggantinya di hari
yang lain.
Namun masalah muncul ketika orang yang sakit dan disuntik ketika berobat tersebut,
ia tetap ingin berpuasa. Maka apakah suntikan yang telah diterimanya itu menyebabkan
puasanya batal?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut para ulama salaf, suntikan dengan
memasukkan obat kedalam tubuh melalui pori-pori dibawah kulit atau melalui pembuluh
darah adalah membatalkan puasa. Karena pada hakikatnya, suntikan adalah memasukkan
suatu benda ke dalam tubuh, meskipun tidak melalui lubang badan yang lazim/umum
(mulut). Mereka membandingkannya dengan sesuatu yang masuk kedalam otak orang
yang berpuasa melalui hidung saja membatalkan puasa, apalagi sesuatu yang masuk
kedalam tubuh melalui suntikan, tentu lebih membatalkan puasa.
Namun menurut ulama modern, seperti Sayyid Sabiq dan Syaikh Ibrahim Abu Yusuf,
suntikan tidaklah membatalkan puasa, karena suntikan dilakukan dengan memasukkan
obat melalui lubang tubuh yang tidak lzaim, meskipun obat tersebut dapat merasuk
kedalam tubuh.
Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta sendiri, melalui fatwa nomor :
42/Fatwa/MUI-DKI/II/2001, yang merupakan penyempurnaan atas surat MUI DKI
Jakarta kepada Kepala BKKBN DKI Jakarta tanggal 26 Mei 1986, telah memutuskan
bahwa suntikan adalah membatalkan puasa. Keputusan itu diambil berdasarkan pada
pertimbangan berhati-hati dalam masalah ibadah kepada Allah. Di samping itu, juga atas
dasar pertimbangan substansial, yaitu bahwa obat-obatan yang disuntikan atau sari
makanan dan minuman yang diinfuskan kedalam tubuh adalah tidak berbeda dengan obat-
obatan, makanan, atau minuman yang dimasukkan melalui mulut, yaitu sama-sama masuk
kedalam tubuh dan sama-sama dapat mempengaruhi fisik dan psikis orang yang
bersangkutan.

Rasyid, Hamda.dkk. 2016. Panduan Muslim Sehari-hari. Jakarta : Wahyu Qolbu.

Anda mungkin juga menyukai