PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Instalasi rawat darurat (IRD) merupakan tempat yang penuh dengan kesibukan dimana
sindrom psikiatrik akut seringkali muncul dan menimbulkan kesulitan dalam diagnostik dan
manajemen. Ruang kedaruratan di rumah sakit awalnya digunakan untuk mengatasi dan
memberikan pelayanan segera pada pasien dengan kondisi medis atau trauma akut. Peran ini
kemudian meluas dengan memberikan pelayanan segara pada tipe kondisi lain, termasuk pasien
yang mengalami kedaruratan psikiatri. (Petit, 2004; Trent, 2013)
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi katastrophic,
dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap untuk mengatasi krisis seperti
keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan confusional state. Berdasarkan data yang
dikumpulkan pada tahun 2001, didapatkan 30% pasien dengan depresi unipolar, 26% psikosis,
20% dengan penyalahgunaan zat, 14% bipolar, 4% gangguan penyesuaian, 3% gangguan cemas,
dan 2% dengan demensia. Sekitar 40 persen dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat
psikiatri memerlukan rawat inap. Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak
ada perbedaan antara hari, minggu, bulan, atau tahun. (Allen et al., 2002; Sadock and Sadock,
2010)
Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku dan dapat
menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut menyebabkan
peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Saat ini juga telah banyak pasien
dengan alasan medis yang datang dengan ciri-ciri kepribadian dan mekanisme koping yang
maladaptif yang dapat mempersulit penatalaksanaan medisnya. Dalam semua situasi ini, peran
psikiater sebagai konsultan dan penghubung dapat menjadi sangat penting dalam memfasilitasi
perawatan yang tepat. Psikiater hendaknya mampu dalam mengelola pasien yang mengalami
kegawatdaruratan, mengelola masalah sistem rumah sakit, informasi tentang penyakit medis dan
psikiatris, terampil dalam konflik resolusi, etis dan legal tentang tanggung jawab untuk
keamanan pasien, dan mampu melayani sebagai pemimpin tim yang bisa terjun langsung dalam
krisis. (Riba, et al., 2010). Secara keseluruhan, kedaruratan psikiatri merupakan bidang yang
masih terus berkembang. Klinisi diharapkan memiliki kemampuan atau keahlian pada
consultation-liaison psychiatry, manajemen krisis, brief psychotherapy, risk assessment dan
pengetahuan yang luas mengenai pengobatan, sistem pelayanan rumah sakit dan kesehatan, serta
psikiatri secara umum. (Riba et al., 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 definisi
Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh diri adalah
antipati, impulsive (daya pendorong yang tiba-tiba), dan depresi.
Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit
kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab
masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang dapat
menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Faktor biokimia
Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat
kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan
zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan. Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan
masalah. Faktor yang mempengaruhi terjadinya bunuh diri, terbagi menjadi:
Faktor Genetik
Faktor genetik (berdasarkan penelitian): 1–3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi
pada individu yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami
gangguan mood/depresi/yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Faktor Biologis lain
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
Stroke
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
Diabetes
Penyakit arteri koronaria
Kanker
HIV / AIDS
Faktor Psikososial & Lingkungan
Teori Psikoanalitik/Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan objek
berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan terakhir depresi.
Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang berkembang,
memandang rendah diri sendiri
Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem
pendukung sosial
Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan kedalam golongan kedaruratan psikiatri, bukan
karena frekuensinya yang cukup tinggi, akan tetapi karena keadaan ini berbahaya bagi pasien
sendiri maupun bagi lingkungannya, termasuk orang lain dan barang-barangnya. Tidak jarang
seseorang yang gaduh gelisah dibawa ke rumah sakit. Yang mengantarnya sering tidak sedikit
dan biasanya ialah anggota keluarganya dan sering mereka juga bingung dan gelisah.
a. Gejala gaduh-gelisah
Keadaan gaduh gelisah biasanya timbul akut atau sub akut. Gejala utama ialah
psikomotorik yang sangat meningkat. Orng itu banyak sekali berbicara, berjalan mondar
mandir, tidak jarang ia berlari-lari dan meloncat-loncat bila keadaan itu berat. Gerakan
tangan dan kaki serta ajuk (mimic) dan suaranya ceat dan hebat. Mukanya kelihatan
bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini mencerminkan gangguan afek-emosi dan
proses berpikir yang tidak realistic lagi. Jalan pikiran biasanya cepat dan sering terdaat
waham curiga. Tidak jarang juga timbul halusinasi penglihatan (terutama pada sindroma
otak organic yang akut) dan halusinasi endengaran (terutama pada skizofrenia).
Karena gangguan proses berikir ini, serta waham curiga dan halusinasi (lebih-
lebih bila halusinasi itu menakutkan), maka pasien menjadi sangat bingung, gelisah dan
gaduh. Ia bersikap bermusuhan dan mungkin menjadi agresif dan destruktif. Karena itu
semua, maka ia menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungannya. Ia dapat
melukai diri sendiri atau mengalami kecelakaan maut dalam kegelisahan yang hebat itu.
Jika waham curiganya keras atau halusinasinya sangat menakutkan, maka ia dapat
menyerang orang lain atau merusak barang-barang disekitarnya.
Bila orang dalam keadaan gaduh gelisah tidak dihentikan atau dibuat tidak
berdaya oleh orang-orang disekitarnya untuk mengamankan si pasien dan lingkungannya,
maka ia akan kehabisan tenaga dengan segala akibatnya atau ia meninggal karena
kecelakaan. Tergantung pada gangguan primer, maka kesadaran data menurun secara
kuantitatif (tidak compos mentis) dengan amnesia sesudahnya (seperti pada sindroma
otak yang akut) atau kesadaran itu tidak menurun akan tetapi tidak normal, kesadaran itu
berubah secara kualitatif. Seerti pada semua psikosa, maka individu dalam keadaan
gaduh gelisah ini sudah kehilangan kontak dengan kenyataan:proses berpikir, afek-emosi,
psikomotor dan kemauannya sudah tidak sesuai lagi dengan realitas.
b. Sebab gaduh gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan suatu diagnose dalam arti kata yang
sebenarnya, akan tetapi hanya menunjuk kepada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom
dengan sekelompok gejala tertentu pula. Keadaan ini bisa disebabkan oleh bermacam-
macam yang harus ditentukan tiap kali pada setiap pasien. Istilah keadaan gaduh gelisah
hanya dapat dipakai sebagai pemerian sementara tentang suatu gambaran psikopatologik
dengan ciri-ciri utama seperti dicantumkan ada namanya, yaitu gaduh dan gelisah.
Biasanya gaduh gelisah manisfestasi dari pada:
Psikosa yang berhubungan dengan sindroma otak organic yang akut
Pasien dengan keadaan gaduh gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organic akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organic menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah. Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak
itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-
anatomik. Secara mudah dapat dikatakan bahwa ada sindroma otak organic yang akut
biasanya terdapat kesadaran yang menurun, pada sindrom otak organic yang menahun
biasanya terdapat demensia,. Akan tetapi data daja menimbulkan psikosa ataupun gaduh
gelisah.
Psikosa fungsional ; psikosa relative, skizofrenia, psikosa manik-depresi jenis mania
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan
manifestasi suatu psikosa fungsional, yaitu psikosa yang tidak berhubungan atau sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah
seperti pada sindroma otak organic.
Amok
Keadaan gaduh gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh factor-faktor
social budaya, karena itu PPDGJ 1 memasukkan kedalam kelompok” Keadaan yang
terikat pada kebudayaan setempat” (culture bound phenomenon). Efek malu memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan
destruktif.
c. Keadaan gaduh gelisah lain
1. Serangan kecemasan akut dan panic mungkin saja terjadi pada orang yang normal bila
nilai ambang frustasinya mendadak dilampaui, misalnya kecemasan dan panic sewaktu
kebakaran, kecelakaan masala tau bencana. Sebagian besar orang-orang ini lekas menjadi
tenang kembali, bila perlu diberikan pengobatan suportif seerti berbicara dengan tenang,
istirahat, tranquilaizer serta makanan dan minuman.
2. Kebingungan post konvulsi, tidak jarang terjadi sebuah konvulsi karena epilepsy
grandmall atau sesudah terapi konvulsi elektrokonvulsi. Pasien menjadi gelisah atau
agresif. Keadaan ini berlangsung beberapa menit dan jarang lebih lama dari 15 menit.
Pasien dikendalikan dengan dipegang saja dan dengan kata-kata yang menentramkan.
Bila ia masih tetap bingung dan gelisah, maka perlu diberi diazeapam atau penthotal
secara intravena untuk mengakhiri keadaan bingungnya..
3. Reaksi disosiasi atau keadaan fugue memperlihatkan pasien dalam keadaan bingung juga.
Keduanya merupakan jenis nerosa histerik yang disebabkan oleh konflik emosional.
Kesadaran pasien menurun, ia berbicara dan berbuat sesuai seperti dalam keadaan mimpi,
sesudahnya terdapat amnesia total.
4. Ledakan amarah tidak jarang timbul pada anak kecil. Mereka menjadi binggung dan
marah tidak karuan. Penyebabnya sering terdaat pada hubungan dengan dunia luar yang
dirasakan begitu menekan sehingga tidak dapat ditahan lagi dan anak kecil itu bereaksi
dengan caranya sendiri.
d. Terapi dan Pengobatan gaduh-gelisah
Terapi terhadap Underlying disease merupakan tatalaksana saat ini yang menentukan
pendekatan apa yang kita gunakan, antara lain :
.Perawatan terhadap keadaan gaduh gelisah termasuk delirium dan gangguan
mental organik.
Fiksasi pada tempat tidur dandibuat ruangan tersendiri adalah tindakan yang
sangat membantu.
Lampu yang cukup terang
orientasi dipertahankandengan adanya jam dan kalender
di dampingi oleh keraba tterdekat merupakan lingkungan yang
mempercepat perbaikan.
Pada keadaan primer psikitri,anti psikotik dan atau anti anxietas mempunyai
dampak yang sangat baik
Kemudian ditunjang lingkungan yang tidak merangsang, serta psikoterapi
dasar dan psikoeducation diperlukan untuk mengurangi keadaan gaduh
gelisah. Pada gangguan kepribadian membutuhkan kombinasi dari
supportiveand basic cognitive psykotherapies and firm limit setting. Keterliba
tan penegak hukum dalam hal ini kepolisian akan sangat membantu pasien
untuk tidak melawan dokter. Sedangkan penggunaan obat-obat
sedapat mungkin tidak digunakan.
Pendekatan Umum Pasien Dengan Gaduh Gelisah
Selalu dalam keadaan rendahhati dan tenang.
Usahakan tidak menentang pasien, jika hal ini tidak dilakukan maka pasien ak
an marah dancenderung tetap dalam kondisi gaduh gelisah.
Sampaikan pada pasiententang siapa dan apa tugas kita sebagai dokter.
Bicara dengan jelas, danhindari kontak mata yang lama.
Selalu menjaga jarak
Bersikap empati terutama pada pasien yang merasa kecewa/putus asa.
Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku
kekerasan.
Disarankan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan dalam waktu
yang singkat.
Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang efisien untuk mendapatkan
informasi pada keadaan ini.
Bangun kepercayaan dengan pasien.
Menawarkan makananataupun minuman akan mempercepat pasien
kooperatif.
Jika mungkin perkenankan pasien untuk memilih perawatan seperti apa yang
diinginkan.
Gunakan waktu secaraefisien, jika pasien bersedia untuk diambil darah maka
lakukan pemeriksaan pemeriksaan sesuai indikasi.
Selalulah berfikir bahwa iniadalah kesempatan satu-satunya
Pasien gaduh gelisah membahayakan bagi pasien sendiri dan orang-
orangdisekitar oleh karena cara pengambilan keputusan oleh pasien yang
lemah.
2. Bunuh Diri (Suicade)
Masalah bunuh diri bukanlah masalah yang baru. Bangsa Indonesia telah mengenalnya sejak
zaman dahulu, terbukti dari cerita-cerita wayang, seperti cerita dewi shinta yang membakar
dirinya untuk membuktikan kesuciannya pada Rama. Mati seperti inilah dianggap oleh
masyarakat sebagai mati terhormat.
Dalam kepustakaan terdaat banyak definisi bunuh diri atau suiside (percobaan bunuh diri,
Latin : “tentamen suicide”, inggris: “suicide attempt”). Ada yang menganggap (percobaan)bunuh
diri ialah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan
sengaja dilakukan oleh seorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang
singkat. (percobaan) bunuh diri ialah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri
hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis,1998)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang
tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat,
1993). Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada
diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Dewasa ini dikalangan psikiatri memandang bunuh diri sebagai perilaku yang bertujuan
mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang”unik manusiawi” dan kultural, yang
sesungguhnya bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian masalah frustasi,
enghindaran diri dari segala situasi yang tidak menyenangkan, pernyataan amarah atau
kegelisahan, unutk memeroleh keadaan tidur yang damai dan tentram. Lingkungan social juga
dapat mengadakan hambatan-hambatan(control social, dengan eraturan dan norma-norma
melalui perasaan malu), tetapi juga bisa memudahkan dan menganjurkan bunuh diri bila hal itu
dianggap menguntungkan kelompok. Sebaliknya peranan keadaan jiwa juga penting, lebih-lebih
dalam masyarakat kita sekarang ini dengan kecenderungan individu menjadi sangat individulistis
dan dengan norma-normal social menjadi lemah (control pribadi dengan hati nurani melalui
perasaan bersalah dan berdoa menjadi kurang). Itulah antara lain menjadi sebab bahwa jumlah
(percobaan) bunuh diri adalah tinggi, terutama dikota-kota besar dengan manusia yang hidup
secara sangat individualistis, karena struktur dan kehidupan kota itu sendiri.
Menurut Schneidman dan Farberow (para pendiri Suicide Prevention Center” di Los
Angelos) istilah bunuh diri dapat mengandung arti:
Herbert Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh diri sebagai berikut:
Solomon membagi besarnya resiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda
tertentu, yaitu: tanda-tanda resiko berat dan tanda-tanda bahaya.
Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang
mungkin terjadi:
Yang berhasil bunuh diri tentunya tidak perlu pengobatan lagi, hanya keluarga yang
ditinggalkan mungkin perlu diperhatikan, karena kejadian ini menimbulkan stress pada mereka
dan ada kecenderungan bunuh diri yang lebih besar diantara orang-orang yang telah
berhubungan denga orang yang telah melakukan bunuh diri. Bila ada kesempatan, maka kiranya
hal suicide secara umum sebaiknya dibicarakan dengan mereka.
Untuk yang tidak berhasil tindakan apa yang menjadi prioritas atau perhatian utama
dalam pengobatan pada permulaan kejadian itu, tergantung terhadap berat ringannya keadaan
badan dan jiwa atau kepada gejala-gejala yang paling menonjol. Pada semua kasus bunuh diri
egoistic dan anatomic, pemeriksaan dan pengobatan psikitrik mutlak diperlukan.
Bagaiman dengan pencegahan, mungkinkah hal ini? Pertanyaan lain ialah: mengapa kita
hendak mencegah orang yang hendak bunuh diri? Tidakkan manusia itu berkuasa dan
bertanggung jawab atas dirinnya sendiri? Kalau ia mau mati boleh saja asal jangan merugikan
orang lain atau orang lain tidak membantunya dalam hal ini. Orang-orang yang ber Tuhan,
pastinya dapat menjawab alas an dan pertanyaan diatas dengan mengemukakan pandangan
agama masing-masing. Dari sudut kedokteran juga dapat dikemukakan bahwa setidak tidaknya
orang yang hendak melakukan bunuh diri egoistic maupun anatomic berada dalam keadaan
patologis. Mereka semua sedang mengalami ganggguan fungsi mental yang bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat, karena itu perlu ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistic boleh
dikatakan tidak mungkin, kecuali bila kebudayaan dan norma-norma masyarakat diubah.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh diri,gaduh atau
gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar
bunuh diri dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri,
dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak
langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri
Setiap orang yang ingin melakukan prilaku bunuh diri biasanya melewati beberapa rentang
ataupun tahap-tahapan diantaranya: Suicidal ideation, Suicidal intent, Suicidal threat, Suicidal
gesture, Suicidal attempt dan suicide.
Sementara itu gaduh/gelisah merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan : banyak bicara,
mondar-mandir,lari-lari,loncat-loncat,destruktif dan bingung. Hal ini di sebabkan oleh :
Gangguan mental organik (delirium), psikosis fungsional, amok, gangguan panic, kebingungan
post konvulsi, reaksi disosiatif dan ledakan amarah (temper tantrum).
3.2 Saran
Seyogyaanya perilaku bunuh diri, gelisah/gaduh dan penyalahgunaan NAPZA dapat di cegah
atau dihindarkan dengan beberapa cara diantaranya :
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengkajian
A.Fisik
Data fisik yang mungkin yang ditemukan oleh klien dengan menggunakan NAPZA pada saat
pengkajian adalah sebgai berikut: nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya seleramakan,
konstipasi, diare, perilaku seks melanggar norma, kemunduran dalam kebersihandiri,
potensial kompikasi, jantung, hati, dll. Infeksi pada paru-paru sedangkan sarannya yang ingin
dicapai adalah agar klienmampu untuk teratur dalam pola hidupnya.
B.Emosional
Perasaan gelisah (takutklodiketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak berdaya. Sasaran
yang ingin di capai agar klien mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri sendiri.
C.Sosial
Lingkingan sosoal yang bias akrab dengan klien biasanya adalah teman pengguna zat,
anggota, keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau kampus yang di gunakan oleh
para pengedar.
D.Intelektual.
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiptif, perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas
sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan berhenti. Sasaran yang ingin dicapai
adalah agar klien mampu untuk konsentrasi daya meningkatkan daya piker ke hal-hal yang
positif.
E.Spiritual.
Kegiatan keagamaan tidak ada. Nilai-nilai kebaikan ditinggalakan karena perubahan perilaku
(tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain) saran yang ingin dicapai adalah mampu
meningkatkan ibadaah, pelaksaan nilai-kebaikan.
F.Kelurga
Ketakutan akan perilaku klien. Malu pada masyarakat, penghamburan dan pengurasan secara
ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan moril terhadap klien
terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapa iadalah keluarga mampun merawat klien yang pada
akhirnya mencapai tujuan utamaya itu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relapse).
1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (The American Nursing Diagnosa Association):
1. Gangguan persepsi sensori pada penggunaan halusinogen sehubungan dengan tekanan
teman sebaya, dimanifestasikan dengan berteriak dan menutup telinga bila di tinggal
sendriian dikamar.
2. Gangguan proses berpikir pada pengguna alcohol sehubungan dengan tekanan diri hokum
dan tunntutan dari keluarga dimanifestasikan dengan bingung dan kurang sadar.
3. Gangguan persepsi sensori visual pada pengguna alcohol sehubungan dengan hilangnya
pekerjaan dan di tolak oleh kelurga.
4. Gangguan hubungan social, manipulative sehubungan dengan kondisi putus zat adiktif,
5. Tidak efektifnya koping individu sehubungan dengan terus-menerus menggunakan zat
adiktif.
6. Gangguan konsep diri: harga diri yang rendah sehubungan dengan ketidak mampuan
mengatasi masalah.
7. Gangguan konsep diri sehubungan dengan menggunakan mekanis mepertahan diri: denial
agar tetep menggunakan obat.
8. Gangguan konsep diri: hargadiri rendah sehubungan dengan tidak mampu
mengenalkualitas yang positif dar diri sendiri.
9. Gaangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak pengguna zat adiktif.
10. Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak
penggunanaan zat adiktif.
11. Partisipasi kelurga yang kurang dalam pengobatan klien berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan.
12. Menolak mengikut iaktifitas program berhubungan dengan kurangnya motifasi untuk
sembuh.
13. Potensia luntuk melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan psikologis terhadap
zat adiktif.
14. Potensial mengancam keamanan diri sehubungan dengan kondisi pemutusan zat sedative
hipnotik.
15. Potensial memburuknya kesadaran :koma berhubungan dengan overdosis penggunans
adatif hipnotik.
16. Potensial gangguan kardioveskuler: postural hipotesis berhubungan dengan intoksikasi
sedative hipnotik.
17. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare. Berhubungan dengan kondisi
pemutusan zat adektif.
18. Mekanis mekoping destruktif: mengantuk berhubungan dengan perasaan ditolak kelurga,
3. Penatalaksanaan
A. PRINSIP BIOPSIKOSOSIOSPIRITUAL (stuartsundeen)
1. Biologis
Tindakan biologis dikenal dengan detoksifikasi yang bertujuan untuk
1.memberikan asuhan yang aman dalam “withdrawl”(prosing penghentian) bagi klien
pengguna NAPZA.
2.memberikan asuhan yang humanistic dan memelihara martabat klien.
3.memberikan terapi yang sesuai.
Setelah detoksifikasi tercapai, mempertahankan kondisi yang bebas dari zat adiktif, dimana
terapi farmakologis harus ditunjang oleh terapi yang lain.
1. Psikologis
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu mengidentifikasi aspek positifnya untuk
dipakaimengatasi kegagalan.
2. Sosial
Konseling keluarga
Kelurga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat dan proses adukasi
sehingga seringkali melakukan hal yang tidak terapeutik terhadap klien. Kelurga sering
melindungi klien dari dampak adiksi, meminta kluarga lain untuk memanfaatkan klien.
Menyalah diri sendiri, menghindari konfrontasi yang semuanya menyebabkan klien
meneruskan pemakaian zat adiktif. masalah yang dihadap klien menimbulkan dampak
kelurga seperti rasa tidaak aman, malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut dan
merasa diisolasi. Oleh karena itu perawat perlu mendorong kelurga untuk mengikuti
pendidikan kesehatan tentang proses penggunaan dan ketrgantungan, gejala putus zat,
gejala relapse, tindakan keperawatan. Lingkungan terapeotik, dan semua hal yang terkait
dengan pencegahan relapse dirumah.
Terapikelompok
Terdiri dari 7-10 orang yang difasilitasi oleh therapist. Kegitan yang dilakukan tiap anggota
bebas menyampaikan riwayat sampai terjadinya idikasi, uapaya yang dilakukan untuk
berhenti memakai zat, kesulitan yang dihadapi dalam melakukan program perawatan,
terapi dan anggota kelompok memberikan umpan balik dengan jujur dan dapat
menambah pengalaman masing-masing.
Self help group
Self help group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien yang berkeinginan bebes
dari zat adiktif, dukungan antara anggota akan memberi kekuatan dan motivasi untuk
bebes dari zat adiktif.
B.PRINSIP COMMUNITY THERAPEUTIK (anakeliat)
Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kearah positif, sehingga mampu
menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini dpat dilakukan bila klien diberi
kesempatan mengungkapkan masalah pribadi dan lingkungan. Community terapeutik
melakukan intervensi untuk mengatasinya.
Beberapa metode yang dilakukan.
Slogan yang berisi norma atau nilai kearah positif.
Pertemuan pagi (moorning meeting) yang diikuti oleh seluruh staf dan klien untuk
membahas masalah individu, interaksi antara klien dan kelompok.
Talking to: metode yang digunakan untuk saling memperingati dengan cara yang ramah
sampai yang keras.
Learning experience yaitu memberikan tugas yang bersifat membangun untuk merubah
perilaku negatif.
Pertemuan kelompok
Pertemua numum (general meeting)
A. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi mumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi
adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan
toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA dan zat zat yang dapat membuat
ketergantungan
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi darikondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.
dan zat zat yang dapat membuat ketergantungan
Respon adaptif Respon maladaptif
Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari
remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya,
misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi
masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai
masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan
secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi
dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan
fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus
zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis
tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu
kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan
yang biasa diinginkannya.
C. Jenis-Jenis NAPZA
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau
obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat
syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan
stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan
stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga
perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine
merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan
konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari
kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena
kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi;
sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
a. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan
membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi
pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi
Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan
narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang
tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang
memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu,
ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan
alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri
– tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang
kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu
seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional,
menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan
bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di
Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan
untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi
pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada
juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian
besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan
penggunaNAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku
maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial
dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun
personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi
detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk
menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain
seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang
sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi
psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang
diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan
ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik
secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2
minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu
dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian
dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi.
Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat
dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983
dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar
keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami
penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah
mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di
sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi
atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam
proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak
membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,
penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif
diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup
untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau
keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang
sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam
penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan
hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak
sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.