Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Instalasi rawat darurat (IRD) merupakan tempat yang penuh dengan kesibukan dimana
sindrom psikiatrik akut seringkali muncul dan menimbulkan kesulitan dalam diagnostik dan
manajemen. Ruang kedaruratan di rumah sakit awalnya digunakan untuk mengatasi dan
memberikan pelayanan segera pada pasien dengan kondisi medis atau trauma akut. Peran ini
kemudian meluas dengan memberikan pelayanan segara pada tipe kondisi lain, termasuk pasien
yang mengalami kedaruratan psikiatri. (Petit, 2004; Trent, 2013)
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi katastrophic,
dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap untuk mengatasi krisis seperti
keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan confusional state. Berdasarkan data yang
dikumpulkan pada tahun 2001, didapatkan 30% pasien dengan depresi unipolar, 26% psikosis,
20% dengan penyalahgunaan zat, 14% bipolar, 4% gangguan penyesuaian, 3% gangguan cemas,
dan 2% dengan demensia. Sekitar 40 persen dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat
psikiatri memerlukan rawat inap. Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak
ada perbedaan antara hari, minggu, bulan, atau tahun. (Allen et al., 2002; Sadock and Sadock,
2010)
Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku dan dapat
menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut menyebabkan
peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Saat ini juga telah banyak pasien
dengan alasan medis yang datang dengan ciri-ciri kepribadian dan mekanisme koping yang
maladaptif yang dapat mempersulit penatalaksanaan medisnya. Dalam semua situasi ini, peran
psikiater sebagai konsultan dan penghubung dapat menjadi sangat penting dalam memfasilitasi
perawatan yang tepat. Psikiater hendaknya mampu dalam mengelola pasien yang mengalami
kegawatdaruratan, mengelola masalah sistem rumah sakit, informasi tentang penyakit medis dan
psikiatris, terampil dalam konflik resolusi, etis dan legal tentang tanggung jawab untuk
keamanan pasien, dan mampu melayani sebagai pemimpin tim yang bisa terjun langsung dalam
krisis. (Riba, et al., 2010). Secara keseluruhan, kedaruratan psikiatri merupakan bidang yang
masih terus berkembang. Klinisi diharapkan memiliki kemampuan atau keahlian pada
consultation-liaison psychiatry, manajemen krisis, brief psychotherapy, risk assessment dan
pengetahuan yang luas mengenai pengobatan, sistem pelayanan rumah sakit dan kesehatan, serta
psikiatri secara umum. (Riba et al., 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 definisi

Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi


darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an,
terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat
kompleks.
Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya
beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya
datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa
disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi
stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik
sifatnya kronis ataupun akut.
Kedaruratan Psikiatrik adalah Keadaan gangguan dalam proses fikir, alam perasaan dan
perbuatan yang memerlukan tindakan pertolongan segera. Kasus kedaruratan psikiatrik yang
sering ditemukan adalah percobaan bunuh diri, penyalahguanaan napza dan keadaan gaduh
gelisah. Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik,
dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya
yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.
Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA)
menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut, baik pada pikiran,
perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera yang didefinisikan oleh
pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. (Trent, 2013).
2.2 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan memberikan
petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang terapeutik. Teori Perilaku menyakini bahwa
pencederaan diri merupakan hal yang dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan masa
remaja. Teori psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma
interpersonal, dan kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat memicu seseorang untuk
mencederai diri. Teori Interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan
dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak mendapatkan perlakuan kasar serta tidak
mendapatkan kepuasan (stuart dan sundeen, 1995).

Faktor predisposisi yang lain adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komunikasi


(mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan perasaan yang tidak stabil. Lima
faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang siklus
kehidupan adalah sebagai berikut:

 Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh diri adalah
antipati, impulsive (daya pendorong yang tiba-tiba), dan depresi.
 Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit
kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab
masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang dapat
menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
 Faktor biokimia
Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat
kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan
zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan. Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan
masalah. Faktor yang mempengaruhi terjadinya bunuh diri, terbagi menjadi:

 Faktor Genetik
Faktor genetik (berdasarkan penelitian): 1–3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi
pada individu yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami
gangguan mood/depresi/yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
 Faktor Biologis lain
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
 Stroke
 Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
 Diabetes
 Penyakit arteri koronaria
 Kanker
 HIV / AIDS
 Faktor Psikososial & Lingkungan
 Teori Psikoanalitik/Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan objek
berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan terakhir depresi.
 Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang berkembang,
memandang rendah diri sendiri
 Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem
pendukung sosial

2.3 Macam – macam kegawatan psikiatri


1. Gaduh- Gelisah

Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan kedalam golongan kedaruratan psikiatri, bukan
karena frekuensinya yang cukup tinggi, akan tetapi karena keadaan ini berbahaya bagi pasien
sendiri maupun bagi lingkungannya, termasuk orang lain dan barang-barangnya. Tidak jarang
seseorang yang gaduh gelisah dibawa ke rumah sakit. Yang mengantarnya sering tidak sedikit
dan biasanya ialah anggota keluarganya dan sering mereka juga bingung dan gelisah.

a. Gejala gaduh-gelisah
Keadaan gaduh gelisah biasanya timbul akut atau sub akut. Gejala utama ialah
psikomotorik yang sangat meningkat. Orng itu banyak sekali berbicara, berjalan mondar
mandir, tidak jarang ia berlari-lari dan meloncat-loncat bila keadaan itu berat. Gerakan
tangan dan kaki serta ajuk (mimic) dan suaranya ceat dan hebat. Mukanya kelihatan
bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini mencerminkan gangguan afek-emosi dan
proses berpikir yang tidak realistic lagi. Jalan pikiran biasanya cepat dan sering terdaat
waham curiga. Tidak jarang juga timbul halusinasi penglihatan (terutama pada sindroma
otak organic yang akut) dan halusinasi endengaran (terutama pada skizofrenia).
Karena gangguan proses berikir ini, serta waham curiga dan halusinasi (lebih-
lebih bila halusinasi itu menakutkan), maka pasien menjadi sangat bingung, gelisah dan
gaduh. Ia bersikap bermusuhan dan mungkin menjadi agresif dan destruktif. Karena itu
semua, maka ia menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungannya. Ia dapat
melukai diri sendiri atau mengalami kecelakaan maut dalam kegelisahan yang hebat itu.
Jika waham curiganya keras atau halusinasinya sangat menakutkan, maka ia dapat
menyerang orang lain atau merusak barang-barang disekitarnya.
Bila orang dalam keadaan gaduh gelisah tidak dihentikan atau dibuat tidak
berdaya oleh orang-orang disekitarnya untuk mengamankan si pasien dan lingkungannya,
maka ia akan kehabisan tenaga dengan segala akibatnya atau ia meninggal karena
kecelakaan. Tergantung pada gangguan primer, maka kesadaran data menurun secara
kuantitatif (tidak compos mentis) dengan amnesia sesudahnya (seperti pada sindroma
otak yang akut) atau kesadaran itu tidak menurun akan tetapi tidak normal, kesadaran itu
berubah secara kualitatif. Seerti pada semua psikosa, maka individu dalam keadaan
gaduh gelisah ini sudah kehilangan kontak dengan kenyataan:proses berpikir, afek-emosi,
psikomotor dan kemauannya sudah tidak sesuai lagi dengan realitas.
b. Sebab gaduh gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan suatu diagnose dalam arti kata yang
sebenarnya, akan tetapi hanya menunjuk kepada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom
dengan sekelompok gejala tertentu pula. Keadaan ini bisa disebabkan oleh bermacam-
macam yang harus ditentukan tiap kali pada setiap pasien. Istilah keadaan gaduh gelisah
hanya dapat dipakai sebagai pemerian sementara tentang suatu gambaran psikopatologik
dengan ciri-ciri utama seperti dicantumkan ada namanya, yaitu gaduh dan gelisah.
Biasanya gaduh gelisah manisfestasi dari pada:
 Psikosa yang berhubungan dengan sindroma otak organic yang akut
Pasien dengan keadaan gaduh gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organic akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organic menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah. Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak
itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-
anatomik. Secara mudah dapat dikatakan bahwa ada sindroma otak organic yang akut
biasanya terdapat kesadaran yang menurun, pada sindrom otak organic yang menahun
biasanya terdapat demensia,. Akan tetapi data daja menimbulkan psikosa ataupun gaduh
gelisah.
 Psikosa fungsional ; psikosa relative, skizofrenia, psikosa manik-depresi jenis mania
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan
manifestasi suatu psikosa fungsional, yaitu psikosa yang tidak berhubungan atau sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah
seperti pada sindroma otak organic.
 Amok
Keadaan gaduh gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh factor-faktor
social budaya, karena itu PPDGJ 1 memasukkan kedalam kelompok” Keadaan yang
terikat pada kebudayaan setempat” (culture bound phenomenon). Efek malu memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan
destruktif.
c. Keadaan gaduh gelisah lain
1. Serangan kecemasan akut dan panic mungkin saja terjadi pada orang yang normal bila
nilai ambang frustasinya mendadak dilampaui, misalnya kecemasan dan panic sewaktu
kebakaran, kecelakaan masala tau bencana. Sebagian besar orang-orang ini lekas menjadi
tenang kembali, bila perlu diberikan pengobatan suportif seerti berbicara dengan tenang,
istirahat, tranquilaizer serta makanan dan minuman.
2. Kebingungan post konvulsi, tidak jarang terjadi sebuah konvulsi karena epilepsy
grandmall atau sesudah terapi konvulsi elektrokonvulsi. Pasien menjadi gelisah atau
agresif. Keadaan ini berlangsung beberapa menit dan jarang lebih lama dari 15 menit.
Pasien dikendalikan dengan dipegang saja dan dengan kata-kata yang menentramkan.
Bila ia masih tetap bingung dan gelisah, maka perlu diberi diazeapam atau penthotal
secara intravena untuk mengakhiri keadaan bingungnya..
3. Reaksi disosiasi atau keadaan fugue memperlihatkan pasien dalam keadaan bingung juga.
Keduanya merupakan jenis nerosa histerik yang disebabkan oleh konflik emosional.
Kesadaran pasien menurun, ia berbicara dan berbuat sesuai seperti dalam keadaan mimpi,
sesudahnya terdapat amnesia total.
4. Ledakan amarah tidak jarang timbul pada anak kecil. Mereka menjadi binggung dan
marah tidak karuan. Penyebabnya sering terdaat pada hubungan dengan dunia luar yang
dirasakan begitu menekan sehingga tidak dapat ditahan lagi dan anak kecil itu bereaksi
dengan caranya sendiri.
d. Terapi dan Pengobatan gaduh-gelisah
Terapi terhadap Underlying disease merupakan tatalaksana saat ini yang menentukan
pendekatan apa yang kita gunakan, antara lain :
 .Perawatan terhadap keadaan gaduh gelisah termasuk delirium dan gangguan
mental organik.
 Fiksasi pada tempat tidur dandibuat ruangan tersendiri adalah tindakan yang
sangat membantu.
 Lampu yang cukup terang
 orientasi dipertahankandengan adanya jam dan kalender
 di dampingi oleh keraba tterdekat merupakan lingkungan yang
mempercepat perbaikan.
 Pada keadaan primer psikitri,anti psikotik dan atau anti anxietas mempunyai
dampak yang sangat baik
 Kemudian ditunjang lingkungan yang tidak merangsang, serta psikoterapi
dasar dan psikoeducation diperlukan untuk mengurangi keadaan gaduh
gelisah. Pada gangguan kepribadian membutuhkan kombinasi dari
supportiveand basic cognitive psykotherapies and firm limit setting. Keterliba
tan penegak hukum dalam hal ini kepolisian akan sangat membantu pasien
untuk tidak melawan dokter. Sedangkan penggunaan obat-obat
sedapat mungkin tidak digunakan.
 Pendekatan Umum Pasien Dengan Gaduh Gelisah
 Selalu dalam keadaan rendahhati dan tenang.
 Usahakan tidak menentang pasien, jika hal ini tidak dilakukan maka pasien ak
an marah dancenderung tetap dalam kondisi gaduh gelisah.
 Sampaikan pada pasiententang siapa dan apa tugas kita sebagai dokter.
 Bicara dengan jelas, danhindari kontak mata yang lama.
 Selalu menjaga jarak
 Bersikap empati terutama pada pasien yang merasa kecewa/putus asa.
 Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku
kekerasan.
 Disarankan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan dalam waktu
yang singkat.
 Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang efisien untuk mendapatkan
informasi pada keadaan ini.
 Bangun kepercayaan dengan pasien.
 Menawarkan makananataupun minuman akan mempercepat pasien
kooperatif.
 Jika mungkin perkenankan pasien untuk memilih perawatan seperti apa yang
diinginkan.
 Gunakan waktu secaraefisien, jika pasien bersedia untuk diambil darah maka
lakukan pemeriksaan pemeriksaan sesuai indikasi.
 Selalulah berfikir bahwa iniadalah kesempatan satu-satunya
 Pasien gaduh gelisah membahayakan bagi pasien sendiri dan orang-
orangdisekitar oleh karena cara pengambilan keputusan oleh pasien yang
lemah.
2. Bunuh Diri (Suicade)

Masalah bunuh diri bukanlah masalah yang baru. Bangsa Indonesia telah mengenalnya sejak
zaman dahulu, terbukti dari cerita-cerita wayang, seperti cerita dewi shinta yang membakar
dirinya untuk membuktikan kesuciannya pada Rama. Mati seperti inilah dianggap oleh
masyarakat sebagai mati terhormat.

Dalam kepustakaan terdaat banyak definisi bunuh diri atau suiside (percobaan bunuh diri,
Latin : “tentamen suicide”, inggris: “suicide attempt”). Ada yang menganggap (percobaan)bunuh
diri ialah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan
sengaja dilakukan oleh seorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang
singkat. (percobaan) bunuh diri ialah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri
hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis,1998)

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang
tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat,
1993). Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada
diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).

Dewasa ini dikalangan psikiatri memandang bunuh diri sebagai perilaku yang bertujuan
mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang”unik manusiawi” dan kultural, yang
sesungguhnya bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian masalah frustasi,
enghindaran diri dari segala situasi yang tidak menyenangkan, pernyataan amarah atau
kegelisahan, unutk memeroleh keadaan tidur yang damai dan tentram. Lingkungan social juga
dapat mengadakan hambatan-hambatan(control social, dengan eraturan dan norma-norma
melalui perasaan malu), tetapi juga bisa memudahkan dan menganjurkan bunuh diri bila hal itu
dianggap menguntungkan kelompok. Sebaliknya peranan keadaan jiwa juga penting, lebih-lebih
dalam masyarakat kita sekarang ini dengan kecenderungan individu menjadi sangat individulistis
dan dengan norma-normal social menjadi lemah (control pribadi dengan hati nurani melalui
perasaan bersalah dan berdoa menjadi kurang). Itulah antara lain menjadi sebab bahwa jumlah
(percobaan) bunuh diri adalah tinggi, terutama dikota-kota besar dengan manusia yang hidup
secara sangat individualistis, karena struktur dan kehidupan kota itu sendiri.

A. Ada macam-macam pembagian bunuh diri dan percobaan bunuh diri.


 Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis yaitu:
1. Bunuh diri egoistic
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka yang tidak menikah lebuh rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah
pedesaan memunyai integrasi social yang lebih baik daripada daerah erkotaan,
sehingga angka suicide juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistic
Individu tidak terikat pada tuntutan tradisi khusus atauun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa
kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi jika terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan
yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau
kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhada kebutuhannya. Hal ini menerangakan mengapa
percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih bnayak dari pada mereka
yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan
ekonomi yang drastic juga lebih muda melakukan percobaan bunuh diri.
 Meninger
Meninger melihat 3 komponen pada orang yang melakukan bunuh diri yaitu: adanya
keinginan untuk membunuh dan menyerang, untuk dibunuh, dan untuk mati atau
menghukum diri sendiri.
 Scheidman dan Farberow
Scheidman dan Farberow membagi orang yang melakukan bunuh diri menjadi 4
golongan, yaitu:
a. Mereka yang percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab mereka
memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju ke kehidupan yang lebih baik
atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya.
b. Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang kehilangan anak, atau
cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri sebagai suatu jalan keluar dari
keadaan yang tidak menguntungkan bagi mereka.
c. Mereka yang psikotik, dan bunuh diri disini merupakan jawaban terhadap
halusinasi atau wahamnya
d. Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya bahwa karena bunuh
diri orang lain akan berduka cita dan mereka sendiri akan dapat menyaksikan
kesusahan orang lain itu.

Menurut Schneidman dan Farberow (para pendiri Suicide Prevention Center” di Los
Angelos) istilah bunuh diri dapat mengandung arti:

a. Ancaman bunuh diri (Threatened Suicide)


b. Percobaan bunuh diri (Attempted Suicide)
c. Bunuh diri yang telah dilakukan (Comitted Suicide)
d. Depresi dengan niat hendak bunuh diri
e. Melukai diri sendiri (Self Destruction)

Herbert Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh diri sebagai berikut:

1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (death as retaliatory abandonment)


Suicade dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut
dan kematian. Individu mendapat perasaan seakan akan ia data mengontrol dan
dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian ini.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (death as retroflexed
murder)
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suicide dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresi. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suicide dapat merupakan penyelesaian mengenai
pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (death as reunion)
Kematian dapat mempunyai arti menyenangkan, karena individu itu akan bersatu
kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan). Lebih sering
ditekankan pada rasa puas untuk mengikuti yang telah meninggal itu.
4. Kematian sebagai hukuman bagi diri sendiri ( death as self punishment)
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita. Dalam psikodinamika suicide , kehilangan yang berat memainkan peranan
penting, misalnya kehilangan kesehatan, kasih saying, uang, pekerjaan,
kebanggan, kecantikan, status, kemerdekaan dan teman. Pada umumnya jarang
terdapat hanya satu factor pencetus bagi suicide. Pada penganut teori
nerofisiologik menganggap bahwa keputusan terakhir untuk melakukan bunuh
diri dipengaruhi oleh kelemahan fungsi serebrokortikal, anata lain karena
insomnia dan barbituret serta alcohol.

Solomon membagi besarnya resiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda
tertentu, yaitu: tanda-tanda resiko berat dan tanda-tanda bahaya.

1. Tanda-tanda resiko berat ialah:


a. Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-ulang bahwa ia
ingin mati (anggapan bahwa orang yang mengatakan demikian tidak akan
berbuatnya,ternyata keliru)
b. Adanya depresi dengan gejala rasa salah dan dosa terutama terhadap orang-orang
yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat, rasa cemas yang
hebat, rasa tidak berharga lagi, sangat berkurangnya nafsu makan, sex dan
kegiatan, serta adanya gangguan tidur yang berat.
c. Adanya psikosa;terutama penderita psikosa impulsive, serta adanya perasaan
curiga, ketakutan dan panic. Keadaan semakin berbahaya bila penderita
mendengar suara yang memerintahkan membunuh dirinya.
2. Tanda –tanda bahaya ialah:
a. Pernah melakukan percobaan bunuh diri (jadi anggapan bahwa orang yang pernah
mencoba bunuh diri tidak akan berbuat demikian lagi juga keliru). Tempat dan
cara percobaan bunuh diri juga penting untuk melihat kesungguhan penderita. Jika
percobaan bunuh diri dulu itu dilakukan ditempat yang sepi, sehingga kecil
kemungkinan bahwa orang lain dapat menghalangi tindakannya, maka hal ini
menandakan keinginan yang besar untuk mati, tetapi bila dilakukan ditempat yang
mudah diketahui orang, mungkin keinginan untuk mati itu kecil. Juga cara yang
dipakai, bila yang dipilih lebih besar dan lebih menyakitkan maka makin besar
niatnya dengan kemungkinan melakukan suicide lagi.
b. Penyakit yang menahun: penderitan dengan penyakit kronis yang berat dapat
melakukan bunuh diri karena depresi yang disebabkan penyakitnya.
c. Ketergantungan obat dan alcohol: alcohol dan beberapa obat mempunyai
beberapa efek melemahkan control dan merubah dorongan(impuls) sehingga
memudahkan bunuh diri.
d. Hipokhondriasis: keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam tanpa sebab
organis dapat menimbulkan depresi yang berbahaya.
e. Bertambahnya umur: terutama pada pria, bertambahnya umur tanpa pekerjaan
atau kesibukan yang berarti dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak
berguna. Tetapi dari beberapa artikel, rupa-rupanya diindonesia paling banyak
terjadi bunuh diri antara umur 20-40 tahun.
f. Pengasingan diri: hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat lagi
menolong dan mengatasi depersi yang berat.
g. Kebanyakan kekayaan: individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau harapan masa
depan, mempunyai gairah untuk hidup kurang dari pada yang mempunyai
keluarga dan kedudukan social yang lebih berhasil.
h. Cacatan bunuh diri: setiap catatan bunuh diri hars diangggap sebagai tanda
bahaya.
i. Kesukaran penyesuaian diri yang kronis: individu dengan pergolakan yang lama
atau hubungan anatar individu yang tidak memuaskan, mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk melakukan suicide.
j. Tak jelas adanya keuntungan sekunder. Jika ancaman pasien tertuju pada orang
tertentu disekitarnya, maka mungkin percobaan bunuh diri bertujuan untuk
memanipulasi dan mengharapkan pertolongan, maka resikonya lebih kecil. Jika
tidak terdapat keuntungan sekunder yang jelas dan ancamannya, ditujukan benar-
benar kepada dirinya, maka resikonya jauh lebih besar.
B. Tanda-tanda bunuh diri

Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang
mungkin terjadi:

1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat, menembak


diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan
pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh
diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan
beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas yang
sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan,
keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan sehari-
hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa
menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan.
Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi,
keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu,
minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan
khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang merasa
bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah bertambah
baik.
11. Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh diri, memiliki riwayat
penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan
kelesuan.
C. Pencegahan dan pengobatan

Yang berhasil bunuh diri tentunya tidak perlu pengobatan lagi, hanya keluarga yang
ditinggalkan mungkin perlu diperhatikan, karena kejadian ini menimbulkan stress pada mereka
dan ada kecenderungan bunuh diri yang lebih besar diantara orang-orang yang telah
berhubungan denga orang yang telah melakukan bunuh diri. Bila ada kesempatan, maka kiranya
hal suicide secara umum sebaiknya dibicarakan dengan mereka.

Untuk yang tidak berhasil tindakan apa yang menjadi prioritas atau perhatian utama
dalam pengobatan pada permulaan kejadian itu, tergantung terhadap berat ringannya keadaan
badan dan jiwa atau kepada gejala-gejala yang paling menonjol. Pada semua kasus bunuh diri
egoistic dan anatomic, pemeriksaan dan pengobatan psikitrik mutlak diperlukan.

Bagaiman dengan pencegahan, mungkinkah hal ini? Pertanyaan lain ialah: mengapa kita
hendak mencegah orang yang hendak bunuh diri? Tidakkan manusia itu berkuasa dan
bertanggung jawab atas dirinnya sendiri? Kalau ia mau mati boleh saja asal jangan merugikan
orang lain atau orang lain tidak membantunya dalam hal ini. Orang-orang yang ber Tuhan,
pastinya dapat menjawab alas an dan pertanyaan diatas dengan mengemukakan pandangan
agama masing-masing. Dari sudut kedokteran juga dapat dikemukakan bahwa setidak tidaknya
orang yang hendak melakukan bunuh diri egoistic maupun anatomic berada dalam keadaan
patologis. Mereka semua sedang mengalami ganggguan fungsi mental yang bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat, karena itu perlu ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistic boleh
dikatakan tidak mungkin, kecuali bila kebudayaan dan norma-norma masyarakat diubah.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh diri,gaduh atau
gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar
bunuh diri dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;

1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri,
dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian

2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.

3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak
langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri

Setiap orang yang ingin melakukan prilaku bunuh diri biasanya melewati beberapa rentang
ataupun tahap-tahapan diantaranya: Suicidal ideation, Suicidal intent, Suicidal threat, Suicidal
gesture, Suicidal attempt dan suicide.

Sementara itu gaduh/gelisah merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan : banyak bicara,
mondar-mandir,lari-lari,loncat-loncat,destruktif dan bingung. Hal ini di sebabkan oleh :
Gangguan mental organik (delirium), psikosis fungsional, amok, gangguan panic, kebingungan
post konvulsi, reaksi disosiatif dan ledakan amarah (temper tantrum).

Kedaruratan psikiatri yang ke tiga ialah penyalahgunaan napza. NAPZA (Narkotika,


Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh
manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Penyebab penyalahgunaan
NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor
lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single
cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA diantaranya ialah :
factor individu, faktor lingkungan dan faktor NAPZA itu sendiri.

3.2 Saran

Seyogyaanya perilaku bunuh diri, gelisah/gaduh dan penyalahgunaan NAPZA dapat di cegah
atau dihindarkan dengan beberapa cara diantaranya :

1. Selalu berfikiran positif akan segala hal

2. Selalu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa

3. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif

4. Jangan mencoba-coba sesuatu yang tidak baik.

DAFTAR PUSTAKA

Davies, Teifion dan Craig.(2009).ABC Kesehatan Mental.Jakarta:EGC


Maramis,W.F.(1998).Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya:Airlangga University Press

Stuart,Gail W.(2006).Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5.Jakarta:EGC

Yosep,Iyus.(2010).Keperawatan Jiwa.Bandung:PT Refika Aditama

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Penyalahgunaan NAPZA

1. Pengkajian
A.Fisik
Data fisik yang mungkin yang ditemukan oleh klien dengan menggunakan NAPZA pada saat
pengkajian adalah sebgai berikut: nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya seleramakan,
konstipasi, diare, perilaku seks melanggar norma, kemunduran dalam kebersihandiri,
potensial kompikasi, jantung, hati, dll. Infeksi pada paru-paru sedangkan sarannya yang ingin
dicapai adalah agar klienmampu untuk teratur dalam pola hidupnya.
B.Emosional
Perasaan gelisah (takutklodiketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak berdaya. Sasaran
yang ingin di capai agar klien mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri sendiri.
C.Sosial
Lingkingan sosoal yang bias akrab dengan klien biasanya adalah teman pengguna zat,
anggota, keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau kampus yang di gunakan oleh
para pengedar.
D.Intelektual.
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiptif, perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas
sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan berhenti. Sasaran yang ingin dicapai
adalah agar klien mampu untuk konsentrasi daya meningkatkan daya piker ke hal-hal yang
positif.
E.Spiritual.
Kegiatan keagamaan tidak ada. Nilai-nilai kebaikan ditinggalakan karena perubahan perilaku
(tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain) saran yang ingin dicapai adalah mampu
meningkatkan ibadaah, pelaksaan nilai-kebaikan.
F.Kelurga
Ketakutan akan perilaku klien. Malu pada masyarakat, penghamburan dan pengurasan secara
ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan moril terhadap klien
terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapa iadalah keluarga mampun merawat klien yang pada
akhirnya mencapai tujuan utamaya itu mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relapse).
1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (The American Nursing Diagnosa Association):
1. Gangguan persepsi sensori pada penggunaan halusinogen sehubungan dengan tekanan
teman sebaya, dimanifestasikan dengan berteriak dan menutup telinga bila di tinggal
sendriian dikamar.
2. Gangguan proses berpikir pada pengguna alcohol sehubungan dengan tekanan diri hokum
dan tunntutan dari keluarga dimanifestasikan dengan bingung dan kurang sadar.
3. Gangguan persepsi sensori visual pada pengguna alcohol sehubungan dengan hilangnya
pekerjaan dan di tolak oleh kelurga.
4. Gangguan hubungan social, manipulative sehubungan dengan kondisi putus zat adiktif,
5. Tidak efektifnya koping individu sehubungan dengan terus-menerus menggunakan zat
adiktif.
6. Gangguan konsep diri: harga diri yang rendah sehubungan dengan ketidak mampuan
mengatasi masalah.
7. Gangguan konsep diri sehubungan dengan menggunakan mekanis mepertahan diri: denial
agar tetep menggunakan obat.
8. Gangguan konsep diri: hargadiri rendah sehubungan dengan tidak mampu
mengenalkualitas yang positif dar diri sendiri.
9. Gaangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak pengguna zat adiktif.
10. Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan dampak
penggunanaan zat adiktif.
11. Partisipasi kelurga yang kurang dalam pengobatan klien berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan.
12. Menolak mengikut iaktifitas program berhubungan dengan kurangnya motifasi untuk
sembuh.
13. Potensia luntuk melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan psikologis terhadap
zat adiktif.
14. Potensial mengancam keamanan diri sehubungan dengan kondisi pemutusan zat sedative
hipnotik.
15. Potensial memburuknya kesadaran :koma berhubungan dengan overdosis penggunans
adatif hipnotik.
16. Potensial gangguan kardioveskuler: postural hipotesis berhubungan dengan intoksikasi
sedative hipnotik.
17. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare. Berhubungan dengan kondisi
pemutusan zat adektif.
18. Mekanis mekoping destruktif: mengantuk berhubungan dengan perasaan ditolak kelurga,
3. Penatalaksanaan
A. PRINSIP BIOPSIKOSOSIOSPIRITUAL (stuartsundeen)
1. Biologis
Tindakan biologis dikenal dengan detoksifikasi yang bertujuan untuk
1.memberikan asuhan yang aman dalam “withdrawl”(prosing penghentian) bagi klien
pengguna NAPZA.
2.memberikan asuhan yang humanistic dan memelihara martabat klien.
3.memberikan terapi yang sesuai.
Setelah detoksifikasi tercapai, mempertahankan kondisi yang bebas dari zat adiktif, dimana
terapi farmakologis harus ditunjang oleh terapi yang lain.
1. Psikologis
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu mengidentifikasi aspek positifnya untuk
dipakaimengatasi kegagalan.
2. Sosial
 Konseling keluarga
Kelurga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat dan proses adukasi
sehingga seringkali melakukan hal yang tidak terapeutik terhadap klien. Kelurga sering
melindungi klien dari dampak adiksi, meminta kluarga lain untuk memanfaatkan klien.
Menyalah diri sendiri, menghindari konfrontasi yang semuanya menyebabkan klien
meneruskan pemakaian zat adiktif. masalah yang dihadap klien menimbulkan dampak
kelurga seperti rasa tidaak aman, malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut dan
merasa diisolasi. Oleh karena itu perawat perlu mendorong kelurga untuk mengikuti
pendidikan kesehatan tentang proses penggunaan dan ketrgantungan, gejala putus zat,
gejala relapse, tindakan keperawatan. Lingkungan terapeotik, dan semua hal yang terkait
dengan pencegahan relapse dirumah.
 Terapikelompok
Terdiri dari 7-10 orang yang difasilitasi oleh therapist. Kegitan yang dilakukan tiap anggota
bebas menyampaikan riwayat sampai terjadinya idikasi, uapaya yang dilakukan untuk
berhenti memakai zat, kesulitan yang dihadapi dalam melakukan program perawatan,
terapi dan anggota kelompok memberikan umpan balik dengan jujur dan dapat
menambah pengalaman masing-masing.
 Self help group
Self help group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien yang berkeinginan bebes
dari zat adiktif, dukungan antara anggota akan memberi kekuatan dan motivasi untuk
bebes dari zat adiktif.
B.PRINSIP COMMUNITY THERAPEUTIK (anakeliat)
Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kearah positif, sehingga mampu
menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini dpat dilakukan bila klien diberi
kesempatan mengungkapkan masalah pribadi dan lingkungan. Community terapeutik
melakukan intervensi untuk mengatasinya.
Beberapa metode yang dilakukan.
 Slogan yang berisi norma atau nilai kearah positif.
 Pertemuan pagi (moorning meeting) yang diikuti oleh seluruh staf dan klien untuk
membahas masalah individu, interaksi antara klien dan kelompok.
 Talking to: metode yang digunakan untuk saling memperingati dengan cara yang ramah
sampai yang keras.
 Learning experience yaitu memberikan tugas yang bersifat membangun untuk merubah
perilaku negatif.
 Pertemuan kelompok
 Pertemua numum (general meeting)

2.2 Penelantaran Diri

2.9 Penyalahgunaan NAPZA

A. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi mumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi
adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan
toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA dan zat zat yang dapat membuat
ketergantungan
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi darikondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.
dan zat zat yang dapat membuat ketergantungan
Respon adaptif Respon maladaptif

Eksperimental rekreasional situasional ketergantungan


Gambar 1.2.2 (rentan respon gangguan penyalahgunaan zat Sumber: Yosep, 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari
remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya,
misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi
masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai
masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan
secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi
dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan
fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus
zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis
tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu
kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan
yang biasa diinginkannya.

C. Jenis-Jenis NAPZA

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:


2. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan
perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus.
Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
1) Narkotika alami
Yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya
proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung
dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh
digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh
narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2) Narkotika sintetis
Yaitu adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya
yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan
sebagainya.Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
a. Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa
badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.
3) Narkotika semi sintetis
Yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya
seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau
obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat
syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan
stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan
stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga
perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine
merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adiktif Lainnya


Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak
langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan
psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan
(Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras
(minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%)
seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%)
seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai
55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari
bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan
koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah
nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

D. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi
pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan
harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan
cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan
masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah
dengan cara melarikan diri.

b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan
konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari
kelompok usianya.

c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena
kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi;
sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu


Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak
yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh
teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.

a. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan
membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi
pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi
Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan
narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang
tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang
memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu,
ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan
alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri
– tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang
kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)


Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman
atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu.
Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan
bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang
dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan
fisik dan psikologis. Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA
pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh
teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan
studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompok yang
menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu
seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional,
menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan
bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di
Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan
untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi
pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada
juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.

E. Tanda dan Gejala


Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma
putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau
dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tanda dan Gejala Intoksikasi


Opiat Ganja Sedatif-Hipnotik Alkohol amfetamine
* eforia * eforia * pengendalian * mata merah * selalu
* mengantuk * mata merah diri berkurang * bicara cadel terdorong
* bicara cadel * mulut * jalan * jalan untuk
* konstipasi kering sempoyongan sempoyongan bergerak
* penurunan * banyak * mengantuk * perubahan * berkeringat
kesadaran bicara *memperpanjang persepsi * gemetar
dan tertawa tidur * penurunan * cemas
* nafsu * hilang kemampuan * depresi
makan kesadaran menilai * paranoid
meningkat
* gangguan
Persepsi

Tanda dan Gejala Putus Zat


Opiat Ganja Sedatif- Alkohol amfetamine
Hipnotik
* nyeri * jarang * cemas * cemas * cemas
* mata dan ditemukan * tangan * depresi * depresi
hidung berair gemetar * muka merah * kelelahan
* perasaan * perubahan * mudah * energi
panas dingin persepsi marah berkurang
* diare * gangguan * tangan * kebutuhan
* gelisah daya ingat gemetar tidur
* tidak bisa * tidak bisa * mual meningkat
Tidur tidur muntah
* tidak bisa
Tidur

F. Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang
sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta
masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi
otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat
menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan,
gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah
ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para
pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis:
1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu,
ekstasi dan amfetamin,
2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai
jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur
(hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan
3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya
dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana
nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena
memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres
keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian
narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di
rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat
tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan
perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah
dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan
terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap
perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan
narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya
negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta
sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

G. Penanggulangan Masalah NAPZA


Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai
pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami
gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien
hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat
dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara
penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi
dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat
penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang
ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan
program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003). Lama rawat di
unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan
kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah
sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu
menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapanterapi selama 2 minggu maka
klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit
lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan
parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa
sampai 2 tahun. Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang
rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian
besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan
penggunaNAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.

H. Jenis program rehabilitasi:


a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat
(reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi
dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku
maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial
dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun
personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi
detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk
menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain
seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang
sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi
psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang
diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan
ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik
secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2
minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu
dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian
dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi.
Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat
dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983
dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar
keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami
penyalahgunaan NAPZA.

c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah
mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di
sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi
atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam
proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak
membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,
penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif
diatur oleh mereka sendiri.

d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup
untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau
keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang
sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam
penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan
hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak
sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    berty
    Belum ada peringkat
  • Konsep Lanjut Usia
    Konsep Lanjut Usia
    Dokumen21 halaman
    Konsep Lanjut Usia
    berty
    Belum ada peringkat
  • Depresii
    Depresii
    Dokumen7 halaman
    Depresii
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Kegawatdaruratan Psikiatri
    Kegawatdaruratan Psikiatri
    Dokumen4 halaman
    Kegawatdaruratan Psikiatri
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen14 halaman
    Bab Ii
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Berty 45
    Berty 45
    Dokumen7 halaman
    Berty 45
    berty
    Belum ada peringkat
  • Berty
    Berty
    Dokumen18 halaman
    Berty
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Berty Psiki Fixxxx
    Berty Psiki Fixxxx
    Dokumen23 halaman
    Berty Psiki Fixxxx
    berty
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen12 halaman
    Bab I
    berty
    Belum ada peringkat
  • Kritis Berty Fixxx
    Kritis Berty Fixxx
    Dokumen25 halaman
    Kritis Berty Fixxx
    berty
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen31 halaman
    HIPERTENSI
    berty
    Belum ada peringkat
  • Askep Individu Asma
    Askep Individu Asma
    Dokumen47 halaman
    Askep Individu Asma
    Anita Cyntya
    Belum ada peringkat
  • Edit Pak Rahmat
    Edit Pak Rahmat
    Dokumen6 halaman
    Edit Pak Rahmat
    berty
    Belum ada peringkat
  • Gadar Berty Psikiatri
    Gadar Berty Psikiatri
    Dokumen25 halaman
    Gadar Berty Psikiatri
    berty
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen31 halaman
    HIPERTENSI
    berty
    Belum ada peringkat
  • Airway Management
    Airway Management
    Dokumen9 halaman
    Airway Management
    berty
    Belum ada peringkat
  • Rheumatoid Arthritis
    Rheumatoid Arthritis
    Dokumen9 halaman
    Rheumatoid Arthritis
    Firosika's House
    Belum ada peringkat
  • BABIII
    BABIII
    Dokumen9 halaman
    BABIII
    berty
    Belum ada peringkat
  • BABIII
    BABIII
    Dokumen9 halaman
    BABIII
    berty
    Belum ada peringkat
  • Belum Edit
    Belum Edit
    Dokumen9 halaman
    Belum Edit
    berty
    Belum ada peringkat
  • Askep Individu Asma
    Askep Individu Asma
    Dokumen47 halaman
    Askep Individu Asma
    Anita Cyntya
    Belum ada peringkat
  • Makalah Asma
    Makalah Asma
    Dokumen13 halaman
    Makalah Asma
    berty
    Belum ada peringkat