LAPORAN PRAKTIKUM
MODUL KE-4
PENGUKURAN POLIGON TERBUKA TERIKAT SEMPURNA
DISUSUN OLEH
ANGGOTA :
1. WISNUARDI D ( 15103014 )
2. INDRA GUMILAR ( 15103026 )
3. BELFRY P ( 151030 )
ASISITEN :
Bpk. DUDI
2006
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemetaan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Pengukuran yang
dilakukanpun memiliki berbagai macam cara. Pengetahuan dan teknik pengukuran
repetisi / reiterasi perlu dikembangkan lebih lanjut ke tingkat yang lebih kompleks.
Menjadi seorang surveyor yang handal tidak cukup dengan hanya menguasai teknik
pengukuran repetisi dan reiterasi. Oleh sebab tuntutan itu, mahasiswa teknik
Geodesi ITB 03 perlu mengembangkan tekniknya dengan cara melakukan
pengukuran polygon di lapangan.
B. Maksud Praktikum
Pada praktikum kali ini mahasiswa berusaha untuk mencari koordinat dari
suatu titik dengan bantuan koordinat titik yang lain yang sudah diketahui, dan
mencari sudut dari titik-titik tersebut.
C. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum antara lain :
1. Mahasiswa menguasai teknik pengukuran polygon terikat sempurna.
2. Mahasiswa mampu menggunakan alat-alat survey dengan baik dan teliti.
Metode poligon adalah cara pertama untuk menentukan tempat lebih dari
satu titik. Telah diketahui pula bahwa pada ujung awal poligon diperlukan satu titik
yang diketahui dan jarak yang diketahui pula dengan sudut jurusan tertentu.
Supaya keadaan menjadi simetris maka ujung akhir dibuat titik tertentu dan diikat
pada jurusan tertentu. Umumnya poligon dimulai dan diakhiri pada titik-titik yang
telah diketahui dan diikat pada kedua ujung sudut jurusan.
Sebelum menghitung koordinat suatu titik poligon, maka terlebih dahulu
harus menentukan sudut dan jarak, oleh karena itu yang diukur dalam poligon
adalah sudut-sudut dan jarak-jarak pada poligon tersebut. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa syarat menentukan suatu titik dengan menggunakan metode
poligon, yaitu : adanya titik-titik yang telah diketahui koordinatnya, diketahui jarak
dan sudutnya.
BAB III
LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
6. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
7. Teropong diubah ke keadaan luar biasa, dibidikan secara kasar ke unting-
unting yang ada di titik (ITB 021), kemudian kunci vertikal dan horizontal
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
8. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
9. Teropong dibidikan secara kasar ke unting-unting yang ada di titik (ITB 047)
dengan arah berlawanan dengan arah jarum jam, kemudian kunci vertikal
dan horizontal dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal
maupun horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan
dua benang diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca
dan dicatat di lembar pengukuran.
10. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
11. Jarak antara titik ITB 047 dan ITB 048 diukur dengan menggunakan pita
ukur, pengukuran dilakukan lima kali.
12. Teodolit dipindahkan ke titik (ITB 021), dilakukan penyentringan kembali.
13. Unting-unting dengan bantuan kaki tiga di letakan masing-masing pada
posisi (ITB 048 dan ITB 027).
14. Dalam keadaan biasa teropong pada teodolit dibidikan secara kasar ke
unting-unting yang ada di titik (ITB 048), kemudian kunci vertikal dan
4
horizontal dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal
maupun horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan
dua benang diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca
dan dicatat di lembar pengukuran.
15. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
16. Teropong pada teodolit dibidikan ke unting-unting yang ada di titik (ITB 027)
dengan arah searah jarum jam, kemudian kunci vertikal dan horizontal
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
17. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
18. Teropong diubah ke keadaan luar biasa, dibidikan secara kasar ke unting-
unting yang ada di titik (ITB 027), kemudian kunci vertikal dan horizontal
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
19. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
20. Teropong dibidikan secara kasar ke unting-unting yang ada di titik (ITB 048)
dengan arah berlawanan dengan arah jarum jam, kemudian kunci vertikal
dan horizontal dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal
maupun horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan
dua benang diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca
dan dicatat di lembar pengukuran.
5
21. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
22. Jarak antara titik ITB 048 dan ITB 021 diukur dengan menggunakan pita
ukur, pengukuran dilakukan lima kali.
23. Teodolit dipindahkan ke titik (ITB 027), dilakukan penyentringan kembali.
24. Unting-unting dengan bantuan kaki tiga di letakan masing-masing pada
posisi (ITB 021 dan ITB P4).
25. Dalam keadaan biasa teropong pada teodolit dibidikan secara kasar ke
unting-unting yang ada di titik (ITB 021), kemudian kunci vertikal dan
horizontal dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal
maupun horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan
dua benang diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca
dan dicatat di lembar pengukuran.
26. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
27. Teropong pada teodolit dibidikan ke unting-unting yang ada di titik (ITB P4)
dengan arah searah jarum jam, kemudian kunci vertikal dan horizontal
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
28. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
29. Teropong diubah ke keadaan luar biasa, dibidikan secara kasar ke unting-
unting yang ada di titik (ITB P4), kemudian kunci vertikal dan horizontal
dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal maupun
horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan dua benang
diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca dan dicatat
di lembar pengukuran.
6
30. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
31. Teropong dibidikan secara kasar ke unting-unting yang ada di titik (ITB 021)
dengan arah berlawanan dengan arah jarum jam, kemudian kunci vertikal
dan horizontal dikeraskan, dengan menggunakan sekrup gerak halus vertikal
maupun horizontal objek diatur supaya posisinya tepat pada perpotongan
dua benang diafragma, dilakukan koisidensi (skala diimpitkan), hasil dibaca
dan dicatat di lembar pengukuran.
32. Sekrup gerak halus vertikal dan horizontalnya di ubah-ubah lagi, kemudian
objek difokuskan kembali dengan menggunakan sekrup gerak halus
tersebut, dilakukan koisidensi lagi kemudian skala dibaca untuk yang kedua
kalinya pada titik yang sama, hasil dicatat kembali dilembar pengukuran.
33. Jarak antara titik ITB 021 dan ITB 027 diukur dengan menggunakan pita
ukur, pengukuran dilakukan lima kali.
34. Jarak antara titik ITB 027 dan ITB P4 diukur dengan menggunakan pita
ukur, pengukuran dilakukan lima kali.
7
BAB IV
DATA DAN PENGOLAHAN DATA
Utara
αAB
αB1
α1C
αCD
8
Data
PENGUKURAN SUDUT MENDATAR
KEDUDUKAN
BACAAN SKALA LINGKARAN MENDATAR Sudut ( B )
BIDIKAN
TEMPAT
Sudut rata-
ARAH
ALAT
(- -' -.-'') (- -' -.-'') (- -' -.-'') (- -' -.-'') (- -' -.-'')
1 2 3 4 5 6 7 8
B 021 74 12 18 74 12 25 74 12 21.5
B P4 257 41 03 257 41 01 257 41 02 183 28 41
027 183 28 35
LB P4 77 46 28 77 46 26 77 46 27 183 28 28
LB 021 254 17 59 254 18 00 254 17 59
Data Jarak
Jarak Pengukuran Hasil Pengukuran Rata-Rata
Dari Ke (m)
1 42.73
2 42.76
3 42.73 42.738
dAB 4 42.74
047-048 5 42.73
1 34.30
2 34.14
3 34.24 34.194
dB1 4 34.15
048-021 5 34.14
1 62.10
2 61.8
3 61.9 61.910
d1C 4 61.95
021-027 5 61.8
1 26.22
2 26.20
3 26.21 26.216
dCD 4 26.23
027-P4 5 26.22
9
Data Koordinat Titik
Titik X Y
ITB 047 788732.989 9237706.797
ITB 048 788726.885 9237664.401
ITB 027 788712.940 9237571.248
ITB 050 788668.073 9237559.543
P4 788710.963 9237543.927
Pengolahan Data
Sudut B (048)
Biasa : 195 0 51’49”
2
Sudut C (027)
Biasa : 183 0 28’41”
10
= arc tg – 6.104 + 1800
- 42.396
= 188º11’34”
11
∆X= d * sinα
∆XB1 = 34.194 * sin 204o10’48” = -14,00602034
∆X1C = 61.91 * sin 180º30’22” = -0,546862817
maka Σ∆X = -14,55288316
ordinat :
∆Y = d * cosα
∆Y B1 = 34.194 * cos 204o10’48”= - 31,19392618
∆Y 1C = 61.91 * cos 180º30’22”= - 61,90758468
maka Σ∆Y = - 93,10151086
12
= 788726,885 -13,78973427
= 788713,0953 berbeda 0,2123 dari koordinat aslinya
13
BAB V
ANALISIS
Nama : Wisnuardi D
NIM : 15103014
Pengukuran metode poligon adalah pengukuran yang digunakan untuk
menentukan koordinat banyak titik. Adapun jenis-jenis poligon sendiri ada 4 jenis,
yaitu : poligon terbuka, poligon tertutup, poligon bercabang, dan poligon kombinasi.
Dari jenis terbuka ada dua jenis, yaitu : poligon terikat sempurna dan poligon
terikat tak sempurna.
Pada pengukuran dengan menggunakan metode poligon, untuk menentukan
suatu titik terlebih dahulu harus diketahui koordinat beberapa titik yang lainnya,
selain itu harus diketahui pula hubungan jarak antar satu titik dengan titik lainnya
dan sudut yang dibentuk antar satu titik dengan titik yang lainnya.
Setelah kami memperoleh data di lapangan, ternyata terdapat adanya
penyimpangan yang tidak terlalu jauh dari data literatur yang ada.
Dengan adanya selisih yang cukup jauh dari hasil pengukuran di lapangan
dengan literatur yang ada , maka kita bisa berpendapat bahwa pengukuran yang
dilakukan masih kurang baik, hal ini terbukti dengan kualitas hasil pengukuran itu
sendiri.
Kesalahan yang terjadi dapat mempengaruhi pada hasil perhitungan dan hasil
akhir. Kesalahan tesebut dapat dikarenakan oleh alat, pada saat pemasangan alat,
ataupun rusaknya alat; manusia, pada saat pengukuran sudut dan jarak, dan saat
pengolahan data; alam, tidak mendukungnya cuaca dan kondisi lingkungan pada
saat pengukuran dilakukan.
14
koordinat titik lain yang sudah diketahui. Dari jarak dan sudut yang diketahui
tersebut dapat dikembangkan untuk mencari data lainnya sampai akhirnya dapat
diketahui koordinat titik yang dicari.
Dari pengolahan data yang didapat terjadi penyimpangan koordinat dari
literature yang sudah diketahui. Penyimpangan tersebut tidak terlalu jauh.
Penyimpangan pada pengolahan data tersebut dapat terjadi karena kesalahan, baik
itu karena kesalahan manusia, alat atupun alam. Untuk lebih jelasnya kesalahan
tersebut dapat disimpulkan karena :
a. Kesalahan yang sistematik
Kesalahan ini disebabkan oleh penyipatan yang tidak berpengalaman.
Analisis kesalahan sistematik pada pengukuran di atas adalah kekurang-
telitian pengukuran jarak antar BM ataupun penyetelan alat teodolit yang
kurang teliti (misalnya kesalahan penyentringan atau pengaturan tabung).
Kesalahan sistematik lainnya adalah pada pembacaan perkiraan skala
nonius.
b. Kesalahan yang kebetulan
Kesalahan ini mencakup ketidak-telitian yang selalu timbul pada
penyipatan, oleh perubahan suasana dan lapangan maupun oleh perbedaan
kecil pada pembuatan alat penyipat ruang yang tidak dapat diatasi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menentukan suatu titik pada metoda polygon terikat sempurna ada
beberapa informasi yang harus didapatkan terlebih dahulu yaitu :
1. Koordinat titik-titik harus ada yang sudah diketahui dalam arti titik acuan
(BM)
2. Ada hubungan jarak (jarak antar titik harus dicari terlebih dahulu)
15
3. Koordinat titik polygon lebih dari 2 titik.
Kesalahan pengukuran bisa bersumber dari alam, manusia, dan alat.
Sedangkan sifat dari kesalahan itu adalah sistematik, acak, dan blunder.
Pada pengukuran polygon ini banyak ada BM yang sulit untuk ditemukan
sehingga menyita waktu, dan terdapat sasaran bidik yang tidak dapat dijangkau
oleh pandangan teodolit atau target tersebut (bandul) terhalangi oleh pohon atau
gedung sehingga untuk pengukuran selanjutnya diharapkan memberikan posisi
yang mudah dijangkau.
DAFTAR PUSTAKA
16