TINJAUAN PUSTAKA
2
3
Dimana :
M = Beban mati
(H + K) = Beban hidup dengan kejut
Ta = Gaya tekan tanah
Tu = Gaya angkat
Ah = Gaya akibat aliran dan hanyutan
Gg = gaya gesekan pada tumpuan bergerak
A = Gaya angin
SR = Gaya akibat sudut dan rangkak
Tm = Gaya akibat perubahan
4
Rm = Gaya rem
Gh = Gaya horizontal ekivalen akibat gempa
Tag = Gaya tekan tanah akibat gempa bumi
Ahg = Gaya akibat aliran dan hanyutan pada saat gempa bumi
P1 = Gaya-gaya pada waktu pelaksanaan
S = Gaya sentifugal
Tb = Gaya tumbuk
a. Beban Mati
Beban mati adalah beban yang diakibatkan oleh berat sendiri dari konstruksi
dan segala unsur tambahan yang dianggap satu kesatuan tetap dengannya.
Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen (1990), berat sendiri konstruksi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus empiris, yaitu :
Keterangan :
G = Berat sendiri gelagar utama
L = Panjang bentang jembatan
Gaya–gaya batang pada gelagar utama akibat berat sendiri dihitung dengan
menggunakan metode Cremona. Dasar perhitungan ini merupakan segi banyak
tertutup. Seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini :
5
D 7 C -S3
RA +S5
3 4 5 6 -S1
1 2 RA -S1 +S6
A E B (A)
-S2
RA P RB -S2
RB -S3 +S7
+S6 -S3 +S7 RB -S3
-S5 +S4
-S2 +S4
(B) (C) (D)
1. Batang disebut tekan (-), apabila arah gaya menuju titik sambung.
2. Batang disebut tarik (+), apabila arah gaya meninggalkan titik sambung.
b. Beban Hidup
Berdasarkan SNI 1725 2016 beban hidup yaitu semua beban yang berasal
dari kendaraan yang bergerak dan penjalan kaki yang dianggap bekerja pada
jembatan.
Beban hidup pada jembatan terdiri dari beban “T” yang merupakan beban
terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D” yang merupakan beban jalur untuk
gelagar. Beban “D” atau beban jalur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu
lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q” ton/meter sepanjang jalur
dan beban garis “P” sebesar 12 ton per jalur lalu lintas tersebut.
6
½P
½q
P
q
Besarnya beban terbagi rata “q” dengan bentang 30< L < 60 meter adalah :
1,1
q = 2,2 t/m1 - (L-30) t/m ............................................................ (2.2)
60
q (t / m2 )
q= ................................................................................... (2.3)
2,75
P ( ton)
P = ...................................................................................... (2.4)
2,75
Keterangan :
P = Beban garis
Batang Atas
Batang Bawah
Batang Diagonal
MD = 0
P x X1
RA x (L – x1) + S1 x H = 0 RA =
L
X1
x (L - X1) +s1 x H = 0
L
sehingga untuk batang atas diperoleh :
KV = 0
RA – P + S3 Sin α = 0, P =1 ton
S3C = RA – 1 / sin α ( - ) ............................................................................. (2.5c)
KV = 0
RA - S3 Sin α = 0
SaD = RA / Sin α (+) ................................................................................ (2.5d)
Garis pengaruh batang S3 diperlihatkan pada gambar 2.1c Diagram garis pengaruh
c. Beban Kejut
Untuk menghitung pengaruh-pengaruh getaran dan pengaruh dinamis
lainnya, beban-beban yang timbul akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan
koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata
“q” tidak dikalikan dengan koefisien kejut. Berdasarkan (SNI 1725 2016),
koefisien kejut diperhitungkan dengan rumus :
20
K=1+ ..................................................................................... (2.6)
50 L
Keterangan :
K = Koefisien kejut
L = Panjang bentang Jembatan (m)
9
a. Beban angin
Berdasarkan (SNI 1725 2016), tekanan angin diperhitungkan 150 kg/m 2
yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Bagian–bagian sisi
jembatan yang terkena angin untuk jembatan rangka diambil 30 % luas bidang sisi
jembatan dan ditambah 15 % luas sisi lainnya.
Perencanaan sebuah jembatan tekanan angin diperhitungkan bekerja pada
tiga tempat, yaitu :
1. Tekanan angin pada lantai kendaraan(Wr).
2. Tekanan angin pada kendaraan (Wm), yang diperhitungkan bekerja setinggi
2 meter dari lantai kendaraan.
3. Tekanan angin pada konstruksi jembatan (Wbr).
Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen, besarnya gaya reaksi yang timbul
pada bagian tumpuan rangka jembatan dapat dihitung dengan persamaan statis
momen, yaitu :
Wbr x hbr Wm x hm Wr x hr
K = ............................................ (2.7)
b
Keterangan :
K = Gaya reaksi yang timbul pada bagian tumpuan reaksi jembatan (Kg)
hbr, hm, hr = Jarak masing – masing tekanan angin terhadap tumpuan rangka
jembatan (m)
c. Gaya rem
Berdasarkan SNI 1725 2016 gaya rem dianggap bekerja horizontal dalam
arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter diatas permukaan
lantai kendaraan. Besarnya gaya ini diperhitungkan 5 % dari beban “D” tanpa
koefisien kejut.
11
a. Batang Tekan
Batang–batang tekan yang mengalami gaya tekan. Panjang batang dan
tumpuan ujung –ujung sangat mempengaruhi (1k). Berdasarkan SNI 1725 2016
jenis-jenis tumpuan pada batang diperlihatkan pada gambar 2.4 dibawah ini :
Keterangan :
I min = Momen kelembaman
n = Faktor keamanan (3,5)
1k = Panjang batang tekuk
Rumus Euler ini berlaku apabila 100 < λ < 200, dimana angka
kelangsingannya adalah :
lk
rmin > ...................................................................................... (2.11)
imin
Keterangan :
rmin = Jari-jari kelembaman profil
λ = Angka kelangsingan
b. Batang Tarik
Dalam merencanakan batang tarik, faktor yang harus diperhatikan adalah luas
batang profil dan perlemahan akibat sambungan. Berdasarkan LW Darmawan,
tegangan tarik yang timbul adalah
P mak
σtr = F net < σtr .............................................................. (2.13)
Dengan :
Fnetto = luas tampang profil yang direncanakan diambil 80% dari luas
profil (cm)2
14
Wbr x hbr Wm x hm Wr x hr
Ka = ............................................ (2.14)
H
Keterangan :
Ka = Gaya reaksi tumpuan ikatan angin atas
Keterangan :
Ngs = Kekuatan baut terhadap geser
Nds = Kekuatan baut terhadap desak
d = Diameter baut
s = Tebal plat buhul
τ = Tegangan geser yang diizinkan (0,6 kg/cm)2
σtp = Tegangan tumpuan yang diizinkan (1,5 kg/cm)2
σ = Tegangan dasar yang diizinkan
Jumlah baut yang diperlukan dihitung dengan menggunakan persamaan :
P P
n= atau n = ...................................................................... (2.18)
Ngs Nds
a. Tegangan Tarik
1 / 2 x N1
σtr = ................................................................ (2.20)
1 / 4 x 3,14 x d 2
b. Tegangan Geser
R/n
τ = ................................................................ (2.21)
1 / 4 x 3,14 x d 2
Keterangan :
σtr = Tegangan tarik baut
N1 = Gaya tarik baut
d = Diameter baut
R = Gaya lintang atau gaya tumpuan
τ = Tegangan geser baut
n = Jumlah baut
D = H 2 V 2 ........................................................................... (2.23)
Tegangan tumpuan yang timbul pada baut dapat dihitung dengan persamaan :
D
σtp = ................................................................................. (2.24)
d xs
Keterangan :
H = Gaya tarik mendatar baut
t = Jarak antar baut tepi, atas dan bawah
D = Resultante gaya
V = Gaya geser baut
σtp = Tegangan tumpuan pada baut
d = Diameter baut
s = Tebal plat badan gelagar melintang
18
Berdasarkan Struyk dan Van Der Veen (1990), bagian plat buhul yang
Paling berbahaya adalah pada penampang AB. Jika “R” gaya batang kiri dan “D”
gaya batang diagonal maka penampang AB menerima gaya tarik (P). Besarnya
gaya tarik tersebut dihitung dengan persamaan :
P = T Cos α + R................................................................................ (2.25)
Momen yang timbul pada penampang plat AB dihitung dengan persamaan :
M = (P x e) ....................................................................................... (2.26)
19
Akibat dari gaya tarik dan momen, maka timbul tegangan. Dimana tegangan
yang timbul harus lebih kecil dari tegangan izin. Tegangan – tegangan adalah
sebagai berikut :
a. Tegangan tarik
P M
σtr = + < σtr ............................................................................ (2.27)
F W
b. Tegangan geser
V
π= < σ, dimana V = T sin α .................................................... (2.28)
F
Keterangan :
P = Gaya tarik pada plat buhul (kg)
D = Gaya batang diagonal (kg)
R = Gaya batang bawah
M = Momen pada plat buhul
F = Luas tampang plat buhul
e = Titik tangkap momen pada plat buhul
2.3.9 Lendutan
Berdasarkan Hukum Hooke, perubahan panjang-panjang dapat dihitung
dengan persamaan :
PxL
ΔL = .................................................................................. (2.29)
E xF
Keterangan :
P = Gaya batang
20
L = Panjang batang
Keterangan :