Beberapa kondisi pasar dibentuk oleh kepadatan hunian yang kuat, dan konsentrasi pekerja yang
kuat. Area yang dilewati merupakan area tempat pekerja terpusat diantaranya oleh properti
komersial dan properti perkantoran. Riset pada jalur jalur antara halte diperoleh angka 40000.
Hasil survey menunjukkan bahwa tidak semua pengguna jalan mengunakn rute. Tram yang
direncanakan untuk layanan jarak pendek seperti perpanjangan bagi pengguna jalan. Atau dalam
keadaan di Surabaya adalah menghidupkan pedestrian yang telah dibangun. Bus akan melayani
jarak yang lebih jauh. Tram akan meningkatkan penggunaan bus untuk jarak yang lebih panjang.
Ada beberapa hal yang dianalisa untuk dijadikan dasar bagi perencanaan aspek aspek
pengembangan proyek, yaitu, prosentase pengendara melewati rute tram yang direncanakan,
besaran dana yang dikeluarkan untuk biaya transportasi, tingkat harga yang bisa diterima dengan
elastisitas permintaan terhadap harga, dan atribut atribut tram yang diharapkan pleh pengguna.
Pertama adalah prosentase melewati rute tram dalam kegiatan sehari-hari. Data yang terkumpul
cukup mengejutkan karena hampir 50% tidak melewati rute tram. Artinya bahwa pendekatan
permintaan yang didasarkan pada kebutuhan transportasi Kota Surabaya perlu dilakukan
penyesuaian. Dalam perencanaan ditetapkan 50% sebagai ukuran penggunaan.
Rp 40 - 80k Rp 40 - 60k
40.00%
35%
34%
28%
30.00%
18%
21%
20.00%
23%
18%
15%
10.00%
20%
0.00%
5%
1%
Keempat tentang atribut tram yang diinginkan memberi masukan bagi perencanaan sistem
tram. Setelah atribut keamanan, waktu tunggu yang tidak lama menjadi pilihan penting kedua.
Sebaliknya bahwa kecepatan bukan prioritas. Biaya yang lebih murah sangat diinginkan,
sehingga ini menjadi dasar bagi penetapan tingkat harga tiket. Pada perencanaan, asumsi yang
ditetapkan adalah maksimum Rp 20.000.
Atribut tram yang diinginkan
Keamanan
4.8
Waktu Tunggu tidak lama Kemudahan pencapaian
4.6
4.4
Rute yang Sesuai 4.2 Kemudahan Menaiki
4
3.8
Jarak Tempuh 3.6 Kecepatan
2.1 Metode
Ada tiga kegiatan utama dalam aspek finansial. Pertama adalah penetapan variabel-variabel
investasi dan pembeayaan, kedua adalah analisa penganggaran modal, dan ketiga adalah
analisa sensitifitas. Tingkat kemungkinan batas-batas penerimaan rencana investasi didiskusikan
pada kajian resiko. Pada penetapan variabel investasi dilakukan estimasi dan pendekatan
perhutungan untuk CAPEX, OPEX, pendapatan, tingkat penerimaan dan beaya modal. Analisa
kedua dihitung/diukur berdasarkan kriteria penganggaran modal yaitu NPV dan IRR. Analisa
ketiga tentang sensitivitas dengan mengukur batas batas perubahan nilai masing masing
penentu variabel investasi terhadap keputusan apakah rencana diterima atau tidak diterima.
Beberapa faktor sensitifitas diantaranya adalah harga/tiket tram dan biaya modal. Untuk asumsi
CAPEX ditetapkan berdasarkan skenario besaran subsudi. Pendapatan menggunakan skenario
berdasarkan tingkat harga yang mampu dibayarkan penumpang. Kajian ini menguji asumsi
asumsi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Metode penetapan tingkat pengembalian
digunakan pendekatan pada nilai sedikit diatas pengembalian do nothing investment. Pada
rencana pilot proyek ini, pembiayaan proyek diasumsikan dengan anggaran daerah dan pusat
sehingga tidak ada keterlibatan pihak swasta. Pihak swasta akan menetapkan biaya modal lebih
tinggi karena memperhitungakan resiko. Dan keterlibatan swasta ini akan meningkatkan tingkat
pengembalian Investasi akibat naiknya biaya modal.
Estimasi CAPEX dibentuk oleh indikator indikator biaya dari standar biaya modal yang meliputi,
(1) Biaya Guideway dan track element, (2) Biaya Pembangunan statsiun, halte, terminal, dan
intermodal, (3) Biaya fasilitas pendukung dan bangunan administrasi, (4) Biaya pekerjaan lahan
(site) dan kondisi khusus, (5) Biaya membangun sistem, (6) Biaya ROW, lahan, dan
pengembangan yang ada saat ini, (7) Biaya pengadaan kendaraan, (8) Biaya layanan
professional, (9) Biaya kontinjensi, (10) Biaya modal dan keuangan
Estimasi biaya didasarkan pada perencanaan yang sudah ada dengan uji melalui pendekatan
biaya unit terpasang proyek analog yang dirata ratakan dengan penyesuaian nilai waktu,
volume ditetapkan berdasarkan pendekatan desain yang ada. Hasil estimasi biaya modal
sebagai berikut:
Capex untuk rencana rute Pilot Project Tram yang melintasi Joyoboyo – Tunjungan – Pemuda –
Joyoboyo berada pada kisaran yang sangat optimis dibanding dengan yang lain yang berada di
kisaran 20-30 juta USD per km. Biaya yang direncanakan sebesar 8,87 juta USD per km hanya
setara dengan rencana tram di Turkey. Kajian untuk pendekatan capex di nilai USD 20 juta/km
diperlukan untuk menunjukkan batas penerimaan.
Perbedaan yang besar antara biaya operasional rencana dengan salah satu pembanding
memerlukan kajian tentang tingkat kemungkinan penerimaan
Pendapatan ditentukan oleh dua variabel yaitu harga tiket dan jumlah penumpang per jam
puncak selama satu tahun yang disesuaikan 50% berupa 12 jam operasional harian, dan
disesuaikan lagi dengan 40% pengguna tram. Harga tiket ditetapkan Rp 10.000 pada
perencanaan awal.
2.2 Sensitifitas
Analisa sensitifitas mengukur batas batas penerimaan rencana finansial pada beberapa kondisi
yaitu pembiayaan modal, harga tiket, permintaan, dan beaya operasional. Analisa dimulai dari
pembiayaan capex karena pada keadaan yang direncanakan dari variabel utama yaitu besaran
beaya investasi Rp. 878,331,772,334, beaya operasional tahunan Rp 19,497,620,625 naik 5%
per tahun, pendapatan tahunan Rp 41,543,022,500 naik 5% per tahun, tingkat pengembalian
8%, dan masa investasi 20 tahun, diperoleh nilai NPV negatif. Tingginya beaya modal
membutuhkan pendapatan yang tinggi untuk pengembalian, atau penggunaan subsidi dalam
bentuk pembeayaan APBD/APBN. Peningkatan pendapatan diperoleh dari analisa sensitifitas
terhadap harga tiket. Pada besaran Rp 20.000 mampu menghasilkan pendapatan untuk
pengembalian. Sensitifitas permintaan menghasilkan ukuran pendapatan selain tingkat harga
tiket yaitu pengguna 5000 pada jam puncak dengan 12 jam operasional dan 40% keterisian.
Terakhir adalah sensitifitas beaya operasional yang dilakukan pada kondisi capex yang disubsidi
90% atau tanpa subsidi. Berikut analisa sensitifitas terhadap empat variabel tersebut:
Sensitifitas pembiayaan didasarkan pada perubahan perubahan terhadap asumsi asumsi yang
disebutkan sebelumnya. Sensitifitas capex didasarkan pada perubahan setiap 10% terhadap
kontribusi pembeayaan subsidi. Meskipun analisa dilakukan hingga 100% subsidi, namun pada
penggunaan analisa berikutnya didasarkan pada maksimum 90%. Tabel berikut adalah dasar
perhitungan untuk sensitifitas pembiayaan capex, hasilnya disajikan pada Gambar-gambar
berikutnya.
(Dalam Rp) Tahun ke 0 1-20 Keterangan
VARIABEL 2019 2020-2039
1 TOTAL CAPEX 100% -878,331,772,334 0 Sensitifitas setiap 10%
3 TOTAL OPEX (ANNUAL) 0 -19,497,620,625 Naik 5% per tahun
4 REVENUE 0 41,543,022,500 Naik 5% per tahun
5 NCF (Net Cash Flow) -878,331,772,334 22,045,401,875 Arus kas bersih
6 DF (Discount Factor, 8%) 1.000000 0.925926 8% per tahun
7 DCF (Discounted Cash Flow) -878,331,772,334 20,412,409,143 Nilai saat ini (PV)
8 CAPITAL BUDGETING Nilai NPV dan IRR berubah
NPV -561,804,087,939 sesuai dengan perubahan
besaran pembiayaan
IRR (%) <0 capital expenditure
29.74%
50%
40%
15.78%
10.17%
30%
8.00%
6.86%
4.57%
2.83%
20%
1.45%
10%
0%
0%
0%
0%
316,527,684,395
NPV pada perubahan nilai CAPEX
140,861,329,929
400,000,000,000
53,028,152,695
300,000,000,000
200,000,000,000
100,000,000,000
0
0
-34,805,024,538
-100,000,000,000
-122,638,201,772
-200,000,000,000
-210,471,379,005
-300,000,000,000
-298,304,556,238
-400,000,000,000
-561,804,087,939
-386,137,733,472
-473,970,910,705
-500,000,000,000
-600,000,000,000
-700,000,000,000
Gambar di atas menunjukkan perubahan nilai NPV akibat perubahan besaran pembiayaan
modal. Identik dengan hasil IRR, subsidi dibawah 60% akan menyebabkan ketidakmampuan
pengembalian modal.
NPV IRR
Gambar 3.7 Hubungan NPV dan IRR pada perubahan nilai CAPEX
Hubungan antara IRR dan NPV ditunjukkan melalui Gambar diatas. Kurva hiperbolik terbentuk
akibat perubahan prosentase pembeayaan subsidi, artinya setelah melampaui batas tingkat
penerimaan terhadap pengembalian modal, maka beban pengembalian menjadi sangat ringan.
Permasalahannya pada tingkat kemungkinan bahwa subsidi 100% bisa diperoleh melalui
pendanaan APBD/APBN.
2. Sensitifitas Harga Tiket
Harga tiket atau tarif penggunaan tram disimulasikan pada nilai yang diperoleh dari hasil survey
2018 dan kurva permintaan yang terbentuk. Batas maksimum yang masih bisa diterima adalah
Rp 30.000, meskipun nilai ini membentuk permintaan yang rendah. Pada analisa sensitifitas
yang dilakukan berikut ini didasarkan pada dua kondisi yang ditetapkan, yaitu pertama pada
kondisi capex tanpa subsidi. Tujuannya untuk mendapatkan batas minimum harga yang bisa
mengembalikan modal pada kondisi ceteris paribus untuk biaya operasional, tingkat
pengembalian, dan masa investasi. Jadi perubahan terjadi pada besaran pendapatan yang
dipengaruhi oleh berubahnya harga. Dalam hal ini adalah kenaikan harga dari Rp. 10.000
menjadi Rp 20.000.
Kedua adalah sensitifitas pada kondisi capex bersubsidi 90%, dengan ceteris paribus sama
dengan kondisi pertama (capex non subsidi). Tujuannya adalah untuk melihat tingkat harga
terendah yang masih mampu mengembalikan modal. Hal ini penting dan diperlukan untuk
mengetahui tingkat harga serendah mungkin sebagai kompensasi dari penggunaan subsidi dari
APBN/APBD. Artinya bahwa argumentasi subsidi harus didukung dengan tingkat harga yang
serendah mungkin yang bisa diakses sebanyak banyaknya masyarakat.
(a) Perubahan harga dari Rp 19.000 ke Rp 20.000 dengan capex 100% non subsidi.
Penerimaan rencana keuangan terjadi pada tingkat harga diantara Rp 19.000 hingga Rp 20.000.
Meskipun angka ini masih bisa diterima oleh permintaan dalam jumlah yang kecil, namun sulit
untuk diterapkan apabila melihat harga tiket untuk moda transportasi umum lainnya.
Kemungkinan masih bisa terjadi melalui strategi harga pada pembagian tujuan. Angka harga
tiket yang dianalisa memiliki asumsi untuk sekali penggunaan keseluruhan rute.
Gambar menunjukkan hubungan NPV dengan IRR pada sensitifitas harga tiket. Tampak bahwa
perubahan Rp 1000 menciptakan keputusan penganggaran modal berbeda. Namun batasannya
adalah MARR 8% sebagai ukuran harapan yang moderat. Pada saat ini safe rate berkisar antara
4-7%, artinya jika menggunakan tingkat pengembalian dengan do nothing, maka tingkat harga
yang bisa diterima lebih rendah dari Rp 19.000. Penjelasan ini bisa dilihat pada Gambar di
bawah.
Hubungan NPV-IRR capex non subsidi pada tingkat harga berbeda
20,000,000,000 8.20%
-20,000,000,000 7.40%
-25,539,760,113
-30,000,000,000 7.20%
NPV IRR
Gambar 3.8 Hubungan NPV dan IRR capex non subsidi pada tingkat harga berbeda
8.20%
8.00%
8.00%
7.80%
7.68%
7.60%
7.40%
7.20%
Harga Rp 20.000 MARR Harga Rp 19.000
Subsidi 0%
Gambar 3.9 IRR capex non subsidi pada tingkat harga berbeda
(b) Perubahan harga dari Rp 3.000 ke Rp 3.500 dengan capex bersubsidi 90%.
Pada kondisi capex tersubsidi 90%, tingkat harga yang perlu diketahui adalah tingkat harga
terendah. Tabel diatas menjelaskan dua tingkat harga yang dihitung, yaitu Rp 3.500 dan Rp
3.000. Tingkat harga akan mempengaruhi total pendapatan tahunan. Pada tahun pertama yaitu
Rp 29,065,680,000 dan 24,913,440,000 untuk harga Rp 3500 dan Rp 3000 berturut turut.
Perbedaan ini sekitar 20%. Hasilnya ada perbedaan penerimaan penganggaran modal yaitu
ditolaknya tingkat harga Rp 3000, dan sebaliknya untuk Rp 3500. Artinya bahwa harga terendah
yang bisa diterima pada asumsi yang ditetapkan adalah diantara Rp 3000 – Rp 3500. Tingkat
harga yang berada dibawah harga tiket moda transportasi umum lain sekali jalan.
40,000,000,000 12.00%
30,000,000,000 10.00%
8.00%
20,000,000,000 8.00%
6.68%
10,000,000,000 6.00%
0
0 4.00%
Harga 3500 MARR Harga 3000
-10,000,000,000 2.00%
-10,072,890,731
-20,000,000,000 0.00%
NPV IRR
Gambar 3.10 Hubungan NPV dan IRR capex subsidi 90% pada tingkat harga berbeda
Kondisi yang dijelaskan di table bisa digambarkan pada gambar diatas dan dibawah berikut.
Hubungan NPV dan IRR yang identik, dan kurva hiperbola dari IRR yang mengindikasikan
berkurangnya tingkat penerimaan penganggaran modal pada tingkat harga dibawah Rp 3000.
IRR capex subsidi 90% pada tingkat harga berbeda
16.00%
13.67%
14.00%
12.00%
10.00%
8.00%
8.00% 6.68%
6.00%
4.00%
2.00%
0.00%
Harga 3500 MARR Harga 3000
Subsidi 90%
Gambar 3.11 IRR capex subsidi 90% pada tingkat harga berbeda
3. Sensitifitas Permintaan
Sensitifitas ke tiga adalah permintaan terhadap layanan. Permintaan akan dihitung sebagai
jumlah penumpang yang diasumsikan akan menggunakan layanan tram Surabaya. Pendekatan
jumlah permintaan didasarkan pada data jumlah penumpang pada jam puncak yang
disesuaikan. Ada dua penyesuaian yaitu dari asumsi operasional 12 jam (50%) kemudian asumsi
40% rata rata penumpang per jam. Sebagaimana pada sensitifitas harga, pada sensitifitas
permintaan ini juga dihitung berdasarkan dua skenario capex, yaitu non subsidi dan 90%
subsidi.
(a) Perubahan permintaan dari 4500 ke 5000 per jam puncak dengan capex non subsidi
NPV IRR
Gambar 3.12 Hubungan IRR-NPV capex non subsidi pada tingkat permintaan berbeda
Gambar 3.13 IRR capex non subsidi pada tingkat permintaan berbeda
(b) Perubahan permintaan dari 1400 ke 1500per jam puncak dengan capex bersubsidi 90%.
NPV IRR
Gambar 3.14 Hubungan IRR-NPV capex subsidi 90% pada tingkat permintaan berbeda
Untuk sensitifitas beaya operasional bertujuan untuk mengukur batas batas kenaikan beaya
operasional yang masih bisa ditanggung untuk pengembalian modal. Yang pertama adalah pada
scenario capex non subsidi. Untuk kondisi ini digunakan asumsi pendapatan yang didasarkan
pada harga tiket rp 20.000. Hal ini didsasarkan pada perhitungan sweebelumnya yang
menhasilkan kondisi NPV positif jika capex non subsidi dengan harga tikt Rp 20.000. Kedua
adalah dengan capex bersubsidi 90%. Kondisi ini didasarkan pula pada harga tiket Rp 3.500.
Batas terendah harga tiket untuk capex bersubsidi 90%. Tujuan sensitifitas ini adalah untuk
memperoleh kemungkinan perubahan biaya operasional yang masih mendatangkan
pengembalian modal dan memenuhi kriteria penganggaran modal.
(a) Kenaikan opex 10% dan 15% pada capex non subsidi dan tingkat harga Rp 20.000
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kondisi biaya operasional naik 10%, penganggaran
modal masih bisa diterima, namun ketika naik di 15% nilai NPV nya negative dan IRR dibawah
MARR. Batas kenaikan biaya operasional berada diantara 10% dan 15%.
8.40%
8.30%
8.20%
8.08%
8.10%
8.00%
8.00%
7.90%
7.90%
7.80%
7.70%
7.60%
OPEX naik 15% MARR OPEX naik 10% OPEX pada harga
20.000
Subsidi 0%
Gambar diatas menggambarkan kondisi yang lebih baik tentang perubahan penerimaan
peanggaran modal akibat kenaikan biaya operasional.Kurva perubahan yang terbentuk tidak
lunear. Pada kondisi awal, IRR nya 8,45%, kemudian menurun ke 8,08 dan 7.90 pada kenaikan
opex 10% dan 15 % berturut turut.
Hubungan NPV dan IRR pada tingkat perubahan opex
40,000,000,000 8.50%
34,078,064,942
35,000,000,000 8.45% 8.40%
30,000,000,000
8.30%
25,000,000,000
8.20%
20,000,000,000
8.08%
15,000,000,000 8.10%
8.00%
10,000,000,000 6,083,398,559 8.00%
7.90%
5,000,000,000
0 7.90%
0
OPEX naik 15% MARR OPEX naik 10% OPEX pada harga 7.80%
-5,000,000,000
20.000
-10,000,000,000 7.70%
-7,913,934,632
-15,000,000,000 7.60%
NPV IRR
Gambar 3.17 Hubungan NPV dan IRR pada tingkat perubahan opex
Garis linear IRR yang berhubungan dengan dengan NPV mengindikasikan bahwa pada kenaikan
OPEX sedikit lebih dari 10% masih bisa diterima.
(b) Kenaikan opex 15% dan 20% pada capex bersubsidi 90% dan tingkat harga Rp 3.500
Kondisi kedua untuk perubahan biaya operasional adalah pada kondisi biaya modal diubsidi
90%. Pada keadaan ini digunakan asumsi harga tiket sebear Rp 3.500. Tabel dibawah
menunjukkan bahwa kenaikan opex sampai 15% masih bisa diterima. Namun pada kenaikan
20% nilai NPV sudah menjadi negatif.
Sensitifitas pada kenaikan 10%, 15% menunjukkan IRR diatas MARR, namun menuju kenaikan
20% IRR mulai dibawah MARR
IRR pada tingkat perubahan opex dengan 90% subsidi capex
16.00%
13.67%
14.00%
12.00% 10.63%
10.00% 8.95%
8.00%
8.00% 7.16%
6.00%
4.00%
2.00%
0.00%
OPEX naik 20% MARR Opex naik 15% Opex naik 10% Opex pada harga
3.500
Subsidi 90%
Gambar 3.18 IRR pada tingkat perubahan opex dengan 90% subsidi capex
10.63% 12.00%
40,000,000,000
8.95% 10.00%
30,000,000,000 8.00%
7.16% 21,550,267,941 8.00%
20,000,000,000
6.00%
10,000,000,000 7,552,934,750
4.00%
-6,444,398,442 0
0 2.00%
OPEX naik MARR Opex naik Opex naik Opex pada
-10,000,000,000 20% 15% 10% harga 3.500 0.00%
NPV IRR
Gambar 3.19 Hubungan NPV dan IRR pada tingkat perubahan opex dengan 90% subsidi capex