Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Memasuki abad ke dua puluh satu, berbagai jenis organisasi menghadapi
perubahan dengan variasi, intensitas dan cakupan yang belum pernah dialami
sebelumnya. Di masa depan berbagai jenis organisasi tersebut hanya akan
berkembang dan maju apabila cepat tanggap terhadap perubahan yang pasti akan
terjadi. Manajer masa kini dan masa depan akan dituntut untuk tidak sekadar bersikap
luwes dan beradaptasi dengan lingkungan yang bergerak sangat dinamis, akan tetapi
juga mampu mengantisipasi berbagai bentuk perubahan dan secara proaktif menyusun
berbagai program perubahan yang diperlukan. Kemajuan organisasi ditentukan oleh
para pengelolanya, menurut Siagian (2004) pemimpin berperan selaku motor
penggerak dalam kehidupan organisasi, dia beranggapan bahwa betapapun tingginya
tingkat keterampilan dan kinerja yang dimiliki oleh para pelaksanan kegiatan
operasional, para bawahan tetap memerlukan pengarahan, bimbingan dan
pengembangan.
Efektivitas organisasi sangat berhubungan dengan produktivitas. Seperti
dikemukakan oleh Engkoswara dan Komariah (2010) bahwa efisiensi dan efektivitas
sebagai kesatuan hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan
produktivitas. Efektivitas berkaitan dengan sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan yang
berhasil dicapai. Sedangkan efisiensi mengarah pada seberapa besar dan seberapa
banyak sumber daya dapat dimamfaatkan secara optimal dan maksimal. Jadi
produktivitas bukan saja hasil, tetapi juga sumbangan proses yang efektif dan efisien.
Berdasarkan pendapat di atas harus disadari bahwa organisasi menuntut agar berbagai
kelompok di dalamnya harus mampu mewujudkan kerjasama karena hanya dengan
demikianlah organisasi bergerak dengan tingkat efektivitas yang semakin tinggi.
Dengan perkataan lain harus dibina dan dikembangkan kerja sama tim. Tetapi pada

1
kenyataannya perbedaan karakteristik individu dalam satu organisasi bisa mendorong
terjadinya konflik atau potensi negatif dalam organisasi. Pandangan lama
menganggap konflik dalam organisasi sebagai suatu hal yang negatif, menjurus pada
perpecahan organisasi, untuk itu harus dihilangkan karena menghambat kinerja
optimal.
Pada saat ini, sejumlah ahli manajemen beranggapan bahwa konflik di dalam
organisasi tidak dapat dihindari dan keberadaannya dapat meningkatkan prestasi kerja
sebagai akibat dari kompetisi kelompok. Gibson & Donnely (2009) berpendapat
bahwa konflik antar individu maupun antar kelompok di dalam organisasi tidak dapat
dielakkan, kinerja organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang sedang,
dan mereka beranggapan bahwa tanpa konflik berarti organisasi tidak ada perubahan.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami konflik dan
perubahan. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama
manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai 2 hal, yaitu
konflik dan kerjasama. Dengan demikian konfik merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Perubahan dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang
mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang
luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga
yang berjalan dengan cepat.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak


membawa perubahan terhadap pola hidup maupun tatanan sosial termasuk dalam
bidang kesehatan yang sering di hadapkan dalam suatu hal hubungan langsung dengan
norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam suatu tempat
tertentu yang akan menjadi konflik karena adanya perubahan berubahan kurang
berkenan.

Peran bidan tidak hanya sebatas membantu persalinan ibu hamil. Lebih dari
itu bidan dapat berlaku sebagai peningkat kesejahteraan perempuan dan bayi serta
agen perubahan (agent of change) bagi pembangunan kesehatan nasional. Fungsi

2
bidan saat ini masih identik dengan membantu kelahiran bayi di desa, memberikan
nasihat kepada ibu hamil selama masa hamil, bersalin dan masa pascapersalinan
memimpin persalinan serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak merupakan tugas
utama para bidan, namun luas dari itu bidan harus mampu menjalankan program
pemberdayaan perempuan artinya setiap bidan harus cakap dalam memberikan
pengetahuan bagaimana memilih pelayanan kesehatan terbaik dan hak hak reproduksi
kepada pasien.

Untuk menganalisa konflik dan perubahan dan bidan sebagai change agent
kita perlu mengetahui bagaimana pengelolaan konflik dan pengelolaan perubahan.
Hal tersebut sangat perlu untuk menganalisa perubahan dan konflik yang terjadi.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang bidan sebagai change agent dan manajemen konflik
individu dan sosial.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari bidan sebagai change agent.
b. Untuk mengetahui pengertian manajemen konflik individu dan sosial.
c. Untuk mengetahui cara mengatasi konflik.

C. MANFAAT
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang bidan sebagai change agent dan
manajemen konflik individu dan sosial.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. BIDAN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN (AGENT OF CHANGE)


Menurut Rogers & Shoemaker (1971), agen perubahan adalah petugas
profesional yang mempengaruhi putusan inovasi para anggota masyarakat menurut
arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Jadi, semua orang yang bekerja
untuk mempelopori, merencanakan, dan melaksanakan perubahan sosial adalah
termasuk agen-agen perubahan.
Agen perubahan (agen of change) memimpin masyarakat dalam mengubah
sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agen perubahan langsung tersangkut dalam
tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Cara-cara
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu yang dinamakan dengan rekayasa sosial (social engineering) atau sering
pula dinamakan perencanaan sosial (social planning) (Soekanto, 1992).
Peran bidan tidak hanya sebatas membantu persalinan ibu hamil. Lebih dari
itu, dia dapat berlaku sebagai garda depan peningkatan kesejahteraan perempuan
dan bayi serta agen perubahan (agent of change) bagi pembangunan kesehatan
nasional.

1. Peran Agen Of Change


Peran agent of change yaitu:
1) Sebagai pemberi pemecahan persoalan.
2) Sebagai pembantu proses perubahan, membantu dalam proses pemecahan
masalah dan penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk mengenai :
 Mengenali dan merumuskan kebutuhan.
 Mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan.

4
 Mendapatkan sumber-sumber yang relevan.
 Memilih atau menciptakan pemecahan masalah.
 Menyesuaikan dan merencanakan pertahapan pemecahan masalah.
3) Sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

2. Bidan Sebagai Agen Perubahan


Contohnya;
a. Cara memasak makanan untuk anak balita.
b. Menyediakan air bersih bagi rumah tangga di desa.
c. Mengubah pendekatan dari dukun untuk melahirkan, memberi layanan
lengkap hingga pasca melahirkan. Pendekatan dilakukan kepada perangkat
desa dan masyarakat untuk membentuk forum kesehatan desa.
d. Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI).
e. Bidan berperan dalam upaya pemeliharaan dan pencegahan penyakit.

3. Kualifikasi Agen Perubahan


a. Kualifikasi Teknis
Kualifikasi teknis adalah kompetensi teknis dalam tugas spesifik dari
proyek perubahan yang bersangkutan.
b. Kemampuan Administratif
Yaitu persyaratan administratif yang paling dasar dan elementer, yakni
kemampuan untuk mengalokasikan waktu untuk persoalan-persoalan yang
relatif detail.
c. Hubungan Antar-Pribadi
Suatu sifat agen perubahan yang paling penting adalah empati, yaitu
kemampuan untuk menempatkan diri pada kedudukan orang lain, berbagai

5
pandangan dan persoalan dengan mereka sehingga hal-hal tersebut seakan-
akan dialami sendiri.

Peran agen perubahan tersebut kemudian dapat dikelompokkan menjadi


peran yang laten dan yang manifes. Peranan yang manifes adalah peran dalam
hubungan antara agen perubahan dengan masyarakatnya. Peran manifes ini
kelak merupakan bukti yang nyata baik bagi si agen maupun masyarakat.
Sedangkan peran yang laten merupakan peran yang timbul dari memberi
petunjuk bagi si agen dalam mengambil tindakan-tindakan yang dilakukannya
(Nasution, 1996).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesuksesan Agen Perubahan


a. Usaha dari Agen Perubahan itu Sendiri
Satu faktor dalam kesuksesan agen perubahan adalah dari
banyaknya waktu yang dihabiskan dalam aktivitas komunikasi dengan
klien. Kesuksesan agen perubahan dalam menjaga adopsi inovasi oleh klien
merupakan sesuatu yang positif berhubungan dengan usaha agen dalam
menghubungi atau melakukan kontak dengan klien.
b. Orientasi Klien
Posisi agen perubahan sosial adalah pertengahan antara agensi
perubahan dan sistem klien. Agen perubahan adalah subjek kebutuhan
untuk peran persaingan seorang agen perubahan sering diharapkan untuk
menjanjikan dalam perilaku pasti oleh agensi perubahan, dan pada waktu
yang sama klien mengharapkan agen perubahan untuk mewujudkan
tindakan-tindakan yang benar-benar berbeda.
c. Kesesuaian inovasi dengan Kebutuhan Klien
Seorang agen perubahan dapat mengizinkan para klien untuk
mengejar solusi untuk kebutuhan mereka sangat lengkap bahwa kesalahan
komitmen mereka atau prioritas salah arah. Agen perubahan seharusnya

6
berhati-hati pada para klien mereka dirasakan dibutuhkan dan diadaptasi
program perubahan mereka.
d. Empati dari Agen Perubahan
Agen perubahan secara umum berorientasi untuk mencapai adopsi
inovasi klien. Pada banyak kasus mereka mungkin lebih banyak efekif jika
mereka dicapai adopsi berkualitas tinggi.
e. Homofilitasnya dengan klien
Agen perubahan memiliki banyak perbedaan dalam banyak hal dari
kliennya dan mereka memiliki kontak dengan kilen yang memiliki lebih
banyak kesamaan pada diri mereka. Pernyataan umum seperti menimbulkan
serangkaian generalisasi mengenai kontak agen perubahan dengan klien
yang memiliki dukungan empiris yang kuat.
f. Kredibilitas Agen Perubahan
Meskipun asisten agen perubahan kurang memiliki kredibilitas
kompetensi, yang didefinisikan sebagai sejauh mana sumber komunikasi
atau saluran dianggap berpengetahuan dan ahli, mereka memiliki
keuntungan khusus yaitu kredibilitas keamanan, sejauh mana sumber
komunikasi atau saluran dianggap sebagai dipercaya. Seorang asisten agen
perubahan yang sebelumnya mengadopsi suatu inovasi dia akan
mempromosikan pendekatan dengan menggunakan kombinasi homophily
atau heterophily dan kredibilitas kompetensi atau kredibilitas sumber.
g. Sejalan dengan Pemimpin Opini
Terkadang agen perubahan keliru mengira inovator sebagai
pemimpin opini. Pemimpin opini memiliki pengikut, sedangkan inovator
adalah yang pertama mengadopsi ide-ide baru. Ketika agen perubahan
berkonsentrasi pada upaya-upaya komunikasi inovator, bukan pemimpin
pendapat, hasilnya mungkin adalah untuk meningkatkan kesadaran
pengetahuan tentang inovasi, tetapi hanya sedikit klien yang akan dibujuk
untuk mengadopsi.

7
h. Kemampuan Evaluasi Klien
Salah satu masukan unik agen perubahan untuk proses difusi
kompetensi teknis. Tetapi jika agen perubahan membutuhkan pendekatan
jangka panjang untuk melakukan perubahan, ia harus berusaha untuk
meningkatkan kompetensi teknis klien dan kemampuan klien untuk
mengevaluasi potensi inovasi sendiri. Kemudian klien dapat menjadi agen
perubahan bagi diri mereka sendiri. Keberhasilan agen perubahan untuk
mengamankan adopsi inovasi oleh klien terkait dengan meningkatkan
kemampuan klien untuk dapat mengevaluasi inovasi.

B. MANAJEMEN KONFLIK INDIVIDU DAN SOSIAL


1. Pengertian Manajemen Konflik
Kata konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya
percekcokan, perselisihan atau pertentangan (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008). Konflik dalam pandangan modern merupakan suatu hal yang
tidak dapat dihindari. Konflik akan selalu muncul baik dalam diri seseorang
terhadap dirinya sendiri, seseorang terhadap orang lain (individu atau
kelompok), kelompok dengan kelompok maupun organisasi dengan organisasi.
Keanekaragaman persepsi, kemampuan, dan latar belakang invidu atau
kelompok menyebabkan konflik menjadi suatu hal yang mustahil tidak ada
dalam suatu organisasi atau lembaga. (Puspita, 2018).
Menurut Murni & Veithzal (2009) ”Manajemen konflik adalah
pemecahan masalah dibawah tekanan dan lingkungan emosional”. Adanya
batasan dalam resolusi konflik memungkinkan pemimpin pendidikan
memberikan penekanan pada periode singkat dimana terdapat sistem
pendidikan diluarnya.

8
Menurut Dunnete & Usman (2009) lima strategi untuk mengatasi
konflik dalam lima kemungkinan, yaitu:

1) Pemaksaan (forcing) atau competing,


2) Penghindaran (avoiding),
3) Kompromi (compromising),
4) Kolaborating (collaborating), dan
5) Penghalusan (smoothitng).

Menurut Griffin, dkk (2009) ada tiga pendekatan dalam manajemen


konflik, yaitu:

1) Menstimulus konflik (stimulating conflict),


2) Mengendalikan konflik (controlling conflick), dan
3) Menyelesaikan dan menghilangkan konflik (resolving and eliminating
conflict).

Konflik individu dapat terjadi karena peristiwa sehari-hari, karena ada


tantangan dan bahkan karena ada peluang. Tantangan dari pekerjaan dalam
meningkatkan kinerja dapat menimbulkan konflik dalam diri individu, terutama
ketika pikiran merasa optimis dapat meningkatkan kinerja sedangkan hati
merasa ragu-ragu. Konflik juga dapat muncul dalam diri seseorang ketika
menemukan peluang untuk meningkatkan jabatan namun ia merasa tidak siap.

Konflik individu dengan diri sendiri dalam bekerja dapat pula terjadi
karena faktor ketidakpastian tentang pekerjaan, pekerjaan yang sulit
diselesaikan, dan pekerjaan yang saling bertentangan (Puspita, 2018).

Menurut Yulianti (2015) ada dua penyebab terjadi konflik individu, yaitu
1) Karena adanya ketidaksesuaian antara pikiran (kognitif) dengan keyakinan
dalam diri (hati) individu.
2) Ketidaksesuaian antara harapan dengan peran.

9
2. Proses Terjadi Konflik
Terry & Winardi (1994) mengatakan ‟konflik biasanya mengikuti suatu
pola yang teratur, yang terdiri dari empat macam tahapan, yaitu: pertama-tama
timbul suatu krisis tertentu, kedua gejala eskalasi ketiksesuaian paham terjadi,
ketiga konfrontasi menjadi pusat perhatian dan keempat krisis selanjutnya
dialihkan dalam arti dilakukan penelitian-penelitian tentang apakah keluhan-
keluhan yang disampaikan dapat benar atau tidak‟.

3. Jenis-Jenis Konflik
Menurut Engkoswara & Komariah (2010) jenis-jenis konflik terdiri atas:
1) Konflik peranan yang terjadi didalam diri seseorang (personale conflict),
2) Konflik antar peran (interrole conflict), dimana orang menghadapi
persoalan karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang saling
bertentangan,
3) Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa
orang (intersender conflict),
4) Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling
bertentangan (intrasender conflict)”.

4. Sumber-Sumber Konflik
Menurut Murni & Veithzal (2009) mengatakan konflik yang terjadi
biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena faktor
komunikasi (communication factors), faktor struktur tugas maupun struktur
organisasi (job structure or organization structure), faktor yang bersifat
personal (personal factors) hingga faktor lingkungann (environmental factors).

10
5. Bentuk Konflik
Berdasarkan akibatnya, Winardi (1994) konflik dapat berbentuk
destruktif dan konstruktif”. Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi
individu atau organisasi yang terlibat didalamnya. Konflik demikian biasa
terjadi apabila dua orang anggota organisasi tidak dapat bekerja sama karena
terjadi sikap pemusuhan antar mereka (sebuah konflik emosional destruktif)
atau apabila anggota-anggota sebuah komite tidak dapat bertindak, karena
mereka tidak dapat mencapai persesuaian paham tentang tujuan-tujuan
kelompok (sebuah konflik yang substantive destruktif).

6. Tingkatan Konflik
1) Konflik Intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri
seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih
dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang
harus dipilih untuk dilakukan.
2) Konflik Interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik
yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan
tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.
3) Konflik Intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok. Setiap
kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik
substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda,
ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda
atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4) Konflik Intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik
intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi,
perbedaan tujuan, dan meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
5) Konflik Interorganisasi, yang terjadi antar organisasi. Konflik inter
organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama

11
lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang
menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain.
6) Konflik Intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu
organisasi, meliputi:
 Konflik Vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu.
 Konflik Horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang
memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi.
 Konflik Lini-Staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi
tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh
manajer lain.
 Konflik Peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu
peran.

7. Faktor-faktor Penyebab Konflik


 Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan;
 Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda pula. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan
pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya
menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

8. Akibat Konflik
 Dampak Negatif: menghambat komunikasi, mengganggu kohesi (keeratan
hubungan), mengganggu kerjasama atau “team work”, Mengganggu proses
produksi, bahkan dapat menurunkan produksi. Menumbuhkan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Individu atau personil mengalami

12
tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan,
mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme. Apabila konflik mengarah
pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada penurunan
efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun
kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh
tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa
demonstrasi.
 Dampak Positif: membuat organisasi tetap hidup dan harmonis, berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan adaptasi, sehingga dapat
terjadi perubahan dan perbaikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme,
program, bahkan tujuan organisasi, memunculkan keputusan-keputusan
yang bersifat inovatif. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap
perbedaan pendapat. Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan
kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik
dapat menggerakan suatu perubahan: membantu setiap orang untuk saling
memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka,
memberikan saluran baru untuk komunikasi, menumbuhkan semangat baru
pada staf, memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi,
menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.

9. Strategi Mengatasi Konflik


Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik
dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif
terhadap kemajuan sebuah organisasi. Beberapa strategi mengatasi konflik
antara lain adalah:
 Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih
disukai salah satu pihak atau pihak lain;

13
 Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan;
 Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang
memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
 With Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik
baik secara fisik maupun psikologis.
 Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak
saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai kapan.

10. Metode Menangani Konflik


Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah
pertama dengan mengurangi konflik, dan kedua dengan menyelesaikan konflik.
Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah
dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down).

Metode dominasi dan supresi biasanya memiliki dua macam


persamaan, yaitu: tindakan metode supresi dan dominasi dalam menangani
konflik yaitu:

 Memaksa (Forcing)

Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah,


jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan saudara harus
melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi
otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-
ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif seperti misalnya
ketaatan dengan sikap permusuhan (malicious obedience).

14
 Membujuk (Smoothing)

Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara untuk


menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang
manager mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang
ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk pihak lain, untuk mengkuti
keinginannya.

 Menghindari (Avoidence)

Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar datang pada


seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang
manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap
pihak akan mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa
sikap pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan sebuah bentuk
tindakan menghindari.

 Keinginan Mayoritas (Majority Rule)


 Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan suara,
dimana suara terbanyak menang (majority vote) dapat merupakan sebuah
cara efektif, apabla para angota menganggap prosedur yang bersangkutan
sebagai prosedur yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi
suara terus-menerus mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan
merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.

b. Metode Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan
dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih memperkecil
kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak
yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun
demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara

15
yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi,
hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau
berkonflik.
Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
 Komodasi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang


memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha
memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.

 Sharing

Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan


kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua
kelompok berpikiran modern, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

c. Metode Pemecahan Problem Integrative


Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok
diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan
bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving).
Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan
masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi.
Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya
sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang
sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan
persoalan.

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut Rogers & Shoemaker (1971), agen perubahan adalah petugas
profesional yang mempengaruhi putusan inovasi para anggota masyarakat menurut
arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Jadi, semua orang yang bekerja
untuk mempelopori, merencanakan, dan melaksanakan perubahan sosial adalah
termasuk agen-agen perubahan.
Peran bidan tidak hanya sebatas membantu persalinan ibu hamil. Lebih dari
itu, dia dapat berlaku sebagai garda depan peningkatan kesejahteraan perempuan
dan bayi serta agen perubahan (agent of change) bagi pembangunan kesehatan
nasional.
Menurut Murni & Veithzal (2009) ”Manajemen konflik adalah pemecahan
masalah dibawah tekanan dan lingkungan emosional”. Adanya batasan dalam
resolusi konflik memungkinkan pemimpin pendidikan memberikan penekanan
pada periode singkat dimana terdapat sistem pendidikan diluarnya.
Konflik individu dapat terjadi karena peristiwa sehari-hari, karena ada
tantangan dan bahkan karena ada peluang. Tantangan dari pekerjaan dalam
meningkatkan kinerja dapat menimbulkan konflik dalam diri individu, terutama
ketika pikiran merasa optimis dapat meningkatkan kinerja sedangkan hati merasa
ragu-ragu. Konflik juga dapat muncul dalam diri seseorang ketika menemukan
peluang untuk meningkatkan jabatan namun ia merasa tidak siap.
Konflik individu dengan diri sendiri dalam bekerja dapat pula terjadi karena
faktor ketidakpastian tentang pekerjaan, pekerjaan yang sulit diselesaikan, dan
pekerjaan yang saling bertentangan (Puspita, 2018).

17
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa sudah mengetahui
tentang peran bidan sebagai agen perubahan (change agent) dan mengetahui cara
mengatasi konflik individu dan sosial.

18

Anda mungkin juga menyukai