Anda di halaman 1dari 29

Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)

Kota Bogor

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bogor telah menjadi bagian dari
prioritas agenda pembangunan sejak 10 tahun yang lalu. Namun
pengaturannya belum dilaksanakan secara optimal. Misalnya, ada beberapa
daerah yang tidak diatur lagi, seperti di Jl. Dewi Sartika. Karakteristik PKL
yang memilih tempat strategis dimana dilalui oleh banyak orang dan dekat
dengan pusat kegiatan, membutuhkan strategis pengaturan yang khusus.

Perkembangan kota secara pesat (rapid urban growth) yang tidak


disertai dengan pertumbuhan kesempatan pekerjaan yang memadai
mengakibatkan kota-kota menghadapi berbagai ragam problem sosial yang
sangat pelik (Alisjahbana, 2003). Sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, menjadi kawasan strategis nasional dan dekat dengan ibukota,
Kota Bogor menjadi daerah tujuan masyarakat untuk berusaha disektor
formal dan informal.

Di satu sisi keberadaan pedagang kaki lima diakui sebagai potensi


ekonomi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pedagang kaki lima yang
mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar serta
menyediakan kebutuhan hidup bagi masyarakat. Tetapi lain hal keberadaan
pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan dan ketertiban
lingkungan Kota. Keberadaan PKL dianggap mengganggu masyarakat,
terutama pengguna trotoar dan jalur hijau.

Pemerintah Kota Bogor selalu melakukan upaya untuk mengatasi


ketidakteraturan ini. Upaya dimaksud meliputi penetapan lokasi, penataan
dan relokasi, dan pemberdayaan, Namun pada akhirnya harapan atau target
kegiatan yang sudah direncanakan tersebut, selalu saja sulit untuk
diwujudkan. Seperti terlihat dari perkembangan jumlah PKL. Jumlah PKL
yang diharapkan dapat berkurang atau setidaknya dibatasi, justru dalam
kenyataan bertambah tiap tahunnya.

Dampak dari “kebebasan” PKL seperti kekumuhan, kemacetan,


kesemerawutan, dan kesumpekan kota menjadi pemandangan sehari hari.

Laporan Pendahuluan 1
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Para “Pedestrian” atau pejalan kaki di trotoar terpaksa mengalah ketika


melintas di sana, Padahal trotoar diperuntukan untuknya, bukan tempat
mangkal PKL. Para pengendara mobil (yang terus bertambah setap tahunnya)
merasa tidak nyaman melintas jalan yang menyempit, karena bahu jalannya
diserobot PKL. Begitu pula dengan sebagian besar pemilik toko sekitar yang
mengeluh menghadapi persaingan dengan PKL. Bahkan penyebab
kekosongan kios pasar tradisionalpun salah satu penyebabnya adalah
menjamurnya PKL. Secara demikian, peningkatan jumlah PKL di daerah telah
berdampak pada terganggunya kelancaran lalulintas, estetika dan
kebersihan, aktivitas pelaku usaha formal, serta fungsi prasarana kawasan
perkotaan, juga legitimasi pemerintah Kota Bogor, karena ketidakteraturan
PKL telah banyak melanggar peraturan perundang-undangan. Namun,
pemerintah tidak dapat bertindak melakukan penertiban dengan pemaksaan
sesuai dengan Undang-Undang, misalnya UU No 38 tahun 2004 tentang
Jalan. Kebijakan pemaksaan akan menyebabkan PKL kehilangan
penghasilan dan meningkatkan kemiskinan. Sedangkan, pemerintah
memiliki tugas untuk mengentaskan kemiskinan, bukan menetaskan
kemiskinan. Pemerintah Kota Bogor dapat melakukan inovasi kebijakan
untuk mengharmonisasikan kondisi tersebut.

Atas dasar itu, maka Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor menyusun
Kajian Grand Desain Penataan PKL Kota Bogor, dengan lokasi kecamatan di
seluruh Kota Bogor

1.2. Maksud dan Tujuan


1.2.1. Maksud

Tersedianya dokumen kajian Grand Design Penataan Pedagang


Kaki Lima di Kota Bogor yang terintegrasi dengan konsep penataan
ruang serta memiliki daya dukung terhadap fungsi dan manfaat
lingkungan sekitar.

1.2.2. Tujuan

1. Untuk mengidentifikasi PKL;


2. Untuk mengidentifikasi ruang/wilayah untuk lokasi PKL;
3. Untuk mengidentifikasi dan mengkaji regulasi yang berkaitan
dengan penataan PKL.

Laporan Pendahuluan 2
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

1.3. Ruang Lingkup


1,3,1 Pekerjaan Persiapan

Lingkup kegiatan ini dimaksud untuk melakukan perencanaan


kegiatan kajian mulai dari mobilisasi sumber daya termasuk di
dalamnya tenaga ahli. Pada kegiatan ini dirumuskan tentang
kerangka kerja dan jadwal pelaksanaan pekerjaan.

1.3.2 Pengambilan Data dan Analisa Data

Lingkup kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan


pengambilan data dan analisa data.

1.3.2 Laporan Akhir

Adalah kegiatan pemaparan konsep laporan akhir yang berisi


konsep laporan dan seluruh rangkaian kegiatan kajian, dari mulai
tahap persiapan hingga konsep laporan akhir. Tujuan
dilaksanakannya pemaparan laporan akhir, untuk mendapatkan
masukan, saran dan rekomendasi terhadap konsep laporan akhir
yang akan digunakan untuk penyempurnaan Laporan Akhir.

1.4. Keluaran
1.4.1 Laporan Pendahuluan (Inception Report)
Berisi pemahaman terhadap KAK, metodologi, rencana kerja
dan jadwal pelaksanaan pekerjaan dengan dilampiri instrument
survey pengumpulan data di daerah.

1.4.2 Laporan Akhir

Berisi laporan hasil pelaksanaan pekerjaan mulai tahap


persiapan, pelaksanaan pekerjaan, analisa, hingga penyusunan
laporan akhir.

Laporan Pendahuluan 3
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

BAB II. TINJAUAN TEORITIS DAN KEBIJAKAN

2.1. Penataan

Penataan ruang adalah proses perencanaan, pemanfaatan ruang dan


pengendalian pemanfaatan yang berasaskan pemanfaatan untuk semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras,
seimbang dan berkelanjutan serta keterbukaan, persamaan keadilan dan
perlindungan hukum (Kamus Tata Ruang, Dirjen Cipta karya Departemen
Pekerjaan Umum, Edisi I, 1997). Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang (Pasal 1 ayat 5).

Penataan ruang merupakan proses yang meliputi tahap perencanaan


tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian dalam pemanfaatan
ruang. Rencana tata ruang sebagai acuan tahap berikutnya. Perencanaan
tata ruang didasarkan pada perkiraan kebutuhan dan keadaan masyarakat
masa mendatang yang tidak terlalu tepat di prediksi. Peninjauan kembali
rencana tata ruang dapat berakibat mengubah pemanfaatan ruang yang
sudah dilaksanakan maupun yang masih berupa rencana. Selain itu,
penataan ruang juga mengkin perlu perubahan pemanfaatan ruang dengan
memindahkan kegiatan lama yang kurang sesuai dengan lingkungan dan
mengganti dengan yang baru.

Dalam pemanfaatan ruang yang tidak tertata dengan baik dapat terjadi
berbagai konflik yang merugikan bagi kehidupan dan penghidupan
masyarakat serta kerusakan lingkungan. Konflik dan kerusakan lingkungan
akan meningkat jumlah maupun intensitasnya sejalan dangan meningkatnya
macam, jumlah atau mutu kebutuhan dan kegiatan yang memerlukan ruang.
Konflik dapat terjadi dalam skala mikro maupun makro, mulai konflik antar
perorangan dan antar kelompok sampai antar bangsa atau antar negara yang
terkadang berakhir dengan adu kekuatan. Selain itu, ada pula masalah yang
timbul antara keterkaitan yang kurang serasi antara berbagai kegiatan yang
terjadi diberdagai lokasi,yang menimbulkan arus lalu lintas dan barang dan
alat angkunya. Sehubungan dengan hal itu kemacetan lalu lintas merupakan

Laporan Pendahuluan 4
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

hal yang tidak dapat dihindarkan, terutama di dalam dan di sekitar kota-kota
besar.

Semua itu mestinya dapat dihindari melalui penataan ruang yang


efektif. Jadi penataan ruang tidak lain dari usaha atau cara untuk
memanfaatkan ruang dan sumberdaya di dalamnya dengan sebaik-baiknya,
agar memberi keuntungan aksimal bagi kehidupan dan penghidupan
masyarakat dengan dampak negative sekecil mungkin. Penataan ruang
ditujukan untuk mewujudkan lingkungan serasi, seimbang dan lestari serta
menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran, kesehatan dan efisiensi, guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2.2. Pasar.

Brian Berry dalam bukunya Geografi of Market (dalam Astonik, 1967)


menyatakan bahwa pasar adalah tempat dimana terjadi proses tukar
menukar. Proses ini terjadi bila ada komunikasi antara penjual dan pembeli
dan diakhiri dengan keputusan untuk membeli barang tersebut. Pasar akan
selalu mengalami perubahan, terutama secara fisik, mengikuti perubahan
tingkah laku penggunanya.

Menurut Alice G. Dewey (dalam Astonik, 2008) perkembangan fisik


pasar berasal dari pertukaran barang antara pihak yang saling
membutuhkan di suatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu, yang
kemudian berkembang menjadi sekumpulan pedagang yang mengambil
tempat tertentu dengan menyediakan fasilitasnya sendiri. Perkembangan
pasar di Indonesia pada umumnya bermula dari pasar tradisional, yang
kemudian seiring dengan waktu berubah menjadi pasar modern. Menurut
Bagoes P. Winyomartono (dalam Astonik, 2008) pasar tradisional adalah
kejadian yang berkembang secara priodik, dimana yang menjadi sentral
adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Pasar berasal dari
kata peken yang berarti kumpul. Fungsi ekonomi pasar terjadi saat jual beli,
dan fungsi sosial pasar terjadi saat tawar menawar.

Berdasarkan jumlah penduduk yang dilayaninya, pasar dikelompokan


ke dalam tiga kelas, yaitu:
1. Pasar lingkungan, melayani penduduk yang diataranya sampai dengan
30.000 jiwa;

Laporan Pendahuluan 5
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

2. Pasar wilayah, melayani penduduk antara 30.000 – 120.000 jiwa;


3. Pasar induk, melayani penduduk di atas 120.000 jiwa.

Berdasarkan jenis kegiatannya pasar dikelompokan kedalam tiga


jenis, yaitu:
1. Pasar Grosir, adalah pasar dimana dalam kegiatannya terdapat
permintaan dan penawaran barang dan jasa dalam jumlah besar.
2. Pasar Induk, adalah pasar yang dalam kegiatannya merupakan pusat
pengumpulan, pelelangan dan penyimpanan bahan-bahan pangan untuk
disalurkan ke pasar lain.
3. Pasar Eceran, adalah pasar yang dalam kegiatannya terdapat permintaan
dan penawaran barang dan jasa secara eceran.

Penempatan dan pengaturan komoditas pasar merupakan salah satu


unsur yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penataan pasar
tradisional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penempatan komoditas
pasar antara lain adalah:
1. Pemisahan yang jelas antara komoditas basah dan kering
Pemisahan yang jelas antara komoditas yang menghasilkan bau dan yang
tidak tidak menghasilkan bau
2. Penempatan komoditas yang bersifat massal, seperti beras, dan gula pada
bagian yang berdekatan dengan loading dock untuk memudahkan proses
bongkar muat dan tidak mengganggu kegiatan pasar lainnya.

Penempatan masing-masing komoditas ini berkaitan erat dengan


sistem utilitas (drainase dan sirkulasi udara) di dalam pasar. Pengelompokan
komoditas ini juga memberikan keuntungan pada proses perencanaan pasar.
Misalnya dengan ditentukannya lokasi pasar basah dan pasar kering maka
air bersih dan pembuangan air kotor dapat ditentukan, sehingga diperoleh
efisiensi pada pemipaan. Komoditas kebutuhan sehari-hari merupakan
magnet utama dalam sebuah pasar, sedangkan komoditas sekunder dan
tersier hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu. Agar pengunjung dapat
terdistribudi dengan baik dan tidak terpusat hanya dibagian komoditas
sehari-hari, maka komoditas primer ini ditempatkan di akhir jalur sirkulasi.
Jalur sirkulasi sebelum menuju komoditas lainnya yang lebih bersifat
kebutuhan sekunder, tesier ( barang mewah, seperti elektronik) dan
kebutuhan berkala (toko kelontong)

Laporan Pendahuluan 6
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Kondisi pasar di Indonesia sangat unik, terutama dengan perilaku


pengguna dalam kegiatan jual beli. Toko/kios seringkali menempatkan
barang dagangannya di luar kios yang dimiliknya (ekspansi), sehingga
mengurangi area jalur pejalan kaki (pedestrain) untuk pembeli. Kondisi ini
mengganggu system sirkulasi yang berpotensi menimbulkan kemacetan dan
penumpukan sirkulasi pembeli pada satu area tertentu. Akibatnya pembeli
tidak bisa melihat, memilih, menawar dan membeli dengan leluasa ( Astonik,
2008)

Keleluasan ruang sirkulasi terkait dengan teritori ruang, dimana


teritori adalah wilayah kekuasaan yang menjadi hak milih seseorang atau
kelompok orang agar dapat melakukan kegiatan dengan leluasa. Teritori ini
menyangkut masalah kepemilikan, penggunaan, pengawasan dan
pemeliharaan suatu tempat (J.S. Nimpoeno, 1996).

Teritori yang terbentuk pada pasar secara umum adalah:


1. Teritori utama, yaitu, teritori yang kepemilikannya tunggal, misalnya
ruang pamer toko.
2. Teritori sekunder, yaitu teritori yang lebih longgar pemakaian dan
pengawasannya, misalnya area tawar menawar
3. Teritori umum, yaitu teritori yang dapat dimanfaatkan oleh semua
pengguna, misalnya jalur sirkulasi

Untuk kegiatan pejalan kaki dibutuhkan lebar jalan minimal 2 X 875 =1750
mm ditambah ruang pandang, ruang transaksi dan sosial (jual-beli, tawar-
menawar) dan sebagainya sampai 1200 mm (2 sisi) sehingga total lebar jalur
adalah 1750+1200 = 2950 mm. Untuk kios/toko ditambah dengan ruang
perluasan (ekspansi) sampai dengan 900 mm/kios.

2.3. Pedagang Kaki Lima (PKL)

PKL adalah setiap orang yang menawarkan atau menjual barang dan
jasa dengan cara berkeliling (Wawoerontoe, 1995). Istilah kaki lima yang
selama ini dikenal dari pengertian trotoar yang dahulu berukuran 5 kaki (5
kaki = 1,5 meter). Biasanya PKL mengisi pusat-pusat keramaian seperti pusat
kota, pusat perdagangan, pusat rekreasi, hiburan, dan sebagainya (Ardiyanto,
1998). Jadi PKL merupakan semua bentuk usaha atau pekerjaan yang berupa

Laporan Pendahuluan 7
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

kegiatan ekonomi yang dilakukan di tempat-tempat atau tepi jalan-jalan


umum yang pada dasarnya tidak diperuntukan bagi kegiatan ekonomi.

2.3.1. Penggolongan PKL

Sarana fisik yang digunakan PKL dalam mendukung aktivitas


perdagangannya sehari-hari dapat dilihat sebagai berikut:

1. Kategori aktivitas jasa sektor informal berdasarkan jenis barang


dan jasa yang dijajakan, yaitu:
a. Makanan dan minuman
b. Kelontong
c. Pakaian/tekstil
d. Buah-buahan
e. Rokok/obat-obatan
f. Majalah/koran
g. Jasa perorangan

Jenis barang dan jasa tersebut dapat dikelompokan kembali


menjadi tiga macam kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan primer terdiri dari makanan dan minuman
b. Kebutuhan sekunder terdiri dari kelontong, pakaian/tekstil,
buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan majalah/koran
c. Kebutuhan jasa yaitu jasa perorangan

Setiap jenis barang dan jasa tersebut dapat diperinci lebih jauh,
misalnya saja kelontong terdiri dari alat-alat rumah tangga,
mainan anak, barang elektronik, aksesoris dan sebagainya.
Demikian pula jasa perorangan dapat berupa tukang stempel
tukang kunci, reparasi jam, tambal ban dan sebagainya.

2. Jenis Ruang Usaha


Aktivitas jasa sektor informal menempati ruang yang terdiri dari
ruang umum dan ruang privat. Uraian dari kedua jenis tersebut
adalah sebagai berikut:

a. Ruang Umum
Jenis ruang yang dimiliki oleh pemerintah sebagai ruang yang
diperuntukan bagi kepentingan masyarakat luas. Contoh

Laporan Pendahuluan 8
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

ruang umum adalah taman kota, trotoar, ruang terbuka,


lapangan dan sebagainya. Termasuk pula fasilitas/sarana
yang terdapat di ruang umum seperti halte, jembatan
penyebrangan dan sebagainya.

b. Ruang Privat
Jenis rung yang dimiliki oleh individu atau kelompok
tertentu, misalnya lahan pribadi yang dimiliki oleh pemilik
pertokoan, perkantoran dan sebagainya.

c. Sarana Usaha Dan Ukuran Ruangnya


Aktivitas jasa sektor informal dapat dikelompokan
berdasarkan jenis us ahanya, yaitu:

d. Gerobak/kereta dorong
Bentuk aktivitas jasa sektor informal yang menggunakan
gerobak/keretadorong dibagi atas dua macam yaitu
gerobak/kereta dorong yang tanpa atap dan gerobak/kereta
dorong yang menggunakan atap untuk melindungi barang
dagangan dari pengaruh panas, debu, hujan dan sebagainya.

e. Pikulan
Bentuk aktivitas jasa sektor informal yang menggunakan
sebuah atau dua buah keranjang dengan cara dipikul.
Bentuk pikulan ini dapat dikategorikan dalam bentuk
aktivitas jasa informal keliling atau semi menetap, biasanya
dijumpai pada jenis makanan dan minuman.

f. Warung semi permanen


Bentuk aktivitas jasa informal yang terdiri atas beberapa
gerobak/kereta dorong yang telah diatur sedemikian rupa
secara berderet dan dilengkapi dengan bangku-bangku
panjang dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya
ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain terpal,
plastik atau bahan kain lainnya yang tidak tembus air.

g. Jongko/meja
Bentuk aktivitas jasa informal yang menggunakan
jongko/meja sebagai sarana usahanya. Bentuknya ada yang

Laporan Pendahuluan 9
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

tampa atap dan ada pula yang beratap untuk melindungi


pengaruh dari luar. Berdasarkan sarana usaha tersebut
maka jasa sektor informal ini tergolong memiliki aktivitas jasa
menetap.

h. Kios
Bentuk aktivitas jasa informal yang menggunakan papan-
papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai
sebuah bilik semi permanen. Para penjajanya juga biasanya
bertempat tinggal di dalamnya. Berdasarkan sarana usaha
tersebut maka aktivitas jasa sektor informal ini digolongkan
sebagai aktivitas jasa menetap.

2.3.2. Ciri-ciri PKL

Ciri-ciri pedagang kaki lima (Gusmulyadi, 1994). Dapat didefinisikan


berdasarkan pada barang dan jasa yang diperdagangkan. Ciri-ciri
tersebut sebagai berikut:

1. Penggolongan pedagang kaki lima didasarkan pada jenis-jenis


barang dan jasa meliputi:
a. Makanan dan minuman, berlokasi di sekitar kawasan
perdagangan, rekreasi dan hiburan
b. Rokok dan obat-obatan, berlokasi di kawasan perdagangan,
rekreasi, dan hiburan.
c. Buah-buahan, berlokasi di kawasan perdagangan, rekreasi
dan hiburan
d. Pakaian dan perlengkapannya,berlokasi di kawasan
perdagangan, rekreasi dan hiburan
e. Buku, surat kabar dan majalah, berlokasi di sekitar kawasan
perkantoran, rekreasi dan hiburan
f. Jasa dan perlengkapan kantor berlokasi di sekitar kawasan
perdagangan dan perkantoran
g. Barang seni dan barang kerajinan, berlokasi disekitar
kawasan perkantoran, rekreasi dan hiburan
h. Mainan, berlokasi di sekitar kawasan perdagangan, rekreasi
dan hiburan

Laporan Pendahuluan 10
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

i. Bensin dan tambal ban, berlokasi di sekitar perdagangan dan


perkantoran
2. Pola penampilan atau sarana berdagang yaitu: Gerobak/kereta
dorong, pikulan, warung semi permanen, gelasan/alas,
jongko/meja, dan kios.
3. Sifat barang dagangan , yang digolongkan atas 2 golongan, yaitu:
a. Barang keping, biasanya dengan jenis barang yang dimilki
sifat yang tahan lama seperti tekstil dan obat-obatan
b. Barang basah, umumnya barang jenis ini tidak dapat
disimpan dalam waktu yang lama seperti minuman dan
makanan
4. Sifat pelayanan pedagang kaki lima tergantung pada sifat dan
komunitas barang yang meliputi:
a. Pedagang menetap (static), yaitu suatu bentuk pedagang kaki
lima yang mempunyai cara/sifat dalam melayani
konsumennya dengan menetap disuatu lokasi tertentu.
Dalam hal ini pembeli/konsumen harus dating sendiri ke
lokasi tersebut.
b. Pedagang semi menetap (semi static), yaitu suatu bentuk
pedagang kaki lima yang mempunyai cara/sifat dalam
melayani konsumen dengan menetap sementara hanya pada
saat-saat tertentu saja. Dalam hal ini akan menetap bila ada
kemungkinan datangnya pembeli (hari minggu/libur).
c. Pedagang keliling (mobile), yaitu suatu bentuk pedagang kaki
lima yang mempunyai cara/sifat dalam melayani
konsumennya untuk selalu berusaha mendatangi atau
mengejar konsumen. Biasanya sifat pedagang ini mempunyai
volume dagangan kecil.

Adapula definisi pedagang kaki lima menurut Hidayat (1991) yang


mencirikan PKL seperti:
a. Kegiatan usaha yang tidak terorganisasi secara baik, karena
timbulnya kegiatan usaha ini tidak menggunakan fasilitas
atau kelembagaan yang tersedia di sektor informal.
b. Pada umumnya unit usaha tersebut tidak memiliki izin usaha

Laporan Pendahuluan 11
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

c. Umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu


golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini
d. Pada kegiatan yang tidak teratur, baik dari segi waktu
maupun tempat melakukan usahanya dan umumnya tidak
memiliki izin usaha.
e. Teknologi yang digunakan masih bersifat primitif
f. Ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan usahanya
tidak perlu pendidikan formal, tetapi dari pengalaman sambil
bekerja dapat dipakai
g. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak
perlu pendidikan formal karena pendidikannya diperoleh dari
pengalaman sambil bekerja
h. Sumber dana biasanya diperoleh dari pinjaman (lembaga
keuangan tidak resmi) atau milik sendiri
i. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan
masyarakat kota atau desa berpenghasilan rendah dan
kadang-kadan juga berpenghasilan menengan.
j. Unit usaha mudah keluar dan masuk dari sub sektor yang
satu ke sub sektor yang lain.

2.4. Kebijakan Publik

Kebijakan publik dalam definisi Thomas R. Dye (1981) adalah whatever


governments choose to do or not to do.Maknanya Dye hendak menyatakan
bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit
merupakan kebijakan. Jika anda melihat banyak jalan berlubang, jembatan
rusak atau sekolah rubuh kemudian anda mengira bahwa pemerintah tidak
berbuat apa-apa, maka diamnya pemerintah itu menurut Dye adalah
kebijakan.Intrerpretasi dari kebijakan menurut Dye diatas harus dimaknai
dengan dua hal penting.Pertama, bahwa kebijakan haruslah dilakukan oleh
badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain Dye, James E.
Anderson (1979) mendefinisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah
aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Pembicaraan tentang kebijakan memang
tidak lepas dari kepentingan antar kelompok, baik di tingkat pemerintahan

Laporan Pendahuluan 12
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

maupun masyarakat secara umum. Hogwood dan Gunn, menyatakan bahwa


terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian modern, yaitu :

1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas


2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan
3. Sebagai proposal spesifik
4. Sebagai keputusan pemerintah
5. Sebagai otorisasi formal
6. Sebagai sebuah program
7. Sebagai output
8. Sebagai hasil (outcome)
9. Sebagai teori dan model
10. Sebagai sebuah proses

Sementara itu Lasswell (2006:19) menginginkan ilmu kebijakan public


mencakup 1) metode peneitian proses kebijakan, 2) hasil dari studi kebijakan,
3) hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan intelegensi era kita sekarang. Selain itu
Lasswell juga menggerakkan dan mendorong agar para analisis kebijakan
menjadi lebih kreatif dalam mengidentifikasikan masalah-masalah kebijakan.
Analisis kebijakan harus menunjukkan rasionalitas dan kreatifitas dalam
menciptakan alternatif-alternatif kebijakan.Dengan demikian analisis
kebijakan harus memiliki banyak metode dan senjata untuk menciptakan
kebijakan-kebijakan sebagai solusi masalah publik. Karena itulah menurut
lasswell (2006:20).Ilmu kebijakan adalah harus kontekstual, multimetode
dan berorientasi pada masalah.

Kebijakan memang menjadi ranah yang amat berbau kekuatan untuk


saling mempengaruhi dan melakukan tekanan para pihak.Sehingga, tak
heran jika Carl Friedrich (1963) mendefinisikan kebijakan sebagai suatu
tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan
adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk
mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas


yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang
dihadapi. Dengan membawa kebijakan publik dalam upaya memecahkan

Laporan Pendahuluan 13
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

masalah publik. Maka, administrasi publik akan lebih terasa kental.


Kebijakan publik diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk
memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik.
Kebijakan publik sejauh mungkin berada dalam kebijakan yang beraras pada
kepentingan publik. Kebijakan publik memang melibatkan banyak actor yang
berkepentingan.nilai-nilai rasional yang dikembangkan dalam analisis
kebijakan publik sejauh mungkin didekatkan kepada kepentingan publik.

Implementasi Kebijakan publik diperlukan komitmen aktor politik


untuk memperjuangkan nilai-nilai kepentingan publik itu sendiri, misalnya
dalam penataan PKL. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik tersebut
dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah.

2.5. Diskreasi

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan


oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak
pada warganegaranya. Ini berhubungan dengan nilai keadilan, dan
penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan administrasi, di pihak lain, berhubungan dengan implementasi
apa yang dilakukan oleh negara. Administrasi berhubungan dengan
pertanyaan fakta. Konsekuensi dari pendapat diatas, administrasi
memfokuskan perhatian pada mencari cara yang efisien, one best way untuk
mengimplementasikan kebijakan publik (Anderson.1979). Namun, dalam
praktik badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan pekerjaan di
bawah kekuasaan undang-undang yang terlalu makro dan mendua
(ambiguous), sehingga memaksa mereka untuk membuat diskresi, untuk
memutus apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak
dilakukan, misalnya dalam hal penataan PKL.

Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda


“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan,
Undang-Undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan. Undang – Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan pasal 1 angka 9 menyebutkan Diskresi adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh

Laporan Pendahuluan 14
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi


dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-
undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi menjadi : discretion is power


authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience,
and its use is more than idea of morals than law. Yang dapat diartikan sebagai
suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas
pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-
pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum15. Menurut kamus
Y.C.T Simorangkir Dkk, diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil
kepantasan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.
Menurut Hadi Sapoetra, diskresi adalah kebijaksanaan bertindak atas dasar
pertimbangan individual dalam menghadapi situasi-situasi yang ada.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan dalam perspektif kewenangan Pemerintah telah
memberikan kepastian hukum tentang landasan hukum dilakukannya
tindakan diskresi oleh pemerintah. Berlakunya UU tersebut juga sekaligus
untuk menjamin, bahwa tindakan pemerintah yang disebabkan oleh hal-hal
tertentu sebagaimana ditentukan dalam UU tersebut secara hukum dapat
dibenarkan/syah selama hal tersebut menjadi bagian dari kewenangannya.
Secara normatif, alasan untuk dapat dilakukannya tindakan diskresi oleh
pemerintah (aparat pemerintah) telah ditentukan dalam Pasal 22 UU No. 30
Tahun 2014 sebagai berikut: Setiap penggunaan Diskresi Pejabat
Pemerintahan ditujukan untuk:

1. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;


2. Mengisi kekosongan hukum;
3. Memberikan kepastian hukum; dan
4. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.

Beranjak dari ketentuan Pasal 22 tersebut, sebuah diskresi hanya


dapat diambil selama ditujukan untuk memenuhi syarat sebagaimana yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu sebuah tindakan
diskresi tidak dapat dilakukan dengan semena-mena atau tanpa alasan yang

Laporan Pendahuluan 15
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

dibenarkan oleh hukum. Diskresi merupakan konsep bertindak yang dapat


dilakukan oleh pemerintah dalam lingkup yang sangat luas. Untuk mencegah
terjadinya tindakan kesewenang wenangan, diskresi perlu dibatasi alasan
untuk dapat dilakukannya tindakan tersebut.

Batasan lingkup diskresi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 UU


No. 30 Tahun 2014 adalah sebagai berikut : Diskresi Pejabat Pemerintahan
meliputi:
1. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan
Keputusan dan/atau Tindakan;
2. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak mengatur;
3. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
4. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Berdasarkan pada
ketentuan tersebut, jelas bahwa bentuk tindakan diskresi dalam
pemerintahan secara pasti telah dibatasi lingkupnya.

Laporan Pendahuluan 16
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

BAB III. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

3.1. Kondisi Geografi Fisik Kota Bogor

3.1.1. Letak Geografis


Kota Bogor secara astronomis terletak pada 106º 48’ Bujur
Timur dan 6º 36’ lintang Selatan dengan jarak ± 56 Km dari Ibu Kota
Jakarta. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan
dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11.850 ha.
Secara geografis, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong


Gede, dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan
Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan
Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

3.1.2. Kondisi Geologi dan Tanah


Struktur geologi Kota Bogor terdiri dari aliran andesit, kipas
aluvial, endapan, tufa, dan lanau breksi tufan dan capili. Secara
umum, Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari
endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak
dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpal). Lapisan
batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari
aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang
tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan,
yang tentunya baik untuk vegetasi.

Tanah yang ada di seluruh wilayah Kota Bogor umumnya


memiliki sifat agak peka terhadap erosi, yang sebagian besar
mengandung tanah liat (clay), dengan tekstur tanah yang umumnya
halus hingga agak kasar, kecuali di Kecamatan Bogor Barat, Tanah

Laporan Pendahuluan 17
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Sareal dan Bogor Tengah di mana terdapat tanah yang bertekstur


kasar.

3.1.3. Kondisi Topografi


Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi
antara datar dan berbukit (antara 0 - 200 mdpl sampai dengan >300
mdpl). Kemiringan lereng di Kota Bogor sebagian besar berada pada
klasifikasi datar dan landai (<15%) seluas 9.855,21 Ha atau 83,17%,
seluas 1.109,89 Ha atau sekitar 9,35% berada pada klasifikasi lahan
agak curam (15% - 25%). Sedangkan untuk lahan yang berada pada
klasifikasi curam dan sangat curam (>25%) hanya seluas 884,9 Ha
atau sekitar 7,45%.

3.1.4. Kondisi Meteorologi dan Klimatologi


Kota Bogor mempunyai ketinggian dari permukaan laut
minimal 190 meter dan maksimal 330 meter, dengan keadaan cuaca
dan udara yang sejuk, suhu udara rata-rata setiap bulannya 260
C, dan kelembaban udara yang kurang lebih 70%. Suhu terendah di
Kota Bogor adalah 21,80 C, yang sering terjadi pada bulan
Desember dan Januari. Arah mata angin di bulan Desember sampai
Januari ini dipengaruhi oleh angin muson. Sementara bulan Maret
sampai Mei dipengaruhi oleh Angin Muson Barat dengan arah mata
angin 6% terhadap arah Barat.
Kota Bogor disebut Kota Hujan karena memiliki curah hujan
rata-rata yang tinggi. Curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor
berkisar 4.000 sampai 4.500 mm/tahun. Curah hujan bulanan
berkisar 250─335 mm dengan waktu curah hujan minimum terjadi
pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan
maksimum terjadi pada bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur
rata-rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26º C, dengan
temperatur tertinggi sekitar 34,4º C dan kelembaban udara rata-rata
lebih dari 70%.

3.2. Administratif

Secara adnimistratif Kota Bogor dibagi menjadi 6 Kecamatan dan 68


Kelurahan. Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 Ha, dari luasan tersebut
daerah terbangun Kota Bogor sudah mencapai 4.994 Ha.

Laporan Pendahuluan 18
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Tabel 3.1: Nama, luas wilayah dan jumlah kelurahan per-Kecamatan


Luas Wilayah
Jumlah
Nama Kecamatan Administrasi Terbangun
Kelurahan
(Ha) (%) thd Total (Ha) (%) thd Total
Bogor Utara 8 1.772 14,95 887 17,75
Bogor Barat 16 3.285 27,72 1.011 20,25
Bogor Timur 6 1.015 8,57 537 10,75
Bogor Selatan 16 3.081 26 944 18,90
Bogor Tengah 11 813 6,86 561 11,24
Tanah Sareal 11 1.884 15,90 1.054 21,10
Jumlah 68 11.850 100 4.994 100
Sumber: Laporan akhir KLHS RTRW Kota Bogor, 2011-2031

Berdasarkan data diatas, Kecamatan Bogor Barat merupakan


kecamatan dengan luas terbesar. Sedangkan Kecamatan Bogor Timur
merupakan kecamatan dengan luas terkecil.

Gambar 3.1. Peta Administrasi Kota Bogor

Sumber: Materi Teknis RTRW Kota Bogor, 2010

Laporan Pendahuluan 19
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

3.3. Kependudukan

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kota Bogor 5 Tahun Terakhir

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kota Bogor 5 Tahun Terakhir


TAHUN LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL
2012 510,884 493,947 1,004,831
2013 514,797 498,222 1,013,019
2014 523,479 507,241 1,030,720
2015 532,018 515,905 1,047,923
2016 540,288 524,399 1,064,687
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2017

Penduduk Kota Bogor pada tahun 2016 terdapat sebanyak 1.064.687


jiwa, meningkat sebesar 1,6% dibanding tahun 2015.

3.4. Realissi APBD Tahun 2014-2017

Tabel 3.3. Rekapitulasi Realisasi APBD Kota Bogor Tahun 2014- 2017
Tahun
No Realisasi Anggaran
2014 2015 2016 2017
A Pendapatan (a.1 + a.2 + a.3) 1,604,980,700,547 1.728.934.769.839 1,903,857,684,470 2.289.359.362.675,33
a.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 413,249,212,694 541.062.156.190 670,999,897,863 978.197.741.947,33
a.1.1 Pajak daerah 311,645,000,000 385.751.000.000 437,951,032,639 555.475.409.588
a.1.2 Retribusi daerah 59,376,065,903 56.549.708.057 56.358.625.000 49.043.299.929
a.1.3 Hasil pengolahan kekayaan 15.996.857.686
21,473,572,209 25.256.473.551 29.949.487.128
daerah yang dipisahkan
a.1.4 Lain-lain pendapatan daerah 160.693.382.538
20,754,574,582 73.504.974.582
yang sah
a.2 Dana Perimbangan (Transfer) 859,072,322,269 869.535.045.749 831.404.969.000 1.072.486.473.770
a.2.1 Dana bagi hasil 93,257,764,269 93.257.764.269 93.571.811.000 90.543.462.995
a.2.2 Dana alokasi umum 732,337,058,000 776.277.281.480 737.833.158.000 791.929.143.000
a.2.3 Dana alokasi khusus 33,477,500,000 190.013.867.775
a.3 Lain-lain Pendapatan yang Sah 332,659,165,584 318.337.567.900 401.452.817.607 238.675.146.958
a.3.1 Hibah 6,000,000,000 3.000.000.000 3,000,000,000
a.3.2 Dana darurat 0 0
a.3.3 Dana bagi hasil pajak dari
124,676,079,584 160.432.481.900 197.359.473.607
provinsi kepada kab./kota
a.3.4 Dana penyesuaian dan dana
154,905,086,000 154.905.086.000 201.093.344.000
otonomi khusus
a.3.5 Bantuan keuangan dari
provinsi/pemerintah daerah 47,078,000,000
lainnya
B Belanja (b1 + b.2) 1,738,393,797,107 2.299.205.976.052 2.681.917.605.161 2.245.590.002.914
b.1 Belanja Tidak Langsung 824,669,820,965 885.823.303.341 1.137.480.197.912 929.411.877.942
b.2 Belanja Langsung 921,819,086,282 1.413.382.672.711 1.544.437.407.249 1.316.178.124.971,62
b.2.1 Belanja pegawai 110,431,408,298 188.242.451.909 213.822.509.333 216.228.428.193,16
b.2.2 Belanja barang dan jasa 293,058,464,056 413.923.652.602 585.003.315.110 666.457.980.054,46
b.2.3 Belanja modal 518,329,213.928 811.216.568.200 745.611.582.806 433.491.716.724,00

Laporan Pendahuluan 20
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

Tahun
No Realisasi Anggaran
2014 2015 2016 2017
C Pembiayaan 36,427,841,300 129.486.000.000 (13.500.000.000,00) 19.234.000.000,00
Surplus/Defisit Anggaran 169,840,937,860 (440.785.206.213,) (791.559.920.691,)
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2018

3.5. Jumlah PKL

Jumlah PKL pada tiga ruas area Pasar Anyar adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4. Jumkah PKL Pada Area Pasar Anyar


AREA JUMLAH
Dewi Sartika Pintu Ramayana Satu 14
Jl. MA Salmun Gang Ardio 113
Pertokoan PAMADA 54
Sumber: Pendataan 2019, Dinas Koperasi UMKM Kota Bogor

Laporan Pendahuluan 21
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

BAB IV. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

4.1 Pendekatan

Sejalan dengan perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan


dan pemerintahan sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu Penyelenggaraan
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
Kesejahteraan Masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
kaitan ini institusi pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam rangka
pencapaian tujuan tersebut. Misalnya dalam hal ini adalah perlunya menata
Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor yang terintegrasi dengan konsep penataan
ruang serta memiliki daya dukung terhadap fungsi dan manfaat lingkungan
sekitar.

Kehadiran Pedagang kaki lima di Kota Bogor cukup marak seiring


dengan perkembangan kota dan merupakan salah satu bentuk elastisitas
masyarakat dalam upaya untuk mendapatkan penghasilan dan menafkahi
keluarga. Tetapi perkembangannya tidak direncanakan dan berdagang pada
lokasi yang tidak tepat, sehingga menimbulkan permasalahan seperti
ketidakteraturan wajah kota, kemacetan lalu lintas, penumpukan sampah
dan masalah-masalah lainnya. Namun dalam rencana penataan PKL tersebut
diatas tetap memperhatikan amanat dari Pasal 13 UU No. 09 Tahun 1995
Tentang Usaha Kecil, yakni Pemerintah wajib menumbuhkan iklim usaha
dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan regulasi dan kebijaksanaan.

4.2 Metodologi
4.2.1 Desk Study

Merupakan kegiatan pengumpulan data sekunder yang


dilakukan melalui desk study, mencakup produk kebijakan dan
perundang-undangan tentang administrasi pemerintahan dan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah serta produk
kebijakan yang terkait dengan penataan PKL.

Laporan Pendahuluan 22
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

4.2.2. Analisis Kebijakan dan Peraturan

Pemecahan masalah merupakan elemen kunci dalam analisis


suatu kebijakan. Artinya analisis kebijakan adalah untuk
merumuskan masalah sebagai bagian dari pencarian solusi. Menurut
Coleman (1975) dalam Danim (2000) menyatakan bahwa kajian
kebijakan perlu menggunakan metoda yang komprehensif dalam
melakukan analisis teknikal suatu kebijakan, maka dalam analisa
kebijakan tidak hanya menggunakan metode tunggal. Oleh karena
itu, dalam mengkaji sistem peraturan perundang-undangan yang
memiliki permasalahan bersifat multi-dimensi dan kompleks tidak
dapat digunakan kriteria tunggal, maka analisis yang digunakan
adalah metode Multi-Analisis dengan pendekatan analisis sistem.

Hasil analisis berbagai kebijakan terkait PKL baik merupakan produk


pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten / kota dapat dijadikan dasar dalam merumuskan inovasi
dan solusi kebijakan. Misalnya dalam membantu pemerintah daerah
Kota Bogor dalam penataan PKL.

4.2.3. Survey

Pendataan pelaku ekonomi kreatif Kota Bogor dilakukan


dengan cara survey kepada pelaku ekonomi kreatif sebagai objek.
Objek penelitian merupakan sasaran yang akan diteliti dan dianalisis
oleh penulis. Objek penelitian yang menjadi sasaran dimaksudkan
untuk mendapat jawaban atau solusi dari permasalahan yang sedang
terjadi. Menurut Sugiyono (2014:38) pengertian objek penelitian
adalah: “Suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.”

Istilah survei biasanya dirancukan dengan istilah observasi


dalam pengertian sehari-hari. Pada hal kedua istilah tersebut
mempunyai pengertian yang berbeda, walaupun keduanya
merupakan kegiatan yang saling berhubungan. Menurut kamus
Webster, pengertian survei adalah suatu kondisi tertentu yang
menghendaki kepastian informasi, terutama bagi orang–orang yang

Laporan Pendahuluan 23
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

bertanggung jawab atau yang tertarik. Menurut Singarimbun (1991,


p.3) survei yaitu “penelitian yang mengambil sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data
yang pokok”. Sedangkan menurut suhermin (dalam blognya
suhermin.blogspot.com) survei adalah aktivitas untuk mengestimasi
sesuatu (seperti : jumlah orang, persepsi atau pesan-pesan tertentu).

Dari berbagai devinisi tentang survei tersebut di atas dapat di


simpulkan bahwa survei merupakan suatu aktivitas atau kegiatan
penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan suatu kepastian
informasi (seperti: jumlah orang, persepsi atau pesan-pesan tertentu),
dengan cara mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.

Jenis survei, antara lain:


1. Jenis survei secara umum, ada 2 yaitu:
a. Survei yang lengkap, yaitu yang mencakup seluruh populasi
atau elemen-elemen yang menjadi objek penelitian. Survei
tipe ini disebut sensus.
b. Survei yang hanya menggunakan sebagian kecil dari
populasi, atau hanya menggunakan sampel dari populasi.
Jenis ini sering disebut sebagai sample survey method.
2. Jenis survei secara ilmu penelitian, yaitu:
a. Penelitian Exploratif (Penjajagan): Terbuka, mencari-cari,
pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti masih
terbatas. Pertanyaan dalam studi penjajagan ini misalnya :
Apakah yang paling mencemaskan anda dalam hal
infrastruktur di daerah Kalbar dalam lima tahun terakhir ini?
Menurut anda, bagaimana cara perawatan infrastruktur jalan
dan jembatan yang baik?
b. Penelitian Deskriptif: Mempelajari masalah dalam
masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta
situasi-situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang
berlangsung, pengaruh dari suatu fenomena; pengukuran
yang cermat tentang fenomena dalam masyarakat. Peneliti
menegmbangkan konsep, menghimpun fakta, tapi tidak
menguji hipotesis;

Laporan Pendahuluan 24
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

c. Penelitian Evaluasi : mencari jawaban tentang pencapaian


tujuan yang digariskan sebelumnya. Evaluasi disini
mencakup formatif (melihat dan meneliti pelaksanaan
program), Sumatif (dilaksanakan pada akhir program untuk
mengukur pencapaian tujuan);
d. Penelitian Eksplanasi (Penjelasan) : menggunakan data yang
sama, menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui
pengujian hipotesis;
e. Penelitian Prediksi : Meramalkan fenomena atau keadaan
tertentu;
f. Penelitian Pengembangan Sosial : Dikembangkan
berdasarkan survei yang dilakukan secara berkala:

Tujuan dari survey yang akan dilakukan ini adalah memaparkan data
terkait PKL dan kegiatannnya serta lokasinya dari objek penelitian,
dan menginterpretasikan serta menganalisisnya secara sistematis.
Kebenaran informasi data PKL tersebut tergantung kepada metode
yang digunakan dalam survei.

Kegunaan dari survei antara lain:

1. Untuk memperoleh fakta dari gejala PKL yang ada.


2. Mencari keterangan secara faktual dari suatu kelompok, daerah.
3. Melakukan evaluasi serta perbandinagn terhadap hal yang telah
dilakukan orang lain dalam menangani hal yang serupa.
4. Dilakukan terhadap sejumlah individu / unit baik secara sensus
maupun secara sampel; dan
5. Hasilnya untuk pembuatan rencana dan pengambilan keputusan

4.2.4. Analisa Data

Teknik analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan


jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Pada
tahap ini, data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai
berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai

Laporan Pendahuluan 25
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

untuk menjawab pertanyaan atau persoalan-persoalan yang diajukan


dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan untuk mengelola
data kualitatif adalah dengan menggunakan metode induktif.

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara


sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya. Analisa
ini perlu dilakukan untuk mencari makna. Dalam penelitian kualitatif
analisis data dalam praktenya tidak dapat dipisahkan dengan proses
pengumpulan data, dan dilanjutkan setelah pengumpulan data
selesai. Dengan demkian secara teoritik, analisis dan pengumpulan
data dilaksanakan secara berulang-ulang untuk memecahkan
masalah. Nasution mengatakan bahwa data kualitatif terdiri atas
kata-kata bukan angka-angka, dimana deskripsinya memerlukan
interpretasi, sehingga diketahui makna dari data. Menurut Miles dan
Huberman, bahwa analisis data penelitian kualitatif dapat dilakukan
melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: l)
reduksi data (data reduction), 2) penyajian data (data displays dan 3)
penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/veriffication).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif


dengan menerangkan proses berfikir induktif yaitu berangkat dari
faktor- faktor khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit kemudian dari
faktor-faktor atau peristiwa yang khusus dan konkrit kemudian itu
ditarik generalisasi yang bersifat umum. Adapun teknik analisis data
yang akan dilakukan peneliti yaitu :
a. Reduksi data
Data yang diperoleh di lapangan sebelum dilakukan laporan
lengkap dan terperinci disortir dulu, yaitu yang memenuhi fokus
penelitian. Dalam mereduksi data, semua data lapangan ditulis
sekaligus dianalisis, direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang
pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya, sehingga disusun secara sistematis dan lebih mudah
dikendalikan.

b. Penyajian data
Dalam penelitian ini peneliti akan menyajikan data dalam bentuk
laporan berupa uraian yang lengkap dan terperinci. Ini dilakukan

Laporan Pendahuluan 26
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

peneliti agar data yang diperoleh dapat dikuasai dengan dipilah


secara fisik dan dipilah kemudian dibuat dalam kertas dan bagan.
c. Kesimpulan
Terdapat dua metode pendekatan analisis dan penarikan
kesimpulan (jeneralisasi) yang, yaitu metode deduktif dan
induktif.

Metode deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau


jeneralisasi yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau
fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau jeneralisasi
tersebut. Sedangkan Metode Induktif adalah kebalikan dari
metode deduktif. Contoh-contoh kongkrit dan fakta-fakta
diuraikan terlebih dahulu, baru kemudian dirumuskan menjadi
suatu kesimpulan atau jeneralisasi.

Pengumpulan Data Penyajian Data

Kesimpulan-Kesimpulan
Reduksi Data
Penarikan / Verifikasi

Gambar: Teknik Analisis Data

4.2.5. Triangulasi
Trianggulasi adalah teknik pengecekan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Norman K.
Denkin mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau
kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena
yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda.
Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1) triangulasi
metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan
dengan kelompok), (3) triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi
teori. [2]
1. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan
informasi atau data dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian

Laporan Pendahuluan 27
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

kualitatif peneliti menggunakan metode wawancara, obervasi, dan


survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan
gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa
menggunakan metode wawancara dan obervasi atau pengamatan
untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa
menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran
informasi tersebut. Triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau
informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian
diragukan kebenarannya.
2. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan
lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Teknik
ini untuk memperkaya khasanah pengetahuan mengenai informasi
yang digali dari subjek penelitian. Namun orang yang diajak
menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian
dan bebas dari konflik kepentingan agar tidak justru merugikan
peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.
3. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai
tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data.
Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa
menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen
tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau
tulisan pribadi dan gambar atau foto. Masing-masing cara itu akan
menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan
memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai
fenomena yang diteliti.
4. Triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah
rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut
selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan
untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau
kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat
meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti
mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil
analisis data yang telah diperoleh.

Laporan Pendahuluan 28
Kajian Grand Desain Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Bogor

4.3. Metode Pelaksanaan


Agar sesuai dengan tujuan dan keluaran kegiatan yang diinginkan oleh
pengguna jasa maka perlu disusun metoda penyelesaian yang terstruktur
dan sistematis disesuaikan dengan lingkup kegiatan/pekerjaan yang
tercantum dalam KAK.
Tabel 2.1. Metode Kegiatan
NO KEGIATAN METODE PELAKSANAAN
INPUT PROSES OUTPUT
1 Identifikasi PKL tiap Data Pendataan Data PKL
Kecamatan sekunder tiap
kecamatan kecamatan
2 Identifikasi wilayah Data Pendataan Data zonasi
lokasi PKL sekunder usaha PKL
kecamatan tiap
kecamatan
3 Identifikasi legalitas Data aset Pengecekan Wilayah
wilayah lokasi PKL milik ke Bagian lokasi PKL di
pemerintah Aset tanah
Kota Bogor Pemerintah Pemerintah
Kota Bogor Daerah
4 Inventarisasi UU No 26 Desk Study Regulasi
perundang-undangan tahun 2007, penataan
mengenai, RTH, UU No 22 PKL
Pemberdayaan PKL, Tahun 2009,
Otonomi Daerah, Tata UU No 38
Ruang, LLAJ, tahun 2004,
Adeministrasi UU No 30
Pemerintah tahun 2014
Perpres 125
tahun 2012,
Permendagri
No 41 tahun
2012,
5 Inventarisasi Perda No 8 Desk Studi Regulasi
peraturan di Kota tahun 2006, Penataan
Bogor mengenai tata Perda No 8 PKL
ruang, ketertiban tahun 2011,
umum, Penatan PKL, Perda No 10
RPJMD tahun 2014,
Perda PKL

Laporan Pendahuluan 29

Anda mungkin juga menyukai