Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Alat kontrasepsi jangka panjang (MKJP) adalah alat kontrasepsi yang


digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan,
yang digunakan dengan jangka panjang, yang meliputi IUD, implant dan kontrasepsi
mantap.
Indonesia merupakan negara yang dilihat dari jumlah penduduknya ada pada
posisi keempat di dunia, dengan laju pertumbuhan yang masih relatif tinggi. Esensi
tugas program Keluarga Berencana (KB) dalam hal ini telah jelas yaitu menurunkan
fertilitas agar dapat mengurangi beban pembangunan demi terwujudnya kebahagiaan
dan kesejahteraan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Pelayanan program KB pelaksanaannya senantiasa terintegrasi dengan
kegiatan kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak serta penanggulangan masalah
kesehatan dan kesetaraan gender sebagai salah satu upaya pemecahan hak-hak
reproduksi kepada masyarakat. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka operasional
pelaksanaan program KB perlu dikelola secara lebih serius, profesional dan
berkesinambungan sehingga upaya-upaya tersebut dapat memberikan kepuasan bagi
semua pihak baik klien maupun pemberi pelayanan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesertaan masyarakat dalam ber KB, terhindar dari masalah kesehatan,
reproduksi, meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam mensosialisaikan

Universitas Sumatera Utara


kontrasepsi yang akan dipergunakan oleh akseptor KB sangat ditentukan efektvitas
konseling petugas kesehatan (Manuaba, 2010).
Interaksi atau konseling yang berkualitas antara klien dan provider (tenaga
medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan
program keluarga berencana (KB). Sangat mudah dimengerti jika hal itu membuat
tingkat keberhasilan KB di Indonesia menurun.

Klien yang mendapatkan konseling dengan baik akan cenderung memilih alat
kontrasepsi dengan benar dan tepat. Pada akhirnya hal itu juga akan menurunkan
tingkat kegagalan KB dan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Untuk meraih keberhasilan tersebut, tentunya sangat diperlukan tenaga-tenaga
konselor yang profesional. Mereka bukan hanya harus mengerti seluk-beluk masalah
KB, tetapi juga memiliki dedikasi tinggi pada tugasnya serta memiliki kepribadian
yang baik, sabar, penuh pengertian, dan menghargai klien (Siswanto, 2010).

Dengan demikian, konseling akan benar-benar menghasilkan keputusan


terbaik seperti yang diinginkan oleh klien, bukan sekedar konsultasi yang
menghabiskan waktu dan biaya. Demikian benang merah diskusi bertema “Sudahkah
Peserta KB Diperlakukan sebagai Klien?” yang diselenggarakan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan John Hopkins University melalui
Program KB dan Kesehatan Reproduksi di Jakarta (Prayitno, 2004).
Menurut Siswanto (2010) di Indonesia, konseling yang berkualitas masih
sangat minim dan bahkan sulit sekali menemukan klinik yang secara khusus

Universitas Sumatera Utara


menyediakan jasa konseling yang benar-benar memenuhi standar. Selain itu,
ketidakseimbangan antara jumlah klien dan tenaga medis yang bertugas sebagai
konselor juga akan mempengaruhi keberhasilan konseling.
Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemahiran konselor dalam
memerankan tugasnya. Ketika menghadapi klien, seorang konselor hendaknya tidak
beranggapan dialah yang terhebat sementara si klien tidak tahu apa-apa. Hal itu,
justru akan memunculkan jarak dengan klien sehingga akan sulit terjalin interaksi
yang sebenarnya sangat diperlukan dalam konseling
Berdasarkan hasil penelitian Starh (2002) diketahui dari 373 klinik di
Indonesia ternyata hanya tiga yang dapat dikategorikan memenuhi standar konseling.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur standar itu adalah kecakapan
konselor dalam “melayani” klien, termasuk berinteraksi dan mengorek sebanyak
mungkin masalah yang disembunyikan klien.
Zarfiel Taffal (2002), juga sependapat jika dalam konseling, klien cenderung
akan menyembunyikan masalah sehingga kelihaian konselor akan menjadi penentu
berkualitas tidaknya konseling itu. Namun, Zarfiel menekankan, konseling
hendaknya tidak berorientasi pada efisiensi yang lebih mempertimbangkan faktor
waktu, tetapi lebih kepada keefektifan yang mengutamakan pencapaian hasil terbaik.
Di desa-desa terpencil biasanya hanya ada tenaga bidan yang bertugas di
puskesmas. Masyarakat pun tampaknya memang lebih dekat dengan bidan. Selain
lebih low profile, bidan juga lebih sabar dan mempunyai kedekatan yang baik dengan

Universitas Sumatera Utara


klien. Sepertinya, masih sulit menemukan dokter yang mampu menjadi konselor yang
baik tanpa mempertimbangkan ‘jam terbang’ dan jasa konseling,” katanya.
Komunikasi petugas kesehatan merupakan suatu pertukaran informasi,
berbagi ide dan pengetahuan petugas kesehatan kepada masyarakat. Hal ini berupa
proses dua arah dimana informasi, pemikiran, ide, perasaan atau opini disampaikan
atau dibagikan melalui kata-kata, tindakan maupun isyarat untuk mencapai
pemahaman bersama. Komunikasi yang baik berarti bahwa para pihak terlibat secara
aktif yaitu antara petugas kesehatan dan masyarakat. Hal ini akan menolong mereka
untuk mengalami cara baru mengerjakan atau memikirkan sesuatu, dan hal ini
kadang-kadang disebut pembelajaran partifipatif. Semua aktifitas manusia melibatkan
komunikasi, namun karena kita sering menerimanya begitu saja, kita tidak selalu
memikirkan bagaimana kita berkomunikasi dengan yang lain dan apakah efektif atau
tidak.
Komunikasi yang baik melibatkan pemahaman bagaimana orang-orang
berhubungan dengan yang lain, mendengarkan apa yang dikatakan dan mengambil
pelajaran dari hal tersebut. Komunikasi yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan
akan memberikan pengaruh terhadap pemakaian kontrasepsi yang akan dipergunakan
oleh akseptor KB terutama pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang (Depkes RI,
2002).

Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemahiran konselor dalam


memerankan tugasnya, efektivitas konseling petugas kesehatan akan memengaruhi

Universitas Sumatera Utara


pengetahuan ibu dan akan berpengaruhnya pada pemilihan alat kontrasepsi (Sheilla,

2006).

Secara sederhananya, konseling merupakan perantara dalam penyampaian


informasi dari komunikator kepada komunikate yang bertujuan untuk efisiensi
penyebaran informasi atau pesan (Burgon & Huffner, 2002). Efisiensi penyebaran
informasi dengan adanya konseling akan lebih membuat penyebaran informasi
menjadi efisien. Oleh karena itu, tenaga kesehatan diharapkan mampu dalam
memberikan KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) yang lebih efektif kepada calon
akseptor KB sehingga mereka tidak lagi ragu untuk menentukan pilihan alat
kontrasepsi yang akan dipakai terutama alat kontrasepsi jangka panjang (Saifuddin,
2001).

Pada saat ini alat kontrasepsi jangka panjang terutama AKDR/IUD


merupakan salah satu cara kontrasepsi yang paling populer dan diterima oleh
program keluarga berencana di setiap negara. Diperkirakan sekitar 60-65 juta wanita
di seluruh dunia memakainya, dengan pemakai terbanyak di Cina (Siswosudarmo,
2007). Pada saat ini diperkirakan memakai AKDR/IUD, 30% terdapat di Cina, 13%

di Eropa, 5% di Amerika dan sekitar 6,7% di negara-negara berkembang (Augustin,

2000).

Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2002-2003 memperlihatkan


proporsi peserta KB untuk semua tercatat sebesar 60,3%. Bila dirinci lebih lanjut
proporsi peserta KB yang terbanyak adalah suntik (27,8%), diikuti oleh pil (13,2%),

Universitas Sumatera Utara


IUD (6,2%), implant atau susuk KB (4,3%) sterilisasi wanita (3,7%), kondom (0,9%),
sterilisasi pria (0,4%), MAL (metode amenore laktasi) (0,1%), dan sisanya
merupakan peserta KB tradisional masing-masing menggunakan cara tradisional,
pantang berkala (1,6%) maupun senggama terputus (1,5%) dan 0,5% cara lain
(BKKBN, 2006). Pada tahun 2007 yang menggunakan alat kontrasepsi 61,4% yaitu
sebanyak 31,6% menggunakan suntik, pil 13,2 %, AKDR/IUD 4,8%, implant 2,8%,
kondom 1,3%, vasektomi dan tubektomi 7,7 %.12. Pada tahun 2009 peserta KB yang
tercatat 51,21% akseptor KB memilih suntikan sebagai alat kontrasepsi, 40,02%
memilih Pil, 4,93% memilih Implant, 2,72% memilih AKDR/IUD dan lainnya
1,11%. Pada umumnya masyarakat memilih non metode kontrasepsi jangka panjang
(MKJP). Sehingga metode KB MKJP seperti AKDR/IUD, implant, kontap pria
(MOP) dan kontap wanita (MOW) kurang diminati (Arum, 2009).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk Sumatera Utara
berjumlah 12,98 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata rata 1,1% setiap
tahunnya. Persoalan kependudukan yang dihadapi Sumut dalam satu dekade terakhir
adalah masih tingginya angka kelahiran total yakni sebesar 3,8/1000 wanita usia
subur, penduduk miskin sebesar 11,31% atau 1,41 juta jiwa, angka pengangguran
terbuka sebesar 7,43%. Sementara angka kematian bayi, berdasarkan riset, kesehatan
dasar 2010 adalah sebesar 22 per 1000 kelahiran, sementara kematian ibu hamil dan
bersalin sebesar 249 per 100.000 kelahiran. Ini adalah tantangan prograam keluarga

Universitas Sumatera Utara


berencana untuk segera dipercepat di semua wilayah dan lini lapangan (BKKBN,
Sumut 2011).
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun

2011, pencapaian peserta baru pengguna kontrasepsi medis operatif pria (MOP),
medis operatif wanita (MOW), dan IUD, dua tahun terakhir meningkat tajam yaitu
MOP naik 44%, MOW 15%, dan pengguna IUD meningkat sebesar 53%. Salah satu
daerah yang pencapaian MOP-nya tinggi adalah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Namun pencapaian peserta KB baru yang berhasil didata Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana (BKKBN) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara (Sumut)
belum maksimal. Secara nasional, Provinsi Sumut berada di posisi ke 13 dalam
penilaian pencapaian peserta KB baru, yakni dengan nilai 72,27. Posisi yang dicapai
Sumut masih belum maksimal diatas rata-rata nasional. Sumut masih memiliki nilai
minum dalam beberapa hal pencapaian peserta KB baru (BKKBN, Sumut 2011).
Peserta KB aktif di Sumatera Utara yang berhasil dibina sebanyak 4.534,850
(76,23%) dari seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) yang mencapai 5.948.962 PUS.
Realisasi peserta KB aktif yang menggunakan kontrasepsi suntik 2.239.108, pil
848.503, IUD 557.224 dan kondom 42.464 (BPS, 2009).

Di Kabupaten Langkat, jumlah PUS mengalami peningkatan setiap tahunnya.


Pada tahun 2007 jumlah PUS sekitar 272.383 dan meningkat menjadi 282.391 pada
tahun 2008. Dari jumlah tersebut 69,93% adalah akseptor aktif yang jumlahnya
meningkat dibandingkan tahun 2007 (Dinkes, Langkat 2009).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di wilayah kerja Puskesmas
Desalama Kabupaten Langkat diperoleh bahwa pada tahun 2008 persentase peserta
KB baru sebanyak 11,18% dari 272.383 jumlah PUS; 10,48% pada tahun 2007 dan
9,45% pada tahun 2006. Pada tahun 2009 dilaporkan 28.520 peserta KB baru,
terdapat 18,25% peserta yang menggunakan metode kontrasepsi MKJP dan 81,75%
menggunakan non MKJP. Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh
peserta KB baru adalah pil (43,35%), suntik (32,98%) dan paling sedikit adalah
MOP/MOW (0,89%). Pada tahun 2011 terdapat 356 peserta KB aktif dan yang baru
465 orang akseptor KB di kecamatan Desalama terdapat 453 peserta yang
menggunakan metode kontrasepsi non MKJP dan 268 menggunakan MKJP. Jenis
kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh peserta KB aktif ini adalah
kontrasepsi janga pendek dibandingkan dengan kontrasepsi jangka panjang
(Puskesmas Desalama, 2011).
Melihat data tersebut bahwa metode non MKJP merupakan metode yang lebih
disukai oleh peserta KB aktif di Kecamatan Desalama, dengan alasan peserta KB
baru selain harganya relatif lebih murah, lebih aman, metode non MKJP juga
dipandang masyarakat belum mendapatkan konseling yang efektif tentang
kontrasepsi jangka panjang (Puskesmas Desalama, 2011).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Desalama tersebut,
menunjukkan faktor yang menyebabkan akseptor KB kurang memakai kontrasepsi
jangka panjang antara lain adalah konseling petugas kesehatan yang kurang efektif

Universitas Sumatera Utara


antara tenaga kesehatan dengan akseptor KB tentang kontrasepsi jangka panjang.
Konseling kepada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Desalama sudah sering
dilaksanakan oleh petugas kesehatan, namun konseling tersebut belum sesuai dengan
yang diharapkan, hal ini dapat kita lihat bahwa akseptor KB masih lebih memilih
kontrasepsi jangka panjang.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian
konseling oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan alat
kontrasepsi jangka panjang di wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten
Langkat.

1.2. Permasalahan

Rendahnya cakupan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Desalama Kabupaten


Langkat, sehingga ingin diteliti bagaimana pengaruh pemberian konseling oleh
petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan MKJP di wilayah kerja
Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian konseling


oleh petugas kesehatan terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan MKJP di wilayah
kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pemberian pemberian konseling oleh petugas kesehatan


terhadap pengetahuan ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi jangka panjang di
wilayah kerja Puskesmas Desalama Kabupaten Langkat.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti sebagai upaya untuk menambah wawasan dan pengetahuan


khususnya tentang kontrasepsi jangka panjang.
2. Bagi Puskesmas Desalama dan Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Langkat
sebagai informasi dalam upaya meningkatkan cakupan pelayanan KB jangka
panjang sesuai target.
3. Bagi tenaga kesehatan agar meningkatkan kualitas pemberian pengetahuan KIE

dengan mengikuti pelatihan-pelatihan tentang KIE

4. Bagi peneliti selajutnya sebagai referensi pengembangan ilmu kesehatan


masyarakat, khususnya yang terkait dengan kontrasepsi jangka panjang.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) adalah metode kontrasepsi yang


masa kerjanya lama dan mempunyai efektivitas tinggi terhadap pencegahan
kehamilan, yang terdiri dari susuk/implant, AKDR/IUD, MOP, dan MOW (BkkbN,
2011 c). Implant dan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)/IUD (Intra Uterine
Devices) adalah metode kontrasepsi jangka panjang paling efektif yang bersifat
reversible, sedangkan MOW dan MOP adalah metode kontrasepsi jangka panjang
yang tidak reversible. Implant dan AKDR juga memiliki keuntungan tambahan yaitu
menyenangkan, disukai pengguna, dan murah dengan angka kegagalan < 1% serta
bisa “dilupakan” tidak harus dikonsumsi setiap hari seperti pil atau harus disuntik
ulang setiap 1 atau 3 bulan seperti kontrasepsi suntikan. Oleh karena itu, implant dan
AKDR seharusnya menjadi metode kontrasepsi pilihan pertama yang ditawarkan
kepada sebagian besar wanita (Brown, 1997; Stoddard, 2011).
Pada pertengahan tahun 1990-an metode kontrasepsi jangka panjang
merupakan metode kontrasepsi yang dominan di banyak negara. Lebih dari 170 juta
sterilisasi sudah dilakukan dan menjadi metode kontrasepsi yang paling penting di
banyak negara, khususnya India, Cina, dan negara-negara Asia lainnya serta di
beberapa negara di Amerika Latin (Brown, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal lain, antusiasme awal untuk IUD juga besar. Namun demikian di
beberapa negara, ditemukan kurangnya perhatian terhadap tindakan konseling
(terutama terhadap efek samping IUD), masalah yang juga dijumpai pada tahun 1980-
an ketika Norplan/implan diperkenalkan. Kadang-kadang petugas hanya terpaku pada
jumlah klien yang mau memakai metode kontrasepsi tersebut. IUD kemudian
digunakan secara luas di banyak negara, khususnya Cina, dimana saat ini
diperkirakan ada sebanyak 82 juta akseptor IUD (Brown, 1997). Hasil penelitian
Stevens-Simon (1999) di Amerika Serikat, ada hubungan yang bermakna antara
pemakaian implant pada awal post partum ( dalam 6 bulan post partum) dengan
terjadinya kehamilan pada tahun pertama post partum. Wanita dewasa dan remaja
yang tidak menggunakan alat KB setelah partus atau yang memakai metode KB
selain implant, kemungkinan untuk menjadi hamil dalam 1 tahun pertama 35 kali
lebih besar dibandingkan yang memakai implant dalam 6 bulan post partum. Dan
kemungkinan hamil pada tahun kedua post partum 8,6 kali pada wanita yang tidak
memakai implant dibandingkan yang memakai.
Menurut Brown (1997) kontrasepsi jangka panjang harus tersedia bagi wanita
yang aktif secara seksual yang telah memperoleh informasi tentang MKJP dan mau
menggunakannya secara sukarela. Ini memerlukan suatu sistem layanan yang
membuat metode ini tersedia dan terjangkau oleh akseptor, termasuk layanan
pencabutan kembali alat kontrasepsi oleh tenaga kesehatan. Di negara-negara
berkembang masalah biaya pencabutan ini telah menjadi suatu kendala dalam
pemakaian MKJP. Dengan demikian, pada waktu pemasangan setiap metode

Universitas Sumatera Utara


kontrasepsi jangka panjang yang memerlukan tindakan pencabutan kembali
diperlukan adanya suatu jaminan ketersediaan biaya pencabutan oleh penyedia
layanan.
2.1.1 Implant / Susuk KB

a. Implant / susuk KB adalah suatu alat kontrasepsi yang berbentuk batang


silastik lembut dan mengandung levonorgestrel (progestin) yang disusukkan
di bawah kulit. Jumlah batangnya bervariasi, ada yang 6 batang (Norplant), 1
batang (Implanon), dan 2 batang (Jadena dan Indoplant).
b. Cara kerja implant

1) Mengentalkan lendir serviks

2) Mengganggu proses pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi


implantasi
3) Mengurangi transportasi sperma

4) Menekan ovulasi

c. Efektivitas. Sangat efektif, angka kegagalan hanya berkisar antara 0,2 – 1


kehamilan per 100 perempuan.
d. Keuntungan memakai implant

1) Perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun)

2) Pengembalian kesuburan yang cepat setelah pencabutan

3) Tidak memerlukan pemeriksaan dalam

Universitas Sumatera Utara


4) Bebas dari pengaruh estrogen

5) Tidak mengganggu coitus

Universitas Sumatera Utara


6) Tidak mengganggu produksi ASI

7) Klien hanya perlu kembali ke klinik jika ada keluhan

8) Dapat dicabut setiap saat sesuai dengan kebutuhan

e. Keterbatasan implant. Pada kebanyakan klien dapat menyebabkan perubahan


pola haid berupa perdarahan bercak (spotting), hipermenorea atau
meningkatnya jumlah darah haid, serta amenorea
f. Yang tidak boleh menggunakan implant

1) Hamil atau diduga hamil

2) Perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya

3) Benjolan/kanker payudara atau riwayat kanker payudara

4) Tidak dapat menerima perubahan pola haid yang terjadi

5) Mioma uterus

6) Gangguan toleransi glukosa

g. Jadwal kunjungan kembali. Klien tidak perlu kembali ke klinik kecuali ingin
mencabut implant atau jika ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1) Amenorea yang disertai nyeri perut bagian bawah

2) Perdarahan yang banyak dari vagina

Universitas Sumatera Utara


3) Luka bekas insisi mengeluarkan darah atau nanah

4) Ekspulsi dari batang implant

5) Sakit kepala hebat, penglihatan jadi kabur atau nyeri dada hebat

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) / Intra Uterine Devices (IUD)

a. Pengertian AKDR / IUD. Alat kontrasepsi dalam rahim ( AKDR / IUD )


merupakan alat kontrasepsi yang dipasang dalam rahim. Alat kontrasepsi
dalam rahim terbuat dari plastik elastik, dililit tembaga atau campuran
tembaga dengan perak. Lilitan logam menyebabkan reaksi anti fertilitas
dengan waktu penggunaan dapat mencapai 8-10 tahun, dengan metode kerja
mencegah masuknya sprematozoa/sel mani ke dalam saluran tuba.
Pemasangan dan pencabutan alat kontrasepsi ini harus dilakukan oleh tenaga
medis (dokter atau bidan terlatih), dapat dipakai oleh semua perempuan usia
reproduksi namun tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar infeksi
menular seksual.
b. Jenis AKDR. Jenis AKDR yang dipakai di Indonesia antara lain adalah :

1) Copper-T. AKDR berbentuk T, terbuat dari bahan polyethelen dimana


pada bagian vertikalnya diberi lilitan kawat tembaga halus. Lilitan
tembaga halus ini mempunyai efek anti fertilitas (anti pembuahan) yang
cukup baik.
2) Copper-7. AKDR ini berbentuk angka 7 dengan maksud untuk
memudahkan pemasangan. Jenis ini mempunyai ukuran diameter batang
vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga luas
permukaan 200mm², fungsinya sama dengan lilitan tembaga halus pada
AKDR Copper-T.

Universitas Sumatera Utara


3) Multi load. AKDR ini terbuat dari plastik (polyethelene) dengan dua
tangan kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Panjang dari
ujung atas ke ujung bawah 3,6 cm. Batang diberi gulungan kawat
tembaga dengan luas permukaan 250 mm² atau 375 mm² untuk
menambah efektifitas. Ada tiga jenis ukuran multi load yaitu standar,
small, dan mini.
4) Lippes loop. AKDR ini terbuat dari polyethelene, berbentuk huruf spiral
atau huruf S bersambung. Untuk memudahkan kontrol, dipasang benang
pada ekornya. Lippes loop terdiri dari 4 jenis yang berbeda menurut
ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang biru),
tipe B 27,5 mm (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang
kuning) dan tipe D berukuran 30 mm dan tebal (benang putih). Lippes
loop mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan dari
pemakaian AKDR jenis ini adalah bila terjadi perforasi, jarang
menyebabkan luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan
plastik.
c. Cara kerja AKDR. Cara kerja dari AKDR antara lain yaitu

1) Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii.

2) Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai cavum uteri.

3) Mencegah sperma dan ovum bertemu, membuat sperma sulit masuk ke


dalam alat reproduksi dan mengurangi sperma untuk fertilisasi.
4) Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.

Universitas Sumatera Utara


d. Keuntungan dan kelemahan AKDR. Adapun keuntungan dari penggunaan alat

kontrasepsi AKDR yakni :

1) Sangat efektif. 0,6 - 0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1 tahun


pertama (1 kegagalan dalam 125 - 170 kehamilan).
2) IUD dapat efektif segera setelah pemasangan.

3) Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak
perlu diganti).
4) Tidak mempengaruhi hubungan seksual.

5) Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat.

6) Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak takut untuk hamil.

7) Tidak ada efek samping hormonal dengan CuT-380A.

8) Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI

9) Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau abortus (apabila tidak


terjadi infeksi).
10) Dapat digunakan sampai menapouse ( 1 tahun atau lebih setelah haid
terakhir).
11) Tidak ada interaksi dengan obat-obat.
e. Kelemahan dari penggunaan AKDR yaitu :
1) Adanya efek samping yang umum terjadi, seperti : perubahan siklus
haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan berkurang setelah 3

Universitas Sumatera Utara


bulan), haid lebih lama dan banyak, perdarahan antar mensturasi, saat
haid lebih sakit.

Universitas Sumatera Utara


2) Merasa sakit dan kram selama 3- 5 hari setelah pemasangan, perdarahan
berat pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan penyebab
anemia, perforasi dinding uterus (sangat jarang bila pemasangan benar).
3) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS.

4) Tidak baik digunakan perempuan dengan IMS atau sering berganti


pasangan.
5) Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS

memakai AKDR, PRP dapat memicu infertilitas.

6) Prosedur medis, termasuk pemeriksaan pelviks diperlukan dalam


pemasangan AKDR.
7) Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah
pemasangan AKDR. Biasanya menghilang dalam 1 - 2 hari.
8) Pencabutan AKDR hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter
atau bidan) yang terlatih.
9) Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi
apabila AKDR dipasang segera setelah melahirkan).
10) Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu.
f. Waktu penggunaan AKDR. Penggunaan AKDR sebaiknya dilakukan pada
saat :

1) Setiap waktu dalam siklus haid, yang dapat dipastikan klien tidak hamil.

2) Hari pertama sampai ke-7 siklus haid.

Universitas Sumatera Utara


3) Segera setelah melahirkan, selama 48 jam pertama atau setelah 4
minggu pascapersalinan; setelah 6 bulan apabila menggunakan metode
amenorea laktasi (MAL).
4) Setelah terjadinya keguguran (segera atau dalam waktu 7 hari) apabila
tidak ada gejala infeksi.
5) Selama 1 sampai 5 hari setelah sanggama yang tidak dilindungi.

g. Waktu kontrol AKDR. Kelemahan dari penggunaan AKDR adalah perlunya


kontrol kembali untuk memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu.
Waktu kontrol AKDR yang harus diperhatikan adalah :
1) 1 bulan pasca pemasangan

2) 3 bulan kemudian

3) Setiap 6 bulan berikutnya

4) Bila terlambat haid 1 minggu

5) Perdarahan banyak atau keluhan istimewa lainnya

2.1.3 Kontrasepsi Mantap / Sterilisasi

a. Metode Operasi Pria (MOP) / Vasektomi. Metode operasi pria yang dikenal
dengan nama vasektomi merupakan operasi ringan, murah, aman, dan
mempunyai arti demografis yang tinggi, artinya dengan operasi ini banyak
kelahiran yang dapat dihindari.

Universitas Sumatera Utara


1) Pengertian. Vasektomi adalah suatu prosedur klinik yang dilakukan untuk
menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vasa
deferensia (pemotongan, pengikatan, penyumbatan ke-2 saluran mani)

Universitas Sumatera Utara


sehingga alur transportasi sperma terhambat dan pada waktu bersanggama sel
mani tidak dapat ke luar membuahi sel telur yang mengakibatkan proses
fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi. Tindakan yang dilakukan
adalah lebih ringan dari pada sunat atau khinatan pada pria, dan pada
umumnya dilakukan sekitar 15-45 menit, dengan cara mengikat dan
memotong saluran mani yang terdapat di dalam kantong buah zakar.
2) Peserta Vasektomi.

a) Suami dari pasangan usia subur yang dengan sukarela mau melakukan
vasektomi serta sebelumnya telah mendapat konseling tentang
vasektomi.
b) Mendapat persetujuan dari isteri :

(1) Jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani

(2) Umur isteri sekurang-kurangnya 25 tahun

(3) Mengetahui prosedur vasektomi dan akibatnya

(4) Menandatangani formulir persetujuan (informed consent).

3) Cara kerja. Menghalangi jalannya sel sperma sehingga tidak dapat membuahi
sel telur.
4) Kelebihan

a) Efektivitas tinggi untuk melindungi kehamilan (efektivitas secara ilmiah

99,9%, efektivitas pemakaian 99,85%)

Universitas Sumatera Utara


b) Tidak ada kematian dan angka kesakitannya rendah

c) Biaya lebih murah, karena membutuhkan satu kali tindakan saja

Universitas Sumatera Utara


d) Prosedur medis dilakukan hanya sekitar 15-45 menit dan pasien tidak
perlu dirawat di rumah sakit
e) Tidak mengganggu hubungan seksual

f) Lebih aman, karena keluhan lebih sedikit jika dibandingkan dengan


kontrasepsi lain
5) Keterbatasan

a) Masih memungkinkan terjadi komplikasi (misal perdarahan, nyeri, dan


infeksi).
b) Tidak melindungi pasangan dari penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS. Harus menggunakan kondom selama 15-20 kali sanggama
agar sel mani menjadi negatif.
c) Pada orang yang mempunyai problem psikologis dalam hubungan
seksual, dapat menyebabkan keadaan semakin terganggu.
6) Vasektomi tidak dapat dilakukan apabila

a) Pasangan suami-isteri masih menginginkan anak lagi


b) Suami menderita penyakit kelainan pembekuan darah
c) Jika keadaan suami-isteri tidak stabil
d) Jika ada tanda-tanda radang dan/atau infeksi jamur pada buah zakar,
hernia, kelainan akibat cacing tertentu pada buah zakar dan kencing
manis yang tidak terkontrol.
b. Metode Operasi Wanita (MOW) / Tubektomi

Universitas Sumatera Utara


1) Pengertian. Tubektomi ialah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba
Fallopii wanita yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil
lagi. Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparatomi atau pembedahan
vaginal. Sekarang, dengan alat dan tehnik baru, tindakan ini diselenggarakan
secara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
2) Cara kerja. Tubektomi menghambat perjalanan sel telur wanita sehingga tidak
dapat dibuahi oleh sperma.
3) Efektivitas. Efektivitas secara ilmiah (theoretical effectiveness) yaitu 99,5%,
efektivitas pemakaian (use effectiveness) yaitu 99,5%.
4) Keuntungan tubektomi

a) Motivasi hanya dilakukan satu kali saja sehingga tidak diperlukan


motivasi berulang-ulang.
b) Efektivitas hampir 100% dan efektif langsung setelah operasi.
c) Tidak mempengaruhi libido seksual.
d) Tidak ada efek samping jangka panjang
e) Mengurangi risiko kanker ovarium
f) Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.

5) Keterbatasan. Resiko dan efek samping bedah tetap ada dan tidak melindungi
dari IMS, HIV/AIDS, dan Hepatitis B.
6) Yang tidak boleh menjalani tubektomi.
a) Hamil atau diduga hamil
b) Penyakit jantung, paru, infeksi akut

Universitas Sumatera Utara


c) Perdarahan pervaginam yang tidak diketahui penyebabnya
d) Tidak boleh menjalani proses pembedahan
e) Masih menginginkan anak lagi

f) Belum memberikan persetujuan secara tertulis

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka


Panjang

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda


disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni :
1) Faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan yang
bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis
kelamin, dan lain-lain.
2) Faktor eksternal, yakni lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang
dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Menurut Affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi
pemakaian kontrasepsi adalah :
a) Faktor pola perencanaan keluarga. Adalah mengenai penentuan besarnya
jumlah keluarga yang menyangkut waktu yang tepat untuk mengakhiri
kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus diketahui kapan kurun waktu
reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak sesuai kondisi, berapa jarak
umur antar anak. Seorang wanita secara biologik memasuki usia reproduksinya
beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan

Universitas Sumatera Utara


dapat berlangsung dengan aman. Kurun waktu yang paling aman adalah umur

20 – 35 tahun dengan pengaturan :

1. Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun

2. Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun

3. Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang-kurangnya 2 tahun atau


diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama.
Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30 – 35
tahun dengan kontrasepsi mantap.
b) Faktor subyektif. Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang
dari sudut kesehatan maupun rasionalitasnya belumlah tentu dirasakan cocok
dan dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada
pengetahuannya tentang alat kontrasepsi tersebut, baik yang didapat dari
keluarga/kerabat maupun dari petugas kesehatan atau tokoh masyarakat.
c) Faktor obyektif. Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan
keadaan wanita (kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase
menurut kurun waktu reproduksinya. Biasanya pemilihan jenis kontrasepsi juga
disesuaikan dengan maksud penggunaan kontrasepsi tersebut. Lebih lanjut
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Konsep Pemilihan Alat Kontrasepsi yang Rasional

Fase Mencegah Fase Menjarangkan Fase Mengakhiri


Kehamilan kehamilan kehamilan
a. Pil a. IUD a. Kontap
b. Suntikan b. Suntikan b. IUD
c. IUD c. Pil c. Implant
d. Implant d. Suntikan
e. Pil
Universitas Sumatera Utara
Umur ≤20 tahun 30-35 tahun

Universitas Sumatera Utara


d) Faktor motivasi. Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari
motivasi dan penerimaan pasangan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk
terus menggunakan kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau
menghentikan sama sekali penggunaan kontrasepsi, dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Mereka yang menggunakan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi
kelahiran mempunyai tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan
mereka yang bertujuan untuk menunda kehamilan.

2.3 Definisi Perilaku

Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus


(rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan
dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor.
Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut
reinforcing stimulation atau reinforcer yang akan memperkuat respons. Oleh karena
itu untuk membentuk perilaku seperti pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang
perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat memperkuat pembentukan perilaku.
Di antara berbagai teori dan model perilaku kesehatan, yang saat ini menonjol
di bidang promosi dan komunikasi kesehatan, salah satunya adalah Model
Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model). Menurut Model Kepercayaan
Kesehatan (Becker, 1974, 1979), perilaku ditentukan apakah seseorang : (1) percaya
bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu; (2) menganggap masalah

Universitas Sumatera Utara


ini serius; (3) meyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan; (4) tidak
mahal; dan (5) menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan. Sebagai
contoh, seorang wanita akan mempergunakan kontrasepsi apabila : (1) dia telah
mempunyai beberapa orang anak dan mengetahui bahwa ia masih potensial untuk
hamil pada beberapa tahun mendatang; (2) melihat kesehatan dan status ekonomi
tetangganya menjadi rusak karena terlalu banyak anak; (3) mendengar bahwa tehnik
kontrasepsi tertentu menunjukkan efektivitas sebesar 95%; (4) sementara itu
kontrasepsi aman dan tidak mahal; dan (5) dianjurkan oleh petugas kesehatannya
supaya mulai memakai kontrasepsi (Graeff, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roger (1974),
menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan dari penelitian tersebut
juga terungkap, bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri
orang tersebut terjadi proses berurutan yaitu:
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus atau obyek.
2. Interest , dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluation (menimbang-nimbang terhadap baik atau tidaknya stimulus


tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial , dimana orang sudah mencoba berperilaku baru.

5. Adaptation, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,


kesadaran, dan sikap terhadap stimulus

Universitas Sumatera Utara


2.3.1 Perbedaan-Perbedaan Perilaku Individu

Mengapa manusia itu berbeda dalam bertindak di antaranya adalah:

1) Manusia berbeda perilakunya karena berbeda kemampuannya. Setiap manusia


memiliki perbedaan dalam berperilaku karena proses penyerapan informasi yang
berbeda dari setiap individu tersebut yang kemudian mempengaruhi perilaku
seseorang dalam bertindak.
2) Manusia berbeda perilakunya karena adanya perbedaan kebutuhan. Hal ini
merupakan bagian dari teori motivasi yang ditemukan oleh para ilmuwan psikologi
seperti, Maslow, Mcleland, McGregor, dan lain-lain. Kebutuhan manusia menjadi
motif secara intrinsik individu tersebut dalam berperilaku.
3) Manusia berbeda karena mempunyai lingkungan yang berbeda dalam
memengaruhinya. Faktor lingkungan sangat berpengaruh pada manusia, suatu
keputusan yang dibuat oleh individu dapat dipengaruhi dengan apa yang terjadi di
luar dari dirinya dengan kata lain motivasi eksternal berperan di sini. Lingkungan
membentuk manusia menjadi lebih baik atau menjadi jahat, ramah, atau sombong.
4) Faktor Like or Dislike with Something. Percaya atau tidak faktor ini juga
memengaruhi seseorang dalam berperilaku, apabila seseorang tidak suka pada
atasannya dalam memimpin, maka apapun yang dikatakan atasan hanya merupakan
masukan tidak langsung dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


Faktor internal Keyakinan
Faktor eksternal Kepercayaan
Harga

Faktor predisposisi
Faktor pemungkin
Faktor pendorong Perilaku

Faktor pola
perencanaan keluarga
Faktor subjektif
Faktor objektif Pemakaian alat
Faktor motivasi kontrasepsi jangka
panjang

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Modifikasi dari Teori Becker (1974),


Roger (1974), Lawrence Green (1980), Affandi (1988)

2.4 Landasan Teori

Faktor keputusan konsumen untuk menggunakan alat kontrasepsi jangka


panjang tidak terlepas dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing

Universitas Sumatera Utara


individu. Adapun faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku dapat dijelaskan
dengan Teori Lawrence Green yang dibedakan dalam tiga jenis yaitu :
1) Faktor predisposisi (Predisposing factors)

Faktor ini merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar
atau motivasi bagi perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap,
keyakinan, nilai dan persepsi yang berkenaan dengan motivasi seseorang atau
kelompok untuk bertindak.

Universitas Sumatera Utara


2) Faktor pemungkin (Enabling factors)

Faktor pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang


memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk dalam faktor
pemungkin adalah ketrampilan, sumber daya pribadi dan komunitas. Seperti
tersedianya pelayanan kesehatan termasuk alat-alat kontrasepsi, keterjangkauan,
kebijakan, peraturan dan perundangan.
3) Faktor pendorong (Reinforcing factors)
Faktor pendorong/penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan
kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung
pada tujuan dan jenis program. Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.

Faktor
predisposisi Perilaku Non perilaku

Faktor
pemungkin Masalah Non
kesehat masalah
an kesehatan

Faktor
pendorong

Universitas Sumatera Utara


K as
u hidup
a
l
i
t

Gambar 2.2 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Kesehatan

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakaian
alat kontrasepsi jangka panjang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Umur

Menurut Notoatmodjo (1993), umur merupakan salah satu faktor yang


memengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam hal pemakaian alat kontrasepsi
jangka panjang. Mereka yang berumur tua mempunyai peluang lebih kecil untuk
menggunakan alat kontrasepsi termasuk alat kontrasepsi jangka panjang
dibandingkan dengan yang muda.
Hasil penelitian Dang di Vietnam (1995) dilaporkan bahwa ada hubungan
yang kuat antara umur dengan penggunaan kontrasepsi. Wanita yang berumur < 20
tahun kemungkinan untuk menggunakan alat kontrasepsi sebesar 0,73 kali
dibandingkan dengan yang berumur 40 tahun atau lebih. Sementara wanita yang
berumur 30-34 tahun dan 35-39 tahun kemungkinannya untuk menggunakan
kontrasepsi hanya sekitar 0,15 dan 0,38. Hal ini menunjukkan adanya penurunan
penggunaan kontrasepsi pada wanita yang lebih tua.
Hasil penelitian Murti (2009) ada hubungan yang kuat antara umur ibu
dengan pemakaian MKJP. Wanita berusia 35-49 tahun 15,1% memakai MKJP
dibandingkan 6,8% pada yang berusia 25-34 tahun dan 2,9% pada wanita berusia 15-
24 tahun.

Universitas Sumatera Utara


2. Jumlah Anak Hidup

Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki, paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman ditinjau dari sudut risiko terjadinya kematian maternal. Paritas 1 dan lebih dari
3 memiliki risiko kematian maternal yang lebih tinggi dibandingkan paritas 2-3.

Hasil penelitian Dang (1995) menemukan ada hubungan yang bermakna


antara jumlah anak dengan pemakaian kontrasepsi. Wanita dengan jumlah anak 4
orang atau lebih memiliki kemungkinan untuk menggunakan alat kontrasepsi sebesar
1,73 kali dibandingkan dengan wanita yang memiliki 2 orang anak atau kurang.

Jumlah anak hidup memengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan


metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup
masih sedikit terdapat kecenderungan untuk menggunakan metode kontrasepsi
dengan efektivitas rendah, sedangkan pada pasangan dengan jumlah anak hidup
banyak terdapat kecenderungan menggunakan metode kontrasepsi dengan efektivitas
tinggi seperti MKJP. Pada wanita dengan jumlah anak hidup 3-4 terdapat 15,2% yang
menggunakan MKJP dibandingkan 8% pada jumlah anak hidup 1-2. Jumlah anak
hidup juga memengaruhi PUS dalam memilih kontrasepsi yang bersifat sementara
atau permanen (MOW) (Purwoko, 2000; Murti, 2009).
3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk


tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman dan dari hasil penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng (long lasting)
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Gerungan, 1986).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Affandi dalam Mutiara (1998), pemilihan alat kontrasepsi oleh PUS
sangat tergantung pada pengetahuannya tentang alat kontrasepsi tersebut, baik yang
didapat dari keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh
masyarakat. Hasil penelitian Purba (2008) juga menunjukkan ada pengaruh yang
bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap pemakaian alat kontrasepsi.
4. Persepsi Nilai Anak

Persepsi (perception) diartikan sebagai tanggapan/wawasan atau proses


mental yang terjadi pada diri manusia yang akan mengacu kepada bagaimana
manusia tersebut mengindra, mereseptor stimulus tertentu (Widayatun, 1999).
Anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua, dan memiliki anak menuntut
beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi karenanya. Latar belakang sosial (tingkat
pendidikan, kesehatan, adat/budaya, pekerjaan, tingkat penghasilan) yang berbeda
menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak. Di daerah pedesaan anak
mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat memberikan kebahagiaan
kepada orang tuanya selain itu akan merupakan jaminan di hari tua dan dapat
membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di desa di Indonesia yang
berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki. Dari Penelitian Mohamad Koesnoe
di daerah Tengger, petani yang mempunyai tanah luas akan mencari anak angkat
sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan oleh proyek VOC (Value Of
Children) menemukan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di pedesaan Taiwan,
Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak dengan alasan bahwa anak
memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi keluarganya (Siregar, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Arnold dan Fawcett dalam Ancok (2006), dengan memiliki anak
orangtua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan dan hal-hal yang
merugikan. Hal-hal yang menguntungkan antara lain : 1) keuntungan emosional; 2)
keuntungan ekonomi dan rasa aman; 3) pengayaan dan pengembangan diri; 4)
identifikasi pada anak; 5) kemesraan keluarga dan keutuhan perkawinan, sedangkan
hal-hal yang merugikan antara lain : 1) beban emosional; 2) beban ekonomi; 3)
berkurangnya keleluasaan dan kesempatan; 4) beban tenaga; 5) beban bagi keluarga.
Cadwell dalam Siregar (2003) mengatakan, di negara maju kekayaan mengalir
dari orang tua ke anak, sedangkan di negara berkembang adalah sebaliknya kekayaan
mengalir dari anak ke orang tua. Jika anak merupakan sumber jaminan ekonomi maka
masyarakat tersebut akan mengalami fertilitas yang tinggi.
5. Dukungan Suami

Menurut McKinley dalam Graeff (1996) individu sangat kuat dipengaruhi


oleh reaksi-reaksi negatif dan positif dari orang-orang dalam kerangka kerja sosial
mereka- keluarga dekat, tetangga, dan tokoh masyarakat tertentu bagi praktik-praktik
kesehatan mereka.
Pemakaian kontrasepsi termasuk kontrasepsi jangka panjang akan semakin
baik jika ada dukungan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Friedman dan Sarwono
dalam Purba (2008), ikatan suami istri yang kuat sangat membantu ketika keluarga
menghadapi masalah, karena suami/istri sangat membutuhkan dukungan dari
pasangannya. Hal itu disebabkan orang yang paling bertanggung jawab terhadap
keluarganya adalah pasangan itu sendiri. Dukungan tersebut akan tercipta apabila

Universitas Sumatera Utara


hubungan interpersonalnya baik. Di dalam masyarakat Indonesia khususnya yang
tinggal di pedesaan, suamilah yang berperan sebagai penentu dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga, sedangkan istri hanya memberikan sumbang saran.
6. Ada/Tidaknya KIE

KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) adalah suatu kegiatan dimana


terjadi proses komunikasi dengan penyebaran informasi yang mempercepat
tercapainya perubahan perilaku dari masyarakat. KIE sebagai salah satu komponen
operasional yang strategis dalam program KB nasional mempunyai fungsi dan
peranan penting guna meningkatkan dan memantapkan penerimaan masyarakat
khususnya tentang KB dan kesehatan reproduksi (BkkbN, 2009). BkkbN,
Departemen Kesehatan, dan institusi kesehatan lainnya, secara bersama-sama
mendorong organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk dapat ikut
menyelenggarakan kegiatan KIE (Saifuddin, 2006).
Komunikasi kesehatan memiliki peran nyata dalam upaya merubah perilaku
kesehatan. Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa komunikasi , melalui
koordinasi dengan komunitas dan sistem pelayanan kesehatan, mampu menghasilkan
perubahan perilaku populasi secara nyata (Graeff, 1996).
Komunikasi/konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam
pelayanan KB. Dengan melakukan konseling berarti petugas membantu klien dalam
memilih dan memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan
kebutuhannya. Konseling yang baik juga akan membantu klien dalam menggunakan
kontrasepsinya lebih lama dan meningkatkan keberhasilan KB. Konseling KB dapat

Universitas Sumatera Utara


dilakukan oleh petugas lapangan (PPLKB, PLKB, PKB, PPKBD, dan kader) yang
sudah mendapatkan pelatihan atau oleh petugas medis dan paramedis (dokter, bidan,
perawat, bidan desa) (Saifuddin, 2006).

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori dari Green, maka peneliti merumuskan kerangka konsep


penelitian sebagai berikut :
Variabel Independen

Variabel Dependen
Faktor predisposisi :
1. Karakteristik responden
(Umur, Jumlah anak hidup)
2. Pengetahuan
3. Persepsi nilai anak

Faktor pendorong : Pemakaian metode


1. Dukungan suami
2. Ada/tidaknya KIE kontrasepsi jangka
panjang pada isteri PUS

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik responden
(umur dan jumlah anak hidup), pengetahuan, persepsi nilai anak, dukungan suami,
dan ada/tidaknya KIE, sedangkan variabel dependen adalah pemakaian metode
kontrasepsi jangka panjang pada isteri PUS.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai