KOLINERGIK
Disusun oleh :
SEMESTER 3 KARYAWAN
Sistem saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis dan
merupakan Sistem saraf utama dari tubuh. Sistem saraf tepi, terletak diluar otak
dan medula spinalis, terdiri dari 2 bagian; otonom dan somatic. Setelah ditafsirkan
oleh SSP, Sistem saraf tepi menerima rangsangan dan memulai respon terhadap
rangsangan itu.
Sistem saraf otonom (SSO), juga disebut sebagai sistem saraf visceral,
bekerja pada otot polos dan kelenjar. Fungsi dari SSO adalah mengendalikan dan
mengatur jantung, Sistem pernapasan, saluran gastrointestinal, kandung kemih,
mata dan kelenjar. SSO mempersarafi (bekerja pada) otot polos, tetapi SSO
merupakan sistem saraf involunter yangkita tidak atau sedikit bisa dikendalikan.
Kita bernapas jantung kita berdenyut, dan peristaltik terjadi tanpa kita sadari.
Tetapi, tidak seperti Sistem saraf otonom, sistem saraf somatik merupakan sistem
volunter yang mempersarafi otot rangka, yang dapat kita kendalikan.
Dua peringkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah:
1. Neuron aferen, atau sensorik, dan
2. Neuron eferen, atau motorik
Neuron aferen mengirimkan impuls ke SSP, dimana impuls itu
diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan
meneruskan impuls ini melalui medula spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur
eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang; saraf simpatis dan
parasimpatis, yang keseluruhannya disebut sebagai sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis
System saraf pusat
Sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis bekerja pada organ-
organ yang sama tetapi menghasilkan respons yang berlawanan agar tercapainya
homeostasis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan
parasimpatis dapat berupa respons yang merangsang atau menekan.
Jaringan organ tubuh Respons simpatis Respons
parasimpatis
Dilatasi pupil Kontriksi pupil
mata
Dilatasi bronkiolus Kontriksi bronkiolus
dan sekresi bertambah
paru-paru
Denyut jantung Denyut jantung
meningkat menurun
jantung
Kontriksi pembuluh Dilatasi pembuluh
darah darah
pembuluh darah
Relaksasi otot polos Peristaltik meningkat
dari saluran
gastrointestinal
gastrointestinal
Relaksasi otot kandung Kontraksi kandung
kemih kemih
kandung
kemih
Relaksasi otot uterus
uterus
Salvasi bertambah
kelenjar
saliva
Efek simpatis dan parasimpatis pada jaringan tubuh
A. Kolinergik (parasimpatomimetik)
1. Pengertian Parasimpatomimetika
Parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis
(SP), karena melepaskan neuron asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan
dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila
neuron SP dirangsang timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan
istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi
pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (Hcl), juga sekresi mata, memperkuat sirkulasi, antara
lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan
tekanan darah, memperlamba pernafasan, antara lain dengan menciutkan
bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan
efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler
akibatnya lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan
ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan
kontraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat dibedakan
menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan afinitas
terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik
2. Reseptor kolinergik
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat
dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan
afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.
a) Reseptor muskarinik
Selain berikatan dengan ACh, reseptor muskarinik juga berikatan
dengan muskarin, yaitu suatu alkaloid yang terdapat pada jamur
beracun. Reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas yang lemah
terhadap nikotin. Hasil studi-studi ikatan (binding study) dan dengan
memberikan penghambat tertentu, telah dapat ditemukan beberapa
subtype reseptor muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Reseptor
muskarinik dapat ditemukan dalam ganglia Sistem saraf efektor dan
organ efektor otonom seperti, jantung, otot polos, otak, dan kelenjar
eksokrin. Kelima reseptor M tersebut terdapat dalam neuron, dan juga
ditemukan reseptor M1 dalam didalam sel parietal lambung, reseptor
M2 didalam otot jantung dan otot polos, serta reseptor M3 di dalam
kelenjar eksokrin dan otot polos. Reseptor muskarinik didalam
jaringan-jaringan diatas lebih peka terhadap obat muskarinik, namun
dalam dosis tinggi muskarinik dapat pula memacu reseptor nikotinik.
3. Obat-Obat Kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter
asetilkolin. Kolinergik juga disebut parasimpatomimetik karena
menghasilkan efek yang mirip dengan perangsangan Sistem saraf
parasimpatis.
Obat-obat kolinergik memiliki 3 indikasi utama, yaitu:
1. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi
mata
2. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
3. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis.
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obat-
obat blokade neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona.
Obat –obat kolinergik memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan salah
satu dari 2 cara yaitu bekerja mirip dengan asetilkolin atau menghambat
destruksi asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase di tempat-tempat
reseptornya.
Klasifikasi
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu, kerjanya
mirip dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat
dikelompokkan berdasarkan:
1. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik; dan
2. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada reseptor
asetilkolin atau secara tidak langsung melalui penghambatan
asetilkolinesterase. Beberapa obat, seperti neostigmin termasuk dalam
lebih dari satu subkelas.
Sediaan-sediaan
1) Asetilkolin
Merupakan senyawa ammonium kuartener dengan aktifitas
muskarinik dan nikotinik serta tidak dapat menembus membrane sel.
Tidak dapat digunakan untuk pengobatan karena kerjanya yang
berlangsung sangat cepat dan segera diinaktifkan oleh enzim
asetilkolinesterase
2) Metakolin
Masa kerja lebih lama resisten terhadap hidrolisis oleh kolinesterase
non spesifik, relative resisten terhadap hidrolisi oleh ACh.
Indikasi:
a) Pengobatan gawat darurat glaukoma sudut sempit untuk
menurunkan intraocular
b) Uji diagnostik untuk pasien yang diduga mengidap asma.
3) Karbakol
Merupakan ester asam karbamat yang juga merupakan substrat yang
tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Karena potensinya yang cukup
tinggi dan kerjanya berlangsung lama, obat ini jarang digunakan
untuk terapi, kecuali untuk mata sebagai miotikum dan untuk
menurunkan tekanan dalam bola mata.
4) Betanekol
Mempunyai struktur kimia yang berkaitan dengan ACh. Bekerja
secara langsung memacu reseptor muskarinik sehingga meningkatkan
tonus dan motilitas usus, meningkatkan tonus otot detrusor kandung
kemih, serta merelaksasi trigonum dan sfingter sehingga berefek
pengeluaran urine. Indikasi: pengobatan atonia kandung kemih pasca
persalinan atau pascabedah
5) Pilokarpin
Merupakan suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase, termasuk obat yang lemah disbanding dengan
asetilkolin dan turunannya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik
dan digunakan untuk oftalmologi, serta di indikasikan dalam terapi
glaukoma.
b. Obat AntiKolinesterase (Kolinergik Kerja Tidak Langsung)
Antikolinesterase menghambat enzim asetilkolinesterasi (yang
menguraikan ACh menjadi asetat dan kolin) sehingga ACh menumpuk
ditempat reseptor ACh. Akibatnya, stimulasi reseptor kolinergik di
seluruh tubuh berlangsung lebih lama. Dalam golongan ini kita kenal dua
kelompok obat yaitu :
1) Golongan karbamat (ester asam karbamat), dapat disebut juga
golongan antikolinesterase reversible, kecuali edrofonium yang
bukan merupakan suatu ester. Obat yang termasuk dalam golongan
ini adalah ambenonium, edrofonium klorida, neostigmin, fisostigmin
salisilat, dan pridostigmin.
2) Golongan fosfat (ester asam fosfat) atau golongan ireversibel.
Mempunyai masa kerja yang sangat lama, dan membentuk kompleks
yang sangat stabil dengan enzim serta dihidrolisis dalam waktu
berhari-hari atau berminggu-minggu
Mekanisme Kerja:
Obat-obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek ach pada
tempat reseptor dalam SSP atau ganglia otonomik, pada sel-sel efektor di
viscera, dan pada motor end plate. Bergantung pada tempat kerja, dosis
obat, dan masa kerjanya, obat-obat ini dapat memberikan efek stimulasi
atau efek depresi pada reseptor kolinergik
Efek Samping:
Efek samping yang umum terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada
mata berupa penglihatan kabur, penurunan akomodasi, miosis; pada kulit
akan keluar banyak keringat; pada saluran cerna akan terjadi peningkatan
salvias, kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.
Efek brokontriksi: nafas terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada.
Vasodilatasi: penurunan denyut jantung dan pengurangan kontraksi otot
jantung.
Efek pada SSP: Irritabilitas, ansietas atau rasa takut (pada beberapa
kasus), dan terjadi kejang.
Fisostigmin
Fisostigmin berupa amin tersier suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang
terdapat dalam tumbuh-tumbuhan). Obat ini adalah substrat untuk
asetilkolinesterase, dan membentuk senyawa perantara enzim-substrat
yang relative stabil yang berfungsi menginaktifkan secara reversible
ACh.
Edrofonium
Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai kerja mirip
dengan neostigmin; dan bila dibandingkan dengan neostigmin, obat ini
lebih cepat diserap dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit).
Penggunaan klinisnya untuk miastenia gravis (kelemahan otot).
Kelebihan dosis dapat menimbulkan krisis kolinergik. Bila terjadi
keracunan berikan atropine sebagai antidotum.
BAB IV
KESIMPULAN