Dokumen - Tips - Trauma Inhalasi 5649a1e0b7a7c
Dokumen - Tips - Trauma Inhalasi 5649a1e0b7a7c
Meskipun penanganan yang baik di unit perawatan luka bakar saat ini
telah menurunkan mortalitas akibat luka bakar superfisial, mortalitas injuri
pulmonal justru meningkat. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat
segera ditegakkan, tidak ada uji skrining yang sensitif, dan gejala-gejalanya
dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma. 6
1
TINJAUAN PUSTAKA
PRODUKSI ASAP
Produksi asap dapat dibagi menjadi dua kelompok: partikel dan gas.
Keduanya dapat menyebabkan trauma jalan nafas, meskipun mekanisme kerja
dan daerah yang terkena trauma berbeda.
2
di jalan nafas bagian atas, menyebabkan rasa nyeri di mulut, hidung, faring,
bahkan di kedua mata. Sebaliknya, gas-gas yang kurang larut dalam air
bertanggung jawab atas injuri di jalan nafas yang lebih distal, dan oleh karena
hanya sedikit mengiritasi jalan nafas maka hanya sedikit gejala yang timbul
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya injuri parenkim. Gas-gas
asfiksian didefinisikan sebagai gas-gas yang menggeser oksigen dari
lingkungan. Penggeseran oksigen disebabkan baik oleh penurunan fraksi
oksigen terinspirasi (FiO2) dan mekanisme lainnya yang mencegah
pengambilan dan pendistribusian oksigen dalam sistem kardiovaskuler.
Konsekuensinya, baik karbon dioksida (yang menurunkan fraksi oksigen di
lingkungan) dan karbon monoksida (yang mengikat hemoglobin sehingga
menurunkan suplai oksigen ke jaringan) digolongkan sebagai gas asfiksian. 7,8
3
Gambar 1. Hasil akhir trauma inhalasi menurut tipe pemaparan yang lebih dominan.7
4
MEKANISME INJURI
Selama kebakaran, konsentrasi oksigen turun dengan cepat sampai api itu
padam. Lamanya proses ini bergantung pada jenis bahan bakar. Pada
kebanyakan kasus kebakaran oleh petroleum, api akan padam saat fraksi
oksigen turun hingga kisaran 13-15%. Bila bahan yang terbakar mengandung
oksigen, kebakaran dapat bertahan dengan FiO2 kurang dari 10%. Penurunan
FiO2 ini akan menyebabkan korban mengalami dispnea atau pusing, yang
dapat diikuti kekacauan mental, mati rasa, koma, dan bahkan kematian bila
turun hingga 5%. 8,11
3) Toksin lokal
5
hingga 24 jam setelah terpapar dan dapat disertai perubahan permeabilitas
kapiler, aliran limfatik, atau klirens mukosiliaris, sebagaimana juga sindrom
distress pernafasan akut atau infeksi sekunder. Lokasi injuri tergantung pada
kelarutan zat-zat tersebut dalam air. Zat-zat yang sangat mudah larut dalam air
seperti acrolein, sulfur dioksida, ammonia, dan hidrogen klorida menyebabkan
injuri di saluran napas bagian atas. 12
4) Toksin Sistemik
Di antara zat-zat yang memicu efek sistemik, dua gas yang paling penting:
karbon monoksida dan sianida (keduanya dihubungkan dengan tingginya
morbiditas dan mortalitas).
6
oleh hipotensi, kejang-kejang, apnea, dan henti jantung dalam keadaan asistol.
11
7
Tabel 1. Gas-gas inhalan 8, 12
Iritan Ammonia Pupuk, bahan pendingin, Kerusakan epitel jalan nafas atas
bahan pewarna tekstil,
plastik, nilon
Klorin Zat pemutih, disinfektan Kerusakan epitel jalan nafas bawah
air, produk-produk
pembersih
Sulfur dioksida Pembakaran batu bara, Kerusakan epitel jalan nafas atas
minyak, bahan bakar
kompor
Nitrogen dioksida Pembakaran disel, Kerusakan epitel bronkiolus terminal
pengelasan, pembuatan
bahan pewarna tekstil,
laker, wall paper.
8
DIAGNOSIS TRAUMA INHALASI
Gejala Klinis
Pemeriksaan Radiologis
9
sekunder. Pemeriksaan radiologis yang berulang penting untuk menegakkan
diagnosis yang akurat sedini mungkin.
10
Gambar 2. Foto thoraks yang diambil 36 jam setelah inhalasi klorin menunjukkan gambaran
nodul opak difus di kedua lapang paru. 13
Bronkoskopi
11
Diagnosis trauma inhalasi ditegakkan melalui pemeriksaan jalan nafas
bagian atas dan trakea. Adanya edema atau eritema, ulserasi di jalan nafas
bagian bawah atau bahkan adanya serbuk di bagian yang lebih distal patut
dicurigai sebagai trauma inhalasi. Akan tetapi, tanpa adanya tanda-tanda ini
pun status hemodinamik pasien harus selalu diperhatikan oleh karena sejak
bronkoskopi awal mungkin tidak menunjukkan adanya edema atau eritema
pada pasien-pasien yang belum diberikan resusitasi cairan. Terlepas dari
pengecualian ini, bronkoskopi memiliki akurasi hampir 100% dalam
menegakkan diagnosis trauma inhalasi.
12
Kadar yang tinggi adalah indikasi adanya intoksikasi. Akan tetapi perlu
diingat bahwa kadar ini menurun sejalan dengan waktu dan terapi.
Karboksihemoglobin dapat normal bila diperiksa di rumah sakit beberapa saat
setelah terpapar dan dapat mengarahkan diagnosis yang negatif palsu.
Karakteristik lain adanya karboksihemoglobin adalah overestimasi oksigenasi
dengan oksimetri pulsa. Oksimeter konvensional tak dapat membedadakan
antara panjang gelombang dari oksihemoglobin dengan yang dari
karboksihemoglobin, yang berakibat peningkatan saturasi oksigen palsu. 7,8
Radioisotop
13
Secara umum, dari tes faal paru dapat ditemukan sebagai berikut:
komplians statis dan dinamis sistem respirasi yang normal pada stadium awal
trauma, yang secara progresif menurun seiring perjalanan penyakit, atau bahkan
pada stadium kronis saat proses perbaikan mengarah ke keadaan restriktif,
dibuktikan dengan komplians sistem respirasi yang menurun dan resistensi jalan
nafas yang meningkat, sejalan dengan penurunan forced expiratory
volume in one second, rasio forced expiratory volume in one
second/forced vital capacity, dan peak expiratory flow, yang
disebabkan oleh akumulasi debu dan sekresi serta edema
mukosa jalan nafas.
14
diakibatkan trauma inhalasi. Konsekuensinya, trakeostomi tidak diindikasikan
sebagai terapi umum. 15
Oksigenasi
15
mencegah efek samping retensi karbon dioksida yang berbahaya, akibat
pemberian fraksi oksigen terinspirasi yang tinggi. 7
Bantuan Ventilasi
16
tahap lanjut (dengan tanda-tanda ARDS yang jelas), perlu menggunakan
strategi rekrutmen alveolus dan volume tidal rendah. 2, 5
Terapi Antibiotika
Penggunaan awal antibiotika pada saat belum ada bukti jelas infeksi
tidak meningkatkan survival ataupun mengurangi kemungkinan terjadinya
pneumonia, yang dianggap sebagai komplikasi infeksi tersering yang
berkaitan dengan trauma inhalasi. Oleh karena itu penggunaannya tidak
dianjurkan.
Insidensi infeksi tertinggi terjadi pada hari ketiga sejak kejadian luka
bakar. Terapi antibiotika harus dimulai berdasarkan penemuan radiologis,
pemeriksaan sputum, dan leukositosis. Yang terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada kasus yang lebih akut, bakteri
gram positif lebih dominan. Kegunaan bronkoskopi untuk lavase bronkus dan
identifikasi zat penyebab, baik sebagai identifikasi awal ataupun untuk
menyesuaikan regimen antibiotik empiris, masih harus diteliti.
17
Tindakan Spesifik Sesuai Patofisiologi Yang Dominan
18
alkalosis respiratorik akibat hipokapnia. Hiperventilasi mengurangi waktu
paruh karboksi-hemoglobin, dengan demikian meminimalisasi efek berbahaya
dari intoksikasi. 20
19
SIMPULAN
1. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat segera ditegakkan, dan gejala-
gejalanya dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma.
4. Pada setiap kejadian trauma inhalasi, harus dicari tanda dan gejala yang
mengarah kepada intoksikasi. Adalah penting untuk secara aktif mencari
intoksikasi yang berhubungan dengan trauma inhalasi terutama bila ada
keterlibatan sistem saraf pusat.
20
6. Yang terpenting dalam penanganan pasien-pasien dengan trauma inhalasi
adalah mempertahankan jalan nafas dan mengatasi intoksikasi karbon
monoksida dengan oksigenasi. Penggunaan fraksi oksigen tinggi
dianjurkan untuk semua kasus yang dicurigai intoksikasi, meskipun hanya
sedikit gejala yang ditunjukkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryan CM, Schoenfeld DA, Thorpe WP, Sheridan RL, Cassem EH,
Tompkins RG. Objective estimastes of the probability of death from burn
injuries. New Engl J Med 1998; 338: 362-6.
3. Istre GR, McCoy MA, Osborn L. Deaths and injuries from house fires. N
Engl J Med 2001; 344(25): 1911-6.
5. Darling GE, Keresteci MA, Ibanez D, Pugash RA, Peters WJ, Neligan PC.
Pulmonary complications in inhalation injuries with associated cutaneous
injury. J Trauma 1996; 40: 83-9.
21
6. Barillo DJ, Goode R. Fire fatality study: demographics of fire victims.
Burns 1996; 22(2): 85-8.
9. Oldham KT, Guice KS, Till GO, Ward PA. Activation of complement by
hydroxyl radical in thermal injury. Surgery 1988; 138: 1060-3.
10. Ward PA, Till GO. Pathophysiologic events related to thermal injury of
skin. J Trauma 1990; 30: 75-9.
12. Rorison DG, McPherson SJ. Acute toxic inhalations. Emerg Med Clin
North Am 1992; 10(2): 409-35.
13. Parimon T, Kanne JP, Pierson DJ. Acute inhalation injry with evidence of
diffuse bronchiolitis following chlorine gas exposure at a swimming pool :
Case report. Respire Care 2004; 49(3): 291-4.
15. Saffle JR, Morris SE, Edelman L. Early tracheostomy does not improve
outcome in burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 23: 431-8.
16. Weaver LK, Hopkins RO, Chan KJ. Hyperbaric oxygen for acute carbon
monoxide poisoning. N Engl J Med 2002; 347(14): 1057-67.
22
17. Weaver LK, Howe S, Hopkins R, Chan KJ. Carboxyhemoglobin half-life
in carbon monoxide-poisoned patients treated with 100% oxygen at
atmospheric pressure. Chest 2000; 117(3): 801-8.
19. Hampson NB, Zmaeff JL. Outcome of patients experiencing cardiac arrest
with carbon monoxide poisoning treated with hyperbaric oxygen. Ann
Emerg Med 2001; 38(1): 36-41.
21. Tasaki O, Mozingo DW, Dubick MA, Goodwin CW, Yantis LD, Pruitt BA
Jr. Effects of heparin and lisofyline on pulmonary function after smoke
inhalation injury in an ovine model. Crit Care Med 2002; 30: 637-43.
23