Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

Trauma inhalasi adalah akibat dari respons inflamasi jalan nafas


terhadap inhalasi bahan-bahan yang terbakar tidak sempurna, dan merupakan
1,2
penyebab kematian tertinggi (sampai 77%) pada pasien-pasien luka bakar.
Kira-kira 33% pasien dengan luka bakar yang luas menderita trauma inhalasi,
dan risikonya meningkat sesuai dengan luas permukaan tubuh yang terbakar.
Trauma inhalasi yang berdiri sendiri akan meningkatkan mortalitas sebesar
20%. 2

Trauma inhalasi telah dikenal sejak abad pertama Masehi. Banyak


korban musibah kebakaran menderita trauma inhalasi dan trauma panas.
Trauma inhalasi yang disebabkan oleh asap dan produk-produk noksius dari
luka bakar merupakan 75% penyebab kematian akibat luka bakar di Amerika
Serikat. Kasus kematian tersebut banyak yang sebenarnya dapat dihindari. 3,4

Di Amerika Serikat luka bakar adalah penyebab kematian akibat


kecelakaan nomor tiga pada semua kelompok umur, nomor dua untuk
penyebab kematian di rumah untuk semua kelompok umur, dan khusus untuk
anak-anak dan dewasa muda menjadi penyebab kematian di rumah nomor
satu. Insidensi trauma inhalasi meningkat sesuai luas permukaan tubuh yang
terbakar. Pada luka bakar 5% insidensinya kurang dari 10% sedangkan pada
luka bakar 85% atau lebih mencapai 80%. Trauma inhalasi terdapat pada
sepertiga dari pasien-pasien yang dirawat di unit luka bakar. Adanya trauma
inhalasi memberikan efek mortalitas yang lebih tinggi daripada usia pasien
maupun luas permukaan tubuh yang terbakar. 4,5

Meskipun penanganan yang baik di unit perawatan luka bakar saat ini
telah menurunkan mortalitas akibat luka bakar superfisial, mortalitas injuri
pulmonal justru meningkat. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat
segera ditegakkan, tidak ada uji skrining yang sensitif, dan gejala-gejalanya
dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma. 6

1
TINJAUAN PUSTAKA

PRODUKSI ASAP

Asap dapat dihasilkan dari pembakaran bahan apapun dan merupakan


suatu campuran gas dan partikel dalam suspensi. Produksi asap bergantung
pada dua proses: pirolisis dan oksidasi. Pirolisis adalah fenomena di mana
elemen-elemen bahan bakar dibebaskan melalui pencampuran dan pemanasan
oleh panas semata-mata. Oksidasi adalah proses reaksi kimiawi antara oksigen
dan molekul-molekul bahan bakar, yang memecahkannya menjadi komponen-
komponen kecil dan menghasilkan cahaya serta panas. Sebagai contoh akibat
oksidasi adalah karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur
dioksida (SO2). Proses manapun dari kedua itu yang lebih menonjol, bersama
dengan suhu, ventilasi, dan jenis bahan yang terbakar di sekitarnya, dapat
menyebabkan produksi elemen-elemen asap dalam jumlah besar, masing-
masing dengan tingkat toksisitas dan mekanisme injuri yang khas. 7

Produksi asap dapat dibagi menjadi dua kelompok: partikel dan gas.
Keduanya dapat menyebabkan trauma jalan nafas, meskipun mekanisme kerja
dan daerah yang terkena trauma berbeda.

Partikel dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas melalui deposisi


(secara langsung) dan merangsang bronkospasme (secara tak langsung).
Bergantung pada ukuran partikel, daerah yang terkena bervariasi. Partikel
lebih besar dari 5 m cenderung deposit di jalan nafas atas, sedangkan yang
lebih kecil dari 1 m dapat mencapai kantong alveolus. Meningkatnya aliran
udara yang disebabkan oleh takipnea dapat mengakibatkan peningkatan
deposit partikel di jalan nafas yang lebih distal. 8

Berdasarkan mekanisme kerjanya, gas dapat dibagi menjadi dua


kategori: iritan dan asfiksian. Gas-gas iritan menyebabkan injuri mukosa
melalui reaksi denaturasi atau oksidasi. Gas-gas ini dapat menyebabkan
bronkospasme, trakeobronkitis kimiawi, dan bahkan edema paru. Daerah kerja
gas iritan bergantung terutama pada kelarutannya dalam air. Gas-gas yang
lebih larut seperti amoniak dan sulfur dikosida umumnya menghasilkan reaksi

2
di jalan nafas bagian atas, menyebabkan rasa nyeri di mulut, hidung, faring,
bahkan di kedua mata. Sebaliknya, gas-gas yang kurang larut dalam air
bertanggung jawab atas injuri di jalan nafas yang lebih distal, dan oleh karena
hanya sedikit mengiritasi jalan nafas maka hanya sedikit gejala yang timbul
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya injuri parenkim. Gas-gas
asfiksian didefinisikan sebagai gas-gas yang menggeser oksigen dari
lingkungan. Penggeseran oksigen disebabkan baik oleh penurunan fraksi
oksigen terinspirasi (FiO2) dan mekanisme lainnya yang mencegah
pengambilan dan pendistribusian oksigen dalam sistem kardiovaskuler.
Konsekuensinya, baik karbon dioksida (yang menurunkan fraksi oksigen di
lingkungan) dan karbon monoksida (yang mengikat hemoglobin sehingga
menurunkan suplai oksigen ke jaringan) digolongkan sebagai gas asfiksian. 7,8

3
Gambar 1. Hasil akhir trauma inhalasi menurut tipe pemaparan yang lebih dominan.7

4
MEKANISME INJURI

Ada empat mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya injuri


inhalasi:

1) Injuri termal langsung

Injuri yang berhubungan dengan tingginya suhu asap yang terhirup


jarang terjadi di daerah di bawah laring. Asap cenderung kering, sehingga
kecil kemungkinan terjadinya pertukaran panas. Percobaan pada binatang
menunjukkan bahwa jika udara dengan suhu 142°C dihirup, pada saat
mencapai carina suhunya turun menjadi 38°C. Sebagai tambahan, area
supralaring memiliki kapasitas pertukaran panas yang lebih besar oleh karena
mukosa yang mengandung jumlah air yang relartif banyak. Injuri jalan nafas
atas ditandai dengan adanya eritema, edema, dan ulserasi di mukosa, juga
9,10
berpotensi perdarahan lokal atau bahkan obstruksi di daerah yang terkena.
Kecuali uap air, gas yang meledak dan uap cairan panas oleh karena udara
yang lembab lebih kuat menghantarkan panas daripada udara kering. 10

2) Inhalasi gas hipoksik

Selama kebakaran, konsentrasi oksigen turun dengan cepat sampai api itu
padam. Lamanya proses ini bergantung pada jenis bahan bakar. Pada
kebanyakan kasus kebakaran oleh petroleum, api akan padam saat fraksi
oksigen turun hingga kisaran 13-15%. Bila bahan yang terbakar mengandung
oksigen, kebakaran dapat bertahan dengan FiO2 kurang dari 10%. Penurunan
FiO2 ini akan menyebabkan korban mengalami dispnea atau pusing, yang
dapat diikuti kekacauan mental, mati rasa, koma, dan bahkan kematian bila
turun hingga 5%. 8,11

3) Toksin lokal

Di antara berbagai komponen asap, akrolein, formaldehida, sulfur dioksida,


dan nitrogen dioksida dapat menyebabkan injuri jalan nafas secara langsung
sebagai akibat proses inflamasi akut yang dimediasi oleh leukosit
polimorfonuklear, terutama neutrofil. Gejala-gejalanya mungkin tidak muncul

5
hingga 24 jam setelah terpapar dan dapat disertai perubahan permeabilitas
kapiler, aliran limfatik, atau klirens mukosiliaris, sebagaimana juga sindrom
distress pernafasan akut atau infeksi sekunder. Lokasi injuri tergantung pada
kelarutan zat-zat tersebut dalam air. Zat-zat yang sangat mudah larut dalam air
seperti acrolein, sulfur dioksida, ammonia, dan hidrogen klorida menyebabkan
injuri di saluran napas bagian atas. 12

4) Toksin Sistemik

Di antara zat-zat yang memicu efek sistemik, dua gas yang paling penting:
karbon monoksida dan sianida (keduanya dihubungkan dengan tingginya
morbiditas dan mortalitas).

Intoksikasi karbon monoksida adalah penyebab kematian tersering pada pasien


yang menderita trauma inhalasi. Karbon monoksida memiliki afinitas dengan
hemoglobin yang kuat, antara 200-300 kali lebih kuat daripada afinitas
oksigen dengan hemoglobin. Produksi karboksihemoglobin tidak
memungkinkan transpor oksigen, bukan hanya menyebabkan penurunan
saturasi oksihemoglobin, tetapi juga menggeser kurva disosiasi ke kiri dan
mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Sebagai tambahan, inhibisi
kompetitif dengan sistem sitokrom oksidase, terutama sitokrom P450,
meningkatkan penggunaan oksigen untuk produksi energi. Karbon monoksida
juga berikatan dengan myoglobin yang berakibat turunnya penyimpanan
oksigen dalam otot.11-12

Inhalasi karbon monoksida sebesar 0,2%, akan membentuk


karboksihemoglobin 1% setiap menit. Jika pasien melakukan pekerjaan berat,
kecepatannya menjadi 2,4% per menit, dan dalam 45 menit karbon monoksida
akan mengikat 76% hemoglobin, konsentrasi yang dapat menyebabkan
kematian. Anjing sadar yang menghirup 1% karbon monoksida hampir selalu
mencapai saturasi karboksihemoglobin 80% dalam waktu singkat, dan
mengalami kematian tiba-tiba. Tidak ada peningkatan usaha nafas, oleh karena
kemoreseptor perifer sensitif terhadap penurunan PO2 bukan kandungan
oksigen. Urutan kejadiannya adalah penurunan kesadaran, yang segera diikuti

6
oleh hipotensi, kejang-kejang, apnea, dan henti jantung dalam keadaan asistol.
11

Pembakaran plastik, poliuretan, wool, sutera, nitril, karet, dan produk


kertas dapat menyebabkan produksi gas sianida. Sianida juga terdapat dalam
bentuk kristal padat yang terikat berikatan dengan garam natrium dan kalium.
Juga bannyak ditemukan dalam makanan seperti singkong dan dalam apel, pir,
dan aprikot. Hidrogen sianida adalah gas tak berwarna dengan aroma kenari
pahit yang dapat dideteksi oleh 40% populasi. Sianida 20 kali lebih toksik
daripada karbon monoksida dan dapat segera menyebabkan henti nafas.

Toksisitas sianida juga disebabkan oleh penghambatan oksigenasi


seluler, yang menyebabkan anoksia jaringan melalui inhibisi enzim-enzim
sitokrom oksidase (Fe3+) yang reversibel. Penghambatan jalur glikolisis
aerobik mengubah metabolisme menjadi jalur anaerobik alternatif, yang
menyebabkan akumulasi produk-produk asam sampingan. 12

Jenis dan lamanya pemaparan atau mekanisme yang lebih dominan


akan menentukan tipe evolusi trauma inhalasi. 11

7
Tabel 1. Gas-gas inhalan 8, 12

Tipe Inhalan Sumber Mekanisme injuri

Iritan Ammonia Pupuk, bahan pendingin, Kerusakan epitel jalan nafas atas
bahan pewarna tekstil,
plastik, nilon
Klorin Zat pemutih, disinfektan Kerusakan epitel jalan nafas bawah
air, produk-produk
pembersih
Sulfur dioksida Pembakaran batu bara, Kerusakan epitel jalan nafas atas
minyak, bahan bakar
kompor
Nitrogen dioksida Pembakaran disel, Kerusakan epitel bronkiolus terminal
pengelasan, pembuatan
bahan pewarna tekstil,
laker, wall paper.

Asfiksian Karbon monoksida* Pembakaran ilalang, batu Berkompetisi dengan oksigen


bara, gas menempati tempat beikatan pada
hemoglobin, myoglobin, protein-protein
mengandung heme
Hidrogen sianida† Pembakaran poliurethane, Asfiksiasi jaringan melalui
nitrosellulosa (sutera, penghambatan aktivitas oksidase
nilon, wool) sitokrom intrasel, menghambat produksi
ATP, yang berakibat anoksia sel.
Hidrogen sulfida‡ Fasilitas pengolahan Mirip dengan sianida, asfiksiasi
sampah, gas vulkanik, jaringan melalui penghambatan aktivitas
tambang batu bara, oksidase sitokrom, berakibat kerusakan
sumber air panas alami rantai transpor elektron, menghasilkan
metabolisme anaerobik
Toksin Hidrokarbon Penyalahgunaan inhalan Narkosis SSP, status anestetikus,
sistemik (toluena, benzena, gejala gastrointestinal difus, nueropati
Freon); aerosol; lem; periferer dengan kelemahan, koma,
bensin; pembersih kematian mendadak, pneumonitis
pewarna kuku; cairan kimiawi, kelainan SSP, iritasi
penghapus; menelan gastrointestinal, kardiomyopati, toksisitas
pelarut minyak, kerosen, ginjal.
cairan pelitur
Organofosfat Insektisida, gas saraf Menghambat asetilkolinesterase, krisis
kolinergik dengan peningkatan
asetilkolin
Asap metal Metal oksida dari seng, Gejala-gejala mirip flu, demam,
tembaga, magnesium, myalgia, kelemahan
pembuatan perhiasan
 * Komponen terbesar dalam asap
† Seperti bau buah kenari, komponen dari asap
‡ Seperti bau telur busuk

8
DIAGNOSIS TRAUMA INHALASI

Gejala Klinis

Selain riwayat menghirup asap dalam ruang tertutup, beberapa tanda


dan gejala patut dicurigai sebagai trauma inhalasi. Pada setiap kejadian harus
dicari tanda dan gejala yang mengarahkan kemungkinan intoksikasi zat-zat
tertentu. Karbon monoksida, misalnya, cenderung mempengaruhi sistem saraf
pusat dan jantung. Konsekuensinya, apabila terpapar zat ini dapat
menyebabkan gejala sakit kepala, gangguan penglihatan atau kekacauan
mental dan dapat mengakibatkan takikardia, angina, aritmia, bahkan kejang
dan koma.

Adalah penting untuk secara aktif mencari intoksikasi yang


berhubungan dengan trauma inhalasi terutama bila ada keterlibatan sistem
saraf pusat. Jika memungkinkan, pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan.
Dalam kasus karbon monoksida, misalnya, di mana kadar karboksihemoglobin
dalam serum dapat memperlihatkan intoksikasi, diagnosis dengan mudah
dapat ditegakkan karena kecurigaan itu berdasarkan bukti klinis. Untuk kasus-
kasus di mana diagnosis pasti tak dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
laboratoium, baik oleh karena tidak ada standar atau pemeriksaan tidak
tersedia, seperti pada intoksikasi sianida, pengelolaan presumtif harus dimulai
berdasarkan kecurigaan klinis. 7

Pemeriksaan Radiologis

Pada hampir semua pasien, foto thoraks awal menunjukkan hasil


normal sehingga kecil kemungkinan untuk memprediksi diagnosis trauma
inhalasi akut. Akan tetapi, bila foto thoraks menunjukkan infiltrat baru, hal itu
membuktikan trauma inhalasi yang lebih berat, sehingga mengindikasikan
prognosis yang buruk. Kegunaan utama foto thoraks adalah untuk
mengidentifikasi infiltrat baru selama evolusi trauma inhalasi pada stadium
subakut dan kronik, misalnya acute respiratory distress syndrome. Kita harus
ingat bahwa stadium kronis trauma inhalasi ditandai dengan infeksi respirasi

9
sekunder. Pemeriksaan radiologis yang berulang penting untuk menegakkan
diagnosis yang akurat sedini mungkin.

Sebagai contoh, pada gambar 2 tampak gambaran radiologis


berupa nodul-nodul opak difus di kedua lapang dada pada seorang laki-laki 23
tahun yang sebelumnya sehat dan kemudian menderita trauma inhalasi klorin.
Foto thoraks pada saat pasien datang ke rumah sakit, yakni beberapa jam
setelah kejadian, tidak menunjukkan kelainan. ini Tiga puluh enam jam setelah
kejadian pasien menderita batuk-batuk dan sesak nafas yang semakin berat,
dan dilakukan foto thoraks ulang yang menunjukkan gambaran demikian. 13

Pada penatalaksanaan pasien-pasien luka bakar berat, resusitasi cairan


dan stabilisasi jalan nafas paten adalah tujuan utama. CT-scan dada tidak boleh
dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Melihat fakta-fakta tersebut, tidaklah
mengejutkan bahwa sangat sedikit penelitian kegunaan CT-scan untuk
identifikasi dini trauma inhalasi.7

10
Gambar 2. Foto thoraks yang diambil 36 jam setelah inhalasi klorin menunjukkan gambaran
nodul opak difus di kedua lapang paru. 13

Bronkoskopi

11
Diagnosis trauma inhalasi ditegakkan melalui pemeriksaan jalan nafas
bagian atas dan trakea. Adanya edema atau eritema, ulserasi di jalan nafas
bagian bawah atau bahkan adanya serbuk di bagian yang lebih distal patut
dicurigai sebagai trauma inhalasi. Akan tetapi, tanpa adanya tanda-tanda ini
pun status hemodinamik pasien harus selalu diperhatikan oleh karena sejak
bronkoskopi awal mungkin tidak menunjukkan adanya edema atau eritema
pada pasien-pasien yang belum diberikan resusitasi cairan. Terlepas dari
pengecualian ini, bronkoskopi memiliki akurasi hampir 100% dalam
menegakkan diagnosis trauma inhalasi.

Pemeriksaan jalan nafas secara seksama, terutama pada pasien-pasien


yang tidak menunjukkan bukti trauma yang lebih distal, adalah sangat penting
selama bronkoskopi. Edema berat di daerah supraglotis, atau sekresi jalan
nafas bagian atas dalam jumlah besar, mungkin mengindikasikan bahwa
pasien-pasien itu mungkin sekali mengalami obstruksi jalan nafas akut, dan ini
adalah indikasi intubasi awal pada pasien-pasien yang diduga mengalami
trauma inhalasi di jalan nafas bagian atas. Akan tetapi, kita harus menekankan
bahwa pemeriksaan jalan nafas bagian atas tidak berarti pemeriksaan jalan
nafas bagian bawah tidak penting, oleh karena kejadian di jalan nafas bagian
bawah dapat terjadi tanpa keterlibatan jalan nafas bagian atas.

Perlu ditekankan bahwa perubahan-perubahan anatomis yang tampak


dengan bronkoskopi mendahului gangguan pertukaran gas dan perubahan-
perubahan radiologis. Dengan demikian, semua pasien dengan kecurigaan
trauma inhalasi perlu diperiksa dengan bronkoskopi segera mungkin. 14

Analisis Gas Darah Arteri

Seperti dijelaskan sebelumnya, perubahan dalam gas darah arteri pada


trauma inhalasi dapat terjadi belakangan. Konsekuensinya, menentukan risiko
trauma inhalasi melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan bronkoskopi sangat
penting. Akan tetapi, yang ditekankan di sini adalah menentukan kadar
karboksihemoglobin apabila ada kecurigaan intoksikasi karbon monoksida.

12
Kadar yang tinggi adalah indikasi adanya intoksikasi. Akan tetapi perlu
diingat bahwa kadar ini menurun sejalan dengan waktu dan terapi.
Karboksihemoglobin dapat normal bila diperiksa di rumah sakit beberapa saat
setelah terpapar dan dapat mengarahkan diagnosis yang negatif palsu.
Karakteristik lain adanya karboksihemoglobin adalah overestimasi oksigenasi
dengan oksimetri pulsa. Oksimeter konvensional tak dapat membedadakan
antara panjang gelombang dari oksihemoglobin dengan yang dari
karboksihemoglobin, yang berakibat peningkatan saturasi oksigen palsu. 7,8

Radioisotop

Pemindaian ventilasi-perfusi menggunakan xenon 133 (Xe133)


memungkinkan identifikasi obstruksi jalan nafas yang kecil yang tak tampak
dengan pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan serial dilakukan setelah
pemberian radioisotop dengan tujuan untuk menentukan waktu retensi total zat
radiofarmakologis di paru-paru. Waktu retensi lebih panjang dari 90 detik atau
heterogenitas distribusi zat yang signifikan dapat menjadi prediksi trauma
inhalasi.

Pemeriksaan Xe133 inhalation-perfusion scintigraphy hanya


diindikasikan bagi pasien-pasien yang secara klinis dicurigai trauma inhalasi
tetapi foto thoraks dan bronkoskopinya normal. 7

Tes Faal Paru

Meskipun menggambarkan keadaan fisiopatologis trauma, manfaat tes


faal paru hanya sebagai pemeriksaan tambahan dalam diagnosis trauma
inhalasi, terutama oleh karena sulit dilakukan. Beberapa faktor di antaranya
yakni nyeri, pasien yang tidak kooperatif, kelemahan otot, dan penggunaan
obat-obatan seperti sedatif dan opioid. Faktor-faktor tersebut secara dramatis
mengurangi akurasi tes faal paru.

13
Secara umum, dari tes faal paru dapat ditemukan sebagai berikut:
komplians statis dan dinamis sistem respirasi yang normal pada stadium awal
trauma, yang secara progresif menurun seiring perjalanan penyakit, atau bahkan
pada stadium kronis saat proses perbaikan mengarah ke keadaan restriktif,
dibuktikan dengan komplians sistem respirasi yang menurun dan resistensi jalan
nafas yang meningkat, sejalan dengan penurunan forced expiratory
volume in one second, rasio forced expiratory volume in one
second/forced vital capacity, dan peak expiratory flow, yang
disebabkan oleh akumulasi debu dan sekresi serta edema
mukosa jalan nafas.

Kegunaan memonitor fungsi paru tidak hanya untuk


identifikasi progresivitas penyakit tetapi juga mengevaluasi
respon terhadap terapi yang diberikan (strategi ventilator,
terapi obat-obatan, maupun fisioterapi). 7,8

PENATALAKSANAAN TRAUMA INHALASI

Mempertahankan Jalan Nafas

Mengidentifikasi pasien berisiko tinggi untuk obstruksi jalan nafas


bagian atas, bersamaan dengan intervensi awal saat telah muncul gejala adalah
salah satu prinsip penanganan pasien-pasien dengan trauma inhalasi,
khususnya untuk mengurangi mortalitas. Adanya tanda-tanda klinis yang
sesuai dengan obstruksi sekunder akibat injuri jalan nafas atas, atau
ditemukannya bukti dari bronkoskopi adanya proses ini, maka harus segera
dilakukan intervensi. 14

Penggunaan pipa trakea berkaliber besar berguna untuk higine bronkus


agar dapat mengendalikan jumlah sekret respirasi. Trakeostomi bermanfaat
bagi pasien, memberikan kenyamanan, dan memfasilitasi higine bronkus.
Akan tetapi, menurut penelitian terakhir, trakeostomi tidak mengurangi
lamanya ventilasi mekanik, insidensi pneumonia, mapun mortalitas yang

14
diakibatkan trauma inhalasi. Konsekuensinya, trakeostomi tidak diindikasikan
sebagai terapi umum. 15

Oksigenasi

Yang terpenting kedua dalam penanganan pasien-pasien dengan trauma


inhalasi adalah mengatasi intoksikasi karbon monoksida. Penggunaan fraksi
oksigen tinggi dianjurkan untuk semua kasus yang dicurigai intoksikasi,
meskipun hanya sedikit gejala yang ditunjukkan. Kegunaan oksigen untuk
pasien-pasien tersebut adalah untuk meningkatkan pertukaran gas, mengatasi
efek inhalasi gas hipoksik, dan jika memungkinkan untuk mendisosiasi karbon
monoksida dari tempat ikatannya. 7,11

Waktu paruh dari karbon monoksida dalam udara kamar adalah 90


menit dengan oksigen 100%, dan 23 menit dalam kamar hiperbarik dengan
tekanan 3 atm absolut. Eliminasi karbon monoksida terutama bergantung pada
hukum aksi massa, sehingga PO2 merupakan faktor yang lebih berperan
daripada ventilasi alveolus dalam mengeluarkan karbon monoksida.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa waktu paruh secara klinis


adalah sekitar 75 menit bernafas dengan oksigen 100% melalui sungkup muka
non-rebreathing atau pipa endotrakea. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
meskipun sangat bergantung pada PO2, waktu paruh tidak bergantung pada
jenis kelamin, usia, riwayat penurunan kesadaran, riwayat merokok tembakau,
beratnya asidosis metabolik, ataupun kadar karbon monoksida awal. 17

Alat yang paling berguna adalah sungkup muka dengan reservoir


oksigen. Alat ini dapat meningkatkan fraksi oksigen terinspirasi mendekati
100%. Penggunaan sungkup muka ini sederhana dan sangat efektif untuk
memberikan fraksi oksigen yang tinggi tanpa bantuan ventilasi. 11

Pasien-pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik yang sangat


rentan terhadap retensi karbon dioksida, bersama-sama dengan pasien yang
koma, adalah kelompok yang perlu sesegera mungkin diintubasi untuk

15
mencegah efek samping retensi karbon dioksida yang berbahaya, akibat
pemberian fraksi oksigen terinspirasi yang tinggi. 7

Bantuan Ventilasi

Dalam beberapa tahun terakhir, bantuan ventilasi untuk pasien-pasien


luka bakar mendapat paling banyak perhatian, dilihat dari jumlah penelitian
yang dilakukan. Dengan pengembangan ventilasi non-invasif, ide untuk
menghindari intubasi menjadi sangat menarik, terutama apabila intubasi
menjadi prediktor morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien-
pasien tertentu. Adanya cedera pada wajah dengan risiko penurunan perfusi
jaringan pada tempat yang dipasang sungkup muka untuk ventilasi non-infasif,
menyebabkan teknik ini terbatas pemakaiannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak
mencegah penelitian tentang penggunaannya secara intermiten, yang telah
menunjukkan kemampuannya mempertahankan rekrutmen alveolus, sehingga
mengurangi kebutuhan intubasi trakea. Fakta ini saja telah menjadikan teknik
ini menarik, bahkan untuk tambahan fisioterapi agar jalan-jalan nafas dan
ruang alveolus tetap terbuka. Pengembangan alat-alat ventilasi non-infasif
yang kurang menekan wajah telah menjadi alternatif untuk penggunaan
ventilasi non-infasif yang berkepanjangan sebagai prosedur bantuan ventilasi
pada pasien-pasien dengan trauma inhalasi. 18

Jika diperlukan intubasi trakea, strategi bantuan ventilasi invasif adalah


untuk menjaga paru-paru tetap terbuka dan untuk pembersihan sekresi, selain
mengoptimalkan pertukaran gas. Strategi ventilasi yang tepat tergantung pada
jenis insufisiensi respirasi yang diderita pasien. Hal ini disebabkan oleh karena
pada tahap awal mekanisme patofisiologis yang utama adalah trauma jalan
nafas langsung, dengan edema dan perdarahan, yang terkombinasi dengan
akumulasi partikel padat dan sekresi. Pada kasus-kasus ini, strategi ventilasi
agresif, seperti penggunaan possitive end expiratory pressure (PEEP) tinggi,
jarang diperlukan. Untuk kasus-kasus berat, baik pada tahap awal maupun

16
tahap lanjut (dengan tanda-tanda ARDS yang jelas), perlu menggunakan
strategi rekrutmen alveolus dan volume tidal rendah. 2, 5

Ventilasi frekuensi tinggi dan penggunaan nitrat oksida adalah


modalitas terkini yang digunakan dalam bantuan ventilasi invasif pada pasien-
pasien dengan trauma inhalasi. Penelitian eksperimental menunjukkan
berkurangnya progresivitas penyakit dengan penggunaan nitrat oksida,
sementara penelitian klinis hanya menunjukkan perbaikan oksigenasi dengan
teknik tersebut. Ventilasi frekuensi tinggi telah terbukti efektif untk
meningkatkan oksigenasi pada pasien-pasien dengan trauma inhalasi dalam
jam-jam pertama. Akan tetapi tidak cukup bukti bahwa teknik ini mengurangi
laju infeksi akibat ventilasi mekanik pada pasien-pasien tersebut. Meskipun
masih tahap permulaan, penilitian klinis tentang usaha mencegah intubasi,
mengurangi progresivitas injuri, dan mempercepat respon terhadap injuri yang
telah terjadi adalah harapan utama dalam menangani pasien-pasien dengan
luka bakar berat. 8

Terapi Antibiotika

Penggunaan awal antibiotika pada saat belum ada bukti jelas infeksi
tidak meningkatkan survival ataupun mengurangi kemungkinan terjadinya
pneumonia, yang dianggap sebagai komplikasi infeksi tersering yang
berkaitan dengan trauma inhalasi. Oleh karena itu penggunaannya tidak
dianjurkan.

Insidensi infeksi tertinggi terjadi pada hari ketiga sejak kejadian luka
bakar. Terapi antibiotika harus dimulai berdasarkan penemuan radiologis,
pemeriksaan sputum, dan leukositosis. Yang terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada kasus yang lebih akut, bakteri
gram positif lebih dominan. Kegunaan bronkoskopi untuk lavase bronkus dan
identifikasi zat penyebab, baik sebagai identifikasi awal ataupun untuk
menyesuaikan regimen antibiotik empiris, masih harus diteliti.

17
Tindakan Spesifik Sesuai Patofisiologi Yang Dominan

Menjaga jalan nafas adalah prinsip utama penanganan trauma panas.


Mengitubasi pasien sampai terbukti tidak ada edema jalan nafas adalah
tindakan yang bermanfaat. 7

Memindahkan pasien dari situasi menghirup gas hipoksik dan


pemberian fraksi oksigen tinggi memotong efek kaskade hipoksemia. Pada
keadaan intoksikasi karbon monoksida, waktu paruh karboksihemoglobin
adalah 150 menit dengan udara bebas (fraksi oksigen terinspirasi sebesar 0,21)
dan antara 40 hingga 60 menit pada pasien-pasien yang diberikan fraksi
oksigen 100%. Jadi semua pasien harus mendapat oksigen 100% dalam
perjalanan ke rumah sakit.

Berbagai literatur memperkirakan ensefalopati hipoksik akibat dari


keracunan karbon monoksida adalah akibat dari inuri reperfusi di mana
produk-produk peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Sebagai tambahan, dengan
pemberian terapi hiperbarik tampak ada perbaikan dalam metabolisme
oksidasi mitokondria, penurunan inflamasi dan pemeliharaan aktivitas
adenosin triofosfat. Secara parsial hal ini menjelaskan bahwa kadar
karboksihemoglobin adalah indikator yang buruk untuk menunjukkan
beratnya intoksikasi dan juga menjelaskan mengapa pasien-pasien dengan
toksisitas yang signifikan mungkin mempunyai kadar yang rendah. 5

Kegunaan terapi hiperbarik masih diperdebatkan. Pada serial kasus


konsekutif 18 pasien, henti jantung akibat toksisitas karbon monoksida
kesemuanya fatal, meskipun mendapat terapi oksigen hiperbarik setelah
resusitasi awal. Beberapa penelitian lain menunjukkan tidak bermanfaat,
meskipun ada bukti bahwa penggunaannya dapat mengurangi kerusakan
neurologis. 19

Cara lain untuk meningkatkan eliminasi karbon monoksida adalah


dengan hiperpnea isokapnik, yakni pasien-pasien yang terintubasi
dihiperventilasi dengan pemberian suplemen karbon dioksida untuk mencegah

18
alkalosis respiratorik akibat hipokapnia. Hiperventilasi mengurangi waktu
paruh karboksi-hemoglobin, dengan demikian meminimalisasi efek berbahaya
dari intoksikasi. 20

Pengelolaan keracunan sianida adalah dengan menciptakan tempat


berikatan alternatif bagi sianida yang berkompetisi dengan enzim oksidase
sitokrom dan juga dengan memberikan zat yang mengubah sianida menjadi
metabolit non toksik. Perlengkapan antidot sianida terdiri atas amil dan
sodium nitrat yang meningkatkan oksidasi hemoglobin, mengubahnya menjadi
metahemoglobin, masing-masing dengan kadar 3% dan 20-30%, dan
berkompetisi dengan sitokrom oksidase oleh karena mempunyai afinitas
terhadap sianida yang lebih kuat daripada sitokrom a3. Juga terdapat sodium
tiosulfat, yang memindahkan sulfur ke ion sianida dengan enzim rhodanase di
mitokondria dan membentuk tiosianat yang kemudian diekskresikan ke dalam
urine. 11,12

Beberapa pasien mengalami bronkospasme dan pemberian


bronkodilator pada pasien-pasien tersebut dapat bermanfaat. Hal ini terutama
berlaku untuk pasien dengan riwayat penyakit paru obstruktif kronis atau
asma.

Penelitian eksperimental terakhir menunjukkan bahwa trauma inhalasi


mengakibatkan defisiensi surfaktan akut. Pemberian surfaktan buatan segera
setelah trauma sangat bermanfaat. Akan tetapi masih perlu penelitian-
penelitian yang lebih banyak sebelum pemberian terapi ini distandarkan. 7

Oleh karena oksidan dilepaskan selama kaskade inflamasi dan


dipotensiasi melalui pelepasan cadangan besi bebas, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian deferoksamin aeorosol dapat mencegah
proses injuri. Butuh banyak penelitian lagi sebelum terapi ini dapat diberikan.
Pada gilirannya, injuri oksidan juga akan menyebabkan pembentukan debris
selular di jalan nafas, yang menjadi salah satu faktor penyebab gagal nafas.
Penelitian pediatrik terakhir menunjukkan bahwa heparin/N-acetylcysteine
aerosol menurunkan insidensi atelektasis, reintubasi, dan tentunya mortalitas.21

19
SIMPULAN

1. Diagnosis trauma inhalasi tidak selalu dapat segera ditegakkan, dan gejala-
gejalanya dapat timbul belakangan hingga 24-36 jam setelah trauma.

2. Hipoksia, hiperkarbia, dan edema paru adalah tanda-tanda yang


menunjukkan kemungkinan inhalasi zat-zat toksik.

3. Mekanisme injuri pada trauma inhalasi dapat berupa injuri termal


langsung, inhalasi gas hipoksik, toksik lokal, dan toksik sistemik.

4. Pada setiap kejadian trauma inhalasi, harus dicari tanda dan gejala yang
mengarah kepada intoksikasi. Adalah penting untuk secara aktif mencari
intoksikasi yang berhubungan dengan trauma inhalasi terutama bila ada
keterlibatan sistem saraf pusat.

5. Diagnosis trauma inhalasi ditegakkan melalui pemeriksaan bronkoskopi


jalan nafas bagian atas dan trakea. Meski demikian, injuri pada jalan nafas
bagian bawah dapat terjadi tanpa keterlibatan jalan nafas bagian atas.

20
6. Yang terpenting dalam penanganan pasien-pasien dengan trauma inhalasi
adalah mempertahankan jalan nafas dan mengatasi intoksikasi karbon
monoksida dengan oksigenasi. Penggunaan fraksi oksigen tinggi
dianjurkan untuk semua kasus yang dicurigai intoksikasi, meskipun hanya
sedikit gejala yang ditunjukkan.

7. Jika diperlukan intubasi trakea, strategi bantuan ventilasi invasif adalah


untuk menjaga paru-paru tetap terbuka dan pembersihan sekresi, selain
mengoptimalkan pertukaran gas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ryan CM, Schoenfeld DA, Thorpe WP, Sheridan RL, Cassem EH,
Tompkins RG. Objective estimastes of the probability of death from burn
injuries. New Engl J Med 1998; 338: 362-6.

2. Clark WR Jr. Smoke inhalation: diagnosis and treatment. World J Surg


1992; 16(1): 24-9

3. Istre GR, McCoy MA, Osborn L. Deaths and injuries from house fires. N
Engl J Med 2001; 344(25): 1911-6.

4. DiGuiseppi C, Roberts I, Wade A. Incidence of fires and related injuries


after giving out free smoke alarms: cluster randomised controlled trial.
British Med J 2002; 325(7371): 995.

5. Darling GE, Keresteci MA, Ibanez D, Pugash RA, Peters WJ, Neligan PC.
Pulmonary complications in inhalation injuries with associated cutaneous
injury. J Trauma 1996; 40: 83-9.

21
6. Barillo DJ, Goode R. Fire fatality study: demographics of fire victims.
Burns 1996; 22(2): 85-8.

7. Souza R, Jardim C, Salge JM, Carvalho CRR. Smoke inhalation injury. J


Bras Pneumol 2004; 30(6): 557-65.

8. Weiss SM, Lakshminarayan S. Acute inhalation injury. Clin Chest Med


1994; 15: 103-16.

9. Oldham KT, Guice KS, Till GO, Ward PA. Activation of complement by
hydroxyl radical in thermal injury. Surgery 1988; 138: 1060-3.

10. Ward PA, Till GO. Pathophysiologic events related to thermal injury of
skin. J Trauma 1990; 30: 75-9.

11. Safar P, Bircher NG. Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation: An


Introduction to Resuscitation Medicine, 3rd ed., London: WB Saunders;
1988: 316-9.

12. Rorison DG, McPherson SJ. Acute toxic inhalations. Emerg Med Clin
North Am 1992; 10(2): 409-35.

13. Parimon T, Kanne JP, Pierson DJ. Acute inhalation injry with evidence of
diffuse bronchiolitis following chlorine gas exposure at a swimming pool :
Case report. Respire Care 2004; 49(3): 291-4.

14. Bingham HG, Gallagher TJ, Powell MD. Early bronchoscopy as a


predictor of ventilatory support for burned patients. J Trauma 1987; 27:
1286-8.

15. Saffle JR, Morris SE, Edelman L. Early tracheostomy does not improve
outcome in burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 23: 431-8.

16. Weaver LK, Hopkins RO, Chan KJ. Hyperbaric oxygen for acute carbon
monoxide poisoning. N Engl J Med 2002; 347(14): 1057-67.

22
17. Weaver LK, Howe S, Hopkins R, Chan KJ. Carboxyhemoglobin half-life
in carbon monoxide-poisoned patients treated with 100% oxygen at
atmospheric pressure. Chest 2000; 117(3): 801-8.

18. Smailes ST. Noninvasive positive pressure ventilation in burns. Burns


2002; 28: 795-801.

19. Hampson NB, Zmaeff JL. Outcome of patients experiencing cardiac arrest
with carbon monoxide poisoning treated with hyperbaric oxygen. Ann
Emerg Med 2001; 38(1): 36-41.

20. Fisher JA. Isocapnic hyperpnea assceletares carbon monoxide elimination.


Am J Respir Crit Care Med 1999; 159: 1289-92.

21. Tasaki O, Mozingo DW, Dubick MA, Goodwin CW, Yantis LD, Pruitt BA
Jr. Effects of heparin and lisofyline on pulmonary function after smoke
inhalation injury in an ovine model. Crit Care Med 2002; 30: 637-43.

23

Anda mungkin juga menyukai