Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

Nutrisi Dengan Anak Demam Tifoid

Oleh:
I Made Delima Arysudana
1871121079

Pembimbing:
Pembimbing : dr A.A. Oka Lely, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD SANJIWANI GIANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan yang
disebabkan oleh salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui makanan atau
minuman yang tercemar feses manusia.1 Infeksi pada saluran pencernaan
mempengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi
makanan di usus sehingga dapat menimbulkan komplikasi.1 Oleh karena itu, terapi
nutrisi perlu mendapat perhatian khusus pada kasus-kasus demam tifoid. Nutrisi
yang diberikan berupa diet tinggi kalori, tinggi protein namun rendah serat, tidak
menimbulkan gas, serta cairan cukup.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), data surveilans tahun
2016 menunjukkan estimasi penyakit demam tifoid sebanyak 15 juta kasus dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun, >80% kasus terdapat di Asia dan
Afrika.10 Kasus demam tifoid di negara berkembang khususnya di Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun dengan tingkat kesakitan 500/100.000 penduduk.
Sebagian besar demam tifoid usia sekolah yaitu 3-19 tahun, mencapai 91% kasus.8
Pasien demam tifoid umumnya mengalami gejala seperti konstipasi, diare, perut
kembung, hingga perforasi usus, sehingga asupan nutrisi menjadi perhatian khusus
sebagai langkah awal penanganan dan pencegahan komplikasi.1
Berdasarkan World Health Organization (WHO) data surveilans tahun 2016
memperkirakan terdapat 17 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.1 Kasus demam tifoid di negara
berkembang dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus
rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari
laporan rawat inap di rumah sakit.1,2
Kasus demam tifoid khususnya di Indonesia tersebar secara merata
diseluruh provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar
600.000 dan 1,5 juta kasus per tahun. Usia penderita yang terkena demam tifoid di
Indonesia dilaporkan antara berusia 3-19 tahun pada angka 91% kasus.2,3 Faktor-

1
faktor yang mempengaruhi kejadian demam tifoid antara lain jenis kelamin, usia,
status gizi, kebiasaan jajan, kebiasaan cuci tangan, pendidikan orang tua, tingkat
penghasilan orang tua, pekerjaan orang tua, dan sumber air.2,3,4
Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 3-19 tahun karena pada usia
tersebut orang- orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga
kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih
makan di luar rumah, yang sebagian besar kurang memperhatikan higienitas.
Insidensi demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia sekolah. Frekuensi
sering jajan sembarangan yang tingkat kebersihannya masih kurang, merupakan
faktor penularan penyakit demam tifoid. Bakteri Salmonella thypi banyak
berkembang biak dalam makanan yang kurang dijaga higienitasnya.
Menurut Muh Zul Azhri Rustam, pada usia anak sekolah, mereka cenderung
kurang memperhatikan kebersihan atau hygiene perseorangannya yang mungkin
diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang
dapat menyebabkan tertular penyakit demam tifoid.5,7,8 Selama ini status gizi
menjadi masalah besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Status gizi anak
dapat dinilai dari antropometri yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Menurut Nurvina 3
Wahyu A, status gizi yang kurang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak,
sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status gizi buruk dapat
menyebabkan angka mortilitas demam tifoid semakin tinggi.5,6
1. World Health Organization. 2016. Call for nomination of experts to serve
on the Strategic Advisory Group of Experts on immunization (SAGE)
Working Group on Typhoid Vaccines. Immunization Vaccines and
Bioligicals: WHO
2. Anonim. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riset Kesehatan
Dasar. Departemen Kesehatan RI, Jakarta
4. Soedarmo, SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. 2010. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. (edisi ke-1). Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 367-75.

2
5. Anggarani H. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Demam Tifoid pada Anak yang Dirawat di RSUD Dr. H. Soemarno
Sosroatmodjo Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah pada
Tahun 2012. Skripsi. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
6. Nurvina WA. 2012. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan Hygiene
Perorangan dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid
di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012.
Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.
7. Robert. B.S.W, Williams. S.R. 2005. Nutrition Throughout the Life Cycle.
McGraw-Hill Book Companies, Singapore.
8. Rustam MZ. 2010. Hubungan Karakteristik Penderitaan dengan
Kejadian Demam Tifoid pada Pasien Rawat Inap di RSUD Salewangan
Maros. Skripsi. Universitas Airlangga , Surabaya.

Patofisiologi penyakit demam tifoid diawali dari masuknya bakteri


salmonella typhi melalui oral hingga masuk ke lambung, namun sebagian
dimusnahkan di lambung dan sebagian lagi dapat masuk hingga ke usus halus,
jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus hingga masuk
pembuluh darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel reticuloendotelial
system (RES) pada hati dan limpa, kemudian sel-sel RES melepaskan kembali
bakteri-bakteri tersebut ke pembuluh darah untuk kedua kalinya sehingga terjadi
bakterimia kedua.4 Selanjutnya masuk ke usus halus dan menginfasi plack peyers
sehingga terjadi hiperplasia plack peyers ileum pada minggu pertama.4 Pada
minggu kedua terjadi nekrosis hingga terjadi ulserasi plak peyer pada minggu
ketiga.4 Pada minggu ke empat terjadi penyembuhan ulkus dan dapat menimbulkan
statik.4 Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain
itu hepar dan limpa membesar.4 Gejala demam umunya disebabkan oleh pelepasan
endotoksin.4
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak adalah demam yang timbul
insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada minggu pertama (step-ladder temperature chart).2 Panas bersifat remitens

3
(naik pada malam hari, turun pada pagi atau siang hari tetapi suhu tubuh tidak
pernah mencapai normal)2,6 Demam menetap pada minggu kedua, dan akan mulai
turun sampai normal pada akhir minggu ketiga.2 Gejala lainnya dapat berupa
anoreksia, mual, muntah, diare atau konstipasi, nyeri perut.2 Hasil pemeriksaan fisik
menunjukkan kesadaran menurun (apatis-koma), takikardia-bradikardia, suhu
tinggi, bisa ditemukan typhoid tongue, pembesaran hepar dan lien disertai nyeri
tekan abdomen, sedangkan pada organ lain dalam batas normal.6
Diagnosis demam tifoid ditegakkan apabila pada anamnesis terdapat demam
tipe step ladder temperature chart, remitens, menetap.3,4 Pada minggu kedua,
demam akan mulai turun sampai normal pada akhir minggu ketiga, didapatkan hasil
pemeriksaan penunjang (1) darah tepi untuk demam tifoid tidak spesifik.3,4
Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya
penyulit misalnya perforasi.3,4 Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat
reversibel.3 Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang
dan perdarahan intraintestinal.3 Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan
limfositosis relatif; (2) isolasi dan biakan kuman (S. Typhi) merupakan baku emas
diagnosis demam tifoid.3 Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang
diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah,
karena masih terjadi bakteremia.3 Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja dan urin; (3) uji widal untuk mengukur
kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S. Typhi.15 Pada umumnya antibodi O
meningkat di hari ke 6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit; (4)
serologis demam tifoid terbagi atas pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen
terhadap S. Typhi; (5) serologi tes cepat atau rapid test untuk mendeteksi antibodi
IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9 lipopolisakarida
dari S. Typhi.15 Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif
kuat.15
Penatalaksaan pasien demam tifoid berupa medikamentosa dan non
medikamentosa.11,2 Terapi medikamentosa berupa terapi simptomatis dengan
pemberian antipiretika jika demam dan pemberian antibiotika kloramfenikol 50-
100 mg/kg/hari dibagi empat dosis selama 10-14 hari diberikan secara oral.3 Jika

4
dalam 72 jam tidak ada perbaikan klinis dengan kloramfenikol, diberikan
seftriakson 80 mg/kg/hari diberikan sekali sehari selama 5 hari.11 Jika terjadi
gangguan kesadaran, diberikan deksametason 1-3 mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama
5 hari.11 Terapi non medikamentosa berupa tirah baring, pemberian cairan dan
nutrisi.12 Cairan diberikan sesuai kebutuhan rumatan, pemberian melalui oral
maupun parenteral.12 Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta sulit makan.12 Cairan yang diberikan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.12,11 Nutrisi yang diberikan
merupakan nutrisi yang rendah serat, tinggi kalori, tinggi protein dan tidak
menimbulkan gas.12,11 Nutrisi rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
perforasi saluran cerna.12,11 Diet untuk demam tifoid diklasifikasikan atas, diet cair,
bubur lunak, nasi tim dan nasi nasi biasa.12 Bila keadaan penderita baik, diet dapat
dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). 5 Namun jika penderita dengan
klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah
secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.5
Penderita dengan penurunan kesadaran diberikan diet secara enteral melalui pipa
lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tandatanda komplikasi
perdarahan atau perforasi saluran cerna.5 Jumlah nutrisi diberikan sesuai dengan
Recommended Dietary allowances (RDA) berdasarkan jenis kelamin dan berat
badan ideal.5

5
BAB II
LAPORAN KASUS

Pasien inisial KAT, laki-laki 8 tahun dikeluhan demam 6 hari SMRS. Demam sejak
tanggal 26 Oktober 2019. Demam dikatakan naik turun, demam turun dengan obat
penurun panas kemudian suhu tubuh naik kembali. Pasien juga mengeluhkan
muntah dan mual. Muntah sebanyak 6 kali dalam 1 hari, muntah berisikan makanan
dan minuman yang dikonsumsi, dengan volume kurang lebih ½ gelas air mineral.
Pasien juga mengeluhkan sakit kepala dan lemas. nafsu makan dan minum pasien
menurun sejak sakit. BAB dan BAK dikatakan seperti biasa.
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Keluarga
di rumah tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien saat ini.
Lingkungan tempat tinggal pasien cukup bersih, sudah memiliki jamban, dan
sanitasi cukup baik. Air konsumsi dimasak sendiri, dan makanan dimasak oleh
nenek dengan menu nasi, tahu, tempe, ayam suir, dan kadang hati ayam. Tiap kali
menyiapkan makanan dikatakan selalu mencuci tangan dengan air mengalir namun
tidak menggunakan sabun. Pasien mendapat ASI hingga usia 9 bulan, dilanjutkan
susu formula hingga usia 2 tahun, dan saat ini pasien sudah makan makanan dewasa
yang disiapkan dirumah. Pasien memiliki perilaku kebersihan personal yang kurang
yaitu memiliki kebiasaan bermain di tanah serta sering membeli makanan yang
kurang bersih. Riwayat perkembangan kesan normal.
Pada pemeriksaan fisik status present didapatkan keadaan umum pasien
sadar, frekuensi nadi 100 kali/menit regular, kuat angkat, isi cukup, frekuensi napas
24 kali/menit, suhu aksila 38°C, berat badan 20 kg dan tinggi badan 100 cm. Status
general kepala UUB tertutup, kelopak mata tidak cowong, mukosa bibir kering,
tonsil T1/T1 hiperemis, faring hiperemis, jantung dan paru dalam batas normal,
abdomen terdapat nyeri tekan di epigastrium, tidak distensi, bising usus normal dan
turgor kulit normal, ekstremitas akral hangat dan CRT < 3 detik. Status antopometri
menurut CDC Bbi : 16, Bmi 20, Bb/u : P3, Tb/u : <P3, Bb/tb : P 95 status gizi
menurut Waterlow 125% (gizi kurang).

6
Hasil pemeriksaan darah tepi didapatkan hemoglobin 13,2 g/dL, leukosit
15.100 uL (leukositosis), trombosit 248 10^3/UL, Neutrofil % : 60,1 % ,
Hematokrit : 39,8 %. Pemeriksaan Widal paratyphi A O positif: 1/80, Paratyphi B
O: 1/160 negatif. Paratyphi O: 1/320 positif, Paratyphi H: 1/320 positif.
Pasien didiagnosis dengan observasi febris hari ke VI et causa suspek
demam tifoid dan faringitis akut. Tatalaksana kebutuhan cairan 1500 ml/hari
mampu minum 500 ml/ hari ∼ IVFD D5 ½ NS 14 tetes makro permenit, ceftriaxon
80 mg/kg/hari ∼ 1,6 gram tiap 24 jam selama 5 hari secara intravena, paracetamol
10 mg/kg/kali ∼ 200 mg bila demam > 38 o C dapat diulang tiap 4 jam secara
inytravena, ondancentron 0,15 mg/kg/kali ∼ 3 mg tiap 8 jam secara intravena,
nutrisi rendah serat berupa bubur dan snack mengandung energi 1038 kkal, protein
24 gr, lemak 311 kkal, karbohidrat 142 gr, susu dan tirah baring.

I. Perkembangan Pasien di Ruang Rawat Inap


Tangga Subjective, Objective, Assesment, Terapi
l Planning

3/11/ S/ - IVFD D 5 ½ NS ∼ 14
tpm makro
2019 Demam (-), sakit kepala (-), mual (-),
- Ceftriaxone 1x1,6 gr
nyeri perut (-) muntah (-), lemas (-)
(Hari (IV)
BAK (+), makan / minum (+/+).
ke 4) - Paracetamol 200 mg
O/ jika temperatur axilla ≥
St present 380C dapat diulang tiap
4 jam (IV)
Frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi
- Ondancentron 3x3 mg
napas 24 x/menit, suhu aksila 37 OC
mg (IV)
St general - Kebutuhan nutrisi:
bubur dan snack
UUB tertutup, kelopak mata cowong (-
mengandung energi
/-), mukosa bibir kering (-), tonsil
1038 kkal, protein 24
T1/T1 hiperemis, faring hiperemis,

7
abdomen distensi (-), BU (+) normal, gr, lemak 311 kkal,
turgor kulit normal, Ekstremitas akral karbohidrat 142 gr
hangat (+)

A/

observasi febris hari ke VI et causa


suspek demam tifoid dan faringitis akut

4/11/ S/ - Dipulangkan
- Cefixime syrup 2x1/2
2019 BAB (+) tidak cair, demam (-), mual (-
cth
), muntah (-), BAK (+), makan / minum
(Hari
(+/+).
ke 5)
O/

St present

Frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi


napas 23 x/menit, suhu aksila 36,2 OC

St general

UUB tertutup, kelopak mata cowong (-


/-), mukosa bibir kering (-), tonsil
T1/T1 hiperemis, faring hiperemis,
abdomen distensi (-), BU (+) normal,
turgor kulit normal, Ekstremitas akral
hangat (+)

A/

observasi febris hari ke VI et causa


suspek demam tifoid dan faringitis akut

8
BAB III
PEMBAHASAN

Demam tifoid merupakan infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan yang
disebabkan oleh salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui makanan atau
minuman yang tercemar feses manusia. Sebagian besar demam tifoid usia sekolah
yaitu 3-19 tahun, mencapai 91% kasus1,2. Pada kasus, pasien berusia 8 tahun. Pasien
memiliki perilaku kebersihan personal yang kurang yaitu memiliki kebiasaan
bermain di tanah serta sering membeli makanan yang kurang bersih. Anggota
keluarga pasien memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun saat
menyiapkan makanan, hal ini sesuai dengan kepustakaan.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak adalah demam yang timbul
insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada minggu pertama (step-ladder temperature chart).2 Panas bersifat remitens
(naik pada malam hari, turun pada pagi atau siang hari tetapi suhu tubuh tidak
pernah mencapai normal).2,6 Demam menetap pada minggu kedua, dan akan mulai
turun sampai normal pada akhir minggu ketiga.2 Gejala lainnya dapat berupa
anoreksia, mual, muntah, diare atau konstipasi, nyeri perut.2 Pada kasus, pasien
mengalami demam 6 hari SMRS. Demam dikatakan naik turun, demam turun
dengan obat penurun panas kemudian suhu tubuh naik kembali. Pasien juga
mengeluhkan muntah dan mual. Muntah sebanyak 6 kali dalam 1 hari, muntah
berisikan makanan dan minuman yang dikonsumsi, dengan volume kurang lebih ½
gelas air mineral. Hal ini sesuai dengan kepustakaan.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran menurun (apatis-koma),
takikardia-bradikardia, suhu tinggi, bisa ditemukan typhoid tongue, pembesaran
hepar dan lien disertai nyeri tekan abdomen, sedangkan pada organ lain dalam batas
normal.6 Pada kasus, pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada daerah
epigastrium. Hal ini sesuai dengan kepustakaan.
Pemeriksaan penunjang darah tepi untuk demam tifoid tidak spesifik, bisa
terjadi leukositosis. Pada kasus, hasil pemeriksaan darah tepi leukosit 15.100 uL
(leukositosis). Pemeriksaan widal untuk mengukur kadar antibodi terhadap antigen
O dan H dari S. Typhi.15 Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke 6-8 dan

9
antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.15 Pada kasus, hasil pemeriksaan
widal Hasil pemeriksaan darah tepi didapatkan hemoglobin 13,2 g/dL, leukosit
15.100 uL (leukositosis), trombosit 248 10^3/UL , Neutrofil % : 60,1 % ,
Hematokrit : 39,8 %. Pemeriksaan Widal paratyphi A O positif: 1/80, Paratyphi B
O: 1/160 negatif. Paratyphi O: 1/320 positif, Paratyphi H: 1/320 positif. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan.
Tatalaksana medikamentosa pada pasien demam tifoid berupa terapi
simptomatis dengan pemberian antipiretika jika demam dan pemberian antibiotika
seftriakson 80 mg/kg/hari diberikan sekali sehari selama 5 hari.3 Pada kasus, pasien
diberikan terapi ceftriaxon 80 mg/kg/hari ∼ 1,6 gram tiap 24 jam selama 5 hari
secara intravena, paracetamol 10 mg/kg/kali ∼ 200 mg bila demam > 38 o C dapat
diulang tiap 4 jam secara inytravena. Hal ini sesuai dengan kepustakaan.
Tatalaksana non medikamentosa pada pasien demam tifoid berupa tirah
baring, pemberian cairan dan nutrisi.12 Cairan diberikan sesuai kebutuhan rumatan,
pemberian melalui oral maupun parenteral.12 Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta sulit makan.
Cairan yang diberikan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Nutrisi
yang diberikan merupakan nutrisi yang rendah serat, tinggi kalori, tinggi protein
dan tidak menimbulkan gas. Nutrisi rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
perforasi saluran cerna.12 Diet untuk demam tifoid diklasifikasikan atas, diet cair,
bubur lunak, nasi tim dan nasi nasi biasa.12 Bila keadaan penderita baik, diet dapat
dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini).12 Namun jika penderita dengan
klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah
secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.12 Pada
kasus, pasien diberikan cairan sesuai kebutuhan rumatan 1500 ml/hari mampu
minum 500 ml/ hari ∼ IVFD D5 ½ NS 14 tetes makro permenit, tirah baring dan
diit rendah serat berupa bubur, snack dan susu. Hal ini sesuai dengan kepustakaan.

10
BAB IV
KESIMPULAN

Demam tifoid dapat menimbulkan terjadinya malnutrisi dan sebaliknya, malnutrisi


juga memudahkan terjadinya infeksi. Infeksi mempengaruhi status gizi melalui
penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi makanan di usus, meningkatkan
katabolisme, dan mengambil nutrisi untuk pertumbuhan. Malnutrisi juga menjadi
faktor predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan fungsi kekebalan tubuh.
Tatalaksana nutrisi pada anak dengan demam tifoid bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi tanpa memperberat kerja saluran cerna. Nutrisi yang
diberikan merupakan nutrisi yang rendah serat, tinggi kalori, tinggi protein dan
tidak menimbulkan gas. Nutrisi rendah serat bertujuan untuk mencegah perdarahan
dan perforasi saluran cerna. Jumlah nutrisi diberikan sesuai dengan Recommended
Dietary allowances (RDA).

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya). Jakarta: Erlangga

3. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.
BMJ. 2006;333:78-82.

4. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever:
Systematic review to estimate global morbidity and mortality for 2010. J
Glob Health 2012; 2:e57080.

5. Putri, TP. 2016. Hubungan Usia, Status Gizi, dan Riwayat Demam Tifoid
Pada Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Semarang. Universitas
Muhamadiyah.

6. RSUP Sanglah. 2016. Panduan praktik klinik ilmu kesehatan anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

7. Setiabudi D, Madiapermana K. 2005. Demam tifoid pada anak usia di


bawah 5 tahun di bagian ilmu kesehatan anak RS Hasan Sadikin Bandung.
Sari Pediatri. 7(1); p9-14.

8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2018. Riset


Kesehatan Dasar: Riskesdas 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Available at http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf. Accessed
on 06 Oktober 2019.

9. Kaspan MF, Soejoso DA, Soegijanto S, et al. Penyakit tropik dan menular:
Demam tifoid. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi lab/UPF ilmu kesehatan anak.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. 1994. h. 187-189.

10. World Health Organization (WHO). Guidelines on the quality, safety and
efficacy of typhoid conjugate vaccines. Available at
http://www.who.int/biologicals/areas/vaccines/Typhoid_Bs2215_doc_v1.1
4_Web_Version.pdf?ua=1&ua=1. Accessed on 19 November 2019.

11. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan


dan Pemberantasannya). Jakarta: Erlangga

12. Hariyanti, Natalia. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein


dengan Lama Perawatan Penderita Demam Tifoid di Badan Rumah Sakit
Daerah Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Semarang, Universitas Diponegoro.
2005. 72-80.

12
13. Nasronuddin. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya. Universitas
Airlangga. 2007.

14. Chaudhry R, Chandel DS, Verma N, Singh N, Singh P, Dey AB. Rapid
diagnosis of typhoid fever by an in-house flagellin PCR. JMM
Correspondence. 2010. 1391-3.

15. Bakr, Wafaa & Attar, Laila & Ashour, Medhat & Toukhy, Ayman. 2011.
The dilemma of widal test - which brand to use? a study of four different
widal brands: A cross sectional comparative study. Annals of clinical
microbiology and antimicrobials. 10. 7. 10.1186/1476-0711-10-7.

13

Anda mungkin juga menyukai