Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Wilayah perkotaan mengalami perubahan yang sangat besar akibat banyaknya industri
yang didirikan. Hal ini menyebabkan penduduk yang tinggal di pedesaan mulai berpindah ke
kota untuk menjadi tenaga kerja. Selain itu faktor yang menyebabkan mereka berpindah
(urban) adalah faktor ekonomi.Dengan adanya pendirian industri tersebut menyebabkan
lingkungan yang hijau kini menjadi gersang akibat ditebang untuk dijadikan lahan industri
dan perumahan.Seiring dengan perubahan waktu maka hal tersebut menimbulkan beberapa
dampak terhadap lingkungan sekitar, salah satu dampaknya adalah penularan penyakit.
Penyakit tular Vektor dan zoonotik merupakan penyakit menular melalui Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit, antara lain malaria, demam berdarah, filariasis (kaki gajah),
chikungunya, japanese encephalitis (radang otak), rabies (gila anjing), leptospirosis, pes, dan
schistosomiasis (demam keong). Penyakit tersebut hingga kini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi
serta berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan/atau wabah serta memberikan
dampak kerugian ekonomi masyarakat.
Upaya penanggulangan penyakit tular Vektor dan zoonotik selain dengan pengobatan
terhadap penderita, juga dilakukan upaya pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit, termasuk upaya mencegah kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, guna mencegah penularan penyakit menular, baik
yang endemis maupun penyakit baru (emerging).
Dalam rangka pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, pemerintah telah
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014
tentang Kesehatan Lingkungan, Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit merupakan media
lingkungan yang perlu ditetapkan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan serta upaya pengendaliannya.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Vector dan Tikus?
2. Apa Tanda-Tanda Kebaradaan Vektor Dan Tikus?
3. Bagaimana Penularan Vektor Dan Tikus?
4. Bagaimana Cara Pengendalian Vector dan Tikus?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Vector dan Tikus.
2. Mengetahui Tanda-Tanda Kebaradaan Vektor Dan Tikus.
3. Mengetahui Penularan Vektor Dan Tikus.
4. Mengetahui Cara Pengendalian Vector Penyakit.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
A.Pemukiman
Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan
hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana,
utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan.
B. Vektor
Vektor adalah organisme yang tidak menyebabkan penyakit tetapi menyebarkannya dengan
membawa patogen dari satu inang ke yang lain. Berbagai jenis nyamuk, sebagai contoh,
berperan sebagai vektor penyakit malaria yang mematikan.Pengertian tradisional dalam
kedokteran ini sering disebut "vektor biologi" dalam epidemiologi dan pembicaraan
umum.Vektor adalah arthtopoda yang dapat memindahkan atau menularkan sesuatu.
Infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan(suspectible
host). Vektor dapat menyebarkan agen dari manusia atau hewan yangterinfeksi ke manusia
atau hewan lain yang rentan melalui kotoran, gigitan, dancairan tubuhnya, atau secara tidak
langsung melalui kontaminasi pada makanan.Vektor dapat memindahkan atau menularkan
agent penyakit yang berada didalam atau pun yang menempel dan terdapat di bagian luar tubuh
vektor tersebut.
C. BINATANG PENGGANGGU
Binatang pengganggu Adalah Binatang (golongan pengerat/Rodent) yang dapat
mengganggu, menyerang ataupun menularkan penyakit terhadap manusia.

2.2 STANDAR BAKU MUTU KESEHATAN LINGKUNGAN UNTUK VEKTOR DAN


BINATANG PEMBAWA PENYAKIT
Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
terdiri dari jenis, kepadatan, dan habitat perkembangbiakan. Jenis dalam hal ini adalah
nama/genus/spesies Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit. Kepadatan dalam hal ini adalah
angka yang menunjukkan jumlah Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dalam satuan tertentu
sesuai dengan jenisnya, baik periode pradewasa maupun periode dewasa. Habitat
perkembangbiakan adalah tempat berkembangnya periode pradewasa Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan tersebut dapat dilihat
sebagaimana pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. di bawah ini.

3
Tabel 2.1. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Vektor

Nilai Baku
No Vektor Parameter Satuan Ukur
Mutu

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Nyamuk Anopheles MBR Angka gigitan <0,025


sp. nyamuk Per orang
(Man biting rate)
per malam

2 Larva Anopheles Indeks habitat Persentase habitat <1


sp. perkembangbiakan
yang positif larva

3 Nyamuk Aedes Angka Istirahat Angka kepadatan <0,025


aegypti dan/atau (Resting rate) nyamuk istirahat
Aedes albopictus (resting) per jam

4 Larva Aedes ABJ (Angka Persentase rumah/ ≥95


aegypti dan/atau Bebas Jentik) bangunan yang
Aedes albopictus negatif larva

5 Nyamuk Culex sp. MHD (Man Hour Angka nyamuk <1


Density) yang hinggap per
orang per jam

6 Larva Culex sp. Indeks habitat Persentase habitat <5


perkembangbiakan

4
No Parameter Satuan Ukur Nilai Baku
(1) Vektor (3) (4) Mutu
(2) yang positif larva (5)
7 Mansonia sp. MHD (Man Hour Angka nyamuk yang <5
Density) hinggap per orang
per jam

8 Pinjal Indeks Pinjal Jumlah pinjal <1


Khusus Xenopsylla cheopis
dibagi dengan
jumlah tikus yang
diperiksa

Indeks Pinjal Jumlah pinjal yang <2


Umum tertangkap dibagi
dengan jumlah tikus
yang diperiksa

9 Lalat Indeks Populasi Angka rata-rata <2


Lalat populasi lalat

10 Kecoa Indeks Populasi Angka rata-rata <2


Kecoa populasi kecoa

Keterangan:
1. Man Biting Rate (MBR)
Man Biting Rate (MBR) adalah angka gigitan nyamuk per orang per malam, dihitung
dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap dalam satu malam (12
jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan waktu (jam)
penangkapan.

5
MBR =
Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 12 jam
(jam 18.00-06.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10
Anopheles sundaicus, dua Anopheles subpictus dan satu Anopheles indefinitus. Maka
MBR Anopheles sundaicus dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Jumlah nyamuk Anopheles sundaicus yang didapatkan sebanyak 10
Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit, sehingga dalam satu malam
(12 jam) sebanyak 8 jam (8/12)

MBR An. sundaicus = 85


2. Indeks Habitat
Indeks habitat adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva, dihitung
dengan cara jumlah habitat yang positif larva dibagi dengan jumlah seluruh habitat yang
diamati dikalikan dengan 100%

Indeks Habitat =
Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 30 habitat perkembangbiakan nyamuk
Anopheles spp., setelah dilakukan pencidukan didapatkan 5 habitat positif larva
Anopheles dan 6 habitat positif larva Culex spp. Maka indeks habitat larva Anopheles
dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Jumlah seluruh habitat diamati 30 buah
Jumlah habitat positif larva Anopheles spp. 5 buah

Indeks Habitat Larva Anopheles spp. =


Indeks habitat larva Culex spp. dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 30 buah
Jumlah habitat positif larva Culex spp. sebanyak 6 buah

Indeks Habitat Larva Culex spp. =

6
3. Angka Istirahat
Angka istirahat (resting rate) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat (resting) per
jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dalam satu hari
(12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan (jam)
dikali dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya.

RR =

Contoh, penangkapan nyamuk istirahat siang hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan menggunakan aspirator selama 12 jam (jam 06.00-18.00), yang mana setiap
jam menangkap 40 menit, mendapatkan lima nyamuk Aedes spp. dan lima nyamuk
Culex spp. Maka angka istirahat per jam dihitung sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah nyamuk Aedes yang didapatkan sebanyak 5
Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
Lama penangkapan 12 jam
Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60)

RR= 24

4. Angka Bebas Jentik (ABJ)


Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas jentik,
dihitung dengan cara jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dibagi dengan jumlah
seluruh rumah yang diperiksa dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara
lain perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung
berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya.

ABJ =

Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 100 rumah dan bangunan, 6 rumah di


antaranya positif jentik Aedes spp. Maka ABJ dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Jumlah seluruh rumah yang diperiksa 100 rumah.
Jumlah rumah yang potifif jentik 6 Aedes spp., artinya yang negatif jentik 94
rumah.

ABJ =

7
5. Man Hour Density (MHD)
Man Hour Density (MHD) adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per jam,
dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap dalam enam
jam dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama penangkapan
(jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit).

MHD =

Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 6 jam
(jam 18.00-12.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10
Culex spp. dan 8 Mansonia spp. Maka MHD Culex spp. dihitung sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah nyamuk Culex spp. yang didapatkan sebanyak 10
Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
Lama penangkapan 6 jam
Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).

MHD Culex spp. =

Maka MHD Mansonia spp. dihitung sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah nyamuk Mansonia spp. yang didapatkan sebanyak 8
Jumlah penangkap sebanyak 5 orang
Lama penangkapan 6 jam
Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).

MHD Mansonia spp. =

8
6. Indeks Pinjal
Indeks pinjal khusus adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis dibagi dengan jumlah
tikus yang tertangkap dan diperiksa. Adapun indeks pinjal umum adalah jumlah pinjal
umum (semua pinjal) dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa.

Indeks pinjal khusus =

Indeks pinjal Umum =

Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah dilakukan penyisiran


didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan 30 pinjal jenis lainnya.
Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang didapatkan sebanyak 40 pinjal
Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor

Indeks pinjal Xenopsylla cheopis =

Indeks pinjal umum dihitung sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah seluruh pinjal yang didapatkan sebanyak 70 pinjal
Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor

Indeks pinjal umum =

7. Indeks Populasi Lalat


Indeks populasi lalat adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi yang
diukur dengan menggunakan flygrill. Dihitung dengan cara melakukan pengamatan
selama 30 detik dan pengulangan sebanyak 10 kali pada setiap titik pengamatan. Dari
10 kali pengamatan diambil 5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima nilai tersebut dirata-
ratakan. Pengukuran indeks populasi lalat dapat menggunakan lebih dari satu flygrill.
Contoh, pengamatan lalat pada rumah makan. Flygrill diletakkan di salah satu titik
yang berada di dapur. Pada 30 detik pertama, kedua, hingga kesepuluh didapatkan
data sebagai berikut: 2, 2, 4, 3, 2, 0, 1,1, 2, 1. Lima angka tertinggi adalah 4, 3, 2, 2,
2, yang dirata-ratakan sehingga mendapatkan indeks populasi lalat sebesar 2,6.

9
8. Indeks Populasi Kecoa
Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung
berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan
perangkap lem (sticky trap).

Indeks populasi kecoa =


Contoh, penangkapan kecoa menggunakan 4 buah perangkap sticky trap pada malam
hari, dua buah dipasang di dapur dan masing-masing satu buah dipasang di dua kamar
mandi. Hasilnya mendapatkan 6 ekor kecoa. Maka indeks populasi kecoa dihitung
sebagai berikut.

Diketahui:
Jumlah kecoa yang didapat sebanyak 6 ekor.
Jumlah perangkap sebanyak 4 buah.

Indeks populasi kecoa =

10
Tabel 2.2. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Binatang
Pembawa Penyakit

Binatang

Nilai Baku
No Pembawa Parameter Satuan Ukur
Mutu
Penyakit
1 Tikus Success trap Persentase tikus <1
yang tertangkap
oleh perangkap

2 Keong Indeks habitat Jumlah keong 0


Oncomelania dalam 10 meter
Hupensis persegi habitat
Lindoensis
(keong penular
Schistosomiasis
/demam keong)

Keterangan:
1. Success Trap
Success trap adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung
dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan
100%.

Success trap =

Contoh, pemasangan 50 perangkap tikus yang dilakukan selama 10 hari mendapatkan


5 tikus. Maka success trap dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Jumlah tikus yang didapatkan 5 ekor.
Jumlah perangkap yang selama 10 hari sebanyak 50 buah.

Succes trap =

11
2.3 PENULARAN
Mekanisme penularan penyakit oleh vektor terbagi menjadi dua macam,
yaitupenularan penyakit melalui vektor secara mekanik dan penularan penyakit melaluivektor
secara biologis.

1. Penularan Mekanik
Penularan mekanik berlangsung karena kuman penyakit terbawa denganperantaraan
alat-alat tubuh vektor.Kuman penyakit dalam tubuh seranggatidak bertambah banyak ataupun
berubah bentuk.Pada penularan penyakitmelalui vektor secara mekanik, maka agen dapat
berasal dari tinja, urinemaupun sputum penderita hanya melekat pada bagian tubuh vektor
dankemudian dapat dipindahkan pada makanan atau minuman pada waktuhinggap/menyerap
makanan tersebut.
Contoh :
- Lalat Tabanus melalui probosisnya menularkan basil Anthrax danTrypanosoma evansi
- Lalat rumah (Musca domestica) dengan perantara kaki dan badannya,mularkan telur
cacing dan bakteri
2. Penularan Biologis
Penularan biologis berlangsung dengan bertindak sebagai tuan rumah(host), berarti
adanya kelanjutan hidup kuman penyakit yang dipindahkan.Penularan penyakit melalui
vektor secara biologis, agen harus masuk kedalam tubuh vektor melalui gigitan ataupun
melalui keturunannya. Selamadalam tubuh vektor, agen berkembang biak atau hanya
mengalamiperubahan morfologis saja, sampai pada akhirnya menjadi bentuk yanginfektif
melalui gigitan, tinja atau cara lain untuk berpindah ke pejamupotensial. Pada penularan
penyakit melalui vektor secara biologis,perubahan bentuk atau perkembangbiakan agen
dibedakan sebagai berikut:
a. Propagative transmission
Agen berkembang biak di dalam tubuh vektor tanpa mengalamiperubahan stadium.
Contoh :
- Yersinia pestis (agen pes) di dalam tubuh pinjal (flea) Xenopsyllacheopis. Pinjal sebagai
vektor bisa mati oleh Yersinia pestis.
b. Cyclo propagative transmission
Agen mengalami perubahan stadium dan perkembangbiakan didalam tubuh vector
12
Contoh :
- Plasmodium (agen malaria) di dalam tubuh nyamuk Anopheles.
c. Cyclo developmental transmission
Agen mengalami perubahan stadium hingga mencapai stadiuminfektif di dalam tubuh vektor
tetapi tidak mengalamiperkembangbiakan.
Contoh :
- Cacing filaria di dalam tubuh nyamuk dengan genus Mansonia danAnopheles, serta spesies
nyamuk Culex quinquefasciatus.
d. Transovarian/Hereditary (keturunan)
Generasi yang terkena infeksi tidak menularkan penyakit padamanusia, tetapi menularkan
pada anaknya.Penularan terjadi melaluigenerasi berikutnya.
Contoh:
- Penyakit Scrub thypus yang disebabkan oleh Ricketsiatsutsugamushi dari tikus Trombicula
akamushi (sejenis tungau ataumites)

2.4 TANDA-TANDA KEBERADAAN TIKUS


Untuk mengetahui ada tidaknya tikus pada suatu tempat dan mencegah kemungkinan bahaya
dari makanan yang tercemar oleh tikus adalah sebagai berikut :
1. Droping
Adanya kotoran tikus yang ditemukan di tempat/ruangan yang diperiksa. Tinja tikus mudah
dikenal dari bentuk dan warna yang khas, tanpa disertai bau yang mencolok, tinja tikus yang
masih baru lebih terang dan mengkilap serta lebih lembut (agak lunak), makin lama maka
tinja akan semakin keras.
2. Run ways
Jalan yang biasa dilalui tikus dari waktu ke waktu disuatu tempat disebut run ways. Tikus
mempunyai kebiasaan melalui jalan yang sama, bila melalui lubang diantara eternit rumah,
maka jalan yang dilaluinya lambat laun menjadi hitam.
3. Grawing
Grawing merupakan bekas gigitan yang dapat ditemukan, tikus dalam aktivitasnya akan
melakukan gigitan baik untuk makan maupun membuat jalan misalnya lubang dinding.
4. Borrow
Borrow adalah lubang yang terdapat pada sekitar beradanya tikus seperti dinding, lantai,
perabotan dan lain-lain.
13
5. Bau
Tikus akan mengeluarkan bau yang disebabkan oleh tubuh tikus atau urinnya.
6. Tikus hidup
Tikus hidup akan berkeliaran walaupun hanya sebentar.
7. Ditemukannya Bangka tikus baru atau lama di tempat yang diamati.

2.5. PENGENDALIAN
A. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau
mekanis, penggunaan agen biotik kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat
perkembangbiakannya dan atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan
dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternative.

Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kesakitan penyakit bersumber


binatang antara lain adanya perubahan iklim, keadaan social-ekonomi dan perilaku
masyarakat. Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko kejadian penyakit tular vektor.Faktor
risiko lainnya adalah keadaan rumah dan sanitasi yang buruk, pelayanan kesehatan yang
belum memadai, perpindahan penduduk yang non imun ke daerah endemis.

Masalah yang di hadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia antara lain kondisi
geografis dan demografi yang memungkinkan adanya keragaman vektor, belum
teridentifikasinya spesies vektor ( pemetaan sebaran vektor) di semua wilayah endemis,
belum lengkapnya peraturan penggunaan pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan
populasi resisten beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, keterbatasan sumberdaya baik
tenaga, logistik maupun biaya operasional dan kurangnya keterpaduan dalam pengendalian
vektor.

Dalarn pengendalian vektor tidaklah mungkin dapat dilakukan pembasmian sampai tuntas,
yang mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi
kesatu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia.Namun hendaknya dapat
diusahakan agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor dapat mencapai
hasil yang baik.Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang sesuai.

14
Ada beberapa carapengendalian vector penyakit yaitu:

1. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT)

Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis dan social
budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi tanggung jawab sector kesehatan saja
tetapi memerlukan kerjasama lintas sector dan program.Pengendalian vektor dilakukan
dengan memakai metode pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan
yang menggunakan kombinasi beberapa metoda pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaannya serta
denganmempertimbangkan kesinambungannya.

A. Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah

1.Dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi sebagai metode atau cara pengendalian
2. Dapat meningkatkan program pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit tular vektor
3. Melalui kerjasama lintas sector hasil yang dicapai lebih optimal dan saling
menguntungkan.
Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan pengendalian vektor
menggunakan prinsip-prinsip dasar management dan pertimbangan terhadap penularan dan
pengendalian peyakit. Pengendalian Vektor Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan
keputusan yang rasional agar sumberdaya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian
lingkungan terjaga.

Selain di atas Beberapa metode pengendalian vektor sebagai berikut:

1. Pengendalian secara alamiah (naturalistic control) yaitu dengan memanfaatkan kondisi


alam yang dapat mempengaruhi kehidupan vector. Ini dapat dilakukan dalam jangka waktu
yang lama
2. Pengendalian terapan (applied control) yaitu dengan memberikan perlindungan bagi
kesehatan manusia dari gangguan vektor. Ini hanya dapat dilakukan sementara.
a. Upaya peningkatan sanitasi lingkungan (environmental sanitation improvement)
b. Pengendalian secara fisik-mekanik (physical-mechanical control) yaitu dengan
modifikasi/manipulasi lingkungan
c. Pengendalian secara biologis (biological control) yaitu denganmemanfaatkan musuh
alamiah atau pemangsa/predator, fertilisasi
15
d. Pengendalian dengan pendekatan per-UU (legal control) yaitu dengan karantina
e. Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (chemical control)
Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor yang dapat dijadikan sebagai pegangan
sebagai berikut :

a. Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara pengendalianagar vektor


tetap berada di bawah garis batas yang tidak merugikan/ membahayakan.
b. Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologi terhadap tata
lingkungan hidup.

B. Pengendalian Tikus
1. Teknik Budidaya
Pengendalian dengan cara ini adalah melakukan penanaman padi secara serentak agar
serangan hama tidak mengarah hanya pada beberapa petak sawah saja.
2. Cara Biologis
Pengendalian secara biologis antara lain membiarkan berbagai hewan predator tikus seperti
ular sawah dan burung hantu hidup di sekitar aral persawahan.
3. Cara Fisik
Pengendalian tikus secara fisik dilakukan dengan cara pemasangan perangkap.
4. Cara Mekanis
Pengendalian secara mekanis adalah melakukan upaya goropyokan, yaitu memburu tikus
dengan menghancurkan atau membongkar sarang-sarang tikus yang ada di sekitar areal
persawahan.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Vektor adalah seekor binatang yang membawa bibit penyakit dari seekorbinatang atau
seorang manusia kepada binatang atau seorang manusia kepada binatang lainnya atau
manusia lainnya. Sedangkan vektor penyakit yang (sering) disebabkan anthropoda dikenal
sebagai arthopodborne disease atau vectorborne diseasemerupakan arthropoda yang dapat
menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia.
Mekanisme penularan penyakit oleh vektor terbagi menjadi dua macam,
yaitupenularan penyakit melalui vektor secara mekanik dan penularan penyakit melaluivektor
secara biologis.
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau
mekanis, penggunaan agen biotik kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat
perkembangbiakannya dan atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan
dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternative.

3.2 SARAN
Untuk mewujudkan kualitas dan kuantitaslingkungan yang bersih dan sehat serta
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimalsebagai salah satu unsur
kesepakatan umum dari tujuan nasional, sangat diperlukan pengetahuan yang cukup serta
mendalam pengetahuan tentang vektor penyakit dan pengendalianvektor penyakit,sehingga
kita dapat meminimalisir dan memutus rantai penyebaran penyakit dan menuju Indonesia
yang sehat.

17

Anda mungkin juga menyukai