Anda di halaman 1dari 10

Tinjauan Pustaka Dislokasi Hip

1. Definisi
Dislokasi sendi panggul (hip) adalah keadaan dimana kaput femur keluar dari
socketnya pada tulang panggul (pelvis). Bergesernya caput femur dari sendi panggul,
berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di anterior acetabulum
(dislokasi anterior) dan caput femur menembus acetabulum (dislokasi sentra)

2. Etiologi
Disebabkan oleh trauma dengan gaya atau tekanan yang besar seperti kecelakaan
kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak mobil, jatuh dari ketinggian atau cedera
pada waktu olahraga

3. Anatomi Hip Joint

Femur diletakkan di asetabulum oleh 5 ligamen yang terpisah yaitu:


a. Ligamen iliofemoral
b. Ligamen pubofemoral
c. Ligamen ischiofemoral
d. Ligamen transverse acetabular
e. Ligamen femoral head
4. Patofisiologi dan Gejala Klinis
a. Dislokasi Posterior
Dislokasi posterior paling sering terjadi 80-90%, biasanya disebabkan kecelakaan
kendaraan bermotor. Tekanan ditransmisikan melalui dua cara yaitu
- selama deselerasi yang cepat, lutut membentur dashboard dan
menghantarkan tekanan melalui femur ke panggul.
- Jika tungkai ekstensi dan lutut terkunci, tekanan dapat dihantarkan dari
floorboard melalui tungkai atas dan bawah ke sendi panggul

Klasifikasi Dislokasi Posterior berdasarkan Thompson-Epsteinn didasarkan pada


penemuan radiografi, yaitu:

Type I : simple dislocation with or withoutan insignificant posterior wall


fragment

Type II : dislocation associated with a single large posterior wall fragment

Type III : dislocation with a comminutes posterior wall fragment

Type IV : dislocation with fracture of the acetabular floor

Type V : dislocation with fracture of the femoral head

Klasifikasi Steward and Milford didasarkan pada stabilitas fungsi panggul, yaitu:

Type 1 : No fracture or insignificant fracture

Type 2 : Associated with a single or comminuted posterior wall fragment, but the
hip remains stable through a functional range of motion

Type 3 : Associated with gross instability of the hip joint secondary to loss of
structural support

Type 4 : Associated with femoral head fracture


Gejala klinis yang didapatkan yaitu sendi panggul dalam posisi fleksi, adduksi
dan internal rotasi. Tungkai tampak lebih pendek dan teraba caput femur pada
panggul.

b. Dislokasi Anterior
Dislokasi anterior paling sering disebabkan tekanan hiperekstensi
melawan tungkai yang abduksi sehingga mengangkat kaput femur keluar dari
acetabulum. Biasanya kaput femur tetap di lateral otot obturator eksternus tetapi
dapat juga ditemukan di bawahnya (dislokasi obturator) atau di bawah otot
iliopsoas dengan hubungan ke ramus pubis superior (dislokasi pubis).
Klasifikasi dislokasi sendi panggul anterior menurut Epstein yaitu:
Tipe I : Superior dislocations, including pubic and subspinous
IA: No associated fractures
IB: Associated fracture or impaction of femoral head
IC: Associated fracture of the acetabulum
Tipe II : Inferior dislocations, including obturator and perineal
IIA : No associated fractures
IIB : Associated fracture or impaction of the femoral head
IIC : Associated fracture of the acetabulum
Gejala klinis didapatkan sendi panggul dalam posisi eksorotasi, ekstensi
dan abduksi, tidak ada pemendekan tungkai, terdapat benjolan di depan daerah
inguinal dimana kaput femur dapat diraba dengan mudah, dan sendi panggul sulit
digerakkan.

c. Dislokasi Sentral
Dislokasi sentral adalah fraktur-dislokasi, dimana kaput femur terletak di
medial acetabulum yang fraktur. Ini disebabkan adanya tekanan lateral melawan
femur yang adduksi dijumpai pada kecelakaan kendaraan bermotor.
Gejala klinis didapatkan posisi panggul tampak normal, hanya sedikit lecet
dibagian lateral, gerakan sendi panggul terbatas
5. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan radiologis dijumpai:
a. Dislokasi posterior yaitu caput femur berada di luar dan di atas acetabulum femur
adduksi dan internal rotasi
b. Dislokasi anterior didapatkan caput femur terlihat di depan acetabulum
c. Dislokasi sentral terlihat pergeseran dan caput femur menembus panggul

6. Tatalaksana
Reduksi tertutup harus dilakukan setelah pemeriksaan klinis yang adekuat dan
telah diberikan analgetik, sedatif, dan muscle relaxan, Dislokasi posterior disertai adanya
fraktur dapat dilakukan reduksi tertutup dan dapat dilakukan beberapa metode sebagai
berikut:
a. Allis method : pasien dalam posisi supine, pemeriksa berada diatas pasien kemudian
melakukan in-line traction, sementra assisten melakukan counter traction sambil
menstabilkan pelvis pasien. Ketika traksi di tingkatkan, operator mengurangi fleksi
sekitar 70o, kemudian lakukan gerakan rotasi dari hip seperti melakukan adduksi, hal
ini akan membantu caput femur terbebas dari lip of acetabulum. Penekanan dari
lateral ke arah proksimal femur akan membantu reduksi. Bunyi “clunk” merupakan
tanda berhasilnya reduksi tertutup.
b. Stimson gravity technique : pasien di posisikan prone, dengan kaki yang cedera
tergantung di samping tempat tidur akan membuat hip fleksi dan knee fleksi masing-
masing 90o, dalam posisi ini assisten mengimobilisasi pelvis sementara operator
melakukan dorongan secara langsung pada proksimal betis, rotasi dari tungkai bawah
akan membantu reduksi.
c. Bigelow and reverse bigelow manuvers : Pasien dalam posisi supine, sementara
operator melakukan traksi longitudinal pada tungkai, Femur yang dalam posisi
adduksi dan rotasi internal kemudian difleksikan 90o , caput femur bergeser ke
acetabulum dengan melakukan abduksi, rotasi eksternal, dan ekstensi dari hip. Pada
reverse bigelow manuver dilakukan pada dislokasi anterior dari hip, traksi dilakukan
in-line dengan deformitas , kemudian hip di adduksikan secara tajam kemudian di
ekstensikan.
Post reposisi pada dislokasi pada hip dapat dilakukan:
a. Bedrest dilanjutkan dengan weight bearing protected selama 4-6 minggu
b. Jika reduksi tidak berhasil maka dilakukan reduksi terbuka
c. Pemeriksaan X-Ray Pelvis AP untuk menilai hasil reduksi

Pengobatan dislokasi anterior dapat dilakukan reduksi tertutup dengan cara


memberi traksi pada tungkai dalam keadaan fleksi dan rotasi interna serta abduksi
panggul yang selanjutnya disusul imobilisasi seperti pada dislokasi posterior. Pengobatan
dislokasi sentral dengan reduksi memerlukan traksi tulang dengan K-wire untuk beberapa
minggu karena dislokasi sentral disertai fraktur acetabulum.
Indikasi operasi antara lain kegagalan reposisi tertutup, kedudukan caput femur
tidak stabil, terjadinya fraktur kollum femur dan adanya lesi N. Ischiadicus.
7. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi segera antara lain robekan kandung kemih, robekan uretra, trauma
rectum dan vagina, trauma pada saraf. Komplikasi lanjut berupa pembentukan tulang
heterotrofik, nekrosis avaskuler, gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder,
dan scoliosis kompensator.
Prognosis dari dislokasi sendi panggul ergantung dari adanya ekrusakan jaringan
yang lain, manajemen awal dari dislokasi dan keparahan dislokasi. Pada keseluruhan,
dislokasi anterior memiliki prognosis yang lebih baik daripada dislokasi posterior.
Penelitian menunjukkan prognosis buruk terjadi pada 25% pasien dengan dislokasi
anterior dan 53% pada dislokasi posterior. Prognosis juga dapat dilihat dari klasifikasi
Stewart dan Milford. Pada grade I, komplikasi jangka panjang sering terjadi, avascular
osteonecrosis terjadi sekitar 4% dari pasien dan osteoatritis sekunder juga dapat terjadi.
Grade III dan IV memiliki risiko tinggi untuk terjadinya avascular osteonecrosis.
Tinjauan Pustaka Osteoporosis

Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan struktur


tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga menyebabkan tulang
menjadi mudah patah. Secara tidak langsung massa tulang yang dimiliki sedikit lebih
rendah dari orang normal. Sehingga untuk terjadinya patah tulang akan lebih rendah
dibandingkan dengan osteoporosis.
Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis
primer terbagi menjadi 2 yaitu tipe 1 (postmenopausal) dan tipe 2 (senile). Penyebab
terjadinya osteoporosis tipe 1 erat kaitannya dengan hormone esterogen dan kejadian
menopause pada wanita. Tipe ini biasanya terjadi selama 15-20 tahun setelah masa
menopause atau pada wanita sekitar 51-75 tahun dan pada tipe tulang trabekular menjadi
sangat rapuh sehingga memiliki kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari biasannya.
Sedangkan tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang
wanita. Penyebab terjadinya senile osteoporosis yaitu karena kekurangan kalsium dan
kurangnya sel-sel perangsang pembentuk vitamin D dan terjadinya tulang pecah dekat
sendi lutut dan paha dekat sendi panggul. Tipe osteoporosis sekunder, terjadi karena
adanya gangguan kelainan hormon, penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang kurang
baik seperti konsumsi alcohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok.
Tulang memiliki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblast (sel yang bekerja untuk membentuk
tulang). Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk kembali.
Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblast
menyatu dengan matriks tulang). Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan
oleh sel steoklas dan nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam.
Dengan demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang
baru yang dilakukan oleh osteoblast yang berasal dari sel prekusor di sumsum tulang
belakang setelah sel osteoklas hilang.
Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut.
Hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi cepat) dan
esterogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteoporosis, terjadi
gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja osteoklas
dengan osteoblast. Aktvitas sel osteoclast lebih besar daripada osteoblast dan secara
menyeluruh asa tulang akan menurun dan akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada
penderita osteoporosis.
Menentukan terjadinya osteoporosis atau tidak dapat dilakukan densitas mineral
tulang (DMT) untuk mengetahui kepadatan tulang pada orang tersebut. Di Indonesia
terdapat 3 teknik yang digunakan:
1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang palinh tepat dan mahal.
Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri dan hanya
dilakukan sekitar 5-15 menit. DXA dapat digunakan pada wanita yang
mempunyai peluang untuk mengalami osteoporosis, seseorang yang memiliki
ketidakpastian dalam diagnose dan penderita yang memerlukan keakuratan
dalam hasil pengobatan osteoporosis.
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini yaitu dapat
menentukan kepadatan tulang denan baik (memprediksi risiko patah tulang
pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi alat
ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi berdasarkan volume
tulang (secara bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar)
dan jika pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang tidak
benar maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut.
Hasil DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata BMD puncak.
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3 yaitu T-Score>-1SD yang
menunjukkan bahwa seseorang masih dalam kategori normal. T-score <-1
sampai -2,5 dikategorika osteopenia dan <-2,5 termasuk dalam kategori
osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang tersebut termasuk dalam
osteoporosis berat.
2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan pengukuran
ultrasound, yaitu dengan menggunakan alat quantitative ultrasound (QUS).
Hasil pemeriksaan ini ditentukan dengan gelombang suara, karena cepat atau
tidaknya gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat terdeteksi dengan
alat QUS. Jika suara terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan
tetapi, jika suara cepat, maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis.
Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui
kualitas tulang, akan tetapi QUS dan DXA sama-sama dapat memperkirakan
patah tulang. Seseorang tidak akan terpapar radiasi karena tidak menggunakan
sinar X. kelemahan alat ini yaitu tidak memiliki ketelitian yang baik (saat
dilakukan pengukuran ulang sering terjadi kesalahan), tidak baik dalam
mengawasi pengobatan (perubahan massa tulang).
3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan dengan memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan
pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan pada proses pengeroposan tulang dan
pengobatan antireasobsi oral pun dapat dipantau.
Kelebihan yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan
tulang belakang dan tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dnegan
akurat. Akan tetapi pada tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan
ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi

Anda mungkin juga menyukai